April 14, 2014

[ROUND 1 - D] DARCIA REGINE COBRINA VIPREZ - THE OPENING OF DEATH PARTY

"The Opening of Death Party"
Written by Villyca

---

     Cia memperhatikan tempat baru yang kata orang yang mengaku sebagai dewa bernama Devasche Vadhi. Hawa tempat baru ini terasa panas dan didominasi dengan merah, gadis itu merasa tidak nyaman karenanya. Makhluk-makhluk aneh dan manusia-manusia yang tak dikenalnya terlihat tidak tenang. Panik, bingung, takut, dan segelintir kecil marah. Memang Cia sedikit bingung dengan apa yang terjadi dan tempat apa sebenarnya Devasche Vadhi-- namun gadis itu tidak merasa harus bertindak kebingungan meski ia memang bingung.


     Pembicaraan sepihak dimulai, makhluk merah yang mengaku sebagai dewa itu menginginkan sebuah 'tontonan menarik'. Makhluk-makhluk aneh dan manusia yang terlihat membawa senjata dikumpulkan menjadi satu lalu diharuskan membuat 'tontonan menarik', hanya satu hal yang bisa disimpulkan. Sebuah pertarungan.


     Kata-kata yang diucapkan oleh dewa berwarna merah itu terdengar menginginkan kekejaman. Caranya berbicara menyiratkan ia menginginkan darah menghiasi pertarungan. Dari caranya mengancam ia tidak akan segan menyingkirkan makhluk lemah atau yang membuatnya bosan. Dan hadiah yang dewa itu janjikan membuat darah Cia bergolak dan menginginkannya.


     Makhluk-makhluk merah bersayap gagak mengerumuni mereka lalu memaksa membawa pergi ke tempat lain. Cia memandangi dewa angkuh itu sesaat sebelum berpaling pergi."Jika menginginkan pertumpahan darah, aku akan memberikannya padamu," gumamnya lirih lalu pergi bersama makhluk tinggi bersayap hitam di sebelahnya.



***



   Salah satu Hvyt membawa Cia ke tempat asing. Orang-orang berlalu-lalang melewati mereka tetapi tidak satupun menyadari keberadaan keduanya yang seharusnya akan menghebohkan.


     Gadis itu menatap Hvyt selama benerapa detik kemudian barulah mengangkat suara."Kenapa mereka tidak melihat kita?" tanya Cia lirih.


     "Karena kita bukanlah makhluk dari dunia ini, jadi tidak akan ada yang bisa melihatmu kecuali orang-orang yang dikaruniai. Meski begitu kalian bisa saling membunuh dan serangan kalian bisa mempengaruhi apa yang ada di sekitar kalian."


     Gadis itu terdiam. Pernyataan Hvyt itu mau tidak mau membuatnya harus menerima jika dirinya sudah mati. Penyesalan karena terbunuh, rasa ingin membalas dendam pada Arina--sepupunya, dan kebebasan yang masih terus menghantui membuatnya tidak bisa lepas dari penyesalan kematian.


     "Jadi siapa yang harus kubunuh?" tanya Cia tanpa ragu.


     Hvyt melirik gadis mungil itu."Dewa Thurqk tidak mengatakan harus membunuh, dia menginginkan hiburan."


     Cia menatap Hvyt tepat pada bola mata putih makhluk itu."Dewamu itu terlihat seperti orang haus darah dan kau masih ingin menyangkalnya?" Lagu yang menyerukan kematian menggema di telinga Cia seakan membenarkan apa yang ia katakan."Berikan nama dan ciri-cirinya, kurasa itu adalah satu dari sekian banyak tugasmu dalam hal ini."


     Makhluk itu diam untuk beberapa detik memandangi gadis di sebelahnya."Kolator. Ciri fisiknya adalah setinggi 2 meter, kepala botak dan memiliki tato di seluruh tubuh. Lalu ada Rex, laki-laki dengan baju zirah putih. Ucup, bocah pengamen. Kau akan segera mengenalinya jika bertemu. Terakhir adalah Carol Lidell, seorang gadis pustakawan. Dia membawa buku ke mana saja, kurasa hanya dia yang membawa buku ke manapun." Kali ini Hvyt menjelaskan sedikit tentang ciri-ciri peserta.


     'Si Botak Jangkung Bertato akan terlihat mencolok, akan lebih mudah mencarinya lebih dulu,' kata Cia dalam hati. Gadis itu melirik Hvyt yang telah mengembangkan sayap sesaat sebelum terbang pergi lalu menghilang.


     Cia berjalan menyusuri trotoar, matanya menyapu jalanan di mana orang-orang Asia tengah sibuk beraktifitas. Spanduk dan papan yang ia lalui tertulis dengan bahasa Melayu, tak satupun ia mengerti arti tulisan-tulisan itu. Setiap kata yang tidak sengaja tertangkap telinganya juga terasa begitu asing.

     Ia terus menyusuri jalan, sesekali matanya menangkap sosok anak-anak jalanan. Awalnya ia hendak langsung pergi namun ada sesuatu yang membuatnya urung dan menatapi mereka untuk beberapa saat. Gadis itu merasakan persamaan dengan bocah-bocah itu. Bekerja keras untuk sosok di belakang hidup mereka. Sosok berkuasa yang mempekerjakan anak-anak itu.

     Gadis itu terpaku ketika melihat seorang gadis kecil penuh luka terbaring di bawah pohon tak jauh dari posisinya. Kesakitan dan menangis jauh dari keramaian. Cia hendak menghampiri bocah itu, namun beberapa meter sebelum sampai seorang pria bertubuh besar telah sampai lebih dulu.

     'Cobra' perempuan itu mengamati dalam diam. Pria itu tertawa dan terlihat sedang memaki bocah itu dalam bahasa yang ia tidak ketahui kemudian meludahi lalu menginjak kepalanya. Cia menarik keluar katana dari telapak tangan kanan, meski ia tidak yakin bisa melukai orang itu atau tidak tetapi patut untuk dicoba.

     Belum sempat ia melangkah, mendadak pria itu terpental, seakan dijauhkan dari si bocah. Beberapa meter dari sana berdiri bocah laki-laki dengan rambut cepak, di tangannya tergenggam alat musik sederhana yang Cia lihat sering dibawa oleh anak jalanan lain. Napas bocah itu naik turun, sangat jelas terlihat ia sedang marah. Bocah itu tak lain adalah Ucup, salah satu target Cia.

     Ucup segera berlari menghampiri bocah perempuan yang mungkin berumur di bawah 10 tahun yang ditinggalkan pria besar itu. Ia berjongkok untuk melihat keadaannya, hanya satu yang bisa disimpulkan, khawatir. Bahkan bocah laki-laki itu tidak menyadari keberadaan Cia karena begitu mengkhawatirkan bocah perempuan itu.

     Perlahan katana di genggaman Cia menghilang."Setidaknya aku tidak akan membunuhmu sekarang, bocah," katanya lirih lalu meninggalkan keduanya.


     "Jadi ini sebuah drama?" tiba-tiba suara seorang gadis terdengar begitu dekat. Saat berbalik ia mendapati hantu perempuan berpita biru, di tangannya memegang sebuah gunting yang terus dikatup-katupkan seakan hendak memotong sesuatu."Bukankah kau ingin membunuh orang? Kenapa tidak melakukannya? Apa karena kasihan?" Gadis transparan itu melayang-layang, tatapannya menyelidik.


     Cia tidak mempedulikannya dan berjalan pergi. Gadis itu terus menerus mengatakan hal-hal mengenai sisi sentimentil Cia karena terus diabaikan. Ke manapun gadis dengan rambut twin tail itu pergi selalu diikuti.


     Hingga tiba pada batas akhir kesabaran Abby, ia menggunakan gunting di tangannya untuk melukai lengan kiri Cia hingga lengan kaosnya robek. Goresan ringan namun cukup membuat gadis yang terus menerus diganggu itu sedikit kesal.


     Gadis itu mencekik leher Abby dan langsung membantingnya ke jalanan."Pergi dari sini, hantu cerewet!" ancamnya dengan ekspresi datar. Hantu perempuan itu sedikit melotot marah lalu melayang pergi setelah cekikan di lehernya terlepas.


     Cia kembali berjalan setelah yakin bocah hantu itu menghilang. Kejadian tadi membuatnya berpikir bahwa dirinya konyol karena menanggapi hantu cerewet tadi dengan serius."Apa yang kupikirkan? Seperti orang bodoh," gerutunya pada diri sendiri.




***


     Satu jam Cia berkeliling dan belum menemukan satupun lawan--kecuali Ucup yang sengaja ia lewatkan. Bosan dan kepanasan, maklum karena ia berjalan di siang hari ketika matahari bersinar sangat terik. Gadis itu benci dengan hawa panas, kemudian ia berjalan mencari tempat tenang untuk berteduh.


     Setelah berkeliling beberapa belas menit ia menemukan sebuah gedung tua bekas terbakar. Sepi, tempat yang cocok untuk beristirahat--tepatnya bersantai sejenak sambil berlindung dari panas matahari. Cia memasuki gedung lalu duduk bersandar pada salah satu dinding. Bayangan gedung menutupi cahaya matahari dan memberikan bayangan teduh yang sempurna apalagi dipadukan dengan angin semilir melalui celah jendela-jendela pecah.


    Gadis itu memainkan game di ponselnya. Tetapi ia tertidur tak lama setelah memainkan game itu. Cia memang bisa tidur di sembarang tempat ketika bosan.



***


     Di dalam mimpi Cia merefleksikan detik-detik kematiannya. Terbaring bersimbah darah dan hanya ada Arina yang berdiri dengan tatapan kosong yang ia artikan sebagai hinaan. Di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang yang terlumuri darah Cia.


     Lidah gadis itu kelu, tubuhnya sulit untuk digerakkan. Ia ingin menanyakan mengapa Arina harus membunuhnya, gadis itu tidak bisa menerima kematian begitu juga perihal ketidaksengajaan yang seharusnya ia mengerti. Tidak ada satu 'Cobra'pun diizinkan untuk membunuh Cia saat melakukan pengejaran, tetapi Arina melakukan kesalahan. Kenyataannya ia mati di tangan Arina.


     "Cia, tidakkah kau seharusnya bangun?" Mendadak Arina membuka suara. Pedang di tangannya entah sejak kapan berubah menjadi pistol dan menodongkannya pada Cia. Sosok Arina perlahan membuyar, merah rambutnya perlahan berubah menjadi kecoklatan.


     "Cia! Kau harus bangun!" seru Arina sesaat sebelum sosoknya terganti dengan sosok gadis lain.


     Cia membuka mata, ia kembali ke dunia nyata dan mendapati salah satu lawan tengah berdiri di hadapannya dengan menodongkan pistol. Saat gadis itu menarik pelatuk, Cia secara refleks berguling menghindar sehingga luput dari tembakan.


     Gadis bernama Carol itu kembali membidikkan pistol ke arah Cia, namun kali ini Cia lebih siap. Sebuah katana putih muncul di tangan kanan, ia menyapu peluru yang datang ke arahnya dengan mudah. Bongkahan timah terjatuh ke lantai bersamaan dengan keterkejutan Carol. Pustakawan itu sama sekali tidak menyangka jika lawannya bisa melakukan hal semacam itu.


     Cia mengamati gadis pustakawan yang mengalami luka-luka di sekujur tubuh, sepertinya ia baru saja melakukan pertarungan. Gadis berkuncir dua itu hanya berharap Carol lebih mudah disingkirkan dengan adanya luka-luka itu.


***


     Alis pustakawan itu berkerut memikirkan buku yang tepat untuk melawan gadis berpedang itu. Sayangnya Cia tidak mengizinkannya untuk berpikir dengan tenang, ia segera melesat dan mengayunkan senjatanya. Beruntung Carol merunduk di saat yang tepat sehingga kepalanya luput dari tebasan katana. Dari arah bawah, pustakawan itu memanggil sebuah buku yang langsung melesat ke atas dan nyaris menghajar dagu Cia seandainya tidak melompat mundur. Ketebalan buku itu cukup untuk membuat satu atau dua gigi patah jika terhantam.


     Cia menatap Carol dengan seksama, gadis itu menyarungkan pistol dan mulai membuka buku di tangannya. Belum sempat ia mendekat Carol memunculkan buku-buku lain dari berbagai tempat , dan melakukan tarik-lempar dengan mudah seakan memiliki kemampuan mengendalikan benda.


     Pustakawan itu terlihat sengaja membuat jarak dengan terus melancarkan serangan buku-buku tebal nan besarnya. Cia hanya bisa menunggu dan menghindar, karena ia yakin lawannya itu takut untuk berhadapan satu lawan satu. Penampilan gadis dengan rambut warna karamel itu tidak nampak seperti petarung.


     Carol berhenti membuka halaman-halaman buku dan bersuara lantang,"Sekawanan hewan berkaki empat yang kelaparan muncul, serigala-serigala itu menggeram pada mangsanya." Tak lama muncullah lima ekor serigala dengan bulu kelabu, mengitari Cia sambil menggeram."Mangsa dia!" teriak Carol pada kawanan serigala itu.

     Sedetik kemudian hewan-hewan itu berlari kesetanan ke arah Cia. Gadis itu membelah kepala serigala yang menerjang pertama kali lalu menendangnya hingga terlempar, sementara dari arah kanan dengan mudah ia menghujamkan katana ke dalam mulut serigala hingga menembus leher. Gadis itu menarik lalu membalik pedangnya seraya memutar tubuh, berlutut lalu menggorok leher serigala yang melompat hendak menerkamnya.


     Dari arah kiri serigala lain membuka lebar-lebar rahangnya dan Cia terpaksa mengorbankan lengan kirinya. Gigi tajam menghujam lengannya dengan kuat, tetapi itu tidak berlangsung lama karena Cia segera menancapkan senjata ke kepala hewan itu.


     Cia melemparkan sisa permen Chupa ke arah mulut serigala yang hendak menerkamnya, dan itu membuat hewan kelabu itu tersedak. Gadis itu menusukkan katana ke leher hewan itu dari samping hingga tertembus ke sisi sebelah."Ada lagi hewan peliharaanmu?" tanyanya lirih sambil menyingsingkan lengan kaos untuk menjilat lukanya.


     Nampaknya entah sejak kapan Cia dikelilingi puluhan ular berbisa dengan berbagai ukuran."Wah, ini sih bunuh diri," gumam gadis itu lirih saat beberapa ular melilit naik ke tubuhnya.


     Cia diam, membiarkan tubuhnya dirayapi hewan-hewan melata penuh bisa itu. Tubuh mungil gadis itu mulai dipenuhi ular dalam beberapa menit, dan ia tidak bergerak sedikitpun.


     Carol yang sudah merasa menang menghampirinya."Kenapa kau begitu tenang? Apa kau pikir dengan menjadi tenang ular-ular itu tidak akan menggigitmu? Kau terlalu naif." Cia tetap diam."Gigit dia!" Bersamaan dengan selesainya perintah, puluhan rahang bertaring racun menghujam tubuh Cia secara serempak.


     Gadis dengan rambut hitam kebiruan itu sedikit merintih, tetapi tetap diam.


     "Tenang saja, aku akan menunggu hingga saat terakhirmu, Nona," kata Carol.


     Cia menggerakkan tangannya lalu menarik kepala ular yang menggigit lehernya."Kau mau sampai kapan menungguiku? Apakah hingga orang lain membunuhmu? Atau aku yang membunuhmu?" Gadis itu melepaskan satu persatu ular yang menggigit tubuhnya.


     Carol merasakan kejanggalan. Gadis lawannya seakan sama sekali tidak takut pada ular-ular itu. Padahal ia telah menarasikan ular-ular berbisa dari berbagai belahan dunia, dan lawannya melepaskan gigitan-gigitan mereka seakan tengah digigit anak anjing.


     "Hei Pustakawan, tidakkah kau pernah mendengar nama keluarga Viprez?" Cia menghisap salah satu bekas gigitan ular di lengan kirinya lalu meneguk liurnya yang bercampur bisa."Racun bukanlah sesuatu yang akan membunuh kami."


     Carol menarik keluar pistolnya namun Cia segera melesat dan menendang lengan gadis itu hingga senjata itu terlempar. Dengan sigap 'Cobra' itu menjatuhkan lawannya ke lantai."Selamat tinggal Pustakawan, lain kali jangan lupa untuk membaca lebih banyak."


     Cia mengangkat senjata ke udara hendak menghujam leher Carol, namun tepat sebelum berhasil menembus kerongkongan gadis itu sebuah senjata membuat serangannya meleset. Katana itu menyerempet leher Carol dan menimbulkan pendarahan, setidaknya gadis itu selamat meski terluka parah.


     Sesosok pemuda berbaju zirah putih muncul. Gadis itu melirik sejenak pada orang itu lalu mengusap luka dan mengusapkannya pada luka di leher gadis berambut karamel itu sebelum membiarkannya pergi."Ada yang menyelamatkanmu," ucapnya lirih."Lebih baik jangan banyak bergerak agar tidak cepat mati."


     Cia memandangi pemuda itu dan mengamatinya dengan seksama. Orang itu melukainya tetapi ia sama sekali tidak melihat senjata yang digunakan.


     "Aku tidak ingin membunuh," ucap pemuda itu.


     "Kalau begitu biarkan aku yang membunuhmu." Katana di tangan Cia menghilang, digantikan dengan sebuah Glaive hitam.


     Hantaman pedang di ujung glaive tertahan oleh senjata tak kasat mata yang digenggam Rex. Cia mengganti serangan dengan berusaha menghantamkan tubuh glaive ke daerah ketiak -- pertahanan di daerah itu memiliki celah karena merupakan sambungan zirah. Tetapi Rex berhasil menghalaunya dengan sempurna.


     Gadis itu menghantamkan pedangnya ke senjata lawan, beberapa kali senjata mereka beradu. Ia sengaja melakukannya untuk mengamati gerak-gerik Rex guna menyimpulkan senjata yang digunakan oleh lawannya.


     Setelah cukup mendapat gambaran dan menarik kesimpulan, Cia menjaga jarak lalu mengganti glaive dengan katana. Cia menerjang ke arah Rex tanpa ragu dengan menarget lehernya.


     "Kenapa kau begitu ingin membunuh?" Rex tidak bisa mengerti jalan pikiran lawannya yang terlihat begitu menginginkan kematian."Apakah kau membenci apa yang ada padaku? Apa yang ada di pikiranmu?"


     "Perintah. Thurqk menginginkan kita saling membunuh, jadi aku hanya melaksanakannya," jawab Cia lirih. Gadis itu menghalau senjata Rex agar pertahanannya terbuka.


     "Apa kau gila? Dewa itu tidak mengatakan apapun tentang membunuh! Lagipula jika dia memerintahkan kita saling membunuh, bukan berarti harus mematuhinya!" seru Rex marah.


     "Perintah dari otoritas tertinggi telah diturunkan, dan dengan mematuhinya akan memberikanmu kehidupan. Apa kau tidak menginginkannya? Jika tidak biarkan aku membunuhmu sekali lagi." Cia terus menyerang hingga Rex terdorong mundur ke belakang, keduanya terlibat pertarungan sengit. Gadis itu berniat untuk membunuh, dan Rex tidak ingin terbunuh meski tidak ingin membunuh.


***


     Merasa tidak memiliki pilihan untuk menghentikan Cia, Rex memutuskan untuk membunuhnya. Sementara Carol masih mencari informasi mengenai keluarga Viprez. Luka-luka yang ia terima dari Kolator cukup membuatnya kepayahan. Pendarahan di lehernya membuat gadis itu terlihat sedikit pucat, napasnya semakin cepat dan payah.


     "Apa yang ia lakukan padaku?" Carol membuka tiap halaman buku dengan cepat, matanya mencari tiap informasi mengenai keluarga Viprez. Gadis itu telah mencari di sepuluh buku berbeda dan belum mendapatkan informasi apapun.


     Ia menjadi tidak sabar, matanya menjelajah dengan liar pada tiap halaman. Jemari mungilnya mendingin dan pucat, debaran jantung meningkat, mempercepat penyebaran racun ke seluruh tubuhnya seakan tidak sabar untuk melumpuhkan tiap syarafnya.


     Carol tidak lagi peduli dengan Cia dan Rex yang tengah bertarung, kini adalah pertarungannya dengan ketidaktahuannya sendiri. Ia harus mencari tahu apa yang terjadi pada tubuhnya. Ia harus menemukan apakah Viprez itu.


     Kantuk, sesak, dan sedikit mati rasa. Carol merasakan bagai di ujung kematian. Mati tanpa mengetahui apa yang terjadi, mati dengan pertanyaan besar di ujung kehidupan hanya akan membuatnya semakin menyesal. Carol tidak menginginkannya."A-aku tidak ingin mati," isaknya sambil membuka halaman-halaman buku. Bulir air mata menetesi lembar-lembar kering penuh tulisan yang ada di pangkuannya.


     Carol tidak lagi peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya hingga ia tidak memperhatikan ketika pertarungan Cia dengan Rex semakin menuju ke arahnya. Tebasan pedang pemuda itu beradu dengan katana, keduanya tidak segan untuk saling melukai. Cipratan darah berloncatan ke udara tiap kali bilah senjata mereka mengoyak kulit lawannya. Gedung kusam itu setidaknya memiliki warna baru yang lebih segar daripada warna-warna kusam yang telah usang.


     Mendadak tubuh Carol yang telah kepayahan direnggut oleh sebuah tangan, di detik berikutnya darah segar mengalir keluar dari perut Si Pustakawan yang ditembus sebilah pedang. Mata Carol yang berkaca-kaca menatap sosok pemuda yang terkejut dan segera menarik pedangnya. Pemuda itu mundur dengan gontai, bayangan akan kematian gadis kecil selalu menghantuinya.


     Ada penyesalan besar yang terpancar dari mata Rex meski ia terdiam. Lengan yang menahan Carol penuh luka, dan di sebelah tangannya menggenggam sebuah katana dengan bilah berwarna hitam berukirkan seekor ular.


     Musik yang meneriakkan kematian dan seru-seruan bertema serupa terdengar sayup-sayup bagai lagu pengiring kematian untuk Carol."Aku tidak akan membuatmu tersiksa lagi," bisik Cia tepat di telinga Carol. Gadis itu menyempatkan diri menjilat luka di leher Pustakawan itu sebelum menggorok lehernya hingga tewas.


***


     Cia menatap mayat gadis dengan rambut karamel itu. Tergeletak tak bernyawa dengan tubuh pucat dan bersimbah darah. Gadis itu menatap lawannya yang tampak geram.


     Beberapa saat lalu Cia berhasil melukai Rex dengan katana hitamnya, saat ini di beberapa bagian tubuh pemuda itu sudah mengalami kesemutan. Dengan marahnya pemuda itu malah mempercepat proses penyebaran racun ke seluruh tubuh dan mempercepat efek.


     Cia mengeluarkan sebuah permen Chupa rasa cola dari saku, bahkan ia tidak peduli saat pemuda itu berlari ke arahnya. Beberapa saat sebelum berhasil menyarangkan pedang ke tubuh Cia, pemuda itu jatuh tersungkur ke lantai. Bunyi berisik zirah yang menghantam lantai sama sekali tidak membuat Cia terkejut, gadis itu sudah memperkirakan dan menunggu momen tersebut.


     Racunnya bekerja. Tubuh pemuda itu menjadi mati rasa dan itu penyebabnya jatuh. Syarafnya lumpuh. Cia memasukkan Chupa itu ke dalam mulut lalu menghampiri Rex yang tergeletak di lantai. Gadis itu menendangnya agar tubuh pemuda itu telentang dan mudah untuk melihat wajahnya.


     "Aku benci dengan orang munafik." Cia menginjak zirah di bagian dada Rex keras-keras."Kau berkata tidak mau membunuh, tetapi baru saja kau bertarung dengan niat membunuh," katanya sambil menatap jijik.


     "Karena aku sudah berkata ingin membunuhmu, maka inilah saatnya." Cia mengangkat katananya tinggi-tinggi dan menghujamkannya tepat di tengah leher Rex. Ia menekan ujung pegangan katana dengan kuat hingga menghancurkan kerongkongan pemuda yang baru saja tewas itu.


     Belum sempat merasakan kemenangan atas lawannya, punggung gadis itu harus menerima serangan mendadak dari arah belakang. Ia tersungkur karena dorongan keras dan terbatuk beberapa kali. Saat ia menoleh beberapa meter dari tempatnya berdiri seorang bocah laki-laki dengan alat musik di tangannya. Wajahnya terlihat marah.


***


     Ucup menyerang Cia dengan gelombang suara hingga terpental, itu akan membuat gadis itu cukup kesakitan dengan dorongan keras di punggungnya. Ia marah dengan apa yang dilakukan gadis itu. Membunuh orang dan bersikap sombong di atas mayat mereka bukanlah sesuatu yang bisa di maafkan. Apalagi itu adalah mayat dari kakak baik hati yang menenangkannya saat salah satu temannya sakit.


     Ucup mulai memainkan kecrekannya, sebuah lagu dengan tempo naik turun. Ketidakteraturan, akan membuat lawannya menjadi gila. Ia akan membalas apa yang dilakukan gadis itu pada Rex, dan akan membuatnya mati karena senjatanya sendiri.


***


     Baru kali ini Cia melihat seseorang memainkan alat musik seaneh itu. Bunyinya tidak merdu, juga tidak ada lagu yang dinyanyikan. Hanya terdengar bunyi-bunyian tutup botol saling bertabrakan dengan tempo naik-turun. Sama sekali tidak bisa dibilang indah.


     Mendadak Cia merasakan perasaan aneh setelah bocah cilik itu memainkan alat musiknya. Perasaan tertekan, sedih, kenangan-kenangan menyedihkan bermunculan di kepalanya.


     'Apa? Apa yang bocah itu lakukan?' batin Cia. Ia amat yakin erat hubungan antara alat musik itu dengan apa yang dialaminya sekarang.


     Bayangan kenangan buruk, hujatan dan pengalaman terburuk hidupnya bermunculan bagai ledakan-ledakan kembang api. Cia menjerit-jerit untuk menyingkirkan suara-suara yang bermunculan di kepalanya. Hujatan juga makian bergema di kepalanya seakan saling berdesakan untuk menjebol kepalanya.


     Hingga akhirnya Cia menjerit dengan kencang lalu mendadak diam. Diam tidak bergerak yang kemudian disusul tawa lantang seakan mentertawakan hal paling konyol di dunia.


     Gadis itu menatap Ucup yang masih memainkan alat musiknya. Dengan sekali kunyah ia meremukkan permen Chupa di dalam mulutnya."Kau pikir aku akan terus menerus membiarkan Cia menjerit-jerit seperti orang gila, BOCAH?" gadis itu bertanya dengan suara kencang, bersaing dengan musik di tangan Ucup."Jangan konyol!"

     Gadis itu bertukar peran dengan alter egonya sendiri, Regine. Alter egonya itu sama sekali tidak mempedulikan hujatan, makian apapun tentang dirinya bahkan dengan hal terburuk hidupnya. Bahkan Regine akan membunuh alih-alih merasa depresi dengan makian dan hujatan itu.


     Regine meraih tombol volume dan menaikkan hingga batas maksimal. Hentakan musik dan scream membuatnya tidak mendengar suara alat musik Ucup. Gadis itu melangkah dengan santai ke arah Ucup.


     Bocah itu sadar jika musiknya tidak mempengaruhi lawannya lagi, dan menggunakan gelombang suara untuk menyerangnya. Gadis itu terpental, namun kembali bangun seakan tidak terjadi apapun, bahkan dengan santainya menyanyikan sebuah lagu yang kemungkinan tengah ia dengarkan.


     Ucup berlari menjauh sambil sesekali menggunakan gelombang suaranya untuk mementalkan gadis itu. Tetapi berkali-kali ia melakukannya tetap saja seakan gadis itu tidak berhenti mengikutinya.


     "Larilah bocah! Larilah yang kencang sejauh kaki kecilmu bisa membawa, karena aku akan membunuhmu dengan kejam jika kau tertangkap!" seru Regine lantang."Run, run, devil. Run, run." Ia menyanyikan sepenggal lagu acak lalu tertawa seperti orang gila sambil terus berjalan mengikuti arah lari Ucup.


     Jantung Ucup berdebar cepat, ia seperti sedang dikejar sosok hantu--salah, baginya Regine terlihat jauh lebih mengerikan daripada hantu. Ucup berkali-kali menengok ke belakang untuk memastikan jarak, hingga ia tidak sadar lalu terpeleset genangan darah.


     "Wah, apakah ini saat yang tepat?" Regine terlihat begitu bersemangat lalu berlari ke arah Ucup. Ketika bocah itu hendak bangkit gadis itu melemparkan sebilah katana putih yang langsung menembus betis Ucup.


     Bocah itu terjatuh kembali dan menangis karena nyeri yang ia rasakan. Regine mendekat perlahan setelah jarak mereka cukup dekat. Gadis itu memamerkan deretan giginya yang menggigit stick Chupa.


     "Sudah tidak mampu berlari, Bocah?" Wajah Regine terlihat begitu mengerikan untuk Ucup.


     Bocah itu berusaha berdiri dengan kaki pincang dan tetap berusaha menjauh. Air matanya berjatuhan. Takut, sakit dan ia tidak ingin mati.


     "Oh, jadi kau masih kuat berdiri?" Regine melangkah sedikit lebih cepat, sesekali ia melompat kecil untuk mendekati Ucup.


     "Ampun. Ampuni saya, teh," ucap Ucup seraya mengatupkan kedua tangan di depan wajah.


     "Jadi sudah selesai permainan kejar-kejarannya?"


     "Teh, ampuni saya. Tolong ampuni saya." Ucup menangis sambil memohon ampun.


     "Oh, kau memohon ampun?" Regine mengamati bocah yang mengangguk-angguk itu."Hmmm." Gadis itu terdiam sesaat lalu menggosok dagunya yang tidak gatal dengan telunjuk. Sesaat keduanya diam, hanya terdengar suara sesenggukan dari Ucup.


     Mendadak jari Regine berhenti bergerak lalu menendang tubuh mungil itu ke samping hingga menabrak dinding."KAU PIKIR AKU AKAN MEMBIARKAN SESEORANG YANG TELAH MEMBUAT CIA KETAKUTAN TETAP HIDUP?"


     Regine menghampiri Ucup lalu mendorong keras kepala bocah itu ke dinding dengan kakinya. Bocah itu terus memohon ampunan sambil menangis."Menangis tidak akan membuatku mengurungkan niat, Bocah!"


     Regine menarik kasar katana yang masih menancap di betis Ucup. Bocah itu menjerit kesakitan saat luka sekunder itu tercipta [notes: Luka sekunder adalah luka yang ditimbulkan ketika suatu benda tajam ditarik keluar dari jaringan. Sementara luka primer adalah luka yang tercipta saat benda tajam pertama kali menusuk jaringan.].


     Regine menusuk perut Ucup tanpa ragu. Bocah itu hanya bisa menangis dan menjerit kesakitan apalagi ketika gadis itu menggunakan senjatanya untuk merobek perutnya. Ia hanya bisa terus menangis dan memanjatkan doa.


     "Aku tidak akan mengampuni siapapun yang membuat Cia ketakutan atau sedih. Meski kau masih bocah." Regine menarik senjata lalu mengayunkannya hingga memenggal leher bocah itu.


     "Kau tahu bocah? Aku paling benci dengan orang yang takut mati, tetapi berani membuat Cia menderita." Regine menelentangkan tubuh bocah itu dan meletakkan kepala Ucup di sebelah dirinya yang kini duduk bersila. Tangan kanannya menghujamkan katana ke jasad bocah itu beberapa kali sambil mengobrol dengan kepala itu.


     "Kau tahu Bocah? Cia sebenarnya tidak ingin membunuhmu, tetapi kau menyakiti Cia. Jadi bagaimana ya, aku sedikit dilanda dilema. Maka dari itu aku mengajakmu bermain kejar-kejaran." Kali ini Regine merobek-robek kulit dada jasad itu."Sayangnya kau terpeleset, jadi membuatku ingin melukaimu. Tapi aku jadi sebal denganmu, memohon ampun setelah dengan mudahnya menyakiti Cia. Itu membuatku marah jika kau tahu. Aku sangat marah. Cia itu adalah segalanya untukku meski dia kadang menyebalkan. Ya, Cia itu sedikit menyebalkan. Dan aku juga kesal denganmu!" Regine menusukkan senjata tepat di tengah dada jasad Ucup.


     Mendadak suara musik terdengar menjauh ketika headphone dilepas oleh seseorang di belakang Regine."Saatnya kembali ke Devashe Vadhi. Sudah cukup permainan mencacah mayatnya, dia sudah mati."


     Ia mendongak dan mendapati sesosok makhluk merah bersayap gagak."Bukankah masih ada seorang lagi? Kolator kalau tidak salah."


     Hvyt itu menggeleng."Dia tewas di tangan Carol."


     "Oh. Kupikir aku bisa bertemu dengannya," ucap gadis itu. Nada bicaranya yang keras perlahan melirih.


     Hvyt membantu gadis yang tubuhnya penuh luka itu berdiri."Kau membunuh seluruhnya?"


     "Tidak semua. Tidak dengan Kolator," ucap gadis yang telah berubah alter egonya itu. Ia memasang headphone lalu melirihkan volume. Hvyt membawanya pergi dari gedung itu dan kembali ke Devashe Vadhi.


***


     Sesosok gadis transparan muncul di dekat jasad Ucup. Melayang memperhatikan sebelum kemudian berjongkok di dekatnya."Padahal dia berkata tidak ingin membunuhmu," ucapnya pada kepala Ucup."Kenapa sekarang dia membunuhmu dengan kejam?" Ia melongok ke arah perut Ucup yang robek. Dengan guntingnya ia merobek kulit perut tubuh itu dan memasukkan tangan.


     "Aku tidak mengerti. Apa dia berkepribadian ganda?" gumam Abby sambil menarik keluar usus Ucup."Kalau memang iya berarti dia menarik." Gadis itu menggunting usus di tangannya beberapa kali sambil tersenyum karena menemukan hal yang terlihat menarik.


     "Dan kali ini terima kasih atas kerja samanya, Ucup. Aku jadi mengerti seperti apa rasanya menggunting usus manusia," ucap Abby seraya menjatuhkan potongan yang ia genggam. Gadis itu melambaikan tangan pada kepala Ucup sesaat sebelum menghilang.


-End of Round 1-

17 comments:

  1. Saya ga ngerti kenapa Abby mendadak muncul di tengah dan akhir cerita, tapi berkesan numpang lewat dan ga ninggalin sesuatu yang relevan pula
    Jujur habis baca semua rookie lain, cerita Cia malah berkesan lebih datar daripada zaman Rexie. Saya kurang suka alurnya, apalagi mendadak Kolator cuma disebutin mati di tangan Carol - yang pertama dilawan Cia di awal.
    Kalo ga salah juga ngeliat notes yang agak awkward ditaro di tengah gitu, mendingan anatara diganti dengan sesuatu yang lebih umum atau diakalin penjelasannya dengan narasi.

    6/10

    ReplyDelete
  2. Ini ... penganiayaan terhadap anak di bawah umur! Panggil Kak Seto! Telepon kantor KPAI!! \:v/

    Oh well, sayang sekali Kolator tidak muncul sama sekali. Kalaupun memang dia bertarung dengan Carol, setidaknya tuliskanlah adegannya. Jadinya penonton bisa menikmati pertempuran antara Carol dan Kolator—yang pastinya akan berlangsung secara seru.

    Pertarungan dengan Rex pun terlalu singkat. Paling tidak, berilah Rex kesempatan untuk menunjukkan beberapa jurus pedang sucinya. Dan semestinya tidak semudah itu Cia bisa menggores tubuh Rex dengan pedang beracunnya, karena Rex kan memakai armor. Lalu adegan kematian Carol ... agak tidak jelas. Jadi Cia menggunakan tubuh Carol sebagai tameng sehingga pedang Rex menembus tubuh si pustakawan? Padahal pedang Rex itu tumpul dan tak bisa memotong, lho~ (kecuali kalau kekuatan penuh giruvedan diaktifkan)

    Baiklah. Narasinya cukup baik, walaupun rasanya masih bisa diberi bumbu lagi agar lebih menarik. Ada kerancuan di sana-sini, terutama saat menggunakan kata ganti orang ketiga—yang mestinya jelas mengacu pada siapa.

    Poin saya 6.5

    ReplyDelete
  3. "Ugh...itu pasti sakit," kata Clive sambil memegangi perutnya.

    "Aku tak kaget," jawab Kaito, "Walaupun sebenarnya penulis hanya menyajikan kesadisan. ada drama, namun aku masih merasa datar, ya kan, Nona?"

    "Setuju," Clive mengangguk, "Kau pikir ia belum menguasai drama?"

    "Entahlah, yang jelas pertarungannya cukup seru," jawab Kaito, "Nilai?"

    "satu untuk drama," jawab Clive.

    "Lima untuk pertarungan," Sambung Kaito.

    *
    Total : Enam

    ReplyDelete
  4. Note di bagian tengah benar-benar menghentikan pace membaca saya, sangat mengganggu. Dari segi battle ini lumayan bagus, meski menurutku tingkat kesulitan yang dialami karakter sama sekali tidak sepadan dengan jumlah lawan yang dihadapi (dengan kata lain, lumayan imba).

    Selain itu, ada apa dengan lawan yang datang dan menyerang secara bergantian? Seolah mereka menunggu giliran untuk tampil...

    Ini mengingatkan saya dengan film-film silat jadul, di mana lawan ada banyak, tapi mereka menunggu giliran untuk menyerang karakter utama. Mereka menunggu teman mereka dikalahkan sambil terus berganti kuda-kuda di latar pertarungan utama~

    7/10

    ReplyDelete
  5. Mampir~
    Wah keknya cerita ini jd sarana pelampiasan ya? Bnyk banget si Regine maki2 dan ngecrut lawan2nya ^^;
    Komplen dong, kok keknya tanggung bener brantemnya sama si Rex? Trus Carol ga keliatan kayak Pustakawan yg tau banyak soal buku. Kenapa dia justru lbh milih pistol drpada summon yg aneh2? Gw tdnya ngebayangin si Carol bakal ngeluarin meriam loh wkkwkw

    IMO narasi lu yg skrg jauh lbh enak dibanding tahun sebelumnya. So, nilainya
    8/10

    ReplyDelete
  6. "I have an Alter Ego, her name is Regine. She always protects me from pain and sorrow. I proud of her." - Darcia -

    wkwkwk Quote ngasal dari Umi. :3
    Umi ga mau komen panjang ah kak.. Udah banyak yang kasih kritik dan komentar jadi Umi disini mau ngasih tahu kesan Umi aja terhadap Darcia (dan) Regine:

    -Disini Umi lebih merasa Cia lebih ke pembunuh bayaran Thurqk daripada peserta >.< entah karena dia yang terlalu menurut sama Dewa jadi-jadian itu (dijitak om Glen) entah juga karena cara dia bicara.

    - wkwkwk Carol terlalu baik, sampai-sampai dia bangunin Cia dulu. Padahal kan kalo dia Dor aja langsung Cia udah tewas XD

    - (protes) Reginenya kurang kejam nih >.<


    selesai nih kesannya Umi >.< Kakak Umi titip nilai 7/10 buat dedek ya >.<

    ReplyDelete
  7. Gore?? Anyway, saya kebawa ama ceritanya dan gak bosen bacanya.
    Bagian yang paling gak seru, Kolator VS Carol, gak ada sama sekali -_-

    7/10

    ReplyDelete
  8. CIA/REGINE! BERANI-BERANINYA VOUS MENGANIAYA OOCHOOP KESAYANGAN MOI! RASAKAN INI! SCORE NILAI 6 MEMBABI BUTAAAAA! HEEEAAAAA!

    #Sesenggukan
    Tega banget ih Oo-Choop dianiaya seperti itu :'(

    Mami Lyca jangan terlalu banyak ngomel2 pake kata kasar dong di cerita. Ga baik buat jabang bayi #eeh

    Soal Kolator mati off-screen, nggak bakal moi protes deh soalnya Kolator emang ribet banget. O ho ho ho hon.

    Yah, itu aja dari moi. Semoga Mami Lyca tetap sehat, bayinya sehat dan kelak baik hati serta tidak galak, juga semoga Mami Lyca bisa melewati persalinan dengan lancar, tidak ada masalah, sehat, dan selamat. Amiiin.

    #KembaliMenangisiKematianOochoop

    ReplyDelete
  9. abby muncul lagi :D
    khasnya kak lyca nih, kejam, dtambah gore pula x3
    narasinya asik sih kak, meskipun pertarunganya singkat2 dan cia terkesan mendominasi :3
    nilai 7,5/10 :)

    ReplyDelete
  10. Mbak, mengalahlah sama anak kecil :v

    Tapi sesuatu ya.. Mama Lyca bisa nyelesein ini dalam keadaan rada badmood..

    Masih ada beberapa kata yang saya kurang pas Mak.

    +7.8 dari saya.

    Saya tunggu ponakan saya lahir #lusiapa

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -