April 6, 2014

[ROUND 1 - A] LUCIA CHELIOS - A CITY OF NONCHALANT VIOLENCE

[Round 1-A] Lucia Chelios
"A City of Nonchalant Violence"
Written by Adrienne Marsh

---

"Tempat yang tidak akan asing bagi salah satu dari mereka,
namun akan terasa sangat asing bagi yang lainnya..kah?" 

Mimpikah ia tadi? Lucia Chelios menengadahkan tangannya ke langit 
sambil berbaring di sebuah tempat tidur. Ia memandang ke jendela. 
Makhluk merah bersayap itu sedang terbang meninggalkannya. Bukan mimpi 
ternyata. 

Ia kembali bangun dan melihat tongkat kecil yang tergeletak di bawah 
tempat tidurnya. Tempat ini sama sekali tak berubah. Tas yang 
tergeletak terbuka di atas kasur itu seakan tak tersentuh. Handgun 
dibalik bantalnya masih ada disana. 

Ah, sepasang pria hitam pertama yang tak beruntung itu. Mayatnya masih 
dibiarkan bergelimpangan begitu. Tipikal kota ini. Tunggu saja sehari 
atau dua hari mereka serta gunung mayat diluar kamar akan diangkut dan 
ditanam jadi pupuk oleh siapapun yang menyuruh mereka. 

Demikian batin Lucia sambil beranjak dari kasurnya dan membuka kulkas 
yang dekat dengan wastafel cuci di ruangan yang seharusnya kamar 
apartemennya semasa hidup itu. 

Untung saja 'empat orang lainnya' tersebar di sekitar kota ini. Masih 
ada kesempatan untuk menikmati bir yang ketinggalan ini, pikirnya lagi 
seraya tangannya meraih sekaleng minuman berkadar alkohol rendah. 
Antara toleransinya akan minuman keras sudah meningkat ataukah karena 
kematiannya, tapi sedikitpun tak terasa pengaruh dari minuman itu 
bahkan ketika Lucia menenggaknya bagai segelas air putih. 

Kembali wanita itu memandang ke jendela keluar gedung, kali ini ia 
menatap ke bawah. Jalanan masih saja ramai seperti biasa. Mungkin tak 
ada salahnya Ia kembali turun ke bawah dan memastikan empat orang 
lainnya yang dibawa terbang makhluk merah bersayap itu tahu akan 
permainan yang mereka hadapi. 

Oh iya, tak ada salahnya mencoba. Kaleng bir yang langsung habis dalam 
hitungan detik itu dilemparnya ke sembarang arah. Kena satu orang, 
dan setidaknya tidak memantul ke kepala orang lain. 
Sudah wajar jika kakek tua bersinglet yang kepala licinnya terbentur 
kaleng alumunium itu mengumpat, 

Yang tidak wajar itu ketika dia menatap heran kepada Lucia yang 
jelas-jelas sengaja duduk menggantungkan kakinya di luar jendela 
apartemen itu sambil menatap balik kakek itu, 
Yang kemudian berlalu seperti tak ada siapa-siapa. 
Senyuman jahil Lucia seketika berubah menjadi seringai yang mengerikan. 

**************** 

Handgun di balik bantal tidurnya sudah berpindah tempat ke dalam 
sarung pinggangnya saat kakinya sudah melangkah menyusuri kawasan 
pecinan itu. Tak ada yang peduli, refleks mengelak pun tidak. 
Bagaimana tidak, wanita itu sudah tak terlihat lagi di mata 
mereka...biarpun jikalau kelihatan, mereka juga terlalu sibuk dengan 
urusan mereka sendiri. Entah itu bekerja, berbelanja, ataupun mencari 
masalah seperti seorang preman yang sedang berlari melewatinya dan 
menikam lari seorang pria berdasi yang sedang merokok di depan sebuah 
warung bakmi. Orang-orang sudah terbiasa melihat darah disini. 
Kalaupun ada satu orang saja yang mengangkat telepon, mungkin dia 
hanya menghubungi ambulans. 

Tanpa perlu dipanggil juga polisi pasti akan datang kemari. Kemudian 
Lucia menyadari bahwa benda mati yang dipegangnya, asal sudah tertanam 
ide jika benda itu adalah senjata maka wujudnya juga takkan terlihat 
oleh orang lain. 

"TUAN!!!" 

Seorang gadis berlari menuju pria yang sekarat itu. Dengan panik 
berteriak-teriak kepada orang yang berlalu begitu saja. "Orang ini 
sedang sekarat!! Tolonglah! Kumohon!" 

Tentu saja tak ada yang peduli terhadap kejadian sehari-hari itu. Ah, 
ada seorang anak yang kebetulan bersepeda di sana. Batin Lucia yang 
kemudian menjentikkan jari ketika dugaannya tepat. Anak itu 
mengeluarkan ponselnya dan mendekatkan kameranya ke arah sosok pria 
yang sedang sekarat itu. "Apa kalian tak punya hati!? Hei!!!" Gadis 
itu menghalangi sang anak. 

Anak itu bergeming. 

"Sebentar, jangan-jangan.." Lucia segera berbalik dan berlari menuju gadis itu. 

Mungkin Ia terlihat seperti badut, atau memang badut sungguhan. Tapi 
Lucia takkan mengomentari lebih lanjut penampilan gadis yang harusnya 
sedari tadi menjadi pusat perhatian setiap mata di jalanan ini. 
Jawabannya sudah jelas. 

"Apakah kamu seorang peserta?" 

Gadis itu terperanjat. Bagus, dia bisa melihatku. Pikir Lucia yang 
menoleh ke arah pria yang terkapar itu. Orang malang itu takkan 
bertahan lama dengan darah yang sudah tergenang bak cat yang perlahan 
mengering. 

"Anda...anda melihat saya!? Bukankah seharusnya-" 

"Kalau iya memangnya kenapa?" Kilah Lucia sebelum melanjutkan 
kata-katanya. "Sebagai seorang Peserta, kau sadar kalau semua orang di 
rumahku ini tak bisa melihatmu, bukan?" 

"Saya sadar, tapi apakah mereka punya rasa emp-" 

DOR! 

"Empati? Yang mana?" 

Tiga lagi tembakan meletus dari handgun di tangan kanannya. Yang tentu 
saja, merupakan tindakan yang tak perlu dilakukan karena efek yang 
muncul hanyalah seorang gadis berbedak putih plus lipstik merah hati 
dan seorang anak yang terkejut hebat dengan lubang yang tiba-tiba 
tercipta pada objek rekamannya. Anak itu berlari ketakutan, si gadis 
hanya bisa menatap tak percaya. "A-anda..." 

"Begini, bagaimana kalau orang ini adalah seorang jaksa yang baru saja 
kembali setelah berjudi di salah satu kasino murahan di sini dengan 
memakai uang suap dari seorang Bandar narkoba?" Gadis itu mulai 
memandang ragu ke arah pria yang nafasnya sudah berhenti dan terbujur 
kaku di trotoar jalan raya. "...Itu karanganku, jangan dianggap serius." 
Ambulans pun datang dengan sirine bising khasnya, dan terlambat 
seperti biasa. Begitu pikir Lucia. 

"...Tapi orang ini adalah manusia. Ia masih hidup dan bisa 
diselamatkan!" Badut itu menggelengkan kepalanya berulang kali. 

"Dan kita sudah mati... Oh dewata, ini sebabnya kenapa aku berhenti 
hidup mengejar nyawa."Air mata kasihan yang muncul dari 
ketidakberdayaan si wanita badut dalam menyelamatkan orang asing yang 
diangkut dengan tandu ke dalam ambulans itu membuat Lucia sedikit 
gerah. "Terlebih lagi. Apa kau mengerti akan aturan lain permainan 
ini?" Bukan waktu yang tepat untuk mengatakan hal seperti ini, namun 
setidaknya salah satu kewajibannya jika bertemu sesama Peserta mulai 
terlaksana. 

"Apa yang dimaksud makhluk itu dengan 'saling mengalahkan'? akankah 
kita diberi misi? Haruskah kita saling membunuh?" gadis berwajah menor 
yang sedang berjongkok itu masih memandang ke ambulans yang mulai 
bergerak menjauh. 

"Karena itu aku meminta konfirmasi darimu. Adakah jalan lain? Apa kau 
baru saja menerima tugas kelompok atau semacamnya?" 

Ia menggeleng tidak tahu. 

"Dan sudah jelas kalau kita sudah mati, dan dibawa kembali ke dunia 
ini lalu disuruh mengalahkan satu sama lain oleh pribadi yang mengaku 
dirinya adalah Tuhan. Apa aku benar?" 

"Saya tidak tahu." 

Senjata api itu kembali meletus. 

"AHHH!!" 

Sebuah papan kayu. Sebuah papan kayu yang tiba-tiba muncul di antara 
Lucia dan gadis badut yang refleks menengadahkan telapak tangannya ke 
depan. Bahunya tergores akan peluru yang menembus papan itu. 

"Oh tentu saja, seorang penyihir rupanya." Kilah Lucia. 

"Apa yang baru saja anda lakukan!?" Wanita itu menggaruk-garuk 
kepalanya akan jawaban targetnya. "Anda tidak perlu menembak saya!" Oh 
dia tahu kata "menembak" rupanya, batin Lucia. 

"Bukannya peraturannya seperti itu? 'kalahkan semua lawanmu'?" Lucia 
membuang pistolnya dan merenggangkan jari jemarinya. "Bukankah jelas 
maksud sang Dewata kalau kita harus bertarung?" Menghajar seorang 
gadis yang kebingungan tak selalu dihadapinya setiap hari, namun 
beberapa kalangan pebisnis bermental bedebah juga butuh orang yang 
bisa tega melakukan hal sekotor ini, tentu saja supaya tangan mereka 
tetap bersih. "Ayolah, tak mungkin Dewa itu akan membiarkanmu sekarat 
di rumahku seusai pertarungan ini." Untuk saat ini, Lucia benar-benar 
membutuhkan kesempatan untuk hidup kembali itu. Bagaimanapun caranya. 

"...Jangan...Jangan!" Tiba-tiba sebuah kapak muncul entah dari mana dan 
melesat maju menuju wajahnya ketika gadis itu mengayunkan tangannya 
dan berlari. Jika saja Lucia tidak segera menunduk benda itu mungkin 
sudah tertancap dengan mantap di kepalanya, 

Namun tidak. Dibelakang Lucia kapak itu malah mengenai seorang anak 
laki-laki yang sedang menggandeng tangan seorang wanita yang lebih tua 
darinya. "Ah, lihat yang kau lakukan..." 

"A-aku...aku.." Gadis itu jatuh terduduk, kehabisan kata-kata akan 
kecerobohannya. "Aku... tidak..." 

"Sudahlah.." Lucia mendecak kesal. Langkahnya semakin dekat, namun 
gadis berbedak tebal itu masih tergagap-gagap dengan tatapan yang 
terpaku akan si wanita tua saat ia terisak-isak memanggil anaknya. 

Sosok Lucia sudah menghalangi pandangan gadis itu. Ketika Ia 
mendongak, kilat tongkat logam yang diterangi oleh silaunya matahari 
sudah teracung di kepalanya. "Maafkan aku. Aku juga ingin hidup." 

Si badut mengabaikan permohonan maafnya, namun sesuatu membuat tangan 
Lucia berhenti. 

"Haha...hahahaha....." Gelak tawa gadis itu terdengar tak wajar, namun tak 
asing di telinga Lucia. 

Tawa yang tercipta dari trauma, seakan gadis itu baru membunuh untuk 
pertama kalinya. Sungguh jauh dari prasangkanya saat wanita itu 
terlempar ke pulau serba merah beberapa saat yang lalu. 

"...Oh Dewata, Kau pasti bercanda..." 

Tawa itu tidak kunjung berhenti. "...saya, saya tidak sengaja. A-anda 
lihat sendiri kan? Sa-saya sama sekali tidak bermaksud..." Senyum yang 
terkembang di wajahnya sama sekali penuh dengan rasa takut dan 
bersalah. Ambulans yang berhenti di tepi jalan bisa saja menabrak 
gadis itu jika saja mereka tidak berhenti tepat di belakangnya. 

Diselimuti oleh tangisan seorang ibu yang kehilangan anaknya dan tawa 
seorang badut yang tak semunafik prasangkanya, Lucia hampir menurunkan 
batonnya, 

Jika saja sebuah kapak kecil bermotifkan hitam-merah darah tidak 
terayun ke wajahnya. 

Lucia refleks menepis sabetan serampangan itu dengan senjatanya yang 
ikut terlepas, beberapa saat sebelum kapak itu menghilang. "Kalau saja 
anda tidak menghindar tadi, anak itu takkan mati!" Luar biasa, 
sekarang wanita itu jadi kambing hitam si badut yang sedang tenggelam 
dalam penyangkalannya. 

Bukannya tak mau menjawab, namun Lucia tahu benar shock seperti apa 
yang dihadapi oleh si gadis saat ia melihat gadis itu bergerak aneh 
layaknya orang gila yang mengenakan senjata sampai seolah-olah sebuah 
senapan serbu terlihat begitu saja di tangannya dan 

"Oh sial." 

Senapan itu muncul dan memuntahkan rentetan peluru yang hanya menambah 
korban lagi. Beruntung Lucia langsung berlari menghindar dan terjun ke 
belakang ambulans yang ditelantarkan akibat sekelompok paramedis yang 
menjadi mayat segar akibat tembakan nekat si gadis. 

Satu-satunya yang membuat kewarasan Lucia terjaga meski tubuh-tubuh 
bergelimpangan bukan karena ia menilai rendah nyawa manusia, namun 
karena Tuhan yang terbukti ada. Jika Tuhan Sakit itu sudah cukup 
terhibur, tentu saja Ia akan menghidupkan kembali mereka semua dan 
menganggap kejadian hari ini tak ada sama sekali. Mungkin hanya 
harapannya. Lagipula, Tuhan, Thurqk atau apalah itu sayang umat yang 
percaya kepada-Nya bukan? 

Entah bagaimana caranya make up gadis itu bisa tetap awet meski sudah 
basah oleh air mata dan liur, namun Lucia lebih khawatir akan peluru 
nyasar itu sewaktu-waktu dapat menembus kepalanya. Melihat kesempatan 
di waktu si gadis menurunkan senapan imajinernya, Lucia menerjang 
mendekat sebelum tiba-tiba sebuah bayonet muncul di ujung laras 
senapan itu. 

Sekali ayun, bayonet dadakan itu menggores sedikit jaketnya. Kemudian 
disusul dengan rentetan tembakan vertikal yang lagi-lagi nyaris 
menyarangkan pelurunya seandaikan Lucia tidak segera menunduk dan 
mencengkeram tangan si gadis, meninju keras sikunya hingga terbuka di 
arah yang salah dan menanduk hidungnya. 

Lengkingan yang keluar dari pita suara suara si gadis tak terdengar 
sama sekali oleh masyarakat yang berlarian panik di sekitar mereka. 
Yang mereka tahu hanyalah sekelompok arwah, penyihir maupun monster 
tanpa wujud mungkin sedang meneror daerah itu dengan orang-orang yang 
mendadak jatuh bersimbah darah dengan lubang yang menganga di badan 
mereka. Kembali lagi ke gadis itu, Lengan kanan dan hidung yang patah 
disusul dengan senapan yang tiba-tiba menghilang. Lalu Lucia menyeret 
gadis itu dan membanting kepalanya di bodi ambulans sampai membekas 
berulang kali hingga gadis itu tak sanggup untuk berteriak lagi. 

Nafas Lucia Chelios terengah-engah. Ia tidak menyangka menghadapi satu 
orang yang baru kenal artinya membunuh seseorang saja sudah memompa 
adrenalin dan memakan korban. 

Semoga saja Dewa Merah yang sedang menonton memaafkan dosa gadis ini, 
demikian batin Lucia sambil memungut kembali batonnya dan berjalan 
meninggalkan seorang gadis berwajah badut yang terkapar tak berdaya 
dan sekerumunan orang yang berlarian menyelamatkan diri. 

"...Tak ada waktu untuk berpikir." Lucia hanya ingin segera 
menyelesaikan kewajibannya yang sekarang. Tangannya sudah kotor 
terpisah dari niatnya untuk berhenti. Untuk apa berhenti jika masih 
ada hutang yang tertunda? 

*********** 

"Aku akan menunggu jawabanmu. Datang saja ke kantorku jika kau siap 
meninggalkan masa lalumu sebagai Lucia Chelios." 

Lucia masih menyimpan bimbang dalam hatinya ketika menerima kartu nama 
itu. Ia sudah terbiasa menerima tawaran dari klien-klien tidak 
dikenal, namun kali ini ada yang terasa berbeda dari sosok pribadi di 
depannya. 

Sorot mata sang penawar terlihat mengerti akan kejenuhan yang semakin 
lama semakin menggerogotinya. 

************ 

Lucia mendengar bunyi dentingan antar logam yang nyaring entah dari 
mana. Ia menoleh kesana kemari mencari sumber suara itu dan langkahnya 
berhenti begitu Ia memandang ke atas sebuah gedung apartemen, dimana 
terlihat sesosok tubuh berwarna biru terang terkapar di atasnya. 
Dihunjam sebuah pasak kuning keemasan yang menembus tepian atap beton 
apartemen itu. Cairannya yang jatuh membasahi beberapa jemuran pakaian 
yang digantung di luar salah satu jendela lantai dua terlihat tak 
digubris oleh pemiliknya. 

"Dua lagi.." Lucia menarik nafas dalam-dalam sambil meremas gagang 
batonnya. Dalam pertempuran sihir, tentu saja Lucia jauh lebih 
inferior karena kemampuannya hanya terbatas dalam memanipulasi energi 
spiritualnya menjadi sebuah api hijau membara. 

Begitu Lucia di dalam, kakinya melangkah masuk ke dalam sebuah lift 
dengan pintu geser yang sudah tua lalu menekan tombol "5", angka 
paling tinggi yang terlihat di panelnya. Sesekali bangunan itu terasa 
bergetar hebat bagai terkena gempa. Namun wanita itu tahu benar kalau 
bukan gempa bumi penyebabnya. 

************ 

"Aku tak percaya aku harus tunduk kepada makhluk diluar nalar seperti dia." 

Seorang gadis dengan rambut hitam sebahu duduk merenung di atas sebuah 
gedung apartemen. Kedua matanya terpaku kepada sebuah kotak hitam 
kecil di telapak tangan kirinya. Dalam hati, Ia berkilah. Perempuan 
berkacamata ini tak mengerti apa yang harus dilakukannya. "Kakak, 
jika kau bersamaku saat ini apa yang harus kulakukan...." Sorot mata 
gadis itu memancarkan kerinduan akan seseorang, namun dibalik itu 
juga tersirat sebuah kebimbangan. 

Gadis itu belum pernah membunuh sebelumnya. Ia hanya tewas dalam 
sebuah kecelakaan. Apakah hal itu cukup untuk membawanya ke sebuah 
pulau yang lebih mirip dengan imaji Neraka bagi para pendosa? Makhluk 
yang mengaku diri adalah Sang Pencipta ini sepertinya tak sebaik yang 
diakui para penyembahnya. 

"Lima puluh lima. Hanya akan tersisa satu pada akhirnya, yang akan 
mendapatkan penghapusan dosa dan kelahiran kembali ke dunia tempat 
asal kalian. Tak ada yang lebih berharga daripada kesempatan kedua 
untuk memperbaiki takdir kalian." 

Darimana Ia harus memulai? Fakta bahwa mereka semua sudah mati mungkin 
bisa menjadi alasan, namun apakah jawaban dari perintah ambigu itu 
adalah 'Bunuh mereka semua' ? Tak adakah maksud lain dari hal itu? 

"Namun jika tidak, tak peduli aku adalah orang yang berdosa maupun 
tidak makhluk-makhluk bersayap itu akan menyiksaku jika kalah..." 

Tiba-tiba renungannya terpecah oleh bunyi pintu jauh di sisi kanannya 
yang dibanting terbuka oleh sesosok figur. Entah manusiakah dia 
ataupun bukan agak mencengangkan baginya ketika sekujur tubuh sosok 
yang berlari keluar itu terlihat transparan dan biru menyala. 

"Tolong-" 

"Aura!" 

Kalimat makhluk biru itu terpotong oleh sebuah pasak kecil yang 
menembus kakinya. "AAHHHH!!" Dia terjungkal, namun dengan kedua 
tangannya Ia menyeret tubuhnya hingga ke ujung atap. Menggapai-gapai 
harapan yang kosong. 

"Kau pikir dengan memancingku ke dalam ruangan kau bisa terlindungi 
oleh penghuni-penghuni tak berdosa? Kau pikir aku tak bisa menemukan 
solusi yang lebih aman dengan empat puluh sobatku ini?"Seorang lelaki 
yang mengenakan kerudung putih melangkah keluar dari pintu yang sama. 
Terus melangkah ke figur biru yang suaranya terdengar seperti seorang 
manusia lelaki itu. 

"K-kumohon. Pasti ada jalan lain selain dari hal ini." 

Si pria berkerudung tertawa terbahak-bahak. "Kau masih tak mengerti 
juga? Ayolah, ujung-ujungnya juga kau akan dihidupkan kembali oleh si 
Merah itu." Sejenak pria itu menghela nafas dalam - dalam, seorang 
gadis serba putih bergaun emas yang melayang - layang di atasnya 
seakan ikut tersenyum geli. 

"Ini bukan masalah bertahan hidup, ini masalah motivasi." 

"J-jangan, jangan..." 

"Dan kupikir motivasimu tidak sesuai dengan semangat kontes ini." 

"Tiba-tiba sebuah pasak berukuran dua kali lebih besar dari pasak yang 
tersangkut di kaki sosok tersebut muncul dari tangan si gadis 
keemasan. dan gadis berkacamata yang melihat dari sisi lain itu hanya 
bisa terkejut dengan jejak yang ditinggalkan kaki yang cidera itu. 

"Jangan, Stallz-AKH!" 

Bukan darah, namun cairan biru yang terlihat sedikit lengket, sama 
seperti tubuh luar sosok yang dadanya langsung terhunjam pasak emas 
besar yang tersangkut di beton tepian apartemen itu. 

Ketika cairan biru itu muncul lagi mengaliri pasak emas yang terlihat 
berkilau diterangi bola gas raksasa di udara, gadis berkacamata itu 
menyadari sesuatu. 

"Jadi, rupanya kau bisa melihat kami." Kerudung itu dibukanya ketika 
pria itu menatap sang gadis bersamaan dengan wanita keemasan yang 
merubah dirinya menjadi sebuah bola kecil yang bergerak masuk ke tas 
pinggang yang dikenakan pria berkulit cokelat itu. "Tapi bukan kau 
yang saat ini kucari." Kilahnya. 

Apakah ini kesempatannya untuk mencoba? Pria itu tak terlihat punya 
beban ketika memburu monster barusan, bukankah itu berarti tak ada 
konsekuensi berarti dari permainan ini? Pikir gadis itu. 

"Yah, setidaknya kau bisa mempercepat urusanku di sini. Fenrir! 
Curry!" Sebutir bola kecil tiba-tiba melesat keluar dari tas Pria itu. 
Dengan sejenak kilatan cahaya bola itu berubah menjadi seekor serigala 
yang tampak diselimuti oleh logam, seakan setiap bagian tubuhnya 
adalah besi itu sendiri. Kemudian satu lagi bola kecil yang melesat 
keluar dan pecah, mengeluarkan sesosok wanita berkulit cokelat gelap 
berpakaian Sari yang bersiaga di depan sang pria berjubah putih. 

Si gadis berkacamata menunduk, membisikkan sesuatu kepada kotak hitam 
di tangan kirinya. 

"Equilibrium System, activate." 

Cahaya yang bersinar dari kotak hitam itu hanya bisa dilihat oleh si 
gadis berkacamata. Seraya Ia menghunus pedang yang sedari awal 
tersarung di pinggangnya gadis itu kembali bergumam, 
"Pressure-Concept, maximum air compression." 

Ia tak ingin bertarung. Lebih tepatnya gadis yang bernama Volatile itu 
tak bisa bertarung. Ia berharap Le Chatelier sword, suvenir dari 
kehidupannya yang lama dapat menyelamatkannya dari pria berwajah tanpa 
dosa ini. 

************ 

Lift itu akhirnya berhenti. Lucia menggeser pintu manualnya dan 
melangkah ke satu-satunya pintu di depan matanya. Lantai yang 
dipijakinya agak licin, dan tentunya bukan karena langit-langit yang 
bocor ditembus oleh hujan karena diluar sama sekali cerah dan terang 
benderang. Jikalau pun ada orang mabuk yang buang air sembarangan 
tentu aroma tempat ini sudah amis luar biasa. Lucia akhirnya menatap 
ke bawah, melihat genangan-genangan kecil air berwarna biru pekat 
menempel di sepatunya. Semakin Ia dekat dengan pintu itu, semakin 
jelas terlihat di gagangnya terdapat cairan lengket yang sama. Seperti 
ada yang sengaja membuat jejak dengan menumpahkan kaleng cat dari 
tangga darurat di sebelah kanan pintunya. 

Baru saja Ia membuka pintu itu, Lucia disambut oleh gempuran angin 
yang kuat dari luar, melempar tubuhnya kembali ke dalam lift. 

"Akh, bajingan!" rutuknya. Belum ada satupun tulangnya yang patah, 
namun ngilu yang amat sangat dirasakannya membuat langkahnya untuk 
kembali berjalan keluar agak sempoyongan. Pusing yang dideritanya 
akibat terbentur tembok untungnya tak berlangsung lama, ketika Lucia 
sudah dapat melihat dengan jelas. 

Lagi-lagi tampak seorang gadis yang lebih muda darinya, yang 
mengenakan pakaian seragam mirip dengan tipikal seragam anak-anak 
sekolah menengah umum swasta dari luar kota ini. Kacamata yang 
dikenakannya sudah pecah di sebelah kiri. Sedikit goresan kecil di 
bawah matanya cukup untuk menjelaskan efek pecahan itu. 

"Oh." 

Kata itu cukup untuk membuat sepasang mata yang lain tertuju menjawab 
tatapan Lucia. Oh, bagus. Dari semua orang lain sejauh ini bertemu 
dengannya bagaikan mendapat jackpot lotere. Pikirnya sambil 
menyeringai. 

Bagaimana tidak? Orang itu adalah lelaki tak sopan yang tiba-tiba 
menghujaninya dengan ribuan pasak pada pertemuan pertama mereka di 
akhirat. Entah apa yang ada di benaknya ketika melakukan hal itu, tapi 
setidaknya beban pikirannya sudah cukup ringan, mengingat permainan 
seperti apa yang mereka hadapi sekarang ini. 

Tempat ini medan perangnya, tempat itu peristirahatannya. Kesimpulan 
ini akhirnya terasa jelas ketika tiba-tiba saja mereka harus 
diterbangkan ke sembarang wilayah dan diperintahkan untuk saling 
mengalahkan. 

"---- kau dengar!?" Lucia tak memperhatikan. Pikirannya sudah fokus 
meskipun si gadis berkacamata pecah sudah memindahkan fokus pedang 
berwujud aneh yang dipegangnya ke wanita itu. 

"Release Concept!" 

Masuk telinga kanan keluar telinga kiri, Lucia merangsek maju menuju 
si lelaki berjubah putih dengan wanita cokelat dan serigala logam yang 
menggeram marah sambil mengabaikan gelombang transparan yang melesat 
dibelakangnya seiring teriakan gadis itu. 

Lucia berani bertaruh kalau di atas sana, si Dewa Merah sedang tertawa 
terbahak-bahak bersamanya. 

"Sialan, kenapa aku harus bertemu denganmu di saat seperti ini? Curry!" 

"Jaga dirimu, Tuan!" Gadis berkulit cokelat itu tiba-tiba melesat 
dengan kecepatan yang tak terduga, melewati Lucia dan menerjang si 
kacamata bersama dengan sepasang parang yang melayang - layang di 
sekitarnya. 

Tersisalah wanita itu dan seekor serigala perak berkilauan bersama 
tuannya yang berwajah lebam. Mungkin karena pertarungan intens yang 
diganggunya barusan. 

Mungkin Ia tidak secepat si gadis kulit cokelat, namun setiap 
langkahnya sudah menjadi sosok menakutkan yang haus darah. Setidaknya 
demikian bagi lelaki di depannya. Serigala itu pun tentunya tak 
tinggal diam dan berlari menemui ancaman untuk tuannya saat keempat 
kakinya sudah berderap menjawab intimidasi Lucia. 

Serta merta gadis itu mengayunkan batonnya. Bunyi logam bertemu logam 
terdengar sangat keras, dan yang membuatnya tercengang sejenak bunyi 
itu berasal dari sang makhluk bertaring yang berusaha melesakkan 
taringnya ke tubuh wanita itu. Beruntung, taring itu tersangkut pada 
sebelah kiri jaket hitamnya. Ketika si serigala baja melepas 
gigitannya dan akan menanamkan giginya kembali, Lucia memanfaatkan 
kesempatan sepersekian detik itu untuk mencengkeram moncongnya, 
menggunakan momentum itu untuk menendangnya ke arah yang berlawanan 
dan berguling maju sehingga jaraknya dengan pria berjubah putih yang 
ditujunya. 

Tetapi tiba-tiba sebilah pedang muncul dari langit, melesat turun 
menancap tanah. Beruntung pedang cokelat itu tidak ikut serta menancap 
batok kepalanya. Batin Lucia. Namun serigala itu sudah siap 
menyerbunya setelah terkecoh oleh tendangan barusan dan kini sudah 
melompat menerjangnya yang belum sempat bangkit berdiri. 

Lagi-lagi Lucia berguling ke samping, menghindari lompatan ganas sang 
serigala dan menabrak tepian atap itu, tepat disebelah onggokan mayat 
makhluk biru yang dilihatnya dari jalanan. Makhluk biru itu terkulai 
dengan mata terbelalak. Sebagian cairan biru yang mengalir keluar dari 
pasak emas yang menancap tubuhnya sudah mengering. 

Serigala itu kembali melompat, menerkam calon korbannya yang terpojok, 

"Oh tuhan semoga ini berhasil." 

Hanya untuk menggigit kaki mayat si makhluk biru yang mendadak 
direntangkan oleh Lucia. Akibat terkamannya yang tinggi, sebelum 
sempat berpijak Lucia sudah menyepak rahangnya dan kembali 
memanfaatkan gravitasi untuk memukul perutnya sekeras mungkin. 

Alhasil, sang serigala logam sukses terjengkang melewati tepian itu 
dan terjatuh. Namun, tanpa memberi kesempatan baginya untuk bernafas 
lega, sejumlah pisau lempar tiba-tiba terbang menggores pipinya dan 
menancap bahu kanannya. "Bajingan!" Erangnya. 

************************ 

Si gadis berkacamata meringkuk dan berusaha untuk berdiri dengan 
pedangnya yang seakan tak tersentuh sama sekali, hanya untuk 
kehilangan keseimbangan dan terjatuh lagi. 

"Sudah kuduga, anak sepertimu yang belum bisa apa-apa dilarang bermain 
benda berbahaya yang nyaris mencelakakan tuanku." 

Kondisi gadis itu tidak secantik senjatanya. Tendon kaki kanannya 
teriris hampir menembus tulangnya. Air mata di wajahnya mengalir 
melewati pedih luka-luka irisan di pipinya. Bagian seragamnya yang 
terkoyak bukan menunjukkan keseksian seperti tontonan anak-anak namun 
memamerkan abdomen kiri yang juga teriris dalam. Tentunya 
pedang-pedang berlumuran darah yang menari mengitari si wanita 
berpakaian eksotis di depannya bisa menjelaskan sebab segala cidera 
berat itu. 

kotak hitam kecil yang masih berkelap-kelip seperti awal panggilannya 
tergeletak jauh dibelakang gadis itu. Kacamatanya terjatuh. Sorot 
matanya yang semula terlihat mengancam di awal pertarungan berubah 
menjadi ketakutan. 

"Kau sama sekali tak punya pengalaman bertarung dan hanya mengandalkan 
mainanmu itu. Setidaknya Tuan tidak mengalami luka yang terlalu 
serius. Seharusnya kau-" 

"I-ini mimpi kan?" 

"Hm?" Nada bicara si wanita yang semula mengejek berhenti serentak 
dengan kedua pedang yang langsung bersiaga terhadap objek sasarannya 
itu. 

"....kh-kh-kalau begitu.." gadis itu berusaha mengucapkan sesuatu, namun 
sesaat terbatuk dan memuntahkan darah. "...b-breaking concept molds..." 
Tiba-tiba pedang berwarna-warni itu mengeluarkan cahaya menyilaukan 
dan sekejap pecah. "ahahahaha.....dis..dis.." 

Mendadak terdengar sebuah teriakan dari sisi lain. Dari lelaki yang 
dipanggil si wanita eksotis sebagai Tuannya. 

"Tuan Stallza!!" 

"...dis-assemble." 

Maaf kakak, demikian mimik gerakan mulut gadis berkacamata itu. 

************************ 

Serigala itu menukik jatuh dari apartemen lima lantai itu, 

"Fenrir, kembali!" 

Dan satu panggilan itu kembali menyadarkan Lucia akan sesuatu. Wanita 
serba merah yang ditemuinya. Respon si wanita berpedang. Respon si 
serigala. Ketika makhluk itu menjadi benang merah konklusi yang 
seketika ditemukannya. 

Lalu Ia melihat sekilas sebuah bola kecil yang terbang dari asal 
dimana serigala itu jatuh, kemudian melesat menuju sang tuan berjubah 
putih. 

Tanpa berpikir panjang, Lucia mencabut pisau lempar yang menancap di 
kaki kanannya dan melempar dengan tenaga yang tersisa. 

"Ura- AHHHHGHKKKKKKKK!!!!!!!!!" 

"Tuan!!" 

Teriakan dari jauh itu menandakan kesadaran mereka yang saling 
terhubung. Jika tidak, bagaimana wanita yang sibuk menyiksa gadis 
berkacamata itu sadar akan pisau yang tenggelam di leher tuannya? 

"HEAAARRRRRRRGH." Lucia melepaskan batonnya dan berlari menangkap 
kesempatan tipis itu, mengabaikan sakit luar biasa dari pahanya yang 
tertusuk pisau dan melesakkan sebuah tinjuan. 

Yang menghujamkan pisau lempar itu semakin dalam menembus leher pemiliknya. 

Kejadian sepersekian detik itu seperti diperlambat dua puluh kali lipat. 
ketika bersamaan deru angin yang terserap dari keempat pedang di kejauhan, 
tiba-tiba sebuah ledakan besar tercipta dari sumber yang sama. Gadis 
berkacamata itu. 

Ledakan dengan tekanan yang jauh lebih besar daripada gumpalan angin 
yang menghajar mundur Lucia hingga ke tembok meluas. Bahkan kepada 
pemanggilnya sendiri, yang mungkin sudah tak sanggup untuk melakukan 
apa-apa lagi ketika setiap inci kulit dan dagingnya bersama si wanita 
cokelat hancur ditelan ledakan besar itu. 

Beruntung, tangan kiri Lucia sedang meremas kerah kerudung putih 
lelaki yang baru saja menjadi korbannya membuatnya menjadi tameng 
daging yang mengurangi tekanan besar bak bom C4 yang meledak . 

Namun tameng itu tak cukup untuk membuatnya tetap bertahan di atas 
atap itu dan seketika melemparnya sampai melewati tepi bangunan 
apartemen, 

Hanya untuknya menggenggam pasak emas yang masih memaku sosok biru 
kental yang entah bisa disebut manusia atau bukan. Beruntung, ledakan 
itu tak seglamor efek film aksi yang bisa merobohkan satu gedung bak 
bola bulldozer. 

Deru angin ribut mematikan itu mereda. Namun Lucia enggan untuk naik. 
Dirinya juga sudah tak punya tenaga banyak lagi untuk mengangkat 
tubuhnya. Ah, sudahlah. Asosiasi penyihir kota ini tentu akan 
mengkambinghitamkan seseorang lagi gara-gara hari ini, demikian 
batinnya. 

Tangannya yang sudah mati rasa akhirnya melepaskan pasak itu dari 
genggamannya dan membiarkannya terjatuh, 

Saat sesosok makhluk merah bersayap menangkap tubuhnya. 

"Apakah ini baru permulaan?" 

Anggukan makhluk itu sudah cukup menjawab pertanyaannya. "Semoga 
dewamu berbaik hati untuk menghidupkan mereka kembali." Atau tidak 
sama sekali, seperti yang biasa dilihatnya di jalanan kota ini. 

Entahlah. Lucia tak berharap banyak saat Ia akan diterbangkan kembali 
ke pulau serba merah itu. Mungkin Tuhan sedang memberikan tugas 
terakhir baginya sebelum benar-benar pensiun. 

Lagipula, Ia tak sempat berpikir untuk meyakinkan keempat orang 
lainnya untuk berhenti dan mencari solusi lain. Kalaupun bisa, apa 
jawaban mereka? Kartu nama?

***

40 comments:

  1. MOI BUKAN BADUT! Moi mime artist!

    7 dari moi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi biarpun mime, malah takut jadi timpang gara-gara agak meta kalo Lucia yang awam sadar kalo itu mime :'))))))

      Delete
    2. Hmmm... kayaknya yang satu ini moi sengaja anulirin aja kali ya, soalnya satu group ama moi. O ho ho ho hon.

      Tapi moi ga jahat. Moi support semua rookie. Jadi, moi komen ulang deh (mungkin kalo cuma ngasih nilai doang moi dianggap ga baca. Sacred bleu!).

      So, cerita ini cukup bad ass buat moi. Fightnya asik dan mengalir walau agak lack in awesome moment. So, admin, please be noted that moi gives Lucia 7!

      Delete
  2. [Batlle Intensifies]

    8/10

    ReplyDelete
  3. Dari 8 entry yang sudah saya baca, tulisan ini adalah satu dari dua entri yang punya narasi pertarungan terbaik (yang satu lagi adalah Nurin). Bagaimana setiap pertarungan yang sebenarnya berlangsung dalam durasi kurang dari 5 menit, bisa dikupas dengan detil dan mengalir dengan kecepatan yang terjaga.

    Interaksi/dialog antar karakternya juga cukup baik (oh saya sangat suka ucapan-ucapan Stallza saat memburu Lazuardi).

    Dan masih sempat memberikan satu paragraf menggantung, yang berfungsi sebagai... -terkaan saya- kupasan masa lalu?

    Kekurangannya, ada beberapa adegan di mana sudut pandang penceritaan beralih dari Lucia ke Volatile, dan itu... agak kurang intuitif, di mana saya harus diam sebentar untuk menerka "ah, ini saya sedang membaca Volatile"

    Oh iya, kota tempat tinggal Lucia ini seharusnya (sangat) luas. Sebagaimana realm lainnya, entah jimat keberuntungan seperti apa yang diberikan dewa merah kepada setiap peserta sehingga mereka bisa bertemu satu sama lain dengan sangat cepat :D

    Sulit bagi saya untuk tidak memberikan nilai 9/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sankyu :v /. Mungkin karena pengaruh teksnya yang dicopas ke body, makanya teks miring di scene flashback jadi hilang dan akhirnya agak terasa aneh ketika narasi seolah-2 menggambarkan waktu sekarang. :)))

      And yes, that Volatile scene. intronya Lucia di versi awal yang dirombak ulang supaya masuk sama karakter Volatile <(")

      Delete
  4. iya, aku juga awalnya juga nggak ngeh pas transisi antara Lucia dan Volatile. Apalagi hanya digambarkan dengan kata 'gadis itu' atau 'wanita itu'. kan ada dua wanita disini, jadi aku rasa itu membingungkan.

    trus banyak monolog yg kerasa berantakan. kyk:

    > Beruntung pedang cokelat itu tidak ikut serta menancap
    batok kepalanya. Batin Lucia.

    itu kalimat udh titik, trus disambung Bation Lucia yg merupakan kalimat selanjutnya.

    dan terakhir, untuk scene battlena juga aku kebingungan.

    7/10....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Adrienne Marsh6/4/14 20:59

      Makasih reviewnya :> rupanya saia masih bermasalah di pemakaian tanda baca :))

      Delete
  5. Aduh, sepertinya selera baca tiap orang berbeda-beda ya. Ada yang bilang narasi battlenya sangat intensif, mengalir, dst.

    Tapi ane yang kurang menyukai hal tersebut malah melakukan habbit-- Fast Read, loncat-loncat.

    Tapi seneng sama gore-nya yang dideskripsikan dengan bahasa yang mudah dimengerti.
    >.<

    +6 ya....
    :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Adrienne Marsh6/4/14 21:04

      :3 / makasi. ga enaknya juga mungkin karena penjelasan yang dipotong sampai tempo ceritanya kerasa terlalu ngebut

      Delete
  6. alur battle yang pas, tidak terlalu cepat mengalir, sehingga membuat saya menikmati cerita ini dari awal hingga akhir.....
    dan ending yang tidak terlalu wow, tapi meninggalkan kesan "Ingin melanjutkan membaca lanjutannya."

    9/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih! Iya, saya maunya juga bikin ending yang setidaknya masuk bukan sebagai konklusi, tapi yang bikin kepo orang buat ngikutin ronde selanjutnya :D

      Delete
  7. setelah membunuh COllete, kenapa ngomongya "2 lagi..."
    jawab yang memungkinkan, Lucia gak bisa itung :v

    entah mengapa saya gak bisa ikutin action triple threatnya, mungkin saya doang.

    sama kayak kata Leon, battle Pacenya terlalu Clutter. kalau di film, mungkin kameranya gak bisa panning, atau eyebird tapi loncat-loncat terus yang bikin pusing.

    Final Verdict 6.5

    ReplyDelete
    Replies
    1. :'))))) problemnya berarti penceritaan yang disjointed. sankyu

      Delete
  8. Plusnya, saya seneng penggambaran suasana, pandangan Lucia terhadap situasi, sama deskripsinya
    Minusnya, saya susah ngikutin alurnya pasca kematian Colette. Berasa di tiap scene ada sesuatu yang berhasil bikin saya skip, terus bingung sendiri tadi terakhir lagi apa. Terus saya ga dapet karakter Lazu, mungkin ga masalah kalo dia mati offscreen, tapi ini berasa kurang nendang aja - apalagi dia ga kebagian jatah dialog kan

    7 / 10

    ReplyDelete
    Replies
    1. welp :v .... mungkin karena saia juga belum biasa bikin adegan berantem karakter ini vs karakter itu kali ya makanya penggambaran lawan jadi minim.

      makasih feedbacknya :DD

      Delete
  9. Narasinya sudah lancar dan menarik, sekalipun saya temui segudang kesalahan EYD dan penggunaan kalimat-kalimat yang tidak efekif.

    Adegan bunuh-bunuh NPC-nya cukup asik, membuat setting ceritanya terasa lebih nyata.

    Soal penggarapan dan karakterisasi OC lainnya, hmm ... si Collete kehilangan sentuhan Perancisnya, si Lazu tak dikasih kesempatan untuk menunjukkan skill-nya, sedangkan si Volatile jadi seperti gadis penakut yang tak punya semangat bertempur. Dan saya heran, di semua cerita apa tak ada yang membahas tinggi badan si Volatile yang tak wajar sebagai seorang wanita?? Dia itu 195 cm, for Thurqk sake! :v
    (meskipun saya ragunya kalau si Orange Doughnut itu salah ngetik tinggi di charsheet-nya)
    Adapun Stallza hanya berkesempatan mengeluarkan Spiritia dalam jumlah yang sangat sedikit.

    Well, terlepas semua itu, pertarungannya masih oke. Dramatisasinya pas. Sekalipun terkesan singkat, tapi sudah bisa menghibur saya.

    Poin 7.0

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, saya juga udah re-read lagi ini dan menemukan beberapa error di EYD dan penempatan kalimat. G'AH! pengen edit lagiii #ngeles ;_____;

      makasih :3 /

      Delete
  10. Bener-bener Fast-Paced ya?
    Tapi saya agak nikmatin sih. Bahasanya bang nyas enak.
    Tapi-tapi-tapi... saya bingung di beberapa paragraf yang cuma menunjuk "wanita itu" "gadis itu" dan sebagainya.

    Maaf bang nyas T_T

    +8 dulu ya.
    Soalnya saya masih asik aja sih bacanya, ga dragging

    ReplyDelete
    Replies
    1. Noted. Artinya perasaan Lucia yang merasa asing dengan ketiga kontestan lainnya selain Stallza masih kurang tersampaikan dengan baik. makasih feedbacknya :3

      Delete
  11. Kak Nyasu >.<

    maafkan umi...maafkan umi...
    - dialog tag yang ga ada bikin bingung umi diberbagai tempat. ini yang lagi ngomong siapa?
    - cara bicaranya semuanya samaaaaaa *orz
    - ada penggunaan titik dan koma yang salah tempat
    - dan kenapa semuanya pada ooc? Collete

    maaf nilai dari umi 5...

    ReplyDelete
    Replies
    1. - Dimaklumi minus pointnya juga dialog yang terlalu terikat dari awal sampai yang berikutnya yang bikin susah untuk diikuti tanpa mengulang bacaan dari awal :3
      - :'))))) duh yang ini emang bener banget
      - hoo ngerti2 :3 . benernya mau coba nulis dengan simpel yang mencoba untuk tidak bertele-tele dengan penggunaan titik - koma dalam menggambarkan nada bicara seperti dialog komik. Tapi ga selalu baik juga ya :3
      - Karena nomor dua bener maka efek ga langsungnya nomor empat juga ikutan bener :'))

      Makasih feedbacknya.

      Delete
  12. > Kejadian sepersekian detik itu seperti diperlambat dua puluh kali lipat.
    ketika bersamaan deru angin yang terserap dari keempat pedang di kejauhan,
    tiba-tiba sebuah ledakan besar tercipta dari sumber yang sama. Gadis
    berkacamata itu.

    ANJEERRRRRR BULLET TIME!!! WKWKWKWK
    slowmo nya disini kebayang, super!

    seperti biasa, suka sama gaya penceritaanmu. POV ketiga memang paling cocok dengan karakter lucia.

    pas lucia ngomong kebayang si chelios beneran. wkwkwk

    masalah:
    -banyak frasa yang ga cocok kalo dipake di pov dan style penceritaanmu.
    >bahkan jikalau

    - tanda baca

    dan mungkin karena 5 karakter yang harus dibongkar dalam 1 waktu, jadi masalah untuk semua peserta. no prob untuk gaya deskripsinya.

    so, 7/10 !

    ReplyDelete
    Replies
    1. *guling guling ala John Woo.

      Makasih feedbacknya! artinya fokus feedback disini ke penggunaan bahasa ya :3 /

      Delete
  13. komenya sama dgn yg lain, bingung pas bagian sebutan 'gadis itu' sama 'wanita itu' g bs dbedakan itu sebutan utk siapa, trus narasi awalnya jg msh terkesan lompat2 sih kak
    heran juga pas lucia nendang serigala perak, kakinya kuat amat xD
    tp beneran suka sama pertarunganya kak, seru :D
    nilai 8/10 :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi juga nendangnya bukan sampe hancur, tapi lebih ke mendorong kan? :))

      ah iya, makasih buat gaya tulis 'gadis itu' 'wanita itu' yang ternyata kurang efektif. :3

      Delete
  14. Narasinya rada bikin aku bingung apalagi pas battle, kek pengen bikin situasi yang chaotic tapi hasilnya malah tulisannya yang chaotic dan rada susah diikutin..

    Intens tapi battlenya, nilai plus ini, sama karakterisasi Lucia yang bagus.. Tapi kek Sir Po, karakter lain berasa kurang dieksplor, walau gak separah dia sih :D
    Paling nggak Stallza punya screentime yang lumayan banyak.. Tapi penggambaran tiap karakternya udah dapet sih..

    Penggambaran setting dan suasana dunianya lumayan bagus, tapi entah kenapa aku masih sukaan yang di canon Stallza.. Overall ceritanya simple, bertarung lalu Lucia menang.. Gak ada yang bener bener spesial..

    6/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. tepat sasaran orz . fokus pada karakter Lucia seakan membuat OC lain jadi kertas kardus :))). makasih feedbacknya.

      Delete
  15. Imho, volatile scene ga cocok untuk cerita sependek ini, terlalu chaotic.

    Dari segi penulisan, ini keren, tapi ga akan semua orang tahan godaan buat skimming untuk kemudian bilang "WTF is this?!"

    Have mercy on me, Dude, my slow brain forced me to read this 2 times to get everything sorted. I must thank you though, your writing just gave me some sparks of idea~ :D

    8/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. lolololol di satu sisi volatile scene terkesan nanggung ya. makasih sudah menginspirasi :))))

      Delete
  16. Anonymous29/4/14 07:19

    Okay, ini impresi saya~

    Secara narasi kadang masih agak kaku, juga ada satu kalimat yang kepanjangan, patutnya diberi jeda koma atau titik. Ketika dua gadis bertarung, kata gantinya sama-sama pakai gadis, membuatku terbingung untuk beberapa adegan. Misal saat Lucia dan Colete beradu aksi, ada baiknya jangan pakai kata 'gadis' untuk dua-duanya, tapi dibedakan misal 'gadis itu' dan 'si badut'. Begitu juga pada pertarungan selanjutnya, menyebabkan perpindahan adegan antara Lucia-Fenrir dan Volatile-Curry agak tersendat.

    Secara alur plot cerita ini gak bertele-tele, bahkan ada yang matinya cepat seperti Lazu. Itu ga masalah, kadang menceritakan dalam semua karakter juga malah bikin lelah bacanya. Namun sayang konflik hati di awal sama Colete nampaknya tak ada yang melanjuti. Untuk serangan membunuh masih kurang kerasa klimaksnya.

    So, keep battling.

    Maaf baca dan komennya telat.

    - Grande.

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -