April 13, 2014

[ROUND 1 - F] XABI ANGER METALLICI - FIRST TIME

"First Time"
Written by Eka Puspita

---

“Jadi, akan kemana kita Hvyt?” Tanya Xabi pada sesosok makhluk tinggi besar bersayap gagak yang kini tengah memegangi badannya, membawa remaja itu terbang ke langit merah dengan gumpalan awan kehitaman. Dari atas Xabi bisa melihat daratan merah menyala yang dipenuhi pohon rachta. Sebuah sungai merah mengalir deras di sampingnya. Entah kemana aliran sungai itu bermuara. Mungkin suatu laut merah yang tak kalah menyala juga.

“Hmm…tentu saja menuju sebuah tempat yang telah Thurkq tentukan…” Hvyt menghentakkan sayapnya dan menuju ke sebuah gumpalan awan abu kemerahan, membuat Xabi sedikit terguncang.

“Setidaknya kau berikan aku gambaran tentang tempat itu. Masa kau tidak tahu?” Xabi mencibir.

“Thurkq tidak memberiku perintah untuk mengatakannya padamu, bocah punk.”

Xabi buru-buru mendongak, “Aku bukan anak punk! Apa kau tahu style manusia? Ini emo style. Kau harus mengingatnya Hvyt!”

“Mm…aku tidak tahu apa aku bisa mengingatnya…itu tidak penting. Tapi dengarlah Xabi Anger Metallici, ketika kau sampai di tujuan kau harus bertarung melawan empat orang lainnya. Kalian akan bertarung hingga hanya satu orang saja yang bertahan hidup.”

Xabi terdiam. Ia teringat dengan nama-nama yang tiba-tiba saja muncul di langit saat seseorang yang mengaku dewa dan bernama Thurqk berbicara di sebuah balkon kastil. Ia melihat namanya di sebuah kotak. Tepat di baris kedua setelah nama Nim Imanuel, sementara di bawahnya tertulis Tommy Vessel, Yvika Gunhilder dan di baris akhir nama Marion Marinate tertera. Xabi sebisa mungkin menghapalkan nama-nama mereka saat itu karena ia yakin akan bertemu dengan mereka.

Thurqk mengatakan bahwa pertarungan ini adalah jalan untuk memperbaiki nasib salah satu dari mereka yang tentunya menjadi pemenang di akhir. Ah…tentu saja Xabi tidak terlalu tertarik dengan itu. Baginya kehidupan saat ia hidup dan saat ini-saat ia sudah mati-bukankah sama saja? Penuh dengan adegan perkelahian, kebisingan dan bunyi senjata tajam. Dan lagi bukankah rantai yang membelenggunya selama ini tidak akan bisa menghalanginya? Jadi ia tidak tertarik dengan omongan Dewa bermata hitam-merah itu. Ia hanya ingin tetap berkelahi karena itu membuatnya merasa hidup. Yang lebih menarik perhatiannya adalah saat sang Dewa berkata ialah yang mematikan mereka dan para Hvyt yang menjadi perantaranya.

“Hei…kaukah yang menjatuhkan dahan pohon tempo hari?” tanya Xabi yang langsung disambut tawa oleh sang malaikat.

“Ya, akulah yang melakukannya. Aku melihatmu tengah mengendarai kendaraan berisikmu itu. Tadinya aku ingin menabrakkanmu dengan pohon itu, tapi karena perkiraanku meleset akhirnya dahan itu kulemparkan tepat di depanmu…”

“Huh…sial! Harusnya aku dapat satu set drum baru hari itu,” kesal Xabi.

“Hahaha…apapun bisa kau dapat setelah kau memenangkan semua ini…”
Tiba-tiba Hvyt berbelok, menembus sebuah awan dengan cahaya terang dan memaksa Xabi untuk menutup rapat-rapat matanya. Hvyt pasti gila karena ia menghampiri sebuah petir, oh…ia membawa Xabi memasuki asal petir tersebut. Xabi merasakan goncangan yang sangat keras meskipun tangan Hvyt tetap kokoh memegangi Xabi. Saat Xabi membuka mata, perlahan ia melihat sebuah pasar yang tampak kuno baginya.

“Selamat berjuang, Xabi…” Hvyt melepaskan Xabi kemudian terbang tinggi sembari tertawa hingga ia hilang dari pandangan.

“Oy…kau tidak menjelaskan apa-apa lagi malaikat maut?” Xabi berteriak kebingungan pada Hvyt. Namun yang ditanya sudah menghilang di balik awan-awan cirrus. “Great…jadi bagaimana aku mengenali empat orang lawanku di tengah kerumunan orang ini?” gumam Xabi. Perlahan ia bergerak, menuju seorang pedagang pedang yang tengah menggosok sebilah jualannya yang berkilat itu.

“Permisi, Pak! Apa anda kenal dengan seseorang bernama Nim Imanuel? Katanya ia berasal dari sini…” dengan sopan Xabi bertanya pada si bapak tetapi bapak berambut merah itu tidak mempedulikan Xabi. Oh…mungkin suaraku kurang keras, pikir Xabi. Ia mengulangi pertanyaannya dengan nada yang lebih tinggi. Namun si bapak tetap tidak peduli padanya. Ia terus saja menggosok-gosok pedangnya.

Penasaran, Xabi mendekatkan wajahnya pada pria itu, tapi pria itu bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa. “Gyahh!!! Kau menjengkelkan, Pak!” Xabi menggebrak meja hingga beberapa pedang di atasnya berjatuhan dan membuat si pedagang terkejut. Pria itu melirik kanan kiri dengan heran kemudian memeriksa mejanya dengan hati-hati sebelum membereskan kembali pedang-pedangnya. Sekilas pria itu bergidik.

“Hei, Pak…aku di sini!” kembali Xabi berteriak tapi tetap tak ada reaksi dari si pria berumur itu. Dan tiba-tiba saja sebuah pemikiran tumbuh di kepala Xabi. Mungkinkah ia tidak terlihat? Untuk membuktikan pemikirannya ia segera mencubit hidung pria tua berambut merah itu. Pria itu menjerit, mengelus hidungnya kemudian berlari ke dalam dengan wajah sedikit ketakutan dan terkejut. “Ah…benar.” Jika begitu, maka kemungkinan empat orang lainnya juga tak akan bisa terlihat oleh orang-orang biasa ini. Baiklah…ia harus menemui orang=orang itu dan segera mengalahkan mereka, meskipun bisa jadi ia sendiri yang akan kalah.

Xabi memilih berjalan menapaki gang-gang sempit yang sepi. Hampir tidak ada orang. Di jalan besar sana bisa saja ia akan ditabrak orang, hewan atau bahkan kereta kuda. Tapi tempat apa ini sesungguhnya? Apakah ini bumi ataukah planet asing? Bukankah seseorang bernama Nim Imanuel berasal dari sini? Tapi seperti apakah orang itu rupanya Xabipun tidak tahu. Di pulau Nanthara ia tidak sempat berkenalan dengan siapapun karena berkenalan memang bukan hobi remaja berusia sembilan belas tahun itu. Mungkin seharusnya ia lebih memperhatikan orang-orang sekitarnya. Tidak terpikir olehnya bahwa sosialisasi akan menjadi hal yang penting. Selama ini satu-satunya hal yang penting adalah bermusik dan bersenang-senang serta lari dari pernyataan orang-orang--bahwa ia adalah The Unforgiven.

Sudah cukup lama ia berkeliling kota tapi ia tidak menemukkan satupun orang yang tak terlihat seperti halnya dirinya, ia mulai berpikir yang aneh-aneh. Bisa saja Hvyt salah mengantarkannya, bisa saja ke empat orang lainnya sekarang telah bertanding di suatu tempat atau bisa juga Thurqk telah mempermainkannya. Satu perkiraan lain muncul dibenaknya, bisa saja keempat orang itu tengah mengintainya dari jauh dan menunggu ia lengah. Yang terakhir membuat Xabi lebih waspada. Ia melirik ke arah kiri-kanan, atas-bawah. Nampaknya tidak ada yang mencurigakan.

“Hei…apa yang sedang kau cari?” sebuah suara mengagetkan Xabi. Reflek ia menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita berambut perak tengah berdiri, bersandar pada sebuah daun pintu. Gaun hitamnya tampak anggun di tubuhnya yang proporsional, meskipun lekuk-lekuk tubuhnya tidak terlihat jelas tapi Xabi bisa memperkirakannya. ‘Dia melihatku…’ batin Xabi. Ia tahu apa artinya itu, bahwa wanita itu adalah salah satu dari empat orang yang sedang ia cari.

“Ehm…kebetulan sekali, sepertinya aku sudah menemukannya,” jawab Xabi. Ia memperhatikan wanita itu dari atas hingga bawah.

“Apa yang kau lihat?” tanya wanita itu melihat tatapan Xabi.

Kenapa wanita? tanya Xabi dalam hati. Ia dapat melihat kulit wanita itu putih, cenderung pucat. Ada dua bola hitam aneh di belakangnya. Sudah tidak bisa dibantah, wanita ini salah satu lawannya. “Aku melihatmu, Nona…kau sangat cantik.” puji Xabi.

“Terima kasih…jadi apa yang sebenarnya kau cari?”

“Namaku Xabi…apakah kau salah satu orang yang dipilih Thurqk?” Xabi melihat sedikit keterkejutan di mata wanita itu. Namun si wanita tampaknya bisa mengendalikan keterkejutannya.

“Aku Marion. Jadi…kau juga?”

“Yup!” Xabi melompat mendekati wanita yang mengaku bernama Marion itu. “Jadi…kita di sini untuk bertarung, bukan?”

“Ya…tentu. Begitu peraturannya,” sedetik saja, Marion mengganti pakaiannya menjadi baju hitam berlengan panjang dengan celana panjang berwarna sama.

“Ehm…” Xabi bisa melihat lekuk tubuh Marion lebih jelas dengan baju seperti itu, “…silahkan mulai duluan. Ladies first…” Xabi mengambil sikap kuda-kuda.

“Jangan menganggap lemah perempuan…” Marion melompat, menyarangkan tinjunya pada perut Xabi. Namun Xabi bisa menghindarinya. Xabi melompat, berputar melewati punggung Marion. “Huh…” dengus Marion. Ia berbalik dan mendaratkan tendangan di perut Xabi dengan sukses.

“Argh…” tendangan Marion rupanya cukup keras sehingga Xabi mengeluh pelan. Xabi berdiri tapi ternyata Marion sudah kembali menyerangnya. Dengan sigap Xabi menghindar dan berhasil balik memukul punggung Marion.

‘Untuk ukuran wanita, ia ternyata kuat juga. Haruskah aku menggunakan senjata sementara wanita ini tidak memiliki senjata apapun ?’ Xabi kembali menghindari serangan Marion. Terlambat, Marion sudah lebih cepat mendorong tubuhnya kearah dinding sebuah bagunan. Xabi berusaha melawan dan melepaskan kuncian Marion tetapi gagal. Leher Xabi terkunci dan ia hampir kehabisan napas.

‘Baiklah…’ dengan sekuat tenaga Xabi merogoh kantong celananya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam. Dibukanya kotak itu dengan agak kepayahan. Tekanan Marion semakin kuat. Dikeluarkannya sebuah benda dari kotak itu, sebuah jarum yang kemudian berubah menjadi sebuah pedang bermata dua. Xabi segera menyabetkan pedang itu pada lengan Marion. Segera Marion melepaskan tangannya sehingga Xabi bisa melepaskan diri.

Lengan kanan Marion tersayat dan meneteskan darah yang tidak cukup banyak bagi manusia normal.  Tapi bukan itu yang kini membuat Xabi tercengang, melainkan karena ia melihat daging dan kulit Marion perlahan-lahan mengatup hingga sembuh seperti sedia kala seperti tak pernah tersayat sama sekali.

“Apa kau terkejut? Kalau cuma begitu, aku juga bisa…” Marion mengibaskan tangannya, salah satu bola hitam yang sedari tadi mengikutinya berubah menjadi sebuah pedang bermata dua, persis seperti yang dipegang oleh Xabi.

“Eh…” Xabi memperhatikan detail pedang itu dari mulai pegangan hingga ujung matanya memang persis. Bola aneh apa itu tadi sebenarnya?
Belum sempat berpikir, Marion sudah menyerangnya. Reflek Xabi mengarahkan pedangnya ke depan. Suara pedang pun nyaring tak terelakkan. Merasa tidak menguntungkan dalam posisi itu, Xabi melompat mundur tiga meter. Ia mengambil napas dlam sebelum akhirnya menyerang Marion dari samping.

Marion melihat pergerakan Xabi. Dengan sigap ia menghindar sehingga pedang Xabi hanya mengenai kayu-kayu penyangga bangunan di belakang Marion. Karena mereka berdua bertarung di gang sempit, masing=masing dari mereka tidak bisa menghindar dengan bebas. Marion bergerak cepat, lebih cepat dari yang bisa Xabi lihat saat itu. Dengan pedang di tangan kanan Marion hendak menyerang remaja berkaos hitam itu.
                                                                                                            
Xabi gugup, ia paralyze. Matanya kehilangan sosok wanita berambut perak yang sedari tadi ia hadapi. Xabi bukannya tidak tahu Marion sedang menghampirinya dengan gerakan cepat, hanya saja matanya tidak bisa menangkap pergerakan Marion. Ia memfokuskan matanya ke arah depan, mencari-cari keberadaan Marion. Mungkinkah wanita itu bergerak dengan kecepatan lebh dari 300 km/jam? Ia benar-benar tidak bisa menangkap bayangan Marion sedikitpun. Ataukah…

Splash!!!
Xabi melihat bayangan itu dari samping. Ia terlalu fokus ke depan dan hampir tidak memperhatikan samping kanan dan kiri. Ia kembali terlambat menghindar. Pedang tiruan Marion telah berhasil melukai perut samping kanannya. Darah menetes dari balik kaos hitam Xabi yang tersayat.

Marion memperhatikan pedangnya yang kini berhiaskan bercak darah. Ia tidak perlu banyak, ini lebih dari cukup dan akan sangat berguna baginya. Dengan ujung jarinya ia mencolek darah di pedangnya kemudian merasakan darah Xabi. Meski ia belum tahu apa kemampuan anak berambut jabrik itu, tapi sudah tentu ia akan bisa menyamai kekuatannya. Marion tersenyum melihat Xabi yang tengah bangkit. Ia melihat bayangannya sendiri di pedang. Ia penasaran dengan kekuatan yang dimiliki Xabi.
“Apa hanya itu kemampuanmu? Bermain pedang?” Tanya Marion sembari mengayunkan pedangnya perlahan ke kiri dan ke kanan.

Xabi menancapkan pedangnya ke tanah lembap, “Aku tidak tahu apa ini berhasil…” gumam Xabi. Ia mengangkat telapak tangannya kemudian mensejajarkannya dengan pinggang. Xabi mengumpulkan kekuatannya di telapak tangan, tepat di tengahnya. Tapi ia lupa bagaimana menciptakan dust devil atau tornado api. Ia tidak pernah menggunakannya, hampir. Tidak ada yang terjadi di telapak tangannya. Bahkan angin sepoi pun tidak. Tapi Xabi terus berkonsentrasi dan fokus, tidak peduli pada Marion yang setiap saat bisa saja menghabisinya.

Sudah cukup lama Xabi memperhatikan telapak tangannya, memelototinya dengan seksama tapi tetap kosong. Xabi mulai kesal. Ia merasakan aliran panas di seluruh badannya. Semakin panas ketika ia melihat belum ada yang terjadi padanya. Sial! Mungkin saja segel dari kakeknya masih berfungsi dengan baik, tapi kakeknya pernah mengatakan bahwa segala bentuk mantranya akan lenyap dengan sendirinya ketika orang yang dimantrai telah mati. Jadi apa ini artinya? Kakeknya berbohong atau memang ia belum ‘resmi’ mati? Bisa saja terjadi karena Thurqk bilang ia adalah salah satu dari yang terpilih dan segala bentuk ganjaran akibat perbuatan di dunia semasa hidup ditunda. Lalu segel ini masih tertutup? Itu membuat Xabi marah.

Marion memperhatikan Xabi hingga ia mulai bosan. Apa anak ini sengaja mengulur waktu agar ia lengah? Terlalu kekanakan. Lagi pula ini membuang waktu. Ia harus segera menyelesaikan Xabi. Melangkah lebih dekat menuju kemenangan, untuk menyelamatkan keluarganya dan hidup bahagia kembali. Marion memutuskan untuk bergerak dan mengakhiri ini, tapi saat ia melihat Xabi matanya melihat sesuatu yang aneh muncul dari telapak tangan remaja itu. Seperti asap putih yang mengepul. Marion mengurungkan niatnya untuk menyerang dan memilih untuk memperhatikannya lebih lama.

Tanpa Xabi sadari, sebuah pusaran angin kecil muncul dari telapak tangannya. Xabi terlalu sibuk untuk memikirkan mengapa ia tidak bisa membuat dust devil atau tornado api. Cerita-cerita masa lalunya yang selalu orang-orang ceritakan, bahkan kakek dan neneknya juga, bahwa ia bisa menciptakan angin berdebu ataupun putaran angin berapi itu hanyalah bualan belaka. Mungkinkah mereka berbohong? Lalu mengapa orang-orang itu selalu memanggilnya sebagai The Unforgiven karena mereka bilang ialah yang membunuh orang tuanya sendiri dengan kekuatan setan sehingga ia tidak akan dimaafkan oleh surga. Apakah itu semua hanya lelucon?  Lelucon panjang yang sangat keterlaluan! Dan Xabi semakin marah, ia semakin panas. Pusaran angin semakin besar dan Xabi bisa merasakan hempasan udara dari telapak tangannya. “Ini…” desis Xabi. Putaran angin semakin cepat dan semakin tinggi. Debu-debu tersedot ke dalamnya, membentuk sebuah tornado kecil yang coklat. Karena kaget, Xabi melemparkan pusaran angin setinggi dua meter itu ke arah Marion.

Rambut panjang Marion terbang tak terarah begitu pusaran dust devil itu menghampirinya. Namun ia masih bisa menghindar karena pusaran itu tidak bergerak cukup cepat. Pusaran itu hanya mampu membuat sebagain lengan bajunya robek dan lengan Marion memar, serta rambutnya menjadi kusut dan berantakan.

Xabi yang melihat keadaan Marion sempat tertawa sedikit sebelum ia melihat Marion mengeluarkan pusaran angin dari telapak tangan kirinya. “Kau…bisa melakukannya juga?” tanya Xabi tak percaya. Ia berpikir semua orang dapat melakukan itu, membuat dust evil. Xabi sangat merasa bodoh.  Bahkan Marion bisa membuat pusaran yang lebih besar, lebih kencang dan lebih tinggi dari yang Xabi buat barusan. Ia berusaha menghindar saat Marion melemparkan dust devilnya pada Xabi. Dust devil menghancurkan sebagian gedung yang dilewatinya. Kayu-kayu penopangnya roboh dan Xabi berkali-kali melompat menghindari puing-puing bangunan yang berjatuhan sementara dust devil terus bergerak menghancurkan bangunan yang dilaluinya, membuat debu beterbangan dimana-mana. Xabi terbatuk, begitu juga Marion.

Marion menyadari sesuatu setelah udara sekitar sudah cukup jernih. Bangunan yang roboh memberikan kesempatan cahaya matahari untuk menyapanya. Ia segera mencari sisa bangunan untuk berlindung. Ia tidak mungkin berlama-lama berada di bawah cahaya matahari karena ia tahu betul kekuatannya akan melemah.

“Uhuk…uhuk…” Xabi terbatuk. Ia membuka sebelah matanya. Setelah ia merasa jarak penglihatan sudah hampir normal ia membuka lebar-lebar kedua matanya dan berusaha mencari sosok Marion di balik sisa debu yang beterbangan. Setelah memicingkan mata kurang lebih satu menit, ia melihat Marion tengah berdiri di sebuah bangunan yang setengahnya telah hancur, nampak seperti gereja karena ada sisa salib di atap bangunan. Xabi mencari pedangnya, mengecilkannya kembali menjadi jarum dan memasukkannya ke dalam kotak.  Ia berpikir sejenak, hendak berlari menuju Marion. Jemarinya bergerak-gerak. Ia merasa ada sesuatu yang hilang. Knuckle. Kenapa benda itu tidak ada? Ia hanya memiliki jarum dan ketapel saja.

Ah…ketapel. Xabi mengeluarkan ketapel merahnya. Ia melihat Marion hanya berdiri di sisa-sisa gereja. Mungkin Marion sedang merencanakan sesuatu, mengeluarkan dust devil yang lebih besr mungkin. Sebelum itu terjadi, Xabi meraih sebuah kerikil kecil dan menjepretkannya ke arah Marion. Tiga kali. Xabi melemparnya tiga kali dengan jeda kurang dari satu detik. Ia mengantisipasi jika Marion bergerak ke kiri atau kanan. Dan nampaknya ia berhasil.

Marion berlutut memegang bahu kirinya. Ia terkena kerikil yang Xabi. Rasanya sedikit terbakar tapi ia sama sekali tidak khawatir. Dengan kemampuan regenerasinya, ia akan pulih seperti sedia kala tidak lama lagi. Maka Marion pun bersiap untuk mengeluarkan sebuah dust evil. Tapi begitu Ia mengangkat wajahnya, Xabi sudah berada di depannya dan tanpa sadar telah menyarangkan tendangan di perut Marion. Marion terdorong ke belakang tapi Xabi sudah lebih dulu menantinya. Xabi meraih lengan Marion dan mengangkatnya, melempar gadis itu ke sisa dinding gereja. Tapi Xabi salah perhitungan. Marion memang terlempar ke dinding, tapi ia mendarat dengan kedua kakinya di dinding dan menjadikan dinding itu pijakan untuk melompat dan balik menyerang Xabi.

Xabi terkena pukulan di wajah. Ia meringis pelan, menyeka setetes darah yang keluar dari sudut bibirnya. “Sial!” ia tidak bisa melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Marion padanya. Ia tidak mungkin melakukan hal serupa pada seorang perempuan.

“Apa kau kesakitan?” tanya Marion. Luka di bahunya sudah hampir sembuh. Marion mengurungkan niatnya untuk membuat dust devil. Jika ia melakukannya, tentu gedung ini pun akan hancur dan itu berarti tak ada tempat berlindung untuknya dari sinar matahari.

“Sakit? Tentu tidak…kau pikir aku selemah itu?” Xabi mengelurkan kembali dust devilnya. Pertanyaan Marion barusan telah membuatnya merasa direndahkan. Ia tidak terima dianggap lemah apalagi oleh seorang wanita, sekuat apapun wanita itu. Pusaran angin semakin kuat dan kuat. Xabi semdiri sampai harus menjauhkan telapak tangannya dari wajah. Dan ketika Xbi melepaskan dust devil untuk menapaki tanah, ia sadar akan sesuatu. Dust devil itu bergerak seperti yang dikehendakinya. Xabi sedikit terkejut dengan kemampuannya sendiri. Karena inikah ia disalahkan? Seperti ini pulakah ketika dulu ia membunuh orang tuanya?

Memikirkan tentang kedua orang tua Xabi selalu membuat emosinya naik. Dust devil perlahan meninggi dan mengecil kemudian lenyap seketika berganti dengan percikan api yang perlahan-lahan berputar cepat dan bergulung-gulung. Itulah tornado api.

Semakin cepat tornado berputar menghampiri Marion yang tampak bersiap untuk menghindar. Marion melompat ke sebuah altar di tepi ruangan tapi tornado itu mengikutinya kemanapun ia menghindar. Dalam sekejap seluruh ruangan telah terbakar, memaksa Marion untuk menghindar dan menghadapi sinar matahari yang ia benci. Karena tak ada tempat untuk berlindung dari matahari, Marion mengubah dua bola hitam menjadi semacam payung, atap yang bergerak menaunginya. Meski itu tidak terlalu bagus, namun masih lebih baik dari pada harus menghadapi sinar matahari secara langsung. Marion mengumpulkan segenap tenaganya, membuat sebuah pusaran besar. Ia berusaha untuk membuat tornado api seperti Xabi.


***


Dua tornado api bergulung-gulung di antara puing-puing dengan api dimana-mana. Suara gemuruh angin terdengar begitu mengerikan di telinga. Xabi berdiri dengan lengan terangkat, berusaha mengontrol pergerakan tornadonya sementara Marion berdiri jauh di seberangnya dengan benda hitam pipih berbentuk perisai di atas kepalanya. Wanita itu juga tengah berusaha mempertahankan tornado apinya.

Keringat Marion mulai bercucuran. Semua cahaya itu terlalu banyak, ditambah api yang begitu panas berkobar disekitarnya. Ia berusaha mengarahkan tornado miliknya ke arah Xabi tapi Xabi juga mengarahkan tornadonya sehingga dua putaran api cepat itu beradu membentuk sebuah garis melintang, seperti sebuah jalan menuju langit. Marion terus menekan, menambahkan kembali tenaganya untuk melawan Xabi. Xabi sendiri masih mampu menahan kekuatan Marion. Meski begitu, perlahan kakinya bergeser ke belakang, membentuk jejak berupa garis sepanjang setengah meter di tanah.

Xabi tidak boleh kalah, apalagi ia akan dikalahkan oleh seorang wanita. egonya kembali meningkat. Ia mendorong pusaran api Marion sejauh dua meter dan terus mendorongnya hingga Marion kewalahan. Puncaknya adalah pusaran api Marion malah bersatu dengan pusaran api Xabi dan segera mengarah pada wanita itu. Marion tersentak, ia melihat tornado api datang dengan kecepatan yang meningkat berkali-kali lipat. Ia mengubah perisainya, menggabungkan dua bola hitam itu dan membentuk perisai berbentuk bola dan bersembunyi di dalamnya. Namun ia salah perhitungan karena semakin lama ia bisa merasakan hawa panas yang nyata.

Xabi menyapu Marion yang sedang berada di dalam bola perisai hitamnya. Tornado apinya mengangkat bola itu berputar-putar ke udara, menggerogoti kekuatan perisai Marion. Tornado api berputar semakin cepat pada porosnya. Perisai Marion mulai bocor, api melahap kulit dan daging wanita bertubuh seksi itu. Meskipun ia memiliki kekuatan regenerasi yang cepat, namun api dari tornado Xabi terus menerus membakar satu per satu sel tubuh Marion hingga akhirnya Marion kehilangan seluruh kekuatannya saat api sudah membakar jantungnya. Marion tidak bisa mencegah api Xabi untuk menghabisi jantungnya. Dan meski dalam api yang sangat panas, Marion masih sempat untuk menitikkan air matanya untuk keluarga yang tidak bisa ia selamatkan.

Xabi terjatuh di kedua lututnya. Ia lemas karena begitu banyak energi ia keluarkan. Dan ini adalah kali pertama Xabi memakai kekuatannya. Kekuatan yang telah membuat kedua orang tuanya meninggal, dan kekuatan yang telah membuat orang-orang memandang ngeri dan aneh padanya. Kekuatan yang besar, kini Xabi mengerti mengapa kakeknya menyegel kekuatan ini. Kekuatan setan. Biarpun ia sedikit berat karena ia baru saja membunuh seorang wanita. terlebih Marion cantik dan terlihat seperti seorang gadis yang baik. Ia bahkan tidak tahu siapa Marion sebenarnya.

“Argh…” Xabi merasakan sengatan di perut kanannya. Ia meraba bekas luka sepanjang tujuh senti meter itu. Debu-debu masih beterbangan di udara, disertai dengan percikan sisa bara api dari tubuh Marion. Xabi mengulurkan tangannya, membiarkan beberapa debu terkumpul di tangannya.  Hendak ia hanyutkan debu itu sebagai penghormatan terhadap Marion. Setelah dirasa cukup, ia memasukkan debu  itu ke dalam kantongnya.

Xabi melangkah, mencari sungai untuk menghanyutkan debu Marion sekaligus membersihkan lukanya. Sepanjang jalan, Xabi bisa melihat kota telah hancur setengahnya, banyak orang  melarikan diri, menjauh dari lokasi pertempuran ia dengan Marion tadi. Sayang sekali, ia harus bertarung di tempat ini. Tempat dengan banyak orang yang dapat menjadi korban. Ia melihat pohon-pohon rimbun di sebelah utara. Sepertinya itu adalah hutan. “Semoga ada sungai di balik hutan itu…”


***

Di tempat lain, seorang pria tengah melemparkan sebuah dadu pada sebuah menara dadu yang terbuat dari kayu. Pria itu terlihat tenang dan tengah menanti sang dadu berhenti berguling-guling. Sisi mata dadu dengan tiga titik akhirnya diam menghadap ke atas. Sang pria yang berkaca mata itu kemudian tersenyum. Segera ia memasang jebakan untuk musuh yang akan segera tiba. Ia tahu benar bahwa orang yang akan dihadapinya itu telah mengintainya dari kejauhan. Ia pun segera menjauh dari jebakan seluas sepuluh meter itu.

Kini ia hanya akan menunggu hingga bocah itu datang dan masuk ke dalam perangkapnya. Sebenarnya ia kurang senang berhadapan dengan seorang bocah lelaki kecil. Ia tidak tega untuk melukai seorang bocah secara langsung karena ia merasa bocah itu masih kecil dan tidak akan seimbang untuk menjadi lawannya. Padahal sesungguhnya bocah kecil yang bernama Nim itu memiliki kekuatan yang amat sangat mengerikan.

“Hai Oom Tommy…dimanakah dirimu?” teriak seorang bocah yang membawa sebuah boneka panda di pundaknya. Rupanya ia sudah masuk jebakan lelaki berkacamata tadi.

Lelaki yang bernama Tommy itu mendekat hingga Nim bisa melihat keberadaannya. “Kau menemukanku, Nim…” Tommy bersiap melemparkan sebuah dadu. Dadupun bergulir dan menampakkan angka enam. Tommy tidak bereaksi. Ia membiarkan Nim melangkah leluasa di dalam perangkapnya. “Nasibmu baik sekali bocah kecil…”

“Ya. Oom benar sekali! Aku beruntung akan mendapatkan boneka yang ke seribu hari ini. Dan aku suka sekali calon bonekaku…” Nim tertawa riang.  Ia melangkah perlahan ke arah Tommy sambil bersenandung. Ia menyanyikan sebuah lagu riang gembira dengan nada cepat tetapi lama-kelamaan irama dan nada itu semakin cepat dan tak karuan.

Lagu Nim menyebabkan orang yang mendengarnya merasa melayang pada intro. Kemudian akan mengakibatkan pusing dan beberapa indera terganggu hingga pada akhirnya Nim bisa membuat ilusi yang dapat mengecoh ataupun menyakiti orang-orang yang mendengarnya, termasuk Tommy.

Tommy terhanyut dengan nyanyian Nim di awal hingga ia lupa untuk melemparkan dadu. Tanpa lemparan dadu, Tommy tak akan berbuat apa-apa meskipun jika angka lima atau enam muncul, ia akan melakukan hal yang sama. Namun pada tengah lagu, buaian nyayian Nim menjadi dan Tommy menjatuhkan menara dadu di tangannya hingga terjatuh dan mengenai jari-jari kakinya. Dan Tommy pun tersadar bahwa ia telah terhipnotis. Ia berusaha melawan nada-nada tidak karuan itu. Ia melihat Nim yang semakin dekat, jarak mereka hanya tinggal dua meter kurang. Sekuat tenaga, Tommy berusaha meraih menara dadunya yang tergeletak. Dadunya sendiri jatuh entah kemana. Tapi bukan Tommy namanya jika ia tidak memiliki dadu-dadu cadangan. Ia meraih salah satu dari kantong celananya kemudian segera melemparkannya ke menara dadu.

Nim terkejut ketika sekelilingnya berubah menjadi pasir hisap. Ia berhenti bernyanyi dan berusaha untuk keluar dari kubangan lumpur. Namun semakin Nim berusaha ingin keluar dan menggerakkan tubuhnya, semakin dalam pula ia terjebak di dalam jebakan Tommy. Nim terus berusaha dan berusaha sementara pasir itu terus menarik dan menariknya hingga ia tenggelam sebatas pinggang.

Tommy yang melihat Tom kesulitan bisa lega karena kini bocah itu berhenti bersuara. Ia tidak menyangka Nim memiliki kekuatan seperti itu. Untunglah mata dadu yang tadi keluar adalang angka satu sehingga ia bisa mengaktifkan perangkapnya. Akan berbeda jika yang keluar adalah angka lima atau enam. Mungkin ia sudah berada dalam genggaman Nim jika hal itu terjadi.

“Percuma, Nim! Sekeras apapun kau berusaha, pasir itu justru akan semakin erat menarikmu.”

“Benarkah itu, Oom?” tanya Nim sembari tersenyum. Ia mengeluarkan sebuah boneka setinggi 12 cm dari balik lengan bajunya yang kebesaran. Sekuat tenaga dilemparkannya boneka itu ke tanah. Sebuah benang energi menghubungkan jari tangannya dengan boneka itu. Kemudian Nim menggerakkan jemari tangannya sehingga boneka kecil di pinggir jebakan itu bergerak. Si boneka kecil yang berotot itu kemudian menarik Nim melalui benang energi. Tak berapa lama, Nim telah keluar dari jebakan Tommy. Badannya kotor dan penuh lumpur. Nim mengusap boneka pandanya yang usang sejenak. “Kau tak apa, Immanuel? Ayo kita bermain dengan Oom Tommy…”

Tommy mundur selangkah. Ia tahu bahwa jebakannya tidak akan bisa membuat lawannya 100% mati dan ia tahu Nim pasti akan membalas serangannya. Benar saja, Nim mengeluarkan lagi dua boneka kecil. Sebuah boneka dengan mata biru menyala dan bercadar, rambut pirang boneka itu nampak mengilap dan setiap helainya terlihat bagaikan jarum-jarum kecil nan tajam. Tommy memperhatikan boneka bermata biru itu seksama. Boneka itu indah dan sepertinya ia ingin memiliki satu yang seperti itu. Sementara boneka satunya terlihat sangar dengan janggut dan kumis yang tebal. Boneka pria ini nampak seperti barbarian karena ia bertelanjang dada dengan sebuah pedang di tangan kanan.

“Ayo, mulai main…” Nim menggerakkan salah satu jarinya. Boneka barbarian kecilnya bergerak cepat menuju Tommy dan langsung menyabetkan pedang mungil tajamnya. Tommy reflek mengangkat tanggannya yang sedang memegang menara dadu. Pedang si barbarian pun mendarat di salah satu sisi menara dadu.

Tidak ingin membuang waktu, Tommy segera melemparkan dadu kemudian segera memanggil salah satu koleksi monsternya. Seorang lelaki berjubah putih muncul dengan sebuah tongkat besar yang ujungnya berukiran aneh. “Giliranku yang main, Nim…”

Monster panggilan Tommy bergerak, ia mengayunkan tongkatnya ke arah boneka barbarian Nim. Sebisa mungkin serangannya menjauh dari boneka bermata biru. Sekelebat cahaya datang dari, langit, menyambar si boneka berpedang. Boneka itu tergeletak, terkapar di tanah tanpa ekspresi kesakitan. Monster Tommy kembali mengayunkan tongkat ke arah Nim. Suara guruh terdengar dan cahaya kembali berkelebat tapi jari Nim tidak diam saja. Boneka bermata biru milik Nim mengeluarkan cahaya pula, sejenak cahaya kilat yang dikeluarkan monster petir Tommy membeku, tapi kemudian langsung mencair dan menjadikannya hujan. Petir menghilang digantikan tetesan hujan yang cukup panas terasa. Nampaknya kekuatan petir tidak mudah dimusnahkan begitu saja oleh kekuatan es milik Nim.

Tommy segera menyusun strategi dan bersiap melemparkan kembali dadunya sementara Nim juga terus menggerakkan boneka-boneka dengan jemarinya. Mereka terus bertarung dan sesekali berkata-kata. Dalam kesamaan mereka, sulit untuk diprediksi siapakah yang akan menang dalam duel ini. Meskipun keduanya adalah tipe petarung jarak jauh, namun kali ini mereka bertarung dengan jarak yang cukup dekat sehingga keduanya juga lebih waspada terhadap lawan.

***

Xabi terus melangkah melewati semak dan akar-akar pohon yang merambat mnghalangi jalannya. Sesekali ia harus melompat melewati akar-akar yang terlalu besar untuk di potong dengan pedangnya. Beberapa kali pula ia merunduk di bawah pohon-pohon yang lebat dengan semut yang banyak.

Luka dari Marion rupanya tidak seringan seperti kelihatannya, ditambah lagi energi Xabi sudah terkuras akibat mengeluarkan beberapa tornado serta dust devil. Sayatan di perut kanannya berdenyut. Xabi merabanya, perih terasa saat ia menyentuh tepi kulit yang terbuka. Xabi merasa lemah. Lututnya hampir tak bisa menahan beban tubuhnya hingga akhirnya ia memutuskan untuk duduk di sebuah akar pohon yang lebar. Sekilas dilihatnya beberapa tumbuhan yang nampak tidak asing lagi baginya. Sekelompok rumput yang daunnya berbulu dengan bunga putih keunguan. Ageratum conyzoides. Beruntunglah tumbuhan berbau kambing itu tumbuh di tempat ini.

Xabi memetik beberapa daun Ageratum conyzoides kemudian menumbuknya dengan batu. Dibalurkannya daun yang telah halus itu menutupi luka di perutnya. Sangat sejuk terasa ditambah dengan semilir angin di hutan kala itu telah membuat Xabi yang lelah terlelap menuju alam bawah sadarnya.

***

Keadaan di tempat pertarungan Nim dan Tommy telah berubah. Rupanya monster gurita milik Tommy telah mengamuk. Monster gurita menggeliat-geliat, menghancurkan semuanya dengan tangan tentakelnya yang panjang. Pada salah satu tentakelnya adalah Nim yang tengah berusaha melepaskan diri dari jeratan si monster.

Sementara Tommy sendiri sibuk menghindar dan bersembunyi dari tiga boneka yang dikendalikan oleh Nim. Tommy memegang erat menara dadunya yang telah rusak terkena serangan boneka Nim yang terlihat seperti manusia berkepala srigala. Perlahan ia mengocok dadu. Angka lima muncul dan Tommy hanya bisa mengulang apa yang tadi telah dilakukannya. Namun itu membuat Tommy lengah. Sebuah boneka milik Nim berhasil menemukannya kemudian tanpa menunggu menyerang Tommy dengan sihir es sehingga hampir seluruh tubuh lelaki yang aslinya berkepala botak itu tidak bisa bergerak. Menara dadunya terlempar jauh sementara dadunya sendiri menggelinding keluar dari menaranya.

Dadu bergulir ke tanah dan menunjukkan angka empat. Tommy melihat angka di dadunya tapi ia juga melihat ketiga boneka Nim datang menyerangnya bersamaan. Sebelum terlambat, Tommy memerintahkan monster guritanya melilit Nim lebih kencang serta menyabetkan tentakelnya yang lain ntuk menyabet tubuh Nim. Serangan sihir es, panah beracun dan lemparan pedang dari boneka Nim pun tidak terelakkan. Tommy yang malang. Tubuhnya tidak bisa bergerak untuk menghindar.

Sementara Nim terdengar menjerit saat Immanuel terjatuh akibat serangan tentakel gurita Tommy. Ia semakin histeris saat gurita semakin kencang melilit tubuhnya, meremukkan beberapa tulangnya. Pada saat bersamaan, tentakel yang lain merobohkan pohon-pohon yang dilewatinya dan salah satu pohon roboh menimpa boneka panda Nim yang usang. Jeritan Nim menjadi, memenuhi hutan dan membumbung tinggi ke angkasa.

***

Xabi terbangun karena ia mendengar suara teriakan keras dari angkasa. Ia menatap langit yang hampir gelap. Luka di perutnya mulai mengering berkat rumput yang tadi ditumbuknya. Teriakan tadi terdengar begitu nyata, tetapi keadaan hutan sangat sunyi dan tenang. Xabi berdiri, ia tahu tidak mungkin melanjutkan perjalanan malam ini, belum lagi tenaganya belum pulih. Ia memutuskan untuk memanjat sebuah pohon yang ternyata bersebelahan dengan sebuah pohon apel. Rupanya ia tidak perlu repot-repot mencari makanan untuk mengisi perutnya yang kosong. Setelah menghabiskan beberapa buah apel, Xabi tertidur di atas batang pohon yang besar itu dengan perut yang  full.


Ketika matahari terbit dari ufuk timur, burung-burung berkicau dan hutan kembali hidup. Xabi perlahan membuka matanya dan sangat terkejut ketika melihat sungai dengan air yang tenang tak jauh dari tempatnya berada. Xabi buru-buru turun dan menuju sungai dengan air yang jernih itu.

Tidak buang waktu, Xabi jongkok, mengambil air dan meminumnya. Ia sangat haus dan tidak peduli apakah air itu layak minum atau tidak. Tapi mengingat airnya yang jernih dan keberadaannya di tengah hutan, Xabi yakin air itu aman untuk di konsumsi. Maka ia pun minum sepuas hati. Tak lupa ia membersihkan luka di perutnya.  Saat itulah ia teringat Marion. Segera di rogohnya saku celananya untuk mengeluarkan abu dan menaburnya di sungai.

“Maafkan aku…semoga kau bisa tenang setelah ini.” Ucap Xabi menunduk.

“Dia pasti sangat berarti untukmu…” sebuah suara terdengar dari belakang.

Xabi menoleh. Dilihatnya seorang wanita berambut pendek dengan salah satu mata yang ditutup dengan semacam eyepatch. Wanita itu memakai rompi anti peluru dan membawa beberapa senjata tajam dan senjata api lengkap dengan pelurunya.

“Tidak juga…” Xabi berdiri. Ia tahu bahwa wanita ini adalah salah satu dari yang terpilih karena wanita itu bisa melihatnya.

“Tidak? Cukup aneh…”

“Ini hanya perasaan bersalah…” Xabi mengawasi pergerakan wanita di hadapannya. Wanita itu mungkin saja akan menyerangnya.

“Hei…kau remaja yang cukup unik,” wanita yang ternyata cukup berotot itu berjongkok kemudian meneguk air sungai, “…segar sekali.”

Bagi Xabi unik memiliki arti yang berbeda. Kata itu bisa digunakan untuk memuji atau malah menjelekkan. “Apa maksudmu dengan ‘unik’?”

“Apa kau tersinggung? “

“Mungkin…”

“Hahaha…apa kau tahu, nak? Biasanya seseorang akan menanyakan nama terlebih dahulu pada orang yang baru saja dikenalnya, tapi kau berbeda…”

“Apa itu penting?”

“Tentu saja…kau akan bangga jika kau mengetahui siapa saja yang telah kau bunuh…”

“Baiklah…jadi, siapakah nama anda?” Xabi memerhatikan bayangan si wanita kekar di air.

“Aku…namaku Yvika. Yvika Gunhildr. Pimpinan RIGS,”

“Baiklah…kau bisa memanggilku Xabi. Kurasa kau tak butuh nama keluargaku, kan? Lagipula, nama tidak akan berpengaruh pada jalannya pertandingan. Thurqk tidak akan mungkin bisa dikelabui…”

“Hmm…” Yvika berdiri. Ia menerka-nerka apakah anak ini sudah tahu kalau ia memerhatikannya sejak kemarin. “Dengan kondisi seperti itu, kemungkinanmu untuk menang tidak lebih dari 46%.”

“Memangnya kenapa?”

“Apakah kau tidak berniat mengalah?”

“Apa?” Xabi menatap Yvika tajam. Biarpun ia harus melawan seorang wanita lagi tapi ia pantang untuk mengalah. Mengalah berarti kalah.

“Aku hanya memberikan penawaran…kalau tetap mau bertarung pun aku tidak keberatan.”

“Kalau begitu kenapa tidak kita mulai saja?” Xabi melompat ke belakang, menyeberangi sungai sementara Yvika mundur ke arah hutan. Keduanya bersiap siaga, menunggu siapa yang akan duluan menyerang. Melihat Yvika yang sepertinya tak akan menyerang mendorong Xabi untuk melesatkan sebuah batu dengan ketapelnya ke arah Yvika. Tapi dengan mudah wanita berkulit cokelat itu berguling ke tanah untuk menghindar.

“Hmm…tidak jelek,” gumam Yvika. Ia mulai menggenggam sebuah pedang pendek di sabuknya. Yvika melakukan warp hingga Xabi tidak menyadari pergerakannya. Cepat sekali ia sudah berada di hadapan Xabi dan bersiap menusuk dada Xabi dengan pedang pendeknya.

Xabi gugup melihat wanita yang ia kira pantas di sebut ibu-ibu itu tahu-tahu sudah ada di hadapannya. Namun dengan cepat ia mengeluarkan pedangnya dan membentuknya menjadi sebuah katana yang sering dipakai oleh para samurai dari Jepang.

Trang!!! Besi-besi dingin itu beradu. Yvika yang kuat terus mendesak Xabi sementara anak lelaki berambut jabrik itu berusaha mematahkan serangan Yvika.

Dia sangat kuat untuk seorang wanita! Lagi-lagi Xabi sedikit kesal karena harus bertarung dengan seorang wanita meskipun kali ini Yvika memang terlihat seperti seorang militer terlatih dengan jam terbang yang tinggi. Tentu Xabi tidak tahu bahwa itu memang benar. Meskipun Xabi sedari dulu selalu diingatkan oleh kakeknya akan bahaya dari seorang wanita. Xabi sebenarnya tidak paham betul. Ia tidak mngerti kata-kata kakeknya yang mengatakan bahwa wanita adalah makhluk lemah sekaligus makhluk terkuat. Mereka indah tapi mematikan, begitu kata kakek Xabi. Dan meskipun ia sampai hari ini tidak tahu mengapa kakeknya berkata begitu, tapi Xabi tahu ia memang perlu waspada dengan makhluk yang bernama wanita. sejauh yang ia tahu, kata-kata kakeknya tidak pernah salah.

I won’t be the victim!” Xabi mengumpulkan tenaganya di tangan kiri hingga terbentuk pusaran angin kecil kemudian melemparkannya ke arah wajah Yvika hingga wanita tiga puluhan itu menjatuhkan pedangnya dan sekali lagi menggunakan gelangnya untuk melakukan warp. Namun kemudian ia datang lagi dengan dua buah belati dorong yang siap di tancapkan pada tubuh Xabi. Xabi memperlebar pedangnya dua kali lipat dan berkali-kali menangkis serangan Yvika.

Setelah bosan dengan blatidan tidak membuahkan hasil, Yvika melemparkan dua buah belati ke arah Xabi dengan kecepatan tinggi dan berharap dapat mengenai lawannya. Namun ternyata bocah sembilas tahun itu berhasil menangkisnya dengan pedangnya yang makin melebar. Kedua belati terpental tapi ternyata jari musuhnya sempat terkena sabetan belati karena darah menetes walau hanya sedikit. Ia dapat melihat napas lawannya mulai sedikit berat.

Yvika tidak ingin membuang waktu, ia ingin segera mengalahkan bocah di hadapannya ini. Tapi tentuya ia juga tidak mau mengamil tindakan yang gegabah. Meskipun lawannya masih muda dan terlihat biasa saja, belum tentu ia memang sepert itu, apalagi bocah lelaki itu tadi sempat membuat pusaran angin dan membuatnya melepaskan pedangnya serta mundur. Yvika ingin kembali ke rumanya, bersama keluarga yang ia cintai tentu. Ia sangat mengutuk para pemberontak kerajaan Eydis. Mereka yang berkhianat dan menghancurkan tempat tinggalnya. Meskipun ia tidak tahu bagaimana keadaan Eydis tanpa dirinya. Keadaan keluarganya tanpa dirinya. Dan Lana? Apakah ia selamat? Jika iya, siapakah yang akan selalu mendongengkan cerita happy ending untuk gadis itu?

Yvika tak ingin berlarut-larut dalam pikirannya, ia harus berkonsentrasi untuk mengalahkan musuh di hadapannya ini, walaupun ia kurang setuju nebyebutnya musuh. Mereka baru saling mengenal dan tidak terkait satu sama lain di kehidupan dulu. Tapi Yvika mengerti bahwa mengalahkannya adalah satu-satu jalan. Memenangkan turnamen ini adalah satu-satunya cara untuk meminta pada sang Dewa agar ia dapat kembali ke kehidupannya yang dulu.

Akhirnya wanita itu mengambil sebuah handgun yang tergantung di pundaknya. Ia membidik sasaran dan menembak Xabi tapi bocah lelaki itu tahu Yvika akan menembaknya hingga ia berusaha menghindar. Namun akurasi dari tembakan Yvika sangat tinggi hingga biarpun menghindar, peluru yang dimuntahkan handgun Yvika berhasil menyentuh cincin di alis kanan Xabi hingga membuatnya mengaduh dan menutup alis kirinya dengan tangan.

Yvika tidak peduli dengan suara Xabi. Ia bersiap untuk menembakkan peluru keduanya tapi ternyata Xabi bergerak menjauh, memasuki hutan, menghindari peluru Yvika yang pada akhirnya bersarang di sebuah batang pohon yang daun-daunnya telah layu. Beberapa burung terlihat menjauh, meninggalkan sarang dan dahan-dahan pohon yang sedari tadi mereka jadikan pijakan untuk menyaksikan dua insan pilihan dari sang Dewa Thurqk.

***

Bunyi peluru yang beradu dengan pedang terdengar nyaring di hutan kala itu. Xabi menggunakan pedangnya yang lebar untuk dipakai sebagai tameng. Ia terpaksa memaksimalkan ukuran pedangnya karena tembakan-tembakan Yvika selalu akurat dan membuat Xabi harus  terus melompat menghindari serangan wanita itu sambil mengayunkan pedangnya sebagai penghalang.

Meski Yvika mengalami benturan yang hebat kala terhempas dust devil Xabi yang berkecepatan 200 km/jam tapi untunglah hampir semua peralatannya tidak rusak. Yvika hanya kehilangan pouch sabuk kiri yang berisi peluru cadangan untuk senjatanya. Sekarang ibu dariseorang putri itu hanya memiliki lima peluru handgun serta sebuah granat. Yvika tidak menyangka Xabi akan bertahan hingga sekarang. Tentunya apabila ia memiliki peluru cadangannya, ia akan lebih leluasa untuk menyusun strategi mengalahkan lawannya.

Xabi kehilangan kesempatan untuk menggunakan pedangnya. Waktunya terlalu lama. Jika ia memaksa untuk menggunakannya, energinya akan benar-benar habis. Jadi ia memutuskan mengembalikan pedangnya menjadi jarum dan menyimpannya dalam kotak di saku. Xabi harus lebih rajin menghindar atau ia akan kena tembak Yvika lagi. Alisnya yang robek masih terasa menyakitkan ketika diterpa angin saat ia bergerak menghindari Yvika. Ia menghindar lebih jauh ke dalam hutan, hampir dekat dengan kota tempat ia bertarung dengan Marion pertama kali. Xabi memutuskan bersembunyi di sebuah pohon besar. Meski ia tak tahu penyebab Yvika selalu mengetahui keberadaannya dengan eyepatch di matanya tapi Xabi ingin menyingkirkan benda itu dari Yvika. Benda itu membuat Yvika terlihat lebih tua dan seperti bajak laut.

Yvika melempar granat ke arah pohon tempat Xabi bersembunyi. Ia dapat dengan mudah melacak keberadaan bocah itu karena memang sejak awal ia sudah mengunci Xabi dengan benda di mata kanannya itu. Suara ledakan terdengar, membuat pohon besar itu terbakar dan beberapa pohon yang lebih kecil tumbang.

Xabi terlempar dari tempatnya, terbentur dahan pohon yang akhirnnya runtuh kemudian jatuh berguling sebelum akhirnya sebuah batu menahan gerakannya. “Argh…” Xabi mengerang dan menggeliat. Sekujur tubuhnya penuh luka dan memar. Ia kesulitan untuk berdiri setelah tubuhnya membentur batu. Dengan penglihatan yang masih buram ia melihat Yvika datang mendekat dan mempersiapkan sebuah senapan. Susah payah Xabi berusaha duduk dan menajamkan penglihatannya. Yvika semakin mendekat dan mulai mengacungkan tangan kanan serta kirinya.

“Ya…pada akhirnya hidup memang seperti game. Harus ada yang kalah dan menang. Kuharap kau bisa berlapang dada, Xabi…” Yvika berhenti melangkah. Dalam posisi diam akurasinya akan sangat tajam. Meskipun Xabi sudah kesulitan untuk bergerak tapi ia tak mau ambil resiko. Rasanya seperti menembakkan peluru eksekusi untuk kejahatan yang tidak ia ketahui. Ia tidak tahu seperti apa menggambarkan rasa itu, yang jelas ekspresi wajah Yvika begittu dingin dan tidak nampak sama sekali sifat keibuan. Yvika bersiap menarik pelatuk ke dua handgun-nya.

Xabi terbatuk. Setitik darah keluar dari mulutnya. Ia melihat kedua ujung senjata Yvika yang ditodongkan padanya. Apakah ia akan mati? Ah…dia baru ingat kalau sebenarnya ia memang sudah mati. Ia bahkan tidak memiliki alasan untuk tetap bertahan di turnamen Thurqk kecuali ertarungan itu sendiri. Setelah ini, mungkin ia tidak akan pernah bertarung kembali. Ia harus menjalani kehidupan akhirat yang sesungguhnya dimana orang baik akan damai dan bahagia sementara orang jahat dan nakal sepertinya akan diganjar dengan kesengsaraan abadi.

“Xabi…”

Sebuah suara terdngar. Bukan, bukan suara Yvika karena suaranya terdengar halus dan lembut. Xabi membuka lebar matanya. Tak ada Yvika, tak ada hutan yang terbakar dan tak ada langit biru. Yang ada hanya cahaya putih menyilaukan. Apakah Yvika telah menembaknya? Sepertinya ini adalah kematian ke dua untuknya.

Tiba-tiba sesosok perempuan berbaju merah datang bersama seorang lelaki berjubah hitam. Nampak seperti malaikat karena badan mereka bercahaya, berbinar sangat indah. Perempuan berbaju merah itu mendekat, rambutnya yang hitam tergerai indah.

“Kau tidak boleh menyerah, anakku…dewa telah memberikanmu kesempatan untuk memperbaiki hidup. Bangkitlah…” wanita itu menyentuh pipi Xabi. Sentuhan terlembut yang pernah Xabi rasakan.

“Ayah dan ibu…” perempuan itu melirik pria kekar berjubah hitam yang kemudian tersenyum, “…kami tak pernah menyalahkanmu atas kematian kami. Kami menyayangimu, anakku…”

Kemudian perempuan itu bangkit menjauh dan menggandeng pria berjubah hitam. Mereka berjalan menjauh dan menjauh. “Hiduplah dengan baik, anakku…” suara itu menggema dan cahaya menelan dua sosok itu hingga muncullah sesosok wanita berompi yang tengah menarik pelatuk handgunnya.

Xabi tersadar. Seperti mendapat semangat baru, secepat  yang ia bisa dibuatnya kumparan angin berdebu dan dilepaskan ke arah datangnya peluru. Peluru berbelok dan pusaran angin semakin kencang, perlahan percikan api muncul dan debu-debu yang berputar berganti menjadi api yang juga berputar. Hanya saja lebih cepat. Yvika dengan sigap melompat ke belakang dan mengaktifkan zirah pelindung yang ada di tangan kirinya.

Xabi menjebak Yvika di dalam tornado apinya, membawa wanita itu berputar-putar di dalam zirah pelindungnya. Namun zirah pelindung Yvika begitu kuat. Meski ia terombang-ambing di dalam pusaran api, tapi Yvika tidak terluka sedikitpun.

***

Yvika terus dibuat berputar-putar mengikuti pergerakan api. Sedikit pusing ia di buatnya. Yvika berusaha untuk melawan arus dan keluar dari angin penuh api ini. Zirahnya hanya aktif selama 30 detik. Ia tidak boleh terlalu lama dalam pusaran api. Yvika melihat celah beberapa meter di puncak tornado dan ia tahu ia harus segera ke sana.

Xabi mengetahui pergerakan Yvika. Meskipun ia tidak tahu apa tujuan Yvika bergerak ke atas, Xabi mengerti ia harus mencegahnya. Jadi dengan sisa tenaga yang ia miliki. Ia memperbesar tornado apinya, membuatnya semakin tingg namun diameternya semakin kecil. Xabi mulai merasa kelelahan. Ia tidak tahu akan bertahan sampai kapan. Tenaganya benar-benar habis dan ia kehilangan kendalinya atas kumparan angin berapi.

Tornado itu bergerak bebas, membakar apa saja yang dilewatinya. Yvika hampir mencapai puncak namun sesaat sebelum itu, zirahnya telah hilang sehingga tubuhnya terbakar di dalan pusaran api seperti Marion.

***

“Hei…bocah! Bangun!”

Seseorang menarik baju Xabi sehingga ia sadar. Dilihatnya langit biru kemerahan tanpa awan dan matahari sore hangat mengyinari. Ia melirik orang yang membangunkannya, makhluk setinggi dua meter dengan sayap gagak.

“Apa aku akan menerima hukumanku, sekarang?” Xabi terbatuk. Ia tidak memiliki tenaga untuk bangun.

“Apa yang kau bicarakan?” Hvyt mengangkat tangan Xabi yang lemah tak bertenaga. “He? Tenagamu benar-benar habis? Payah! Padahal lawanmu tadi perempuan semua…” Hvyt mengangkat tubuh Xabi dan membawanya terbang. “Ronde kedua menantimu, nak…”

-Ronde pertama selesai-

13 comments:

  1. Pertarungannya seru dan menarik, ya paling itu saja. saya tidak mau berkomentar banya. untuk menambah semangat saya kasih 8/10

    ReplyDelete
  2. Saya menyayangkan Nim sama Tommy kayanya beneran figuran yang dihilangkan dari cerita ini pun ga ngaruh ke Xabi. Selain itu paragrafnya beneran padet, bikin agak berat bacanya. Dan mungkin saya aja, tapi karena kebanyakan menjelaskan daripada menceritakan, feel ceritanya rada hambar dan kurang ada karakternya

    6/10

    ReplyDelete
  3. battlenya pas buat saya...
    tapi sayang lebih ke menceritakan, jadi kurang seru.
    seharusnya bisa lebih baik lagi.

    8/10

    ReplyDelete
  4. Saya ga yakin apakah ini karena tiap paragraf banyak tulisannya, apakah karena kalimatnya banyak yang tell, atau karena deskripsinya kebanyakan, atau karena terlalu fokus ke berantem, yang jelas saya jadi berat banget bacanya. Battle awal masih baca, tapi lama-lama skimming lambat, sedang, cepat. >.< Pertarungannya kayaknya kepanjangan deh.

    Trus, mau kasih saran aja, kalau dari sudut pandang saya, gimana tulisan yang saya bacanya lebih ringan...

    Misal paragraf ini :

    "Yvika terus dibuat berputar-putar mengikuti pergerakan api. Sedikit pusing ia di buatnya. Yvika berusaha untuk melawan arus dan keluar dari angin penuh api ini. Zirahnya hanya aktif selama 30 detik. Ia tidak boleh terlalu lama dalam pusaran api. Yvika melihat celah beberapa meter di puncak tornado dan ia tahu ia harus segera ke sana."

    Klo menurutku itu informasinya yang diberikan agak putus dan kurang kesinambungan, sehingga saya agak sulit mencerna. Selain itu juga informasinya terlalu banyak pengulangan hingga kurang efektif. Imo bisa dibuat lebih ringkas :

    "Pergerakan api terus membuatnya berputar hingga matanya berkunang-kunang. Padahal tak lama lagi kekuatan zirahnya akan berakhir. Biar bagaimana pun ia harus keluar dari tornado api ini. Begitu melihat celah di puncak tornado, Yvika tahu ia harus segera ke sana."

    Imo sih begitu.

    Untuk battle ini saya beri nilai 5 dulu ya..

    ReplyDelete
  5. "Story telling is not telling story. Story telling makes your reader/your audience feel as if they are in the story. While, telling story makes them feel like reading a report." - unknown author -

    Quote di atas pernah umi baca di sebuah buku novel yang umi lupa namanya apa. Kenapa Umi kasih kamu Quote itu? sederhana, karena Umi ngebacanya berasa kayak lagi denger/baca report dari orang-orang yang baru selesai umi minta mengerjakan sesuatu.

    Umi ngerti sifat mereka semua. Umi dapet pengkarakteran mereka. Umi dapet juga semua hal yang terjadi di antara mereka. Tapi satu, Umi enggak dapet feel apa yang mereka rasakan. Ya itu tadi, Umi berasa kayak sedang dikasih report kayak gini. "Komandan, ini terjadi, itu terjadi, Kami sudah melakukan ini dan itu. Lapor, semua aman terkendali."

    Terus Umi juga beberapa kali ngerasa pengulangan kalimat. Kayak cerita waktu Nim ketemu sama Tommy.
    ------------------------------------------------------------------------------------------------
    "Sebenarnya ia kurang senang berhadapan dengan seorang bocah lelaki kecil. Ia tidak tega untuk melukai seorang bocah secara langsung karena ia merasa bocah itu masih kecil dan tidak akan seimbang untuk menjadi lawannya. Padahal sesungguhnya bocah kecil yang bernama Nim itu memiliki kekuatan yang amat sangat mengerikan."
    ----------------------------------------------------------------------------------------------------
    bisa diubah jadi :
    ----------------------------------------------------------------------------------------------------
    "Sebenarnya ia kurang senang berhadapan dengan seorang bocah. Rasanya Ia tidak tega untuk melakukannya. Bocah itu masih kecil dan tidak seimbang jika harus menjadi lawannya."

    Mungkin Eka bisa belajar untuk membuat cerita dramatis :D karena menurut Umi, tulisan ini jika dipoles dengan dramatisasi di posisi-posisi yang tepat (yah misalnya pas matinya Marion) bisa membuat cerita ini punya nilai lebih :D

    Silahkan dipertimbangkan sarannya :D

    Sebagai nilai umi kasih 6/10

    Semangat!!

    ReplyDelete
  6. Makasih ya semua udah baca plus rate tulisan ini. Saran dan kritik akan saya perhatikan untuk ke depannya :)

    ReplyDelete
  7. Hmmm mungkin karena terlalu banyak tell dan kurang efektif dalam merangkai kalimat jadinya narasinya terasa berat dan alurnya agak dragging. Selain itu bagian Nim-Tommy, battlenya lumayan seru. Moi kasih nilai 6.5

    ReplyDelete
  8. Kalau boleh saya kasih saran, hindari repetisi (pengulangan) yang bertubi-tubi hingga membuat pembaca skimming, seperti caramu mengawali paragraf dengan "Yvika begini" dan "Xabi begitu".

    Don't worry too much, saya dulu juga pernah seperti itu nulisnya~ XD

    Mengenai struktur kalimat dan pemilihan kata, luar binasa sekaku laporan penulisan ilmiah. Maaf saya ga bisa kasih contoh mengenai cara merangkai kalimat yang baik.

    Saranku untuk itu, coba kau selami keadaan yang dialami Xabi, selami karakternya. Apa yang seharusnya dinarasikan dari keadaan tersebut? Bagaimana caramu melihat keadaan tersebut bila kamu yang berada di sana?

    Atau kau bisa saja mulai dari mempelajari struktur kalimat yang digunakan para peserta lainnya di sini, pelajari juga gaya penulisan mereka. Contek lalu modifikasi biar menjadi gaya penulisanmu sendiri~

    Good fight~

    6,5/10

    ReplyDelete
  9. show, don't just tell.

    Ini udah lumayan bagus sebenarnya. Tapi masih banyak yang perlu diperhatikan.
    Gaya bahasa, paragraf, struktur,

    +6

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -