June 4, 2014

[ROUND 3 - K10] MAYOR YVIKA GUNNHILDR - JUST ANOTHER DEATH

[Round 3-K10] Mayor Yvika Gunnhildr vs Salvatore Jackson
"Just Another Death"

Written by Herry P. Zulkarnaen

---

Kematian. Semua orang yang kukenal memiliki sepatah atau dua patah kata mengenai kematian, semuanya memiliki petuah dan sudut pandang masing-masing mengenai hal tersebut. Saking banyaknya, aku sampai bingung harus mulai dari mana mengenai kematian. Tapi ada satu orang yang memiliki jawaban unik saat kutanya mengenai kematian, dia kakekku.

Beliau pernah berkata kepadaku, kalau kematian itu ibarat kawanan serigala. Mereka akan selalu mengintai sampai kau lengah, dan bila mereka tidak bisa mendapatkanmu, mereka akan mengambil orang-orang yang kau sayangi di saat kau tidak menduganya.

Kala itu aku memang tidak terlalu mengerti akan maksud dari kata-kata kakekku, tapi sedikit demi sedikit aku mulai memahaminya saat aku bekerja di kemiliteran. Sejak di hari pertama diturunkan ke lapangan, aku selalu berurusan dengan kematian. Entah itu kematian rekan satu regu, atau kematian dari orang-orang yang kubunuh dalam misiku.

Saat berurusan dengan kematian, hanya ada dua jenis orang yang kutahu. Orang-orang yang terlahir untuk membunuh, dan orang-orang yang terlahir untuk… yah, apapun itu kecuali untuk membunuh. Banyak dari rekan-rekanku yang tak dapat tidur setelah pertama kali mereka membunuh dalam misi, beberapa dari mereka bahkan mengundurkan diri.

Pertama kali aku membunuh orang di saat aku berusia dua puluh tiga tahun, saat itu aku ditugaskan dalam pasukan yang sedang memburu teroris di daerah selatan. Bohong kalau kukatakan aku tidak takut saat itu, tubuhku gemetar hebat, dan aku nyaris buang air di celana sesaat sebelum kutarik pelatuk senapanku.

Di hari naas itu pasukanku sedang terlibat baku tembak dengan pasukan teroris dari arah timur, dan di sanalah aku melihatnya saat aku sedang mengganti magazen senapanku. Seorang bocah yang mungkin baru menginjak usia sepuluh tahun mendekat dari arah barat, tepat di belakang pasukanku. Terdapat belasan bom terikat di tubuhnya, dan aku tahu benar kalau bom itu akan meledak bila si bocah berhasil cukup dekat dengan posisi pasukanku.

Bocah itu menangis saat aku menodongkan senapanku dan memerintahkannya untuk menjauh, tapi anehnya ia terus berjalan mendekat sambil memohon agar tidak ditembak. Aku terus berteriak "Jangan mendekat!" kepada bocah itu, sampai akhirnya aku menarik pelatuk pada langkahnya yang kelima.

Anehnya aku tak merasakan kesedihan atau kemarahan di saat aku melihat bocah itu tergeletak bersimbah darah, hanya rasa senang dan lega yang hinggap di dadaku. Lega dan senang bukan karena kematian bocah itu, tapi karena aku masih hidup dan bernapas. Aku bahkan tak menyesal karena telah membunuh si bocah.

Untuk yang berikutnya, sama saja dengan yang kualami di hari itu. Aku tak merasakan apapun lagi tiap kali aku menghilangkan nyawa orang lain, tak ada penyesalan atau kesedihan yang kurasakan.

Walaupun aku tak merasakan penyesalan saat menghilangkan nyawa orang lain, bukan berarti aku menikmatinya. Tak sedikitpun aku menyukai dalam melihat atau melakukan pembunuhan, tapi ekspresiku terkadang menimbulkan kesalahpahaman di saat aku melakukan tugasku. Mereka mengira aku menyukai semua kematian yang kubawa kepada lawan-lawanku.

Aku bukanlah pembawa kematian, kematianlah yang terus mengikutiku.

***

Misiku kali ini adalah membunuh lawan di ruangan tertutup ini, sebelum air memenuhi ruangan dalam tiga puluh menit. Lawanku adalah seekor kera raksasa yang bisa bicara, bisa bernyanyi, dan terlalu banyak tingkah. Kalau tidak salah, ia bilang namanya Sal.

Sepuluh menit pertama di ruangan ini, Sal bernyanyi dan membuatku menari di atas genangan air dengan riang. Aku benci kera satu ini, tapi setidaknya aku jadi tahu kekuatan lawanku ini. Kera ini memiliki kekuatan yang berdasarkan suara dan irama, ia juga nampaknya dapat mempengaruhi cara berpikir lawannya. Karena di saat aku ingin menembaknya, tiba-tiba saja aku bingung dengan cara kerja senapanku, dan aku tidak ingat apa yang ia katakan sebelumnya.

"Nyonya Gun-hil-der, apa kau tidak lelah terus berdiri? Duduklah bersamaku," ajak Sal yang sedang duduk bersila di sudut ruangan, dan terlihat tidak terlalu peduli dengan ketinggian air yang terus meningkat. "Kalau begitu aku akan nya—"

"Sal, jangan nyanyi!" potongku langsung. "Lebih baik kau langsung bunuh aku saja sekarang, daripada kau membuatku kelelahan untuk tenggelam nantinya."

"Hei, kau kan tahu kalau aku tak akan melukai seorang wanita."

"Kalau begitu biarkan aku membunuhmu!"

"Mati itu tidak menyenangkan…"

Aku pun menghela napas panjang. "Kau tak ingin melukaiku, dan kemampuanmu membuatku kesulitan membunuhmu. Ini situasi yang sulit, mungkin kita harus berlomba menahan napas sampai salah satu dari kita mati lebih dulu."

"Aku pasti menang, aku bisa tahan napas lebih lama dalam air," timpal Sal sembari tersenyum.

Air sudah mencapai leherku saat ini, sebentar lagi aku sudah harus mulai berenang agar tidak tenggelam. Sementara itu si kera baru mulai berdiri, tubuhnya menjulang tinggi seperti sebuah menara. Kalau seperti ini mungkin aku duluan yang akan mati tenggelam. Karena sebelum air menenggelamkan kera ini, aku sudah lebih dulu kelelahan akibat berenang menunggu air mencapai kepalanya.

"Sambil menunggu lomba menahan napasnya, bagaimana kalau kau menceritakan lebih banyak soal dirimu, Nyonya?"

"Apa kau gila?! Sebentar lagi aku harus berenang, dan kau ingin agar aku membuang lebih banyak tenaga dengan curcol?!"

"Baiklah, apa kau ingin agar aku menggendongmu biar adil?"

"Tidak sudi!"

Dengan kata-kata terakhir itu, akupun membenamkan diriku ke dalam air. Semoga saja di bawah sini aku bisa berpikir lebih jernih, dan semoga saja aku akan dapat menemukan cara untuk melawan kera itu. Cih, bahkan di bawah air pun aku masih bisa mendengar gumaman kera itu.

Tunggu… gumaman?

Dengan penemuan tersebut aku pun muncul ke permukaan, kini aku harus mulai mengayuh kakiku agar dapat mengambang.

"Bagaimana, apa kau ingin kugendong sampai airnya penuh? Dengan begitu kau tak akan kelelahan sampai tiba waktunya kita berlomba menahan napas," tanya Sal dengan tangan terbuka seolah menyambutku yang baru muncul ke permukaan.

"Tidak terima kasih, tapi aku akan mencoba melawanmu lagi," jawabku sambil menarik napas panjang sebelum menyelam kembali.

Kuraih bedangku sebelum mulai berenang mendekati si kera, lalu saat ia sudah berada dalam jangkauan serangku, kutebaskan pedangku. Di luar dugaan, ia dapat menghindari seranganku dengan mudah. Ia dapat menghindar dengan cepat dengan ketinggian air yang merendam lebih dari setengah tubuhnya? Rupanya kekuatan si kera memang tak dapat kuremehkan.

Lagi kuayunkan pedangku di dalam air, lagi-lagi ia berhasil menghindarinya dengan bergeser lebih cepat dari seranganku. Memang setiap gerakanku menjadi melambat di dalam air, tapi seharusnya pergerakan si kera itu juga. Fakta bahwa ia bergerak lebih cepat dariku di bawah air, membuktikan kalau ia jauh lebih kuat dariku.

Selama beberapa serangan ia terus menghindar, sampai saat seranganku yang kelima. Ia menangkap lenganku lalu memuntirnya, tubuhku pun berputar di dalam air hingga pedangku terlepas dari genggaman. Sal mencengkeram rompi yang kukenakan lalu mengangkatku ke permukaan, meraih pedangku dari dalam air untuk kemudian melemparnya hingga menancap di langit-langit ruangan.

"Tolonglah, Nyonya, aku tak ingin melawanmu."

"Kalau begitu lepaskan aku dan biarkan aku membunuhmu," jawabku sambil berusaha meraih pisauku, namun Sal lebih dulu merebutnya dari bahuku. Pisau tersebut kini menemani pedangku di langit-langit ruangan.

Sial…

Senapan dan pistolku tak akan berfungsi setelah terendam air, dan kini senjataku hanya tersisa dua. Namun dengan jarak sedekat ini, mustahil meraihnya tanpa terebut oleh si kera.

"Sudahlah, Nyonya, dengarkan saja nyanyianku selagi kita menunggu airnya penuh," ujar si kera yang masih mencengkeram rompiku.

Hah? Sial!

"What can I do?
Will I be getting through?
Now that I must try
to leave it all behind~"

Apa ini? Kenapa aku menangis?

"Did you see
What you have done to me
So hard to justify
Slowly it's passing by~"

Mengapa aku melihat semua wajah orang-orang yang telah kubunuh?

Lana, Alain… aku ingin kembali bersama kalian.

"Forever and one
I will miss you
However, I kiss you
yet again
Way down in Neverland~
So hard I was trying
Tomorrow I'll still be crying
How could you hide
your lies, your blurb—"

"Sialan kau, Sal!" hardikku sambil menendang wajah si kera, menjadikannya sebagai pijakan untuk bertolak. Cengkeraman Sal terlepas, lalu tubuhku terpelanting ke belakang sebelum akhirnya aku kembali ke dalam air.

Aku beruntung air sudah mencapai mulut si kera dan memotong nyanyiannya, atau sampai akhir aku tak akan dapat melepaskan diri darinya. Kurasa sampai saat ini pun ia masih bernyanyi sambil berenang, tapi di dalam air aku kesulitan mendengar nyanyian juga iramanya, terutama dengan suara riak air yang kutimbulkan saat berenang menjauh.

Tepat di saat aku menyentuh dinding, kuraih granat dengan kiriku sebelum aku berbalik arah menghadap Sal. Lalu dengan menjadikan diding sebagai landasan, aku menendang dan kembali meluncur di dalam air menuju Sal.

Sesuai dugaanku, Sal kembali mencengkeram lenganku ketika aku sudah dalam jangkauannya. Ia merebut granatku untuk kemudian melemparkannya ke ujung lainnya dari ruangan ini, setelah itu ia lagi-lagi menarikku ke permukaan.

Tetapi kali ini berbeda, Sal tidak menyadari belati di genggaman tangan kananku. Aku menikam lengan Sal tepat di saat aku muncul di permukaan air, sebelum aku mulai mendengarkan ocehan atau nyanyian kera itu lagi.

Di saat yang bersamaan granat barusan meledak, letusannya membuat riak yang luar biasa, ditambah gelombang kejut yang dengan kuatnya menarik kami berdua ke dalam air. Aku memanfaatkan situasi kacau dan keterkejutan Sal untuk kembali melancarkan serangan di dalam air, berkali-kali kutanamkan belatiku ke leher kera itu sampai ia tak lagi bergerak.

Kabut merah pun mulai merebak di dalam air, mengaburkan sosok Sal yang tenggelam semakin ke dasar dari pandanganku.

Sesampainya di permukaan, kuambil kembali pedang dan pisau milikku yang kini dapat kuraih. Kemudian keduanya kutancapkan ke dinding sebagai pegangan sementara menunggu surutnya air.

***

Air telah surut, dan pintu ruangan telah terbuka. Aku berjongkok di sisi jasad Sal lalu kuusap wajahnya, kututup matanya yang sebelumnya terbelalak lebar.

Aku tidak sedih, juga tidak menyesali kematian Sal. Mengapa aku harus sedih dan menyesal? Aku bahkan tidak mengenal kera ini sebelumnya. Bagiku kematiannya perlu, ia harus mati agar aku tetap hidup. Itu alasan yang sederhana, aku membunuh agar dapat bertahan hidup.

Tapi mengapa aku kini menangis?

Mengapa wajahnya yang sedang tersenyum tetap tinggal di benakku?

Kenapa, Sal? Kenapa kau tidak berusaha membunuhku?

12 comments:

  1. Narasinya lembut, deskripsi pertarungannya jadi jelas banget. Cuman sayangnya ane ngerasa pertarungannya agak datar. Sudut pandang orang pertamanya kurang menunjukkan situasi dan ketegangan pertarungan, tiba-tiba uda selesai aja. Akibatnya konflik batin si mayornya jadi kurang nancep gan...

    Nilainya menyusul ya setelah ane baca pertarungannya Sal buat pembanding.

    ReplyDelete
  2. Narasinya mengalir lembut, deskripsi pertarungannya jadi jelas banget. Cuman sayangnya penceritaan sudut pandang pertamanya terlalu adem, kurang ngegambari situasi dan emosi pertarungannya. Konflik batin si mayor yang uda dibangun dari awal jadi kurang berasa.

    Nilainya menyusul ya gan setelah ane baca punya Sal...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nilai 7 , lebih kurang 2 dari Salvatore, karena pertarungannya lebih kerasa datar

      Delete
  3. Battle Epic
    EYD lumayan
    Typo Bagus
    Nilai=8,5

    Stella Opinion:
    Sydah kuduga, kau memang ahli dalam darah-darahan, aku suka itu Nyonya. :)
    Kutambahkan nilai untukmu.

    Bola kristal berpendar biru.

    Efek=+0,5
    Total Nilai=9

    ReplyDelete
  4. Ukh, mayor Yvika... tragis sekali hidupmu~..

    Sal itu benar-benar kera gentelman ya, sampai akhir pun dia tak berniat untuk menyerang.. :'D

    Btw, flashback tentang anak kecil suicide bomber itu benar-benar membekas.
    ._.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh lupa ngasih nilai.

      Point : 7.5

      ng.. tambah 0.5 deh, terenyuh sama scene suicide bombernya sih.

      Nilai total = 8
      :D
      *tepuk tangan*

      Delete
  5. sial komennya ilang

    +kaakter salnya entwh kenapa dapat bingits di sini.

    - dspite pov1 this entry lacks feel.

    6.8

    ReplyDelete
  6. Saya kagum juga, entah kenapa setiap entri Yvika rasanya konsisten banget. Dan feelnya polanya pun selalu sama - Yvika contemplate tentang sesuatu pas dia masih hidup, berantem, habis"an, dan akhirannya Yvika suffering.

    Tapi meski ini make PoV1, kok saya ngerasa emosinya kurang dapet ya? Padahal dengan PoV1 ini potensi buat nunjukin betapa conflictednya Yvika ada, tapi rasanya karena kebentur narasi yang kayak gini malah jadi berasa datar.

    Battlenya sendiri seru, seperti biasa Yvika memang ulet sekali soal pertarungan situasional kayak pas di r1. Karakter Sal yang sampe akhir tetep gentleman juga dapet.

    Nilai nyusul nunggu entri lawan muncul

    ReplyDelete
    Replies
    1. Shared score dari impression K-10 : 7,7
      Polarization -/+ 0,4
      Karena saya lebih suka entri Sal, jadi entri ini saya kasih -0,4

      Final score : 7,3

      Delete
  7. ufufufu ringkas padat dan to the point. semua point dari teori bercerita yang baik ada di sini. momen emosionalnya dah digali di awal. gw ngerasa tensinya dah mulai naik.
    sadly, tensi yang naik itu somehow agak drop, bang Zoel. fifty-fifty sih. soale momen klimaks emosionalnya dibentuk dalam syair. kalo gw ga ngeuh ama liriknya, itu feeling ga bakal masuk >.<

    nilai: 8
    tadinya maw 8.2 tapi momen emosionalnya yang kurang bikin drop huhu T^T
    maaf ya bang Zoel >.<

    ReplyDelete
  8. --Yafeth--

    Damn! Hanya satu typo! Dan saya pernah 'mencicipi' si Nyonya (innuendo intended) sebelumnya, tapi karya yang ini paling bagus. Lembut, mendalam, dengan adegan bertarung yang meski tidak heboh tapi pas. Gaya menulisnya yang feminim membuat tulisan ini pas dengan karakternya. Saya belum bisa memakai penuturan feminim begini kalau memakai karakter perempuan T.T Nilai 8.5.

    ReplyDelete
  9. Entri ketiga :3
    Oh.. POV 1… udah lama saya nggak ketemu yg kayak gini…
    Dan well… saya agak bingung juga komentarinnya kyak gimana.
    Kesan yg saya dapat: yvika ngomong dengan sal beberapa lama, lalu salnya mati. Selesai. Mungkin ada beberapa hal yg bikin cerita jadi menarik (sebutlah soal alasan sal yg ga pengen melukai wanita lagi). Tapi, entah kenapa saya rasa isinya cuma itu. Selesai. Panggung ditutup. Saya hampir ga dapat impresi apa2 dari cerita ini. ga tau kenapa…
    Salah satu poin plusnya adalah flashback di awal cerita. Itu yg bikin saya ngehook baca cerita ini. walupun akhirnya, ya… seperti cerita lepas. Dan khusus POV 1 tadi, itu juga jadi poin plus untuk menutupi minimnya dramatisasi dalam cerita ini.
    Untuk nilai, saya ngasih: 6.5
    Semangat kak :3

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -