April 21, 2014

[ROUND 1 - C] NOUMI SHU - SI VIS PACEM, PARABELLUM

[Round 1-C] Noumi Shu
"Si Vis Pacem, Parabellum"
Written by Haruo Damon

---

"Lawan aku," hardik Alvin.

Shu tidak merespon. Ia masih menatap kosong kearah tubuh Kilatih yang sudah tak bernyawa.

"BERDIRILAH DAN LAWAN AKU PENGECUT!"

"T-tidak.. tidak... tidak.. aku.. aku tidak menginginkan ini.. tidak.." Shu menatap ketakutan kearah sosok Alvin yang telah berubah menjadi monster di hadapannya, entah bagaimana ia merasa seluruh tenaga di tubuhnya hilang, membuatnya bahkan tidak mampu untuk berdiri.

 "BERHENTI MERENGEK SEPERTI ANAK KECIL!" Alvin menendang Shu dengan kekuatan luar biasa, membuat pemuda itu terpental dan menabrak rak buku di belakangnya. Rasa sakit yang teramat sangat menjalar di sekujur tubuh pemuda itu. Merasa belum puas, Alvin berjalan mendekati tubuh Shu dan menginjak-injaknya.

"MAKHLUK LEMAH! CENGENG! TIDAK BERGUNA!"

Shu memegangi kepala dan memejamkan matanya, berusaha menahan setiap rasa sakit yang terus menerus ia terima.

KELUARKAN HASRAT YANG KAU PENDAM!

Suara tersebut kembali muncul begitu saja dalam pikiran Shu. Namun, pemuda itu tetap diam dan tidak melakukan apa-apa, "Tidak... biarkan ini semua berakhir... " gumamnya.

KAU MELUPAKAN TUJUANMU DISINI? MELUPAKAN APA YANG INGIN KAU DAPATKAN? APA YANG INGIN KAU LAKUKAN? TUNJUKKAN HASRAT TERDALAM DIRIMU! TUNJUKKAN APA YANG KAU INGINKAN!

"AKU TIDAK PERNAH MENGINGINKAN INI SEMUA TERJADI!" Shu berteriak, membuat Alvin tersentak dan melompat mundur, "Tidakkah kau mengerti? Yang kuuinginkan hanyalah kehidupan yang damai.. kehidupan yang dapat kunikmati setiap harinya... tidak lebih..."

Alvin mengangkat sebelah alisnya, "Apa yang sedang kau bicarakan heh?"

KAU TIDAK AKAN PERNAH MENDAPATKAN APA YANG KAU INGINKAN HANYA DENGAN KEPASRAHAN BELAKA! BERDIRLAH! BERTARUNG! TUNJUKKAN HASRAT TERHADAP IMPIAN YANG KAU PENDAM!

"Tidak.. aku tidak mau.. aku tidak bisa bertarung.. aku takut.. tidak..." Shu memegangi kepalanya dan mengacak-acak rambutnya seperti orang frustasi.

Alvin menghela nafas, "Sudah cukup, aku sudah muak dengan manusia lemah tak berguna sepertimu. Akan kuakhiri ini semua, tidak ada lagi orang yang dapat melindungi bokongmu. Menginginkan hidup damai kau bilang? TIDAK ADA KEDAMAIAN YANGDIPEROLEH SECARA CUMA-CUMA! JIKA KAU INGIN KEDAMAIAN, BERTARUNGLAH UNTUK MEMPEROLEHNYA!"

Alvin meraung dan langsung melompat menerjang Shu yang masih terduduk gemetar memegangi kepalanya.

***


"Tunggulah disini," Sosok bertubuh merah dengan sayap hitam lebar menurunkan Shu di sebuah lapangan rumput luas dengan kastil besar megah di tengahnya.

"A-apa yang se-sebenarnya terjadi? Kau itu.. apa? Dimana ini?"

Makhluk itu tidak mengacuhkan Shu, ia merentangkan sayapnya sesaat seakan bersiap untuk melompat dan kembali terbang walau pada akhirnya makhluk itu melipat sayapnya kembali dan berjalan pergi.

Shu terdiam menatap makhluk itu pergi. Walau demikian, tampaknya bukan ia saja yang kebingungan. Puluhan orang lainnya yang berada di tempat itu terlihat bingung sama seperti dirinya. Beberapa diantara mereka mulai bercengkrama satu sama lain sementara ada pula yang tampak bersitegang dengan senjata terhunus ataupun kuda-kuda terpasang.

Pemuda itu berusaha mengingat-ingat apa yang ia lakukan sampai bisa berada di tempat tersebut, namun yang ia ingat hanyalah sosok pria dengan tubuh merah dan sayap hitam besar tiba-tiba muncul di kamarnya lalu langsung membawanya ke sebuah padang luas sebelum ia dibawa lagi ke tempatnya berada sekarang.

Haruna? Kau percaya padaku kan? Kau percaya kan?

"Eh.." mata Shu terbelalak. Kilasan memori bagai secara paksa merasuki pikirannya.

KAU TIDAK MENGERTI! PA-PADAHAL KAU SATU-SATUNYA ORANG YANG KUPERCAYAI.. KENAPA??

"A-apa yang..."

TINGGALKAN AKU SENDIRI! AKU TIDAK MAU MELIHATMU LAGI! LEBIH BAIK KAU MENGHILANG SAJA!

"Apa yang sudah kulakukan..." Shu menatap kedua telapak tangannya, "Bukan.. bukan aku yang melakukannya.. bukan.. BUKAN!"

Beberapa orang di dekat Shu mulai melirik kearah pemuda itu dan saling berbisik satu sama lain.

"SELAMAT DATANG DI DEVASCHE VADHI" Sebuah suara besar membahana bergaung di seluruh lapang halaman kastil tersebut, menyita perhatian siapa saja yang berada di tempat itu. Seorang pria dengan tubuh merah dan rambut perak berdiri di balkon kastil memandang sinis kearah orang-orang yang berada di bawahnya.

 "Sebelum salah paham,aku akan mengatakan hal ini," Pria itu menghentikan kata-katanya sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, "Kalian semua yang ada di sini sudah mati."

Segera setelah kata "Mati" diucapkan, Segalanya seakan menjadi jelas bagi Shu. Memori terakhir pemuda itu bagai dipaksa keluar dari kepalanya.

 Haruna menghilang begitu saja. Tidak ada yang menyadarinya. Bahkan, tidak ada yang sadar bahwa gadis itu ada.

Tidak ada yang mengaku mengenal gadis itu tidak peduli berapa banyak orang yang ia tanya. Pemuda itu berlari ketakutan masuk kedalam kamarnya ketika mendengar kata-kata kedua orang tua Haruna yang mengaku bahwa mereka tidak pernah memiliki anak sama sekali.

 Masih menganggap hal tersebut sebagai suatu lelucon mengerikan, Shu membuka album foto lamanya dan mata kepalanya sendiri membuktikan bahwa gadis itu tidak pernah ada. Pantai, Kyoto, Osaka, Hokkaido, semua foto yang diambil dengan Shu dan Haruna di dalamnya hanya memuat foto pemuda itu sendirian.

Shu melempar album foto di tangannya lalu meraih botol obat penenang di laci meja kamarnya. dengan gemetar pemuda itu membuka tutupnya, membuat botol itu terjatuh dan menghamburkan puluhan pil-pil kecil di lantai.

Dengan tangan gemetar, ia meraih pil terdekat dan meminumnya.

Satu

dua

lima

tujuh

sepuluh

 lima belas

Shu kehilangan hitungan,  tidak peduli berapa banyak yang ia minum, ia masih tidak mampu mengerti mengenai kejadian yang baru ia alami. Sebelum ia sadar, ia sudah kehabisan obat penenang.

"Kalian berada di Nanthara Island. Pulau yang hanya bisa dijejaki oleh mereka yang sudah mati."

Kata-kata pria berambut perak itu memecah lamunan Shu. Ia menengadah kearah balkon kastil dan menatap pria itu.

"Beberapa dari kalian masih mengingat bagaimana kalian mati, apapun caranya, semuanya adalah kehendakku, akulah yang mematikan kalian. Sedang-" 

kata-kata pria itu selanjutnya tidak dapat ia dengar dengan jelas.

BUNUH!!! BUNUH!!! BUNUH!!!

Kata-kata itu terus terngiang dalam pikiran Shu. Segala sesuatu di sekitarnya bagai menjadi hening, sementara pikirannya dipenuhi oleh suara-suara yang ia tidak dapat ketahui darimana sumbernya.

Kau sudah mengambil apa yang menjadi milikku, sekarang giliranku mengambil apa yang menjadi milikmu.

Seketika suara itu lenyap, Shu kembali bisa mendengar hiruk-pikuk orang-orang di sekitarnya . sebagian besar dari mereka menunjuk ke arah langit dan saat itulah pemuda itu menyadari sebuah tabel berisikan nama-nama yang tidak ia kenal terproyeksikan di langit. membentuk sebuah hologram raksasa.

"LIMA PULUH LIMA!" Suara pria berambut perak itu kembali membahana di seluruh halaman kastil, mengheningkan hiruk-pikuk yang tengah terjadi di sana, "Hanya akan tersisa satu pada akhirnya, yang akan mendapatkan penghapusan dosa dan kelahiran kembali  ke dunia tempat asal kalian. Tak ada yang lebih berharga daripada kesempatan kedua untuk memperbaiki takdir kalian."

Kelahiran kembali? pikir Shu, bukankah ini berarti kesempatan untuknya agar dapat bertemu dengan Haruna kembali?

Pekikan terdengar dimana-mana, Kobaran api yang menyala-nyala dengan ganas tiba-tiba muncul dan menyelimuti tangan pria dengan rambut perak tersebut.

"Kalian tak akan bisa mundur. Mundur artinya lenyap. Aku sendiri yang akan membakar kalian. Tentu saja perlahan-lahan dan sangat menyiksa."

Pria itu menatap tajam kearah orang-orang yang berdiri di bawahnya. Seakan-akan meyakinkan baha ia benar-benar dapat melakukan apa yang ia katakan sebelumnya.

"Kini kalian sudah mengerti. Untuk dapat bertahan hingga akhir, tak ada cara lain selain mengalahkan siapapun yang menghalangi kalian. Dari lima puluh lima yang ada di sini, akan kuperkecil menjadi empat puluh empat. Ya, sebelas di antara kalian akan merasakan siksaan yang pedih dariku.

Pria itu mengayunkan tangannya. Seketika, nama-nama yang berada dalam tabel raksasa di langit bergerak, membentuk kelompok-kelompok berisikan lima nama berbeda.

"Setiap kelompok akan kukirimkan ke tempat yang berbeda-beda. Tempat yang tidak akan asing lagi bagi salah satu dari mereka, namun akan terasa sangat asing bagi yang lainnya. Namun, jangan anggap hal itu sebagai keuntungan!" Tatapan pria itu kembali berubah tajam, "Lengah berarti kalah. Kalah berarti lenyap. Siksaanku akan sangat pedih."

Pria itu menjentikkan jarinya, salah seorang sosok bersayap hitam besar terbang dan berdiri di belakangnya.

"Satu hal, jangan membuatku merasa bosan, Aku tidak menciptakan makhluk hanya untuk menjadikan mereka seorang pengecut."

Setelah berkata demikian, ia membalikkan badannya dan berjalan memasuki kastil dibarengi dengan puluhan makhluk bersayap hitam terbang dan menyambar masing-masing satu orang di halaman kastil.

Sang pencipta kau bilang? Tuhan? Nikmati permainanmu selagi kau bisa
Suara itu kembali terngiang dalam pikiran Shu. Pemuda itu diam saja ketika salah seorang makhluk bersayap hitam menyambarnya dan membawanya terbang ke langit.

Tunggulah... akan ada saatnya.. saat aku.. kita.. membalas dendam.

Dendam? Pikir Shu. Suara itu menjadi makin jelas. Ia merasa bagai mendengar seseorang berbicara langsung kepadanya.

Karena semenjak awal... Tuhan itu tidak pernah ada...

Makhluk yang membawa Shu terbang dengan kecepatan tinggi dan menembus langit yang tiba-tiba berubah kehitaman, membuat segalanya menjadi gelap bagi pemuda itu.

***

"Dimana ini..." Kilatih mereganggang badannya yang terasa kaku akibat perjalanan terbang yang kasar. Mata gadis itu tetap tertuju pada sosok Hvyt dengan sayap hitam lebarnya yang terbang di langit malam sebelum menghilang ditelan kegelapan. 

"Well..." Kilatih memandang kosong kedepan, ia mulai menyusuri jalan yang tidak ia kenal tersebut dan berhenti di depan sebuah pagar yang membatasi jalan dengan sebuah halaman luas dengan bangunan besar di tengahnya, "Kastil Thurq juga kah?" gumam gadis itu.

Tangan Kilatih meraba tulisan dengan huruf yang tidak ia kenali di pinggir pagar tersebut, "Petunjuk? Jebakan?" gumamnya bertanya-tanya. Ia mencoba mengingat-ingat huruf-huruf rune yang pernah ia baca dalam buku semasa hidupnya dulu. Namun, teringat kenyataan bahwa ia berada dalam dunia salah seorang musuhnya yang jelas tidak ia kenal sama-sekali gadis itu menyerah.

Sebaiknya tetap berhati-hati, pikirnya. Kilatih melompati pagar tersebut dengan mudah, ia kembali menyusuri halaman luas tersebut. Semilir angin malam memainkan rambut panjang gadis itu, menggelitik wajah manisnya. Kilatih menengadah menatap langit malam, Angin kembali berhembus dan menimbulkan  suara gemerisik dedaunan dari pohon-pohon di sekitar, "Sayang tempat ini akan menjadi arena pertarungan..." gumam gadis itu.

Sudah sangat lama semenjak terakhir kali Kilatih merasakan ketenangan semacam ini. Gadis itu memejamkan matanya, menikmati semilir angin malam yang menyejukkan. Setelah beberapa lama, ia kembali berjalan dan pada akhirnya sampai di pintu masuk bangunan besar yang berada di tengah-tengah halaman.

"Sudah kuduga terkunci," Kilatih tetap mencoba mencoba mendorong pintu kaca yang tetap tidak bergerak tersebut. Merasa tidak menemukan cara lain untuk membukanya, ia menendang pintu itu dan langsung membuatnya terlempar lepas dari engselnya.

Kilatih segera melompat ke belakang begitu pintu itu terlempar lalu langsung memasang kuda-kuda siaga. Namun, apa yang gadis itu perkirakan tetap tidak terjadi, "Tidak aja jebakan? Sudah begitu saja?" gumamnya. Perlahan, tanpa mengendurkan kewaspadaannya, ia memasuki bangunan itu.

***

"Anu... maaf, kau mau membawaku kemana?" Entah sudah berapa kali Azraq menanyakan hal ini pada Hvyt yang membawanya terbang itu.

"Err.. tuan malaikat? Ah maksudku tuan Hvyt.. apa masih jauh?" Azraq mencoba mengajukan pertanyaan lain, tapi Hvyt yang membawanya tetap diam dan tak berbicara sepatah katapun.

Tak lama, Hvyt itu menurunkan ketinggian terbangnya dan Azraq mulai dapat melihat ketanah. Bangunan-bangunan tinggi, mobil-mobil yang berseliweran di jalan raya, dan jalanan yang ramai. Walau Azraq tidak mengetahui dimana ia sekarang, tapi ia yakin ia berada di bumi.

Sebuah layar raksasa di salah satu gedung menampilkan karakter wanita animasi yang secara ajaib mengubah pakaian yang ia kenakan dengan setelah berpose dengan tongkat di tangannya.

Jepang? pikir Azraq. Ia melihat kearah gedung lain yang memasang poster dengan huruf-huruf yang pria itu tidak mengerti. Walau demikian, Azraq pernah melihat huruf-huruf jepang dari komik salah satu murid lesnya, dan ini membuatnya semakin mantap bahwa saat ini ia tengah berada di Jepang.

Hvyt yang membawa Azraq tidak menghentikan terbangnya. Pemandangan kota tak lama kemudian terganti oleh perumahan, sungai kecil, pepohonan, hutan kecil, dan akhirnya Hvyt itu melambat dan menurunkan Azraq dengan kasar di atas salah satu bangunan besar dan terbang pergi begitu saja tanpa menoleh sama sekali.

Azraq mengusap-usap pantatnya yang terasa sakit akibat mendarat dengan posisi duduk. Ia memperhatikan sekelilingnya dan mendapati taman kecil dengan berbagai tanaman dalam pot di tempat tersebut. Ia kemudian menyalakan keran air di dekat pot-pot tanaman dan mencuci tangan serta mukanya.

"Sayang sekali wisata pertamaku ke Jepang adalah untuk bertarung dengan orang yang bahkan tidak kukenal..." Azraq mengelap tangannya yang basah dengan bajunya, mata pria itu kemudian teralih kearah bulan purnama yang sedikit tertutup awan di langit malam.

 "Andai aku masih hidup sekarang ini..." Pria itu memasukkan tangan ke dalam saku sweater yang ia kenakan, mengeluarkan kotak kecil dari dalamnya lalu membuka kotak tersebut. Azraq tersenyum kecil menatap cincin yang tersimpan rapi dalam kotak tersebut, "Aku akan mengajakmu melihat pemandangan ini juga, Nisa..."

Tanpa menghilangkan senyuman di wajahnya, Azraq menutup kocak kecil itu kembali dan menyimpannya dengan hati-hati dalam saku sweaternya, "Aku akan memenangkan turnamen apapun ini dan bertemu denganmu kembali... pasti..."
Suara deritan pintu mengalihkan perhatian Azraq. Keran air yang sebelumnya pria itu pakai untuk mencuci tangan dan wajahnya jebol, memuncratkan air dengan deras yang langsung melayang di sekeliling pria itu.

Seorang pria dengan pakaian serba gelap yang kontras dengan langit malam muncul dari balik pintu, "WOW!" serunya terkejut ketika melihat Azraq dalam posisi siap bertempur. Secara reflek, ia menarik pedang yang tersimpan di punggungnya dibarengi dengan meluncurnya sebilah pasak yang terbentuk dari es kearahnya.

Dengan muda pria itu menahan serangan Azraq menggunakan sisi pedangnya, ia terbelalak ketika melihat puluhan pilar es lain terbentuk dan melayang di sekitar penyerangnya. "WOI! SANTAI KEK! BARU JUGA KETEMU!" teriak pria itu seraya menurunkan pedangnya.

Pilar-pilar es yang terbentuk berubah kembali menjadi air dan jatuh begitu saja membasahi lantai. Azraq membekukan keran air yang jebol sehingga air berhenti memuncrat keluar, "Yowes lah... kenalan dulu.. kau siapa?" tanya Azraq.

Pria di hadapan Azraq menyimpan kembali pedang yang ia pegang di punggungnya dan menjawab lantang, "Leonidas Evilian Lionearth! Mantan raja tunggal Exiastgardsun! Dan sekarang tengah menjabat sebagai ketua KPK setelah nyasar ke bumi," Leon mendecak pelan dibarengi tatapan kagum dari Azraq.

"Aku tidak mengerti ucapanmu sebelumnya, tapi benarkah kau ketua KPK? Komisi Pemberantasan Korupsi? Organisasi yang nangkepin anggota-anggota wakil rakyat kita yang melakukan korupsi?"

Leon mengangguk, "Tentu saja! bajingan-bajingan korup seperti mereka sudah sepantasnya mendekam dalam penjara. Dan sudah tugas kami untuk menangkapi mereka. Setidaknya dulu begitu... sayang.. bumi sudah terlalu rusak dan dipenuhi orang-orang egois yang memikirkan kepentingannya sendiri..."

Azraq masih terpana memandangi pria di hadapannya, sampai ucapan Leon menyadarkannya, "Oi. Bagaimana denganmu kawan? Kau siapa?"

"Ah maaf, aku lupa memperkenalkan diri," Azraq mengelus dagunya dan berdehem pelan, "Azraq Ibrahim. Sepertinya kita sama-sama anak ibu pertiwi."

"Sepertinya kau salah orang... pertiwi bukan ibuku..."

"Maksudku sama-sama orang Indonesia," balas Azraq cepat.

"Sepertinya kau salah sangka kawan... aku memang tinggal di bumi.. tapi aku berasal dari Exiastgardsun... itu.. bagaimana menjelaskannya ya, planet yang lain... aku bisa nyasar ke bumi karena terhisap black hole ketika sedang melakukan tugas."

Azraq menggaruk kepalanya. Ia sama sekali tidak bisa mengerti apa yang pria itu ucapkan. Ia teringat salah seorang anak muridnya yang mengaku bahwa ia adalah seorang ksatria legendaris yang memiliki jiwa naga dalam tubuhnya. Kakak dari anak tersebut mengatakan bahwa adiknya mengidap Chuunibyou Syndrome, suatu kelainan dimana penderitanya berdelusi menjadi orang lain yang merupakan sosok ideal mereka.

Mungkin dia juga pengidap Chuunibyou... pikir Azraq. Namun, mengingat bahwa pria itu memiliki pedang dan pastinya kemampuan yang tidak ia ketahui, ia memikirkan kemungkinan bahwa apa yang pria itu ceritakan benar.

"Jadi... Leonidas?"

"Leon saja," potong Leon, ia mengulurkan tangannya kearah Azraq, "Kepanjangan kalau lengkap. Bisa repot nanti kalau kau mau meneriakkan namaku ketika kita bertarung," lanjutnya.

"Azraq kalau begitu," ia menjabat tangan pria di hadapannya, "Jadi.. kita bertarung?"

Leon hanya mengangguk, pria itu kemudian melangkah mundur lalu mencabut pedangnya dan memasang posisi siaga, "Ayo bertarung dengan adil... " ujarnya.
Tatapan Azraq kembali menjadi serius, ia mencairkan es yang menutupi saluran air di keran yang ia rusakkan sebelumnya dan membuat air yang kembali memuncrat keluar berkumpul di sekitarnya, "Majulah..." ujar Azraq pelan.

"Rushtio..." bisik Leon.

Azraq terpana sesaat ketika aura kebiruan mulai menyelimuti tubuh lawannya. Namun, ia segera sadar dan menciptakan lima pasak es yang dengan cepat meluncur kearah Leon.

Leon berkelit dan dengan mudah menghindari serangan Azraq, ia mengangkat pedangnya tinggi dan langsung berlari menerjang Azraq yang masih diam di tempatnya semula. Belum sempat ia mencapai tempat musuhnya berdiri, sebuah pilar es tajam terbentuk dan mencuat secara tiba-tiba dari lantai tempatnya berpijak dan nyaris melubangi kaki Leon apabila ia terlambat satu detik saja untuk menghindar.

"Air yang kau tumpahkan sebelumnya pada serangan tiba-tiba ketika kita baru bertemu eh?" seru Leon. Pria itu mengeratkan genggaman pada pedangnya dan kembali berseru, "BERSIALAH AZRAQ!" ia kembali berlari seraya menghindari serangan pasak-pasak es Azraq yang tertuju kearahnya.

Azraq tetap diam dan tenang. Pria itu berkonsentrasi pada setiap serangan yang ia lakukan.  Sementara Leon yang kepayahan menghindari serangan Azraq pada akhirnya berhasil mendaki Azraq dan mengayunkan pedangnya kearah leher pria itu.

Trang

Lapisan es tebal terbentuk dan menahan serangan Leon. Pria itu melompat dan berusaha menendang kepala Azraq. Namun, lagi-lagi perisai yang terbentuk dari lapisan es menghalangi serangannya.Pasak-pasak es terbentuk di atas kepala Leon dan jatuh menuju pria itu, memaksanya mundur untuk menghindarinya.

Aura kebiruan yang menyelimuti tubuh leon tampak mulai memudar. Ia kembali berlari menerjang Azraq, menghindari puluhan pasak es yang meluncur kearahnya dan kembali mengayunkan pedangnya kearah musuhnya itu.

Lagi-lagi, serangan Leon tertahan oleh lapisan Es yang diciptakan Azraq. Ia berkelit dari hujanan pasak es dan kembali mengayunkan pedangnya dengan lebih kuat. Namun, tetap saja Leon tidak dapat menghancurkan lapisan pelindung Es tersebut.

Keras sekali!!! Pikir Leon. Ia melompat dan menjadikan lapisan pelindung tersebut sebagai pijakan untuk melompat kembali dan menjauh dari Azraq.

"Bagaimana? Sudah selesai? Sekarang giliranku!" Azraq menciptakan bola air raksasa yang terus membesar dengan air yang tak henti-hentinya memuncrat keluar dari keran yang jebol di dekat pot-pot tanaman. Setelah dirasa cukup, ia meluncurkan bola air tersebut kearah Leon.

"GI-GILA!!!!" Mengetahui bahwa tidak mungkin baginya menghindari serangan sebesar itu, Leon memperkuat kuda-kudanya dan berusaha menahan serangan tersebut dengan sisi datar pedangnya. Namun, tetap saja ia terpental mundur dan terjatuh.

"Eh? Cuma begini? Enggak sakit, Cuma basah aja..." Pria itu berdiri kembali dan mengacungkan pedangnya.

"Aku belum selesai lho," Azraq tersenyum dan mengangkat tangan, "MEMBEKULAH!" serunya.

Seketika, leon merasakan tubuhnya bagai tertahan dan ia tidak dapat bergerak sama sekali, "A-apa yang kau lakukan??" teriaknya.

Azraq tersenyum, "Aku membekukan setiap lekuk sendi di tubuhmu. Dengan begini, gerakanmu akan tertahan. Dan... sedikit tambahan..." ia kembali menemembakkan air dengan kecepatan tinggi kearah tangan kanan Leon. Memaksa pria itu menjatuhkan pedangnya dan kemudian ia membekukan pedang itu di lantai, "Kau tidak akan bisa menggunakan senjatamu lagi," tambahnya.

Aura kebiruan yang menyelimuti tubuh Leon menghilang, "Kekuatanmu berakhir eh?" ujar Azraq. Ia melambaikan tangannya, air yang melayang di sekeliling pria itu melayang ke atas kepala Leon dan membentuk pilar es besar, Selesai... aku berjanji aku akan segera menemuimu kembali... Nisa...

"Maaf sobat.. tapi aku punya tujuan yang harus kucapai... semoga kita bisa bertemu dan bertarung lagi suatu saat nanti..." Dengan jentikkan jarinya, Azraq membiarkan pilar es tersebut jatuh tepat kearah kepala musuhnya itu.

"RAGING BASH!!!" Leon berteriak, cahaya kemerahan memancar dari tubuhnya, ia menahan pilar es yang dijatuhkan Azraq. Tidak berhenti sampai disitu, Leon melemparkan pilar es besar tersebut kearah Azraq yang dengan segera mengubahnya kembali menjadi air dan membuatnya melayang di sekitar pria itu.

Leon menghancurkan es yang menahan pedangnya di lantai dengan mudah, lalu melompat dan menerjang Azraq. Namun, lagi-lagi pelindung es yang diciptakan Azraq menahan serangan Leon.

"HANCURLAH!" teriaknya. Leon kembali mengayunkan pedangnya. Lapisan yang terbentuk dan seharusnya melindungi Azraq hancur, membuat pria itu harus melompat ke belakang untuk menghindari tebasan Leon.

"A-apa yang-" Belum sempat Azraq menyelesaikan kalimatnya, Leon sudah melompat kembali dan mengayunkan pedangnya yang kembali menghancurkan pelindung es Azraq dengan mudahnya. Azraq berkelit kesamping untuk menghindari serangan Leon, sebuah pedang yang terbentuk dari es tercipta di tangan pria itu yang langsung diayunkannya kearah Leon.

"LAMBAT!" seru Leon, ia memiringkan tubuhnya dan menggunakan pedangnya untuk menahan serangan Azraq. Lalu, ia menendang Azraq dengan keras, membuat pria itu terlempar cukup jauh.

Azraq kembali bangkit dan berteriak, "SUDAH CUKUP MAIN-MAINNYA!"  Air yang melayang di sekitar pria itu menyelimuti tubuhnya, membeku, dan menciptakan lapisan es yang menutupi sebagian besar tubuh Azraq.

Masih dalam pengaruh Raging Bash, Leon berlari dan menerjang Azraq yang telah memasang kuda-kuda siaga. Ia kembali mengayunkan pedangnya yang kali ini dapat ditahan Azraq menggunakan tangannya yang telah terlapisi es. Azraq  mencengkram lengan Lengan Leon menggunakan tangannya yang bebas lalu membekukan cengkramannya. Membuat posisinya terkunci dengan pria itu.

Tangan kiri Azraq yang ia gunakan untuk menahan pedang Leon mulai terselimuti es yang membentuk bilah tombak tajam. Ia mementalkan pedang Leon dan langsung berusaha menusuk perut musuhnya itu. Sayangnya, Leon dengan sigap melempar pedangnya dan menangkap tombak Es Azraq sebelum berhasil melukai dirinya.

Tanpa melepaskan tombak Es Azraq, Leon menarik paksa lengannya yang dicengkram dan dibekukan pria itu, menghancurkan Es yang menahan lengannya sekaligus membuat sebagian kulitnya yang membeku terkelupas. Darah mengalir dari luka yang terbentuk. Namun, Leon tidak peduli, Ia menyapu kaki Azraq dan membantingnya ke lantai.

Azraq berguling untuk menghindari pukulan Leon berikutnya, ia kemudian menciptakan pilar es tajam yang langsung mencuat dari lantai bagai pedang yang ditusukkan dari bawah, memaksa Leon melompat mundur untuk menghindarinya.

Leon mengambil kembali pedangnya dan memperhatikan dengan waspada sosok Azraq yang bangkit kembali. Aura kemerahan yang menyelimuti tubuhnya mulai meredup dan akhirnya lenyap.

"Sekali lagi..." gumam Leon. Ia mengeratkan genggaman pedangnya dan kembali berseru, "RAGING BASH!" Aura kemerahan sekali lagi memancar dari tubuh Pria itu.

Leon kembali berlari menuju Azraq, Tidak akan kubiarkan kau menahan seranganku lagi...

Pria itu mengayunkan pedangnya dan berteriak, "EXPLOSION!"

Ledakan kecil terjadi begitu pedang leon menyentuh dada Azraq yang terlapisi es tebal. Walau demikian, ledakan itu cukup untuk mementalkan tubuh Musuhnya itu menabrak pagar pembatas di atap gedung tersebut.

"Ti-tidak mungkin... perisai esku..." Azraq memandangi es di bagian dadanya yang hancur. Wajahnya sendiri mengalami luka bakar walau tidak parah, Kalau aku menerima serangan itu secara langsung, sudah pasti tubuhku yang hancur, pikirnya.

Sayang, Azraq terlalu terlambat menyadari bahwa serangan Leon belum berakhir. Secara tiba-tiba Leon sudah berada di depan pria itu dan menendang Azraq dengan keras, membuatnya terlempar menghancurkan pagar pembatas di atap gedung tersebut dan melayang di ketinggian. Merasa belum cukup, Leon ikut melompat dan mengangkat pedangnya di dekat tubuh Azraq yang mulai jatuh terbawa gravitasi, "SERANGAN TERAKHIR! EXPLOSION!!!!!"

Azraq menyilangkan lengannya dan mengumpulkan seluruh air yang tersisa dan membentuk lapisan es tebal yang menyelimuti kedua lengan pria tersebut.

Leon mengayunkan pedangnya, ledakan kembali terjadi begitu pedang tersebut bersentuhan dengan armor es Azraq. Mementalkan pria itu jatuh dengan kecepatan tinggi menghantam kolam renang di bawahnya. Walau air dalam kolam tersebut menahan tubuh Azraq, tetap saja ia menghantam dasar kolam renang dengan keras akibat kecepatan jatuh yang ditimbulkan oleh efek ledakan Leon.

Sementara itu, Leon mendarat dengan mulus di tepi kolam renang. Aura kemerahan mulai menghilang dari tubuhnya, pria itu jatuh terduduk dan berusaha mengatur nafasnya.

"Sudah selesai kah? Dan masih ada tiga orang lainnya yang harus kulawan... ah sial..." Leon terengah-engah seraya memegangi luka di lengannya yang mulai terasa perih.

Suara gemuruh air mengalihkan perhatian pria itu. Air di kolam renang terangkat dan membentuk gelombang besar.

"Ya tuhan... yang benar saja..."Leon menatap pasrah kearah gelombang raksasa yang terbentuk di hadapannya. Sosok Azraq muncul di atas gelombang tersebut dalam keadaan mengenaskan. Lengan kanannya hancur, sementara sebagian wajahnya mengalami luka bakar. Pria itu membekukan lengannya untuk memberhentikan perdarahan yang terjadi.

"RUSHT-" Belum sempat Leon menyelesaikan kata-katanya, ombak itu menghantam dirinya.

"Pertarungan belum selesai Leon... kau tidak akan bisa mengalahkanku hanya dengan kemampuan seperti itu!" Azraq mengendalikan arus air yang menelan Leon, ia tidak membiarkan pria itu keluar gelombang raksasa yang ia ciptakan, "Dan sekarang.. giliranku membalas."

Azraq mengangkat tangan kirinya, secara bersamaan ombak yang menelan Leon membentuk bola air besar dengan Leon di dalamnya. Ia kemudian mengayunkan tangannya, pilar-pilar stalagmit tajam yang terbentuk dari es bermunculan dari sisa Air yang masih berada di kolam renang, membentuk padang stalagmit tajam di tanah.

Azraq kembali tersenyum. Bersamaan dengan jentikkan jarinya, bola air yang memerangkap leon pecah dan menjatuhkan pria itu dari ketinggian tepat diatas padang stalagmit yang ia ciptakan sebelumnya.

Leon memandang pasrah padang Stalagmit di bawahnya... Selesai sudah... pikir pria itu. begitu bukan cuma akan menghantam tanah dengan kecepatan tinggi, ia pasti akan tertusuk pilar-pilar es tajam di bawahnya, ditambah lagi Leon sudah tidak mampu menggerakkan tubuhnya yang kelelahan, "Fia...." gumamnya.

INI BELUM BERAKHIR! Seketika itu, segala sesuatunya bagaikan menjadi film yang diperlambat bagi Leon. Ia mengepalkan tangannya dan berteriak, "RUSHTIO! RAGING BASH!"

Aura biru disertai kemerahan memancar dari tubuh pemuda itu. Sesaat sebelum mencapai tanah Leon berkelit dari salah satu stalagmit tajam besar, lalu menggunakan sisi stalagmit tersebut sebagai pijakan untuk melontarkan dirinya kearah Azraq.

Azraq mengubah padang stalagmit kembali menjadi air, menciptakan ulang ombak besar yang langsung menelan Leon sebelum pria itu bisa mencapai dirinya, "KENAPA.... SUDAH CUKUP!!! AKU TIDAK PUNYA WAKTU MAIN-MAIN DENGANMU!"

Azraq kehilangan ketenangannya, ia mengendalikan ombak tersebut dengan liar, mengombang-ambingkan Leon di dalamnya, "SEKARANG, MATILAH!" Ombak besar tersebut bergulung dan membentuk bola air raksasa. bola air tersebut kemudian membeku pada bagian luar, menyisakan ruang di bagian dalam dengan Leon terperangkap di dalamnya.

"Dan sentuhan terakhir..." Azraq memejamkan mata dan menjentikkan jarinya. Pasak-pasak es tajam bermunculan di dalam bola es tersebut, menusuk Leon yang tidak memiliki tempat menghindar sama sekali di sekujur tubuhnya.

"EXPLOSION!" Bola es Azraq meledak, sosok melayang jatuh dan mendarat dengan mulus di tepi kolam, darah mengalir dari seluruh tubuhnya yang terluka, "Aku tidak boleh kalah... aku pasti dapat memenangkan turnamen ini... tunggulah... FIA!" Leon meraung bagaikan singa yang terluka dan langsung menerjang Azraq dengan kecepatan tinggi.

"MAJULAH! LEON!" Azraq balas berteriak. Lengan kanannya yang hancur diselimuti air dan berubah menjadi tombak es tajam. Sementara lengan kirinya telah terselimuti es sepenuhnya.

Leon mengayunkan pedangnya dengan satu tangan yang berhasil ditahan Azraq menggunakan lengan kanannya yang terlah berubah menjadi senjata, ia langsung balas menghajar Leon dengan tangan kirinya yang bebas.

Leon menerima pukulan itu telak di wajahnya, ia menggeram marah dan balas menendang Azraq yang lagi-lagi dapat ditahan pria itu dengan menangkap kaki leon dan langsung membanting musuhnya itu ke lantai.

Azraq melompat mundur dan langsung menciptakan pasak-pasak es di atas tubuh Leon. Beruntung pria itu berguling tepat waktu dan berhasil menghindari serangan lanjutan Azraq.

Dengan susah payah, Leon bangkit kembali, "Sekali lagi..." gumamnya. Aura yang menyelimuti tubuhnya mulai menghilang, "Sekali lagi... aku tidak akan menyerah... aku pasti bisa bertemu denganmu lagi, Fia."

"RUSHTI-" Leon tidak menyelesaikan kata-katanya. Azraq terbelalak saat menyaksikan sebilah tombak menembus perut musuhnya.

"A-apa yang..."

Tombak itu ditarik paksa sehingga menciptakan lubang di perut Leon, pria itu kemudian jatuh dan tidak bergerak lagi.

***

"Hoo... ini sekolah ya..."

Kilatih menyusuri gedung yang dimasukinya dan memperhatikan setiap ruangan yang ada. Kursi-kursi, meja, papan tulis, semua tertata di setiap ruangan yang ia lihat. Gadis itu hendak membuka pintu salah satu ruang kelas ketika ia mendengar suara ledakan dari atas.

Kilatih menyiapkan katananya dan segera berlari menaiki tangga yang berada di ujung lorong, ketika itulah ia mendengar suara ledakan kedua diikuti deburan air, Dari arah belakang, pikirnya. Ia mengubah arah larinya dan segera keluar dari gedung tersebut, memutari halaman, dan menghentikan langkahnya ketika mendapati sosok seorang pria tengah berdiri di atas ombak setinggi kurang lebih lima meter.

"A-apa yang sebenarnya sedang terjadi??" gadis itu secara reflek segera bersembunyi di balik dinding bangunan sekolah dan mengamati dari kejauhan. Ia mendapat sosok pria lain yang berdiri dengan bertopang pada pedang di tangannya. Tak lama kemudian, ombak tersebut melaju dengan kecepatan luar biasa dan menghantam pria itu.

Kilatih menatap ngeri ombak raksasa yang bergulung dan menelan pria tak berdaya tersebut. Tiba-tiba, gadis itu merasakan sentuhan pada pundaknya dan secara reflek ia berbalik mengayunkan katananya.

Sesosok pria dengan slayer hitam yang menutupi bagian bawah wajahnya jatuh terduduk menatap ngeri pada katana kilatih yang hampir menebas tubuhnya. Pria itu segera menguasai dirinya dan meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya yang tertutup slayer.

"Siapa kau?" tanya Kilatih dengan suara pelan nyaris berbisik, katananya masih teracung kearah pria itu.

Pria itu perlahan mendekati Kilatih dan berucap pelan, "Alvin, aku petarung sama sepertimu. Aku butuh bantuanmu disini."

"Bantuan?" Kilatih mengerutkan dahinya, "Bukankah kita musuh? Kenapa aku harus membantumu?"

Alvin menunjuk kearah kolam renang, Sebuah bola air raksasa melayang tinggi dengan sosok seorang pria di dalamnya, "Aku butuh bantuanmu mengalahkan monster itu, aku yakin kau tidak dapat mengalahkannya sendiri bukan begitu?"

Kilatih terdiam, ia memang memiliki kemampuan bertarung yang menurutnya cukup hebat. Namun, bila harus berhadapan dengan seseorang yang dapat mengendalikan air, ia tidak memiliki cara untuk mendekati orang tersebut untuk dapat menyerangnya.

"Lihat!" pekik Alvin tertahan. Seluruh lantai di area kolam renang berubah menjadi padang stalagmit-stalagmit tajam.

Kilatih terpana memandangi padang stalagmit yang tercipta dari es tersebut, Walau mengerikan, tetapi benar-benar indah. pikirnya.

 "Setelah kita mengalahkan dia bersama-sama, kita dapat bertarung satu lawan satu dengan adil. Aku juga pengguna pedang, dan aku menantikan pertarungan dengan pengguna pedang lainnya," lanjut Azraq lagi.

Pada akhirnya, Kilatih mengangguk, "Kilatih. Baiklah, mari kita habisi orang itu bersama-sama."

Di balik slayernya, Alvin menyunggingkan senyum, "Ayo dekati dia, kita bisa bersembunyi sambil menanti kesempatan menyerang di balik  tembok disana."

Alvin berlari duluan dan berjongkok dibalik tembok yang membatasi kolam renang dengan ruang ganti. Ia menoleh kearah Kilatih yang masih berada di tempatnya semula dan melambaikan tangan kearah gadis itu.

Kilatih berlari menyusul Alvin dan kembali menyaksikan pertarungan yang terjadi. Gadis itu menatap ngeri ketika bola air di langit pecah dan menjatuhkan sosok pria di dalamnya tepat mengarah pada ladang Stalagmit tajam di bawahnya.

"Dia akan mati..." gumam Alvin.

Sayangnya, prediksi Alvin meleset. Pria itu bermanuver di udara dan dengan sukses menjejak sisi stalagmit yang datar dan menggunakannya sebagai tumpuan untuk meluncurkan tubuhnya kearah si pengendali air.

Ladang stalagmit yang terbentuk dari es tersebut kembali berubah menjadi air. Membentuk gulungan ombak yang langsung menelan pria yang tengah meluncur di udara tersebut sebelum dapat menyentuh si pengendali air.

Gulungan ombak tersebut berubah menjadi bola air besar yang langsung membeku. Tak lama kemudian, bola es itu meledak, pria yang terjebak dalam bola es tersebut keluar dalam keadaan luka parah di sekujur tubuhnya.

"Kilatih, bersiaplah! Begitu aku maju, kau langsung serang si pengendali air itu."

Gadis itu hanya mengangguk. Ia tidak melepaskan pandangannya dari kedua pria yang tengah berduel satu sama lain di hadapannya.

"SEKARANG!" pekik Azraq. Pria itu melompat keluar dari tempat persembunyiannya, menarik tombak yang tersimpan di punggungnya dan langsung menusukkan tombak itu pada tubuh Leon yang sudah tidak berdaya.

Sementara itu, Kilatih berlari menerjang Azraq dan langsung melayangkan katananya yang dapat ditahan dengan mudah oleh pria itu menggunakan lengan kanannya yang telah berubah menjadi tombak es.

Kilatih tersenyum, gadis itu melepaskan pegangan katananya dan langsung melayangkan tendangan yang tepat mengenai kepala Azraq. Ia menangkap katananya kembali, menjejak pada pundak Azraq, dan menebas punggung pria itu.

Azraq meraung kesakitan. Ia mengendalikan air yang berada di sekitarnya dan menghempaskan tubuh Kilatih menjauh. Ia kemudian menumpulkan sebagian air dan kembali membentuk armor es yang menyelimuti tubuhnya, meningkatkan pertahanannya sekaligus menghentikan perdarahan akibat serangan yang ia terima.

"Tidak perlu menahan diri kurasa..." Alvin membuang tombaknya, tubuh pria itu mulai membesar, kulitnya berganti menjadi sisik tajam kehitaman, dan kuku-kuku tajam tumbuh di seluruh jari-jari tangannya, "AYO SERANG BERSAMA-SAMA!" teriaknya.

Tanpa perlu dikomando dua kali, Kilatih telah berlari menuju Azraq. Sementara, Alvin telah lebih dahulu berada di depan Azraq dan menendang pria itu dengan keras, walau tendangan Azraq tidak dapat menghancurkan armor es Azraq, namun serangan itu cukup kuat untuk membuatnya terpental kearah Kilatih.

Kilatih melemparkan katananya. pedang itu memantul begitu mengenai punggung Azraq yang terlindungi es. Namun, gadis itu sudah berada cukup dekat dengan Azraq untuk melayangkan tendangan yang lagi-lagi telak mengenai kepala musuhnya itu. Kilatih menangkap katananya kembali dan langsung melayangkannya kearah Azraq yang kali ini dengan sigap menahan serangan gadis itu dengan tangan kirinya yang terselimuti es.

Sayangnya, Kilatih tidak sontak menghentikan serangannya. Ia kembali melepaskan katananya dan langsung menyapu jatuh Azraq dengan kakinya. Gadis itu menangkap kembali katananya sebelum pedang itu terjatuh ke tanah dan segera menjauh begitu menyadari sosok Alvin yang telah berubah menjadi monster setinggi tiga meter tengah melompat dan langsung menghantamkan kedua tangannya pada perut Azraq yang tengah jatuh terlentang.

Azraq memuntahkan darah dari mulutnya, armor es yang melindungi perutnya hancur seketika.

"Bagaimana?" ejek Alvin.

Azraq menusukkan lengan kanannya yang telah ia ubah menjadi tombak es. Namun, serangan itu tidak dapat menembus kulit Alvin yang telah berubah menjadi sisik keras.

Alvin tersenyum mengejek. Namun, senyumnya itu menghilang ketika ia menyadari beberapa tetes air jatuh dari langit. Pria itu menengadah, semakin banyak tetes-tetes air yang berjatuhan ditambah dengan kilat tampak menyambar-nyambar di langit.

"Goddamnshit...."

Seketika, hujan turun dengan deras. Azraq mengendalikan debit air dalam jumlah amat besar untuk mendorong Alvin menjauh darinya. Dengan susah payah, ia kembali berdiri dan berusaha mengatur nafasnya, "Aku tidak akan kalah... tidak akan..." Kemudian, Azraq mengangkat tangannya. Pilar-pilar es raksasa mulai tercipta di langit, terbentuk dari setiap tetes air hujan yang turun.

"Alvin... kita tidak akan dapat menghindari ini..."

Alvin menggeram, pria itu berlari menerjang Azraq, namun gelombang air kembali menghempaskan tubuhnya menjauh.

"BAGAIMANA KALAU BEGINI!" Sekali lagi, Alvin berlari kearah Azraq yang masih berkonsentrasi membentuk pilar-pilar es raksasa di langit. Begitu melihat ombak yang tercipta, Alvin menembakkan cairan kehijauan dari mulutnya yang membasahi seluruh tubuh lawannya.

"A-apa yang kau lakukan?" Azraq jatuh terduduk memegangi lehernya. Nafasnya menjadi sesak dan penglihatannya mengabur.

"Entahlah... aku juga tidak tahu. Para peneliti mengatakan cairan yang kuhasilkan dari kelenjar entah-apa-namanya-aku-tidak-peduli memiliki kandungan... err... intinya cairan itu beracun.."

Pilar-pilar es yang terbentuk di langit berubah kembali menjadi air, begitu pula dengan es yang menutupi tubuh Azraq.

"Kau akan mati..." Alvin menatap genangan air hujan yang kemerahan akibat darah Azraq yang mengalir keluar dari luka-lukanya yang terbuka, "Sebaiknya kita buat prosesnya cepat. Kilatih, bisa kau bantu aku?"

Kilatih mengangguk, gadis itu berjalan mendekati Azraq yang telah diposisikan paksa oleh Alvin menjadi seperti hampir bersujud, "Maafkan aku," gumam Kilatih. Ia mengangkat katananya setelah memastikan posisi agar tepat mengenai leher Azraq.

Kilatih memejamkan mata dan bersiap mengayunkan katananya. Namun, ia merasakan sakit luar biasa pada perutnya. Hal berikutnya yang ia ketahui, tubuhnya melayang terlempar sebelum akhirnya jatuh terseret di tanah.

Alvin berlari mengejar tubuh Kilatih, ia menjatuhkan dirinya dengan posisi sikut tepat di ulu hati gadis itu. Pria itu kembali berdiri, menjambak rambut kilatih dan menghadapkan wajah gadis itu dengan wajahnya,  lalu, ia menyunggingkan seyum, "Kau terlalu naif...  percaya pada musuh adalah hal terbodoh yang pernah kudengar.."

Alvin mengangkat tubuh Kilatih dan menendangnya dengan keras, gadis itu menahan tendangan Alvin dengan kedua tangannya. Walau pada akhirnya ia tetap terpental juga.

"Orang sepertimu... menggunakan cara licik untuk meraih kemenangan...  tidak akan kubiarkan!" Kilatih berlari dan menyerang Alvin. Sabetan katana gadis itu tertahan ketika mengenai sisik Alvin. Kilatih melompat, ia melayangkan tendangan kearah kepala musuhnya yang dapat digagalkan Alvin dengan menangkap kaki gadis itu.

Alvin meremas dan meremukkan tulang kaki Kilatih disertai teriakan gadis itu. Kemudian dengan mudahnya ia membanting tubuh Kilatih ke tanah.
Mengangkatnya lagi, dan melemparnya menabrak dinding gedung sekolah. Tubuh Kilatih merosot jatuh dan tidak bergerak lagi.

"Tinggal memastikan gadis itu tewas, dan mengalahkan peserta terakhir maka kemenangan akan menjadi milikku.." gumam Alvin. Tubuh Pria itu kembali menyusut, sisik-sisiknya berubah menjadi kulit manusia kembali, Sudah habis ternyata... Aku harus mencari tempat aman sampai dapat berubah kembali pikir Alvin.

Alvin berjalan menuju tubuh Kilatih, sampai ia merasakan ada yang menahan langkahnya. Pria itu melihat kebawah dan mendapati genangan air di bawah kakinya membeku dan menahan langkahnya. Ia menoleh cepat kearah Azraq yang terbaring sekarat dengan tangan kiri mengarah padanya.

"Belut ini masih hidup rupanya..." Alvin menarik lepas kakinya dengan mudah, ia mengambil tombaknya yang tergeletak tak jauh dari jasad Leon dan menusukkannya ke kepala Azraq, "Dua mati. Dan sekarang, yang ketiga-" Alvin menoleh ke tempat Kilatih berada sebelumnya. Namun, ia tidak menemukan tanda-tanda keberadaan gadis itu.

"Sudahlah, toh dia tidak bisa apa-apa lagi. Sekarang sebaiknya mencari tempat bersembunyi sampai aku dapat berubah wujud lagi."

Alvin berjalan keluar dari area kolam renang yang porak-poranda. Hujan yang sempat turun dengan deras telah berhenti, meninggalkan genangan air kemerahan di sekitar kolam renang.

***

"I-ini..." Shu terpana menatap pemandangan di bawahnya. Hvyt bersayap hitam besar yang membawanya terbang sama sekali tidak mengindahkan pemuda itu dan terus terbang melintasi gedung-gedung tinggi dan keramaian jalan di bawahnya.

"Ini Tokyo? Benar-benar Tokyo?"

Hvyt itu tetap diam. Begitu memasuki kawasan perumahan dan pertokoan, ia menurunkan ketinggian terbangnya dan akhirnya menurunkan Shu di depan bangunan yang sangat familiar bagi pemuda itu. ia kemudian mengangguk kecil kearah Shu sebelum kembali terbang dan menghilang ditelan kegelapan malam.

"A-aku bisa pulang?" pemuda itu berlari menuju pagar sekolah yang tertutup.
Namun, belum sempat ia mencapai gerbang, ia menabrak sesuatu dengan keras dan terjatuh.

Shu segera bangkit untuk melihat apa yang ia tabrak. Namun, tidak ada apa-apa di hadapan pemuda itu. Ia memutuskan untuk kembali berjalan dan saat itulah ia mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak tampak menghalangi jalannya.

"A-apa ini?" Shu tidak dapat melangkah lebih dari tempatnya berdiri sekarang. Ia bagai terhalang oleh sebuah tembok tak terlihat. Shu dengan frustasi memukul penghalang tersebut dengan sekuat tenaga, walau ia tidak merasakan sakit atau apa, tetap saja pukulannya  tertahan oleh penghalang tersebut.

"Sudah sampai disini padahal..." Shu memandang lurus kearah luar pagar.
Sampai, sebuah pikiran melintas dalam pikiran pemuda itu, Untuk apa aku pulang?

Benar juga... kalau aku pulang, apa yang dapat kulakukan?

Shu kembali berjalan menuju perpustakaan dengan langkah gontai. Ia menatap gedung sekolah yang terpisah dari gedung perpustakaan sebelum mengeluarkan kunci kecil dari dalam saku celananya dan membuka pintu perpustakaan tersebut. Sebagai salah seorang pengurus, ia memiliki hak memegang kunci duplikat perpustakaan yang membuatnya bebas mengakses tempat tersebut kapan saja.

Tangan pemuda itu meraba-raba dinding di dekat pintu masuk dan menekan saklar yang menyakan sebagian besar lampu di bangunan itu.

Shu menaiki tangga kelantai dua, ia berjalan melewati belasan rak buku dan menyelipkan dirinya diantara dua rak buku besar yang terdapat di ujung ruangan.

Dibalik kedua rak buku tersebut terdapat ruangan yang tidak terlalu luas dengan dua buah sofa dan meja kecil. Shu duduk di salah satu sofa tersebut dan menyenderkan kepalanya.

Shu teringat ketika ada rak buku baru datang, petugas pengiriman memindahkan salah satu rak buku besar untuk sementara agar memudahkan pemindahan barang. Sayangnya, mereka lupa untuk memindahkannya kembali, ditambah tidak ada yang menyadari hal tersebut dikarenakan sangat jarang ada orang yang berkunjung ke bagian ini, dan mengakibatkan terisolirnya tempat favorit pemuda itu.

Namun Shu merasa ini yang terbaik, ia biasa menghabiskan waktu di tempat itu sepulang sekolah. Terkadang, Haruna menemaninya. Walau itu sekedar membaca novel bersama, atau memberikan pendapat-pendapatnya mengenai naskah novel yang ditulis Shu.

Dengan punggung tangannya Shu mengelap air mata yang mulai menggenang. Ia bangkit dari tempatnya duduk dan mengambil salah satu novel tebal dari dalam rak paling ujung. Ia kemudian mengambil tumpukan kertas yang seharusnya berada di balik novel tersebut dan membersihkan debu yang menumpuk di bagian atas kertas tersebut yangmenampilkan dengan jelas tulisan


The Warmth of Your Smile


By: Noumi Shu


"Naskah pesanan Haruna..." gumam Shu. Ia teringat ketika gadis itu merengek padanya meminta ia menulis mengenai kehidupan seorang pemuda yang putus asa dengan hidupnya serta membenci orang-orang di sekitarnya berubah menjadi lebih baik setelah ia bertemu dengan seorang gadis yang selalu tersenyum padanya.

"Tidak perlu hadiah dan kata-kata... cukup sebuah penerimaan dan senyuman yang tulus..." Shu menggumamkan kata-kata itu bersamaan dengan terputarnya memori ketika Haruna mengucapkan itu kepadanya.

Ia membuka naskah tersebut dan membaca kembali isinya. Air mata mengalir turun di pipi pemuda itu dan jatuh membasahi kertas tersebut.

"Apa yang sudah kuperbuat padamu Haruna..." Semakin banyak air mata yang jatuh menetesi lembaran-lembaran kertas tersebut. Shu menutup naskah tersebut ketika ia menyelesaikan membaca ulang chapter 1 yang ia tulis.

BLAARR

Shu tersentak, suara ledakan mengalihkan perhatian pemuda itu. Ia melempar naskah tersebut ke lantai dan keluar melewati celah kecil diantara dua rak buku besar untuk menuju jendela dan melihat apa yang terjadi.

BLAARR

Suara ledakan kedua terdengar. Walau samar, Shu dapat mendengar suara deburan air, Kolam renang... pikirnya. Pemuda itu berlari menaiki tangga ke lantai tiga dan membuka kecil gorden yang menutupi salah satu jendela untuk mengintip keluar.

Jendela itu menghadap langsung ke kolam renang dan biasanya dipenuhi laki-laki di sekolahnya ketika sedang ada pelajaran renang untuk wanita. Sekolah mereka memisahkan jadwal pelajaran renang laki-laki dan wanita. Karena itulah, ada beberapa hari dalam setahun dimana perpustakaan yang biasanya selalu sepi dipenuhi oleh murid laki-laki.

Shu terbelalak, ia tidak dapat mempercayai apa yang ia lihat. Air di kolam renang berkumpul dan membentuk ombak tinggi dengan seorang pria berdiri di atasnya. Ia dapat melihat pria lain yang berdiri di depan ombak tersebut dan dua orang lainnya yang tampak bersembunyi dan hanya diam memperhatikan.

Shu menutup kembali gorden itu dan berlari kembali ke lantai 2, menyelipkan dirinya diantara dua rak buku besar dan meringkuk gemetar di pojok ruangan.

Tidak mungkin... ini tidak mungkin nyata...

Ia teringat kembali ketika pria berambut perak berkata dari atas balkon kastil bahwa mereka harus bertarung satu sama lain dan bertahan hidup.

Jadi ia benar-benar mengadu orang-orang satu sama lain? Dan turnamen pertarungan ini nyata?

Tubuh Shu gemetar semakin hebat, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak pernah memenangkan sebuah perkelahian sama sekali, Ia tidak tahu bagaimana cara berkelahi, dan lagi ia baru saja menyaksikan salah seorang lawannya menciptakan ombak raksasa yang sudah pasti dapat membunuhnya dalam sekejap mata.

Akan mendapatkan penghapusan dosa dan kelahiran kembali ke dunia

Kata-kata itu melintas dalam benak Shu, "Kelahiran kembali?" gumamnya.
Bukankah dengan begitu ia dapat menghidupkan kembali Haruna? Walau ia tidak yakin bahwa gadis itu telah meninggal. Tapi, Shu merasakan secercah harapan muncul dalam dirinya.

Walau demikian, pemuda itu harus kembali menerima kenyataan bahwa ia tidak memiliki kemampuan bertarung yang berarti sama saja membuatnya tidak memiliki kesempatan menang sama sekali.

"Haruna..." gumam Shu, pemuda itu kembali meneteskan air mata, "Aku.. ingin bertemu denganmu lagi.."

Shu memejamkan mata, ia dapat mendengar suara hujan yang turun dengan lebat di luar.

Ting...

Jantung Shu bagai berhenti berdetak. Walau samar dan tertutup suara hujan, ia dapat mendengar dentingan yang amat familiar baginya, bel yang ditaruh di atas pintu perpustakaan yang akan secara otomatis berbunyi ketika pintu itu dibuka.
Aku belum mengunci pintu perpustakaan lagi...

Gemetar Shu semaku bertambah hebat. Ia memegangi kepala dengan kedua tangannya ketakutan. Tapi, setelah beberapa saat pemuda itu tidak mendengar suara langkah kaki sama sekali.

Shu keluar dari tempat persembunyiannya dan dengan penasaran menengok ke lantai satu dari sela-sela pegangan anak tangga. Seorang gadis jatuh tertelungkup di depan pintu masuk perpustakaan. Shu berlari kearah gadis itu dan segera memeriksa keadaannya. Ia masih bernafas, hanya saja sebagian tubuhnya memar dan kaki kanan gadis itu tampak bengkok ke arah yang tidak wajar.

Shu membopong gadis itu, menaiki tangga, dan dengan susah payah memasukkannya ke ruangan dibalik elah diantara dua rak buku besar. Ia lalu membaringkan gadis itu di atas lantai.

A-apa yang kupikirkan? Dia pasti musuhku... dan aku punya kesempatan bagus mengalahkannya...

Meskipun berpikir demikian, pada akhirnya pemuda itu mengambil kotak first aid di bagian belakang perpustakaan beserta dua termos berisi air panas dan beberapa handuk kecil dari ruang perlengkapan.

***

Kilatih perlahan membuka matanya, hal terakhir yang ia ingat adalah Alvin tiba-tiba menyerangnya dan ia tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk membalas. Ia hampir terbunuh kalau saja pria itu tidak lengah dan mengalihkan perhatiannya sehingga ia dapat kabur.

"Sial... kenapa aku tidak curiga dari awal..."

Gadis itu berusaha bangkit dan mencoba duduk. Seluruh badannya terasa sakit dan ia menyadari kaki kanannya patah.

"Eh? Ini dimana?" perlu beberapa saat baginya untuk menyadari bahwa tempatnya sekarang berada berbeda dengan ketika ia pingsan.

"Hup-ah" gadis itu menoleh, ia mendapati seorang pemuda tengah bersusah payah berusaha melewati celah kecil diantara dua rak buku besar yang tampaknya berfungsi sebagai pintu ke tempatnya berada sekarang ini dengan begitu banyak barang di tangannya.

Setelah beberapa saat, pemuda itu berhasil masuk dan terkejut melihat Kilatih yang telah sadar sehingga menjatuhkan barang-barang yang ia bawa.

Kilatih menatap barang-barang yang pemuda itu bawa. Kotak obat yang langsung dikenali gadis itu karena jatuh dalam posisi terbuka dan menghamburkan beberapa isinya seperti perban, plester, dan botol-botol obat kecil, beberapa potong handuk putih, dan dua termos.

Gadis itu tersenyum kerah pemuda itu, "Kau yang menolongku?" tanyanya yang dibalas anggukan pemuda itu.

"Terima kasih banyak..." ujar gadis itu tanpa menghilangkan senyum di wajahnya.
Dengan kikuk, pemuda itu membuka salah satu botol termos dan membasahi salah satu handuk dengan air panas sebelum memberikannya pada kilatih seraya berujar pelan, "Memar... wajah..."

Kilatih mengambil handuk itu seraya kembali mengucapkan terima kasih. Ia menempelkannya pada memar di wajahnya, rasa nyeri digantikan oleh kehangatan yang terasa sangat nyaman bagi gadis itu.

"Oh, aku belum memperkenalkan diri, Kilatih, Altair Kilatih."

"Shu.. Noumi.." balas pemuda itu pelan ia menatap Kilatih yang sekarang menempelkan handuk panas tersebut ke perutnya, "Apa ada luka lain?" tanyanya lagi seraya mengangkat kotak first aid.

Gadis itu menggeleng, "Tidak apa-apa terima kasih. Ini sudah cukup. aku baik-baik saja."

Shu berjalan menuju meja kecil di belakang Kilatih dan mengeluarkan dua cangkir kecil serta daun teh dari dalam laci meja tersebut. Ia menuangkan daun teh kedalam dua cangkir tersebut lalu membuka termos lain dan mengisi kedua cangkir tersebut dengan air panas.

Pemuda itu menyodorkan secangkir teh panas kepada Kilatih yang menerimanya dan kembali mengucapkan terima kasih dengan senyum di wajahnya.

"Jadi.. Shu? Apa kau salah seorang petarung juga?"

Pemuda itu mengangguk.

"Kenapa kau menolongku?"

Hening, Kilatih menatap Shu yang tampak berpikir keras dan pada akhirnya pemuda itu berkata, "A-aku tidak tahu..."

Gadis itu terkikik, "Kau menolong musuhmu dan kau tidak tahu kenapa kau melakukannya?"

"Aku.. aku tidak tahu apa yang kuperbuat... jadi aku melakukan apa yang kubisa..."

Kilatih terdiam menatap pemuda di hadapannya, menolongnya yang merupakan musuh tanpa alasan. Padahal dia bisa menghabisi dirinya dengan mudah ketika ia pingsan tadi.

"Ja-jadi... kenapa kau bisa terluka begitu?" Shu bertanya tiba-tiba.

Kilatih menghela nafasnya, "Salah seorang petarung yang berkata ingin membentuk tim denganku untuk menghabisi peserta lain berkhianat pada akhirnya dan menyerang ketika aku lengah."

"O-oh.."

"Jangan khawatir, aku akan mengalahkannya begitu aku bertemu lagi dengannya."

"Ta-tapi.. kakimu..." Shu menatap kaki kanan Kilatih yang patah.

Gadis itu tertawa kecil, "Ini bukan apa-apa," ujarnya.

Kilatih menyesap teh yang pemuda itu buat dan seketika merasakan kehangatan menyebar ke sekujur tubuhnya, "Oh ya Shu, kau mengetahui tempat tersembunyi ini, bisa mendapatkan obat dan air panas, membuatkan teh, apa kau pemilik dunia ini?"

Shu mengangguk, "Aku bersekolah disini, dan ini tempat favoritku di perpustakaan."

Kilatih memperhatikan sekelilingnya, dua sofa, dua cangkir teh, "Kau sering di sini bersama temanmu?" tanya Kilatih lagi.

Shu tidak menjawab, Kilatih sendiri merasa pemuda itu tidak ingin membahas masa lalunya lebih jauh lagi. ia kemudian mengambil tumpukan kertas di dekatnya dan membukanya, "Oh.. ternyata ini huruf di  duniamu ya? kukira semacam kode untuk mematikan jebakan atau apa."

"Be-begitulah.."

Keduanya terdiam, Kilatih kembali menyesap tehnya dan Shu diam menatap kosong kearah langit-langit. entah bagaimana, ia merasa tenang dan nyaman dengan kondisinya saat ini. Sama seperti yang ia rasakan ketika ia berada di berdua di tempat ini dengan Haruna, mengobrol, minum teh, membaca bersama. Saat-saat diamana pemuda itu ingin menghentikan waktu dan menikmati ketenangan itu selamanya.

Tidak perlu hadiah dan kata-kata... cukup sebuah penerimaan dan senyuman yang tulus.

Dan Shu mengerti mengapa ia merasa tenang, ia mengerti mengapa sekarang ini ia tersenyum. Air mata kembali mengalir menuruni pipi pemuda itu yang langsung ia hapus dengan lengan bajunya, "Aku dulu sering mengahabiskan waktu dengan sahabatku di sini. Dia orang yang sangat baik. Sampai... aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.. aku akan memenangkan turnamen ini dan bertemu kembali dengannya."

Shu berbalik dan tersenyum kepada kearah Kilatih, "Terima kasih karena telah menyadarkanku akan sesuatu yang penting."

Kilatih terdiam, selama ia hidup, ia selalu menghabiskan waktunya untuk bertarung, tidak pernah sekalipun ia merasakan kebahagiaan seperti yang ia rasakan sekarang ini. kebahagiaan yang jauh melebihi ketika ia mengalahkan musuh-musuh terkuatnya sekalipun. Jadi, gadis itu menyunggingkan senyum paling indah yang dapat ia buat  dan berkata, "Akulah yang harus berterima kasih..."

PRANG!

Terdengar suara kaca yang pecah. Diikuti runtuhnya rak-rak buku yang menutupi tempat Shu dan Kilatih berada. Sesosok pria dengan slayer hitam yang menutupi bagian bawah wajahnya mengacungkan tombaknya kearah mereka berdua dan berkata, "Buruan telah ditemukan."

"ALVIN!" teriak Kilatih.

"Merindukanku manis?" balas Pria itu seraya melompat dan menyerang Kilatih dengan tombaknya yang berhasil gadis itu tahan menggunakan katananya.

"Oh, jadi ini peserta kelima? Oh halo, aku akan membunuhmu setelah urusanku dengan gadis ini selesai. Dan hei, bukankah sudah kubilang percaya pada musuhmu adalah hal terbodoh yang akan kau lakukan?"

"SHU! Aku akan menahan pria ini! kau serang dia!" teriak Kilatih.

Shu terdiam menatap Alvin yang masih berusaha menusukkan tombaknya pada Kilatih yang bersusah payah menahan serangan tersebut dengan katananya.
"Ta-tapi.. aku.. aku tidak bisa... aku tidak bisa bertarung..." ujar Shu pada akhirnya

Alvin tertawa keras, "KAU MEMILIH PRIA TIDAK BERGUNA YANG TIDAK DAPAT BERTARUNG INI SEBAGAI TEMANMU? GYAHAHAHAHAHAHAHA NASIBMU MEMANG BENAR-BENAR JELEK YA?"

Alvin mencabut pedang yang tersarung di pinggangnya dan menggoreskannya di wajah Kilatih. Dan langsung melompat mundur menjauhi gadis itu.

Jantung kilatih berdegup cepat. Ia menjatuhkan katananya dan ketika ia akan mengambilnya kembali, entah mengapa ia tidak dapat menggenggam dengan benar. Seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa kaku, nafasnya sesak, pandangannya berputar, "A-apa yang kau lakukan?" pekiknya.

Alvin kembali tertawa, pria itu menghela nafasnya dan seketika tubuhnya kembali membesar, menumbuhkan sisik-sisik keras kehitaman yang menggantikan kulit manusianya, "Racun terkuat yang pernah ditemukan dalam sejarah penelitian. Mampu membunuh seratus spesimen manusia hanya dalam waktu sepuluh detik setelah pemberian dosis lethalnya yang hanya satu tetes saja! bagaimana? Rasakanlah siksaan sebelum kematianmu."

Kilatih menoleh kearah Shu yang masih terdiam di tempatnya, gadis itu menyunggingkan senyum terakhirnya kearah pemuda itu dan berkata parau, "Hiduplah, Shu."

Alvin menginjak kepala Kilatih yang sudah tidak bergerak, ia kemudian menjambak kilatih dan mengangkat tubuh gadis itu, "Dan sekarang... sentuhan terakhir.." gumamnya.

"Tidak... tidak.. tidak... aku tidak mau ini terjadi lagi... tidak..."

BANGKIT! BERHENTI JADI MANUSIA LEMAH YANG CUMA BISA BERDIRI DI BELAKANG ORANG LAIN!

DEGGG

Jantung Shu berdegup kencang, suara itu kembali muncul dalam pikirannya.
Sementara itu, Alvin memposisikan cakar-cakarnya yang panjang dan tajam di leher Kilatih yang sudah tidak bergerak. lalu, dengan satu gerakan mulus, kepala gadis itu terpisah dari tubuhnya.

"TIDAAAKKK!!!!!!" Shu berteriak.

"Aku.. aku... kehilangan Haruna untuk yang kedua kalinya..."

Shu duduk menatap kosong kearah tubuh Kilatih, sementara Alvin berjalan kearahnya.

***

"TIDAK ADA KEDAMAIAN YANG DIPEROLEH SECARA CUMA-CUMA! JIKA KAU INGIN KEDAMAIAN, BERTARUNGLAH UNTUK MEMPEROLEHNYA!"

Alvin meraung dan menerjang Shu. Menahan tubuh pemuda itu di lantai namun tidak menyerangnya lebih dari itu.

"Kau.. manusia sepertimu... tidak pantas hidup.. KAU TIDAK PANTAS HIDUP!" Shu berteriak, dan Alvin tertawa lepas.

"DAN APA YANG SAMPAH SEPERTIMU DAPAT LAKUKAN? SADARLAH! KAU ITU BUKAN APA-APA!"

Shu memandang Alvin dengan penuh kebencian. Suara dalam pikirannya menjadi semakin jelas.

TUNJUKKAN HASRAT TERBESARMU! TUNJUKKAN APA YANG INGIN KAU REBUT DARI MUSUHMU! BUAT MEREKA KEHILANGAN SEGALA-GALANYA!

"Aku akan membunuhmu... membalaskan dendam Haruna, Kilatih, dan jiwa-jiwa lain yang telah kau bunuh. Kau tidak pantas hidup lebih jauh lagi... KAU AKAN KEHILANGAN NYAWAMU DAN PEMBUNUHAN-PEMBUNUHAN YANG KAU LAKUKAN AKAN BERAKHIR SAMPAI DI SINI!"

Tiba-tiba, Alvin ambruk, perlahan tubuh pria itu mulai menyusut kembali ke wujud manusianya. Meninggalkan Shu yang menatap ngeri dan mengacak-acak rambutnya seperti orang gila, "Tidak.. apa.. apa yang telah kulakukan.." pemuda itu menatap kedua telapak tangannya, nafasnya memburu tidak beraturan. Tak berapa lama kemudian, seorang Hvyt datang dan membawanya pergi.

____

8 comments:

  1. Ugh. Rasanya aneh baca tulisan ini, Lin.
    Opening scenenya agak tiba"....meski belakangan saya ngerti itu sekedar glimpse sebelum kita dianter sampe ke actual scene-nya. Tapi yang bikin saya geleng" adalah porsi karakter lain selain Shu sebelum dia akhirnya muncul. Shu sendiri jadi berasa bukan karakter utama buat saya, dan...saya tau sih mungkin kemampuan Shu tipe OHKO, tapi kurang buildup dan pergolakan batinnya (yang saya kira mau ditekenin di cerita ini). Saya malah ga ngerti di akhir kenapa Alvin ambruk gitu aja

    6/10

    ReplyDelete
  2. Bingung baca bagian pertama, nggak mulus jadi kurang.
    Si Shu kurang diceritakan, jadi seperti bukan karakter utama.
    Last part apa lagi, Alvin mendadak gubrak. Tapi masih bisa dibaca.

    7/10

    ReplyDelete
  3. Lin, kamu agak buru2 ya? karena mepet deadline?
    Sama kayak pertanyaan dua orang diatas.
    Itu si Alvin kenapa tiba-tiba ambruk? kehabisan darah? #oilain

    +7

    ReplyDelete
  4. Sampai sini sudah dicatat

    ReplyDelete
  5. Whoaaa, battle Leon vs Azraq-nya itu epic.
    :D
    Sepertinya charsheet Leon yg gaje itu dibaca ampe kelar ya. Ampe diangkat isu tentang Fia pula sebagai penyelamat, kereeeen. :D
    Sepanjang cerita, karakterisasi tiap karakternya digali dengan dalam. Tapi sayang sekali, karena pada awalnya ane malah berpikir kalo karakter utamanya adalah si Azraq. Abisnya porsi Shu sendiri amat sangat kurang di story ini.
    Mungkin penulis coba menonjolkan sisi konflik batin dari Shu sendiri dibanding dengan perseteruan fisik antar entrant, tapi konklusi di bagian endingnya malah bikin pembaca bertanya-tanya..... itu si Alvin mokad karena apa? "Dihilangkan" begitu saja sama kemampuannya Shu kah?
    O.o

    Mungkin ini subyektif, tapi nilai dari ane adalah 8/10
    :D

    ReplyDelete
  6. Noumi ini seperti karakter sampingan karena sebagian besar cerita dipakai untuk pertarungan Leon dan Azraq. Endingnya kurang pas karena serangan Noumi yang agak pasif.
    Battlenya sudah bagus, saya kasih 7,5/10

    ReplyDelete
  7. Uwoh, Umi kira, Umi doang yang bingung kenapa Alvinnya mati. Jadi? Kenapa Alvinnya mati Lin?

    Btw, untuk deadliner menuju 15 menit sebelum deadline, ini jago. Typo dikit, narasi bagus, karakterisasi juga oke. Cuma sayang fokus si Shu-nya dikit. cuma diakhir pas dia ketemu Kilatih sama Alvin doang. sebentar banget pula.

    Umi kasih 8/10 ya buat ceritanya :*

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -