[Round 3-K14] Xabi Anger Metallici vs Altair Kilatih
"Thirty Minutes to End"
Written by Eka Pupsita
---
"Thirty Minutes to End"
Written by Eka Pupsita
---
Xabi menepis sayap hitam berbulu itu ketika sekali lagi mengenai wajahnya. Inginnya ia mencabuti satu per satu bulu makhluk berambut mohawk itu. Blug! Tidak disadarinya makhluk itu berhenti berjalan sehingga ia menabrak tubuh setinggi dua meter itu.
"Argh! Kenapa kau berhenti tiba-tiba, huh?" protes, Xabi mengusap-usap kaos dan memperbaiki rambutnya.
"Huhuhu…" Hvyt menatap lekat-lekat Xabi.
"Tertawamu itu aneh, tahu…"
"Apa kau tahu siapa lawanmu selanjutnya?" Hvyt membungkuk, ia mengeluarkan telunjuk dari kepalan tangannya. "Huhuhu…"
"Hentikan suara itu! Kau terdengar seperti ibu-ibu yang tengah bergosip…"
"Pft…" Hvyt menahan tawanya. Ia meletakkan salah satu telunjuknya di dada pemuda jabrik itu. "Kau pasti suka, nak. Dia sangat cantik!"
"Cantik?" Xabi merengut. Lagi-lagi ia harus berhadapan dengan lawan jenisnya. "Sial!"
Suara menjengkelkan itu terdengar lagi dari mulut Hvyt, membuat jengkel Xabi menjadi-jadi. Gadis berbaju hitam dan seorang tentara wanita di babak pertama apa belum cukup? Emansipasi baginya tidaklah lebih dari sekedar wacana para wanita yang ingin menggulingkan kedudukan para pria.
"Simpan energimu untuk nanti, nak…"
Xabi tersadar bahwa ada pusaran angin kecil di telapak tangannya. Ditariknya napas dalam-dalam dan dikeluarkannya perlahan. Pusaran angin perlahan mengecil dan hilang.
Hvyt berbalik dan kembali berjalan, disusul Xabi yang masih jengkel. Pemuda itu menatap punggung Hvyt yang kekar sejenak, kemudian tersenyum kecil.
"A-apa yang kau lakukan, hei…bocah punk!" bentak Hvyt saat Xabi dengan lincah memanjat sayap gagaknya dan duduk begitu saja di sela lehernya.
"Aku malas jalan kaki. Lagipula aku tidak bergaya punk. Kaulah yang bergaya punk malaikan hitam!"
"A-apa? Aku tidak mengerti," Hvyt menggaruk kepalanya.
"Rambutmu itu! Itu khas orang-orang punk, kan?"
"He?"
"Sudah…sudah…antarkan saja aku!" ucap Xabi dengan gaya sedikit bossy.
Hvyt tidak mengatakan apa-apa. Ia sedang memikirkan kata-kata Xabi tentang gaya rambutnya. Apakah benar Thurqk telah menciptakannya dengan gaya punk? Tapi apakah ia tidak akan mendapat hukuman karena menanyakan hal itu?
***
Di sebuah ruangan kecil – sebenarnya tidak benar-benar kecil tapi tidak pula bisa di sebut luas – seorang wanita muda berambut sepunggung tengah menunggu dengan seorang lagi malaikat hitam. Tampak seberkas kebosanan di wajahnya yang ayu.
"Kenapa dia belum datang?" si wanita berkacak pinggang. Dikibaskannya rambutnya dengan gaya menawan.
"Sabarlah…tidak lama lagi mereka akan tiba…"
***
"Xabi…!"
Teriakan seseorang mengalihkan perhatian Xabi hingga ia hampir saja terkena sabetan parang. Namun ia tidak bisa mengelak saat sebuah tinju mendarat begitu saja di pipinya. Ia melirik siapa yang barusan melakukan itu padanya.
"Xabi…mereka menangkap Alex!"
Teriakan itu membuat gigi-gigi Xabi bergesekan. Ia mengepalkan tinjunya dan mendaratkannya pada wajah seseorang yang paling dekat dengannya. Tidak puas melihat orang itu terjungkal, Xabi meraih kerah seragam sekolah orang yang tidak beruntung itu untuk kemudian menariknya, mengarahkan wajahnya tepat di lututnya yang sudah siap menyambutnya.
Xabi melihat sedikit darah keluar dari sudut bibir pemuda yang kini tergeletak tak berdaya itu kemudian berlari menuju temannya yang sedari tadi telah berteriak.
"Kemana mereka?" tanya Xabi. Peluh mengucur dari keningnya.
"Ayo, kemari!" si jangkung itu segera menunjuk ke suatu tempat dan langsung berlari. Tak ingin ketinggalan, Xabi mengkutinya. Jantungnya berdetak tidak kalah cepat dari langkah kakinya.
Ia tidak akan memaafkan mereka, anak-anak dari Sekolah Menengah Teknik 01, jika sesuatu terjadi pada Alexis. Tidak habis pikir ia mengapa mereka bisa melakukannya terhadap seorang wanita. Laki-laki macam apa itu? Pengecut! Mereka semua brengsek!
"Itu…! Mereka di sana!"
Xabi melihat segerombolan siswa SMT 01 lengkap dengan beberapa jenis senjata tajam di tangan mereka. Di balik gerombolan itu, Xabi bisa melihat Alexis yang tengah dijaga oleh beberapa perempuan yang terlihat sangar.
"Ayo…!" tetapi tangan Xabi dicengkram kuat oleh si jangkung. "Jangan gegabah! Kau tidak lihat jumlah mereka? Kita tunggu yang lain datang!"
"Tidak bisa!" Xabi menepis tangan sahabatnya kemudian berlari menuju gerombolan itu, meninggalkan si jangkung yang menarik napas dalam dan bersembunyi di balik pohon.
Mendekati mereka, tidak sedikitpun perasaan takut bergelayut yang ada hanya amarah dan dendam. Xabi tidak bergeming melihat beberapa orang mulai berbaris membentuk pertahanan.
"Brengsek! Pengecut kalian semua!" teriak Xabi.
Seorang berambut pirang – terlihat jelas kalau rambutnya diwarnai seperti itu – maju dan mengangkat sebuah senjata mirip pedang, namun lebih pendek. "Selamat datang, Xabi…"
"Simpan kata-katamu, pecundang! Lepaskan temanku!"
"Apa aku tidak salah dengar? Kau tidak perlu pura-pura pada kami, kawan. Akuilah kalau dia itu kekasihmu!"
"Bukan urusanmu! Lagi pula aku tida akan pernah sudi jadi kawanmu! Lepaskan Alexis, pengecut! Kalian hanya berani pada seorang gadis!"
"Oh…jangan salah sangka," si pirang berbalik dan memberikan kode pada teman-temannya. Salah satu gadis sangar itu menyeret rambut Alexis ke depan.
Xabi membelalak melihat Alexis menahan sakit. Ia tahu gadis itu kesakitan meskipun ia tidak bersuara sedikitpun. Giginya bergesekkan lebih kuat. Ia sudah siap untuk mengayunkan pedangnya pada salah satu leher dari mereka.
"Lihat? Girl vs girl. Kami tidak sepengecut itu, kau tahu?" si pirang menyeringai.
"Apa yang kalian mau?" sekuat tenaga Xabi menahan diri. Perlahan ia menurunkan pedangnya.
"Ck…aku suka! Sangat to the point. Baiklah…akan kuberitahu!" Si pirang mengelus perlahan pedangnya sambil berjalan menuju Alexis yang masih tergeletak dengan baret dan memar di badan. "Aku igin kau menghabisi Rabbit. Itu saja, maka kekasihmu ini akan bebas. Teman-temanmu yang lain juga…"
Rahang Xabi mengeras, giginya mulai bersuara. "Tidak akan pernah, Cyan!" Pandangan Xabi ikut mengeras. Ia memandangi lelaki itu dengan amarah yang sudah di ujung.
"Oh…jadi kau lebih setia pada kawan busukmu itu?" Cyan si pirang meraih wajah Alexis dan mengarahkan pedangnya. Ia hendak menggores pipi mulus itu. Namun bukannya menyentuh kulit Alexis, pedangnya justru beradu dengan sebuah pedang lain.
"K-kau??? Kapan?" mata Cyan membesar. Ia mengerahkan tenaganya dan mendorong pedang Xabi. Tapi karena kekagetannya barusan, Xabi bisa membuat Cyan mundur beberapa langkah.
"Sialan! Hajar dia!" Cyan memberi aba-aba.
Satu dua teman atau mungkin anak buah Cyan maju dan menyerang Xabi. Sedikit kewalahan Xabi menghadapi mereka. Meski begitu, ia masih mampu menahan serangan demi serangan para abege bengal itu.
Namun seorang melawan segerombolan tetap tidak seimbang meskipun Xabi memiliki kemampuan pedang paling baik di antara mereka yang tengah berkelahi itu. Ia tidak bisa menjangkau 360 derajat sehingga ketika seorang hendak menikamnya dengan sebuah belati, Xabi tidak menyadarinya.
Bless!!!
Pisau itu menusuk perut orang di depannya. Ambruk sudah tubuh itu. Xabi terbelalakmendapati tubuh Alexis merosot dibelakangnya, lebih kagt lagi melihat perutnya telah berdarah.
"Lex…!" segera ia meraih tubuh Alexis meski lawannya tidak berhenti menyerang. Digendongnya tubuh gadis itu di punggung sambil tangannya terus bergerak menghalau senjata-senjata lawan yang perlahan mundur.
Saat itulah teman-teman Xabi berdatangan. Diletakkannya Alexis yang terengah di bawah sebatang pohon. "Bertahanlah, Lex...bantuan akan segera datang." Katanga menggenggam tangan Alexis.
"Tidak…" Alexis malah tersenyum rapuh. Ingin sekali menangis Xabi saat itu. "…jaga Quinzy untukku…"
Tangan itupun terjatuh dari genggaman Xabi. Alexis tersenyum dan detak jantungnya berhenti. Xabi mengguncang pipi gadis itu, tak ada reaksi. Ia mengguncangkan tubuh mungil itu namun tak juga bereaksi. "Lex…jangan pergi! Jangan pergi, Lex…!!!"
Butiran air mata menuruni pipi Xabi yang memar dan bengkak. Tak kuasa ia menahan kesedihannya kehilangan gadis itu. Gadis yang selama ini membuat hari-harinya yang suram menjadi berwarna. Satu-satunya orang di Distrine yang tidak peduli dengan masa lalunya yang kelam.
Xabi melihat orang-orang yang tengah berkelahi dengan tatapan nanar. Namun kemudian rasa amarah yang sedari tadi muncul kembali dan bahkan menjadi berkali lipat dari amarahnya tadi. Ia berdiri, merasakan hawa panas yang menjalar di setiap senti kulitnya. Ia berang, bergerak dengan kecepatan yang lebih cepat dari biasanya dan mengayunkan pedangnya pada setiap musuhnya, orang-orang Cyan.
Tebasan pedang dan cipratan darah merajarela. Puluhan mayat itu tergeletak di sekitar gudang dan sepanjang jalan. Mengerikan. Ini adalah tawuran dengan korban terbanyak sepanjang sejarah.
Xabi hampir roboh, ia memegang pedangnya kuat-kuat agar tidak roboh. Bajunya telah tidak karuan, kusut dengan cipratan darah di sana-sini. Ia menatap nanar teman-temannya yang memandang ngeri padanya. Tapi ia sudah tidak asing dengan tatapan itu. Tatapan takut dan tidak ingin mendekat. Maka ia hanya membopong tubuh Alexis dan pergi meninggalkan mereka semua.
***
Satu-satunya pintu itu segera tertutup rapat, seolah tidak pernah ada saat Hvyt membalikkan badannya. Di depan Xabi kini berdiri seorang perempuan yang tengah berbalik badan. Rambut hitamnya tergerai sebahu.
"Lex…" Xabi mendekat. Tanpa sadar ia menyebut nama itu. Wajahnya sedikit ceria tapi hilang sudah saat perempuan itu membalikkan badan. Terlalu manis. Tidak, bukan berarti Alexis tidak manis. Tentu saja dia berbeda. Dia satu-satunya bagi Xabi.
"Siapa? Eh…?"
"Maaf, salah orang…"
"Kau bercanda? Saat sperti ini?"
"Bukan begitu, tadi kupikir kau-"
"Orang yang kau kenal, huh?"
Xabi hanya mengangguk. Ia mulai merasa tidak enak berada dengan seorang gadsi secantik ini di ruangan yang hanya 10 x 10 m.
"Jadi…bagaimana kalau kita mulai?" tanya gadis itu.
"Eh…kau agresif juga ternyata."
"Apakah kau tak tahu waktu kita hanya tiga puluh menit?"
"Tentu-"
"Argh!!!" Xabi memegangi perutnya. Rasa nyeri terjadi lebih cepat dari pada penglihatannya. Ia melirik Kilat yang tengah bersiap untuk kembali mendaratkan tendangannya. "Hei!" dengan cepat Xabi melompat ke samping.
"Tidak ada waktu untuk dibuang…" kepalan tangan Kilat kembali meluncur dengan kecepatan penuh. "Sial!" makinya ketika yang ia tonjok adalah tembok.
"Fiuh…setidaknya aku tidak usah bilang 'ladies first'." Xabi menjauhi Kilat, menuju sisi lain dari tembok.
Dengan seranan awalnya barusan, Xabi sudah jelas tidak bisa menganggap remeh si Altair Kilatih ini. Kecepatannya sudah di atas manusia normal. Kekuatannya pun di atas rata-rata kaum perempuan. Bahkan rasa nyeri akibat tendangan gadis itu masih terasa di perutnya.
"Ah…kemana dia?" sejenak mengalihkan pandangannya tiba-tiba saja Xabi kehilangan gadis itu. Tapi Kilat tidak mungkin kemana-mana. Rungan 10 x 10 meter ini tertutup sama sekali jadi dia pasti masih berada di sini. Apa gadis ini memiliki kekuatan untuk menghilang, Xabi tidak tahu.
Perlahan kotak kecil dikeluarkan dari kantong. Sebuah jarum digenggamnya sebelum akhirnya sebuah pedang terbentuk menggantikan jarum kecil itu. Xabi melihat pergerakan dari atas.
Sebuah pedang semi transparan hampir menyentuh wajahnya. Pedang berbunyi nyaring. Mengerahkan tenaganya, Xabi berhasil membuat Kilat mundur beberapa langkah. Dengan sekali gerakan ia mendorong keras Kilat hingga gadis berjaket putih itu terpental dan menimbulkan bunyi debum saat pungungnya beradu dengan tembok.
"Ugh…" Kilat mengerang. Ia tidak tahu seberapa sakitnya jika pakaian dan tubuhnya tidak berteknologi nano. Perlahan ia kembali bangkit saat rasa sakitnya mulai berkurang. Sepertinya ini tidak akan mudah, pikirnya.
***
Keringat mulai bercucuran dari tubuh Xabi yang sedang bertarung di ruangan cukup sempit itu. Kurangnya ruang gerak menyebabkan keduanya mau tidak mau menyerang lawan secara langsung. Tapi Xabi hampir tidak menyadari perubahan suhu yang mulai terjadi di ruangan itu.
"Hei…Nona! Kau tidak berkeringat, huh?" tanya Xabi di tengah napasnya yang tidak teratur.
"Aku tidak tahu bagaimana rasanya itu…" jawab Kilat datar.
"Apa?" lucu sekali terdengar bagi Xabi. Yang ia tahu bahwa setiap manusia pasti berkeringat, setiap manusia normal. Ah…tapi ia tahu bahwa ia tengah berada di sebuah dunia yang penuh dengan makhluk-makhluk aneh dan luar biasa.
"Tidak usah kaget. Tapi…" Kilat tidak meneruskan kata-katanya. Kulitnya yang sensitif mulai merasakan sengatan dingin yang keluar dari setiap sudut ruangan. Semakin lama terasa semakin dingin.
Rupanya perkataan Hvyt memang tepat. Dalam tiga puluh menit, ruangan itu akan semakin dingin. Lebih dingin dari pada es dari dunia manapun. Salah satu dari mereka harus menang sebelum tiga ulu menit di ruangan itu berlalu atau mereka akan mati membeku.
"Rasanya sedikit aneh…" ujar Xabi. Seberkas kabut keluar dari mulutnya saat ia berbicara. "Uwoh, keren!!! Seperti di Eropa!"
"Bodoh! Bukan saatnya untuk kagum. Kurang dari tiga puluh menit kau akan mati jika tidak mengalahkanku…" Kilat memejamkan matanya. Ia berkonsentrasi dan mulai menggenggam pedangnya erat.
"Ah…benar. Jadi, mari serius!" ucap Xabi yang melihat Kilat datang dengan pedang terangkat. Ia bersiap menahan serangna pedang Kilat. Namun ia tidak tahu bahwa serangan Kilat kali ini berbeda.
Trangg!
Kedua pedang itu beradu. Xabi berhasil menahan sabetan pedang yang hampir tidak terlhat itu namun rupanya ia tidak bisa mengangkat pedangnya. Tiba-tiba saja pedang Kilat terasa berat. Sangat berat sehingga lengannya bisa saja patah kalau ia tidak segera melepaskan pedangnya dan bergerak ke arah samping.
Kilat melihat gerakan itu dan langsung bergerak cepat, melangkah di dinding dan mengarahkan pedangnya ke tubuh Xabi. Terbiasa dengan pedang, ia malah menangkis pedang kilat dengan tangan telanjang. Hasilnya darah mengucur dari lengan Xabi. Beruntung kilat tidak sedang melakukan kalibrasi gravitasi seperti sebelumnya.
"Ahh…!" menjerit, Xabi mundur sementara Kilat menyesalkarena tidak menngunakan teknik kalibrasinya.
Kilat kembali mengayunkan pedangya sementara Xabi berusaha untuk mendapatkan kembali pedangnya yang tergeletak di ujung ruangan. Punggungnya sempat tercium oleh ujung pedang Kilat, meninggalkan bekas luka panjang serta kaos hitam itu kembali robek setelah sebelumnya Xabi membujuk Hvyt untuk memperbaiki kaos kesayangannya itu.
Sesungguhnya setelah kembali mendapatkan pedangnya pun, Xabi tidak bersungguh-sungguh menyerang Kilat. Alih-alih menyerang, ia justru sedikit keteteran bertahan dari serangan demi serangan yang dilancarkan Kilatih yang berjuluk kilat putih itu.
Xabi masih menganggap Kilat sebagai seorang perempuan. Dan meski pada kenyataannya ia telah membunuh dua orang wanita di babak pertama, bukan berarti ia sudah bisa untuk bertarung dengan seorang wanita selayaknya seperti ia menghadapi sesamanya.
***
"Hei, Xabi…! Jangan terus bertahan kalau kau ingin menang!" Kilat melakukan kalibrasi gravitasi dan membuat pedangnya berbobot lebih dari seribu kali berat aslinya. Ia membuat Xabi terpojok di salah satu sudut ruangan.
Pemuda berambut jabrik itu benar-benar dibuat tidak berdaya oleh Kilat. Ia sampai tidak bisa menggeser badannya sedikit pun. Tapi justru itu yang harus dia lakukan. Sedikit bergerak maka Kilat akan memiliki celah untuk menembuskan pedangnya ke bagian tubuh Xabi.
Di saat genting itupula, suhu udara di ruangan itu semakin turun. Kulit Kilat yang lebih sensitif menjadi lebih peka dengan udara dingin itu. Nanotech-nya tidak bisa banyak menolong karena ia sedang melakukan kalibrasi gravitasi yang juga memanfaatkan sistem nanotech.
Xabi membaca sesuatu dari Kilat saat sekilas wajah cantiknya mendesah dan merapatkan rahangnya. Ia tahu Kilat juga sedang merasakan sengatan dingin seperti dirinya. Maka diciptakannya pusaran panas yang tidak cukup besar hingga membuat Kilat menjauh dan membawa pedangnya bersama.
Namun Kilat yang menjauh tiidak membuatnya senang, karena segera saja pusaran angin itu padam dan malah menyisakan angin dingin yang menusuk tulang. Sialnya lagi ia tidak bisa mengendalikan agin itu. Meskipun tidak cukup besar, tapi hawa dingin yang disebarkannya benar-benar luar biasa.
Kilat terdiam, begitu juga Xabi. Keduanya merasakan otot-otot yang kaku dan sulut digerakkan. Pusaran angin memang berhenti, tapi dinginnya tertinggal. Malahan butiran kristal es terbentuk dan berjatuhan dari langit-langit yang entah dari mana mereka keluar.
"Waktunya semakin tipis," gumam Xabi. Ia masih saja merasa ragu untuk menyerang. Lagipula, ia tidak bisa menggunakan dust devil ataupun tornado apinya di ruangan ini. Terasa kaku engsel lengannya saat ia berusaha mengangkat pedang di depan dada. Ia merasa sepeti sebuah robot yang berkarat.
Belum sempat ia berpikir, Kilat datang kembali disertai medan energi yang besar. Xabi tahu gadis itu sedang menggunakan tekniknya. Ia tidak bisa berpikir lebih jernih sehingga terbentukla sebuah tornado api yang cukup besar saat Kilat sudah cukup dekat. Gadis itu menjerit ketika angin itu berputar menyapu tubuhnya, sementara pedangnya yang berat terlepas dan terjatuh, menancap pada lantai ruangan yang sudah putih tertutup lapisan salju.
Tubuh gadis itu menghantam lagit-langit dan tersapu kembali pusaran angin yang kini dingin untuk kemudian terlempar kembali ke satu sisi tembok dan jatuh menghantam lantai penuh salju yang terlihat empuk.
Kilat memuntahkan darah segar yang terlihat seperti sirup di atas es sirup. Tangannya bergerak sejenak namun kemudian terdiam.
Xabi yang kaget tidak menyangka jika Kilat tidak bisa mengatasi pusaran anginnya. "Apa dia mati?" bisiknya hampir tak terdengar. Didekatinya tubuh Kilat yang tergeletak.
Dua meter dari Kilat, terperanjat Xabi melihat gadis itu yang kini dengan susah payah dan gemetar berdiri. Ia menatap lurus pedangnya keemudian berjalan meraihnya.
Namun pedang dan darah itu mengingatkan Xabi akan sesuatu. Satu hal yang amat dia benci. Sesuatu yang tidak bisa dia maafkan. Alam bawah sadarnya kembali memutar peristiwa itu. Maka diambilnya ketapel di saku. Dengan pedang yang ia ubah menjadi jarum yang cukup pejal, ia membidik tepat di leher Kilat.
Saat Kilat berhasil menggenggam pedangnya kembali, ia pun tersungkur jatuh di samping pedangnya yang hampir tak terlihat kecuali pegangannya. Jarum Xabi telah menembus leher putih Kilat hingga gadis berteknologi nano itu tidak bergerak.
Sebuah pintu tiba-tiba saja terbuka. Bersamaan dengan itu, suara tawa menyebalkan terdengar dari balik pintu. Xabi tahu apa itu. Artinya gadis itu telah mati. Ia telah membunuhnya. Ya, ia melakukannya.
"Huhuhu…aku penasaran apa yang terjadi," ucap Hvyt ketika melangkah masuk ke ruangan dingin itu.
"Ambilkan jarumku, kemudian kita pergi…" bibir Xabi yang hampir biru itu bergerak-gerak.
"He? Kau pikir kau bosku?"
"…"
"Oh…" Hvyt melihat tubuh kaku Kilat. Ia memungut sebuah jarum sepanjang lima senti meter dari samping leher gadis itu dengan sedikit terkejut. "Akhirnya kau membunuhnya."
"Itu keberuntungan…" ujar Xabi dingin, sedingin ruangan terkutuk itu.
"Hah? Jangan merendah…akui sajalah…" Hvyt memerhatikan ujung jarum yang berdarah itu, kemudian berganti ke leher Kilat yang ternyata bolong. "Kupikir jarummu tidak cukup besar untuk bisa memutuskan saluran napas."
"Hhh…dia bisa membesar kalau aku mau," Xabi kembali menaiki bahu si malaikat. "Ayo pergi…!"
"Jangan seenaknya memerintahku, ya…"
"Ah…sudahlah. Nanti kuberitahu kau beberapa lagu punk yang keren."
"Punk? Ya…baiklah. Beritahu aku…"
***
==KRAMANAKA 14 PASSED==
Sejujurnya saya suka entri ini karena satu hal - saya lancar ngebacanya.
ReplyDeleteLucunya pas battle justru saya kayak ga nyadar sejauh apa pertarungan udah berlalu ketika sampe di Xabi make tornado dan ternyata Kilat kalah gitu aja. Ada semacem perasaan 'Lho? Beneran udahan? Kirain masih lanjut...'
Punya potensi buat lebih panjang, meski bukan berarti harus dipanjang"in. Selain itu rasanya ga banyak yang bisa saya mention...
Shared score dari impression K-14 : 7,7
Polarization -/+ 0,3
Karena saya lebih suka entri Kilat, jadi entri ini saya kasih -0,3
Final score : 7,4
Entri ke-16… dan Luna udah selesai saya submit. Seperti janji saya, saya akan langsung baca :3
ReplyDeleteWell, seperti biasa. flashback lagi. Saya juga sih #plak
Lanjut….
Dan saya langsung convert ke word, lalu PDF. Dan saya dapat 9 halaman. 5 halaman awal habis buat flashback. Sisanya inti cerita.
Mungkin ini bisa jadi sedikit masukan kak. Dimana2, flashback tidak pernah jadi inti cerita. Ibarat alur cerita, flashback itu dihitung mundur. Tak ada cerita manapun yg bilang alur mundur itu paling bagus, karena seluruh cerita emang dibikin pake alur maju. Nah, dimana peran alur mundur ini? benar, sebagai penguat cerita. Bukan sebagai alur utama. Dan masalahnya, porsi yg besar dari alur mundur ini justru mengganggu canon ini. sebenarnya bisa diakalin dengan cara dipecah (kayak claude-claudia), tapi ini juga digabung di awal2. Hampir mirip ama punya stallza.
Selebihnya, oke kak. Saya ga nemuin kesalahan berarti.
Untuk nilai, saya ngasih: 7.25
Semangat kak :3
:*
ReplyDelete