"Apakah yang tersisa
Saat api kehilangan panasnya?
Apakah yang kupunya
Saat dirimu tak ada?"
― Sajak Cinta Ventinis.
I
Keempat Hvyt yang menggotong Stallza menurunkan pria itu kembali ke padang rumput merah. Mereka memberi hormat pada Stallza. "Kami harap Anda bisa menyamankan diri sementara waktu hingga pertarungan berikutnya," kata salah satu dari mereka.
Stallza mendengus. "Kalian mengharapkan orang-orang yang diculik secara paksa untuk merasa nyaman?" balas Stallza.
"Kami tahu, Tuan. Tapi kami pun tahu bahwa Yang Mulia Thurqk tidak main-main dengan janjinya," jawab seorang Hvyt yang lain.
Stallza menatap tajam pada Hvyt yang berbicara padanya. Seketika Hvyt itu bersujud. "Aku akan menemukan jalan pulangku sendiri. Aku tidak butuh belas kasihan dari orang yang tidak mengerti arti belas kasihan!" seru Stallza.
"Kami yakin Anda akan menemukannya. Tetapi jalan itu tidak akan mudah," kata Hvyt yang bersujud.
"Siapa? Thurqk?"
"Yang Mulia Thurqk hanya menginginkan kebaikan pada para peserta. Jika tidak seperti itu, mana mungkin Yang Mulia Thurqk mengaruniakan anugerah kehidupan kembali? Tapi tidak demikian dengan pesreta lain. Semua semua memiliki keinginan untuk kembali hidup. Mereka ingin memenangkan pertandingan ini bagaimanapun caranya."
"Aku tidak peduli. Kalau mereka berani menggangguku atau salah satu Spiritia milikku, aku akan mengalahkan mereka semua!" seru Stallza.
Hvyt yang bersujud tersenyum mendengar perkataan Stallza. "Anda semakin mirip dengan Yang Mulia Thurqk, Tuan Stallza," katanya.
"Apa?!"
"Kemarahan itu, aura penguasa Anda, ambisi besar karena menginginkan sesuatu. Bukankah itu semua yang membuat semua peserta berkumpul di sini? Kami rasa Yang Mulia Thurqk pasti akan gembira jika ciptaannya semakin serupa dengannya."
Tengkuk Stallza menegang. Tangannya mengepal kuat. Ia sangat ingin menghajar Hvyt yang bersujud di depannya. Memotong sayap-sayap hitamnya. Menggorok lehernya hingga putus seperti yang dilakukan personifikasi Ryax.
Stallza menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia nyaris kembali dipengaruhi. Tampaknya pengaruh pulau Ryax belum sepenuhnya hilang dari dirinya.
"Pergi," kata Stallza. "Tinggalkan aku sendirian. Sekarang."
Hvyt yang bersujud kembali bangkit berdiri. "Tentu saja, Tuan. Kami akan menjemput Anda saat pertandingan berikutnya akan diadakan."
"Aku harap itu tidak pernah terjadi," balas Stallza.
"Itu mustahil," kata Hvyt yang lain. Kedua sayapnya mengembang. "Semustahil Anda bisa menahan kemarahan Anda untuk selamanya."
Stallza tidak menanggapi perkataan itu. Matanya menatap tajam pada keempat Hvyt itu saat mereka mulai mengepakkan sayap lebar hingga akhirnya kembali menjadi titik hitam di langit merah.
~~~
Menggunakan banyak Spiritia tidak pernah mudah untuk Stallza. Setiap Spiritia membutuhkan bayaran dari eksistensi jiwanya. Semakin banyak menggunakan Spiritia, semakin banyak eksistensinya akan terkuras. Kini jiwanya terasa sangat lelah. Apalagi dua pertarungan yang telah dilakukannya tidak memberinya cukup waktu untuk pulih sepenuhnya.
Stallza memotong rumput di sekitarnya dan menyusunnya menjadi satu. "Bukan kasur yang nyaman, tapi setidaknya cukup untuk berbaring," kata Stallza sambil membaringkan tubuhnya di atas tumpukan rumput itu. "Dan ini lebih baik daripada tidur di punggung ulat raksasa."
Stallza memejamkan mata. Tidak butuh waktu lama untuk pria itu hingga dia benar-benar terlelap. Dan dalam tidurnya Stallza bermimpi tentang Ventinis, perang besar yang tidak akan diingat siapapun, dan seorang gadis di taman istana.
~~~
II
Sudah seminggu berlalu sejak Stallza merhasil memukul mundur musuh dari perbatasan Kerajaan Mendev. Dia baru saja tiba di ibukota hari ini. Dia ingin beristirahat setelah perjalanan jauh. Tetapi para bangsawan—bahkan sang raja—memiliki pemikiran yang berbeda. Mereka ingin mengadakan pesta penyambutan. Mereka tidak peduli pada permintaan Stallza yang hanya ingin beristirahat semalam di ibukota sebelum kembali ke kota asalnya. Para bangsawan hanya ingin berpesta. Keberhasilan Stallza di medan perang hanya menjadi alasan yang membenarkan kebiasaan boros mereka itu.
Malam hari tiba. Di saat sebagian besar rumah di Kerajaan Mendev mulai memadamkan lampu minyak mereka, ruangan dansa istana Mendev masih terang benderang. Musik dan tepuk tangan saling bersahutan. Para pria membawa wanita mereka berdansa di lantai. Beberapa yang memilih tidak berdansa sibuk bergosip atau makan dengan rakus. Tidak ada lagi yang mengingat untuk siapa dan apa alasan mereka berpesta malam ini. Nama Stallza hanya terdengar sekali, lalu terlupakan. Karena itu Stallza memutuskan meninggalkan ruangan itu.
Berada di luar bangunan besar yang menaungi ruangan dansa itu terasa melegakan untuk Stallza. Berjalan-jalan di taman di depan bangunan itu, menghirup udara malam musim gugur yang mulai dingin, menikmati bulan purnama yang damai. Itu semua lebih baik daripada menghabiskan malam bersama orang-orang yang tidak ingin mengingat namanya.
Saat berjalan-jalan di taman, Stallza menemukan sebuah sebuah kolam air mancur yang dikelilingi dinding tanaman yang tinggi. Di tempat itu suara dari ruang dansa terdengar sayup, berganti dengan suara desir angin malam yang menenangkan.
"Malam yang menyenangkan," kata Stallza. "Akan lebih menyenangkan jika mereka ada di sini."
Stallza mengambil sebuah kristal berwarna jingga dari saku baju seragamnya. Kristal itu tampak berkilauan saat cahaya bulan purnama menerpa permukaannya yang mulus.
"Iodesa, aku memanggilmu," kata Stallza pada kristal itu.
"Sebaiknya jangan."
Stallza nyaris melompat saat mendengar suara seorang gadis tiba-tiba terdengar dari belakangnya. Pria itu segera berbalik. Di belakangnya berdiri seorang gadis, tetapi Stallza tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Gadis itu memakai sebuah jubah bertudung berwarna abu-abu. Dia berdiri sekitar sepuluh kaki dari Stallza. Di tangannya terdapat sebuah kipas yang dihiasi bulu burung. Dan gadis itu tersenyum.
"Siapa kau?" tanya Stallza curiga.
"Aku yang seharusnya bertanya seperti itu," balas si gadis.
"Namaku Stallza," balas Stallza singkat.
"Kau adalah alasan pesta diadakan malam ini? Mengapa kau malah berada di sini?" tanya si gadis.
"Aku tidak memintanya," jawab Stallza. "Mereka hanya ingin mencari-cari alasan untuk mengadakan pesta. Mereka tetap akan melakukannya bahkan jika aku mati-matian menolak."
"Dan karena itu kau memilih menyepi di sini dan ditemani para Spiritiamu?" tanya si gadis. Gadis itu membuka kipas dan menutupi mukanya dengan kipas itu.
Mata Stallza menatap tajam ke arah gadis itu. "Darimana kau tahu kalau mereka Spiritia? Siapa yang memberitahumu?"
Gadis itu tertawa kecil di balik kipasnya. "Jangan terlalu terkejut seperti itu, Pahlawan," jawab si gadis.
Stallza berhak untuk terkejut. Keberadaan Spiritia, makhluk panggilan yang dimilikinya, telah dianggap sebagai senjata pamungkas yang berbahaya. Yang mengetahui keberadaan Spiritia pun hanya segelintir orang, hanya para jenderal militer dan sang raja. Mereka telah mewanti-wanti, bahkan mengancam Stallza, untuk tidak membocorkan rahasia itu. Atau nyawanya yang menjadi bayarannya.
"Itu rahasia militer," kata Stallza.
"Oh? Meski bukan orang militer, kau sangat patuh pada perintah mereka," balas si gadis.
"Aku terpaksa," kata Stallza. "Seperti halnya ribuan pria lainnya di seluruh Mendev ini."
"Padahal dengan kekuatan Spiritia kau bisa menghancurkan semua yang memaksamu itu," kata si gadis.
"Aku tidak bisa," kata Stallza.
"Mengapa? Dengan Spiritia kau bisa membunuh mereka bahkan sebelum mereka sadar."
"Aku bukan makhluk jahat yang suka membunuh orang tanpa alasan!"
"Dan kau tidak bermasalah bergabung dengan militer, bahkan menjadi senjata mematikan mereka. Sangat bertentangan dengan apa yang kau sebutkan itu," balas si gadis.
"Itu bukan urusanmu, Nona Bangsawan!" seru Stallza. "Aku dan ribuan orang lainnya telah menyelamatkan kalian dan dunia kecil kalian yang menyenangkan itu. Nyawa kami ditukarkan dengan musik dan tawa dan makanan yang selalu ada untuk kalian, namun tidak pernah ada untuk kami! Lalu apa pedulimu? Aku tidak tahu darimana kau tahu tentang Spiritiaku. Tetapi aku tidak akan membiarkan pihak militer mengambil mereka dariku hanya karena kau mengetahuinya!"
Stallza hendak meraih tangan si gadis saat gadis itu mengibaskan kipasnya ke arah Stallza. Seketika tubuh Stallza berhenti di tempat. Dia ingin menyeret gadis itu dan membawanya ke salah satu jenderal yang berada di ruang dansa, memberitahukan bahwa gadis itu tahu keberadaan Spiritia entah dari mana. Para jenderal akan mengurus gadis itu dan dia akan terlepas dari tuduhan membocorkan rahasia atau pengkhianatan. Tetapi keinginannya seakan hilang diterbangkan angin saat si gadis mengibaskan kipas di tangannya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Stallza.
"Apa kau tidak sadar? Coba rasakan lagi. Apa kau tidak merasakan getaran halus yang merayap di kulitmu saat ini?" balas si gadis.
Mata Stallza melihat sebuah benda berkilauan di jari manis si gadis. Seketika sesuatu dalam dirinya memberikan sensasi menggelitik saat melihat kilauan itu. Perasaan itu hanya Stallza alami saat dia berdekatan dengan para Spiritia.
"Kau memiliki Spiritia? Bagaimana mungkin?" tanya Stallza.
"Spiritia ini adalah warisanku," jawab si gadis.
"Tapi… bagaimana mungkin? Aku tidak pernah tahu ada Spiritia seperti itu."
Gadis di depan Stallza tertawa kecil. "Tentu saja kau tidak pernah tahu. Kau mungkin baru menyadari keberadaan Spiritia beberapa bulan lalu," kata si gadis. "Tapi aku akan memberitahumu segala yang aku tahu tentang Spiritia."
Kening Stallza berkerut. "Untuk apa? Apa rencanamu?" tanyanya. Stallza mencoba menggerakkan kakinya, namun kakinya tidak bergerak sedikitpun.
"Jangan buang-buang tenagamu," kata si gadis. "Sekarang kau berada di bawah pengaruh Spiritiaku."
"Spiritia apa yang kau miliki?"
"Akan kujawab apapun yang kau tanyakan padaku," jawab si gadis, "tetapi tidak di sini. Tidak di tengah taman ini dan tidak di malam yang dingin seperti ini."
Si gadis berbalik dan melangkah pergi meninggalkan tempat itu. "Kau akan terlepas dari pengaruh Auria saat aku sudah jauh," kata si gadis tanpa menoleh. "Ah! Aku baru saja menyebut nama Spiritiaku. Sisanya akan kukatakan padamu jika kau muncul di Perpustakan Istana Mendev, ruang bawah tanah, tepat setelah matahari tenggelam besok."
Tepat seperti yang dikatakan gadis itu, kekuatan yang menahan tubuh Stallza akhirnya lenyap setelah gadis berkerudung itu menghilang dari pandangannya.
~~~
Dua orang Hvyt menatap Stallza yang sedang tidur pulas dari atas langit. Satu Hvyt dengan simbol lidah api yang memanjang di sisi kiri tubuhnya, sedangkan yang lainnya memiliki simbol lidah api di perutnya.
"Peserta ditemukan," kata Hvyt dengan simbol lidah api di dada kirinya.
Keduanya turun di samping Stallza dan mengangkat tubuh pria itu dengan perlahan.
"Aku tidak menyangka orang seperti ini bisa orang yang selamat dari pulau Ryax," kata Hvyt dengan simbol lidah api di perutnya. "Orang ini tidak tampak kejam atau haus darah. Bagaimana mungkin bisa dia mengalahkan mereka semua? Apa yang dia miliki?"
"Kita tidak akan pernah tahu, kawan," balas Hvyt di sebelahnya. "Dan kita harus berhati-hati jika tidak ingin bernasib sama seperti empat teman kita yang lain."
"Kau benar," kata Hvyt dengan simbol lidah api di perutnya. "Kalau kita sempat terpengaruh aura sang raja seperti mereka berempat, bisa-bisa kita berakhir dalam api Yang Mulia Thurqk."
Kedua Hvyt mengepakkan sayapnya sepelan mungkin. Perjalanan akan jauh lebih lama, tetapi itu lebih baik daripada membangunkan aura sang raja di dalam diri peserta yang mereka bawa.
~~~
III
Perpustakaan yang dituju Stallza sangat berbeda dengan perpustakaan di kota asalnya. Dibandingkan bangunan dua lantai dengan koleksi tua itu, gedung yang bagaikan istana yang sedang ditujunya saat ini bagaikan tanah dan langit. Konon di dalam Perpustakaan Istana Mendev terdapat seluruh buku dari seluruh dunia. Tidak semua bangsawan bisa masuk ke sana, apalagi orang biasa. Tetapi nyatanya Stallza yang bukan siapa-siapa telah diberikan izin untuk pergi ke sana.
Di depan gerbang berdiri empat orang prajurit penjaga bersenjata lengkap: sebilah pedang ramping di pinggang kiri dan sebuah senjata api di pinggang kanan. Dalam keadaan biasa para prajurit tidak akan menggunakan senjata api itu. Mereka tidak akan menghabiskan waktu untuk memasukkan bubuk mesiu dan peluru sebelum menembakkannya ke arah target yang mungkin saja telah melarikan diri saat mereka selesai menyiapkan senjata—atau menghabisi mereka dengan senjata yang lebih lincah sementara mereka melakukan itu. Karena itu Stallza yakin kemampuan para penjaga gerbang itu dalam berpedang sangat tinggi, meski tubuh mereka tampak kekar.
Keempat penjaga itu menatap Stallza dari atas ke bawah, seakan ingin menguliti Stallza lapis demi lapis. Tatapan mata khas seorang bangsawan. Stallza menduga mereka berasal dari keluarga bangsawan kecil yang merasa sangat bersyukur dan bangga telah dipekerjakan di dalam kompleks istana, meski itu hanya untuk mengawasi salah satu gedung yang jarang didatangi para bangsawan tinggi seperti perpustakaan ini.
"Tunggu di sini," kata seorang penjaga dengan nada galak. Penjaga itu memberi kode ke tiga temannya untuk mengawasi Stallza sementara dia masuk ke dalam dan memberitahukan kedatangan pria itu.
Cukup lama Stallza berada di luar. Ketiga pengawasnya bergeming, namun Stallza tahu mata mereka melihat semua gerak gerik yang dia lakukan. Berkas jingga sinar matahari sore perlahan merayap naik ke atas atap geding perpustakaan saat sang penjaga yang masuk untuk melapor kembali ke depan gerbang.
"Kau boleh masuk," kata sang penjaga dengan suara keras. "Aku yang akan mengantarmu."
Stallza mengikuti langkah kaki sang penjaga menyusuri jalanan yang berlapiskan batu pualam. Di depannya gedung perpustakaan itu tampak semakin megah. Dua tiang besar dari pualam berdiri di depan pintu untuk menyambut siapapun yang masuk ke dalamnya. Dinding yang terbuat dari batuan marmer yang dipahat dengan berbagai kisah kepahlawanan masa lalu menghiasi bagian luarnya.
Setelah menaiki sepuluh anak tangga akhirnya Stallza berdiri di depan sebuah pintu besar dari kayu berwarna cokelat tua yang dijaga dua orang penjaga. Sang penjaga yang mengantar Stallza memberi kode ke kedua penjaga itu untuk membukakan pintu.
"Aku tidak tahu apa yang dipikirkan sang putri saat memanggilmu ke tempat ini. Tetapi apapun itu, kusarankan agar kau tidak merasa sombong dan membual demi keselamatan nyawamu," kata sang penjaga yang membawa Stallza saat mereka berdua telah memasuki ruangan.
"Tunggu dulu," kata Stallza. "Kau bilang siapa yang memanggilku ke sini? Sang putri?"
Sang penjaga tidak menjawab pertanyaan itu. Pria bertubuh besar itu hanya melihat ke arah Stallza dengan tatapan mengancam. Stallza memutuskan untuk mengalihkan pandangan hingga sang penjaga kembali berjalan di depannya.
Siapapun yang memanggilnya ke tempat ini akan dia lihat sendiri. Stallza merasa saat ini dia lebih baik mengikuti permainan gadis itu.
~~~
Jarak dari pintu masuk menuju pintu lain yang menuju lantai bawah terasa sama jauhnya dengan jarak dari kedai menuju pasar utama bagi Stallza. Kedai milik Stallza, satu-satunya warisan dari kedua orang tuanya dan juga dunia yang dia miliki sebelum menjadi sang pahlawan perang, terletak sekitar lima ratus kaki dari pasar utama di kota asal Stallza. Tetapi berbeda dengan kota asalnya, yang membentang di sejauh jarak itu bukan deretan rumah kumuh, melainkan deretan rak buku dengan tinggi sekitar empat kali manusia dewasa. Stallza berhenti menghitung setelah rak ke seratus—atau deretan ke seratus, karena di tiap deretnya masih terdapat beberapa belas rak buku lain.
"Mulai dari sini adalah giliranmu," kata sang penjaga yang mengantar Stallza. Pria kekar itu memeriksa setiap sudut tubuh Stallza untuk memastikan tidak ada senjata apapun yang dibawanya.
"Bukannya seharusnya ini dilakukan di luar?" tanya Stallza.
"Dan menghancurkan reputasi tempat ini?" balas sang penjaga. "Tempat ini diperuntukkan hanya untuk bangsawan kelas atas, dan mereka tidak mungkin membawa senjata apapun. Mereka bahkan tidak bisa mengangkat pisau yang lebih berat dari pisau makan mereka yang tumpul itu."
"Oh, aku merasa ada sedikit hinaan di sana," kata Stallza.
Stallza bermaksud meringankan suasana, tetapi yang terjadi adalah yang sebaliknya. Sang penjaga mendorong tubuh Stallza ke tembok pualam dengan keras dan menahannya di sana.
"Dengar, Jelata. Aku tidak peduli dari mana asalmu atau apa yang kau perbuat di medan pertempuran hingga mereka menganugerahimu berbagai gelar itu. Tetapi posisiku lebih tinggi darimu. Aku mungkin terlahir di keluarga terendah dalam bangsawan di istana ini, tapi yang pasti derajat darahku jauh lebih tinggi darimu!" sahut sang penjaga. Suaranya bergema di ruangan yang kosong itu.
"Tetap saja kau seorang penjaga," balas Stallza. Kali ini dia tidak ingin bercanda. Sikap bangsawan yang menghina seperti ini tidak pernah disukainya. Dan semakin ditindas, Stallza akan semakin melawan mereka.
"Akan kukatakan pada sang putri kalau kau menjadi gila dan mencoba melawan kami sehingga kami terpaksa membunuhmu," kata sang penjaga sambil menarik pedangnya. Tetapi sebelum sempat sang penjaga melakukan sesuatu dengan pedang itu, sesosok pria berjubah abu-abu telah berdiri di samping sang penjaga dan memegang tangannya. Stallza tidak melihat wajah pria itu dengan jelas karena terhalang tudung jubahnya, dan itu mengingatkannya dengan sosok gadis yang dia temui semalam.
"Berhenti sampai di situ," kata sang pria berjubah abu-abu. Dengan satu gerakan dia menghempaskan sang penjaga hingga terjerembap ke lantai.
Stallza melihat mata sang penjaga membelalak ketakutan melihat sosok pria berjubah abu-abu itu. Sang penjaga bahkan bersujud dengan muka menyentuh lantai di depan pria itu.
"Maafkan hamba! Hamba tidak—"
"Berhenti!" seru si pria berjubah. "Aku tidak mau mendengar alasanmu! Pergi sekarang atau kau tidak akan melihat matahari pagi!"
Sang penjaga dengan gugup mengambil pedangnya yang terlempar saat dihempaskan ke lantai. Dengan tergopoh-gopoh dia berlari meninggalkan tempat itu, seolah dia baru saja melihat hantu yang sangat menyeramkan.
"Mari ikut saya, Tuan Stallza," kata sosok pria berjubah saat sosok sang penjaga telah hilang di balik pintu masuk. "Tuan putri telah menunggu Anda sejak tadi."
"Tunggu," kata Stallza. "Tuan putri? Siapa yang sebenarnya sedang kuhadapi saat ini?"
Sang pria berjubah tersenyum. Ia melangkan mendekati Stallza, membuat Stallza mengambil sikap siaga sambil memasukkan satu tangannya ke dalam saku celananya.
"Anda tidak perlu mengeluarkan Spiritia Anda di sini, Tuan," kata pria berjubah itu.
Stallza mengernyit. "Kemarin gadis berjubah sepertimu juga tahu tentang Spiritia. Sekarang aku tidak yakin bagaimana militer menjaga kerahasiaannya."
Pria berjubah di depan Stallza membalas dengan senyuman tipis. "Anda akan mengetahui itu nanti saat kita berada di bawah," pria itu membuka pintu kecil dan mempersilakan Stallza mengikutinya.
"Baiklah," kata Stallza. "Tapi aku mengikutimu karena penasaran saja. Kau tidak berhak menahanku jika aku ingin pergi dari sini nanti."
"Tentu saja, Tuan Stallza," kata sang pria berjubah. "Tentu saja."
~~~
Jalan menuju ke ruang bawah tanah berupa tangga sempit yang berputar ke bawah. Stallza menduga mereka telah berjalan selama dua puluh menit namun belum ada tanda-tanda tangga itu akan berakhir.
"Sampai ke mana tangga ini?" tanya Stallza pada pria berjubah yang berjalan di depannya.
"Sebentar lagi," jawab pria itu.
"Itu yang kau katakan sepuluh menit lalu," kata Stallza.
"Bersabarlah sedikit lagi," kata si pria berjubah.
"Apa kau ingin berkata kita akan bertemu bangsawan di bawah sana?" Stallza nyaris tertawa membayangkan seorang bangsawan yang tidak suka melihat tikus atau kecoak mau repot-repot melewati tangga sejauh ini menuju ruangan bawah tanah yang dingin dan lembab.
"Anggap saja tuan putri kami itu sedikit unik," kata si pria berjubah. "Dan kita sudah sampai."
Ujung tangga berputar itu adalah sebuah lorong sempit yang diterangi batuan yang berpendar di sisi kiri dan kanannya. Sekali lagi Stallza merasakan sensasi menggelitik di kulitnya.
"Batuan ini adalah Spiritia?" tanya Stallza.
"Lebih tepatnya bagian dari Spiritia," jawab si pria berjubah. "Mereka menunggu seseorang untuk menyatukan mereka."
"Siapa?"
"Orang yang mereka anggap layak untuk itu."
"Ah, aku lupa menanyakan namamu," kata Stallza.
"Anda sepertinya penuh dengan rasa ingin tahu, Tuan Stallza, mengingat Anda tidak berhenti bertanya sejak tadi," kata si pria berjubah.
"Anggap saja ini adalah pertanyaan terakhirku," balas Stallza, "setidaknya untuk sekarang."
Pria berjubah di depan Stallza berhenti dan menoleh. "Nama saya adalah Rosso," kata pria itu. "Saya akan merasa sangat terhormat jika Anda bisa mengingat itu dan tidak menanyakannya lagi."
Stallza menepati janjinya. Dia tidak menanyakan apapun lagi dan memutuskan mengikuti Rosso dalam diam. Beberapa menit kemudian mereka akhirnya tiba di depan sebuah pintu kayu yang tampak usang.
"Kita sampai," kata Rosso.
~~~
Pintu itu terlihat lapuk, berbeda jauh dengan pintu yang terdapat di atas tangga. Bagian pegangan pintu itu telah berkarat. Di permukaannya tampak bekas rayap dan jamur. Stallza benar-benar tidak percaya seorang bangsawan ada di balik pintu itu.
"Apa kau yakin di sini tempatnya?" tanya Stallza.
"Anda tidak percaya?" balas Rosso.
"Kita sedang membicarakan tentang bangsawan di sini," kata Stallza. Dia memberikan tekanan pada bagian bangsawan. "Bangsawan mana yang mau berada di sini?"
"Bangsawan yang dibenci kawanannya," gumam Rosso sambil mendorong pintu di depannya. Stallza nyaris tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Rosso karena tenggelam oleh bunyi derit dari engsel pintu yang didorongnya.
Stallza mengikuti langkah kaki Rosso memasuki ruangan luas yang dipenuhi tumpukan buku dan gulungan perkamen yang menggunung dari lantai hingga nyaris menyentuh langit-langit. Stallza menduga dia akan disambut bau buku tua atau jamur, tetapi bau yang dicium Stallza di dalam ruangan itu adalah campuran bau bunga mawar dan bunga lily.
"Nona, tuan Stallza telah tiba di sini," kata Rosso.
Akhirnya Stallza tahu darimana sumber bau itu. Dia tidak melihat sosok gadis berjubah abu-abu seperti yang ditemuinya kemarin malam. Di depannya kini berdiri seorang gadis berperawakan ramping dengan rambut hitam sebahu yang sibuk membaca sebuah kitab. Pakaiannya tidak semewah pakaian para bangsawan, malahan dia tampak seperti seorang pekerja bengkel dengan baju lengan panjang putihnya yang lusuh karena debu dan keringat.
Gadis itu tidak memperhatikan Stallza sampai Rosso berdehem. "Oh," kata gadis itu saat berbalik melihat Stallza. "Maaf, sepertinya kau melihatku dalam keadaan yang kurang layak," katanya sambil tertawa canggung. "Aku sedang meneliti kitab ini dan kau tiba-tiba datang dan, yah, kau tahulah, aku…"
"Tidak apa-apa," balas Stallza. Baru kali ini dia melihat seorang bangsawan bersikap canggung seperti itu. Dan diapun—entah karena alasan apa—merasa canggung berdiri di depan gadis itu.
Gadis itu buru-buru merapikan rambutnya dan menyeka keringat di keningnya dengan lengan baju. Setelah membersihkan debu yang melekat di tangannya, gadis itu mengulurkan tangan kanannya pada Stallza. "Putri Lan Tania Araz Tantaluzia, senang bertemu denganmu, tuan Stallza," kata gadis itu. Senyumnya mengembang.
Stallza mengerjapkan mata, tidak percaya pada apa yang barus saja didengarnya. "Tantaluzia? Tunggu, kau mau mengatakan kau adalah keluarga Raja Tantaluzia kesepuluh?" tanya Stallza.
"Ya, dia ayahku," kata gadis itu santai. Tangannya masih terulur pada Stallza.
Begitu Stallza tahu di depannya berdiri seorang putri raja, cepat-cepat dia mundur dan menunduk. "Maafkan kelancangan saya semalam. Jika saya tahu, saya tidak akan bersikap kasar pada tuan putri," kata Stallza. Para pengawal di luar sana ternyata benar. Hanya saja Stallza tidak menyangka kalau di dalam ruangan pengap ini ada putri sang raja, tuan putri yang asli, bukan anak-anak gadis bangsawan kelas menengah yang ingin sekali dipanggil putri
Putri Lan menghela napas panjang. Gadis itu merasa kecewa ajakan bersalamannya ditolak. "Aku tidak mengharapkan perlakuan sopan seperti itu," katanya sambil menarik kembali tangannya. Sang putri berbalik pada kitab yang sedang dia teliti. "Kau tahu betapa bosannya aku melihat sopan santun yang palsu itu? Sejak lahir, sejak aku bisa mengingat, semua orang berlaku sopan dan hormat padaku. Tetapi sejak kecil aku tahu yang mereka hormati dariku adalah ayahku," lanjut sang putri.
"Mengapa tuan putri ada di sini?" tanya Stallza.
"Sudah kukatakan tadi, berhentilah bersikap sopan seperti itu padaku," balas sang putri tanpa menoleh. "Setidaknya berhentilah memanggilku dengan sebutan putri.
"Lalu dengan apa aku harus memanggil tuan putri?"
Sang putri mendongak. Dia menoleh pada Stallza. "Panggil aku dengan namaku saja. Lan. Sederhana, bukan?" balas sang putri.
Stallza berdehem. Dengan canggung pria itu mencoba memanggil nama sang putri. "Eh, Lan. Jadi apa yang tu—maksudku apa yang kau lakukan di sini?" tanya Stallza.
"Mencari informasi apapun yang bisa kuperoleh tentang Spiritia dan kekuatan mereka. Aku tidak bisa menemukannya pada kitab di masa sekarang, tetapi pada kitab berusi berusia tahun yang banyak bertumpuk di sini aku sudah menemukan beberapa informasi yang kucari.," jawab Lan. Gadis itu berseru gembira saat mendapatkan apa yang dia cari di dalam kitab yang sedang dia baca. "Akhirnya ketemu!"
Lan tampak sangat berbeda dari gambaran para bangsawan sombong yang berusaha keras mempertunjukkan keangkuhan mereka. Sang putri tampak seperti gadis biasa, melompat di tempat dengan senyum lebar yang entah mengapa terlihat manis di mata Stallza. Wangi bunga yang menguar dari tubuh sang putri membuat Stallza membayangkan sang putri yang sedang menari di padang bunga. Senyum dan tawa sang putri seperti ditujukan hanya untuk dirinya saja.
Tidak, pikir Stallza. Ini salah! Stallza, ingat posisimu!
Stallza berjuang keras untuk melawan pesona sang putri. Dia melihat berkeliling, berusaha menemukan sesuatu yang menarik untuk dilihat atau diambil, apapun itu untuk mengalihkan pandangannya dari sang putri. Dan matanya bertemu dengan sosok Rosso yang baru saja melepas jubahnya.
"Ada yang salah dengan penampilan saya, tuan Stallza?" tanya Rosso saat mendapati mata Stallza menatap lekat ke arahnya.
"Tidak, hanya saja kau terlihat sangat mencolok dengan rambut merahmu," jawab Stallza.
Rosso tersenyum. Pria itu menyisirkan jemarinya ke rambut pendeknya. "Anda bukan orang pertama yang mengatakan saya tampan, tuan Stallza. Tetapi mungkin Anda sedikit dari para pria yang berani mengatakan itu dengan jujur," kata Rosso sambil memamerkan deretan giginya yang rapi.
Alis mata kanan Stallza terangkat. "Hah?"
"Sudah, tidak perlu mempedulikan dia. Rosso malah akan semakin menjadi-jadi jika kau terus meladeni tingkahnya," kata Lan.
Stallza menoleh ke arah Lan. "Apa dia selalu seperti ini?" tanya Stallza.
Lan mengangguk. "Bahkan lebih dari ini," jawabnya singkat.
"Kau punya pengawal pribadi yang unik, putri," kata Stallza.
"Dia bukan pengawalku."
"Apa? Jadi dia siapa?"
Lan mengangkat wajahnya. Senyuman manisnya kembali mengembang. Stallza yakin jantungnya sempat berhenti berdegup sesaat setelah dia melihat senyuman itu.
"Hei, kau dengar?"
Sahutan sang putri kembali menyadarkan Stallza ke dunia nyata. "Ah, ma—maaf. Aku—aku tadi melamun," kata Stallza terbata-bata.
"Aku bisa melihatnya," balas Lan. Suaranya terdengar kesal. "Kau tidak mendengarkan apa yang kukatakan."
Stallza menggeleng. "Maaf, bisa diulangi?"
Lan menghela napas panjang. "Kukatakan sosok Rosso di belakangmu adalah Spiritia. Apa kau tidak sadar?" Lan menggeleng dan kembali membaca kitab di depannya, membiarkan Stallza dalam kebingungan yang semakin menumpuk.
~~~
"Berapa lama lagi sampai kita tiba di tempat pertandingan babak ketiga?" tanya Hvyt dengan simbol api di perutnya.
"Kau lihat menara tinggi di depan sana?" balas Hvyt lain dengan simbol api di dada kirinya.
"Tentu saja. Menara Penyesalan, penjara bagi para pendosa."
"Tempat pertandingan babak ketiga berada di bawah sana. Lebih tepatnya di bawah tanah."
Hvyt dengan simbol lidah api di perutnya bersiul. "Ruang penyiksaan," dia tertawa, "tidak kusangka tempat yang dituju adalah tempat keempat teman kita dikirim."
"Dan kalau kita tidak melakukan pekerjaan dengan benar, bisa jadi kita tidak akan keluar dari sana dengan utuh."
"Kita tinggal membuang bawaan kita dari atas menara dan membiarkan menara itu membawanya ke manapun yang diinginkan Yang Mulia Thurqk."
"Ide bagus, kawan."
Kedua Hvyt itu mempercepat laju terbang mereka. Stallza yang mereka apit masih tertidur lelap, tidak terpengaruh oleh angin kencang yang menerpa wajahnya.
~~~
IV
Menara Penyesalan adalah sebuah struktur raksasa yang menjulang sangat tinggi. Kedua Hvyt yang membawa Stallza harus terbang ke atas sebelum sampai ke puncaknya.
"Peserta pertandingan telah tiba di arena," kata Hvyt dengan simbol lidah api di perutnya.
Sebuah suara kaku dan dingin dari dalam menara menjawab Hvyt itu. "Konfirmasi diterima. Silakan meletakkan peserta di lantai menara."
"Kita tidak jadi melemparnya?" tanya Hvyt dengan simbol lidah api di dada kirinya.
"Sistem menara ini mengatakan itu. Perintah adalah perintah."
"Kau benar. Yang penting tugas kita selesai. Aku mulai bosan membawa orang ini."
Kedua Hvyt menurunkan Stallza ke atas lantai seperti yang diperintahkan oleh suara.
"Silakan meninggalkan menara," kata si suara.
Kedua Hvyt yang membawa Stallza mengepakkan sayap mereka dan kembali ke angkasa. Dari atas mereka melihat apa yang terjadi pada peserta yang mereka bawa. Batu-batu yang menyusun lantai tempat Stallza terbaring bergerak mengelilingi tubuh pria itu dan membentuk sebuah peti. Sebuah lubang besar terbentuk di bawah peti itu dan menelannya ke bawah dalam sekejap mata.
"Yang Mulia Thurqk pasti akan sangat senang akan pertandingan kali ini," kata Hvyt dengan simbol lidah api di dadanya.
Hvyt dengan simbol lidah api di perutnya menyeringai. "Nolan benar-benar melakukan tugasnya dengan benar kali ini," katanya.
~~~
V
Ruang bawah tanah di bawah Menara Penyesalan adalah ruangan yang sangat luas. Di tempat itu terdapat banyak sekali ruangan kecil dengan berbagai macam alat penyiksaan di dalamnya. Beberapa peti tampak melayang di atas ruangan-ruangan kecil itu, menunggu perintah untuk membawa peserta di dalam mereka ke ruangan yang ditetapkan. Beberapa peti seakan sudah tahu ke mana mereka harus pergi dan segera mendarat ke ruangan di bawah mereka. Saat dua peti telah mengisi ruangan yang sama, seketika itu pula ruangan itu tertutup dan pertarungan di dalamnya akan berlangsung.
Peti yang membawa Stallza segera meluncur menuju sebuah ruangan yang tertutupi kabut. Sebuah peti lain juga terbang menuju ruangan yang sama. Ketika kedua peti itu memasuki ruangan, sebuah dinding dengan cepat muncul dan menutup rapat ruangan itu dari atas.
"Ruang Khramanaka 06, Stallza melawan Baikai Kuzunoha," kata suara sistem menara. "Lepaskan para peserta."
Kedua peti yang membawa peserta yang akan bertarung retak dan hancur seketika. Stallza yang sejak tadi tertidur mendadak bangun saat tubuhnya mendarat di atas batuan yang tajam. Sedangkan Baikai langsung melompat ke belakang saat peti yang mengurungnya hancur.
"Di mana ini?" tanya Stallza sambil memegangi dadanya yang nyeri akibat tertusuk bebatuan. Dia melihat sekelilingnya, tetapi ruanngan itu tertutup tanpa ada cahaya sama sekali untuk membantunya melihat.
"Selamat datang dalam babak ketiga turnamen ini. Arena ini adalah ruangan Kharamanaka 06. Tidak ada jalan keluar dari ruangan ini selain membunuh," jawab suara kaku dari sistem pengatur menara.
Lantai ruangan itu bergemuruh saat sebuah lubang membuka di tengahnya. Sebuah jam pasir setinggi manusia muncul dari dalam lubang itu. Pasir yang terdapat di dalam tabung jam pasir itu memancarkan pendar kuning yang lemah, memberikan sedikit cahaya untuk Stallza dan Baikai untuk saling melihat satu sama lain. Bersamaan dengan munculnya jam pasir itu juga, seluruh kabut yang memenuhi ruangan itu menghilang.
"Setidaknya masih ada cahaya temaram seperti ini," kata Stallza. "Hei, siapa namamu?" tanya Stallza pada sosok yang berdiri menempel di sudut ruangan. Sosok itu tidak menjawabnya.
Jam pasir di tengah ruangan berputar dan mulai menghitung mundur.
"Waktu kalian 30 menit," kata suara kaku dari sistem menara. Bersamaan dengan terdengarnya suara itu, udara dingin mulai berhembus dari kedelapan sudut ruangan. "Bunuh lawanmu, atau mati di sini dalam beku."
Tidak ada pesan lain setelahnya. Kini tersisa Stallza dan pria berpakaian hitam yang masih tetap berdiri di sudut ruangan.
~~~
Lima menit telah berlalu. Tepat seperti yang dikatakan oleh suara yang didengarnya tadi, ruangan di sekeliling Stallza terasa semakin dingin. Awalnya Stallza hanya sedikit menggigil, tetapi semakin lama udara dingin yang keluar sudur-sudut ruangan itu semakin terasa menusuk tulang. Stallza sampai-sampai harus memanggi Almena untuk berspiritialis dengannya untuk menahan dingin yang mengganggu ini.
"Hei," seru Stallza pada pria yang berada di sudut ruangan, "siapa namamu?"
Pria itu terdiam cukup lama sebelum berkata, "Baikai. Namaku Baikai Kuzunoha," dengan ekspresi datar.
"Namaku Stallza," balas Stallza. "Nah, Baikai, kita punya dua pilihan. Mengikuti keinginan Thurqk dan saling membunuh di sini atau berusaha menghancurkan ruangan ini dan keluar dengan selamat," lanjutnya.
"Kupikir jalan keluar dari sini hanya ada satu," kata Baikai.
"Jadi kau memilih bertarung hingga mati?"
Baikai tidak menjawab. Udara dingin yang berhembus telah membuat lapisan es tipis di sekitar kaki jam pasir.
"Kau memilih membeku di sini?"
"Tidak," jawab Baikai.
"Lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Bertahan hidup." Baikai menarik pedang panjang yang tersampir di pinggangnya dan mengarahkan pedang itu pada Stallza.
Stallza menghela napas. "Jadi kau memilih untuk bertarung, ya?" Stallza mengambil beberapa belati dari dalam tas pinggangnya.
"Kau ingin melawanku dengan belati?"
Stallza mengedikkan bahunya. "Kuharap aku tidak perlu membunuhmu," kata Stallza.
"Kita tidak bisa keluar dari sini jika salah satu dari kita tidak mati. Itu peraturannya."
"Aku suka melanggar peraturan."
Baikai menerjang ke arah Stallza. Pedang di tangannya diarahkan tepat ke leher Stallza, tetapi Stallza mengelak dengan cepat ke sisi kanan Baikai. Tangan kiri Stallza menahan pergelangan tangan Baikai sementara tangan kanannya yang memegang belati mengayut ke arah perut pria itu. Serangan Stallza akan masuk dengan telak jika Baikai tidak segera memukul belati itu lepas dari tangan Stallza dengan kepalan tangan kirinya.
Stallza melompat menjauh untuk memberi jarak. Baikai mengejarnya sambil tetap menusuk dan menebas ke arahnya. Lawannya itu bahkan nyaris tidak memberinya waktu untuk mengambil belati lain untuk mempertahankan diri.
Udara yang berhembus kembali menurunkan suhu di dalam ruangan itu. Lapisan tipis mulai terbentuk ke lantai dan dinding di sekitar Baikai dan Stallza. Dengan langkah hati-hati keduanya bergerak sambil tetap saling menyerang. Baikai menyerang Stallza, berusaha membuat lawannya itu terpeleset di salah satu lapisan es tipis yang licin, tetapi tidak ada satupun serangannya yang berhasil. Stallza kini menggunakan dua belati, satu menahan pedangnya sedangkan yang lain mengincar tubuhnya. Kali ini giliran Baikai yang terpaksa mengambil jarak.
"Kau bisa mengimbangiku hanya dengan belati," napas Baikai mulau berembun. "Hebat sekali."
Stallza melemparkan belatinya ke arah Baikai, tetapi Baikai menghindarinya dengan mudah. "Putus asa?" tanya Baikai.
"Tidak," jawab Stallza, "aku hanya bertahun dengan caraku sendiri."
Stallza berlari ke kiri. Baikai mengikutinya. Stallza kembali melemparkan sebuah belati ke arah Baikai yang ditangkis dengan mudah olehnya.
"Giliranku," kata Baikai sambil melompat ke depan. Pria itu mengayunkan pedangnya, mengumpulkan momentum untuk menebas tubuh Stallza menjadi dua. Baikai merasa akan melihat ketakutan atau kesedihan dari Stallza. Tetapi ekspresi yang ditunjukkan Stallza malah sebaiknya. Dia tersenyum.
Menduga ada yang salah, Baikai menjejakkan kakinya dan melompat ke belakang. "Kenapa kau tersenyum?" tanya Baikai. "Seharusnya kau ketakutan, karena bagaimanapun juga aku yang akan menang dan kau yang akan mati."
"Ukuran senjata tidak ada hubungannya dengan kemenangan," jawab Stallza sambil menjentikkan jarinya. "Extracto!"
Baikai terkejut saat melihat belati-belati yang tampak dilemparkan Stallza secara serampangan tiba-tiba bersinar. Cahaya dari masing-masing belati itu saling berhubungan satu sama lain membentuk sebuah ruang dengan Baikai dan jam pasir berada di dalamnya. Lalu cahaya putih yang menyilaukan memancar dari bidang hasil ciptaan belati-belati itu. Namun tidak terjadi apa-apa padanya setelah semua pertunjukan cahaya itu selesai.
"Apa yang tadi itu?" tanya Baikai dengan suara datar.
"Aku hanya ingin mengenal lawanku lebih baik, Baikai Kuzunoha, sang pengguna demon," jawab Stallza. Dia tersenyum.
~~~
Dunia Satu Detik. Itulah wujud sebenarnya dari teknik Extracto. Stallza tidak tahu tentang teknik ini jika saja Lan tidak pernah mengajarinya.
"Extracto adalah bukti bahwa kau adalah pengguna Spiritia," kata Lan pada Stallza di suatu sore. Sang putri mengeluarkan empat belati dan menunjukkan keempatnya pada Stallza. "Perhatikan ini". Lan melemparkan keempat pisau itu ke tanah di sekeliling Stallza. "Dan lihat apa yang terjadi berikutnya," katanya sambil menjentikkan jarinya.
Seketika keempat belati yang dilempar Lan bersinar. Cahaya menyilaukan yang memancar dari keempat belati itu saling berhubungan, membentuk sebuah ruang yang mengelilingi Stallza.
"Jika kau orang biasa, kau tidak akan tahu apa yang sedang terjadi," kata Lan. Gadis itu melangkah masuk ke dalam ruang yang diselimuti cahaya. "Ini adalah Dunia Satu Detik. Mungkin kau merasakan kalau di dalam ruang ini energi Spiritia sangat melimpah. Seakan kita sedang berada di dalam dunia mereka. Dan sebenarnya inilah yang sedang terjadi. Kita berada di dunia mereka, namun hanya dalam sedetik. Tetapi dalam sedetik itu kita bisa melakukan lebih banyak hal daripada sehari di dunia manusia," jelas gadis itu.
"Apa yang terjadi saat ada orang lain memasuki ruang ini?" tanya Stallza.
"Mereka tidak akan merasakan apa-apa," jawab Lan. "Bagi mereka waktu berjalan seperti biasa. Bagi kita dunia bergerak lebih lambat. Para Spiritia akan memeriksa mereka, tetapi para Spiritia tidak akan melukai mereka. Lalu semua yang diketahui Spiritia tentang mereka akan disampaikan pada kita, orang-orang yang dipilih oleh Spiritia."
"Jadi dengan teknik ini kita bisa mengetahui lawan atau kawan luar dalam?"
Lan mengangguk. "Seperti itulah. Dan tidak ada batasan bagaimana luasnya ruang Dunia Satu Detik ini. Kau bisa memakai sampai dua belas belati untuk membentuk ruang seperti ini. Tetapi jika terlalu besar, tenagamu mungkin akan sangat terkuras," kata gadis itu sambil tersenyum.
"Apa teknik ini tidak akan memakan eksistensi kita?"
Lan menggeleng. "Anggap saja ini adalah bonus dari para Spiritia. Lagipula kita yang masuk ke dalam dunia mereka, bukan sebaliknya. Kita tidak perlu memberikan eksistensi kita untuk membuat mereka berwujud di dunia nyata."
Stallza tersenyum. "Seandainya dunia ini bisa bertahan sedikit lebih lama."
"Apa yang akan kau lakukan jika bisa terus berada di sini?" tanya Lan.
Stallza menatap sang putri. "Seandainya dunia ini bisa bertahan sedikit lebih lama, atau bahkan selamanya, aku ingin berada di sini bersama orang yang penting untukku. Tidak perlu peduli pada apapun yang dikatakan oleh orang lain di luar sana. Tidak perlu ada batasan kasta. Tidak ada perang yang membuat Spiritia-spiritia kita menangis," katanya lembut. Tangannya mengelus lembut pipi Lan, membuat sang putri menunduk dengan muka bersemu merah.
~~~
Angin dingin yang berhembus masuk ke dalam ruang Khramanaka 06 membuat suhu semakin turun. Jam pasir di tengah ruangan itu telah berpindah setengah ke ruang di bawahnya. Tubuh Baikai mulai menggigil. Beruntung Stallza memiliki Almena yang melindunginya dari dingin, seekstrim apapun dingin itu.
"Sebaiknya kau menggunakan salah satu demonmu jika kau memang berniat bertarung," kata Stallza. "Aku tidak akan berusaha mengubah keputusanmu jika itu yang kauanggap benar. Lagipula kita semua sudah mati, bukan?"
Mata Baikai membelalak. Pria yang sejak tadi tampak datar itu kini menatap tajam ke arah Stallza. "Bagaimana kau bisa tahu tentang para demonku? Aku belum mengeluarkan mereka sama sekali!" kata Baikai.
"Teknik Extracto yang kulakukan tadi membuatku bisa melihat siapapun yang berada di dalam ruang terbatas secara jelas. Siapapun itu, segala kekuatan dan kelemahannya, segala jebakan yang mereka siapkan, semua akan terbuka seperti buku di mataku. Hanya saja aku tidak bisa membaca pikiran mereka," jawab Stallza tenang.
Rahang Baikai menegang. "Baiklah," katanya, "berarti aku tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi." Baikai mengeluarkan sebuah tabung dari selempang di dada kanannya. "Alice, keluarlah!" serunya sambil membuka tabung itu.
Dari dalam tabung itu muncul seorang gadis kecil berambut pirang dengan baju terusan berwarna biru. Gadis itu tersenyum, tetapi Stallza merasakan aura membunuh yang memancar keluar dari tubuhnya.
"Aku sudah tahu apa kemampuan Alice," kata Stallza. "Akan kuladeni hingga waktu ini habis." Stallza mengambil kristal Koboldia dari dalam tas pinggangnya dan memanggil Spiritia itu.
Koboldia menggigil saat sosoknya muncul di depan sang tuan. Segera saja gadis itu melompat ke sisi sang tuan dan memeluknya dengan erat. Stallza tidak mencoba melepaskan pelukan Koboldia karena tahu sang Spiritia tidak terlalu bisa menghadapi dingin, apalagi dengan pakaian minim yang dikenakan Spiritianya itu.
"Kenapa tuan memanggilku di sini? Dingin sekali. Sengaja, ya? Biar bisa dipeluk seperti ini?" kata Koboldia manja.
Alice, demon yang dipanggil Baikai, tertawa saat melihat Koboldia bertingkah seperti itu. Koboldia langsung melirik tajam ke arahnya. "Kakak mesum akhirnya sadar juga, ya?" kata Alice.
"Anak kecil diam saja!" seru Koboldia.
"Aduh, aduh. Si kakak marah-marah. Nanti cepat keriput, lho. Kalau keriput nanti tidak dilihat sama si kakak tampan," kata Alice dengan suara imut khas anak-anak.
Mendengar perkataan Alice membuat Koboldia emosi. Gadis itu melepaskan pelukannya dari Stallza dan melangkah ke arah si anak-kecil-dada-rata-dengan-mulut-menyebalkan itu dengan tangan terkepal. "Kau perlu diberikan pelajaran sopan santun," kata Koboldia. Belati lengkung muncul dari kepalan tangannya. "Dan pelajaran ini akan sangat keras, anak kecil!"
Koboldia melompat ke arah Alice sambil mengayunkan belati di tangan kanannya ke arah Alice. Tetapi serangannya dengan mudah dihindari oleh demon Baikai itu. Alice tertawa saat Koboldia kembali menyerang dengan belatinya yang lain, dan lagi-lagi berhasil dia hindari. "Serangan kakak membosankan," kata Alice. "Semuanya gampang dihindari!" Alice menghindar dan membalas serangan Koboldia dengan sebuah pukulan ke perut, membuat Spiritia itu terhempas sampai ke tembok.
"Demonku tidak akan kalah," kata Baikai. "Dan aku akan mengambil kemampuan demonmu itu." Baikai mengarahkan tangannya ke arah Koboldia. Seharusnya kekuatan dari semua makhluk yang telah dilukai olehnya atau demon yang dipanggilnya bisa diserap. Tetapi kali ini tidak ada yang terjadi. "Tidak mungkin. Seharusnya aku bisa menyerap kemampuannya," kata Baikai saat sadar kemampuannya tidak bisa mengambil kekuatan Koboldia.
"Tentu saja," kata Stallza. "Pertama, kau harus tahu kalau aku bukan pengguna demon sepertimu, meski pada intinya kita berdua adalah pemakai makhluk panggilan. Kedua, kemampuanmu tidak berlaku pada benda dari logam. Beberapa Spiritia milikku sebenarnya memiliki unsur logam, meski mereka tampak seperti manusia."
"Tapi kurasa kakak tampan adalah manusia biasa, kan?" kata Alice. Demon itu berlari kencang ke arah Stallza dengan "DIE FOR ME!" Di sekitar Alice muncul puluhan kartu yang melesat ke arah Stallza. Tetapi sebelum sempat melukai Stallza, Koboldia telah muncul di depan Stallza dan membelah semua kartu itu.
"Tidak akan kubiarkan!" seru Koboldia. Gadis itu melesat ke arah Stallza, menebas ke arah Alice tanpa henti.
Baikai menghunuskan pedangnya dan berlari ke arah Stallza. "Tidak adil jika hanya demonku yang bertarung," katanya sambil melompati bagian lantai yang belum tertutupi lapisan es menuju ke tempat Stallza.
"Plumbina, Spiritialis," bisik Stallza. Cahaya berwarna hitam melesat keluar dari dalam tas pinggang Stallza dan membentuk pedang berwarna hitam yang menyatu ke tangan kanannya. Di saat bersamaan Baikai telah melompat dan mengayunkan pedangnya ke arah Stallza.
"Maaf, tapi kau harus mati," seru Baikai.
Stallza tersenyum. Dengan santai pria itu mengayunkan pedangnya ke atas dan menahan serangan Baikai dengan sempurna. "Aku juga bisa memakai pedang," kata Stallza. Dengan satu hempasan dia melempar Baikai mundur. "Dan aku tidak berniat kalah di sini."
Waktu sudah berjalan dua puluh menit. Ruangan Kharamanaka 06 telah dipenuhi bongkahan es. Lantai ruangan itu telah menjadi licin akibat lapisan es yang muncul akibat angin dingin yang berhembus. Keringat yang keluar dari tubuh Stallza dan Baikai bahkan tampak seperti serpihan salju di kulit mereka.
"Aku tidak punya waktu lagi," kata Baikai sambil mengambil sebuah tabung lain. "Aku memanggilmu, Kouryuu!"
"Tidak akan kubiarkan!" seru Stallza. "Nitria, bekukan dia!" Sosok gadis muda dengan telinga runcing muncul di depan Stallza. Kabut dingin menyelimuti tubuh gadis itu.
"Ruangan yang sangat nyaman," kata Nitria. Gadis itu melesat menuju Baikai tepat sebelum pria itu membuka tutup tabungnya. Nitria menyentuh tangan pria itu, dan dalam sekejap dari tempat yang disentuhnya muncul kristal es yang tajam yang terus bertumbuh. Nitria tidak berhenti di situ saja. Dia terbang di sekeliling tubuh Baikai dan menyentuh tubuh pria itu. Hanya dalam hitungan detik seluruh tubuh Baikai telah terbungkus dalam bongkahan es.
Alice yang melihat sang tuan tidak bisa bergerak hendak menolong tuannya, tetapi itu malah membuatnya lengah. Koboldia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan satu tangan gadis bertelinga serigala itu menarik rambut panjang Alice dan melempar tubuh gadis itu ke tembok. Belum sempat Alice memulihkan diri, Koboldia telah menebasnya tanpa ampun. Koboldia tertawa gembira saat mendengar teriakan kesakitan korbannya.
"Berteriaklah! Berteriaklah lebih keras lagi!" seru Koboldia. Tebasan belatinya makin menggila. Baju dan kulit Alice tercabik di mana-mana. Teriakan korbannya yang makin keras membuat napas Koboldia semakin berat. Dan dengan tebasan terakhir ke leher Alice, Koboldia menghabisi korbannya dengan kepuasan yang membuat seluruh tubuhnya bergetar hebat. Sosok Alice menghilang, sedangkan Koboldia segera jatuh terduduk dengan telinga kuyu.
"Oh, si anak serigala sepertinya sudah jadi serigala dewasa sekarang," kata Nitria sambil tersenyum. "Apa dia perlu kuajari teknik-teknik yang kutahu?"
"Sebaiknya jangan mengganggunya, Nitria. Aku tidak ingin melihat Spiritia milikku berkelahi," kata Stallza.
"Ah, benar. Ferra akan sangat seram jika ada yang mengganggu adik kesayangannya itu."
"Apa kau membekukan dia sampai ke dalam?" tanya Stallza sambil menunjuk ke arah Baikai.
"Tidak," jawab Nitria. Gadis itu berbisik, "Aku hanya mengurung pergerakannya dan juga menurunkan suhu tubuhnya. Dalam beberapa menit tubuhnya akan mengalami kejutan dan mungkin akan menghentikan kerja jantungnya. Secara teknis dia akan dinyatakan mati, dan dengan demikian kita bisa keluar dari sini."
"Dan kurasa jika Iodesa sempat menyentuh tubuh pria itu sebelum otaknya mati, kurasa kondisinya akan pulih," bisik Stallza. "Jadi secara kenyataan dia tidak akan benar-benar mati. Mungkin aku bisa meminta Iodesa membuat dia seperti pingsan saja."
"Itu mungkin akan sulit, tapi kurasa bisa," bisik Nitria. Gadis itu tersenyum dan membungkuk hormat pada Stallza sebelum berubah menjadi wujud kristalnya dan kembali ke dalam tas pinggang pria itu.
Stallza berjalan menuju Koboldia. "Kerja bagus, Koboldia," kata Stallza sambil mengelus kepala Spiritianya itu.
"Tuan," kata Koboldia lirih, "tuan Stallza tidak membenci Koboldia?" Mata Koboldia tampak basah. Benturan rasa bersalah karena bersikap lepas kendali dan kenikmatan karena melakukan itu membuat hatinya kacau.
Stallza tersenyum. Dia berjongkok di depan Koboldia dan menatap lembut ke mata Spiritianya itu. "Aku tidak mungkin membencimu. Lagipula kita tidak punya pilihan lain. Kalau tidak seperti itu, tidak akan ada yang keluar dengan selamat dari sini. Lagipula makhluk itu tidak benar-benar lenyap. Jika tuannya masih hidup, dia masih bisa pulih di dalam tabung mereka."
"Seperti Spiritia?" air mata Koboldia mulai mengalir.
"Mirip, hanya dia akan lebih cepat pulih daripada kalian," kata Stallza. Stallza menarik tubuh Koboldia dan memeluk tubuh Spiritianya itu. Di dalam pelukannya Koboldia tidak berbeda dari gadis biasa yang bisa menangis saat sedih dan butuh tempat untuk bersandar saat merasa rapuh. Dengan lembut Stallza mengelus kepala Koboldia yang menangis dalam pelukannya hingga terdengar suara keras dari arah belakangnya.
Koboldia dengan sigap melepaskan pelukan tuannya dan berdiri di belakang sang tuan. Matanya masih merah akibat menangis, tetapi sikapnya telah siaga, siap menyerang apapun atau siapapun yang muncul nantinya. Pikirannya segera terarah pada pria yang dibekukan Nitria. Tubuh pria itu tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan es yang dibentuk Nitria tampak tanpa cacat sama sekali. Berarti pria itu bukan ancaman. Lalu darimana suara keras itu berasal?
Jawaban pertanyaan Koboldia berada di depan matanya saat sekali lagi suara itu terdengar. Suara itu ternyata berasal dari lubang di bawah jam pasir. Koboldia bersiap untuk serangan atau apapun yang mungkin muncul dari dalam lubang itu, tetapi tidak ada apapun yang muncul dari dalam sana. Malahan jam pasir yang berada di atas lubang itu yang jatuh ke bawah, seakan ditelan oleh kegelapan. Bersamaan dengan turunnya jam pasir itu, angin dingin yang dihembuskan ke dalam Kharamanaka 06 akhirnya berhenti. Sekali lagi terdengar bunyi yang sangat keras. Namun kali ini berasal dari langit-langit yang terbuka.
"Baiklah, saatnya menjalankan rencana," kata Stallza yang tekah berdiri di belakang Koboldia. "Koboldia, kembalilah. Serahkan sisanya padaku," katanya sambil mengambil kristal jingga dari tas pinggangnya.
Koboldia mengangguk. "Tapi jangan ragu memanggilku kalau ada apa-apa," kata gadis itu.
Stallza mengangguk sambil tersenyum. Sosok koboldia berubah ke wujud kristalnya dan kembali ke dalam tas pinggang Stallza. Stallza memasuki alam bawah sadarnya dan memutuskan hubungan Spiritialis antara dirinya, Plumbina dan Almena. Kedua Spiritia itu pun berubah menjadi kristal dan kembali ke dalam tas.
Segera setelah Almena lepas darinya, Stallza dihantam rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Meski angin dingin yang menembus Kharamanaka 06 sudah berhenti beberapa menit, tetapi hawa dingin yang tersisa di dalamnya masih terasa. Bongkahan es yang mengurung tubuh Baikai mulai retak. Itulah pertanda untuknya. Sebentar lagi dia akan melepaskan Iodesa untuk memulihkan kondisi tubuh pria itu.
Langit-langit ruangan Kharamanaka 06 akhirnya terbuka sempurna. Hawa dingin yang terperangkap di dalam ruangan itu mulai hilang. Es yang mengurung Baikaipun akhirnya hancur. Di atas langit-langit yang terbuka itu tampak langit-langit yang sangat tinggi beserta lubang-lubang kecil dan peti-peti yang keluar masuk dari lubang-lubang itu.
"Iodesa, pulihkan tubuh pria itu sampai batas yang aman," bisik Stallza pada kristal jingga di tangannya. Sesaat kemudian kristal itu melesat keluar dari tangan Stallza dan berubah wujud menjadi gadis berambut jingga yang duduk di samping Baikai. Tangan Iodesa menyentuh jantung Baikai, dan secara perlahan tubuh beku pria itu kembali hangat.
"Pelanggaran! Pelanggaran!" suara kaku dari sistem yang mengendalikan ruangan Kharamanaka 06 kembali terdengar. Tapi kali ini suara itu menggema lebih keras, seakan berasal dari luar Kharamanaka 06. Langit-langit di atas Kharamanaka 06 kembali menutup dengan cepat, tetapi Stallza tidak sudi dikurung di situ. Lagipula dia harus mengulur waktu hingga jantung Baikai bisa kembali berdetak.
"Ferra, hancurkan dinding itu. Phosporosso, Helia, Spiritialis!" seru Stallza. Tiga berkas cahaya melesat keluar dari dalam tas pinggang Stallza. Dua cahaya segera masuk ke dalam tubuh Stallza dan membuatnya bisa melayang dan memiliki dua buah meriam kecil yang melekat di tangannya. Satu berkas cahaya lainnya berubah menjadi gadis berambut pendek dengan warna merah yang mengayunkan palu besarnya ke arah dinding langit-langit yang mulai kembali terbentuk. Dinding itu hancur sebelum sempat terbentuk sempurna, meninggalkan bongkahan-bongkahan yang berguguran ke dalam ruangan.
"Ah, Iodesa!" seru Ferra saat menyadari sosok temannya berada di dalam ruangan tanpa perlindungan. Dengan cepat gadis berambut merah itu melesat menuju tempat Iodesa dan menghalau semua guguran batu yang jatuh ke arah temannya itu.
"Tuan, kondisi pria ini sudah stabil. Beberapa hari lagi dia akan sadar," seru Iodesa.
"Baguslah, kalau begitu kita bisa pergi dari sini," kata Fera yang berdiri melindunginya. Gadis berambut merah itu memutar palu besarnya dan memanggil puluhan balok besi yang bergerak ke keempat sisi tembok ruang Kharamanaka 06. "Ini bisa memberikan waktu agar langit-langitnya tidak muncul lagi," kata Ferra sambil menggendong Iodesa.
"Ah, hei!" seru Iodesa protes. Ferra tidak menghiraukan protes Iodesa dan melompat ke tempat tuannya berada.
"Sekarang kau sudah aman, tuan putri," kata Ferra sambil menurunkan Iodesa di depan Stallza. "Utuh dan tidak tergores sedikitpun," katanya lagi sambil tersenyum jahil.
Iodesa ingin memalas godaan Ferra, tetapi dia tahu kondisi saat ini tidak memungkinkan. Gadis itu segera mengubah dirinya kembali ke wujud kristal dan kembali ke dalam tas pinggang Stallza. Ferra pun mengikuti apa yang Iodesa lakukan.
"Semua sudah kembali," Stallza menyeringai, "berarti saatnya kita sedikit mengganggu tempat makhluk merah itu." Stallza terbang ke atas dengan cepat sambil mengarahkan kedua meriam kecil di tangannya ke atas. "Tembak!" serunya. Puluhan bola api kecil terlontar dari mulut meriam itu dan menghantam salah satu lubang kecil di langit-langit. Puluhan peti yang melayang di sekitarnya seketika menyerang, tetapi dengan beberapa bola api yang ditembakkan meriam itu dan ledakan beruntun yang terjadi akibat mereka saling bertubtukan, dalam sekejap peti-peti itu pun lenyap.
"Saatnya keluar dari sini," kata Stallza sambil melesat memasuki lubang yang telah dibuatnya lebar dengan paksa. Di saat bersamaan dari ruangan-ruangan di bawahnya Stallza bisa mendengar suara yang sama seperti saat lanhit-langit di atas ruangan Kharamanaka 06 terbuka. Waktu tiga puluh menit telah berlalu. Pertandingan telah selesai.
~~~
Wahahaha, flashback jadi mainstream di r3~
ReplyDeleteEntah kenapa porsi battle di entri jadi ke-overshadow sama porsi flashbacknya sendiri, dan saya ngerasa akhiran flashbacknya inkonklusif, rada nanggung. Mungkin buat dilanjut kalo maju ke ronde selanjutnya?
Pemenggalan antar paragrafnya udah makin enak buat dibaca, dan ga ada masalah teknis lain. Battlenya sendiri cukup...meriah, karena emang banyak juga yang muncul meski sejatinya ini 1v1. Cuma kayaknya Stallza lumayan dapet upperhand sepanjang pertarungan dengan Dunia Satu Detik sebelum battle dimulai
Saya bingung kenapa Stallza dkk bisa nembus ruangan Khramanaka, pelanggaran tuh
Ini akhirannya ga resmi menang, tapi mau dilanjit adegan rebel ke Thurqkj ya?
Nilai nyusul nunggu entri lawan muncul
Shared score dari impression K-16 : 7,2
DeletePolarization -/+ 0,6
Karena saya lebih suka entri Stallza, jadi entri ini saya kasih +0,6
Final score : 7,8
Po:
ReplyDeleteMenurutku, minusnya adalah:
- Karakter Stallza belum banyak berkembang baik di kanon atau di battle. Kelemahan Stallza baik secara teknik atau kepribadian masih belum keliatan. Efek ruang penyiksaan nggak ada pengaruhnya sama sekali krn Spiritianya udah bisa ngatasin dr awal, dan Baikai jg udah ketauan rahasianya sejak pake dunia satu detik, jadi perjuangan Stallza kurang kerasa.
Plusnya:
- Teknik penulisan dan narasi bagus dan enak dibaca. Kanonnya bikin penasaran utk tau perjuangan Stallza dari awal utk dapatin Spiritianya. Dinamika Stallza dengan si puteri cukup ngalir meski ada kesan dadakan di akhirnya pas disentuh wajahnya itu.
Dengan semua ini, nilai dariku 7,2!
Gwoooh. Stallza! Bravo! Ini kali pertama saya baca canon Stallza. Dan saya lumayan terkesan dengan narasi show dan tellnya yang harmonis.
ReplyDeleteKalo liat canon Stallza ini saya jadi kepaksa nginget nama spiritia yang banyak. Sebelumnya yang sering saya liat muncul di canon lain adalah Iodesa, Koboldia, Ferra dan Helia kalo ga salah. Adegan kocak favorit saya di sini adalah encounter Koboldia dan si pettan Alice. Ngakak bacanya, hahahaha.
Tentang Hvyt, di awal-awal dia sukses digambarin jadi makhluk yang sotoy dan menjengkelkan. Jadi saya bisa ngerti kejengkelan Stallza juga. Selain itu, dengan ujaran "aku mulai bosan membawa orang ini" dengan witty-nya menyiratkan kalo masing-masing Hvyt ditugaskan 'melayani' orang yang sama dari ronde ke ronde.
Jujur saya nggak tau siapa yang bakal dilawan Stallza di canon ini. Saya pikir awalnya Carol, ternyata Baikai! Pertarungan dimulai tanpa basa-basi yang panjang. Meskipun flashback menghabiskan sekitar 1/2 canon ini, tapi pertarungannya bisa dibilang cukup seru. Banyak spirita yang keluar. Perseteruan dengan demon-nya Baikai juga ada. Kutipan Stallza yang saya suka di sana adalah "aku suka melanggar peraturan"
P.S. Mungkin saya belum bilang ini. Waktu dulu di lounge saya kira Stallza ini chara cewek. Kau tau, dari namanya. Dan kata 'Spiritia' itu terdengar manis lagipula. Tapi sejak liat alis ulat bulu dan mata telor di vecdood-nya, semuanya berubah.
8.7/10
Baru kali ini ada yang mengira Stallza itu cewek :v
DeleteTerima kasih komentarnya :3
Duuuude, you're cheating! That's was just clinical death, there's still few mins before brain dead (or being revived with brain damage), the way out shouldn't have opened! What the hell...
ReplyDeleteHei, bukannya salah satu harus mati, masa endingnya hapily ever after?
Score 7,5
Wkwkwkwkwk. Yang penting jantungnya berhenti. Anggap saja si Turuk itu tidak tahu yang namanya real death dan hanya tahu clinical death :v The rule exist so we can cheating on it :p Terima kasih nilainya :)
DeleteEntri ke-14… dan saya menemukan flashback stallza.
ReplyDeleteWew, menarik. Saya ga sabar nunggu gimana kelanjutan seluruh canon ini, andaikata stallza lolos.
Kalau ada masalah, mungkin cuma satu. Kakak terlalu fokus ke stallzanya. Padahal kita punya baikai di sini. pertarungan mereka baru dimulai di halaman 16.5/24 di tablet milik saya. Kesan saya, flashbacknya kepanjangan, atau tidak ditaruh di bagian yg tepat. Untuk referensi, saya bisa saranin untuk ngebaca canon claude-claudia. Di sana, authornya bisa naruh bagian masa lalu mereka pas dengan pertarungan mereka. Jalannya beriringan, jadi pembaca juga enak bacanya. Kalau di sini, kesannya saya disuguhkan informasi banyak2, dipaksa masuk, trus dikasih adegan lain yg “ga nyambung”, lalu dipaksa buat nyambungin benang merah diantara mereka.
Well, saya ga terlalu masalah sih soal ini, tetapi saya nggak tau dengan pembaca lain. Sisanya udah bagus, saya suka kak.
Untuk nilai, saya ngasih: 7.5
Semangat kak :3
:*
ReplyDelete