[Round 1-H] Quin Sigra El-Fathin
"Kau Ingin Menyerah Kalah?"
Written by Shin Elqi
---
Angin yang bergerak dinamis
Berpadulah dengan tubuh rapuh ini
Sinergikan kecepatan, keanggunan, dan kehalusanmu
Air yang mengalir jernih
Sembuhkan lah setiap luka terbuka, bimbinglah setiap sel tubuhku menuju keabadian
Sinar mentari yang bersinar terang
Bantulah diriku dengan energimu, curahkan semua partikel terkecilmu
Pepohonan mengakar tanah, dedaunan yang hijau, rerumputan yang tak patah diinjak, serta tanah tempat kehidupan bersandar
Terimalah tubuh dan jiwaku, biarkan diriku menyatu bersamamu, dalam detik waktu yang terbagi dalam fragmen matriks sehingga dapat melebur abadi di antara ribuan partikel listrik
Terimalah keutuhan diriku menjadi sekutumu...
~
Quin membuka matanya perlahan setelah menyelesaikan puisinya. Aktifitas untuk menenangkan jiwa yang didapat dari mendiang istrinya. Wajahnya yang tanpa topeng, diterpa sinar matahari yang menyelinap dari celah dedaunan. Membuatnya tampak seperti tokoh utama dalam lukisan berlatar hutan fantasi.
"Siapa dia?" ujarnya pelan, serupa bisikan angin pada rembulan yang kesepian.
Setelah dia merencanakan kematiannya sendiri, dengan menipu kakeknya, Quin merasa takut dan malu bertemu Istri dan Ibunya, terutama Bibinya yang mewanti-wanti agar dirinya tidak mati muda. Tetapi saat itu, Quin hanya punya satu tujuan, yaitu membunuh orang yang telah membunuh pamannya. Perasaan itu begitu kuat melebihi apapun. Lagi pula dia sendirian di bumi, semua orang yang dicintainya telah lama pergi. Meninggalkan rasa sakit dan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Ketika rohnya telah lepas dari tubuhnya yang tak sempurna lagi, dia melihat makhluk tinggi besar berkulit merah dengan sayap hitam. Makhluk yang kemudian diketahuinya bernama Hvyt itu membawanya ke dunia yang berlangit merah dengan awan hitam. Jelas itu bukan dunia di mana keluarganya berada.
Setelah diturunkan di sebuah daratan dengan pohon aneh, dengan berbagai macam makhluk yang beraneka rupa, Quin diam seperti patung. Namun telinga dan matanya yang tidak tertutup topeng bekerja, menyerap informasi apa pun yang didengar dan dilihatnya.
Sebagian makhluk di hadapannya tampak kebingungan. Ada beberapa yang berkumpul dua-tiga orang membicarakan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka, ada pula yang diam gelisah. Beberapa makhluk berkulit merah dengan penampilan sedikit berbeda dari Hvyt yang membawanya, tampak berjaga di setiap sudut. Menjaga dirinya dan mereka yang dibawa paksa berada dalam satu lingkup.
Ada pula makhluk mirip Hvyt terbang ke sana ke mari, seperti sedang menyiapkan acara yang sangat besar. Lalu mata Quin menoleh ke salah satu arah, dia melihat seorang gadis kecil berada di luar lingkup penjagaan. Gadis itu berambut sebahu dengan mata tajam dan kulit pucat. Ada pita berwarna biru di atas poninya yang hitam. Saat mata tajam itu bertemu dengan tatapan Quin. Detak jantung Quin seakan berhenti beberapa detik. Ada sesuatu yang terpancar jelas dari mata tajam itu. Ketika Quin ingin memperhatikan lebih jauh, gadis kecil itu berbalik dan pergi.
~~~
Setelah menunggu beberapa lama, Hvyt mulai membawa satu persatu makhluk di hadapan Quin, termasuk dirinya. Mereka di bawah ke salah satu halaman kastil. Di salah satu balkon Quin melihat makhluk lain yang tak serupa Hvyt meski mempunyai warna kulit yang sama. Merah.
Setelah semua makhluk yang dibawa Hvyt dibariskan dengan paksa, makhluk yang berada di balkon tadi mulai bicara. Quin mendengarkan semua yang dikatakannya dengan baik, tetapi bukan hanya itu. Sebelum makhluk itu berbicara dengan lantang, Quin mendengar percakapannya dengan Hvyt yang tadi menghampirinya.
Nona Abby, Jagatha Vadhi, dan Yang Terpilih.
Setelah makhluk yang dari kata-katanya pastilah seorang dewa selesai, Quin mencari gadis bermata tajam tadi di antara barisan, namun dirinya tidak menemukannya. Dari hal itu dia berkesimpulan bahwa gadis kecil bermata tajam tadi pastilah Nona Abby yang dibicarakan tadi.
~~~
"Siapa dia dan kenapa dia di biarkan begitu saja?" Quin mengulangi pertanyaan itu dengan suaranya yang sulit dibedakan apakah milik laki-laki atau perempuan.
Setelah angin menggoyangkan rambutnya yang halus berkilau, dirinya sadar. Dia harus membunuh empat musuhnya, itu yang diinginkan Si Dewa. Saling membunuh untuk menghibur Si Dewa yang sedang bosan.
Quin tidak merasakan apa-apa saat dirinya harus membunuh lagi. Orang-orang yang dibunuhnya saat masih hidup adalah orang-orang yang jahat. Mereka seperti sesuatu yang menghambat dan merusak keteraturan yang sudah disepakati bersama. Juga beberapa orang yang telah membunuh keluarganya. Jika sekarang harus membunuh lagi, Quin akan melakukan. Toh, sekarang hal itu bukan benar-benar membunuh. Saat musuhnya nanti tergeletak dengan kepala lepas dari musuhnya, Si Dewa bisa membangkitkannya kembali. Ini seperti game yang pernah dibelikan Bibinya saat dirinya bosan. Quin jadi sedikit memahami kebosanan Si Dewa.
Bersamaan dengan angin yang kembali menggoyangkan rambutnya, Quin mulai memasang topengnya. Setelah terpasang sempurna, dia memejamkan mata. Berusaha mendengar suara-suara di hutan yang tak dikenalinya itu.
Ada bermacam-macam suara yang terdengar. Sebagian suara itu, Quin tidak mengenalinya. Dirinya tidak pernah mendengarnya saat di bumi. Jelaslah ini bukan di bumi, tetapi di tempat orang bernama Petra Arcadia tinggal. Beberapa suara hewan dan pohon cukup identik dengan yang ada di bumi. Lalu ada satu suara yang membuat kepalanya menoleh. Suara itu adalah suara langkah kaki seorang gadis. Jaraknya tidak begitu jauh. Quin langsung membuka mata dan melesat ke asal suara.
~~~
Lulu menghentikan langkahnya. Dia merasakan ada sesuatu yang mendekat, sangat cepat. Bukan dari arah belakang atau depan yang memperlihatkan jalan tanah dengan lapisan tipis debu. Jalan yang lebarnya bisa dilewati dua gerobak sekaligus dan kedua sisinya ditumbuhi pohon besar yang cukup rapat.
Lulu mengeluarkan belati dan tonfanya saat sesuatu itu sudah berada di tepi hutan. Sesaat kemudian sesuatu hitam melesat keluar dari baik pohon dan berdiri di tengah jalan, tepat sepuluh meter di depan Lulu.
Melihat dari postur tubuh yang cukup kecil dan langsing, serta kulit tangan dan lehernya yang kuning, ditambah rambut hitam sebahu yang bergoyang indah. Lulu bisa menebak orang di hadapannya adalah Quin Sigra, salah satu musuh yang harus dibunuhnya.
Lulu berpikir orang yang berdiri di depannya adalah perempuan berdada paling rata yang pernah ditemuinya. Dengan memakai jas tak dikancing dan kemeja hitam dengan dasi putih, serta celana panjang hitam membuat penampilannya sedikit maskulin. Lulu berpikir Quin sengaja berpakaian seperti itu agar dikira sebagai pria, tetapi dia tak bisa menyembunyikan tubuhnya yang rupawan itu.
Lulu menurutkan pisau dan tonfanya. Berharap bisa mengusulkan kerja sama dengan perempuan itu, karena dirinya merasa tidak mampu mengalahkan tiga pria yang dari namanya saja sudah tampak kuat. Tetapi dia kembali menyiapkan senjatanya saat melihat Quin merubah gelang hitam di tangan kiri menjadi sebuah pedang.
Quin berlari menyerang, begitu juga Lulu. Mereka berdua menambah kecepatan saat makin dekat dengan satu sama lain. Suara pedang dan tonfa beradu dua-tiga kali sebelum berhenti dan saling menekan. Lulu yang memegang belati di tangan kiri segera menusukkannya ke arah perut Quin, namun musuhnya yang bertopeng itu menghentikannya dengan tangan kanan.
Pergelangan tangan kiri Lulu terasa sakit karena dicengkeram kuat oleh Quin, sementara tangan kanannya mulai tak kuat menahan tekanan dari pedang Quin.
Ketika Lulu melihat kesempatan untuk menyerang, dia memutar belatinya dengan jari untuk melukai tangan kanan Quin, tetapi gagal, musuhnya itu segera melepaskan cengkeraman pada tangan Lulu dan tanpa diduga, telapak tangan musuhnya itu mendarat di wajah Lulu. Lulu meloncat mundur dengan rasa sakit di wajah bagian depan. Tudung jaketnya pun jatuh ke punggung, tak lagi menutupi rambutnya.
"Kurang ajar kau!" Berang Lulu. "Berani sekali kau mendaratkan tangan kotormu di wajahku?"
Wajah marah Lulu mengucapkan untaian kata yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri. Di akhir kata-kata itu dia mengucapkan dua kata, "Timed Blade," lalu dia berlari sekencang mungkin ke arah Quin.
Ayunan pertama dari tonfanya berhasil dihindari Quin dan meninggalkan jejak putih di udara. Lulu tidak berhenti, dia terus mengejar Quin dengan tebasan-tebasan tonfa yang membekas putih di udara.
Quin terus menghindar ke samping dan belakang. Saat Lulu kembali menebas dan Quin berhasil menghindar ke kiri. Lulu dengan cepat mengambil belatinya dan menusukkannya ke arah Quin. Lagi-lagi Quin menangkap tangannya. Lulu tidak berhenti, dia membiarkan tangan kirinya tertangkap, tetapi tangan kanannya kembali menebas.
Bersamaan dengan bunyi tonfa yang beradu dengan pedang, Lulu menggunakan kaki kanannya untuk menendang perut Quin.
Tubuh Quin terhempas ke belakang dan mengenai bekas tebasan tonfa Lulu yang masih statis di udara. Tubuh yang terbalut pakaian hitam itu langsung terpotong menjadi lima bagian sebelum jatuh ke tanah.
"Itulah akibatnya jika berani kurang ajar pada seorang Tuan Putri," ujar Lulu dengan senyum kemenangan di bibirnya. Namun senyum itu tidak bertahan lama dan digantikan oleh kerutan di dahi.
Dari bagian tubuh Quin yang terpotong, tidak muncul darah, melainkan asap hitam. Asap itu perlahan mengikis potongan tubuh Quin hingga akhirnya tak tersisa sama sekali, hanya asap hitam yang mengambang di udara dan perlahan menghilang.
Lulu segera berbalik karena merasakan sesuatu di belakangnya. Dari balik pohon muncul Quin dengan pakaian rapi, seperti pertama dia muncul tadi. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, pedangnya telah berubah kembali menjadi gelang hitam.
"Apa kabar tuan putri, perkenalkan nama saya Quin Sigra."
"Tampaknya kau sudah tidak lagi meremehkan diriku," ujar Lulu berusaha tampak kuat, padahal dia merasa sedikit takut. Dia benar-benar melihat tubuh Quin terpotong tadi, tetapi sekarang tubuh itu utuh di depannya. Makhluk macam apa Quin ini?
"Tunggu dulu, apakah kau benar-benar tuan putri?" Terselip nada ejekan di suaranya.
"Apa maksudmu?" bentak Lulu marah.
Quin menggelengkan kepala. "Kau lebih mirip budak yang tak tahu diri, yang tiap hari mengemis-ngemis minta makan pada majikannya."
Seketika kemarahan Lulu meledak. Mulutnya komat-kamit dan setelah mengatakan dua kata dia melesat ke arah Quin.
"Sekarang kau tidak bisa menghindari ini berengsek!"
Satu tebasan dilanjarkan, namun Quin masih bisa menghindarinya. Lulu kembali menyerang, dia hanya bisa bertahan 10 detik dalam kecepatan itu. Beberapa kali dia berusaha menebas tubuh Quin, tetapi tetap saja gagal. Musuhnya itu begitu cepat dan lihai menghindar. Karena waktunya semakin memipis, Lulu kembali menggunakan belatinya.
Satu sabetan tonga dilanjutkan tusukan belati dalam gerakan sangat cepat, berhasil dihindari Quin dengan menggunakan pedang yang tiba-tiba berubah wujud dan berada di tangan kiri Quin. Namun Lulu kembali menarik tonfa dan belatinya, tanpa membuang waktu dia kembali menyerang Quin bertubi-tubi, lebih ke arah membabi buta. Sehingga membuat Quin terdesak ke arah salah satu pohon.
Lulu mundur kebelakang karena waktunya sudah habis, sementara mata Quin yang terlihat dari lubang topeng tampak tersenyum. Mata itu tadi tak lepas dari rambut dan ujung pakaian Lulu yang bergerak saat menyerang. Gerakan rambut dan ujung pakaian Lulu, tak beda jauh dengan dengan tadi, ketika serangan pertama yang tebasan tongfanya membekas di udara.
Sekejap Quin langsung lompat ke dalam hutan dan berlari di antara pepohonan.
Lulu ingin mengejar Quin dan membunuh manusia pengecut itu, tetapi dia harus mengambil nafas dan dirinya tahu tidak akan bisa mengejar kecepatan Quin.
Saat Lulu melihat ke belatinya, dia melihat sedikit darah di ujungnya. Apakah dirinya berhasil? Lulu segera memeriksa sekujur tubuhnya dan tak ada yang terluka. Kalau begitu dia tadi seharusnya berusaha mengejar perempuan berengsek itu. Lulu sangat yakin akan bisa mengalahkannya.
Lulu kembali siaga saat merasakan sesuatu mendekat dari arah pepohonan di dekatnya, dan saat dia melihat apa itu, Lulu tersenyum mengejek. Itu adalah Quin, dia kembali. Pada bagian lengan kanan bawah jas Quin terdapat robekan, bekas belati Lulu. Hanya bekas robekan, tak ada bekas darah. Apakah itu luka kecil? Tanya Lulu dalam hati. Sebelum dirinya berspekulasi lebih jauh, Quin segera melesat kembali ke hutan.
"Tunggu pengecut!" Bentak Lulu seraya mengejar.
"Kau heran kenapa aku bisa mengimbangi kecepatanmu, budak?" ujar Quin, suaranya terdengar datar. Punggungnya semakin jauh dari mata Lulu.
Lulu berlari sekencang mungkin untuk mengejar Quin. "Kau benar-benar ingin mati rupanya!" wajahnya semakin memerah, bukan karena malu, tetapi amarah.
"Aku lahir dari klan Zahralas, keluarga bangsawan yang mempunyai kecepatan kilat. Sementara kau, kaum rendahan yang berlagak sebagai tuan putri."
Lulu memegang erat tonga dan belatinya. Mulutnya komat-kamit tanpa henti. Sementara Quin semakin jauh berlari di depannya, melewati pepohonan dengan daun jarang sehingga sinar mentari bisa masuk.
"Cronos Craddle," ujar Lulu dan bersamaan dengan itu dedaunan yang diterpa angin berhenti bergerak. Semut yang berjalan di salah satu sudut tanah terdiam. Nyamuk yang melayang seperti dia mengantung kaku di udara. Namun Lulu masih tetap berlari, dia mendekati tubuh Quin yang kaku bersama alan di sekitarnya.
Saat Lulu sudah mencapai Quin, dia sedikit melompat dan menebas tubuh Quin dengan tongfanya sehingga tubuh bertopeng itu terbelah dua. Ketika Lulu mendarat di depan Quin dengan melipat lutut, alam kembali bergerak seperti sedia kala dan tak ada bekas telah berhenti selama 2 detik.
Lulu berdiri tegak dan berbalik untuk melihat tubuh musuhnya yang terbelah menjadi dua. Dia berniat mengembangkan senyum kemenangan di bibirnya, tetapi sepertinya itu harus ditahan dulu, karena tubuh Quin yang terpotong kembali mengeluarkan asap hitam.
Sebelum Lulu sadar dari keterkejutannya, beberapa benang mengarah pada dirinya. Beruntung, sebelum benang-benang itu mengenai tubuhnya Lulu segera menghindar. Tetapi karena terlalu banyaknya benang, serta pergerakannya yang terhalang oleh batang pohon-pohon besar, Lulu hanya dia di tempatnya dan berusaha memotong benang-benang itu dengan tonfa dan belati di tangannya.
Namun percuma. Benang-benang yang berusaha menjamah tubuhnya terlalu banyak, Lulu tidak bisa memotong semuanya. Dia kemudian meloncat ke atas untuk menghindar, sayangnya, di atas sudah ada rajutan benang yang seperti jaring dan mengarah ke bawah. Lulu terlambat mengetahui hal itu dan dia tak bisa menghindar lagi. Saat tubuhnya sudah terperangkap jaring benang itu, benang-benang di bawahnya ikut menjeratnya. Dalam waktu singkat, tubuh Lulu sudah terjerat ratusan benang.
Tubuh lulu tergantung vertikal di atas udara. Benang-benang yang mengikat kuat tubuhnya, yang mengunci setiap gerakannya, terjulur ke setiap penjuru hutan. Lulu dapat melihat paku tertancap di setiap pohon. Kepala paku itu berlubang dan dilalui oleh benang. Lulu kemudian sadar, dirinya telah masuk jebakan.
"Aku akan menjelaskannya," kata Quin membuat Lulu menoleh ke arah asal suara.
Quin kemudian muncul dari balik pohon dengan kedua tangan dipenuhi benang-benang yang ditarik kencang dan menjulur ke segala arah. Quin sudah tak lagi memakai jasnya, hanya kemeja hitam dengan lengan kanan yang dipotong pendek. Dasi putih yang menghias di leher sudah dijadikan perban pada luka di pergelangan tangan kananya. Menutupi bekas sayatan belati Lulu.
"Orang pertama yang kau lawan adalah bayanganku," Quin berbicara lagi. "Saat bayanganku kalah dan menghilang, ingatan dan pengalamannya terkirim padaku, seperti aku mengalaminya sendiri. Saat itu aku tahu amarahmu mudah sekali terpancing."
Lulu bergerak-gerak berusaha melepaskan diri, tetapi jalinan benang-benang yang banyak itu benar-benar mengunci tubuhnya. Bahkan dia tak bisa menggerakkan belati yang masih berada di tangan kirinya, atau tongfa di tangan kanannya.
"Orang kedua yang kau lawan adalah aku dan kau berhasil menggores pergelangan tanganku. Tetapi berkat itu aku tahu, kau tidak menambah kecepatan saat serangan kedua, tetapi memanipulasi waktu dengan mantra yang kau ucapankan."
"Dari mana kau tahu?" Akhirnya Lulu berbicara dengan nada kesal yang terdengar jelas.
"Saat kau merapal mantra pertama dan menyerang, tebasan tonfamu tertinggal di udara. Lalu mantra kedua, kau bergerak lebih cepat tapi gerakan rambut dan ujung pakaianmu hampir sama dengan serangan pertama. Dengan kedua hal itu aku bisa menarik kesimpulan bahwa pada serangan kedua, kau tidak menjadi lebih cepat, tetapi kau memanipulasi waktu. Dengan kata lain, kau memiliki waktu lebih panjang dari orientasi waktuku."
Lulu kembali berusaha melepaskan diri, tetapi sia-sia belaka. Benang-benang itu terasa semakin terbenam pada tubuhnya ketika dia bergerak.
"Setelah mengetahui kemampuanmu itu, aku berspekulasi kau juga bisa menghentikan waktu," Quin memindahkan jalinan benang-benang di tangan kirinya ke tangan kanan. "Selanjutnya, aku masuk ke hutan dan menciptakan bayanganku. Sementara aku mengatur jebakan ini, bayangkanku memprovokasimu dan membuatmu mengejarnya sampai ke titik eksekusi jebakan berada."
Mata Lulu menyiratkan kebencian yang mendalam, lalu bibirnya komat-kamit. Namun segera berhenti ketika lima benang langsung membungkam mulutnya. Benang-benang itu tepat berada di antara bibirnya dan menariknya ke belakang. Rasa perih dan basah terasa di sudut bibir dan pipinya.
Saat Quin memundurkan kaki kirinya yang terjalin beberapa benang, tekatan benang di mulut Lulu semakin kuat. "Kau ingin menyerah kalah?" tanya Quin seraya memajukan kaki kirinya agar Lulu bisa bicara.
"MATI SAJA KAU, BEDEBAH!"
"Jawaban yang salah."
Quin merubah gelang hitam di tangan kirinya menjadi pedang, lalu melemparnya ke arah Lulu. Pedang itu menusuk tepat ke jantung Lulu dan menembus hingga ke punggung. Bilah tajam keperakan itu mengalirkan darah merah segar.
Lulu batuk darah, perlahan kepalanya menunduk dan matanya mulai kehilangan sinar. Lulu meninggal untuk kedua kalinya.
Quin melonggarkan benang-benang dan perlahan menurunkan tubuh Lulu. Dia mendekat dan mencabut pedangnya dari tubuh Lulu yang sudah terbaring di tanah. Lalu menebas benang-benang di tubuh Lulu hingga bersih. Setelah itu dia mengendong tubuh Lulu yang lemas ke salah satu pohon di mana benang yang mirip jaring laba-laba berada. Quin menidurkan tubuh Lulu di sana dan menutup mata gadis itu yang setengah terpejam.
Quin berdiri, tetapi dia jongkok lagi. Perlahan dia melepaskan jaket merah muda Lulu dan menggunakannya untuk menutupi wajah dan badan gadis itu.
"Semoga Hvyt cepat menjemputmu," katanya lalu turun dan berlari di antara pepohonan.
Ketika dirinya terkena belati Lulu, dia mendengar pertarungan lain di arah utara1 Ke sana lah kakinya melangkah.
Quin mengelupaskan Yury saat dia semakin mendekati dua orang yang bertarung. Dia juga merasakan ada orang kain yang mendekati dari arah sebaliknya.
Quin meloncat dari pepohonan dan mendarat di tanah berumput yang luas. Di kejauhan dia dia melihat seseorang yang juga baru sampai di dataran berumput itu. Lalu di tengah agak ke samping, dirinya melihat dua orang yang tampak sedang menghentikan pertarungan mereka.
Salah satu orang yang menghentikan pertarungan itu memegang dua pedang di kedua tangannya. Kedua pedang itu memancarkan dua warna berbeda, biru dan merah. Sementara orang satunya lagi yang berambut gondrong, tampak tidak memegang apa-apa, tetapi ditangannya terlihat sesuatu yang aneh. Seperti senjata yang tak terlihat. Mereka berdua diam seperti patung, menunggu.
Quin kembali ke orang yang jauh di depan sana. Orang itu memiliki ciri khusus. Di kepalanya tumbuh tanduk kecil. Entah seperti ada jalinan yang samar, saat Quin mengangguk orang itu ikut mengangguk. Saat Quin berlari ke samping, meninggalkan dua orang yang bertarung tadi, orang bertanduk itu juga ikut berlari.
Mereka terus berlari hingga merasa cukup jauh dan dua orang yang sedang bertarung tadi. Tiupan angin yang menggoyang dedaunan di belakang Quin, terdengar bergemuruh, seperti hendak mencabut akar pepohonan yang kokoh.
Setelah suara angin itu perlahan menghilang, Quin berbicara dengan suara kaku.
"Quin," tangan kirinya direntangkan ke depan dan gelang hitamnya langsung berubah menjadi pedang. "Yury."
Orang bertanduk itu diam sebentar, berpikir lawannya adalah seorang perempuan. "Zack," sebuah tombak berwarna ungu tiba-tiba muncul di tangannya. "Amethyst Lance."
Tiupan angin selanjutnya, mereka berdua sepakat sebagai tanda pertarungan dimulai.
Quin berlari ke arah Zach dengan kecepatan normal. Pedang di tangan kirinya sudah siap untuk ditebaskan. Sementara itu Zach masih berdiri diam. Saat Quin semakin mendekat, Zach memadatkan udara untuk menghalangi Quin.
Tubuh Quin membentur padatan udara itu dan berhenti. Dia merentangkan tangan kanannya ke depan, lalu menebas layer udara itu dengan pedangnya. Lalu Quin berlari lari ke depan. Saat Zach sudah berada pada jangkaunya, satu tebasan dilancarkan.
Zach menghindar dengan mudah dan langsung menusukkan tombaknya. Tombak berwarna keunguan itu mengarah ke tubuh Quin. Zach sangat yakin akan mengenainya, karena pertahanan Quin terbuka saat manusia bertopeng itu mengayunkan pedangnya. Namun ketika ujung tombak Zach hampir menyentuh tubuh Quin. Manusia bertopeng itu menghilang. Lebih tepatnya menghindar dengan cepat.
Dari kemampuan Zach yang didapatnya saat diburu manusia. Dia dapat merasakan pergerakan Quin yang sangat cepat. Musuhnya tadi menghindar dengan melompat ke samping, lalu terdengar beberapa lompatan lagi dan berakhir di belakangnya.
Zach berbalik dengan gerakan cepat dan menggunakan tombaknya untuk menahan tebasan pedang Quin yang menyerang dari belakang. Suara dentingan senjata terdengar, seperti singa yang saling mengaung saat bertarung. Saling membentak satu sama lain.
Quin mundur ke belakang. Dia memutar-mutar Yury dengan tangan kirinya menembus udara, menimbulkan bunyi yang elegan.
Sementara Zach diam, mulai mengobservasi musuhnya. Hasil yang didapatnya adalah musuhnya mempunyai kecepatan yang hampir sama dengan dirinya, serta tipe petarung yang mengandalkan kecepatan dan ketepatan serangan. Zach mulai berpikir untuk memotong tangan kiri Quin, mungkin dengan begitu kemampuan Quin akan berkurang setengahnya.
Zach bersiap, karena Quin sudah mulai menyerang lagi. Sekarang Quin benar-benar sangat cepat sehingga Zach sangat sulit memperkirakan arah serangan. Demi melindungi diri Zach membentuk layer udara tipis rangkap di sekitarnya. Saat Quin menebas layer pertama, Zach menggunakan kesempatan itu untuk meloncat. Meski pun begitu, satu tebasan pedang Quin masih bisa menjangkaunya. Untungnya hanya mengiris sedikit kulit kakinya.
Zach terus naik ke hinga Quin tidak bisa menjangkaunya. Dia berdiri di atas udara yang sudah dipadatkan. Saat angin mengebus rambut tipisnya, dia berpikir bisa mengalahkan Quin.
Zach menyiapkan tongkatnya dan dengan berpijak pada udara yang sudah dipadatkanya dia melompat cepat ke atas. Ke arah udara lain yang sudah dipadatkan. Kaki Zach tidak menjejak pada layer udara di atas, tetapi di bawahnya. Dia melompat ke bawah sehingga gerakan turunnya semakin cepat. Tombaknya dia arahkan pada Quin.
Seperti yang sudah diduga Zach, Quin menghindar ke samping dan mengayunkan Yury. Zach cepat menggunakan tombaknya untuk dijadikan perisai dan saat kakinya sudah menyentuh tanah, tangan kiri Zach menciptakan tombak berbentuk plasma petir keunguan dan diarahkan ke tubuh Quin.
Manusia bertopeng itu segera melompat ke atas untuk menghindar dan membiarkan pedangnya yang terlepas dari tangan terpental ke belakang.
Bagi Zach itu seperti sebuah kesempatan. Dia segera melempar tombak plasma petirnya ke arah Quin, namun berhasil dihindari. Zach segera membentuk plasma petir lain dan melemparnya ke udara, menuju tubuh Quin. Dia melempar tiga tombak plasma sekaligus dan dia tak tinggal diam. Dia membentuk udara padat di sekitar Quin sehingga orang bertopeng itu tak bisa menghindar lagi. Tombak pertama dan kedua, mungkin bisa dihindari, tetapi tombak ke tiga dan empat berhasil mengenai tubuh Quin.
Quin jatuh di tanah tepat di atas pedangnya. Tubuhnya sedikit kejang-kejang sebelum diam kaku.
Zach mengatur nafas sebelum melangkah ke tubuh Quin yang masih tertelungkup. Dia berdiri tepat di samping tubuh Quin, lalu mengangkat tombaknya yang sesekali terlihat aliran listrik keunguan. Dia hujamkan tombak itu pada punggung Quin di titik di mana jantung berada.
Namun tiba-tiba saja Quin berbalik dan mengayunkan pedangnya. Zach segera melompat ke atas untung menghindar, walaupun begitu dia terkena sayatan pada bagian dadanya. Luka itu tidak vital, hanya berbentuk goresan memanjang di dada.
Zach heran. Tombak plasmanya harusnya dapat melumpuhkan gerakan manusia. Dan tak segera bangun seperti Quin. Apakah serangan itu tidak terpengaruh pada Quin?
Tidak, jika tak terpengaruh seharusnya Quin langsung bangun saat jatuh. Apakah Quin pura-pura?
Saat melihat Quin mulai bersiap bertarung, Zach juga bersiap. Tipe petarung seperti Quin, yang mengandalkan kecepatan dan serangan langsung hanya bisa dikalahkan dengan satu cara, yaitu menghentikannya dan membunuhnya saat itu juga. Jangan biarkan dia bergerak bebas.
Zach melakukan hal yang sama seperti tadi. Melompat ke atas lalu ke bawah. Tetapi sekarang saat dia meluncur cepat pada Quin dia menciptakan layer di sekitar tubuh Quin. Saat sudah semakin dekat dia mulai menciptakan tombak plasma.
Quin berhasil menghindar dari tombak Amethyst dengan cara membelokkannya ke samping memakai Yury, namun dia tidak bisa menghindar tombak plasma Zach yang kembali mengenai tubuhnya.
Tubuh Quin langsung roboh dan kelang-kejang, sementara Zach meloncat ke atas dan kembali berdiri di udara menyaksikan hal itu. Beberapa saat kemudian Quin bangkit dan mengambil pedangnya. Dia atas Zach merasa senang, meski tak nampak di wajahnya.
Zach mengarahkan tombak Amethyst-nya ke atas, lalu dari ujungnya mulai terbentuk bola kecil keunguan. Kemudian dia kembali melihat ke bawah, ke arah Quin yang diam mematung.
Zach turun ke bawah dan menapak di tanah, meninggalkan bola keunguannya yang semakin membesar. Sesekali aliran listrik terlihat di bola itu.
Quin menyerang lagi, Zach menahannyanya dengan tombaknya. Setelah lima-enam tebasan pedang Quin berhasil ditahan, Zach mulai memadatkan udara di sekitar tubuh Quin. Dia juga langsung melempar dua tombak plasma ke arah manusia bertopeng itu.
Satu tombak berhasil dihindari, tetapi satunya lagi berhasil mengenai tubuh Quin. Zach tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, selagi Quin dalam keadaan lumpuh, dia melompat ke atas, ke arah bolanya yang sudah sebesar bola sepak. Dengan kekuatan penuh Zach memukul bola keunguan itu dengan tombaknya ke arah bawah.
Satu ledakan listrik tercipta saat tombaknya menyentuh bola, tetapi hal itu tidak mempengaruhi laju bola yang menuju ke arah tubuh Quin. Saat bola itu menyentuh punggung Quin, sebuah ledakan terjadi. Ledakan itu menciptakan bola keunguan yang lebih besar, berdiameter dua puluh meter dan dari setiap sudut bola muncul petir-petir yang menghanguskan apa saja yang dilaluinya.
Bola keunguan itu perlahan menghilang dan menyisakan asap sebuah ledakan. Zach masih berdiri di atas udara, merasa berhasil mengalahkan satu musuh yang sedikit merepotkan. Tetapi dia masih menunggu asap itu menghilang sebelum merayakan kemenangannya.
Perlahan asap ledakan itu terbawa angin dan memperlihatkan sebuah lubang raksasa di tanah. Di salah satu sudut lubang tergeletak sebuah topeng putih yang terpecah menjadi beberapa bagian. Saat asap benar-benar menghilang, sesosok tubuh tergeletak di tengah lubang. Sosok itu adalah Quin.
Zach turun ke bawah, ke tepi lubang. Dia melihat tubuh Quin tergeletak dengan muka menghadap ke bawah, memperlihatkan punggungnya yang sudah tak berbaju lagi. Punggung itu bersinar oleh keringat dan terlihat sangat mulus.
Zach merasa heran. Orang yang seperti Quin, yang mengandalkan kecepatan dan akurasi serangan tidak akan mempunyai pertahanan tubuh yang kuat. Tubuh seperti itu biasanya dimiliki oleh orang-orang yang tak punya kecepatan. Melihat punggung Quin yang tak tergores sedikit pun setelah menerima Bola Petir Ungu, membuatnya benar-benar merasa heran. Apakah Quin memiliki kekuatan setara Dewa?
Demi menghilangkan rasa penasarannya, Zach menciptakan dua cakram tipis berwarna ungu dan melemparnya pada tubuh Quin yang masih tak bergerak. Sementara itu, tanpa disadari Zach seseorang mendekatinya dari belakang dengan sebuah pedang.
Saat Zach sadar, semuanya sudah terlambat. Tebasan pedang orang di belakangnya berhasil mengenai lengan kiri Zach, lengang itu terpotong dan jatuh ke tanah. Zach pun tidak tinggal diam, dia membalas serangan itu dengan menghujamkan tongkatnya ke tubuh penyerangnya.
Setelah itu, Zach mundur dan memegangi tangan kirinya yang terpotong tepat sebelum pangkal lengannya. Sementara tombaknya telah tertusuk ke dada penyerangnya.
Wajah Zach menyiratkan keterkejutan, meski samar saat dia melihat penyerangnya. Orang itu adalah Quin dengan topeng yang utuh, serta kemeja hitam yang tak terlihat tercabik sama sekali. Dari dada yang tertusuk tombak itu, terlihat asap keluar dan perlahan menyebar keseluruh tubuh Quin hingga tubuh itu tak tersisa. Hanya asap hitam yang kemudian menghilang di udara.
Zach segera melihat ke tubuh Quin yang berada di tengah lubang. Tubuh itu sudah berdiri tegak dengan memunggunginya. Kemeja di punggungnya sudah benar-benar tidak ada, hanya tersisa sedikit lengannya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Zach segera melangkah mengambil tombaknya, lalu dengan itu dia merobek jaketnya sendiri dan menjadikannya sebagai perban luka pada tangannya yang terpotong. Setelah itu matanya melihat ke arah Quin. Bersiap menghadapi yang terburuk.
"Sekarang, kau ingin menyerah?" tanya Quin seraya menolehkan kepala ke samping, memperlihatkan separuh wajah cantiknya. Dengan baju berlubang dan kulit yang bersinar karena keringat, menambah pesonanya. "Kau ingin menyerah, Zach?"
"Tidak akan," Zach mundur satu langkah. Dia benar-benar merasa bukan berhadapan dengan manusia, tetapi dewa. Benarkah?
Zach melihat Quin melepas kain terakhir di bajunya. Sehingga Zach dapat melihat punggung Quin yang benar-benar mulus dan bersinar oleh keringat.
"Kau ingin memakai cara yang menjijikkan sekarang?" tanya Zach. Dia mundur satu langkah ke belakang, seraya mempertimbangkan untuk menggunakan Charm magic pada Quin.
Angin kembali berhembus, meniup rambut hitam Quin yang berkilau diterpa sinar matahari. Lalu dia membalikkan tubuh, membuat mata Zach melebar.
Dia benar-benar tidak normal, kata Zach dalam hati. Pada wajah, Quin terlihat cantik dengan bibir sedikit tebal dan berwarna merah, matanya terlihat sangat cantik. Namun ketika melihat ke arah dada, dada itu rata, seperti milik seorang pria. Dan Zach yakin dirinya tadi salah mengira Quin sebagai seorang perempuan.
Dilihat dari dada dan bentuk pinggulnya yang rata, Quin adalah seorang laki-laki, dengan kulit dan wajah perempuan. Apa sebenarnya yang dilakukan Quin pada masa hidupnya?
"Kau ingin menyerah kalah?" Tanya Quin membuat Zach kembali melihat mata Quin.
"Apa maksudmu?"
"Sikapmu terlihat cerdas dan kau membuat pertahanan dengan memadatkan udara saat aku menyerangmu untuk pertama kali. Orang yang tak menggunakan otaknya akan melakukan hal yang sama sepertiku, menyerang langsung. Sementara kau membuat pertahanan dari padatan udara itu untuk mengetahui bentuk dari seranganku," Quin memasukan kedua tangannya ke saku celana setelah merubah Yury ke bentuk gelang. "Sebab itulah ketika melihatmu menyerangku langsung dari atas hanya dengan tombak, aku sudah memperkirakan kau mempersiapkan serangan selain tombak."
"Jadi, kau sengaja tidak segera menghindar dari seranganku?"
"Kalau aku menghindarinya terlalu cepat, kau tidak akan mengeluarkan tombak plasma ungumu itu."
"Apa kau sudah tahu bahwa tombak plasmaku mempunyai efek melumpuhkan?"
"Tidak, aku pikir saat terkena serangan itu diriku sudah tamat. Namun ketika rasanya seperti tersambar petir, aku pikir diriku bisa berpura-pura lumpuh. Dengan memperlihatkan efek kelumpuhan yang hanya beberapa detik, akan membuatmu kembali mencoba melumpuhkanku dan segera menghabisiku ketika dalam keadaan lumpuh sesaat itu. Itulah cara paling tepat untuk mengalahkan musuh yang mengandalkan kecepatan dengan kemampuanmu."
Zach mengingat luka gores di dadanya yang sudah tak sakit lagi, karena sekarang rasa sakit itu sudah berpindah pada lengan kirinya. Dia merasa telah masuk jebakan musuhnya itu. Akibat kecerobohannya, dirinya kehilangan tangan kirinya. Sekarang dirinya dalam keadaan tidak menguntungkan, apalagi tubuhnya sudah mulai lelah. Melihat musuhnya yang mempunyai kemampuan dewa, punya kecepatan sekaligus tubuh yang kuat, membuat Zach mempertimbangkan untuk menyerah kalah. Dengan begitu dia tak perlu mati.
"Kau akan menyerah Zach?"
Suara ledakan terdengar dari kejauhan, arah dua petarung yang tadi Zach tinggalkan. Sepertinya pertarungan mereka sudah mendekati akhir, begitu juga di sini. Zach membuka mulutnya, ingin menyerah kalah, namun dia kemudian teringat dengan kata-kata Si Dewa saat di balkon tadi.
"Satu hal, jangan membuatku merasa bosan."
Jika Zach menyerah kalah, tanpa berusaha untuk bertarung lagi, itu akan sangat membosankan. Toh nanti kalau dirinya mati, Dewa itu bisa membangkitkannya kembali. Melihat tangan kanan Quin yang terbalut kain putih dengan noda merah, Zach yakin wajah cantik itu sudah membunuh satu peserta. Artinya jika dia kalah, bukan dirinya yang berada di urutan terbawah dan mendapatkan siska yang pedih dari Dewa.
"Simpan pertanyaan bodoh itu," kata Zach lalu berlari untuk menyerang Quin.
Zach berharap kematiannya cepat dan tak menyakitkan, tidak seperti yang pernah dia alami. Tetapi orang yang dianggap akan membunuhnya malah lari ke dalam hutan.
Zach mengejarnya dan merasa ada keganjilan. Pendapatnya tentang Quin yang memiliki kemampuan dewa perlahan memudar. Tetapi dia tetap saja tidak menemukan alasan logis kenapa Quin lari.
Zach terus mengejar Quin ke dalam hutan, tetapi karena Quin berlari lebih cepat, terlebih tubuh Zach yang sedang terluka, membuatnya kehilangan jejak. Zach berhenti, melihat ke sekelilingnya yang penuh dengan batang pepohonan. Telinganya yang runcing bergerak-gerak merekam setiap suara.
Berapa menit kemudian dia mendengar suatu mendekat dari sampingnya. Zach bersiap-siap, lalu Quin muncul dengan menusukkan pedang ke arahnya. Zach menggunakan tombaknya yang lebih panjang untuk menusuk tangan Quin terlebih dahulu. Ujung tombak itu berhasil mengenai jemari Quin yang memegang pedang dan terus menusuk pergelangan tangan kanan itu.
Zach merasakan tombaknya tidak seperti menusuk sesuatu, padahal ujung itu sudah sampai ke siku tangan Quin. Lalu Zach sadar, itu hanya bayangan, yang asli sedang mendekat sekarang.
Zach segera menoleh ke belakang dan benar saja, ada Quin yang melompat dan menebaskan pedangnya. Zach memadatkan udara untuk menghentikan serangan Quin, lalu melemparkan beberapa cakram keunguan. Cakram-cakram itu berhasil mengenai tubuh Quin dan memotongnya menjadi beberapa bagian.
Zach kemudian merasakan dadanya ditebas oleh sesuatu. Zach kembali menoleh ke bayangan Quin, tetapi dia lalu sadar. Quin yang pertama menyerang bukanlah bayangan, tetapi Quin yang asli.
Zach jatuh terlentang. Dia masih bisa melihat tubuh Quin yang terpoto oleh cakramnya berubah menjadi asap hitam. Sementara Quin di depannya sudah tak punya tangan kanan lagi. Tangan itu telah hancur seluruhnya, beberapa bagiannya, seperti daging dan tulang melekat di tombak Zach. Quin mengorbankan tangan kanannya untuk menebas Zach.
"A-aku..." kata Zach berusaha bicara. "Aku be-benar."
"Iya, tubuhku sangat lemah, konsekuensi dari kecepatanku.
"Ta-tapi, kenapa...."
"Aku membodohimu. Saat kau menciptakan bola itu, aku menciptakan bayanganku, sementara diriku yang asli bersembunyi di hutan. Artinya, kau melumpuhkan bayanganku dan mengalahkannya dengan bola ungumu. Skenario itu akan membuatku tampak seperti mempunyai tubuh yang sangat kuat, yang mustahil dimiliki orang yang mempunyai kecepatan luar biasa."
"Ja-jadi, be-begitu...."
"Ya, aku mencoba menekanmu dengan hal itu, mencoba membuatmu menyerah agar aku masih mempunyai tenaga untuk pertarungan selanjutnya. Tetapi rencanaku tidak berhasil." Quin mengalirkan listrik ke pedangnya, membuat pedang itu bersinar dengan tarian listrik. Lalu menempelkannya pada luka di pangkal lengannya. Perlahan darah berhenti dari luka itu.
Zach tidak sempat melihat hal itu, karena matanya telah terpejam. Dia telah meninggal.
Quin menghentikan aliran listrik pada Yury, lalu berjalan ke dalam hutan. Beberapa saat kemudian dia mendengar aliran sungai. Quin berlari kecil ke sana dan dia juga merasakan ada orang lain di belakangnya. Tidak mengejarnya, hanya mengikutinya.
Setelah dia keluar dari hutan, Quin menancapkan pedangnya di salah satu pohon, lalu melangkah mendekati sungai. Dia duduk di tepi dan membasuh wajahnya dengan tangan kiri. Setelah itu dia menyandarkan punggungnya di salah satu batu yang sangat besar di tepi sungai. Kakinya dia biarkan lurus dan tangan kirinya dia biarkan tenggelam setinggi pergelangan tangan. Mata Quin melihat ke utara, ke arah air sungai di samping kirinya tertuju.
Tidak hampir satu menit, orang yang mengikuti Quin tadi muncul. Pakaian orang itu sudah kusut, bahkan rambut panjangnya yang diikat ekor kuda, sebagian sudah lepas dari ikatan. Dia menatap Quin dengan dua pedang yang masih berada di tangan.
"Kalau ingin membunuhku, silahkan saja," kata Quin datar, matanya masih mengikuti aliran sungai.
"Aku tidak akan membunuh orang yang tak bersenjata."
"Ingat, ini adalah pertarungan orang-orang gila. Selagi ada kesempatan, cepat bunuh aku."
Orang itu terdiam. Lalu menyarungkan kedua pedangnya. "Jika kau sudah tahu akan kalah, kenapa kau tidak menyerah saja. Dengan begitu, aku tidak perlu membunuhmu."
"Dan membuatku menjadi yang terbawah."
"Apa maksudmu?"
Quin menolehkan kepala. "Si Dewa yang mengumpulkan kita ingin kita saling bunuh untuk menghiburnya, dia juga mengatakan jangan membuatnya bosan. Dari dua hal itu aku berkesimpulan, pertarungan ini bukan hanya untuk mencari siapa pemenangnya, tetapi juga siapa yang paling membosankan di antara kita," Quin kembali menolehkan kepala ke arah aliran sungai. "Orang yang menempati urutan terbawah yang akan disiksa sampai lenyap, adalah orang yang paling membosankan. Jika aku menyerah, mengatakan kalah dengan mulutku sendiri, aku akan menjadi orang terbawah itu," itu sebabnya tadi aku menyudutkan dua musuhku, mencoba menempatkan mereka pada urutan terbawah untuk mengamankan urutanku. "Cepat bunuh aku selagi ada kesempatan."
"Jika menyerah itu membosankan, membunuhmu tanpa berlawanan pun sama membosankannya. Lagi pula, aku ingin melihat duniaku lebih lama lagi."
Petra Arcadia, itukah namamu?
"Aku akan menunggumu sampai kau siap bertarung lagi," Petra menyarungkan kedua pedangnya, lalu melangkah mendekati sungai.
"Aku akan melakukan cara apa pun untuk menang," kata Quin membuat Petra itu berhenti melangkah. "Bunuh aku sekarang, selagi ada kesempatan."
Petra diam, menganalisa serangan apa yang akan dilancarkan Quin. Lalu dirinya melihat Yury, pedang Quin tertancap di salah satu pohon dengan noda merah darah. "Aku akan menunggumu," kata Petra lalu berjalan agak jauh dari Quin seraya mendekati sungai.
"Aku sudah memberikan kesempatan dan memperingatkanmu."
Petra tidak menggubris kata-kata Quin, dia tetap melangkah ke sungai. Dirinya berpikir Quin yang masih dalam keadaan lemah, apalagi salah satu tangannya telah terpotong, tidak akan bisa menyerangnya. Jikalau pun bisa, dirinya bisa mengantisipasi hal itu.
Sementara itu, Quin yang duduk bersandar pada bebatuan, dengan tangan bergerak lembut diterpa aliran sungai, menyunggingkan senyum kecil di bibirnya. Matanya tak lepas dari Petra yang mengambil air untuk membasuh muka.
Saat Petra hendak mengambil air kedua, dia terpental ke udara dan jatuh ke belakang. Tangannya tersengat aliran listrik. Kepalanya berdenyut sakit sementara matanya berkunang-kunang. Lalu dia melihat sosok Quin telah berdiri di atasnya.
"Aku sudah memberi kesempatan dan memperingatkanmu," kata Quin, lalu menusukkan pedangnya ke dada Petra, namun tak berhasil menembus baju musuhnya itu.
Quin kembali mengangkat pedangnya, kali ini tarian listrik kembali terlihat pada pedang itu. Kembali Quin menusukkan pedangnya dengan kekuatan dan kecepatan penuh. Pedang itu masuk ke dada Petra dan berhasil mengenai jantungnya.
Perlahan mata Petra kehilangan sinarnya, mati. Sementara Quin, saat pedangnya telah kembali menjadi gelang, dia jatuh ke samping. Dalam kesadarannya yang hampir hilang, dia melihat sosok Hvyt mendekat. Sebelum kaki telanjang berwarna merah itu mendarat di sampingnya, mata Quin telah terpejam. Pingsan.
~~~
Good story, simple dan aku suka dengan sosok quin disini. Jadi, aku kasih nilai 8/10
ReplyDeleteTercatat
DeleteMoi kasih 7 deh. O ho ho hon.
ReplyDeleteAnulir~ capek deh~
DeleteTulis ulang ~cape deh~
DeleteOpeningnya cukup nge-hook buat moi, narasinya lancar, tapi sayang it's simply meet and fight with thin story. So, 7.
Bahasa puisinya bagus wew.
ReplyDeletePertarunganya juga lumayan..
tapi saya ngga terlalu dapat tensi pertarungan yang cukup "Sadis" ini.
Maaf sebelumnya, mungkin saya salah, tapi buat saya ini agak terlalu menceritakan... >> Pergelangan tangan kiri Lulu terasa sakit karena dicengkeram kuat oleh Quin, sementara tangan kanannya mulai tak kuat menahan tekanan dari pedang Quin.
Ketika Lulu melihat kesempatan untuk menyerang, dia memutar belatinya dengan jari untuk melukai tangan kanan Quin, tetapi gagal, musuhnya itu segera melepaskan cengkeraman pada tangan Lulu dan tanpa diduga, telapak tangan musuhnya itu mendarat di wajah Lulu. Lulu meloncat mundur dengan rasa sakit di wajah bagian depan. Tudung jaketnya pun jatuh ke punggung, tak lagi menutupi rambutnya.
Masih ada typo, tapi gapapa deh.
Anyway
7,5 ya~
Tercatat
DeleteLajur dalam cerita ini terlalu terburu-buru dan diberondong. seperti dimana satu pharagraph habis bunuh lulu, 1 pharagraph gak nyante (berangkat ke tempat lain) 1 pharagraph lainnya langsung battle lagi saran saya sih coba setelah selesai baca lagi...
ReplyDeleteIni cerita adalah cerita yang dapat saya golongkan dalam kisah Overtell, Majas-majas bahasa indonesia itu bagus, saya gak pungkiri. tetapi pemakaian majas itu harus tahu tempatnya, jangan hampir setiap pharagraph ada, ini akan membuat pembaca susah mencari inti Pharagraf dan juga inti kalimat.
Mengenai aksi dan strategi dalam ceritamu, saya bilang sebenarnya bagus tetapi memakai dialog untuk menceritakannya itu terlalu basi dan gak realistis, ada baiknya untuk selanjutnya Quin bisa menjelaskan strateginya tanpa harus dialog, bisa seperti saat strateginya sedang berlangsung, atau pun menggunakan "suara pikiran"
Akhir kata, Saya gak bakal memberikan nilai ke kamu, karena pertama kamu adalah lawan dalam blok saya, seandainya kamu bener-bener mau tahu saya kalau kasih nilai berapa, (JANGAN DIHITUNG YAH PANITIA.) nilai kamu tertera pada setiap huruf pertama dalam paragraf-paragraf komentar ini.
------------------
Terus berjuang!
Nicely said sir...
Delete*clapping hands*
Uuh, silakan benci saya. Tapi saya kurang suka battle macem gini - yang begitu ketemu hajar, apalagi sempet-sempetnya ngejelasin soal kemampuan sendiri ke lawan. Dan entah mungkin saya yang skip atau apa, tapi ga ada Primo ya di cerita ini?
ReplyDelete5/10
Aduh, mohon maaf saia melakukan fast read di story ini....
ReplyDeleteDan itu tentu datang bukan tanpa alasan. Pace yang terlalu cepat, serta penjelasan ini itu di tengah pertarungan itu... entah ya, jadi serasa baca komik Narto Safrudin?
terutama di bagian ini :
Quin menolehkan kepala. "Si Dewa yang mengumpulkan kita ingin kita saling bunuh untuk menghiburnya, dia juga mengatakan jangan membuatnya bosan. Dari dua hal itu aku berkesimpulan, pertarungan ini bukan hanya untuk mencari siapa pemenangnya, tetapi juga siapa yang paling membosankan di antara kita," Quin kembali menolehkan kepala ke arah aliran sungai. "Orang yang menempati urutan terbawah yang akan disiksa sampai lenyap, adalah orang yang paling membosankan. Jika aku menyerah, mengatakan kalah dengan mulutku sendiri, aku akan menjadi orang terbawah itu," itu sebabnya tadi aku menyudutkan dua musuhku, mencoba menempatkan mereka pada urutan terbawah untuk mengamankan urutanku. "Cepat bunuh aku selagi ada kesempatan."
jadi... ng....
+6 aja ya... maaf.
._.
Tercatat
Deletepace terlalu cepat.........
ReplyDeletegak nikmat bacanya ._.
7/10
Tercatat
DeleteIni ... sulit buat saya untuk menikmati narasinya. Oke, kamu sudah punya skenario. Koreografi pertempurannya pun mungkin sudah mantap. Tapi yang jadi masalah adalah bagaimana menggarap skenario dan koreografi itu agar menjadi tulisan yang menarik. Tidak hambar.
ReplyDeleteMenurut saya, yang kurang adalah bumbunya.
Banyak yang bisa digarap untuk membuat cerita ini lebih baik lagi. Misal, coba untuk tidak membuat paragraf-paragraf narasi itu hanya seperti kumpulan kalimat berita saja. Ibaratnya, gaya bicara seorang komentator bola akan lebih menarik daripada pembaca berita dalam membawakan suatu acara.
Masih banyak saran yang bisa saya berikan, sebenarnya. Tapi kebanyakan sudah terangkum di komentar-komentar kritik yang lain.
Oh iya, mana si Primo? Kok nggak kelihatan di cerita ini?
Untuk saat ini, saya hanya bisa memberikan poin 3.5.
Yang paling penting, ayo terus menulis dan terus menulis. Dan juga perbanyaklah membaca dan belajar dari yang lain. Saya yakin, pasti itu akan jadi latihan yang baik untukmu. Jangan patah semangat~
Tercatat
DeleteSelesai baca dan saya bingung...
ReplyDeletePrimo-nya mana? O_O
Oke, mungkin muncul sedikit, tapi itu cuma dideskripsikan sebagai ‘dua orang yang sedang bertarung’ dalam satu paragraf. Terus udah, gak ada cerita lanjutannya. Lalu, seperti yang sudah dikomentarkan sama yang lain, saat Quin menjelaskan skill-nya sama lawan, benar-benar... nggak natural. Mungkin lebih baik jika diselipkan dalam narasi saja dan bukan lewat kalimat langsung, karena yang ingin diberi tahu sebenarnya adalah pembaca >_<)/
Saya suka dua pertarungan awal (pertarungan Zach vs Quin itu… benar-benar intens, uwooohhh!), strateginya oke walapun emang lebih baik nggak dijelaskan kayak hadiah sebelum mati gitu.
Terus terus pertarungan yang terakhir itu menurutku kurang logis. Entah kenapa rasanya janggal banget kalau Petra yang punya kemampuan bertarung dan insting yang hebat langsung mati begitu saja hanya karena tidak mau melawan orang yang terluka.
Oke, sekian dari saya ( >_<)7
Nilai: 6/10
Naer~
Tercatat
Delete- apa gunanya Abby di awal cerita?
ReplyDelete- Narasinya panjang-panjang banget. bikin umi skip pas baca
- Alasan itu penting!! kenapa Quin penasaran banget sama Abby, kenapa Quin bisa tahu kalau dunia yang ditempatinya adalah dunia-nya Petra? kenapa Lulu bisa tahu itu Quin, darimana? kenapa mereka saling nyerang? masa tiba-tiba ujug-ujug mereka langsung saling serang?
- aksinya bener-bener narasi dan entah kenapa narasinya enggak bikin umi ngerasa penasaran. *orz.
- Typo : Zack
- PRIMO dimana??????? tokoh lain, si bisa langsung dikenali tanpa intro, kenapa Primo enggak?
- daripada bilang "Zach telah meninggal", mending " tubuh pria itu melemah, detak jantungnyapun melambat. Matanya terpejam perlahan seiring dengan jiwa yang meninggalkannya. tubuhnya membeku dingin. Tak akan ada lagi sorot mata amethyst itu. Tak akan pernah."
- tahu enggak? umi ngerasa sayang, karena sebenarnya umi suka sama Quin. tapi... dialog ga pada tempatnya dan Battle yang sangat-sangat sunyi itu ga seru. *setidaknya bagi umi. Pas battle umi serasa ngeliat mereka berantem, lompat sana, lompat sini, tapi ga ada suaranya. ga tahu apa yang mereka rasakan atau apa pikiran mereka.
Karena ga ada bagian yang umi favoritin. Maaf, umi kasih 4 untuk tulisan ini.
Tercatat
Deletepertama, saya sebenarnya suka dengan gaya penulisan seperti ini.. bagus dalam menjelaskan apa yang terjadi.. tapi karena terlalu menjelaskan, bagi saya cerita ini terkesan malah "menceritakan" (over-telling).. pas adegan battle, terasa kayak ngebaca berita di koran. ^_^ terasa senyap gitu, gak ada dag dig dug atau rasa penasaran dari saya dengan apa yg tejadi/akan terjadi dalam battle... (padahal inti dari BOR adalah pada battle)
ReplyDeletedan, bagian tokoh yang malah ngomong ngebahas kemampuan itu bagi saya gak natural banget.. serasa nonton anime shounen genre action yg mainstream... :)
jadi,
-----
6,5
-----
Tercatat
Deletekirain kelewat baca, ternyata emang g ada primo ya kak? apa primo udh dbunuh petra? x3
ReplyDeletetrus quin lumayan imba jg sih krn terkesan gampang ngebantai 3 peserta, lumayan baik jg krn mau ngejelasin jurusnya ke lawanya, pdhl lawan bs pake kesempatan itu buat nyerang balik lho :)
strateginya ok sih kak, meskipun aksinya g menegangkan
nilai 7,7/10 :)
Tercatat
Delete