May 18, 2014

[ROUND 2 - WYRN] DARCIA REGINE COBRINA VIPREZ - I WISH FOR NOTHING (MAYBE)

"I Wish for Nothing (Maybe)"
Written by Villyca

---
  
      Cia berjalan tertatih memasuki ruangan serba merah, tempat di mana mereka dikumpulkan sebelum bertarung. Jumlah mereka berkurang cukup banyak, setidaknya seperlima dari mereka menghilang. Sisanya terlihat terluka, sedih, marah, tapi ada beberapa yang terlihat senang meski dipenuhi luka.

     Cia memandangi wajah-wajah yang terlihat senang setelah memenangkan pembantaian. Gadis itu mengamati lalu membandingkan dengan dirinya sendiri.

     'Apakah ekspresiku seperti mereka?' tanya Cia dalam hati.

     "Ada yang mengganggumu?" tegur Hvyt yang membawanya kembali. Bola mata putih itu bergulir ke sudut mata, mencoba melihat apa yang sekiranya menjadi perhatian perempuan itu. Matanya menangkap sosok-sosok yang dipenuhi ekspresi puas.

     Hvyt yang menggenggam tombak itu menepuk kepala Cia yang masih memperhatikan orang-orang itu."Kau tidak seperti mereka. Tenang saja." Entah kenapa makhluk merah itu seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan Cia.

     Cia mendongak. Hvyt itu terlalu tinggi untuknya. Kedua alisnya berkerut membentuk ekspresi bertanya pada makhluk bersayap hitam itu.


     "Kau tidak seperti mereka. Kau tidak menikmati membunuh meski seakan terlihat seperti itu. Lagipula kau tidak terlihat senang meski berhasil membunuh sebagian besar lawanmu." Hvyt berusaha mengartikan tatapan tanpa ekspresi Cia yang merupakan tanggapan dari perkataannya. Sungguh sebuah tanggapan yang menyebalkan dan membuat penasaran.


     Ada kehampaan yang mengisi hatinya. Ia tidak merasa puas, tetapi tidak juga merasa bersalah. Gadis itu tidak mendapatkan rasa apapun dari apa yang ia lewati beberapa saat lalu.


     Ia melakukannya hanya demi kembali hidup. Membunuh untuk menyenangkan Si Dewa Merah, tidak lebih. Hanya memenuhi perintah, dan apapun perintahnya ia akan melakukannya--sama seperti saat dia hidup. Seluruh keluarganya dididik untuk mematuhi perintah dari majikan mereka--atau pada orang terkuat di mana mereka berada.


     Tiba-tiba sebuah keributan kecil terjadi, orang-orang terlihat membicarakan sesuatu. Cia tampak berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Beberapa belas Hvyt terbang dengan kasar lalu menjatuhkan orang-orang yang mereka bawa dari ketinggian beberapa meter tepat di tengah ruangan.


     Orang-orang yang dibawa para Hvyt itu tak lain adalah orang-orang yang menghilang beberapa saat lalu. Dengan datangnya kesebelas orang itu maka lengkaplah jumlah seluruh peserta. Setelah para Hvyt tadi mendarat mereka tampak memaksa orang itu berlutut, bersamaan dengan datangnya Thurqk--Si Dewa Merah.


     "Kalian mengecewakan. Padahal aku sudah memberi kalian kesempatan untuk menghiburku, tetapi malah membuatku bosan." Thurqk mendekati salah satu dari mereka. Ia mencengkeram dagu dan mendongakkan kepala orang itu dengan kasar."Tidakkah kalian mendengar jika siksaanku akan begitu menyakitkan? Atau kalian meragukan kalimatku?" Mendadak sebuah kobaran api muncul dari tangan kanan Thurqk yang tengah mencengkeram wajah salah satu peserta.


     Orang itu menjerit kesakitan, wajahnya mulai melepuh karena terbakar. Meski meronta tetapi cengkeraman itu terlalu kuat. Thurqk tersenyum melihat ekspresi dan jeritannya. Ia sedikit terhibur lalu melepaskan cengkeramannya, meninggalkan luka bakar yang merata di wajah orang itu.


     Thurqk berbalik lalu berjalan beberapa langkah sebelum menjentikkan jari. Sebuah singgasana batu muncul, lalu ia duduk dengan angkuh. Sesosok gadis terbang ke arahnya lalu duduk di bagian tumpuan tangan sebelah kanan.


     "Abby, ke mana saja selama ini?" tanyanya basa-basi--karena tidak mungkin ia tidak mengetahui ke mana gadis itu pergi."Ingin melihat pertunjukan seru?"


     Gadis itu mengedarkan pandangan ke arah sebelas orang yang berlutut di depan singgasana. Hanya sekali matanya menyapu deretan itu, lalu mulai mencari sosok yang pernah membuatnya kesal di deretan belakang--tepatnya pada deretan orang yang selamat dari murka Thurqk.



     "Apa istimewanya sehingga ia bisa berdiri di sana?" protes Abby lirih."Ah, pasti hanya keberuntungan," gumamnya sembari tersenyum sinis.



     "Ada yang menarik perhatianmu?" bisik Thurqk pada Abby.


     "Tidak penting. Hanya gadis yang mendadak sentimentil kemudian secara mendadak pula menjadi sadis." Abby menggoyangkan kedua kakinya yang menggantung di udara."Plin plan," imbuhnya sambil melakukan kontak mata pada gadis di kejauhan yang ia maksud.


     Thurqk menatap sejenak gadis kecil itu, lalu berkata lantang pada kesebelas Hvyt yang ada di hadapannya,"Berikan aku tontonan yang menarik, Hvyt." Dewa itu bertopang dagu dan ekspresi angkuh melekat seakan sudah semestinya. Ia melambaikan tangan yang kemudian disusul dengan suara lecutan cambuk dan jeritan."Semoga ini menyenangkan."



***



      Lecutan cambuk, darah, dan jeritan. Diikat, ditelanjangi, dicambuk dan dipertontonkan, Cia pernah merasakan itu dan membawanya kembali pada kenangan setahun yang lalu. Chupa di dalam mulutnya terasa hambar, ia merasa sedang diseret ke dimensi lain khusus untuk menyaksikan penyiksaan itu. Jeritan-jeritan itu bahkan lebih keras dari pada lagu yang ia dengarkan, seakan suara-suara itu langsung masuk ke dalam headphone-nya.


     Ingatan bercampur dengan nuansa penyiksaan di hadapannya. Dijadikan tontonan bagai hewan malas tak berguna yang akan dicambuk hingga mati. Ia pernah mengalaminya, dan itu bukan pengalaman biasa yang  akan ia lupakan dengan mudah.


     Cia terpaku. Meski tidak ingin tetapi ia tetap menyaksikannya. Bungkam dan tak bergeming, ia tidak tahu harus berekspresi atau berbuat apa seakan ia diperintah untuk tidak berbuat apapun.



     'Apakah ini peringatan untukku?' tanya Cia dalam hati. Keringat dingin membasahi punggungnya, dan telapak tangannya mendingin.



***


     Darah bercampur serpih daging bercipratan ke lantai, tulang belulang mengintip dari dalam tubuh seakan ingin mempertontonkan diri. Lecutan demi lecutan menghadirkan genangan darah segar. Beberapa penonton muntah karena penyiksaan di depan mata mereka.


     Mendadak Thurqk menyeringai, wajahnya terlihat puas. Dewa itu mengangkat tangan kirinya dengan telapak tangan menghadap ke atas. Bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu tanpa suara, hingga akhirnya sebuah pendar merah berbentuk seperti lingkaran sihir muncul di bawah kesebelas orang itu.


     Sebelas Hvyt terbang secara serempak ke udara yang langsung disusul dengan kobaran api setinggi tiga meter, membakar orang-orang itu. Mereka menjerit, beberapa dari mereka berusaha kabur dari api namun gagal karena api itu memenjara mereka bagai tembok yang kokoh. Kekuatan apapun yang mereka miliki tidak dapat menyelamatkan ataupun sekedar meringankan efek panas api yang membakar mereka.


     Satu persatu jeritan menghilang, hingga akhirnya hanya tertinggal kesunyian. Ketika api meredup hanya tertinggal onggokan abu dan senyuman puas Sang Dewa.


     Thurqk bangkit dari singgasana."Bagaimana dengan pertunjukan tadi? Sangat seru bukan? Setidaknya kalian bisa belajar dari apa yang kalian lihat."


     Bungkam, tangis, umpatan lirih, dan mual, itu yang para penonton rasakan. Mereka akan merasakan hal serupa suatu hari nanti. Karena hanya satu orang saja yang akan kembali hidup, dan sisanya akan menjadi debu yang akan diinjak-injak.


     "Kuharap kalian akan membuatku puas pada pertarungan berikutnya. Itu jika kalian tidak ingin menjadi abu seperti mereka." Thurqk berjalan pergi diikuti satu Hvyt yang selalu bersamanya.


     Abby, hantu perempuan itu menatap lekat Cia ketika pandangan mereka bertemu. Ia menggerakkan ibu jari kanannya horizontal di depan leher, bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu tanpa suara yang kira-kira berkata 'matilah kau'. Lalu gadis transparan itu memberikan senyum sinis sebelum pergi.


***



     Hvyt membawa Cia ke tempat yang berbeda, bukan Jagatha Vadhi-- karena tidak ada satupun pohon Rachta terlihat sepanjang mata memandang. Hamparan rerumputan merah terbentang hingga ke horizon.


     Cia menatap Hvyt yang membawanya ketika menjejakkan kaki ke daratan. Tanpa perlu bertanya Hvyt itu langsung menjawab hal yang ingin ia tanyakan."Di sini adalah Cachani Vadhi."


     Cia tak menjawab apapun mesti pertanyaannya sudah terjawab. Diam dan mengamati sekelilingnya yang tertutupi rerumputan tinggi, nyaris setinggi Hvyt.


     "Kalian akan tinggal di sini sebelum pertarungan lain dimulai." Hvyt itu kemudian diam menunggu jawaban Cia yang sejak beberapa saat lalu tampak tidak menanggapinya."Hei, kau dengar?" tanyanya sedikit kesal.


     Gadis itu menengok dan menatap Hvyt."Ya," jawabnya singkat lalu kembali seakan tak acuh pada Hvyt. Cia sedang dilanda rasa malas, penghukuman yang ia saksikan cukup menyita pikirannya.


     Hvyt itu menggaruk kepala dengan sedikit kesal karena ditanggapi sedatar itu."Terserah saja. Semoga kau betah dengan apa yang hidup di sini," ucapnya sebelum menjejakkan kaki lalu terbang pergi.


     Cia memandang kepergian Hvyt selama beberapa saat, namun goyangan kasar dari rerumputan di depannya membuat gadis itu siaga. Beberapa detik kemudian sesosok serangga besar muncul, sedikit membuatnya terkejut meski tampak tidak membahayakan.


     Gadis itu terlihat mengerutkan alis, setelah benar-benar yakin serangga besar itu tidak berbahaya ia segera meninggalkannya.


     'Jadi itu yang dimaksud Si Merah,' kata Cia dalam hati.'Apa serangga itu hasil mutasi genetika? Bagaimana bisa sebesar itu?' Pertanyaan itu terus berputar dalam kepala Cia. Setidaknya rasa penasaran itu bisa menggantikan beban pikirannya untuk sementara.


     Beberapa kali gadis itu melihat serangga-serangga yang berukuran besar--sekitar setengah manusia dewasa. Dan yang ia pikirkan selanjutnya adalah,'Apakah akan ada dinosaurus yang muncul?'


     Cia memandangi tanah merah seluas yang ia bisa lihat, hanya untuk mencari jejak kaki raksasa yang bisa jadi milik hewan raksasa yang mungkin akan muncul.


     Lima menit gadis itu menyusuri padang rumput merah dan belum menemukan jejak kaki raksasa seperti yang ia bayangkan. Lega, setidaknya ia tidak harus berurusan dengan hewan besar yang bisa jadi adalah predator.


***
[satu minggu kemudian]



     Langit merah di Cachani Vadhi mendadak dipenuhi dengan sosok berbentuk manusia yang tengah terbang bebas dengan sayap mereka. Cia menghentikan acara makan serangga panggang yang menjadi kebiasaan barunya saat sesosok Hvyt bertombak memijak tanah dan menghampirinya.


     "Kau terlihat menyukainya," sindir Hvyt itu sambil melangkah ke arah Cia."Dewa telah memutuskan pertarungan selanjutnya, kuharap kau siap karena aku tidak mau menunggu."


     Cia tampak tidak mempersiapkan apapun, bahkan rambut panjangnya masih tergerai begitu saja, hanya headphone yang menjadi penghias--seperti biasanya.


     "Apakah dia menyuruhku untuk membunuh peserta lain?" tanyanya sambil melempar sisa daging di tangannya.


     "Tidak. Tapi terserah padamu jika kau ingin." Hvyt tampak mengeryitkan alisnya yang pendek--bisa dikatakan alisnya tidak memiliki ekor. Ia tidak menyangka jika gadis itu akan memakan serangga dengan wajah seakan bukan apa-apa seperti beberapa saat yang lalu--ia agak kecewa karena berharap melihat raut Cia yang datar berubah menjadi memelas atau akan komplain mengenai makanan yang tidak pantas.


     "Sungguh tidak menarik," ucap Hvyt lirih. Cia melirik ke arahnya seakan bertanya apa yang ia katakan."Aku tidak berkata apapun," bantahnya.


     Cia diam sesaat dan tetap memandang Hvyt."Aku bisa membaca gerak bibir," ucapnya datar lalu memalingkan wajah.


     Kali ini Hvyt mendengus kesal karena merasa dikerjai."Tidak manis," gerutunya.



***



     Cia dibawa ke salah satu pulau kecil, terlihat seperti pedesaan pada umumnya. Tenang. Tidak ada warna merah menyala seperti Cachani ataupun Jagatha Vadhi. Angin yang berhembus terasa sama seperti di bumi.


     "Aku menunggumu di sini, kembalilah membawa beberapa benda yang kau inginkan kemari dan aku akan membawamu kembali," kata Hvyt.


     Cia terdiam sejenak untuk berpikir. Dan hasilnya,"Tidak ada." Jawaban yang singkat dan cepat, cukup untuk membuat Hvyt itu menepuk dahinya keras-keras.


     "Itu peraturannya, Nona," nada bicaranya menekan pada kata pengganti untuk gadis itu."Pikirkan baik-baik apa yang kau inginkan dan bawalah kemari dalam waktu tidak lebih dari sepuluh jam."


     "Kalau tidak ada yang kuinginkan?" tanya Cia.


     Hvyt kembali menepuk dahi lalu memerosotkan tangan ke wajah dengan frustasi."Sepuluh jam waktu yang cukup lama untuk membayangkan apa yang kau inginkan. Di pulau ini apapun keinginanmu akan menjadi nyata." Hvyt memutar tubuh mungil Cia layaknya anak-anak agar berbalik lalu pergi."Segeralah pergi."


     Cia berjalan beberapa langkah sambil membuka bungkus permen, lalu berpaling sesaat.


     "Syuu syuuu," ucap Hvyt seakan tengah mengusir hewan sembari melambaikan tangan.


     Gadis itu berjalan pergi tanpa berbalik. Di pikirannya hanya ada satu hal,'Memangnya apa yang kuinginkan?' Manisnya Chupa sama sekali tidak membantu Cia untuk berpikir.




***


     Sesosok gadis bertubuh nyaris transparan muncul dan melayang mendekati satu Hvyt yang tengah memegang tombak."Dia sungguh menarik,"ucapnya.


     "Apa Nona Abby tidak salah? Dari mana menariknya bocah merepotkan seperti dia?" bantah Hvyt.


     "Mana mungkin ada manusia dewasa yang tidak menginginkan sesuatu! Orang dewasa itu makhluk serakah yang menjijikkan, rela melakukan apapun untuk mendapat hal yang diinginkan. Mereka selalu iri dan iri pada apa yang dimiliki orang lain." Abby mengatupkan gunting dengan kencang seakan tengah menggunting sesuatu yang keras."Dan yang membuat menarik adalah mengetahui apa yang orang itu inginkan. Dia munafik."


     "Kita lihat sepuluh jam dari sekarang, apakah dia akan datang kemari membawa barang-barang yang ia curi dari peserta lain atau tidak. Lagipula ia harus memikirkan hal yang paling ingin dimiliki."


     Abby memandangi Hvyt itu dari atas kepala hingga kaki."Kurasa akhir-akhir ini kau seperti baby sitter untuk anak itu. Apa Thurqk memang menjadikanmu baby sitter-nya?" sindir Abby.



     Hvyt itu hanya diam meski kesal dikatakan seperti baby sitter. Para Hvyt ditugaskan untuk mendampingi para peserta, tetapi jika ia terlihat seperti baby sitter itu seperti menjatuhkan harga dirinya. Lagipula Hvyt harus selalu mengawasi peserta agar suatu hari ketika tiba hari penghukuman merekalah yang harus melakukannya pada peserta itu sesuai dengan perintah Thurqk.


     "Ada apa? Khawatir dengan asuhanmu?" ejek Abby yang tampak menelengkan wajah tepat di depan wajah Hvyt.


     "Kurasa Dewa tidak menyuruhmu untuk menggangguku, Nona Abby. Lebih baik anda berkeliling pulau ini, suasananya layak untuk dinikmati."


     "Ya ya ya," ucapnya sebal lalu melayang pergi dengan malas.


     Hvyt menghela napas panjang."Apa gadis-gadis mungil jaman sekarang memiliki perangai buruk? Sungguh merepotkan dan tidak manis."



***


     Abby mulai menyusuri daerah persawahan, angin menghembus rambut pendeknya yang hitam pekat. Di bawah salah satu pohon ada yang menarik perhatiannya, lalu ia mendekat.


     Ada sosok yang membuatnya amat tertarik. Ia mengamati orang itu."Bagaimana dia bisa tidur saat di mana ia harus bertarung?" gerutunya kesal. Abby mendekat dan memandangi rambut panjang Cia yang tergerai hingga ke tanah, dan mendadak ia mendapat sebuah ide.


     Hantu kecil itu mengambil segenggam rambut Cia dan hendak memotongnya dengan gunting. Tepat sebelum gunting itu mematahkan helai rambut pertama, Cia bangun dan menghajarnya hingga jatuh ke tanah. Ini pengalaman kedua Abby dijatuhkan ke tanah oleh orang yang sama secara beruntun.


     Cia menekan leher Abby dengan sikunya."Apa yang kau inginkan?"


     "Seharusnya itu pertanyaanku, bukan kau. Apa yang kau inginkan?" Abby langsung menuju kepada topik pembicaraan."Apa yang kau inginkan? Harta? Makanan lezat? Senjata? Apapun bisa kau wujudkan di sini."


     "Aku tidak menginginkan apapun."


     "Benarkah? Jangan menipu dirimu. Aku tahu jika manusia dewasa itu serakah, menginginkan banyak hal bahkan rela berbuat apapun demi keinginannya. Di sini kau bisa menginginkan apapun tanpa perlu memberikan kompensasi." Abby menyeringai kesakitan ketika Cia menekan lengannya.


     "Lalu apa pedulimu dengan keinginanku?"


     "Aku benci orang munafik, dan kau baru saja menjadi orang munafik dengan berkata tak menginginkan apapun. Kau hanya berbohong dan berpura-pura tidak peduli." Di tangan Abby muncul sebuah benda berkilau keemasan. Sebuah gunting emas."Lihat, aku menginginkan gunting emas dan menjadi kenyataan.


     "Aku hanya menginginkan untuk kembali hidup, itu saja. Dan tempat ini tidak akan bisa mengabulkannya." Cia melepaskan Abby lalu membersihkan lengan bajunya yang terkena pasir.


     "Ingatlah, untuk dapat kembali hidup kau harus menjadi yang terkuat. Itu salah satu keinginanmu, menjadi kuat lebih dari pada semua peserta yang ada. Menjadi satu-satunya yang tidak akan dibakar menjadi abu oleh Thurqk." Abby melayang mendekati Cia.


     "Lihatlah." Sebelah tangan Abby menepuk bahu Cia sedangkan tangan yang lain berada di depan seraya menunjukkan kumpulan perhiasan dengan batu mulia."Harta muncul secara instan. Butuh berapa lama kau akan bisa memilikinya?"


     Cia tampak tidak tertarik. Abby melayang ke sisi kiri Cia."Atau kau menginginkan kekuatan berupa senjata baru? Bayangkan dan harapkanlah dari lubuk hati terdalammu," katanya tepat di samping telinga Cia.


     Gadis kecil itu menarik turun headphone putih di kepala Cia, ia menjadi semakin berani."Cobalah. Bayangkan dan inginkanlah." Ia meletakkan kedua tangannya di masing-masing bahu Cia dan berbisik."Tell me your wish."


     Selama beberapa detik keduanya diam, hanya terdengar embusan angin dan suara musik. Kemudian Cia memberikan respon dengan berjalan pergi, menjauh tanpa berkonfrontasi dengan Abby. Gadis cilik itu menyeringai sambil memutar guntingnya."Menarik sekali."



***



     Cia duduk di bawah pohon rindang. Ia memikirkan ucapan Abby.'Kekuatan. Aku menginginkan kekuatan. Lebih dari apa yang kumiliki sekarang.' Gadis itu memejamkan kedua mata, membayangkan apa yang ia perlukan dan menjadi keinginannya.


     Debar jantungnya meningkat membayangkan tiap lekuk dari kekuatan yang ia inginkan. Perlahan kendali dirinya runtuh tiap kali kilasan kekuatan itu muncul. Ia membayangkan sepasang pedang yang akan menjadi kekuatannya.


     Ketika membuka mata kedua pedang itu berada di pangkuannya. Sepasang pedang kembar dengan warna hitam pekat berukirkan dua ekor kobra yang saling melilit. Selain itu ia menemukan dua tato baru di sisi luar kedua pahanya.


     "Bahkan bisa mewujudkan wadah dimensi untuk pedang ini," ucapnya tidak percaya.


     Gadis itu bangkit untuk mencoba ketajaman pedang barunya. Ia memutar kedua pedang itu dengan berporos pada pergelangan tangannya lalu menyabetkan pedang bersamaan ke depan. Beberapa tebu terpotong secara serentak dengan bekas potongan yang begitu rapi. Cia merasa senang dengan hasilnya.


     Cia memungut salah satu potongan tebu dan menjilatnya."Ah, beracun," katanya datar lalu menggigit sedikit tebu itu. Pedang baru itu sama beracunnya dengan katana hitam yang ia miliki.


     Gadis itu berjalan pergi. Ada yang mendorongnya untuk pergi dan mencari apa yang ia inginkan selanjutnya. Ia berkeliling, menyusuri jalanan tanah selebar dua meter yang tampak membentang tanpa ujung.



***



     Perkelahian. Cia menghentikan langkah dan memilih untuk menonton dari jauh--kira-kira sepuluh meter. Dua orang laki-laki saling bertukar pukulan. Ia tidak berniat melerai, tetapi tidak juga ingin beranjak. Cia duduk sambil menggigiti stick Chupa sebelum membuangnya dan mengambil yang baru.


     Kedua laki-laki itu tak lain adalah Noumi Shu dan Eisted Fodd. Kali ini Shu dihajar hingga jatuh ke tanah, keduanya tampak kelelahan. Dan laki-laki berkemeja putih itu tidak sanggup bangkit lagi. Eisted mengambil buku yang nampaknya adalah milik lawannya.


     "Kembalikan buku itu, Mata Empat!" teriak Shu yang berusaha bangkit--namun kembali jatuh.


     Eisted berhenti lalu membenarkan letak kacamatanya."Buku ini terlalu bagus untuk pengecut sepertimu."


     "Kembalikan!" teriak Shu.


     Eisted pergi membawa buku tebal yang tampak dipenuhi ukiran indah pada covernya. Ia pergi menuju jalanan tanah di mana Cia tengah duduk menyaksikan pertengkaran--alih-alih pantas disebut pertarungan--keduanya.


     "Yah, sudah selesai," ucap Cia kecewa.


     Eisted melirik gadis yang duduk di tanah itu ketika lewat."Ada apa?" tanyanya menyelidik.


     Entah mengapa Cia mendadak merasa menginginkan buku itu. Meski ia tidak begitu menyukai buku, kali ini berbeda. Ada yang istimewa dari buku itu dan membuatnya ingin memiliki buku super tebal itu.


     Cia bangkit dari tanah dan menepuk roknya beberapa kali."Boleh kuminta buku itu?" Gadis itu mengulurkan tangannya untuk meminta buku itu. Eisted menjadi siaga.


     Cia menghela napas panjang sekali lalu melancarkan sebuah tendangan mendadak ke arah kepala Eisted. Dengan mudah laki-laki itu menghindar. Serangan-serangan Cia dihindari dengan mudah seakan dapat membaca tiap gerakannya.


     'Sial! Orang ini ternyata tidak selemah dugaanku, tapi ia tidak terlihat kuat,' keluh Cia dalam hati.


     "Memang apa yang bisa kau lakukan, Nona?" tanya Eisted."Kau tidak akan bisa melawanku."


     Cia berdiri tegap menghadap pada Eisted. Dari kedua sisi pahanya muncul pedang berwarna hitam."Aku akan melakukan ini," ucapnya seraya mengayunkan pedang di sisi kanan ke arah laki-laki itu.


     Eisted sudah menyadari gerakan Cia dan ia menghindarinya dengan mudah meski ia bukan seorang petarung."Kau tidak akan bisa melukaiku, Nona."


     Berkali-kali Cia menebasnya dan tiap kali itu pula Eisted menghindar. Gadis itu merasa dipermainkan, dan ia benci menjadi seperti orang bodoh. Tak satu serangan berhasil mengenai laki-laki itu.


     "Hei perempuan, dia bisa membaca pikiranmu!" teriak Shu yang berjalan tertatih mendekati keduanya.



     Gerakan Cia terhenti. Ia menelengkan kepala memperhatikan lawannya penuh dengan ketidaksukaan."Kau tahu? Aku tidak suka jika isi kepalaku diintip, Bajingan!" Dalam satu kali gigit Chupa di dalam mulut gadis itu hancur berkeping-keping.


     "Kau tahu, aku sedang membayangkan hal-hal mengerikan yang bisa kulakukan padamu, Mata Empat Brengsek!" Gadis itu mengetuk-ketuk kepalanya."Bacalah pikiranku, Brengsek! Itu yang akan kulakukan padamu! Aku akan meretakkan tulangmu, menghancurkan tiap sendi di tubuhmu, dan menarik kulitmu hidup-hidup!" Gadis itu mengunyah serpihan-serpihan permen di dalam mulutnya hingga habis.


     Eisted perlahan mundur. Gadis itu tidak bohong. Ia melihat gambaran dirinya merasakan siksaan itu dengan jelas dari kepala  gadis itu.


     "Kau takut, Brengsek? Setelah mengintip isi kepala gadis, kali ini ketakutan seperti anjing jalanan kalah berkelahi?" Gadis itu tertawa."Aku tidak akan membiarkanmu hidup atau mati dengan nyaman setelah mengetahui orang brengsek sepertimu mengintip isi kepala Cia!"


     Eisted berbalik lalu berlari. Ia berlari karena takut dengan apa yang akan dilakukan gadis itu, karena Regine bersungguh-sungguh.


     "Astaga, kenapa semua laki-laki berlari dariku? Apa kalian diciptakan sepengecut itu?" Gadis itu melemparkan salah satu pedangnya dan menancap telak ke punggung Eisted. Laki-laki itu jatuh tersungkur.


     Regine mendekati Eisted lalu menginjak punggungnya."Kau bisa membayangkan apa yang akan kulakukan bukan?"


     Mendadak Regine melihat sesuatu yang menggelikan. Tanah di sekitar laki-laki itu jatuh menjadi basah."Kau kencing di celana? Setakut itukah dirimu?" Tubuh laki-laki itu gemetar."Jawab aku, Brengsek!" Gadis itu menginjak kepala Eisted hingga membentur tanah.


     "Y-ya, a-aku takut. Ampuni aku. Akan kuberikan buku ini asal aku dilepaskan," pinta Eisted. Laki-laki itu mengulurkan buku yang sejak beberapa saat lalu ia pertahankan.


     "Ah, kau baik sekali," ucapnya sambil menerima buku tadi.


     "Kau bohong!" teriak Eisted sambil merangkak menjauh. Ia masih membaca pikiran gadis itu.


     Gadis itu menginjak punggung Eisted dengan kaki kanan lalu berjongkok sambil menarik kepala laki-laki itu."Aku tidak berbohong, karena aku tidak berkata akan melepaskanmu." Laki-laki itu meronta tetapi gadis itu segera menggorok lehernya hingga tewas.


     Darah segar membasahi tanah, dan laki-laki itu menggelepar meregang nyawa. Saat gadis itu menengok ke belakang, Shu telah menghilang dari tempat terakhir dia terlihat."Larilah bocah, larilah sejauh mungkin agar tidak bertemu denganku."


     Regine mencabut pedang yang masih menancap di punggung mayat dan mengembalikannya ke dimensi sihir yang ada dibalik tatonya. Gadis itu memungut buku yang sempat terjatuh di dekat kakinya. Beberapa kali ia menepuk dan meniup sampulnya yang sedikit terkena tanah dan pasir.


     Ia mengamati sampul buku itu selama beberapa saat."Tidak buruk," ucapnya seraya mengamit buku lalu pergi.



***



     Abby muncul dari balik pohon, memandangi kepergian Darcia."Sungguh kejam. Apakah dia tertular sakit jiwanya Thurqk?" Ia merasakan adanya sedikit kemiripan dalam hal kesadisan antara gadis itu dengan Si Dewa Merah.


     "Akhirnya dia mulai menunjukkan sifat asli orang dewasa. Teruslah menginginkan milik orang lain, tunjukkan sifatmu yang seperti binatang, Ular Betina." Abby menyeringai."Tak ada yang lebih menyenangkan selain melihatmu meruntuhkan tembok kemunafikan dan menunjukkan kebusukanmu."



***


     Cia berjalan sambil memikirkan perkataan Hvyt dan Abby. Kesimpulan yang ia tarik dari peraturan pertarungan kali ini adalah membawa 2 benda curian dari peserta lain. Masih berkutat dengan pertanyaan di kepalanya, mendadak sebuah pedang meluncur ke arahnya dan menggores lengan.


     Beberapa meter di depan berdiri sesosok laki-laki dengan rambut ekor kuda. Pedang yang melukai Cia kembali ke sisi orang itu.


     Cia menarik keluar kedua pedangnya, dan Petra--laki-laki rambut ekor kuda itu tersenyum melihat pedang-pedang hitam itu. Gadis itu tidak menyukai tatapan lawan yang terlihat menginginkan pedang barunya."Jangan berharap jika tidak ingin kecewa," ucap Cia sambil mempersiapkan kuda-kuda, bertepatan dengan Petra yang melesat untuk menyerang.


     Kedua pasang pedang itu saling hantam. Cia mengendurkan pertahanan pedangnya lalu berguling ke samping untuk menyapu kaki Petra. Laki-laki itu goyah meski tidak terjatuh, Cia memanfaatkannya untuk menendang punggung Petra. Terhuyung namun belum berhasil menjatuhkannya, lalu laki-laki itu menggunakan dua pedang orb-nya untuk menyerang Cia.


     Gadis itu menghalau kedua pedang orb itu, kali ini giliran Petra yang mempermainkannya. Sepasang pedang orb dan Petra, gadis itu serasa melawan dua orang dengan pedang ganda.


     Cia nyaris kewalahan dengan keahlian berpedang Petra, ditambah dengan pedang-pedang orb itu. Gadis itu harus mencari celah untuk menjatuhkan laki-laki itu dengan telak, ia tidak akan sanggup jika harus berlama-lama meladeninya.


     Salah satu pedang orb berhasil melukai pinggang Cia, darah segar merembesi pakaiannya yang koyak.'Aku harus segera menyelesaikannya,' ucapnya dalam hati.


     "Kau tidak akan menang melawanku, Nona. Serahkan pedang itu dan nyawamu akan kusisakan." Kedua pedang orb terhunus ke arah Cia seakan sewaktu-waktu akan menghujamnya.


     "Karma?" Cia mempertanyakannya namun tidak sedikitpun peduli jika seandainya hal yang tengah ia alami memang adalah karma. Gadis itu menurunkan pedangnya seakan menyerah dan berjalan mendekati Petra.


     "Anak baik," ucap Petra senang. Ia begitu menginginkan pedang hitam itu, wajahnya terlihat begitu bahagia.


     "Benarkah kau akan menyisakan nyawaku jika memberikan pedang ini padamu?" tanya Cia tepat selangkah di depan Petra.


     "Tentu saja, Nona," ucap Petra yakin.


     "Oh, baiklah." Cia memberikan kedua pedangnya pada Petra yang telah menyarungkan senjatanya.


     Laki-laki itu menerimanya dengan bahagia. Terlalu senang akan membuat seseorang tidak waspada, dan itulah yang terjadi pada Petra. Cia menarik salah satu pedang di pinggang lawannya dan langsung menggunakannya untuk memenggal tuan dari senjata itu.


     Kepala Petra yang terlepas jatuh ke tanah bersamaan dengan pedang-pedang orb yang berjatuhan. Cia menancapkan pedang di tangannya ke tanah lalu mengambil kembali senjatanya.


     "Pedang ini tidak pantas untukmu," ucapnya sambil meninggalkan jasad Petra begitu saja.



***



     Cia turun ke sebuah sungai yang jernih, di sana ia membasuh luka-lukanya. Luka di pinggangnya cukup dalam, dan cukup membuatnya menyerapah beberapa kali tiap membasuhnya.


     "Kau terluka?" tanya seorang gadis yang mendadak muncul di sampingnya. Cia sama sekali tidak peduli dengan hantu kecil itu."Jadi apa kau sudah menemukan apa yang kau inginkan?"


     "Pergilah, aku tidak ingin diganggu." Cia bahkan tidak mau menatap Abby.


     Apapun yang Abby katakan hanya dianggap angin lalu oleh Cia. Setelah menjadi amat geram dengan Cia akhirnya hantu itu meninggalkan gadis itu sendirian.


     Setelah pendarahannya berhenti Cia melepaskan pakaiannya satu persatu lalu memasuki sungai. Seminggu lebih tidak mandi membuatnya sangat gerah. Air sungai begitu jernih dan menyegarkan, ia tidak bisa menemukan sungai seperti ini di Cachani maupun Jagatha Vadhi.


     Cia menenggelamkan dirinya selama beberapa detik ke dalam air. Ia berusaha menghilangkan lelah dan pikiran yang mengganjal selama ini.


     'Kalau aku memang mati, kenapa aku bisa merasa sehidup ini?' Setelah merasa napasnya sedikit sesak, ia muncul ke permukaan lalu berenang ke tepian. Sesampainya di darat ia memeras rambut panjangnya yang basah lalu memakai pakaiannya kembali.


     "Hei, tidak bisakah mempertontonkan sesuatu yang lebih menarik?" tanya seorang laki-laki yang bersandar di batu tidak jauh darinya."Perbanyaklah makan agar sedikit berisi." Ia meneguk sebotol minuman beralkohol.


     Cia sama sekali tidak menanggapinya dan tidak bereaksi apapun. Bahkan ia tidak peduli dengan fakta bahwa orang itu mengintipnya mandi. Hanya satu hal yang terganggu dengan kemunculan laki-laki itu, hidungnya. Ia mencium bau arak lezat yang mungkin sudah berusia ratusan tahun.


     Gadis itu duduk di salah satu batu dan berusaha membayangkan arak berusia ratusan tahun, sayangnya keinginannya tidak terwujud. Tak ada satupun yang muncul.


     Cia menghampiri laki-laki berjaket hitam, Rafa Grafito. Jika menginginkan arak langka itu, mau tidak mau ia harus merebutnya.


     "Apa? Kau menginginkan ini?" tanya Rafa."Ini bukan minuman anak-anak." Wajahnya terlihat memerah, sepertinya dia mulai mabuk.


     "Serahkan saja jika tidak ingin terluka," ucap Cia. Gadis itu mengulurkan tangannya beberapa meter dari Rafa. Laki-laki itu tetap tidak peduli, dan Cia kesal karena sikap tak acuhnya.


     Kekerasan. Cia memilih menggunakan kekerasan. Ia menarik keluar kedua pedang barunya, dan Rafa tertarik dengan pedang itu."Pedang yang bagus, Nona," katanya kemudian meneguk arak."Bagaimana jika berikan pedang itu padaku? Itu bukan mainan anak-anak."


     Tubuh mungil Cia sering diidentikkan dengan masih anak-anak. Kali ini ia merasa diremehkan. Orang itu tidak tahu fakta jika Cia tidak akan bisa mabuk dan ia belajar berpedang sejak kanak-kanak.


     Cia menyerang Rafa pertama kali, laki-laki itu menahan serangan tadi dengan pedangnya. Sebenarnya kepala Rafa sedikit pusing karena minuman itu dan ia tetap nekat berkonfrontasi. Bahkan Rafa menyempatkan diri untuk mengagumi kedua pedang milik Cia."Pedang yang indah. Ayolah, itu tidak cocok di tangan anak kecil."


     Cia menendang perut Rafa, dan telak mengenainya hingga terjungkal. Nampaknya pertarungan kali ini mudah, dia mabuk dan nampaknya tidak terbiasa dengan keadaan seperti itu.


     "Serahkan arak itu dan aku tidak akan membunuhmu." Cia menodongkan pedang persis di depan leher Rafa.


     "Enak saja!" Rafa menghalau pedang Cia, lalu menggunakan detik-detik berharga untuk menembakkan senapannya.


     Gadis itu merunduk tepat sebelum laser mengenainya. Ia tidak menduga jika bidikan orang mabuk bisa setepat yang baru saja terjadi--itu jika berhasil mengenainya.


     Rafa meletakkan araknya di atas batu besar seakan itu adalah hadiah dari pertarungan mereka. Karena merasa tidak adil menggunakan senapan melawan perempuan berpedang, ia kembali menggunakan pedangnya yang tergeletak di tanah.


     "Jangan salah Nona, aku mahir menggunakan pedang. Jadi jangan salahkan aku jika terluka." Ia sempat melihat luka-luka Cia beberapa saat lalu.


     Cia kembali menyerang, dan laki-laki itu menghindar--terlalu bagus untuk ukuran orang mabuk. Jarak menyempit, dan keduanya beradu pedang dengan jarak yang amat dekat.


     Rafa mengayunkan pedangnya ke sisi kiri Cia, dan ketika gadis itu sibuk menangkis sebuah tendangan datang dari sisi kanan. Gadis itu nyaris terjatuh, meski berhasil menahan tendangan pada detik-detik terakhir tetapi daya hantamnya berhasil membuatnya goyah. Cia kembali menyabetkan pedangnya, dan berhasil merobek jaket Rafa meski belum berhasil menggoresnya.


     Gadis itu terus melakukan serangan sementara lawannya menghindar. Hingga akhirnya Dewi Keberuntungan memihak pada Cia. Pijakan batu yang diinjak Rafa goyah dan membuatnya tergelincir sehingga laki-laki itu membentur batu lain yang cukup besar hingga pingsan.


     Jujur saja Cia sedikit kecewa dengan hasil pertarungan yang konyol, tetapi ia cukup senang karena tidak perlu berlama-lama direpotkan Rafa. Gadis itu mengambil botol arak dan meminumnya beberapa teguk, rasanya begitu segar dan nikmat.


     "Arak ini terlalu berharga untukmu, lagipula aku bukan anak-anak. Aku juga tidak akan mabuk sepertimu," ucapnya di depan Rafa yang tergeletak pingsan."Terima kasih untuk araknya." Cia melenggang pergi sambil menikmati araknya.


     Beberapa langkah ke depan Abby sudah menunggunya."Jadi kau sudah menemukan apa yang kau inginkan?" tanyanya.


     Cia berhenti dan meneguk araknya."Kalau iya apa hubungannya denganmu?" Kali ini ia begitu penasaran dengan hantu perempuan itu. Ia menanyakan pertanyaan yang sama terus menerus seakan hendak menggiring ke suatu topik.


     "Kulihat kau membawa sebuah buku yang antik dan arak. Jadi itu yang kau inginkan selain senjata?" selidik Abby.


     "Ada masalah dengan ini?" balas Cia.


     "Hvyt menunggumu berjam-jam dan ternyata hanya itu yang kau ambil? Apa hebatnya buku itu? Dan arak itu, apa enaknya?" Entah mengapa Abby terlihat begitu cerewet mengenai apa yang gadis itu inginkan."Meski kau bisa menyelesaikan hanya dengan mendapatkan dua barang tambahan bukankah akan lebih terlihat berkelas jika kau merebut benda yang lebih penting?" Abby menggerutu panjang dan nampaknya Cia benar-benar malas.


     Cia berjalan pergi tanpa berbicara lagi pada hantu yang kali ini berteriak-teriak marah karena sikap dinginnya. Ia tidak peduli dan tidak ingin menanggapi meski ia masih bisa mendengarnya, bahkan Cia menaikkan volume lagu beberapa tingkat agar tidak mendengar ocehannya lagi. Abby menyerapah dan mengatai Cia yang meninggalkannya begitu saja.



***



     Cia menghampiri sosok merah yang duduk bersandar pada pohon, di dekat tempat di mana ia menjejakkan kaki di pulau Wyrn."Aku sudah membawa beberapa barang yang kuinginkan." Ia menunjukkan buku yang diambil dari Eisted, pedang barunya, dan arak yang tengah diminumnya."Lalu sekarang apa yang harus kulakukan?"


     "Dari siapa saja barang itu?" Hvyt bangkit dan mendekati gadis itu.


     "Ini pedangku. Buku ini kudapat dari Kutu Buku Mata Empat," kata Cia.


    "Eisted Fodd?" Hvyt menaikkan alisnya yang mirip Chihuahua.


     Cia mengangkat bahu."Mungkin." Ia tidak mengenali nama-nama lawannya."Lalu arak ini dari Si Hidung Besar."


     "Ha?" Hvyt sedikit bingung namun berusaha mengingat satu persatu peserta di pulau ini. Setelah berhasil ia nyaris tertawa--tentu saja ia menahannya mati-matian."Maksudmu Rafa Grafito?"


     "Aku tidak tahu. Apa ada peraturan aku harus mengingat nama lawanku? Kau tidak mengata-" Mendadak Cia bersin dengan keras.


     "Angin sekencang ini, wajar jika kau masuk angin. Lagipula, apa-apaan rambut basah itu?" komentar Hvyt pada rambut Cia yang masih basah.


    "Mandi. Ada masalah?" balas Cia.


     Hvyt hanya bisa menghela napas panjang. Ia tidak habis pikir dengan isi kepala gadis itu."Jadi misi kali ini kau lulus, kita akan kembali."


     "Ya, aku ingin segera kembali." Cia meneguk habis arak hingga tak bersisa."Sejak ada di pulau ini ada yang aneh dengan diriku. Menginginkan segala barang seperti orang bodoh tak berotak."


     "Bukankah wajar jika manusia menginginkan milik orang lain?"


     Cia terdiam sesaat."Iri. Aku menginginkan benda-benda seperti bukan diriku, dan aku tidak ingin lagi menjadi bukan diriku."


     "Lalu bagaimana dengan Regine? Bukankah dia alter ego mu?"


     "Ya," jawabnya singkat dan keheningan pun datang. Cia tidak memberikan alasan dan Hvyt enggan untuk menanyakan lebih lanjut. Gadis itu mengalihkan pandangan.


     'Merajuk?' batin Hvyt.'Kalau begitu dia terlihat manis.' Beberapa detik kemudian gadis itu menguap lebar-lebar, dan wajahnya kembali seperti saat terlihat tengah merajuk--padahal itu adalah wajah mengantuk khas Cia.'Kenapa rasanya seperti tertipu?' Hvyt menggaruk kepalanya meski tidak gatal."Kita akan kembali, semoga kau tidak masuk angin."


     Hvyt itu membawa Cia pergi dari pulau Wyrn. Angin dingin membuat gadis itu berkali-kali bersin. Semua benda yang pernah diwujudkan di pulau Wyrn menghilang tanpa sisa seakan tidak pernah ada. Cia sedikit kecewa dan mendadak perkataan ayahnya terngiang dalam benaknya. Jangan menginginkan apapun agar tidak kecewa. Gadis itu merasa bodoh karena menginginkan sesuatu seperti orang tolol bahkan membunuh untuk merebut dari orang lain. Tidak seperti dirinya, itu yang ia sesalkan.



     Hening. Mendadak Cia merosot nyaris jatuh, dan Hvyt berteriak secara spontan karena kaget. Saat mengecek gadis itu tertidur pulas."Jangan tidur!" teriak Hvyt kesal. Ya, gadis itu bisa tertidur kapanpun dan di manapun."Sial! Kalau begini aku benar-benar jadi baby sitter bocah ini!" Ia kesal karena kata-kata Abby benar. Sepanjang perjalanan Hvyt merutuk dalam hati sementara Cia tertidur pulas hingga rambut basahnya kering.

4 comments:

  1. Alur : 1,5/3
    Wahaha ini cerita tenang dan damai.. Tp sy suka berhubung mls baca yg berat2 XD #dzigghh
    Berhubung sy jg lg gk mud komen pjg2, lgsg ke inti: cerita ini tenang dan damai, tp nyaris datar... Seolah gk ada yg terjadi di pulau envy tersebut, didukung dgn barang curiannya ilang... :( dan lagi, sy kaget waktu baca trnyata ini pulau envy, kukira pulau Greed >.< kecemburuannya krg terasa, Cia yg pengen pnya segala milik lawannya imo mlh berkesan serakah :o
    Adegan battle favorit sy pas bunuh si petra *-*)d

    Karakterisasi : 1,5/3
    Yeyy ada Abby gangguin nona galak >.< #plokk hati2 nak o.o)/
    Dan itu Hvyt nya kok berpotensi romens sma Cia. Jdi sweet X//D
    Slain itu char lawan kayak char skedar lewat aja wkwk bahkan Cia sndiri yg blg gk ingat namanya >.< dan Cia gmpang bgt ngalain mereka o.o
    Trs itu alter egonya Cia keluar ya? Krg greget ni pas proses perubahannya (?) >.<

    Gaya bahasa : 2/2
    Bacanya asik n bahasanya gak bkin sy mumet n ngedumel wkwk #plakk

    Typo n error : 1/1
    Gak ada typo sjauh sy baca (y)

    Hal-hal lain : 1/1
    Ayolah Cia, sy yakin dirimu masih bisa lebih kece ktimbang disini >.<

    Total poin : 7
    Smoga Cia bisa lebih maksimal utk syuting episode berikutnya (?) (y)

    ReplyDelete
  2. Cerita ini mudah dimengerti, pilihan katanya bagus, dan pendeskripsian suasananya bagus. Terasa banget sadisnya Regine waktu mau bunuh Eisted :)

    Tapi tunggu.... Wait? Wat? Mana Deismo? Collin juga tidak ada! :O
    Sebagai author Deismo, jujur terasa kecewa karena dia tidak ikut campur dalam cerita ini. :(

    Pertarungan Cia dengan Eisted dan Rafa kurang menarik karena pada pertarungan Eisted yang ia gunakan hanya pembaca pikirannya dan pada pertarungan Rafa yang ia gunakan hanya kemampuan fisiknya.

    Jika disimpulkan kelemahan cerita ini adalah kurangnya pendalaman OC lainnya. :D

    Final Verdict: + 7,49

    Anggaplah 0,01 hilang dari nilai itu sebagai minus ketidak hadiran Deismo. Jangan lupa mampir ke ceritaku :D

    ReplyDelete
  3. Hm, Hvyt banyak diajak ngobrol ya~ menarik juga. Cuma yah sayang juga Deismo ga muncul. Oh ya, pembicaraan sama Abby juga lumayan menarik.

    Adegan Cia yg keliatan kecewa sama Eisted & Noumi itu keren XD Pas battle sama Petra kirain bakal lebih lama, tapi ternyata sebentar ya. Ini nunjukkin betapa Cia lebih kuat dari Petra. Mungkin Petra kalo dikasih kesempatan lebih ngeluarin kemampuannya lagi bisa ngga terlalu cepet berakhir. Yah, pilihan aja sih ini.

    Dari penulisan, ini udah sangat rapi paragraf sama dialognya. Spasi antar paragraf aja yg entah kenapa jauh.

    Ini kali pertama baca Cia, tertarik baca dia sbagai warga Wyrn pertama yg dibaca karena dia pake racun XD sejak awal ada ide bikin fanart para pengguna racun(?): Enzeru-Nurin-Nema-Alvin-Cia... ng... siapa lagi ya? #okeinisihgapenting

    7.8/10

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -