Ranjang empuk berhiaskan kelambu sutra.
Mba Irwin, si perempuan berambut pelangi, mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia memandang nmanar sekelilingnya. Sesekali ia menggelengkan kepala, mencoba mengambil kesadaran yang masih mengawang. Tapi usahanya tidak berbuah banyak. Suasana serba merah yang dilihatnya justru menimbulkan kegamangan.
"Ini di mana?"
Ranjang empuk bernodakan darah.
Mba Irwin tidak mengerti mengapa ada noda darah di seprai dekat pinggangnya. Ia beringsut ringan tapi seketika itu pula ia merasakan nyeri di perutnya. Ia mengangkat bajunya. Sebuah tulisan "THURQK" terpapar jelas di perutnya. Darah merah masih mengalir dari bekas luka tersebut.
Seketika itu juga kesadaran Mba terpanggil. Ia memeriksa sekujur tubuhnya, sesekali mengaduh kesakitan karena luka bakar di beberapa lokasi tubuhnya.
"Jadi... itu bukan mimpi..." bisik Mba saat mengingat kembali beberapa kejadian sebelumnya. Ia masih mengingat bertemu dengan Azraq, Lulu dan Tommy. Begitu juga dengan dewa merah yang memberi luka bakar di tubuhnya.
Ranjang empuk bertahtakan berlian.
Ia melihat sebuah lukisan besar dengan wajah yang sudah dikenalinya. Si dewa merah bertanduk dua. Thurqk. Nama yang harus dilafalkan lembut di 'Th' dan keras di 'Qk'. Garis-garis hitam dari mata sang dewa seolah membangun kesan menangis, walau saat diperhatikan, justru mempertegas kesan galak di mukanya.
Setelah mengenali lukisan, barulah Mba kembali memandang sekeliling. Ia sadar berada di ruangan seluas 10 x 10 meter. Luas. Lampu gantung yang bercahaya temaram membuatnya merasa nyaman berada di ruangan ini. Belum lagi aroma kamar yang harum bak semerbak bunga mawar. Mebel yang berada di sekelilingnya cukup mewah. Sebut saja sofa pualam berukir tanduk kerbau di masing-masing sisi. Mewah, tapi mungkin tidak masuk selera Mba. Ia tidak mengerti bagaimana orang bisa bersantai di atas sofa mewah lagi keras itu.
Begitu rona kesadaran Mba sudah utuh, ia kembali pada pertanyaan dasar:
"Mengapa aku ada di sini?"
"Pertanyaan itu akan dijawab nanti."
Mba terkesiap mendengar suara lembut tak jauh darinya. Ia mendapati seorang wanita dengan rambut jabrik persis sapu ijuk berdiri tak jauh dari pintu. Tinggi, wanita itu tinggi, yang pasti Mba akan tenggelam bila beradu tinggi. Dandanannya serba hitam, Tatapan matanya dingin dan kosong. Sayap hitam di punggungnya sesekali berkepak, entah karena apa. Sayap ini sudah cukup untuk menyematkan definisi "Malaikat" pada wanita ini –terlepas dari dandanannya yang serba hitam .
"Namaku Hyvt," ujar si 'malaikat' dalam nada datar dan dingin.
Mba tercenung. Yang ia tahu Hyvt adalah malaikat pria bersayap hitam. Tapi mungkin saja ada yang berjenis kelamin perempuan pula.
"Kau dipanggil oleh Yang Maha Kuasa Thurqk," ujar Hyvt seraya melemparkan sebuah gaun hitam ke samping Mba.
"Maaf... maksudnya... aku harus datang dengan baju ini?" tunjuk Mba. Ia mulai merasa risih melihat bentuk gaun itu – dan jelas berharap gaun itu bukan jenis yang dihindarinya.
Sang malaikat mengangguk pendek. Mba berdeguk sebelum mengangkat gaun hitam. Ia mengerenyitkan alis saat memperhatikan gaun itu. "Maaf boleh ditukar? Yang ini terlalu..." Mba tidak melanjutkan kata-katanya dan hanya memberi pandangan lurus ke dadanya.
Sang malaikat menggeleng sekali. Mba ingin kembali bertanya tapi sebelum satu huruf sempat terujar, Hyvt sudah terlebih dahulu menggeleng. Jadilah Mba menunduk lesu.
***
Mba berjalan agak kikuk di tengah lorong merah yang panjang. Gaun yang dikenakannya membuat perempuan ini risih. Ia tidak pernah mengenakan celana yang memiliki belahan sampai ke paha. Celana pendek di sampai betis saja tidak pernah. Akibatnya ia sesekali menarik gaun itu untuk menutupi kulit.
Yang makin membuatnya risih adalah tereksposnya belahan dada-nya. Demi Dewata, ia sendiri belum pernah menunjukkannya pada sang suami. Tambah lagi, sepatu hak tinggi. Benda yang konon membuat kaki wanita lebih lancip dan elegan ini sama sekali tak pernah disentuh Mba. Dan postulat dunia bahwa sesuatu yang perawan digunakan dapat berakhir rawan memang terbukti. Seperti saat ini, perempuan berambut pelangi itu berjalan agak melenggok layaknya pemabuk. Dan ia terjatuh...
"Maaf... bolehkah aku melepas sepatu ini?" ungkap Mba sembari menunjuk sepatu hak tinggi nya pada Hyvt wanita itu.
Hvyt perempuan itu mendekati dan meminta sepatu Mba. Lalu tanpa berkata apa-apa ia berbalik badan dan kembali berjalan. Diam berarti iya. Itu sudah cukup bagi Mba untuk kembali mengikuti Hyvt di hadapannya.
Berjalan telanjang kaki rasanya lebih baik bagi Mba. Seharusnya. Tetap saja perempuan itu tetap saja berjalan layaknya pemabuk. Ia menemukan alasannya: kelelahan. Ia merasa tubuhnya sehabis ditekuk-tekuk, belum lagi luka bakarnya yang masih nyeri. Ini kali pertama sensasi sakit merayap sekujur tubuhnya. Dan ia masih mengingat mandi air hangat yang seharusnya menyegarkan justru menjadi pemanis derita.
Baru beberapa langkah berjalan, Mba kembali terjatuh. Lemas yang merayap kadung membuatnya sulit mengontrol keseimbangan tubuh. Dan sungguh, lemas yang satu ini bahkan membuatnya sulit berjalan dengan langkah yang tegap.
Habis jatuh tertimpa tangga. Ia tidak lagi melihat Hyvt wanita yang memandunya. Mba mulai melihat sekelilingnya. Ia hanya melihat lorong panjang. Tapi di depan sana terdapat pertigaan, pertigaan dan pertigaan lagi. Entah seberapa banyak cabang dari lorong di tempat ini. Mba mulai bergidik. Ia mulai mengingat banyaknya anak tangga yang telah mereka lewati sebelum sampai di sini. Dapat disimpulkan mereka berada di tempat yang luas. Dan tempat luas identik dengan tersesat. Tersesat adalah salah satu hal yang menakutkan bagi perempuan ini.
"No-nona malaikat?" ujar Mba dalam suara bergetar. Ia berharap ada balasan tapi yang didengarnya hanyalah suaranya sendiri yang menggaung. Pupil mata hitam perempuan itu mulai mengecil, sama dengan nyalinya yang mulai menciut. Ia merangkak dengan gemetar menuju persimpangan terdekat. Besar harapannya Hyvt wanita itu masih berada di sekitar pertigaan itu.
Sayang, yang didapati Mba hanyalah lorong panjang lagi dengan sebuah pertigaan. Pada saat itulah matanya menumbuk pada sebuah pintu yang berada di ujung lorong pertigaan. Pintu gerbang berwarna emas yang sangat mencolok.
Mba merasakan godaan yang sama layaknya berada di pulau penuh nafsu. Godaan yang sulit tertahan. Perlahan ia berdiri dan hendak melangkah. Tapi ia berhenti karena melihat hal yang menakutkan.
Sesuatu melesat cepat menembus dinding. Mba sempat mengenalinya sebagai seorang gadis berambut hitam pendek dengan gunting di tangannya. Dan setelahnya, gadis tersebut tidak lagi muncul.
Mba merinding. Dinginnya udara di lorong ini juga menambah ketakutan yang menyapa. Lututnya kembali luruh ke lantai.
"No-nona Hyvt..."
Tapi sebelum kalimat Mba selesai, ia melihat seorang pria berkacamata datang dari pertigaan. Fitur yang paling diingatnya adalah jenggot tipis dan kacamata.
Pria itu berhenti sebentar saat melihat Mba. Bahkan mereka berpandangan cukup lama.
"Mba Irwin?" Suara Hyvt barusan membuat Mba tersentak. Begitupun si pria, bahkan ia sampai hendak kembali ke lorong sebelumnya.
Mba berdiri dan menjawab "Iya..." ia lalu menoleh pada si pria dan tersenyum tipis "Aku akan segera ke sana..." lalu ia melangkah kembali ke tempat awalnya. Hal terakhir yang sempat dilihatnya adalah sang pria yang sedang berusaha mengutak-utik pintu itu menggunakan kotak aneh yang diambil dari tasnya.
Mba mendapati Hyvt wanita itu mendekatinya. Roman dingin wajahnya berubah keras, membuat Mba sedikit tersurut mundur saat bertatapan mata.
"Mohon jangan lambat. Yang Maha Kuasa Thurqk tidak suka menunggu."
Mba ingin menangis. Bukan karena sakit dan lelah yang dideritanya, melainkan karena kalimat barusan terasa sangat tajam dan menusuk hatinya.
"Ma-maaf..." ujar Mba sembari melangkah pelan. Tapi Mba menubruk Hyvt yang menghalangi jalan. Malaikat perempuan itu mendekatkan wajahnya pada Mba. Tinggi Hyvt yang setara dengan model pagelaran busana membuat Mba kembali mundur selangkah.
"Ruang itu adalah Hrat Krun. Ruang harta dari Yang Maha Kuasa Thurqk. Kau bisa dilenyapkan bila sembarang mendekatinya."
Sebenarnya ada pertanyaan yang sempat terbetik. Sayang, roman wajah Hyvt yang makin mengeras membuat Mba urung bertanya lebih lanjut lebih lanjut.
***
Pintu merah terbuka. Mba sudah bersiap dengan pemandangan yang serba seram dan penuh darah –atau semacamnya. Tapi yang didapatinya adalah sebuah kebun yang penuh dengan nuansa hijau. Mata Mba langsung berbinar senang.
"Jangan sentuh apapun yang ada di sini," ungkap Hyvt. Terlambat. Mba telah memainkan daun di pohon lebat di sekitarnya. Ancaman itu menjadi sesuatu yang nyata. Sebuah sulur tanaman besar hendak melilit Mba. Beruntunglah Hyvt dengan sigap menarik dan menjauhkan Mba dari jangkauan sulur tanaman besar. Setelah mundur sekitar sepuluh langkah barulah sulur tanaman tersebut tidak lagi mendekat.
"Jangan macam-macam di tempat ini. Nyawamu bisa saja lenyap, begitupun nyawaku," ungkap Hyvt. Ketus suaranya jelas terdengar.
Mba manut. Ia pun berjalan mengikuti kemana Hyvt berjalan. Setelah berjalan sekitar lima menit, barulah mereka sampai di sebuah paviliun besar yang dikelilingi banyak Hyvt pria –bersayap hitam tentunya. Di sanalah ia melihat punggung merah sang dewa Thurqk, bersama sesuatu yang membuat Mba tergugu.
Seekor ular besar. Tingginya saat terbaring mencapai dua kali tinggi Hyvt. Ular besar itu mendongak saat melihat Mba. Lidahnya berkali-kali mendesiskan suara yang membuat nyali Mba ciut. Dan mendongaknya sang ular besar membuat Thurqk menoleh ke belakang.
"Selamat datang di taman Nmaphelos," ujarThurqk. Nama taman ini jelas membuat lidah Mba pelo'. Mba sendiri tak habis pikir dengan selera penamaan di tempat ini. Terlepas dari itu, Mba langsung berlindung di belakang punggung Hyvt wanita. Ia menjerit tertahan saat ular itu berdesis dan mendekatkan kepalanya.
Thurqk berdesis keras. Ular yang hendak menjilat Mba itu langsung kembali ke posisinya, di samping Thurqk. Mba mengambil napas lega dan keluar dari persembunyiannya. Ia hanya berdebar saja menyaksikan Thurqk yang mengusap kepala ular tersebut –dan menunggu apa yang akan dilakukan dewa merah ini.
"Ular adalah anomali dalam hikayat jatuhnya manusia dari surga. Ular yang membujuk manusia untuk mengambil nikmat terlarang membuat mereka jatuh ke bumi. Dan ular pula yang menjatuhkan manusia jauh lebih ke bawah lagi. Jadi, semua yang menjatuhkan harus dibinasakan. Setuju?" ujar Thurqk membuka percakapan.
Mba menggeleng tiga kali. "Maaf... aku tidak mengerti perkataan tuan Thurqk."
Thurqk menyeringai. Lalu dengan satu jentikan jari saja, ular besar itu meledak, hancur berkeping-keping, menyisakan hanya susunan rangka besar saja. Percikan darah dan daging dari ular tersebut menyiprat wajah dan juga gaun Mba. Dan perempuan ini hanya terpekur diam dalam gemetar.
"Maksudku, semua yang anomali akan memberi kehancuran. Dan anomali harus dihancurkan terlebih dahulu."
Thurqk terkekeh kecil. Ia menjentikkan jarinya, membuat sebuah lingkaran api yang berkobar membakar sususan rangka ular tersebut. Dalam sekejap, tulang belulang itu berubah menjadi meja makan panjang berukiran merah. Thurqk pun duduk di kursi yang terbentuk dari tengkorak kepala ular.
Ia mempersilakan Mba untuk duduk di seberangnya. Separuh enggan, perempuan ini berjalan mendekat.
"Kemana sepatumu?" tanya Thurqk tiba-tiba.
"Oh maaf... aku minta agar-" belum selesai kilah Mba, suara ledakan terdengar di belakangnya. Ia merasakan cairan hangat mengalir di punggungnya. Ia menoleh dan mendapati kepala Hyvt yang bersama dengannya hangus terbakar, menyisakan hanya bagian tubuh dari leher ke bawah.
"Anomali."
Thurqk mendesis kesal. Sementara itu Mba yang melihat adegan ini langsung ambruk ke tanah. Lututnya tidak lagi memiliki kekuatan. Tambah pula ia merasa cairan hangat itu terus mengalir di punggungnya. Pucatlah wajah Mba dibuatnya.
Thurqk menjentikkan jarinya, dua Hyvt lain langsung memapah Mba dan menyeretnya untuk duduk di kursi.
Para Hyvt dengan sigap membawa daging-daging yang belum pernah dilihat oleh Mba. Aneka warna dan terlihat sedap dipandang. Mau tak mau terbitlah air liur di mulut perempuan ini. Tapi rona warna pelangi dari nyala api lilin membuat Mba agak kecut. Luka di perutnya berdenyut seolah mengingatkan akan bahaya.
"Silakan menyantap hidangannya," tawar Thurqk. Dewa merah ini terlebih dahulu mengambil seonggok daging dan memakannya tanpa peralatan makan.
"Maaf... tapi apakah tuan ada menu lain? Aku-"
"Makan," ujar Thurqk seraya mendelik pada Mba.
Mba yang masih enggan (karena tidak ada sayuran) akhirnya mengambil sekerat daging dan mengulum kulit daging itu (demi menghormati tuan rumah).
Enak. Mata Mba pun berbinar senang. Ia menggigit lebih banyak daging yang ditawarkan padanya. Thurqk menyeringai puas melihat ini.
Keduanya sama-sama larut menyantap hidangan. Sampai akhirnya Mba memecah keheningan.
"Tuan Thurqk, boleh tahu mengapa tuan berbuat baik padaku?"
"Anggap saja sebagai biaya anomali," jawab Thurqk acuh tak acuh.
Mba menelengkan kepala tidak mengerti. Thurqk yang melihat ini hanya memicingkan mata –sama sekali tak menyangka perempuan ini tidak mengerti maksud ucapannya.
"Saat ini kau kuanggap sebagai pendatang. Tapi kedatanganmu sangat kurang ajar. Kau bisa tiba-tiba berada di alam ini tanpa sepengetahuanku. Belum lagi, kau ditemukan di pulau THVR," ujar Thurqk seraya melempar tulang daging ke wajah salah satu Hyvt yang malang.
"Maaf... A-ada apa dengan pulau tersebut?"
Thurqk menjentikkan jarinya. Sebuah layar transparan terbentuk di udara, tak jauh dari Mba.
"Pulau tersebut selama 24 jam terakhir tidak bisa diakses. Kata Hyvt pecundang, pulau tersebut dikelilingi oleh medan pelindung yang tidak bisa ditembus. Dan jadilah aku turun tangan langsung. Situasinya tidak seheboh yang mereka ucapkan," ungkap Thurqk seraya memainkan api pelangi di tangannya. "Dan di pulau itu kau melakukan kesalahan."
Thurqk memandang tajam pada Mba. Yang dipandang langsung mengkeret penuh ketidakmengertian.
"Maaf... A-apa salahku?"
"Salahmu adalah berada di sana."
"Maksud tuan?"
Sebuah api pelangi tertembak dari jemari Thurqk. Api itu melesat melewati bahu, membakar rambut pelangi Mba dan terus menembus sampai menghantam dinding. Dinding yang terhantam langsung berubah bentuk menjadi tembus pandang.
"Karena kau melanggar batas. Kau berada di atas properti seseorang tanpa melalui ijin. Lantas kau bertanya di mana salahmu. Dan lebih salah lagi karena kau berada di lokasi yang dicurigai bermasalah. Apa kau punya alasan lagi?"
Mba melirik rambut pelanginya. Berkerutnya untai rambut dan bau gosong yang tercium jelas menandakan esensi tubuhnya bisa dilukai oleh api barusan. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya.
"Jadi, ceritakan kenapa kau bisa ada di sana. Jawaban salah, silahkan jadi abu," ujar Thurqk seraya meniup api pelangi di tangannya. Hyvt yang di ujung ruangan mendadak terbakar lenyap menjadi butiran debu.
Thurqk pun lantas tertawa. Tapi bagi Mba, ini bukan hal yang lucu. Nyawanya berada di ujung jari Thurqk.
***
"Jadi... Hyvt bersayap putih, heh?" ucap Thurqk sembari mencecap lidahnya. "Dan kau tidak mengerti bagaimana caranya bisa hadir di sini. Lanjutkan ceritamu, ini lawakan yang menarik."
Mba menjelaskan lebih panjang tentang kejadian pulau nafsu. Orang biasa mungkin akan bersimpati, atau mungkin terangsang mendengar beberapa bagian cerita itu. Tapi Thurqk justru tertawa terbahak-bahak.
"Jadi ternyata Tommy Vessel pelakunya. Unik! Sungguh unik. Tidak kusangka dia bisa melakukan hal di luar dugaan. Mengubah satu pulau jadi board game, sungguh lawakan yang luar biasa. Belum lagi dia bisa melakukannya di duniaku."
Thurqk memangku tangannya di atas meja. Alis matanya tertekuk tajam dan bibirnya memberi senyum asimetris.
"Kau pikir aku akan percaya begitu saja?" sundut Thurqk.
"Maaf tuan Thurqk... aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Hanya itulah yang kuketahui."
"Kalau begitu, hanya itulah alasan yang kubutuhkan untuk melenyapkanmu."
Thurqk pun kembali menyantap daging yang baru saja disediakan Hyvt. Hanya suara cecap lidah Thurqk yang terdengar. Mba di sisi lain terlihat hanya mencicip makanan seadanya. Ia larut dalam pikirannya sendiri, sampai sebuah pertanyaan melintas di kepalanya.
"Maaf... tuan Thurqk... Boleh aku bertanya satu hal?"
Thurqk mengangkat dagunya.
"Aku mendengar bahwa tuan Thurqk bisa mengabulkan permintaan," ujar Mba. Ia terdiam sebentar, menunggu reaksi sang dewa merah. Begitu melihat Thurqk menaikkan alisnya, Mba melanjutkan "Termasuk menghidupkan yang telah mati?"
"Ya, itu adalah hal yang telah kupastikan bagi mereka yang memenangkan turnamenku. Turnamen alam kematian. Semua nama yang kau sebutkan di cerita pulau THVR barusan adalah mainanku. Nyawa mereka di tanganku."
"Alam kematian..." Mba menunduk dan memandang jemari tangannya yang masih bisa digerakkan secara utuh.
"Karena kau berada di sini, berarti jelas kau sudah mati," ucap Thurqk.
Mba mengangkat kepalanya. "Maaf tuan Thurqk, apa yang tuan lakukan itu kejam. Tidakkah tuan peduli dengan-"
"-Nyawa mereka? Tidak. Untuk apa kasihan pada yang mati. Lagipula, semua yang ada di sini memiliki jiwa kuat yang layak diadu. Dan mereka semua punya sebuah keinginan yang dapat membuat mereka lari dari cengkraman kematian."
Mba terdiam sebentar. Ia mencoba menatap mata Thurqk, berusaha tegar sebelum berujar "Jadi... tidak ada cara untuk mendamaikan? Ma-maaf... maksudku tanpa perlu bertarung begitu..." tapi di tengah perkataan, perempuan itu mengkeret dan membuang pandangan ke tanah.
"Tanpa perlu bertarung?" mendadak Thurqk tertawa terbahak. Ia melotot dan mengembangkan kedua tangannya. "Di mana serunya hidup tanpa pertaruhan hidup dan mati? Resiko besar selalu menghasilkan sesuatu yang besar. Hanya mereka yang rela membuang badan saja yang akan mendapatkan hasil terbesar. Itu hukum alam di manapun juga! Dan kau berkata bahwa pertarungan tidak diperlukan?"
"Tapi..." nada suara Mba semakin melemah. "Tapi tuan..."
"Kau bertanya seperti ini, aku yakin kau sebenarnya tertarik. Tapi kau adalah anomali. Seperti yang kubilang tadi, anomali harus dilenyapkan. Bila kau bukan peserta yang kupanggil dan tidak memiliki jiwa petarung, maka lebih baik kau membusuk di alam kubur. Itu jauh lebih baik dari menikmati kemenangan di atas berkubangnya mayat," ujar Thurqk. Mba berdeguk mendengarnya. ia memandang sekelilingnya. Barisan Hyvt telah mengurung Mba tanpa ia sadari.
Thurqk melirik dari sela-sela aktivitasnya memakan segala yang dihidangkan. Ia dapat melihat gundah gulana perempuan itu.
"Jadi?" tanya Thurqk singkat. Kalimat dengan tekanan ini membuat Mba menggigit bibirnya. Akhirnya Mba memutuskan dengan sebuah pertanyaan
"Apakah, tuan Thurqk bisa mempertemukanku kembali dengan suamiku?"
Thurqk menyeringai.
"Kau mempertanyakan kemampuanku, manusia."
"Ma-maaf..." Mba menunduk dan murung.
"Siapa namanya?"
Mba kembali menengadah. Wajahnya langsung berubah ceria. Spontanlah bibirnya berujar dengan nada gembira "Antakaba, Antakaba Bardus. Sersan satu dari divisi Swielder di Imperium Alkanista. Dia memakai tiga pedang. Dia-"
"Cukup-cukup," wajah Thurqk mengeras. Ia berdecak sekali. "Syarat mendapatkan permohonanku hanya satu," Ia kemudian melempar sebuah tulang yang membelah kepala Hyvt tepat di belakangnya. "Puaskan aku!" pungkas Thurqk seraya berdiri dan menggeretakkan jarinya.
Mba berdeguk. Ia menjawab "Bila memang tuan Thurqk ingin agar aku mengikuti turnamen tuan..."
Thurqk mendelikkan matanya. Ia kemudian terkekeh dan kembali duduk. "Rupanya kau memiliki darah pejuang juga. Kupikir kau hanya wanita keras saja. Memang kulit wanita akan berganti di waktu yang tepat."
Mba menatap serius. Ia tidak mengharap canda artau komentar tapi keputusan dari sang dewa merah.
"Baik. Aku ingin tahu kiprahmu tidak hanya di ranjang tapi juga di pertempuran," Mba menelengkan kepala mendengar ini. "Tapi berhati-hatilah bila tidak ingin jadi seperti makanan yang baru saja kau santap."
Mba mencoba memperhatikan salah satu menu yang dihidangkan. Matanya menangkap sesosok kepala. Piercing di mulut dan rambut yang jabrik seperti Hyvt. Walaupun hanya bertemu sejenak, Mba mengenali siapa yang dihidangkan itu: Xabi Anger Metalici. Pemuda itu ditemuinya di pulau THVR.
"Darah pejuang nikmat bukan?"
Mba pun merasakan perutnya bergejolak. Air matanya tak dapat tertahan. Tak lama, isi perutnya terkuras secara otomatis. Semua imaji di kepalanya membantu sistem penolakan dalam tubuh untuk mendorong keluar 'racun' dalam tubuh.
Thurqk tertawa keras mendapati kondisi Mba yang terus menerus muntah. Sayang kesenangannya terganggu oleh bisikan salah seorang Hyvt yang mendatanginya. Dari roman wajah Thurqk yang kesal, jelas sekali berita buruk yang dibawa oleh sang malaikat. Pecahnya kepala sang pembawa berita menjadi bukti kedua.
"Tunggulah di dalam kamarmu! Pembicaraan akan dilanjutkan setelah urusanku selesai!"
"Tuan Thurqk, sebelum itu... bolehkah aku meminta satu hal?"
Thurqk kembali mengangkat sebelah alisnya. Ia tak menyangka perempuan berambut pelangi ini memiliki banyak keinginan.
***
Mba menunggu di dalam kamarnya. Ia bersenandung gembira karena akhirnya bisa mengenakan kembali kaus dan celana hitamnya. Mba mengikat tali sepatu ketsnya dan bersiap-siap. Tapi setelah menunggu cukup lama, tidak ada panggilan atau apapun dari balik pintu kamarnya. Jadilah ia merebahkan diri di atas ranjang yang empuk.
Beberapa kali perempuan berambut pelangi itu menghela napas. Ia sama sekali tidak menyangka harus menjadi pejuang, bukan tukang damai. Sebuah ironi baginya. Ia tidak pernah menggunakan kekuatan Peace Maker-nya untuk kepentingan pribadi. Dengan pengecualian saat ia bertemu dengan suaminya.
Anomali. Mba memandangi tangannya sendiri saat mengingat kata tersebut. Ia menyimpulkan bahwa eksistensi dirinya menjadi keanehan bagi penghuni tempat ini. Dan ia pun juga mengakui bahwa dirinya menjadi aneh. Masih terkenang baginya ucapan Xabi sebelum ia dijatuhkan ke pulau nafsu. Pemuda itu mengatakan dirinya psikopat karena tersenyum melihat pembantaian.
Senyum. Biasanya Mba akan mual dan jijik bahkan lemas melihat pembantaian. Tapi mengapa ia justru bisa tersenyum melihat pembantaian 11 orang? Anomali juga. Sekali lagi perempuan itu menghela napas. Berarti dirinya –yang tersenyum saat itu- harus dimusnahkan. Dijadikan daging yang teronggok.
Daging. Tengkuk Mba meremang ngeri mengingat dirinya memakan daging Xabi. Sensasi rasa daging tersebut masih tersangkut di lidahnya dan membuatnya mual. Dengan ini dua kali ia telah melanggar kebiasaannya. Pertama telah disebut dan yang kedua adalah memakan daging. Semua demi menghormati tuan rumah saja. Entah apakah ia melakukan pelanggaran lainnya lagi.
Bicara tentang pelanggaran, pandangan mata Mba sampai pada bercak darah di kasurnya. Ia mengingat bahwa perutnya sempat dilukai oleh Thurqk. Rasa penasarannya terkulik. Jemarinya bergerak hendak menyentuh bercak tersebut.
[Virtual data changed. Optimizing field for next battle.]
Mba tertegun mendengar suara yang terkesan datar dan seperti-mesin. Belum lagi ia bahasanya terdengar asing.
[Authorization verified. Field changes in 3... 2... 1...]
Lalu struktur kamar Mba berubah. Kasur yang baru saja ditidurinya terbenam jatuh ke tanah dan tergantikan oleh kuda-kudaan kayu yang berpunggung lancip. Perubahan yang tiba-tiba ini membuat punggung Mba tertekuk. Paniklah perempuan itu. Ia meronta dan jelas akhirnya terjatuh dari kuda-kudaan tersebut.
Begitu Mba memandang sekeliling, ia mendapati suasana kamar sudah berubah total. Tidak ada lagi nuansa merah. Yang ada hanya remang gelap. Pun tidak ada lagi sofa pualam. Beberapa obor tergantung di dinding menggantikan lukisan sang dewa merah. Di langit-langit tergantung beberapa obor berantai yang menjuntai sampai setinggi setinggi muka manusia dewasa. Dan yang membuat Mba terkagum –kalau tidak was-was, adalah keberadaan beragam jenis senjata yang tergantung di dinding.
Mba mengambil sebuah pedang pendek yang tergantung di dinding. Nostalgia merasuk saat ia mengusap bilah pedang tersebut. Kilat yang bermain di bilah menyilaukan mata perempuan itu. Dan tanpa sadar air mata menetes. Ia mengusap bilah pedang tersebut dengan pipinya.
"Anta..."
"Mommy!"
Tiba-tiba saja Mba diseruduk sebuah benda –sampai membuatnya terjengkang. Mba beringsut dan mencoba melihat apa/siapa yang barusan menjatuhkannya di tanah.
"Mommy!" seorang gadis kecil dengan pipi yang tembam lagi merona sedang memeluknya. Imut. Gadis kecil itu berkali-kali mengusap kepalanya di dada Mba. Senyum lebar lagi ceria dari gadis itu menghilangkan segala curiga di hati Mba. Rambut merah acak-acakannya menambah rona imut pada gadis kecil itu. Dan jerawat-jerawat kecilnya, oh, siapa yang mengatakan bahwa jerawat adalah cacat wajah? Gadis kecil itu membuktikan sebaliknya.
"Mommy itu artinya apa?" tanya Mba lirih. Ia mencoba menahan diri untuk tidak mencubit pipi si gadis kecil.
"Ibu! Ibunda!Mommy, nom!" lalu si gadis kecil kembali memeluk Mba dengan riangnya.
Mba pun balas memeluk. Kehadiran seseorang yang memanggilnya ibu membuat gadis ini sangat bahagia. Dadanya hangat dan sejenak ia melupakan segala gundah gulana yang dihadapinya.
Tapi tunggu! Sejak kapan Mba punya anak? Pertanyaan itu melesat di kepala perempuan berambut pelangi itu. "Elle senang bertemu mommy, nom," dan nada suara ceria gadis kecil itu menghapus rasa curiga Mba. Ia justru bersemu merah dan mencubit gemas pipi Elle.
"Mommy jangan cubit pipi Elle, nom. Elle sudah 45 tahun. Elle bukan anak kecil lagi!"
Mba sama sekali mengabaikan isu umur Elle. Ia menempelkan pipinya ke pipi Elle. "Maafkan bunda ya, habis kamu menggemaskan," ujarnya dengan nada senang. Suara rendah Mba terdengar sangat memanjakan Elle –pun ia belagak menjadi ibu.
"Mommy harum, nom."
Mba menjerit kegelian saat Elle mengendus lehernya. Elle pun melepas pelukannya dan menatap mata Mba. Gadis kecil itu menyadari sesuatu yang tidak pada tempatnya.
"Mommy kenapa ada di sini, nom? Cuckoo bilang yang ada di sini adalah lawan Elle, nom."
Ucapan Elle membuat wajah Mba pucat. Ia sama sekali tidak menyangka lawan yang akan dihadapinya justru adalah seorang gadis kecil.
"Itu-"
"Mommy tidak ikut berantem-beranteman punya om merah kan, nom?" tanya Elle mendahului. Mba tidak punya jawaban atas hal yang ditanyakan. Jelas sekali Elle kecewa dengan reaksi Mba. Gadis kecil itu akhirnya berdiri dan mengerutkan alisnya.
Mba mendapati gadis itu memang mungil adanya. Mba mengira tingginya kurang lebih setara pinggangnya. Tinggi tersebut sering dianggap sebuah kelemahan –setidaknya itu yang Mba dengar dari gurauan tentara yang berkelakar. Tapi keimutan gadis kecil itu justru makin bertambah kuat karenanya.
Terlepas tingginya, Mba melihat gadis kecil ini berpenampilan rada tomboy dan petualang– breastplate dan shoulder pad jelas jarang sekali dikenakan gadis rumahan. Pun sarung tangan besar yang tebal yang sepertinya cocok digunakan para montir. Ralat, memang kesannya gadis kecil ini seperti montir cilik di majalah anak-anak. Yang menarik perhatian Mba adalah tas selempang yang dibawa gadis kecil ini. Walau kecil tapi di dalamnya terdengar bunyi besi-besi kecil yang saling beradu.
Keduanya saling bertatapan lama. Sampai akhirnya Elle sesenggukan sendiri.
"Elle nggak mau bertarung sama Mommy... Elle nggak mau Mommy mati, nom..."
Lalu gadis itu mulai memeluk Mba lagi.
Mba terenyuh. Ia mengusap kepala gadis kecil itu lalu mengecupnya. Dalam hatinya berkembang sebuah perasaan baru, perasaan yang membuatnya hangat lagi nyaman. Ia mengusap punggung Elle dengan pelan dan bernyanyi.
Mba mengakui dirinya tidak pandai menyanyi. Beberapa nada suaranya terdengar tidak sesuai. Tapi di tengah heningnya ruangan, syahdu suara Mba yang lembut mampu membuai Elle.
"Mommy, nom. Jangan tinggalkan Elle lagi, nom."
Air mata gadis kecil itu menetes. Mba menghentikan nyanyiannya dan mengusap aliran air yang telah membasahi pipi gadis kecil itu. "Mommy tidak akan meninggalkanmu," bisik Mba. Perempuan berambut pelangi ini sudah mabuk berperan sebagai ibu. Ia berharap kemesraan ini janganlah cepat berlalu.
Baru saja berpikir begitu, sebuah layar kaca turun dari langit-langit.
"Eh, Cuckoo-nya bersayap putih?" Elle keheranan melihat Hyvt yang berada dalam layar.
"Perlu kuingatkan pada kalian. Waktu pertandingan ini hanya 30 menit. Kalian harus saling membunuh lawan menggunakan senjata yang tersedia. Apabila bukan menggunakan senjata tersebut maka kalian tidak akan bisa keluar dari ruangan ini."
"Maaf... apa yang akan terjadi bila waktu habis?" tanya Mba.
"Kau dianggap membosankan oleh Yang Maha Kuasa Thurqk, itu saja," jawab Hyvt diiringi senyum tipis.
Elle langsung berwajah kesal. Kakinya menginjak-injak tanah berkali-kali. "Mommy, jangan mau mengikuti aturan om merah, nom," ujar Elle seraya menggembungkan pipinya.
"Kalian sudah membuang waktu 10 menit. Sisa 20 menit lagi."
"Jadi, bagaimana kita ingin menghabiskan waktu?" tanya Mba. "Aku... maaf... bunda tidak ingin melawanmu," pungkas Mba. Dan ia pun bersimpuh lalu bersujud di hadapan Elle.
Elle langsung kelimpungan sendiri. "Mommy jangan begitu, nom. Ayo kita pikirkan cara keluar dari sini bersama-sama, nom," ujar Elle seraya membangunkan Mba.
"Keluar? Tapi nanti kita bisa dimarahi oleh tuan Thurqk."
"Elle nggak akan membiarkan mommy mati!" Mba terpana memandang keteguhan yang terpancar di mata gadis kecil itu. Wajah Mba memerah malu akibat sadar kelakuannya yang cepat menyerah. Memikirkan hal itu membuat hatinya sakit.
Mereka berdua lantas memeriksa sekeliling. Dinding kamar tersebut tebal dan tidak bisa dihancurkan sama seperti pintunya. Mba mencoba memukul dengan gada berduri tapi tidak mendapati lecet apapun di dinding itu. Yang ada, ia justru lemas karena daya gempur balik yang nyaris membuatnya terjatuh.
Elle juga mencoba hal yang sama. Ia mencoba memukul dinding maupun pintu tapi tidak terjadi apa-apa. Lalu gadis mungil itu menempelkan telinganya ke dinding.
"Ada lebih dari tiga ruangan yang ukurannya seperti ini, nom. Tapi isi ruangannya berbeda, nom."
Mba takjub mendengarnya. Kemampuan seperti itu pasti berguna untuk mendamaikan. Negosiasi bisa berjalan aman karena lokasi sudah langsung dipindai dan jebakan diamankan. Dan mungkin juga bisa digunakan untuk mengetahui posisi pengacau.
"Mommy! Jangan bengong, nom."
Mba sadar dari lamunannya. Ia lalu mencoba mengecek tempat lain. Ia mencoba menggeser kuda-kudaan. Bersama Elle, ia berhasil menggeser benda tersebut. Tapi tidak ada apapun yang bisa digunakan sebagai petunjuk.
"Sisa 13 menit. Kalian seharusnya saling bunuh saja," celoteh Hyvt.
"Nggak mau, nom!" Elle mencibir pada Hyvt. Sayangnya Mba tidak sependapat. Perempuan berambut pelangi itu berjalan terhuyung lalu mengambil pisau pendek yang tergantung di dinding.
"Mo-mommy?" tanya Elle saat melihat Mba berjalan mendekatinya dengan terhuyung. Pisau di tangan perempuan itu bergetar. Ekspresi Mba tidak dapat terlihat akibat rambut pelanginya menutupi wajah yang tertunduk.
"Maaf... Elle..."
Mba tersenyum kecut pada Elle. Ia mengangkat pisau tersebut ke depan wajahnya. Kilau matanya terkilat pada bilah pisau. Akankah anomali menjelma dalam diri Mba?
***
"Mommy? Tolong taruh pisau itu, nom..." pinta Elle dalam nada pelan.
Mba tidak mengindahkan permintaan Elle. Dengan gerakan cepat ia menghujamkan pisau itu ke lehernya sendiri. Elle terpekik kaget. Lagi. Lagi-lagi dan lagi. Elle tak dapat berkata apa-apa melihat Mba yang kalap menusuk pisau itu berkali-kali ke lehernya sendiri. Pun ia tidak dapat berkata apa-apa saat melihat tak ada darah keluar.
"Mo-mommy?"
Elle memperhatikan lamat-lamat. Matanya tidak salah lihat. Tidak ada setitik pun cidera di kulit Mba.
Mba akhirnya lelah sendiri. Ia pun jatuh terduduk. Pisau di tangannya terlepas begitu saja. Wajah perempuan berambut pelangi itu berubah kuyu. Keringat deras membanjiri wajahnya. Bibirnya pun berulang kali digigit seolah berusaha menyakiti diri sendiri. Ia tak kuasa menahan titik air mata yang hendak jatuh. Mba kehabisan akal.
"Mommy jangan nangis, nom. Masih ada waktu, nom," ujar Elle saat menepuk pundak Mba. Mba pun menyeka air matanya lalu memeluk Elle. Tanpa bicara, Mba mengusap punggung gadis kecil itu.
"Maaf..."
Mba kembali menyeka air matanya dan berdiri. Ia mengambil napas panjang dan memukul pipinya sendiri. Elle lalu memberi jempol pada Mba –pertanda kesiapan. Elle terlihat tabah dan tegar tapi di balik itu, Mba dapat melihat lutut gadis kecil itu bergetar. Dan Mba tahu dirinya harus lebih tegar dari gadis mungil ini.
"Sisa 10 menit," ujar Hyvt di sela-sela menguapnya.
Elle memandang sekitarnya. Mulai dari dinding, langit-langit dan segala ornamen telah mereka periksa. Dan saat pandangan matanya ke lantai, Elle nyengir senang. Sebuah pecahan batu. Partikel ruangan kecil itu menjadi kunci jalan keluar. Ia memandang langit-langit lalu ke lantai. "Hehehe~" Elle tertawa senang.
Mba memerhatikan polah Elle. Gadis kecil itu sekarang melompat-lompat di tempat. Lalu setelahnya, mengambil sebuah kaca pembesar dari tas selempangnya dan menilik lantai. Mba dapat mendengar tawa puas Elle saat gadis itu memasukkan kembali kaca pembesarnya.
"Elle ketemu jalan keluarnya, nom!"
Wajah Mba langsung cerah. Ia mendekati Elle "Di mana?"
Elle menunjuk lantai. Mba menatap tak percaya. "Ini?" tanyanya. Elle mengangguk senang. Mba berlutut dan mengais lantai. "Ada jalan rahasia?" tanya Mba, polos.
Elle menepuk kepalanya. "Bukan, nom. Mommy masih ingat nggak sama dinding itu, nom?" Mba memandangi dinding kebal tersebut. Ia mengangguk.
"Tidak bisa dihancurkan. Dibuat lecet saja tidak bisa," jawab Mba.
"Betul, nom. Dindingnya kebal tapi lantainya tidak, nom," ujar Elle. Mba manggut-manggut senang. Tapi wajahnya kembali lesu. Matanya kembali ke dinding dan menyisir seluruh senjata yang ada di sana. Ia menghela napas –jelas tidak menemukan apa yang dicarinya.
"Ah, kalian menemukan jalan sembunyi. Apa kata Yang Maha Kuasa Thurqk kalau beliau tahu?" seloroh Hyvt seraya mengikir kuku jarinya.
"Nggak peduli, nom!" sergah Elle sambil meledek.
"Lagipula dengan apa kalian menggalinya?" pertanyaan Hyvt itu membuat Mba menunduk lesu. Ia menggigit bibirnya. Kepalanya mulai panas akibat tekanan situasi.
"Waktu kalian tinggal 7 menit lagi."
Bendung emosi di kepala Mba pecah. Ia melangkah lebar menyusur ruangan lalu mengambil sebuah pedang panjang. Dengan satu teriakan keras, Mba menyabetkan pedang itu ke layar dimana Hyvt bersayap putih berceloteh.
Pecahnya layar membuat Elle terkaget-kaget. Perempuan yang dipanggilnya "mommy" ini terlihat berwajah galak-lagi-khawatir.
"Elle, kita lari," ujar Mba tegas. Setelahnya, Mba menusuk-nusukkan pedang panjang itu ke tanah. Ia berusaha mencongkel tanah dengan paksa.
Tapi kekuatan kalapnya barusan hanya berlaku sekejap. Lima congkelan saja sudah membuat perempuan berambut pelangi ini kelelahan. Dan usahanya barusan hanya menghasilkan lubang sedalam satu jari. Mba merutuk kesal pada dirinya sendiri, pada status Peace Makernya, yang tidak bisa menjadi penyelamat nyawa di saat kritis. Pun ia kesal karena tak mengerti kelelahan yang terus menimpa tubuhnya. Tak kuasa, Mba pun luruh berlutut ke tanah.
Elle memeluk Mba dari belakang.
"Mommy jangan khawatir, nom," ujar Elle. "Biar Elle yang bikin jalan keluar, nom."
Elle mengambil sebuah benda dari tas selempangnya. Kali ini sebuah bor kecil. Bor kecil itu memiliki simbol wajah orang sakit atau gugup. "Dr. Ill, nom!"
Elle meletakkan benda itu di tanah. Simbol wajah itu berputar terbalik lalu suara desing keras terdengar. Bor kecil itu dengan cepat berputar dan menembus tanah. Sayang, ukuran lubangnya hanya sekitar sejengkal.
"Maaf... kita masih butuh lebih dari sepuluh benda barusan."
"Waktu kalian tinggal 6 menit. 5 menit terakhir akan ada kejutan, bersiaplah," Ujar Hyvt bersayap putih dari pecahan layar yang berserakan. Mba menghancurkan seluruh pecahan layar dengan pedang di tangannya. Ia mendengus kesal sekaligus puas. Tapi ia justru membuat suara-suara Hyvt mengganda, mengingatkan akan waktu yang terus tersisa. Berisik. Mba meringis mendapati usahanya justru berbuah kesal belaka –hampir saja ia menangis.
"Tenang saja, nom. Mommy dan Elle akan buat Cuckoo putih itu makan gigi sendiri, nom."
Elle tersenyum lebar. Ia mengambil seluruh senjata di dinding dan meletakkannya di samping Mba. "Mommy lihat Elle, nom," ujar gadis itu seraya menyingsingkan lengan bajunya.
Demi Dewata, kecepatan tangan Elle sama sekali tidak terlihat. Hanya terdengar tiga kali ketukan palu untuk membuat sebuah... sebuah mesin bor yang sama dengan ukuran dua kali tinggi tubuh Mba. Di samping bor raksasa tersebut tersambung sebuah kompartemen berwarna pink.
Mba terpana. Ia tidak pernah melihat kecepatan merakit benda secepat itu. Lebih lagi, Elle terlihat tidak kelelahan apalagi kesulitan. Gadis kecil itu berkacak pinggang dan memberi tanda V dengan dua jarinya yang tembam.
Elle kemudian mengajak Mba masuk ke dalam kompartemen pink. Mba awalnya enggan. Ia takut nuansa gelap yang ada di kompartemen itu. Ia semakin keras merengkuh pedang yang dipegangnya.
"Mommy jangan khawatir, nom," ujar Elle seraya menarik tangan Mba. Dan jadilah Mba masuk ke dalam kompartemen tersebut. Lampu dinyalakan dan nyatalah di dalamnya tersedia dua buah kursi berikut layar berukuran dua setengah jengkal. Tidak hanya itu, suhu ruangan ini sejuk. Mba merasa seperti dibawa oleh kereta yang mewah –walau tanpa hiasan yang fantastis. Dan jujur saja, ia sangat tidak menyangka besi-besi tersebut bisa bertransformasi menjadi seperti ini. Mba sedikit berandai akan diapakan pedang di tangannya bila diserahkan pada Elle.
"Mommy, kita keluar dari penjara ini, nom!"
Ujar Elle seraya menarik sebuah kemudi berbentuk cincin hitam besar yang tertanam di lantai. Suara dengung suara mesin terdengar semakin keras. Layar besar lalu menampilkan sebuah tayangan beterbangannya pasir dan liat tanah ke udara. Sebelum Mba sempat bertanya, ia merasakan guncangan keras . Layar pun menggelap lalu berubah agak terang, layaknya disenter lampion.
"Kita maju ke bawah, nom!" Maju ke bawah mungkin bukan kata yang tepat untuk 'menyelam' tapi mungkin kata itu cocok untuk Elle.
Mba langsung panik dan memeluk Elle dari belakang. "E-Elle... se-seram! Kita tidak turun ke bunker kan?"
"Bungker itu apa, nom?"
Mba menjeleaskan apa itu bunker. Elle manggut-manggut dan menjawab "Mommy tenang saja, kita aman kok di bawah sini, nom. Sama seperti bungker, nom."
"Waktu habis. Bersiaplah untuk kejutan," ujar Hyvt. Mba sebenarnya ingin mengabaikan tapi hidungnya mendapati sebuah bau yang mencekat hidung. Ia menoleh keluar dan mendapati setiap lubang di dinding mengalirkan larutan hijau kental. Saat menyentuh tanah, larutan itu mengepulkan asap hitam.
"Racun..." desis Mba. Larutan itu sedikit lagi menyentuh buntut kompartemen. Ia menoleh pada Elle yang masih asyik berkonsentrasi dengan kemudinya. Mba dengan sigap berlari ke ujung kompartemen. Ia menarik pedang yang sedari tadi dipeluknya. Sesampainya di ujung, Mba berbisik pelan. Bersamaan dengan itu, tangan kurusnya bergerak gemulai.
"Matahari sedang apa kau di situ?
Muncul, muncul, muncullah untuk kami
Di sini ada permainan untukmu
Sinarilah kami dengan tawa
Siramlah kehangatanmu pada kami
Kami ingin bersamamu, duhai sang jumawa
Tanpamu kami tiada
Tanpamu kami hampa
Jauhkanlah awan dari wajahmu
Segar janggutmu jauh memesona
Putih kulit kami kan berikan tukmu
Bagaikan terasuk, Mba bergerak halus bersama pedangnya dalam setiap lantunan syair. Satu tebasan setiap baris. Dan berulang-ulang dalam gerakan berputar. Jejak kaki Mba membuat dua buah pola lingkaran kecil dalam sebuah lingkaran besar. Setiap cairan yang hendak masuk dapat ditepis layaknya air bertemu oli. Atau seperti melentingkan batu dengan sendok. Tidak ada setetespun yang sampai pada buntut kompartemen.
Mba menghela napas panjang setelah melakukan 'tarian' ini. Ia bersimpuh seraya meletakkan pedangnya di depan lutut. Dengan kedua tangannya, perempuan berambut pelangi ini mengibas seluruh keringat yang mengalir dari wajah dan juga lehernya. "Terima kasih atas segala kemurahanmu, ya dewata tercinta," bisik Mba seraya bersujud.
Mba mendengar tepuk tangan keras dari belakangnya. Mba menoleh dan mendapati Elle melonjak gembira sambil bertepuk tangan.
"Mommy cantik. Barusan tarian apa, nom?"
" Ma-maaf... itu hanya tarian untuk menepis hujan. Bunda tidak bisa menarikannya dengan indah," ujar Mba seraya menundukkan wajahnya yang memerah dan memeluk erat pedang yang digenggamnya. "Ta-tarian ini hanya boleh dilakukan oleh perawan desa yang dipilih oleh dewata. Ja-jadi ini seharusnya tidak dapat dimaafkan," ujar Mba seraya menitikkan air mata.
Elle memeluk Mba.
"Padahal mommy bisa minta Elle tutup pintunya, nom," ujar Elle. Dan memang benar, pintu tersebut tertutup begitu saja. Lengkap dengan teralis dan pengaman yang tebal.
Mba yang melihatnya langsung tersenyum kikuk. Ia lalu mengusap kepala Elle dan mengecup rambut kriwil acak-acakan Elle.
"Tapi... bagaimana dengan kemudinya?" tanya Mba melirik kemudi tanpa tuan.
"Elle set ke otomatis kok. Nanti kita akan keluar di tempat yang pas, nom."
Mba hanya memberi O besar –mencoba mengerti maksud perkataan Elle.
"BAU BAU!"
Elle dan Mba sama-sama terkejut mendengar suara tersebut. "Cuckoo? Darimana dia masuk, nom?" suara kedua datang tak jauh dari mereka. Sebuah pecahan layar berada di dekat kaki mereka. Elle mengangkat pecahan tersebut dan memperhatikan celoteh Hyvt bersayap putih.
"Yang Maha Kuasa Thurqk bilang kalian bau. Kalau sudah begini kalian harus dienyahkan."
Dan memang benar, tercium bau yang menusuk. Elle mendadak berlari ke ujung kompartemen. Ia menempelkan tangan dan telinganya ke pintu. "Ada yang mengejar, nom!"
Tepat di saat yang bersamaan, benturan keras terjadi. Keduanya terlempar ke depan. Elle yang pertama kali berdiri langsung memeriksa layar. "Kita menabrak benda hitam besar, nom," ujarnya. Gadis mungil itu kemudian membuka kap depan yang menghubungkan bor dengan kompartemen. "Mommy tunggu di sini, nom."
Mba kagum dengan segala kesiapan dan kesigapan Elle. Gadis kecil ini telah memikirkan segala kemungkinan marabahaya saat merancang dan membuat kendaraan ini. Ia merasa malu karena tidak bisa berbuat banyak.
Mba menoleh ke belakang dan mendapati suara desis tajam. Jantungnya berdegub keras saat memperhatikan pintu belakang. Ia berharap intuisinya salah. Tapi semakin ia memicingkan mata, semakin dilihatnya kepulan asap yang menembus melalui sela-sela pintu. Mba merasa dirinya harus melakukan sesuatu.
"Dr. Ill-nya nabrak tungku besar, nom," seloroh Elle yang menjulurkan kepala dari balik kap.
Elle kemudian terbengong sebentar melihat Mba berdiri di ujung kompartemen. Dan lebih heran lagi karena Mba terlihat mengambil dan membuang napas panjang di sekitar situ. "Mommy sedang apa, nom?"
Mba menengok dan tergugu "O-oh ini? Lagi menghirup udara di belakang sini," ujar Mba melontarkan sebuah alasan. Perempuan ini berbohong? "Ja-jadi apa yang harus dilakukan?" tanya Mba berusaha mengalihkan topik. Sayangnya Elle telanjur penasaran.
Elle mengerutkan alis. Mata bulatnya terus menatap Mba tanpa berkedip. "Gampang sih, Elle tinggal putar jalur bor saja, nom. Tapi mungkin butuh waktu, soalnya Dr. Ill-nya agak rusak, nom," ujar Elle masih mengerutkan alis. Ia masih keheranan mengapa Mba terus mengambil napas panjang di sana.
"Mommy... Elle ke sana ya? Elle penasaran, nom."
Mba langsung panik dan buru-buru mendekati Elle. "Bu-bunda ingin lihat Elle kerja," putus Mba. Tanpa persetujuan Elle, Mba mengangkat tubuhnya melalui kap depan.
Suasana di luar kompartemen sangat gelap... dan panas. Pencahayaan hanya berasal dari lampion yang berasal dari atas kap dan khusus untuk menyinari bor besar yang menjadi moncong kompartemen. Karenanya, kepala Mba terbentur langit-langit yang gelap. Beruntunglah ia kebal dan lapisan tanahnya kebetulan cukup lembek.
Sembari mengusap kepalanya dari reruntuhan tanah, Mba memerhatikan lempeng besi hitam di depan bor besar. Kepala bor yang tajam terlihat rengkah akibat menabrak lempeng besi hitam tersebut. Hebatnya, lempeng besi tersebut sama sekali tidak penyok. Tapi, benda ini hanya lempeng besi saja atau bisa jadi bukan lempeng besi. Hanya semacam material hitam. Darimana Elle tahu?
"Elle tahu dari mana ini tungku besar?"
"Elle tahu kok, nom. Di tengah-tengah lempeng ini ada bara api yang asyik bermain. Sebentar lagi mungkin siap di lempar ke atas, nom," ujar Elle. Ia lalu memandang ke atas. "Di atas tungku ini ada dua orang juga yang lagi ngobrol, nom. Satu kayaknya sih lagi asyik main boneka sementara satu lagi nggak jelas ngapain, nom. Yah, Elle nggak tertarik banget sama mereka sih," jelas Elle. Gadis kecil itu kemudian mengetuk bor besar. "Masalahnya sekarang bagaimana memperbaiki bor ini, nom."
"Bagaimana kalau memakai bahan dari kereta ini saja?" saran Mba.
"Tapi nanti perjalanan kita nggak nyaman dong mommy, nom."
Mba memeluk Elle. "Yang penting kita bisa keluar dulu," ujarnya seraya mengusap kepala gadis kecil itu. Elle mengangguk dan kembali masuk ke dalam kompartemen.
Sekali lagi Elle keheranan mendapati Mba berjalan ke belakang kompartemen. Di sana, lagi-lagi Mba mengambil napas panjang di sana dan membuangnya secara perlahan. Elle yang sedang membongkar peralatan penyegar udara lantas menghentikan aktivitasnya dan mengamati Mba.
"Mommy... ngapain di belakang sana, nom?"
Mba menyadari Elle menginginkan jawaban yang sesungguhnya. Ia menutup matanya dan menundukkan waj.ah "Racun. Di belakang sini sudah dipenuhi oleh racun. Elle... maaf.. jangan mendekat ke sini..."
Setelah berujar begitu, asap hijau menguar dari belakang punggung Mba.
"Itu... asap kentut mommy, nom?"
Mba menepuk kepalanya. Entah kata-katanya salah atau memang saat ini gadis kecil itu sedang mengajaknya bercanda.
"Mommy bohong ah, masa itu racun. Kalau racun seharusnya mommy sudah..."
"Maaf... aku kebal."
Elle mengerjapkan mata berkali-kali. Sembari terus menatap Mba, ia mengambil sebongkah besi dan menyusunnya menjadi sebuah benda panjang dengan kepala bulat. Benda itu dilemparnya ke dekat kaki Mba.
"WAU WAU WAU!"
Benda tersebut terus berteriak di sembari berkelojotan di tanah. Baik Mba maupun Elle sama-sama harus menutup kuping akibat suara berisiknya. Elle menunjuk-nunjuk benda tersebut dan terus membuka mulutnya. Setelah tiga kali Elle mengerutkan alis dan menghentak-hentakkan kaki, barulah Mba mengerti maksudnya. Perempuan berambut pelangi itu lantas menginjak hancur. benda-yang-belum-diberi-nama tersebut.
"Jadi bukan kentut ya, nom," Mba mengangguk mendengar ujaran Elle. Besar harapan Mba bahwa gadis kecil itu tidak mengamati atau bertanya lebih lanjut. Tapi yang ada, Elle masih terus mengamatinya tanpa berkedip.
"ADUH!"
Dan buah tidak fokus pun mekar. Jemari gembul Elle terhantam oleh palunya sendiri. Mba pun dengan panik mendekati Elle. Tapi ia berhenti setelah dua langkah, aroma asap hijau masih mengikutinya.
"Elle... Elle tidak apa-apa?" Mba meringis sedih. Terbaik yang ia bisa lakukan hanyalah menggapai udara. "Elle?" tanyanya lagi dengan nada yang semakin berat dan sedih.
"Nggak apa-apa kok mommy~ Elle cuma kaget kepukul, nom. "
Elle lantas mengibas-ngibaskan tangannya yang terpukul. "Tuh, nggak sakit, nom."
Elle kemudian melanjutkan kembali aktivitasnya. Begitupun Mba.
"Mommy, tangkap!"
Mba menangkap benda hitam yang dilempar Elle. Benda hitam berbentuk sebuah kubus dengan bibir dan hidung di bagian atasnya. Jujur, desain kali ini terlihat... agak menjijikkan. Bisa jadi akibat tidak fokusnya Elle barusan.
"Itu Fum-o-Fum, nom. Taruh saja di dekat kaki mommy, nanti dia menghisap asapnya, nom," ujar Elle yang kembali keluar dari kompartemen. Mba pun meletakkan benda tersebut di tanah. Begitu diletakkan, hidung benda tersebut membesar dan mengendus-ngendus udara. Mba lantas berjongkok dan memerhatikan saja. Sedikit yang ia ketahui bahwa benda tersebut akan menghisap udara melalui hidung, bukan mulut. Seluruh asap hijau tersedot masuk dengan cepat.
Daya sedotnya luar biasa, rambut dan kepala Mba bahkan terhisap masuk. Dan saat Mba meronta-ronta tiba-tiba saja kepalanya dilontarkan oleh... bersin yang luar biasa keras. Lengket ingus mengganti aroma pekat dari racun yang menempel di baju dan tubuh Mba. Tapi setidaknya, ini jauh lebih baik daripada harus terus-terusan menjauh dari Elle.
Mba meremas bajunya yang basah oleh lendir menjijikkan. Ia berdendang kecil karena masalah telah selesai dan ia bisa kembali bersama Elle.
"Mommy... kita ada masalah... nom..."
Entah apalagi masalah yang ada.
***
PANAS!
PANAS!
Dua kata panas itu sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana gerahnya suasana di luar kompartemen. Mba berkali-kali mengipaskan udara ke dalam bajunya –yang tentu saja percuma.
Situasi yang dihadapi Elle dan Mba saat ini adalah: Tungkumemanas. Lempeng besi hitam berubah memerah. Akibatnya mata bor mulai meleleh. Untunglah hanya bagian mata bor yang somplak.
Mba menyadari situasi ini dan melayangkan bantuan seketika. Ia memasangkan mata bor pengganti buatan Elle di tengah-tengah panas yang dapat membuat besi meleleh.
"Selesai," ujar Mba. "Maaf... sekarang bagaimana kita keluar dari sini?" tanya Mba. Matanya melirik pada sebuah benda kubus dengan dua tombol yang sedang dipegang Elle. Gadis kecil itu tertawa lebar seraya mengajak Mba kembali masuk dalam kompartemen. Ia lalu meminta Mba untuk duduk di kursi.
"Mommy pegangan ya, nom. Elle mau pakai Springfield, nom."
Setelah berkata itu, Elle mendadak menekan sebuah tombol. Empat buah ledakan tanpa panas terdengar di luar sana. Kerasnya suara ledakan membuat kuping Mba pengang. Elle seharusnya menyebut tutup telinga, bukan pegangan.
Elle menekan tombol kedua. Kali ini tidak terdengar ledakan, tapi dorongan keras dari luar yang membuat bor dan kompartemen berputar keras. Goncangannya begitu dahsyat bahkan mampu membuat Mba mual dan muntah. Tapi begitupun juga dengan Elle. Keduanya hanya saling tertawa saja karena kejadian ini.
Perjalanan memutar mereka berikutnya aman. Mata bor sudah bisa menembus-hancurkan bebatuan di depannya dan racun sudah terhisap. Itulah yang mereka harapkan dan pikirkan. Tapi cerita kadung berkata lain. Selalu ada saja gangguan di tengah selesainya harapan.
"Panas..." erang Mba pertama kali. Diikuti oleh Elle yang mengamini. Dan Mba pula yang menyadari adanya marabahaya lain mengancam. Dengan segera, ia menindih Elle.
"Mommy sedang apa, nom?"
"Maaf Elle... kumohon jangan bergerak..."
Elle baru mengerti apa maksud Mba setelah melihat adanya lubang di langit-langit kompartemen. Dari lubang tersebut menetes cairan merah yang mendesiskan panas. Cairan itu lantas jatuh di punggung Mba. "Mo-mommy..." erang Elle saat menyadari perempuan berambut pelangi itu sedang melindunginya dari lelehan besi tersebut. Mba hanya berkeringat seraya memberi telunjuk di depan mulutnya.
Guncangan yang keras kembali terjadi, lelehan besi itu muncrat ke sekitar kompartemen. dengan segera lantai berubah menjadi bolong-bolong layaknya kertas dibakar. Elle tercekat. Api itu sangat berbahaya.
"Darimana bocor tersebut, nom?" Elle beringsut dari posisinya, mencoba mencari asal muasal kebocoran. Mba terpekik kaget. Gerakan merayap Elle barusan membuat wajahnya memerah. Barulah Elle menyadari mengapa Mba terpekik kaget. Bukan karena gerak merayapnya, melainkan karena lelehan besi tersebut ikut melukai punggung Mba. Setitik bekas merah tercetak di punggung perempuan berambut pelangi itu.
Tidak hanya setitik. Dua, tiga, lelehan besi yang menerpa punggung Mba membuat luka yang memerah pada kulit putih perempuan tersebut. Lelah Mba jelas terlihat. Andai Elle tidak menariknya ke kursi, mungkin perempuan berambut pelangi itu sudah pingsan.
Sekarang giliran Elle yang mencari asal muasal lelehan tersebut. Setelah menghentak lantai kompartemen sekali, barulah Elle mengerti. "Adduuuh ledakannya bikin tungkunya bocor, nom,"
Tapi percuma saja tahu sekarang. Langit-langit kompartemen hampir habis dimakan api. Elle tersentak, ia menengok pada kemudi. Kemudi itu masih belum meleleh tapi tepat di atasnya, sebuah tetesan hampir jatuh. Elle dengan bersegera lari ke depan kemudi. Ia mengeluarkan sebuah paku berkepala bundar dan menancapkannya pada tanah. Begitu tertanam, paku itu melepaskan sebuah gelombang kejut yang luar biasa bersamaan dengan berayunnya jarum lain dari kepala paku. Bunyi tik-tok-tik-tok terdengar. Meranggasnya lantai kompartemen pun melambat.
Tapi Elle tercekat, kecepatan jatuhnya sebutir cairan merah dari langit-langit tidak berkurang sama sekali. Sialnya, cairan tersebut hendak jatuh tepat ke atas kepala Elle. Gadis kecil itu terpekik.
Mba dengan sigap menghalangi dengan badannya. Desis tajam terdengar bersamaan dengan erang berat perempuan berhiaskan sayur-sayuran. Elle melihat dengan jelas bagaimana roman derita wajah Mba. Ia hampir saja ikut menjerit takut. Tapi sekali lagi Mba memberi telunjuk di depan bibirnya. "Maaf... jangan khawatir. Yang seperti ini tidak sesakit ditinggal orang terkasih..." ujar Mba seraya mengusap pipi tembam Elle dengan penuh kelembutan.
Elle kembali tersadar dan mengambil kemudi kompartemen. "Mommy pegangan, nom!"
Dengan sigap ia menarik kemudi itu ke atas. Mba terjungkal keras dan tak sempat berpegangan pada kursi. Jadilah punggungnya menghantam pintu belakang kompartemen. Suara benturan yang keras membuat Elle menengok.
"Mommy!"
Mba hanya terengah. Dan perempuan itu justru membelalakkan mata pada Elle. Ia menunjuk-nunjuk ke layar. Begitu Elle menengok, barulah ia paham apa yang membuat Mba begitu panik. Sebuah material hitam (lagi) menghalangi laju bor. Mba dengan refleks menerjang ke arah Elle.
Dan benturan tidak dapat terelakkan.
***
Mba membuka matanya. Ia melihat kelambu sutra. Apakah ia kembali berada di kamarnya? Perempuan itu berusaha bangkit. Tapi yang didapatinya adalah nyeri punggung yang teramat sangat. Belum lagi kelelahan yang masih mengekor. Lalu mual.
Mba tidak dapat menghentikan geliat yang berada dalam perutnya. Ia memuntahkan segala isi perutnya seketika itu juga. Saat memandang sekitar, barulah ia sadar bahwa tempat ini bukanlah kamarnya.
Kelambu sutra yang Mba lihat ternyata adalah sebuah selubung tipis yang mengelilingi seluruh ruangan. Ruangan ini sendiri terlihat berkilau. Bukan karena pencahayaannya yang indah, melainkan karena benda yang bertaburan di sekelilingnya adalah benda berkilau seperti emas, berlian dan segala hal lain. Tak jauh dari lokasinya terdapat bor besar dan kompartemen yang hancur. Elle?
"Elle?"
Satu teriakan itu saja membuat kepala Mba berdenging. Ia mencoba beringsut. Dengan satu erangan keras, Mba berhasil berdiri. Dan sungguh, ia merasa sangat heran dengan kondisinya saat ini. Ia dahulu tidak pernah merasakan sakit begitu rupa. Ia hanya pernah merasakan lelah saat tidak tidur tiga hari tiga malam akibat perang panjang. Tapi itupun terbayar dengan tidur seminggu penuh.
"Mommy?"
Suara cempreng terdengar tak jauh darinya. Ia melihat Elle melongok dari sisi lain kompartemen. gadis kecil itu langsung melonjak ceria mendapati Mba sudah terbangun. Ia pun melompat ke pelukan Mba.
"Mommy, coba lihat tempat ini, nom! Isinya harta semua, nom!" ujar Elle yang membawa segenggam berlian. Gadis kecil itu lalu menunjuk sebuah lokasi.
Mba mengikuti kemana telunjuk Elle bergerak. Mba tidak begitu tertarik dengan isi ruangan ini. Tapi informasi ini membuat Mba tersentak. "Elle, apa mungkin kita sampai di ruang harta tuan Thurqk?"
Elle justru menggembungkan pipinya "Mommy jangan panggil om merah itu pake tuan, nom! Elle nggak suka, kesannya om merah istimewa banget buat mommy, nom."
Mba tidak dapat berkata-kata. Cara memanggil itu sudah paten di kepalanya. "Elle juga nggak suka mommy sopan sama om merah. Dia jahat sama mommy, nom."
"Ma-maaf Elle... tapi siapa tahu tuan Th-" Mba menghentikan kalimatnya. Pandangan mata sebal dari Elle membuatnya tertawa kaku. "Siapa tahu Th-Thurqk bisa berubah," ralat Mba dengan senyum kering.
"Nah begitu kan bagus, nom. Tapi Elle nggak percaya om merah bisa berubah. Paling yang ada dia makin bertingkah, nom."
Mba mengusap rambut Elle dan tersenyum lembut padanya. "Manusia bisa berubah kalau diberi kesempatan, Elle sayang. Asal mereka mau berdamai."
Elle kembali menggembungkan pipinya. Tapi ia tidak punya jawaban. Dan jadilah ia memeluk Mba seraya merajuk cengeng "Elle cuma nggak suka kalau mommy baik ke orang jahat," Mba terenyuh mendengarnya. Ia mengusap dan mencium kening Elle.
"Penyusup di dalam!! Keluar dari ruang harta Yang Maha Kuasa Thurqk!"
Mba dan Elle terkaget. Suara tersebut bergema di seisi ruangan. Keduanya kemudian saling pandang.
"Bila tidak keluar, kami akan mendobrak pintu dan melakukan tindakan paksa."
"Mommy biarkan saja, paling-paling Cuckoo nggak berani. Kalau ini kamar harta om merah, palingan Cuckoo bisa dimarahin, nom."
Mba setuju. Tapi pendapat mereka itu dipatahkan oleh sebuah suara lain.
"Hey tikus kecil, cepat keluar sebelum kalian kujadikan makanan kecil harian."
Thurqk. Siapa yang menyangka dewa merah itu justru turun tangan sendiri.
"Jangan kira aku tidak tahu siapa yang ada di dalam. Pertandingan kalian sedikit menarik tapi memuakkan. Usaha untuk keluar dari sini hanya mimpi! Kalian adalah peliharaanku. Hanya burung yang disangkar! Aku yang menentukan hidup kalian!"
Mba berdeguk. Ia memandang sekeliling lalu mengambil pedang yang tergeletak di lantai. Determinasi yang kuat terpancar dari mata perempuan yang biasanya penakut itu.
"Mommy? Mommy mau melawan om merah, nom?" tanya Elle. Mba menggeleng. Ia kemudian berbisik pada Elle. Mata Elle berbinar mendengarnya. Ia melirik harta yang menggunung dan makin berbinar melihatnya.
"Elle bisa, nom! Kalau cuma itu sih kecil. Mau dua atau tiga juga bisa, nom!"
***
Mba Irwin mengaku dirinya penakut. Enggan pun menjadi 'nama' keduanya. Tapi kali ini, ia mengakui darahnya berdesir penuh dengan nyali. Bahkan ia merasa genggamannya pada pedang sangat kuat, jauh lebih kuat daripada memegang pacul.
Mba membuka pintu gerbang berwarna emas dengan tenang. Ia langsung berhadapan dengan Thurqk. Tatapan mata sang dewa merah tersebut membuatnya berdeguk. Keringat dingin langsung mengalir. Kakinya hampir tersurut mundur. Tapi perempuan ini menggigit bibirnya.
"Elle... Elle... Elle..." bisik Mba layaknya mengucap Mantra. Siapa yang menyangka menyebut nama itu mampu membuat Mba lebih tegar. Ia bahkan melangkah maju.
Thurqk menaikkan dagunya. Mata sang dewa merah terpaku pada pedang yang digenggam Mba. Ia terkekeh kecil.
"Sudah berani menentangku, heh?" Thurqk mengangkat telunjuk kanannya. Sebuah api berwarna pelangi terbentuk dari ujung kukunya. Tubuh Mba langsung bergetar melihat ini. Ia memasang kuda-kuda layaknya petani yang hendak memacul.
"Tu-... Thurqk... maaf... aku mohon jangan ganggu Elle..."
"Berarti kau akan menyerahkan nyawamu demi dia?"
Mba terdiam. "Maaf... apabila memang peraturannya begitu..." jawab Mba. Pedang yang berada di atas kepalanya diturunkan ke leher. Respon tidak biasa dari Mba ini membuat Thurqk mengusap dagunya.
"Hoo... apa yang menyebabkanmu berani bertindak bodoh?"
Mba tercekat. "Karena... itulah yang harus dilakukan orang tua!" jawab Mba keras.
Thurqk lantas tertawa lantang. "Permainan anak-ibu kalian benar-benar membuatku tertawa. Kau seharusnya tahu tidak mungkin bisa memiliki anak kontet seperti itu."
"Tidak. Aku percaya."
Thurqk dibungkam dengan jawaban dan tatapan mata Mba yang pasti. Ia lalu kembali mengusap dagunya.
"Jadi begini kelakuan seorang wanita bila sudah memerankan seorang ibu. Menarik. Menarik!" Ujar Thurqk seraya berjalan mendekati Mba. Tatapannya yang tajam membuat badan Mba kaku.
Dalam jarak dekat, Mba merasa seperti melihat raksasa berdiri di hadapannya. Nyalinya hampir putus. "Insting keibuan sudah muncul rupanya. Padahal belum ada tujuh bulan," ujar Thurqk dalam kekehan kecilnya.
Mba mengangkat alis, tak mengerti maksud sang dewa merah. Dan baru saja otaknya mencerna ucapan sang dewa, bibirnya telah berpagutan dengan bibir sang dewa merah.
Sang dewa merah mendorong Mba ke tembok, memastikan posisi skakmat pada perempuan ini. Lenguhan kecil terdengar dari sesak napas Mba. Thurqk menyipitkan alis dan menarik ciumannya.
"Bagaimana rasanya sakit? Api yang kumasukkan dalam tungku itu juga kuberi penghancur realitas. Siapa tahu kapan-kapan kau ingin berendam di sana," Thurqk terkekeh tipis. Kalimat ini membuat gemetar-takut meraga di tubuh Mba. Dan sebelum perempuan itu berhasil mengangkat lagi nyalinya, ciuman lain menggasak bibirnya.
Mba berontak, ia mencoba mendorong tapi tubuh kekar sang dewa tak tergoyahkan. Tangannya yang memegang pedang dicengkram keras. Air matanya menetes, semakin ia meronta, semakin ia merasa seisi mulutnya diaduk oleh lidah sang dewa. Ia ingin menggigit, tapi posisi bibirnya sudah dikunci mati.
Jijik! Jijik! Mba bahkan merasa gesekan kasar dari tubuh kekar tepat di dadanya. Tidak ada kelembutan. Tidak seperti saat Elle memeluknya. Ia benci ini. Kepalanya diantukkan ke dinding berkali-kali. Besar harapan setidaknya bisa untuk menggeser kepala Thurqk sedikit saja.
Thurqk tahu usaha Mba. Ia menjentikkan jarinya di dekat mata Mba. Sebuah percikan api pelangi membuat perhatian mata Mba teralihkan. Ketakutannya mengalir cepat di dalam nadi. Dan percikan pelangi itu tiba-tiba membuat Mba mengantuk –tapi tidak lelah.
Pedang yang berada di tangan Mba terjatuh. Thurqk pun melepas bibirnya. Ia terkekeh saat melihat Mba memberi tatapan kosong padanya. Thurqk kemudian melepeh ludah darah ke lantai. Rupanya Mba sempat menggigit bibir Thurqk saat berontak.
Mba tampak seperti boneka tanpa kesadaran. Ia bahkan mendiamkan saja saat jemari Thurqk menggores aksara nama di perutnya. Ia mendiamkan saat perutnya dipukul. Begitupun ia juga terdiam saat Thurqk menamparnya. Dan semua serangan tersebut memberi bekas luka di tubuhnya. Tidak terpantul sama sekali.
Thurqk mendengus lalu tersenyum puas melihat ini. Lalu ia menampar, menampar dan terus menampar sampai bibir Mba lecet berdarah. Bosan dengan ini, Thurqk mengambil pedang Mba yang tergeletak. Ia menggoreskan api pelangi pada bilah pedang, membuatnya berkilau dalam cahaya yang mistis.
"Kau menjatuhkan pedangmu. Sekarang ayo kalian berdua berikan pertunjukan terbaik untukku."
Mba menerima saja pedang yang diberikan Thurqk. Ia lalu berjalan gontai kembali menuju ruangan harta. Ia terus berjalan kembali ke rongsokan kompartemen.
"Mommy!"
Jerit Elle menyambut kedatangan Mba. Dan seperti pada pertemuan pertama, Mba ditabrak dan dijatuhkan ke tanah. Gadis kecil itu lantas membenamkan kepalanya di dada Mba.
Mba, di lain sisi, justru memandang kosong pada Elle. Pedang di tangannya terangkat. Lalu tanpa menjawab salam Elle, pedang itu ditusukkan tepat ke tengkuk gadis kecil itu.
"Mo...mmy?"
Pedang itu tembus sampai leher Elle. Suara gadis kecil itu berubah serak dan mengecil. Mba menarik pedangnya. Cairan merah mengucur deras ke pangkuannya diikuti dengan rubuhnya Elle. Tidak ada suara terdengar.
"Selamat! Kau menang pertandingan ini. Bergembiralah."
Suara Thurqk barusan membuat Mba tersadar. Ia menatap tubuh Elle di pangkuannya. Ia kemudian tersenyum.
"Elle, kita berhasil! Rencana membuat boneka-nya berhasil," Mba melonjak senang. Tapi tidak ada jawaban dari Elle. Hanya gema suaranya saja yang terdengar.
"...Elle?"
Mba mulai mencari Elle. Jantungnya mulai berdebar keras, seolah menyatakan sesuatu yang salah telah dilakukan.
"Mencari ini?" suara Thurqk di belakang membuat Mba menoleh terkejut. Tapi ia lebih terkejut melihat sebuah benda yang ditunjukkan Thurqk. Sebuah boneka. Sangat mirip dengan Elle. "Kalau saja pecahan layar itu tidak memberi tahu, mungkin saja aku tertipu. Jadi aku mengirim Hyvt ke dalam untuk menyergap lawanmu sembari kita bercinta di luar barusan," ujar Thurqk puas. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke boneka yang menyerupai Elle."Mainan yang bagus tapi tidak mirip asli."
"Ti-tidak mungkin..." Mba menggelengkan kepalanya. Keringat dingin mengucur lengkap dengan pias pucat yang mewarna wajah Mba. Ia menengok ke arah mayat yang telah bersimbah darah.
"Ja-jadi... yang itu...?" Mba memandang kedua belah telapak tangan dan celananya yang telah kotor tersimbah cairan merah. Perutnya mual. Bau besi dan amis cairan merah itu terasa sangat nyata. Darah. Mba menolak tuk percaya. Ia menoleh pada Thurqk.
Sang dewa merah menyeringai "Asli. Selamat, kau telah membunuh Richella Elleanor," ujar Thurqk seraya melempar boneka ke pangkuan Mba.
Boneka tersebut menyebut "Mommy," dalam nada suara datar. Tidak hangat seperti Elle. Begitupun kulit gadis kecil itu tidak mengeluarkan kehangatan. Tembam pipinya justru terasa keras. Mba mencoba mengguncang tubuh mungil itu. Hanya jawaban "Mommy," saja yang terdengar. Air mata Mba tak dapat tertahan lagi. Ia menangis mengerung. "Elle! Elle! ELLE!"
Thurqk berdecak. "Ternyata dia tidak tahan banting. Membosankan."
Thurqk pun berbalik badan. Dengan jumawa ia melangkah keluar, diikuti para Thurqk bersayap hitam. Mba yang masih mengerung di tanah menangkap suara bisikan "Dasar bodoh,". Mba menengadah, mencari sumber suara, dan disanalah ia melihat sosok yang membuatnya terbelalak. Sosok yang membawanya masuk dalam kekacauan. Sosok Hyvt bersayap putih.
Hyvt bersayap putih itu menyeringai sebelum berbalik badan dan mengikuti barisan Hyvt bersayap hitam.
"Tunggu! Tunggu dulu!"
Mba berusaha berdiri dan mengejar. Tapi apalah daya, pintu sudah terlanjur ditutup. Yang Mba dapat lakukan hanyalah menggedor sekeras-kerasnya. Lagi-lagi percuma saja. Raungan dan erangan dari perempuan yang terluka seringkali diabaikan pria. Apalagi pria yang sadis. Teriakan Mba dan gedoran pintu justru menjadi simfoni yang menggugah pendengarannya.
Di luar pintu, pria berbaju putih berkacamata menghadang langkah Thurqk. Ia tersenyum dan berkata "Apa kau menyukai pertunjukan kali ini, tuhanku... Thurqk?"
Thurqk menyeringai tipis. Ia kembali berjalan dan menepuk pundak sang pria berbaju putih "Ini baru hiburan. Kerja bagus, Nolan."
Sang pria bernama Nolan hanya terdiam. Ia membiarkan barisan Hyvt bersayap hitam melewatinya. Saat ia berpapasan dengan Hyvt bersayap putih, ia menaikkan kacamatanya seraya memberi sebuah senyum. Senyum yang misterius. Begitupun sang Hyvt bersayap putih yang memberikan sebuah pecahan kaca pada Nolan.
Setelah rombongan tersebut lewat. Nolan menatap pintu yang sudah tak lagi digedor. Ia menundukkan wajahnya dan berkata "Maaf, Mba Irwin."
- To be Continue -
Hvyt perempuan? Such thing exists?
ReplyDeleteBtw, kayanya yang bener 'Hvyt'. Huruf V sebelum Y, cmiiw (ga penting sih)
Apa yang terjadi sama Mba sebelum pertandingan? Habis kehilangan keperawanan kah? #plak
Jadi ada lagi ya karakter yang dapet 'perlakuan khusus' dari Thurqk.. Sebenernya plot sebagai anomali itu lumayan ngena, tapi sayangnya berkesan dull in comparison sama actual match-nya. Entah kenapa Mba langsung nerima panggilan mommy dan kebanyakan narasi yang berkesan ngulur sekedar buat nunjukin keengganan itu kurang engaging. Pas akhirnya ada rencana pake boneka buat ngelabuin Thurqk pun saya malah ngernyitin dahi mikir 'wut, boneka?'.
Sebenernya secara karakter saya lebih suka Mba, tapi kayanya ronde ini ga bisa bikin hati saya bohong. Secara overall saya masih lebih prefer entri Elle buat pertandingan ini.
Shared score dari impression K-3 : 7,2
Polarization -/+ 0,2
Karena saya lebih suka entri Elle, jadi entri ini saya kasih -0,2
Final score : 7,0
well, karena any things could happen there, why not make it happen? Hvyt perempuan is not a bad idea tho ^^v
Deletewell, soal langsung manggil Mommy itu... gw baca di charsheet si Elle bisa langsung captivated person heart. daaan karena Mba termasuk yang ga kebal sama beginian... dia juga nerima aja. well, kalo ga sempet kebaca, berarti gw yang kurang nambah narasi ^^;
dan boneka... ya... itu gw masih kurang foreshadow. padahal mereka dah sempet lewat di bawah ruang Nim vs Flager. pas gw cek ternyata ada dialog yang keapus pas gw kirim... tapi ya sudahlah... terlanjur juga kalo maw disebut.
ty ya dah komen, Sam :D
belum selesei baca, tapi aaaakkhhhhhh ini cerita owsomm sekaliiii >___________<
ReplyDelete<< ceritanya gk tahan utk komen takut feel nya ilang nom T3T
suka pas ngobrol2 sama Thruqk ituuuuu aaaaaaaaaaa Thurqk nya kelihatan dewa n sengaknyaaa wkwkw dan si Mba nya unyu bgt >___<
saya agak lost pas Elle ngeluarin bor ituh... nti sy baca lagi...
skornya nyusul, ini sy cuma ngerandom :"3 #diusir
hwhwhw ditunggu skornya ya Ann :D
Deletegw seneng karena lu suka ma ceritanya :D
Wait... ini bukan environmental kill, ini Gods assisted kill...
ReplyDeleteThe fact that you used Thurqk himself as a reason to eliminate Elle is kinda overkill, I don't like it. Mungkin kau harusnya pakai evironmental kill dan menggunakan kekuatan Mba sebagai trigger biar lebih seru, IMHO sih~
Score 7,5
whhwwh gods assisted kill ya?
Deletewell, kebetulan gw emang sengaja pilih cara kill ini soalnya yang lain jarang abuse. dan jujur IMO i use this for the sake of canon. i need two chapters that really focuses on Thurqk, R1 is already enough for me to glimpse what Mba can do at that time. and R4 perhaps will be different view because the gear is already set :)
tapi yeah, i agree, perhaps i could make Elle melt there (in Lava scene) or accidentally killed by poison that smear(ed) on Mba's cloth, yet i choose something different. consider it as a hint for later canon~ :D
BTW, ty very much ya bang Zoel :D
Deletegw ngerasa seneng dapet masukan berarti :)
ReplyDeleteFerrum : "E... Elle... Imutnya... Kenapa ada petarung seunyu
ini..."
Limbo : "Bah, mana pertarungannya, padahal sudah kutunggu-tunggu
tapi semua berakhir hanya karena sebuah tikaman!"
Ferrum : "Perjalanan untuk melarikan diri kedua sangat menarik,
tahu! Yah, walau temponya agak lambat... Tapi bumbu kisah kasih
sayang antara ibu dan anaknya, sungguh menggetarkan hati!"
Limbo : "Bicara soal ibu dan anak, sejak kapan Elle jadi anak
Mba? Dan apa maksud Thurqk soal tujuh bulan itu?"
Ferrum : "Aku tak tahu."
Limbo : "Lalu, aku baru sadar ada Thurqk bersayap putih. Terus,
bagaimana Mba masuk ke dalam turnamen kalau tidak dibawa
Thurqk?"
Ferrum : "Hmm..."
Limbo : "Ah, intinya aku ingin melihat kelanjutan cerita ini.
Kuberi nilai bagus untuk Mba. 9."
Ferrum : "Eiiit... Bagaimana denganku? Aku juga mau memberi
nilai!"
Limbo : "Memangnya kau mau kasih nilai berapa?"
Ferrum : "Hmm... 9."
Limbo : "Bah, sama saja."
Nilai = 9
Tambahan : Kaget saya banyak hal-hal yang menjurus ke mesumness...
Deletewkwkwkkw emang yang mana aja yang menjurus, Sun? :3
Deletety ya buat nilainya~
gw seneng lu notice banyak hal di cerita kali ini~ yang lu sebutin semua itu emang kunci ke kanon selanjutnya. jadi ya kalo Mba lolos mgkn bakal gw kuak... or perhaps dah lu tebak sih kwkw
Mba Irwin :
ReplyDelete"Umi, gimana? Udah baca?" Begitulah tanyanya ketika akhirnya aku tak kunjung membaca cerita yang ia suguhkan pada R3 Mba Irwin, karakter yang ia bawa pada BOR 4.
"Udah kak.." ujarku sambil sesekali membolak-balik naskah. Aku dan Kak [Re.] - authornya Mba Irwin, sedang duduk di ruang baca BOR. Sudah dua minggu lebih naskah itu bersamaku. Namun kesibukan kerja membuatku tak kunjung membacanya.
"Jadi gimana menurut Umi?"
" Oke.. nih rinciannya :
alur(max 2.0): 1.5 Umi bingung kenapa kak [Re.] somehow maksain banget ceritanya. berasa aneh, waktunya juga kayaknya ini diluar batas waktu banget. Dan Thurqk ikut campur. Hemm....
gaya bahasa(max 2.0): 2.0 as always.. gaya bahasa yang kakak bawa emang enak banget buat di ikutin. Jadi Umi ga mau protes soal ini
konsistensi cerita (max 1.0): 0.8 Umi bingung soal boneka, ikut campurnya thurqk, urusan waktu, rasanya kurang nyambung di otak umi *orz
bagian favorit ( max 1.0) : 1.0 Yah walaupun banyak yang bikin bingung di cerita in, tapi Umi suka konsepnya, suka juga kemesraan ibu-anak yang tercipta jadi Umi kasih full score XD
karakterisasi(max 2.0) : 2.0 Umi suka banget karakterisasi Elle dan Mba disini. XD asyik bangettt XD
kecepatan submit (max 2.0) : 0.5 maaf kak... :(
total : 7.8
"
"Astaga, kayaknya gue bingung."
"Kalo mau nanya lebih lanjut silahkan, kak." Ucapku sambil menunggu pertanyaan yang mungkin keluar darinya.
Entri ke-21…
ReplyDeleteDan saya ngebaca lagi OC tricky seperti ini.
Kenapa? Bener, ga bisa diajak berantem langsung.
Dan gini problemnya. Dengan tema “BATTLE of realms”, peserta dituntut buat bikin pertarungan (secara literal) yang menarik. Masalahnya, buat OC yg susah diajak bertarung kayak mbak, ini punya potensi ngebosenin buat pecinta battle hardcore. Dan, ini yg juga saya temui di entri ini. well, saya sih ga terlalu peduli soal battlenya kak,tapi gara2 temanya ini, mau ga mau ini juga jadi ranah perhatian.jujur kak, andai narasi dan ceritanya ga bagus, saya bakal ngasih nilai jelek ke entri ini.
Untungnya nggak. Untuk cerita sepanjang 30 halaman ini, alurnya enak diikuti. Diksinya sih masih agak monoton, tapi ga terlalu masalah. Typo masih ada beberapa. Overall, cerita ini cukup bagus.
Satu hal lagi. Emang kak ren bisa bikin puisi sendu kayak gitu :v
Untuk nilai, saya ngasih: 7.0
Semangat kak :3
:*
ReplyDelete