May 18, 2014

[ROUND 2 - RYAX] LUNA ARACELLIA - SINS OF CRESCENT MOON

[Round 2-Ryax] Luna Aracellia
"Sins of Crescent Moon"
Written by Karina Lazuardi

---

Sins of Crescent Moon: Beginning

Unknown Part, Scene 1.0

Luna terbangun dan membuka matanya.

ia melihat sebuah ruangan yang dicat dengan warna dasar putih. Di sekelilingnya, terhampar sebuah selimut tebal yang juga memiliki warna putih. Ia mencoba bangkit, tetapi rasa pusing masih dirasanya.

Ketika sepenuhnya sadar, Luna menyadari bahwa pakaiannya telah diganti dengan sebuah daster berwarna putih.

"Ah, sudah bangun rupanya."

Sebuah pintu terbuka di hadapan Luna. Sesosok pria berkacamata masuk. Ia menatap Luna dengan sebuah senyuman yang mengambang. Di tangannya, terhidang sepiring makanan dan segelas minuman.

Nolan Collard Fambrough. Orang "suci" yang mengendalikan akses pulau ini. Tentu saja, dengan izin Thurqk.

Luna mengambil sebuah bantal yang berada di sampingnya dan mengayunkan tangannya sekuat tenaga. Bantal itu melayang dan tepat mendarat di muka Nolan. Hidangan yang tersaji di tangannya jatuh seketika.

"Aduh…"

"Apa yang kau lakukan pada tubuhku selama aku tidak sadar, dasar pria aneh!"

"Tunggu dulu…"

Nolan memperbaiki posisi kacamatanya. ia melihat Luna duduk meringkuk di pojok ruangan sambil mendekapkan kedua tangannya di dadanya.

"Uh, dasar…" kata Nolan sambil menghela napas.

Nolan bangkit dan membereskan semua kekacauan yang terjadi tanpa suara. Luna menatapnya dengan tatapan curiga. Nolan masih terus diam hingga Luna menanyakan sesuatu kepadanya.

"Mana pulau-ku?"

"Pulau apa?"

"Pulau yang penuh dengan teknologi canggih dan menara tinggi. Pulau dimana aku bisa menemukan senapan sniper yang bahkan belum pernah kutemukan di duniaku. Dan sebuah pulau dimana aku jadi Tuhan, penguasa."

Nolan hanya melongo.

"Luna, kau sudah berada di sini. Apa kau masih belum sepenuhnya sadar?"

"Diam kau. Aku orang terhebat di seantero pulau itu. Aku—!"

Luna tercekat. Ia tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya.

Nolan menghampirinya sambil tersenyum.

"Mari, ikut aku. Secangkir cokelat akan membuatmu merasa lebih baik."

Part 1, Scene +0.13

Luna membuka matanya.

Ia melihat seseorang yang berjalan dengan tergesa-gesa. Ia pria, berkacamata, dan memakai setelan jas sesopan siswa sekolah minggu. Di tangan kirinya, ada sebuah map berwarna kuning yang terisi dengan kertas yang dijejalkan sembarangan.

Keringat menetes setiap kali ia berjalan.

Ketika pria tersebut hilang dari pandangannya, Luna baru sadar dimana ia berada sekarang.

Sebuah desain taman futuristik. Ia melihat pepohonan bersanding rapi di tepi hamparan batu pualam yang memancarkan air mancur di tengahnya. Kicau burung terdengar indah. Ketika ia melihat ke atas, matahari mencoba mengintip malu dari sela-sela dedaunan pohon yang menauinginya.

Luna mencoba bangkit. Sebuah bangku taman, tempat ia tersadar dan membuka matanya. Rupanya, si dewa tua itu benar-benar menginginkan hiburan yang menarik darinya.

"Hmph! Bisa apa makhluk itu tanpa hiburan dariku?" katanya dengan bangga.

Ia mengingat dengan jelas, bagaimana Thurqk bertepuk tangan saat ia terjatuh dari sebuah gedung tua setinggi 24 lantai. Ia juga masih mengingat bagaimana aroma amis darah yang mengucur dari mulut dan hidungnya, sebelum ia tersadar dan berada di suatu tempat yang asing baginya. Cachana Vadhi, atau begitu yang dikatakan orang-orang yang senasib dengannya.

Ketika ia melihat jam tangannya, waktu telah menunjukkan pukul 09.13.

"Masih pagi ya…"

Dengan malas, Luna berdiri. Bangku taman itu punya nilai seni yang unik, sehingga ia agak malas untuk meninggalkan tempat ini. Akan tetapi, sang dewa punya kehendak sendiri, dan ia dipaksa untuk melakukan sesuatu yang telah bosan ia kerjakan sejak belasan tahun yang lalu.

Luna memandang sekelilingnya. Selain taman, tempat ini rupanya juga dipenuhi dengan gedung-gedung tinggi, juga dengan desain futuristik. Salah satu diantaranya benar-benar mencolong, sehingga orang-orang akan menyangka bahwa penduduk tempat ini sedang berusaha membuat tangga untuk mencapai laingit.

Sinar matahari segera menyambut Luna segera setelah ia meninggalkan bayangan pohon. Ia memicingkan matanya.

"Karena itu, aku tak suka matahari," katanya dalam hati. Terbiasa bangun di malam hari dan belajar di dalam gedung selama siang hari membuat matanya terlalu sensitif dengan cahaya terang.

Part 1, Scene +0.25

Di suatu pojok sebuah gang, seseorang berwarna biru rupanya sedang mengamati hiburan yang menarik. Anak-anak yang membawa pedang dan mengayunkannya satu sama lain.

"Mati kau!"

Tentu saja tidak ada yang mati. Pedang itu hanya terbuat dari plastik murahan. Seseorang seperti dirinya pasti langsung bisa mengetahuinya, walaupun kilau yang memancar dari pedang itu sangat mirip seperti aslinya.

Namun, Emils tidak tertarik dengan pedang itu. Ia lebih tertarik dengan gerakan para bocah ingusan itu. Salah seorang diantaranya tampak canggung memegang sebuah pedang yang memiliki desain yang aneh.

"Kau harus memegangnya seperti ini."

Emils memperbaiki posisi tangan anak tersebut. Akan tetapi, Emils agak kesulitan juga memperbaikinya, karena anak tersebut memiliki tangan yang kecil. Setelah beberapa lama, pedang itu akhirnya tergenggam sempurna di tangannya.

"Ah.. keren…" ujar anak itu sambil mengayunkan pedangnya.

"Hohoho… siapa dulu… aku Emils, sang swordman revolusionis!"

Anak-anak itu hanya melongo saat Emils memperkenalkan dirinya. Lalu mereka kembali bermain pedang.

Emils merasa jengkel. Kemudian, ia bertanya kepada salah seorang anak yang paling tua yang ada di sana.

"Apa kalian tidak merasa aneh dengan keberadaanku?"

Anak itu hanya menggelengkan kepalanya.

"Ada orang yang jauh lebih aneh dari kakak. Seperti pelangi, tapi hanya punya warna biru dan merah."

"Itu bukan pelangi!" ujar Emils sambil menggaruk kepalanya. "Jadi, apa yang dilakukan orang itu?"

"Tidak tahu. Dia cuma bertanya sesuatu yang tidak kami mengerti, lalu ngeluyur pergi. Sama sekali tidak sopan."

Emils terdiam.

"Dasar, sudah tiga kali kita bertemu orang aneh. Dalam hari ini saja," ujar seorang anak menimpali.

"Tiga?"

"Iya. Kakak, lalu orang yang seperti pelangi itu, lalu seorang kakak perempuan."

"Perempuan?"

"Iya. Dia menanyakan tempat membeli peluru untuk senapannya. Mana kami tahu. Lalu, adikku ketakutan dan tak berani keluar dari pipa itu," kata seorang anak sambil menunjuk pada pipa gorong-gorong.

Emils kembali terdiam. Lalu, tanpa mengucapkan apa-apa, ia meninggalkan tempat itu. Ia tak mempedulikan anak-anak yang kembali bermain pedang tanpa mengacuhkannya. Satu hal yang ia ketahui: ia sudah terlambat.

Part 1, Scene + 0.42

Seorang pria, dengan mata berwarna biru gelap dan setelan kemeja yang rapi, memandang panorama pulau dari sebuah gedung yang cukup tinggi.

"Hooaarrgghh…."

Ravelt, pria itu, hanya duduk bermalas-malasan sambil menikmati pemandangan pulau yang jauh dari kesan kuno dan ketinggalan zaman. Kemanapun ia memandang, yang dilihatnya hanya pepohonan rindang yang tumbuh asri bersama arsitektur tinggi berdesain futuristik.

"Sungguh indah…"

Tentu saja. Pulau ini—Ryax—tidak diciptakan dengan asal-asalan. Sejak ia menginjakkan kaki pertama kali di pulau ini, ia sudah merasakan adanya campur tangan kekuatan mistis di tiap sudutnya. Jika dibandingkan dengan tempat asalnya sekalipun, tempat ini jauh berbeda.

Ravelt menjentikkan jarinya. Dalam sekejap, sebuah dimensi lain dengan warna keemasan muncul di sampingnya. Ia menarik sesuatu dari dalamnya.

Payung.

"Panas sekali…" ujarnya sambil mengipas-ngipas badannya. Kali ini, ia mengambil sebuah kipas dan minuman segar yang dibuat khusus untuk para dewa. Konon kabarnya, minuman berbahan dasar gula merah dan buah raja itu dibuat dari resep istimewa yang hanya diketahui segelintir orang dari dunia yang tak pernah ia ketahui sebelumnya.

Es cendol durian.

Dengan satu jentikan jari lagi, dimensi itu segera menghilang.

"Hei, Thurqk! Bisakah kau ciptakan hujan atau musim dingin di tempat ini? Panas seperti neraka! Di tempatku saja, musim panasnya tidak sepanas ini!" umpatnya sambil mengipas-ngipasi tubuhnya.

Tak ada yang menjawab.

"Tentu saja," ujarnya sambil menghela napas. "Aku datang kesini untuk bertarung, bukan untuk memandang pulau atau minum es."

Ia memasukkan benda-benda itu lagi ke dalam dimensi berwarna keemasan.

"Sayang sekali, aku harus bertarung di tempat yang indah seperti ini. Jika aku mengeluarkan kemampuanku, tempat ini pasti akan hancur lebur. Tidak ada lagi yang bisa kumasukkan dalam koleksiku."

Ravelt menghentakkan kakinya. Dimensi emas itu muncul kembali, tetapi kali ini, dimensi itu terbuka lebar di belakang tubuhnya.

"Kita mulai dari mana, ya… hm… itu saja."

Ravelt menarik sebuah busur keemasan dari dimensi itu. Lalu, dengan perlahan, ia mengambil sebuah anak panah—yang juga berwarna keemasan, menarik talinya, dan mulai membidik seseorang yang tampak terdiam dari kejauhan.

"Mati kau!"

Part 1, Scene +1.18

Sesekali, suara bisikan terdengar dari mulut orang-orang yang berkumpul di tepi sebuah taman bunga yang dibuka khusus untuk umum.

"Siapa dia?"

Orang-orang itu masih terus berbisik-bisik hingga sosok yang dimaksud berteriak sekuat tenaga.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Sosok yang lain—seorang viridian berwarna hijau—hanya duduk di sana, beralaskan rerumputan yang tumbuh hijau di sekitarnya.

"Aku hanya menanam bibit bunga agar pulau ini selalu sejuk dan indah. Dan apa yang kau lakukan di sini?"

Nema—viridian tersebut—memandang sosok tersebut dengan tatapan sayu tapi mengancam. Ia mengelus-elus lembut salah satu bunga mawar yang tumbuh di sampingnya.

"Aku? Aku hanya—"

"Setelah kupikir-pikir, aku tak butuh jawaban dari manusia norak sepertimu."

Mendengar ucapan tersebut, Stella langsung naik pitam. Dandanannya memang tak lazim bagi orang-orang kebanyakan, tetapi tak ada yang pernah memprotesnya karena terganggu.

Dan kini, seseorang yang berpakaian sama anehnya dengan dirinya memanggil dirinya norak?

"Ngaca dulu pakaianmu, orang hutan kampungan."

"Ho… orang hutan kampungan ya… setidaknya aku memakai baju dengan pola normal. Oh, mungkin rambutku tidak—karena rambutku ini spesial. Dan benda apa yang ada di atas kepalamu itu? Rambut? Muntahan anjing?" kata sang viridian sinis sambil menunjuk ke arah kepala Stella.

Darah Stella seakan mendidih mendengar penghinaan seperti itu. Belum sempat ia membalas, si viridian telah menyerangnya dengan kata-kata baru.

"Maskermu bagus sekali. Apakah kau terkena flu setelah menghirup serbuk sari di taman ini?"

"Tutup mulutmu, orang hutan!"

Kali ini, sang viridian menatapnya serius.

"Dari tadi kau memanggilku dengan sebutan 'orang hutan'. Sepertinya otak bodohmu tak sanggup untuk menanyakan siapa nama lawan bicaramu. Baik, karena kau bodoh, maka aku akan memperkenalkan diri."

Stella menggertakkan giginya.

"Namaku Nemaphila. Atau Nema. Dan jangan salah. Aku bisa membunuhmu saat ini juga. Tetapi…"

Nema menghela napasnya sembari memalingkan pandangannya dari hadapan Stella.

"Karena kau hanya tong kosong yang bersuara nyaring, aku tak jadi membunuhmu. Kukira orang kota seperti-mu lebih punya martabat untuk menjaga kata-katanya. Atau aku salah, wanita norak?"

Ingin sekali Stella menghantamkan satu pukulan ke wajahnya, tetapi instingnya berkata lain. Sepanjang perjalanannya ke tempat ini, ia memang merasakan suatu keanehan. Namun, ia sendiri tak mampu mengucapkannya dengan kata-kata.

Part 1.5, Scene +0.38

Luna masih mengamati koleksi senjata yang ada di dalam sebuah kompleks pertokoan.

"Paman, aku ambil yang ini!" teriaknya kepada petugas yang ada di sana.

"Baiklah."

Petugas itu mengambil satu set peluru yang berbeda untuk senapan sniper-nya, AMW-F yang telah dimodifikasi. Luna membuka kotak tersebut dan mengamati beberapa buah peluru dengan warna-warna yang berbeda.

"Ini peluru khusus. Kau tidak akan bisa menemukan model seperti ini di tempat lain. Ada 10 butir, masing-masing untuk tiap warna. Total ada 60 butir. Bagaimana? Keren bukan?"

Luna masih terus mengamati peluru tersebut.

"Siapa yang membuatnya?"

"Rahasia. Ini tradisi warisan keluarga kami. Jika kau menggunakan peluru buatan kami dengan bijak, mungkin saja kau bisa menaklukkan Tuhan, hahaha…"

Luna hanya memandang orang tersebut dengan tatapan tajam.

"Berapa semua ini?"

"Kau tidak perlu membayar. Lagipula, kulihat engkau hanyalah seorang gadis biasa yang tidak punya apa-apa. Penghasilanku sebulan jauh dari cukup untuk membuat ratusan replika senapan yang ada di punggungmu. Hahaha…"

Kali ini, Luna benar-benar jengkel.

"Baik, terserah Paman saja. Oh iya. Boleh aku minta satu set peluru biasa untuk senapan ini?"

"Tentu saja, gadis manis. Ada di pojok sana. Kau bisa ambil berapa saja yang kamu mau."

"Terima kasih," ujarnya sambil berlalu. Ia mengambil tiga kotak peluru yang sudah berdebu. Dari penampakan luarnya saja, tampak jelas bahwa tidak ada orang yang ingin memakai peluru itu. Rupanya, petugas tadi tidak berbohong.

Senapan ini sangat kuno jika dibandingkan dengan teknologi yang ada di pulau ini.

Luna meninggalkan toko itu tanpa mengucapkan terima kasih. Lalu, ia membuang satu set peluru warna-warni itu ke dalam sebuah tong sampah tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Aku tak butuh."

Tidak sopan, memang. Terlebih jika itu diberikan kepadanya dengan cuma-cuma. Namun, ada yang lebih mengganggu pikirannya sejak pertama kali ia terbangun dan sadar di pulau ini.

Sesuatu yang tak asing, tetapi sulit dijelaskannya dengan kata-kata.

Unknown Part, Scene 2.0

"Kau yakin tak ingin meninggalkan benda itu di ruangan saja?"

Nolan memandang senapan sniper AMW-F seri terbaru yang dipeluk erat oleh Luna. Agak lucu juga, mengingat Luna hanya lebih tinggi sekitar 30 cm dari senapan mematikan itu. Akan tetapi, Nolan menahan rasa gelinya.

Ia mengajak Luna menyusuri koridor yang seluruh bagiannya dicat dengan warna putih.

"Sebenarnya, tempat apa ini?"

"Hm… entahlah," jawab Nolan yang juga tak yakin. "Yang jelas, saat Hyvt yang menjemputmu datang kembali, tubuhmu sudah berada dalam kondisi kritis. Lalu, Thurqk datang dan memaksaku untuk membawamu ke ruangan ini."

"Selanjutnya?" tanya Luna dengan penuh curiga. Ia kembali mendekapkan tangannya—kali ini juga dengan senapannya—erat-erat.

"Aku tidak tahu," kata Nolan sambil kembali menarik napas. "Para Hyvt itu menendang dan melemparku segera setelah aku mengantarkanmu ke ruangan tadi. Jika aku tidak salah, kau sudah tertidur selama dua hari sebelum aku menemukanmu sadar hari ini."

"Jadi, kau tidak tahu apa-apa?"

"Tentu saja tidak," kata Nolan setengah kesal. Sebagai calon karyawan sebuah bank syariah, menjadi pedofil adalah hal buruk terakhir yang tidak ingin ia dicantumkan dalam lamaran CV-nya.

"Kalau begitu, tidak apa-apa." Luna mulai melonggarkan dekapannya.

"Huff…"

Mereka berdua terus berjalan hingga sampai di sebuah ruangan yang penuh dengan meja bundar berwarna putih.

Part 2, Scene +3.13

"Revolusi tak akan pernah selesai!"

Suara itu bergema si seluruh penjuru pulau. Tak mungkin ada makhluk hidup yang bisa mengabaikan panggilan tersebut.

Emils melepas speaker yang dipegangnya. Lalu, ia memilih turun ke bawah.

Ketika ia membuka pintu, hal pertama yang ia hadapi adalah seseorang yang memiliki mata berwarna karamel dengan jubah berwarna putih.

Dengan refleks, Emils langsung melompat ke belakang. Sebuah pisau melayang dan hampir saja mengenai kepalanya.

"Tak kusangka, orang bodoh itu bisa bertarung juga rupanya."

Stallza kembali menggenggam sebuah pisau sembari menunggu Emils bersiap untuk menyerangnya.

Emils masih berdiri di dalam gedung dalam posisi kuda-kudanya.

Dalam satu gerakan cepat, Emils menerjang maju ke arah Stallza. Nama yang disebut terakhir tetap diam hingga ia melemparkan pisau itu dengan presisi yang mengagumkan.

"Extracto!"

Pisau itu melayang, membentuk garis imajiner yang hanya bisa dilihat dalam pandangan Stallza. Kemudian, dengan kecepatan yang luar biasa, ia membaca pola pergerakan Emils dalam dimensinya—ia telah membekukan waktu selama tiga detik, cukup untuk menganalisis kelemahan serangannya.

Stallza menutup matanya. Lalu, ia menghindar ke arah kiri.

Pedang Emils menghantam tembok dan membuatnya hancur berkeping-keping.

"Dasar, kalau tahu seperti ini, aku tak harus menggunakan pisau lemparku yang berharga."
Emils segera memperbaiki posisi kuda-kudanya. Kemudian, ia kembali mengayunkan pedangnya ke arah Stallza. Berkali-kali.

Namun, hingga Emils kelelahan, tak ada satu pun serangannya yang bisa mengenai Stallza.

"Seranganmu payah. Kau hanya menyerang dengan pola yang mudah tertebak. Kiri, kanan, kanan, kiri, kanan. Selalu berganti seperti itu. Dan kau dengan bangganya mengaku sebagai seorang 'revolusionis' di hadapanku, Spiritia Master ini? Dasar!"

Stallza menendang serpihan batu yang ada di dekatnya ke kepala Emils.

"Aku bahkan belum mengeluarkan sebuah kristal sekalipun. Hahaha…"

Emils masih terdiam.

"Baik, sebagai hadiah, akan kuperlihatkan sebuah kristal. Berbahagialah, tak semua orang bisa menyaksikan kristal ini sebelum mati!"

Stallza mengeluarkan sebuah kristal berwarna merah. Akan tetapi, belum genap Stallza mengeluarkan benda itu, Emils melemparkan sedikit cairan yang ada di tubuhnya ke arah Stallza. Tempat itu menjadi basah seketika.

"Apa yang kau—!"

Tempat itu seketika berubah menjadi bekuan air. Stallza masih belum menyadari semua itu hingga Emils telah berada di sampingnya. Lalu, dengan sebuah gerakan cepat, kristal itu melayang dan hancur ditebas pedang Emils.

Bekuan air di sana telah mencair kembali. Stallza, yang menyaksikan sendiri bagaimana kristalnya telah dihancurkan, masih tak percaya dengan semua itu.

"Beraninya kau membunuh Iodesa…"

Stallza kembali mengeluarkan sebuah kristal dari dalam tasnya.

"Mati kau, keparat!"

Kristal itu mengeluarkan cahaya terang. Lalu, sesosok wanita berambut merah muncul di hadapan Emils. Tangannya memegang sebuah palu berwarna hitam.

"Namaku Ferra. Salam kenal…" ujarnya sambil tersenyum.

Emils menghindar. Pukulan palu Ferra meninggalkan jejak cekungan yang sangat besar di tanah. Dalam sekejap, tempat itu segera dipenuhi oleh kepulan debu.

Emils kini telah berada di luar gedung. Orang-orang yang tak mengerti apa-apa segera berhamburan menyelamatkan dirinya.

"Lihat, apa yang kau lakukan! Kau membuat penduduk pulau ini takut, manusia kristal."

"Aku tak butuh komentarmu, jeli payah."

Seorang wanita lain kini berdiri di belakangnya, melingkarkan sebuah pisau lengkung di lehernya.

"Namaku Koboldia."

Pisau itu segera menebas leher Emils. Cairan itu pecah dan membasahi tubuh Koboldia. Lalu, bagian tubuh Emils yang tersisa segera bergerak mundur, menyatu dengan pecahannya yang kini membentuk struktur jeli yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Stallza, yang telah kembali ke medan pertempuran, menyaksikan pemandangan itu dengan matanya sendiri.

"Jadi, itu kemampuanmu yang sebenarnya?"

Kini, Emils menatap Stallza dengan tatapan penuh kebencian.

Part 2, Unknown Scene

Dari puncak sebuah gedung, Ravelt memantau pertarungan itu.

"Hm… siapa yang kau pikir akan memenangkan pertempuran ini, gadis cilik?"

Tentu saja. Tak ada gadis cilik lain yang dimaksudnya selain Luna. Orang yang telah menghancurkan anak panah emas yang meluncur ke arahnya. Bukan ketika panah itu telah mendarat, tetapi ketika panah itu masih berada di udara, beradu dengan peluru yang dimuntahkan dari senapannya.

Sejak saat itu, tak ada lagi peluru atau anak panah yang meluncur. Satu-satunya peluru yang meluncur adalah sebuah flare berwarna putih yang ditembakkan beberapa saat setelah Ravelt mencoba membidik Luna.

"Gencatan senjata. Elegan juga."

Di sisi lain, Luna juga terus mengamati pertempuran itu melalui teleskop senapannya. Teleskop yang telah dimodifikasi itu kini dapat memantau dengan resolusi yang lebih tinggi, walaupun jarak tembaknya sama saja: maksimal 1500 meter.

Pilihan Luna untuk mempertahankan status quo dengan Ravelt rupanya tepat. Orang itu masih mengamati pertempuran dari jauh, diam saja di sana. Salah satu prinsip dasar dalam seni membunuh adalah, kenali seluk beluk lawanmu sebelum menyarangkan peluru di wajahnya.

Luna tersenyum. Namun, ia masih butuh beberapa kepastian lagi.

Saat kembali mengamati pertempuran itu, ia dikejutkan oleh sebuah suara yang sangat asing baginya.

"Ketemu juga!"

Seorang anak perempuan dengan rambut karamel berdiri di hadapannya.

Part 2, Scene +3.35

Seperti halnya seorang revolusionis, tak ada yang mampu meruntuhkan semangat Emils, bahkan jika ia harus bertarung melawan dua spiritia sekaligus.

"Mau kemana kau, jeli payah? Sombong sekali kau di hadapan tuanku," teriak Ferra sambil terus mengayunkan palunya ke arah Emils.

Ketika Ferra mengayunkan palunya, dengan segera Koboldia berlari mengejar Emils yang berusaha menghindar. Pisau lengkungnya hampir selalu mengenai tubuh Emils yang tersusun dari cairan, tetapi itu semua tidak cukup untuk membunuhnya.

Setiap cairan yang terlepas dari tubuh Emils segera berkumpul kembali setelah disentuh kembali olehnya. Karena itu, pertarungan ini tidak akan menghasilkan apa-apa. Siapa yang pertama kali kelelahan dan membuat kesalahan, dialah yang akan kalah.

"Jika seperti itu, akulah pemenangnya," ujar Stallza dalam hati.

Kali ini, ia mengeluarkan satu kristal spiritia berwarna biru. Kemudian, sesosok ubur-ubur muncul di hadapannya.

"Helia, mode spiritialis!" ujarnya pelan.

Dalam sekejap, ubur-ubur itu menghilang. Kaki Stallza pun perlahan terlepas dari gravitasi dan melayang-layang di atas tanah.

Ferra dan Koboldia masih terus memojokkan Emils dalam pertarungan. Emils, yang kian terdesak karena tebasan Koboldia tidak sebanding dengan laju regenerasinya—Emils harus mengumpulkan kembali cairannya yang berceceran di tanah—mau tak mau harus memikirkan cara lain.

Emils memilih kabur ke arah taman. Di sana, pasti ada benda yang mampu menyelamatkan hidupnya.

Part 2, Scene +3.43

Stallza melayang di antara gedung-gedung. Bagi penduduk Ryax yang sudah biasa dengan teknologi canggih, pemandangan tersebut sudah menjadi hal yang biasa. Namun, yang jadi perhatian mereka adalah sebuah jeli berwarna biru yang diburu dua perempuan manis dengan senjata yang mematikan.

"Kau tidak akan bisa lari dariku, slime!"

Sekali lagi, Stallza mengeluarkan sebuah kristal dari dalam tasnya. Kali ini, kristal itu berwarna bening berkilau seperti intan.

"Silic!"

Sesosok anak perempuan melayang-layang di atas sebelum mendarat pelan di atas tanah. Silic, spiritia itu, berjalan pelan ke arah Ferra dan Koboldia.

"Kalian."

Mereka menatap Silic dengan heran.

"Biar aku yang menyelesaikan semua ini."

Ferra dan Koboldia paham. Mereka memilih mundur. Emils, sang buruan mereka, telah berada di tengah taman. Tak ada siapa-siapa di sana selain mereka.

Emils memilih mendekat pada air mancur yang ada di sana. Silic mengangkat tangannya. Segera saja, satu buah petir menghantam tubuh Emils tanpa ampun.

Tempat itu meledak seketika. Seperti halnya sebuah pertempuran, tempat itu kembali dipenuhi oleh debu dan pecahan ornament-ornamen hiasan taman. Percikan air membasahi tempat itu.

Namun, Emils masih berdiri tegak di sana. Petir itu seakan tak memberi efek baginya.

Silic kembali menjatuhkan petir ke arah Emils. Setelah tiga kali, Silic dan Stallza paham, petir yang dihantamkan langsung tak mempan baginya.

Kali ini, giliran Emils yang menyerang. Satu tebasan mengarah kepada Silic.

"Dalam mimpimu," kata Silic dengan penuh senyum.

Kali ini, Silic mengeluarkan aliran listrik dari seluruh tubuhnya. Tebasan pedang itu melambat perlahan dan dengan mudah dihindari olehnya.

Stallza kemudian turun ke tanah. Air berceceran saat ia menginjakkan kakinya di sana.

"Seperti yang kuamati, tubuhmu memang tidak terkena dampak dari serangan listrik. Akan tetapi, tetap saja kau tidak mampu menahan efek paralisis dari alirannya. Lihat tubuhmu. Tak bisa bergerak sama sekali."

Stallza kini telah berdiri di samping Silic. Ferra dan Koboldia mengacungkan kedua senjatanya ke arah Emils.

"Ada kata-kata terakhir, tuan jeli?" kata Ferra sambil memainkan tubuh Emils yang mulai beku dan mendingin.

"Beku?"

Stallza segera kembali melayang ke udara. Ferra dan Koboldia secara refleks melompat ke belakang. Sialnya, Silic tidak mampu menghindar dari bekuan es itu.

Seluruh genangan air yang ada di sana telah membeku, menyisakan Silic yang terperangkap dalam jebakan Emils.

"Sayang sekali, aku tak bisa menangkap majikanmu, Nona. Tapi tak masalah, toh aku akan membunuh kalian semua saat ini, cepat atau lambat."

Silic mencoba meronta, tetapi tak bisa. Es yang ada di tanah mencengkeram erat kakinya. Tak ada yang bisa digunakannya untuk menyelamatkan diri. Bahkan, sihir petirnya pun hanya akan membuat gerakan Emils menjadi lambat.

"Lepaskan spiritiaku," ujar Stallza pelan.

"Sombong sekali! Apakah kau tahu sedang berbicara dengan siapa? Emils, sang revolusionis! Aku orang yang akan meruntuhkan kekuasaan manusia yang sewenang-wenang! Aku akan mengumpulkan sekutu dan menghancurkan sebuah bangsa barbar yang disebut 'manusia' itu!"

Stallza hanya terdiam. Lalu tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha… lucu sekali kawan, lucu sekali.." katanya sambil tertawa terpingkal-pingkal. "Sakit perutku mendengar leluconmu!"

Emils mengacungkan pedangnya ke arah Stallza yang masih melayang di angkasa.

"Beraninya kau memandangku dari atas langit. Turun! Dan hadapi aku dalam pertarungan yang adil!"

"Kau tahu, slime…" kata Stallza sambil berusaha menahan tawa, "makhluk sepertimu tak akan bisa melawan kami, para manusia. Para monster seperti-mu ada untuk dibasmi, dimusnahkan. Mengapa? Karena kalian hanya membawa kesengsaraan bagi manusia. Kalian menjarah, membunuh, menyebar teror kemana-mana. Dan sekarang, seekor slime yang paling rendah derajatnya dibanding monster manapun, berteriak di hadapanku dan mengatakan dirinya sebagai revolusionis?"

Raut wajah Emils berubah seketika.

"Lucu sekali! Hahaha…"

Dengan satu hentakan kuat, Emils melompat ke udara dan mengayunkan pedangnya sekuat tenaga ke arah Stallza. Dengan mudah, ia menghindari ayunan pedang tersebut.

"Lucky," kata Ferra yang telah melompat dan telah berada di samping Emils.

Kini, gantian Stallza yang memukul Emils dengan palunya. Emils menjerit dengan keras sebelum tubuhnya menghujam tanah dengan keras. Serpihan tubuhnya berceceran di seluruh penjuru taman akibat kuatnya hantaman palu.

Bekuan air yang mengikat Silic telah sepenuhnya mencair saat Stallza mendarat perlahan di sampingnya.

Di salah satu penjuru taman, tampak gumpalan jeli yang berusaha menyatukan tubuhnya yang tercerai berai. Namun, pukulan tadi telah banyak memutuskan ikatan cairan tubuh Emils.
Stallza melihat sebuah bola biru yang berwarna lebih gelap dari cairan yang ada di taman itu.

"Apakah itu bagian tubuhmu, slime?"

Serpihan badan Emils mencoba membentuk struktur yang tampak abstrak di hadapan Stallza.

"Tuan, tuan! Boleh aku membunuh monster jelek itu?" kata Koboldia riang. Ia ini telah berada di samping Stallza bersama Ferra, lengkap dengan pisau lengkungnya.

"Tunggu dulu," ujar Stallza. Ia mengambil sebuah pisau dan melemparnya ke arah bola biru itu.

Pisau itu melesat dan menyayat sedikit bagian dari bola tersebut. Dengan segera, cairan itu menjadi tidak stabil dan kembali menjadi gumpalan jeli yang tidak jelas bentuknya.

"Tentu saja, Koboldia. Dengan satu syarat."

"Apa itu, tuan?"

"Pastikan dia mati."

"Dengan senang hati, tuan."

Dengan riang, Koboldia berjalan ke arah Emils yang tak lagi berbentuk. Senyumnya mengembang, terlebih saat ia memegang pisau lengkungnya dan memainkannya di dekat inti bola biru yang menjadi sumber kekuatan Emils. Nama yang disebut terakhir mencoba berteriak.

"Trrlrrngrrr akkrrr"

Lalu, dengan satu gerakan cepat, sang spiritia menebas bola tersebut hingga hancur berkeping-keping.

Unknown Part, Scene 3.0

"Boleh aku bertanya satu hal kepadamu, Nolan?"

"Tentu saja."

"Mengapa seluruh tempat ini berwarna putih?"

Seekor(?) Hyvt datang. Dua buah ceret, masing-masing berisi kopi dan cokelat hangat, segera tersaji di hadapan mereka, lengkap dengan susu, bubuk kayu manis, gula, dan berbagai jenis bahan tambahan lainnya.

Nolan memilih mengisi cangkirnya dengan kopi sebelum menjawab pertanyaan Luna.

"Apakah kau tidak ingin meminum cokelatmu?"

Nolan melihat kerisihan Luna saat Hyvt tadi menuangkan secangkir cokelat kepadanya dengan asal-asalan.

Kemudian, ia mengangkat tangannya dan menjentikkan jarinya. Hyvt tadi langsung terdiam dan meninggalkan ruangan, diikuti dengan sumpah serapah yang tak dimengerti oleh mereka berdua.

"Bagaimana jika aku tuangkan cokelat ini hanya untukmu, nona manis?"

Luna hanya terdiam. Lalu, Nolan menuangkan sedikit cokelat dan menambahkan banyak susu ke dalam cangkir itu. Saat Nolan menyodorkan cangkir itu kepada Luna, ia terkejut.

"Ada apa dengan cokelat ini?"

"Tidak apa-apa. Aku hanya menambahkan sedikit susu ke dalam cangkirnya."

"Kalau begitu, ini bukan lagi cokelat. Tetapi susu. Susu cokelat."

"Apa kau tidak ingin meminumnya?"

Luna merasa dipermainkan oleh Nolan. Lalu, tanpa basa-basi, ia meneguk isi cangkir itu sampai habis, tak bersisa.

Part 3, Scene +1.22

Stella memandang Nema yang masih menabur bunga tanpa memperhatikannya sedikitpun.

"Ho… jadi ini yang dikerjakan orang hutan sepertimu?"

Nema tidak mengacuhkannya.

Sebuah batu melayang dan mendarat di kepala Nema.

"Lihat wajah lawan bicaramu jika ia sedang berbicara! Tatap mataku, sang penguasa sihir kuno Alexis! Mana kau tahu soal ini, orang hutan?" kata Stella sambil melontarkan umpatan kasar.

Nema tidak membalas provokasi Stella, hanya membersihkan rambutnya yang terdiri atas sulur-sulur ungu dari butiran debu.

Stella semakin emosi melihat Nema yang mengabaikannya.

"Awas kau—!"

Nema memegang sulur yang ada di rambutnya dan mengambil segenggam butiran benih berwarna kebiruan. Lalu, ia melemparkannya dengan pelan ke arah Stella yang mencoba mendekatinya.

Butiran benih itu mengenai kaki Stella. Perlahan tapi pasti, benih itu segera tumbuh menjadi bunga-bunga mungil berwarna biru yang sangat elok untuk dipandang.

"Aaarrgghh!"

Stella menjerit. Saat benih itu tumbuh, ia menghujamkan akarnya hingga menembus tulang-tulang Stella. Kemudian, kaki itu perlahan berubah warna menjadi kecokelatan, rapuh tertiup angin.

Ketika benih itu mekar seluruhnya, angin bertiup pelan, menerbangkan bunga-bunga yang ada di sana. Tak ada yang tersisa, termasuk kaki kanan Stella yang berubah menjadi butiran tanah dan ikut terbang ditiup angin.

"Apa yang kau lakukan pada kakiku?"

"Tidak ada, makhluk keparat," ujar Nema sambil berjalan mendekatinya. Lalu, ia memeluk Stella dan melingkarkan tangannya di lehernya.

"Oh, siapa yang baru saja berbicara kepadaku? Seorang wanita dengan pakaian yang norak?"

"Berisik!" teriak Stella.

"Oh, kasar sekali cara bicaramu, nona," ujar Nema sambil berpura-pura terkejut. "Aku tak tahu, bagaimana ibumu mengajarkanmu bicara. Apakah kau keturunan pelacur? Anak haram, mungkin?"

Stella menghantam tubuh Nema dengan sikunya. Tak ada suara yang keluar dari mulut sang viridian. Justru, ia melingkarkan tangannya lebih erat lagi di leher Stella.

"Setahuku, tak ada keturunan pelacur yang dapat bersikap sopan bila berbicara kepada seseorang," kata Nema sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Stella.

"Aku jadi menyukaimu."

Nema kembali mengambil serbukan benih dari rambut sulurnya dan menjejalkannya ke mulut Stella. Terdengar rintihan dari orang itu, tetapi tidak diindahkan Nema.

"Tenang saja, itu hanya bunga dandelion. Tak berbahaya. Hanya saja, bunga itu akan menyerap banyak energimu. Terima kasih, sayang."

Bunga dandelion itu mekar, diikuti dengan Stella yang jatuh ketika bunga itu terbang ditiup angin.

Nema kembali menaburkan serbuk benih berwarna biru di tangan Stella.

Segera saja, Stella menggunakan kedua tangannya untuk bangkit dan menghindar sebelum benih itu kembali menempel di tubuhnya. Namun, ia tak berhasil menghindari benih tersebut dengan sempurna.

Benih itu menempel di kedua telapak tangannya. Stella menjerit ketika benih itu tumbuh di tangan kanannya menjadi bunga-bunga berwarna biru.

Nema mengamati Stella yang kehilangan tangan kanannya dengan tatapan yang tajam.

"Mengapa tangan kirinya tidak terkena efek Baby Blue-ku?"

Saat itu juga, Nema menyadari apa yang terjadi. Tak mungkin ada bibit bunga yang bisa tumbuh di dalam api. Dan kemungkinan, tangan kiri wanita itu memiliki sesuatu yang ada hubungannya dengan api.

"Pengendalian sihir?"

Sadar dengan kemampuan lawannya, Nema pun berteriak.

"Kali ini, akan kuampuni kau! Silahkan pergi dari taman ini, atau akan kusebarkan bibit tanamanku hingga tak ada yang bersisa darimu!"

Stella, yang tak menyadari potensi kemampuannya, menatap sang viridian dengan penuh kebencian. Lalu, dengan segenap kekuatannya yang masih tersisa, ia beringsut seperti belatung, meninggalkan taman tersebut.

Setelah dirasa cukup jauh, Nema kembali berbaring di bawah sebuah pohon rindang. Sinar matahari mencoba mengintip dari sela-sela dedaunan yang tumbuh rimbun di atasnya.

Saat Nema mencoba menutup matanya, ia mendengar sebuah suara yang tak dikenalnya.

"Selamat, telah memenangkan pertempuran ini."

Nema memandang seseorang yang kini telah berada di depannya. Ia memakai pakaian berbahan dasar putih dengan jubah berwarna hitam.

"Siapa kau?"

"Itu tidak penting. Terima ini."

Nema memandang sebuah patung malaikat kematian yang dipegang oleh sosok itu.

"Ini hadiah?"

"Benar sekali. Karena Anda telah memenangkan pertempuran ini."

Nema masih memandang patung itu dengan penuh kecurigaan. Sangat aneh jika sebuah patung malaikat dibuat dari logam. Dari penampilan luarnya saja, tampak jelas bahwa logam itu digunakan dalam pertempuran militer, bukan untuk kerajinan atau seni yang dibuat orang-orang biasa.

Lagipula, mengapa harus patung malaikat kematian yang diberikan?

"Mata merahmu sama sekali tidak meyakinkanku."

"Oh, maaf karena saya memiliki mata berwarna merah. Akan tetapi, percayalah. Ini dihadiahkan khusus pada petarung paling pemberani di pulau ini. Lambang malaikat kematian ini adalah sebagai tanda bahwa Anda mampu melewati ancaman entitas yang paling ditakuti seluruh makhluk, kematian."

Ketika mendengar itu, Nema memutuskan menerima patung itu dengan wajah berseri-seri.

***

"Tuan, tuan! Lihat ini!"

Koboldia memandang ruangan itu dengan tatapan berseri-seri. Ukiran keemasan di seluruh dinding berpadu indah dengan berbagai ornamen berlian yang ada di dalam ruangan. Keramik-keramik antik menghiasi seluruh sudut ruangan. Tak lupa, pilar-pilar zamrud berdiri kokoh di tengah ruangan.

"Ini hadiah atas kemenangan kita!" teriak  Ferra.

Silic hanya diam saat Stallza mencoba duduk di singgasana megah.

"Rupanya anak itu benar-benar tak berbohong. Lihat semua ini. Kita telah mengalahkan seseorang yang dengan sombongnya menganggap dirinya paling hebat. Sekarang, kita menjadi raja! Penguasa pulau ini!"

"Terima kasih, wahai sang penyampai pesan!" puji Ferra dan Koboldia, merujuk pada seseorang yang menyarankan untuk membunuh Emils dan memberinya akses ke gedung ini.

Stallza sibuk makan-makan di depan singgasananya sambil menggoda Ferra dan Koboldia yang saling berebut potongan paha anak domba.

Silic masih terus terdiam. Ingin ia mengutarakan sesuatu kepada Stallza, tetapi ia masih terlalu sibuk dengan kemenangannya sebagai raja.

Tak lama kemudian, Silic melihat sebuah cahaya merah bersinar terang, menyilaukan kedua matanya.

***

"Sekali lagi, saya ucapkan selamat kepada Anda. Kotak ini melambangkan supremasi terhadap lawan-lawan Anda."

Sosok itu membalikkan badannya. Ketika ia akan meninggalkan tempat itu, Nema memanggilnya kembali.

"Tunggu dulu!"

Sosok itu membalikkan badannya.

"Tidak sopan rasanya jika aku, orang yang terpilih, tidak mengenal seseorang yang memberikan penghargaan kepadaku."

Sosok itu hanya tersenyum.

"Saya hanya sosok yang dilupakan. Akan tetapi, jika Anda bersikukuh, mungkin Anda bisa memanggil saya dengan nama Aracellia."

"Aracellia. Baiklah. Sampai jumpa!"

Nema terus menyaksikan sosok berjubah hitam meninggalkannya hingga ia tak bisa menyaksikannya lagi.

Dari kejauhan, sosok itu mengangkat sebuah telepon selular yang telah lama diabaikannya.

"Bagaimana dengan benda itu?" tanya seseorang yang ada di ujung telepon.

"Sempurna. Bahkan ia sama sekali tidak menyangka akan mendapat penghargaan," jawab sosok itu.

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"

"Tidak tahu."

"Apa? Walaupun dua peserta lain telah berada di dalam genggamanmu?"

"Benar—eh, kau salah. Tiga. Bukannya yang satu lagi telah mati?"

"Ha? Sejak kapan? Bukannya hanya dua orang?" tanya sosok yang ada di balik telepon dan kini terkaget-kaget sendiri.

"Oh iya. Aku lupa, karena aku belum bertemu denganmu saat itu. Singkatnya, aku bertemu dengan sebuah jeli yang bisa berjalan dan berbicara. Awalnya ia ingin membunuhku, tetapi ketika aku menanyakan alasannya, ia justru bercerita panjang lebar soal dirinya. Dia terus saja berbicara kepadaku dengan sombong soal pemberontakan dan kebanggaan soal revolusi."

"Lalu?"

"Aku dengarkan saja. Jujur, itu membuat kepalaku muak. Apalagi setelah itu, aku bertemu dengan si pria harem yang gemar memakai bersorban."

"Lalu, kau apakan jeli itu?"

"Aku biarkan saja. Bukan urusanku. Sampai aku bertemu denganmu."

"Mengapa?"

"Kemampuanmu untuk merealisasikan sesuatu itu bukan omong kosong. Itu luar biasa. dengan itu, aku bisa memikirkan strategi untuk membunuh orang-orang itu tanpa perlu repot-repot bertarung seperti dulu."

"Hehehe…" jawab sosok di balik tersebut dengan tersipu-sipu. Saat ini, mungkin saja ia sedang memegang pipinya yang memerah sambil berguling-guling di atas lantai.

"Jadi, apa yang kamu lakukan dengan jeli itu setelah bertemu denganku? Aku belum dengar."

"Gampang saja. Aku mengejar pria harem bersorban dan menawarkan dia untuk membunuh si monster jeli. Rupanya, pikirannya sama sempitnya dengan jeli itu. Bahkan, harem-haremnya justru lebih tolol lagi. Mudah saja mereka terjebak dalam rencanaku," dengus anak tersebut dengan bangga.

"Teruskan."

"Baik. Aku kemudian mengejar si monster jeli dan menyuruhnya mengobarkan idenya tentang revolusi konyol itu di sebuah menara pemancar. Aku sudah memberi tahu si pria bersorban tentang jeli tersebut dan menyuruhnya stand-by di dekat sana. Untung saja pulau ini punya teknologi canggih. Aku bisa mengejar si monster jeli dan pria bersorban tanpa kesulitan berarti. Juga menyusun jebakan di kamar itu. Ya sudah, dan kamu sendiri lihat hasilnya bukan?"

Sosok yang ada di balik telepon hanya terdiam.

"Tetapi, mengapa kamu yakin bahwa orang itu bisa menghabisi si monster jeli?"

"Tong kosong akan selalu berbunyi nyaring, tak peduli sekuat apapun. Kamu juga lihat sendiri bagaimana wanita bunga itu menghabisi si wanita norak?"

Sosok yang ada di balik telepon kembali terdiam.

"Slime seperti dirinya tak ada bandingannya dengan manusia. Apalagi dengan pembunuh terlatih sepertiku."

Kali ini, giliran anak tersebut yang terdiam.

"Ada apa?"

"Oh, tidak apa-apa. Aku memang punya rencana, punya strategi, dan aku yakin strategiku bisa membuat kita menang," ujar anak tersebut sambil menghela napas. "Sebenarnya, ada satu hal yang mengganjal pikiranku."

"Apa itu?"

Sosok tersebut terdiam begitu lama.

"Ah, bukan saatnya. Masih ada urusan yang harus kuselesaikan. Yang jelas, bagaimana jika kita melihat dua hiburan yang menarik? Sudahkah kau siap dengan singgasana kehormatanmu, tuan putri? Kemampuanmu tentu bukan sekadar omong kosong. Aku jadi saksinya—bisa menyaksikan kekuatan itu dengan mataku sendiri," jawab sosok tersebut.

"Hohoho… tenang saja. Aku sudah menentukan spot terbaik untuk menyaksikannya. Yang jelas…"

"Iya?"

"Bawa kemenangan untukku."

Anak itu menutup telepon dengan wajah memerah. Lalu, ia mengambil sebuah remote dengan berbagai tombol berwarna merah dengan tangan kirinya. Ia merapikan rambutnya yang agak berantakan tertiup angin.

"Benar, kau bisa memanggilku dengan nama Aracellia. Atau, lebih tepatnya, Luna Aracellia."

Tak lama kemudian, terdengar ledakan besar di belakangnya, disertai dengan dua kobaran api raksasa, menghancurkan seluruh penjuru taman dan sebuah gedung, tanpa menyisakan apapun yang ada di dalamnya.

Luna berpaling dan berjalan masuk ke dalam sebuah gang.

Unknown Part, Scene 4.0

"Lucifer."

Nolan mengangguk ketika Luna menyebutkan kata itu.

"Bagaimana pandanganmu?" giliran Nolan yang kini bertanya kepada Luna.

"Aku tak bisa menjawabnya saat ini."

"Tepat sekali. Andai kau bisa menjawabnya, kau pasti sudah jadi Rasul yang baru. Prophet. Messenger. Sayangnya, kau hanya anak kecil yang paranoid jika senapanmu hilang. Jangankan menyampaikan pesan, berbicara kepada lawanmu saja kau masih gelagapan."

Luna hanya tertunduk.

"Jadi, apa yang kau alami di pulau itu?"

"Entahlah. Terlalu banyak memori yang harus kuingat saat ini."

"Soal pertempuranmu?"

"Tidak juga."

"Tentang masa lalumu?"

Luna hanya terdiam. Nolan tersenyum, karena kali ini, pancingannya telah mengenai "ikan" yang tepat.

"Aku tak akan menanyakan hal tersebut kepadamu saat ini. Lagipula, kau pasti ingin tahu mengapa seluruh tempat ini berwarna putih, bukan?"

Luna hanya mengangguk.

"Sebenarnya, aku tak tahu pasti. Yang jelas, ini adalah tempat penyucian."

"Maksudmu, apakah seseorang yang bersalah akan ditebus dosanya di sini?"

"Aku tak bisa membenarkan atau menyanggahmu. Menurutmu, apa lagi hal yang bisa dikaitkan dengan warna putih?"

Luna ingin menjawab pertanyaan itu, tetapi segera dipotong oleh Nolan.

"Penyucian. Permintaan maaf atas kesalahan. Aku kita kau pasti sudah tahu ke mana percakapan ini, bukan?"

Luna menaruh cangkirnya di atas meja. Lalu menundukkan wajahnya, pelan. Seakan seluruh dosa umat manusia sedang ditumpahkan di atas bahunya saat ini.

Nolan memandang Luna dengan lembut.

"Jika manusia tak pernah berbuat salah, maka ia bukan manusia. Ia malaikat. Dan kau bukan malaikat. Kau hanya anak perempuan naif yang tak mengerti apa-apa."

Luna terisak.

Seekor(?) Hyvt kembali datang dan membereskan barang-barang yang ada di atas meja. Nolan yang kesal kemudian menjentikkan jarinya. Hyvt tadi kembali terdiam dan meninggalkan ruangan, diikuti dengan sumpah serapah yang tak dimengerti oleh mereka berdua.

"Mari, kuantarkan kembali ke tempat tidurmu. Sedikit istirahat akan membuatmu merasa lebih baik," senyum Nolan sambil memberikan selembar tisu padanya.

Part 4, Scene +7.32

Ravelt telah sampai di depan menara. Tak ada yang menyambut mereka, selain lembaran-lembaran kertas yang berjatuhan dari angkasa.

Ravelt membaca isinya.

"Jadi, menara ini yang jadi simbol kebanggaan penduduk pulau ini?" ujarnya sambil membuang selembar kertas yang berhasil ia genggam. Baginya, kebanggaan pulau ini tak ada kaitannya dengan pertarungan saat ini.

Lagipula, siapa gerangan yang berani mengaku-ngaku lebih baik darinya, King of Heaven?

Karena itu, ketika sebuah merpati datang kepadanya beberapa waktu yang lalu, ia tak kuasa menahan amarahnya. Bahkan, pedang emas yang selalu tersimpan rapi dalam koleksi hartanya ia keluarkan untuk memenggal kepala sang burung.

"Dasar anak kecil sialan! Baru menangkal satu anak panahku saja sombongnya bukan main!"

Ravelt masuk ke dalam menara dan mengamati desainnya. Sekilas saja, tampak jelas bahwa menara ini tidak dirancang sembarangan. Struktur poligon bersilang menghiasi dinding bagian dalamnya. Di setiap sudut bangunan, terlihat lapisan logam metalik berwarna keperakan yang memantulkan cahaya.

Itu baru konstruksinya saja. Jangan tanya bagaimana hiasan-hiasan yang ada di dalamnya.

"Hahaha… menarik sekali Thurqk… menyuguhkan hiburan dan barang-barang berharga ini di hadapan sang raja. Baik, akan kuterima semuanya. Tentu saja."

Ravelt menaiki sebuah benda yang tampaknya akan membawanya ke puncak menara. Lalu, ia tersenyum.

"Setelah aku memasukkan kepala anak itu dalam koleksiku."

Part 4, Scene +7.47

"Bangsat! Beraninya kau membuat raja berjalan dengan kedua kakinya. Apa maumu, hah?"

Ravelt menendang pintu lift. Terdengar suara wanita dengan nada monoton yang mengucapkan kata-kata maaf.

"Aku tidak butuh permintaan maafmu!"

Dengan satu gerakan cepat, ia mengeluarkan sebuah pedang dari "koleksi"nya dan membuat pintu lift itu hancur berkeping-keping. Ravelt mengeluarkan kepalanya dan melihat tali-tali yang putus di atasnya.

"Sabotase."

Dengan gerakan lincah, ia memilih keluar dari lift dan melompat ke lantai terdekat yang bisa digapainya. Walaupun indikator yang menyala di sampingnya menunjukkan angka 26, tak ada rasa takut di hatinya sama sekali saat ia melompat dari lift yang disabotase.

"Raja tak kenal rasa takut!" teriaknya bangga.

Dan sama kerasnya seperti teriakannya, sebuah bom meledak di sampingnya. Tempat itu tinggal puing-puing, juga dengan kepulan asap yang memenuhinya dan membuat siapapun yang ada di sana sesak napas.

"Nyaris saja," ujar Ravelt sambil memegang cincin di tangan yang kini berpendar keemasan.

Di tengah kepulan asap itu, Luna menampakkan dirinya.

"Selamat siang, Tuan."

Ravelt membalasnya dengan tatapan angkuh.

"Jadi kau yang merancang semua ini?"

Luna hanya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Kalau iya, terus mengapa?"

"Tidak apa-apa," ujar Ravelt sambil mengambil sesuatu dari "koleksi"nya. Sebuah pedang berwarna emas yang digunakan untuk membunuh burung merpati Luna sebelumnya.

Tahu bahwa Ravelt akan menyerangnya, Luna melemparkan sebuah granat flashbang yang diambilnya dari toko senjata beberapa waktu sebelumnya. Ravelt terkejut bukan karena ledakannya, tetapi karena sikap yang ditunjukkan Luna kepadanya.

"Bertarung dengan gaya pengecut? Di mana harga dirimu?"

Sebuah peluru menghantam kepala Ravelt dengan keras.

"Serangan seperti itu tak akan mempan bagiku, tikus kecil!" ujarnya bangga. "Tak ada yang bisa menembus divine aura yang ada pada diriku saat ini!"

Tak ada jawaban selain sebuah granat yang dijatuhkan dari atas.

Granat itu meledak dan ikut menghancurkan sebuah patung pualam yang ada di dekat sana. Ravelt masih berdiri tegak, mengamati setiap pergerakan yang ada di dalam gedung dengan far sight-nya.

"Ketemu kau," katanya sambil tersenyum. Lalu, ia bergegas naik ke lantai 34.

Part 4, Scene +8.03

Berbeda dengan desain lantai lainnya, lantai 34 seakan dipenuhi oleh aura mistis. Kesan modern telah lama hilang, digantikan oleh kumpulan manuskrip tebal yang ditaruh sembarangan di atas lantai.

Seakan tidak peduli dengan nilai manuskrip tersebut, Ravelt berjalan kasar sambil memperhatikan seluruh ruangan.

Ia melihat jejak kakinya yang terbentuk sempurna di belakangnya.

"Terlalu sempurna untuk sebuah ruangan yang ditinggalkan begitu lama. Apa yang diperbuat anak itu?"

Senyuman Ravelt kembali mengembang. Ia rupanya sedang berhadapan dengan seseorang yang tidak memakai ototnya untuk bertarung, tetapi akalnya. Sekarang, keputusan ada di tangannya: apakah turut serta dalam permainan yang dirancang anak itu? Atau justru menghancurkannya dan membuat sendiri permainan yang baru?

Namun, Ravelt tak ingin memikirkannya saat ini. ia lebih tertarik pada sebuah kotak emas berdebu yang berada di tengah ruangan.

Ia berjalan menyusuri ruangan. Ketika ia berada di bagian tengah ruangan, ia tersentak. Sebuah benang kasat mata telah mengikat kakinya tanpa ia sadari.

Beberapa detik kemudian, ratusan peluru ditembakkan dari jebakan rahasia yang ada di sudut-sudut ruangan. Tentu saja, tak ada peluru yang mampu menembus divine aura yang telah diaktifkan Ravelt sebelumnya. Setelah peluru itu selesai dimuntahkan, sebuah bom meledak dan menghancurkan bagian tengah ruangan itu.

Ravelt terjatuh bersama bongkahan beton yang ikut hancur saat bom itu meledak.

Sebagai seorang raja yang semestinya berkuasa di surga, berada sejajar dengan puing-puing sampah yang diciptakan manusia tentu saja merendahkan harga dirinya. Perlahan, aura keemasan yang menyelimuti tubuhnya menghilang, digantikan dengan warna hitam keunguan.

"Hehehe, MATI KAU, CECUNGUK SIALAN!"

Part 4, Scene +8.14

Tak sulit bagi Ravelt untuk kembali naik ke bagian atas gedung—dengan menghancurkan langit-langit, tentu saja. Permasalahannya adalah, tak mudah menemukan seorang anak di dalam menara setinggi lebih dari 100 lantai. Belum lagi jika harus menjelajahi bagian dalam ruangan yang tiap lantainya memiliki luas tak kurang dari 200 meter persegi.

Ravelt memang memiliki tajam penglihatan yang jauh lebih baik dibanding lawan-lawannya. Akan tetapi, tetap saja kemampuan tersebut tidak banyak berguna di dalam ruangan.

Kini, ia telah berada di lantai 71. Ia mendengar lantunan melodi yang tak pernah didengarnya selama ini.

"Apakah ini alunan lagu dari surga?"

Dari dalam ruangan menara, Ravelt dapat menyaksikan langit yang biru perlahan berubah menjadi gelap. Cahaya matahari perlahan redup, digantikan oleh sinar berwarna keperakan yang biasa menerangi dunia di malam hari.

Dalam sekejap, sebuah peluru berwarna silver melesat di samping wajahnya. Ravelt melihat ke langit-langit.

Sesosok anak perempuan, memakai baju berwarna putih dan jaket hitam yang dilingkarkan di pinggangnya, berdiri angkuh di atasnya. Sepasang pistol magnum berada di kedua tangannya.

"Apa yang baru saja kau lakukan?"

Sebuah peluru yang mendarat di tanah menjadi jawaban pertanyaan Ravelt.

Sang raja tak tahan lagi. Ia membuka sebuah dimensi berwarna keemasan di sampingnya dan mengambil dua buah pedang. Kemudian, ia melemparkan salah satunya ke arah Luna yang berdiri di atasnya.

Dengan mudah, Luna menghindari pedang tersebut, meninggalkan tempat yang hancur akibat dihantam senjata itu. Namun, ia tak menyangka sebuah pedang yang lain telah berada di depannya.

Luna mengarahkan dua maignum-nya dan menembaknya bersamaan. Pedang itu terpental dan jatuh di hadapan Ravelt. Sosok terakhir menjentikkan jarinya dan membuat pedang itu menghilang menjadi pendaran cahaya keemasan.

"Hahaha…. Menarik sekali!" teriak Ravelt yang kini telah menggenggam tongkat keemasan dengan permata ruby di atasnya.

Luna menembakkan pelurunya ke arah Ravelt, tetapi tak ada satupun yang berhasil mengenainya.

"Percuma saja, bangsat sialan."

Luna mencoba berkali-kali menembak Ravelt, tetapi gagal. Bagi seorang sniper yang terbiasa dengan jarak yang jauh, membidik dalam jarah 10 meter tentu merupakan suatu pekerjaan yang remeh.

Akan tetapi, peluru itu tidak mengenai Ravelt sedikitpun.

Ketika Luna baru saja bisa memahaminya, sebuah bola api besar mendekatinya.

"Mati kau!" katanya penuh keyakinan.

"Tidak secepat itu!"

Ravelt terkejut. Sebuah suara yang asing menyahutnya. Lalu, sesosok anak perempuan berambut pirang melayang di atasnya dengan membawa sebuah novel ringan yang tak lebih besar dari sakunya.

"A demon, born in curse of eternal fire. Innocentius."

Anak itu tak berhenti.

"However, a hero found a way to defeat it. With incredible bravery, he setting off sprinkles to wash up the spell and rescues someone in there. The demon is gone, and the magician can't use his magic anymore."

Lalu, tetesan air memenuhi tempat itu. Bola api itu perlahan menghilang sebelum mengenai tubuh Luna.

Anak itu membersihkan baju hitamnya dari sisa-sisa debu. Lalu, ia menaruh kedua tangannya di pinggangnya.

"Innocentius adalah monster api yang dapat beregenerasi di dalam air sekalipun. Sebuah sihir tingkat tinggi. Sihir apimu tak ada apa-apanya dengan Innocentius. Aku tak tahu, tetapi mungkin saja, setelah ini kamu tak bisa lagi menggunakan sihir apimu, tuan penyihir," katanya bangga.

Ravelt berusaha mengayunkan tongkatnya dan mengeluarkan bola api, tetapi tak ada yang terjadi.

"Benar kan?"

Luna memandang anak itu dengan tatapan tajam.

"Sekarang, apa yang akan kamu katakan bila seseorang menolongmu, Luna?" tanya anak itu.

"Te, terima kasih, Carol," jawab Luna sambil memandang ke arah bawah.

"Itu lebih baik," senyumnya.

Ravelt yang masih tidak percaya masih berusaha mengeluarkan sihir apinya. Namun, Caroll telah berada di depannya sambil membuka sebuah buku.

"Enuma Elish."

Ravelt tersentak.

"Gilgamesh swing his Noble Phantasm, Ea, into army of Iskandar. A reign which have conquered the known world in ancient era. A red light glows, make his reality marble tremble. Soon, the desert plain is cracked, and army of Iskandar is fallen into the hole. Iskandar was jumping with his horse, watching his fellow died. After that, Iorinian Hetairoi is fallen, and King of Conquerors don't have any more to attack King of Heroes."

Seketika, menara itu retak menjadi dua bagian. Luna segera berlari ke arah Carol dan menembakkan pistol jangkar ke atas. Lalu, ia menyambut Carol dan melompat ke atas. Sementara, tubuh Ravelt telah berpendar menjadi warna keemasan dan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya putih di punggungnya.

Sebuah dimensi berwarna keemasan muncul di belakangnya. Kemudian, Ravelt berteriak lantang di tengah menara yang sedang terbelah menjadi dua.

"Beraninya kau menjatuhkanku dan menghinakan diriku lebih rendah dari kalian. Aku yang telah menyatukan kedua dunia dan menjadi raja di sana!"

Cahaya putih itu berubah menjadi dua sayap kristal berwarna keemasan.

"Lihat semua koleksiku. Hanya yang terbaik yang disuguhkan kepada raja. Sayap ini dianugerahkan kepadaku, King of Heaven, sebagai hadiah karena menghentikan kediktatoran para dewa."

Ravelt mengambil sebuah pedang berwarna keemasan dari dimensinya.

"Berbahagialah! Kalian mampu melihat koleksi terhebat dari seorang raja. Dan sekarang, aku anugerahkan kematian terhebat kepada kalian!"

Ravelt menggenggam tongkat emas di tangan kirinya dan pedang emas di tangan kanannya. Lalu, ia mengejar Luna dan Carol yang sedang berusaha naik ke puncak menara.

Sesekali, Ravelt mengeluarkan sihir apinya (yang entah mengapa bisa kembali dikeluarkannya), tetapi Luna dengan gesit menembakkan pistol jangkar itu berlawanan arah dengan arah sihirnya.

Lantai demi lantai telah dilewati. Untung saja, menara yang terbelah dua ini memberi keuntungan khusus bagi mereka: tak perlu lagi memutar ke arah tangga.

Tak lama kemudian, mereka telah sampai ke puncak menara. Luna tersengal-sengal. Membawa seorang anak perempuan di dekapannya dan melayang di udara sambil berkonsentrasi menghindari serangan sihir bukan sesuatu hal yang mudah dilakukan.

Ravelt mendekati mereka dengan tatapan sinis.

"Kalian tak lebih dari tikus got. Hanya seorang pengecut yang bertarung dengan jebakan murahan. Dan sekarang, kau meminta bantuan seorang anak kecil untuk melawanku?"

Sang raja menghantamkan kakinya ke lantai.

"Yang benar saja!"

Luna hanya tersenyum ketika melihat Ravelt mengangkat tongkatnya ke atas dan membuat bola api berukuran raksasa.

"Carol, sesuai dengan prediksiku, bukan?"

"Ho… tentu saja. Dengan ini, aku bisa membuat akhir dari cerita yang benar-benar mengagumkan!"

Carol membuka sebuah buku kumal yang telah lama dicoret-coret. Tulisan tangannya saat ia masih kecil.

"Tower of Babel."

Tanpa mempedulikan Ravelt, ia melanjutkan ceritanya.

"Once upon a time, the whole world had one language - one common speech for all people. The people of the earth became skilled in construction and decided to build a city with a tower that would reach to heaven. By building the tower they wanted to make a name for themselves and also prevent their city from being scattered."

Ravelt merasakan ada sesuatu yang berubah di sekelilingnya. Carol masih terus membaca narasinya.

"God came to see their city and the tower they were building. He perceived their intentions, and in His infinite wisdom, He knew this "stairway to heaven" would only lead the people away from God. He noted the powerful force within their unity of purpose. As a result, God confused their language, causing them to speak different languages so they would not understand each other. By doing this, God thwarted their plans. He also scattered the people of the city in matter of chaos on the face of the earth."

Seketika, terjadi gempa yang mengejutkan mereka semua. Suara-suara teriakan orang-orang bergaung di luar, juga dengan hiruk pikuk akibat gempa tersebut.

"Apa yang kau lakukan, anak kecil?"

Luna datang dan mendekati Carol.

"Menghancurkan tempat ini, mungkin?" ejek Carol.

Ravelt terkejut. Ia mencoba melihat ke arah jendela, dan yang ditemukannya benar-benar suatu hal yang tak disangka-sangka.

Orang-orang berlari tanpa arah. Beberapa diantaranya mencoba berbicara, tetapi tak ada satu pun hal yang dapat mereka mengerti. Seseorang mencoba berteriak agar mereka mengerti, tetapi orang lain menganggap itu adalah penghinaan.

"Kau bisa merealisasikan apa saja yang kau ucapkan. Benarkah?" tanya Ravelt, masih tak percaya dengan semua ini.

"Tentu saja. Ini kuambil dari Genesis Bibel. Lumayan menarik bukan, bagaimana melihat Tuhan menghancurkan orang-orang sombong di muka bumi? Seperti dirimu?" kata Carol sambil tersenyum.

Lantai tempat berpijak Ravelt retak. Menara ini mulai dihancurkan perlahan. Orang-orang di luar masih berada dalam kerusuhan. Beberapa di antaranya mulai mengambil suluh dan membakar apa saja yang ada di dekatnya.

Perlahan-lahan, api mulai berkobar di Pulau Ryax.

Retakan di tempat Ravelt berpijak semakin besar.Ravelt mencoba mengeluarkan segala kemampuannya, tetapi tak bisa. Ravelt mulai tak bisa menjaga keseimbangannya. Akhirnya, retakan itu melebar, dan Ravelt terjatuh ke bawah. Namun, ia masih bisa menggapai sesuatu dan terhindar dari kematian untuk sementara.

"Kenapa aku tidak bisa menggunakan kemampuanku?"

"Tentu saja, bodoh. Aku mengambil fragmen dari kitab suci, firman Tuhan. Itu entitas yang absolut. Tak ada yang bisa mencegah kehancuran yang telah ditetapkan oleh-Nya. Karena itu, kekuatanmu hilang. Sebab Dia tak ingin ada sesuatu yang mengganggu rencana-Nya," jawab Carol sambil terus tersenyum.

"Mustahil."

"Aku sekarang adalah Tuhan! Aku yang menghendaki pulau ini hancur. Juga kau dan seluruh penduduknya. Kecuali satu orang, dan dia adalah Luna, orang yang ada di sampingku."

Ravelt tersenyum kecut.

"Selamat tinggal, tuan raja," ejek Carol.

Retakan itu pecah, menghancurkan tempat pegangan Ravelt. Sang raja terjatuh ke lantai ke bawah bersama bongkahan beton dan baja yang ikut hancur seiring waktu.

Luna menatap Carol.

"Mengapa kita tidak tinggalkan tempat ini?" tanya Luna.

"Tentu saja. Tempat ini akan segera hancur. Lagipula, mana mungkin aku meninggalkan hiburan yang menarik di luar sana?" jawab Carol sambil terus tersenyum.

Part 4, Scene +9.17

Luna dan Carol telah sampai di suatu gedung yang aman dari amukan orang-orang. Mereka menyaksikan Pulau Ryax yang mulai hancur dilalap api. Di bawahnya, orang-orang mengamuk, berkelahi, tak mengerti satu sama lain. Persis seperti yang dituliskan Tuhan dalam kitab suci.

Pelajaran berharga akibat kesombongan umat manusia.

"Lihat ini, Luna! Hasil mahakaryaku! Tak ada orang-orang yang bisa mengalahkanku sekarang!"

Luna hanya terdiam.Yang ia pikirkan saat ini hanya ucapan Stella saat terakhir kali mereka bertemu.

***

"Sudah puas, jalang?"

Stella masih melontarkan sumpah serapah. Luna menembakkan sebuah peluru dari pistol Glock-19 yang dipinjam dari Carol ke bahu Stallza.

Wanita itu menjerit kesakitan. Belum hilang rasa sakitnya setelah kehilangan tangan dan kaki kanan akibat serangan Nema, ia harus menghadapi kenyataan lain: seorang pembunuh berdarah dingin menembaknya berkali-kali.

Bukan di bagian vitalnya, tetapi bagian yang paling menimbulkan rasa nyeri: tangan dan kaki yang tersisa.

Tak ayal, Stella langsung berteriak kesakitan saat lima buah peluru menghantam masing-masing tangan dan kakinya sekaligus. Belum lagi jika menghitung dua peluru yang bersarang di masing-masing bahunya.

"Apa yang kau inginkan dariku? Aku sudah tak punya apa-apa lagi. Tangan dan kaki untuk membalasmu. Kekuatan untuk mengeluarkan sihirku. Bahkan, impianku untuk memeluk keluarga pun sudah musnah. Aku tak punya kesempatan untuk balas dendam lagi atas masa laluku…"

"Karena itu, aku akan membunuhmu."

Stella kembali menjerit saat sebutir peluru disarangkan dengan paksa di pahanya.

Luna menarik rambut Stella sambil mengucapkan sesuatu dengan pelan.

"Baru punya sedikit kekuatan sihir saja sombongmu bukan main. Lihat kaki dan tangan kananmu. Mudah saja dihancurkan oleh serbuk sari—walaupun dia kini juga sudah mati. Aku yang membunuhnya, tenggelam dalam kesombongannya sendiri. Sekarang, kau juga akan merasakan hal yang sama."

"Mengapa kau tak langsung membunuhku?"

"Karena 'sang penguasa sihir kuno Alexis' berbangga diri, dirinya yang paling hebat. Jujur saja, itu membuatku muak. Mana mungkin derajatku lebih rendah dari seseorang yang menjadi bulan-bulanan orang yang kubunuh?"

Stella terdiam. Rupanya keanehan yang dirasakannya sejak datang ke pulau ini memang ada.

"Kau rupanya sama saja dengan yang lainnya. Sadarlah! Ada yang aneh di tempat ini!"

"Satu-satunya yang aneh adalah pikiranmu," jawab Luna sembari membanting kepala Stella ke tanah. Darah mengucur dari dahinya.

"Penduduk pulau ini juga," kata Luna pelan. Stella masih berusaha bangkit walaupun ia tak lagi mampu berdiri.

"Sombong sekali. Baru membuat peluru warna-warni saja sudah bangga mengatakan 'warisan generasi'. Orang-orang di jalanan juga. Tenang saja, penduduk pulau. Kalian akan merasakan hal yang sama dengan wanita ini!"

Luna mengarahkan pistol tersebut ke arah kepala Stella.

***

Terdengar suara peluru ditembakan.

Carol, yang tak menyadari apa yang terjadi, berlutut dengan kaki hancur bersimbah darah. Luna telah menembak kedua kaki Carol hingga ia tak mampu lagi berdiri.

"A.. apa yang kau lakukan, Luna?"

"Tidak ada. Sejak tadi, kau hanya berteriak-teriak soal mahakarya, terhebat, atau ucapan-ucapan nonsense lainnya. Itu membuatku muak."

Lalu, Luna mengambil sebuah pisau lipat yang ada di saku baju Carol.

"Kemampuanmu itu mengerikan. Aku tak pernah membayangkan seorang anak sepertimu bisa menjatuhkan kutukan pada seisi pulau."

Dengan pelan, Luna menarik lidah Carol hingga ia menjerit kesakitan. Kemudian, dengan satu gerakan cepat, ia mengayunkan pisau belati kepadanya.

Lidah itu putus. Darah mengucur deras dari mulut Carol.

"Ha? Hahaha! Itu yang kau dapatkan setelah meremehkanku, pustakawan! Dan dengan kebodohanmu juga, kau terjebak dalam rencanaku. Mentah-mentah!"

Luna menendang kepala Carol yang terus menjerit kesakitan.

"Rasakan semua ini, penduduk pulau! Orang yang tak pernah sadar dengan kesombongannya!"

Carol masih berada di sana, memohon diselamatkan. Luna mengambil senapan sniper yang ada di punggungnya dan mengisi sebuah peluru ke dalamnya. Ia membidik sang pustakawan yang tak lagi punya tenaga untuk sekadar memandangnya.

"Selamat tinggal, Carol."

Sebuah peluru melesat, menembus kepala anak malang itu. Lalu, Luna melempar tubuh Carol ke bawah, disambut dengan teriakan orang-orang dan kobaran api akibat ledakan gas.

Luna menatap langit dan melihat bulan sabit yang berwarna kemerahan akibat kepulan asap. Sesosok makhluk bersayap muncul samar-samar dari atas sana.

"Kau ingin menjemputku, Thurqk?" teriak Luna.

Ia mengambil sebuah peluru dan kembali mengisinya ke dalam senapan snipernya. Lalu, ia membidik Hyvt yang terbang pelan ke arahnya.

Luna menarik pelatuk senapan. Peluru melesat dan menghantam jatuh Hyvt yang mencoba mendekatinya.

Langit seketika berubah gelap. Cahaya bulan mulai meredup. Tak ada lagi bintang-bintang. Kilatan petir mulai bersahut-sahutan menyambar, menegakkan bulu roma bagi siapapun yang berada di sana.

Kali ini, empat Hyvt datang. Luna kembali menembak jatuh mereka.

Petir menyambar sebuah gedung tak jauh dari lokasi menara tempat Luna berada.

"Jadi, ini jawabanmu, Thurqk?" senyumnya. Ia melihat satu pasukan Hyvt bersenjata lengkap menghadangnya di langit.

Luna mengambil kedua pistol magnum yang disarungkan di pinggangnya. Lalu, ia mengacungkan tangan kanannya ke langit dan menembak jatuh dua Hyvt yang paling dekat dengannya.

"Aku raja di pulau ini! Tak ada yang bisa melawanku sekarang!"

Tanpa disangka, sebuah petir menghujam tempatnya berdiri tanpa ampun.

Sebelum ia kehilangan kesadaran, ia masih sempat memikirkan sesuatu.

"Apakah aku memang orang terhebat di sini?"

Ketika ia menutup matanya dan tak lagi sadar, pasukan Hyvt tadi membawanya terbang kembali.

Unknown Part, Final Scene

Luna terbangun dan membuka matanya.

ia melihat sebuah ruangan yang dicat dengan warna dasar putih. Di sekelilingnya, terhampar sebuah selimut tebal yang juga memiliki warna putih. Ia mencoba bangkit, tetapi rasa pusing masih dirasanya.

Ketika sepenuhnya sadar, Luna menyadari bahwa pakaiannya telah diganti dengan sebuah daster berwarna hitam.

Sebuah pintu terbuka di hadapan Luna. Tak ada orang di sana. Entah, Nolan atau para Hyvt. Apalagi Thurqk. Tak ada sepiring makanan dan segelas minuman yang terhidang baginya. Padahal, ia telah memenangkan pertarungan ini, juga menghancurkan kesombongan para penduduk pulau yang ada di dalamnya.

Luna mengambil sebuah bantal yang berada di sampingnya dan mengayunkan tangannya sekuat tenaga. Bantal itu melayang dan tepat menghantam dinding. Tak terjadi apa-apa.

"Pulau yang penuh dengan teknologi canggih dan menara tinggi. Pulau dimana aku bisa menemukan senapan sniper yang bahkan belum pernah kutemukan di duniaku. Dan sebuah pulau dimana aku jadi Tuhan, penguasa."

Tak ada jawaban.

Luna memilih meninggalkan tempat itu sambil memeluk senapan sniper AMW-F seri terbaru miliknya. Agak lucu juga, mengingat Luna hanya lebih tinggi sekitar 30 cm dari senapan mematikan itu.

Luna menyusuri koridor yang seluruh bagiannya dicat dengan warna putih.

"Sebenarnya, tempat apa ini?"

Luna sendiri tak yakin. Seingatnya, saat Hyvt datang menjemputnya paksa datang kembali, tubuhnya berada dalam kondisi kritis. Mereka membawanya ke tempat ini. Selebihnya, ia tak ingat apa-apa.

Luna terus berjalan hingga sampai di sebuah ruangan yang penuh dengan meja bundar berwarna putih.

Tak ada siapa-siapa di sana.

Tiba-tiba, terdengar suara Thurqk.

"Selamat, telah memenangkan pertarungan ini, wahai Lucifer-ku!"

Luna hanya terdiam.

"Tak ada peserta lain yang berani bermain-main dengan nama Tuhan dan mengkhianatinya. Dan kau juga memberi penghukuman bagi orang-orang di sekitarmu atas keangkuhan mereka. Kesombongan mereka. Tanpa menyadari, bahwa kau jauh lebih angkuh dari mereka. Lebih sombong dari mereka."

"Apa yang kau inginkan, Thurqk?"

Luna mengambil sepasang pistol magnum yang selalu diselipkan di pinggangnya. Lalu, ruangan itu mendadak menghilang, digantikan dengan sebuah ruang tanpa dimensi yang jelas.

Hanya ada warna hitam sejauh mata memandang. Luna menoleh ke belakang. Hanya ada warna putih.

"Sekarang, pilih jalanmu! Apapun yang kau pilih, semuanya akan menuju tempat yang sama. Tempat dimana takdirmu akan ditentukan!"

Luna hanya terdiam dan teringat Nolan. Lalu, ia tersenyum sinis.

"Jika harus menjadi malaikat yang terbuang sekalipun, tak masalah. Asal aku bisa membunuhmu, Thurkqk."

Luna memilih jalan yang diterangi dengan cahaya putih. Perlahan tapi pasti, bayangannya tak tampak lagi.

Sins of Crescent Moon: End.

9 comments:

  1. Battlenya epic :)
    EYDnya lumayan lah :)
    Typonya, kayaknya nggak ada :)

    nilai 7,5

    Stella Opinion:
    Kurang ajar sekali kau Luna! Berani-beraninya kau mempermalukan aku seperti orang bodoh yang tak tahu kekuatannya apa. Awas kau ya, aku akan mengurangi nilaimu!
    Stella langsung komat-kamit, bola kristalnya berpendar merah.

    Efek= -O,5

    Total Nilai= 7

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. mengabaikan foreshadowing keseluruhan Canon dengan keberadaan Nollan dan Thurq. saya pengen banget tereak 'PENGKHIANAT!' tapi sumpah, itu pengkhianatan nggak terduga sama sekali >.<

    Semoga dikau bisa ngelengkapin apa yang udah dikau sebar di foreshadowing

    Nilai : 9

    ReplyDelete
  4. Penggambaran Emils di sini lebih bagus daripada Canon saya..... sepertinya saya harus banyak belajar dari Canon Luna.....
    Saya tidak bisa berkomentar apa-apa, jadi langsung ke nilai.

    Nilai : 8,7

    ReplyDelete
  5. Carol sama Luna dikombinasiin dengan baik di sini. Awal yang menarik itu Nolan ketemu Luna XD. Efek pulaunya pun masih kerasa di awal, jadi bisa ngasih bayangan di cerita ke depannya. Lumayan banyak bagian2 unknown di sini, semacam diserahin ke pembaca aja mau kapan itu kejadiannya, tapi ngga terlalu ngaruh atau ngebingungin sih, Dari segi penulisan, ada beberapa baris yang tulisannya ngga transparan, Kemungkinan besar ngga disengaja.

    Battle cukup asyik. Karakter2 ga pada OOC, yg berkesan diantaranya badmouth-nya Stella dan show-off yg dilakuin Ravelt. Btw perasaan Thurqk lumayan banyak muncul di canon2 R2 ini ya. Di sini menariknya Luna dikaitin sama Lucifer. Mungkin kalo ada Primo di sini bakal tambah seru. Di ending sayangnya typo dikit nama Thurqknya. Tapi endingnya udah keren kok =]

    8/10

    ReplyDelete
  6. good job buat author, semua karakter hampir keluar potensinya
    bagian pemenggalan agak bingung
    Ravelt lebih ngena disini daripada di punya saya sendiri orz
    no typo kayaknya
    Luna sadis juga :v

    8/10

    ReplyDelete
  7. Terima kasih telah memberikan porsi yang cukup signifikan terhadap Stallza. Karakter tiap Spiritianya juga pas, terutama Koboldia dan Silic. Ada salah penyebutan Stella sebagai Stallza, tapi karena saya juga melakukan kekhilafan yang sama di canon saya, itu bisa saya mengerti. Masalah saya adalah bagian part dan scene. Saya tidak tahu apa alasannya diberikan angka scene seperti itu.

    Cerita yang cukup menarik. Nilai akhir 7.5 :)

    ReplyDelete
  8. mungkin krn pengaruh ukuran sama bold tulisanya, sama krn agak skim jg bacanya, jd agak bingung sama taktik tarungnya luna
    trus beberapa adegan jg krasa kurang seru battlenya, nema terkesan imba wkt lawan stella, pdhl kemampuanya stella kan banyak dan hebat2 smua, sharusnya nema sama stella jg udh knalan wkt msh d jagatha sih, trus kaget jg wkt iodesa mati d awal pdhl kmampuanya buat pengobatan x3
    agak bingung jg sama cerita nolan dsini maksudnya buat apa, pengaruh k canon luna ya kak?
    apa mungkin maksudnya taktik luna menawarkan kerjasama dulu trus berhianat sama smua partnernya?
    sbenarnya pengen kasi nilai rendah sih, tp udh komit bakal kasi nilai sama k sesama pulau ryax, jd nilainya 8 kak :)
    semangat kak, ceritanya bagus kok, cuman mungkin masalah selera aja #pletak x3

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -