June 22, 2014

[ROUND 3 - K10] SALVATORE JACKSON - DEADLINE CHOICE

[Round 3-K10] Salvatore Jackson vs Mayor Yvika Gunnhildr
"Deadline Choice"

Written by Dendi Lanjung

--- 

"I Have My Reason"

•••

Tiga menit sebelum akhir.

Sal merasakan tubuhnya melayang, turun semakin turun, tenggelam ke dasar ruangan yang hampir penuh terisi air. Darah mengalir deras dari perutnya, mengaburkan pemandangan dalam air yang semakin lama memerah. Monyet besar itu mulai kesulitan menahan nafas, dan kesulitan untuk menahan air memasuki mulutnya. Tapi mungkin saat ini percuma untuk mencoba bertahan, Sal tahu itu, toh dia sudah kalah.

Bukan salah lawannya, Sal tak mau menyalahkan wanita yang telah membuatnya terluka parah seperti itu. Si wanita, Yvika Gunnhildr, hanya melakukan apa yang menurut hatinya benar, wanita itu tidak salah.

Setelah menahan si wanita tentara selama lebih kurang dua puluh menit, wanita itu akhirnya mulai menunjukkan tekadnya yg besar untuk bertahan hidup. Sekali lagi ini bukan salah si wanita, ini hanya membuktikan bahwa tekad yang dimiliki Sal tidak lebih besar dari tekad lawan.


'Jadi hanya sampai di sini saja kisahku?'

•••

[Play: Nano Nano]

Beberapa jam sebelumnya.

Sal yang telah menyelesaikan babak kedua, tengah lahap memakan buah pohon Rachta.

Bukan karena monyet kribo kelaparan, tapi tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain makan. Sebagai seorang musisi keliling, dia jarang menetap lama di satu tempat, untuk mengisi waktu Sal biasanya akan mengasah kemampuan sulingnya. Tapi sayang, suling saktinya hilang saat dia bertarung di pulau Mhyr. Saat ini perhatiannya teralih pada buah aneh yang tumbuh dari pohon yang juga sama anehnya.

Dari kejauhan, sesosok mahkluk bersayap melayang turun mendekati pohon tempat Sal asyik makan. Sosok itu, Hyvt yang dipanggil Sal dengan sebutan So-Hyvt tak berkata apa-apa ketika datang menghampiri si monyet.

Tanpa basa-basi, Sal yang melihat kedatangan So-Hyvt langsung bertanya. "Buah apa ini? Rasanya aneh, ada rasa asam, manis, asin, rame rasanya, apa nama buah ini Sohvt?"

"Na--" So-Hyvt terlihat seperti ingin menjawab, tapi makhluk merah itu kemudian mengurungkan niatnya. Sementara itu Sal terus melahap sebuah dan sebuah lagi, seakan rasa laparnya tak pernah hilang.

"Kau tau gak? Ras Meteo bisa bertahan tanpa makan selama satu bulan lebih!" Ucap Sal sementara mulutnya terus sibuk mengunyah, "tapi sekalinya makan bisa berjam-jam!"

"Apa itu info yang penting Tuan Salvator?" Tanya So-Hyvt.

"Sialan kau! Oh ya, udah kubilang, panggil aku 'Sal', gak usah terlalu formal gitu, dan yang bener tuh Salvatore, bukan Salvator."

"Maaf, gaya formal saya sama sekali bukan untuk menghormati anda, tapi sebaliknya untuk mengejek anda, Tuan Salvator."

Sal hanya mendengus mendengar balasan Sohyvt. "Oh iya, sulingku udah kau temukan, Sohvt?"

Sohyvt tidak menjawab, sebaliknya dia mengeluarkan suling yang dimaksud dari balik sabuk di pinggangnya dan menyerahkannya pada Sal.

"Wah, kamu emang bisa diandelin banget Sohvt, untung ketemu."

"Tentu saja."

"Tau gak, suling ini dibuat Muse pengrajin hebat bernama Karavagos, dia itu kura-kura berkepribadian kelinci!" Sal diam sejenak untuk menelan makanan yang dikunyahnya, "suatu waktu dia pernah cerita tentang alat musik yang disebut Sonestra, atau disebut juga--"

"Lagi-lagi, informasi itu tidak akan berguna apapun bagi saya," potong Sohyvt mulai tak sabar, sayapnya mengepak lebar dan mulai melayang, "kalau begitu, sampai jumpa di babak selan--"

Sal balas memotong ucapan Hyvt pemandunya dengan mencengkeram tumit kakinya. "Tunggu."

"Apa yang anda--"

"Disebut juga Alat Musik Kematian."

"Iya saya tahu, tapi perihal ada tiadanya sama sekali bukan urusan saya."

"Padahal aku mau minta tolong."

"Hmm, anda ingin menyuruhku untuk mencari alat musik itu kan?"

"Tadinya, tapi kalau gak ada sih gapapa."

"Ada. Tapi saya tidak mau mencarinya."

"Eh, jadi beneran ada?"

"Tak ada yang mustahil diciptakan oleh Yang Mulia Thurqk, semua makhluk dan benda yang di alam semesta ini adalah cipta--"

"Aku gak perlu dengerin dakwah soal si Truk, Sohv, gak penting," tangan Sal menyeka mulutnya yang berlumuran buah Rachta. "Nah, soal alat musik itu?"

Merasa tak diacuhkan Sal, So-Hyvt mulai terlihat jengkel. "Kalau tidak ada larangan dari Yang Mulia, aku mungkin sudah menghabisimu dari dulu!"

"Pake kata 'aku' ya sekarang," Sal tertawa terbahak melihat reaksi dari 'teman' barunya itu.

"Terus kenapa gak kau lakuin? Bukannya tiap babak semua peserta yang lolos akan dikembalikan lagi ke kondisi semula?" Sal balas menantang So-Hyvt.

So-Hyvt tampak berpikir sejenak. "Benar juga."

"Eh, jadi sebelumnya gak kepikiran ya? Kau ini bodoh atau apa?" Ejek Sal.

Makhluk bersayap hitam itu pun mengeluarkan sesuatu dari balik celana lusuh hitamnya.

"Be-Benda keras apa itu?!" Seru Sal tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Dilihatnya sebuah gada sepanjang satu meter terbuat dari tulang, keluar dari balik celana si malaikat merah. "Pantas aku bingung, semua makhluk kembaranmu masing-masing membawa senjata yang berbeda-beda, ternyata punyamu disimpan di situ!"

"Babak ketiga masih beberapa jam lagi, anda benar 'tuan' Sal, rasanya tidak salahnya memberi sedikit pelajaran tentang cara bertingkah laku di Jagatha--"

Ucapan Sohyvt terpotong, tapi bukan disebabkan Sal. Makhluk itu tiba-tiba saja membeku seperti tayangan film yang terkena jeda. Hvyt tersebut sekarang tampak seperti sebuah manekin yang sering ada di toko pakaian.

"Oi, Sohv, kenapa kau?" Sal mencolek-colek badan Sohyvt berharap ada respon, tapi reaksi yang diharapkan tidak muncul. Tubuh malaikat merah itu terus membeku.

"Aneh."

Sekonyong-konyong datanglah sesosok Hyvt berpenampilan aneh, disebut aneh karena selain pola garis-garis hitamnya berbeda dengan Hyvt reguler; termasuk Sohyvt, juga karena Hyvt aneh itu berjanggut & berkacamata. Sal menatap tajam kedatangan Hvyt unik itu.

"Siapa kau?"

"Siapa aku tidak penting."

"Oh ya udah." Sal mengalihkan perhatiannya pada suling yang sempat hilang di babak kedua, seakan tak peduli pada apa yang terjadi pada So-Hyvt atau pada kedatangan si Hyvt misterius tersebut.

"Eh, ta-tapi kalau kau memaksa, panggil aku No-Hyvt."

Tak jauh dari tempat Sal.

Sesosok makhluk astral terlihat melayang tenang di sekitar pohon Rachta. Sosok astral itu berbentuk anak perempuan berpakaian putih manis. Sebuah pita biru menempel di rambut hitam si hantu.

"Ngilang kemana sih, om om itu? Pake acara maen petak umpet, gak ngajak-ngajak Abby lagi ih!"

Gerakannya terhenti ketika melihat pertemuan Sal dan Hyvt berkacamata, si gadis itu tersenyum nakal. "Ternyata ada di sini."

•••

[Play: Strong Willed Soldier]

Kita simpan dulu cerita di atas, dan menuju Khramanaka 10. Waktu menunjukkan menit nol, dan ketinggian air nol meter.

Namanya Yvika Gunnhildr. Seorang Komandan pasukan khusus yang disingkat RIGS. Pembunuh profesional berpangkat Mayor. Putri dari Kolonel Athelstan Gunnhildr. Cucu seorang pengusaha senjata sekaligus profesor bernama Vincent Gunnhildr. Istri dari stand-up komedian bernama Alain Yorick dan ibu dari anak perempuan berusia 8 tahun, bernama Lana.

OK, paragraf sebelumnya hanya pengulangan deskripsi. Mayor Yvika di babak ini tetap sama seperti Mayor Yvika di babak sebelumnya. Dia bukan imagyn yang mampu meningkatkan kekuatannya, ataupun kaum pengumpul jiwa yang bisa memperbanyak koleksinya. Dia hanya seorang tentara, pengalaman bertempur adalah kekuatannya. Keefektifan dalam menyerang dan bertahan adalah strategi bertarungnya. Pikiran yang fokus dan mental sekuat baja adalah senjata utamanya. Mayor Yvika adalah seorang mesin perang, dan begitulah harusnya.

Tapi pada babak ini pertarungan dilakukan di ruangan tertutup yang seluruh permukaan dindingnya terdapat lubang-lubang selebar kepalan tangan manusia.

'Sebenarnya pertarungan apa yang ingin Dewa itu lihat?' Pertanyaan itulah yang muncul pertama di benak Yvika.

"Hyvt, bisa kau beritahu rincian pertarungan babak ini?" Tanya Yvika kepada Hyvt pemandunya.

"Siap Komandan!" Jawab Hyvt itu tegas, seperti layaknya prajurit melapor atasannya. Dia pun kemudian menjelaskan tentang aturan pertarungan babak ketiga ini.

Dari yang ditangkap Yvika, babak kali ini dua peserta akan bertarung di tempat yang bernama Ythana Khauri, yaitu ruang bawah tanah Istana Devasche Vadhi. Setiap peserta yang bertarung akan dihadapkan pada situasi yang sulit. Syarat kemenangan adalah menghabisi lawan dalam waktu 30 menit.

Yvika mendengar dengan seksama semua ucapan Hyvt yang mengantarnya, sementara jarinya menekan sebuah tombol kecil yang ada pada penutup mata kanan. Pandangan matanya menatap tajam lawan di depannya.

'30 detik. Sensorku telah mengunci pergerakan makhluk itu, tapi mungkin percuma kalau pertarungannya di ruangan tertutup seperti ini.'

Mayor Yvika kemudian mulai memperhatian ruangan tempat dia akan bertarung. Ruangan itu kira-kira dua kali lipat ring tinju, tingginya pun hampir sama dengan panjang lebar ruangan, dengan kata lain ruangan ini berbentuk kubus. Pada dinding dan lantainya terdapat lubang-lubang berdiameter lebih kurang 10 sentimeter yang tersusun tak beraturan, melihat itu dia cukup bersyukur karena dia bukan penderita Trypophobia.

"Selama 30 menit itu, air perlahan akan merembes naik dari lubang-lubang itu hingga setinggi langit-langit. Bila anda berhasil membunuh lawan anda, air akan surut kembali dan sebuah pintu akan terbuka." Ucap Hyvt mengakhiri penjelasannya.

"Air katamu?" Tanpa Yvika.

"Iya, tapi itu bukan masalah kan?"

Yvika tak menjawab pertanyaan si Hyvt. Dia mulai mempertimbangkan berbagai strategi untuk menghabisi lawan di depannya. Otaknya mulai menjalankan beberapa skenario pertarungan.

Lawannya kali ini lagi-lagi bukan manusia, tapi seekor monyet berpakaian norak kalau boleh dia bilang. Nama monyet itu, Salvatore Jackson, pernah bertemu dengannya di babak kedua, bahkan sempat menyelamatkan sang mayor yang hampir bunuh diri.

Selain dari pertemuannya itu, dia tak tahu apa-apa tentang makhluk bernama Salvatore ini. Dia tak sempat bertarung dengannya, dan saat jeda antar babak pun, tak ada interaksi antara dirinya dan si monyet setinggi dua meter lebih tersebut.

"Pertarungan akan segera dimulai, good luck, Komandan!" Hyvt tersebut memberikan hormat ala tentara, yang kemudian dibalas sang Mayor dengan gerakan hormat yang sama. Hyvt itu pun kemudian terbang meninggalkan Yvika.

Dia melihat monyet di depannya berteriak tak jelas pada Hyvt pengantarnya, merasa diperhatikan, si monyet kemudian memandangnya dan berjalan santai menghampiri Yvika.

"Halo!" Sapa si monyet.

'Apa-apaan monyet itu, sok akrab' batin Yvika.

•••

Sementara itu dilihatnya air mulai merembes keluar dari lubang-lubang yang ada di lantai dan dinding ruangan. Hanya dalam tempo kurang dari 1 menit, ketinggian air sudah mencapai betis kaki Yvika.

"Wah, sudah mulai toh, kata si So-Hyvt, kita berada di Kamaraka sepuluh," ucap Sal "atau disebut juga ruang siksaan air."

'Yang benar Khramanaka kan?' Ucap Yvika dalam hati.

"Oh iya, namaku Salvatore Jackson, tapi mungkin kau udah tau, apalagi kita juga satu pulau di babak kedua."

Sal perlahan mendekati Yvika, membuat wanita tentara itu menyiapkan senapan serbunya.

"Wow, tenanglah nona, aku gak bermaksud menyerangmu kok."

"Nona? Ini kedua kalinya kau panggil aku nona, apa aku terlihat seperti remaja bagimu? Panggil aku Ibu Mayor!" Bentak Yvika. Dia sepertinya tak peduli kalau Sal sebenarnya lebih tua.

"Eh, dua kali?" Balas Sal.

Yvika kemudian melirik arloji yang terpasang tersembunyi di balik zirah tangan kirinya. Waktu menunjukkan dua menit lebih telah terlewati sejak babak dimulai, sementara itu ketinggian air sudah melewati pahanya.

'Sial, airnya cepat sekali, kalau begini caranya aku duluanlah yang akan tenggelam!' Keluh Yvika dalam hati. Dia mulai merasa tidak nyaman dengan celana PDL yang dipakainya.

Awalnya Yvika akan menunggu lawannya menyerang terlebih dulu, tapi sepertinya si monyet juga bukan tipe petarung agresif. Kalau mengingat babak kedua, selain tindakan Sal yang malah menyelamatkan nyawanya, Yvika juga ingat bahwa kursor Sal yang pertama hilang dari radar penutup matanya, itu bisa diartikan Sal-lah yang pertama menjadi korban di Pulau Mhyr itu.

Mempertimbangkan minimnya waktu bertempur dan melihat ekspresi Sal yang malah terlihat bingung, Yvika dengan serta merta membidikkan senapannya ke arah si monyet. Tujuannya jelas, mengakhiri babak ini secepat mungkin. Lawannya bukan hanya si monyet, tapi juga waktu yang pendek dan air yang semakin tinggi.

Sal yang menyadari pergerakan Yvika kemudian mengacungkan tangannya dan berkata. "ENGKEHEULA, tunggu bentar, ada yang mau kutanya dulu."

Mendengar ucapan Sal, Yvika seperti kehilangan niat membunuh dan menurunkan senapannya. Untuk sesaat pikirannya menjadi kosong.

"Ng, mau tanya apa?" Tanya Yvika kemudian.

"Maaf, tapi, kau wanita kan?"

Tersentak mendengar pertanyaan yang di luar dugaan tersebut, Yvika seketika marah dan tanpa ampun menembakkan senapan serbunya ke arah Salvatore.

Tapi dengan sigap Sal menghindar, gerakan tubuh tingginya menciptakan deburan ombak yang besar, gelombangnya cukup untuk menggoyangkan kuda-kuda Yvika yang sekarang terbenam hampir setinggi perut.

"Sial!" Umpat Yvika, buru-buru dia mencoba mempertahankan posisinya, dengan ketinggian air yang seperti itu, cukup berat baginya untuk membidik sasaran.

"PABEULIT!"

Yvika mendengar teriakan Sal di samping kanannya, tapi entah kenapa ketika dia mencoba mengarahkan senapannya ke arah monyet tersebut, kaki kanannya tersandung lubang lantai, Yvika kehilangan keseimbangan dan dia pun tercebur.

'A-Apa?!' Yvika tak percaya apa yang telah terjadi padanya. Dia tahu air yang semakin tinggi akan menjadi kendala besar baginya. Apalagi bila melihat perbedaan tinggi badan dia dan lawannya, babak ketiga ini memang tidak menguntungkan bagi Yvika.

Tapi kesalahan yang dilakukannya, tak mencerminkan kemampuan dia sebenarnya. Pertarungan di atas dan dalam air tentu saja masuk dalam pelatihannya selama menjadi tentara di kerajaan Eydis.

Dia merasa ada yang aneh.

Dan sementara dia berjuang mati-matian untuk kembali berdiri, sebuah tarikan kuat membuat senapan serbu yang dipegangnya terlepas.

Sepertinya Sal tak menyia-nyiakan kesempatan saat Yvika kesulitan berdiri. Dia merebut senapan serbu Yvika dan melemparnya dengan keras ke arah dinding. Benturan yang dihasilkan cukup membuat senapan tersebut hancur. Yvika hanya bisa tercengang melihat kejadian itu.

Tapi hal itu tak berlangsung lama, pikiran sang Mayor kembali fokus, dia kemudian mengeluarkan dua handgun 9mm yang tersimpan di rompinya dan kembali mengarahkannya pada Sal.

Tapi Sal dengan cekatan merebut dua pistol tersebut dan kembali melemparkan keduanya ke arah yang berlawanan. Tak hilang akal, Yvika juga mengeluarkan pedang pendek yang tersarung di punggungnya. Dan lagi-lagi Sal dengan mudah merebutnya, seperti merebut permen dari anak kecil, Sal mengambil pedang tersebut dan melemparnya ke dinding. Lemparan Sal yang kuat membuat pedang super-tajam itu menancap.

Sal kemudian mengucapkan satu kata dan tersenyum kepada Yvika. Yvika yang mendengarnya tiba-tiba menjadi ketakutan, dalam panik dia berenang menjauhi Sal yang masih tegak berdiri.

'Mundur, aku harus mundur!' Teriak Yvika dalam hati.

Waktu menunjukkan 6 menit sejak pertarungan babak ketiga dimulai, dan ketinggian air saat ini sudah mencapai 2 meter.

•••

[Play: Flippant Musician]

"HARIWANG." Kata itulah yang diucapkan Sal kepada Yvika. Tapi satu kata itu cukup untuk membuat si wanita tentara menjauh dari Sal. Melihat kepanikan lawannya tersebut, Sal hanya bisa tersenyum.

Di babak ketiga ini Sal sekali lagi dihadapkan dengan tantangan yang berat. Berkali-kali dia mengingatkan dirinya sendiri kalau dia bukanlah petarung, dia hanya seorang musisi. Kehadirannya di Devasche Vadhi mungkin hanya salah masuk pintu.

Dia membuka lembaran terlarang untuk menemui seseorang yang telah lama tak ditemuinya. Tapi yang terjadi, Sal sekarang terjebak di turnamen yang mengharuskan dia keluar sebagai pemenang di tiap babaknya. Sejauh ini dia cukup beruntung, bisa melewati babak satu dan dua tanpa terlalu banyak berpikir.

Tapi di babak ketiga ini, dia menghadapi lawan yang paling dia takuti, yaitu seorang wanita.

Namun mari kita kembali dulu ke waktu sebelum pertarungan di mulai, beberapa saat setelah pengumuman akan dimulainya babak ketiga.

Sal yang diantar So-Hyvt menuju arena pertarungan, mendapati dirinya dalam situasi yang tidak menguntungkan.

"Apa katamu?" Seru Sal, "lawanku selanjutnya seorang wanita?"

"Ya."

'Orang itu benar,' ucap Sal dalam hati.

"Satu lawan satu?" Tanyanya kemudian.

"Ya, satu lawan satu, namanya Yvika Gunnhildr, dan dia seorang tentara."

"Terus, apa kekuatannya?"

"Itu urusan anda untuk mencari tahu, lagipula di babak kedua anda pernah satu pulau dengannya."

"Eh, benarkah? Jangan-jangan si cewek berbaju hitam putih?"

"Di tempat pertarungan, anda bisa melihat sendiri kok."

"Bah, kau gak guna banget ya. Ini yang aku takutkan, nyasar di turnamen gak jelas, lawan wanita pula, aku punya prinsip, tidak akan pernah melukai seorang wanita. Kau tahu kenapa?"

So-Hyvt yang mendengar keluhan Sal tak bereaksi apapun.

"Oi, tanya kenapa dong?"

"Palingan panjang ceritanya."

"Iya benar," balas Sal, dia pun bersiap untuk bercerita. "Jadi begini, semua berawal ketika aku lahir, aku bungsu dari lima bersaudara, aku punya tiga kakak laki-laki dan satu kakak perempuan."

"Ketiga kakak laki-lakiku, seneng banget ng-bully aku--"

"Ya, kita sudah sampai di arena pertarungan," potong So-Hyvt.

"Eh?!" Seru Sal. Ternyata memang benar, mereka berdua telah sampai di sebuah ruangan yang cukup luas.

"Tempat ini adalah Khramanaka 10, atau disebut juga Ruang Siksaan Air!"

"Haduh, kok cepet banget nyampenya?" Protes Sal.

"Tentu saja, itu karena tempat ini tepat di bawah Istana Devasche Vadhi," So-Hyvt menghentikan ucapannya saat dia menurunkan Sal. Dia melirik sebentar ke arah lain, dilihatnya Hyvt lainnya telah mengantarkan lawan yang akan dihadapi Sal.

Sal sendiri ikut melihat lawan yang akan dia hadapi sebentar lagi, dan memang benar, wanita itu pernah satu pulau dengannya. Melihat penampilan si wanita yang membawa senjata, sedikit mengingatkannya pada Luna.

"Mirip Luna, cuma lebih tomboy dan macho," ucap Sal.

Tapi terakhir kali dia lihat, baik Luna maupun wanita itu sama-sama dalam keadaan sudah menjadi mayat. Apalagi mayat wanita di depannya sekarang jauh lebih mengenaskan, kepalanya dipenggal oleh si wanita hitam putih.

Tentu saja dia sulit untuk merasa simpati, karena si wanita tentara sekarang sudah kembali dalam kondisi yang sempurna. "Sial!"

Sal hanya bisa meratapi nasibnya. Selain soal lawannya yang seorang wanita, ada hal lain yang ada di pikiran Sal, yaitu tentang pertemuannya dengan si Hvyt misterius.

"Tuan Sal, apa anda mendengar penjelasan saya barusan?"

"Iya iya, aku gak tuli, siksaan air, bunuh lawan dalam waktu 30 menit, dan air surut." Jawab Sal sekenanya. "Begini-begini pendengaranku ini super-tajam."

"Baiklah kalau begitu."

"Hey, kau belum jawab soal Alat Musik Kematian yang sebelumnya kutanyakan," tanya Sal tiba-tiba. "Ayolah, ceritain dong, emang beneran ada?"

So-Hyvt jelas terlihat enggan menjawab, tapi hal itu tak berlangsung lama. "Jika Tuan Salvator-e, berhasil lolos dari babak ini, saya mungkin akan menjawabnya, saat ini waktunya tidak tepat kan Tuan?"

"Sial, jadi intinya aku harus menang ya?"

"Terserah anda."

"Ya udahlah," ucap Sal pasrah.

Dilihatnya kubu lawan pun sedang mengawasi dirinya. Dilihat sekilas, orang yang tak tahu mungkin tidak akan menyangka kalau lawannya itu seorang wanita, potongan rambut pendek yang ditutupi baret hitam, mata kanan yg ditutupi penutup aneh, baju dan celana sama-sama bernuansa hitam. Dan jangan lupakan postur tubuh yang tinggi berotot dan kulit gelap itu.

Tiba-tiba suatu hal menarik perhatian Sal.

"Wah lihat itu Sohv! Si wanita tentara dan Hyvt-nya saling menghormat ala tentara," seru Sal entah kenapa kegirangan. "Kita juga harus bikin salam kayak gitu, tapi tentu pake gaya kita sendiri."

Namun So-Hyvt yang diajak bicara sudah melayang pergi tanpa berkata apa-apa lagi.

"Oi, dasar gak ada sopan santun, pamit dulu kek!" Teriak Sal marah-marah. "Cih, jadi aku sekarang benar-benar sendiri?"

'Nah, gimana caranya aku bisa menang tanpa membunuh?' Tanya Sal lebih kepada dirinya sendiri.

Sal menyadari kalau lawannya pasti lebih memilih opsi yang lebih sadis. Sal juga melihat si wanita tentara, Mayor Yvika sedang mengawasi dirinya, mungkin sedang memikirkan cara cepat untuk menghabisi dirinya.

Dan di ruangan luas itu, hanya tinggal mereka berdua, Sal dan Mayor Yvika. Tak berapa lama kaki Sal sudah mulai basah akibat air yang mulai merembes cepat dari bawah lantai.

"Hmm, mending sapa dulu deh," putus Sal akhirnya, sembari menghampiri sang Mayor.

•••

[Reverse-Forward]

"Halo." Itulah kata pertama Sal ucapkan pada si wanita tentara. Setidaknya sebelum situasi bertambah buruk, Sal tidak mau memberi kesan buruk pada si wanita, dia harus memperlihatkan kalau dia adalah seorang pria yang sopan.

Namun sayangnya usaha Sal hanya menghasilkan tatapan dingin dari sang mayor. Tapi Sal tak mau menyerah, dia berharap lawan di depannya bisa diajak bicara dulu secara baik-baik.

"Wah, sudah mulai toh, kata si So-Hyvt, kita berada di Kamaraka sepuluh, atau disebut juga ruang siksaan air." Ucap Sal sekaligus menanggapi permukaan air yang semakin meninggi. Tapi tetap tak ada reaksi.

"Oh iya, namaku Salvatore Jackson, tapi mungkin kau udah tau, apalagi kita juga satu pulau di babak kedua." Sal kemudian mendekati Yvika secara perlahan, tapi hal itu justru membuat wanita tentara tersebut menjadi siaga, senapan serbunya tepat diarahkan kepada Sal.

"Wow, tenanglah nona, aku gak bermaksud menyerangmu kok."

"Nona? Ini kedua kalinya kau panggil aku nona, apa aku terlihat seperti remaja bagimu? Panggil aku Ibu Mayor!" Bentak Yvika tiba-tiba.

Sal cukup terkejut mendengar suara si wanita untuk pertama kalinya.

'Pantesan diam aja, suaranya nge-bass gitu, mirip suara cowok!' Batin Sal. 'Jangan-jangan cewek jadi-jadian?'

Tapi kemudian Sal menyadari sesuatu dari kata-kata yang dilontarkan Yvika. "Eh, dua kali?"

Yang Sal ingat waktu babak kedua, dia tak pernah berinteraksi dengan sang mayor, apalagi sampai dua kali menyebutnya 'nona.' Waktu itu dia berinteraksi hanya dengan Bara dan si boneka beruang, Ursario.

Hal ini mengingatkannya kembali akan percakapan singkatnya dengan Nurin, si wanita lalat, tentang kemungkinan perbedaan realitas pertarungan tiap-tiap peserta.

'Jika teori itu benar, berarti yang dimaksud si wanita tentara, pasti realitas pertarungannya sendiri, dan itu juga berarti di babak ini--'

Sebelum Sal berpikir lebih dalam, dia menyadari pergerakan Yvika yang berniat menyerangnya.

"ENGKEHEULA, tunggu bentar, ada yang mau kutanya dulu." Ucap Sal sambil mengacungkan tangannya.

Tanpa si wanita itu sadari, Sal sebenarnya mencantumkan salah satu kata Way of the Bacot di kalimat yang diucapkannya, satu kata yang mampu membuat siapapun yang mendengarnya menunggu sampai waktu tertentu. Sang mayor pun seperti kehilangan niat membunuh dan menurunkan senapannya.

"Ng, mau tanya apa?" Tanya Yvika kemudian.

Mendengar perkataan Yvika, Sal sebenarnya hanya berniat menahan sang mayor dari menyerangnya, dan sama sekali tak berniat bertanya.

Tapi Sal tiba-tiba penasaran soal gender sang mayor, apalagi setelah mendengar suara dan melihat bentuk tubuh Yvika yang gelap dan berotot.

"Maaf, tapi, kau wanita kan?" Tanpa basa-basi pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Sal.

Dan reaksi yang muncul dari Yvika, sungguh di luar dugaan Sal. Sang mayor dengan marah memberondongkan peluru dari senapan serbunya ke arah Sal.

'Eh apa? Efek Bacotnya hilang?!' Seru Sal dalam hati.

Tapi bukan Sal namanya kalau tak bisa menghindar dari rentetan tembakan seperti itu, bisa dibilang jurus paling ampuh yang dimiliki Sal adalah kemampuannya dalam menghindar secepat kilat. Bahkan ketika tubuhnya terbenam air sekalipun, kecepatannya tak berkurang. Justru gerakannya yg membelah air malah membuat lawan kehilangan keseimbangan.

Sal menghindar ke arah kanan. Melihat pergerakan sang mayor yang kikuk akibat terkena gelombang, Sal sekali lagi meneriakkan Bacotnya.

"PABEULIT!"

Kejadian selanjutnya hampir membuat Sal merasa kasihan terhadap si wanita tentara, dan hampir tertawa. Dilihatnya Yvika tercebur dan susah untuk berdiri. Hampir kasihan.

Bukan kali ini saja Sal berhadapan dengan tentara, semasa hidupnya dia sering dikejar-kejar pihak berwenang, terutama setelah membuat kekacauan di Planet Krismon. Baik itu angkatan bersenjata, pemburu hadiah, dan tentu yang paling mengganggu adalah Satuan Polisi Lentera - Phalanx Patromaxx, atau disingkat Satpol PP.

Kali ini pun tidak ada beda, walau memang dulu dia tak pernah melawan balik dan selalu berhasil lolos. Tapi metode awalnya tetap sama, lucuti senjatanya, dan itulah yang dilakukan Sal.

Melihat Yvika yang masih berusaha menyeimbangkan dirinya, kesempatan itu tak disia-siakan Sal. Dengan cepat tangan besarnya merebut senapan serbu yang dipegang Yvika dan kemudian menghantamkannya ke dinding ruangan. Tendengar suara benturan keras senjata yang hancur.

Sang mayor terlihat kaget melihat senjatanya hancur begitu saja, tak lama kemudian wanita itu mengambil dua pucuk pistol dari balik rompinya. Namun dengan cepat Sal merebut kedua senjata tersebut melemparnya ke arah yang berlawanan. Pun ketika Yvika mencabut pedang pendeknya, Sal dengan mudah mengambil pedang itu dan melemparnya tinggi-tinggi hingga menancap ke dinding.

Setiap menghadapi lawan yang lebih pendek darinya, Sal tak pernah merasa dirinya akan kalah dan selalu yakin bahwa dia akan bisa meloloskan diri. Begitu juga kali ini, walau peluang untuk lolos hampir tidak ada, tapi setidaknya untuk saat ini Sal merasa sangat superior.

Dan atas dasar itu, sebuah kata tambahan pun diucapkannya.

•••

[Pause]

Delapan menit telah berlalu sejak kata 'HARIWANG' diucapkan Sal. Ketinggian air saat ini sudah mencapai lebih kurang 5 meter, itu berarti setengah ruangan itu telah dipenuhi air.

Keduanya terdiam menunggu, baik Sal maupun Yvika hanya berusaha supaya tetap berada di atas permukaan air. Mereka berdua masing-masing menempel di dinding ruangan yang berpori-pori.

Setelah tadi terkena efek Bacot Sal, Yvika mulai bisa terlihat tenang. Pandangan matanya kembali fokus terhadap Sal. Di lain pihak, Sal pun terus mengamati lawannya.

"Maaf soal tadi," ucap Sal tiba-tiba. "Aku mungkin telah menyinggungmu, tapi beneran, aku gak ada maksud bikin kamu marah, hanya saja..."

Yvika hanya mendengus mendengar ucapan Sal. "Sudah biasa kok, penampilanku memang tomboy, itu sudah bawaan dari lahir, tidak usah dipikirkan."

"Iya tapi, bagiku rasanya sangat mengganjal, wanita itu harusnya bersuara lembut dan berpakaian anggun."

"Diam kau!" Bentak Yvika, "urus saja urusanmu sendiri, monyet norak!"

"Oi, oi, jangan emosi gitu, nanti gak kan ada cowok yang suka lho."

"Sok tahu! Begini-begini juga aku ini..." Yvika tak menyelesaikan kalimatnya, dia merasa tidak penting menceritakan tentang kehidupan pribadinya.

"Daripada itu, kenapa tadi kau menahan diri?" Tanya Yvika. "Dilihat dari manapun, dengan apapun itu kemampuanmu, kau jauh lebih kuat dariku, tapi kau sama sekali tidak menyerangku.Setidaknya ada tiga kesempatan untuk membunuhku, tapi kenapa kau tak melakukannya?"

Mendengar pertanyaan Yvika, Sal pun tersenyum. "Nah, ini sebenarnya ada hubungannya dengan pertanyaan tentang gender yang kutanyakan tadi."

"Hah?!"

"Jadi begini ceritanya, semua berawal ketika aku lahir, aku bungsu dari lima bersaudara, punya tiga kakak laki-laki dan satu kakak perempuan. Ketiga kakak laki-lakiku--"

"Jadi kau tak mau melawanku karena aku wanita?!" Potong Yvika, terlihat sekali kalau dia sangat tersinggung. "Dasar seksis!"

"Eh, aku gak mesum kok, makanya dengerin dulu ceritaku--"

"Apapun alasanmu, aku tahu kemana arahnya, dan aku tidak terima diperlakukan seperti ini lagi, cukup masa-masa diklat tentara saja aku direndahkan seperti itu!"

"Di-Diklat? Apa sih yang kau--"

"Aku sudah banyak melakukan hal yang bahkan melebihi prajurit pria manapun di negeriku," lanjut Yvika, "aku sudah membunuh puluhan musuh sebesar dirimu, jadi jangan berani-beraninya meremehkanku!"

"Sudah kubilang, aku punya alasan sendiri."

"Kalau kau tetap tak mau melawanku, kalau begitu biarkan aku membunuhmu!"

"Me-Membunuhku?!"

"Dengar monyet, waktu kita..." Yvika menyempatkan diri untuk melihat arloji di tangannya, "waktu kita tinggal 10 menitan lagi, sekarang pilihannya antara aku atau kau yang akan mati, semua ada di tanganmu!"

"Apa memang harus berakhir seperti itu? Apa kau tidak melihat bahwa semua ini terlihat konyol, kita semua saling membunuh untuk apa? Untuk menyenangkan dewa yang gak penting?"

"Tentu saja aku juga berpikir begitu, tapi bagiku ini hanya satu pertempuran dari sekian banyak pertempuran yang telah kujalani, aku ini tentara, dan aku melakukan apa yang paling bisa kulakukan, yaitu menuruti perintah dan membunuh lawan yang ada di hadapanku!"

"Kau, apa kau sebegitu inginnya hidup kembali? Kau bilang kau tentara, tapi kau seperti melupakan resiko menjadi tentara, yaitu terbunuh dalam perang!"

Yvika terdiam mendengar ucapan Sal, tentu dia menyadari resiko seperti itu. Tapi dia tak mau mendengarnya dari orang yang sama sekali tidak dia kenal, yang sama sekali tak tahu apa-apa tentang dirinya, dan tak tahu apa-apa tentang semua anugerah yang telah dimilikinya.

"Kenapa diam?" Tanya Sal.

"Aku punya alasan sendiri," jawab Yvika.

Sal tertawa mendengar jawaban Yvika. "Dan apa alasanmu?"

Yvika sempat berpikir sejenak, tapi kemudian menjawab."Apapun itu, tak akan berpengaruh apapun, kau tetap tidak akan melawanku, iya kan?"

"Begitulah."

"Aku akan mendapat apa yang kuinginkan, walau dengan membunuh seribu orang, aku akan melakukannya, termasuk kau!"

Untuk pertama kalinya, Sal merasakan hatinya menjadi dingin. Dia tak habis pikir, kenapa seseorang bisa memiliki jiwa yang hitam, yang tak segan untuk membunuh, yang dengan mudahnya mengabaikan cinta. Bahkan sekarang kumisnya pun menjadi layu.

"Sihirmu, aku sudah tahu, itu jenis sihir suara kan? Sebelumnya kau meneriakkan kata-kata aneh dan sesaat kemudian emosiku berubah, pikiranku tidak fokus."

Mendengar hal itu Sal hanya tersenyum nyinyir. Wanita itu ternyata sangat jeli.

"Tapi kecuali kau lumba-lumba, suaramu tidak akan efektif dalam ruang penuh air seperti ini."

Yvika mengakhiri kalimatnya dengan menceburkan diri ke dalam air. Sal hanya bisa menghela nafas melihatnya.

Wanita itu benar, Bacotnya tidak akan maksimal di kondisi penuh hambatan suara seperti itu. Samar-samar mungkin terdengar, tapi tidak akan berefek sama sekali.

Begitu juga dengan sulingnya, mana bisa dia memainkan musik sambil berenang, kecuali dia lumba-lumba atau putri duyung, sayangnya dia bukan keduanya. Tapi sebagai seorang Meteo, Salvatore cukup percaya diri dengan kemampuannya menahan nafas dalam air, dulu dia pernah dijuluki sebagai Monyet Berinsang.

Sal pun kemudian menyusul Yvika menceburkan diri. Ketinggian air sudah mencapai 7 meter.

•••

[Shuffle]

Di dalam air, ternyata pemandangannya sangat jernih, jelas pasokan airnya bukan diambil dari lautan Nanthara. Rasa airnya tawar dan tak berbau, dengan kata lain, kecuali volumenya yang semakin lama makin menghabiskan udara, sepertinya tidak ada kandungan berbahaya dalam air itu. Setidaknya itulah yang dirasakan Sal ketika dia tak sengaja meminum airnya.

Setelah dia menceburkan diri, dilihatnya sang mayor mulai menyelam ke dasar ruangan.

'Apa yang dicarinya?' Pikir Sal. Tapi pertanyaan itu langsung terjawab ketika Yvika sudah sampai di dasar, ternyata wanita itu memunggut pistol yang sebelumnya dilemparkan Sal.

'Pistol itu mau diapain nona tentara? Mana mungkin masih berfungsi, pasti sudah rusak kemasukan air, iya kan?'

Tiba-tiba sang mayor menembakkan pistol tersebut dari tempatnya menyelam, ternyata pistol itu memang masih berfungsi. Sal coba menghindar, tapi sepertinya tak cukup cepat, peluru itu mengenai headset yang dipakai Sal dan merusakkannya. Sal beruntung, kalau peluru itu bukan ditembakkan di dalam air, kepalanya pasti sudah bolong sekarang.

'Sial, untung senjata yang lebih besar sudah kuhancurkan!'

Apa yang tak diketahui Sal, bahwa semua senjata yang dimiliki Yvika adalah buatan Gunnhildr Arms and Technology Industries dan telah dimodifikasi khusus supaya anti air. Ada katup khusus yang menutupi moncong pistol dan hanya membuka ketika peluru ditembakkan, itupun akan menutup kembali saat peluru sudah benar-bebar keluar dari moncong pistol tersebut.

Peluru kedua, ketiga dan selanjutnya mulai ditembakkan. Sal menghindar dengan menjadikan dinding sebagai tolakan dan meluncur turun ke bawah, dia bersyukur kecepatan Langkah Seribunya tak berkurang banyak walau dalam air.

Ruangan itu cukup luas untuk pertarungan jarak dekat, tapi sempit bila digunakan untuk bermanuver menghindar. Sal bergerak dari satu dinding ke dinding lainnya dalam waktu sangat singkat, tak lebih dari 1 detik.

Di sisi lain, Yvika menghentikan serangannya. Walaupun dia dilatih untuk menyelam dalam air tanpa tabung oksigen, tapi tak selama itu. Dia pun berenang naik ke permukaan, dilihatnya jarak permukaan dan langit-langit hanya tinggal 2 meteran.

Yvika cukup yakin dengan akurasi tembakannya walau di dalam air sekalipun, tapi mengingat kecepatan pelurunya yang terhambat dan setelah melihat gerakan menghindar Sal yang jauh dari kata wajar, Yvika memutuskan untuk mengubah strategi.

Satu hal yang pasti, dia tak mungkin menggunakan peledak di area sempit seperti ini, karena efek ledakannya tidak akan terkendali dan justru akan membahayakan dirinya sendiri. Gelang dan zirah juga kemungkinan besar tidak akan terlalu berguna di ruangan penuh air seperti ini. Dengan kata lain opsi terakhirnya adalah 3 buah pisau pembunuh yang masih menempel di tubuhnya.

Di bawah air, Sal yang melihat Yvika berenang ke atas, memutuskan untuk mencari senjata Yvika lainnya. Pedang pendek yang menancap di dinding masih ada di tempatnya, senapan serbu yang dilempar Sal ke dinding sudah tak mungkin bisa dipakai. Dan pistol yang dicari Sal tepat di bawahnya.

Ketika Sal coba mengambilnya, lagi-lagi Yvika menghujaninya dengan beberapa tembakan. Dari posisinya setelah mengambil nafas, Yvika dengan leluasa menembaki Sal yang sedikit lengah. Tapi Sal masih bisa berkelit, dia memutar tubuhnya dan peluru pun hanya melewati dirinya.

Sal sadar, harusnya dia melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan di awal, melucuti dulu senjata lawannya. Dan itulah yang akan dia lakukan.

'Tapi sebelum itu, kapan pelurunya habis?' Keluh Sal yang terus ditembaki Yvika. Dan saat dia berpikir seperti itu, sebuah peluru mengenai pahanya.

Yvika yang melihat pelurunya berhasil mengenai, tak berhenti di situ. Dia mulai membidik langsung kepala Sal, tanpa menunggu lama, dia pun menembak kepala besar si monyet.

Sal yang merasa sakit di pahanya menyadari bahaya mengarah padanya, dan benar saja, pistol sang tentara mengincar kepalanya.

Peluru itu meluncur deras dan ketika sedikit lagi mengenai kepala, tangan Sal dengan refleks menahannya. Setelah pahanya kena, sekarang peluru itu juga mengenai tangannya.

Yvika terkejut tembakannya kembali meleset, namun ketika dia akan mulai menembak lagi, peluru di pistolnya sudah habis. Dia pun coba mengambil magazin dari balik sakunya, tujuannya jelas untuk mengisi ulang peluru di pistolnya.

Di saat itulah kesempatan bagi Sal, dengan dua tolakan menggunakan lantai dan dinding sebagai pijakan, Sal menerjang Yvika dari bawah dan mendorong tubuh wanita itu sampai keluar permukaan.

Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dalam terjangan Sal, dua hal telah tercapai, satu menghentikan serangan Yvika, dan dua memberi kesempatan Sal untuk mengambil nafas.

Setelahnya semua berjalan sangat lambat. Tubuh Yvika yang diterjang Sal terus terdorong hingga menghempas dinding

"Hah, kau pikir peluru kecil seperti itu bisa mengentikanku?!" Teriak Sal.

Yvika meringis kesakitan mendapati punggungnya beradu dengan tembok. Dengan menggunakan lubang-lubang di dinding ruangan, Sal menahan kedua bahu Yvika, menahan tubuh Yvika dan dirinya supaya tidak tenggelam ke air.

"Akhirnya kau mulai serius! Jadi sekarang kau akan membunuhku?" Tanya Yvika.

Sal menunjukkan ekspresi marah, tapi dia tak berkata apa-apa. Dia kembali ragu, apa ini yang terbaik. Kesempatan ini digunakan Yvika untuk mencabut pisau belati yang ada di pinggangnya, dia kemudian menikam perut Sal berulang-ulang kali. Kalau saja kedua bahunya tidak tertahan, tangan Yvika pasti akan mengincar bagian yang lebih fatal.

Sal berteriak sekencang-kencangnya, teriakan marah yang ditujukan kepada Yvika. Tangan Sal kemudian meraih rompi, menjamaknya dan kemudian membenturkan tubuh Yvika ke dinding, membuat belati itu terlepas dari tangannya, dan juga membuat keduanya tercebur kembali ke dalam air

Walau kesakitan, Yvika bereaksi dengan menghantamkan lutut ke arah perut Sal yang terluka lebar. Hal itu membuat pegangan Sal goyah, tapi tak cukup untuk melepaskan tangannya dari rompi Yvika. Keduanya semakin turun ke dasar ruangan.

Tangan Yvika kemudian meraih senjata pamungkas yang jarang sekali digunakannya kecuali dalam keadaan terdesak, yaitu dua buah belati dorong yang tersembunyi di balik betisnya. Dia mengambil kedua belati tersebut dan mencoba menusukkannya ke leher Sal.

Naluri Sal merasakan bahaya luar biasa datang dari serangan Yvika. Dia melepaskan pegangan rompi, dan dengan gerakan yang cermat menahan kedua tangan Yvika yang memegang dua pisau itu.

Yvika yang kesal karena serangan terakhirnya gagal, dengan kedua kakinya kemudian menendang dada Sal menjauhi dirinya. Tubuh keduanya pun semakin menjauh antara satu sama lain.

Akibat luka tusukan di perutnya, tenaga Sal semakin melemah. Dia merasakan tubuhnya semakin melayang turun.

'Wanita itu menang, tekad untuk bertahan hidupnya lebih kuat,' batin Sal. 'Jadi hanya sampai di sini saja kisahku?'

•••

[Mute]

Tubuh Sal akhirnya sampai ke dasar ruangan dalam keadaan terlentang, sementara pandangannya lurus mengarah ke langit-langit. Darah terus mengalir keluar dari luka di perutnya.

Entah sudah berapa menit waktu berlalu sejak babak dimulainya babak ketiga, Sal merasakannya sangat lama. Sal melihat Yvika berenang menjauhi dirinya, menuju permukaan air yang memerah karena darahnya sendiri. Anenya, walau dia sudah merasa kalah, tapi dia masih saja menutup mulutnya.

Pada saat seperti itulah, tangannya merasakan sesuatu. Sebuah lionin terbelit diantara jari-jarinya.

Sal pun membuka penutup liontin perak tersebut. Sebuah foto tersimpan di sana, foto sang mayor sedang bersama seorang pria dan anak perempuan. Mereka terlihat bahagia. Sal terkejut melihat foto tersebut, terkejut melihat kenyataan bahwa ternyata wanita tentara itu mempunyai keluarga, terkejut karena ternyata sang mayor memiliki sesuatu berharga yang ingin dilindunginya.

Sal pun memejamkan matanya, hatinya berkecamuk. Tapi sekarang keraguan telah hilang dari pikirannya. Sal pun membuka matanya.

Sal kemudian berenang menyusul Yvika dan menarik kakinya ke bawah. Yvika yang lengah mendapati dirinya panik, karena belum cukup menarik nafas dan terkejut dengan kebangkitan Sal. Sal menarik tubuh Yvika ke dasar dan menghempaskannya ke lantai ruangan, akibat benturan itu, kedua belati dorongnya terlepas. Air pun memaksa masuk melalui mulut Yvika.

Tak menghiraukan rasa sakit yang semakin menjalar ke seluruh tubuhnya, sebelah tangan Sal menahan dada Yvika, menahan tubuh si wanita tentara supaya terus terbaring di lantai. Walau Yvika memukul-mukul, menendang tubuhnya, tapi Sal bergeming, dia terus menahan tubuh Yvika.

Sampai akhirnya Yvika tak lagi melawan, tubuhnya sudah tak bergerak sama sekali. Matanya menatap kosong ke arah Sal.

•••

[Rewind]

"No-Hyvt?" Ucap Sal heran. "Kau meniruku ya?"

"Cuma kebetulan saja kok, Sal," ucap No-Hyvt tersenyum.

"Terserah deh," ucap Sal tak acuh, "Terus... Apa maumu? Dan apa yang kau lakukan pada So-Hvyt?"

"Apa yang kuinginkan tidak penting, justru akulah yang bertanya padamu, apa sebenarnya keinginanmu?"

"Apa urusanmu?"

"Banyak, aku bertugas untuk membuat turnamen ini menarik di mata Sang Dewa, aku mengurus banyak hal, salah satunya soal kenyamanan para peserta turnamen," ucap No-Hyvt sambil tersenyum, "sebut aja aku ini seorang motivator, dan aku melihat dirimu seperti tak memiliki motivasi sama sekali untuk bertarung."

"Terserah aku dong, lagipula aku cukup motivasi kok, buktinya sampai saat ini aku bertahan kan?" Balas Sal.

"Yang aku maksud soal prinsipmu yang tak mau menyerang wanita," balas No-Hyvt, "anggap saja aku dapat bocoran, kalau misal di babak selanjutnya lawanmu adalah wanita."

Sal terdiam mendengarnya, dia tak merasa terkejut mendengarnya. Cepat atau lambat dia akan menghadapi situasi seperti itu, yaitu melawan seorang wanita.

"Gampang, aku tinggal mengaku kalah saja," jawab Sal.

"Apa kau yakin? Bahkan kalau misalnya lawanmu adalah Nurin?"

Sal kembali terdiam, dia teringat waktu dirinya diserang si wanita lalat. Dia pun berpikir, mungkin terhadap wanita dengan sifat seperti itu, prinsipnya bisa dirubah sebentar. Tapi tidak, janji adalah janji, dia takkan mengingkari janji yang dia ucapkan pada kakaknya dulu.

"Hmm, tapi sebelumnya aku ingin bertanya, apa tiap peserta memiliki realitas pertarungan yang berbeda-beda?"

No-Hyvt terlihat terkejut mendengar pertanyaan Sal, dia diam tak menjawab.

"Cukup jawab saja, ya atau tidak?" Tanya Sal sekali lagi.

Setelah diam sejenak, So-Hvyt pun menjawab, "Bisa jadi."

"Heh, ko gak jelas gitu jawabnya?" Keluh Sal, "Kalau gitu, misal aku kalah di realitas pertarunganku sendiri, ada kemungkinan aku akan menang di realitas pertarungan peserta yang lain?"

No-Hyvt tertawa terbahak mendengar perkataan Sal, "Tentu saja tidak!"

"Dengar Sal, tiap peserta yang bertarung di realitas pertarungannya sendiri memiliki satu hal yang tidak dimiliki lawannya yang ada di realitasnya tersebut, hal itu adalah Survival Instinct, atau Naluri Bertahan Hidup!"

"Sesederhana itu?"

"Ya," Jawab So-Hyvt yakin, "Kau akan memenangkan setiap pertarungan yang kau jalani!"

"Tapi lolos tidaknya kau ke babak selanjutnya, tergantung selera Sang Dewa, jika caramu bertarung tidak menyenangkan Sang Dewa, maka kau dan realitas pertarunganmulah yang akah dihapus, walaupun di realitasmu kau yang jadi pemenangnya," jelas So-Hyvt kemudian.

"Dewa yang egois!"

"Kau baru sadar sekarang?"

"Yang jelas aku tak peduli pertarunganku menyenangkan sang 'dewa' atau tidak, karena tujuanku untuk mencari seseorang di alam kematian ini, jadi walaupun kalah dan keberadaanku dihapus pun tidak masalah, rohku akan kembali ke jalur yang sebenarnya kan?"

Sal diam sejenak demi melihat reaksi Hyvt berkacamata tersebut, dan kemudian melanjutkan perkatannya.

"Maksudku, siapapun tahu kalau 'dewa'-mu itu bukanlah Dewa yang sebenarnya," lanjut Sal, "Kalo aku punya kekuatan sebesar itu, aku mungkin akan mengaku sebagai dewa juga."

Mendengar itu si Hyvt berkacamata itu hanya tersenyum.

"Entah kau orang ke berapa yang berpikir sama seperti itu, jadi intinya kau tak peduli menang atau kalah?"

"Hmm, gak juga sih, tergantung siapa lawannya."

"Kau ini membingungkan," ucap No-Hyvt sambil tertawa, "tapi biar kutanya satu hal, kalau kau merasa Sang Dewa bukanlah dewa asli, apa menurutmu hadiah yang dia tawarkan, yaitu kesempatan hidup kembali, apa itu juga asli?"

Sal tertegun mendengarnya.

"Terus, apa yang akan terjadi pada sang pemenang? Dan orang-orang yang kalah, menurutmu apa yang terjadi pada mereka? Yang jelas, kemungkinan besar janji itu juga palsu!" Ucap No-Hyvt.

"Sudah kuduga, tapi kenapa bilang kemungkinan?" Tanya Sal.

"Karena aku sendiri belum memiliki banyak informasi."

Sal hanya mendengus. "Jadi hanya itu yang kau sampaikan?"

Hyvt berkacamata itu pun hendak beranjak pergi, namun Sal menahannya.

"Oh iya, bagaimana nasib para peserta yang kalah di babak kedua? Kenapa tidak ada tayangannya seperti babak pertama?"

No-Hyvt tak menjawab, namun ekspresinya terlihat murung dan tidak senang.

"Hanya itu yang ingin kubicarakan, aku akan pergi dulu, semoga beruntung di babak selanjutnya," ucap Hyvt kemudian.

Sal hanya memberikan gestur sederhana, tapi kemudian dia ingat sesuatu, "Oi, gimana dengan So-Hyvt?"

"Setelah aku pergi, dia akan kembali normal kok," ucap No-Hyvt tersenyum, "Baiklah Sal, sampai nanti dan terima kasih atas waktunya."

Hyvt berkacamata itu pun terbang melayang, meninggalkan Sal dan So-Hyvt yang membeku.

"Tidak, akulah yang berterima kasih," ucap Sal setelah Hyvt misterius itu menghilang.

"-- Vadhi!" ucap So-Hyvt yang terbangun dari bekunya. Kemudian melanjutkan dengan kuda-kuda menyerang. Hyvt itu terkejut ketika melihat Sal berada jauh dari posisinya semula.

Tapi Hyvt itu tak terlalu mempermasalahkannya. Dengan cepat Hyvt itu menerjang dan menghantamkan gadanya ke arah Sal yang sedang duduk sambil memeriksa sulingnya.

Namun tentu kecepatan Sal jauh mengungguli kecepatan So-Hyvt, dalam sekejak monyet kuning emas itu sudah ada di puncak pohon merah. So-Hyvt yang terbang mengejarnya ketika Sal mengucapkan satu kata.

"SAWIOS."

Sal pun kemudian memainkan sulingnya, entah lagu apa yang dinyanyikannya.

•••

[Stop]

Permukaan air dalam ruangan semakin lama semakin turun, di tengah ruangan terlihat Sal yang masih menahan tubuh Yvika yang sudah tak lagi bernafas. Dengan sentuhan lembut Sal menutup mata wanita tersebut.

Tak berapa lama, So-Hyvt datang menghampiri Sal yang masih berlutut, darah terlihat masih mengalir keluar dari perutnya. Monyet besar itu sudah kehilangan tenaga bahkan untuk berdiri.

"Ini darah lawan anda?" Tanya So-Hyvt, "ah, bukan, ini semua darah anda Tuan Salvatore."

"Nanya sendiri, dijawab sendiri, uh, jangan buat aku tertawa, sakit tau!" Keluh Sal.

"Tidak bermain musik kali ini?" Tanya So-Hyvt kemudian.

'Kau bercanda ya? Tidak... Tidak kali ini Sohv."

Sal menjatuhkan tubuhnya dan berbaring terlentang di lantai ruangan yang menyisakan warna merah dari darahnya. Pandangannya kosong ke arah langit-langit.

"Aku telah menjadi seorang pembunuh," ucapnya pelan, matanya mulai berkaca-kaca, "Kau bilang babak kali ini babak siksaan air?"

"Tidak Sohv tidak, air bukanlah siksaan bagiku, tapi rasa menyesal, rasa bersalah ini, rasa bersalah inilah siksaanku yang sebenarnya."

[Round 3 -END]

16 comments:

  1. Personalized Hvyt yang jadi punya karakter unik tersendiri tergantung peserta yang mereka pandu itu brilian. Bisa dipake nih kalo bikin BoR selanjutnya #salahfokus

    Saya suka karena meskipun teori multiple reality/parallel world itu selalu muncul di tiap boR, di BoR kali ini kayanya cuma entri Sal yang bahas dan masih lanjut ngeeksplor poin ini, jadi rasanya punya potensi buat maju dan terus ngegali mewakili mereka yang fokus ke hal lain. Selain itu, saya juga seneng bahwa meski atmosfir cerita Sal komedik seperti biasa, tapi ga mengurangi bobot ceritanya.

    Selain underwater battle (ini juga poin unik) yang cukup seru dengan kemelutnya, penulis lumayan kreatif naro trik repetisi narasi buat memperjelas satu adegan dari sudut pandang Sal. Mungkin orang lain bakal ngeliat redundan, tapi saya sendiri ngeliatnya satu eksperimen yang bagus, makanya jadi poin plus.

    Shared score dari impression K-10 : 7,7
    Polarization -/+ 0,4
    Karena saya lebih suka entri Sal, jadi entri ini saya kasih +0,4

    Final score : 8,1

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anonymous26/6/14 06:02

      D. Lanjung:
      Makasih nilainya, terus terang sy jadiin review Bung Sam sebagai patokan bagus tidaknya cerita sy, jd alhamdulillah ada peningkatan XD

      Delete
  2. seperti biasa kocak banget dialog-dialognya salvatore. penamaannya juga aneh-aneh. secara pertarungan, narasinya bagus dan penuh emosi dari kedua belah pihak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nilai 9 , lebih 2 dari Yvika karena lebih unggul di bidang narasi dan emosi pertarungan, juga komedi

      Delete
    2. Anonymous26/6/14 06:10

      D. Lanjung;
      Makasih nilainya, Bung Epic ^_^

      Delete
  3. Narasinya simpel. di beberapa situasi kadang terasa lucu dan bebas :D
    gw suka dengan kejelasan adegan dan info dari dua belah pihak. meski ada kalanya pindah2 jadi agak bikin bingung >,<

    somehow gw ngerasa agak minim gestur aja pas tektok dialog. well, tadi gw sempet agak bingung ni sapa yang dialog (pengaruh agak ngantuk juga sih). untungnya dialognya rada kebantu dengan karakteristik dialog-tag yang unik. at least gw tahu So-Hvyt itu cma khusus dipake oleh Sal :3

    momen emosionalnya banyak dan cukup twist juga. tadinya gw ga ngerti napa pas liat isi liontin itu justru mutusin untuk bunuh Yvika. tapi pas baca ke belakangnya baru ngeuh. seharusnya bagian terakhir dikasi lagu: Janji Palsu itu biar bisa... ah... sori, ga cocok lagunya, kurang sendu kalo itu lagu dipake >.<


    nilai: 8

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anonymous26/6/14 06:27

      D. Lanjung:
      Makasih nilainya, Hino-kun, sy juga merasa minimnya gestur saat dialog, ta-tapi karakteristik tiap dialognya cukup ngebantu kan? Sip deh (?)

      Terus soal Sal sesudah liat liontin malah mutusin buat bunuh Yvika, terus terang sy juga agak bingung, bisa dijelasin Sal?

      Sal: Entahlah, jangan ganggu aku! Kumisku lagi layu...

      Ng, oke, ka-kayaknya Sal lag badmood, mungkin bakal ketahuan nanti pas ronde selanjutnya. Mudah-mudahan :')

      Delete
    2. OK, setelah sy bujuk Sal, akhirnya dia mau curhat soal alasan dia mutusin buat bunuh Yvika, padahal dia udah lihat motivasi si mayor gimana.
      Dan ternyata, karena dia gak mau Yvika semakin tenggelam dalam tipuan Thurqk, membunuh & membunuh. Sal tentu tidak tahu sudah berapa nyawa yg dihabisi Yvika, tapi Yvika yg dilihatnya sekarang adalah seorang ibu yg tak seharusnya mengotori tangannya dengan darah lawan. Walaupun misal Yvika bisa berkumpul lagi dgn keluarganya, ada berapa nyawa yg sudah hilang? Biarlah dosa itu ditanggung Sal sendiri, kira2 itu sepertinya yg ada di pikiran Sal.

      Delete
    3. that is the 'just reason' i want to know~ :D

      Delete
  4. Anonymous25/6/14 13:45

    Po:

    - minusnya:

    Meski pengulangan adegan bisa dimanfaatin utk ngambil sudut pandang yg berbeda dan keliatannya Kang Dendi emg memaksudkan utk itu, keliatannya tujuannya kurang tercapai krn gak terdapat perbedaan yg besar di dua bagian pengulangannya. Yvika terlihat agak komedik di sini, nggak cadas kyk bayanganku tentang dia. Di beberapa bagian, keliatan proses kelelahan Sal dan adaptasinya terhadap air kurang kerasa dibanding Yvika.

    Plusnya:

    - kanon dan motivasi Sal cukup keliatan. Karakter Sal digambarkan dgn asik dan hepi. Adegan lucunya ngena. No-Hyvt itu bagis konsepnya. Manuver terakhir Sal thd Yvika, meski kesannya kurang tegang dan darurat, konsepnya jg bagus. Karakter ini punya potensi yg luas utk berkembang ke berbagai arah.

    Kesimpulannya, aku nggak bisa milih antara versi Sal atau Yvika. Nilai yg kukasih utk kedua penulis sama, 8/10!

    ReplyDelete
  5. Anonymous25/6/14 13:53

    Po:

    Minusnya, kurasa repetisinya kalau bertujuan utk menjelaskan dua sudut pandang bakal bagus, tapi eksekusinya agak kurang kontras satu sama lain. Perjuangan Sal di air jg kurang kerasa, pdhl udah ditusuk di perut sama udah tenggelem lama, tp bisa membalikkan keadaan seolah gampang. Dan klimaksnya kerasa kurang darurat dan kurang tegang krn dari narasinya, aku nggak ngerasa kondisi Sal terancam.

    Plusnya:

    - kanon Sal semakin asik buat diikuti. Semoga nanti makin banyak visi misi Sal tentang alat musik dan irama. Konflik internal juga udah kerasa qalau mnrtku masih bisa ditingkatin lagi. Dan dari sifat sama perspektifnya sendiri, aku ngrasa Sal ini bisa berkembang jadi berbagai kemungkinan jenis karakter.

    Kesimpulan, aku gak bisa milih versi Sal atau Yvika, keduanya kukasih nilai sama: 8/10!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anonymous26/6/14 07:28

      D. Lanjung:
      Makasih nilainya, Kang Po, reviewnya ampe dua kali ^_^

      Delete
  6. Anonymous28/6/14 14:46

    LadaHitam :
    Titip nilai aja~ 8.5/10 ~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anonymous28/6/14 14:50

      LadaHitam :
      krisan lupa XD : kayaknya monyetnya kok ngamuk ? lumayan dah. Battle Lumayan imbang

      Delete
  7. Entri ke-22….
    Well, saya baca entri ini malam2, tapi masih strong kok kak :3
    Lanjut…
    Dan masih seperti biasa yg saya temukan di ronde ini, untuk entri panjang seperti ini (23 halaman) battle emang selalu dimulai di bagian tengah (hal. 12). Khusus untuk entri Sal, saya ga terlalu permasalahin kak, soalnya alurnya sendiri enak diikuti. Diikuti dengan narasinya yg bagus, semakin membuat saya tertarik. Tapi sampai di sana aja.
    Kenapa? Ya, karena saya ga mendapatkan sesuatu yg memorable di entri ini. katakanlah sal dan yvika berantem. Sal menang. Selesai. Tapi saya ga dapet karakterisasi sal kayak gimana. Kita mungkin pernah ketemu di R1 kak, karena itu saya paham sal itu kayak gimana. Ironisnya, saya justru dapet karakter sal itu di R1, bukan di ronde2 selanjutnya. Padahal ronde2 itu buat mereka ngembanin karakternya kan? :(
    Lain2 udah bagus kak. Saya suka.
    Untuk nilai, saya ngasih: 7.0
    Semangat kak :3

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -