May 15, 2014

[ROUND 2 - WYRN] RAFA GRAFITO - KOBARAN API KEDENGKIAN DI PULAU WYRN

[Round 2-Wyrn] Rafa Grafito
"Kobaran Api Kedengkian di Pulau Wyrn"
Written by Marowati

---

-Pulau Wyrn Mewujudkan Segala Keinginanmu-

Hvyt membawa Rafa ke pulau Wyrn. Tubuh Rafa dihempaskan di atas
tumpukan jerami di tengah persawahan. Lalu Hvyt kembali membumbung
tinggi meninggalkan Rafa.

Tak jauh dari Rafa, seorang peserta lain juga di jatuhkan di atas
hamparan rumput. Rafa bangkit lalu berjalan menghampiri orang itu.

"Hai, apa kamu baik-baik saja?" sapa Rafa sambil mengulurkan tangan.
Ia membantu pemuda berkacamata itu berdiri. Rafa membaca memorinya.
Pemuda itu bernama Eisted Fodd, seorang kutubuku.

"Makasih, Rafa. Kita memiliki beberapa persamaan. Bagaimana kalau kita
bekerjasama?" kata Eisted yang juga bisa membaca pikiran Rafa.

"Iya, lebih baik berteman daripada bermusuhan," sahut Rafa. Setidaknya
Rafa tak ingin mengawali kedatangannya dengan perkelahian.

Rafa dan Eisted berjalan beriringan menuju perkampungan. Mereka
melintasi area persawahan yang usai dipanen, tumpukan jerami dibiarkan
menggunung di pematang sawah. Tak jauh dari persawahan mengalir sungai
yang dijadikan aliran irigasi. Selanjutnya area kebun sayuran dan
berhenti di ladang jagung.

"Sepertinya menyenangkan kalau jagung ini dijadikan popcorn," kata
Eisted sambil memetik beberapa tongkol jagung.

"Yeah, semoga penduduk desa memiliki panci dan margarin untuk membuat
popcorn," sahut Rafa.

Dan tiba-tiba sebuah panci dan sebungkus margarin muncul di tangan
Rafa. Sontak, Rafa terkejut mendapati hal itu.

"Hei, darimana kamu mendapatkan panci dan margarine itu?" ucap Eisted.

"Entahlah. Tiba-tiba saja kedua benda ini muncul di tanganku saat aku
menginginkannya," jawab Rafa.

"Sudah kuduga. Seingatku, inilah keanehan pulau Wyrn yang disampaikan
Thurqk tadi. Kita bisa mewujudkan apapun yang kita inginkan di sini.
Apapun, termasuk ladang jagung dan panci itu," jelas Eisted.

"O, begitukah?" kata Rafa yang masih belum percaya sepenuhnya pada
perkataan Eisted. "Kalau begitu aku ingin sebuah rumah berdiri di
sana. Apa bisa terwujud?"

Sebuah rumah muncul di area yang ditunjuk Rafa. Membuat Rafa
terbelalak. Ia nyaris tak mempercayai apa yang dilihatnya.

Eisted menepuk bahu Rafa. "Jangan bengong! Mari kita berteduh di
rumahmu. Dan bantu aku membawa jagung ini."

Rafa berjalan menuju rumah itu. Di dalam benaknya ia mempertanyakan
apalagi yang sedang direncanakan Thurqk dalam turnamen kali ini.
Kekejaman Thurqk masih terekam jelas dalam ingatannya.
***

Rafa dan Eisted telah berada di dalam rumah yang diciptakan Rafa.
Keduanya sedang duduk di teras rumah sambil membaca buku dan menikmati
popcorn buatan Eisted.

Eisted telah menjadikan rumah itu sebagai perpustakaan. Ia menciptakan
ratusan buku yang memenuhi rak-rak buku di tiap sudut ruangan. Juga
sebuah buku bertuah yang selalu dipegangnya. Buku bertuah itu mampu
mengeluarkan binatang, tumbuhan, ataupun makhluk gaib yang bisa
dikendalikan oleh Eisted. Semacam buku panduan yang bisa dijadikan
senjata bagi Eisted.

Eisted tahu bahwa dirinya tak pandai berkelahi. Ia juga tak memiliki
pedang ataupun senapan laser seperti milik Rafa. Pertarungan terdahulu
telah mengajarkan kewaspadaan pada Eisted. Sehingga ia mempersiapkan
senjata jika musuh menyerangnya sewaktu-waktu.

"Jam berapa sekarang?" tanya Rafa sembari melirik jam tangan perak
yang melingkar di tangan Eisted.

"Jam satu siang. Ada apa?" sahut Eisted.

"Apa kamu lupa peraturan turnamen ini?"

"Tentu saja aku ingat." Eisted berdehem. Lalu ia menirukan cara bicara
Thurqk saat berpidato. "Bagi kalian yang berada di pulau Wyrn maka
tidak perlu membunuh. Tapi sebisa mungkin rebut 2 benda yang menjadi
hak milik lawanmu, bawa kembali ke titik awal. Waktu kalian 10 jam.
Tak ada toleransi keterlambatan. Terlambat berarti menjadi abu."

"Berapa lama lagi sisa waktunya? Sebaiknya kita bertukar barang dan
segera kembali ke titik awal," cetus Rafa. Ia tak ingin terlena di
pulau Wyrn. Ia curiga jika Thurqk akan mengirimkan algojo untuk
mengeksekusi mereka saat para peserta terbuai kenyamanan pulau Wyrn.

"Santai saja, kawan. Masih ada 8 jam bagi kita untuk hidup nyaman di
sini. Tempat ini jauh lebih layak daripada Cachani Vadhi ataupun
Jagatha Vadhi," kilah Eisted sambil melirik jam tangan yang
menunjukkan pukul 1 siang.

Eisted meraup segenggam popcorn dan mengunyahnya. Ia memelankan
kunyahan ketika cuping telinganya bergerak-gerak. Para makhluk gaib
menyampaikan teriakan seseorang di hutan kepada Eisted melalui
resonansi bunyi yang menggetarkan telinganya.

"Kamu bisa berkelahi, kan? Ada seseorang yang membutuhkan bantuan kita
di dalam hutan sana!" ajak Eisted.

"Siapa? Peserta lain?" tanya Rafa.

Eisted menjawab pertanyaan Rafa dengan anggukan. Rafa dan Eisted
berlari ke hutan. Menuju seseorang yang sedang membutuhkan
pertolongan.
***

-Hantu Berjubah Pengincar Nyawa-

Di dalam hutan yang ditumbuhi pohon pinus, seorang pemuda berkemeja
putih berlari dari kejaran sesosok hantu berjubah. Ia menjerit
ketakutan. Berulangkali ia jatuh terjungkal. Kemejanya basah oleh
keringat dan celana coklatnya belepotan lumpur.

Pemuda itu bernama Noumi Shu. Seharusnya ia bisa melenyapkan hantu
berjubah dengan kekuatan Void-nya. Tapi ketakutan telanjur
menguasainya. Ia tak mampu mengendalikan Void saat dirinya kalut.

Shu mengidap skizofrenia yang membuat kenyataan dan khayalannya
melebur jadi satu. Kekuatan Void takkan bekerja jika hantu yang
dihadapinya hanya khayalan. Hantu itu takkan lenyap dan akan terus
mengejar dirinya.

Namun Shu bisa merasakan yang dialaminya nyata. Kakinya nyeri karena
terkilir. Kulitnya lecet dan terasa perih akibat terkoyak rerantingan
pohon dan duri.

Pikiran dan perasaan Shu berkecamuk. Saling berbantahan dan menyangkal
eksistensinya. Nyata dan khayal melebur. Tiada pembeda dan pembatas.
Shu kehilangan pijakan. Ia terhisap dalam pusaran kegelapan. Ia jatuh
pingsan.

Seberkas sinar melintasi Shu. Sinar laser itu ditembakkan Rafa untuk
menghalau hantu berjubah. Hantu itu bergeming. Sinar laser menembus
tubuhnya yang melayang di udara. Tak tersentuh sama sekali. Hantu itu
bagai jubah hitam kusam tanpa badan. Tak berwajah, hanya sepasang mata
dan mulutnya yang bersinar kuning. Sepasang lengan dengan cakar tajam
menyembul dari balik jubahnya.

Rafa merangsek maju. Ia mengayunkan pedangnya ke tubuh hantu berjubah.
Tebasan pedang Rafa menembus hantu itu. Rafa malah terpelanting
terkena tepisan lengan hantu berjubah. Tubuhnya membentur pohon pinus.
Ia jatuh terjerembab mencium tanah.

Eisted berlari mendekati Shu yang tergeletak di tanah. Ia merengkuh
tubuh Shu sambil komat-kamit merapal mantra. Eisted sedang
berkomunikasi dengan para makhluk gaib di hutan agar bersedia
membantunya.

Makhluk gaib yang merespon Eisted segera menyerang hantu berjubah.
Makhluk berwujud padatan asap mengerumuni hantu berjubah. Mereka
mencabik-cabik jubahnya hingga terkoyak.

Sedangkan hantu berjubah makin beringas. Ia membalas serangan mereka
dengan cakar tajamnya. Makhluk itu menggeram dengan suara menyeramkan.

"Rafa, cepat bakar hantu berjubah itu! Dia cuma klon dari Deismo!" pekik Eisted.

"Apa? Siapa Deismo?" Rafa bergegas bangkit. Ia melecutkan cambuk api
dari pedangnya.

Hantu berjubah terlilit kobaran api. Dalam sekejab tubuhnya terbakar
dan berubah jadi abu. Menyisakan lengkingan menyeramkan dan kepulan
asap tipis berbau belerang.

Rafa menghela napas lega. Ia kembali menyarungkan pedangnya. Kemudian
melangkah menghampiri Eisted dan Shu.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Rafa sambil membantu Eisted memapah Shu.

"Parah," Eisted menunjuk keningnya dengan telunjuk dimiringkan. "dan
luka psikisnya lebih parah."

"Oh, tak apa. Setidaknya kita berhasil menolongnya," sahut Rafa
mengerti maksud isyarat Eisted. Setidaknya ia tahu bahwa satu algojo
kiriman Thurqk telah berhasil ia singkirkan. Rafa bisa sedikit
bernapas lega.
***

-Trio Culun-

Rafa dan Eisted membawa Shu ke rumah. Keduanya bahu-membahu merawat
Shu. Eisted meracik obat dan ramuan. Sedangkan Rafa membersihkan dan
membaluri luka Shu dengan ramuan itu.

Beberapa saat kemudian, Shu siuman. Ia terkejut mendapati dirinya
berbaring di sofa empuk.

"Eisted, Shu sudah bangun!" panggil Rafa.

"Ya, sebentar!" sahut Eisted dari dapur.

Tak lama kemudian, Eisted muncul dengan semangkuk besar bubur susu dan
3 buah sendok.

"Kita makan bareng saja," ucap Eisted sambil memberikan sendok
perunggu pada Rafa dan sendok plastik pada Shu. Eisted memakai sendok
perak.

"Aku tak mau pakai sendok plastik berkarsinogenik," protes Shu. Ia
mengembalikan sendok Eisted. Ia bermaksud menukarnya dengan sendok
perak.

"Jangan rewel! Pakai seadanya saja!" Eisted menolak permintaan Shu.

"Nih, pakai sendok ini saja." Rafa menukar sendok perunggu miliknya
dengan sendok plastik Shu.

Sendok beradu dengan mangkuk. Ketiganya menyantap bubur secara
bersamaan. Dalam sekejab, semangkuk bubur telah tandas. Ketiganya
bersendawa karena kekenyangan.

"Shu, kamu yang cuci piring!" kata Eisted.

"Ogah. Mending sekali pakai langsung buang. Praktis." Shu melenyapkan
mangkok dan sendok kotor dengan Void.

Rafa dan Eisted saling pandang. Lalu menatap tajam pada Shu. "Menggapa
tak gunakan Void untuk melenyapkan Deismo?" cibir keduanya serempak.

"Aku lupa," Shu nyengir sambil mengusap-usap belakang kepalanya dengan
telapak tangan kanan.

"Baiklah, sekarang kalian bantu aku membersihkan rumah," cetus Eisted.
Ia memberikan sapu ijuk pada Rafa dan Shu.

"Ogah! Sana kerjakan sendiri!" bantah Shu. Ia melengos.

"Kalau tak mau, silakan pergi dari sini! Biar jadi santapan Deismo!"
ancam Eisted.

"Bukankah Deismo sudah mati?" tanya Rafa.

"Belum, yang kamu bakar tadi hanya klon Deismo. Sobekan jubah yan
sedikit diberi tiupan nyawa oleh Deismo. Hantu berjubah setinggi 3
meter itu masih berkeliaran di luar sana," jelas Eisted.

Eisted menaikkan posisi kacamatanya. Alisnya bertaut. Ia memasang
tampang serius dan melanjutkan perkataannya. "Ketahuilah bahwa Deismo
berkeinginan merebut nyawa peserta lain sebagai persembahan kepada
Thurqk. Bagi Deismo, tak ada benda berharga yang kalian miliki selain
nyawa!"

Rafa menyimak penuturan Eisted dengan seksama. Ia menganalisa
informasi mengenai Deismo yang ia dapat dari Eisted. Rafa kemudian
menyimpulkan bahwa Deismo merupakan ancaman yang berbahaya bagi
dirinya. Butuh perjuangan berat untuk dapat mengalahkan Deismo.

"Sok tahu!" cibir Shu.

"Para makhluk gaib di hutan yang memberitahukan rencana Deismo padaku.
Terserah, resiko ditanggung sendiri!" tegas Eisted.

Shu dan Eisted beradu pandang. Keduanya sama-sama mendelik. Saling
menantang untuk beradu nyali.

"Sudahlah, Shu. Tak ada ruginya kita menyapu. Angap saja peregangan
otot," lerai Rafa. Ia mengajak Shu beranjak dari sofa.
***

Rafa menyapu lantai sambil bersenandung. "Aku ingin begini, aku ingin
begitu… Ingin ini, ingin itu banyak sekali…Semua, semua dapat
dikabulkan…"

Lalu Eisted yang sedang menata tumpukan buku menyahut. "…dapat
dikabulkan saat di pulau Wyrn…"

Shu yang sedang bersandar di dinding sambil memeluk gagang sapu juga
ikut menyahut. "Lalala…aku sayang sekali…oh, Haruna…"

"Ehm! Ehm!" seorang gadis yang berdiri di teras berdehem. "Bolehkah
aku berteduh di sini?" sapa gadis itu lirih.

Gadis itu bernama Cia. Gadis berkuncir dua, berpita tengkorak. Dengan
headphone melingkar di kepalanya. Ia selalu mengulum permen chupa dan
mendengarkan musik sepanjang waktu. Mengenakan baju berompi yang
dipadukan rok mini. Stoking hitam dan sepatu bot membungkus kakinya.

"Silakan masuk, Nona." Rafa membalas sapaan Cia.

Cia berjalan mendekati meja Eisted. Ia mengamati Eisted sekilas. Lalu
matanya menerawang sejenak. Seperti mengingat-ingat sesuatu.

"Hai, kutubuku. Apa kau kenal Carol Lidell?" tanya Cia.

Eisted menaikkan kacamatanya. Ia mengernyitkan dahi.

"Iya, hanya mengenalnya sekilas di Jagatha Vadhi. Kami sama-sama
seorang pustakawan. Apa Carol menitipkan pesan padamu?" sahut Eisted.

"Tidak juga. Kami sempat bertarung. Dia cukup lumayan dengan kemampuan
uniknya. Apa kau juga seperti dia?" Cia memutar permen chupa di
mulutnya.

"Tidak. Kemampuan kami berbeda. Aku hanya seorang pendongeng."

"Berarti kau lebih payah dari Carol," cibir Cia. Ia mendengus. Ia
mengeluarkan sebilah glaive dari lengan bajunya.

"Serahkan jam tangan dan bukumu!" Cia menodongkan ujung glaive di leher Eisted.

"Maaf, Cia. Aku sudah sepakat dengan Rafa. Carilah patner barter yang
lain," kilah Eisted.

"Ada masalah, Eisted?" sela Rafa menengahi. Tangan kirinya berpendar
kebiruan. Bersiap menyemburkan nitrogen pembeku. Tapi Rafa menahan
diri. Ia tak ingin gegabah menyerang Cia. Ia menduga Cia juga salah
satu algojo kiriman Thurqk yang lain.

"Cia meminta jam tangan dan bukuku. Tapi aku telanjur akan barter
denganmu," sahut Eisted.

"Berikan saja apa yang diminta Cia. Jangan sampai dia ngamuk dan
mengobrak-abrik rumah kita," ucap Rafa.

Eisted cemberut. Ia menyerahkan jam tangan dan bukunya dengan hati dongkol.

"Nah, begitu lebih baik." Cia mengembalikan glaive-nya ke tempat
semula. Ia merogoh saku. Mengambil 3 buah permen chupa.

"Ini permen buat kalian." Cia tampak puas menerima pemberian Eisted.

Cia melangkah ke sofa. Ia duduk bersandar di sofa sembari mendengarkan
musik dari headphone. Dibukanya lembaran buku bertuah pemberian
Eisted.

Tak ada yang istimewa dengan buku itu. Hanya berisi aneka gambar
binatang, tumbuhan, dan makhluk gaib. Semacam buku klasifikasi makhluk
hidup. Dan hanya Eisted yang bisa mengendalikan keistimewaan buku itu.

Cia menambah volume headphone. Musik berirama keras makin melengking
di telinganya. Cia menutup buku yang dianggapnya membosankan. Ia
menguap. Dan tak lama kemudian Cia tertidur di sofa.
***

-Persekongkolan Trio Culun dan Lamunan Rafa-

Shu menghampiri Rafa dan Eisted.
"Siapa dia?" tanya Shu.

"Cia. Darcia Regine Viprez, si gadis cobra judes!" ketus Eisted.

"Oh, pantas saja kamu tak berkutik di depannya. Hehehe…" Shu cekikikan.

"Sabar, Eisted. Kita mengalah untuk menang." Rafa menepuk bahu Eisted.
Ia beralih memandangi Cia yang sedang terlelap.

"Cia memang manis. Apa posisi Shiren akan tergantikan olehnya?" sindir Eisted.

Rafa tak menanggapi sindiran Eisted. Dia memandangi Cia karena
tertarik pada headphone yang dipakai Cia. Bisa jadi itu adalah alat
komunikasi Cia dengan Thurqk. Ia ingin mengambilnya agar dapat
mengetahui rencana Thurqk berikutnya.

"Kamu bisa memanggil hewan peliharaanmu? Beberapa ekor Boa sepertinya
cukup untuk mengerjai Cia," cetus Rafa.

Dahi Eisted berkerut. "Maksudmu?"

"Headphone-nya, aku menginginkannya," jawab Rafa.

"Aku ingin memiliki glaive Cia, sepertinya itu senjata yang keren," bisik Shu.

"Yeah! Mari beraksi. Shu, kamu bersiap dengan Void. Hilangkan senjata
apapun yang dikeluarkan dari tattoo-nya. Waspada dengan racunnya,"
Rafa memberikan intruksi.

"Aku akan menyuruh Boa untuk menelannya. Kamu bergegaslah mengambil
headphone-nya. Mungkin Boa takkan bisa terlalu lama menahannya. Dia
terlalu beringas," sambung Eisted.

Eisted berkomat-kamit. Kali ini dia mendesis seperti ular. Ia
memanggil sepasang ular Boa sebesar pohon dan sepanjang belasan meter.
Kedua ular itu menjebol kusen pintu. Keduanya berlomba mendekati Cia.
Lidah bercabang mereka menjulur menjilati wajah Cia. Seekor segera Boa
membelit tubuh Cia.

Lendir anyir yang membasahi pipi membuat Cia terjaga. Cia tergagap
mendapati dirinya dililit seekor Boa. Ia meronta berusaha melepaskan
diri.

"Krak!" bunyi permen chupa remuk di mulut Cia. Menandakan bahwa Regine
telah terbangun. Alter ego Cia yang sadis itu siap beraksi.

"Rafa, sekarang!" pekik Eisted.

Rafa meloncat ke arah Cia. Tangannya meraih headphone di kepala Cia.
Ia bergegas memasukkannya ke saku hoodie. Kemudian secepat mungkin
menjauh dari Cia dan kedua ular itu.

"Kembalikan headphone-ku!" jerit Regine. Ia menggigit badan Boa yang
membuat ular itu menggeliat kesakitan. Racun di dalam tubuh Darcia
Regine lebih pekat daripada racun Boa.

Saat belitan Boa melemah, Regine menarik keluar sebuah glaive dari
bawah lengan bajunya. Ia menusuk Boa yang melilitnya hingga tewas.
Seekor Boa telah mati di tangan Regine.

"Shu, sekarang!" teriak Rafa.

Shu beraksi melenyapkan glaive milik Regine sebelum glaive itu
membelah Boa yang satunya. Akibatnya, Regine jatuh terantuk badan Boa
yang hendak ditebasnya.

Eisted kembali mendesis. Ia menyuruh Boa menyepak jam tangan dan buku
dengan ekornya. Boa itu menuruti perintah Eisted. Jam tangan dan buku
bertuah kembali kepada pemiliknya.

Regine muntab. Kemarahannya memuncak. Ia merasa telah dicurangi oleh 3
pemuda culun yang bersekongkol. Regine mengeluarkan sepasang katana
dari tattoo cobra di kedua telapak tangannya. Sekali tebas, tubuh Boa
terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Ia berhasil membunuh Boa
yang tersisa sebelum Shu sempat beraksi.

"Shu, awas!" teriak Rafa sambil melecutkan cambuk gas pembeku ke arah
Regine. Membuat Regine yang sedang meludah itu membeku. Ludah Regine
mengandung racun yang mematikan bila mengenai lawan.

Serangan Rafa hanya membekukan Regine sementara. Regine kembali
beraksi dengan sepasang katana di tangannya. Ia menyerang Rafa dengan
tebasan bertubi-tubi.

Rafa menangkis serangan Regine dengan pedangnya. Ia melawan Regine
sendirian karena Eisted telah mengajak Shu kabur duluan. Rafa memantik
semburan api di tangan kirinya untuk mengimbangi serangan Regine.

Regine beringsut mundur saat Rafa menyerangnya dengan semburan api.
Regine benci kobaran api. Panas dapat melemahkannya.

"Memalukan! Kalian 3 lelaki bersekongkol menyerangku. Dasar
pecundang!" maki Regine.

Rafa tertunduk. Perkataan Regine menohoknya. Rafa tak bisa mengingkari
bahwa dirinya memang telah mencurangi Darcia Regine. Sungguh
memalukan, tiga orang lelaki bersekongkol demi melawan seorang
perempuan.

Rafa terkesiap ketika Eisted menepuk pundaknya. Ia tersadar dari
lamunan. Ternyata rangkaian adegan perkelahian Rafa dengan Cia hanya
sebatas khayalan Rafa.

Rafa tersenyum sambil memandangi Cia yang masih terlelap di sofa.
***

-Percikan Kecemburuan-

"Kau tahu, Rafa. Khayalanmu itu sangat menggelikan. Terlalu konyol
jika kita bertiga bekerjasama untuk melawan Cia. Hehehe…" Eisted
cekikikan. Ia telah membaca khayalan yang berputar dalam pikiran Rafa.

"Sudah, jangan dibahas. Itu sebatas lamunanku saja," kilah Rafa.

"Hei, apa yang kalian bicarakan?" tanya Shu heran.

"Bukan apa-apa. Shu, kalau boleh tahu bagaimana kamu bisa bergabung
dalam turnamen ini?" kata Rafa mengalihkan pembicaraan.

"Entahlah, aku tak begitu mengingatnya. Aku cuma ingin bisa
memunculkan Haruna kembali. Aku ingin minta maaf padanya," sahut Shu.

"Mengapa tak kamu coba di sini? Bukankah segala keinginan kita bisa
terwujud di pulau Wyrn?" usul Rafa.

"Aku tak yakin bisa melakukannya," ucap Shu meragu.

"Tak ada salahnya dicoba," Rafa memberikan dukungan.

Shu memejamkan mata. Ia berkonsentrasi membayangkan sosok Haruna.
Gadis pujaannya yang telah menghilang akibat kecerobohannya mengunakan
Void.

"Haruna, kembalilah padaku. Aku merindukanmu," ucap Shu lirih. Ia
sangat berharap Haruna muncul di hadapannya saat ini.

"Aku juga rindu padamu, Noumi Shu." Sebuah suara lembut muncul.
Disusul munculnya sosok Haruna di hadapan Shu. Sosok gadis belia nan
cantik itu memeluk Shu.

Mata Shu berkaca-kaca. Air mata haru membasahi pipi tirusnya.
Kebahagian meletup-letup di dadanya. Akhirnya, ia bisa mengembalikan
Haruna.

Ada iri yang menyelinap di benak Rafa saat ia melihat kemesraan Shu
dan Haruna. Ia muak menyaksikan keduanya sedang memadu kasih. Ia juga
ingin bisa memunculkan Shiren di hadapannya. Tapi ia gagal mewujudkan
keinginannya. Shiren tak menampakkan diri di pulau Wyrn.

"Sial! Thurqk sialan!" maki Rafa. Ia kesal karena keinginannya tak
terwujud. Ia makin yakin kalau Thurqk sengaja pilih kasih untuk
menumbuhkan kebencian di antara mereka.

"Hai, apa yang sedang kau lamunkan?" sapa Haruna.

"Bukan urusanmu!" sahut Rafa ketus. Ia jengkel melihat tampang Haruna
yang sok lugu. Ia menyesal telah menyuruh Shu memunculkan Haruna.
Kehadiran Haruna membuat Rafa tak bisa memunculkan Shiren.

"Kenapa kamu membentak Haruna?" tanya Shu dengan suara meninggi.

"Berhenti pamer kemesraan di depanku!" teriak Rafa. Ia berjalan keluar
rumah. Lalu menghempaskan pantatnya ke kursi di teras.

Eisted menyusul Rafa. Ia menemani Rafa yang sedang duduk di teras.

"Mengapa kamu cemburu pada Shu dan Haruna?" tanya Eisted.

"Kamu sudah tahu jawabannya," sahut Rafa.

"Ya, sudah terbaca dengan jelas. Termasuk alasanmu bekerjasama dengan
kami. Kamu terlalu naif Rafa." Eisted diam sejenak. "Pantas saja jika
bayangan kelam masa lalu selalu mengejarmu."

"Berhenti membaca pikiranku, Eisted!" bentak Rafa.

"Mengapa? Kamu takut rahasia kelammu terbongkar, pemuda sok suci?"
ejek Eisted. "Aku sudah tahu semuanya, Rafa. Tentang pembunuhan di
ladang tebu. Juga soal Bambang yang malang."

"Cukup, Eisted. Hentikan ocehanmu!" Rafa menutup kedua telinganya. Ia
berusaha membendung memori masa lalu yang mengalir dalam ingatannya.
Kenangan tentang peristiwa belasan tahun lalu membanjiri pikirannya.

Rafa masih ingat dengan jelas peristiwa sore itu. Sebuah perkelahian
di ladang tebu di Kebumen. Ketika ia masih berseragam abu-abu. Ia dan
Bambang terlibat perkelahian dengan seorang preman bernama Eko.
Awalnya, Rafa hanya bermaksud membela Bambang yang sedang dipukuli
oleh Eko. Tapi mendadak Rafa kehilangan kendali dan menghajar Eko
hingga tewas.
Rafa sempat pingsan usai membunuh Eko. Ia masih belum sanggup
mengendalikan kemampuannya saat itu. Dan ketika sadar, ia melihat
tangan Bambang berlumuran darah. Kepada Rafa, Bambang mengaku bahwa
dirinya yang membunuh Eko bukan Rafa.
Rafa sempat mengajak Bambang kabur keluar kota. Namun Bambang malah
menyerahkan diri dan mengakui perbuatannya kepada polisi. Bambang rela
meringkuk di penjara demi melindungi Rafa. Sebagai imbalannya, Ayah
Rafa memberikan sejumlah uang santunan kepada keluarga Bambang.
Kasus pembunuhan itu terselesaikan dengan menjadikan Bambang sebagai
kambing hitam. Rafa terbebas dari segala tuduhan. Kemudian Rafa
diboyong ke Jakarta bersamaan dengan pelantikan Ayahnya sebagai
pejabat di pusat pemerintahan.

Meskipun terbebas dari segala jerat hukum, tapi Rafa tak dapat
memungkiri rasa bersalahnya. Ia belum bisa memaafkan dirinya atas
tindakan kriminal yang telah ia lakukan. Ia tak mampu bersembunyi dari
rahasia kelam masa lalunya.

Dan kini semua rahasianya telah terbaca oleh Eisted. Rafa tak yakin
jika Eisted bisa dipercaya menyimpan rahasianya. Ia menduga bila
Eisted malah akan memanfaatkannya untuk memperdaya Rafa. Membuat Rafa
meragu untuk melanjutkan kerjasama mereka.

Rafa berusaha menenangkan gemuruh di pikirannya. Ia mengalihkan
perhatiannya pada pemandangan di sekitarnya. Ia agak terkejut
mendapati sebuah kastil dan tenda telah berdiri megah di depan
rumahnya. Padahal ia ingat bahwa tak ada bangunan itu sebelumnya.

"Sejak kapan kastil dan tenda itu berdiri di depan rumah kita?"
celetuk Rafa berusaha mengalihkan pikiran Eisted.

"Entahlah," sahut Eisted.

"Sebentar, aku akan mengunjungi mereka dan mencari tahu," cetus Rafa.

"Aku ikut denganmu, Rafa." Eisted mengekor di belakang Rafa.

Keduanya mengunjungi kastil terlebih dahulu. Seorang pemuda membukakan
pintu. Ia mengenakan yukata ungu motif hexagonal dan rambutnya
dikuncir kuda. Pemuda itu bernama Petra Arcadia. Seorang ahli pedang
berjuluk Gilgamesh.

Rafa sempat menjabat tangan Petra dan membaca pikirannya. Ia
memutuskan tak berlama-lama di kastil Petra. Ia tahu jika Petra sosok
penyendiri dan tak suka keramaian.
Kemudian Rafa mengunjungi tenda megah di sebelahnya. Tenda itu milik
Collin Burke. Lelaki berkemeja coklat yang necis. Rafa mengurungkan
niatnya berjabat tangan karena Eisted membisikkan jika tubuh Collin
dialiri listrik. Rafa tak sudi terkena sengatan listrik bila berjabat
tangan dengan Collin.

Usai berkenalan dan beramah-tamah sejenak, Rafa mengajak Eisted
kembali ke rumah. Melanjutnya aktivitas mereka dengan membaca buku.
Sesekali Rafa mencuri pandang pada Shu dan Haruna. Rafa buru-buru
buang muka saat Haruna memergoki ulahnya.

Rafa merasa jenggah. Terlintas di benak Rafa untuk beranjak dari rumah
itu. Ia ingin menjalin kerjasama dengan Petra atau Collin yang tampak
lebih tangguh. Sebuah kerjasama yang lebih menjanjikan daripada
berteman dengan Eisted dan Shu yang culun.

Pikirannya bergejolak. Membayangkan betapa beruntungnya Petra dan
Collin yang memiliki kemampuan bertarung yang tangguh. Petra seorang
ahli pedang yang mumpuni. Telah banyak musuh yang mati oleh pedang
Petra. Bahkan Petra tersohor sebagai ahli pedang yang karismatik.
Dibandingkan dengan Petra, kemampuan Rafa masih amatir. Pedangnya
masih bersih. Ia bahkan masih ragu untuk melumuri pedangnya dengan
darah oranglain. Ia sering berdalih jika pedangnya bukan untuk
menyerang melainkan untuk membela diri. Sungguh naif.

"Silakan saja kalau kamu berniat kerjasama dengan para petarung
professional itu, Rafa. Jadilah algojo Thurqk demi sebuah kemenangan
semu," celetuk Eisted tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.

"Bisakah kamu berhenti membaca pikiranku?" protes Rafa.

"Bisa saja, asalkan kamu meredam ambisi konyolmu itu," sahut Eisted.

"Ini bukan ambisi, tapi motivasi. Aku harus menang dalam turnamen ini
demi Shiren dan keberlangsungan hidup di Bumi," sergah Rafa.

"Benarkah? Dasar hipokrit!" cibir Eisted. "Tidakkah kamu sadar jika
mulut, hati dan otakmu itu tidak sinkron? Ucapan dan pikiranmu
bertolak belakang! Di satu sisi kamu membenci Thurqk, tapi di sisi
lain kamu tergiur oleh hadiah yang dijanjikannya. Di mana
pendirianmu?"

"Berkacalah, Eisted! Kamu tak lebih dari sebuah buku berjalan.
Teoristis!" maki Rafa.

"Setidaknya, aku..ak…aku…" suara serak Eisted tercekat di tenggorokan.
Ia sudah terlalu banyak bicara sehingga suara dan staminanya melemah.
Eisted memutuskan untuk berhenti berdebat. Ia fokus membaca 4 buku
sekaligus seraya memulihkan suaranya.

Rafa menyeringai. Ia lega si pendongeng Eisted tak lagi mengusiknya.
Ia nyaris kehilangan kesabaran jika Eisted masih terus berdebat
dengannya.

***
Tiba-tiba terdengar petir menggelegar di atas atap rumah. Seberkas
kilat menyambar pilar rumah dan menghanguskannya seketika.

Rafa segera berlindung di kolong meja bersama Eisted, Shu dan Haruna.
Rafa waspada dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Cia terperanjat. Ia bangun dan bersembunyi di balik sofa. Matanya
terbelalak mengawasi sekeliling.

"Brak!" suara kusen pintu yang remuk tertimpa tubuh Petra. Ia jatuh
dengan sepasang katana di kedua tangannya. Beberapa bagian pakaiannya
tampak robek dan gosong. Tampaknya ia sedang bertarung dengan Collin
Burke.

Benar saja, belum sempurna Petra berdiri, Collin telah menubruknya.
Hingga Petra terpelanting membentur dinding.

Tubuh Collin tampak berpendar dialiri listrik. Energi listrik
bertegangan 220Volt menyelimuti sekujur tubuhnya. Collin menembakkan
listrik bertegangan 500 Volt ke arah Petra.

Petra berhasil menghindari serangan Collin. Membuat tembakan listrik
itu meleset dan merobohkan tembok. Petra menjaga jarak dari Collin. Ia
membalas serangan dengan sepasang orbs miliknya. Kedua orbs itu
menjelma bola besi bergerigi tajam.

Sepasang orbs melesat menghantam kepala Collin. Merobek dahi dan pipi
Collin. Darah mengalir membasahi wajahnya. Orbs bergerak makin gesit.
Menghajar sekujur tubuh Collin.

"Menyerahlah, Collin. Serahkan gelang titanium milikmu, maka aku akan
membiarkanmu hidup!" hardik Petra.

"Tidak semudah itu, Petra!" sahut Collin sambil menepis sepasang orbs
dengan kedua tangannya. Sepasang bola besi itu jatuh di lantai dan
meledak.

Petra merangsek maju dengan sepasang katana di tangan. Ia menyabetkan
kedua pedangnya secara bergantian ke badan Collin.

Collin tampak kewalahan menghadapi serangan Petra. Clofer yang
menyelimuti tubuhnya melemah. Ia kelelahan menghalau serangan Petra
yang bertubi-tubi.

"Argh!" jerit Collin kesakitan. Ia telah mengunakan energy listrik
secara berlebihan sehingga tenaganya terkuras. Tubuhnya terasa kaku
dan sulit digerakkan.

Petra menyeringai. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil
gelang titanium hitam yang melingkar di tangan kiri Collin.
***

"Krak!" bunyi permen chupa yang remuk di mulut Cia. Menandakan Regine
telah terbangun. Sepasang katana muncul dari tattoo cobra di telapak
tangannya. Tanpa buang waktu, Regine menerjang Petra dengan tebasan
katana.

Regine mengincar sepasang katana Petra yang dianggapnya keren. Ia
terpukau oleh keunikan pedang bernama Moira dan Mivune. Mata Regine
berkilat memantulkan pijaran kebiruan Moira dan pijaran kemerahan
Mivune. Membuat Regine makin tergiur untuk merebut kedua pedang itu.

Dua pasang katana beradu. Menimbulkan bunyi berdesing dan percikan
api. Petra berhasil membuat Regine kewalahan. Hingga gadis itu
terdesak membentur tembok.

Regine menggigit bibirnya hingga berdarah. Lalu ia meludahi wajah
Petra. Ludah bercampur darah tepat mengenai mata Petra.

Petra mengerang kesakitan. Ia mengucek matanya yang terasa terbakar.
Racun yang terkandung dalam darah Regine membutakan kedua matanya

Dengan penglihatan yang makin meredup, Petra masih sanggup membela
diri. Ia memanfaatkan ketajaman insting bertarungnya untuk menghalau
serangan Regine.
***
-Kobaran Api Kedengkian-

Rafa menyaksikan pertarungan Petra dan Regine dari bawah kolong meja.
Pijaran pedang Petra juga membuatnya terpukau. Bila dibandingkan
dengan pedang Petra, pedang Rafa hanya serupa pedang pemotong rumput.

Rafa tergiur untuk memiliki pedang Petra. Ia yakin pedang itu akan
membuatnya lebih hebat. Ia beranjak dari kolong meja dan bermaksud
melibatkan diri dalam pertarungan.

"Rafa, kamu mau ke mana?" cegah Eisted.

"Mengambil headphone Cia dan pedang Petra," sahut Rafa sambil
melecutkan cambuk api dari pedangnya. Ia merangsek maju menyerang
Petra.

Darcia Regine dan Petra meloncat mundur menghindari lecutan api Rafa.
Petra menangkis tebasan pedang Rafa dengan Moira. Sedangkan Mivune ia
gunakan untuk menghalau serangan Regine.

"Dasar pengganggu!" umpat Regine sambil beralih menyerang Rafa. Ia
Menghunjamkan kedua katana-nya ke tubuh Rafa.

Mendadak kedua katana itu menghilang dari genggaman Regine. Membuat
Regine terkejut dan menubruk Rafa. Regine dan Rafa jatuh bertindihan
di lantai.

Rupanya Shu yang telah menghilangkan katana Regine dengan Void.

Rafa mendorong Regine menjauh darinya. Ia bergegas bangkit dan menyerang Petra.

Gerakan Petra makin melemah. Racun yang membutakan matanya telah
menjalar ke pembuluh darah otak. Tapi Moira dan Mivune seolah memiliki
jiwa sendiri. Kedua pedang itu masih sanggup menangkis serangan Rafa.
Bahkan Mivune telah melukai lengan dan perut Rafa.

Darah mengalir dari luka sayatan di lengan dan perut Rafa. Membuat
Rafa menjaga jarak dari Petra. Ia mengabaikan perihnya luka demi
melanjutkan pertarungannya dengan Petra.
***
Disaat Rafa, Regine dan Petra bertarung, Eisted mengambil jam tangan
dan bukunya di sofa. Ia buru-buru membuka halaman yang menampilkan
gambar seekor ular Boa berukuran besar. Ia mendesis memanggil ular
Boa.

Ular Boa itu muncul tepat disaat Regine hendak menyerang Rafa dengan
glaive. Boa menyambar tubuh Regine. Kemudian melilitnya kuat-kuat.

Seperti dugaannya, Boa tak bisa terlalu lama menahan Regine. Regine
lebih buas daripada seekor ular. Boa itupun mati tercincang oleh
glaive Regine.

Eisted, Shu dan Haruna beringsut mundur ketika Regine mendekat dengan
glaive berlumuran darah Boa. Nyali ketiga orang itu menciut melihat
keberingasan Regine.

Eisted membolak-balikan halaman buku bertuah. Ia memanggil sebanyak
mungkin tumbuhan, binatang dan makhluk gaib untuk membantunya
menghadang Regine.

Tapi usaha Eisted tak berjalan mulus. Regine berhasil mengalahkan
makhluk-makhluk suruhan Eisted dengan mudah. Sulur pohon raksasa, akar
beracun, dan bangkai binatang buas berserakan di lantai. Para makhluk
itu mati di tangan Regine.

"Rafa, tolong kami!" jerit Eisted dan Shu bebarengan sebelum glaive
Regine menebas mereka.

Sontak, Rafa meninggalkan Petra. Ia beralih melecutkan cambuk api ke
arah Regine. Lilitan kobaran api membakar Regine. Tubuh Regine melepuh
dilalap api.

Namun jeritan Regine membuat Rafa menghentikan serangannya. Ia tak
tega melihat Regine kesakitan. Ia menangkap tubuh Regine sebelum jatuh
di lantai.

"Maafkan aku, Cia. Aku tak ingin kamu menyakiti temanku," ucap Rafa
sembari membaringkan Darcia Regine di lantai. Rafa mengambil headphone
Cia dan memasukkannya ke saku hoodie. Kemudian ia kembali menghadapi
Petra.
***
Petra menyandarkan punggungnya di tembok. Kakinya terasa lumpuh dan
tak sanggup menopang tubuhnya. Ia bertumpu dengan pedang Moira yang ia
tancapkan di lantai. Sedangkan tangan kanannya mengenggam erat gagang
pedang Mivune.

Rafa berdiri di hadapan Petra. Ia tahu bahwa Petra sedang sekarat.

"Petra, berikan pedangmu padaku. Anggap saja aku meminjamnya," pinta Rafa.

"Silakan ambil jika kamu mampu!" sahut Petra sambil mengayunkan pedang
Mivune ke dada Rafa. Sayangnya, tebasan Mivune meleset karena tangan
Petra gemetaran. Jemarinya kebas.

Rafa menangkis tebasan Mivune dan membuat pedang itu terlepas dari
genggaman Petra. Pedang itu jatuh di lantai bersamaan dengan robohnya
Petra. Rafa memunggut pedang Mivune yang tergeletak di dekat tubuh
Petra.

Petra terkapar di lantai dengan wajah membiru. Racun cobra telah
menjalar di sekujur tubuhnya. Melumpuhkan otot dan syaraf motoriknya.
Ia masih bernapas meskipun tersengal-sengal.

"Rafa, bergegaslah! Kita harus kembali ke titik awal secepatnya,"
panggil Eisted yang berdiri di ambang pintu bersama Shu dan Haruna. Ia
menunjuk jam tangan peraknya yang menunjukkan pukul 5 sore.

"Kita harus sampai sebelum gelap," sambung Shu.

Rafa berlari menyusul teman-temannya. Sebenarnya masih ada waktu 2 jam
sebelum turnamen berakhir. Tapi mereka tak ingin mengambil resiko
harus berhadapan dengan Deismo saat malam tiba. Karena kegelapan dapat
membuat kemampuan Deismo meningkat.
***
-Perpisahan-
Rafa dan ketiga temannya sedang berjalan menuju titik awal mereka saat
tiba di pulau Wyrn. Di tengah jalan, Shu kebingungan ia lupa di hutan
bagian mana ia diturunkan oleh Hvyt. Ia juga takut jika harus bertemu
Deismo lagi.

Rafa menciptakan helikopter untuk menerbangkan mereka. Tujuannya agar
dapat menemukan titik awal Shu tanpa harus bertemu Deismo.

Helikopter terbang di atas area hutan pinus. Dari atas, Rafa dapat
melihat jubah setinggi 3 meter yang bergerak-gerak di antara
pepohonan. Ia menambah ketinggian helikopter agar tak diketahui
keberadaannya oleh Deismo.

Shu tampak resah meskipun Haruna berusaha menenangkannya. Ia masih
belum bisa mengingat titik awalnya. Shu langsung bertemu Deismo ketika
menjejakkan kaki di pulau Wyrn.

"Percuma saja kita berputar-putar di atas hutan. Aku tak bisa
mengingatnya," keluh Shu. Ia mengacak-acak rambutnya seperti orang
frustasi.

"Turunkan aku! Helikopter ini tak berguna. Lebih baik dilenyapkan
saja!" teriak Shu.

Seketika helikopter itu menghilang tanpa bekas. Rafa dan
teman-temannya terombang-ambing di udara. Rafa mengaktifkan wingsuit
flyingnya. Sedangkan Shu memunculkan sayap di punggungnya, ia
merengkuh Haruna dalam pelukannya.

Eisted tak bisa memunculkan sayap. Ia terjun bebas di udara. Ia
berhasil menciptakan parasut tapi parasut itu tidak bisa mengembang.

Rafa melesat ke arah Eisted. Ia bergegas menangkap tubuh Eisted dan
membimbingnya mengunakan parasut.

"Lihat! Itu ada Hvyt di sana!" pekik Rafa yang melihat sesosok Hvyt
sedang melayang di tanah lapang.

Rafa menjadikan tanah lapang sebagai crop zone pendaratan. Ia bergegas
menggulung parasutnya dan mengantar Shu menemui Hvyt.

"Selamat datang di titik awal, Shu. Mana benda yang bisa kamu ambil
dari lawanmu?" sapa Hvyt.

Shu merogoh saku celananya. Ia menyerahkan permen chupa pemberian Cia
dan gelang titanium hitam Collin.

Hvyt mengernyitkan dahi. "Baiklah, saatnya kembali ke Cachani Vadhi, Shu."

Shu mundur sebelum Hvyt mencengkeram bahunya. Ia mengenggam tangan
Haruna erat-erat. "Haruna ikut bersamaku."

"Haruna tidak diizinkan keluar dari pulau Wyrn!" sergah Hvyt.

Haruna menyentakkan tangan Shu dengan kasar. "Pergilah! Aku akan tetap
di sini," kata Haruna datar tanpa ekspresi. Kemudian ia berlari ke
dalam hutan.

"Haruna, tunggu!" teriak Shu sambil berlari mengejar Haruna.

Namun langkah Shu terhenti saat Hvyt mencengkramnya. Ia meronta dalam
cengkraman Hvyt.

"Enyahlah kau dari hadapanku, Hvyt!" pekik Shu melenyapkan Hvyt dengan Void.

Shu terhempas membentur tanah. Ia bergegas bangkit dan mengejar
Haruna. Ia tak peduli dengan aturan turnamen. Prioritasnya adalah
Haruna. Ia tak mau berpisah dengan Haruna.
***

Rafa ikut mengejar Haruna. Rafa menangkap adanya keanehan dalam diri Haruna.

Langkah Rafa terhenti saat Deismo menghadang. Rafa merasakan adanya
aliran hawa panas yang terhisap oleh Deismo. Ia menyaksikan pepohonan
di sekelilingnya layu dan membeku.

Selanjutnya ia merasakan panas tubuhnya meningkat. Darahnya mendidih
bagai terbakar dalam kebekuan. Tubuhnya terasa kebas dan kaku. Ia
merasa nyawanya ikut terhisap oleh Deismo.

Rafa menghirup udara, merasakan pergerakan partikel udara di
sekelilingnya. Tubuhnya berpendar kebiruan. Rafa mematerialisasikan
uap air di udara menjadi gumpalan awan. Ia menjadikan gumpalan awan
itu sebagai perisai diri dan mendinginkan tubuhnya. Gumpalan awan
tampak menyelimuti Rafa dan ketiga temannya.

Ternyata Deismo sedang mengendalikan termokinesis untuk melumpuhkan
Rafa, Shu, dan Eisted sekaligus. Anehnya, Haruna tak terpengaruh oleh
sihir termokinesis itu.

"Len…lenyaplah, kau Deismo!" ucap Shu terbata-bata. Giginya gemeretak
menahan gigil. Tubuhnya mengalami demam dadakan. Panas dan dingin
bergantian menghajar badannya.

Seketika, jubah Deismo jatuh lunglai di tanah. Suhu udara di
sekitarnya perlahan pulih seperti sedia kala.

"Argh!" jerit Shu memegangi lengannya yang kena cakar. Disusul jeritan
kedua saat muncul luka cakaran di pipi dan lehernya. Tubuh Shu
melayang. Mata sipitnya melotot layaknya orang tercekik. Selanjutnya
ia terhempas membentur batang pohon.

"Rafa, bekukan Deismo agar ia bisa terlihat!" teriak Eisted dengan
suara serak. Staminanya memang belum pulih sepenuhnya. Tapi ia masih
bisa berkomunikasi dengan para makhluk gaib. Mereka memberitahu
Eisted jika Deismo hanya melepas jubah untuk mengecoh lawannya.

Semburan nitrogen cair hanya bertahan sesaat mewujudkan bentuk Deismo.
Kemudian menguap dan kembali membaur dengan udara. Gerakan cakar
Deismo yang gesit membuatnya sulit dilacak keberadaannya. Deismo makin
gencar menyerang dengan cakarnya. Merobek dan mengoyak apapun yang ada
di hadapannya. Kemudian menghilang di balik bayangan rimbun dedaunan.

"Percuma, Eisted!" keluh Rafa seraya meloncat menghindari cakaran
Deismo. Ia malah berpikir untuk mematerialisasi senyawa karbon menjadi
asap putih. Ia berharap, asap itu bisa menunjukkan posisi Deismo.

"Hentikan Deismo!" pekik Haruna. "Biarkan mereka bertiga kembali ke
titik awal. Masih ada 3 nyawa yang bisa kamu renggut di tempat lain.
Aku akan mengantarmu ke sana," kata Haruna.

"Apa nyawa mereka lebih berharga dari ketiga orang ini?" tanya Deismo
dengan suara menyeramkan. Ia kembali mengenakan jubahnya.

"Tentu saja, 3 petarung yang berada di rumah itu lebih hebat. Mereka
adalah Petra, Cia, dan Collin. Para petarung professional," jelas
Haruna.

"Hm, baiklah. Pergilah kalian para amatir!" ejek Deismo.

Tanpa membantah lagi, Deismo menuruti perkataan Haruna. Ia mengikuti
Haruna menuju rumah di dekat ladang jagung. Disusul Shu yang menjajari
langkah Haruna.

Rafa dan Eisted menghela napas lega. Keduanya melanjutkan perjalanan
menuju titik awal mereka di persawahan.

Hari sudah gelap ketika Rafa dan Eisted sampai di persawahan. Rafa
mendelik ketika Eisted hendak menyerahkan agenda dan senapan laser
miliknya pada Hvyt.

"Kapan kamu mengambilnya dariku?" selidik Rafa.

"Ketika kita terbang tadi. Anggap saja aku meminjamnya," sahut Eisted enteng.

"Dasar pengkhianat!" geram Rafa. Ia mengayunkan pedangnya kepada
Eisted. Ia ingin mengambil barang miliknya dari tangan Eisted.

Rafa dan Eisted berkelahi di hadapan 2 Hvyt yang berdiri santai. Kedua
Hvyt bergeming menanti kedua peserta menyelesaikan perkelahian.

"Bukankah kita sepakat untuk barter? Aku hanya mengambil yang kamu
janjikan," kilah Eisted sambil menangkis pedang Rafa dengan buku.

Eisted merapal mantera. Ia memanggil sulur berduri untuk menjerat kaki
Rafa. Sulur berduri menyeret Rafa menjauh dari Hvyt. Menubrukan tubuh
Rafa ke bebatuan dan menenggelamkannya dalam kubangan lumpur sawah.

Rafa menebas sulur berduri yang melilitnya. Lalu ia berlari ke arah
Eisted dengan pedang terhunus. Sayangnya, Eisted dapat menghindar dari
serangan Rafa. Taktik serangan Rafa terbaca oleh Eisted.

Rafa menyarungkan pedangnya. Ia menubruk Eisted hingga keduanya
tercebur ke sungai di pinggir sawah. Saat berada di dalam air itulah,
Rafa membekukan Eisted.

Rafa membopong tubuh Eisted yang serupa ikan beku ke permukaan.
Eisted masih bernapas, tubuhnya kaku dan hanya matanya saja yang
berkedip-kedip.

"Hangatkan tubuhmu dan susul aku jika kamu sanggup!" cibir Rafa seraya
memasukkan agenda dan senapan lasernya ke saku hoodie.

"Hvyt, mari kita pergi!" Rafa menyerahkan headphone Cia dan pedang
Mivune. Tak lama kemudian, ia dibawa Hvyt meninggalkan pulau Wyrn.
***
-Kembali ke Cachana Vadhi-

Dalam sekejab, Hvyt telah mengantarkan Rafa ke Cachani Vadhi.
Kehampaan langsung menyergapnya saat ia menjejakkan kaki di ladang
Gavata. Luka sayatan, cakaran, ataupun tusukan duri telah lenyap dari
tubuhnya. Bahkan hoodie-nya telah kembali bersih dari lumpur. Tapi ada
luka lain yang mengganga di hatinya.

Luka akibat kedengkian yang bersemayam di hatinya. Kedengkian yang
telah membuatnya tega melukai bahkan membunuh oranglain demi meraih
ambisinya. Kedengkian yang telah menghancurkan pertemanannya dengan
Eisted.

Rafa merogoh saku hoodie. Mengambil senapan laser dan agendanya. Ia
menyeka percikan darah yang menempel di agenda. Darah Eisted. Sesal
perlahan menjalarinya. Menyadarkan betapa jahatnya ia terhadap seorang
teman.

Hanya demi mempertahankan 2 benda miliknya, Rafa nyaris membunuh
Eisted. Rafa mendongak menatap langit. Berharap Hvyt muncul membawa
Eisted kembali.

Namun bukan Eisted yang dibawa Hvyt melainkan Deismo. Hantu berjubah
itu telah berhasil merebut nyawa kelima peserta lainnya.


***END***

10 comments:

  1. ==Riilme's POWER Scale on Rafa Grafito's 2nd round==
    Plot points : B
    Overall character usage : B
    Writing techs : B-
    Engaging battle : B-
    Reading enjoyment : B-
    ==Score in number : 6,4==

    Gaya bahasanya sederhana ya.. Gara" tiap part dalem cerita dikasih judul juga, jadi berasa kayak baca cerbung.

    Rafa-Eisted-Shu jadi ngingetin saya sama Primo-Flager-Leon di entri Primo. Awalnya sampe bikin rumah segala pula... Tapi begitu mendadak pada bertarung, entah kenapa saya rada kurang sreg dan susah ngikutin. Belum lagi Eisted sama Rafa di akhir, kok kayak tiba" banget ya? Kasihan juga peserta lain, semua dibunuh Deismo offscreen di sini.

    ReplyDelete
  2. Makasih sudah berkenan membaca dan memberi penilaian. :)

    ReplyDelete
  3. Pilihan kata, alur dan pendiskripsian karakternya bagus, sempat senyam-senyum waktu trio culun nyanyi parodinya lagu doraemon. Secara keseluruhan plotnya bagus, walau ada beberapa penyimpagan dari Character sheet.

    Sepertinya pemahaman OC lainnya masih kurang sehingga OC di cerita ini ada yang melenceng dari character sheetnya.

    Shu berani membantah ketika disuruh cuci piring, padahal seharusnya ia adalah pengecut jadi ia takut membantah perintah orang lain.

    Deismo digambarkan sebagai sosok yang ingin membunuh OC lain sebagai persembahan untuk Thuqk, tapi di character sheetnya ia sama sekali tidak disebutkan Deismo memuja sosok tuhan.

    Boleh saja membuat OC lain melenceng dari Character Sheetnya tapi berikan alasan yang masuk akal, contohnya: Deismo ingin membunuh semua OC lainnya karena disogok dengan uang 5 triliyun dollar zimbabwe. XD

    Kemudian yang terakhir format paragrafnya masih kurang rapi. Kalau bisa paragrafnya diberi 'Justify' agar tulisannya lebih rapi (rata kanan-kiri). Pemisah tiap part (tanda ***) dan judul tiap partnya diberi 'center' agar tulisannya ditengah.

    Itu saja yang bisa aku komentari, aku masih pemula jadi aku tidak tahu kritik saran yang aku berikan akan berguna atau tidak, tapi aku berharap itu bisa membantu untuk koreksi diri. :D

    Nilai yang aku beri + 7
    Jangan lupa mampir ke ceritaku :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih udah berkenan membaca & beri penilaian. :) soal paragraf memang bikin aku gregetan karena formatnya ngilang semua pas aku salin dari word ke gmail. ada saran biar format paragrafnya gak hilang?

      Delete
    2. Formatnya hilang? :O

      Kalau aku cuma susun paragrafnya di word lalu dicopas ke Gmail. Aku nggak lihat format di badan emailnya, tapi formatnya bisa terbawa sampai di postingan blog ini. Tidak ada perlakuan khusus. :)

      Seharusnya semua formatnya ikut dalam emailnya, kalau masih ragu silahkan coba 'Simulasikan Adegan Pengiriman Cerita'

      1. Buat akun Gmail baru, akun ini akan berperan sebagai Gmail Admin untuk testing.

      2. Buat sebuah blog, blog ini akan di anggap sebagai Blog battle of realms untuk testing juga.

      3. Copas ceritamu yang telah diberi format dari word ke Gmail lamamu.

      4. Kirim ceritamu Gmail lamamu ke Gmail admin buatanmu, tidak perlu memperdulikan format yang tertulis di badan email.

      4. Copas ceritamu dari Gmail adminmu ke blogmu lalu terbitkan, jangan edit apa-apa dari copas itu.

      5. Jika formatnya terbawa maka masalah selesai, jika tidak maka "Ini masih sebuah misteri...."

      Semoga bermanfaat :D

      Delete
  4. Umi kasih 6/10

    Umi suka ceritanya, gaya bahasanya sih lebih tepatnya. berasa ringan dan enak di ikutin.

    kenyataan minimnya typo dan gaya bahasa yang keren serta intro yang keren, lumayan membuat impresi ke Umi :D

    semangaaaat~

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih Umi, udah berkenan membaca & beri penilaian. :)

      Delete
  5. ceritanya enak, gampang dicerna...
    tapi saya kurang suka sama bagian pertama, ngobrol-ngobrol duru baru battle, entah kenapa ada yang miss di pikiran saya

    7/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih Rayan, udah berkenan membaca & beri penilaian. :)

      Delete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -