Bagaimana bila ternyata semua manusia hidup di dalam dunia simulasi, dan makhluk yang kita sebut Tuhan ternyata hanyalah pemain sinting yang suka melihat ciptaannya hancur dan menderita? Seperti seorang anak yang memainkan The Sims dan terbahak-bahak saat ciptaan mereka terkunci di ruangan tanpa pintu, tak dapat makan, minum, maupun melarikan diri?
Pikiran itu pertama kali tercetus di benak Nurin saat ia masih SMA, hanya beberapa saat sebelum ia menetapkan hati menganggap dirinya sendiri sebagai ateis. Walau mungkin terdengar filosofis, ia tak memikirkan itu karena alasan yang berat seperti kehilangan orang tua dalam kecelakaan tragis, melihat langsung pembantaian, dan lain sebagainya. Itu semata hanya kata-kata sok berat dari seorang gadis yang merasa doanya tak didengar. Ia tidak lulus ujian perguruan tinggi negeri, hingga orang tuanya harus berberat hati memasukkannya ke universitas swasta. Pacarnya memutuskan mencampakkannya karena dia kuliah di luar provinsi. Selain itu, sejak kelas sepuluh hingga dua belas, prestasinya selalu biasa saja. Bila memang yang kuasa tak mau memberikannya yang ia mau, maka ia pun tak akan menyembahnya.
Lalu, saat ia dengan bodoh terjerat menjadi subyek eksperimen Divisi Senjata Biologis RI, ia melihat kenyataan yang lebih mengerikan dari teorinya tadi.
Divisi itu diciptakan untuk memerangi Tetua Semesta; sebutan untuk makhluk-makhluk mengerikan yang telah tercipta sebelum galaksi ini ada, dan akan terus hidup bahkan setelah galaksi hancur. Jelas, itu tugas yang sebenarnya mustahil. Sebelumnya, satu anak buah makhluk-makhluk tak masuk akal itu menghancurkan Jakarta, menyebabkan jutaan orang tewas dan kehilangan akal. Beberapa tahun sebelumnya, ratusan penduduk di pemukiman pantai selatan mencungkil mata mereka dan meninggalkan pesan darah, "Y'Golonac Datang!"
Makhluk-makhluk itu bahkan tak perlu menampakkan diri. Bila mereka mau, mereka bisa membunuh semua orang di Indonesia tanpa terkecuali.
Informasi tentang makhluk-makhluk itu dijejali ke kepala Nurin dan subyek eksperimen lain saat percobaan. Mereka bahkan dipaksa untuk menyaksikan video yang berhasil menangkap makhluk-makhluk kelas "aman" saat mereka beraksi. Sepintas penampilan mereka lebih menyerupai kumpulan moluska yang entah bagaimana bisa melayang di udara, bukannya berenang di laut. Tapi itu sebenarnya kurang tepat. Saat Nurin memerhatikan mereka dengan lebih seksama, otaknya langsung panas dan hidungnya mimisan.
Wujud gurita dan cumi-cumi itu merupakan bentuk yang paling aman untuk diterjemahkan otaknya. Saat ia nekat mengamati mereka terlalu lama, ia menyadari kalau bentuk mereka terlalu jauh di luar komprehensi manusia, hingga sekedar mencoba menginterpretasikan wujud kacaunya saja bisa menyebabkan kematian.
Nurin ambruk saat itu. Tapi, di dalam tidurnya, ia mendapat pencerahan kelam. Jika informasi intelijen negara benar, maka manusia-manusia di dunianya menghadapi pertempuran yang tak akan mereka menangkan. Tak peduli apa mereka menciptakan manusia dengan zirah besi yang dapat terbang, atau pemilik kemampuan regeneratif mencengangkan, atau bahkan pengguna telekinesis yang mampu menggerakkan bumi, pada akhirnya manusia hanyalah debu di hadapan makhluk-makhluk itu. Alasan buminya belum juga hancur kemungkinan besar hanya semata karena para Tetua Semesta tak benar-benar peduli pada planet biru kecil itu.
Saat ia kemudian terjaga, Nurin berdoa dan berdoa, mengharapkan sosok yang diajarkan gurunya dalam pelajaran agama dapat membereskan semua mimpi buruk hidup itu. Tak ada yang mendengar maupun mengabulkan. Terdengar kabar mengenai kegilaan dan kematian masal di New England, kemudian London, Kairo, Nairobi. Bisa jadi selama ia di akhirat ini, sudah lebih banyak kota di buminya yang hancur.
Dan sadarlah dia, itulah dewa-dewa sejati di semestanya. Mereka tak mendengarkan apalagi mengabulkan doa. Mereka tak ambil pusing apa yang para manusia lakukan di bumi. Bagi mereka mungkin manusia hanyalah kuman, yang bisa mereka basmi hanya dengan satu ketukan jari.
Karena itu, siapa yang peduli bila ia memperbudak dan membunuh orang? Tak ada. Siapa yang peduli bila ia mencuri, mengumpat, dan menyebabkan sekumpulan makhluk yang ia benci saling bunuh? Tak ada. Bila ia berhati-hati, ia bisa saja memperbudak seluruh Indonesia. Setelah itu, di saat ia akhirnya mati, ia hanya akan lenyap, karena bagi dewanya eksistensinya hanyalah sebuah debu. Sejak awal, norma, tata krama, dan sebagainya itu toh hanyalah alat kendali sosial ciptaan manusia untuk mengendalikan sesama… dan membohongi diri, menganggap kaum mereka sebagai makhluk terbaik, tercantik, tercerdas, tersempurna, yang eksistensinya paling dihargai oleh dewa kosmis di luar sana, agar mereka tak menyadari betapa kecilnya arti nyawa mereka yang sejati.
Sudah melalui pemikiran seperti itu, Nurin benar-benar kaget begitu mendapati akhirat memang ada. Tapi ia tak kaget begitu dosa dan pahalanya ternyata tak dihitung, dan ia justru diperintahkan untuk kembali membunuh. Malah ia senang. Ternyata, arwahnya tak dibiarkan begitu saja lenyap ke kehampaan. Ada satu makhluk yang masih peduli dan menjadikannya hiburan.
Mungkin Thurqk adalah makhluk kosmis yang disebut di berbagai kitab suci, yang pernah meluncurkan meteor untuk menghancurkan kota pendosa, menenggelamkan seluruh bumi, dan lain sebagainya. Mungkin juga tidak. Tapi setidaknya ia masih memiliki sifat-sifat manusiawi yang dapat dipahami oleh Nurin. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Kalau ia diberi pilihan, ia lebih sudi mengabdi kepada makhluk itu ketimbang dihidupkan kembali dan dibiarkan menghadapi masa depan kelam dunianya dengan kemampuan ala kadarnya.
"Nona Nurin…"
Panggilan Hvyt terdengar dari samping Nurin, membuat gadis berkacamata itu tersadar. Ia masih berada di Jagatha Vadhi, tertidur di bawah pohon Rachta. Masih ada bekas merah dari buah-buahan yang ia makan hingga kenyang.
"Sudah saatnya untuk bertarung lagi."
Di padang di hadapannya, Nurin melihat para Hvyt sudah mulai mengangkati para kontestan lain. Ada yang berteriak histeris, ada juga yang bersemangat menyambut keberangkatan.
"Mari kalau begitu," sambut Nurin sambil tersenyum masam.
Hvyt meraih tubuh Nurin dan mulai membawanya terbang tinggi. Mereka berdua melesat cepat, meninggalkan dataran Jagatha Vadhi, menuju lautan lepas yang lebih terlihat seperti kolam darah yang tak terbatas. Tak ada kapal yang berlayar di sana, juga tak ada tanda-tanda keberadaan hewan di balik cairan itu.
"Hei, Hvyt. Itu namamu, kan?" tanya Nurin.
"Hvyt adalah nama kaum saya. Kami semua adalah Hvyt," kata makhluk itu. "Tapi untuk memudahkan, silakan saja panggil saya itu."
"Baik. Hvyt."
"Ya?"
"Apa… kira-kira dewamu akan berkenan membiarkanku mengabdi kepadanya?"
"Kau sudah mengabdi kepada beliau sejak kau tercipta. Kau hanya tak menyadarinya."
Nurin terkekeh. "Yah, maksudku… mengabdi seperti kaummu. Entah, mungkin ia bisa menunjukku sebagai kepala penjara atau semacamnya. Makhluk yang mengawasi para tahanan yang bandel. Atau malah eksekutor, supaya proses eksekusi korban tidak semembosankan tadi."
Hvyt terdiam. Ia yakin baru kali itu ada kontestan yang dengan suka rela bersiap bersujud dan menerima berkah dewanya. "Dewa Thurqk maha pemurah. Jika kau bisa menghiburnya, mungkin ia akan mengabulkan permintaanmu."
"Oh." Itu keputusan yang cukup adil. Nurin bisa menerimanya.
"Tapi, mungkin beliau akan lebih suka bila kau bisa menyajikan hiburan yang lebih… baik kepada beliau. Lebih menggugah dari yang kau sajikan di ronde satu."
"Hee. Benar juga. Hiburan ya?" tanya Nurin, menyeringai. "Jangan khawatir. Akan kuusahakan melakukan itu."
#1
"Apa ada Oompa Loompa di sini?"
Itu pertanyaan pertama yang diucapkan Nurin saat ia didaratkan di Urth, pulau tempat ia akan bertarung di ronde ini. Sejauh mata memandang, tempat ini memang terlihat seperti lokasi yang lebih megah dari set Charlie and the Chocolate Factory. Tanahnya tercipta dari cokelat yang cukup kokoh, hingga sepatu belel Nurin hanya meninggalkan jejak di permukaannya, bukannya melumerkannya sekalian. Beberapa bagian buminya ditumbuhi rumput berwarna kebiruan yang memiliki aroma permen mint.
Paduan cokelat dan mint juga menjadi unsur setiap pohon yang berada di sana. Batangnya terbuat dari cokelat susu wangi, sementara dedaunannya yang biru memiliki aroma dan – mungkin – rasa mint. Ada aliran sungai susu yang bermuara di lautan merah. Di kejauhan, dapat terlihat gunung besar dari keju, dan pilar-pilar tinggi lollipop. Bahkan berdiri di situ saja membuat Nurin merasa dirinya dalam bahaya diabetes.
"Cari saja. Siapa tahu kalau kau mencari bersungguh-sungguh, mereka akan keluar," sahut Hvyt datar.
Nurin mendengus, tak tahu apa Hvyt hanya asal jawab atau makhluk itu tahu kelakarnya dan sengaja menjawab sehambar mungkin. "Apa aturan kali ini?"
"Kau hanya perlu membunuh minimal satu orang. Setelah itu, kau tinggal kembali ke sini, dan sudah, kau bisa kembali pulang."
"Hanya satu ya."
"Hanya satu. Tak perlu menunggu semua orang dihabisi."
"Pasti masih ada aturan khusus, kan?" tanya Nurin curiga.
Tapi Hvyt hanya memberinya senyum penuh arti dan jawaban ambigu, "Aturan khusus, ya. Kau akan memahaminya sendiri nanti." Tanpa memberi penjelasan lebih, ia mengepakkan sayapnya dan mulai melesat ke langit. Meski begitu, ia masih sempat menyampaikan kata-kata, "Tapi jika kau memang ingin menghibur Dewa Thurqk, maka seharusnya itu tak akan menghambatmu."
Dan Hvyt itu pun menghilang, meninggalkan Nurin sendirian di Candyland ini. Gadis berkacamata kotak itu memasukkan kedua tangannya di saku, sementara ia mulai memikirkan langkah selanjutnya. Mengingat batasan kemampuannya, mungkin ia sebaiknya hanya mengincar satu saja, tapi dalam membangun konflik ia akan menerapkan unsur drama yang baik agar penontonnya terhibur. Tapi mungkin juga ia sebaiknya mengincar sebanyak-banyaknya, agar karakter yang tersorot kamera pun lebih banyak.
Biar bagaimanapun, Nurin yakin ialah tokoh utama dalam ronde ini, terutama setelah kemenangannya sebelumnya.
Aroma cokelat, mint, susu, keju, dan permen merasuk sekaligus menusuki hidung Nurin. Alih-alih membuatnya ingin muntah, perutnya justru bergemuruh, membuatnya ingin duduk dan mulai mencoba memakan tanah dan rumput. Mungkin tak ada salahnya ia menyeruput sedikit susu vanilla dari sungai itu, sekedar mencoba rasanya. Apakah manis gula? Atau akankah ia hanya dapat mengecap sensasi gurih, seperti beberapa produk susu murni?
Tunggu.
Ia menyeka sari buah Rachta dari sisi mulutnya, sekedar untuk memastikan bahwa mereka masih ada. Punggung tangannya menjadi merah, membuktikan kalau ia memang memakan buah istimewa Jagatha Vadhi itu hingga kenyang, bukan sekedar bermimpi melakukannya. Lalu kenapa ia kembali lapar? Hvyt terbang begitu cepat, hingga rasanya ia mencapai tempat ini dalam lima menit saja.
Apa ini aturan khususnya? pikirnya takut-takut.
Di pertengahan sembilan puluhan ia pernah membaca sebuah dongeng yang kalau tidak salah berjudul Burung Biru. Ia tak ingat pasti isi ceritanya tentang apa, yang jelas dua tokoh utamanya sempat bertualang ke berbagai tempat. Salah satu yang mereka kunjungi adalah sebuah ruang pesta abadi. Tempat itu dipenuhi seluruh masakan terlezat yang ada di bumi, dan tamu ruangan dengan lahap menyantap semuanya.
Tapi, ada satu sosok yang memperingatkan kedua protagonis: bila mereka mengambil satu saja makanan di meja, mereka tak akan keluar dari ruangan itu. Mereka akan makan, makan, dan makan, melupakan orang tua, sanak saudara, hingga kekasih. Lambat laun, yang bisa mereka lakukan hanya menyantap sajian-sajian di sana, karena tak ada lagi yang bisa mereka lakukan.
Tak mau mengambil risiko, Nurin bergegas pergi mencari target. Bisa konyol jika ternyata nanti ia akan dieksekusi Thurqk hanya karena ia tak berhenti makan, bahkan setelah semua petarung lain antara sudah mati atau pulang. Ia sudah pengalaman diet sejak SMA. Menahan diri di tengah godaan seperti ini seharusnya bukan masalah.
Mungkin hanya segigit saja tak masalah, sekedar menguji apakah yang berada di sekelilingnya ini benar-benar makanan atau hanya properti, seperti di set film. Toh, tubuhnya kebal racun. Jika ternyata ia menggigit plastik atau gabus, godaan yang ia rasakan akan berkurang.
Segigit. Hanya segigit.
Nurin menggelengkan kepala, tak percaya godaan itu hampir menggerakkan tubuhnya. Baru sepuluh langkah dari titik pendaratan dan ia nyaris kehilangan kendali diri. Ia tahu satu-satunya yang istimewa dari dirinya hanyalah kemampuan racunya, tapi ia tak boleh takluk begitu saja. Ia adalah manusia istimewa.
Lalat-lalatnya, yang tertinggal seperti di ronde sebelumnya, datang menyusul dan mulai mengelilingi badannya, seakan mencoba membantu. Tapi keberadaan mereka saja sudah cukup untuk memberinya semangat.
Ya. Ia istimewa. Ia bukan pecundang, seperti yang dieksekusi oleh Thurqk. Ia bukan orang biasa saja yang menyedihkan, seperti mereka yang diusir dari Jagatha Vadhi. Ia menang dengan meyakinkan di ronde satu, dan ia pun akan menang dengan meyakinkan di ronde ini. Sudah seperti itu semestinya. Sekedar pemandangan Charlie and the Chocolate Factory tak akan mampu melumpuhkannya.
Jadi Nurin terus melangkah, mulai memasuki hutan pohon cokelat-mint. Ada lollipop yang ditancapkan di tanah dan gulali yang dibentuk sedemikian rupa di sisi batang pohon, seakan penciptanya hendak meniru bentuk jamur. Yang seperti itu masih tak ada apa-apanya. Ia masih bisa melawan godaan.
Semakin dalam, bukan hanya cokelat, permen, dan variasinya saja yang Nurin temukan. Thurqk, atau siapa pun yang menyusun pulau ini, seperti sudah mengetahui kesukaannya dan menggelar godaan di sepanjang jalan. Papan-papan dari restoran cepat saji populer, mulai dari McDonalds, KFC, Pizza Hut, Dominos, tergeletak di sana-sini. Di dekat setiap papan, terdapat meja yang permukaannya diisi oleh makanan masing-masing restoran, disajikan rapi dan siap untuk diambil.
Fast food. Junk food. Guilty pleasure terbesar Nurin dalam hidup. Ia bisa menahan diri untuk tidak asal comot daging saat makan di warteg depan kampus, tapi begitu melihat logo setiap restoran cepat saji itu, ia merasa dipanggil untuk masuk. Uang di dompet tipis? Ambil dari ATM! Uang dari ATM juga melebihi batas kuotanya dalam satu bulan? Ambil saja! Siapa yang peduli tabungan masa depan saat ia merindukan gurih dan renyahnya satu ayam goring? Sekarang saja, justru logo-logo makanan itulah yang mendorong Nurin meneteskan liur.
Celaka!
Walau staminanya sangat lemah, dia memutuskan berlari, melupakan segala kehati-hatian yang tadi ia terapkan. Ia ingin secepatnya mencapai bagian pulau yang hanya terdiri dari sajian restoran vegan, warteg Yu Jum, sate sepuluh ribuan, atau apalah. Tapi tak peduli ke mana ia berbelok, ia selalu menemukan makanan yang ia sukai. Lasagna hangat berukuran sangat besar, sate buntel, sandwich dengan daging tebal dan keju cair yang lumer. Rasa lapar dan dahaga Nurin tak tertahankan. Ia ingin makan semua itu hingga tak ada yang tersisa. Untuk menyelamatkan diri, ia terus berlari dan berlari, hingga kebodohannya mengalahkan dirinya sendiri.
Pusing, Nurin ambruk tengkurap ke tanah. Tubuhnya sampai membentuk siluet di permukaan cokelat. Ia harus memalingkan wajahnya ke samping, agar ia tak tergoda melanjutkan menjilat. Ia sebenarnya ingin sekalian menyeka mukanya yang belepotan, tapi ia tak punya tenaga untuk melakukannya.
Begini sajakah nasibnya?
Setelah sesumbar kepada Hvyt, ia akan takluk oleh lelah, hingga siapa pun yang menemukannya hanya tinggal memberinya pukulan penghabisan?
Lalat-lalat Nurin menempelinya, mencoba membantunya bangun. Tapi, meski mampu menembus kulit dan daging manusia, mereka tetap tak mampu menerbangkan sang majikan. Pandangan Nurin pun mulai memudar, sementara kelelahan mulai membawanya menuju ketidaksadaran.
Di saat itu, Nurin sempat melihat seseorang di antara pepohonan: sesosok gadis bermata bulat besar, dengan rambut panjang hitam dan bando merah. Gadis itu mengintip malu-malu dari batang pohon, seperti ingin menilai Nurin dulu.
"Tolong…" pinta Nurin sambil mengangkat tangan kirinya, mencoba menggapai sosok itu. Tapi sosok itu tidak bergerak, dan begitu pula dengan tubuh Nurin. Nurin pun terjatuh tak sadarkan diri, dikelilingi oleh meja-meja berisikan cake dan puding.
#2
Nurin menggelepar di lantai ruang percobaan. Di sekelilingnya, rekan-rekannya, sesama kelinci uji coba pemerintah Indonesia, turut mengalami berbagai masalah fisik, mulai dari kejang-kejang hingga meledak atau terbakar seketika. Para dokter dan ilmuwan berdiri di sekelilingnya, tapi mereka tak melakukan apa-apa, hanya mencatat dengan wajah kaku. Bagi mereka, semua penderitaan dan kematian ini hanyalah sekedar langkah untuk menemukan metode pengembangan manusia yang lebih baik.
Ini kejadian awal tahun lalu. Seperti saat itu juga, setelah merasakan sengatan dari dalam tubuhnya, lambat laun rasa sakit yang menjalari Nurin serasa menghilang sementara jiwanya terangkat, mengizinkannya melihat kehancuran itu dari atas ruangan, tanpa diketahui siapa pun.
Di sebelahnya, ada juga sosok yang mengamati semua itu. Dan dia bukan manusia.
"Lihat ini. Sekumpulan manusia berjuang mati-matian untuk mencapai hasil yang sia-sia. Mereka seperti berusaha mengeruk habis planet hanya dengan segenggam pisau kertas," kata sosok ganjil itu terkekeh. Kulitnya hitam. Dan bukan hitam seperti kaum negroid, melainkan benar-benar pekat, seakan ia hanyalah siluet tiga dimensi dari seseorang. Warna itu menyelimutinya dari ujung kaki hingga rambutnya yang panjang, membuat gaun putih yang ia kenakan terkesan sangat kontras.
"Tapi mereka memberikanmu potensi kekuatan yang bagus, bukan begitu Nurin?" kepalanya berpaling menghadap langsung Nurin. Tak ada hidung maupun bola mata di sana. Yang ada hanya mulut yang terlalu lebar dan diisi oleh deretan gigi tajam. "Harus kuakui, sebenarnya kemampuanmu itu tak akan dapat menyakiti kami. Tapi tetap saja, apa kau mau kubuka sekalian potensimu, agar kau bisa menggunakannya bersenang-senang?"
"Vous!"
Ada suara seseorang berseru, tapi adegan masa lalu ini meredamnya.
Nurin tak tahu siapa makhluk hitam di hadapannya, tapi dia bisa menebak dia tengah berhadapan dengan apa. Pastilah itu perwakilan dari Tetua Semesta. Ia tahu kalau menyetujui tawaran makhluk seperti dia bisa berakibat buruk, tapi, karena lelah diperlakukan semena-mena oleh sekumpulan ilmuwan putus asa, Nurin mengangguk.
Terdengar suara rentetan tembakan dari kejauhan. Nurin berpaling, ingin menemukan sumbernya, tapi tak ada siapa-siapa.
Makhluk hitam itu meluncur turun hingga dia berada di sisi tubuh Nurin. Ia lalu memasukkan tangannya ke dada gadis itu. "Kalau begitu izinkan aku meraih potensi dirimu…" Nurin merasa sekujur tubuhnya panas. "Dan… meningkatkan kualitasnya."
***
"Vous!"
Nurin tersentak bangun. Ada seseorang yang tengah berlutut di sampingnya, mengguncang-guncang tubuhnya. Wanita itu berkulit hitam. Hitam normal kali ini, hingga meski warnanya segelap tanah yang baru tersiram hujan, ia tahu ia tengah berhadapan dengan manusia. Wanita itu membubuhi wajahnya dengan lipstik merah dan cat wajah putih, membuatnya terlihat seperti badut. Pilihan pakaiannya, blus kuning dengan bantalan lengan tebal dan celana krem kecokelatan, terkesan tak cocok dengan kulitnya.
"Hei, vous, bangun!" beberapa lalat mencoba mendarat di tubuh wanita itu. "Merde, apa-apaan sih?!" teriaknya sambil mengibaskan tangan, menghalau mereka. "Vous sungguh butuh mandi. Tapi sebelumnya… ayo bangun dulu! Bangun! Ada mademoiselle gila yang bisa membunuh vous kalau vous kelamaan di sini!"
Rentetan senapan mesin terdengar di kejauhan, disusul teriakan murka seorang gadis muda, "Di mana kamu badut negro keparat?! Sini!"
Mata Nurin membuka lebih lebar. Ia lihat wanita berkulit hitam itu sebenarnya terluka. Darah menggenang di bagian bahu pakaiannya yang kotor karena terkena cokelat. Wajahnya pun terlihat lelah. Tapi, atas alasan yang tidak ia ketahui, wanita itu mati-matian mencoba membangunkannya. Benar-benar untuk menolongnya, kah? Atau justru untuk menyelamatkannya?
"Mon Dieu! Vulgar sekali mademoiselle yang satu itu!" gerutu si wanita. "Hei, vous. Vous! Kau mau kuting-" lalat-lalat semakin gencar menyerbu. "Merde, kalian ini mengganggu!"
Wanita kulit hitam itu menggerakkan lengan kanannya untuk memukul lalat. Secara ajaib tercipta penepuk serangga di tangan kanannya. Hampir saja ia mengenai satu, dan menyebabkan seluruh lalat itu merubung dan merasuki tubuhnya, tapi Nurin berhasil menghentikan tangan wanita itu sebelum terlambat.
"A-ada apa?" tanya Nurin pelan.
"Ah, akhirnya vous bangun! Ada mademoiselle sinting yang berkeliaran di sini..."
"Kamu kira kamu bisa sembunyi begitu saja, negro?!!" teriakan si gadis marah semakin dekat, begitu pula dengan tembakannya yang tak berhenti-berhenti. "Aku akan membunuhmu dengan perlahan, kau dengar?! Akan kupastikan kau menyesal telah menyakitiku sampai seperti ini!"
"Jadi, mungkin sebaiknya kita cepat pergi. Vous mengerti kan?"
"Mungkin."
Sebenarnya, ada indikasi kalau yang diincar gadis penyandang senapan mesin itu hanya si wanita kulit hitam ini saja. Tapi Nurin masih ingat kalau yang membunuh satu orang saja bisa keluar dari sini. Ia tak mau menghadapi seorang pengguna senapan mesin sendirian, jadi ia berdiri dan mulai berjalan, memudahkan si wanita kulit hitam untuk memapahnya. Para lalat masih mencoba menyerang wanita itu, tapi Nurin mengisyaratkan agar mereka tidak bergerak dulu. Ia ingin mengetahui terlebih dahulu kemampuan penolongnya ini sebelum mengambil tindakan.
Ia tak menyangka ada bagusnya juga ia ambruk karena kebodohannya sendiri. Terkadang, pingsan bisa membangkitkan simpati dari orang-orang yang terlalu baik. Ia harus mencatat ini untuk digunakan dalam kesempatan lain...
Satu roket meluncur, mendarat di pohon cokelat lima puluh meter jauhnya dari Nurin, menerbangkan serpihan manis ke udara sekaligus menulikan kuping kiri Nurin selama beberapa saat. Tetap ia bisa mendengar makian kasar si gadis, "Aku bisa mencium baumu, badut negro!"
"Tentu kau bisa, maniak! Tentu kau bisa mencium parfum Versace moi dari kejauhan sekalipun!" bisik wanita itu kesal, membuat Nurin mulai menyangka dia diselamatkan hanya untuk menyamarkan bau parfum si perempuan ini.
Yang datang kemudian adalah rentetan tembakan. Peluru-peluru meluncur dengan cepat dari senjata otomatis, dengan mudah menghancurkan meja makan dan penghalang lain yang berada di jalan. Beberapa butir bahkan hampir mengenai Nurin. Dihadapkan pada situasi seperti, penyelamatnya yang eksentrik membawa Nurin berlari dengan merunduk. Langkah mereka cepat namun tak menimbulkan bunyi.
Begitu menemukan cekungan dalam di tanah, si wanita mengajak Nurin melompat ke sana.
"Mungkin sebaiknya kita berpisah," usul Nurin, terengah. Ia hampir pingsan lagi. "Tubuhku... tubuhku bau, dan..."
Penyelamat Nurin kali ini membekap mulutnya. Bukan untuk membunuh, tapi karena ia bisa mendengar suara langkah kaki dan gerutuan. "Sialan. Di mana dia?" sepertinya ia tak melihat jejak Nurin, yang seharusnya masih tercetak di tanah. "Brengsek. Seharusnya aku sudah pulang sejak tadi. Seenaknya saja kabur-kabur!"
Pemilik suara itu menjauh, tak pernah benar-benar mendekati tempat persembunyian Nurin. Ia dan penyelamatnya sempat menghabiskan waktu lama berdiam di sana, menunggu hingga keberadaan gadis penyandang senjata berat itu tak lagi terasa. Begitu saat itu tiba, mereka pun merangkak keluar.
#3
Nurin menyantap segala yang ada di hadapannya. Tanah cokelat, yang sebenarnya sudah ia injak, rumput, "jamur" lolipop. Tak cukup sampai di situ, ia juga merangkak ke meja, menengak soda, lalu menyambar juga sup ayam dan spaghetti di sana. Ia ingin memasukkan semuanya ke perutnya. Bodoh sekali ia, menganggap semua makanan ini berharga. Ini adalah berkah, dan mubazir bila ia menyia-nyiakannya. Terutama bila setelah turnamen ia hanya akan makan buah Rachta. Jadi ia terus makan, makan, makan...
Hingga penyelamatnya menghentikannya. "Oui, cukup mademoiselle. Cukup. Moi rasa kamu sudah puas, kan? Lupakan dulu saran orang tua vous untuk makan sampai kenyang. Kita tidak bisa kenyang di pulau ini."
Begitu diingatkan, baru Nurin teringat kembali akan satu bagian kisah Burung Biru. Ia menyerah, membiarkan penyelamatnya memapahnya ke pohon, di mana mereka bisa duduk bersebelahan dan menarik nafas.
Colette, itulah nama si wanita kulit hitam. Dia memperkenalkan diri tadi, saat mereka mengendap-ngendap memperlebar jarak dengan gadis gila yang memburunya.
Di telinga Nurin, wanita itu berbicara dengan bahasa Indonesia beraksen Prancis dan sesekali diselipi kata-kata Prancis pula. Cara bicara seperti itu sebenarnya mengesalkan, tapi ia tak memprotesnya. Wanita itu sudah kelelahan, dan masih terluka, namun ia dengan bodohnya lebih memilih untuk mencoba merawatnya duluan.
Nurin melirik. Cat wajah Colette mulai lumer karena peluh. Wajahnya semakin pucat dan lemas, karena darah di bahunya tak kunjung berhenti. Rasa sakitnya pasti tak tanggung-tanggung, karena ia bahkan tak bereaksi terhadap aroma busuk bagai mayat yang Nurin senantiasa pancarkan.
Di dunianya yang hampa, Nurin selalu memandang rendah orang yang berbuat baik. Ada yang mementingkan kebutuhan orang lain di atas diri mereka sendiri karena harapan semu akan pahala, yang sejatinya tak dicatat siapa pun atau apapun. Ada yang mementingkan perhatian, dan karenanya selalu siap membawa serta juru kamera untuk merekam aksi mereka.
Ada juga yang melakukan itu murni karena mereka merasa itu benar, walau logika mereka sendiri pasti memprotes. Ia rasa Colette berada di golongan terakhir itu, dan itu tak membuatnya terkesan.
"Kamu perwakilan Hvyt?" tanya Nurin pada akhirnya.
"L'Ange Rouge?" Colette balik bertanya. "Non. Untuk apa pula moi menjadi perwakilan monster-monster seperti itu. Moi adalah seorang artiste, Mademoiselle Nurin. Dan moi punya taste yang lebih dari itu."
"Lalu kenapa kamu menolongku?" keheranan Nurin tidak hilang. "Kamu sudah terluka. Akan lebih gampang kalau kamu menginjak kepalaku saat aku pingsan, supaya kamu bisa langsung pulang."
Colette terkekeh. "Karena moi salah masuk turnamen. Ya, itu rasanya alasan yang bagus."
Nurin mengerutkan dahi, meminta penjelasan lebih.
"Moi adalah artiste. Bukan pembunuh. Di ronde lalu, moi..." tangan Colette bergetar. "Moi membunuh seseorang. Bukan dengan cara yang bersih seperti di film-film pula. Moi... moi mengalungkan rantai ke lehernya..." Colette menelan ludah, dapat merasakan kembali aroma tubuh lawan terakhirnya. "Moi mencekiknya..." suara tercekik kembali menghantui telinganya. "Sampai mademoiselle itu... tidak bergerak lagi." Ia menutup mata. "Saat itu moi bahkan sudah bunuh diri, tapi... monster-monster itu meminta moi untuk lanjut. Jadi beginilah jadinya."
"Berarti kamu tidak punya motivasi melanjutkan turnamen ini, bukan?" Nurin menatap lalat-lalatnya. Tak ada masalah bila ia menggerakkan mereka untuk menjadikan Colette sebagai inang.
"Sebenarnya ada..." sahut Colette sendu. "Ada satu anak yang ingin moi lindungi di Jagatha Vandhi. Seorang pengamen, namanya Oochoop."
"Dia di sini juga?"
"Non. Sepertinya... non. Ingat papan digital besar yang muncul menayangkan pengumuman?" Dan juga eksekusi sebelas peserta. Tak mungkin Nurin melupakannya. "Nama Oochoop tak ada di situ. Dia mungkin berada di pulau lain, diperintahkan untuk membunuh lagi."
"Lagi? Berarti dia sudah membunuh."
"Non!" seru Colette, ekspresi cerianya memudar, memperlihatkan kekhawatiran dan ketakutan yang ia coba pendam. "Maksud moi... maksud moi... oui, Oochoop pasti sudah membunuh. Mais, moi lebih senang menganggap... keluguan bocah itu masih terjaga. Hanya saja... saat moi bertemu lagi dengan Oochoop sebelum ronde deux ini... moi dapat merasakan kalau Oochoop sudah..."
"Ya. Pasti. Dan jika kau bertemu dengan dia lagi nanti, berarti dia sudah membunuh lebih banyak orang lagi."
"Vous... tolong jangan katakan hal-hal seperti itu."
"Baik, kalau kau begitu ingin menyelamatkan Ucup ini, bagaimana kalau kau membunuhku?" tantang Nurin. Bahkan di dalam hatinya sendiri ia tidak tahu kenapa ia mengucapkan itu. "Aku tidak akan melawan." Lalat-lalat di sekelilingnya bergerak, secara tidak langsung ingin menyampaikan dia berbohong.
"Moi tidak akan membunuh vous. Terutama karena vous tak pernah melakukan apapun terhadap moi," balas Colette, mulai merasa tidak nyaman terhadap usulan Nurin.
"Kalau begitu apa... vous ingin moi membunuh vous? Moi juga punya tujuan, dan moi tidak ingin menghabiskannya di pulau lapar ini," kata Nurin, kekesalannya menyembul dalam wujud parodi gaya bicara Colette.
"Non, itu tidak benar!" bantah Colette. "Moi juga masih ingin hidup! Tapi... tapi dibanding vous, moi lebih baik membunuh Za-nee."
"Zani?" interpretasi Nurin dari cara Colette melafalkan nama. "Si gila tadi?"
"Oh ya. Dia. Moi menemukan dia saat menyantap déjeuner. Dia muncul tiba-tiba, kelaparan setengah mati. Jadi moi menjamunya. Dia senyum-senyum, ramah, memberi moi sepiring ratatouille yang semula tidak ada di meja. Lalu dia menembak dan memburu moi. Moi mencoba melawannya, tapi... separah apapun moi melukainya, dia selalu dapat bangkit."
Nurin membenarkan posisi kacamatanya yang hampir melorot. Itu tadi informasi yang berharga juga.
"Sudah coba menembak kepalanya? Menikam jantungnya?"
"Non, non, nun. Moi... masih agak takut menyakiti orang, jadi moi hanya bisa mencoba menahannya."
"Menggunakan cambuk di pinggangmu?"
Ada cambuk singa di sisi pinggang Colette, masih tergulung dan tergantung rapi. "Ohohohon. Kalau moi hanya menggunakan ini, moi bisa mati. Za-nee bisa menciptakan apapun yang dia bayangkan. Mulai dari peluncur misil hingga senapan mesin, seperti yang menyerang kita tadi."
Lebih banyak info bagus yang Nurin peroleh. Ia jadi bertanya-tanya, "Lalu, kemampuanmu apa?"
Colette mengucapkan jawabannya dengan jujur, membuat Nurin terperangah. "Kalau begitu bukankah kamu bisa mengimbangi dia? Kenapa kita lari berputar-putar begini, sementara ada orang brengsek yang bisa kamu jatuhkan?"
"Oui, tapi... tapi..." Colette mendesah. "Kalau kita terus lari, kita memang tidak akan bisa menyelesaikan persoalan ini, ya? Baiklah. Mau mencoba membantu moi, Mademoiselle Nurin? Setelah semua kata-kata jahat yang dia sampaikan ke moi, mungkin dia memang layak untuk mati." Rautnya muram. Ia tak benar-benar menyukai gagasan itu, namun dialog Nurin mendorongnya untuk mempertimbangkannya.
Colette berdiri. "Mungkin... mungkin moi bahkan akan menyerahkan nyawa Za-nee untuk vous. Kalau itu yang terjadi, bisa moi titip Oochoop ke vous? "
Ucup. Dari namanya, anak itu sepertinya berasal dari Indonesia juga. Tapi Nurin tak suka memiliki sahabat maupun anak asuh. Ia lebih suka memiliki budak. "Akan kupertimbangkan, kalau aku bisa lolos dari sini hidup-hidup."
"Ah, merci. Senangnya bisa menemukan orang baik di si-"
Letusan senapan dari kejauhan. Peluru tajam menembus tiga deret pohon, sebelum mendarat di bahu kiri Colette dan merusak lengannya. Wanita itu pun terjatuh. Darah mengalir deras.
"Mon Dieu. Dia... sudah menemukan kita..." desis Colette, antara kagum dan sedih melihat kondisinya. "Lari, mademoiselle Nurin." Ada tembakan lagi, tapi karena kali ini Nurin tiarap dan Colette terbaring, serangan itu hanya mengenai tanah. "Tapi tolong tepati janji vous. Lindungi Ooc..."
Dan inilah sebabnya Nurin benar-benar tak menyukai orang yang nuraninya terlalu bersih. Pada akhirnya mereka hanya akan menderita. Entah karena orang yang mereka tolong, karena diri mereka sendiri, atau oleh musuh yang mereka ampuni. Mereka akan dimanipulasi, disakiti, dan dalam situasi seperti ini, dibunuh.
Bila Nurin membunuh Colette di sini, mungkin akan lebih mudah baginya untuk lari. Mungkin juga tidak. Siapa tahu bau tubuhnyalah yang akhirnya memancing Zani ke sini. Ia rasa ia juga sudah terlalu jauh dari titik awal.
Ada cara yang lebih baik. Colette juga sudah memutuskannya.
"Kita akan membunuhnya, bukan?" tanya Nurin, tak dapat menahan seringai buasnya. Ia sudah mengincar wanita ini sejak tadi. Berani-beraninya gadis sok keren itu membunuhnya.
"Nurin?"
"Jangan khawatir. Dengan kekuatanmu, aku dan kamu mungkin bisa meninggalkan pulau ini bersama." Jika Colette tidak berbohong, ia akan memiliki sekutu yang tak terbayangkan kuatnya. "Jadi tenanglah." Ia meraih dagu Colette. "Kau orang baik, Colette. Sejak awal, kau tidak mengabaikanku. Kau tidak menganggapku sebagai sosok rendah yang hina. Bila kita selamat dari sini... akan kujadikan kau sebagai pemimpin pasukanku."
Nurin memberikan berkahnya dengan memasukkan liurnya ke dalam mulut Colette. Sontak, wanita itu langsung mengalami kejang. Bahkan nyeri dari bahunya yang tertembak pun tak ada apa-apanya dibanding sensasi sakit di seluruh tubuh ini. Nurin merebahkan kepala Colette di permukaan pahanya dan memeluk lembut wanita itu.
"Awalnya memang sakit, tapi tenanglah..." bisik Nurin. "Kali ini kamu memiliki dewi yang akan mengawasimu. Bukan Thurqk maupun para Hvyt, tapi aku. Kau akan menderita, kau akan kesakitan, dan kau akan merasa seperti di ambang maut..." ia mengecup kening penyelamatnya. "Tapi itu hanya menandakan kalau dewimu ada di sisimu, dan ia menyayangimu."
#4
Gadis berambut perak panjang itu berjalan dengan langkah-langkah cepat. Matanya yang berwarna pelangi terlihat sayu. Gigi-giginya masih beradu, menahan amarah. Ia sudah menjatuhkan lawannya tadi, ia yakin itu. Sekarang ia hanya tinggal memastikan dia sudah benar-benar mampus. Ia bisa melakukan itu dari jauh, tapi setelah segala yang ia derita tadi, ia ingin menetapi janjinya dengan menghabisi Colette secara perlahan.
Zany ingin menghabisi Colette dengan secepat mungkin. Biar bagaimanapun, ia merasa sedikit berutang budi karena gadis berkulit hitam itu menyelamatkannya duluan. Karenanya ia memberinya sepiring ratatouille sebelum mencoba menembaknya dari belakang. Tapi ternyata Colette adalah seorang Imagyn, sepertinya. Sosok-sosok terpilih yang dapat menciptakan obyek dari imajinasi mereka. Dalam pergumulan, gadis kurang ajar itu telah berani menghajar wajahnya dengan wajan, hingga ia sempat merasakan efek gegar otak, serta menembaknya.
Sel-sel regenerasi di tubuh Zany sudah mengatasi itu. Kini ia hanya tinggal membiarkan Colette merasakan kembali serangannya sendiri.
Saat Zany sampai di tujuan, Colette masih berada di sana, begitu pula dengan gadis bau yang ditolongnya. Sebagai seorang pembunuh pro, Zany bisa dengan mudah menemukan jejak mereka. Gadis berkacamata kotak dan berpakaian usang itu saja sudah meninggalkan bau dan dengung lalat, yang tak tenggelam oleh suara apapun.
Gadis itu bersandar di pohon cokelat, membiarkan Colette terkapar telentang di depannya. Tubuh artis pantomim itu masih kejang-kejang. Ada cairan hijau mengalir dari bibirnya. Zany tersenyum senang. Ia tak tahu apa yang terjadi, karena ia yakin pelurunya bukan jenis yang menyebabkan racun. Tapi melihat Colette menderita begitu membuatnya sangat senang.
Sekarang tinggal menyelesaikannya. Zany seharusnya tak perlu berlama-lama di sini. Baikai, Lucia, Elle, sekutu-sekutunya dari Jagatha Vadhi tengah menantinya. Nanti, setelah mereka kembali lagi ke sana, akan ia bawa mereka menuju rencana yang sudah ia susun: membunuh Thurqk. Ia tak terlalu suka membunuh di bawah perintah makhluk yang begitu angkuh, jadi ia rasa Thurqk tak akan menduga saat "badut-badut" yang ia bangkitkan untuk memberinya hiburan malah balik membunuhnya.
Zany memunculkan wajan untuk memukuli wajah Colette. Ia sudah mengangkat obyek itu untuk meluncurkan serangan pertama saat ia mendengar Nurin menggerutu...
"Lagi-lagi rambut perak."
Kontan, Zany pun langsung berpaling. "Keberatan dengan warna rambutku, gadis jelek nggak modis?"
Nurin malah cekikikan. "Ya. Aku pernah bertemu orang sepertimu sebelum ini."
"Begitu?"
"Kau juga mungkin melihatnya. Kontestan perempuan, berambut putih, yang diledakkan tangan dan kepalanya oleh Thurqk." Tawa Nurin semakin menjadi. "Pada awalnya ia terlihat begitu angkuh, begitu berkuasa. Namun pada akhirnya ia hanya menjadi mainan seorang dewa. Yah, bisa dibilang sebenarnya kita juga masih menjadi mainan beliau sih."
Zany mengganti wajannya dengan senapan berburu dan dengan dingin menodongkannya ke Nruin. "Dengar, cewek bau. Aku nggak suka gayamu. Aku nggak suka suaramu. Aku nggak suka caramu bicara. Tapi saat ini kuota membunuhku sudah terpenuhi. Karena itu aku sengaja nggak mengenai kamu." Dia menendang pelan kepala Colette. "Badut Prancis ini adalah targetku. Aku sudah mendapatkannya."
"Jadi?"
"Jadi... baiklah." Ia mengganti senjatanya dengan wajan lagi dan menghantam kepala Colette. "Aku masih bisa bermurah hati. Tolong lihat baik-baik bagaimana aku membereskan cewek yang satu ini. Kalau kamu melihat semuanya, aku akan mengampunimu, bahkan setelah kamu bersikap kurang ajar."
"Ooh, begitu ya? Hebat..." Nurin menatap dalam-dalam lawannya dengan sorot menusuk. "Lihat dirimu, Mbak Zani. Lihat baik-baik."
"Apa yang salah memang?"
"Lihat gaya Harajuku yang kamu kenakan. Lihat gaya sok keren yang kamu coba munculkan. Mengumpat inilah, mengumpat itulah, sok-sok jadi penjahat ala film-filmlah." Nurin menuding kemeja hitam berdasi merah, rok, serta sepatu panjang berhak tinggi dan kaus kaki gadis bermata pelangi itu. "Kamu... adalah makhluk paling menyebalkan yang kutemui sejauh ini. Saat Thurqk mengeksekusi kamu, aku akan menonton di deretan terdepan, nyengir habis-habisan begitu melihat kamu dicacah perlahan sampai menjadi daging burger."
Banyak mulut. Jorok. Fashion sense nyaris tidak ada. Bila Nurin membencinya, Zany pun membalas perasaan itu. Sudah seharusnya ia menghabisi gadis itu, demi Jagatha Vadhi yang lebih baik. Bahkan lalat-lalat di sekeliling tubuh gadis itu pun seperti sudah gatal ingin menggerogoti mayatnya.
"Yah, aku berubah pikiran deh." Zany mengubah senjatanya jadi penyembur api. "Biar kamu duluan yang kuha-"
Kaki Colette menyepak dengan lentur, mengalihkan arah moncong penyembur api. Tiba-tiba saja wanita berkulit hitam itu menolakkan tubuhnya dari permukaan cokelat dan bangkit. Tangan kanannya bergerak menirukan gaya seorang petarung membacok, dan terciptalah golok dalam genggamannya. Zany harus buru-buru mengganti senjatanya dengan pedang juga untuk menahannya.
"Apa... apa-apaan ini?" gumam Zany terkesiap. Bulu kuduknya berdiri. Ia sudah pernah menghadapi beragam musuh, tapi disuguhi gadis yang tadi begitu ramah kepadanya, namun kini berdiri di hadapannya dengan mata putih, mulut berliur, dan nafsu membunuh tak terbendung, mampu membuat bulu kuduknya berdiri.
Rasanya seperti tengah berhadapan dengan pembawa maut.
#5
Zany menghimpun kekuatannya untuk mendorong lawannya. Sejauh yang ia lihat, walau Colette memiliki kemampuan menciptakan obyek juga, wanita itu tidak punya kemampuan regenerasi. Lihat saja luka-lukanya yang tak ada tanda-tanda menutup. Dia pun menyerang Zany hanya dengan satu tangan. Ia masih bisa unggul di sini.
Dorongan Zany hanya membawa Colette mundur setengah langkah. Punggungnya melengkung ke belakang dan satu kakinya terangkat, seakan ia ingin jatuh... tapi, tepat sebelum pedang Zany menembus tubuhnya, ia sudah menjejak lagi di tanah dan mengayunkan goloknya dengan kuat. Ukurannya lebih panjang dari yang sebelumnya.
Kali ini Zany-lah yang terdorong. Walau terkejut dengan kekuatan lawannya, gadis bermata pelangi itu tetap melihat celah untuk menyerang. Pedangnya sirna, digantikan oleh senapan tabur. Dari jarak sedekat ini, peluru senjatanya tak mungkin meleset.
Colette memotong ujung senapan dengan goloknya. Tangannya yang sehat lalu ia gerakkan cepat, menohok hidung Zany dengan siku. Tulang hidung gadis itu tergeser. Darah mengalir lewat kedua lubangnya. Tak sampai di situ, Colette melayangkan tendangan ke kepala Zany. Muncul sebilah pisau tajam di ujung sepatunya...
Zany melenyapkan senjatanya. Ganti ia melengkungkan punggungnya, agar menghindari tendangan Colette. Ia lalu bersalto ke belakang, dengan satu tangan di tanah cokelat sebagai tumpuan, dan mendarat sempurna dengan kedua lutut. Kedua tangannya memunculkan bersamaan sepasang pistol hitam. Tak ingin memberi kesempatan bagi Colette untuk menyerang lagi, ia menembakkan keduanya bersamaan.
Dua peluru mengenai perut Colette dan bersarang di sana. Tubuh artis pantomim itu sempat tersentak ke belakang, digerakkan oleh daya hantam pistol. Daftar cideranya semakin bertambah. Seringai Zany melebar saat ia menambahkan dua lubang lagi ke tubuh lawannya...
Namun rasa sakit itu tak terasa bagi Colette. Berkah dari dewinya menghalanginya untuk mengeluh dan mempermasalahkannya. Ia masih bisa mengumpulkan cairan tubuhnya ke mulut... dan meluncurkannya dalam bentuk muntahan tepat ke wajah Zany.
Serangan itu benar-benar tak terduga bagi Zany. Ia langsung terhuyung mundur, tangannya mencoba menyeka cairan hijau, bau, dan kental itu dari wajahnya. Matanya terasa seperti terbakar. Rasanya lebih seperti disiram air raksa ketimbang menerima saliva orang lain. Dapat ia rasakan cairan itu meresap, mencoba menggerogoti wajahnya yang cantik.
"Selesaikan dia, Colette."
Mematuhi perintah Nurin, Colette memunculkan pistol berwarna merah jambu. Moncongnya sudah tertuju ke kepala Zany. Kali ini tak ada lagi keraguan di dalam batinnya, karena baik otak maupun nuraninya sudah tak berfungsi.
Zany mungkin masih tak bisa melihat, tapi instingnya berjalan dengan baik. Kakinya terangkat, menyepak tangan Colette dan mengalihkan arah moncong senjata sebelum pelurunya sempat meluncur. Ia lalu mengganti senjatanya dengan sebilah katana untuk memenggal kepala Colette.
Colette merunduk, membiarkan bilah katana melewati kepalanya. Tercipta dua pistol merah jambu di masing-masing tangan, terarah ke perut Zany.
Zany menghindari tembakan dengan melompat. Walau ia tak sempat mengambil ancang-ancang, fisiknya yang prima mampu membawanya melenting melewati Colette. Langsung ia berlari menuju bau dan dengung tempat Nurin berada.
Setelah mendengar perintah Nurin tadi, Zany menyadari sesuatu: mungkin Colette sudah mati, dan Nurinlah yang mengendalikannya. Jika pengendali boneka dipenggal, maka tak ada lagi yang menggerakkan benang mainannya.
Akan lebih mudah bila Zany dapat melihat. Sel-sel regenerasinya sudah bekerja keras untuk memulihkan kerusakan yang diciptakan oleh muntahan Colette. Mereka juga mampu menahan penyakit Nurin untuk tidak sampai menjalar, mempengaruhi otak Zany. Tapi, bakteri yang terkandung dalam serangan itu juga sangat ganas. Mereka mampu beradaptasi dari serangan antibodi Zany, hingga walau mereka tak bisa sepenuhnya menelan gadis bermata pelangi itu, ia juga tak bisa sepenuhnya sembuh dalam waktu dekat.
Akhirnya, bentrokan antara penyakit Nurin dan kemampuan regenerasi Zany justru membuat Zany lebih kesakitan ketimbang kebanyakan korban Nurin.
Tapi penyakit itu pun tak akan memberi masalah jika penyebarnya dibunuh. Zany sudah dapat mencium bau tubuh Nurin. Semakin dekat sekarang, dan Colette masih jauh. Bau Nurin bergerak. Pemiliknya mencoba menghindarinya. Tapi itu tak masalah. Zany hanya tinggal memunculkan AK-47 dalam mode full auto untuk memastikan ia tak akan lolos...
Lumpuhnya pandangannya membuatnya bereaksi terlambat saat lalat-lalat Nurin melesat, menembus tubuhnya, dan mulai menggerogoti dagingnya dengan bentuk mulut mereka yang abnormal. Ia mengerang pedih. Kemampuan regenerasinya langsung bekerja untuk menggencet makhluk-makhluk itu di dalam dagingnya, tapi rasa sakit yang mereka berikan tetap mampu mengalihkan perhatian Zany untuk sementara.
Itu cukup bagi Colette. Dia hanya tinggal memunculkan pistol merah jambunya, menembakkan satu peluru, dan melesatkannya ke kepala lawannya. Peluru itu menembus belakang kepala Zany, melewati otaknya, pecah di pusat kepala, kemudian keluar dengan kekuatan besar, membawa serta tulang pangkal hidung Zany dan mengoyak mata pelanginya.
Tubuh Zany ambruk tak berdaya. Pusatnya pikiran dan kendali tubuhnya hancur.
"Akhirnya selesai," kata Nurin lega, mengira dia akan dihabisi. "Kerja bagus, Colette."
Tapi jantung gadis itu masih berdetak.
Denyutnya menjadi kuat. Sel-sel regenerasi di dalam tubuhnya masih bekerja, dengan sukses menggencet dan meremukkan lalat-lalat Nurin sebelum mereka mampu bertelur.
"Sekarang, bisa temani aku kembali? Aku tidak tahu ini di mana."
Tulang kepalanya kembali tersusun, seakan tak pernah mengalami masalah apapun. Otaknya menyusul kemudian. Matanya masih bermasalah, begitu pula dengan bibirnya yang terasa mengelupas. Tapi itu tak menghambatnya untuk menciptakan sepucuk pistol dan mengangkat senjata lagi.
#6
Kepala adalah pusat kehidupan seseorang yang paling utama. Boneka daging-boneka daging Nurin, seperti Colette, mampu mengabaikan segala jenis rasa sakit kecuali hantaman telak ke otak. Karenanya begitu Colette menghancurkan otak Zany, ia mengira pertarungan sudah selesai. Ia menang. Masalahnya sekarang hanya memikirkan apa para Hvyt menganggap pembunuhan itu dilakukan oleh Colette, Nurin selaku pengendalinya, atau keduanya sekaligus, yang merupakan hasil paling ideal.
Tapi kemudian pistol Zany terangkat lagi, terarah kepadanya. Dan ia terlambat menghindar. Pelurunya mengenai lengan kirinya, mematikan saraf-sarafnya di sana dan melumpuhkan organnya itu seketika. Ia seperti baru saja disambar oleh truk.
Saat Nurin menyerang Bandung Electronic Center, yang ada di pikirannya intinya adalah bersenang-senang. Ia yakin dunia sudah di ambang kehancuran, jadi ia akan mengumbar kekuatannya dengan mengendalikan sebanyak mungkin manusia, agar ia bisa menikmati akhir dunia sebagai permaisuri. Sejauh itu tak ada yang bisa membendungnya, mau prajurit penjaga laboratorium rahasia negara hingga TNI.
Namun di sana, di lantai Food Court yang sudah dipenuhi budaknya, ia ditembak. Ia sudah mengangkat tangan, tanda menyerah, namun peluru bertubi-tubi menghantam tubuhnya hingga ia terjatuh dan tewas. Merasakan sengatan panas di tubuhnya selalu mampu membangkitkan kenangan itu.
Sisa lalat Nurin menyerang Zany, hendak merobek-robeknya. Namun gadis bermata pelangi itu memunculkan sepasang Katania dan menebas mereka dalam satu gerakan. Pilihan senjatanya berikutnya beralih kembali ke menjadi senapan tabur. Bidikannya kembali terarah ke Nurin.
Colette mendorong Nurin untuk menyelamatkan majikannya. Lengan kanan artis pantomim itu pun terlepas saat peluru senapan mengenainya. Beberapa serpihan masuk ke dada kanannya, tapi ia tak apa. Itu masih belum cukup untuk menghentikannya.
Terjerembab di tanah, Nurin buru-buru meraih kacamatanya. Melalui lensa retaknya, ia sempat melihat bagaimana Colette sudah mendekati Zany, menyedot perhatian gadis bermata pelangi itu. Kakinya terayun, hendak menendang dan menembus perut Zany dengan ujung pisaunya.
Zany memunculkan wajan untuk menahan serangan itu. Ketiadaan lengan Colette membuat gerakannya lebih mudah diprediksi. Gadis bermata pelangi itu menciptakan wajan. Bagian cembungnya cukup mampu untuk membendung serangan Colette dan membuat tendangan artis pantomim itu meleset, memungkinkan Zany untuk memukul wajah Colette dengan wajannya.
"Pembalasan!" pekik Zany murka. Wajannya berganti menjadi pedang, yang ia gunakan untuk menusuk dada Colette. Pedangnya lalu beralih menjadi kapak genggam, yang ia tancapkan ke pelipis kanan sang artis pantomim. Merasakan lawannya masih hidup, Zany menyepak jatuh Colette dan memunculkan kembali penyembur apinya.
Nurin bisa kabur, tapi ia tidak melakukannya. Ia masih ingat Hvyt menghendakinya memberikan penampilan yang lebih baik. Jadi ia berlari, memanfaatkan teralihnya perhatian Zany, dan menubruk gadis berambut perak itu dari samping. Ia tancapkan gigi-giginya ke leher Zany, untuk merobek arteri lawannya sekaligus menyebarkan penyakitnya. Gasnya pun akhirnya ia lepaskan, setelah sempat lama ia tahan untuk melihat kemampuan Colette.
Hantaman sikut ke perut membuat tenaga Nurin lenyap seketika, memungkinkan Zany untuk mendorongnya hingga terjatuh. Pandangan Nurin kabur. Jangankan lari, serangan balik Zany membuatnya tak mampu menggerakkan jarinya. Sementara itu, Zany sudah kembali siap menembak.
Colette mengayunkan kakinya dari belakang Zany. Tendangannya datang secara vertikal, dari atas turun ke bawah. Bila sebelumnya ia memunculkan pisau di depan sepatu, kali ini belakang sepatunyalah yang kebagian senjata. Tercipta ujung kapak di sana, yang dengan mantap membelah belakang kepala Zany dan melumpuhkan otaknya lagi.
"Jantungnya..." desis Nurin. "Kali ini incar jantungnya."
Walau tak mampu berpikir untuk sementara, tubuh Zany masih bereaksi terhadap serangan Nurin. Jantungnya kembali berpacu, mengalirkan darah dan energi regenerasi ke kepala agar ia dapat menyembuhkan diri lebih cepat. Tulang, daging, dan kulit lehernya mulai menyatu kembali. Otaknya bersiap-siap untuk tersusun...
Kali ini Colette mencoba memanfaatkan lengan kirinya, yang sebenarnya hampir terlepas dari bahu. Ia mengayunkannya secara lemah dari atas... ke bawah. Yang tercipta kali ini bukanlah pisau maupun kapak, melainkan bendera Prancis. Ujung tiang besi itu menembus punggung Zany dan mengenai jantungnya. Organnya itu pecah. Ia masih mencoba memompa darah, tapi cairan kehidupan itu bocor dan mengalir keluar secara sia-sia.
Terengah, Nurin menanti dengan siaga, memikirkan bagian tubuh mana lagi yang harus dihancurkan bila Zany bisa bangkit dari kerusakan yang ini. Colette berdiri di belakang Zany, turut menanti dengan sabar. Satu menit berlalu, kemudian dua, tiga, hingga lima. Tapi tak ada yang terjadi. Tubuh itu sudah lumpuh sepenuhnya.
Nurin pun tertawa. Colette sudah berada di ambang batas kekuatannya. Tak mungkin ia bisa bertahan lebih lama dengan tubuh berlubang-lubang seperti mainan tong perompak. Sudah cukup ajaib otaknya tak mengalir keluar dari lubang di pelipisnya. Tapi ia masih bisa berdiri tegak, dengan wajah menderita, menanti perintah selanjutnya dari majikannya.
"Kita menang, Colette," Nurin tertawa senang. "Kita menang. Kurasa... Hvyt akan menganggap itu sebagai kemenangan bersama."
Colette pantas untuk menjadi panglima pasukannya, itu yang pasti. Ia rasa ia bisa pergi bersama Colette, membiarkan wanita itu melanjutkan hidupnya, lalu memperbudaknya lagi saat kekuatannya dibutuhkan.
"Kurang tepat."
Nurin terlonjak. Sosok merah yang ia bicarakan tadi sudah berdiri di belakangnya, menatapnya dengan senyum tipis. "Kematian Zany Skylark terjadi berkat tangan Colette Reves. Hanya dialah yang berhak meninggalkan pulau ini."
Memang itulah yang terjadi, tapi tetap saja Nurin memprotes. "Hei, ia bisa melakukan itu karena kekuatanku. Kamu nggak bilang..."
"Ini bukan lagi battle royale di mana yang terpenting adalah kematian semua orang. Korban harus jatuh dari tanganmu sendiri. Dan, meski kamu membantu, kemenangan tetap jatuh di tangan Colette Reves."
Nurin mendesah. Itu artinya ia harus mencari satu orang lagi untuk dibunuh, dengan keadaan terluka karena tembakan. Sepertinya ini akan lebih repot...
Tapi ia tak perlu membuatnya lebih repot dari tadi.
"Colette..." Nurin bangkit. "Dewimu menghendakimu mati."
Digerakkan oleh penyakitnya, Colette bersujud di depan Nurin. Jika dewinya menghendakinya mati, maka matilah ia. Tak ada protes.
Kembali aksi dan pemikiran Nurin terganggu, kali ini oleh lemparan batu. Dari samping terlihat kedatangan seorang gadis berambut hitam, dengan bando merah terpasang, menghalangi poni untuk mengganggu pandangannya. Matanya bulat dan besar, dengan iris hitam pekat. Setelah sempat menganggapnya sebagai mimpi, Nurin kembali berjumpa dengan sosok yang dilihatnya sebelum ia pingsan.
Nurin bergidik melihat ketiadaan mulut di wajah gadis itu. Hanya satu cacat, dan itu membuatnya lebih mengerikan ketimbang Thurqk maupun para Hvyt. Monster bersayap dengan kulit merah dan kekuatan agung? Biasa saja. Makhluk yang menyerupai manusia dengan satu cacat fisik yang membuatnya terlihat sangat asing? Itu sangat, sangat, mampu mengusik Nurin.
Rambut hitam gadis itu bergerak membentuk kata-kata. Itu bukan bahasa Indonesia, namun Nurin, mungkin karena pengaruh alam ini, tetap mampu memahaminya.
[Ia sudah membantumu.]
Lalu kata-katanya berubah lagi.
[Dua kali]
[Bahkan]
[Walau kau sudah mengendalikannya]
[Biarkan dia bebas]
Tak bisa dipungkiri, rambut gadis itu menyatakan kebenaran. Nurin mungkin sudah mati tadi, bila tak diselamatkan oleh Colette. Bila ia tak berjumpa dengan Colette saja ia pasti terbunuh. Bahkan ia pun merasakan sedikit utang budi kepada budak terbarunya itu.
Ada sedikit dorongan dari hati kecilnya untuk bertindak baik, seperti Colette. Menyelamatkan seseorang hanya karena itu hal yang benar, bukan karena ia mengharapkan ketenaran atau kenikmatan abadi di akhirat.
Tapi lalu Nurin mengamati sekelilingnya. Ini bukan akhirat yang diidamkan siapapun. Ia lalu menatap budaknya. Melihat sifat Colette, tak seharusnya ia berada di sini. Meski begitu, ia tetap dijebloskan Thurqk ke alam ini, bertarung bersama orang brengsek sepertinya. Bila memang semesta seperti ini, apa alasan ia berbuat baik?
Lagi pula, sudah terbukti kalau orang baik memang hanya akan berujung dikendalikan atau disakiti oleh sosok sepertinya.
Jadi Nurin menginjak kepala Colette tiga kali, hingga tubuh wanita itu akhirnya menjadi lemas dan tak lagi dapat bergerak. Di belakangnya, Hvyt tersenyum puas. "Kontestan Nurin membunuh Colette Reves. Jika Anda berkenan, Anda bisa meninggalkan pulau ini dengan kembali ke titik awal." Fokusnya ganti bergeser ke gadis berambut hitam tadi. Rambut sosok itu sudah bergerak liar. "Tapi sepertinya kau bisa membunuh satu orang lagi, bukan begitu, Kontestan Nurin?"
#7
Sepuluh lalat Nurin bergerak menyerang si rambut hitam. Mereka menempeli tubuhnya, mencoba menggali dan menyerap sarinya, namun itu tak berguna. Gadis itu berdiri tak bergeming, pandangannya bertautan dengan sorot Nurin. Rambutnya kembali membentuk rentetan pesan.
Sil, begitu makhluk itu menyebut dirinya, justru membalas santai.
[Terima kasih]
[Dengan begini aku yakin]
[Kamu pantas menjadi korbanku]
Selesaikan ini secepatnya, pikir Nurin. Kerusakan organ di lengan kanannya mulai terasa mengganggu. Tubuhnya pun kian lemah karena darahnya yang terus mengalir.
Tanpa ia ketahui, pemikirannya itu juga dapat dibaca oleh musuhnya. Gadis itu berpikir kalau menunggu sebentar mungkin akan menguntungkan baginya, karena toh Nurin akan ambruk sendiri karena lukanya. Tapi, seiring dengan semakin banyaknya lalat yang datang dan mengerubunginya, ia juga jadi agak tergesa. Berbahaya kalau mereka menemukan dan menembus titik kelemahannya.
Ia menyelami pikiran Nurin, mencoba menemukan kelemahannya, motivasinya, apapun itu yang bisa digunakannya untuk melemahkan mental lawannya dan mempermudah untuk menanganinya.
Yang ia temukan adalah kenangan akan pembunuhan. Kematian. Kemalasan. Dendam-dendam sepele.
[Kau bukan orang yang menyenangkan]
[Bukan begitu, Nona Nurin]
Nurin tersentak, tak merasa telah memperkenalkan nama ke gadis ini.
[Aku tidak menguntitmu]
Balasan Sil pun sesuai dengan reaksi Nurin di dalam hatinya.
[Aku mengetahui informasi ini dari kepalamu]
Alis Sil terangkat. Bukannya merasa takut atau tidak nyaman, Nurin justru terlihat jadi lebih santai.
"Sebaiknya kau keluar dari sana, Nona Tanpa Mulut," balas Nurin. "Ingatanku... bukan tempat yang nyaman."
[Begitukah? Ya, sepertinya begitu]
Begitu banyak kematian. Ada satu kilatan yang melintasi benak gadisitu, sekumpulan orang yang dijangkiti penyakit mencoba meraih para penegak hukum untuk memakan mereka, sementara Nurin terbahak di belakang.
[Kau pendosa tak termaafkan]
"Ya. Benar."
Tak ada indikasi dia terganggu oleh tuduhan itu. Malah sebaliknya, kata hati Nurin justru memerintahkan lalat-lalatnya untuk tak melakukan apa-apa dulu, seperti dia tertarik oleh kemampuan lawannya. Gadis yang dihadapinya justru terkesan, sekaligus jijik. Ia ingin mengangkat sesuatu untuk mengganggu Nurin, namun... gadis itu tak menyesali satu pun pembunuhan yang ia lakukan.
Akhirnya, Sil memutuskan mengambil pendekatan lain. Ada celah yang bisa ia manfaatkan.
[Ibumu. Kira-kira apa yang terjadi kepada beliau dan keluargamu sekarang, setelah mayatmu di duniamu diangkat oleh tentara sebagai teroris besar.]
Berhasil. Keyakinan diri Nurin mulai sedikit runtuh. Ia memikirkan keluarganya, pemilik toko kelontong di sebuah kota besar. Mereka membesarkannya dengan penuh kasih sayang, dan terkadang memanjakannya. Bahkan walau Nurin bertingkah kurang ajar, mereka masih menyayanginya.
Bahkan Nurin pun memahami kalau tindak tanduknya sebagai penyebar penyakit dapat membuat mereka sedih dan terjerat masalah. Karena itu ia awalnya mencoba bergerak dengan hati-hati, tak ingin aktivitasnya diketahui oleh dunia luar.
Nurin menggaruk rambutnya. "Mereka mungkin akan dihujat. Toko mereka dilempari. Siapa tahu mereka dibunuh." Sil dapat merasakan jawaban itu juga membuat Nurin tak nyaman, tapi tetap saja ia menyampaikannya dengan lancar. "Kurasa itu takdir yang cukup bagus, mengingat gimana kondisi duniaku sekarang."
Nurin membayangkan sesuatu, dan Sil dapat melihatnya. Itu adalah rekaman di ruang presentasi laboratorium penelitian manusia...
Makhluk-makhluk besar melayang di angkasa.
Nurin mencoba mengamati mereka. Lebih dalam... lebih dalam... hendak memahami struktur dari makhluk-makhluk itu, menyingkap apa yang tersembunyi di balik moluska yang melayang di langit. Suara mereka bergaung keras, menyerukan kata-kata dalam bahasa lampau.
Nafas Sil memburu. Ia sampai harus dengan sadar meninggalkan pikiran Nurin. Itu bukan monster biasa.
"Oy. Kenapa kamu?" Nurin tertawa. "Sudah kuperingatkan, kan? Kepalaku bukan tempat yang baik untuk siapa pun. Sekarang, apa kamu mau melanjutkan berdebat? Aku mau pergi."
Tentu tidak. Sil sudah menatap Nurin cukup lama, hingga ia bisa mengeluarkan kemampuannya.
[Start]
Seketika itu pula seluruh pori-pori Nurin menjerit. Mereka mengadu, mengatakan kalau mereka digunakan untuk melepaskan gas demi memperbudak dan menyakiti makhluk hidup lain.
"Eh?!" Nurin terkejut bukan kepalang.
Mulutnya dengan lancar mengucapkan kebohongan hanya demi memancing calon korbannya.
Otaknya mengungkapkan niatnya untuk menjadikan semua manusia di bumi sebagai bonekanya.
Ia tak menggerakkan lengan dan kakinya untuk bekerja, lebih suka meminta boneka dagingnya untuk melakukannya... walau mereka tidak mau.
Tudingan-tudingan berat itu datang bergantian, memenuhi hutan dengan suara berisik. Kelelahan, Nurin sampai berlutut dan mencengkeram tanah. Keringatnya menetes. Darah seperti sepenuhnya meninggalkan wajahnya, membuat kulitnya menjadi sangat putih. Degup jantungnya meningkat habis-habisan...
Gangguan itu terhenti saat Nurin tertawa. Itu bukan tawa penyesalan. Menyelami benak lawannya lagi, Sil menemukan kalau Nurin justru terhibur.
Sil dapat merasakan apa yang ingin Nurin katakan sebelum ia membuka mulut dan mengatakannya, "Hei, Tanpa Mulut. Kemampuanmu ini mirip dengan sebuah... kisah yang disajikan guru agamaku waktu SD. Jadi tolong katakan, apa memang ada sosok mulia baik hati yang mengawasi manusia di bumi?"
Nurin menangkupkan tangan dan berlutut. "Apa kamu tahu apakah korban-korbanku akhirnya dapat mencapai akhirat dan hidup bahagia selamanya? Ataukah mereka sempat dipaksa saling membunuh seperti yang kita lakukan? Kau... ingin membuatku merasa bersalah, kan? Kalau begitu tolong jawab 'ya.' Ya, memang ada dewa seperti itu. Semesta ini tak hanya diisi makhluk seperti Thurqk... atau kumpulan ini. Ada sosok maha adil di luar sana, yang akan memberikan orang baik imbalan dan menjatuhkan hukuman ke orang jahat?"
Sil kembali menerima serangan mental saat Nurin membayangkan wujud-wujud yang dilihatnya di ruang proyeksi.
"Apakah benar manusia itu istimewa dan bukannya sekedar kumpulan debu tak signifikan di tengah makhluk-makhluk perkasa yang kekal? Satu kesalahan dalam penciptaan yang bisa disingkirkan dengan mudah? Tolong tunjukkan bukti kepadaku agar aku... agar aku setidaknya bisa berharap bahwa memang ada kesempatan bagi duniaku untuk bertahan. Kalau setelahnya kau akan menyeretku ke neraka sejati pun tak masalah."
Rentetan pertanyaan itu membuat Sil tertegun. Nurin memang mengharapkan jawaban darinya. Jika ia memberikannya, Nurin bisa langsung takluk. Tapi ia tak mampu memberikannya. Biar bagaimanapun, sama seperti Nurin, ia sendiri hanya makhluk fana yang kurang begitu percaya kepada entitas yang lebih tinggi.
Tapi deretan makhluk mengerikan yang diperlihatkan kepadanya ini...
"Colette ini orang baik. Apakah dia akan menerima pertolongan dari si entitas maha adil? Ataukah ia akan dieksekusi oleh Thurqk, dan nyawanya pun berakhir sampai di sana? Apakah aku akan menerima hantaman petir suci akibat dosa-dosaku dan menderita selamanya?"
Diamnya Sil membuat Nurin jengkel. "Kalau kau memang tidak tahu, tolong cari korban yang lain. Trikmu hanya membuang-buang waktu. Aku sudah paham kalau korbanku menderita. Setiap aku terbangun, aku yang harus merasakan penyakit ini menyelam mengarungi darahku. Aku sudah paham aku membuat keluarga korbanku menderita. Aku hanya tinggal menyalakan TV untuk melihat reportase yang memuat jeritan pilu orang tua mereka. Dan aku menerima semua itu." Ia mendesah. "Sambil mengharapkan kalau kebaikan dan kejahatan seseorang memang memiliki arti. Sejauh ini, Tanpa Mulut? Yang kulihat, mau baik mau jahat, ujung-ujungnya kau hanya akan diledakkan oleh Thurqk."
Ia menengadah. "Mungkin bagi orang seperti kau atau Colette, ini adalah hukuman. Bagiku? Ketimbang dunia mengerikan yang menantiku di luar sana, inilah surga. Lagi pula, sejak lahir manusia mungkin hanya tercipta untuk menjadi tontonan dari makhluk kosmis seperti Thurqk. Jadi, apa salahnya membunuh demi kenikmatan mereka?"
[Tak perlu]
Nurin baru akan pergi saat rambut Sil membentuk kata-kata.
"Ya?
[Tak perlu keberadaan entitas yang lebih tinggi]
[Untuk berbuat baik]
[Tak perlu akhirat]
[Untuk menyadari tindakanmu mengerikan]
"Ah, itu pandangan yang bagus. Tapi Tanpa Mulut, akhirat itu ada. Kita berada di sana sekarang. Dan di sini lebih terlihat kalau seperti di dunia nyata, keberadaan manusia tetaplah seperti semut. Para makhluk kosmis bisa dengan mudah menginjak dan menghancurkan kita. Di hadapan dewa seperti Thurqk, apa maknanya baik dan jahat menurut persepsi manusia?" sahut Nurin. "Kalau sudah begitu, lebih baik sekalian kita melupakan standar moral baik dan benar, dan lebih berkonsentrasi untuk bersenang-senang."
Sil terdiam. Ia ingin menyampaikan sesuatu untuk menyadarkan lawannya betapa salahnya pemikirannya itu. Tapi, apapun yang ia pikirkan, Nurin dapat menahannya. Sudah begitu, monster-monster yang sengaja Nurin bayangkan untuk mengganggu Sil... bahkan sekedar melihat mereka di kenangan saja sudah cukup untuk membuat Sil sangat terganggu.
Rambut Sil memanjang, bergerak untuk menjerat Nurin. Ia tak akan membiarkan pendosa seperti itu lolos darinya.
"Eh?"
Bagai sulur mereka bergerak, hendak membelit Nurin dan mencekiknya.
"Sialan! Kalah argumen, sekarang kau mau main kasar?!"
Nurin memerintahkan lalat-lalatnya untuk menyerang kepala Sil secara serentak, menghalangi pandangan gadis tanpa mulut itu agar Nurin bisa lari. Percuma tentu, karena staminanya sangat rendah ia tak akan bertahan lama dalam adu lari. Jadi ia sengaja memilih rute yang dipenuhi pohon cokelat, agar lawannya kesulitan untuk meraihnya.
Tusukan para lalat tak dapat mempengaruhinya, Sil melayang untuk mengejar Nurin. Taktik gadis bau itu tidak salah. Jika ia tak dapat melihatnya, maka rambutnya, silianya, juga akan kesulitan untuk menemukan target. Tapi ia dapat menggerakkan tubuhnya dengan cara seperti ini, hingga tak sulit baginya untuk mengejar Nurin. Terutama mengingat gadis itu tak memiliki kecepatan luar biasa, dan staminanya pun menyedihkan.
"Aku tidak berminat membunuhmu!" teriak Nurin. "Aku sudah membunuh satu orang, sialan! Pergi sana!"
Dia membunuh orang yang seharusnya ia bebaskan, terutama setelah semua yang wanita kulit hitam itu lakukan kepadanya. Menginjaknya hingga begitu bukan kesalahan yang bisa Sil maafkan.
Yang menghambatnya adalah serangan para lalat. Walau ia tak menunjukkannya, Sil masih bisa merasakan sakit, dan mereka tak henti-henti menggerogotinya. Jumlah mereka pun masih terus bertambah, seakan mereka datang dari seantero hutan.
Ia harus cepat.
Dan benar, kecepatan Nurin melambat. Dari jarak sedekat itu, Sil hanya tinggal meraihnya dengan silianya dan menyeretnya mendekat...
"Sialan." Mulai diseret oleh makhluk itu, Nurin melihat sekeliling, mencoba menemukan senjata yang bisa ia gunakan. Tentu, tak ada senjata di sini. Yang ada hanya makanan... dan minuman.
Ia memegangi sebuah meja, dengan beberapa botol susu, kue, dan permen di atasnya agar ia berhenti diseret. Itu percuma, tentu, Sil masih dapat mendekatinya. Kekuatan silianya pun cukup kuat, hingga ujung-ujungnya Nurin hanya dapat merubuhkan meja yang ia pegangi.
Nurin mencakar tanah kuat-kuat agar ia bisa bertahan. Ia mengambil satu botol susu, yang sudah setengah tumpah. Ia biarkan kenangannya akan para Tetua Semesta memenuhi kepala, agar ia tak menarasikan apa yang ingin ia lakukan kepada lawannya. Ini toh langkah putus asa yang mungkin tak akan berhasil.
Sil juga mulai kepayahan. Ia menepuk, menggoyang tubuh, menggerakkan silianya untuk mengusir lalat-lalat Nurin, tapi, walau ia bisa mengenai sebagian dari mereka, sisanya terus menghindar. Rasa lapar yang sudah ia tahan sejak awal menginjakkan kaki di pulau membuat kelelahan dan kesakitannya semakin menjadi.
Tapi ia sudah meraih targetnya. Nurin kini terangkat di depannya. Sil memetik satu lotusnya untuk membungkam Nurin...
Makhluk-makhluk seperti moluska raksasa memenuhi langit Jakarta.
Mereka mengucapkan kata-kata dalam bahasa yang sudah lama terlupakan.
Satu dari mereka menyanyikan lagu, yang perlahan memicu kegilaaan...
Sil menyentakkan kepala, mencoba meredam pikiran Nurin. Seharusnya ia tidak memberi tahu gadis itu tentang kemampuannya...
Nurin menyiram susu yang diambilnya ke kepala Sil, tepat sebelum lotus gadis itu menempel di keningnya.
Sebenarnya, seperti yang ia pikirkan sebelumnya, ini tindakan bodoh. Ia hanya berpikir kalau susu akan membuat rambut Sil lepek dan kemampuannya berkurang.
Tapi, Sil memang menyerap makanan lewat silianya. Dan keberadaan cairan manis itu di sana otomatis diserap oleh untaian silianya ke dalam tubuh. Walau susu bukanlah jenis makanan yang ia sukai, ada yang berbeda dari minuman yang satu ini. Teksturnya, rasanya, semuanya begitu pas dan lezat. Begitu lezat malah, hingga ia sempat terdistraksi dan Nurin dapat lepas dari jeratannya.
Mengira lemparannya hanya membuat rambut Sil lepek, Nurin meraih leher gadis itu dan mulai mencekiknya untuk mngakhirinya secara permanen. Gasnya ia lepas. Dari jarak sedekat ini, walau mereka terurai di udara, seharusnya Sil pun masih terpengaruh. "Hei, hei, Tanpa Mulut. Kau bisa membaca pikiranku, kan? Kalau begitu tolong... lihat baik-baik kenanganku yang ini."
Nurin memperlihatkan Sil sosok hitam bergaun putih yang ia temui di ruang laboratorium. Ia perlihatkan bagaimana sosok itu, tanpa terlihat siapa pun, meraih dada Nurin dan memasukkan kekuatan ke dalam tubuh gadis itu. Ia perlihatkan setiap detil yang dapat ia ingat, mulai dari strukturnya yang humanoid, wajahnya yang hanya memiliki mulut, serta rambut hitamnya yang berkobar-kobar.
Dibanding para moluska terbang, yang lebih menyerupai monster, makhluk itu lebih menyerupai manusia. Manusia ganjil, lebih tepatnya, seperti Sil. Bahkan bentuk rambut dan gaunnya pun mirip. Perbedaannya hanya warna kulitnya yang ganjil dan, kebalikan dari Sil, ia hanya memiliki mulut di wajah.
Kemudian makhluk tak jelas itu membuka mulut, memperkenalkan nama yang seharusnya tak berarti namun masih dapat menyakiti orang-orang yang mendengarnya...
"Namaku? Kau bisa memanggilku..." suara manis sosok itu berubah. Sejuta mulut berbicara bersama, dalam nada dan tempo yang serupa. "Nyarlathotep."
Dan untuk sesaat, sekedar mengingat namanya saja sama-sama membuat Nurin dan Sil kehilangan akal.
#8
Hvyt meninggalkan Nurin saat ia dan Silia memulai debat mereka. Ia lalu melayang di dekat tempat pendaratan Nurin, menanti kedatangan kembali gadis bau itu. Ia menunggu lama sambil memejamkan mata, mencoba mengantisipasi kedatangan orang yang ia antar. Meski makhluk seperti dia tak lagi merasakan pergerakan waktu sebagai sesuatu yang signifikan, ia tetap dianugerahi kemampuan untuk mengetahui tepatnya alur waktu di dunia manusia, seperti yang digunakan dewanya sebagai patokan kali ini.
Ia menanti selama setengah jam. Nurin tak terlihat. Lalu satu jam. Nurin masih juga tak terlihat. Sudah mengatasi lawannya, sepertinya gadis itu kini harus menghadapi nafsu makannya dan buta arah. Dengan luka serius di tangan, entah apa gadis itu akan dapat kembali keluar dengan selamat jika ia pergi terlalu lama seperti ini.
Mata Hvyt terbuka kembali saat akhirnya Nurin datang. Perut gadis itu membuncit. Lengannya yang teruka memegangi lemas sebuah ember berisi belasan ayam goreng. Lengannya yang sehat menggigit satu ayam itu dengan antusias, matanya berbinar karena rasanya.
Dan Hvyt pun terhibur melihatnya. Tak ragu ia menyampaikan, "Junk food. Selera makanan yang cocok untuk manusia yang kemampuannya mewakili penyakit."
"Diam," protes Nurin sambil mendekati Hvyt. "Lenganku sakit, badanku seperti baru ditabrak truk gandeng, dan kau tidak memberiku kompas atau peta untuk mencari tempat ini. Aku harus menggunakan ayam goreng sebagai penahan rasa sakit!"
Ia memanfaatkan rasa lapar tak terhingga yang diberikan pulau ini untuk mengalihkan pikirannya dari sakit dan lelah, namun ia masih bisa cukup berkonsentrasi untuk terus jalan, bukannya berhenti dan melahap segala yang berada di hadapannya. Sang Hvyt cukup terkesan.
"Si makhluk fana tanpa mulut, Silia, kau membunuhnya juga?" tanya Hvyt.
"Dia mati?" Nurin mengangkat bahu.
"Tidak tahu. Karenanya aku ingin bertanya."
"Tidak, tidak. Aku tak membunuhnya."
Begitu ia akhirnya tersadar, setelah membuka kenangannya yang paling ia takuti untuk melumpuhkan Sil, ia mati-matian mencoba menghabisi gadis itu. Ia memukulnya, menghantamnya dengan meja, menginjak kepalanya, melemparinya dengan susu dan keju. Tapi, apapun yang ia lakukan, Sil masih bisa bertahan. Yang bisa Nurin lakukan hanya buru-buru pergi sebelum Sil dapat kembali terjaga, setelah sempat lumpuh karena nama satu Tetua Semesta itu.
Akhirnya, Nurin memutuskan untuk meninggalkannya, ingin secepatnya pergi dari pulau ini sebelum ia menjadi orang gendut di dalam dongeng Burung Biru.
"Apa menurutmu pertunjukanku tadi menarik?" tanya Nurin.
"Tergantung Dewa Thurqk," sahut Hvyt. "Yang jelas, dengan membunuh Colette Reves, kau berhak meninggalkan pulau ini. Apa kau ingin melakukannya sekarang, atau kau ingin menyantap hidangan pulau ini dulu? Masih banyak waktu."
Nurin membuang ember ayamnya, walau ia harus benar-benar menginjak seluruh hasrat dan laparnya untuk melakukan itu. "Sekarang."
"Baiklah kalau begitu."
Hvyt meraih tubuh Nurin dan membawanya terbang tinggi ke langit merah. Mereka melesat cepat menuju tempat yang ditunjuk oleh Thurqk sebagai peristirahatan Nurin sebelum ronde berikutnya. Di udara, Hvyt sempat menyampaikan, "Para Tetua Semesta, para dewa yang lama menjadi momok mimpi burukmu..."
"Ada apa dengan mereka?"
"Jika kau bisa memenangkan pertarungan ini, dan menepati kata-katamu untuk menjadi abdi Dewa Thurqk, mungkin ia akan berbaik hati memberimu kekuatan yang dapat menandingi makhluk-makhluk itu."
Nurin menyengir. Matanya berbinar. "Memang itu yang kuinginkan."
***
==Riilme's POWER Scale on Nurin's 2nd round==
ReplyDeletePlot points : B+
Overall character usage : B+
Writing techs : A-
Engaging battle : B+
Reading enjoyment : B+
==Score in number : 8,2==
Dari ronde 1, saya kira Nurin ke sini" bakal sekedar jadi evil queen bee (or fly, if that matters). Tapi di sini ternyata ada sedikit character development - kalau boleh dibilang begitu - yang bikin saya sekarang jadi cukup suka sama karakter Nurin.
Selain referensi Cthulhu, pemikiran Nurin yang dijabarin di pertandingan ini cukup asik buat saya. Seru juga ngeliat bahwa mungkin baru Nurin satu"nya karakter yang : 1) submit sebagai hamba Thurqk, 2) ceritanya tetep berasa optimal meski ga nge-utilize semua karakter dalam satu pulau. Nilai plus buat perbedaan yang berasa banget ini.
Sejujurnya, lain"nya kayak masalah teknis atau battle ga ada yang notable ngeganggu buat saya, jadi karena saya enjoy" aja, titip jempol deh buat penulisnya.
dari R1, narasinya battlenya Nurin emang enak dibaca...
ReplyDeletedan seperti kata kak Sam diatas, patut diberi nilai plus karena masih asik walaupun semua chara nggak keluar.
keep up the good work!
8,5/10
Ctulhu and Darksiders versi Indonesia ya? :3
ReplyDeleteYaahh ... meskipun saya nggak sempat baca R1-nya Nurin tapi jujur gaya penceritaan dan deskripsi tempatnya oke.
Konfliknya dengan Sil juga oke.
Ehmm ... 9/10 King!
Halooo om King >.<
ReplyDeleteUmi suka banyak hal di cerita ini, Pemikiran Nurin tentang dunia dan tuhannya keren bangte >< Umi juga suka banget sama narasinya yang entak kenapa bikin Umi bisa ngebayangin situasi dan kondisi dari Nurin sendiri >.<
Cara pikir Nurin sama Colette disini juga kerena banget >.< bikin Umi merinding dan ngerasa, "ada benarnya juga".
Belum lagi adegan potong-potongnya yang keren >.< ini terlalu wah untuk Umi.
Umi juga puas banget liat dialog Sil-Nurin yang waw banget o.O
karena itu dari Umi 8/10 untukmu >.<
wow, sekarang saya harus menjuluki Nurin sebagai zombie master, karena berantemnya gak perlu turun tangan dan nyuruh minion buat bertarung.
ReplyDeleteDi sini yang jadi last boss buat Nurin Sil ya? Yah emang Sil ribet soalnya gak mati2 sih.
Jadi ternyata para churyu, eh , chtulu, atau apalah itu muncul di dalam kepala Nurin pas adegan flashback sama kekuatan Sil, mengerikan sekali, sungguh.. Saya kira bakal ada adegan tentakel.. #dibakar
Wait, Zach ama Rex ke mana? Waduh dua cowok ngilang bareng bahaya ini, para fangirl bisa kegirangan...
7/10 karena walaupun keren tapi disayangkan gak semua karakter muncul.
Nurin ada Character Development yang bagus, dan Serius saya suka Foreshadow untuk canon lanjutan.
ReplyDeleteReferensi Lovecraft itu cukup shocking buat saya.
Anehnya dengan alasan yang tidak bisa saya jelaskan...
Saya gak bisa membaca R2 ini senyaman R1.
saya gak tahu kenapa.
alhasil: 8.3
Pemikiran tentang Tuhan dan kuasa-Nya dari sudut pandang Nurin itu rasanya benar2 menyentil pikiranku. Well, aku nggak bakal membahas tentang ideologi dan religi lebih lanjut. Dan reviewnya langsung aku mulai aja.
ReplyDeletePlot : Meskipun nggak memunculkan semua karakter, plot cerita ini terjalin secara maksimal, malah dengan ketiadaan Rex dengan unsur komedinya membuat cerita ini sukses membawa aura kelam dari Nurin sendiri.
Dan flashback2 masa lalu Nurin, dimana biasanya flashback di canon lain terkesan distracting tapi disini malah sukses membangun character developement yang baik dan menguatkan eksistensi Nurin disini.
Karakter : Nggak ada yang nyangka kalo Nurin bakal develop kesini. Aku nggak baca Lovecraft sih tapi Cthulhu dan sejenisnya yang namanya nggak bisa diucapkan itu cukup sering aku denger.
Dan itu jenius banget! Serius jadi takut sekaligus penasaran bagaimana Nurin selanjutnya. Keberadaan entitas misterius itu bikin aku penasaran gimana kelanjutan cerita Nurin, dan bakal jadi apa Nurin nanti.
Untuk Collete, naifnya dinarasikan dengan sangat baik disini. Dan aku ngerti banget perasaan Nurin yang jijik dengan karakter naif seperti Collete, dan alasan inilah yang membuatku cukup kasian dengan matinya Collete, sekaligus merasa maklum dengan alasan Nurin.
Kekuatan Sil benar2 tergali disini, dan personalitynya yang selalu berpikir dingin itu benar2 cocok dengan nuansa kelam di cerita ini.
"[Tak perlu keberadaan entitas yang lebih tinggi]
[Untuk berbuat baik]
[Tak perlu akhirat]
[Untuk menyadari tindakanmu mengerikan]" - Sil
BEST QUOTE EVER!
Untuk Zany, debatnya dengan Collete di awal2 itu bener2 lucu. Aku sendiri kurang bisa menilai personalitynya karena belum baca canonnya sih xD
Battle : Well done! Narasinya mengalir dengan baik. Emosi tergambarkan dengan baik, joke2nya ngena namun aura suram tetep ada.
Nurin nggak begitu ngeluarin kemampuan menjijikkannya kali ini. Tapi kali ini ada mind battle, dan battle antara Nurin sama Sil itu keren banget!
Dan keberadaan entitas misterius itu..bener2 bikin penasaran, tapi aku nggak mau membayangkannya lebih lanjut, krn otak manusia nggak mampu utk membayangkan wujudnya xD
Impresiku di awal yang jijik sekaligus tertarik sama Nurin kini bergeser sedikit jadi penasaran sekaligus merinding.
Dariku 9.5/10
Kali ini ada character development di awal, membuat saya merasa simpati tapi juga agak sebel dengan si Nurin ini. Hampir tipikal karakter cewek galau - frustrasi - cenderung psycho ciri khas GEoA. Karena ada chara development, saya maklum kalau bagian itu agak panjang di awal.
ReplyDeleteKalau dibandingkan dengan "medan-medan Urth" di cerita-cerita lain, saya merasa Urth yang digambarkan di sini agak kurang "menantang". Coba kalau "godaan" itu konstan dari awal hingga akhir, sampai Nurin benar2 frustrasi karena entah kelaparan atau ngantuk karena kebanyakan "junk food", bisa jadi lebih mantap. Andai OC-ku masuk BoRA dan lolos masuk medan ini, mungkin kelemahan terbesar dia adalah Wagyu Beef Steak, yum yum.
Mungkin sudah pernah saya mention, tapi "medan urth" terbaik yang pernah saya nonton adalah di film "Cloudy With a Chance of Meat Balls 2". Mutated food :p
Tentang pertarungannya sendiri, oke 2 jempol untuk Nurin karena dia bisa memanfaatkan "kemampuan baru"-nya mempengaruhi kontestan lain, tapi juga menonjolkan lebih jauh sisi "kemanusiaannya" daripada "kemonsterannya". Malah sekarang cenderung ketularan sisi ke-"Goddess Empress of Awesome"-nya si penciptanya.
Mungkin karena battle-nya sudah cukup detil dan ada unsur "mind games" yang cerdas di sini, tidak semua peserta ditampilkan. Walau saya terus terang penasaran, kalau Nurin head-to-head dengan Rex apa dia bisa menang, bukan "dimenangkan".
Well, IMHO saya berikan 7/10 - out of sheer awestruck.
entri ke 14 :3
ReplyDeletehm... ada foreshadow di canon ini... dan ada referensi nyarlathotepnya juga...
oke, lanjut kak...
saya nggak bisa komentar banyak. narasinya bagus. kelemahan plotnya yang agak linear dan datar ditutupi dengan cara penuturan konflik yang bagus. pemilihan diksinya bagus, cukup kaya, dan saya seneng pas bagian awal2nya kak. deskripsi pulau juga udah digambarin dengan bagus.
saya ga ketemu hal2 yg jadi kekurangan di sini kak, selain hilangnya dua entri lain. apakah keenakan makan hingga ga tau mereka harus ngapain >.<
salah satu poin khusus yg sangat saya suka itu adalah deskripsi nurin itu sendiri. being a "god", yet a human. dan kakak berhasil memunculkannya di sini. dengan brilian.
overall, saya ngasih nilai 8.25, gara2 dua entri tadi. saya ga tau apakah kak fachrul sengaja ngilangin itu 2 orang atau gimana. akhir kata, tetap semangat kak >.<
Nggak semua karakter muncul di tulisan ini, tp kurasa nggak perlu jg maksain semuanya buat muncul. Sudut pandang Nurin tergali dengan sangat bagus, kanon asli dunianya Nurin bahkan bikin penasaran bgt sama cerita asli realmnya dia. Terutama bagian moluska yg wujudnya berlapis itu keren. Battlenya kurasa antiklimaks ya, tapi bukan krn Sil nggak mati, melainkan krn kyknya kalahnya Sil dalam debat keren itu kyknya nggak memberikan efek psikologis yg cukup berat utk Sil, pdhl hal itu kurasa bisa dieksplor lebih lanjut utk ngebikin akhir battle yg lebih memuaskan utk Nurin.
ReplyDeleteNilai 8,2 utk Nurin
- Po
Aie.... moi galau ini. Moi berterima kasih pada King yang sudah men-develop karakter moi dengan baik. Tapi matinya..... :'O
ReplyDeleteHuft... moi jadi bingung #lebay
O ho ho ho ho hon. Soal narasi ga usah dikomen lagi. You're the king :D
Character development Nurin juga bagus tapi lagi2 moi galau karena moi jadi tambah sebel ama Nurin. O ho ho ho hon.
8,3 dari moi.
Ah, moi juga jadi ngasih "nilai galau" deh :v #ehh #PLAK
O ho ho ho hon.