May 7, 2014

[ROUND 2 - KHRD] UCUP - RUN UCUP RUN

[Round 2-Khrd] Ucup
"Run Ucup, Run!"
Written by Tamz Martaatmaja

---

Run Ucup, Run!

                Ucup tebaring. Pikirannya terlalu lelah untuk mencerna apa yang telah terjadi. Muncul di tanah merah, bertemu makhluk-makhluk aneh yang berwujud seperti manusia bahkan monster. Berkenalan dengan beberapa makhluk, Collette, orang yang paling dia ingat, Rafa si lelaki es krim, dua orang yang berujung pada perkelahian. Terlalu lelah Ucup untuk mengingat mereka. Lalu makhluk seperti malaikat atau iblis entah apa yang membawanya pulang ke Bandung hanya untuk bertarung. Disiksa habis-habisan oleh wanita ular, melihat secara langsung beberapa kematian, hingga akhirnya dia sendiri harus membunuh orang yang telah menyelamatkannya.

                "Tidak, itu bukanlah pembunuhan." Ucup selalu berpikir seperti itu. "Aku hanya melindungi diri, bagaimana pun dia akhirnya akan membunuhku. Aku hanya membela diri"

                Pikiran Ucup melayang, membayangkan ibunya tersenyum padanya. Membenarkan apa yang dia pikirkan. Menguatkan hatinya. Memantapkan tujuannya.

"Bagaimana pun caranya, aku harus kembali hidup dan mencari ibu."

                Ucup melihat sekeliling. Dia mencari siapapun yang dia kenal. Terutama Collette atau Rafa. Namun yang dia lihat hanya makhluk-makhluk yag sama kebingungan dengannya. Beberapa berkumpul, bergerombol, saling sapa, saling peluk karena kembali berkumpul. Dia mengamati sekelompok orang. Empat orang tepatnya, entah sedang membicarakan apa ketika sebuah layar hologram muncul. Menampilkan sosok Dewa yang membuat permainan ini. Dan sebelas makhluk yang dianggap kalah olehNya. Mereka.....hancur. Ucup berbalik, muntah. Dia tak tahan melihat tubuh yang hancur. Isi perut yang terburai. Cairan otak yang membanjir. Bola mata yang menggelindig begitu saja seperti bola tenis.

                Ucup terduduk. Matanya terbelalak. Tak terpikirkan olehnya jika dia benar-benar terbunuh saat itu dan kalah. Akankah dia berakhir seperti itu? Dia yang menamakan dirnya Tuhan, Dia yang menganggap dirinya Dewa, Dia yang merasa dirinya paling berkuasa. Persetan dengan dia.

                Ucup melihatnya, seorang gadis dengan tubuh imut. Membuat sesuatu, benda yang mirip dengan headphone yang biaa dia lihat sering dipakai anak muda bandung. Alat yang dapat mengeluarkan suara. Gadis itu, dia memberikannya pada temannya. Seorang wanita, dengan topi hitam putih memakainya, berjalan mendekati makhluk bertanduk dan seperti berbicara. Bukan pada makhluk itu, melainkan pada headphone yang dia pakai.

                "Ooooooo-choop!!!"

                Terdengar teriakan melengking yang sangat keras. Dan sesaat Ucup merasakan punggungnya ditabrak. Dia hampir terjatuh terjerembab pada muntahnya, namun seseorang di belakangnya memeluknya erat, dan menangis.
               
                Ucup berbalik, memandang wanita dengan make up tebal, airmatanya sama sekali tidak melunturkan make upnya. Senyum girang langsung menghampiri Ucup. Mulutnya tak dapat berucap. Tubuhnya kaku tak tadap bergerak. Hatinya menderu, menyeruak memuntahkan kegembiraan yang tak terkira.

                "Mual Kolek!!!!!" Ucup berteriak. Salah melafalkan nama wanita yang memeluknya. Collette, dihujani pelukan dan airmata Ucup.

"Koleit salamet ? Koleit! Ucup takut...," Ucup kembali menangis di pelukan Collette. Tak ada yang berkata, hanya isakan keduanya yang terdengar. Collette yang kembali dihidupkan setelah membunuh dirinya sendiri di pertarungan, tak kuasa meliht Ucup yang tak disangkanya dapat memenangkan pertarungan.

                "Tuan Ucup, ronde selanjutnya akan dimulai. Ikut saya." Seekor (atau seorang? Sebuah? Secarik?) Hvyt mendatanginya. Melepaskan pelukan Collette secara paksa, dan membawa Ucup pergi. Menuju sebuah babak baru.

***

                Sebuah pulau, sepi, dikelilingi lautan luas. Pasir putih terhampar bak permadani. Di sapu deburan ombak yang berirama, seperti tamborin yang ramai-ramai ditabuh. Bernada detak jantung yang dikejar adrenalin. Antara terus berdebur atau berhenti berdetak. Mati.

                Bangunan-bangunan tua dengan dinding yang dipenuhi lumut hijau berderet saling berimpit membentuk suatu jalur yang berliku. Bau garam menyebar keluar dari dinding yang basah, lembab, menyengat. Angin semilir membisik, menghina, mencerca, menusuk-nusuk amarah dengan sejumput aroma sihir dari balik rerumputan. Memecah nalar hingga hati tersungkur. Terkunci dalam penjara amarah.

                Lucia,gadis bertopi hitam itu baru saja mendarat. Ditepuk-tepukannya tangannya pada pakaiannya. Seperti membersihkan debu yang menempel walau sebenarnya tidak ada.

"Dimana ini?" tanyanya pada Hvyt yang mengantarnya.

"Pulau Khrd, lokasi untuk ronde selanjutnya."

"Berapa orang yang kau bawa kemari?"

"Enam,salah satunya anak kecil. Seorang yang mengaku malaikat, wanita aneh berkacamata besar, pria narsis, dan seorang pria dengan kain. Kau harus membunuh salah satu dari mereka dan kembali ke tempat ini jika kau ingin menang. Saya akan menunggu disini, namun hanya sepuluh jam. Sepuluh jam waktu untuk anda melaksanakan tugas Yang Mulia Thurqk."

"Cih, membunuh. Tak adakah yang lebih menyenangkan dari itu? Lebih baik aku mencari minuman."

Lucia pergi. Headphone yang diberikan Elle padanya dia lepas. Dan dia ikat di pinggangnya. Berharap suatu waktu, dia mendengar suara dari benda itu.

***

                Sjena berlari. Berkelok ke arah kiri ketika dia menemukan persimpangan. Napasnya tak beraturan. Menderu saling berebut memasuki paru-paru. Tak henti-hentinya dia menoleh ke belakang. Seperti dikejar hantu. Sesekali dia mengambil kegelapan. Mengubahnya menjadi belati ataupun sebilah pedang, dan melemparnya ke belakang. Pahanya mengeluarkan darah, tersayat benda tajam. Kembali dia berbelok, namun kini mengambil arah kanan. Deru langkah yang ditelan tanah menyembunyikan jejaknya. Menolongnya lolos dari sang pengintai.

                "Sial! Bangsat! Dia datang tiba-tiba! Ternyata yang dia pakai bukanlah kain biasa. Sialan!" umpatnya. Badannya dia sandarkan pada dinding yang berlumut. Sejenak mengatur napasnya, lalu bergerak, tetap dengan menyandarkan punggung pada dinding. Mencoba mencuri kuping akan situasi sekitar. Namun yang di dapatnya hanya hening. Rasa lelah, terkejut, dan keinginan untuk membalaskan dendam menyulut amarahnya. Semakin dia bergerak maju, semakin besar amarah yang dia miliki. Hingga saat dia berbelok, memasuki pusat dari pulau, dia melihat sesosok mayat, mayat pria dengan kain yang tergeletak tak jauh dari tubuhnya. Mati, dengan isi perut terurai. Sosok mayat yang tadi telah mengejarnya.Melukai pahanya.

                "Dia... dia... mati"

                "Selamat, anda telah membunuhnya nona, anda tinggal kembali ke titik anda mendarat dan anda menang." Seseorang mengagetkan Sjena. Seorang pria gondrong menatapnya dari atas dinding. Mata biru nya begitu jernih. Memandang Sjena lekat-lekat.

"Apakah anda tahu kejahatan apa yang dia lakukan sehingga anda membunuhnya nona?" Primo, Sang Unfallen Angel melompat tepat di hadapan Sjena. Bergerak sedikit menjauh dengan tatapan yang tetap lekat. Sjena hanya bisa terdiam. Napasnya masih belum teratur. Rasa kagetnya sedikit mengurangi amarahnya. Namun dengan munculnya Primo, amarahnya kembali naik sedikit demi sedikit.

                "Apakah anda mengenalnya? Mengetahui masa lalunya? Mengapa anda mengeksekusinya?"
Pertanyaan Primo tak dijawabnya. Sjena masih heran dengan keadaan. Dia yakin satu jam yang lalu dia dikejar pria itu. Pria yang sekarang terbaring menjadi mayat.

                "Jawab pertanyaanku wahai manusia kotor!" Primo tiba-tiba berteriak. Membentak Sjena dengan tiba-tiba.

"Aku datang kemari dan kau tiba-tiba menuduhku membunuh? Kau kira siapa kau? Utusan Tuhan? Utusan si gila Thurqk? Bisa jadi kau yang membunuhnya dan melemparnya padaku! Agar kau bisa lari seenak udelmu menuju titik daratmu?"

"Kau! Tidak mungkin bangsawan yang diberkati Tuhan sepertiku akan membunuh makhluk Tuhan lain Semudah itu!"

"Tuhan? Kau bilang Tuhan? Tak ada Tuhan dalam dunia ini! Tunjukan padaku jika dia memang ada wahai manusia suci! Jika dia benar-benar ada, maka mohonkan padanya agar semua ini berakhir! Atau Tuhanmu itu Thurqk? Atau kau hanya berpura-pura suci agar aku tak membunuhmu seperti kau membunuh pria itu?"

"Kau meremehkanku? Terkutuklah kau jiwa yang kotor! Rapuhlah ragamu dan berkali-kali rasa sakit yang akan menerpamu layaknya amarahmu,layaknya kata-katamu pada Tuhan Yang Agung!"

                Tiba-tiba rasa perih yang ditimbulkan oleh luka pada pahanya bertambah. Kakinya tak tahan menumpu beratnya. Dia terjatuh. Tangannya memegang pahanya, menahan rasa perih yang semakin menjadi-jadi. Dengan sekali jentikan jari dia menghilang. Memindahkan tubuhnya ke tempat lain.

***

                Ucup bersembunyi di balik sebuah gerobak. Pertengkaran yang terjadi antara Primo dan Sjena membuatnya takut. Ditambah sesosok mayat yang terbaring di tepi halaman sebuah pub membuatnya semakin merasa ngeri. Jeritan Sjena setelah mendapat kutukan dari Primo menyadarkannya akan sesuatu. Pertarungan masih berlanjut. Keadaan tak akan pernah aman.

"Sedang apa kau disini?" Sebuah suara wanita mengagetkan Ucup.

"ti... tidak, hanya bersembunyi." Kilahnya

"Apakah kau tahu siapa yang membunuh pria itu?"

"Ti... tidak, aku tidak tahu. Sumpah deh Ucup tidak tahu apa-apa"

"Kau anak kecil itu? Aku Lucia, Lucia Chelios"

"Aku Ucup, tolong jangan bunuh Ucup..."

"Membunuhmu? Kau kira aku suka membunuh orang? Kau anak kecil yang tersesat di pertarungan keji ini. Bagaimana aku bisa membunuhmu! Kau pikir aku wanita kejam hah?"

"Ma...maaf Ucup takut."

"SIAPA DISANA?" sebuah suara terdengar menggema.

"Apa? Ingin mencampuri urusan kami?" Lucia bergerak menantang Primo.

"Ucup, tetaplah bersembunyi." Lucia berbisik pada Ucup.

"Ya" Ucup mengangguk.

                Lucia kini berhadapan dengan Primo. Mata mereka saling beradu. Tangan Lucia mengepal. Matanya berkeliling mencari benda yang dapat digunakannya sebagai senjata. Gerobak? Ucup akan terlihat jika dia menggunakan gerobak itu. Potongan patung, botol, ranting, tongkat sapu, semua bisa saja dia gunakan, namun jaraknya tidak terlalu dekat. Dan ketika dia sedang berpikir, sesuatu mengagetkannya.

"Lebih suka melawan wanita kau rupanya pria gondrong." Sebuah suara, dari dalam pub.

Sorang pria keluar dengan gagahnya. Poni yang menutupi mata kanannya terkibas ditiup angin. Memperlihatkan mata coklat tua nya. Berjalan layaknya koboy dengan senjata di tangan kanannya. Sebuah pedang besar dengan pelatuk kecil. Kegagahannya membekukan suasana. Sesaat. Suasana kembali panas ketika dia terjatuh, terantuk kakinya sendiri.

"Kau pikir kau siapa hah? Pahlawan?" Lucia menghardik pria itu.

"Leonidas, nona. Panggil aku Leon."

"Kau, jangan pernah memanggilku nona!"

Lucia bergerak dengan begitu cepat. Menendang botol minuman yang tergeletak di tanah, dan telak mengenai hidung Leon hingga berdarah.

"Kau tak memiliki sikap baik! Dasar jalang!"

"Bangsat kau memanggilku jalang! Sialan!"

Lucia melayangkan tinjunya pada Leon, yang dengan segera dapat ditangkisnya. Melayangkan tendangannya yang dihalau oleh gunblade milik Leon.

"Kau terlalu tergesa-gesa.Inikah kemampuanmu?" Leon sedikit bergerak ke belakang. Mengarahkan gunbladenya ke arah Lucia, dan menembakannya.

Hanya berjarak beberapa milimeter dari pipi Lucia peluru itu melayang. Arahnya telah dibelokan oleh sesuatu yang tak terlihat. Ucup, berdiri di atas gerobak. Tangannya memegang kecrekannya. Lurus, mengarah pada Leonidas.

"Jangan kau sakiti dia." Ucapnya.

"Anak kecil sebaiknya tidur! Tidurlah kau untuk selamanya!" Leonidas menembakan pelurunya pada Ucup.

"Terberkatilah wahai engkau jiwa penolong, kau akan selamat dari berbagai tipu daya dan pengaruh iblis. Dengan karunia Tuhan aku memberkatimu"

                Divine Blessing yang diberikan Primo pada Ucup tidak tepat pada waktunya. Ucup telah tertembak, namun hanya mengenai samping perutnya. Merobek kulit perutnya dan mengeluarkan cukup banyak darah.

"Ucup, lari! Bersembunyilah!" Teriak Lucia. Tangannya tiba-tiba mengeluarkan api. Begitupun dengan kakinya. Dia menerjang. Memukul, menendang, menyerang Leonidas dengan membabi buta hingga tak mampu melawan balik. Serangan Lucia yang tak henti-hentinya membuatnya tak dapat berkutik. Hingga tak dia sadari, Lucia mengambil patahan tongkat sapu dan menusukannya tepat pada jantung Leonidas. Leonidas tersungkur dan akhirnya roboh. Menyisakan raga tanpa nyawa.

"Oh, tepat pada jantungmu. Kukira mengenai kepalamu." Ucap Lucia setelah tangan dan kakinya kembali normal.

***

                Sebuah pesawat hitam yang besar tiba-tiba datang begitu saja. Terjatuh di menghancurkan lapangan pusat pulau. Dinding-ding labirin disekitarnya hancur. Roboh. Menyisakan puing-puing di setiap sudutnya. Disisi lain, Lucia yang sempat berlari berhasil menyelamatkan Ucup dari pecahan pesawat itu. Namun tidak bagi sosok lain, sebuah baling-baling telah mengoyak lehernya, memisahkan kepala dengan badannya.

                "Kau pikir kau telah mengalahkanku pria sok suci? Aku tak akan pernah bisa dikalahkan!"

Sjena, berdiri di balik puing-puing dinding. Tangannya menunjuk jasad Primo. Tawanya tergelak. Kemenangan ada pada tangannya.

                "Aku tak peduli siapa pembunuh bedebah yang tela mengalahkan pria itu. Aku tak peduli siapa yang masih hidup. Aku telah membunuh dan aku menang!" Sjena kembali mengambil kegelapan dan merubahnya menjadi sebuah tunggangan. Dia melesat pergi meninggalkan pusat pulau, kembali ke titik dimana dia Hvyt menunggunya.

                Lucia, masih memeluk Ucup. Terdengar dia sedikit meringis. Sebuah pecahan botol minuman telah menusuk perutnya. Kondisinya kini sama dengan Ucup. Terluka di bagian perut. Darah mereka berdua beradu, menggenangi lantai tempat mereka berbaring. Ucup berusaha bangkit, menelentangkan Lucia dan mencabut pecahan botol itu.

"Auch, sakit tau!" Lucia mengaduh.

"Itu adalah botol terakhir yang aku punya. Dan sekarang pecah, sialan!" umpatnya kemudian.

"Kak Lucia tidak apa-apa?" Ucup membantu mendudukan Lucia. Tangannya masih memegangi lukanya. Membuat darah sedikit tertahan untuk tidak mengalir keluar.

"Aku sakit bodoh! Botol minumanku hancur!"

"Kita harus pergi, pulau ini berbahaya. Ucup selalu ingin marah ketika berda di lapangan itu. Dimana titik darat kak Lucia?"

"Jangan kau pikirkan aku. Pergilah. Bunuh aku dan larilah, kau akan selamat."

Ucup membantu Lucia berdiri. Membopongnya berjalan keluar. Melintasi lorong demi lorong. Dinding-dinding yang telah hancur membantunya mencari arah.

"Tunjukan arahnya kak Lucia." Ucapnya. Darah mereka membuat jejak yang sangat jelas. Menetes hampir setiap inchi perjalanan mereka. Lucia menunjuk setiap belokan yang mereka temui. Hingga dapat mereka lihat, seorang (seekor? Sekelebat? Secarik?) Hvyt menunggu mereka di depan.

"Anda berhasil Nona Lucia, Mari, kita kembali." Hvyt mengulurkan tangannya. Mencoba menggapai Lucia. Namun Lucia mengelak.

"Bunuh aku Ucup, dan kau akan selamat.Pakai ini dan ucapkan salamku pada Elle, gadis Gnome yang berbakat. Semoga dia lolo ronde ini." Lucia memberikan headphone yang dia simpa pada Ucup.

"Tidak,ini bukan milik Ucup. Ucup tidak mau menerimanya." Ucup mengembalikannya pada Lucia.

Ucup tersenyum lebar pada Lucia. "Lagipula, aku sudah membunuh seseorang." Ucup berbalik lalu lari. Pergi meninggalkan Lucia yang terdiam. Tangan Hvyt menggenggam tangannya kemudian mereka terbang.

***

Yang tak terlihat...

                Ucup mendarat di atas sebuah karang. Dinding-dinding usang berlumut menyambut kedatangannya. Hvyt dengan segera memberikan instruksi kepadanya.

"Bunuhlah satu orang peserta dan kembali kesini sebelum waktunya habis. Yang Mulia Thurqk hanya memberimu waktu sepuluh jam saja. Namun harus anda ingat Tuan Ucup. Semakin ada memasuki pusat pulau, anda akan semakin ditutupi amarah. Semoga selamat, hiduplah dan kembali kesini."

                Ucup melompat turun dari karang. Memandang pintu masuk yang ada di hadapannya.

"Apakah ini seperti di film-film? Yang susah nyari jalan keluar?" tanyanya pada Hvyt.

"Begitulah tuan."

Ucup pun masuk. Tangannya menggenggam kecrekannya. Ditempelkannya ujung kecerekannya. Merusak barisan lumut yang menempel ketika dia mulai berjalan perlahan, hingga akhirnya dia berlari. Berlari makin kencang . Menendang semua yang dia temukan di perjalanan. Kaleng, batu, botol. Mulutnya tak henti-hentinya mengoceh.

"Mati kau!"

"mati kau!"

"Mati kau!"

Kata-kata itu dia ucapkan setiap kali dia menendang benda atau menginjak sesuatu. Tangannya makin keras menggenggam kecrekannya. Bayangan orang-orang yang dia benci berkelebat. Membuatnya ingin menendang mereka. Menginjak-injak mereka hingga tulang mereka hancur.

                Ucup tiba di sebuah lapangan. Sebuah kolam kecil dengan patung ditengahnya. Ucup membayangkan air mancur keluar dari mulut patung pria itu. Namun yang muncul adalah bayangan preman yang selama ini dia benci. Tak lama, Ucup mengacungkan kecrekannya dan menghancurkan patung itu. Dia mendengus dan pergi.

"Membencinya bocah? Boleh juga kekuatanmu."

Flager Ivlin telah berdiri di belakangnya. Sontak Ucup berlari menjauh. Mengacungkan kecrekannya. Waspada akan apa yang akan terjadi setelahnya.

"Apa maumu?" sentak Ucup.

"Aku hanya sedang mengejar seorang wanita dan melihatmu. Mengejar kelinci namun ternyata ada anak ayam yang lebih mudah untuk ditangkap."

"Aku bukan anak ayam!"

"Apapun, kau lawan termudah untukku. Sekali sentak aku akan menang."

"Mundur!" Ucup menyentakan kecrekannya. Menghasilkan gelombang yang melemparkan Flager Ivlin.

"Anak kecil sepertimu tak akan mampu mengalahkanku. Aku akan menang dan hidup kembali!"

Kini Flager menyibakan kainnya dan beterbangan lah pisau dari kain itu. Ucup melompat, berguling ke samping, menghindari pisau yang diterbangkan Flager.

Flager memegang ujung kainnya dan menariknya. Membuatnya menjadi sebuah pedang. Langsung dia menerjang maju menyerang Ucup. Namun dengan sekali sentakan kecrekannya pada tana yang ia pijak, Ucup melesat tinggi, dorongan dari gelombang yang diciptakannya melontarkannya. Ucup mendarat tepat di atas sebuah gerobak. Mengayunkan kecrekannya, dan membuat suatu nada tak beraturan. Nada tanpa melodi. Naik dan turun sesuka hati. Memuncakkan amarah yang mendengarnya.

                Flager terdiam. Keadaan sekelilingnya berubah. Dia melihat reruntuhan bangunan dimana-mana. Api menyala, melahap semua yang ada. Mayat-mayat bergelimpangan. Darah mengubah warna tanah. Tak ada kehidupan. Hanya suara bara api. Ini, tempat ini, kota yang dulu dia tinggali.

                Flager memegang kepalanya. Menyingkirkan semua penglihatannya. Dia terduduk, menangis. Menyalahkan dirinya atas semua yang telah terjadi. Semua penduduk tewas. Tak satupun yang dia kenal masih hidup. Dia mencari. Mencari dari tiap sosok mayat yang dia temui. Membaliknya, melihat wajahnya, dan tidak berharap itu adalah mayat kedua orangtuanya. Dia terus menyisir tiap sudut kota. Hingga dia mendapati sekujur mayat tergeletak. Bajunya yang compang camping termakan api sangat dia kenal.Itu mayat ibunya.

                Flager berlari menuju mayat it, membaliknya, melihat wajahnya, dan seketika dia berteriak.
"IBU...!"

Flager memeluk mayat ibunya. Menggoyangkannya berharap mayat itu akan bergerak. Namun tubuh itu tetap diam. Tetap menjadi mayat.

       Flager menarik kainnya. Mengubahnya menjadi pedang dan menghunuskannya pada perutnya sendiri. Merobeknya. Membiarkan usus-ususnya keluar. Dia cabut pedangnya dan dia lempar. Dia menjerit, menghilangkan rasa sakit hati yang dia terima. Amarahnya makin bergejolak. Memaki dirinya sendiri. Menarik-narik ususnya sendiri keluar dari perutnya. Mencoba mengosongkan perutnya, lalu menggapai ke dalam rongga dadanya. Mencoba mencari sesuatu. Sesuatu yang berdetak. Yang membuatnya merasakan sakit yang dalam. Memegangnya, da meremasnya hingga hancur. Flager tersungkur tak bernyawa.

14 comments:

  1. RUN UCUUUUUUUUUUUUUUUUPP RUUUUUUUUUUN:'((((((((
    Kasian kamu cup, harus melewati segala cobaan ini :'(
    Pasti berat ya cup, harus ngeliat berbagai macam pembunuhan di depan mata.
    Aku doakan supaya kamu bisa menang dan ketemu temen2mu lagi.

    LOL penggunaan meme untuk judul, Mari kita jadikan ini sebagai tren! (y)
    Anyway, surat utk Ucup udah selesai, sekarang surat untuk Author.
    Review dimulai :


    Plot : Lagi2 singkat, seperti R1 kemarin. Aku suka gaya bahasa Author disini, puitis dan penggambaran backgroundnya jadi lebih terasa. Endingnya lumayan dramatis pas Lucia memutuskan utk mengorbankan dirinya. Lalu twist di bagian awal(?) pas Flager bunuh diri itu sebenarnya bagus. Tapi aku nggak dapet alasannya, kenapa?
    Flager emang sempet bunuh diri, tapi kali ini aku nggak dapet motivasinya. Dia nemu mayat orangtuanya, terus..?
    Mungkin bisa diperjelas dgn gejolak emosi yg terjadi dari sudut pandang Flager, karena adegan ini sangat mengganjal :(


    Karakter : Sjena, lagi2 dengan randomnessnya, menghancurkan pulau :v
    I..itu kapal darimanaaaaaaa?
    Mungkin bisa diperjelas kalo itu adalah produk materialisasi Sjena. Karena nggak semua tahu kalo Sjena bisa materialisasi xD
    Sarkasnya Sjena nggak kerasa, semau guenya juga kurang dapet, tapi nggak papa sih.

    Utk Lucia, di canon Primo dia jadi antagonis, tapi disini sisi baiknya muncul.. Standing applause buat Lucia yg bersedia mengorbankan jiwanya demi anak kecil.
    Dan kemampuannya menggunakan apapun sebagai senjata tergali dengan baik disini, satu poin plus.

    Primo, dialog religiusnya dapet. Tapi kok malah dia yg balik sarkas-in Sjena pas bilang "Selamat, anda telah membunuh satu orang.."
    Mungkin posisi bisa dibalik, karena yg seharusnya sarkas itu Sjena xD

    Flager dan Leon, aku kurang dapet karakteristik mereka sih..Flager keburu mati duluan dan Leon nggak jelas mihak siapa.



    Battle : Randoooom :'(
    Dan random disini not in a good way. IMHO
    Sjena lari dari Primo, terus ngilang dateng2 bawa pesawat ngancurin pulau.
    Primo disini kesannya jahat dan Lucia pengen ngelindungi Ucup, tapi kok..Primo ngasi blessing pas Ucup hampir kena tembak, jadi Primo ada di pihak siapa?

    Lalu munculnya Leon malah mendistraksi percakapan Lucia dengan Primo, dan malah Leon dan Lucia yg bertarung. Lalu Primo..?

    Belum terjawab pertanyaan2 itu tiba2 sebuah pesawat jatuh ngancurin pulau.
    Terlalu random, dan terlalu cepat. Kokoro ini tidak siap :(

    Battlenya Sjena dan Flager offscreen ya, kurasa nggak masalah sih. Cuma bunuh dirinya Flager aja yg nggak dapet feelnya.


    Overall, aku suka dengan gaya bahasa Author, namun plot harus diperjelas lagi sebab-akibatnya agar tidak terkesan terlalu random. Lalu karakterisasi juga diperdalam supaya tidak terlalu berkesan OOC (Primo yg sarkas itu minus banget buatku)

    Tadinya aku pengen ngasi 6/10, tapi aku suka gaya bahasa author jadi aku tambah jadi 7/10
    Maaf nggak bisa ngasi nilai banyak ya cup :(

    ReplyDelete
  2. tes dulu. Sebelum komen dan kasih penilaian soalnya dari kemarin gagal terus.

    ReplyDelete
  3. oke, sekarang mulai komentarnya.

    Kalo boleh jujur saya lebih suka cerita ucup di ronde pertama.

    Dari segi cerita juga lebih rapih di ronde pertama.

    Untuk gaya bahasa ronde 1 dan ronde 2 saya suka.

    Memang mungkin agak pendek, tp mending begitu dri pada panjang dan jadinya membosankan.

    Cuma kurang detail aja. Tp saya suka alur maju mundurnya.
    Namun secara keseluruhan saya menikmati cerita dari sudut pandang ucup.

    Ngak terlalu ribet. Gampang dicerna. Walau mungkin karna penulisnya terburu-buru jadi agak berantakan.
    Semoga ucup bisa masuk ronde berikutnya, tp dengan tulisan yg lebh bagus ya cup.

    8,5/10 dari penggemar ucup.

    ReplyDelete
  4. ==Riilme's POWER Scale on Ucup's 2nd round==
    Plot points : C+
    Overall character usage : C+
    Writing techs : C
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : C+
    ==Score in number : 4,6==

    Apa ya... Ini beneran kayak counterpartnya versi Lucia, tapi lebih rushed buat saya. Banyak narasi yang berusaha ngegambarin suatu situasi, tapi justru emosinya ga dapet. Kayak reuni Ucup sama Colette, tau" dipotong gitu aja. Terus pas Sjena nemu mayat (Flager?), juga lagi" ada kesan 'gitu aja'. Kerasa kayak ngisi gelas dengan air minum, tapi bahkan ga sampe setengah.

    Terus, mungkin saya pribadi kurang sreg sama sahut-sahutannya - meski kayak ini dijustifikasi dengan status pulau Wrath, ya? Dan lagi kadang saya bingung sama apa yang terjadi, contohnya pas Lucia mulai lawan Leon, kok tau" ada Primo? Dan endingnya....lagi" antara saya ga nangkep atau emang skip.

    Akhir kata, kalau cerita ini ibarat makanan, ini adalah tipe yang sulit saya cerna.

    ReplyDelete
  5. Ini yang nulisnya terburu-buru atau gimana?
    dan yang paling saya bingung itu bagian tiba-tiba pesawat jatuh dan primo kalah...
    (battlenya sama lucia offscreen ya?)
    lalu part Flager bunuh diri? itu absurd.....

    jadi, 5.5/10

    ReplyDelete
  6. Oochooooop! Vous memang adorable! Adorable!
    Sayang sekali OC sekuat ini diberi canon yang lemah. Tamz jangan buru-buru dong nulisnya. Lebih baik kirim di tengah-tengah jadwal dari pada di awal tapi hasilnya seperti ini. Banyak yang miss, dan kalau pun ada yang tepat sasaran terasa kurang gereget.
    Lucia is a wonderful surprise and Oochoop--once again--is arguably one of the most adorable OC of this year. Sayang sekali kalo misalnya Oochoop gagal di R2. Nanti moi sedih! :'(
    Moi doakan semoga Oochoop lolos. Kalo Oochoop lolos, Tamz harus janji ngasih canon yang lebih epik!
    Sementara, 6,5 dari moi, karena Oochoop begitu berharga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya sih lihat ucup sedang menapaki jejak Killing spreenya dia sendiri!

      dan lihat-lihat OCnya yang selamat. beneran Counterpart cerita Primo

      Delete
  7. Ucup~

    Wew, saya agak bingung mau komentar apa lg berhubung udah dikupas tuntas di komentar2 sebelumnya...

    -oke, cerita ini kayaknya terkesan dibuat buru2 atau gimana ya? ^_^ beberapa bagian seperti dipotong dan di-skip gitu aja.. alurnya juga cepat banget..

    -Sebenarnya misteri matinya Flager itu bakal terkesan wow banget kalau alasan Flager bunuh diri bisa diperjelas.. jujur, Flager udah lupa dengan semua masa lalu dan keluarganya (udah dijelaskan di charsheet sih) jadinya dia gak tau lg sosok ibunya kayak gimana..

    -Battle lumayan keren, amarahnya cukup terasa.. mereka semua menggila!! jempol buat Lucia deh..

    -Well, sisanya sama kayak komentar2 sebelumnya..

    Jadi.....

    -----
    7/10
    -----

    ReplyDelete
  8. Maaf.... *Nangis sesenggukan

    Setelah kehilangan beberapa halaman jadinya kacau ini pikiran, ditambah laptop harus operas jadinya voila... jadilah canon yang buru-buru. Makasih nilai nya ^_^ Ucup bakal memperbaiki diri di canon selanjutnya....

    Makasih semua..... luph u luph u....


    (Harus donlot office buat android nih kayakny)

    ReplyDelete
  9. Bingung mau komentar apa, karena kalo baca-baca komentar di atas sepertinya udah terwakili dengan jelas.
    Story ini emang terasa kental dengan plothole, tapi so far ane begitu menikmati narasi mu yang begitu puitis, lengkap dengan pembendaharaan kata yang enak untuk diikuti.


    Maaf ya, ane gak ngasih nilai sama rekan-rekan satu pulau. Tapi setidaknya ane berhasil membaca semua story rekan satu pulau dalam keterbatasan waktu luang yang didapat.
    (seriusan, w belum mulai nulis sama sekali ini.)
    T_T

    ReplyDelete
  10. Ucuppp... kamu menangnya kenapa naaakkk? :'(

    Umi suka Ucup, Umi suka cara dia mikir walaupun selalu kontra sama keadaannya. Umi suka karena walaupun dia punya kesempatan bunuh Lucia, dia ga bunuh. Rasanya sediiihhhh :'(

    6/10 dari Umi... :'(

    ReplyDelete
  11. entri kelima dan... saya capek x_x
    sisa entri yg lain saya lanjutin besok ya....

    saya telah jadi penggemar ucup sejak ada di lounge. ama colette yg suka ngomong "moi" juga >.< #intermezzo

    lanjut...

    ini rushed banget kak? 3 halaman buat pengenalan dan 7 halaman buat battle royale 6 orang. dan endingnya itu agak sesuatu sih, kalo menurut saya.

    saya ga bisa komentar banyak gara2 udah diambil ama kak sam, kak bayee, ama kak hikaru. tapi narasinya bagus. karena itu, saya ngasih nilai 6.5 buat kakak kali ini. maaf kak, tapi kalo ceritanya nggak terlalu rush, saya bakal ngasih nilai lebih tinggi.

    semangat kak >_<

    ReplyDelete
  12. What the hell just happened?!

    Ini terlalu cepat, tapi awalnya terlalu lambat. Ini benar2 terburu-buru nulisnya...
    Dia melewatkan kesempatan bunuh satu peserta, dan kena pengaruh pulaunya telat, kalau mau dari awal kenanya...

    Lalu terakhir, Ucup ketakutan... This is wrath island, dia tidak seharusnya ketakutan, wrath is fearless.

    Score 6

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -