[Round 3-K13] Claude & Claudia vs Leonidas Evilian Lionearth
"Even So, This Prothalamion Will Be Continued"
Written by Sam Riilme
---
"Even So, This Prothalamion Will Be Continued"
Written by Sam Riilme
---
Author's Note :
You may omit everything that is unrelated with the actual match.
*****
Opened Curtain
Tersebutlah suatu masa, saat dunia belum sepenuhnya tergambar dalam sebuah peta.
Dunia terbentang begitu luas bagi mereka yang hidup di dalamnya, tetapi tidak ada satupun dari mahluk hidup di zaman itu yang tahu seluas apakah tempat yang mereka tinggali ini sebenarnya.
Setiap negara merasa takut dengan keberadaan negara lain yang asing, dan setiap ras mencurigai ras lain sekalipun sejatinya mereka adalah penghuni planet yang sama.
Tanpa pengetahuan akan dunia, yang ada hanyalah kegelapan.
Namun tidak semua orang berdiam diri di dalam ketidaktahuan.
Adalah seorang penyihir ternama, seseorang yang disebut-sebut berhasil menguasai sihir manipulasi ruang – membuat segala batas dan jarak menjadi tidak ada artinya – yang dikabarkan bergerak dengan leluasa mengelilingi dunia lebih dari berabad-abad lamanya.
Sang penyihir singgah di banyak tempat di seluruh penjuru dunia, membuat namanya melegenda.
Pada setiap kesempatan, orang-orang akan menunggu kedatangannya demi mendengar kisah tentang dunia luar yang belum pernah mereka kunjungi, dan merasa puas bisa mendengar cerita-cerita luar biasa meski tanpa melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri.
Banyak orang menyenangi keberadaan sang penyihir. Bukan hanya individu, bahkan beberapa negara menginginkan sang penyihir menjadi personil dari kerajaan mereka. Tidak mengherankan, mengingat ini adalah penyihir yang telah berkeliling bumi, dan pastinya ia menyimpan begitu banyak pengetahuan mengenai sumber daya dan tata letak tempat-tempat penting yang bisa membawa keuntungan bagi banyak orang.
Sayangnya, sang penyihir bukan orang yang peduli dengan kepentingan umat manusia, apalagi golongan tertentu.
Ia adalah penyihir. Seorang penyihir sudah tidak lagi terikat dengan hal-hal duniawi, bahkan umur pun sudah tidak lagi membatasinya. Ia berhenti bertambah tua seolah waktu di dunia terhenti untuknya. Karena itulah, ia sendiri sudah tidak menganggap dirinya sebagai seorang manusia.
Tidak ada yang diinginkan oleh sang penyihir selain ilmu pengetahuan.
Dan untuk mengetahui semua hal yang tersebar di seluruh dunia, ia tidak bisa membiarkan siapapun mengikat dirinya.
Sikapnya menolak berbagai hubungan yang ditawarkan oleh banyak pihak, entah bagaimana tumbuh menjadi benih permusuhan yang mendalam dari berbagai poros kekuatan dunia.
Tak dinyana, dalam beberapa tahun, si penyihir pun lambat laun berubah menjadi sosok yang kemudian dicari seperti seorang buron.
Sang penyihir sendiri mengambil sikap tidak ambil pusing. Sepanjang hidupnya, ia telah hidup seorang diri lebih lama daripada keseluruhan waktu hidup seorang manusia. Hidupnya mengelana, jiwanya adalah bebas, dan ia tak mau seorang pun mengganggu tak peduli berapa lama waktu berlalu.
Ia hanya ingin menghabiskan hidupnya menyerap semua pengetahuan yang bisa ia dapatkan.
Sendirian. Tanpa teman. Tanpa ikatan hubungan.
Atau setidaknya, begitulah yang ia pikirkan…
Hingga sang Takdir mempertemukan si penyihir dengan mereka yang akan mengubah kehidupannya.
*****
First Half
-1-
[-05]
Tidak seperti dua pertandingan sebelumnya di mana mereka dibawa terbang ke sebuah tempat pertarungan, kali ini Claude dan Claudia dituntun oleh sang malaikat merah ke dalam sebuah lorong gelap di bawah tanah yang tak terpisahkan dengan nuansa kelam dan suram.
Lorong itu begitu sempit, hingga kelihatannya mustahil dua orang bisa berjalan berdampingan melewatinya. Maka Claude dan Claudia membiarkan kepala mereka melayang bebas, sementara tubuh mereka mengikuti sang malaikat merah dari belakang.
Sejujurnya, sejak mereka tiba di lorong bawah tanah ini, nyaris tidak ada yang bisa dilihat selain jalan satu arah yang hanya berujung pada kegelapan – sehingga mereka tak bisa mengambil kesimpulan seperti apa kiranya pertandingan yang akan mereka hadapi. Satu-satunya sumber cahaya adalah semacam obor yang dibawa oleh si malaikat merah sambil menuntun pasangan dullahan menuju tempat pertarungan mereka.
Sang malaikat pun kemudian menjelaskan kalau dalam pertandingan kali ini, peserta akan bertarung satu lawan satu dalam sebuah ruangan, dan diberi batas waktu 30 menit. Setiap ruangan memiliki sebuah mekanisme khusus, di mana semakin lama pertarungan berlangsung, maka ruangan itu akan semakin 'menyiksa' bagi mereka yang berada di dalamnya. Karena itulah pertarungan harus selesai dalam waktu sesingkat mungkin.
"Setelah 'Pulau Dosa', sekarang 'Ruang Siksa'? Memang tidak salah ya kalau tempat ini disebut 'Neraka'."
Celotehan ringan Claudia tidak digubris oleh si malaikat merah yang terus menuntun mereka dalam diam.
"Claudia."
"Hm?"
Claudia melirik ke samping dan melihat wajah kekasihnya yang terbang tanpa tubuh seperti dirinya.
"Pertandingan kali ini… Karena hanya ada satu lawan dan hanya dalam satu ruangan, kurasa tidak masalah kita tidak menyembunyikan kepala satu sama lain dalam tas punggung seperti sebelumnya…" ucapan Claude terpotong sesaat dengan tatapan ragu. "Tapi itu juga berarti kita harus lebih berhati-hati. Jangan melakukan tindakan berbahaya atau jauh-jauh dariku selama pertarungan nanti, mengerti?"
"Heh, tidak usah dibilang begitu juga aku mengerti, kok," kata Claudia malas. "Lagipula kalau lawan cuma satu orang tanpa tempat lari, kamu sendirian juga pasti bisa menang dalam sekali serang."
Claude menghela napas pelan.
Pada awalnya, mereka – atau setidaknya begitulah yang ia yakini – tidak mengincar sesuatu seperti kemenangan, dan sudah merelakan bahwa pertarungan alam baka ini tak lebih dari sekedar sebuah kisah tambahan dari kehidupan mereka.
Namun sesuatu agaknya terjadi pada Claudia, yang membuat wanita itu kini lebih berorientasi untuk menang ketimbang sebelumnya.
Tentu saja, sebagai partner sehidup-semati yang berbagi nyawa, keinginan Claudia sejatinya menjadi kehendak Claude juga.
Akan tetapi, mengapa Claude merasa tidak nyaman dengan sikap Claudia saat ini?
Ia tahu bahwa ia sudah menyanggupi keinginan tersebut setelah mereka memenangkan pertandingan sebelumnya. Namun setelah ia berpikir kembali…apakah mereka benar-benar memerlukan keturunan? Tidakkah mereka sudah berbahagia cukup hanya dengan berdua saja?
Dan mengapa ia lantas menyarankan agar mereka menjadi Adam dan Hawa di dunia yang baru? Dari mana datangnya gagasan itu?
"Kita sudah sampai."
Belum sempat menyusun isi pikirannya sendiri, lamunan Claude dibuyarkan oleh pemberitahuan sang malaikat merah.
Di hadapan mereka sekarang terpampang sebuah pintu sederhana yang cukup besar. Tidak ada ukiran ataupun hiasan, dan anehnya bahkan tidak terlihat ada gagang untuk membukanya.
"Begitu kalian memasuki ruangan ini, pintu akan menghilang dan tidak akan muncul sampai salah satu dari kalian membunuh lawan," tegas Hvyt si malaikat merah. "Pertarungan dimulai begitu kedua pintu yang dimasuki peserta kami tutup. Seperti biasa, suguhkanlah pertarungan yang menarik bagi sang Dewa. Dan jangan membuatNya bosan."
Setelah Hvyt berkata demikian, pintu di hadapan mereka menghilang secara ajaib.
Sebuah lubang persegi panjang menjadi akses untuk memasuki ruangan, dan tanpa banyak tanya Claude dan Claudia pun memasukinya untuk menyambut siapapun yang telah menunggu di dalam sana.
Ketika kedua kepala tanpa badan dan sebuah badan tanpa kepala memasuki ruangan itu, tiba-tiba saja lubang pintu di belakang mereka lenyap seolah tak pernah ada, digantikan oleh dinding dengan corak serupa pada seluruh sisi di dalam ruangan 10 meter pangkat tiga.
Namun mereka tidak menyadarinya.
Jangankan sadar dengan hilangnya akses keluar, mereka bahkan tidak sadar kalau lawan mereka sudah berada di ujung ruangan.
"…apa-apaan ini?"
"Claude? Kau masih di sini? Claude!"
—karena di dalam ruangan ini, cahaya adalah tiada.
*****
-0-
Perang.
Satu peristiwa yang berperan memutarbalikkan keadaan dunia.
Ketika perang meletus, perubahan terjadi di mana-mana.
Tempat yang dihuni oleh ribuan manusia dapat berubah menjadi padang nestapa dalam satu hari.
Kerajaan yang telah berdiri selama ratusan tahun dapat berubah menjadi catatan sejarah dalam satu malam.
Dan yang paling tidak terhindarkan, adalah fakta bahwa perang selalu memakan korban.
Perang mengubah segalanya.
Tak terkecuali dengan sang penyihir, yang menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan manusia yang begitu singkat berakhir dalam satu kedipan mata.
Manusia yang jumlahnya tak bisa dikira, meregang nyawa begitu saja seperti taburan bintang yang mendadak hilang di tengah langit malam.
Semua demi tujuan yang sia-sia belaka.
Di tengah kemelut yang ia kira tidak ada hubungannya dengan dirinya, hatinya terketuk ketika mendapati sepasang gadis kecil yang menghampirinya di tengah lautan tubuh dan darah.
Dua orang gadis kecil dengan luka dan kotoran di sekujur tubuh, yang tersenyum polos kepadanya meski berlinang air mata, seolah ingin mengatakan,
'Semua akan baik-baik saja'.
Tak kuasa menahan haru, sang penyihir merangkul kedua gadis kecil itu.
Ia kira dirinya sudah tidak lagi peduli dengan perasaan dan harapan.
Ia kira dirinya tidak memerlukan apapun selain pengetahuan dan kesendirian.
Namun pada detik itu, ia tahu bahwa ia salah.
Di dalam dunia ini, masih ada kehangatan.
*****
-2-
[00]
Gelap gulita.
Tanpa adanya sumber cahaya, baik Claude dan Claudia tidak tahu posisi masing-masing dan tampaknya cukup dikejutkan dengan keadaan ini.
"Claude, kau di mana?"
"Aku di sini! Sebentar, biar kugerakkan tubuh kita…"
Meski tak dapat melihat, tentu mereka masih bisa mendengar dan merasa. Indera proprioseptif pun bekerja, memampukan Claude untuk meraih kepalanya sendiri dengan badan mereka, lalu memasangnya agar dapat bergerak lebih nyaman.
"Kau dengar suaraku, Claudia? Aku sudah pegang kendali tubuh kita. Ke sini!"
Samar tapi pasti, Claude bisa merasakan sesuatu melayang ke arahnya. Ia pun membentangkan tangan untuk mendekap sosok itu, yang tak lain adalah kepala Claudia sang kekasih.
"Uwaah, menyeramkan sekali," komentar Claudia sambil mengungkapkan kelegaannya karena tidak terpisah jauh dari Claude. "Kenapa tidak ada lampu di dalam ruangan ini?"
"Mungkin ini tempat untuk menyiksa orang claustrophobia atau achluophobia?"
"Hm. Terus, lawan kita ada di mana? Ah, jangankan itu. Bagaimana kita bisa bertarung dalam situasi seperti ini?"
"Benar juga, bagaimana…"
Pertanyaan keduanya segera terjawab ketika sebuah suara terdengar dari kejauhan.
Tidak, mungkin sebenarnya asal suara itu tidak sejauh kedengarannya. Akan tetapi tanpa melihat seperti apa jarak pastinya, sulit untuk mengenali dari mana dan sejauh apa sebuah suara berasal.
"Oooi, suara yang di sana! Kau lawanku di pertandingan ini, ya?"
Di dalam kegelapan ini, Claude dan Claudia sama-sama mengerjapkan mata.
"Aku di sini! Bisa dengar? Kalau belum mau bertarung, gimana kalau kita ngeteh dulu?"
""……""
Bodoh. Ada orang bodoh di sini.
Orang macam apa yang malah berteriak memanggil lawan dan mengajak minum teh dalam keadaan seperti ini?
Tapi itu berarti mereka beruntung. Kalau lawannnya bodoh, meski ruangannya seperti ini, mungkin pertarungan kali ini bisa selesai dengan cepat.
"Tunggu, kami akan segera ke sana," sahut Claude.
"Apa tehmu cukup untuk tiga orang?" tanya Claudia menambahkan.
Orang yang berada di ujung sana diam sejenak, tampaknya sedang mengolah pesan dalam gelap yang mereka pertukarkan.
"Suara itu… kalian ada dua orang? Curang sekali."
"Ya, kami ada dua orang. Namaku Claude Higglfiggr, dan aku membawa kekasihku, Claudia Neuntzmann. Boleh kami tahu siapa namamu?"
"Leon. Leonidas Evilian Lionearth," seru orang itu, kini dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. "Kau bilang tadi kekasih? Gimana ceritanya, kok bisa kalian dianggap satu padahal berdua?"
Untuk pertanyaan ini, Claude tidak langsung menjawab.
Claudia juga mengerti, bahwa dalam situasi ini, memberitahu seperti apa rupa mereka sebenarnya bisa jadi malah merugikan. Mereka belum tahu apakah orang itu memang bodoh dan benar-benar ingin minum teh sambil gelap-gelapan seperti ini, atau sebenarnya orang licik yang ingin menjebak dengan ajakan bersahabat padahal cuma pura-pura.
Sebelum mereka sempat menjawab, seberkas cahaya tiba-tiba saja terpancar dari salah satu sudut ruangan.
"!?"
Sebuah cahaya berwarna merah membentuk garis lurus dari ujung ruangan ke ujung lainnya.
Satu, dua, tiga. Kini di semua sisi dalam ruangan kubus ini, masing-masing satu garis menghubungkan keenam permukaan ruang.
Mereka yang ada di dalam ruangan tersebut belum sepenuhnya mengerti, tapi ada satu hal yang mereka tahu pasti.
Bahwa meski hanya sedikit, tapi ruangan ini tidak sepenuhnya gelap lagi.
Claude memperhatikan kalau cahaya ini berkerlap-kerlip seperti sebuah lampu redup. Namun perhatiannya segera teralih ketika Claudia berseru,
"Claude, sekarang!"
Hanya perlu sedetik bagi Claude untuk menyadari apa yang dimaksud Claudia.
Tak membuang waktu, Claude menyongsong ke arah sumber cahaya seraya melempar pandangan ke seluruh ruangan dengan berbekal pencahayaan seadanya.
"Itu dia."
Di salah satu sisi ruangan, berdiri seorang pria dengan rambut coklat kusam yang menutupi sebelah mata, dengan sebuah pedang yang gagangnya tampak seperti pelatuk pistol.
Tak salah lagi, inilah lawan mereka.
Claude segera menarik pisau jagalnya dan melempar kepala Claudia ke udara.
Seketika itu pula, kepala Claudia di udara bertukar dengan kepala si pria malang yang bernama Leon tersebut.
"Eh?"
Leon hanya bisa menggumam heran ketika kepalanya mendadak terpisah dari badan.
Kasihan sekali, tampaknya lawan mereka yang satu ini akan mati tanpa sempat mencerna apa yang sedang terjadi.
Satu tiket kemenangan mudah bagi Claude dan Claudia!
…atau begitulah pikir mereka. Tapi ternyata tidak.
Baru saja Claude hendak mengayunkan pisau jagalnya untuk membelah kepala sang lawan, tiba-tiba saja sesuatu meluncur melintasi garis cahaya dalam ruangan tersebut.
"—ggh?!"
Suatu benda tajam, yang tanpa peringatan menembus tubuh Claude dari belakang.
"Apa… ini?"
"Claude, menghindar!"
Teriakan Claudia membuat pandangan Claude lepas dari kepala Leon, membuat si pria kembali ke keadaan semula. Sementara Claude, menyadari peringatan Claudia, segera melompat ke samping menghindari serbuan benda tajam yang menyerang dari atas.
"Garisnya! Hindari garisnya!"
Rupanya Claudia cukup awas memperhatikan trik tersembunyi dari ruangan ini. Benda tajam yang sebelumnya menyerang Claude ternyata meluncur mengikuti jalur yang ditunjuk oleh garis cahaya dari setiap sudut ruangan.
Claude segera menghindari garis cahaya tersebut, selamat dari sebuah serangan arah samping.
Dan segera setelah tiga kali benda tajam ditembakkan, ruangan inipun kembali kehilangan cahayanya.
Sekali lagi, kegelapan datang menyelimuti.
*****
-0-
Tak ubahnya sebuah hujan deras, perang tak jua kunjung reda.
Sang penyihir tidak tahu apa yang memicu perang ini dan kapan mereka yang bertikai akan berhenti, namun ia berusaha mengalihkan perhatiannya dari apa yang sedang terjadi di dunia luar yang terluka.
Karena sekarang, dia telah memiliki sebuah keluarga.
Keluarga kecil inilah yang menjadi dunianya saat ini.
Dua anak perempuan yang ia rawat dan asuh tumbuh seperti bunga yang cantik, menjelma dari sepasang gadis cilik menjadi sepasang gadis remaja.
Sungguh luar biasa bagaimana waktu dapat mengubah manusia.
Sementara ia tidak berubah, ia merasa seolah waktu terus berjalan meninggalkannya.
Sang penyihir jadi berpikir, apakah ia pernah merasakan hal yang sama ketika ia masih menjadi manusia dulu?
Berabad-abad yang lalu, pada satu linimasa yang telah lama ia lupakan dari kenangan?
Ia tidak tahu. Tapi ia kini tahu, bahwa ada juga perubahan-perubahan yang menyenangkan hati.
Walaupun hidupnya tak pernah menetap di satu tempat, tak pernah sekalipun kedua anak itu mengeluh meski harus mengikutinya berpindah-pindah dalam sekian tahun mereka hidup bertiga.
Sang penyihir tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya.
Entah sudah berapa lama ia terlalu larut dalam kesendirian, hingga kini ia begitu dibuai dengan kebersamaan.
Namun bukan berarti ia tidak sadar.
Ia adalah seorang penyihir, sementara kedua anak perempuan itu adalah manusia.
Waktu telah berhenti bagi dirinya, namun terus berjalan bagi keduanya.
…berapa lama waktu yang tersisa, hingga batas usia memisahkan mereka?
*****
-3-
[05]
Dengan susah payah dalam kegelapan, Claude mencabut benda tajam yang menusuk punggungnya. Dari perabaannya saat memegang benda itu, kemungkinan besar benda itu adalah semacam belati dengan ukuran sedang.
Darah mengalir dengan deras sebelum luka menutup dari punggung Claude, namun pikirannya berusaha mengalihkan perhatian dari rasa sakit dan memastikan Claudia tidak berada jauh darinya.
"…Claudia?"
Claude berbisik pelan – yang kemudian berbalas dengan datangnya kepala Claudia mendekat kepadanya. Mereka tidak bisa melihat dengan jelas satu sama lain, namun setidaknya mereka bisa merasakan sesuatu yang bergerak dalam kegelapan – dan dengan inilah mereka tahu kalau mereka tidak begitu terpisah jauh.
"Claude, kau tidak apa-apa?"
"Ugh…maaf membuatmu khawatir. Tapi tenang…aku sudah mencabut benda itu dari punggungku."
Claudia tidak dapat melihat raut wajah Claude. Seandainya kegelapan ini tidak menyembunyikannya, pastilah ia bisa melihat betapa Claude kini tengah meringis kesakitan. Meskipun tubuh mereka abadi, kalau dilukai seperti ini, tetap saja mereka akan merasakan sakit selayaknya orang normal.
"Sekarang bagaimana?" tanya Claudia.
Belum sempat Claude menjawab ataupun berpikir, lagi-lagi terdengar teriakan dari lawan mereka.
"Ooi kalian! Apa yang kalian lakukan barusan?!"
Orang itu, tampaknya memang benar-benar orang bodoh. Kalau sudah tahu Claude punya kemampuan yang hampir saja merenggut nyawanya seperti barusan, seharusnya ia menahan diri dan bukannya berteriak seperti ini. Setidaknya begitulah Claude akan bertindak bila ia berada di posisi sang lawan.
"Ooi, jawab aku, sialan!"
Tanpa mempedulikan lawannya yang masih memanggil mereka dalam kegelapan, Claude kemudian bertanya,
"Claudia, kau memperhatikan ruangan ini barusan?"
"Um. Memang cuma sebentar, tapi rasanya aku ingat jelas interiornya. Ruangan ini seperti berada di dalam kubus, dan tadi kuperhatikan kelihatannya lubang yang menembakkan benda tajam barusan ada di semua sisi."
"Ruangan penuh lubang, eh.. Jadi bukan cuma masalah takut dalam ruangan atau kegelapan, tempat ini aslinya mungkin dibuat untuk menyiksa orang dengan trypophobia juga ya.."
Claude berpikir sejenak.
Dalam sekitar 5 menit pertama, mendadak muncul tiga buah garis cahaya. Lalu dari garis cahaya itu, mendadak pula ditembakkan benda-benda tajam. Dan menurut pengamatan Claudia, lubang penembak benda tajam itu tersebar di seluruh sisi ruangan.
"Claude?"
Berbekal informasi ini, Claude bisa sedikit banyak menebak apa yang akan terjadi dalam 5 menit ke depan.
Kalau prediksinya tidak salah, maka garis cahaya itu pasti akan muncul lagi. Si malaikat merah bilang, siksaan dalam setiap ruangan akan semakin meningkat keparahannya semakin lama mereka berada di dalamnya. Itu berarti, kalau mereka berlama-lama di sini, mungkin akan sulit menghindari serangan dari berbagai arah.
"Claude?"
Tidak, mereka masih punya kemampuan [Claustroclaucht] untuk memanipulasi orientasi benda. Tapi bagaimana kalau serangan datang dari titik buta yang tak bisa mereka lihat?
Pemikiran Claude terputus saat ia merasakan kepala Claudia menyudul kepalanya dengan keras.
"…?!"
"Claude! Dia semakin mendekat!"
Sadarlah Claude bahwa tidak hanya Claudia sedari tadi memanggilnya, tetapi si pria berambut coklat yang menjadi lawan mereka juga bergerak mengitari ruangan ini. Ia mungkin tidak punya sumber cahaya, tapi sedari tadi tampaknya sang lawan berusaha mencari mereka berdua dengan mengayunkan senjata besar yang ia pegang.
Claude salah berpikir.
Baginya, ia hanya akan dapat melakukan sesuatu kalau cahaya muncul.
Tapi tidak demikian dengan lawannya.
"Kalau kalian tidak mau keluar, jangan salahkan aku kalau kena serangan nyasar ini, ya!"
Sebuah dentuman terdengar di sudut ruangan. Claude tidak tahu kemampuan pria itu, tapi tampaknya senjata yang ia miliki bisa menciptakan semacam ledakan bila mengenai sesuatu.
Dan bunyi dentuman itu terdengar tidak jauh dari tempat mereka berada sekarang.
Claude segera mendekap Claudia dengan satu tangan, bersiap untuk bergerak begitu garis cahaya muncul kembali.
Bagai menjawab pikiran Claude, garis cahaya seperti sebelumnya kembali muncul tanpa perlu ditunggu.
Satu, dua, tiga… Kali ini, ada lebih dari tiga buah garis cahaya, namun Claude tidak sempat menghitung berapa pastinya.
Kini ia sudah mengerti. Tidak perlu mendekati cahaya itu, jaga jarak, dan edarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
Di mana? Di mana pria itu berada?
"Claude, awas!"
Di belakang?!
"Kena kau!"
Sang pria berambut coklat mengayunkan senjatanya dengan sekuat tenaga ke arah punggung Claude yang tidak terjaga.
Beruntung kepala Claudia bergerak lebih cepat, melepaskan diri dari dekapan Claude dan menghantam perut pria itu sebelum serangan tersebut berhasil ia lancarkan.
"Gbfuh!?"
Pria itu tersungkur jatuh, sementara Claude berbalik dan sekali lagi menarik pisau jagalnya.
Ia baru hendak menukar kepala si pria dengan kepala Claudia, ketika menyadari saat ini garis-garis cahaya di ruangan itu bergeser ke arah mereka.
"…cih!"
Merasa kalau ia tak akan bisa menghindar tepat waktu bila menyerang pria ini terlebih dahulu, Claude pun mengurungkan niatnya dan berlari menjauh dari incaran garis-garis cahaya.
Sementara pria itu sendiri dengan sigap telah bangkit kembali, seraya melompat mundur mengambil jarak dari Claude.
Kedua pria saling bertatapan, sadar tidak banyak yang bisa mereka lakukan dalam keadaan ini selain menyelamatkan diri sendiri.
Kemudian terjadilah apa yang sudah dapat mereka perkirakan.
Rentetan proyektil tajam satu persatu ditembakkan dari berbagai penjuru ruangan.
Claude menghindar, dan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengubah laju salah satu benda tajam yang meluncur ke arah lawannya.
Namun pria itu ternyata ahli dalam pertarungan jarak dekat. Sementara Claude menghindar, orang itu lebih memilih menghalau setiap proyektil tajam yang datang ke arahnya dengan mengayunkan senjatanya.
Dalam satu gerakan, sebuah ledakan tercipta!
Dengan mudah sang pria berambut coklat mementahkan setiap serangan yang terarah kepadanya.
"Heh."
Sebuah senyum mengembang di wajah pria itu, dan itulah hal terakhir yang Claude lihat sebelum seluruh cahaya di ruangan tersebut kembali padam.
*****
-0-
Waktu berlalu begitu cepat.
Tanpa terasa, kedua gadis remaja kini beranjak menjadi sepasang wanita dewasa.
Sang penyihir merasa bahwa inilah saatnya.
Saat untuk melepas mereka berdua dari bagian kehidupannya.
Bila terus bersama dengan dirinya, keduanya tidak akan menemukan kebahagiaan.
Sebelum mereka bertambah tua dan menyia-nyiakan umur mereka, mungkin lebih baik bila mereka kembali ke komunitas manusia, dan mungkin membentuk keluarga baru dengan menikahi sosok pria yang ideal bagi mereka berdua.
Namun alangkah terkejutnya sang penyihir ketika mendapati keduanya menolak dengan tegas gagasan itu.
Sang penyihir tidak habis pikir.
Bukankah egois bila ia tetap mengikat mereka untuk terus bersamanya, sementara mereka hanya punya sedikit sisa kehidupan dibandingkan dirinya?
Ia bahagia dengan waktu singkat yang mereka berikan, dan kini ia ingin memberikan kebahagiaan yang sama bagi mereka.
Di luar dugaan, kedua gadis…tidak, wanita tersebut menjawab dengan mengemukakan apa yang mereka yakini sebagai kebahagiaan bagi mereka.
Berkatalah mereka, bahwa selama bertahun-tahun ini, mereka telah memendam sebuah rasa pada sang penyihir.
Sebuah rasa cinta.
Bukan hanya seperti sebuah keluarga.
Melainkan sebagai pasangan pria dan wanita.
*****
-4-
[10]
"Kadang-kadang kamu bisa jadi super payah, Claude."
Adalah kalimat pertama yang dikatakan oleh Claudia saat mereka kembali bersembunyi dalam ketiadaan cahaya.
"Maaf."
Hanya itu yang bisa Claude jawab, menyadari kalau ia sudah dua kali gagal memanfaatkan kesempatan untuk menghabisi lawan mereka.
"Kamu kebanyakan mikir sih," lanjut Claudia. "Kukatakan saja ya, lawan yang main frontal seperti ini kelihatannya lebih cocok aku yang urus. Apalagi kemampuanmu tidak bisa dipakai kalau tidak bisa melihat dalam gelap. Ayo gantian."
"Tidak, tunggu sebentar lagi. Sampai cahaya itu muncul sekali lagi, kurasa itu tandanya setengah waktu pertandingan sudah lewat. Kalau setelah itu aku masih gagal, baru kita gantian. Setuju?"
"…saat-saat begini masih saja berpikir soal pembagian yang adil, eh? Terserah sih, tapi taruhan kamu pasti tidak bisa menang gampang seperti pikiran praktismu."
Claude tertawa lirih dan kembali mendekap erat kepala Claudia di satu tangan, dengan pisau jagal yang masih tergenggam di tangan lainnya.
Saat ini mereka tengah bergerak dengan berhati-hati, berharap agar keberadaan mereka tidak terdeteksi. Seperti sebelumnya, sang lawan – Leon – tak ambil pusing soal keadaan gelap, dan lebih memilih melakukan serangan serampangan untuk menciptakan ledakan setiap senjatanya membentur permukaan ruangan.
Pada awalnya Claude memang berpikir lawannya orang bodoh yang malah memberitahu posisinya sendiri dalam keadaan begini, tapi kelihatannya ia keliru.
Lawannya justru sengaja melakukan itu untuk mengundang mereka ke dalam lingkup serangannya.
Tak diragukan lagi, orang ini adalah tipe petarung jarak dekat. Dan bagi Claude, orang seperti ini tidak boleh dibiarkan bermain di lapangan kandang sendiri.
Maka Claude masih terus menjaga jarak dengan berbekal suara yang ia dengar, menunggu datangnya cahaya untuk melancarkan serangan berikutnya.
"Kalau cuma bisa menyerang tiap satu kesempatan, rasanya seperti melawan boss di game action platformer, ya," celetuk Claudia bosan.
"Ya, ya, maaf deh aku tidak berguna. Nona Claudia memang lebih bisa diandalkan, hamba tidak ada apa-apanya dibanding Yang Mulia."
"Apaan sih."
Suara ledakan kecil yang terdengar seperti letusan petasan itu tidak berhenti juga.
Begitu pula dengan teriakan si pria berambut coklat, meski Claude dan Claudia tidak begitu memperhatikan apa yang orang itu katakan.
Beberapa waktu berlalu, hingga kemudian tibalah saat yang telah mereka tunggu.
Sejumlah garis-garis cahaya muncul dari berbagai sisi, kali ini bahkan lebih banyak dari sebelumnya.
"Oke, ini dia."
Claude memfokuskan pandangannya, segera menemukan sang target yang belum melihat ke arahnya.
Ini kesempatan terakhir. Sekarang ia tinggal menukar kepalanya dan…
"—!?"
Sebuah proyektil tajam meluncur dengan cepat.
Beruntung Claude menangkap gerakan itu, sehingga ia bisa menghindar tepat waktu.
Tapi ini sungguh aneh, pikir Claude, karena biasanya benda-benda itu tidak akan langsung ditembakkan secepat ini. Jadi pola tembakan dalam ruangan ini berubah setiap waktu?
"Ah."
Kemudian Claude sadar kalau kini lawannya sudah menyadari keberadaannya.
Leonidas Evilian Lionearth menyerbu ke arah Claude, menembus garis-garis cahaya tanpa mempedulikan setiap senjata yang ditembakkan ke arahnya. Sementara Claude, lagi-lagi merasa konsentrasinya terpecah karena semua tidak berjalan sesuai bayangannya.
Tidak. Dia tidak boleh gentar di saat seperti ini.
Memastikan ia aman dari garis-garis cahaya yang mungkin akan bergerak mengincarnya, Claude memantapkan pandangannya.
Orang itu masih berlari ke sini. Sebentar lagi ia tiba.
Satu langkah, dua langkah…
Sekarang!
Untuk kedua kalinya, Claude kembali menukar kepala Claudia dengan kepala Leon dengan pisau jagal tersiaga di satu tangan.
Berhasil. Kali ini, tidak ada lagi kesalahan.
Kini ia tinggal mengayunkan pisaunya dan…
"Awas!"
Pandangan Claude masih terpaku pada kepala Leon, namun ia bisa melihat jelas sesuatu yang lain memasuki jangkauan pandangnya bersamaan dengan teriakan Claudia.
Tubuh Leon.
Tubuh si pria dengan pedang bergagang pistol itu tidak berhenti menyerbu ke arahnya meski terpisah dengan kepala.
"Uwaah!?"
Dan Claude lebih terkejut lagi ketika pedang besar Leon terayun ke arahnya.
Dalam kepanikan – ditambah gerakan tangannya yang tidak bisa lagi ia hentikan di tengah jalan – pisau jagal Claude pun beradu dengan pedang besar sang lawan.
Hasilnya?
Ledakan!
Tubuh Claude terhempas jauh ke belakang, dan seketika itu pula kepala Leon yang tadinya terlempar di udara berganti posisi lagi dengan kepala Claudia. Tidak hanya itu, pisau jagal di genggaman tangan Claude kini sudah hancur dan menyisakan gagangnya saja.
"Claude!"
Claudia buru-buru melayang ke arah Claude yang tersungkur di pojok sana, namun kelihatannya Leon sudah menangkap sosok asli lawannya kali ini yang memiliki dua kepala.
"Jangan lari, non."
Claudia tidak sempat menoleh ke belakang untuk melihat bahwa si pria berambut coklat sudah siap menebas kepalanya seperti memotong semangka.
"Tidak akan kubiarkan!"
Claude berseru dari kejauhan. Ia mengangkat satu tangannya, menunjuk ke arah Leon.
Dalam sekejap tubuh Leon berbalik arah sehingga menebas udara kosong.
"Lho?" gumam Leon keheranan.
Tapi kejutan bagi Leon tidak berhenti sampai situ. Detik berikutnya, ketika serentak beberapa proyektil benda tajam kembali ditembakkan, entah bagaimana semuanya mengarah ke tempat Leon tengah berdiri saat ini.
Saat itu Claude berpikir, seharusnya ia melakukan ini saja dari awal.
Tapi lagi-lagi Leon berhasil membantahkan pemikiran itu, ketika ia berputar dengan liar sambil beberapa kali mengayunkan pedangnya secara diagonal.
"Shaaaa!!!"
Dalam satu raungan yang mengiringi putaran tubuhnya, semua senjata yang terarah kepadanya berhasil dimentahkan oleh Leon bersama suara ledakan.
Claude menggertakkan gigi.
Harusnya ia sudah tahu. Kenapa masih berharap pada cara yang sama, padahal sebelumnya ia sudah mencoba dan gagal?
Di tengah ruangan, Leon mengacungkan senjatanya seraya berteriak dengan lantang,
"Mau pakai tipuan macam apa lagi, hah?!"
Claude tidak menjawab.
Babak pertama ini berakhir dengan kegagalan.
Bersamaan dengan kembalinya Claudia ke dekapannya, sontak semua lampu kembali padam. Menandakan hanya setengah dari waktu awal yang kini tersisa untuk menyelesaikan pertarungan.
*****
-0-
Mungkin inilah saatnya untuk berhenti mengelana.
Begitulah pikir sang penyihir melihat peta yang telah ia susun selama berabad-abad.
Tampak sempurna.
Setidaknya dengan ini, ia dapat memastikan bahwa ia telah mengelilingi dunia.
Puas dengan hasil kerjanya, sang penyihir pun memutuskan bahwa mungkin sekarang ia sudah bisa melepas dahaganya akan pengetahuan.
Bagaimanapun juga, kini ia sudah memiliki sebuah keluarga.
Meski sadar bahwa tidak ada kisah yang abadi, sang penyihir dan kedua wanita tahu, bahwa kisah yang terjalin indah adalah sesuatu yang memiliki awal dan akhir yang baik.
Meski sadar bahwa mereka tak akan bisa melarikan diri saat waktu memisahkan mereka kelak, mereka memilih untuk menikmati hari-hari yang mereka lalui, dan bersyukur masih diberikan kehidupan bersama untuk dijalani.
Benih-benih cinta yang telah tertanam sejak lama dan ia rawat selama bertahun-tahun ini, kini telah melahirkan buah hati berupa sepasang bayi laki-laki dan perempuan.
Kedua wanita yang setia menjadi pendamping hidupnya ikut bersuka cita.
Keluarga kecil mereka yang tiga, kini bertambah menjadi lima.
*****
Second Half
-5-
[15]
"Maafkan aku."
Claude tertunduk lesu.
Kali ini ia tidak bisa mengelak lagi. Tiga kali kegagalan, kehilangan pisau jagal mereka, dan berkali-kali harus diselamatkan oleh peringatan Claudia… Tampaknya memang tidak banyak yang bisa ia lakukan dalam pertandingan kali ini.
Sebaliknya, Claudia justru kelihatan sedikit senang, seolah ingin mengatakan 'lihat kan, apa kubilang'. Walau tentu saja mereka tidak bisa melihat dengan jelas satu sama lain dalam kegelapan.
"Pergantian pemain~."
Claude menurut, melepaskan kepalanya dan membiarkan Claudia mengambil alih tubuh mereka.
"Eh, jangan murung begitu dong," kata Claudia berusaha menghibur. "Dengar ya, aku tidak menyalahkanmu, lho. Tapi kita tetap perlu menang. Kalau ingin menebus kesalahan babak sebelumnya, bagaimana kalau kita coba rencana sederhanaku?"
Leonidas Evilian Lionearth mengatur napasnya perlahan.
Sudah belasan menit rasanya ia bergerak tanpa henti, menyerang ke sana kemari sambil menebak-nebak posisi lawan di dalam kegelapan. Meski memiliki kemampuan menciptakan serangan berdaya rusak lumayan, staminanya sendiri tidak bisa dibanggakan. Mungkin faktor usianya yang sebenarnya sudah kepala lima membuatnya tidak punya tenaga sebanyak di masa mudanya dulu.
Dan sekarang ia merasa sedikit kelelahan setelah banyak gerak badan barusan.
Leon mengambil posisi duduk sila di lantai, berpikir mungkin masih ada beberapa menit untuk beristirahat sebelum lampu menyala. Toh ia perhatikan musuhnya tidak seperti dia, tidak akan mengincar lawan selama ruangan masih gelap.
Kemudian Leon berpikir, mereka belum menjawab kenapa mereka bisa bertarung berdua tanpi dianggap satu orang.
Ia merasa kalau ini sesuatu yang curang. Tapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang mengikutinya.
Rasa iri.
Pasangan kekasih yang menjadi lawannya itu masih bersama meski telah berada di alam baka.
Kalau ia mengenang kembali hidupnya, riwayatnya berakhir tragis di tangan putrinya sendiri, saat ia berusaha membalas dendam pada dunia atas kematian istrinya. Lalu ia mati….tapi ternyata semuanya tidak lantas berakhir setelah kau mati.
Alih-alih dipertemukan dengan almarhum istrinya, kini ia malah terlibat permainan aneh yang tidak jelas apa tujuannya.
Sejauh ini ia ikut dengan perasaan angin-anginan saja. Meski hadiahnya adalah mendapat kehidupan kedua, apa artinya kalau dia tidak dipertemukan kembali dengan istrinya. Fiani Memorian Faykreus?
Ah.
Kemudian Leon tersadar.
Ya, mungkin ada sesuatu yang bisa ia lakukan, andaikata mendapatkan kesempatan untuk hidup kembali.
Ia harus menemui putri semata wayangnya.
Kekacauan yang ia buat di dunia memang cukup parah, namun baru kali ini ia menyadari betapa sebagai seorang ayah, ia telah begitu bersalah dengan meninggalkan tanggungjawabnya terhadap sang anak, dan menimpakan nasib dunia yang hancur di tangan sang putri.
"Nely…"
Ia perlu meminta maaf.
Kalau perlu, mungkin ia akan menghabiskan waktu kehidupan keduanya untuk memperbaiki kembali dunia yang ia rusak. Ya, mungkin hanya dengan demikianlah, putrinya Nely…dan istirnya Fia, akan mengampuni dosa yang telah ia lakukan selama ini.
"……."
Sudah diputuskan. Tidak ada salahnya mencoba untuk terus menang.
Kelelahan pun memudar dari benak dan raga Leon. Kini, ia siap untuk kembali menyambut lawannya.
"Tapi ngomong-ngomong, kalian ini pendiam sekali, ya?"
Tiba-tiba Leon bangkit dari duduknya dan berseru dengan suara yang menggema ke seisi ruangan.
"Aku tahu maksud kalian sembunyi dariku, tapi sumpah, kalian ini ninja atau apa? Bisa menghilangkan suara sampai hawa keberadaan tidak terasa begini… Ah, atau kalian sedang mesra-mesraan dalam suasana gelap begini? Keluar dong! Nggak seru kalau cuma aku bikin ribut sendiri di sini! Bukannya kita dilarang bikin si Dewa Merah bosan?"
Leon berusaha untuk memancing keluar lawannya, tapi tetap tidak ada balasan suara yang terdengar.
Heran. Padahal mereka satu ruangan, tapi rasanya sunyi sekali. Apa mereka berkomunikasi sambil berbisik-bisik?
Baru saja Leon mengira ia harus menunggu sampai lampu menyala lagi, mendadak sesuatu meluncur dengan cepat ke arahnya.
"—gueh!!?"
Tepat menabrak punggungnya, seperti dihantam sebuah gada besi.
Gila! Apa tulang punggungnya baik-baik saja?
"Ow ow ow…apa-apaan itu barusan?!"
Sambil menahan rasa sakit dan tertatih-tatih, Leon segera menyiapkan senjata dan memasang kuda-kuda.
Benda itu datang lagi!
Insting Leon bekerja dengan cepat, dan secara refleks ia mengayunkan pedangnya ke arah di mana benda itu akan menghantamnya.
Benar saja, sesuatu bertabrakan dengan pedangnya dan menimbulkan sebuah ledakan kecil.
Akan tetapi….
"—gefuh!!?"
Benda itu tidak hancur ataupun termentahkan, dan terus melaju hingga bertabrakan dengan kepala Leon.
Leon terjatuh dengan bunyi berdebum, memegangi wajahnya yang terasa nyeri luar biasa.
Sakit sekali! Ini bahkan lebih sakit daripada saat dia menjadi bulan-bulanan satu kampung!
"Keluar kalian, brengsek!"
Leon tidak mau menerima serangan itu lagi. Meski ia adalah demigod yang bisa dibilang semi-immortal, ia tidak sudi dikalahkan oleh sesuatu yang wujudnya saja ia tidak tahu!
Di lain pihak, apa yang saat ini dilakukan oleh Claude dan Claudia sebenarnya merupakan suatu serangan 'kombinasi' yang cukup sederhana.
Kemampuan Claudia adalah membuat bangun ruang tak kasat mata yang kebal dan absolut, tetapi hanya terbatas sebanyak volume sebuah bola sepak. Normalnya, bila ia ingin menggunakan kemampuan ini untuk sesuatu yang bersifat ofensif, maka ia akan membentuknya menjadi sesuatu yang memiliki ujung runcing.
Tapi kali ini lain.
Entah ide dari mana, Claudia 'membungkus' kepala Claude dengan kemampuan ini, menjadikan kepala Claude bagaikan sebuah bola besi kuat yang siap untuk menghantam semua yang ia lewati.
Claude tidak perlu khawatir akan terluka, dan Claudia tinggal memastikan 'Claude Cannonade' (nama tentatif dari Claudia) ini tetap pada bentuknya.
Maka begitu mereka telah bersiap dan lawan mereka yang berisik itu memberitahu posisinya sendiri – dengan berteriak sampai terdengar ke sesisi ruangan –, Claudia segera melempar kepala Claude sekuat tenaga seperti melakukan lemparan tolak peluru.
"Oooryaaa!"
Tak ubahnya peluru meriam, kepala Claude menghantam sang lawan dengan kecepatan tinggi.
Claude Cannonade sukses mengenai sasaran!
Setelah satu serangan masuk, Claude mengambil alih kuasa atas gerakannya sendiri, dan kembali melakukan gerakan menukik dari udara untuk menyerang Leon yang tidak berdaya.
Serangan kedua pun tak bisa dihalau sama sekali oleh si pria berambut coklat.
Tepat sudah. Kini Claude juga mengakui kalau teknik ciptaan Claudia ini sungguh efektif.
Tidak perlu takut dengan senjata peledak milik lawan. Tidak perlu khawatir akan serbuan senjata tajam. Tidak perlu menunggu hingga gelap bertukar dengan terang.
Kali ini, mereka pasti bisa memenangkan pertandingan ini!
Untuk kesekian kalinya, garis-garis cahaya muncul menerangi ruangan tanpa peringatan.
Saat itulah Leon mendapati sosok lawannya yang sudah bertukar kepala. Bahkan setelah dilihat lagi, tubuh sang lawan juga berubah menjadi sesosok wanita gemulai.
Tunggu. Lalu di mana kepala satunya?
"Ooooooooohhh!!"
"—!!!!???"
Sesuatu kembali menghantam Leon dan senjatanya.
Namun kali ini Leon berhasil mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan laju benda asing ini. Ia genggam erat-erat pedang bergagang pistolnya, melihat bahwa senjatanya kini tengah beradu dengan….sebuah kepala.
"Jadi kau!?"
"Maaf, tapi kesalahanku tidak akan terulang lagi. Kau harus kalah di sini!"
Dengan seruan itu, sang kepala tanpa badan melayang mundur, kemudian mendadak melesat kembali ke arah Leon. Bagai ditabrak sebuah mobil, Leon berusaha menahan gaya yang mendorongnya ke belakang dengan mengadu bagian samping senjatanya dengan kepala si lawan.
Namun apa daya, kepala orang ini ternyata keras sekali.
Leon terdorong mundur, meski mampu bertahan hingga tubuhnya tidak terhempas ke belakang.
Kemudian kepala itu mundur, lalu maju lagi. Mundur, maju, mundur, maju. Seperti gerakan seseorang yang tengah memalu sebuah paku ke papan, terus menabrak dan membuat Leon terdorong tanpa perlawanan berarti.
Tanpa sadar, punggungnya telah bertemu dengan salah satu dinding ruangan.
Saat itulah si kepala tanpa badan tiba-tiba menarik diri menjauh darinya.
"Claudia! Sekarang!"
Leon tak tahu apa yang terjadi, namun saat ia hendak melangkah ke depan….
"…ng?"
….kakinya seolah tertanam di lantai, tak mau terangkat dari tanah.
"Oi, oi. Apa lagi ini!?"
Leon tidak tahu, bahwa kini Claudia sudah melepas 'bungkus pelindung' dari kepala Claude, dan memanfaatkan kemampuannya untuk mengunci kaki Leon yang terpojok di sisi ruangan.
Dan di saat yang sama, ketika belasan proyektil senjata tajam ditembakkan seperti sebelumnya, Claudia dengan cermat telah mengubah satu-persatu arah laju dari senjata-senjata itu, membuat seluruhnya mengarah pada Leon.
Ketika Leon menyadari hal ini, barulah ia mengerti.
Ia tidak bisa lari.
Sebelum seluruh senjata yang ditembakkan dalam ruangan itu melesat ke arahnya, ia masih bisa melihat sosok wanita berambut putih pendek dengan balutan pakaian hitam-putih, yang tersenyum penuh kemenangan ke arahnya sambil bergumam kecil,
"Checkmate."
*****
-0-
Selalu ada masa tenang sebelum badai datang.
Dan bagi sang penyihir, masa tenang selama beberapa belas tahun sejak ia menemukan kehangatan itu kini telah berakhir.
Seiring dengan memuncaknya konflik perang di berbagai belahan dunia, keberadaannya yang tidak lagi mengelana mulai terendus oleh banyak pihak yang menginginkan dirinya untuk kepentingan mereka.
Beberapa utusan dari berbagai kerajaan mendatanginya.
Ada yang ingin meminjam kekuatannya, ada yang ingin memlikii petanya, ada pula yang ingin mengangkatnya sebagai petinggi sebuah negara.
Berbagai tawaran, permintaan, dan bahkan paksaan berbondong-bondong masuk seperti banjir yang tak bisa ia bendung.
Sang penyihir mengerti.
Sudah saatnya mereka berhenti bersembunyi.
Ia tahu, bahwa bila ia terus menerus menghindar seperti ini, bukan tidak mungkin keluarganya akan diincar sebagai sebuah kelemahan.
Maka ia membulatkan tekad, memilih untuk kembali menghadapi dunia, sebagai bagian dari kumpulan manusia.
Tapi sebelumnya, ia perlu menepati sebuah janji.
Tali keluarga ini belum benar-benar terikat tanpa sebuah upacara sakral bernama pernikahan.
Sesuatu yang mengabsahkan terbentuknya pasangan di hadapan Tuhan.
Dan kini tibalah saat baginya, untuk menggenapkan kebahagiaan kedua wanita yang telah lama bersedia menjadi pendamping hidupnya.
*****
-6-
[20]
[Adrenaline Rush].
Adalah sebuah istilah yang secara umum biasa digunakan untuk menggambarkan kemampuan yang mendadak meningkat dalam keadaan terdesak.
Dan bagi Leonidas Evilian Lionearth, istilah itu bukanlah sekedar istilah, melainkan suatu kemampuan tersendiri miliknya yang akan aktif ketika ia tahu nyawanya benar-benar dalam bahaya.
Seperti saat ini.
Semua senjata yang meluncur ke arah Leon, di matanya terlihat bergerak begitu lambat.
Tentu saja, sebenarnya waktu tidak melambat. Hanya saja kini impuls kecepatan dewa milik Leon sudah bangkit, memberinya kemampuan untuk menghindari serangan apapun yang ditujukan kepadanya.
Bahkan sekalipun kakinya tak bisa digerakkan, seluruh anggota badannya meliuk lincah dengan gerakan yang tak mampu ditangkap oleh mata.
Dan saat semua serangan itu berakhir, tidak ada satupun benda tajam yang berhasil bersarang di tubuh Leon.
"—!? Mustahil!?"
Ya, mustahil. Bagi orang biasa, mungkin apa yang baru saja dilakukan Leon terlihat mustahil.
Tapi Leon yang sekarang tidak berminat membalas keterkejutan pasangan pria dan wanita yang menyerangnya. Ibarat sebuah mobil tua, kini mesinnya sudah panas, dan ia ingin segera membuat perhitungan dengan menyelesaikan pertandingan ini.
Begitu lampu padam, Leon mencoba menggerakkan kakinya.
"…masih dikunci, eh…"
Leon pun mengambil dua buah kristal sihir dari sakunya.
"[Raging Bash]."
Di dalam kegelapan, tubuh Leon mendadak berpendar dengan aura kemerahan.
Sihir yang baru saja ia gunakan membuat kekuatan fisiknya menjadi digandakan. Meski kakinya menempel erat dengan tanah, ia menggerakkan tumit dan paha seperti melangkah dengan sekuat tenaga.
Dan kali ini, tanah yang menjadi pijakannya ikut terangkat – membuatnya dapat bergerak kembali meski mendapat tambahan alas kaki.
Leon sadar pendaran cahaya ini membuatnya menjadi target yang mudah diincar. Tapi kalau memang ingin menyelesaikan pertarungan ini, bukankah lebih cepat lebih baik?
Leon menggunakan kristal sihir keduanya.
"[Rushtio]."
Tak cukup dengan meningkatkan kekuatan fisik, Leon menambahkannya dengan peningkatan kecepatan menggunakan sihir kedua.
Kini aura biru muncul untuk menyelimuti, bersatu padu dengan aura merah membentuk pendaran cahaya ungu yang menyala-nyala.
Sekarang, hampir setengah dari ruangan ini diterangi dengan cahaya yang berasal dari pendaran tubuh Leon.
Tidak butuh lampu atau menunggu garis cahaya itu muncul lagi. Leon sudah bisa melihat kedua lawannya di ujung ruangan sana.
Sekarang saatnya melakukan serangan balasan!
Baru saja kepala Claude sampai ke tempat Claudia berdiri, dari ujung ruangan tampak sesuatu mengeluarkan cahaya yang begitu menyilaukan.
Claude dan Claudia menoleh ke arah sumber cahaya, dan mendapati lawan mereka kini sudah terbebas dari jeratan kaki yang dibuat Claudia, menatap ke arah mereka sambil menyeringai lebar.
Baik Claude dan Claudia saling bertukar pandang.
"Ini jadi mengingatkanku dengan lawan kita di pertandingan pertama… Punya jurus kalap dan kemampuan aura…"
"Bukan waktunya bicara soal itu. Dia datang!"
Leonidas Evilian Lionearth melesat menerjang seperti kuda perang.
Ia melangkah bagai tak perlu berpijak pada tanah, meluncur dengan kecepatan yang tidak terukur.
Satu hantaman bertenaga besar ia layangkan pada tubuh lawannya, yang sialnya berhasil lolos dengan berguling ke samping.
Diiringi suara yang bahkan lebih keras daripada sebuah ledakan biasa, Leon menabrak dinding yang ada di depannya.
Seketika itu pula, dinding itu remuk seperti baru saja terkena tinju seorang raksasa.
Leon membalikkan badannya, puas melihat keterkejutan lawannya yang tak bisa mereka sembunyikan lagi.
Kali ini ia menjejak ke dinding, kemudian melompat ke langit-langit, lalu bertolak untuk melancarkan sebuah serangan dari udara bagai meteor jatuh ke bumi.
"—!?"
Wanita berjubah hitam-putih sontak mengangkat kedua tangannya, berusaha menahan serbuan Leon dengan sesuatu yang tak bisa ia lihat wujudnya.
Namun percuma saja.
Meski wanita itu bisa menahan serangannya, ia tidak bisa menahan gaya yang ditimbulkan oleh serangan itu sendiri.
"Shaaaa!!"
Leon berayun di udara, membuat sang wanita tak kuasa lagi bertahan dan terdorong mundur ke belakang.
Serangan Leon tidak berhenti di situ. Tidak, dia bahkan tidak berniat untuk berhenti bergerak hingga ia memastikan lawannya habis.
Kembali kakinya menendang tanah, menyerbu dalam satu lintasan lurus.
Sang wanita kembali berhasil menahan serangannya, tapi Leon bergerak lebih cepat lagi dan memutari sang lawan hingga mereka bertukar posisi.
Wanita itu tak sempat melakukan apa-apa, saat Leon mengayunkan bagian belakang pedangnya ke punggung si wanita, membuatnya terpelanting jauh ke ujung ruangan.
"Claudia!"
Kepala pria kekasih wanita tersebut melayang menghampirinya di ujung sana. Sayangnya, Leon tidak ingin memberi kesempatan bagi lawannya untuk melakukan apapun selain menerima serangan darinya.
Sekali lagi, Leon menyerbu maju.
Ia memukul kepala si pria dengan bagian samping pedang seperti seorang anak tengah memukul bola kasti. Kepala itu jatuh tak jauh dari sang wanita, tampak segera kehilangan kesadarannya.
Melihat kedua lawannya tersungkur tak berdaya, Leon tersenyum puas.
Sejujurnya, Leon tidak merasakan emosi seperti kemarahan saat melakukan semua ini. Ia cuma mendapatkan ide melakukan hal ini justru karena kepala si pria melakukan hal yang sama dengannya, jadi ia ingin menirunya saja.
Sayang ia sudah beberapa kali memakai sihir [Explosion], sehingga tidak lagi bisa menambahkan efek ledakan pada pedang bergagang pistol miliknya. Bagaimanapun juga, dengan tambahan dua sihir tipe dopping, Leon tidak mau terlalu menguras tenaganya habis-habisan hanya untuk menyelesaikan pertarungan ini.
Sekarang, ia hanya perlu memberikan satu serangan penghabisan untuk mengakhiri nyawa sang lawan.
Sebenarnya ia enggan melukai perempuan, tapi apa boleh buat. Yang kuat harus memakan yang lemah. Kalau tidak begitu, dunia akan berhenti berputar.
Ketika ia melangkah untuk menghampiri kedua lawannya, tiba-tiba saja lampu kembali menyala.
"Cih, bikin silau saja."
Berusaha untuk tidak terganggu dengan garis-garis cahaya yang muncul, Leon kembali melangkah maju.
Akan tetapi…
"Ng?"
Sebilah belati tajam meluncur ke arahnya.
Ia masih bisa menghindar dengan sedikit menggerakkan badan.
Kemudian datang bilah belati yang lainnya.
Kali ini mau tidak mau ia harus berpindah posisi dari tempatnya berdiri.
Lalu datang bilah belati yang ketiga, keempat, dan kelima…
….semua tembakan ini tidak berhenti mengincarnya.
Leon sudah tahu siapa pelakunya.
Ia melihat ke ujung ruangan, di mana si wanita bersandar dengan lemah kepada salah satu dinding sambil mendekap erat kepala kekasihnya yang berlumuran darah dari dahi.
Leon tertawa pelan.
Kelihatannya mereka sudah tidak sanggup lagi bergerak bebas, sampai harus mengandalkan senjata dalam ruangan ini sepenuhnya hanya untuk melawan Leon.
…atau begitulah pikirnya, ketika melihat wanita itu kemudian jatuh tersungkur, masih sambil memegangi kepala di dada seperti seorang ibu merangkul bayinya dalam keadaan menelungkup.
"…jadi bukan mereka? Lalu kenapa…?"
Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan Leon saat ini.
Masih sambil menghindari setiap serbuah senjata yang datang, Leon kemudian bertanya dalam hati.
Kalau kedua lawannya sudah kalah, kenapa pintu untuk keluar belum muncul juga?
*****
-0-
Mereka tidak memerlukan pernikahan yang mewah.
Mereka tidak memerlukan kekayaan yang melimpah.
Namun ketika hari itu datang, sang Takdir yang tidak diundang justru memberikan sebuah kemalangan.
Hari yang harusnya menggenapkan kebahagiaan mereka, berubah menjadi malapetaka saat banyak pihak datang dan bertikai.
Perang. Perang belum berhenti, dan kini merambah ke tempat ini.
Benar-benar waktu yang buruk.
Tetapi yang lebih buruk lagi, adalah kenyataan bahwa sang penyihir sekalipun tidak bisa mengendalikan kekacauan dalam skala sebesar sebuah perang.
Pedang-pedang terhunus. Senjata api meletus. Seluruh tempat tiba-tiba hangus.
Semua datang dan berlalu bagaikan badai.
Ia tidak tahu siapa yang memulai. Ia tidak pernah peduli siapa yang bertikai. Ia hanya tahu bahwa dirinya telah lama ingin lari dari semua ini, bila tidak ada juga yang bisa membuat perang cepat berhenti.
Namun ketika kesadarannya kembali, semua sudah terlambat.
Di hadapannya kini, empat tubuh tak bernyawa melenyapkan semua mimpinya yang tersisa.
*****
-7-
[25]
Jawaban dari pertanyaan Leon sangat sederhana.
Aturan dari pertandingan kali ini adalah 'bunuh lawan dalam 30 menit, dan pintu keluar akan muncul'.
Itu berarti, Leon perlu membunuh kedua lawannya. Itu saja yang perlu ia lakukan untuk keluar dari ruangan ini.
Tapi itu tidak lagi menjadi sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
"Sialan…"
Leon mengumpat pada keadaan ini.
Sihir [Raging Bash] miliknya telah habis waktunya, dan sebentar lagi, [Rushtio] pun akan ikut berhenti.
Kalau memang hanya perlu membunuh lawan, mungkin itu urusan gampang.
Yang membuatnya sulit adalah fakta kalau ruangan ini tidak juga berhenti menembakkan proyektil benda tajam sedari tadi.
Leon menghindar, menebas, melompat, berputar, berguling, dan mengayunkan senjatanya nyaris tanpa henti sejak lampu di ruangan ini menyala dan tidak lagi padam seperti sebelumnya.
Kenapa semua ini terjadi? Apa memang sudah aturannya, kalau mendekati akhir, serbuan senjata tajam ini menjadi semakin tidak terkendali?
Susah payah ia mengatur napasnya yang lemah. Staminanya kembali terkuras, membuat Leon menyesal tidak menghabisi lawannya lebih cepat.
Sekilas ia melihat keadaan lawannya. Si wanita masih dalam posisi janin, meski kini beberapa buah belati bersarang di tubuhnya. Anehnya, tidak ada belati yang mengenai kepalanya, padahal ia tidak berpindah posisi sama sekali.
Apakah wanita itu masih hidup? Bagaimana dengan kepala kekasihnya?
Ah. Ini bukan waktunya memikirkan orang lain.
Leon tidak tahu berapa menit waktu yang sudah berlalu sejak ia merasa seperti sedang bertarung dengan ruangan ini alih-alih bertarung dengan lawannya.
Ia lelah. Konsentrasinya pun nyaris pecah.
Meski gerakannya masih cepat karena efek [Rushtio], dan refleksnya luar biasa dengan aktifnya [Adrenaline Rush], tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Leon dalam keadaan ini selain berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.
Serbuan itu tidak berhenti hingga Leon merasa muak dan tiba di ambang batas.
Ia tidak tahu berapa lama waktu yang tersisa hingga 30 menit berakhir.
Sekali lagi ia melihat ke arah lawannya, yang entah masih bernyawa atau tidak.
Kelihatannya tidak. Ya, anggap saja tidak. Toh dia sudah tidak kelihatan bergerak lagi.
Leon masih ingat pertandingan pertamanya. Seingatnya, ia juga mati di pertandingan itu, tapi toh kemudian ia dihidupkan kembali. Berarti ini semua pada dasarnya memang soal siapa yang berdiri di akhir.
Peduli setan dengan aturan harus membunuh lawan.
Tidak ada yang bilang ia menang kalau membunuh lawan.
Malaikat itu cuma bilang pintunya muncul kalau ia membunuh lawan.
Ya sudahlah. Toh ia sudah benar-benar lelah.
Menghabiskan seluruh tenaganya untuk mati-matian mengelak dari matu itu benar-benar sesuatu yang merepotkan…
Badannya terasa pegal. Punggungnya mulai terasa sakit lagi. Dan yang jelas, ia sudah tersengal-sengal sejak tadi.
Biarkan aku beristirahat barang sejenak, pinta Leon dalam hati.
Leon pun berhenti bergerak.
Akhirnya ia bisa mengambil napas dalam-dalam.
"…haaaahhh…."
Napas terakhirnya, sebelum kemudian puluhan belati tajam serentak datang menghampiri.
Claude..
Maaf sudah menyalahkanmu sebelumnya.
Ternyata aku tidak lebih baik darimu.
Tidak bisa memenangkan pertandingan ini semudah yang kukira.
…sebenarnya aku berniat pura-pura mati, lalu melancarkan serangan kejutan di akhir.
Tapi ternyata aku gagal….
Yang bisa kulakukan saat ini, hanyalah melindungi kepalamu dengan tubuhku, dan kepalaku sendiri dengan kemampuanku.
Tapi bagaimanapun juga….badan ini tetap merasakan sakit.
Entah berapa belati yang sudah tertancap di tubuhku ini, ketika aku mengerahkan seluruh tenagaku hanya untuk diam dan memastikan kepala kita berdua baik-baik saja.
Sebelum aku mungkin akan jatuh pingsan, aku masih sempat melihat lawan kita diserang oleh rentetan senjata tajam…dan dia jatuh kehilangan nyawanya.
Hei, bukankah itu berarti kita yang menang?
Kita menang, Claude! Kita menang…
Ugh.
Rasa sakit ini makin tidak tertahankan…
Berapa banyak sebenarnya belati yang ditembakkan ke sini?
Sayang kau sudah kehilangan kesadaran.
Padahal di saat terakhir seperti ini, masih ada yang ingin kukatakan.
…kelihatannya sebentar lagi aku akan kehilangan kesadaran juga….
Kalau kemampuanku berhenti…kuharap tidak ada senjata yang mengenai kepala ini.
Kalau kita mati…apakah kita akan dihidupkan sekali lagi?
Kita masih akan maju, kan?
Mimpi itu masih ada, bukan?
…ah. Sudah cukup. Aku tidak tahan lagi.
Maaf, biarkan aku ikut menutup mata bersamamu…
Claude…
Claude,
Kau akan ada di sana saat aku membuka mata, kan?
….Clau….
*****
-0-
Pada hari itu, sang penyihir berkenalan dengan kesedihan.
Sang penyihir menangis tanpa henti, membiarkan airmatanya terus membasahi bumi.
Ia tak lagi mengenal perasaan selain duka.
Tidak ada lagi rasa suka, bahkan tidak sempat ia merasakan murka.
Hatinya seperti direnggut oleh sesuatu yang tidak ia mengerti, meninggalkannya dalam kehampaan yang begitu dalam.
Ia terus menangis, tak tahu bagaimana mengobati luka di hati ini.
Ia mencoba semua sihir yang ia miliki, berharap mungkin di antaranya ada yang dapat mengembalikan mereka yang ia cintai.
Ia larut di dalam kebingungan, terombang-ambing di tengah kesendirian.
Dalam kebingungannya, ia menghancurkan setiap kerajaan yang ia lalui.
Dalam kesendiriannya, ia meratakan semua hutan dan gunung yang ia lewati.
Ia mencoba berbagai hal, membawa empat tubuh yang dingin dan tak lagi memberinya kehangatan.
Hingga akhirnya ia menemui kebuntuan.
Ia merasa tersesat.
Tersesat di atas bumi yang sudah ia kelilingi, dengan peta yang kini tidak ada lagi harganya di matanya.
Saat ia tidak tahu harus berbuat apa, airmatanya telah menguras habis semua tenaga yang tersisa dari jiwa.
Dan saat itulah, dunianya berubah menjadi hitam sepenuhnya.
*****
-8-
[30]
Tepat tiga puluh menit telah berlalu sejak kedua peserta memasuki ruangan Khramanaka-13.
Dua buah lubang seukuran sebuah pintu muncul dari dua sisi dinding ruangan tersebut, dan dari luar, masuklah dua Hvyt yang mengantarkan kedua peserta di awal pertandingan.
Kedua malaikat merah itu saling bertukar pandang.
"Ruangan ini berantakan sekali."
"Mungkin frekuensi senjata yang ditembakkan menjelang akhir terlalu brutal."
Mereka lalu memeriksa peserta yang masing-masing dari mereka bawa.
Leonidas Evilian Lionearth mati dalam keadaan tersenyum. Di sekujur tubuhnya, tertancap puluhan belati yang membuat tubuhnya bersimbah darah. Otot-ototnya meregang kaku, seperti baru saja digunakan untuk menarik sebuah beban yang sangat berat. Pasti efek kelelahan yang luar biasa ditambah kombinasi dopping.
Sementara itu, lawannya…
Keadaan Claudia Neuntzmann tidak jauh berbeda, ditambah beberapa belati yang menancap di kepalanya hingga rambut putihnya kini merah oleh darah. Ia mati dalam keadaan merangkul kepala sang kekasih, Claude Higglfiggr, yang di keningnya terdapat sebuh luka serta lebam yang cukup besar. Tapi yang jelas, kini keduanya sudah tidak lagi bernyawa.
"Lalu bagaimana dengan pemenangnya? Dewa tidak mungkin terima hasil seri begini."
"…tunggu, kau lihat itu?"
Kedua Hvyt menoleh ke arah tubuh salah satu peserta.
Tubuh Claude dan Claudia – sang dullahan ganda – mendadak bergerak dengan sendirinya.
"…dia masih hidup?"
"Berarti dialah pemenangnya. Baguslah, ternyata pertandingan ini tidak berakhir membosankan."
Hvyt yang sebelumnya membawa Claude dan Claudia sedikit ragu. Ketika ia memeriksa mereka tadi, tampaknya mereka berdua sudah bisa dipastikan meninggal dunia. Lalu kenapa tubuh ini masih berdiri?
"Claude dan Claudia, dengan ini kalian dinyatakan memenangkan ronde ketiga," ujar salah satu Hvyt menghampiri, sementara Hvyt yang satu lagi membopong mayat Leon. "Mari ikuti kami."
Dengan satu gerakan mengangguk, tubuh tanpa kepala itu mengambil kedua kepala miliknya dan mengikuti Hvyt dari belakang dalam diam.
Kedua malaikat merah itu tidak memperhatikan, bahwa kedua kepala yang dibawa oleh badan tanpa kepala tersebut tidak pernah lagi membuka mata mereka.
*****
Closed Curtain
Hitam.
Warna itulah yang pertama kali menyambutnya ketika ia membuka mata.
Ia melihat ke sekeliling, tidak menemukan apapun selain ketiadaan.
Apakah dirinya sudah mati?
Seolah hendak menjawab pertanyaan yang muncul di kepala, sebuah suara tiba-tiba terdengar membahana, entah datang dari mana.
"Selamat datang, Haundall sang Penyihir Ruang."
Spontan ia berusaha bangkit ketika mendengar suara yang begitu mengintmidasi ini. Namun kemudian barulah ia menyadari, bahwa meski kesadarannya telah kembali, ia bahkan tidak bisa melihat tubuhnya sendiri di dalam balutan warna hitam ini.
Akhirnya ia hanya bisa bertanya,
"Siapa kau?"
"Siapa aku? Heh. Derajat namaku terlalu tinggi untuk dikenalkan pada mahluk rendahan seperti kalian. Tapi kalau memang harus punya sebuah sebutan, mungkin kau bisa memanggilku sebagai [Sang Kematian]."
Suara yang tidak ia kenal membalasnya dengan angkuh.
"[Sang Kematian]? Apa itu berarti, aku sudah mati? Kalau begitu, bisakah kau pertemukan kembali aku dengan keluargaku?"
"Stop. Berhenti di situ. Jangan merasa dirimu istimewa hanya karena aku sedikit tertarik denganmu," ujar suara itu mencemooh. "Asal tahu saja, aku hanya mengundang jiwamu ke sini, karena sudah lama menginginkanmu sebagai abdiku. Apakah kau tertarik menjadi abdi setiaku?"
"…apa maksudmu?"
"Hm, biar kujelaskan secara sederhana. Kau tahu, manusia itu beranak pinak secepat kuman berkembang biak di zaman ini. Kadang aku merasa kerepotan mengurus mereka, karena itulah aku mulai berpikir untuk..hmmm..menambah beberapa orang personil. Tertarik?"
"Kenapa aku harus?"
"Bukan harus, tapi ingin," kali ini suara itu berbicara dengan nada yang lebih jenaka. "Kau akan menginginkannya. Kenapa? Karena sebagai ganti pertukaran jiwamu menjadi abdiku, aku akan mengabulkan satu permintaanmu yang masih berada dalam cakupan kemampuanku. Sebagai contoh, menghidupkan mereka yang baru saja mati dan jiwanya belum kubawa ke dunia sana, misalnya."
"…."
Ia tidak tahu siapa pemilik suara ini, tapi pemilik suara ini pasti tahu apa yang terjadi pada kehidupannya yang malang.
"Aku mengerti," ujarnya membulatkan tekad. "Kalau begitu, sebagai ganti nyawaku, tubuhku, kemampuanku, dan semua ilmu pengetahuanku, aku mohon, hidupkanlah kembali keempat anggota keluargaku."
Bila ia bisa melihat tubuhnya sendiri, ia bahkan tidak akan ragu untuk bersujud di hadapan siapapun yang memberinya penawaran ini.
Akan tetapi…
"Ditolak."
"…apa?"
"Oh, maaf. Aku tidak bermaksud sepenuhnya menolak kesediaanmu," ujar suara itu mengoreksi ucapannya. "Tapi dengan apa yang bisa kau tawarkan, aku hanya bisa memberimu kesempatan untuk menghidupkan dua dari empat nyawa yang hilang."
"Hanya dua?"
"Ya, dua. Bukankah aku begitu murah hati? Karena satu lebih baik dari dua."
"Ta, tapi…"
Mendadak ia merasa mulutnya tak lagi mengeluarkan suara. Sementara itu, suara [Sang Kematian] kembali berbicara,
"Kalau kau memilih untuk menghidupkan kedua wanita itu, berarti kau adalah ayah yang tidak berperasaan dan memilih untuk membunuh darah dagingmu sendiri."
Suara itu terdengar sangat menikmati penjelasan ini.
"Kalau kau memilih untuk menghidupkan kedua anakmu yang masih bayi, itu berarti kau tidak menepati janji pada kedua wanita itu untuk mengucap sumpah sehidup semati."
Ia bahkan dapat mendengar suara itu terkekeh kecil di antara penjelasannya.
"Kalau kau memilih untuk menghidupkan hanya salah seorang wanita dan anaknya , itu berarti kau orang yang pilih kasih dan tidak mencintai kedua wanita itu secara adil selama ini."
Dan setelah itu, barulah ia merasakan kalau ia bisa berbicara kembali.
Segera saja ia kembali berbicara pada [Sang Kematian].
"Tidak adakah ruang bagiku untuk melakukan penawaran?" tanyanya penuh harap.
"Kau tidak punya posisi untuk negosiasi," ujar suara itu ketus. "Kau meminta, aku menawarkan. Aku sudah sangat berbaik hati memberimu kesempatan, dan bahkan pilihan. Tinggal bagaimana kau membuat sebuah keputusan untuk kelanjutan cerita ini di masa depan."
Sebagian dari harapannya pun kembali hilang.
Tapi kali ini, ia tidak mau lagi berlartu-larut dalam keputusasaaan. Pasti ada satu jalan…
"Jadi, bagaimana?"
Ia kembali memikirkan kedua wanita yang mengisi kehidupannya dengan kebahagiaan. Membayangkan apa yang akan mereka katakan padanya bila tahu ia dihadapkan dengan pertanyaan seperti ini.
Dan pada akhirnya, ia berusaha untuk mengambil jalan yang menurutnya adalah yang terbaik.
"Aku memilih…."
Ia menyebutkan pilihannya, dan seketika itu pula, seluruh warna hitam berubah menjadi padang gersang yang tidak berujung, di bawah langit gelap yang kelam.
Suara [Sang Kematian] terdengar penuh tawa yang riang.
"Terima kasih!" ujarnya lantang. "Mulai sekarang, namamu bukan lagi Haundall sang Penyihir Ruang. Aku akan memberikan nama baru bagimu… 'Dullahan'. Dullahan sang Pembawa Pesan Kematian!"
Bersamaan dengan itu, suara tersebut tak lagi terdengar, lenyap bahkan tanpa gaung yang tersisa.
Ia yang telah berganti nama memandang ke sekeliling, seraya memikirkan percakapan apa sebenarnya yang baru saja ia lalui.
"….maafkan aku, Claudelle, Claudiane…."
Ia ingin menangis sekali lagi.
Ia tidak tahu apakah pilihannya tepat, tetapi ia tahu bahwa ia sudah tidak mungkin kembali kepada kebahagiaannya yang dulu.
Sayang, ia sudah tidak bisa lagi meneteskan air mata.
Jangankan menangis, ia bahkan tidak akan pernah bisa mengenali dirinya sendiri di depan cermin.
Karena ia tidak lagi memiliki sebuah kepala.
*****
za warudo! kirain bakal benar2 panjang, ternyata yang bikin panjang itu flashback2 yang disisipkan di dalam cerita. Pertarungan yang panjang dan padat dalam 30 menit, dan plot twist waktu Leon tiba2 berserk bikin kaget, apalagi ada jeda flashback yang bikin orang ngira kalau ceritanya udah tamat. Ternyata di akhir dua2nya mati, tapi sayang karena tubuhnya abadi jadi akhirnya pemenangnya CC, luar biasa.
ReplyDeletenilai 8/10
Lho, ternyata saya belum bales komen yang ini
DeleteYa sudahlah, mewakili semua yang udah meninggalkan poin, saya ucapkan terima kasih udah berkenan mampir~
Kenapa sih kepala Claude harus dibungkus ruang kosong untuk dijadikan penyerang? Apa dengan begitu CC jadi bisa lihat Leon? Tapi bukannya ruangannya uda gelap, jadi walo dari deket tetep ga kelihatan?
ReplyDeleteAh, ane suka ma cerita garis miringnya (cerita si penyihir ruang), pas awal-awal mirip kisahnya Reeh. Sebagai manusia abadi yang memiliki kekuatan dahsyat, semua orang memperebutkannya. Lalu mereka yang tak bisa memilikinya menjadikannya sebagai ancaman dan mulai berusaha memburunya.
Jadi ternyata Claude dan Claudia itu saudara seayah beda ibu? Dan badannya adalah Haundall? Twistnya keren, jadi sejak pertama ada tiga identitas yang bertarung.
Cuman ane malah lebi suka cerita garis miringnya ketimbang battlenya sendiri. Narasinya jelas, tapi ga tahu kenapa pas baca kerasa lama. Alur dan strateginya berkesan manjang-manjangin biar tiap 5 menit ada adegan untuk diceritakan sampe menit ke 30, seperti kegagalan Claude sampe 3 kali itu. Tapi twist tamatnya cukup oke, meski rasanya kurang sreg ama matinya Leon yang nyerah gitu aja.
Ane kasi nilai 8, lebih 1 dari entry Leon, karena narasi pertarungannya lebih jelas.
DeleteKepala claude + bungkus geometry block = invincible bullet. Take a note kalau kepala mereka = titik lemah mereka, jadi dengan dibungkusnya kepala claude, dia bebas nyerang tanpa perlu takut celaka. Dan kayanya saya ga bilang dengan gitu mereka jadi bisa ngeliat; mereka tau posisi leon karena dia teriak manggil mereka
DeleteBerkesan manjang"in, eh... On my defense emang saya kalo bikin battle selalu ngebagi part biar enak ngebayanginnya, the same could be said with ursa's entry. Claude sampe gagal 3 kali karena emang setelah dipikir lagi, setting ini bikin dia super useless. Dia hesitate buat langsung gantian sama claudia karena ga enak nemu kegagalan, meski akhirnha mesti nerima kenyataan pas udah sampe 3 kali. Dan soal leon, di charsheet jelas kalo kelelahan = kelemahan terbesar dia, plus dari dua ronde sebelumnya jelas dia tipe peserta angin"an yang ga serius soal menang-kalah, dikonfirmasi sama penulisnya. Maaf kalo antiklimatik, but it was necessary for me to depict it that way
Yang soal kepala Claude, kalau mau lebih aman kenapa ga geometry blocknya aja yang digerak-gerakin, kepalanya disembunyikan di tas? Atau apa kalau gitu geometry blocknya ga bisa gerak?
DeleteMemang logis juga percobaan tiga kali tapi gagal tiga kali, tapi ngga tahu gan, kesan itu ga bisa hilang. Kalau Ursa kan meski dibagi ronde tapi tiap ronde ada perkembangan alur pertarungan, jadi kesannya memang di tiap rondenya itu perlu untuk mencapai konklusi.
Tas punggung mereka udah ga ada dari r2 - bahkan udah ga saya sebut" lagi di entri ini. Plus, emang perlu kendali kepala Claude biar ngontrol geometry block itu lebih leluasa buat serangan trial and error.
DeleteSebenernya saya pribadi ngerasa saya udah ngasih konklusi di tiap pemenggalan part, mostly failed attempt buat serangan emang - dan saya bisa ngasih copasan draft poin" battle ini dari note saya kalo mau. Tapi kalo yang diharepin escalating battle ala shounen manga kayak entri Ursa, maaf kiblat saya bukan ke sana, dan bukan battle kayak gitu yang pengen saya tekenin di sini.
All being said, rasanya lebih baik saya terima aja kalo impresi battle di entri ini emang lemah karena fokus saya di sini emang bukan itu.
Po:
ReplyDeleteMinusnya, kurasa ada di interaksi antara Leon dan CC yang nggak saling mengeksplorasi satu sama lain di luar per an mrk sebagai lawan tarung. Leon juga berkesan brutish dan reckless bgt pas nebas2 di tempat gelap, kesannya gak ada cara lain lagi utk nyariin CC.
Dan matinya Leon kurasa cukup lumayan, tapi nyerahnya itu yg bikin rada off, soalnya dia kan mau nyari Fia, kesannya tekad buat Fia dan Nely itu sama sekali gak muncul di adegan terakhir battle ini.
Plusnya, meski narasi battle dan emosi para karakternya masih terasa datar dan belum gripping, tapi udah ada peningkatan dibanding sebelumnya, Mas Sam udah lebih berani make perumpamaan. Kurasa ini peningkatan, krn berbagai macam karakter punya kesan sendiri thd pertarungan, thd suasana dsb, yg impressi itu bisa dituang dalam tulisan.
Dan, meski plot battlenya unreasonable krn interaksi karakter yg gak tergali, tapi plot kanonnya bagus. Kerangka ceritanya solid. Aku jd ngeh pas baca cerita ini bahwa penekanan plot yg rapi sangat penting.
Dengan ini, nilai dariku 7,3. Lebih 0,3 dari Leon
Bayangin kita ada di dalem satu ruangan super gelap.
DeleteBayangin selain kita ada orang lain dan kita disuruh bunuh orang itu.
Bayangin waktu kita ga banyak dan tiap menit selalu ada sesuatu.
Bayangin kemudian tiap sekian menit senjata tajam ditembakkin dalem ruangan, seolah nyuruh kita 'cepetan bunuh tuh musuh'.
Saya udah coba interaksi aktif-pasif dengan Leon manggil" CC sementara CC lebih waspada dan milih di keadaan gini ga usah banyak bicara, dan saya pribadi sih ngerasa itu udah pas sama settingnya. Kalo yang diharapkan adanya lengthy conversation macem Bara-Lazu dalam situasi kayak gini, maaf ga bisa memenuhi ekspektasi.
Kebalikan dari apa yang pemilik ocnya sendiri bilang, banyak yang ga suka akhiran dari Leon, ya... Technically saya ga ngerasa bikin dia 'nyerah'. Dia cuma milih buat berhenti karena lelah, dan ngira musuh udah bisa dibilang kalah. Yang saya tahu dari r1 Leon, meski Fia-Nely muncul sekelebat, pada dasarnya dia sendiri 'ga keberatan mati lagi'. Tapi kalau masih kurang ngena, mungkin kesalahan ada di saya.
Waaaaaa
ReplyDeleteAlur : 2/3
Okeeeeyyy, kelemahan mereka ada di kepala... Tapi itu cuma kelemahan 'mereka', ada kelemahan org lain yg gak disebutkan wkwkwkwk -_- orz
Idem ma om Po, battle nya berasa hambar >_< emosinya krg kerasa, paling pas akhir2 waktu Claudia yg mendadak jd kyk perempuan (?) meluk kepala cowoknya..
Battle dlm kegelapannya jg asik, mudah dibayangkan (padahal kan gelap?? XD) cma ya itu berasa hambar aja hiks ... Mgkin bener kata om Po (lagi) krn narasinya cuma cerita seputar mengalahkan, mengalahkan, dan strategi kemenangan, jadinya agak dull >__< walo ada sedikit hiburan masa lalu Leon yg tragis (duh, seram.. Utg ndak perna masukin oc self insert spt ini, berasa dikupas habis smp ke biji2nya (??))
.
Karakterisasi : 2/2
Engg... Sy suka ma Claudia yg spt itu hhe XD
Tpi ntah napa masi kerasa hambar niy.. Mgkin krn romensnya kurang? #plak
.
Gaya bahasa : 1,8/2
Ampuniii... Sy krg bisa nikmatin battle nyah... Malah cerita si penyihir ruang itu yg saya baca duluan #plak
Berasa krg nonjok ini narasinya ndak kya biasanya >__<
Typo n error : 1/1
Ndak ada typo ~
Hal-hal lain: 1/1
Tuuuhhh kaaaaannn, udh kuduga CC itu kakak adek!! =A=
Itu gmana nasip mamanya ??
Total poin: 7,8
Good luck kak Sam \ ^^ /
Huhu, narasinya ga enak, ya.. Kayanya saya jadi feel guilty juga, pas nulis rada pengen cepet selesein karena ga tahan nulisnya, kebanyakan bikin nangis sih #dasarcengeng
DeleteSaya bisa relate soal hambarnya. Ini udah penyakit lama - tulisan saya susah keliatan kayak punya 'hati' di dalemnya #plak
Perkembangan CC dari R1 lumayan menarik menurut saya. Selain kemampuan berubah, sekarang bentuknya yang berubah. Baru sadar Haundall itu anagram sekarang.
ReplyDeleteYang masuk akal di sini adalah si Claude yang ngerasa frustasi. Memang memalukan kalau battle teamwork tapi ngelakuin kesalahan terus, apalagi kalo teammatenya orang yang dicintai.
Karakter lawan digambarin dengan baik dari gaya bicara sampe ngajak ngeteh. Kemampuannya juga banyak dipake. Battlenya juga jadi seru. Dibanding R1-nya yang saya baca, battle di R3 ini lebih ngotak. Menarik juga perbandingan sama game action klasik itu. Bikin saya jadi inget Mega Man. Tipe pertarungan yang mengasah kemampuan timing, dan daya tahan untuk bisa konsisten dalam melakukan serangan.
Yang mengganjal paling pembagian section yang rada banyak lapisannya ga sih? Dan selingan flashback yang banyak bikin saya rada skip2 bacanya. Tapi ini bukan berarti flashbacknya ngga menarik, lho.
8/10
Mega Man! (y)
DeleteFinally someone got the reference.
Seneng juga ada yang sadar berapa sering CC make analogi game dan tendensi buat mainan otak dalem battle >_<
Saya udah ngasih notice buat ngeskip yang diitalic kalo ngeganggu baca, dan saya motong" selang-seling gini karena buat saya lebih enak begini daripada semua ditumpuk di awal/akhir padahal rada unrelated. Plus, dengan ngasih flashback sebelum dan sesudah bagian akhir pertarungan, secara ga langsung saya udah ngejelasin siapa yang nge-occupy tubuh dullahan itu sekarang
Hauuu yang italicnya justru yang lebih seru T^T
ReplyDeleteini baru tragedi! XD~
on the mean time, battlenya... somehow agak di luar ekspektasi. somehow semuanya agak terlalu mengandalkan atau berporos di 'ada atau tidaknya cahaya'. dan karena itu gw agak bingung, tipe ledakan Leon itu just sound aja atau ada cahaya? cos, dalam bayangan gw, ledakan bisa bikin lawan saling tahu posisi karena adanya sumber cahaya dadakan (that is if ledakan yang dimaksud juga include sparks). ah well, gara2 ini kenikmatan baca agak berkurang. tapi ya, akhirnya asumsi ini gw lepas aja dan coba nikmatin ( but still...)
however, momen emosionalnya bikin gw jadi lebih puas sih. pada momen akhir, Claudia mati karena ngelindungin Claude. that's gold T^Tb
demo sa, kalau Claude dan Claudia mati... gimana dengan charsheet ntar ya?
nilai: 8
P.S: kalau ini tragedi yang maw lu kasi unjuk ke gw Sam, then i say "DAMN GOOD" ^^b apalagi pas Dullahan harus milih dua di antara empat.
BTW, ini lore asli Dullahan atau lu create sendiri?
Huhu, banyak yang ga suka battlenya ya.. Padahal saya sengaja bikin gitu karena manfaatin gimmick ruangan ini + ngasih feel game action platformer (kayak r1 pake feel rpg klasik). Maa ii ka
ReplyDeleteDan seperti biasa, dari dulu kau seneng merhatiin detil" pertarungan kayak di Roger ya.. Saya malah ga kepikiran semua yang kamu bilang itu #plak
Charsheetnya jelas perombakan besar"an, tapi hey, bukan saya doang lho di ronde ini yang bikin karakternya 'berubah'
Soal dullahan, itu murni lore bikinan sendiri. Btw oot, CC ini origin-nya shared universe sama AN, jadi emang sekalian ngebangun setting mahluk" aneh di sana www
wkwkwk ya tiap orang beda fokus sih. makanya range nilai juga bisa beda2 IMO gara2 yang diliatnya beda2 ^^;
Deletewell soal charsheet, not that i really mind though. toh dia bisa bikin CC still as CC as usual, toh kanon mereka ndiri. *lirik Ursa* (dan keknya gw juga gt sih :v )
hoo, keren kalo gt. tapi entah kenapa kok gw ngerasa deja vu y? kek pernah nulis ini komen dan baca soal Dullahan itu >.<
eeto, AN yang versi AlterNate udah ada ya? gw cma ingetnya yang Esper, imortal, Roger, Fort, dan yang isinya manusia ber'kekuatan' ajah. yang gw miss di mana ya? >.<
Ngga usah dipikirin, kayanya emang saya belum pernah cerita. Di antara 7 tokoh utama AN kan ada yang immortal, nah arc dia nanti main villain-nya adlah vampir yang ngebunuh CC. Gitu doang sih sebenernya
DeleteToo much flashback cut in one story, just not my taste. Saya suka battlenya, karena lebih banyak mengeksplor kelemahan char sendiri. Well, saya selalu suka battle mati-matian yang ga imbang, selama pihak yang terdesak ga menang dengan cara "teriak makin kenceng yang bikin makin kuat power" ala shonen~
ReplyDeleteScore 8
@bang zoel (kenapa tadi komennya malah komen terpisah bukan reply? orz)
DeleteMaafkan...tapi flashback ini emang mesti ada no matter what
Haha, saya bukan tipe yang mainan battle ala shounen sih. Lebih seneng tiap battle ada satu tema atau gimmick tertentu daripada sekedar adu jotos full frontal
"Jadi bagaimana menurutmu Umi?" Sam Riilme, si author dari Claude dan Claudia itu menatapku sombong. Air mataku masih meleleh ketika mengetahui kejadian tragis yang menimpa Claude dan Claudia. Aku tidak tahu mereka adalah sepasang kekasih yang sedarah.
ReplyDelete"Umi ga tahu kak.. Cerita ini terlalu dalam. Umi bahkan tak bisa menilainya."
"Umi kau harus mulai terbiasa untuk menilai karya orang lain." Author pendiam itu akhirnya menyedekapkan tangannya menanti komentar dan nilai dariku untuk cerita sepasang kekasih ini. Aku bingung mau komentar apa. Ceritanya benar-benar membuatku sempat menangis.
"I-iya sih.. hemm.. gini.. Bagi Umi plotnya yang dipotong-potong antara masa lalu dan masa sekarang itu keren banget. Apalagi perpotongan ceritanya itu terkesan sejalan. Rasanya sedih. tapi sebel disaat yang bersamaan."
"Gaya bahasa yang kakak gunain juga enak banget. menambah kesan tragis yang Umi rasain pas baca. Bikin Umi ngerasa makin ngenes. Bagian favorit Umi waktu membayangkan Leon yang akhirnya merasa dia sudah menang ternyata malah kalah. Trus Karakterisasinya juga keren banget. ceritnaya juga konsisten .. Ugh.. udah umi bilang Umi ga tahu harus ngomong apa untuk cerita ini.." Akupun akhirnya mengusah bekas airmata yang masih membekas dipipiku.
"Jadi berapa nilainya Umi?" ucapnya dengan gaya yang dingin. Hey.. nih orang ga bisa nunggu sebentar apa.
" Oke.. nih rinciannya :
alur(max 2.0): 2.0
gaya bahasa(max 2.0): 2.0
konsistensi cerita (max 1.0): 1.0 Umi ga nemuin yang aneh aneh soalnya
bagian favorit ( max 1.0) : 1.0 Banyak banget yang bikin ceritanya ini kesan tragisnya dapet.
karakterisasi(max 2.0): 1.7 karena Umi suka banget Leon dan CC, walaupun Umi ga suka karena kemenangannya bukan karena CC tapi karena ada kemunculan karakter lain
kecepatan submit (max 2.0) : 1 (submit minggu kedua)
total : 8.7
"
"Good job Umi." Kak Sam pun berlalu membawa naskah tulisan CC dengan bangga tanpa memperdulikan Umi yang harus cuci muka karena matanya sembap. hiks.
Wih, akhirnya ada yang nangis juga selain saya sendiri #plak
DeleteThanks for the tears~
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete-Manikmaya-
ReplyDeleteDari dulu saya nunggu-nunggu adegan romens yang benar2 romens dari dua insan ini, tapi kok sampai sekarang belum nemu ya?
Flashbacknya kepanjangan? Yah, namanya juga waktunya dikit, jadi nggak ada cara lain untuk nambahin kesan selain flashback kan?
Tapi battlenya seru kok :D
Hum ... saya berharap ke depannya bisa kasih 10/10
Tapi untuk kali ini
8/10 dulu ya? :D
Entri ke-11, pas buat bikin timnas pas piala dunia :3
ReplyDeleteDan kak sam… awesome.
Setelah R2 yg awut2an (menurut saya), kak sam berhasil mengubah persepsi saya kembali soal CC. dan plot twist yg kak sam janjikan di awal ternyata bener2 bikin saya tercengang. Saya ga bakal cerita plot twist itu di sini (takut spoiler buat yg belum baca), tapi menurut saya, itu awesome.
Dan yg buat cerita ini awesome itu bukan hanya plot twistnya. Narasinya. Pilihan diiksinya. Alurnya. Side storynya. Satu2nya cela mungkin cuma di battlenya. Kalau yg saya tangkep sih, kesannya kayak dipanjang2in, biar ada celah buat nyisipin side storynya. Dan yg saya tangkap, battle kali ini hanya menjadi sebuah pengantar untuk masuk misteri selanjutnya. Well, ini jadi masalah kecil sih.. (menurut saya).
Kenapa?
Karena kak sam berhasil bikin “cerita” yg bagus. Bukan karena karakternya, tapi justru karena unsur ekstrinsiknya. Kalau boleh dibandingin, lascar pelangi itu unsut ekstrinsiknya jelek bgt. Bahasa, teknik penulisan, dll. Kritikus sastra bilang, itu layak masuk keranjang sampah. Tapi laku di pasar, jadi referensi di Australia, dinobatkan jadi buku terbaik di Indonesia. Nah, problemnya, CC justru kebalikannya. Memang sama2 bagus, tapi dalam hal yg saling bertolak belakang.
Itu aja sih kak yg jadi ganjalan saya selama baca entri CC. kalau boleh jujur, kesannya mereka kayak kekasih yg pengen hidup damai aja. Walaupun itu nggak mengurangi kesukaan saya ama CC.
Untuk nilai, saya ngasih: 8.5
Semangat kak :3
:*
ReplyDelete