[Round 2-Arsk] Nim Imanuel
"I'll Be The One"
Written by Yuu
---
Aku anak terkutuk.
Terlahir dengan Mata Iblis yang merenggut nyawa Ayah-Ibu, sudah menjadi bukti yang cukup bahwa kehadiranku di dunia ini hanya membawa malapetaka.
Kakak perempuanku, Tabita, yang saat itu baru berusia sepuluh tahun, mendapatiku yang baru beberapa saat lalu terlahir ke dunia berada dalam kondisi yang ganjil.
Bagaimana tidak, bayi yang baru lahir tidak semestinya sudah duduk tegak seperti diriku. Meskipun bercak-bercak darah masih nampak jelas di tubuhku, tapi aku yang masih bayi saat itu benar-benar duduk, tanpa tangisan dan tanpa seorang pun menemani.
Tabita menghampiriku perlahan, kali ini ia sadar bahwa aku tidak sendirian. Ia melihat beberapa boneka miniatur manusia tergeletak di sisiku. Aku yakin saat itu jantungnya berdegub begitu cepat. Dan aku yakin, kakakku tersayang tahu pasti bahwa boneka-boneka itu adalah Ayah, Ibu, Bibi Liana, dan Suster Selena yang terkena imbas kutukanku.
Tatapan kami bertemu. Tubuh Tabita membeku menatap sepasang mata hitam dengan pupil merah menyala milikku. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya ia ambruk. Tak bernapas. Mati.
Lonceng jam menggema tiga kali. Tatapanku saat itu tak bisa lepas dari wajah teduh Tabita. Tangan mungilku menyentuh pipinya, membuatnya tersentak dan bangkit perlahan.
Ah, ia terbebas dari kematian.
Suara erangan tertahan yang berasal dari jendela membuat Tabita sontak menoleh. Di sana sudah ada Paman Hans yang menatap ngeri padaku. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya ia lari terbirit-birit seolah kesetanan.
"MONSTER!!"
"BAYI TERKUTUK!!"
"IBLIS!!!'
Adalah seruan yang terdengar tak lama setelah Paman Hans menghilang. Tabita menoleh padaku dengan cemas dan langsung memelukku erat. Ia merapalkan mantra teleport yang baru tadi sore dikuasainya. Tubuhku dan Tabita perlahan lenyap ditelan pusaran angin, sesaat sebelum para warga yang kalap tiba di kamar. Para warga marah besar. Tabita menghilang. Sang Terkutuk juga menghilang.
Namaku Imanuel.
Dan akulah Sang Terkutuk itu.
***
Pernahkah kau begitu menyayangi seseorang sampai-sampai kau rela mati untuknya?
Delapan tahun hidup tanpa kasih sayang orangtua dan jauh dari keramaian sosial, tidak membuatku terpuruk dalam kesepian.
Kakak perempuanku, Tabita, semenjak hari itu terus berusaha membesarkanku dan merawatku dengan sepenuh hati, penuh kasih sayang. Membuatku merasa tidak membutuhkan apa-apa lagi. Hanya Tabita seorang.
Tabita begitu menyayangiku. Ia melakukan apa saja agar aku senang. Membacakan buku cerita, menyediakan masakan-masakan enak kesukaanku, dan menyanyikan lagu-lagu indah. Tapi ia tidak ingin aku melakukan satu hal.
Keluar dari rumah hangat ini.
Tiap malam ia menanyakan apa aku merasa kesepian karena tidak memiliki teman. Yang tentu saja kujawab bahwa ia adalah temanku dan aku tidak butuh yang lain lagi. Ia senang, karena itu artinya ia tidak perlu khawatir aku akan meninggalkan rumah ini.
Aku menyayangi Tabita. Aku akan menuruti segala ucapannya, asalkan dia terus berada di sisiku seperti ini.
...
"Tabita ...?"
Malam itu aku tidak menemukan Tabita di manapun. Aku mencarinya ke seluruh penjuru rumah kecil ini, tapi tidak mendapatinya di manapun.
Aku takut.
Aku sendirian di rumah ini. Tak ada Tabita. Tabita meninggalkanku sendirian tanpa mengatakan apapun. Aku cemas. Aku takut. Aku takut Tabita tak akan kembali.
Sepucuk surat dengan stempel kerajaan tergeletak di meja. Kubaca surat itu dan amarahku segera meluap.
Ratu Laika menyuruh Tabita segera menghadap padanya. Ratu membutuhkannya. Ada kondisi darurat.
Ratu menyuruh Tabita meninggalkan rumah ini. Meninggalkanku. Tanpa meminta persetujuan dariku.
Ratu itu begitu lancang. Akan kubuat dia menyesal telah merebut Tabita-ku.
***
Pemandangan kota. Ini pertama kalinya aku berada di tengah keramaian. Banyak orang berlalu lalang, membahas apa saja, membuatku pusing.
"Hei, Nak, kau tak apa?"
Seseorang menepuk bahuku. Aku enggan menoleh. Aku tak punya urusan dengannya.
"Hei, Egil! Bisa bantu aku memindahkan buah-buah ini?"
"Oh, baik!"
Pria yang menepuk bahuku tadi berlalu. Menghampiri pemuda berambut kemerahan yang tengah mengangkut sekeranjang penuh buah.
"Tidak biasanya kau meminta bantuanku, Kawan."
"Oh ayolah, Egil. Aku kewalahan mengurus semua ini sendirian. Gadis Malaikat itu tak datang menolongku hari ini. Entah kenapa."
"Maksudmu Tabita? Penyihir baik hati itu? Kudengar Ratu memanggilnya untuk keperluan darurat. Mungkin ini ada hubungannya dengan perang di selatan?"
"Mungkin saja. Kudengar sebentar lagi Pasukan Penyihir Elit akan tiba di kota ini. Perang di selatan pasti begitu parah."
Aku terdiam. Perang. Perang. Mereka bilang perang. Ratu ingin melibatkan Tabita dalam perang. Benar-benar tidak tahu diri!
Aku berlari, berlari menyusuri jalan menuju istana sang Ratu. Aku tak peduli pada orang-orang yang terjatuh karena tersenggol olehku. Beberapa memakiku, beberapa heran dan mencemaskanku. Aku tak peduli. Yang kuinginkan sekarang hanya Tabita.
"Hei, Nak, hati-hati!"
Aku jatuh tersungkur setelah tak sengaja menabrak pria tinggi berjubah putih. Pria itu meraih tanganku hendak membantuku berdiri, namun aku merasa tanganku seperti disengat. Panas. Seolah terbakar.
Kuhentakkan tanganku dari genggaman pria itu. Aku meringis seraya mengelus pergelangan tanganku. Pria berjubah putih itu terdiam. Menatapku lamat-lamat.
"Kau ..."
Ia mengayunkan tangannya. Serentak orang-orang berjubah putih lainnya mengepungku. Aku panik. Mencoba menerobos kepungan mereka, tapi gagal.
"Kau pasti Sang Terkutuk. Setelah sekian lama akhirnya kau menampakkan diri."
Berada di tengah-tengah orang-orang jubah putih ini membuatku gerah. Gerah yang tak lazim. Aku tak berani menyentuh mereka. Mereka seperti diselimuti api. Membakar kulitku tiap kali tak sengaja kusentuh mereka.
"Tangkap dia!"
"Jangan mendekat!!"
Napasku terengah-engah. Aku takut. Aku marah. Di saat seperti ini Tabita justru menghilang.
"Keberadaanmu seharusnya dilenyapkan sejak awal, Nak."
Suara itu terdengar begitu dingin menusuk.
"Kau harus ikut dengan kami."
Pria itu mencengkram tanganku, membuatku lagi-lagi meringis. Nyeri. Benar-benar nyeri. Aku mencoba melepaskan diri. Namun orang berjubah lainnya ikut menahanku, mencoba mengikatku dengan sesuatu yang tampak menyilaukan. Saat benda itu menyentuh tanganku, aku mengerang kesakitan.
"Lepaskan!!"
"Maaf, Nak, seharusnya sejak dulu kami melakukan ini padamu. Seandainya saja Tabita tidak—"
"KUBILANG LEPASKAN!!!"
Kutatap pria menyebalkan di hadapanku dengan penuh amarah. Ia terbelalak. Tubuhnya diam membeku. Tatapannya terkunci pada tatapanku. Ia hendak mengatakan sesuatu tapi gagal. Bola mata putihnya perlahan menghitam dan tubuhnya perlahan menyusut, hingga akhirnya sepenuhnya berubah menjadi boneka.
Tangan-tangan yang menahanku sontak menjauh. Menjaga jarak. Mereka menatapku dengan tatapan marah dan menusuk. Tatapan-tatapan itu membuat rasa panas di dadaku semakin meluap.
"IBLIS!!"
"MONSTER!!"
Lagi-lagi ... kata-kata menyebalkan itu ...
"Imanuel!!"
Aku tersentak. Seseorang berlari menerobos kerumunan. Ia memelukku, begitu erat.
"Apa yang kau lakukan? Sudah kukatakan padamu jangan keluar rumah! Jangan dekati kota!"
"Tapi ... Tabita ..."
"K-kau ... dasar Penyihir Pengkhianat! Jadi selama ini kau bersama Bocah Iblis ini?!"
Tabita memelukku semakin erat. Jantungnya berdegup begitu cepat.
"Dia adikku! Dia keluargaku! Bukan salahnya kalau dia memiliki Mata Iblis! Bukan salahnya kalau kutukan itu memilihnya! Dia manusia, sama seperti kalian!"
"Dia itu IBLIS, Penyihir Pengkhianat!"
"Dia bukan iblis! Dia diberkati kemampuan suci!"
"Kemampuan suci yang merenggut nyawa orang-orang yang kau sayangi."
Tabita terdiam.
"Tabita ...?"
Kusentuh pipinya dengan lembut. Wajahnya terlihat tegang. Bulir-bulir keringat dingin membasahi keningnya.
Aku memeluknya erat, "Tabita ... ayo kita pulang ...," lirihku.
Tabita seolah baru tersadar. Ia berdiri perlahan sambil menggendong tubuhku.
"Sampai kapanpun anak ini tidak akan kuserahkan pada kalian."
Tabita merapalkan mantra. Tubuh kami diselubungi pusaran angin. Orang-orang berjubah putih meraung marah, hendak menyerang. Tapi hanya udara kosong yang mereka dapati.
Aku dan Tabita menghilang. Lagi.
...
"Tabita ... kau tak apa?"
Tabita menoleh, mencoba tersenyum padaku seperti biasa.
"Lain kali jangan berbuat seperti itu lagi, ya, Imanuel. Kumohon."
"Tapi, aku kan hanya pergi mencarimu. Kau bilang tidak akan meninggalkanku sendirian, nyatanya ... kau pergi."
Ia menghela napas, "Maaf, ini salahku. Tapi aku tidak bisa terus-terusan berada di sini, Imanuel. Banyak orang di luar sana membutuhkan bantuanku."
"Kau sudah janji!"
"Imanuel, Ratu membutuhkanku ..."
"Lalu aku? Aku juga membutuhkanmu, Tabita!"
Mataku mendadak terasa panas.
"Apakah menurutmu ... mereka jauh lebih penting daripada aku? Aku membutuhkanmu lebih dari siapapun! Hanya kau yang kumiliki, Tabita ...,"
Dadaku terasa sesak. Desakan rasa panas di mata membuatku tak tahan lagi. Perlahan bulir-bulir air mata mulai menetes membasahi lantai kayu.
"Kau sudah janji ... Jangan pergi, ya? Aku tidak mau sendirian meskipun hanya sebentar," lirihku.
Tabita menghampiriku, mendekap kepalaku seraya mengusap-usapnya.
"Aku melakukan semua ini demi dirimu, Imanuel. Aku tidak ingin orang-orang itu mengambilmu, membawamu ke tempat yang mengerikan." Tabita melepaskan dekapannya. Mengusap air mataku dan tersenyum. "Aku tidak akan lama. Aku akan membawakanmu boneka yang bagus nanti. Kau suka boneka, kan?"
Aku mengangguk dua kali. Tabita mengusap kepalaku dengan lembut.
"Bagus. Anak pintar. Jaga rumah ini dengan baik, ya?"
Aku mengangguk pelan.
Tabita bangkit dan melangkah hendak meninggalkan rumah.
"Tabita,"
Tabita menoleh.
"Apakah ... kau sering membantu orang-orang itu? Menolong mereka?"
Tabita terdiam sejenak, nampaknya ragu menjawab pertanyaanku.
"Ya ... aku sering menolong mereka. Apa saja, untuk meringankan beban mereka. Kenapa bertanya seperti itu?"
Aku menggeleng kemudian tersenyum, "Tabita memang baik."
Tabita tertegun, tapi setelahnya ia menyunggingkan senyum manis yang belum pernah kulihat selama ini.
"Kau juga anak yang baik, Imanuel."
Dalam hati aku bersumpah, akan menghabisi semua orang di kota itu, termasuk Ratu. Mereka semualah yang menyebabkan Tabita tidak bisa terus bersamaku.
***
Aku menyeringai puas melihat koleksi-koleksi boneka milikku. Boneka yang tidak akan pernah ada duanya. Boneka yang tadinya hidup, boneka yang tadinya jadi bagian dari kota ini.
"Kau senang dengan semua itu, eh?"
Aku terlonjak kaget. Buru-buru aku merapat ke dinding, sambil memeluk erat boneka-bonekaku.
Melihat tingkahku, bocah di hadapanku sontak tertawa.
"Terkejut?"
Aku mengangguk. "Siapa kau?"
"Kau tak mengenalku. Tapi aku sangat mengenalmu, I-ma-nu-el," ujarnya bangga.
"Aku tanya, siapa kau?" Ulangku.
"Um ... Teman!"
"Teman?"
"Ya, Teman."
Aku menatapnya curiga. Poni panjang yang menyamarkan kedua mata terkutuk ini membuat anak itu berada dalam posisi aman.
"Aku tidak butuh teman. Aku sudah punya Tabita," ujarku.
Bocah itu tertawa, "Bohong~"
"Aku bersungguh-sungguh!"
Aku baru sadar bahwa anak di depanku ini albino. Rambut putih berantakan, kulit pucat, baju putih lengan panjang kebesaran, celananya pun begitu.
Setelah kuperhatikan baik-baik, aku seolah melihat bayangan diriku pada anak ini. Senyum ceria, wajah bersahabat, dan boneka panda. Ia memeluk sebuah boneka yang ... sejujurnya tampak sedikit mengerikan. Boneka panda itu sudah kusam, dengan beberapa jahitan asal di tubuhnya. Matanya juling, dan mulutnya yang tersenyum diberi jahitan, membuat boneka itu seolah menyeringai alih-alih tersenyum.
Aku tidak mengenalnya. Sama sekali tidak, tapi ada sesuatu pada dirinya yang membuatku tertarik.
"Baaa!"
Aku tersentak mendapati boneka panda itu tiba-tiba muncul di depan wajahku.
"Jangan melamun, Teman~"
"Aku bukan temanmu!"
Bocah itu menghela napas.
"Namaku Nim. Aku adalah temanmu, dan kau membutuhkanku."
"Sudah kubilang aku tidak membutuhkan teman sepertimu!"
Lagi-lagi ia tertawa, dan itu mulai terdengar menyebalkan.
"Hei, apa kau ingin melihat masa depan?"
Ia menarik kerah bajuku dan menatap langsung kedua mataku.
"Hei! Kau bisa ma—"
"Aku tahu."
Tatapanku terkunci pada mata hitam kelamnya. Mendadak pikiranku dipenuhi oleh kilasan-kilasan kejadian yang tidak kupahami. Kejadian yang sama sekali belum pernah kualami.
Tabita bertarung dengan seorang pemuda berjubah abu-abu. Pemuda itu kewalahan dengan serangan-serangan dari Tabita. Kadang kala ia terlihat hendak membalas serangan yang didapatinya, tapi serangan balasan itu tak pernah terjadi. Pemuda itu kalah telak, terkapar dengan air mata kekecewaan yang membasahi pipinya. Mata merahnya yang mulai meredup menatap Tabita penuh makna. Pemuda itu ... pemuda itu ... aku?
Mendadak pemandangan itu luruh, digantikan oleh hamparan dataran merah. Sekelompok orang berbaris dalam kepungan malaikat-malaikat merah bersayap hitam. Wajah-wajah mereka dipenuhi kebingungan, rasa cemas, dan amarah.
Lalu pemandangan itu kembali berganti.
Pertarungan, darah, tangisan, teriakan penuh amarah. Pemandangan-pemandangan itu bertumpuk, tumpang tindih silih berganti, seolah mendesak ingin memasuki mataku, membuatku pusing.
Tiba-tiba napas Nim tercekat. Aku tersentak. Segera kudorong tubuhnya menjauh.
Tubuh Nim terkapar dengan mata hitam membelalak. Boneka panda yang ada dalam pelukannya terlepas, jatuh tepat menghadap padaku. Seringaian boneka itu seolah meledekku. Membuat lututku gemetar.
Susah payah aku bangkit, dan tanpa membuang-buang waktu aku segera berlari meninggalkan Nim, yang mulai dililiti benang-benang bercahaya biru yang entah berasal dari mana.
....
"Imanuel, kau baik-baik saja?"
Aku mengangguk pelan. Tabita pasti merasa aneh dengan sikapku saat ini.
"Lihat ini, aku membawakanmu boneka yang lucu. Kau pasti menyukainya."
Aku menoleh.
"Selamat ulang tahun yang kedelapan, Imanuel!"
Mataku terbelalak. Sebuah boneka panda kusam dengan mata juling menyeringai padaku. Setelahnya, hanya kegelapan yang ada.
***
Tabita jahat!
Tabita menyebalkan!
Aku bukan pembawa sial!
Aku bukan iblis!
Ini bukan salahku! Orang-orang itu yang menggangguku. Mereka menyebalkan. Mereka jahat. Mereka ingin merebutmu dariku, Tabita.
"Seharusnya sejak awal aku tidak membesarkan iblis sepertimu ...,"
"Tabita, apa yang kau bicarakan? Orang-orang itu bersalah. Mereka harus dihukum!"
"Tutup mulutmu!! Kupikir kau bisa menjadi anak yang baik, anak yang normal jika aku membesarkanmu dengan segala limpahan kebaikan. Tapi ... iblis tetap saja iblis! Kau sama sekali bukan adikku!"
Gigiku bergemeletuk keras karena amarah.
"Orang-orang itu sudah meracuni pikiranmu, Tabita!"
"Pikiranmu yang sudah dipenuhi kegelapan!"
"Mereka ingin menjauhkanmu dariku! Aku—!"
"CUKUP!! Cukup, Imanuel ... maaf, maaf aku harus melakukan ini padamu. Kesalahanmu tidak bisa ditolerir lagi. Aku tidak sanggup lagi melihat segala perbuatan kejimu itu. Orang-orang tak bersalah itu ... kau anggap apa nyawa mereka?! Kau ... iblis dalam dirimu harus dimusnahkan. Karena itu ... kumohon matilah untukku!!"
"TIDAK! TABITA! JANGAAAN!!"
***
"Bukankah sudah kubilang kau membutuhkanku?"
Aku mendongak. Mendapati bocah albino menyebalkan itu menyeringai.
"Bagaimana rasanya jadi boneka, I-ma-nu-el? Ironis, ya? Sebelum-sebelumnya kau mengubah orang-orang jadi boneka tanpa belas kasihan. Katamu kau ingin melindungi Tabita. Lihat sekarang, wanita yang kau cintai justru mengurung jiwamu dalam boneka kesayanganku. I-ma-nu-el~"
Mendengarnya tertawa membuatku muak. Aku merasa begitu terhina oleh bocah misterius ini.
Tertawalah! Tertawa sampai puas! Sampai bibirmu itu robek! Toh, aku tak bisa melakukan apa-apa lagi.
Nim mulai berhenti tertawa. Kali ini menunjukkan senyum bersahabat, sama seperti saat pertama kali dia menemuiku.
"Sudah kubilang aku ini temanmu. Aku akan membantumu. Berikan sedikit jiwamu padaku, dan aku akan memberimu kesempatan kedua. Kesempatan kedua untuk hidup sekali lagi."
Bocah ini bicara apa?
"Percayalah padaku. Lakukan saja apa yang kukatakan, maka kita tidak akan pernah terpisah. Aku adalah bagian dari dirimu. Aku akan menjadi tubuhmu, dan kau akan menjadi jiwaku. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, karena kau membutuhkanku."
Aku melihat pancaran kesungguhan di matanya. Sekilas aku merasakan kehangatan karena seseorang menginginkanku.
"Aku akan membalaskan dendammu. Aku janji."
Dan sesaat kemudian hanya benang-benang bercahaya biru yang memenuhi pandanganku.
***
Jagatha Vadhi, hari eksekusi
Darah
Tubuh yang terpotong
Kepala yang terpenggal
Ledakan!
Aku tertawa. Tertawa dalam hati. Pemandangan itu membuat darahku berdesir. Dewa Merah itu menyeringai, seolah menikmati segala siksaan yang ia berikan pada sebelas peserta terpilih yang malang. Sebelas orang itu gagal menghibur sang Dewa dalam pertarungan sebelumnya. Sebagai hukumannya, mereka disiksa. Dieksekusi.
Diam-diam akupun menyeringai.
Dalam hati aku bersumpah, pada akhirnya makhluk merah menyedihkan itu akan menjadi salah satu koleksi terbaikku. Boneka dengan kekuatan dewa. Itu pasti sangat luar biasa. Tapi dewa tetaplah dewa. Tak ada apa-apanya dibanding Tuhan.
Namaku Nim.
Akulah Sang Tuhan!
***
Pulau Arsk, pertarungan babak kedua.
"Imanuel, berapa lama lagi kita harus menunggu? Aku lelah~"
Kulirik Imanuel, boneka panda kesayanganku yang juga tengah berbaring dalam peti raksasa ini. Dia hanya diam, seperti biasa.
Aku bosan. Benar-benar bosan. Waktu Malaikat Kepala Ayam itu membawaku terbang, kupikir dia akan membawaku ke tempat yang menakjubkan, di mana aku bisa mendapat banyak boneka baru. Nyatanya tempat ini begitu membosankan. Hanya ada benda-benda berkilau yang ditimpa sinar matahari. Itu membuat mataku sakit. Emas, perak, batu-batu berkilau ... membosankan! Tidak ada boneka di sini. Tidak ada yang bisa diajak bermain. Tidak ada yang bisa kukendalikan. Bosan!
"Emas nom! Berlian nom! Semuanya terlihat berkilau nom~"
Aku menoleh. Sepertinya ada seseorang di dekat peti ini. Aku berjinjit, berusaha mengintip dari celah tutup peti yang tidak tertutup rapat.
"Ambil nom~ Bawa pulang semuanya~ Semua ini milikku nom~!"
Aku berdecak kesal melihat anak perempuan yang berpakaian aneh itu mengumpulkan batu-batu berkilau sambil tertawa. Miliknya? Aku yang pertama kali sampai di tempat ini! Enak saja dia mengaku-ngaku kalau semua harta ini miliknya. Meskipun terlihat membosankan dan tidak semenarik boneka-bonekaku, tapi harta-harta itu milikku! Akan kubawa pulang dan kuberikan pada Tabita agar dia tidak meninggalkanku lagi. Akan kubelikan apapun yang dia inginkan dengan semua kekayaan ini.
Ya ... aku bisa mendapatkan segalanya dengan semua ini. Akan kubeli semuanya! Bahkan dunia sekalipun! Anak itu tidak akan mendapat bagian sedikitpun!
"Imanuel, lihat anak menyebalkan itu. Dia mencuri harta kita!"
Kuselipkan Imanuel di belakang bajuku, menyisakan kepala bulatnya saja yang menyembul. Kuberi dia kesempatan melihat apa yang tadi kulihat.
"Dasar pencuri harta! Menurutmu hukuman apa yang pantas bagi seorang pencuri harta tak tahu diri? Jadi boneka? Tidak, tidak, terlalu cepat. Kita harus menyiksanya terlebih dahulu, perlahan-lahan, agar dia tahu siapa yang paling berkuasa di sini. Ya ... itu ide bagus. Ilusi? Ya ya. Aku setuju denganmu, Imanuel. Hahahaha!"
Aku pun mulai merogoh lengan baju kiriku. Mencari salah satu koleksi terbaruku.
Akhirnya aku bisa bermain di tempat membosankan ini~
***
"Wah~! Ini zamrud nom! Cantiknya~ Warna hijaunya begitu menawan. Akan kubawa pulang juga yang satu ini nom! Orang-orang ras Gnome pasti akan sangat iri padaku!—huh? Apa ini nom?"
Elle menatap heran pada sebuah benda mencolok di antara tumpukan harta. Benda mungil mirip miniatur malaikat merah itu nampak kontras dengan kilauan batu-batu mulia di sekelilingnya.
"Boneka nom?"
Elle menghampiri boneka malaikat merah itu, memungutnya dan mengamati tiap inci boneka itu.
"Kamu mirip sekali dengan Cuckoo nom. Ah!? Apa Cuckoo yang menaruh boneka ini nom? Cuckoo ingin memberiku hadiah nom? Senangnya noooom~"
Elle memeluk boneka itu erat-erat. Ia sangat senang karena teman barunya ternyata memberinya hadiah penyemangat.
Elle ingin menyimpan boneka itu di dalam tas kainnya, namun tasnya sudah dipenuhi dengan harta-harta yang ia kumpulkan tadi. Di tengah kebingungannya, Elle tak sadar kalau boneka malaikat merah itu mulai mengeluarkan benang-benang bercahaya biru.
"Lebih baik kau kugendong saja ya nom? Ayo kita berburu harta sama-sama nom!"
Elle pun kembali berkutat dengan batuan-batuan mulia yang memikat di matanya. Ia tak sadar beberapa benang bercahaya biru telah melilit tubuhnya. Andai saja Elle bisa melihat benang-benang itu, ia pasti akan membuang jauh-jauh boneka di tangannya.
Sementara itu di kejauhan, seorang pemuda tengah berlari dengan tergesah-gesah ditemani oleh peri mungil yang terbang mengiringinya.
"Kau yakin Pixie? Kau yakin itu Elle??"
"Tentu saja Tuan! Aku sangat yakin dengan penglihatanku ini."
Pemuda itu mempercepat larinya. Ia senang sahabatnya itu baik-baik saja. Ia bertekad melindungi gadis itu, ia harus memastikan Elle keluar dari tempat ini dengan selamat.
Elle yang tengah asyik mengumpulkan batuan-batuan mulia, merasakan getaran langkah tak asing. Ia menatap ke kejauhan, menantikan pemilik langkah tergesah itu.
"Zuzu?"
Sementara itu di dalam salah satu peti, Nim tersenyum senang sambil memainkan dua boneka.
Nim menggerakkan jari-jari, bibir mungilnya mulai melantunkan bait-bait lagu bertempo sedikit cepat.
Melangkah riang di lautan emas
(Pencuri harta!)
Menatap liar dengan mata tajam
(Pencuri harta!)
Tak puas cuma dengan pulau emas
(Pencuri harta!)
Yang tak berhak dengan segalanya
(Pencuri harta!)
Lihat itu dia pencuri harta
(Singkirkan! Singkirkan!)
Lihat dia menatap dengan tamak
(Hancurkan! Hancurkan!)
Jangan biarkan pencuri harta menang
Ayo singkirkan para pencuri harta!
Elle melangkahkan kakinya perlahan, hendak menyongsong pemilik langkah-langkah tak asing itu. Ia yakin sekali itu Zuzu, sahabatnya.
Elle mulai berlari-lari kecil. Ia senang karena bisa bertemu Zuzu di tempat ini. Mereka bisa berburu harta bersama-sama!
Samar-samar mulai terlihat sosok seseorang di kejauhan, berlari ke arahnya. Elle mempercepat larinya, mengabaikan suara nyanyian yang sayup-sayup terdengar.
Sementara itu sang pemuda, Baikai Kuzunoha, mengernyit sambil memelankan larinya. Ia terkejut mendapati ekspresi ceria Elle perlahan berubah menjadi penuh amarah. Kenapa ia begitu marah?
Elle mempercepat larinya menuju Kuzu, kini sambil merakit sebuah gada raksasa. Ekspresi marahnya semakin menjadi.
"Elle, tunggu! Ini aku, Kuzu, sahabatmu!"
Kuzu berusaha berteriak menyadarkan sahabatnya itu namun sepertinya sia-sia saja. Di tengah kekalutan Kuzu, Elle mengangkat gadanya, melompat tinggi hendak menerjang Kuzu. Kuzu hendak menghindar, tapi sesuatu seolah menahan tubuhnya untuk bergerak.
"Singkirkan pencuri harta nooom!!"
Pixie berteriak histeris, setelahnya hanya ada suara dentuman dahsyat yang terdengar sampai ke ujung pulau.
***
Reeh Al Sahr'a, pemuda tampan bersorban itu nampak terpesona dengan sosok seorang gadis yang duduk di atas singgasana emas. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, hampir seluruh bagian tubuh gadis itu dihiasi oleh perhiasan emas dan berlian, membuatnya terlihat semakin mempesona.
"Wahai bunga yang cantik jelita, mungkinkah engkau adalah sang ratu yang menguasai daratan penuh harta ini?"
Altair Kilatih, wanita cantik dengan tatapan setajam mata elang dan rambut hitam lurus yang berkilau. Kilat melirik tak tertarik pada Reeh. Lelaki itu tampan, tetapi tidak mampu memikatnya seperti kilauan benda-benda berharga yang membalut tubuhnya.
"Atas dasar apa kau, sang pemuda biasa-biasa saja, lancang mengajakku berbicara?"
Kilat menyentuh dengan lembut gelang-gelang bertahtakan permata di tangannya. Ia menikmati tiap kilauan yang menghipnotis itu, mengabaikan keberadaan Reeh. "Oh, lihatlah. Indah sekali. Mungkinkah di kejauhan sana ada yang lebih indah dari ini? Lebih berharga berkali-kali lipat dari gelang permata ini?"
Reeh berdehem, "Wahai Sang Ratu yang kekayaannya tak tertandingi, jika hamba, Reeh Al Sahr'a bisa menemukan benda yang jauh lebih berharga dibanding segala yang membalut tubuh anda saat ini, sudikah kiranya Sang Ratu bersanding denganku dan menguasai dataran harta ini bersama-sama?"
"Apa?! Lancang sekali kau, rakyat jelata! Menguasai daratan ini bersamaku? Semua ini milikku! Tapi ... jika memang kau bisa menemukan benda yang jauh lebih berharga dari semua ini," Kilatih tersenyum penuh makna, "akan kupertimbangkan tawaranmu, wahai pengembara berwajah tampan."
Reeh membalas senyuman itu. Ia pun pamit mengundurkan diri. Saat tubuhnya membelakangi Kilat, senyumnya lenyap seketika berganti dengan raut kesedihan.
"Betapa harta telah menggelapkan mata dan hatimu, wahai dara jelita," gumamnya sedih.
Dan dalam sekejap keberadaan Reeh lenyap seperti angin.
***
Suara hantaman logam terdengar begitu nyaring. Tubuh Elle gemetar hebat akibat efek gada menghantam logam keras. Telinganya berdengung dan matanya berkunang-kunang.
Napas Kuzu terengah-engah. Nyaris saja tubuhnya hancur akibat serangan gada raksasa milik Elle. Andai saja di saat-saat akhir ia tidak sigap memanggil Metatron untuk melindunginya, tubuhnya pasti sudah hancur.
Sayap logam Metatron yang tadinya terkatup melindungi Kuzu kini mulai terbuka, memastikan sang majikan tidak terluka sedikitpun.
"Terimakasih, Metatron."
Pandangan Kuzu teralihkan pada Elle yang tengah menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat, kelihatannya mencoba melenyapkan sakit kepala yang menderanya.
Kuzu mendekatinya perlahan, "Elle, kau baik-baik saja?"
Elle mendongak, mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali.
"Zuzu?"
Kuzu tersenyum lega lantas mengangguk.
"Zuuzuuu~!"
Elle langsung melompat memeluk sahabatnya itu. Ia benar-benar senang Kuzu berada di arena yang sama dengannya.
"Elle, apa yang terjadi padamu tadi?" Tanya Kuzu setelah Elle melepaskan pelukannya.
"Elle tak ingat nom ... maaf," sesal Elle. Kuzu tersenyum kemudian menepuk pelan kepala sahabatnya itu.
"Setidaknya kau aman sekarang. Aku akan menjagamu. Aku janji."
Mata Elle berbinar, di matanya saat ini Kuzu terlihat sangat keren.
***
Sial! Sial!
Siapa laki-laki itu? Dia sudah merusak kesenanganku! Benar-benar lancang!
Kulepaskan benang energi di tanganku, yang tersambung pada Hvyt si boneka dan gadis cebol itu. Aku berdecak kesal. Padahal tadinya semua ini mulai menyenangkan ...
Oh! Mungkin aku bisa memanfaatkan laki-laki pengganggu itu? Tapi sebelumnya aku harus tahu, ada berapa calon boneka di tempat ini. Setelah aku berhasil mengendalikan mereka semua ... tidak akan ada lagi yang menghalangiku memiliki harta-harta ini! Tidak ada! Semuanya milikku!! HAHAHAHA!!
Kukeluarkan lima boneka sekaligus dari lengan bajuku. Boneka-boneka ksatria ini pasti akan banyak membantu nanti.
"Pergilah dan tunjukkan padaku apa yang ada di dataran harta ini! Mata kalian adalah mataku, turuti segala perintahku! Kalian berlima tidak boleh mengecewakanku, mengerti?"
Kelima boneka itu mengangguk. Jari-jariku kemudian bergerak lincah mengendalikan mereka, menyusup di antara tumpukan emas yang menggunung.
"Jadi Imanuel, apa yang akan kita lakukan selagi menunggu mereka?"
***
Elle berlari dengan riang, mengumpulkan batuan mulia yang menurutnya begitu indah. Entah sudah berapa banyak yang ia kumpulkan, dan berapa lama waktu yang terbuang. Ia tak peduli. Keinginannya saat ini hanyalah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk dibawa pulang.
"Zuzu, lihat ini nom! Permata-permata ini sangat langka di tempat asalku nom! Boleh kubawa pulang, kan? Boleh ya nom?"
Kuzu yang sejak tadi mewaspadai sekeliling sambil membawa sebagian harta yang Elle kumpulkan, kini menoleh. Ia hanya tersenyum kecil yang disambut antusias oleh Elle.
"Boleh nom?? Yay~! Ayo kumpulkan lebih banyak lagi nom~!"
Kuzu menghela napas. Bukan hal seperti ini yang seharusnya mereka lakukan. Bukankah si Dewa Thurqk itu menginginkan pertunjukan seru pelenyap kebosanan? Meskipun bagi Elle berburu harta adalah hal paling menyenangkan, tapi tidak bagi Kuzu. Bukan hal semacam ini yang diinginkan dewa itu.
Kuzu mulai gelisah. Ia ingin keluar dari tempat ini secepatnya. Namun ia tidak berdaya akan keberadaan sahabatnya. Elle kini terlalu terpengaruh dengan semua harta-harta itu. Diajak pergi pun pasti percuma.
"Elle ... bukankah harta yang kau kumpulkan sudah cukup? Ayo kita selesaikan pertandingannya segera."
Elle menoleh, bingung.
"Pertandingan? Pertandingan apa nom? Tempat ini adalah surga bagi kaum Gnome nom. Elle mau terus di sini nom!"
"Tapi ... Elle ..."
Elle memberengut kesal.
"Kalau Zuzu mau pulang, pulang saja sana! Elle tetap akan mengumpulkan harta yang banyak nom!"
Kuzu bergeming, tak menyangka Elle yang ceria berkata seperti itu padanya. Elle tidak membutuhkannya. Bagi Elle harta-harta itu jauh lebih penting dibanding Kuzu.
Sekali lagi Kuzu menghela napas. Elle adalah kaum Gnome, kaum penambang. Wajar saja Elle jadi seperti ini. Batin Kuzu, mencoba memaklumi.
"Baiklah kalau begitu, aku akan—"
"Itu bonekaku."
Kuzu dan Elle sontak menoleh ke pemilik suara. Seorang bocah yang nampaknya berumur tujuh atau delapan tahun. Rambut hitam berantakannya menutupi mata. Baju dan celana putihnya terlalu besar, hingga terlihat kedodoran.
"Itu bonekaku," ujarnya sekali lagi seraya menunjuk boneka merah yang menyembul di tas Elle.
"Oh, ini ...?" Elle mengeluarkan boneka itu, menatapnya sejenak.
"Ini milikmu nom? Elle pikir ..."
Elle tersenyum kecut. Ternyata bukan hadiah dari Cuckoo.
"Malaikat Merah memberikan itu padaku karena tahu aku sangaaaat suka boneka. Kau juga suka boneka?"
Kuzu mengamati anak itu. Meskipun anak itu tersenyum ramah, entah mengapa ada perasaan tak suka yang timbul di hati Kuzu.
"Suka nom! Elle juga suka boneka nom!" Ujar Elle bersemangat.
Bocah yang tak lain adalah Nim itu tersenyum lebar. "Ayo main boneka bersamaku! Aku punya banyaaak boneka~"
Elle mengangguk senang. Ia mengulurkan tangannya, "Aku Elle nom! Ayo kita berteman," ujarnya seraya tersenyum lebar.
Nim menjabat tangan itu, "Namaku Nim. Boleh kembalikan bonekaku dulu? Aku akan menggantinya dengan boneka yang lebih bagus."
Tak jauh dari mereka berdua, Kuzu duduk bersila sambil bertopang dagu. Sungguh kehadiran anak itu membuatnya kesal.
"Kakak di sana ayo ikut juga!" Ajak Nim ramah.
Kuzu tersentak, "Aku tidak suka boneka," ujarnya dingin.
Mendengar hal itu Elle cemberut, "Ayolah Zuzuu~" bujuknya. Kuzu hanya tersenyum seraya menggeleng pelan.
"Kalau begitu kakak jadi boneka saja," celetuk Nim.
"Apa?"
"Kubilang Kakak jadi boneka saja kalau memang tidak berniat main boneka."
Mata Kuzu memicing, entah mengapa ucapan itu terdengar seperti ancaman di telinganya.
"Bercanda~"
Nim tertawa. Namun Kuzu yakin tawa itu hanya dibuat-buat. Ia harus mengawasi bocah yang satu ini. Entah mengapa ia merasa bocah ini bukan bocah biasa. Ia harus memastikan Elle aman selama ia mengawasi mereka.
***
Angin berhembus pelan, membawa Reeh terbang menjelajah di atas pulau harta. Perasaan damai begitu kental di hati Reeh saat bercengkrama seperti ini dengan angin. Namun ia juga tidak boleh mengabaikan secuil perasaan tak enak saat memandangi hamparan harta berkilau di bawah sana.
"Selain kedudukan dan wanita, harta juga merupakan hal yang berbahaya bagi umat manusia. Harta bisa membuat seseorang gelap mata," gumamnya.
Ia mendarat perlahan di atas salah satu peti raksasa yang dipenuhi koin emas.
"Sepertinya tadi hamba mendengar suara hantaman logam yang begitu nyaring di sekitar sini. Tapi sepertinya tempat ini aman-aman saja."
Reeh pun berbisik pada sang angin, memintanya memeriksa sekeliling. Tak berapa lama kemudian sang angin pun menjawab, membuat Reeh tersenyum.
"Terimakasih, sahabatku. Tolong bawa hamba ke tempat yang dimaksud."
Dan sang angin pun dengan senang hati membantu sang pengembara.
Sementara itu di tempat lain ...
Kilatih mulai gelisah di singgasananya. Beberapa kali ia bangkit, mondar mandir sejenak kemudian duduk kembali. Bangkit lagi dan begitu seterusnya selama beberapa waktu.
Bagaimana jika Reeh tidak pernah kembali? Bagaimana jika Reeh berbohong padanya dan membawa harta-harta itu sendirian? Menguasainya sendiri?
Kilatih mengerang kesal. Berada dalam penantian yang tak pasti seperti ini bisa membuat seseorang berpikiran yang tidak-tidak.
Ia merasakan gejolak untuk mendapatkan harta yang lebih semakin besar. Semakin membuatnya gelisah. Tumpukan emas dan berlian di sekitarnya kini tidak nampak berkilau lagi. Baginya harta-harta ini sudah tidak ada artinya. Ia harus menemukan yang lebih, jauh lebih berharga dari semua ini. Ia harus memastikan bahwa ia akan mendapatkannya lebih dulu dari Reeh. Ia harus menemukan harta yang paling berharga di tempat ini, menguasainya sendiri, dan menjadi yang terkaya di jagat raya ini.
Ia harus mewujudkan hal itu. Meskipun itu berarti ia harus menghabisi yang lainnya, termasuk Reeh.
***
Beberapa kali Nim kedapatan melirik ke arah salah satu peti raksasa di kejauhan, membuat Kuzu curiga. Ia mengamati dari jauh peti itu, tidak ada yang aneh sama sekali.
"Nim kenapa?" Tanya Elle heran.
Nim menggeleng pelan lantas tersenyum, "Ayo lanjutkan!"
Kuzu yang sedari tadi hanya mengamati mereka berdua, kini melangkah menghampiri Nim.
"Apa yang ada di dalam peti itu?"
Ditanya langsung seperti itu, Nim jadi gelagapan.
"Tidak ada apa-apa di sana! Sungguh!"
Kuzu semakin curiga. Elle yang tidak mengerti hanya menelengkan kepalanya dengan bingung.
"Peti apa nom? Apa yang kalian bicarakan?"
Kuzu menunjuk salah satu peti di kejauhan, membuat Elle ber-ooh sok paham.
"Memangnya peti itu kenapa nom?"
Nim panik, kini Elle pun ikut penasaran. "Tidak ada apa-apa, kok!"
"Lalu kenapa anda melirik peti itu terus sejak tadi?"
Nim menggigit bibir, bingung harus menjawab apa.
"Ayo kita periksa," usul Kuzu yang disambut antusias oleh Elle.
"Berburu harta karun lagi nom?? Asyiiik~!"
"Tu-tunggu! Percayalah padaku! Tidak ada apapun di sana! Itu hanya peti kosong!" Nim berusaha menarik lengan Kuzu, menahannya melangkah lebih jauh.
"Peti kosong? Itu semakin mencurigakan."
Nim menyerah. Ia hanya bisa terpaku di tempatnya melihat dua orang itu semakin dekat dengan peti berharganya.
Elle berlari riang di depan. Ia menyanyikan salah satu lagu penambang kaum Gnome, membuatnya semakin semangat. Kuzu mengekor di belakang, waspada akan apapun yang akan terjadi.
Entah mengapa, semakin dekat dengan peti itu, langkahnya semakin berat. Ia merasakan aura kegelapan samar yang menguar dari peti itu.
Ia menoleh ke belakang, melihat Nim yang sudah jauh tertinggal. Nampaknya ia tak beranjak sama sekali sejak tadi.
"Zuzu, cepat sini! Petinya tidak terkunci nom!"
Baru saja Kuzu ingin mengalihkan pandangan pada Elle, tak sengaja ia mendapati Nim menyeringai. Mata Kuzu terbelalak.
Ini jebakan!
"TUNGGU ELLE! JANGAN DIBUKA!!"
Terlambat. Elle sudah membuka peti itu.
...
Hening.
"Ada apa Zuzu?" Tanya Elle heran.
Kuzu mengernyit. Apa? Kenapa tidak terjadi apa-apa? Kuzu menoleh ke belakang, Nim sudah menghilang. Ia menggeram kesal. Apa maksud anak itu menyeringai?
"Zuzu, lihat! Elle menemukan boneka penyihir. Imut sekali nom!"
Sontak Kuzu menoleh, instingnya menangkap adanya sinyal bahaya. Dalam sekali hentakan Kuzu menghempaskan boneka itu dari tangan Elle, membuat Elle terpekik kaget. Kuzu segera menggendong tubuh Elle dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melompat menjauhi boneka itu.
Dan ledakan besarpun terjadi.
***
Reeh yang tengah asyik terbang ditemani angin, mendadak terhempas oleh ledakan yang begitu kuat. Tubuhnya sukses menghantam tumpukan emas. Ia pun bangkit perlahan seraya meringis.
"Astaga! Apa gerangan yang telah terjadi?"
"Ugh ..."
Reeh tersentak mendengar erangan lemah itu. Ia menoleh dan mendapati seorang pemuda dan seorang gadis kecil terkapar dengan beberapa bagian tubuh cemong akibat ledakan tadi. Buru-buru Reeh menghampiri mereka.
"Tuan! Tuan sadarlah ...."
Reeh mengguncang pelan tubuh Kuzu, membuatnya mengerang sekali lagi. Reeh lega, setidaknya pemuda ini selamat. Ia beralih pada gadis kecil di sampingnya. Ditepuk-tepuknya pipi gadis itu namun tak ada respon.
"Nona? Nona, sadarlah."
Kali ini Reeh mengguncangkan tubuh Elle, namun Elle tak kunjung sadar.
Kesadaran Kuzu mulai kembali. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba melenyapkan nyeri di kepalanya.
Ia menoleh dan mendapati Elle terkapar di sampingnya.
"Elle!!"
Kuzu bergegas bangkit dan menghampiri tubuh gadis itu. Reeh yang melihat Kuzu pun mendesah lega.
"Syukurlah anda sudah sadar, Tuan."
"Elle! Elle, bangunlah. Buka matamu!"
Kuzu menepuk-nepuk pelan pipi Elle namun Elle tetap diam. Hal itu membuat Kuzu tegang luar biasa. Mendadak rasa takut menyergapnya.
"Elle ...," lirihnya. Diletakkannya kepala Elle di pangkuannya. Ia ingin gadis itu merasa nyaman. Diusapnya kepala sahabatnya itu perlahan.
"Elle ...," lirihnya sekali lagi. Namun Elle tetap diam. Terlihat damai dalam tidurnya.
Melihat hal itu Reeh pun merasa iba. Diusapnya pundak pemuda di sampingnya, berusaha menyemangati. Tubuh Kuzu terasa bergetar menahan tangis.
"Elle ... bangun ..."
Reeh terdiam saat menyadari ada pergerakan halus pada diri Elle. Ia menatap dengan seksama, ternyata benar, dada gadis itu naik turun perlahan.
"Dia masih hidup, Tuan!"
Kuzu mendongak pelan, "Apa ...?"
"Lihat, Tuan! Nona ini bernapas!"
Kuzu mengalihkan pandangannya pada Elle. Memang benar dada gadis itu terlihat naik turun dalam ritme pelan. Untuk memastikannya, Kuzu meletakkan punggung tangannya di depan hidung gadis itu, merasakan hangat napasnya. Tidak puas sampai di situ, ia pun menempelkan telinganya di dada Elle. Suara detak jantung itu membuatnya lega luar biasa. Ia mengangkat kepalanya dan mengusap matanya yang mendadak berair.
"Syukurlah ...," lirihnya senang. Suaranya terdengar bergetar.
Reeh tersenyum.
"Tuan, bisakah anda menceritakan apa yang telah terjadi?"
Kuzu menoleh, baru benar-benar sadar akan keberadaan Reeh.
"Maaf, saya telah mengabaikan anda sejak tadi," sesal Kuzu.
"Tidak apa-apa, Tuan ... maaf?"
"Kuzunoha. Baikai Kuzunoha. Terima kasih sudah menolong saya dan Elle."
Reeh menggeleng pelan. "Hamba sama sekali tidak melakukan apapun. Nama hamba Reeh Al Sahr'a. Maaf, tapi bisakah Tuan Kuzunoha menceritakan apa yang telah terjadi?"
***
Nim bersenandung pelan di atas salah satu peti harta yang kosong. Di punggungnya sudah ada Imanuel si boneka panda, yang sejak tadi ia sembunyikan dalam peti yang tengah ia duduki.
"Ini mulai membosankan, ya, Imanuel? Tapi tenang saja, permainan baru saja dimulai. Sebentar lagi kita akan bersenang-senang~"
Nim tersenyum merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Begitu cepat hingga ia hanya bisa menjatuhkan tubuhnya ke depan sebagai refleks menghindari bahaya.
Nim yang tersungkur di atas tumpukan harta pun mendongak, mendapati seorang wanita cantik berambut hitam panjang mengacungkan pedang seraya menatapnya dengan tajam. Pedang itu tipis dan bening, berkilau seperti kristal. Gagangnya putih bersih dan terlihat lembut, seperti salju.
"Pedang Kakak cantik. Tapi yang tadi itu bahaya banget, loh~ Hampir aja Imanuel terluka."
Kilatih mengeratkan genggaman pada pedangnya, ia pun kembali menyerang Nim yang dengan refleks berguling ke samping. Nim pun segera mengeluarkan tiga boneka samurai sekaligus untuk menyerang Kilatih.
Dengan lincah Kilatih menghindari serangan-serangan boneka yang tak seberapa itu. Gerakannya begitu anggun, ringan, dan cepat. Seolah sedang menari dalam tempo yang cepat.
Nim tersenyum kecut, "Ternyata Kakak hebat, ya~"
Kali ini ia mengeluarkan penyihir elemen cahaya. Boneka penyihir itu menerjang maju, mengacungkan tangannya di depan wajah Kilatih. Kilatih tersentak. Belum sempat ia menghindar, kegelapan segera memenuhi penglihatannya.
Kilatih mendarat dengan tubuh sempoyongan. Kegelapan itu membuat konsentrasinya buyar. Ia mencoba menajamkan pendengaran, namun hanya tawa Nim yang terdengar.
Kilatih mencoba menangkap cahaya apapun di sekitarnya, namun matanya seolah tertutup sesuatu yang hitam pekat. Seolah cahaya direbut dari matanya.
"Kelihatannya Kakak tidak menyukai kegelapan, ya? Kalau begitu ...,"
Kilatih mengerang saat cahaya putih yang begitu menyilaukan menyerbu matanya. Ia menutup matanya rapat-rapat tapi cahaya itu seolah tak mau hilang, bernafsu membutakan matanya.
Bulir-bulir keringat dingin membasahi kening Kilatih, padahal segala yang ia kenakan saat ini telah dilengkapi dengan nanotecnology. Berkeringat adalah sesuatu yang tak wajar baginya.
Kilatih menyabetkan pedangnya dengan asal ke segala arah. Berharap serangan itu bisa melukai Nim yang entah ada di mana. Tawa Nim semakin menjadi. Ia terlihat begitu menikmati ketidakberdayaan Kilatih.
Cahaya menyilaukan itu semakin menusuk. Kilatih merasakan cairan kental nan hangat mulai mengalir dari matanya.
"Hentikan!"
"Okee~"
Boneka penyihir itu menghentikan mantranya. Ia pun mundur, melayang di sisi Nim. Begitu pula tiga boneka lainnya.
Nim terkekeh, "Bagaimana? Serangan dari bonekaku hebat, kan?"
Tubuh Kilatih gemetar akibat rasa sakit yang begitu menusuk di matanya. Seolah ribuan jarum ditancapkan langsung di sana. Sakit, hingga nyaris membuat seluruh tenaga Kilatih menguap.
Nim mendekat, menyeka darah yang mengalir di pipi mulus Kilatih. Kilatih bergidik, dihempaskannya tangan Nim dengan kasar membuat Nim terkekeh.
"Kakak cantik ... seperti Tabita," bisik Nim di telinga Kilatih. "Jadilah bonekaku."
Bau amis darah menggelitik hidung Nim, membuat darahnya bergejolak. Sisi gelap dari jiwa Imanuel mencoba menguasainya. Dijambaknya rambut Kilatih dengan kasar dan dijilatinya darah di pipi gadis itu.
Kilatih mencoba memberontak. Namun tubuhnya seolah dililit oleh benang-benang tajam, membuatnya tak berdaya. Sepertinya nanotechnology dalam dirinya mulai rusak. Ia tidak mengerti apa yang telah merusaknya. Boneka-boneka itu kah? Atau bocah ini? Yang jelas keadaannya saat ini tidak menguntungkan.
Nim tersentak merasakan tangan kanannya mendadak terkoyak. Matanya awas menatap sekeliling, namun tak ada siapapun.
"Siapa? Siapa yang begitu lancang mengganggu kesenanganku?!"
Angin berhembus di sekitar Nim dan perlahan mengangkat tubuh Kilatih. Nim sontak mendongak, mendapati seorang pemuda bersorban meraih tubuh Kilatih yang melayang oleh sang angin.
"Maaf terlambat, Nona."
Nim meraung marah. Ia kesal karena bonekanya direbut begitu saja. Baru saja Nim ingin menggerakkan kembali boneka-bonekanya, daratan penuh harta itu mendadak bergetar, membuat Nim limbung dan jatuh tersungkur.
"Apa ... yang terjadi?"
Reeh yang masih melayang bersama Kilatih, kini memicingkan mata. Sesuatu mendadak muncul di tengah-tengah daratan. Mencuat begitu saja seolah terlahir dari dunia ini. Bagian daratan itu terus naik, membentuk gunung yang tinggi melebihi gundukan harta di sekitarnya. Sebuah permata besar berkilau begitu indah di puncaknya, seolah memancarkan cahaya agung, meminta untuk segera diangkat dari tahta emasnya.
Mata Kilatih yang nyaris buta juga menangkap kemilau indah itu. Ia terpana, terpesona oleh benda menawan itu. Belum pernah ia melihat cahaya seindah itu seumur hidupnya. Mendadak hasrat untuk memiliki permata itu meluap begitu saja.
Reeh pun juga merasakan hasrat itu. Ia terpaku melihat keindahan yang terpampang di kejauhan sana. Ada rasa cinta yang begitu kuat mendadak muncul. Rasa cinta akan sesuatu yang indah. Dan ia ingin keindahan itu hanya untuknya.
Di saat yang sama Kuzu berdeguk menyaksikan kemunculan hal menakjubkan itu. Belum pernah ia melihat harta seagung itu seumur hidupnya.
Elle yang siuman karena gempa sesaat tadi, kini terbelalak oleh munculnya gunung misterius di depan sana. Gunung yang dipenuhi emas, perak, dan berlian. Gunung itu tampak memancarkan cahaya sendiri oleh benda di puncaknya. Sebuah batuan mulia yang selama ini Elle cari.
"Ambernite ... nom."
Kelima peserta di dataran itu merasakan hasrat yang sama saat ini. Hasrat yang begitu kuat untuk memiliki ambernite. Seolah terhipnotis, mereka pun bergerak serempak menuju permata raksasa itu. Siapa yang cepat, dia dapat.
Dan yang lain berarti musuh yang harus disingkirkan.
***
Tabita pernah berkata kalau hasrat yang begitu kuat untuk memiliki sesuatu akan membuat seseorang seolah dirasuki kegelapan, dan hendak menghancurkan segalanya demi memiliki sesuatu itu.
Aku tak menyangka akan mengalaminya sendiri hari ini. Mataku terpaku pada sebuah benda berkilau di kejauhan. Benda yang memancarkan cahaya indah, melayang di atas tahta emas dengan angkuh. Kemilaunya begitu menghipnotis, lembut nan memikat. Membuatku perasaanku bergejolak.
Tersadar akan sesuatu, aku melirik dengan kesal pada dua sosok yang melayang beberapa kaki di atasku. Dua sosok itu juga saling berpandangan, kilat persaingan terpancar jelas di mata mereka.
Tiba-tiba tubuh kakak cantik berambut hitam itu terhempas oleh angin yang kuat. Tubuhnya terlontar jauh, entah di mana ia akan mendarat. Terlihat jelas olehku pemuda bersorban itu menyeringai.
Tatapannya teralih padaku. Ia menatap tak suka, membuatku terkekeh.
"Permata itu milikku!"
Bersamaan dengan ucapan itu, boneka penyihirku menerjang, menyerap cahaya yang ada pada mata sang pemuda. Pemuda bersorban itu meraung marah dan hilang pijakan pada angin. Tubuhnya menghantam daratan harta dengan sukses, menyumpah serapah padaku.
Kukeluarkan kembali boneka Hvyt-ku dan sebuah boneka penyihir lain. Kuperintahkan boneka penyihir itu untuk mengubah ukuran Hvyt dua kali lebih besar dari ukuran Hvyt normal.
Dalam sekejap bonekaku menyerupai Hvyt yang asli, hanya saja dia jauh lebih besar.
"Bawa aku ke gunung itu! Dan singkirkan siapapun yang mencoba menghalangi," desisku.
Aku tak peduli pada pemuda bersorban yang meraung marah padaku. Aku juga tak peduli dengan dentuman keras di kejauhan sana. Yang kuinginkan saat ini hanya satu.
Ambernite.
***
Kuzu menatap kesal pada Elle yang mendadak menyerangnya. Untung saja ia sigap memanggil Metatron yang langsung melindunginya dari serangan bola meriam.
"Ambernite itu milikku nom!!"
Lagi-lagi Elle menyerangnya. Kali ini dengan lima meriam sekaligus.
Kuzu mengeluarkan katana miliknya yang bernama Masakado. Ia merapatkan tubuh pada Metatron, menyuruh demonnya itu melindunginya selagi Kuzu bersiap menyerang Elle.
"Rasakan ini! HAHAHA!!"
Elle kembali menyerang membabibuta, seolah ia tengah kerasukan. Bola-bola meriam itu melayang tepat menuju Kuzu. Dengan sigap Metatron mengatupkan sayapnya, melindungi sang tuan. Ledakan yang tercipta seolah tak ada apa-apanya dibanding dengan kerasnya tubuh Metatron.
"Kamikaze," lirih Kuzu.
Dalam sekali hentakan sayap Metatron mengembang. Dorongan angin yang begitu kuat melontarkan tubuh Kuzu langsung menuju Elle.
Elle yang menyadari hal itupun terbelalak.
"Sekarang Metatron! Cyclone Stab!"
Masakado yang ada di tangan Kuzu mendadak diselubungi oleh elemen angin milik Metatron. Kuzu menyabetkan pedangnya sekali di udara, dan dalam sekejap tombak-tombak angin tercipta menghujani tubuh Elle. Elle berteriak kesakitan saat tombak-tombak itu menembus tubuhnya. Kuzu terkekeh senang. Belum cukup sampai di situ, Kuzu segera melancarkan serangan berputar.
"TIDAK! ZUUZUUUUU!!!"
Darah segar memuncrat menghiasi udara. Kuzu mendarat dengan sempurna sambil merentangkan Masakado. Tubuhnya berlumuran darah segar. Tak jauh dari tempatnya berdiri, sesuatu terjatuh, menggelinding menyentuh kaki Kuzu. Kuzu melirik benda itu, memungutnya lantas menyeringai.
Kuzu menatap benda berlumur darah di tangannya. Kepala Elle. Dengan ekspresi penuh kengerian di wajahnya. Kuzu mengecup mesra bibir gadis ceria itu.
"Maaf sahabatku, aku terpaksa melakukan ini. Jika kau tetap hidup, kau hanya akan menghalangiku."
Kuzu tertawa kesetanan, lantas melempar kepala Elle tanpa rasa bersalah sedikitpun.
***
Kilatih berjalan tertatih karena nanotechno yang ada dalam dirinya telah rusak parah. Sepertinya bocah aneh itu telah menyisipkan racun saat menyerang atau menyentuhnya tadi. Kini tubuh Kilatih mulai panas dingin, begitu lemah tak berdaya.
Namun ia tidak peduli dengan semua itu. Matanya terpaku menatap ambernite yang semakin terlihat memesona di kejauhan.
"Permata itu ... milikku," lirihnya mencoba menyemangati diri sendiri. Baru beberapa langkah berjalan, darah segar menyembur dari mulutnya. Kilatih terbatuk dan mencoba bernapas dengan susah payah.
Kilatih membuka jaket tebalnya, menunjukkan tangtop hitam yang membalut tubuh sempurnanya. Kulit putih nan mulus itu kini basah oleh keringat dingin. Wajah Kilatih menjadi pucat pasi dengan langkah sempoyongan.
"Ambernite ... milikku."
Kilatih kembali batuk darah. Kini ia tak sanggup lagi menahan bobot tubuhnya. Tubuhnya pun ambruk di atas permadani dan jubah-jubah berhiaskan ratusan berlian.
"Amber ... nite ..."
Samar-samar Kilatih melihat sesuatu melesat ke arahnya.
Hvyt ...? Apakah ia datang untuk menjemputku sekali lagi?
Kilatih tertawa miris. Ia memejamkan mata perlahan. Kali ini ia siap untuk menjemput maut sekali lagi. Ia berharap di saat membuka mata, ia akan mendapati dirinya berada di surga.
Kilatih terbelalak, napasnya tercekat. Sebuah trisula api menembus perutnya. Hal terakhir yang ia lihat adalah, seorang bocah dengan mata hitam dengan pupil merah menyala meyeringai ke arahnya.
***
Penglihatan Reeh akhirnya pulih kembali setelah ia menghancurkan boneka penyihir yang menyusahkannya. Ia benar-benar kesal pada bocah boneka itu. Apapun yang terjadi ia harus mendapatkan ambernite itu lebih dulu. Ia pun meminta angin agar membawanya segera ke tempat ambernite berada. Angin tornado pun tercipta, menyelubungi tubuh Reeh dan mengangkatnya ke udara. Dalam sekejap angin itu melesat menuju gunung paling berkilau.
Di saat yang sama, Kuzu tengah menunggangi Metatron dan melesat cepat menuju ambernite. Matanya berkilat penuh ketamakan saat jaraknya semakin dekat dengan ambernite.
"Ambernite itu milikku!"
"Tidak secepat itu!!"
Kuzu terkejut bukan main karena seseorang mendadak menerjangnya. Pegangannya terlepas dari Metatron dan iapun terjatuh bersama bocah menyebalkan yang kini tengah mencekiknya.
Mereka berdua jatuh ke tumpukan koin emas dan berguling-guling seraya saling mencekik.
"Permata itu ... milikku!" Ujar Nim penuh amarah.
"Tidak! Ambernite itu milikku! Minggir kau!"
Kuzu mendorong tubuh Nim dengan kuat membuat bocah itu terhempas. Kuzu terkekeh kemudian meraih Masakado-nya.
"Matilah, Bocah!!"
Tubuh Nim tersentak, katana itu telah menembus perutnya, membuat darahnya merembes tanpa henti. Kepalanya terkulai lemas, membuat Kuzu merasa menang. Ia tertawa terbahak-bahak dan menendang tubuh Nim seraya menarik Masakado-nya.
Betapa terkejutnya Kuzu saat kakinya tiba-tiba ditahan. Nim mendongak, menatap langsung mata Kuzu seraya menunjukkan seringaian mengerikan.
"Jadilah bonekaku!"
Tubuh Kuzu membeku. Mata itu seolah memancarkan aura kegelapan yang begitu kuat. Dengan susah payah Kuzu mengalihkan pandangan dan matanya menangkap sesuatu.
Mata boneka panda di punggung Nim bercahaya biru. Benang-benang berwarna sama mencuat dari tubuhnya dan melilit Nim. Ia segera menyadari sesuatu.
Sontak Kuzu meludahi mata Nim, membuat konsentrasi Nim buyar dan menutup mata. Ia mengerang kesal dan memerintahkan Hvyt membunuh Kuzu.
Dengan sigap Kuzu menghindar dan berlindung di balik tubuh Metatron. Selagi Hvyt sibuk meladeni Metatron, Kuzu telah konsentrasi pada Nim. Ia menunggu celah untuk menyerang bocah itu.
"Sekarang! Metatron, Cyclone Stab!"
Lagi-lagi Masakado diselubungi oleh elemen angin. Kuzu segera menerjang maju membuat Nim terbelalak.
"Rasakan ini!!"
Menyadari incaran Kuzu, Nim sontak meraih Imanuel dan melemparnya sejauh mungkin. Melihat hal itu Kuzu menyeringai.
"Percuma," ujarnya penuh kemenangan.
Kuzu menyabetkan pedangnya, memutuskan benang-benang energi antara Nim dan Imanuel. Nim berteriak histeris saat satu persatu benang itu mulai terputus, membuatnya seolah lumpuh. Di saat-saat terakhir, Hvyt menerjang Kuzu, membuat serangan Kuzu gagal memutuskan benang terakhir. Benang utama yang menghubungkan jiwa Imanuel dan tubuh Nim.
Nim meraung keras. Amarahnya meluap tak terbendung lagi. Samar-samar Nim melihat Reeh telah sampai di depan ambernite, tersenyum puas.
Nim yang masih terkapar merentangkan kedua tangannya mengarah pada Reeh. Mendadak sepuluh boneka penyihir elemen muncul dari dalam lengan baju Nim.
"PERMATA ITU MILIKKU!! GRAAAAA!!!"
Benang utama yang terhubung pada diri Nim perlahan melebar, semakin melebar hingga menyerupai selendang. Selendang energi itu menyelubungi tubuh Nim, lantas Imanuel melayang dengan sendirinya menghampiri Nim.
"JANGAN SENTUH PERMATA ITU!!" Raung Nim.
Reeh terbebelalak. Hal terakhir yang ia ingat adalah, begitu banyak boneka yang menyerangnya bersamaan. Api, air, angin, sulur berduri, petir, es, dan entah apa lagi. Semua itu mengarah langsung pada tubuhnya tanpa sempat ia bereaksi.
***
Aku menatap puas ambernite yang kini terbaring cantik dalam peti berharga milikku. Di peti inilah Hvyt pertama kali mendaratkanku saat tiba di daratan harta ini. Awalnya aku terkejut karena peti ini tiba-tiba mengeluarkan cahaya menyilaukan berwarna merah, saat kusentuh ukiran berbentuk api yang melingkari lubang kunci.
Kukeluarkan kertas yang sebelumnya kutemukan dalam peti kosong ini. Kubaca kembali sebaris kalimat yang tertulis di kertas itu.
RED GOD SHALL BE VANISHED
Aku terkekeh senang. Meskipun beberapa bagian tubuhku terkoyak, tapi aku tidak peduli dengan rasa sakitnya. Rasa senang karena berhasil mendapatkan ambernite membuatku kebal akan segala rasa sakit ini.
"Kita menang, Imanuel! Kita menang!"
Aku tertawa. Tertawa pelan yang semakin lama semakin keras dan membahana. Aku terus tertawa tak peduli wajahku sudah memerah dan napasku menjadi sesak. Aku tertawa begitu lebar, hingga rasanya sedikit lagi mulutku akan robek.
"Anda tidak boleh membawa benda itu."
Suara itu mengejutkan Nim. Ia mendapati Hvyt kini berdiri di belakangnya, menatapnya dingin.
"Tapi aku sudah bersusah payah untuk mendapatkannya!"
"Harta memang bisa membutakan manusia," ujar Hvyt sarkastik.
Nim menatap sebal pada Hvyt. "Aku tidak mau pergi! Aku tidak akan meninggalkan ambernite indah ini! Aku tidak akan membiarkan orang lain memilikinya!"
Hvyt cuek dengan ocehan Nim. Dengan sedikit sentuhan ringan di kening Nim, tubuh Nim pun ambruk.
"Harta memang bisa membutakan manusia," ujar Hvyt sekali lagi. Entah pada siapa.
***
Terlahir dengan Mata Iblis yang merenggut nyawa Ayah-Ibu, sudah menjadi bukti yang cukup bahwa kehadiranku di dunia ini hanya membawa malapetaka.
Kakak perempuanku, Tabita, yang saat itu baru berusia sepuluh tahun, mendapatiku yang baru beberapa saat lalu terlahir ke dunia berada dalam kondisi yang ganjil.
Bagaimana tidak, bayi yang baru lahir tidak semestinya sudah duduk tegak seperti diriku. Meskipun bercak-bercak darah masih nampak jelas di tubuhku, tapi aku yang masih bayi saat itu benar-benar duduk, tanpa tangisan dan tanpa seorang pun menemani.
Tabita menghampiriku perlahan, kali ini ia sadar bahwa aku tidak sendirian. Ia melihat beberapa boneka miniatur manusia tergeletak di sisiku. Aku yakin saat itu jantungnya berdegub begitu cepat. Dan aku yakin, kakakku tersayang tahu pasti bahwa boneka-boneka itu adalah Ayah, Ibu, Bibi Liana, dan Suster Selena yang terkena imbas kutukanku.
Tatapan kami bertemu. Tubuh Tabita membeku menatap sepasang mata hitam dengan pupil merah menyala milikku. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya ia ambruk. Tak bernapas. Mati.
Lonceng jam menggema tiga kali. Tatapanku saat itu tak bisa lepas dari wajah teduh Tabita. Tangan mungilku menyentuh pipinya, membuatnya tersentak dan bangkit perlahan.
Ah, ia terbebas dari kematian.
Suara erangan tertahan yang berasal dari jendela membuat Tabita sontak menoleh. Di sana sudah ada Paman Hans yang menatap ngeri padaku. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya ia lari terbirit-birit seolah kesetanan.
"MONSTER!!"
"BAYI TERKUTUK!!"
"IBLIS!!!'
Adalah seruan yang terdengar tak lama setelah Paman Hans menghilang. Tabita menoleh padaku dengan cemas dan langsung memelukku erat. Ia merapalkan mantra teleport yang baru tadi sore dikuasainya. Tubuhku dan Tabita perlahan lenyap ditelan pusaran angin, sesaat sebelum para warga yang kalap tiba di kamar. Para warga marah besar. Tabita menghilang. Sang Terkutuk juga menghilang.
Namaku Imanuel.
Dan akulah Sang Terkutuk itu.
***
Pernahkah kau begitu menyayangi seseorang sampai-sampai kau rela mati untuknya?
Delapan tahun hidup tanpa kasih sayang orangtua dan jauh dari keramaian sosial, tidak membuatku terpuruk dalam kesepian.
Kakak perempuanku, Tabita, semenjak hari itu terus berusaha membesarkanku dan merawatku dengan sepenuh hati, penuh kasih sayang. Membuatku merasa tidak membutuhkan apa-apa lagi. Hanya Tabita seorang.
Tabita begitu menyayangiku. Ia melakukan apa saja agar aku senang. Membacakan buku cerita, menyediakan masakan-masakan enak kesukaanku, dan menyanyikan lagu-lagu indah. Tapi ia tidak ingin aku melakukan satu hal.
Keluar dari rumah hangat ini.
Tiap malam ia menanyakan apa aku merasa kesepian karena tidak memiliki teman. Yang tentu saja kujawab bahwa ia adalah temanku dan aku tidak butuh yang lain lagi. Ia senang, karena itu artinya ia tidak perlu khawatir aku akan meninggalkan rumah ini.
Aku menyayangi Tabita. Aku akan menuruti segala ucapannya, asalkan dia terus berada di sisiku seperti ini.
...
"Tabita ...?"
Malam itu aku tidak menemukan Tabita di manapun. Aku mencarinya ke seluruh penjuru rumah kecil ini, tapi tidak mendapatinya di manapun.
Aku takut.
Aku sendirian di rumah ini. Tak ada Tabita. Tabita meninggalkanku sendirian tanpa mengatakan apapun. Aku cemas. Aku takut. Aku takut Tabita tak akan kembali.
Sepucuk surat dengan stempel kerajaan tergeletak di meja. Kubaca surat itu dan amarahku segera meluap.
Ratu Laika menyuruh Tabita segera menghadap padanya. Ratu membutuhkannya. Ada kondisi darurat.
Ratu menyuruh Tabita meninggalkan rumah ini. Meninggalkanku. Tanpa meminta persetujuan dariku.
Ratu itu begitu lancang. Akan kubuat dia menyesal telah merebut Tabita-ku.
***
Pemandangan kota. Ini pertama kalinya aku berada di tengah keramaian. Banyak orang berlalu lalang, membahas apa saja, membuatku pusing.
"Hei, Nak, kau tak apa?"
Seseorang menepuk bahuku. Aku enggan menoleh. Aku tak punya urusan dengannya.
"Hei, Egil! Bisa bantu aku memindahkan buah-buah ini?"
"Oh, baik!"
Pria yang menepuk bahuku tadi berlalu. Menghampiri pemuda berambut kemerahan yang tengah mengangkut sekeranjang penuh buah.
"Tidak biasanya kau meminta bantuanku, Kawan."
"Oh ayolah, Egil. Aku kewalahan mengurus semua ini sendirian. Gadis Malaikat itu tak datang menolongku hari ini. Entah kenapa."
"Maksudmu Tabita? Penyihir baik hati itu? Kudengar Ratu memanggilnya untuk keperluan darurat. Mungkin ini ada hubungannya dengan perang di selatan?"
"Mungkin saja. Kudengar sebentar lagi Pasukan Penyihir Elit akan tiba di kota ini. Perang di selatan pasti begitu parah."
Aku terdiam. Perang. Perang. Mereka bilang perang. Ratu ingin melibatkan Tabita dalam perang. Benar-benar tidak tahu diri!
Aku berlari, berlari menyusuri jalan menuju istana sang Ratu. Aku tak peduli pada orang-orang yang terjatuh karena tersenggol olehku. Beberapa memakiku, beberapa heran dan mencemaskanku. Aku tak peduli. Yang kuinginkan sekarang hanya Tabita.
"Hei, Nak, hati-hati!"
Aku jatuh tersungkur setelah tak sengaja menabrak pria tinggi berjubah putih. Pria itu meraih tanganku hendak membantuku berdiri, namun aku merasa tanganku seperti disengat. Panas. Seolah terbakar.
Kuhentakkan tanganku dari genggaman pria itu. Aku meringis seraya mengelus pergelangan tanganku. Pria berjubah putih itu terdiam. Menatapku lamat-lamat.
"Kau ..."
Ia mengayunkan tangannya. Serentak orang-orang berjubah putih lainnya mengepungku. Aku panik. Mencoba menerobos kepungan mereka, tapi gagal.
"Kau pasti Sang Terkutuk. Setelah sekian lama akhirnya kau menampakkan diri."
Berada di tengah-tengah orang-orang jubah putih ini membuatku gerah. Gerah yang tak lazim. Aku tak berani menyentuh mereka. Mereka seperti diselimuti api. Membakar kulitku tiap kali tak sengaja kusentuh mereka.
"Tangkap dia!"
"Jangan mendekat!!"
Napasku terengah-engah. Aku takut. Aku marah. Di saat seperti ini Tabita justru menghilang.
"Keberadaanmu seharusnya dilenyapkan sejak awal, Nak."
Suara itu terdengar begitu dingin menusuk.
"Kau harus ikut dengan kami."
Pria itu mencengkram tanganku, membuatku lagi-lagi meringis. Nyeri. Benar-benar nyeri. Aku mencoba melepaskan diri. Namun orang berjubah lainnya ikut menahanku, mencoba mengikatku dengan sesuatu yang tampak menyilaukan. Saat benda itu menyentuh tanganku, aku mengerang kesakitan.
"Lepaskan!!"
"Maaf, Nak, seharusnya sejak dulu kami melakukan ini padamu. Seandainya saja Tabita tidak—"
"KUBILANG LEPASKAN!!!"
Kutatap pria menyebalkan di hadapanku dengan penuh amarah. Ia terbelalak. Tubuhnya diam membeku. Tatapannya terkunci pada tatapanku. Ia hendak mengatakan sesuatu tapi gagal. Bola mata putihnya perlahan menghitam dan tubuhnya perlahan menyusut, hingga akhirnya sepenuhnya berubah menjadi boneka.
Tangan-tangan yang menahanku sontak menjauh. Menjaga jarak. Mereka menatapku dengan tatapan marah dan menusuk. Tatapan-tatapan itu membuat rasa panas di dadaku semakin meluap.
"IBLIS!!"
"MONSTER!!"
Lagi-lagi ... kata-kata menyebalkan itu ...
"Imanuel!!"
Aku tersentak. Seseorang berlari menerobos kerumunan. Ia memelukku, begitu erat.
"Apa yang kau lakukan? Sudah kukatakan padamu jangan keluar rumah! Jangan dekati kota!"
"Tapi ... Tabita ..."
"K-kau ... dasar Penyihir Pengkhianat! Jadi selama ini kau bersama Bocah Iblis ini?!"
Tabita memelukku semakin erat. Jantungnya berdegup begitu cepat.
"Dia adikku! Dia keluargaku! Bukan salahnya kalau dia memiliki Mata Iblis! Bukan salahnya kalau kutukan itu memilihnya! Dia manusia, sama seperti kalian!"
"Dia itu IBLIS, Penyihir Pengkhianat!"
"Dia bukan iblis! Dia diberkati kemampuan suci!"
"Kemampuan suci yang merenggut nyawa orang-orang yang kau sayangi."
Tabita terdiam.
"Tabita ...?"
Kusentuh pipinya dengan lembut. Wajahnya terlihat tegang. Bulir-bulir keringat dingin membasahi keningnya.
Aku memeluknya erat, "Tabita ... ayo kita pulang ...," lirihku.
Tabita seolah baru tersadar. Ia berdiri perlahan sambil menggendong tubuhku.
"Sampai kapanpun anak ini tidak akan kuserahkan pada kalian."
Tabita merapalkan mantra. Tubuh kami diselubungi pusaran angin. Orang-orang berjubah putih meraung marah, hendak menyerang. Tapi hanya udara kosong yang mereka dapati.
Aku dan Tabita menghilang. Lagi.
...
"Tabita ... kau tak apa?"
Tabita menoleh, mencoba tersenyum padaku seperti biasa.
"Lain kali jangan berbuat seperti itu lagi, ya, Imanuel. Kumohon."
"Tapi, aku kan hanya pergi mencarimu. Kau bilang tidak akan meninggalkanku sendirian, nyatanya ... kau pergi."
Ia menghela napas, "Maaf, ini salahku. Tapi aku tidak bisa terus-terusan berada di sini, Imanuel. Banyak orang di luar sana membutuhkan bantuanku."
"Kau sudah janji!"
"Imanuel, Ratu membutuhkanku ..."
"Lalu aku? Aku juga membutuhkanmu, Tabita!"
Mataku mendadak terasa panas.
"Apakah menurutmu ... mereka jauh lebih penting daripada aku? Aku membutuhkanmu lebih dari siapapun! Hanya kau yang kumiliki, Tabita ...,"
Dadaku terasa sesak. Desakan rasa panas di mata membuatku tak tahan lagi. Perlahan bulir-bulir air mata mulai menetes membasahi lantai kayu.
"Kau sudah janji ... Jangan pergi, ya? Aku tidak mau sendirian meskipun hanya sebentar," lirihku.
Tabita menghampiriku, mendekap kepalaku seraya mengusap-usapnya.
"Aku melakukan semua ini demi dirimu, Imanuel. Aku tidak ingin orang-orang itu mengambilmu, membawamu ke tempat yang mengerikan." Tabita melepaskan dekapannya. Mengusap air mataku dan tersenyum. "Aku tidak akan lama. Aku akan membawakanmu boneka yang bagus nanti. Kau suka boneka, kan?"
Aku mengangguk dua kali. Tabita mengusap kepalaku dengan lembut.
"Bagus. Anak pintar. Jaga rumah ini dengan baik, ya?"
Aku mengangguk pelan.
Tabita bangkit dan melangkah hendak meninggalkan rumah.
"Tabita,"
Tabita menoleh.
"Apakah ... kau sering membantu orang-orang itu? Menolong mereka?"
Tabita terdiam sejenak, nampaknya ragu menjawab pertanyaanku.
"Ya ... aku sering menolong mereka. Apa saja, untuk meringankan beban mereka. Kenapa bertanya seperti itu?"
Aku menggeleng kemudian tersenyum, "Tabita memang baik."
Tabita tertegun, tapi setelahnya ia menyunggingkan senyum manis yang belum pernah kulihat selama ini.
"Kau juga anak yang baik, Imanuel."
Dalam hati aku bersumpah, akan menghabisi semua orang di kota itu, termasuk Ratu. Mereka semualah yang menyebabkan Tabita tidak bisa terus bersamaku.
***
Aku menyeringai puas melihat koleksi-koleksi boneka milikku. Boneka yang tidak akan pernah ada duanya. Boneka yang tadinya hidup, boneka yang tadinya jadi bagian dari kota ini.
"Kau senang dengan semua itu, eh?"
Aku terlonjak kaget. Buru-buru aku merapat ke dinding, sambil memeluk erat boneka-bonekaku.
Melihat tingkahku, bocah di hadapanku sontak tertawa.
"Terkejut?"
Aku mengangguk. "Siapa kau?"
"Kau tak mengenalku. Tapi aku sangat mengenalmu, I-ma-nu-el," ujarnya bangga.
"Aku tanya, siapa kau?" Ulangku.
"Um ... Teman!"
"Teman?"
"Ya, Teman."
Aku menatapnya curiga. Poni panjang yang menyamarkan kedua mata terkutuk ini membuat anak itu berada dalam posisi aman.
"Aku tidak butuh teman. Aku sudah punya Tabita," ujarku.
Bocah itu tertawa, "Bohong~"
"Aku bersungguh-sungguh!"
Aku baru sadar bahwa anak di depanku ini albino. Rambut putih berantakan, kulit pucat, baju putih lengan panjang kebesaran, celananya pun begitu.
Setelah kuperhatikan baik-baik, aku seolah melihat bayangan diriku pada anak ini. Senyum ceria, wajah bersahabat, dan boneka panda. Ia memeluk sebuah boneka yang ... sejujurnya tampak sedikit mengerikan. Boneka panda itu sudah kusam, dengan beberapa jahitan asal di tubuhnya. Matanya juling, dan mulutnya yang tersenyum diberi jahitan, membuat boneka itu seolah menyeringai alih-alih tersenyum.
Aku tidak mengenalnya. Sama sekali tidak, tapi ada sesuatu pada dirinya yang membuatku tertarik.
"Baaa!"
Aku tersentak mendapati boneka panda itu tiba-tiba muncul di depan wajahku.
"Jangan melamun, Teman~"
"Aku bukan temanmu!"
Bocah itu menghela napas.
"Namaku Nim. Aku adalah temanmu, dan kau membutuhkanku."
"Sudah kubilang aku tidak membutuhkan teman sepertimu!"
Lagi-lagi ia tertawa, dan itu mulai terdengar menyebalkan.
"Hei, apa kau ingin melihat masa depan?"
Ia menarik kerah bajuku dan menatap langsung kedua mataku.
"Hei! Kau bisa ma—"
"Aku tahu."
Tatapanku terkunci pada mata hitam kelamnya. Mendadak pikiranku dipenuhi oleh kilasan-kilasan kejadian yang tidak kupahami. Kejadian yang sama sekali belum pernah kualami.
Tabita bertarung dengan seorang pemuda berjubah abu-abu. Pemuda itu kewalahan dengan serangan-serangan dari Tabita. Kadang kala ia terlihat hendak membalas serangan yang didapatinya, tapi serangan balasan itu tak pernah terjadi. Pemuda itu kalah telak, terkapar dengan air mata kekecewaan yang membasahi pipinya. Mata merahnya yang mulai meredup menatap Tabita penuh makna. Pemuda itu ... pemuda itu ... aku?
Mendadak pemandangan itu luruh, digantikan oleh hamparan dataran merah. Sekelompok orang berbaris dalam kepungan malaikat-malaikat merah bersayap hitam. Wajah-wajah mereka dipenuhi kebingungan, rasa cemas, dan amarah.
Lalu pemandangan itu kembali berganti.
Pertarungan, darah, tangisan, teriakan penuh amarah. Pemandangan-pemandangan itu bertumpuk, tumpang tindih silih berganti, seolah mendesak ingin memasuki mataku, membuatku pusing.
Tiba-tiba napas Nim tercekat. Aku tersentak. Segera kudorong tubuhnya menjauh.
Tubuh Nim terkapar dengan mata hitam membelalak. Boneka panda yang ada dalam pelukannya terlepas, jatuh tepat menghadap padaku. Seringaian boneka itu seolah meledekku. Membuat lututku gemetar.
Susah payah aku bangkit, dan tanpa membuang-buang waktu aku segera berlari meninggalkan Nim, yang mulai dililiti benang-benang bercahaya biru yang entah berasal dari mana.
....
"Imanuel, kau baik-baik saja?"
Aku mengangguk pelan. Tabita pasti merasa aneh dengan sikapku saat ini.
"Lihat ini, aku membawakanmu boneka yang lucu. Kau pasti menyukainya."
Aku menoleh.
"Selamat ulang tahun yang kedelapan, Imanuel!"
Mataku terbelalak. Sebuah boneka panda kusam dengan mata juling menyeringai padaku. Setelahnya, hanya kegelapan yang ada.
***
Tabita jahat!
Tabita menyebalkan!
Aku bukan pembawa sial!
Aku bukan iblis!
Ini bukan salahku! Orang-orang itu yang menggangguku. Mereka menyebalkan. Mereka jahat. Mereka ingin merebutmu dariku, Tabita.
"Seharusnya sejak awal aku tidak membesarkan iblis sepertimu ...,"
"Tabita, apa yang kau bicarakan? Orang-orang itu bersalah. Mereka harus dihukum!"
"Tutup mulutmu!! Kupikir kau bisa menjadi anak yang baik, anak yang normal jika aku membesarkanmu dengan segala limpahan kebaikan. Tapi ... iblis tetap saja iblis! Kau sama sekali bukan adikku!"
Gigiku bergemeletuk keras karena amarah.
"Orang-orang itu sudah meracuni pikiranmu, Tabita!"
"Pikiranmu yang sudah dipenuhi kegelapan!"
"Mereka ingin menjauhkanmu dariku! Aku—!"
"CUKUP!! Cukup, Imanuel ... maaf, maaf aku harus melakukan ini padamu. Kesalahanmu tidak bisa ditolerir lagi. Aku tidak sanggup lagi melihat segala perbuatan kejimu itu. Orang-orang tak bersalah itu ... kau anggap apa nyawa mereka?! Kau ... iblis dalam dirimu harus dimusnahkan. Karena itu ... kumohon matilah untukku!!"
"TIDAK! TABITA! JANGAAAN!!"
***
"Bukankah sudah kubilang kau membutuhkanku?"
Aku mendongak. Mendapati bocah albino menyebalkan itu menyeringai.
"Bagaimana rasanya jadi boneka, I-ma-nu-el? Ironis, ya? Sebelum-sebelumnya kau mengubah orang-orang jadi boneka tanpa belas kasihan. Katamu kau ingin melindungi Tabita. Lihat sekarang, wanita yang kau cintai justru mengurung jiwamu dalam boneka kesayanganku. I-ma-nu-el~"
Mendengarnya tertawa membuatku muak. Aku merasa begitu terhina oleh bocah misterius ini.
Tertawalah! Tertawa sampai puas! Sampai bibirmu itu robek! Toh, aku tak bisa melakukan apa-apa lagi.
Nim mulai berhenti tertawa. Kali ini menunjukkan senyum bersahabat, sama seperti saat pertama kali dia menemuiku.
"Sudah kubilang aku ini temanmu. Aku akan membantumu. Berikan sedikit jiwamu padaku, dan aku akan memberimu kesempatan kedua. Kesempatan kedua untuk hidup sekali lagi."
Bocah ini bicara apa?
"Percayalah padaku. Lakukan saja apa yang kukatakan, maka kita tidak akan pernah terpisah. Aku adalah bagian dari dirimu. Aku akan menjadi tubuhmu, dan kau akan menjadi jiwaku. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, karena kau membutuhkanku."
Aku melihat pancaran kesungguhan di matanya. Sekilas aku merasakan kehangatan karena seseorang menginginkanku.
"Aku akan membalaskan dendammu. Aku janji."
Dan sesaat kemudian hanya benang-benang bercahaya biru yang memenuhi pandanganku.
***
Jagatha Vadhi, hari eksekusi
Darah
Tubuh yang terpotong
Kepala yang terpenggal
Ledakan!
Aku tertawa. Tertawa dalam hati. Pemandangan itu membuat darahku berdesir. Dewa Merah itu menyeringai, seolah menikmati segala siksaan yang ia berikan pada sebelas peserta terpilih yang malang. Sebelas orang itu gagal menghibur sang Dewa dalam pertarungan sebelumnya. Sebagai hukumannya, mereka disiksa. Dieksekusi.
Diam-diam akupun menyeringai.
Dalam hati aku bersumpah, pada akhirnya makhluk merah menyedihkan itu akan menjadi salah satu koleksi terbaikku. Boneka dengan kekuatan dewa. Itu pasti sangat luar biasa. Tapi dewa tetaplah dewa. Tak ada apa-apanya dibanding Tuhan.
Namaku Nim.
Akulah Sang Tuhan!
***
Pulau Arsk, pertarungan babak kedua.
"Imanuel, berapa lama lagi kita harus menunggu? Aku lelah~"
Kulirik Imanuel, boneka panda kesayanganku yang juga tengah berbaring dalam peti raksasa ini. Dia hanya diam, seperti biasa.
Aku bosan. Benar-benar bosan. Waktu Malaikat Kepala Ayam itu membawaku terbang, kupikir dia akan membawaku ke tempat yang menakjubkan, di mana aku bisa mendapat banyak boneka baru. Nyatanya tempat ini begitu membosankan. Hanya ada benda-benda berkilau yang ditimpa sinar matahari. Itu membuat mataku sakit. Emas, perak, batu-batu berkilau ... membosankan! Tidak ada boneka di sini. Tidak ada yang bisa diajak bermain. Tidak ada yang bisa kukendalikan. Bosan!
"Emas nom! Berlian nom! Semuanya terlihat berkilau nom~"
Aku menoleh. Sepertinya ada seseorang di dekat peti ini. Aku berjinjit, berusaha mengintip dari celah tutup peti yang tidak tertutup rapat.
"Ambil nom~ Bawa pulang semuanya~ Semua ini milikku nom~!"
Aku berdecak kesal melihat anak perempuan yang berpakaian aneh itu mengumpulkan batu-batu berkilau sambil tertawa. Miliknya? Aku yang pertama kali sampai di tempat ini! Enak saja dia mengaku-ngaku kalau semua harta ini miliknya. Meskipun terlihat membosankan dan tidak semenarik boneka-bonekaku, tapi harta-harta itu milikku! Akan kubawa pulang dan kuberikan pada Tabita agar dia tidak meninggalkanku lagi. Akan kubelikan apapun yang dia inginkan dengan semua kekayaan ini.
Ya ... aku bisa mendapatkan segalanya dengan semua ini. Akan kubeli semuanya! Bahkan dunia sekalipun! Anak itu tidak akan mendapat bagian sedikitpun!
"Imanuel, lihat anak menyebalkan itu. Dia mencuri harta kita!"
Kuselipkan Imanuel di belakang bajuku, menyisakan kepala bulatnya saja yang menyembul. Kuberi dia kesempatan melihat apa yang tadi kulihat.
"Dasar pencuri harta! Menurutmu hukuman apa yang pantas bagi seorang pencuri harta tak tahu diri? Jadi boneka? Tidak, tidak, terlalu cepat. Kita harus menyiksanya terlebih dahulu, perlahan-lahan, agar dia tahu siapa yang paling berkuasa di sini. Ya ... itu ide bagus. Ilusi? Ya ya. Aku setuju denganmu, Imanuel. Hahahaha!"
Aku pun mulai merogoh lengan baju kiriku. Mencari salah satu koleksi terbaruku.
Akhirnya aku bisa bermain di tempat membosankan ini~
***
"Wah~! Ini zamrud nom! Cantiknya~ Warna hijaunya begitu menawan. Akan kubawa pulang juga yang satu ini nom! Orang-orang ras Gnome pasti akan sangat iri padaku!—huh? Apa ini nom?"
Elle menatap heran pada sebuah benda mencolok di antara tumpukan harta. Benda mungil mirip miniatur malaikat merah itu nampak kontras dengan kilauan batu-batu mulia di sekelilingnya.
"Boneka nom?"
Elle menghampiri boneka malaikat merah itu, memungutnya dan mengamati tiap inci boneka itu.
"Kamu mirip sekali dengan Cuckoo nom. Ah!? Apa Cuckoo yang menaruh boneka ini nom? Cuckoo ingin memberiku hadiah nom? Senangnya noooom~"
Elle memeluk boneka itu erat-erat. Ia sangat senang karena teman barunya ternyata memberinya hadiah penyemangat.
Elle ingin menyimpan boneka itu di dalam tas kainnya, namun tasnya sudah dipenuhi dengan harta-harta yang ia kumpulkan tadi. Di tengah kebingungannya, Elle tak sadar kalau boneka malaikat merah itu mulai mengeluarkan benang-benang bercahaya biru.
"Lebih baik kau kugendong saja ya nom? Ayo kita berburu harta sama-sama nom!"
Elle pun kembali berkutat dengan batuan-batuan mulia yang memikat di matanya. Ia tak sadar beberapa benang bercahaya biru telah melilit tubuhnya. Andai saja Elle bisa melihat benang-benang itu, ia pasti akan membuang jauh-jauh boneka di tangannya.
Sementara itu di kejauhan, seorang pemuda tengah berlari dengan tergesah-gesah ditemani oleh peri mungil yang terbang mengiringinya.
"Kau yakin Pixie? Kau yakin itu Elle??"
"Tentu saja Tuan! Aku sangat yakin dengan penglihatanku ini."
Pemuda itu mempercepat larinya. Ia senang sahabatnya itu baik-baik saja. Ia bertekad melindungi gadis itu, ia harus memastikan Elle keluar dari tempat ini dengan selamat.
Elle yang tengah asyik mengumpulkan batuan-batuan mulia, merasakan getaran langkah tak asing. Ia menatap ke kejauhan, menantikan pemilik langkah tergesah itu.
"Zuzu?"
Sementara itu di dalam salah satu peti, Nim tersenyum senang sambil memainkan dua boneka.
Nim menggerakkan jari-jari, bibir mungilnya mulai melantunkan bait-bait lagu bertempo sedikit cepat.
Melangkah riang di lautan emas
(Pencuri harta!)
Menatap liar dengan mata tajam
(Pencuri harta!)
Tak puas cuma dengan pulau emas
(Pencuri harta!)
Yang tak berhak dengan segalanya
(Pencuri harta!)
Lihat itu dia pencuri harta
(Singkirkan! Singkirkan!)
Lihat dia menatap dengan tamak
(Hancurkan! Hancurkan!)
Jangan biarkan pencuri harta menang
Ayo singkirkan para pencuri harta!
Elle melangkahkan kakinya perlahan, hendak menyongsong pemilik langkah-langkah tak asing itu. Ia yakin sekali itu Zuzu, sahabatnya.
Elle mulai berlari-lari kecil. Ia senang karena bisa bertemu Zuzu di tempat ini. Mereka bisa berburu harta bersama-sama!
Samar-samar mulai terlihat sosok seseorang di kejauhan, berlari ke arahnya. Elle mempercepat larinya, mengabaikan suara nyanyian yang sayup-sayup terdengar.
Sementara itu sang pemuda, Baikai Kuzunoha, mengernyit sambil memelankan larinya. Ia terkejut mendapati ekspresi ceria Elle perlahan berubah menjadi penuh amarah. Kenapa ia begitu marah?
Elle mempercepat larinya menuju Kuzu, kini sambil merakit sebuah gada raksasa. Ekspresi marahnya semakin menjadi.
"Elle, tunggu! Ini aku, Kuzu, sahabatmu!"
Kuzu berusaha berteriak menyadarkan sahabatnya itu namun sepertinya sia-sia saja. Di tengah kekalutan Kuzu, Elle mengangkat gadanya, melompat tinggi hendak menerjang Kuzu. Kuzu hendak menghindar, tapi sesuatu seolah menahan tubuhnya untuk bergerak.
"Singkirkan pencuri harta nooom!!"
Pixie berteriak histeris, setelahnya hanya ada suara dentuman dahsyat yang terdengar sampai ke ujung pulau.
***
Reeh Al Sahr'a, pemuda tampan bersorban itu nampak terpesona dengan sosok seorang gadis yang duduk di atas singgasana emas. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, hampir seluruh bagian tubuh gadis itu dihiasi oleh perhiasan emas dan berlian, membuatnya terlihat semakin mempesona.
"Wahai bunga yang cantik jelita, mungkinkah engkau adalah sang ratu yang menguasai daratan penuh harta ini?"
Altair Kilatih, wanita cantik dengan tatapan setajam mata elang dan rambut hitam lurus yang berkilau. Kilat melirik tak tertarik pada Reeh. Lelaki itu tampan, tetapi tidak mampu memikatnya seperti kilauan benda-benda berharga yang membalut tubuhnya.
"Atas dasar apa kau, sang pemuda biasa-biasa saja, lancang mengajakku berbicara?"
Kilat menyentuh dengan lembut gelang-gelang bertahtakan permata di tangannya. Ia menikmati tiap kilauan yang menghipnotis itu, mengabaikan keberadaan Reeh. "Oh, lihatlah. Indah sekali. Mungkinkah di kejauhan sana ada yang lebih indah dari ini? Lebih berharga berkali-kali lipat dari gelang permata ini?"
Reeh berdehem, "Wahai Sang Ratu yang kekayaannya tak tertandingi, jika hamba, Reeh Al Sahr'a bisa menemukan benda yang jauh lebih berharga dibanding segala yang membalut tubuh anda saat ini, sudikah kiranya Sang Ratu bersanding denganku dan menguasai dataran harta ini bersama-sama?"
"Apa?! Lancang sekali kau, rakyat jelata! Menguasai daratan ini bersamaku? Semua ini milikku! Tapi ... jika memang kau bisa menemukan benda yang jauh lebih berharga dari semua ini," Kilatih tersenyum penuh makna, "akan kupertimbangkan tawaranmu, wahai pengembara berwajah tampan."
Reeh membalas senyuman itu. Ia pun pamit mengundurkan diri. Saat tubuhnya membelakangi Kilat, senyumnya lenyap seketika berganti dengan raut kesedihan.
"Betapa harta telah menggelapkan mata dan hatimu, wahai dara jelita," gumamnya sedih.
Dan dalam sekejap keberadaan Reeh lenyap seperti angin.
***
Suara hantaman logam terdengar begitu nyaring. Tubuh Elle gemetar hebat akibat efek gada menghantam logam keras. Telinganya berdengung dan matanya berkunang-kunang.
Napas Kuzu terengah-engah. Nyaris saja tubuhnya hancur akibat serangan gada raksasa milik Elle. Andai saja di saat-saat akhir ia tidak sigap memanggil Metatron untuk melindunginya, tubuhnya pasti sudah hancur.
Sayap logam Metatron yang tadinya terkatup melindungi Kuzu kini mulai terbuka, memastikan sang majikan tidak terluka sedikitpun.
"Terimakasih, Metatron."
Pandangan Kuzu teralihkan pada Elle yang tengah menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat, kelihatannya mencoba melenyapkan sakit kepala yang menderanya.
Kuzu mendekatinya perlahan, "Elle, kau baik-baik saja?"
Elle mendongak, mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali.
"Zuzu?"
Kuzu tersenyum lega lantas mengangguk.
"Zuuzuuu~!"
Elle langsung melompat memeluk sahabatnya itu. Ia benar-benar senang Kuzu berada di arena yang sama dengannya.
"Elle, apa yang terjadi padamu tadi?" Tanya Kuzu setelah Elle melepaskan pelukannya.
"Elle tak ingat nom ... maaf," sesal Elle. Kuzu tersenyum kemudian menepuk pelan kepala sahabatnya itu.
"Setidaknya kau aman sekarang. Aku akan menjagamu. Aku janji."
Mata Elle berbinar, di matanya saat ini Kuzu terlihat sangat keren.
***
Sial! Sial!
Siapa laki-laki itu? Dia sudah merusak kesenanganku! Benar-benar lancang!
Kulepaskan benang energi di tanganku, yang tersambung pada Hvyt si boneka dan gadis cebol itu. Aku berdecak kesal. Padahal tadinya semua ini mulai menyenangkan ...
Oh! Mungkin aku bisa memanfaatkan laki-laki pengganggu itu? Tapi sebelumnya aku harus tahu, ada berapa calon boneka di tempat ini. Setelah aku berhasil mengendalikan mereka semua ... tidak akan ada lagi yang menghalangiku memiliki harta-harta ini! Tidak ada! Semuanya milikku!! HAHAHAHA!!
Kukeluarkan lima boneka sekaligus dari lengan bajuku. Boneka-boneka ksatria ini pasti akan banyak membantu nanti.
"Pergilah dan tunjukkan padaku apa yang ada di dataran harta ini! Mata kalian adalah mataku, turuti segala perintahku! Kalian berlima tidak boleh mengecewakanku, mengerti?"
Kelima boneka itu mengangguk. Jari-jariku kemudian bergerak lincah mengendalikan mereka, menyusup di antara tumpukan emas yang menggunung.
"Jadi Imanuel, apa yang akan kita lakukan selagi menunggu mereka?"
***
Elle berlari dengan riang, mengumpulkan batuan mulia yang menurutnya begitu indah. Entah sudah berapa banyak yang ia kumpulkan, dan berapa lama waktu yang terbuang. Ia tak peduli. Keinginannya saat ini hanyalah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk dibawa pulang.
"Zuzu, lihat ini nom! Permata-permata ini sangat langka di tempat asalku nom! Boleh kubawa pulang, kan? Boleh ya nom?"
Kuzu yang sejak tadi mewaspadai sekeliling sambil membawa sebagian harta yang Elle kumpulkan, kini menoleh. Ia hanya tersenyum kecil yang disambut antusias oleh Elle.
"Boleh nom?? Yay~! Ayo kumpulkan lebih banyak lagi nom~!"
Kuzu menghela napas. Bukan hal seperti ini yang seharusnya mereka lakukan. Bukankah si Dewa Thurqk itu menginginkan pertunjukan seru pelenyap kebosanan? Meskipun bagi Elle berburu harta adalah hal paling menyenangkan, tapi tidak bagi Kuzu. Bukan hal semacam ini yang diinginkan dewa itu.
Kuzu mulai gelisah. Ia ingin keluar dari tempat ini secepatnya. Namun ia tidak berdaya akan keberadaan sahabatnya. Elle kini terlalu terpengaruh dengan semua harta-harta itu. Diajak pergi pun pasti percuma.
"Elle ... bukankah harta yang kau kumpulkan sudah cukup? Ayo kita selesaikan pertandingannya segera."
Elle menoleh, bingung.
"Pertandingan? Pertandingan apa nom? Tempat ini adalah surga bagi kaum Gnome nom. Elle mau terus di sini nom!"
"Tapi ... Elle ..."
Elle memberengut kesal.
"Kalau Zuzu mau pulang, pulang saja sana! Elle tetap akan mengumpulkan harta yang banyak nom!"
Kuzu bergeming, tak menyangka Elle yang ceria berkata seperti itu padanya. Elle tidak membutuhkannya. Bagi Elle harta-harta itu jauh lebih penting dibanding Kuzu.
Sekali lagi Kuzu menghela napas. Elle adalah kaum Gnome, kaum penambang. Wajar saja Elle jadi seperti ini. Batin Kuzu, mencoba memaklumi.
"Baiklah kalau begitu, aku akan—"
"Itu bonekaku."
Kuzu dan Elle sontak menoleh ke pemilik suara. Seorang bocah yang nampaknya berumur tujuh atau delapan tahun. Rambut hitam berantakannya menutupi mata. Baju dan celana putihnya terlalu besar, hingga terlihat kedodoran.
"Itu bonekaku," ujarnya sekali lagi seraya menunjuk boneka merah yang menyembul di tas Elle.
"Oh, ini ...?" Elle mengeluarkan boneka itu, menatapnya sejenak.
"Ini milikmu nom? Elle pikir ..."
Elle tersenyum kecut. Ternyata bukan hadiah dari Cuckoo.
"Malaikat Merah memberikan itu padaku karena tahu aku sangaaaat suka boneka. Kau juga suka boneka?"
Kuzu mengamati anak itu. Meskipun anak itu tersenyum ramah, entah mengapa ada perasaan tak suka yang timbul di hati Kuzu.
"Suka nom! Elle juga suka boneka nom!" Ujar Elle bersemangat.
Bocah yang tak lain adalah Nim itu tersenyum lebar. "Ayo main boneka bersamaku! Aku punya banyaaak boneka~"
Elle mengangguk senang. Ia mengulurkan tangannya, "Aku Elle nom! Ayo kita berteman," ujarnya seraya tersenyum lebar.
Nim menjabat tangan itu, "Namaku Nim. Boleh kembalikan bonekaku dulu? Aku akan menggantinya dengan boneka yang lebih bagus."
Tak jauh dari mereka berdua, Kuzu duduk bersila sambil bertopang dagu. Sungguh kehadiran anak itu membuatnya kesal.
"Kakak di sana ayo ikut juga!" Ajak Nim ramah.
Kuzu tersentak, "Aku tidak suka boneka," ujarnya dingin.
Mendengar hal itu Elle cemberut, "Ayolah Zuzuu~" bujuknya. Kuzu hanya tersenyum seraya menggeleng pelan.
"Kalau begitu kakak jadi boneka saja," celetuk Nim.
"Apa?"
"Kubilang Kakak jadi boneka saja kalau memang tidak berniat main boneka."
Mata Kuzu memicing, entah mengapa ucapan itu terdengar seperti ancaman di telinganya.
"Bercanda~"
Nim tertawa. Namun Kuzu yakin tawa itu hanya dibuat-buat. Ia harus mengawasi bocah yang satu ini. Entah mengapa ia merasa bocah ini bukan bocah biasa. Ia harus memastikan Elle aman selama ia mengawasi mereka.
***
Angin berhembus pelan, membawa Reeh terbang menjelajah di atas pulau harta. Perasaan damai begitu kental di hati Reeh saat bercengkrama seperti ini dengan angin. Namun ia juga tidak boleh mengabaikan secuil perasaan tak enak saat memandangi hamparan harta berkilau di bawah sana.
"Selain kedudukan dan wanita, harta juga merupakan hal yang berbahaya bagi umat manusia. Harta bisa membuat seseorang gelap mata," gumamnya.
Ia mendarat perlahan di atas salah satu peti raksasa yang dipenuhi koin emas.
"Sepertinya tadi hamba mendengar suara hantaman logam yang begitu nyaring di sekitar sini. Tapi sepertinya tempat ini aman-aman saja."
Reeh pun berbisik pada sang angin, memintanya memeriksa sekeliling. Tak berapa lama kemudian sang angin pun menjawab, membuat Reeh tersenyum.
"Terimakasih, sahabatku. Tolong bawa hamba ke tempat yang dimaksud."
Dan sang angin pun dengan senang hati membantu sang pengembara.
Sementara itu di tempat lain ...
Kilatih mulai gelisah di singgasananya. Beberapa kali ia bangkit, mondar mandir sejenak kemudian duduk kembali. Bangkit lagi dan begitu seterusnya selama beberapa waktu.
Bagaimana jika Reeh tidak pernah kembali? Bagaimana jika Reeh berbohong padanya dan membawa harta-harta itu sendirian? Menguasainya sendiri?
Kilatih mengerang kesal. Berada dalam penantian yang tak pasti seperti ini bisa membuat seseorang berpikiran yang tidak-tidak.
Ia merasakan gejolak untuk mendapatkan harta yang lebih semakin besar. Semakin membuatnya gelisah. Tumpukan emas dan berlian di sekitarnya kini tidak nampak berkilau lagi. Baginya harta-harta ini sudah tidak ada artinya. Ia harus menemukan yang lebih, jauh lebih berharga dari semua ini. Ia harus memastikan bahwa ia akan mendapatkannya lebih dulu dari Reeh. Ia harus menemukan harta yang paling berharga di tempat ini, menguasainya sendiri, dan menjadi yang terkaya di jagat raya ini.
Ia harus mewujudkan hal itu. Meskipun itu berarti ia harus menghabisi yang lainnya, termasuk Reeh.
***
Beberapa kali Nim kedapatan melirik ke arah salah satu peti raksasa di kejauhan, membuat Kuzu curiga. Ia mengamati dari jauh peti itu, tidak ada yang aneh sama sekali.
"Nim kenapa?" Tanya Elle heran.
Nim menggeleng pelan lantas tersenyum, "Ayo lanjutkan!"
Kuzu yang sedari tadi hanya mengamati mereka berdua, kini melangkah menghampiri Nim.
"Apa yang ada di dalam peti itu?"
Ditanya langsung seperti itu, Nim jadi gelagapan.
"Tidak ada apa-apa di sana! Sungguh!"
Kuzu semakin curiga. Elle yang tidak mengerti hanya menelengkan kepalanya dengan bingung.
"Peti apa nom? Apa yang kalian bicarakan?"
Kuzu menunjuk salah satu peti di kejauhan, membuat Elle ber-ooh sok paham.
"Memangnya peti itu kenapa nom?"
Nim panik, kini Elle pun ikut penasaran. "Tidak ada apa-apa, kok!"
"Lalu kenapa anda melirik peti itu terus sejak tadi?"
Nim menggigit bibir, bingung harus menjawab apa.
"Ayo kita periksa," usul Kuzu yang disambut antusias oleh Elle.
"Berburu harta karun lagi nom?? Asyiiik~!"
"Tu-tunggu! Percayalah padaku! Tidak ada apapun di sana! Itu hanya peti kosong!" Nim berusaha menarik lengan Kuzu, menahannya melangkah lebih jauh.
"Peti kosong? Itu semakin mencurigakan."
Nim menyerah. Ia hanya bisa terpaku di tempatnya melihat dua orang itu semakin dekat dengan peti berharganya.
Elle berlari riang di depan. Ia menyanyikan salah satu lagu penambang kaum Gnome, membuatnya semakin semangat. Kuzu mengekor di belakang, waspada akan apapun yang akan terjadi.
Entah mengapa, semakin dekat dengan peti itu, langkahnya semakin berat. Ia merasakan aura kegelapan samar yang menguar dari peti itu.
Ia menoleh ke belakang, melihat Nim yang sudah jauh tertinggal. Nampaknya ia tak beranjak sama sekali sejak tadi.
"Zuzu, cepat sini! Petinya tidak terkunci nom!"
Baru saja Kuzu ingin mengalihkan pandangan pada Elle, tak sengaja ia mendapati Nim menyeringai. Mata Kuzu terbelalak.
Ini jebakan!
"TUNGGU ELLE! JANGAN DIBUKA!!"
Terlambat. Elle sudah membuka peti itu.
...
Hening.
"Ada apa Zuzu?" Tanya Elle heran.
Kuzu mengernyit. Apa? Kenapa tidak terjadi apa-apa? Kuzu menoleh ke belakang, Nim sudah menghilang. Ia menggeram kesal. Apa maksud anak itu menyeringai?
"Zuzu, lihat! Elle menemukan boneka penyihir. Imut sekali nom!"
Sontak Kuzu menoleh, instingnya menangkap adanya sinyal bahaya. Dalam sekali hentakan Kuzu menghempaskan boneka itu dari tangan Elle, membuat Elle terpekik kaget. Kuzu segera menggendong tubuh Elle dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melompat menjauhi boneka itu.
Dan ledakan besarpun terjadi.
***
Reeh yang tengah asyik terbang ditemani angin, mendadak terhempas oleh ledakan yang begitu kuat. Tubuhnya sukses menghantam tumpukan emas. Ia pun bangkit perlahan seraya meringis.
"Astaga! Apa gerangan yang telah terjadi?"
"Ugh ..."
Reeh tersentak mendengar erangan lemah itu. Ia menoleh dan mendapati seorang pemuda dan seorang gadis kecil terkapar dengan beberapa bagian tubuh cemong akibat ledakan tadi. Buru-buru Reeh menghampiri mereka.
"Tuan! Tuan sadarlah ...."
Reeh mengguncang pelan tubuh Kuzu, membuatnya mengerang sekali lagi. Reeh lega, setidaknya pemuda ini selamat. Ia beralih pada gadis kecil di sampingnya. Ditepuk-tepuknya pipi gadis itu namun tak ada respon.
"Nona? Nona, sadarlah."
Kali ini Reeh mengguncangkan tubuh Elle, namun Elle tak kunjung sadar.
Kesadaran Kuzu mulai kembali. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba melenyapkan nyeri di kepalanya.
Ia menoleh dan mendapati Elle terkapar di sampingnya.
"Elle!!"
Kuzu bergegas bangkit dan menghampiri tubuh gadis itu. Reeh yang melihat Kuzu pun mendesah lega.
"Syukurlah anda sudah sadar, Tuan."
"Elle! Elle, bangunlah. Buka matamu!"
Kuzu menepuk-nepuk pelan pipi Elle namun Elle tetap diam. Hal itu membuat Kuzu tegang luar biasa. Mendadak rasa takut menyergapnya.
"Elle ...," lirihnya. Diletakkannya kepala Elle di pangkuannya. Ia ingin gadis itu merasa nyaman. Diusapnya kepala sahabatnya itu perlahan.
"Elle ...," lirihnya sekali lagi. Namun Elle tetap diam. Terlihat damai dalam tidurnya.
Melihat hal itu Reeh pun merasa iba. Diusapnya pundak pemuda di sampingnya, berusaha menyemangati. Tubuh Kuzu terasa bergetar menahan tangis.
"Elle ... bangun ..."
Reeh terdiam saat menyadari ada pergerakan halus pada diri Elle. Ia menatap dengan seksama, ternyata benar, dada gadis itu naik turun perlahan.
"Dia masih hidup, Tuan!"
Kuzu mendongak pelan, "Apa ...?"
"Lihat, Tuan! Nona ini bernapas!"
Kuzu mengalihkan pandangannya pada Elle. Memang benar dada gadis itu terlihat naik turun dalam ritme pelan. Untuk memastikannya, Kuzu meletakkan punggung tangannya di depan hidung gadis itu, merasakan hangat napasnya. Tidak puas sampai di situ, ia pun menempelkan telinganya di dada Elle. Suara detak jantung itu membuatnya lega luar biasa. Ia mengangkat kepalanya dan mengusap matanya yang mendadak berair.
"Syukurlah ...," lirihnya senang. Suaranya terdengar bergetar.
Reeh tersenyum.
"Tuan, bisakah anda menceritakan apa yang telah terjadi?"
Kuzu menoleh, baru benar-benar sadar akan keberadaan Reeh.
"Maaf, saya telah mengabaikan anda sejak tadi," sesal Kuzu.
"Tidak apa-apa, Tuan ... maaf?"
"Kuzunoha. Baikai Kuzunoha. Terima kasih sudah menolong saya dan Elle."
Reeh menggeleng pelan. "Hamba sama sekali tidak melakukan apapun. Nama hamba Reeh Al Sahr'a. Maaf, tapi bisakah Tuan Kuzunoha menceritakan apa yang telah terjadi?"
***
Nim bersenandung pelan di atas salah satu peti harta yang kosong. Di punggungnya sudah ada Imanuel si boneka panda, yang sejak tadi ia sembunyikan dalam peti yang tengah ia duduki.
"Ini mulai membosankan, ya, Imanuel? Tapi tenang saja, permainan baru saja dimulai. Sebentar lagi kita akan bersenang-senang~"
Nim tersenyum merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Begitu cepat hingga ia hanya bisa menjatuhkan tubuhnya ke depan sebagai refleks menghindari bahaya.
Nim yang tersungkur di atas tumpukan harta pun mendongak, mendapati seorang wanita cantik berambut hitam panjang mengacungkan pedang seraya menatapnya dengan tajam. Pedang itu tipis dan bening, berkilau seperti kristal. Gagangnya putih bersih dan terlihat lembut, seperti salju.
"Pedang Kakak cantik. Tapi yang tadi itu bahaya banget, loh~ Hampir aja Imanuel terluka."
Kilatih mengeratkan genggaman pada pedangnya, ia pun kembali menyerang Nim yang dengan refleks berguling ke samping. Nim pun segera mengeluarkan tiga boneka samurai sekaligus untuk menyerang Kilatih.
Dengan lincah Kilatih menghindari serangan-serangan boneka yang tak seberapa itu. Gerakannya begitu anggun, ringan, dan cepat. Seolah sedang menari dalam tempo yang cepat.
Nim tersenyum kecut, "Ternyata Kakak hebat, ya~"
Kali ini ia mengeluarkan penyihir elemen cahaya. Boneka penyihir itu menerjang maju, mengacungkan tangannya di depan wajah Kilatih. Kilatih tersentak. Belum sempat ia menghindar, kegelapan segera memenuhi penglihatannya.
Kilatih mendarat dengan tubuh sempoyongan. Kegelapan itu membuat konsentrasinya buyar. Ia mencoba menajamkan pendengaran, namun hanya tawa Nim yang terdengar.
Kilatih mencoba menangkap cahaya apapun di sekitarnya, namun matanya seolah tertutup sesuatu yang hitam pekat. Seolah cahaya direbut dari matanya.
"Kelihatannya Kakak tidak menyukai kegelapan, ya? Kalau begitu ...,"
Kilatih mengerang saat cahaya putih yang begitu menyilaukan menyerbu matanya. Ia menutup matanya rapat-rapat tapi cahaya itu seolah tak mau hilang, bernafsu membutakan matanya.
Bulir-bulir keringat dingin membasahi kening Kilatih, padahal segala yang ia kenakan saat ini telah dilengkapi dengan nanotecnology. Berkeringat adalah sesuatu yang tak wajar baginya.
Kilatih menyabetkan pedangnya dengan asal ke segala arah. Berharap serangan itu bisa melukai Nim yang entah ada di mana. Tawa Nim semakin menjadi. Ia terlihat begitu menikmati ketidakberdayaan Kilatih.
Cahaya menyilaukan itu semakin menusuk. Kilatih merasakan cairan kental nan hangat mulai mengalir dari matanya.
"Hentikan!"
"Okee~"
Boneka penyihir itu menghentikan mantranya. Ia pun mundur, melayang di sisi Nim. Begitu pula tiga boneka lainnya.
Nim terkekeh, "Bagaimana? Serangan dari bonekaku hebat, kan?"
Tubuh Kilatih gemetar akibat rasa sakit yang begitu menusuk di matanya. Seolah ribuan jarum ditancapkan langsung di sana. Sakit, hingga nyaris membuat seluruh tenaga Kilatih menguap.
Nim mendekat, menyeka darah yang mengalir di pipi mulus Kilatih. Kilatih bergidik, dihempaskannya tangan Nim dengan kasar membuat Nim terkekeh.
"Kakak cantik ... seperti Tabita," bisik Nim di telinga Kilatih. "Jadilah bonekaku."
Bau amis darah menggelitik hidung Nim, membuat darahnya bergejolak. Sisi gelap dari jiwa Imanuel mencoba menguasainya. Dijambaknya rambut Kilatih dengan kasar dan dijilatinya darah di pipi gadis itu.
Kilatih mencoba memberontak. Namun tubuhnya seolah dililit oleh benang-benang tajam, membuatnya tak berdaya. Sepertinya nanotechnology dalam dirinya mulai rusak. Ia tidak mengerti apa yang telah merusaknya. Boneka-boneka itu kah? Atau bocah ini? Yang jelas keadaannya saat ini tidak menguntungkan.
Nim tersentak merasakan tangan kanannya mendadak terkoyak. Matanya awas menatap sekeliling, namun tak ada siapapun.
"Siapa? Siapa yang begitu lancang mengganggu kesenanganku?!"
Angin berhembus di sekitar Nim dan perlahan mengangkat tubuh Kilatih. Nim sontak mendongak, mendapati seorang pemuda bersorban meraih tubuh Kilatih yang melayang oleh sang angin.
"Maaf terlambat, Nona."
Nim meraung marah. Ia kesal karena bonekanya direbut begitu saja. Baru saja Nim ingin menggerakkan kembali boneka-bonekanya, daratan penuh harta itu mendadak bergetar, membuat Nim limbung dan jatuh tersungkur.
"Apa ... yang terjadi?"
Reeh yang masih melayang bersama Kilatih, kini memicingkan mata. Sesuatu mendadak muncul di tengah-tengah daratan. Mencuat begitu saja seolah terlahir dari dunia ini. Bagian daratan itu terus naik, membentuk gunung yang tinggi melebihi gundukan harta di sekitarnya. Sebuah permata besar berkilau begitu indah di puncaknya, seolah memancarkan cahaya agung, meminta untuk segera diangkat dari tahta emasnya.
Mata Kilatih yang nyaris buta juga menangkap kemilau indah itu. Ia terpana, terpesona oleh benda menawan itu. Belum pernah ia melihat cahaya seindah itu seumur hidupnya. Mendadak hasrat untuk memiliki permata itu meluap begitu saja.
Reeh pun juga merasakan hasrat itu. Ia terpaku melihat keindahan yang terpampang di kejauhan sana. Ada rasa cinta yang begitu kuat mendadak muncul. Rasa cinta akan sesuatu yang indah. Dan ia ingin keindahan itu hanya untuknya.
Di saat yang sama Kuzu berdeguk menyaksikan kemunculan hal menakjubkan itu. Belum pernah ia melihat harta seagung itu seumur hidupnya.
Elle yang siuman karena gempa sesaat tadi, kini terbelalak oleh munculnya gunung misterius di depan sana. Gunung yang dipenuhi emas, perak, dan berlian. Gunung itu tampak memancarkan cahaya sendiri oleh benda di puncaknya. Sebuah batuan mulia yang selama ini Elle cari.
"Ambernite ... nom."
Kelima peserta di dataran itu merasakan hasrat yang sama saat ini. Hasrat yang begitu kuat untuk memiliki ambernite. Seolah terhipnotis, mereka pun bergerak serempak menuju permata raksasa itu. Siapa yang cepat, dia dapat.
Dan yang lain berarti musuh yang harus disingkirkan.
***
Tabita pernah berkata kalau hasrat yang begitu kuat untuk memiliki sesuatu akan membuat seseorang seolah dirasuki kegelapan, dan hendak menghancurkan segalanya demi memiliki sesuatu itu.
Aku tak menyangka akan mengalaminya sendiri hari ini. Mataku terpaku pada sebuah benda berkilau di kejauhan. Benda yang memancarkan cahaya indah, melayang di atas tahta emas dengan angkuh. Kemilaunya begitu menghipnotis, lembut nan memikat. Membuatku perasaanku bergejolak.
Tersadar akan sesuatu, aku melirik dengan kesal pada dua sosok yang melayang beberapa kaki di atasku. Dua sosok itu juga saling berpandangan, kilat persaingan terpancar jelas di mata mereka.
Tiba-tiba tubuh kakak cantik berambut hitam itu terhempas oleh angin yang kuat. Tubuhnya terlontar jauh, entah di mana ia akan mendarat. Terlihat jelas olehku pemuda bersorban itu menyeringai.
Tatapannya teralih padaku. Ia menatap tak suka, membuatku terkekeh.
"Permata itu milikku!"
Bersamaan dengan ucapan itu, boneka penyihirku menerjang, menyerap cahaya yang ada pada mata sang pemuda. Pemuda bersorban itu meraung marah dan hilang pijakan pada angin. Tubuhnya menghantam daratan harta dengan sukses, menyumpah serapah padaku.
Kukeluarkan kembali boneka Hvyt-ku dan sebuah boneka penyihir lain. Kuperintahkan boneka penyihir itu untuk mengubah ukuran Hvyt dua kali lebih besar dari ukuran Hvyt normal.
Dalam sekejap bonekaku menyerupai Hvyt yang asli, hanya saja dia jauh lebih besar.
"Bawa aku ke gunung itu! Dan singkirkan siapapun yang mencoba menghalangi," desisku.
Aku tak peduli pada pemuda bersorban yang meraung marah padaku. Aku juga tak peduli dengan dentuman keras di kejauhan sana. Yang kuinginkan saat ini hanya satu.
Ambernite.
***
Kuzu menatap kesal pada Elle yang mendadak menyerangnya. Untung saja ia sigap memanggil Metatron yang langsung melindunginya dari serangan bola meriam.
"Ambernite itu milikku nom!!"
Lagi-lagi Elle menyerangnya. Kali ini dengan lima meriam sekaligus.
Kuzu mengeluarkan katana miliknya yang bernama Masakado. Ia merapatkan tubuh pada Metatron, menyuruh demonnya itu melindunginya selagi Kuzu bersiap menyerang Elle.
"Rasakan ini! HAHAHA!!"
Elle kembali menyerang membabibuta, seolah ia tengah kerasukan. Bola-bola meriam itu melayang tepat menuju Kuzu. Dengan sigap Metatron mengatupkan sayapnya, melindungi sang tuan. Ledakan yang tercipta seolah tak ada apa-apanya dibanding dengan kerasnya tubuh Metatron.
"Kamikaze," lirih Kuzu.
Dalam sekali hentakan sayap Metatron mengembang. Dorongan angin yang begitu kuat melontarkan tubuh Kuzu langsung menuju Elle.
Elle yang menyadari hal itupun terbelalak.
"Sekarang Metatron! Cyclone Stab!"
Masakado yang ada di tangan Kuzu mendadak diselubungi oleh elemen angin milik Metatron. Kuzu menyabetkan pedangnya sekali di udara, dan dalam sekejap tombak-tombak angin tercipta menghujani tubuh Elle. Elle berteriak kesakitan saat tombak-tombak itu menembus tubuhnya. Kuzu terkekeh senang. Belum cukup sampai di situ, Kuzu segera melancarkan serangan berputar.
"TIDAK! ZUUZUUUUU!!!"
Darah segar memuncrat menghiasi udara. Kuzu mendarat dengan sempurna sambil merentangkan Masakado. Tubuhnya berlumuran darah segar. Tak jauh dari tempatnya berdiri, sesuatu terjatuh, menggelinding menyentuh kaki Kuzu. Kuzu melirik benda itu, memungutnya lantas menyeringai.
Kuzu menatap benda berlumur darah di tangannya. Kepala Elle. Dengan ekspresi penuh kengerian di wajahnya. Kuzu mengecup mesra bibir gadis ceria itu.
"Maaf sahabatku, aku terpaksa melakukan ini. Jika kau tetap hidup, kau hanya akan menghalangiku."
Kuzu tertawa kesetanan, lantas melempar kepala Elle tanpa rasa bersalah sedikitpun.
***
Kilatih berjalan tertatih karena nanotechno yang ada dalam dirinya telah rusak parah. Sepertinya bocah aneh itu telah menyisipkan racun saat menyerang atau menyentuhnya tadi. Kini tubuh Kilatih mulai panas dingin, begitu lemah tak berdaya.
Namun ia tidak peduli dengan semua itu. Matanya terpaku menatap ambernite yang semakin terlihat memesona di kejauhan.
"Permata itu ... milikku," lirihnya mencoba menyemangati diri sendiri. Baru beberapa langkah berjalan, darah segar menyembur dari mulutnya. Kilatih terbatuk dan mencoba bernapas dengan susah payah.
Kilatih membuka jaket tebalnya, menunjukkan tangtop hitam yang membalut tubuh sempurnanya. Kulit putih nan mulus itu kini basah oleh keringat dingin. Wajah Kilatih menjadi pucat pasi dengan langkah sempoyongan.
"Ambernite ... milikku."
Kilatih kembali batuk darah. Kini ia tak sanggup lagi menahan bobot tubuhnya. Tubuhnya pun ambruk di atas permadani dan jubah-jubah berhiaskan ratusan berlian.
"Amber ... nite ..."
Samar-samar Kilatih melihat sesuatu melesat ke arahnya.
Hvyt ...? Apakah ia datang untuk menjemputku sekali lagi?
Kilatih tertawa miris. Ia memejamkan mata perlahan. Kali ini ia siap untuk menjemput maut sekali lagi. Ia berharap di saat membuka mata, ia akan mendapati dirinya berada di surga.
Kilatih terbelalak, napasnya tercekat. Sebuah trisula api menembus perutnya. Hal terakhir yang ia lihat adalah, seorang bocah dengan mata hitam dengan pupil merah menyala meyeringai ke arahnya.
***
Penglihatan Reeh akhirnya pulih kembali setelah ia menghancurkan boneka penyihir yang menyusahkannya. Ia benar-benar kesal pada bocah boneka itu. Apapun yang terjadi ia harus mendapatkan ambernite itu lebih dulu. Ia pun meminta angin agar membawanya segera ke tempat ambernite berada. Angin tornado pun tercipta, menyelubungi tubuh Reeh dan mengangkatnya ke udara. Dalam sekejap angin itu melesat menuju gunung paling berkilau.
Di saat yang sama, Kuzu tengah menunggangi Metatron dan melesat cepat menuju ambernite. Matanya berkilat penuh ketamakan saat jaraknya semakin dekat dengan ambernite.
"Ambernite itu milikku!"
"Tidak secepat itu!!"
Kuzu terkejut bukan main karena seseorang mendadak menerjangnya. Pegangannya terlepas dari Metatron dan iapun terjatuh bersama bocah menyebalkan yang kini tengah mencekiknya.
Mereka berdua jatuh ke tumpukan koin emas dan berguling-guling seraya saling mencekik.
"Permata itu ... milikku!" Ujar Nim penuh amarah.
"Tidak! Ambernite itu milikku! Minggir kau!"
Kuzu mendorong tubuh Nim dengan kuat membuat bocah itu terhempas. Kuzu terkekeh kemudian meraih Masakado-nya.
"Matilah, Bocah!!"
Tubuh Nim tersentak, katana itu telah menembus perutnya, membuat darahnya merembes tanpa henti. Kepalanya terkulai lemas, membuat Kuzu merasa menang. Ia tertawa terbahak-bahak dan menendang tubuh Nim seraya menarik Masakado-nya.
Betapa terkejutnya Kuzu saat kakinya tiba-tiba ditahan. Nim mendongak, menatap langsung mata Kuzu seraya menunjukkan seringaian mengerikan.
"Jadilah bonekaku!"
Tubuh Kuzu membeku. Mata itu seolah memancarkan aura kegelapan yang begitu kuat. Dengan susah payah Kuzu mengalihkan pandangan dan matanya menangkap sesuatu.
Mata boneka panda di punggung Nim bercahaya biru. Benang-benang berwarna sama mencuat dari tubuhnya dan melilit Nim. Ia segera menyadari sesuatu.
Sontak Kuzu meludahi mata Nim, membuat konsentrasi Nim buyar dan menutup mata. Ia mengerang kesal dan memerintahkan Hvyt membunuh Kuzu.
Dengan sigap Kuzu menghindar dan berlindung di balik tubuh Metatron. Selagi Hvyt sibuk meladeni Metatron, Kuzu telah konsentrasi pada Nim. Ia menunggu celah untuk menyerang bocah itu.
"Sekarang! Metatron, Cyclone Stab!"
Lagi-lagi Masakado diselubungi oleh elemen angin. Kuzu segera menerjang maju membuat Nim terbelalak.
"Rasakan ini!!"
Menyadari incaran Kuzu, Nim sontak meraih Imanuel dan melemparnya sejauh mungkin. Melihat hal itu Kuzu menyeringai.
"Percuma," ujarnya penuh kemenangan.
Kuzu menyabetkan pedangnya, memutuskan benang-benang energi antara Nim dan Imanuel. Nim berteriak histeris saat satu persatu benang itu mulai terputus, membuatnya seolah lumpuh. Di saat-saat terakhir, Hvyt menerjang Kuzu, membuat serangan Kuzu gagal memutuskan benang terakhir. Benang utama yang menghubungkan jiwa Imanuel dan tubuh Nim.
Nim meraung keras. Amarahnya meluap tak terbendung lagi. Samar-samar Nim melihat Reeh telah sampai di depan ambernite, tersenyum puas.
Nim yang masih terkapar merentangkan kedua tangannya mengarah pada Reeh. Mendadak sepuluh boneka penyihir elemen muncul dari dalam lengan baju Nim.
"PERMATA ITU MILIKKU!! GRAAAAA!!!"
Benang utama yang terhubung pada diri Nim perlahan melebar, semakin melebar hingga menyerupai selendang. Selendang energi itu menyelubungi tubuh Nim, lantas Imanuel melayang dengan sendirinya menghampiri Nim.
"JANGAN SENTUH PERMATA ITU!!" Raung Nim.
Reeh terbebelalak. Hal terakhir yang ia ingat adalah, begitu banyak boneka yang menyerangnya bersamaan. Api, air, angin, sulur berduri, petir, es, dan entah apa lagi. Semua itu mengarah langsung pada tubuhnya tanpa sempat ia bereaksi.
***
Aku menatap puas ambernite yang kini terbaring cantik dalam peti berharga milikku. Di peti inilah Hvyt pertama kali mendaratkanku saat tiba di daratan harta ini. Awalnya aku terkejut karena peti ini tiba-tiba mengeluarkan cahaya menyilaukan berwarna merah, saat kusentuh ukiran berbentuk api yang melingkari lubang kunci.
Kukeluarkan kertas yang sebelumnya kutemukan dalam peti kosong ini. Kubaca kembali sebaris kalimat yang tertulis di kertas itu.
RED GOD SHALL BE VANISHED
Aku terkekeh senang. Meskipun beberapa bagian tubuhku terkoyak, tapi aku tidak peduli dengan rasa sakitnya. Rasa senang karena berhasil mendapatkan ambernite membuatku kebal akan segala rasa sakit ini.
"Kita menang, Imanuel! Kita menang!"
Aku tertawa. Tertawa pelan yang semakin lama semakin keras dan membahana. Aku terus tertawa tak peduli wajahku sudah memerah dan napasku menjadi sesak. Aku tertawa begitu lebar, hingga rasanya sedikit lagi mulutku akan robek.
"Anda tidak boleh membawa benda itu."
Suara itu mengejutkan Nim. Ia mendapati Hvyt kini berdiri di belakangnya, menatapnya dingin.
"Tapi aku sudah bersusah payah untuk mendapatkannya!"
"Harta memang bisa membutakan manusia," ujar Hvyt sarkastik.
Nim menatap sebal pada Hvyt. "Aku tidak mau pergi! Aku tidak akan meninggalkan ambernite indah ini! Aku tidak akan membiarkan orang lain memilikinya!"
Hvyt cuek dengan ocehan Nim. Dengan sedikit sentuhan ringan di kening Nim, tubuh Nim pun ambruk.
"Harta memang bisa membutakan manusia," ujar Hvyt sekali lagi. Entah pada siapa.
***
==Riilme's POWER Scale on Nim Imanuel's 2nd round==
ReplyDeletePlot points : B+
Overall character usage : B+
Writing techs : B+
Engaging battle : B+
Reading enjoyment : B+
==Score in number : 8,0==
Jatah setengah cerita awal kemakan buat cerita masa lalu Nim ya? Lumayan tergambarkan dengan baik, jadi ngerti sekarang gimana dia sebelum sampe ke turnamen ini. Tapi kok pas masuk actual battle, saya jadi bingung lagi, Nim itu yang mana dan Imanuel yang mana (kayaknya saya skip nih), soalnya seinget saya si aku itu Imanuel, tapi kayanya yang sekarang Imanuel malah jadi boenka, dan si aku-nya itu Nim? Cmiiw.
Ini emang sepakat bareng ada shared canon ya? Kayak Reeh kepincut Kilat dan Elle nyerang Baikai.. Meski emang ujungnya tetep beda sih. Kayak di r1, Nim ini mainannya selain manipulasi boneka juga rada creepy ya. Kayanya emang dia sendiri yang jadi main villain di cerita ini. Btw, Ambernite itu apa ya? Kok begitu itu muncul, semua langsung jadi otomatis kalap?
Kurasa ini bukan salah Nim sepenuhnya. Tabita yang ingin membesarkan Nim layaknya manusia sesungguhnya malah melakukan kesalahan. Gadis itu mengurung Nim di dalam rumah seumur hidupnya. Apakah tindakan itu mencerminkan tindakan yang memanusiakan manusia? Apabila Tabita ingin Nim tumbuh normal, harusnya ia mengenalkan dunia padanya semenjak kecil. Pada akhirnya, semua itu hanyalah keegoisan yang berakhir bencana.
ReplyDelete#salah fokus komentar
Kalau soal pertarungannya sudah seru. Karakterisasi karakternya bagus, efek pulaunya juga kuat banget di antara entrant Arsk yang lain. Pada akhirnya semua termakan kerakusan dan berbaku hantam. Kegelapan hatinya Nim juga terasa banget. Narasinya bagus, meski ganti-ganti pov tapi tetep bisa diikuti dengan mudah.
Oh ya, ada satu yang sebenarnya ane harepin di akhir : Nim berkonfrontasi batin ingin bawa pulang ambernite. Tapi ternyata masalah selesai dengan Hvyt yang membuat anak itu pingsan. Jadi kayak sia-sia aja setelah saling bunuh dengan motif rebutan ambernite.
Nilai 9 Nim~
OH NO /QAQ\ .. .asem ceritanya keren xDD pertarungannya seru, dan pada akhirnya ketamakan membuat lupa segalanya :"D bahkan persahabatanpun /TTvTT\ .. ..
ReplyDeleteceritanya keren, walau pada bagian nim bertemu imanuel harus dibaca berulang" biar ngeh kalau mereka sama haha xD,,
untuk pertarungan terakhir antara nim dan kazu bikin deg-degan xD kupikir nim bakalan mati karna benang"x terputus, untung ga jadi :"D tapi hebat ya, kazu bisa liat benang" itu XD, terus" aku sdikit bingung lagi,,,, jadi kazu mati? ? setelah tertahan sama boneka hyvt, aku ga tau kazu mati ato ga, disitu nim langsung marah banget sama reeh dan reeh langsung mati xD // hyaa~ disitu nim keren banget //plok//
ups, secara keseluruhan tetp suka sama nim, kuharap kau segera bertemu tabita :"D nilai 9,5 buat nim ♥
Uooooh. Ini sih keren! Porsi karakter cukup banyak dapet giliran. Pertemuan Zuzu sama Elle keliatannya menyenangkan :D
ReplyDeleteBattlenya asyik. Cara OC lain dibunuhnya variatif. Ditambah lagi, mereka matinya dikemas pake narasi yang keren. Yg kurang sreg di saya sih pas bagian RED GOD SHALL BE VANISHED. Meskipun secara tata bahasa ga masalah, tapi kalimat ngga kedengeran alami buat saya.
9/10
si Kuzu belom mati ._.
ReplyDeleteWhooaaa! Ini bagus! Moi pikir bagian flashback-nya bakal cuma panjang2in cerita doang tapi ternyata semakin memperjelas OC-nya. Battle-nya seru. Jadi pengen lawan Nim nih! O ho ho ho hon! 8 dari moi!
ReplyDelete~~~ ( >A< ) ~~~
ReplyDelete