May 15, 2014

[ROUND 2 - KHRD] LEONIDAS EVILIAN LIONEARTH - FRIEND OF MY FRIEND IS MY FRIEND (APA SIH??)

"Friend of My Friend is My Friend (Apa Sih??)"
Written by Ichsan Leonhart

---

Sakit—

Terbaring di sebuah bebatuan, pria dengan rambut cokelat membuka matanya menatap langit. Rasa pusing di kepala menyerang tak lama kemudian, tersadar akan posisi kepalanya yang menempel pada sebuah bebatuan. Percikan darah terlihat menempel di sana, tanda akan kerasnya benturan yang telah dialami.

"Ah ya.. si malaikat brengsek itu menjatuhkanku begitu saja dari langit." dengusnya tak sedap. Seraya mengumpulkan beberapa ingatan tentang bagaimana dia bisa berakhir di sana. Waktu itu dia meronta-ronta karena Hyvt—malaikat dengan kulit merah-merah—memangkunya dalam posisi pangeran yang sedang menculik putri kerajaan. Merasa jijik karena diperlakukan seperti perempuan, dia lalu menghajar sang malaikat hingga makhluk itu pingsan dan tercebur di lautan. Beruntung dirinya bisa memposisikan diri mendarat di atas sebuah reruntuhan. Dengan gagahnya meloncati beberapa bebatuan, untuk kemudian tersandung dan jatuh dengan kepala duluan.

Berdiri gagah memandangi pemandangan di kejauhan, termenung menikmati semilir angin senja bertiup lembut. Bergumam dengan suara pelan, seraya memandangi tingginya menara tempat ia berada,

"Nah, sekarang bagaimana caranya aku turun?" ucapnya kebingungan. Mendapati menara itu hanyalah sebuah tumpukan batu tinggi tanpa ada tangga di dalamnya.


[Fast forward 5 menit kemudian…]


Pria berambut cokelat itu susah payah memanjat kayu dermaga yang lapuk, setelah sebelumnya terjun bebas dari menara mercusuar menuju lautan. Pakaiannya basah hingga membuat pria itu menggigil kedinginan. Sejenak mengutuki diri sendiri akan kebodohannya yang tak melihat keberadaan tangga tali di sudut menara. Andai ia menemukannya lebih awal, tentu ia tak harus menjerit keras menceburkan diri dari ketinggian seperti orang bodoh.

Pantai berpasir dekat dermaga terlihat sepi dari pengunjung. Hanya ada sandal tergeletak, warung kecil kumuh, hingga bangunan porak poranda seperti habis terkena bom. Sejak awal memang tak ada siapapun di sini.

Langkah kakinya terus terayun hingga tiba di desa pesisir pantai, sejenak termenung menatap sebuah papan billboard berisi iklan dari sang dewa Thurqk— lengkap dengan foto dirinya mengenakan peci dan jas hitam. Di sana ada beberapa tulisan tentang peraturan Ronde Dua. Antara lain ;

1. Cukup bunuh satu saja dari lima peserta lainnya.
2. kembali ke tempat awal di mana Hyvt Menunggu.
3. Jika point satu dan dua belum jelas, tolong baca lagi dengan cermat, karena hanya itu saja peraturannya. 
* Syarat dan ketentuan berlaku.

Mendadak Leon teringat akan Hvyt yang mengantarnya tadi saat ini, dia mungkin sudah tenggelam di dasar laut. Lalu dengan langkah malas nan gemulai, pria itu berjalan menapaki kota mati dengan langit berpendar berwarna merah. Batinnya bertanya akan lawan yang hendak ia jumpai, apakah ada perempuan cantiknya, atau malah bapak-bapak dengan tubuh berotot kekar nan menyeramkan.

Pertanyaan itu langsung terjawab ketika mendapati seorang bocah kecil berlari-lari di kejauhan. Dengan langkah tak karuan, melesat cepat di penghujung pertigaan. Jeritan disertai isak tangis serasa memecah kesunyian. Detik berikutnya, bocah itu jatuh menubruk sebuah gerobak berisi barang dagangan.

"Kau baik-baik saja?" ucap pria berambut cokelat berusaha meyakinkan.

Bocah itu menjerit keras, menatap tajam diiringi dengan bunyi sebuah alat musik. Tak pernah sedikitpun terbayang akan kemampuan benda itu, meletup melemparkan gelombang kejut hingga membuat tubuhnya melayang terlempar di udara.

Melesat hendak menubruk tembok, batinnya sempat berteriak bahagia ketika mendapati sesosok perempuan dengan 'boing-boing' berukuran besar di kejauhan. Memposisikan diri berniat jelek hendak menjadikan dada sang gadis sebagai bumper. Terbayang adegan ala komedi romantis dengan pemeran utama yang menubruk karakter perempuan hingga mendarat dalam posisi erotis.

Namun pikiran mesum itu terhentikan seketika itu juga, sehubungan dengan terayunnya baton di lengan sang gadis, menampar pipinya hingga berbelok arah menubruk gerobak yang lain.

Beberapa serpihan kayu terlempar dari tempat ia tersungkur. Hening mengikuti tak lama kemudian, siapapun pasti berpikir orang itu mati dalam tubrukan.

"Sakiit…" ucap pria tadi, menandakan bahwa ia baik-baik saja.

"Siapa kau?" hardik sang gadis bertopi. Jaket olahraga hitam dan celana jeans gelap menjadi ciri khas penampilannya. Ia bersiaga dalam kuda-kuda hendak menyerang.

"Namaku Leon. Maafkan aku Nona, aku tak berniat jahat. Tadi itu hanyalah kecelakaan." ucap pria berambut cokelat berusaha berdiri. Ia mengangkat kedua tangan tanda menyerah.

Perempuan dengan topi hitam menurunkan kewaspadaannya, "Aku Lucia. Kau salah satu entrant. Namamu Leonidas Evilian Lionearth?" lanjutnya bernada interogasi.

"Kau tau nama asliku?" ucap Leon terkesima.

Lucia menunjuk kartu nama di baju Leon. Di sana ada ID Card bertuliskan 'ketua KPK' lengkap dengan namanya.

"Okay." balas Leon singkat.

 "Maaf, aku tak punya dendam apapun padamu, namun aku harus membunuhmu." ucap Lucia Dingin, ia kembali mempersiapkan diri dalam posisi menyerang, berniat untuk menusuk jantung Leon saat itu juga.

Tanpa disadari, bocah kecil dengan kecrekan tadi sudah berlari mendekat dari belakang. Dia masih saja menangis dengan mata memerah. Berteriak dalam keputusasaan, memanggil-manggil mamanya sambil bermain kecrekan. Dan tentu saja, kekuatan kecrekan misterius itu cukup bertenaga untuk melempar Lucia dari posisinya.

Gadis itu mendarat di tembok samping Leon. Mereka berdua terpental didesak gelombang energi dari kecrek misterius.

"Bocah tengil sialan." umpat Lucia kesal. Entah kenapa serangan itu tadi cukup kuat untuk memprovokasi gadis itu. Merubah sikap anggunnya menjadi seperti seorang yang sedang kerasukan setan. Dia melesat cepat hendak menerjang, namun gerakannya itu dihentikan oleh Leon di sampingnya. Ia memegangi lengan Lucia layaknya adegan lebay di sebuah sinetron.

"Tahan dulu Nona, kau tak akan menang jika langsung melawan dirinya."

"Apa sih! Lepaskan!" bentak Lucia semakin garang.

Namun Leon tak menyiakan kesempatan ini. Ia langsung menariknya dengan keras hingga mendarat dalam pelukan. Berpikir bahwa gadis ini sedang kalut dilanda amarah, maka cara terbaik untuk menenangkannya adalah dengan memberikan sebuah pelukan.

Dan benar saja, Lucia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Bukan karena ia merasa salah tingkah dipeluk dengan cepat, bukan pula karena membeku dikuasai malu seperti seorang Tsundere. Namun karena rasa jengkel sudah terlalu tinggi hingga tubuhnya kebingungan hendak membunuh pria ini dengan cara apa.

Maka ditendanglah selangkangan Leon dengan keras menggunakan salah satu tumitnya. Membuat pria itu jatuh tersungkur dalam ekspresi wajah yang tak tergambarkan.

"Lancang sekali kau makhluk hina." ucapnya dengan mata setengah terkatup, tanda emosinya sudah naik tak tertahankan. Diangkatnya baton besi itu tinggi, hendak diayunkan sekuat tenaga untuk menghajar lawannya.

Namun niat itu gagal dilaksanakan, sesosok pria dengan rambut cokelat sebahu muncul di atas salah sebuah tembok tinggi. Lewat sinar putih berpendar dari baju khas bangsawan yang ia kenakan, pria itu menghentikan niat Lucia dengan postur keren seperti seorang pemuka agama.

"Hentikan niatmu nona, pria itu terlalu menyedihkan untuk mengotori lengan sucimu." ucapnya dengan nada seorang bijak.

Lucia menoleh dengan wajah jengkel, "Haaa?"

Pria itu melompat turun, hendak mendarat dengan satu kaki. Namun pijakannya salah memilih tempat, hingga terperosok masuk ke dalam gerobak berisi sayuran.

Hening— semua orang menatap pria itu yang tersungkur tanpa kata. Namun detik berikutnya, ia sudah kembali berdiri sambil berusaha mempertahankan aura bijaknya.

"Aku bisa melihatnya nona, jauh di dalam lubuk hatimu, sebenarnya Anda adalah seorang perempuan baik nan solehah."

Mereganglah urat jengkel Lucia, seumur-umur baru kali ini ia disebut sebagai perempuan suci nan solehah. Ingin rasanya ia lempar baton di tangannya, agar tepat mengenai mulut sompral pria berpakaian bangsawan itu.

"Dari pada Anda sibuk mengurusi sang Ketua KPK, bagaimana jika kita mengambil kecrekan sakti di tangan bocah itu?" lanjut sang pria Bangsawan.



Lucia menoleh, mendapati bocah kecil yang mengamuk tadi kini tengah tidur terlelap. Ia sepertinya kelelahan setelah sempat mengamuk tanpa sebab. Sementara itu, tak sedikit pun ia sadari akan keberadaan Leon yang sudah melarikan diri menjauh dari sana. Pria itu berbelok di perempatan lainnya, tak ingin merepotkan diri terilbat dalam pertarungan yang bukan urusannya.

Langit kemerahan memantul jelas lewat kornea matanya. Menatap takjub akan kemunculan lingkaran sihir memancang tinggi menuju langit. Berpendar membentuk lingkaran anagram, dengan detail tulisan dari huruf tak dikenal. Menciptakan bayangan hitam dari reruntuhan bangunan yang berdiri kokoh di sekelilingnya. Pilar cahaya di kejauhan seolah menjadi penanda akan bagian pusat dari tempat ini. Maka ke sanalah ia berjalan. Menyusuri labirin mengambil tiap tikungan agar semakin mendekat pusat cahaya di kejauhan.

Tempat itu mati, tak ada sedikitpun tanda kehidupan di sana, kecuali dirinya sendiri dan beberapa orang aneh yang sempat tadi berjumpa. Namun di salah satu sudut kota mati itu, ia bisa mendapati peserta lainnya yang sedang termenung menatap langit senja. Lengannya menggenggam erat sebuah buku seolah itu adalah bagian penting dalam hidupnya.

Mengenakan sebuah kain lusuh berwarna krem. Pemuda itu melamun sambil sesekali menulis dalam buku catatannya. Pandangan matanya teralihkan tatkala mendapati Leon berdiri tak jauh darinya.

"Yo." ucap Leon sok akrab, seraya mengangkat lengan kanan agak tinggi memberi salam.

"Halo Leon." sapa pria itu.

Leon tak ingin balik bertanya, "Dari mana kau tahu namaku?" sementara kartu ID card di dadanya belum ia copot sama sekali. Jadi duduklah ia di samping pemuda tadi, sambil sesekali menatap lekat kotak berisi pisang goreng di sampingnya.

Beberapa menit berlalu, tak seorang pun memulai percakapan untuk memecah keheningan.

Pemuda dengan pisang goreng di tangan menghentikan aktifitasnya, "Kau mau?"

Leon mengangguk penuh harapan.

"Tak akan kuberikan." ucapnya dingin, seraya mengamankan kotak berisi makanan itu ke dalam kain lusuhnya.

Sang ketua KPK Jengkel seketika. Sejak awal tadi, sudah terasa janggal di dada. Batinnya semakin bergolak dari tiap langkah yang ia ayunkan. Rasanya, semakin dalam ia memasuki tempat itu, semakin berkecamuk pula amarah dalam dirinya. Ditambah lagi, kini ia berhadapan dengan seorang pelit yang tak mau berbagi makanan.

"Hey.." ucap Leon dengan wajah tenang.

Pemuda dengan kain lusuh menoleh.

"Ribut yuk." tantang Leon dengan senyum kesal. Gunblade di samping pinggangnya tak lupa ia hunus saat itu juga.

"Gak mau." jawab lawan bicaranya— tanpa melepaskan pisang goreng di tangan.

Leon menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal. Detik berikutnya, bilah tajam dengan gagang pistol sudah melesat cepat menuju lawannya. Walau tentu saja, hal itu tak menghasilkan apapun ketika pemuda dengan pisang goreng menangkisnya lewat ayunan pedang yang terbentuk dari sebuah kain.

"Ck ck ck.. tidak sopan sekali, menyerang seperti seorang pengecut." komentar pemuda dengan pisang goreng. Walau sebenarnya memanggil seseorang dengan sebutan 'pemuda pisang goreng' itu adalah hal yang tidak sopan.

"Ya aku tahu.." gerutu Leon, "Woi, pisang. Siapa namamu?"

"Namaku bukan Pisang." Balas pemuda dengan pisang goreng di tangan. Berulang kali diledek dengan kata pisang membuat pemuda itu mulai dirundung amarah. Dia mempersiapkan diri dengan pedang di tangan, mengalirkan energi Gharz ke seluruh tubuhnya. Lalu dalam satu gerakan luwes, ia melesat membelah angin dalam kecepatan tinggi.

Pun begitu, Leon tak menyiakan momentum yang ada. Ia ikut menyongsong gerakan lawannya dengan menyeret Gunblade hingga menciptakan percikan api.

Jarak keduanya semakin dekat. Lalu ketika tepat berhadapan— saat-saat terakhir itu lah, kaki kiri Leon tersandung sebuah batu dengan sukses hingga tersungkur dengan kepala terlebih dahulu. Gunblade di tangan terlempar tanpa sengaja, mengagetkan lawannya yang tak sempat mengantisipasi arah datangnya serangan. Terlalu kaget hingga membiarkan ujung pedang itu menancap tepat di bahu kanan.

Pemuda pisang— maksudku pemuda dengan kain lusuh yang menggemari pisang, terlihat bertekuk lutut memegangi bahunya. Meringis menahan sakit seraya berusaha mencabut benda itu dari tubuhnya.

"Tolong berhentilah mem-bully-ku dengan sebutan pisang." ratap pemuda itu penuh harap, pandangan matanya kemudian teralihkan pada sang ketua KPK. "Kau hebat sekali, tak kusangka bisa merencanakan sebuah serangan yang tak bisa ditebak."

Leon hanya menggaruk kepala yang tak terasa gatal. Lontaran sarkastik itu tak bisa dianggap sebagai sebuah pujian. Sejenak ia memandangi lawannya yang sudah kembali bersiaga. Lalu  berucap dengan kedua tangan yang terangkat ke atas, "Aku sebenarnya gak mau bertarung, malas sekali rasanya menjadi ayam sambung dari orang gila yang mengaku tuhan."

Pemuda dengan kain lusuh menurunkan senjatanya, "Maksudmu, kau ingin menyerah?"

"Tidak juga," potong Leon. "Kau ingat peraturan kali ini?"

"Bunuh satu peserta lalu kembali ke tempat awal." ucap pemuda dengan kain lusuh yang menyukai pisang— dan aku sudah bosan memanggilnya secara deskriptif lewat kata pisang.

"Namaku Flager."

"Uh… Oh… oke Flager… mari kita kembali ke topik." ucap Leon sembari memutar matanya, "Peraturannya kan hanya cukup membunuh satu peserta."

"Lalu?"

"Mari kita membentuk aliansi, tadi aku sudah bertemu dengan cewek gila dan anak kecil ingusan." lanjut Leon membujuk.

"Terus?"

"Ya kita gabung gitu, gebukin mereka atau apa kek…" jelas Leon kikuk, keningnya mulai berkeringat.

"Oh…" jawabnya singkat.

"Kau itu bodoh atau bego sih?" gerutu Leon, "Cukup jawab iya atau tidak. Bukannya di charsheet itu aku digambarkan seorang bodoh? Kok malah jadi aku yang ceramah? Ini sudah termasuk out of character lho."

 Ngomong apa sih dia? Berusaha melakukan breaking the fourth wall?

Flager berpikir sejenak, menimbang-nimbang proposal yang diajukan lawan bicaranya. Beberapa saat ia menatap lekat pemuda dengan rambut bergaya Emo di hadapannya. "Oke, sepertinya itu bukan ide yang buruk."


-=Flager Joined in the party.=-


Beberapa jam berlalu. Pasar hancur tempat mereka bertarung tadi sudah jauh terlewati, kini mereka memasuki lorong labirin penuh dengan percabangan.

"Ini kapan sampenya?" gerutu Leon tak sabar. Dari tadi ia mengambil jalan yang sudah dirasa benar, hanya untuk mendapati dirinya berakhir di sebuah jalan buntu.

Flager di sampingnya hanya sibuk mencorat-coret buku hariannya. Beberapa kali ia menabrak dinding karena terlalu fokus menulis sambil berjalan. Pandangannya menyusuri bagian atas labirin dari bebatuan yang mengurung. Jarak antar dinding tempat mereka berada sangatlah sempit. Untuk berjalan berdampingan pun rasanya mustahil untuk tidak saling menyentuh. Pikirannya mulai mengambil sebuah teori. Andai ia tidur terlentang, maka jarak lengan dan kakinya mungkin bisa menyentuh tembok di kanan kirinya.

Leon memiliki teori yang sama, ia bahkan langsung terlentang untuk mengukur jarak antar dinding. Semenit kemudian, mereka bertukar pandang dengan seringai jahil, "Kau berpikiran sama?"

"Nge'cheat? Kenapa tidak?"

[Fast forward setengah jam kemudian…"


Dalam sepinya pulau dengan langit berwarna kemerahan, di antara lorong sempit terbuat dari bebatuan. Terlihat dua orang sibuk meregangkan tubuhnya, berusaha mengambil satu persatu pijakan di dinding, sementara dua tangan terangkat tinggi menggapai sisi tembok lainnya. Bergerak sedikit demi sedikit memanjat tembok agar tiba di bagian atas labirin.

Sejengkal dua jengkal, sedikit demi sedikit bebatuan berhasil mereka lewati.

Sepuluh menit berlalu, mereka sudah berhasil meninggalkan permukaan dan kini ada pada jarak sekitar dua meter dari tanah. Masih ada sisa lima puluh meter lagi menuju puncak.

Ini akan memakan waktu yang cukup lama— Oleh karena itu, lebih baik kita berhenti mengulas dua orang bodoh itu, untuk kemudian beralih pada grup lainnya di bagian lain dari pulau tersebut.



***


Seorang pria dengan baju putih khas seorang bangsawan terlihat sedang sibuk menarik sebuah gerobak. Di dalamnya terdapat seorang anak kecil yang sedang tidur pulas dalam kondisi terikat. Juga Lucia yang duduk santai sembari menggerutu menatap sekeliling.

"Oh bapa, terima kasih atas pemberianmu." pria dengan baju putih berterima kasih pada tuhan atas sebotol minuman di tangan.

"Dan kau bahkan punya uang untuk membayar minuman di toko tadi?" ucap Lucia berkomentar, mengingat kembali bagaimana malaikat merah-merah dengan celemek putih itu bahkan membungkuk memberi hormat setelah selesai berbelanja, "Tak kusangka ada toko kelontong— koperasi antar malaikat di tempat ini."

Apa itu memang diperbolehkan? Tidak melanggar peraturan?

Lucia mengangkat kedua tangan tak mampu menjawab, "Hey Primo, dari tadi rasanya aku ingin marah terus, apa itu memang tema pulau ini ya?"

Sang pria bangsawan menoleh, "Betul sekali, janganlah sekali pun kau jatuh pada bisikan setan yang menggoda."

Lucia hanya menggerutu dalam hati. Gejala ini persis seperti PMS— Pra Menstruate Syndrome—perempuan hendak memasuki masa datang bulan. Agak menyesal ia karena tak membeli pembalut di toko yang tadi mereka lewati.

Grup itu terus berjalan menyusuri lorong bercabang, tersesat dalam labirin tiada ujung. Keduanya jarang sekali bertukar pikiran, sunyi seolah menjadi latar antar keduanya. Perjalanan ini akan membosankan. Oleh karena itu, marilah kita kembali lagi pada dua orang bodoh di sudut lainnya.



***


"Hey tangan gw pegal…" ucap Leon.

"Sama." sahut Flager.

Dua orang itu masih saja bertengger di dalam posisi seorang superman, berusaha memanjat bagian atas tembok labirin dengan memanfaatkan dinding sempit sebagai pijakan.

Tak ada lagi yang bisa diulas oleh dua orang ini. Oleh karena itu, mari kita mengintip satu orang lainnya yang sejak awal belum pernah kita bahas.



***


Adalah Sjena Reinhilde, perempuan dengan kulit eksotis cokelat tua mengenakan tanktop hitam dan hotpants abu-abu. Dua lapis kacamata sihir berukuran besar melayang berwarna biru dengan motif garis putih. Dia tiba paling awal di bagian tengah pulau berkat kemampuan teleportasi miliknya.

Perempuan itu duduk nyaman menikmati pendaran pilar cahaya di bagian tengah pulau. Tak sedikitpun ia terpengaruh oleh godaan sang pulau yang hendak melakukan provokasi menimbulkan amarah. Dirinya yang sudah berhasil dalam misi hidupnya, tak memiliki penyesalan apapun untuk bisa digunakan sebagai penyulut amarah.

Karakter ini hanya duduk santai menikmati waktu, menunggu lawan datang padanya—, Sepertinya tak ada apapun yang bisa diulas di sini, oleh karena itu marilah kita kembali pada Leon dan Flager dalam misinya melakukan kecurangan untuk tiba di bagian tengah pulau— semoga saja mereka sudah tiba di atas sana.


***




"Tak kusangka kita bisa berhasil…" ucap Leon menahan haru. Lecet di tangan tak sedikit pun ia hiraukan. Pemandangan di atas sana terlihat indah, dengan pendaran anagram lingkaran sihir di bagian tengah pulau.

Flager di sampingnya menulis apa yang ia lihat dalam buku catatan. Berharap ingatan akan keberhasilan ini tak akan terlupakan untuk selamanya. Mereka melanjutkan perjalanan dengan melompat-lompat melewati jarak antar dinding. Sesekali bekerja sama untuk memanjat bagian atas dinding yang memiliki banyak bagian terjal.

Semakin dekat mereka ke bagian tengah pulau, semakin berat pula pikiran jahat merasuki kepala. Mendadak Leon mendapati kemunculan bayangan istrinya, memanggil pilu dari kejauhan. Telak ia mengerjapkan mata, untuk kemudian memegangi kepala dengan kedua lengan. Berusaha mengusir ingatan buruk yang datang menghantui.

Flager juga mendapati hal yang sama, rentetan kejadian buruk di masa lalu mulai merasuki hendak memprovokasi. Matanya membelalak tajam, menoleh pada Leon di sampingnya.

"Hey Leon.."

Leon menoleh.

"Ribut yuk?"

Pria itu menjitak Flager dengan keras, "Paham maksudnya dari Aliansi nggak sih?"


Dua orang itu akhirnya tiba di dinding terakhir pada bagian tengah pulau. Di sana terdapat sebuah lapangan luas, dengan altar berukuran besar di bagian tengahnya. Bagian atas bangunan itu terdapat pancangan pilar cahaya, dengan pendaran lingkaran sihir berbentuk anagram tergambar di atas langit.

Leon dan Flager turun dari atas pilar tinggi. Leon tak melakukan kesalahan kedua dengan tak menemukan tangga tali di sudut bangunan. Ia tersenyum bangga ketika menemukan sebuah tali yang menjulur ke bawah. Walau pada akhirnya, tali itu harus putus dimakan usia ketika keduanya turun di saat yang bersamaan.

Di sudut lain lapangan, muncul Primo, Lucia, serta seorang anak kecil yang sedang tertidur pulas. Ke-enam peserta pulau ini berkumpul secara ajaib di waktu yang bersamaan. Hening mengikuti tak lama kemudian. Seolah memiliki satu pemikiran, mereka lalu berjongkok dalam formasi lingkaran untuk memulai sebuah diskusi.

"Jadi sekarang bagaimana?" ucap Lucia memulai sesi tanya jawab.

"Hanya ada satu yang akan dieliminasi, itu berarti kita cukup mengorbankan salah satu di antara kita lalu lulus bersama?" tanya Leon dengan tangan teracung.

"Aku nggak mau berkorban." ucap Flager.

"Demi bapa, aku juga tak ingin berhenti sampai di sini." sambung Primo.

"Aku tak sudi." komentar Sjena.

"Ucup nggak ngerti kalian ngomong apa." cetus bocah kecil di salah salah satu sudut.

Hening— semua orang sibuk dalam pemikiran masing-masing. Leon sempat mengusulkan ide untuk melakukan hom pim pah, namun tak dihiraukan oleh semua orang.

Flager di samping Leon berucap dengan suara berbisik, "Hey Leon.."

Leon menoleh dengan wajah cemberut.

"Kau tau tentang peraturan pulau ini? Cukup membunuh satu peserta, lalu kembali ke tempat tujuan."

Leon menaikkan salah satu alisnya, "Memangnya kenapa?"

"Bagaimana kalau hal itu berlaku untuk semua orang? Maksudku, jika tiap orang memiliki tugas yang sama di bagian Membunuh Satu Peserta. Itu berarti enam peserta yang ada harus membunuh enam orang lainnya. Dengan kata lain, ronde dua ini tak ada bedanya dengan pertarungan pertama, dimana hanya ada satu saja peserta yang masih bisa berdiri?"

"Nggak ngerti." ucap Leon kebingungan. Tempo bicara Flager terlalu cepat— dan terlalu keras hingga terdengar oleh sisa empat orang lainnya.

Semua orang terdiam memandangi Flager, sementara pria itu hanya menutup mulutnya akibat bicara terlalu keras.

"Kau benar." ucap semua orang bersamaan. Detik berikutnya, mereka sudah berdiri dengan cepat dalam posisi saling menodong dengan senjata masing-masing. Sadar bahwa syarat dan ketentuan untuk lulus di ronde dua ini tak ada bedanya dengan di ronde pertama dulu.

Tak ada yang bergerak, keheningan ini terasa amat mencekam.

"Uhm… bagaimana kalau kita semua mundur dulu enam langkah, lalu memulai segalanya dalam hitungan ke tiga?" ucap Leon mengusulkan ide.

"Setuju."

Masing-masing berjalan mundur sebanyak enam langkah. Lalu dalam hitungan ketiga, pertarungan itu dimulai serentak lewat bunyi kecrek yang memekakkan telinga. Disusul dengan terpentalnya mereka oleh gelombang kejut sang kecrek misterius.

Sjena dan Lucia mendarat di tempat yang sama, mereka berdua memulai baku hantam tak lama kemudian. Pedang api solid beradu dengan baton keras hingga menimbulkan percikan ledakan.

Di lain pihak, Primo mempersilakan Ucup untuk duduk di pojokan. Sementara Leon mengambil secangkir teh dari toko di pinggir lapangan, ia duduk nyaman ditemani Flager yang sedang asyik menikmati sepotong pisang goreng. Mereka mengambil posisi masing-masing untuk menonton jalannya pertarungan Sjena vs Lucia di tengah lapangan.


Angin bertiup pelan, menerbangkan debu dan kotoran.

Lucia dan Sjena bertekuk lutut berhadap-hadapan. Keduanya saling menatap garang dengan napas memburu, kelelahan setelah bertarung marathon hampir selama tujuh jam. Tak sedikit pun mereka sadari akan keberadaan peserta lainnya yang tertidur pulas menonton jalannya pertarungan.

Langit berubah malam, batas waktu 10 jam akan segera berakhir tak lama kemudian. Pulau kemarahan itu seolah memiliki kehendak, lewat pancangan pilar berbentuk cahaya yang berpendar semakin terang, membuat semua orang terkejut, sambil bertekuk lutut memegangi kepala.

Otak mereka dibombardir oleh rentetan kilas balik yang tak ingin diingat. Sjena tentang tragedy masa kecilnya, juga Ucup dengan trauma bully oleh teman-temannya. Di sisi lain, Primo mulai kehilangan akal sehat ketika diingatkan kembali akan penghianatan Metatron. Juga Flager yang menjerit ketika dipaksa ingat akan masa-masa kehancuran kerajaannya.

Begitu pun dengan Leon. Selama ini ia mampu menahan emosi dan bersikap sok keren, ia sudah cukup bijak untuk bisa mengatur emosi, mengingat usianya yang sudah 50 tahun dan sudah merasakan asam manis kehidupan. Namun kemarahan akan alasan kematian Istrinya sama sekali tak bisa ia pendam. Presiden dari Negara Indonesia, Ratu dari Exiastgardsun, istri yang ia cintai sejak ingatannya paling awal— mati konyol akibat kebodohan umat manusia. Bagaimana istrinya itu berkorban menyelamatkan orang-orang dari perang nuklir, perang terbodoh dengan teknologi bodoh, setelah susah payah ia menyelamatkan planet itu dari gempuran bangsa penyerang bernama Reaper.

Kemarahan telah menutupi akal pikiran semua orang. Merubahnya menjadi sosok liar haus darah. Termasuk Sjena dengan pedang api di kejauhan, berulang kali ia menyerang lawannya membabi buta, berulang kali pula ia terluka oleh serangannya yang bisa dimentahkan oleh lawannya.

Semarah apapun Lucia, dia masih bisa berpikir layaknya manusia biasa, dengan sedikit gerakan menghindar, dan ayunan keras tepat di bagian otak kecil belakang kepala. Dia bisa menjatuhkan Sjena hingga perempuan itu terbaring dengan luka terbuka di kepala.

Juga tentang nasib Primo, sang malaikat berpakaian bangsawan itu meninggal begitu saja akibat terlalu lama mendengarkan musik kegilaan dari kecrekan sang pengamen cilik. Sejak awal dia memang tak tega untuk membunuh seorang anak kecil, walau sesakti apapun bocah itu dengan kecrekan ajaibnya.

Leon mendapati pengamen itu mengamuk seperti di awal pertemuan, mendadak terlintas sebuah ide brilian di kepalanya. Menatap batu kerikil yang berada di bawah pijakan kakinya. Maka diambillah benda itu, dilemparkan sekuat tenaga hingga mengenai keningnya— bocah itu pun ambruk dengan kepala penuh darah.

Langkah kaki terdengar di telinga. Leon kemudian berbalik, dengan Gunblade perak berada di genggaman tangan. Menatap mata sesosok pemuda di hadapannya dengan sorot mata tak bersahabat.

Adalah Flager Ivlin, rekan seperjalanan yang kini berbalik menjadi seorang musuh. Tak ada ucapan apapun yang terlontar dari mulut keduanya. Amarah yang menguasai tak sedikit pun memberi kesempatan untuk berpikir lewat akal dan logika. Pulau itu seolah memaksa semua orang untuk saling membunuh.

Leon mulai menyerang Flager lewat sebuah ayunan gunblade.

Pemuda dengan kain lusuh mematerialisasi kain di lehernya menjadi sebuah pedang. Mengayunkan senjata itu dengan kedua tangan sekuat tenaga. Membuat dua pedang mereka beradu keras, lengkap dengan ledakan aura menghempas. Keduanya saling mendorong dengan posisi saling menahan.

Leon menekan pelatuk di senjatanya. Hentakan api muncul menyeruak— menciptakan sebuah ledakan.

Flager terdorong mundur, lalu terjatuh tak kuasa menahan hempasan udara. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Leon, sang ketua KPK lanjut menyerang dibarengi dengan sebuah teriakan keras.

Alih-alih menebas lawannya dengan bilah tajam Gunblade, pria itu malah membalikan badannya demi menahan sebuah serangan yang datang dari arah belakang. Percikan api terbentuk tatkala baton milik perempuan bertopi datang menghantam. Leon yang sedang dalam posisi berlari, tentu tak bisa menjaga keseimbangannya lewat tindakan darurat barusan. Maka bergulinglah ia beberapa kali di atas tanah, berusaha mengerem akan kecepatannya sendiri, hingga berada tepat di samping Flager yang sudah  memposisikan diri hendak menyerang. Pemuda itu menggenggam sebuah pedang besar, dengan kedua tangannya diayun keras hendak menghantam.

Mati-matian Leon berusaha menghindar, ia menggulingkan tubuhnya sekali lagi ke arah belakang. Merasakan tanah bergetar hebat ketika pedang itu menghujam beberapa senti dari punggungnya. Leon tak perlu khawatir akan serangan susulan, karena Flager terlihat sibuk membalikan tubuhnya untuk memulai adu senjata bersama Lucia. Pertarungan tiga sisi seolah memberikan keuntungan tersendiri.

Sebuah Kristal biru kecil diambil cepat dari saku bajunya. Dilemparkan pelan hingga melayang sebatas dada. Lalu dalam gerakan presisi, gunblade perak di tangan melesat cepat membelahnya menjadi dua bagian. Pendaran aura biru meletup kecil disertai gemerlap cahaya di udara. Energi yang menyeruak itu datang menyelimuti sekujur tubuhnya, menyerap masuk bertindak sebagai sebuah katalis.

"Rushtio…" ucap Leon pelan dengan mata mendelik. Detik berikutnya, pria itu menghilang dari pandangan, hanya meninggalkan debu beterbangan dari tanah ia berpijak.

Mata Lucia membelalak tajam, menyadari akan datangnya serangan dadakan. Sedetik sebelumnya mendorong Flager dari hadapan, kini ia harus menyilangkan baton miliknya agar tak terpotong menjadi dua bagian.

Hantaman gunblade terasa amat bertenaga, energi kinetik yang terakumulasi dalam kecepatan mendesaknya hingga tersungkur menabrak pilar bercahaya. Leon dengan tatapan bengis melempar Kristal merah ke arah belakang. Tubuhnya lalu berbalik cepat sambil mengayunkan gunblade untuk membelah benda itu, seraya menebas lawan yang berada di belakang tubuhnya.

Flagger terkejut bukan main, lawannya bergerak sangat cepat seolah melampaui hukum gravitasi. Ia tak sempat menahan arah datangnya sabetan pedang. Lalu dengan gerakan panik ia mengibaskan kain lusuh di tubuhnya, berharap bisa mengurangi efek serangan.

Meski bisa bertindak sebagai perisai, bahan kain tetaplah kain. Benda itu hanya meliuk mengikuti bentuk bilah tajam gunblade. Beruntung benda itu bisa menetralisir ujung yang menyayat, sehingga serangan itu hanya terasa seperti pukulan semata.

Dalam gerakan itu, tak lupa Leon menekan pelatuk senjatanya, menciptakan efek tambahan berupa ledakan sihir menyeruak mengikuti. Menjadikan serangan itu menjadi terlalu kuat untuk bisa ditahan. Membuat Flager terpental nyaris kehilangan kesadaran.

 Berdiri sendirian di tengah lapangan. Leon mendelik tajam dikuasai dendam. Pikiran dinginnya lepas begitu saja, tak kuasa menahan amarah dari kenangan buruk yang ada. Flager di sebelah kanan, juga Lucia di sebelah kirinya mulai berdiri mempersiapkan serangan. Masing-masing sadar akan Leon yang sedang berada dalam kondisi puncaknya. Seolah sepakat untuk melenyapkan pria itu terlebih dahulu. Masing-masing melesat dari dua arah hendak menikam secara bersamaan.

Jantung Leon berdesir seketika, menyadari akan serangan ganda yang tak mampu untuk ditahan. Aliran darah dalam tubuh mengalir cepat bersamaan dengan detak jantung yang semakin menggila. Seluruh indera meningkat berkali lipat walau hanya sesaat, membanjiri otak dengan serangkaian informasi akan situasi di sekeliling. Hasilnya, pria itu mampu melihat waktu lebih cepat dari pada kondisi normal, pandangan matanya menganalisa situasi seolah memperlambat waktu itu sendiri.

Sisa dua Kristal biru ia lempar ke arah berlawanan, lalu dalam gerakan memutar, ia sayat benda itu untuk menyerap energi Manna yang terkandung di dalamnya. Membuat sihir Rushtio meningkat hingga berkali lipat. Putarannya semakin kencang dengan ujung gunblade bertindak sebagai perisai.

Lucia dan Flager datang di saat bersamaan. Niat mereka untuk menyerang berubah total menjadi sikap bertahan. Tersadar akan ujung tajam pedang yang melesat berputar balik menyerang.

Keduanya terhantam keras, berbalik lagi pada posisi awal masing-masing. Melayang di udara tak sempat berpijak pada tanah.

Putaran itu terhenti, Leon menggenggam erat gunblade dengan kedua tangan, lalu melesat dalam kecepatan tinggi hingga terlihat menghilang. Di ujung sebelah kiri, tepat di samping Lucia yang sedang melayang. Pria itu mengayunkan senjatanya tanpa memiliki keraguan di matanya, membelah tubuh perempuan bertopi tepat di bagian perutnya.

Selanjutnya, Flager Ivlin. Matanya terkunci pada mangsa di kejauhan. Melakukan gerakan yang sama, hingga tiba di samping pria itu yang belum berpijak pada tanah.

Dihantamkanlah senjatanya sekuat tenaga, walau lagi-lagi di tahan oleh sehelai kain lusuh berwarna cokelat. Benda itu menggagalkan niatnya untuk membelah lawannya menjadi dua. Membuatnya terhempas keras hanya seperti terkena sebuah pukulan.

"Uaaaaakh…." rintih Flager dengan mata terbuka lebar. Tubuhnya sama sekali tak bisa ia gerakan.

Di lain pihak, Leon termenung sejenak. Menatap lawannya yang terbaring dengan mata setengah terkatup. Berpikir dalam akan alasannya melakukan pembunuhan.

Demi Fia, kau ingin bertemu kembali dengan Fia kan?

Leon menggelengkan kepalanya, "Masa lalu itu sudah tiada. Aku tak ingin mengingatnya kembali."

Flager berusaha menahan napas yang memburu, sejenak menatap Leon dengan pandangan menyelidik, "Kau… memiliki masa lalu yang tak ingin diingat?"

Leon menoleh, lalu membalas dengan sebuah anggukan.

"Andai kita bisa bertukar posisi…" lanjut Flager dengan mata yang kosong.

"Kenapa?"

"Aku bahkan tak memiliki satu pun ingatan yang bisa kukenang. Hidup dalam kekosongan memiliki penderitaan tersendiri."

Leon tak membalas, tubuhnya terasa lemas tak lama kemudian. Sisa waktu sihir dopping telah habis, berulang kali menggunakan manna untuk sihir ledakan telah menguras staminanya. Pria itu ambruk tepat di samping Flager.

Sebuah kesempatan emas bagi lawannya. Namun pemuda dengan kain lusuh memilih untuk tetap diam menatap langit malam. Rintik hujan muncul tak lama kemudian, siraman air dingin seolah menyiram amarah panas yang membakar sejak tadi siang.

Keduanya terdiam menikmati air hujan. Menatap kedatangan malaikat Hvyt yang datang menembus awan.

"Kalian adalah sisa peserta yang lulus dari ronde dua ini. Kuucapkan selamat."

Leon dan Flager bertatap mata saling bertanya, "Jadi sejak awal memang cukup satu orang saja yang harus mati?"

Hvyt mengangguk, "Seharusnya kau kembali lagi ke posisi awal. Tapi berhubung peserta lain juga tak ada yang kembali, maka pihak panitia mengambil inisiatif untuk datang menjemput."

"Sayang sekali, andai peraturan ini sudah jelas sejak awal. Tentu cukup satu orang saja yang harus dikorbankan." komentar Leon dengan wajah lesu, "Dan kini hanya ada dua orang yang tersisa."

Hvyt menggelengkan kepalanya, "Pengamen kecil itu masih hidup. Pria dengan pakaian putih juga selamat."

Flager terhenyak, ia memaksakan diri untuk duduk dan melihat ke sekeliling. Menyadari keberadaan beberapa Hyvt bertindak seperti tim SAR. Di salah satu sudut ada pengamen cilik yang sedang dibopong, juga Primo Trovare yang sedang ditandu dengan mulut mengeluarkan busa. Pria itu sepertinya overdosis oleh bunyi dari kecrekan sakti.

"Yah, sepertinya kita lulus." ucap Leon lesu, perlahan menutup kedua matanya diserang kantuk.



13 comments:

  1. Anjirrr... ngakak baca ini canon.. :v adegan2nya konyol banget.. saya awalnya ngira ini bakal full comedy (bakal jd minus deh) tapi rupanya battle pamungkas diberikan pas dekat ending cerita ..

    gillee, battle-nya pokokx keren banget, mudah dibayangkan.. no comment deh kalau masalah yg ini, keren pokokx kalau menurut saya..

    BTW, ini FLager dianggap lulus? soalx (IMO) kalau melihat aturan yg ada, paling banyak cuma 3 peserta yg bakal bisa lolos dari pulau ini.. (masing2 membunuh 1, gituh) seperti yg ada pada canon saya (3 lolos, 3 mati) XD dan Flager gak ngebunuh siapa2 tuh..

    Karakterisasi buat Leon, Flager, dan Lucia udah cukup bagus nih, tapi sisax masih kurang.. efek karena dibuat buru2 + dekat deadline + kesibukan di real life nih? XD

    well, jadi.....

    -----
    8,5/10
    -----

    ReplyDelete
    Replies
    1. Uhm... jadi teori tentang "Cukup satu aja yang mati-- sisanya lulus bersama." itu invalid ya?

      btw, makasih buat reviewnya Hika~.. :D

      Ane gak pande bikin battle scene, jadi emang rada fokus di banyolan aja, and mohon maaf kalo beberapa candaan malah terkesan garing dan OOC.
      m(_.._)m

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Seperti R1, canon ini lucu sumpah! Breaking 4th wallnya lebih mulus daripada R1. Dan lagi2, adegan ngemil sambil nonton orang battle hahahaha.
    Oke review dimulai deh.


    Plot : Cukup ngalir dan menyenangkan untuk diikuti. Komedi2nya segar dan cukup utk bikin ngakak. Pembagian POVnya juga oke, jadi buatku nggak ada masalah buat ngikutin ceritanya.

    Awalnya aku sempet berpikir, wah ini masa komedi sampe akhir? Soalnya kalo diliat tulisan ini pendek. Tapi ternyata battlenya di akhir toh.

    Aku masih blm dapet motivasi para entrant menuju ke tengah pulau (tapi kurasa adanya lingkaran sihir yg keren itu cukup menarik sih). Lalu trigger kemarahannya juga belum terlalu berasa, transisi dari komedi ke battle terasa kurang mulus.


    Karakter : Untuk Flager, kurasa karakterisasinya cukup pas, dimana dia sering banget nulis, sampe kejedot tembok, wkwkwkw. Utk Leon, tentunya karakternya dapet banget, kan self insert xD.

    Namun sayang, karakter2 yang lain tidak terlalu tergali karakterisasinya. Polosnya Ucup cuma keliatan sedikit, Lucia nggak terlalu keliatan personalitynya. Dan..ampun..Primo bilang "sholehah" itu rasanya.....aduh ngakak sumpah. Namun sayang, dia nggak berkhotbah disini :(
    Untuk Sjena, sarkas dan randomnessnya nggak terasa disini.


    Battle : Pacenya terlalu cepet. Potongan adegan2nya terasa terlalu ngebut, beda banget sama first halfnya yg udah enak banget buat diikuti. Lucia mati cuma dalam satu paragraf. Dan bahkan aku nggak notice lho dia mati. Soalnya cuma satu kalimat doang "membelah badan wanita itu" dan itu sama sekali nggak ke notice lho. Jadi pas udah sadar Lucia mati, aku musti balik lagi ke paragraf sebelumnya krn nggak ke notice.

    Trigger kemarahannya juga nggak terlalu berasa di battle. Tapi adegan waktu mereka ngumpul mau hompimpah itu lucu loh.

    Author lebih cocok ke genre komedi ternyata xD


    Overall cerita ini asyik lho komedinya. Cuma sayang, transisi ke bagian seriusnya kurang mulus dan penggambaran battlenya terlalu singkat, seharusnya kematian karakter seperti Lucia bisa dideskripsikan lebih detail paling nggak 1 paragraf, supaya kerasa gitu xD

    Dariku 7.5/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Uwaaaah, makasih Bayee~..
      :D

      Ane masih terus belajar buat melakukan breaking the fourtwall yang baik dan benar. Jadi mohon maaf kalo masih kerasa kurang mulus.
      :D

      Iya, harus kuakui kalo ane emang nggak pande bikin battle scene, dan ane sebenarnya nggak suka battle scene. Lebih seneng nulis cerita tipe NATO (No Action Talk Only)

      Komedi itu menyegarkan pikiran.
      XD

      Delete
  4. ==Riilme's POWER Scale on Leonidas Evilian Lionearth's 2nd round==
    Plot points : B
    Overall character usage : B
    Writing techs : B
    Engaging battle : B
    Reading enjoyment : B+
    ==Score in number : 7,2==

    Entri terakhir dari pulau ini, dan saya jadi dapet kesan baik Leon maupun Flager itu karakter yang can easily be a bro ngeliat yang udah"

    Meski penulis bilang ini ditulis rada seadanya, tapi buat saya cukup enak dibaca. Banter antara Leon-Flager juga asik, beberapa kali diselipin adegan kocak juga, malah lebih bagus impresinya buat saya daripada r1 kemarin. Sama kayak komen di atas, saya rada bingung soal kondisi kemenangannya. Tapi kalo diinget lagi, entri macem punya Rex juga kalo ga salah punya ending serupa kayak gini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Abisnya peraturan dari yang mulia Thurq sendiri kurang detail sih, jadinya ya ane pake "BoR Logic" seperti yang Ivan bilang, dengan sabda kurang lebih sebagai berikut : "Jika tak tertulis, maka Bebasss~.."
      :D

      Btw, makasih dah mampir kk Sam.
      :D

      Delete
  5. wogh. sekali lagi Umi nemuin persepsi beda tentang "bunuh satu peserta dan kembali ke tempat awal"

    ini ceritanya ngalir, dibanding R1 yang Umi benci banget sama Leonnya di sini, Leon yang Umi suka muncul lagi >.< Sifat baik sama ksatrianya dimunculin, dan Umi suka hal itu.

    Jalan cerita sama Battlenya ringan, jadi Umi bakal kasih 7/10 untuk Leon >.<

    ReplyDelete
  6. Makasih Umii dah mampir.
    >.<
    Iya, R2 ini menurut ane rada absurd sih peraturannya, jadi terkesan pasal karet gitu. :v

    Weks, Leon baik sama ksatria? Asli na dia itu munapik lho :v

    iya, ini dibuat ala kadarnya gegara sibuk banget...
    ._.

    ReplyDelete
  7. entri ke-12 :3

    awalnya saya kira bakal ngelawak terus, tapi saya malah disuguhkan dengan battle yg "apik" di akhir2.

    oke, lanjut kak...

    saya suka ama paruh awal ceritanya. alurnya ngalir, kocaknya pas, breaking 4tth wallnya saya kira juga sukses. parameternya ya, saya senyum2 sendiri aja. nah, awalnya saya pikir ini bakal ngebanyot mulu si leonnya, tapi ternyata di paruh akhir mereka justru berantem sampai ada yg mati.

    dan ini yg agak saya sesalkan dari canon ini.

    kenapa tadi saya tulis "apik"? karena disusun dg baik. itu aja. tapi maaf kak, belum sampai tahap "epik". buat unsur intristiknya sih ga ada masalah, cuma battlenya rasanya di-rush banget. 1/2 awal lambat bgt, 1/2 akhir cepet banget. persis banget ama punyanya kak sam. bedanya, CC kak sam berantakannya mulai di 1/4 pertama, habis intro.

    overall, saya ngasih nilai 7.5 kak. kalau kakak udah baca CC kak sam di R2, saya pikir kakak pasti mengerti maksud saya.

    semangat kak >.<

    ReplyDelete
  8. Aneh rasanya udah pernah Ngomen tapi kok gak ada...

    jadi saya cuman pengen ngomongin lagi...

    Ada alasan utama kenapa beberapa orang di dalam cerita seperti ini. Safe jika memakai Komedi.

    karena Rule of Funny itu men-justify OOC maupun ketidaklogisan. dan setidaknya di sini semua penceritaan sampai semua karakter ngumpul di satu tempat itu lucu. Gak peduli pada OOC ataupun ke tidaklogisan. Ichsan memberikan Entry yang bagus!

    tetapi, Action scene di sini memang berasa di Fast forward. penulisan Action scene itu sih gak masalah mendetail tapi untuk setiap serangan gak efektif dan pertukaran serangan memang lebih baik di persingkat.


    karena 1 pulau, saya gak bisa ngasih nilai... jadinya...
    Final Verdict: Ribut Nyok!?

    ReplyDelete
  9. O ho ho ho hon. Kocak. Breaking the 4th wall-nya juga lebih mulus. Tapi author moi bilang supaya Icchi lebih banyak latihan lagi biar komedinya lebih mulus. Apalagi kalo mau pindah jalur dari komedi ke serius.
    Overall, ini jelas lebih bagus dari R1. 7,5 dari moi!

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -