July 27, 2014

[ROUND 4 - LAMASHTU] LAZUARDI - KELAHIRAN

[Round 4] Lazuardi vs Lamashtu
"Kelahiran"

Written by Po
 
---

Sepanjang hidupnya, sepanjang ingatannya, Lazu selalu dihantui. Lazu selalu merasa tindakannya bukan murni berasal dari idenya sendiri.

Ada sebuah suara yang memberinya gagasan-gagasan.

Buat si wanita berpupur putih kasihan padamu. Keringkan si jubah dan si baton, minum cairan tubuh mereka.

Tidak hanya Lucia, Colette, Stallza. Semua yang ia lawan dan ia buat cacat atau bunuh. Semua adalah ide dari suara itu. Lazu ingin membungkamnya, tapi bagaimana cara membungkam suara dari dalam kepalanya?

Adu domba mereka. Pancing mereka saling bunuh bagaimana pun caranya. Atur arah serangan pengendali es itu agar membunuh wanita pengindera air.

Kadang ia bisa melawan. Kadang ia tidak. Ia pernah bertanya pada Ayah dan Ibu tentang suara ini. Mereka diam sejenak, lalu menceritakan sesuatu hal.


Bahwa dulu, sebelum Lazu lahir ke dunia, ada sesosok daemon yang merasuki dirinya dengan sebuah senandung mematikan.Karena suatu fenomena yang ada dalam tubuh Lazu, sifat pembawa maut dari senandung itu hilang.

Tapi suara daemon itu mungkin masih terdengar. Berbicara pada Lazu tanpa bisa dicegah atau didebat. Dan Lazu selalu ingat nama sang daemon yang diceritakan.

Suara itu memenuhi hatinya sepanjang hidup hingga mati.

Mayat Bara mulai kaku. Kepalanya rengkah menggenangkan darah dan sisa otak di lekuk-lekuk lantai batu hitam Khramanaka.

Lazu gemetaran melihatnya, tenggelam dalam frustasi. Semasa hidupnya, keberadaannya tak diterima oleh para penghuni lautan. Pernah ada yang mencoba berkata bijak bahwa perbedaan antara individu satu dengan lainnya adalah ragam warna yang memperindah hidup.

Tapi itu tak berlaku untuknya. Sorot-sorot mata pucat penuh rasa jijik itu masih terbayang jelas, seolah mereka yang menatapnya baru saja menelan air selokan kotor. Ampas biologis, panggil mereka terhadapnya. Bayi terkutuk, kata mereka tentangnya.

Ya. Kau direndahkan oleh seluruh Aspemina.

Ibu dan Ayah selalu berusaha membela. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Ayah adalah virus. Ibu  adalah plankton. Mereka menikah dan dari pernikahan itu lahirlah Lazu.

Manusia kawin dengan anjing, itu adalah hal terlarang. Itu kekotoran yang mencemari bumi. Seperti itulah yang dipikirkan oleh Aspemina tentang pernikahan kedua indukmu. Sebuah najis.

Dianggap gila oleh seluruh lautan karena telah berani menikah dan memiliki keturunan, mereka tak menyangkalnya. Hanya melerai sebisanya jika Lazu sedang ditindas oleh lingkungan sebayanya.

Tidakkah mereka tahu bahwa cinta tak mengenal ras atau kelamin atau spesies sekalipun? Tidakkah menurutmu seluruh Aspemina harus menerima hukuman karena stigma ini? Cap dosa yang mereka sematkan di dahimu?

"Lazuardi, Sakrifar. Lolos." ucapan malaikat merah Hvyt mengagetkannya. Entah apa yang berusaha ia temukan dengan mengingat masa lalunya.

Ia berusaha fokus meski kegamangan masih terasa. Meski suara itu ters bersarang. Hvyt menempelkan sebentuk tulang bergerigi pada permukaan dinding penjara Khramanaka.

Tulang itu melebar dan memipih membentuk sebuah pintu.

"Karena telah memberi sedikit hiburan untuk Sang Dewa, kau mendapat kesempatan untuk meraih pahala."

"Pahala?" Lazu pernah mendengar istilah itu. Sejenis penghargaan atau hadiah bagi mereka yang tunduk pada figur Tuhan. Hvyt membuka pintu putih tulang, dan di dalamnya terlihatlah sebuah tempat yang amat berbeda.

"Labirin Vishala. Tugasmu adalah mencapai pusat labirin."

"K-ke arah mana itu?"

"Cari tahu." Hvyt lenyap.

Koridor panjang itu begitu luas dan memiliki berbagai persimpangan jalan. Lazu berjalan maju, menarik napas dalam, melewati dinding batu hitam di kedua sisi berdiri angkuh dengan barisan obor berjajar, nyala apinya ungu pucat dan memanjangkan bayang-bayang.

Tak ada suara selain langkah kakinya sendiri. Tap. Tap. Bergema. Tap. Tap. Di ujung koridor tampak percabangan jalan. Anehnya percabangan itu membuka dua jalan yaitu tangga batu mendaki menuju sebuah koridor cabang dan sebuah rongga di lantai yang menampakkan tangga batu yang hendak menuju ke bawah tanah.

Di masing-masing jalan masuk cabang koridor Lazu berseru, "Permisi?"

Suaranya memantul jauh dan berulang. Semua obor mendadak mati. Lazu melompat kaget. Koridor itu gulita. Namun tak lama. Obor ungu menyala satu demi satu. Seperti ada suara gemerisik menjauhi obor itu.

Si Matoi julurkan tangan mendekati obor, hendak mencari sumber suara.

Sebuah moncong menggigit tangan Lazu.

"Ahhh!!" Lazu kembali melompat kaget, "Apa itu?!"

Hanya seekor iguana kecil. Hewan itu bergelantungan pada pergelangan tangan Si Matoi tanpa mau melepas gigitan. Perlahan sebuah luka lecet kecil terbentuk, merembeskan cairan biru.

Hanya saja Si Matoi sudah terancam bahkan meski lukanya hanya sekecil itu. Karena lukanya tak bisa menutup seperti manusia. Cairan biru penyokong tubuhnya terus keluar dan bertambah banyak.

Saat itu si iguana melepaskan diri lalu merayap di dinding. Namun karena suatu sebab reptil raksasa menoleh balik dan menatap Lazu, makhluk kecil itu mendadak menguik. Sekali, lalu diulang-ulang.

Awalnya Lazu tak ambil pusing, dia hanya sibuk memperhatikan lukanya yang berdenyut nyeri. Tapi ia tersentak. Iguana itu bukan sekedar menguik.

Iguana itu sedang mengucapkan nama sebuah spesies makhluk.

"Matoi. Matoi. Matoi. Matoi. Matoi. Matoi. Matoi. Matoi. Matoi. Matoi. Matoi. Matoi. Matoi."

Kuduk Lazu merinding bagai disumpal es segenggam penuh. Apa-apaan ini? Tak lama kemudian kecemasannya menjadi-jadi. Seperti bergumpal-gumpal tanah, puluhan tikus hitam berjatuhan dari cabang koridor.

Lazu bergidik. Semua bercericit riuh sambil berputar-putar seolah mencari sesuatu. Dan saat menengadah dan melihat Lazu tepat-tepat, cicitan mereka berubah menjadi lengking mengerikan.
Mereka menyerbu Si Matoi bagai banjir lumpur hitam menjijikkan.

"Cabang Keberadaan: Enshaka." Lazu berbisik lirih menahan nyeri ketika sebagian perutnya robek terputus dengan sendirinya, membentuk gumpalan biru bergerak-gerak merayapi permukaan dinding sebagai komponen diri yang biasa ia sebut Lazu Parasit.

Sementara Lazu Kausa terdiam, tak berani melangkah, agar dapat mengkoordinasikan Parasit secara sempurna. Namun ia tak urung merasa jeri. Gerombolan tikus itu berlarian semakin cepat ke arahnya, menampakkan deret gigi kuning tajam sambil bercicit penuh ancaman.

"Bagaimana ini..."

Lazu gentar. Satu iguana kecil saja mampu membuat luka yang begitu mengganggu. Menghadapi puluhan tikus bergigi tajam begini sama saja mengantar nyawa. Napas Si Matoi memburu, ia tak mampu mengendalikan kepanikan itu.

Tapi seperti pertarungan melawan Bara Si Tumpara, Lazu dipaksa menggunakan sistem konversi energi Sakrifar untuk memfokuskan refleks dan kemampuan parasitnya.

Sehingga mau tak mau, ia harus mencoba sesuatu yang lain untuk bisa selamat dari gerombolan mengerikan ini.

"Enshaka: Bulir Air Telaga."

Mengkombinasikan teknik pemusatan energinya, Lazu mengontrol komponen parasit untuk melakukan sesuatu yang baru.

Maka dimulailah. Dari tubuh parasit yang ada, keluarlah sejumlah sulur biru yang melontar seperti cambuk-cambuk kecil membentuk jaring memagari lintasan kloter tikus terdepan.

Tikus-tikus pertama yang kaget dan terkena jaring sulur biru, langsung terkapar dengan mulut menganga, dengan ujung sulur biru masuk ke dalam daging dan tulang mereka. Mendadak Lazu sedikit lebih kenyang, karena kini tubuh parasitnya dapat menjalari dan memakan lebih dari satu inang sekaligus.

Belasan tikus di barisan tengah dan belakang tak bisa dijebak semudah itu. Mereka melompati anyaman sulur biru yang merintang untuk kemudian memanjati dan menggigiti kedua tungkai Lazu.

Hal yang ditakutkan pun terjadi. Berbagai titik pada tungkai Si Matoi mulai robek dan mengucurkan air. Lazu semakin terdesak.

"Keluaran cairan tubuh sudah sebelaskomaempat persen. Haruskah kukembalikan ke dalam--"

"Buang-buang waktu saja."

Suara itu berseru sinis tepat di sampingnya. Sebuah cakar hitam raksasa terbentuk begitu saja dari sudut gelap koridor, muncul mencengkeram kuat tubuh Lazu lalu menyentaknya hingga terkunci di lantai.

"Apa ini? Lepaskan aku...!"

Lazu coba berontak, tapi tiap kali ia mendorong maka cakar hitam yang menahannya itu hanya meregang robek seperti karet hitam, dan kemudian kembali menyatu bagai makhluk hidup dan kembali membungkusnya.

Muncullah wanita itu seakan keluar dari perpanjangan bayangan. Dengan tudung dan lapisan kaca biru menutupi mata. Dengan ombak hitam yang mengangkat tubuhnya untuk bergerak ke mana dia sukai.

Dengan senyum yang berdecak dan suara bernada asam.

"Kau juga mencari jalan keluar dari tempat ini, eh?" tanya wanita aneh itu setengah hati, "Tapi sepertinya aku dapat bermain-main denganmu sedikit."

"Dari total volume cakar hitam dihubungkan dengan deret lentera obor yang tak memiliki bayangan padahal semestinya terpantul di utara koridor, dicocokkan dengan luas bidang gelap yang sama dengan cakar hitam ini, penyatuan premis yang paling mungkin adalah kau mampu mengambil bayangan atau kegelapan lalu mengubah konsistensinya menjadi padat lalu mengendalikannya."

Sjena Reinhilde terkesiap untuk sesaat mendengar ujaran panjang itu.
Makhluk biru ini tak terlihat ketakutan seperti sebelumnya.

"...Kau mendapat informasi tentang kemampuanku dengan melihat sekilas begitu?" Sjena mengangkat satu alisnya, diam-diam merasa terkejut.

Si biru kecil ini lumayan juga, pikirnya. Saat dia menimbang-nimbang lebih jauh, sebuah suara tangisan terdengar. Lazu mendengarkan dengan seksama. Kini ada tangisan dari dua makhluk. Semakin semakin kencang. Kecil merengek-rengek.

Spontan wanita di hadapannya berhenti. Dia pun mencetus pada Lazu,

"Enaknya sih kau mati saat ini juga, ya."

Tanpa basa-basi lagi cakar hitam raksasa mengatup dengan ketajaman menggila dan mengoyak tubuh Lazu menjadi tiga bagian! Si Matoi hanya bisa terbelalak saat potongan dada serta perutnya sendiri melayang berputar-putar di depan wajahnya, di sela butir-butir air penyangga hidupnya yang merebak di udara.

Koyakan tubuh Si Matoi jatuh berserakan di lantai koridor. Nyala api ungu di jajaran obor bergoyang terkena percikan air dari tubuh Lazu yang hancur.

Menjentikkan jarinya, dengan tenang si wanita merangkai bayangan membentuk payung lalu berjalan santai melewati terpaan basah beratus tetes air yang mengambang.

Ada yang menjalar di sebelah kakinya.

"Grrrkhh!!"

Mendadak tungkai kirinya nyeri luar biasa bagai dikunyah-kunyah oleh anjing buas, lalu mulai mati rasa sampai ke betis.

Sjena melihat penyebabnya. Suatu kerak biru sedang melata di kakinya dan terus naik hingga betis. Dia tak tahu apa yang terjadi, tapi kerak biru aneh terus merambat sehingga Sjena harus bertindak segera.

Si wanita memutar pergelangan memberi komando pada kobaran kegelapan. Cakar hitam raksasa dengan cepat berayun memutuskan betis Sjena sendiri. Otot dan tendonnya menganga, darah berkucuran di lantai.

Sjena pun jatuh berlutut dengan sebelah tungkai putus. Namun diperhatikannya bahwa potongan betisnya itu nampaknya telah dilahap dan diserap seluruhnya oleh kerak biru yang semakin besar.

Kerak biru itulah Lazu Parasit yang beberapa saat lalu merayap di dinding dan sudah menyerap sejumlah tikus. Gumpalan biru itu segera menjulur panjang dan hinggap di koyakan tubuh Lazu.

Gumpalan biru mengumpulkan koyakan tubuh Matoi yang tersebar dan dijadikan satu. Sjena mengamatinya. Tidak mendekat melainkan mengamati dengan wajah mencemooh.

Tubuh Lazu perlahan-lahan utuh kembali meski lebih kecil dari semula. Butir-butir cairan bagai keringat mengaliri wajahnya yang biru.

Tubuhnya menegang seolah baru keluar dari mesin jagal, sementara satu betis yang dimakannya tadi masih jauh dari cukup untuk memulihkan sirkulasinya yang kacau balau.

Pembuluh internalnya tak stabil. Saat suara tangisan aneh tadi sayup-sayup hingga tak terdengar, Lazu mencoba bangkit namun wajah dan tubuhnya langsung kembali terpuruk di dinginnya lantai batu. Ia tak bisa bergerak, cairan tubuhnya bergolak kacau.

Selagi ia memikirkan cara untuk lolos, bayangan-bayangan di lantai saling membelit dan berjalin bagai sekawanan ular di kutungan kaki Sjena. Barulah Lazu menyadari bahwa jalinan hitam itu membentuk tungkai buatan untuk sang wanita.

Bahkan dengan faktor serangan kejutan saat wanita itu belum tahu kemampuannya, hanya menghasilkan untuknya satu betis. Tak lebih. Dan wanita itu dengan entengnya menggantikan betisnya yang hilang menggunakan tungkai buatan dari bayangan.

Perhitungan yang sangat matang serta kegelapan tajam yang terlalu kuat dan sama sekali tak bisa ditahan oleh tubuhnya. Wanita ini tak urung membuat Lazu tak berani maju.

Melihat tindakan wanita di depannya, Si Matoi juga tak bisa menyembunyikan ekspresinya yang terperangah, "Kau...tak ragu-ragu memotong betismu sendiri...?"

Lazu memergoki bahwa gigi wanita itu sedikit mengetat karena menanggung nyeri. Tapi kemudian bibirnya naik membentuk seringai. Lazu sulit menentukan arti ekspresi itu, yang jauh dari kesan polos namun juga bukan menunjukkan kekejaman.

Lazu masih tersengal-sengal. Terlalu banyak cairan yang hilang membuat dia tak bisa bergerak sementara rongga tubuhnya kering dan sangat berat.

Tangisan itu terdengar kembali. Kadang  pelan. Sekarang seolah dipelan-pelankan. Lazu tahu suara itu.

"Tangisan bayi manusia."

Lazu menoleh pada wanita yang baru menyergapnya. Matanya tertutup kaca biru tapi seringai nyinyir itu hilang entah ke mana. Bibirnya terkatup, seolah cemas.

Ada tiga suara tangisan bayi sekarang. Lantai batu bergetar pelan. Pelan. Bertambah kencang.

"Bukan..." Sjena berbisik.

Lazu mencoba berdiri, namun belum juga ia bisa bergerak karena sakit yang dia. Dia hanya bisa bertanya.

"Bukan? Bukan apa?"

Situasi di mana lawan sama sekali tak mampu bergerak bangun, semestinya adalah kemudahan yang sangat nyaman untuk makhluk oportunis seperti lawannya. Itu Lazu mengerti, seperti juga ia mengerti bahwa ia sendiri memiliki kelicikan serupa.

Jadi kenapa wanita hitam ini diam saja saat Si Matoi adalah sasaran empuk seperti sekarang?

"Itu bukan suara manusia, Bodoh." si wanita berujar sinis pada Si Matoi dan melanjutkan dengan pertanyaan yang menantang emosi.

"Kau suka? Saling membunuh?"

Lazu tercekat saat berusaha mencari jawaban. Suaranya pelan dan tak pasti.

"Se-seharusnya tidak begitu..."

Seringai Sjena berubah menjadi kekehan bagai mabuk. Saat itulah, koridor gelap itu menampakkan sesuatu selain mereka berdua.

"Tch. Sudah datang lagi." Sjena meludahkan kata itu dengan jijik. Lazu entah kenapa melihat keraguan Sjena untuk menghabisinya adalah karena sosok kecil itu.

Itu adalah seorang bayi. Sesosok bayi manusia yang tampaknya baru saja lahir, dengan cairan ketuban menetes-netes dari tubuhnya yang kecil. Lazu langsung menyadari ada yang tak beres.

Bayi baru lahir semestinya tak berdiri tegak begitu.

Dari jarak beberapa kaki di depan, bayi itu tersenyum pada Lazu dengan mata terbuka selebar-lebarnya, bola matanya menonjol dan urat-urat kelopak matanya mengucurkan darah kental mengerikan.

Kerongkongan Si Matoi terasa kering. Tapi lalu suara si wanita membuatnya berpaling sesaat.

"Tadi kau bilang, seharusnya? Kau tidak perlu menyesuaikan dirimu dengan 'yang seharusnya', karena itu berarti kau sedang mematuhi aturan dari sekitarmu. Membosankan sekali. Lebih baik biarkan saja bayi itu memakanmu."

Sesaat kemudian tubuh Sjena sang penyandang bayangan itu meliuk, menghitam, menghilang begitu saja seperti diserap oleh lantai dan dinding.

Dan begitu Lazu menoleh kembali pada tempat bayi itu berada,

Seluruh lapang pandangnya adalah ceruk merah sebuah rongga mulut raksasa yang mencaploknya bulat-bulat.

"Aaaaaa!!!"

---

Hukuman matilah yang harus ditanggung Ibu dan Ayah. Hakim Agung mengatakan bahwa pernikahan dengan perbedaan spesies sejauh ini terlarang karena akan merusak rantai makanan biota laut.

Fitoplankton merupakan penyedia oksigen paling krusial bagi seluruh penghuni lainnya. Apa yang terjadi bila dari pernikahan silang dengan spesies lain, lahirlah seorang anak yang tak mampu mensintesis oksigen? Apa yang terjadi jika perilaku ini ditiru oleh seluruh bangsa plankton?

Tak pelak lagi generasi mula fitoplankton akan punah dimakan zaman, tergantikan oleh keturunan-keturunan campuran yang tak jelas jenisnya apa, yang sangat kecil kemungkinannya dapat menggantikan fungsi vital fitoplankton sebagai penghasil oksigen.

Ketiadaan oksigen di samudera sama saja dengan kematian seluruh planet itu sendiri. Ini Lazu tahu sekali.

Tapi ada kesalahan mendasar pada argumen ini. Kedua orangtuanya adalah mikroorganisme berakal dan berperasaan akibat perubahan DNA,  sementara tak ada lagi mikroorganisme yang mengalami kelainan serupa.

Maka pemikiran bahwa persilangan antar spesies makhluk mikro itu akan menjadi awal atau inspirasi bagi perkawinan besar-besaran bangsa fitoplankton dengan bangsa lain, sungguh tak masuk akal. Plankton mau pun virus normal mana pun tak memiliki kehendak bebas seperti kedua orangtuanya.

Maka mengira bahwa seekor plankton akan bertindak karena terinspirasi oleh perilaku sesama, sama saja seperti mengharapkan seekor kuda untuk belajar menulis puisi hanya karena sering melihat tuannya menulis puisi.

Ataukah mereka hanya membenci semua yang di luar batas kewajaran? Semua yang tak seperti biasanya? Semua yang asing untuk mereka?

Konsep apa yang normal dan apa yang tidak itukah yang menjadi absolut untuk mereka? Jika demikian, maka untuk lahir dan hidup pun, Lazu sudah berdosa. Karena logika tak lagi berlaku di tahap ini.

---

Sesosok tubuh raksasa baru saja selesai melahap mangsanya, makhluk kecil dengan tubuh humanoid, ketika sesosok siluet berlari ke arahnya sambil mengangkat sebilah katana transparan.

Melontarkan diri bersalto, rambut panjang sosok itu selembut sutera hitam tersapu angin.

---

Lazu tak berdaya ketika makhluk itu menelan tubuh birunya. Anggota geraknya tak bisa diangkat barang sejengkal. Semua di sekeliling tubuhnya adalah padatan daging merah berlendir yang menyentak-nyentak melesakkan tubuhnya semakin jauh ke dalam, ke dalam perut makhluk buas ini.

Maka Lazu hanya mampu berteriak dan berteriak sekencangnya, berharap ada yang mau menolong.

Mendengkinglah suara objek keras tertembus benda tajam dari dunia luar sana. Padatan daging mengejang di sekeliling tubuh Lazu seiring suara benturan yang semakin sering dan nyaring.

Dan dengan sebuah sayatan melengkung maka tubuh raksasa itu terbelah jadi dua. Dari hanya dikelilingi tumpukan daging dan daging, secara tak terduga darah hitam membanjiri rongga tubuh yang Si Matoi tempati.

Lazu menyaksikan semua ini sementara tubuhnya kaku oleh kesakitan dan ketakutan. Tak lama sampai cahaya menyeruak dari dunia luar sehingga Lazu harus melintangkan telapak tangan di depan wajah karena tak siap mengantisipasi silaunya.

Hal pertama yang menyita perhatiannya adalah sebilah pedang yang anggun.

Bukan semata dari kerampingan atau transparansinya, namun segelung vibrasi sejuk yang tercipta pada titik-titik temu pembuluh tubuh Lazu.

Entah bagaimana, entah kenapa, Lazu mengenal pedang itu, seperti juga ia mengenal wangi tanah basah selepas hujan pukul empat sore.

Maka saat satwa buas itu meregang nyawa dengan tubuh terpisah, Si Matoi tersungkur keluar dari ke lantai koridor remang itu, menengadah menatap siluet wajah tirus seorang gadis belia. Pedang transparan dalam genggamannya.

Walau terangnya api ungu yang melatari kepala gadis itu membuat wajahnya kontras menjadi siluet yang tak mampu Lazu tatap lebih seksama, walau Lazu merasa akan pingsan, namun bisikan Si Matoi pun tetap lirih terdengar.

"Kalimat Pedang Altair...kaukah itu...?"

Altair Kilatih, penolongnya, diam seribu bahasa. Katana putih ditatapnya sendu. Dia tidak mengenal makhluk biru ini, dia tidak tahu kenapa harus menolongnya.

Yang jelas, suatu jalaran hangat dari gagang katana menuntun tangannya untuk mengacungkan ujung bilah itu ke arah makhluk besar menjijikkan yang baru saja menelan humanoid biru tersebut.

Ketika dicobanya untuk mengabaikan impuls itu, sebentuk fenomena terjadilah. Mata dan otak Kilat tak lagi menangkap pemandangan alam Nanthara melainkan menayangkan sebuah dunia lain.

Maka Kilat menuruti dorongan aneh dari katana tersebut untuk menyerang. Seketika itu gambaran tersebut kembali berganti menjadi lokasinya yang aktual. Tapi bukan berarti gadis itu melupakan imaji yang tadi sempat hadir.

Karena itu adalah sebuah planet yang memiliki daratan hanya berupa dasar laut serta kepulauan yang juga mengambang jauh dalam air. Sebuah alam yang udara, langit, atmosfirnya adalah samudera itu sendiri.

Kilat terkejut bukan kepalang. Imaji apa ini?

Sebuah lingkup visual asing, dari dunia lain yang belum pernah dilihatnya sebelum ini.

Dunia itu bernama Aspemina. Dan begitu Kilat menyaksikan sebuah tangan kasar yang familiar menggenggam katana putih, Kilat tahu. Bahwa tangan itu tadi, imaji itu tadi, adalah milik sang ayah.

---

Berpuluh tahun lalu, di sebuah planet bernama Aspemina, dua makhluk mikroskopis bertemu..

Toiren, si virus jantan, memiliki kelainan DNA yang tak ada di rasnya atau ras virus mana pun juga. Akibat perbedaan genetik itu, dia hanya mampu berkembang biak satu kali selama hidupnya. Itu pun bukan dengan membelah atau memperbanyak diri, melainkan dengan melahirkan anak.

Toiren lahir dengan sebuah cikal keturunan dalam tubuhnya.

Mathula, plankton mikroskopis betina berjenis tumbuhan, memiliki mutasi yang berbeda, yaitu kecerdasan dan pemahaman luar biasa atas detil dan fungsi biologis organisme. Kendati tubuhnya jauh lebih kecil dari butir pasir, dia menjadi ahli biologi yang paling disegani di seluruh galaksi.

Namun Tuhan telah memberi mereka dua mutasi penentu. Ketidakwajaran genetik yang serupa, yang menjadi penghadir persamaan, yang tak pernah dimiliki makhluk bersel tunggal macam mereka.

Yaitu kesadaran, dan perasaan.

Di tengah tiadanya makhluk serupa yang berakal dan segala kesepian yang selama ini terjalani, mereka memperoleh keutuhan hidup yang menyatakan refleksi pada diri satu sama lain. Maka seolah tak bisa dihindari, mereka dipersatukan oleh cinta.

Toiren dan Mathula, melangsungkan pernikahan.

Pada pernikahan ini hadir pula seorang manusia yang datang karena takjub akan kabar pernikahan super unik tersebut. Namanya adalah Altair Hali, seorang ahli nanoteknologi dari planet tetangga, Aquilla. Suami istri ini pun cepat akrab dan menjalin persahabatan dengan Altair Hali.

Calon anak Toiren dapat lahir di luar tubuh si virus jantan, asal mendapat nutrisi tepat. Sang istri, Mathula, bertekad menyediakan nutrisi unik itu, meski dia pun tak yakin akan probabilitas keberhasilannya.

Hari demi hari, dengan pengetahuan biologisnya Mathula telah menginfuskan berbagai paket nutrisi pada si janin dalam tubuh sang suami. Kegugupan melanda. Bila usaha mereka gagal, mereka tak punya kemungkinan lagi untuk berketurunan.

Namun mereka menikmati setiap hari yang datang. Di tepi tebing terumbu kerajaan salmon, mereka menyaksikan pendar lembut rembulan laut yang terbit menerangi, jauh dari simpuhnya di balik pegunungan samudera Sataktila. Mereka berbaringan di lembah puding akuatik yang mencair manis bila dimakan.

Seiring musim berganti hingga mencapai hitungan tahun, rasa itu tumbuh semakin kuat.

Namun karena rasa yang jernih ini pula, kehancuran dahsyat akan bermula.

---

Titik-titik binar perak berlayang lewati rindu yang kelam. Seperti awanlah kelam itu bagi Lazu tapi bukan. Seperti bukan tapi bagi hatinya menawan.

Warna dan batas dunianya semakin jelas. Kesadaran Lazu yang remang mulai berlabuh ke permukaan. Ketika Si Matoi berusaha bangun, pipi birunya gatal tergesek oleh hamparan rumput pakis melingkar pendek-pendek.

Sebaran binar terang itu rupa-rupanya adalah kawanan siput yang melayang memenuhi udara malam, cairan yang mengaliri cangkang spiral mereka memendar perak lembut.

"Siput melayang," terdengar tawa menyenangkan di belakang kepalanya, "Aku ingin membawanya pulang ke planetku untuk dipelihara. Satu saja deh. Bagaimana menurutmu?"

Lazu berbalik menghadapi penolongnya, seorang gadis belia berjaket dan celana panjang putih yang santai mengajaknya bicara. Si Matoi mencoba menjawab.

"...Melihat genggaman pedangmu dengan kelingking dan jari tengah bertekanan sepuluhpersen lebih ringan pada gagangnya dan disesuaikan dengan metodologi genggaman pedang yang sempat kuamati sewaktu monster yang menelanku tadi terbelah dua maka kau adalah penolongku."

Gadis itu melongo sesaat, bola matanya yang hitam terlihat bagai batu opal ketika disandingkan dengan wajahnya yang tirus putih. Kemudian dia tertawa lepas seperti anak perempuan sedang dirayu.

"Hahahaha! Cara bicaramu unik sekali, seperti motor nanotek sedang ngebut ugal-ugalan tidak pakai rem."

Si kulit putih itu julurkan telapak tangannya yang terbuka ke arah Lazu.

"Namaku Altair Kilatih. Aku memang berasal dari keluarga besar Altair, planet Aquilla, jika itu yang kau maksud dalam kalimatmu saat kau pingsan tadi."

Wajah Lazu berubah. Pembuluh internalnya menggelap meski tetap berona biru. Di tengah dunia kematian Thurqk, siapa lagi yang bisa ada di tempat ini selain lawan untuk saling bunuh.

Maka bunuh dia dengan kemampuan dan siasatmu.

Manusia ini terlalu gegabah, mengajaknya berjabat tangan. Satu sentuhan saja dan Lazu akan menggerogoti tubuh itu bulat-bulat dengan tubuh parasitnya.

Tapi tidak bisa, pikirnya. Gadis itu tidak sesederhana kelihatannya. Di balik sifatnya yang sekilas tampak naif justru tersimpan keluwesan gestur refleks anggota gerak yang mengalir penuh kepercayaan diri.

Terlebih lagi, pedang itu. Ada yang salah dengan pedang itu. Sejenak saja melihatnya dan pikiran-pikiran licik Lazu seolah dikerangkeng paksa. Si Matoi tak pernah merasakan hal ini bahkan ketika di pulau tujuh dosa sekalipun.

Perasaan mengendap ini, seolah nuraninya sendiri ingin mengingatkannya pada sesuatu hal. Sebuah nostalgia yang tak pernah dialaminya.

Dan bagaimana pun, manusia ini menolongnya. Maka Lazu pun menjawab simpel, tanpa membuat skenario di benaknya, sesuatu yang amat jarang ia lakukan.

"Namaku...Lazuardi?"

Kemuraman dinding hitam bernyala ungu melembut oleh hijaunya padang rumput pakis pada cabang selatan labirin. Seperti juga pelik-rumitnya Lazu yang mulai gugup menghadapi lurusnya hati Kilatih.

---

Gadis ini berasal dari planet Aquilla, planet tetangga, hanya berselang dua planet dari Aspemina, pada gugus tata bintang yang sama. Lazu ingat bahwa peradaban Aquilla sangat maju. Banyak turis yang bertamasya ke Aspemina karena mencari kenyamanan yang sunyi dibandingkan Aquilla yang hiruk-pikuk.

Kilat adalah pemegang katana putih dari besi salju. Besi langka yang dalam rumor tak mungkin bisa ditempa. Seluruh tubuh Kilat juga telah dimodifikasi dengan sirkuit komputer nanotek yang tak terhitung banyaknya, menghasilkan beragam kapabilitas luar biasa.

Melihat sikap Kilat yang sama sekali tak menggelagatkan permusuhan, Lazu mencoba bertanya di sela percakapan mereka tentang masa lalu.

"Sepanjang perjalanan di Nanthara ini...apakah...kau percaya bahwa kebaikan itu sungguh ada...?"

Lazu bukan hanya ingin mengetahui sudut pandang Kilat. Ia penasaran akan persepsinya sendiri, justru, tentang Kilat.

"Kenapa tidak?" Kilat bertanya balik dengan retoris, "Dunia ini tempat yang gelap. Penuh darah, pengkhianatan, segala yang buruk-buruk. Bahkan dari kita sendiri. Tapi..."

"Tapi?"

Intonasi gadis belia ini, anggukannya, tatapannya, reaksinya saat Lazu berusaha memancing keluar sifat buruknya atau kelemahannya,

Menunjukkan bahwa gadis ini adalah gambaran murni dari sebuah kebaikan dan kejujuran.

"Itu hanya berarti bahwa kita sedang menuruti hasrat untuk berbuat yang tidak baik, kurasa. Atau malas berbuat baik, itu juga bisa."

"Malas berbuat baik...maka kita akan otomatis menjadi buruk?"

"Menjadi buruk selalu lebih mudah, kan? Ada yang menghina, tinggal marah saja. Ada yang bisa diperalat, peralat saja." Kilat menghela napas.
"Tapi mungkin karena itu kita selalu butuh seseorang untuk mengingatkan kita, menegur bahkan menampar kita saat langkah kita mencoreng kehidupan ini."

Kilat menuruti perasaannya. Dia berkawan dengan isi hatinya sendiri. Dia akan bertarung untuk membela yang lemah tanpa sedikit pun keraguan, bahkan bila harus berhadapan dengan iblis sekalipun.

Lazu benar-benar merasa busuk saat berbicara dengan Kilat. Kewaspadaannya dalam memilih kata, intensinya menyusun skenario untuk memanfaatkan lawan bicaranya dalam rencana jangka pendek dan panjang...ia tak ingin melakukan semua itu pada gadis yang satu ini.

Ia ingin manusia ini jadi temannya.

Bahkan tak perlu adanya vibrasi katana yang sejuk terasa itu, yang membangkitkan rindu terhadap sesuatu yang Lazu sendiri tak tahu. Tak perlu, karena Si Matoi sudah meyakini.

Bahwa jika ada yang pantas diselamatkan dari kegilaan Thurqk dan alam Nanthara, dia adalah Kilat.

Maka dari itu, mungkin Lazu dapat memanfaatkan Kilat sekali saja. Tapi bukan untuk keuntungan Lazu. Melainkan memberi jalan untuk Kilat.

Si Matoi memutuskan.

"Permisi, Marga Altair..."

"Panggil Kilat saja."

"Aku ingin mencoba sesuatu."

"He?"

"Sebelumnya...Maafkan."

Lazu pun menjejak kuat-kuat. Helaian pakis lingkar yang menghampar terjungkal ke udara akibat jejakan kaki Lazu. Kilat yang tak siap masih sempat memutar bahu, refleksnya yang super gesit menghindari terjangan tangan Si Matoi yang lurus menusuk ke arah wajahnya.

"Ada apa ini, Lazu--?"

Lazu tak menjawab namun matanya yang bulat besar menyimpan misteri. Gerakan mereka semakin cepat menimbulkan putaran angin mini di sekitar.

Kilat tak habis pikir apa yang mendorong si kecil ini menyerang dengan begitu galaknya, tapi ada sejumlah hal yang bisa dia pastikan.

Makhluk bernama Lazu ini aneh sekali. Sorot matanya jernih tapi bagai diliputi tabir keruh. Dan humanoid kecil ini menerjang Kilat yang bersenjata hanya dengan tangan kosong.

Kilat pun salah langkah karena hanya menghindar. Lazu menohokkan tapaknya lurus-lurus menghantam dagu Kilat hingga gadis cantik itu terdongakkan paksa. Tak sakit atau melukai sama sekali, namun segera setelahnya pergelangan tangan Si Matoi berputar mencekik leher Kilat.

"Pentalogi Nirwata: Pongio!"

Kilat merasakan kulit leher dan kepalanya mengering dengan cepat.

"Apa ini? Apa cairan tubuhku sedang ditarik keluar...?!"

Kilat tak menduga bentuk serangan makhluk kecil ini begitu unik. Tapi Lazu gagal melihat kelainan metabolisme gadis yang diserangnya. Pada setengah detik kedua, teknik penghisapan airnya membentur sebuah tahanan.

"Apa yang terjadi..? Pori-pori kulitnya mendadak menutup rapat! Teknik penggersang air tak bisa memindahkan cairan!"

Terlalu heran atas gagalnya serangan, Lazu tak sempat menghindari tebasan horizontal katana putih yang membelah bagian depan dadanya seperti puding biru.

"Uaaakkhh!!"

Dalam ia melihat sorot mata Kilat yang marah karena dikhianati. Tak patut seseorang menampar tangan yang sudah menyelamatkan hidupnya.

Kilat menempeleng kepala Lazu dengan gagang pedang yang diperberat oleh gravitasi nanoteknologi, diikuti tendangan lutut langsung ke perut Si Matoi.

Tebasan katana ditambah dua serangan ini membuat dua bagian tubuh Lazu terpisah seluruhnya dan terlempar ke arah berlawanan.

Kilat terbelalak melihatnya. Dia tak bermaksud membunuh Lazu, tapi siapa sangka tubuh kenyal itu begitu mudah ditembus pedang? Dan siapa sangka makhluk kecil ini demikian liciknya?

Dua bagian tubuh itu membentur lantai berumput pakis. Sesaat setelahnya, terdengar sebuah suara tangisan bayi. Semakin kencang dan melengking.

"Jangan dibunuh, Kilat...sembunyi lalu ikuti diam-diam..."

Suara itu. Suara siapa itu yang bicara? Kilat menoleh pada asal suara. Di sana tergeletak potongan tubuh Lazu yang memuat dada dan kepala.

"Sembunyi...lalu ikuti..."

Kepala bulat biru itu yang bicara.

"Aaaaahh!! Apa-apaan kau ini?!"

"Tenang, janganlah ragu dan tak perlu risau dan usai pula galau, ini semua adal--"

Bleduak. Kilat yang takut dan jijik kontan merespon dengan menendang kepala Lazu sekuat tenaga sehingga potongan tubuh Si Matoi itu terpental jauh ke tengah hamparan rumput pakis.

Tapi Kilat tak bisa mengabaikan perkataan Lazu begitu saja. Setelah menyerangnya tiba-tiba, sekarang Lazu memintanya sembunyi dan mengikuti. Tapi apa yang harus dia ikuti?

Kemudian suara tangisan semakin kencang. Saat itulah Kilat ingat, "Tangis bayi! Seperti saat munculnya makhluk yang kubunuh untuk menolong Lazu..!"

Ada yang janggal. Kilat segera meloncat dan memanfaatkan nanoteknologi tubuhnya untuk menempel dan bersembunyi di balik celah dinding yang tertimpa bayangan.

Tak perlu menunggu lama, suara tangis itu makin kencang. Dan sesosok bayi muncul dari ujung lain koridor.

Bayi itu menoleh ke kiri dan kanan secara lamban. Hanya ada potongan tubuh Lazu tepat didepannya. Maka bayi itu membesar dan membesar, kulitnya pun berubah ungu pucat.

Sampai yang Lazu lihat bukan lagi bayi tapi monster setinggi empat meter dengan lendir busuk melapisi tubuh gembrotnya. Lazu pejamkan matanya gemetar. Dia tahu dari kondisinya dan monster di depannya, bahwa kematian sangat dekat.

Maka ia memusatkan pikiran sekuat hati, terus mengatupkan kedua mata kuat-kuat, berusaha mengabaikan raungan serak di depannya, degupan pembuluh internalnya yang gemetaran, dan kesakitan tubuhnya yang diremukkan saat monster itu mengunyahnya hingga tercabik-cabik sebelum menelannya.

---

Sebuah kepala muncul seperti buah plum. Kepala itu tumbuh di dalam potongan tungkai Lazu dan berbicara pada Kilat.

"Aku hanya punya waktu tiga menit lagi untuk hidup sebelum semua cairan tubuhku hilang."

Kilat pun sadar akan kegegabahannya. Mungkin Lazu merasa tak ada cara selain membuat Kilat memotong dua tubuhnya. Tapi kenapa harus Lazu yang melakukan itu?

"Monster itu adalah penjaga tempat ini. Bentuk telinganya menunjukkan sensitivitas pendengaran tinggi sehingga dia akan datang dengan untuk membunuh siapa pun dalam labirin bila terganggu oleh suara bising seperti pertarungan."

"Memangnya...kenapa?"

"Mampu menemukan lokasi tarung dengan cepat, berarti monster itu mengetahui rute labirin ini... Termasuk, jalan keluar untuk kita..."

Binar mata Kilat pun terisi realisasi yang datang terlambat. Lazu menyerangnya untuk menciptakan keributan dan memancing kedatangan monster.

"Tubuhku sesuai rencana terpotong oleh pedangmu lalu dikunyah oleh geligi monster maka kemungkinan cairan tubuhku merembes keluar melalui sela geliginya dan mampu membuat jejak yang bisa kau ikuti adalah delapanpuluh persen..."

Bahkan Lazu sudah memprediksi bahwa pedang Kilat akan memotongnya dan menggunakannya untuk membuat jejak. Gadis berambut hitam itu hanya perlu mengikuti rute monster itu dan jalan keluar akan dia temukan dengan sendirinya.

Dan Kilat membunuh Lazu, yang mencarikan jalan keluar itu untuknya.

Gadis itu menggeleng kuat-kuat dan menyergah tak percaya, "Tapi...mestinya sejak tadi kau tak perlu merahasiakan itu dariku. Mestinya...kau tak harus mati! Tak harus seperti ini..."

Lazu merasa sesak, tubuhnya yang berbentuk ganjil kini semakin kering. Bicaranya pun semakin terbata-bata.

"Pintu-pintu dunia memiliki kunci. Bukalah...dengan langkahmu sendiri..."

Tubuh Lazu meluruh di atas rerumputan pakis, biru itu membentuk lelehan tipis bagai plastik terbakar.

Kilat berlutut putus asa di samping humanoid biru tersebut. Pedangnya hanya bisa memotong, bukan menyambungkan. Seiring tatapan Si Matoi yang menjadi hampa, meski cahaya obor masih juga terpantul ungu temaram di bola matanya.

Gadis bermarga Altair itu berdiri, wajahnya tertutup hitamnya rambut yang terjatuh lemah. Tapi getaran halus pada rahangnya menggambarkan kesedihan dan harus ditanggungnya.

Semua orang di sekelilingnya mati, menegaskan sekali lagi padanya betapa barbariknya figur bernama Thurqk. Namun bila Lazu memang ingin mencarikan jalan keluar untuknya, mungkin inilah tongkat estafet yang harus Kilat sambut dan bawa hingga usai.

"Lazu...aku akan menang...untukmu juga, Teman..."

Melirik sepintas, ketajaman mata Kilat menangkap jejak cairan tubuh Lazu yang ditinggalkan monster ungu. Ia segera berlari. Pundaknya terasa bertambah berat, setetes air jatuh dari sudut matanya.

---

Labirin itu sungguh rumit berliku-liku. Monster itu berjalan dengan langkah lamban tapi konstan. Konstan sekali. Terlalu konstan. Kilat menjadi bertanya-tanya. Monster biasa umumnya berangasan dan tak punya ketepatan dalam bergerak.

Tapi monster ini berjalan bagai mematuhi sebuah penghitung waktu super detil. Setiap langkahnya tak pernah lebih lambat atau lebih cepat dari langkah sebelumnya meski dalam hitungan milidetik. Tak pernah berhenti, tak pernah bergeser dari lintasan awalnya.

Dengan langkah otomatis tanpa memperhatikan sekeliling itu, Kilat nyaris tak perlu bersembunyi sama sekali. Dia hanya perlu mengekor.

Dua belokan ke kanan. Menuruni tangga ke bawah. Mengambil rute memutar. Ke bawah lagi. Dua belokan ke kanan. Obor ungu sepanjang koridor ini terlihat menyakitkan mata. Dan tambahan lagi, koridor labirin ini makin jauh makin sempit. Delapan belokan ke kiri. Naik. Delapan belokan ke kanan.

Sudah berapa lama waktu berlalu? Dua jam? Tiga jam? Labirin ini belum juga menunjukkan tanda berakhir.

Di sebuah koridor lurus yang sangat panjang, langkah monster itu melambat bagai dikomando. Srrrrrkk. Srrrrkk. Langkahnya terseret di lantai.

Kilat menelan ludah dan segera menyusup sembunyi di balik dinding percabangan sebelum tiba di koridor panjang tersebut.

"Ruangan luas apa itu..?"

"Ruang apa saja boleh."

"!!!"

Kilat langsung menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Lalu suara siapa itu?

Sebentar. Ini lebih dari sekedar tak ada siapa-siapa.

Jelas-jelas Kilat baru saja melewati sebuah persimpangan. Tapi kini sekelilingnya hanya ada kegelapan pekat. Jangankan jalan di depan atau belakang, jarinya sekalipun tak kelihatan.

Katana putih lekas dipegangnya erat. Ada yang tidak beres. Menoleh ke berbagai arah, akhirnya terlihat sebuah jalan remang yang masih diterangi obor ungu.

Si gadis menuju arah itu. Terdengar langkah kakinya sendiri, sunyi dan sendirian, namun sepatunya sendiri pun tak tertangkap mata.

Saat itu, hanya sepuluh langkah dari hadapan Kilat, mendadak telah berdiri sesosok wanita dengan lapisan kaca biru menutup sebagian wajah. Sungguh aneh saat di tengah kegelapan total seperti ini, Kilat dapat melihat detil tubuh wanita itu dengan sangat jelas, seolah mendapat sorot cahaya panggung tersendiri.

"Halooooo."

Seringai wanita itu merah, basah, saat dia berbicara pada gadis berjaket putih, "Kau seharusnya tak boleh masuk ke koridor panjang ini."

"Kenapa memangnya?"

"Ini tempat jin buang anak. Takuuuut, kan?"

Kilat tak mau mengendurkan otot. Intuisinya berteriak bahwa kegelapan ini tak lepas dari campur tangan sosok di hadapannya, instingnya mengatakan untuk tetap waspada.

"Aku tak suka buang waktu. Pergilah dari sini."

"Tidak bisa." menjawab Kilat, "Aku janji pada temanku harus mengikuti monster tadi itu. Dan monster tadi menuntunku ke koridor panjang ini."

"Pergi saja lah."

"Tidak."

"Kalau begitu mari bermain."

Sesuatu memotong rusuk Kilat. Hingga menembus jantungnya.

---

Monster ungu tak menyadari bahwa cabikan tubuh yang baru saja dimakannya, berubah menjadi kerak biru kental di dalam kerongkongannya. Kerak biru itu menyebar pada permukaan dinding lambung, perlahan saja.

Saat monster tiba di ujung koridor panjang, monster itu berhenti sama sekali. Kerak biru dalam tubuhnya menjalar jauh lebih cepat dari kanker terganas sekalipun.

Lambung, pankreas, usus monster itu dijalari oleh kerak yang kini mulai berubah bentuk bagai puding. Organ-organ dalam si monster mencair, menjadi nutrisi yang kemudian terhisap masuk menutrisi pori-pori kerak biru.

Tak perlu menunggu lama, monster itu hanya tinggal kulit luarnya saja. Yang mengendalikan gerakannya adalah sesuatu yang lain. Parasit yang kemudian juga menggerogot habis kulit serta daging si monster.

Monster itu berubah menjadi kerak biru seluruhnya. Luas permukaan tubuhnya mengecil, menandakan energi dalam tubuh besar itu digunakan dengan sangat efisien.

Lazuardi, kembali.

Didengarnya teriakan-teriakan dua manusia wanita yang berbeda di belakang sana, diiringi suara beradu benda-benda tajam dengan nyaring, berjeda singkat, berulang-ulang.

Bunyi suatu bagian tubuh yang patah, tercabik. Teriak kesakitan, tawa yang kusam dan bagaikan mabuk. Bagaikan mabuk.

Lazu ingat tawa itu. Wanita bayangan. Sang penyulam kegelapan. Dan Lazu sangat tahu suara lembut yang mempertahankan diri tersebut. Altair Kilatih.

Mungkin karena suatu sebab, mereka harus bertarung. Atau mungkin juga sang penyulam kegelapan hanya ingin bersenang-senang di alam kematian ini dengan cara menyiksa siapa pun yang ditemuinya sepanjang perjalanan dalam Nanthara.

Tapi itu bukan urusan Lazu lagi. Ia sudah tiba di tempat yang dicarinya.

---

Darah merembes keluar dari lapisan terluar jantung Kilat yang robek, mengirimkan sinyal kesakitan pada si gadis berwajah tirus. Dengan tanggap dia melompat ke depan untuk meminimalisir dorongan lanjut dari apa pun yang menusuknya dari punggung tadi.

Sjena menyeringai lalu anggukkan kepala pada kekosongan yang menjelma, dan dengan gestur itulah bayang-bayang menerima izin. Kegelapan itu bergegas berkerumun pada keempat dinding di sekelilingnya. Mereka berlilitan satu dengan lainnya, memadat, berubah bentuk riuh rendah.

Telinga Kilat bagai ditusuk dengan bor ketika denging panjang menyakitkan memenuhi sekelilingnya.

Si gadis putih membuka matanya lebar-lebar, nanoteknologi pada retina serta lensanya otomatis bekerja berlipat ganda, membedakan bentuk dua dimensi dari tiga dimensi meski seluruhnya adalah bayangan. Namun terkejutlah dia akan apa yang dilihatnya.

"Kegelapan yang menyelimuti ini membentuk terowongan raksasa dan...ratusan prajurit hitam yang seluruhnya...adalah bayangan padat!!"

Seakan tak cukup, terowongan kegelapan itu sendiri pun mampu bergerak sesuai perintah pemiliknya. Dari dinding-dinding hitam itu keluar bilah-bilah pisau jagal sebesar helikopter yang siap mencecar.

Seluruh kegelapan yang menyelimutinya ini adalah hasil pahatan magis dari Sjena Reinhilde. Sadarlah Kilat bahwa dia sedang melawan figur dengan tingkatan tak berbeda dari Reeh As-Sahr'a Si Angin Gurun.

Kilat mengertakkan giginya. Tak seperti dulu, tak ada Kohryu sang naga petir yang berkenan melejitkan siklus transformasi nanoteknya.

Tapi entah kenapa saat ini ada hal yang sangat ingin diketahuinya. Yaitu Aspemina, imaji dari memori sang ayah. Untuk apa ayahnya menanamkan secuplik memorinya pada otak Kilat? Kenapa imaji tersebut aktif saat Kilat tak mau menolong Lazu dari kematian?

Siapakah itu Lazuardi? Apa yang membuat Kilat harus menolongnya?

---

Berpuluh tahun lalu, pernah terjadi pertempuran besar yang hampir saja melenyapkan sebuah planet bernama Aspemina.

Sebuah gerbang dimensi legenda terbangkitkan, mengandung kekuatan tak tersentuh. Sebagai jalan menuju semesta khusus yang tak terakses dengan portal ruang-waktu apa pun.

Namun seluruh planet, bahkan satu tata bintang akan hancur sebagai upeti untuk ledakan energi yang tercipta dari sang gerbang terlarang. Gerbang Khatea.

Maka itulah ada sosok-sosok yang berjuang untuk membuat gerbang ini tertidur kembali sebelum memercikkan energi penghancur itu.

Di tengah pergolakan itu, dua mikroorganisme - ya, dua makhluk bersel tunggal -
 dan satu manusia, harus terlibat dalam tarung mati-matian melawan sebentuk keberadaan demonik yang dipanggil dari alam iblis.

Dua mikroorganisme ini sangat lemah dalam kekuatan tempur. Tak mungkin mereka mampu melawan sosok demon yang berukuran sangat besar dan memiliki daya bunuh masif.

Mereka adalah Toiren dan Mathula. Seremeh apa pun keberadaan mereka, sebuah usaha sekuat-kuatnya masih lebih baik dari menyerah.

Namun malang merintang tanpa terduga. Ketika mereka hendak meredam kehidupan gerbang terlarang yang mengancam kehidupan seluruh planet, dari gerbang itu pula muncul sesosok daemon yang mengancam nyawa mereka karena memiliki dua tugas utama.

Sang daemon harus mencegah Gerbang Khatea tertidur kembali. Dan sang daemon pun harus mencegah kelahiran anak dari dua mikroorganisme itu. Apa pun caranya.

Hanya saja, dua mikroorganisme memiliki bantuan. Seorang manusia. Manusia tak mudah membiarkan. Manusia ini berasal dari Aquilla, seorang ahli nanoteknologi sekaligus rekan serta sahabat dari Mathula sang ahli biologi.

Nama manusia ini adalah Altair Hali. Bukan sembarang ilmuwan, karena dia pun merupakan pewaris ilmu pedang keluarga Altair yang sangat mahir.

Pertarungan berat sebelah tak bisa dihindari. Hali berusaha sekuat tenaga untuk melindungi Toiren dan Mathula. Namun sang demon terlalu kuat. Dia merapal senandung mantra jahat yang membusukkan tubuh para penghuni lautan. Membuat kawanan paus, beruang laut, jajaran istana koral mati mengendap dalam gumpal-gumpal nanah.

Senandung mantra menembus masuk, membawa spirit demonik ke dalam tubuh Toiren. Membusukkan cikal keturunan itu, janin itu, dan juga tubuh Toiren, perlahan-lahan. Dan Toiren mati tersiksa.

Puas dengan kematian sang virus dan janinnya, sang daemon masuk ke dalam Gerbang Khatea, menuju pelosok jauh dari entah jagat raya yang mana.

Itulah awal dari keputus-asaan.

---

Sepuluh prajurit bayangan menerjang ke arahnya dari berbagai arah, tak berwajah dan tak berbicara, bagai hantu yang siap memberangus gadis itu dalam jurang kematian. Di belakang mereka puluhan dan puluhan lagi prajurit bayangan berjaga.

Dan dilihatnya Sjena memutarkan kedua tangan dalam rapal sihir, seperti hendak melukiskan kekelaman yang ada di seluruh dunia

Namun kilau katana putih masih juga terhunus menyulutkan keberanian. Dan dengan perasaan itu berlarilah Kilat.

Berlompatan di lekuk-lekuk batuan dinding, Kilat menusukkan pedangnya pada sesosok prajurit bayangan. Figur itu terpental maka si gadis Altair melangkah cepat seperti memiliki sayap dan meneruskan laju untuk mendekati Sjena.

Tapi lima prajurit hitam sekaligus menghadangnya. Mereka menghunus kapak serta pedang masing-masing dan menyerbu.

Salahlah jika para prajurit meremehkan Kilat. Gadis itu berjumpalitan di udara dan menemukan jalan pintas untuk mencapai Sjena.

"Jika kau tak mau ke sini, wanita hitam, aku yang bakal ke sana!"

Kilat pun melakukan akrobat yang jarang dapat dilakukan manusia biasa. Dia berlari dengan menggunakan bahu-bahu para prajurit bayangan! Langkahnya gemulai bagai penari, namun ketika tombak dan pedang bayangan padat mencoba menusuknya dari bawah maka gadis itu pun bersalto dengan tumpuan satu kepala bagai atlet senam gimnastik handal.

Sebuah salto lagi maka menyesuaikan arah sabetan  pedang dengan gaya tarik bumi Nanthara, Kilat memenggal kepala-kepala prajurit yang telah dilewatinya.

Melihatnya, Sjena mulai kesal. Wanita itu melepas kacamata birunya dan meremukkannya dengan tangannya sendiri. Kemudian diangkatnya kedua tangan, lalu sambil menggeram Sjena membuat gerakan melempar ke bawah.

Dari permukaan koridor itu pedang-pedang raksasa berayunlah. Kilat terkesiap melihat senjata-senjata tajam seukuran helikopter dikendalikan oleh komando Sjena dan merangsek ke arahnya.

Bersamaan dengan itu, si wanita membuat gerakan seperti menampar bolak-balik. Dari telapak tangannya yang bergerak itu timbul empat simbol ganjil berbentuk muka jam dinding yang melayang berurutan ke arah Kilat.

---

Tulang bahunya terpotong pada tiga bagian. Katana putih yang berlumuran darahnya sendiri dipindah ke tangan kiri. Napasnya seperti mau meledak.

Komponen nanotek pada bahunya mulai terpusat untuk regenerasi jaringan tulang dan otot. Dengan itu Kilat tetap maju meski gerakan pedangnya sudah melamban.

Tapi, jauh di depan sana, Sjena Reinhilde menguap dengan bosan. Jari telunjuknya menunjuk ringan dan terhasilkanlah sebuah lagi simbol cahaya hijau berbentuk jam dinding bundar.

"Cronoa Diminut."

Simbol hijau itu melayang cepat ke arah tubuh Kilat seperti layang-layang terbawa angin. Kilat mencoba menghindar, namun luka di bahu menahan gerakan gadis itu. Tak ada pilihan selain menebas serangan yang datang.

"Kau berharap bisa menebas sihir dengan pedangmu? Lucu." Sjena membuat gaya seperti terkantuk-kantuk dengan tangan menopang dagunya.

Simbol sihir hanya bergoyang sedikit di udara lalu melilit tubuh Kilat dengan cepat bagai selimut berpilin paksa.

Segera Kilat menyaksikan semua menjadi tak biasa. Para prajurit hitam yang mengacungkan senjata bayangan padanya, terowongan hitam yang berputar, juga seluruh dunia, bergerak cepat keterlaluan. Kelipnya seperti sinema holografik yang ditayangkan ribuan frame per detik.

Perutnya jebol oleh sebuah cakar prajurit hitam. Ususnya berhamburan keluar bersama semburan darah segar bagai daging semangka.

Kilat ingin menghindar dari tebasan ganas para prajurit bayang tanpa wajah. Dia ingin menyusup hingga katana putihnya mencapai tenggorokan sang penyulam bayangan.

Tapi bagaimana mungkin itu akan terjadi, jika simbol sihir yang membungkusnya telah menahan siklus realitas pergerakan waktu dalam tubuhnya, sesuai laju telunjuk wanita itu yang duduk di atas singgasana bayangan?

Bagaimana mungkin dia mampu melepaskan diri, jika sampai unit-unit nanotek dalam ototnya sudah retak bahkan hangus karena pembebanan berlebih?

"Lazu...sepertinya aku hanya sampai sini.." Kilat tersenyum kecut saat dua bilah pedang hitam memangkas lepas sebuah lengannya. Dua pedang lagi mengarah tepat ke jantungnya dari depan dan belakang. "Tapi...maukah kau memaafkan aku...?"

"...Tentu."

"??!!!!"

Dua buah tangan biru menangkap dua pedang hitam pada kedataran bidangnya.

"Sakrifar!!"

Tak sampai sekedip mata, dua bilah pedang bayangan sekaligus dua prajurit hitam yang menggenggamnya, terjalari oleh tubuh Lazu dan dimakannya. Bahkan tak sampai tiga detik, mereka sudah lenyap terganti oleh dua Lazu baru yang langsung menyatukan diri dengan Lazu awal.

"...Lazu!!??"

Para prajurit hitam terhenti. Itu karena Sjena pun kaget bukan buatan. Tak dimengertinya kenapa makhluk itu dengan mudahnya menghancurkan prajurit kegelapan milik Sjena.

Lazu melirik pada Kilat yang terbungkuk di belakang punggungnya, mata Matoi itu bagai menatap kosong tapi sesaat kemudian ia menyimpulkan tanpa jeda:

"Baik refleks pupil bola mata ataupun gerak rambut serta pelebaran pembuluh darah luar kulitmu menunjukkan perlambatan hingga  hanya duakomalimadua persen dari kecepatan refleks dan metabolisme manusia normal. Premis menunjukkan bahwa kau berada dalam perlambatan ekstrim metabolisme struktural menyeluruh seolah waktu di dalam seluruh tubuhmu sendiri melambat. Tapi bila memang tubuhmu terkena perlambatan waktu, Temanku..."

Lazu tersenyum dalam lirikan tajam penuh keyakinan yang bahkan membuat Altair Kilatih sekalipun berdegup terkesima,

"Gravitasi vorteks lubang hitam dapat menelikung waktu."

Diiringi tolakan langkah sekejap memindah tekanan udara, Lazu meluncur di udara menyusuri terowongan hitam raksasa.

Kilatih terpana. Tubuhnya tak bisa bergerak karena hunjaman sihir waktu pada tubuhnya. Namun katana putih bergetar. Ingin membantunya.

Kilat membatin. Mengerahkan medan ledak gravitasi katana putih setinggi-tingginya. Urat-urat seluruh gadis itu mengalirkan darah sederas-derasnya dalam sirkulasi tubuh. Matanya terpejam menahan tekanan tinggi luar biasa.

Tubuhnya terkunci tanpa dapat bergerak. Sihir waktu dan gravitasi tengah berbenturan dalam dirinya.

Imaji itu datang kembali pada Kilat. Imaji Aspemina.

---

Ya. Tujuan Si Matoi takkan berpindah dari tempatnya. Tapi bila Kilat mati, takkan ada lagi yang dapat Lazu percaya di alam Nanthara ini. Maka tak apa berhenti sejenak, karena itu adalah untuk sebuah kebaikan.

Karena berbeda dari Safirem yang membuat Lazu jatuh cinta, Kilat sudah menempati ruang yang hampir sama pentingnya. Yaitu sebagai sahabat. Bahkan jika Kilat tak menganggap Lazu sebagai apa pun selain makhluk aneh.

Belasan prajurit bayangan menghalangi setegar barikade karang. Salah satunya menghantam dada-perut Lazu pertama dengan godam. Si Matoi terjungkal ke udara, gamang oleh perspektif bumi yang berputar dan tak mampu bernapas karena tekanan menyakitkan.

Tiga pedang hitam sekaligus bertebasan dari bawah, memotong leher Lazu padahal belum lagi mendarat. Namun sebelum impuls nyeri mencapai pembuluhnya,

"Unifio!"

Dengan Sakrifar, Lazu memodifikasi metode penyatuan komponen dirinya.  Kepalanya berubah fungsi menjadi komponen parasit sehingga langsung melontarkan sulur bening di udara dan menyatukan diri dengan potongan tubuh yang terpisah darinya.

Seolah tak terjadi apa-apa, Lazu yang telah menyatu itu memantul pada salah satu prajurit bayangan untuk kembali melesat ke depan, tubuhnya ia rundukkan seraya berlari tangkas melewati sela-sela tungkai prajurit hitam.

Terowongan bayangan bergolak, Sjena mengerahkan kuasa gelapnya setahap lebih tinggi.

"Kau terlalu ikut campur, puding menjijikkan! Gadis itu adalah mainanku! Kau takkan merebutnya!"

Sebuah kapak hitam menyeruak dari dinding, ukurannya bagai benteng menjulang yang bahkan sanggup membuat sepasukan tentara ketakutan hanya dengan melihatnya. Kapak itu berayun pada pangkalnya, membuat seluruh terowongan hitam dan penghuninya bergetar.

Lazu merasakan ancaman besar. Maka ia bernapas dalam-dalam lalu menghenti napasnya sejenak dalam rangkai pembuluh internal, mengumpulkan luapan energi metabolismenya yang unik. Memutar dengan tumpuan kaki yang menggeser titik berat tubuh birunya maka gebrakan kapak hitam raksasa sekali, dua kali, lagi-lagi, gagal menyentuh Si Matoi.

Dinding koridor hitam pecah akibat tertimpa bilah kapak menjulang yang salah sasaran. Bongkah-bongkah kegelapan padat sebesar rumah melindas puluhan prajurit bayangan hingga berantakan. Tapi Lazu tak peduli. Mereka hanya kegelapan yang dipadatkan dalam kendali, bukan makhluk hidup. Simpati tak lagi berlaku.

"Mainanmu? Gadis marga Altair ini adalah sahabatku. Tak ada pilihan untukku..." Lazu memikirkan rasa ini,

"...Kecuali melindunginya."

Matanya hanya ia tancapkan lurus-lurus ke mata Sjena yang semakin dekat. Semakin dekat. Wanita itu menghilang!

Mustahil. Lazu tak berkedip satu kali pun. Pergerakan macam apa yang baru saja dilakukan sang wanita hitam, itu di luar akal sehat.

"Aaaakkhhh!!"

Si Matoi memuntahkan cairan tubuhnya saat perutnya dilibas oleh sebentuk tinju kegelapan yang tumbuh dari dalam perut Sjena bagaikan akar pohon ganjil. Bersamaan dengan itu tangan Sjena yang terpentang hingga ke belakang tubuh Lazu mewujudkan sarung tangan hitam sekeras besi pada kepalan tinjunya yang tanpa ampun dia lesakkan ke belakang leher Lazu.

Koridor bayangan gonjang-ganjing saat pandangan Lazu bergetar menandai rangkai pembuluh tubuhnya yang berteriak-teriak kesakitan. Terpental jauh, sekilas ia  melihat Sjena terbang menyusulnya dengan sepasang sayap hitam yang tumbuh dari punggungnya.

Pikiran Lazu tak bisa lepas dari trik menghilang wanita kegelapan itu. Lazu pernah menyaksikan sosok bersabit yang mampu melebur dalam bayangan dan bergerak luar biasa cepatnya. Mungkin pula Sjena Reinhilde memiliki teknik yang serupa.

Maka Si Matoi hanya bisa mengandalkan fokus dan reaksinya. Si wanita hitam muncul dari belakangnya dan memunculkan sebuah pedang yang langsung ditikamkannya ke punggung Lazu. Pedang bayangan menembus pangkal lengan Lazu dan Sjena tak ayal lagi memutarkan bilah senjatanya dalam laju spiral.

Satu lengan Lazu tanggal! Melenguh akan denyut kesakitan yang seperti meremukkan kepalanya, Lazu tak sempat menjadikan lengan putusnya itu sebagai parasit. Sehingga saat lengan biru itu melayang, buyarlah anggota gerak itu menjadi percikan air membasahi lantai labirin.

Namun itu bukan berarti Lazu akan langsung tumbang. Hilangnya lengan dibarter dengan informasi. Sedikit demi sedikit Si Matoi mengetahui bahwa si wanita selalu menggunakan sejenis teleportasi untuk membuka rangkaian geraknya.

Maka sedikit demi sedikit, Si Matoi mulai dapat menghindar. Begitu Sjena melenyapkan diri, Lazu pun melontarkan diri sejauh mungkin dari posisinya semula. Sjena pun keliru karena serangan teleportasinya tak mengenai sasaran.

"Dia mampu menghindar dari teleport milikku..! Kecepatan geraknya melebihi teleportasi...?"

Sambil menghindar, Lazu menoleh sekilas pada Sjena dan mengangkat sebelah sudut mulutnya sedikit saja.

"Bedebah...bedebah...bedebaaaah..."

Ya, senyum tipis itu begitu meremehkan. Di sinilah trik psikologis Lazu bekerja. Apa pun dugaan yang dipikirkan Sjena tentangnya - apakah itu kecepatan melebihi teleportasi atau ilmu sihir pendeteksi kehadiran - akan seolah-olah menjadi benar jika Lazu merespon dengan ekspresi menganggap enteng lawannya.

Si wanita kegelapan marah sekali. Seumur hidupnya belum pernah ada yang berani memperlihatkan raut wajah seperti itu padanya. Bahkan tidak oleh Ravelt Tardigarde sekalipun yang digelari Raja di antara Raja. Melihat perubahan ekspresi pada wanita berkacamata biru janggal itu, Lazu pun melangkah mundur sungguhan, tak berani gegabah.

"Wanita hitam ini terlihat menganggap derajatnya sendiri lebih tinggi dibanding yang lain. Dengan perlakuan eksperimental seperti barusan dariku maka kemungkinan manusia ini untuk mengamuk adalah...delapan puluh delapan persen!"

Benarlah dugaan Lazu, Sjena Reinhilde kini terbakar oleh kegelapan amarahnya sendiri. Urat-urat lehernya pun mengejang bergetar. Memutar-rentangkan kedua lengan bagai lingkaran yin-yang, wanita itu memanggil setiap bayangan dari tiap lekuk dan pelosok labirin Vishala Rashta.

"Engkau yang bernama Kegelapan, yang setiap aku menatapmu penuh kebencian maka kau membalas tatapanku dengan rindu tak bertepi. Namun bila memang kau mencintaiku, ketengahkanlah hukuman tak terperi untuk bumi yang pembangkang ini."

Darah bercucuran mengalir dari sela-sela kuku jarinya, dari telapak tangannya yang terbuka, dan dari jantungnya. Namun Sjena tak peduli. Dia memaksa menuntaskan rapalannya.

Dalam ledakan suara bagai lengkingan garpu tala raksasa, buah bola kegelapan yang sangat besar melingkupi Lazuardi.

Dari dalamnya keluar ribuan bayangan padat berbentuk alat-alat penyiksaan. Rantai tajam dan cambuk berduri, pedang dan tombak berbagai variasi, cakar-cakar berkilat yang siap menggorok kulit sampai sumsum. Semuanya terdiri dari bayangan hitam pekat yang tak bisa dibedakan dari kegelapan di sekelilingnya.

Lazu berusaha melihat menembus kepekatan dingin yang mencengkeramnya. Ia meraba-raba sekelilingnya dengan putus asa, wajah birunya memucat pasi menanggung ketakutan luar biasa. Karena ia tahu, ia tengah mencari jalan keluar yang tak pernah ada.

"Cronoa Magistrata Vodan: Lahir Untuk Mati."

Dalam tempo tak sampai sepuluh hitungan, segenap senjata mengeksekusi bagaikan ribuan utas halilintar menembusi rongga dada Lazu, mencabiki batok kepalanya, menerabas tiap jengkal tubuhnya.

Si Matoi bahkan tak sempat mengucapkan apa-apa. Ia mati seketika. Namun teror tak berhenti sampai di situ. Pola-pola melengkung timbul pada dunia hampa hitam. Seluruh bagian tubuh Lazu yang tercerai-berai perlahan menyatu kembali sehingga utuh. Lazu kebingungan mendapati apa yang terjadi.

Dan matanya terbelalak begitu tubuh kecilnya kembali terpasung dalam siksa menyakitkan ribuan senjata kegelapan. Humanoid biru itu kembali menemui ajal.

Sjena belum puas. Kekuatan mengerikan itu, yang mampu menggeser aliran waktu, kembali dia kerahkan melebihi batas ketahanan tubuhnya sendiri.

Lazu membuka mata. Dia mencoba berteriak namun bibirnya gemetar tak tentu. Tak sampai setengah detik, ujung-ujung bilah tajam telah mengoyak bola matanya hingga membocorkan belakang kepala, memotong-motong dagu serta lehernya.

Sjena dengan seluruh kekuatannya telah membuat sebuah dunia kegelapan berisi konsep lingkaran waktu. Lahir untuk Mati. Apa pun yang terjadi di dalam dunia hitam itu akan berulang terus. Sampai kekuatan kehidupan Sjena kering.

Lazu pun hidup kembali. Mati kembali. Namun teror bernama waktu dan kegelapan tak juga melepasnya.

Tidak sampai delapan belas siklus kemudian, sampai Sjena terbahak-bahak di sela tersedak oleh muntahan darahnya sendiri, akibat rusaknya seluruh urat saraf dan organ dalamnya. Dan tenaga magisnya telah habis untuk mengulang siklus gila itu.

"Huahahahahaaha!!!"

Terpingkal-pingkal bagaikan hyena sekarat, Sjena berjalan melewati bola raksasa kegelapan. Koridor labirin kembali bercahaya, tanda bayang kegelapan milik Sjena sudah tak lagi mengekang. Tubuh Lazu sudah lenyap tanpa sisa barang setitik cairan pun.

Matanya mulai terasa berat. Bahunya melunglai dan meneteskan darah kental. Pembuluh darah sela-sela kukunya pecah seolah baru dicungkil oleh pisau.

Sampai ia melihat sesosok tubuh biru kecil melangkah ke hadapannya. Santai sekali. Tak ada luka di tubuhnya.

Mereka berpapasan. Si Matoi, sosok biru kecil itu, melewatinya seolah tak peduli padanya. Angin melambat, menghangat lewati pipi Sjena. Bibir wanita kegelapan itu tak lagi punya tenaga untuk bicara.

Wanita itu baru menyadari kesalahannya. Dia...tertipu! Tertipu! Entah bagaimana caranya, lawannya tak pernah terjerat di dalam konsep lingkaran waktunya.

Dan itu benar. Lazu tak pernah ada di sana.

Dengan segala luka menganga yang mengancam hidupnya, Lazu telah belajar untuk mensugesti dirinya sendiri. Ia tahu bahwa ia harus mengorbankan satu lengannya untuk memaksimalkan kecepatan dan memikirkan skenario fase-fase tarung untuk dapat melawan makhluk sekuat ini.

Tak mungkin Lazu mampu meloloskan diri dari penjara kegelapan total dengan ribuan senjata kegelapan menindas dirinya.

Karena itulah setelah pertemuan awal dengan Sjena, seperti juga saat melawan Bara Si Tumpara, Lazu menggunakan kemampuan Sakrifar untuk menjadikan tubuhnya mampu menyimpan dan mengatur jenis cahaya apa pun yang berkontak dengannya.

Si Matoi menggunakan teknik pengaturan cahaya ini untuk mengumpulkan cahaya dari deretan obor labirin sepanjang perjalanan sejak awal. Dan ketika melawan Sjena untuk kedua kali dalam terowongan hitam, setelah sebuah lengannya putus, cahaya internal tubuhnya mencapai jumlah yang cukup.

Lazu memfokuskan cahaya dalam tubuhnya untuk mengatur cahaya seperti apa yang akan sampai ke mata Sjena dan mana yang tidak.

Mengatur sampai atau tidaknya cahaya pada retina, mengatur intensitas dan jenisnya, berarti Lazu mengatur apa yang Sjena lihat.

Sejak saat itu, Lazu yang mati tanpa bekas dalam lingkaran konsep waktu, adalah ilusi optik yang Sjena saksikan, akibat hasil karya Si Matoi.

Sjena, tentu tak sempat tahu semua ini. Karena hanya dengan melihat sosok Lazu telah membuat keterkejutan dan trauma luar biasa bagi si wanita kegelapan. Dia membuka mulutnya hendak berteriak-teriak histeris. Namun tak ada suara yang keluar.

Kegelapan dan waktu. Kenapa mereka tidak becus membantunya? Di saat Sjena frustasi menerima nasib yang tak adil semasa hidup, mereka telah membantunya menghapus sejarah. Bayangan dan waktu bersedia menggandengnya ke masa lalu untuk memotong leher leluhurnya sendiri. Kenapa untuk melumat makhluk kecil ini saja, mereka tidak bisa?!

Tunggu! Jangan-jangan, semua ini pun adalah fatamorgana waktu. Seluruh pertarungan ini? Kekalahannya ini? Lawannya semestinya sudah mati mati mati mati jadi kenapa malah malah malah malah

Isi pikirannya semakin kusut, Sjena mencakar-cakar mulut dan mukanya sendiri. Napasnya megap-megap seperti ikan mas koki dipencet. Tubuhnya pun jatuh bergedebukan di lantai. Dia pingsan.

---

Imaji datang kepada Kilat. Imaji dari memori sang ayah tentang Aspemina.

"Suamiku! Bangunlah! Aktifkan pusat kode genetikmu! Bangun!" Mathula berteriak-teriak putus asa.

Satu menit. Dua menit.

Toiren mendadak menggoyangkan kapsul tubuhnya. Mathula menangis.

"Kau sadar! Kau sudah sadar! Syukurlah..." fitoplankton betina itu menyadari pembusukan yang mulai melambat bahkan terpulihkan pada tubuh Toiren.

"Kau...sembuh perlahan-lahan..?"

"Mathula!" Altair Hali berseru, "Sirkuit analisis menunjukkan aktivitas intelegensi dalam janin! Energi yang selama ini diserapnya untuk pematangan inti sel...energi itu dipakai untuk meregenerasi tubuh Toiren!"

Sebuah hal yang sulit dipercaya. Bayi dalam tubuh Toiren itu menyembuhkan ayahnya sendiri secara sadar?

Tapi Toirenlah yang pertama kali sadar. "Berarti anak kita menghabiskan energinya sendiri untuk menyembuhkanku?! Lalu bagaimana dia sendiri bertahan dari pembusukan sang demon?!"

Mathula dan Hali pun terkejut karena baru menyadari hal sederhana ini.

"Bagaimana ini!? Anakku...! Anak kita, Mathula!"

Perasaan yang terjalin dan pemberian zat gizi yang telaten serta penuh kasih dari Mathula untuk menyokong fungai vital si janin selama ini, tak pelak lagi membuat keturunan ini juga adalah anak Mathula.

"Aku...aku..." Mathula tak mampu berpikir. Kesadarannya berkabut. Yang dipandangnya hanya monitor sirkuit analisis yang menunjukkan molekul demonik yang tengah mengeluarkan energi yang membusukkan molekul janin biru. Janin biru dalam tubuh suaminya.

Molekul biru berkedut-kedut terkena pembusukan demonik itu, tampak dindingnya mulai menyusut dan merapuh. Belum lagi terlahir, namun sudah harus merasakan sakit dan penderitaan.

Toiren terbaring hampa. Anaknya, satu-satunya anak yang dapat ia miliki seumur hidupnya, akan mati dalam tubuhnya sendiri. Virus jantan itu menatap Mathula. Mereka berdua tak lagi sanggup berkata-kata.

"Mathula!" mendadak sebuah bentakan menyadarkan mereka. Altair Hali menatap mereka berdua lekat-lekat.

"Mathula! Kau adalah ahli biologi terhebat di galaksi! Kau bisa menyelamatkan anak kalian! Kau bisa!"

"Omong kosong! Kau tak mengerti bagaimana rasanya--"

"Angkat fokusmu dari kesedihan! Tidakkah kau ingin janin mikro itu hidup!?" Hali berteriak hampir-hampir marah.

Mathula menatap nanar ke Hali. Ini terlalu menyakitkan. Tapi bagaimana pun, pertanyaan Hali itu bisa dijawabnya. Sangat bisa.

"...Ya. Demi Tuhan, ya. Aku ingin anak ini hidup!"

"Maka gunakan seluruh pengetahuanmu! Pengetahuan akan menjadi kekuatan!"

Maka Mathula terdiam sejenak. Hali semula menyangka fitoplankton itu sudah pasrah. Namun Toiren memberi isyarat pada pria itu bahwa jangan mengganggu.

Karena ya, Mathula saat ini tengah mengerahkan seluruh kecerdasannya. Dia menciptakan imaji visual, mengikuti arus deras kesadaran menuju jutaan petak-petak penyimpanan memori tentang fungsi tubuh imunovirus.

Mendadak tubuh fitoplankton betina itu menyentak. "Cikal imunovirus mampu menumbuhkan lapisan pelindung dari organisme invasif, asalkan kita mampu mengekstraksinya dengan sempurna."

"Terlambat, Mathula!" Hali melaporkan gambaran yang diterimanya, "energi pembusuk demon itu sudah menyatu dengan molekul sang anak! Energinya berfluktuasi acak tak bisa dibedakan!"

"Tak masalah. Penyatuan grafik masih sepertiga," si fitoplankton menolak, "Asalkan kita dapat menemukan medium yang tepat di lingkungan eksternal, dia sendiri yang akan menghancurkan si demon."

"Memangnya medium organik seperti apa yang bisa menampung--"

"Aku akan mengekstrak klorofil esensial tubuhku untuk membentuk rahim artifisial untuknya."

"Rahim bagi sebuah virus...?" Hali mengernyitkan alisnya, "Kau berniat memadukan cara perkembangan virus dengan metode pertumbuhan janin mamalia?! Interaksi antigen dan antibodinya saja sudah fatal untuk--"

"Kau lupa klorofilku memiliki enzim khusus yang akan menetralkan antibodi permukaan imunovirus."

"Tapi imunovirus yang normal takkan memiliki struktur antibodi yang sama dengan anak ini--"

"...Dan kau lupa bahwa anak ini menyembuhkan ayahnya sendiri dengan sengaja dan jesadaran. Hal yang seharusnya tak mungkin. Itu tambahan dua puluh persen kemungkinan baginya untuk menyesuaikan diri dengan rahim artifisialku. Kita akan memaksa anak ini untuk melakukan mutasi berlapis eksponensial."

"Mutasi berlapis eksponensial? Pemuncakan energi sebesar itu hanya khayalan! Secara teoritis saja kita tak mampu menyediakan energi mentah sebesar itu untuk mempertahankan rangkaian mutasi seperti itu dari anak ini, Mathula! Bahkan seluruh planet Aspemina pun tak bisa!"

Mathula terdiam. Pemikirannya buntu. Selama tiga detik penuh, tak ada solusi.

Saat itulah, figur pelindungnya berbicara penuh kesederhanaan.

"Gerbang dimensi raksasa itu bisa."

Perkataan Toiren itu langsung mencengangkan dua ilmuwan jenius. Tepat pada sasaran. Adalah Gerbang Khatea yang menyimpan kekuatan tak terbayang.

"Kau...benar...!!" Mathula melongo kagum, sekali lagi jatuh cinta pada suaminya ini.

"Dia adalah anakku." ujar Toiren singkat tapi gagah, "Adalah kebebasanku untuk menolongnya."

"Mungkinkah skala energi gila-gilaan itu dikendalikan oleh sebuah janin sebesar tujuh unit atom...?" Hali merasa kepalanya nyeri karena memaksa diri sendiri untuk terus berpikir.

"Tak ada waktu! Energi demon itu semakin meluas pada tubuh sang anak! Hali! Kau punya perangkat gravitasi?"

Dengan sigap Hali mengerti maksud Mathula, "Akan kuantar kalian sampai sedekat-dekatnya!"

Ledakan medan gravitasi membumbung tinggi, membentuk perisai tak kasat mata yang mengangkat tubuh mereka bertiga menembus gelombang laut dalam.

"Suamiku! Lahirkan sang anak!"

Dengan tanda dari Mathula, Toiren pun berusaha berkonsentrasi untuk mengeluarkan inti materi sang anak dari tubuhnya. Cikal keturunan bergetar berusaha melepaskan diri dari kekangan molekul ungu demonik. Belum cukup. Mathula melakukan langkah selanjutnya.

"Sirkuit Eksekutor! Pusatkan seluruh mikroproses untuk ekstraksi-isolasi fetus molekuler dari tubuh imunovirus Toiren!"

Ekstraksi selesai

Medium reservoir hasil ekstrak?

"Pusatkan seluruh mikroproses untuk membentuk rahim klorofil dari tubuh fitoplankton Mathula!"

Dimengerti

Konstruksi rahim klorofil selesai

"Tanamkan fetus molekuler dalam rahim klorofil dalam lingkungan eksternal!"

Penanaman selesai

Kebutuhan energi tak tercukupi

Hitung mundur hingga keruntuhan ekosistem fetus molekuler-rahim dan dimulainya reaksi berantai destruksi total inti planet Aspemina  dan tata bintang dalam radius jarak satu juta Parsekta secara simultan

"Apa...?! Planet dan tata bintang ini akan...!!"

4

"Hali! Lontarkan rahim itu dalam Gerbang Khatea!"

3

"Kalimat Pedang Altair, Lembah Putih Tetra-Graviton!"

Katana putih berubah menghitam dengan aura pemindah berat yang terfokus dari empat penjuru.

2

"Uuaaaaarrgghh!!"

Rahim klorofil yang sangat kecil berisi janin molekul biru melesat menuju Gerbang Khatea atas peralihan gravitasi ekstrim.

"Sirkuit analisis menunjukkan molekul biru berbalik menjadi parasit yang memakan energi demonik!"

1

"Rahim klorofil...hancur terkena energi Gerbang...!" Hali membaca capaian analisis lalu pejamkan matanya, tangannya terkepal erat dan bergetar.

"Energi molekul biru menghilang...bukan...anak kita, Toiren...!!"

"Kita...gagal..."

Gerbang Khatea mendengung sekali lagi, gema yang ditimbulkannya bersahut-sahutan tak ubahnya amukan bangsa raksasa. Ukiran gliph sepanjang penampangnya bersinar biru cerah bagai langit.

Mereka bertiga menatap kosong. Seperti ada lubang yang terkuak pada diri setiap mereka, yang tak mungkin diisi.

Gerbang itu mengeluarkan suara yang berbeda kini. Dengungnya lebih perlahan, nadanya melengking sesaat lalu merendah kembali. Kadang seperti bertanya. Kadang seperti menangis tersedu-sedu.

"Apakah kau merasa gerbang dimensi itu....menangis...?" Toiren yang pertama kali sanggup bertanya.

Sambil terus mendengung, Gerbang Khatea berubah bentuk. Konstruksi yang kokoh tak terpatahkan menimbulkan riak di permukaannya. Lalu semakin transparan, bagai gelembung air biru.

"Apa yang terjadi? Gerbang Khatea berubah menjadi...makhluk hidup?"

Kemudian mengecil. Terus mengkerut. Dari seukuran gunung, menjadi sebesar mamalia besar, sampai hanya sebesar manusia biasa. Dan masih menyusut.

"Sirkuit analisis menunjukkan pemetaan inti energi yang identik, sama persis dengan dengan...dengan molekul janin biru dalam rahim klorofil...!!"

Dari gelembung seukuran anak kecil itulah, dua tangan dan dua kaki terbentuk. Kepala yang bulat.

Tubuh itu melayang turun dan terjatuh berlutut di dasar laut. Napasnya dalam dan teratur. Kilau biru mewarnai tubuh itu.

Mereka tak lepas menatapnya. Anak yang mustahil ada. Bayi yang tak semestinya hidup. Itulah ia yang sekarang ada di hadapan mereka.

Mathula terbata-bata saking tercengang, "Makhluk itu...memakan energi Gerbang Khatea yang sedemikian besar. Dia mengubah total tubuhnya dari uniseluler menjadi multiseluler...dan ia..meniru struktur tubuh Altair Hali...menjadi humanoid..."

" 'Makhluk itu'..? Kau salah, Mathula..." sergah Toiren, tak bisa menahan apa yang ingin dia katakan,

"Karena ia lahir, dari kita berdua...."

"Tapi...tak mungkin! Itu tak mungkin!" Mathula tersungkur jatuh, suara telepatiknya terisak-isak. Atas rasa yang membuncah tak terbendung.

"Apakah....apakah sebuah dosa untuk berharap...bahwa ini...bahwa ia...benar-benar nyata...?"

Mathula menoleh kepada Hali yang tersenyum balik padanya. Menoleh balik pada sang suami yang tak lepas dari memandang sosok bertubuh biru langit itu.

"Dia...anak kita...berbahagialah..."

Semua benda kembali bergerak normal. Ikan-ikan dan para satwa laut kembali berkeliaran. Serpihan tebing dan perbukitan laut yang hancur meluruh ke dasar laut berseling-selang dengan cahaya mentari laut dini hari.

Diserapnya Gerbang Khatea oleh sang bayi, nyatanya telah memudarkan kekacauan ruang-waktu yang sejak tadi melanda seluruh Aspemina.

" 'Ma' dari 'Mathula' dan 'Toi' dari 'Toiren'..." gumam Toiren pelan, "Bila ini adalah awal dari kehidupan sebuah makhluk yang sama sekali baru dan belum pernah ada sebelumnya...Aku akan menamakan ras makhluk baru ini, dengan nama spesies: Matoi."

"Dan aku," Mathula menyambut perkataan itu, "Akan menamai anak kita seperti kebebasan yang terwakili oleh kilauan tubuhnya. Yaitu Lazuardi, yang artinya langit."

Hali memejamkan mata, menikmati ketenangan yang ada setelah kegilaan yang berlalu.

"Spirit janin imunovirus yang tumbuh dalam rahim klorofil menggunakan energi gerbang dimensi terlarang." Hali memaksakan diri tertawa meski malah batuk darah.
 "Nama yang pantas untuknya."

"Apa yang akan kau lakukan sekarang?"

Setelah menimbang sejenak, ahli nanotek itu menjawab.

"Aku datang ke sini karena perubahan ekstrim medan inti planet Aspemina. Tapi  karena sekarang keadaan sudah sedikit tenang, aku harus kembali ke Aquilla. Lagipula," Hali membopong tubuh biru yang tertidur itu, "Mulai saat ini kalian harus merawat seorang anak yang tubuhnya jutaan kali lebih besar dari kalian. Pasti akan sibuk."

"Jaga dirimu, Hali. Juga anakmu." jawab Mathula.

"Ya. Akan kutanamkan memoriku dalam katana putih ini. Agar bila suatu saat nanti...Hei...anakku? Aku belum punya--"

"Istrimu sedang hamil, baru lima hari hitungan Aquilla. Aku menangkap molekul hormon khusus yang menempel di tubuhmu."

"Jangan bohong."

"Perempuan. Cantik sekali."

"...Kau dan pemetaan genetik organisme milikmu yang sombong itu."

"Kau fisikawan dan ahli nanotek yang luar biasa. Maaf telah merepotkanmu. Terima kasih."

"Hei, jangan jadi sentimentil begitu."

"Apa boleh buat." Toiren yang menjawab sambil menatap haru ke arah keturunannya, "Hari ini adalah, hari kelahiran anak kami."

Maka mereka bertiga terduduk lemah di landaian lereng sebuah bukit laut, melepas lelah, saat sinar mentari laut mulai beralih warna menjadi magenta muda, saat suara blung-blung dari marmut akuatik mulai pudar dan bebungaan Patapung perlahan menguncup.

Itulah sedikit tanda bahwa pagi sudah merangkul bumi Aspemina. Meski mentari laut hanya kepiting raksasa yang bercahaya dan laut dipenuhi ribuan bangkai satwa yang tak mampu lolos dari kegelapan tragedi.

Ini belum berakhir. Sang daemon masih ada di suatu tempat. Masih banyak hal yang belum terungkap.

Dan ada sesosok figur yang menjadi kunci semua kejadian ini. Figur yang telah nyaris membawa kiamat ke dunia mereka untuk memanggil Gerbang Khatea, dan sudah meremukkan kepercayaan mereka. Seorang figur mentor misterius yang memilih jalannya.

Tapi mereka bertiga yang telah menjadi saksi sepanjang pergolakan tadi, mereka ingin percaya. Bahwa suatu saat nanti, entah dengan cara apa, apa yang mereka baru saja lakukan mampu membawa kedamaian. Untuk sesaat lagi. Di Aspemina, Aquilla, atau pun galaksi.

---

Dan Lazu pun terus berjalan mendekati bola raksasa. Bola yang di dalamnya terkumpul kegelapan serta lingkaran waktu. Dikerahkannya teknik Sakrifar untuk mengubah properti tubuhnya menjadi tubuh parasit.

Kemudian tubuh Si Matoi mencair, membentuk kerak yang melapisi bola kegelapan itu. Untuk mengenyangkan perut dengan energi yang pastinya sangat besar.

Lazu sungguh tak mau berurusan dengan energi waktu sebesar ini. Tapi tak ada jalan lain. Ia sudah merasakan sesuatu di ujung koridor sana. Sesuatu yang sangat mengerikan, yang tak mungkin bisa ia hadapi kecuali bila ia menyerap lingkaran waktu ini.

Tidak. Bahkan itu pun tak bisa menjamin keselamatannya.

Maka Si Matoi mulai merayapi permukaan bola hitam, mencoba memakan komponennya.

Mendadak Lazu merasakan sesuatu yang berbeda. Harusnya matanya ikut mencair saat ia menjadi parasit. Namun anehnya ia melihat kilasan-kilasan. Berbagai imaji yang berseliweran, dan lalu menayangkan satu rangkai gambaran utuh yang jelas.

---

Sosok wanita hitam melangkah masuk ke dalam labirin Vishala. Namanya adalah Sjena Reinhilde. Hal pertama yang dilakukannya sebelum mulai berjalan adalah menyentuh dinding dan merapal sebuah sihir waktu.

Itu adalah Klairvoyans. Kemampuan untuk mengetahui memori suatu benda. Secara langsung Sjena mengetahui peta labirin ini, dari pangkal hingga ujung, juga asal-muasalnya.

Namun tak lama kemudian dia tersentak. Butir-butir keringat dingin menetes dari dahi hingga ke leher. Kemudian wanita itu mulai berjalan. Menyusuri berbagai belokan dan tikungan.

Sampai pada sebuah koridor panjang lurus. Di ujung koridor itu ada pintu. Sjena membuka pintu itu.

Dan melihat sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Sjena melakukan teleportasi. Dia mengerahkan seluruh sihir waktu yang dia miliki untuk mengalahkan sesuatu tersebut. Tapi kemudian karena suatu hal, seluruh tubuhnya mulai membusuk dengan sendirinya.

Sjena meminta ampun. Pembusukan tubuhnya berhenti. Seekor tawon sebesar manusia dewasa tampak terbang dan mengguyur seluruh tubuh Sjena dengan madu dari mulutnya. Madu itu menyembuhkannya kembali. Meski harus memakan waktu dua jam penuh teriakan kesakitan.

Kemudian Sjena melakukan tawar-menawar dengan sesuatu itu. Wanita itu berjanji setia, asalkan dia diampuni. Lalu Sjena menerima perintah si sesuatu untuk mencegah siapa pun masuk ke ruang itu.

Dalam lingkup imaji bola hitam, Lazu tak hanya bisa melihat memori itu. Tapi juga perasaan Sjena di saat yang sama.

Si wanita hitam sesungguhnya tak berniat tunduk begitu saja. Dia sedang memikirkan, mencari-cari pilihan apa yang dia punya untuk lolos dari keberadaan ini.

Dia pun memikirkan, akankah ada waktu yang tepat untuk mencuri kesempatan membunuh. Membunuh keberadaan yang menakutkan ini.

Tidak ada waktu yang tepat, Sjena menyimpulkan saat itu. Atau dia hanya belum menemukan waktu itu. Kesempatan untuk berkhianat.

Namun untuk saat ini, Sjena harus memainkan perannya. Tak membiarkan siapa pun masuk ke koridor panjang. Toh dengan ini, dia pun dapat menyingkirkan para petarung lainnya.

Meskipun Sjena mengetahui, bahwa dirinya tak memiliki tujuan khusus. Dia tak membutuhkan kesempatan kedua. Dia tak membutuhkan kehidupan kembali, pengampunan, berkah, atau apa pun yang istimewa.

Karena kematiannya sebelum masuk alam Nanthara adalah karena dia telah menembus waktu untuk menghabisi leluhurnya sendiri di masa lalu. Karena dia tak bisa menerima nasib yang membuatnya merana sejak kecil bersama keluarganya yang terbuang di distrik kumuh penuh sampah.

Tapi,

Bagaimana jika Thurqk dapat mengubah seluruhnya? Memanipulasi suratan takdirnya sehingga dia akan menjalani hidup yang bahagia?

Perasaan Sjena pun mulai bergolak. Dia ingin menang.

---

Lazu tersentak. Gambaran itu tentang Sjena. Si Matoi kembali ada dalam bola hitam. Bukan, itu tidak tepat.

"Kau telah menyerap bola hitam dan lingkaran waktu dalam tubuhmu."

Suara siapakah?

€₩£¤£¤¤££¤£]]}£<<%

Lazu mendadak merasa dirinya ada dalam sebuah kertas. Ia bertransformasi menjadi sebuah gambar tanpa ketebalan. Dan datanglah suatu hal yang memiliki ketebalan.

Lazu berkedip. Tidak. Tidak. Bukan. Ia menatap tangannya sendiri. Masih memiliki ketebalan seperti biasa.

Lalu kenapa sosok yang mendekatinya ini memiliki sekian banyak ukuran lain, bukan hanya panjang-lebar-tebal namun banyak lagi yang lain, yang tak kuat didefinisikan oleh pikirannya?

"Kau adalah Matoi Lazuardi, Sakrifar. Kau berani menyerap lingkaran waktu. Bakteri membelah diri dengan melepas energi. Manusia dan semua makhluk termasuk dirimu menghabiskan energi internal untuk proses fungsional tubuh mereka."

"Si-siapa kau? Apa maumu?"

"Menyerap lingkaran waktu merupakan beban yang terlalu berat untuk makhluk setingkatmu. Dalam hitungan tiga ribu detik, keberadaanmu akan lenyap tak bersisa di semua zaman."

"A-apa? Kau-k-kau bohong! Aku sudah sampai di sini...ada keberadaan yang harus kutemui di sini! Ada perseteruan yang harus kutuntaskan!!"

"Aku tahu. Konflik lintas generasi dari Toiren dan Mathula. Tapi aku tak bohong. Safirem yang memintaku memberitahukan kebenaran padamu."

"Safirem...dia...jadi kau tak bohong...aku akan...lenyap? Ti-tidak bisa begitu! A-ap-apa kau tak bisa berbuat apa pun terhadap lingkaran waktu?"

"Menolongmu atau tidak, itu bukan urusanku. Kecuali."

Diam.

"Kecuali?"

"Kecuali kau memutuskan untuk tumbuh. Keluar dari kepompongmu. Kau, Lazu, sedang ada dalam tahap pertengahan metamorfosis."

"Metamorfosis? Aku memiliki tahap perkembangan seperti serangga?"

"Pepana. Durandal. Illastraza. Nimfameth. Ini adalah empat rongga, rongga pertama ada di dalam rongga kedua, kedua ada dalam yang ketiga, ketiga ada dalam yang keempat. Keempat lapis rongga dimensi ini tumbuh dalam dirimu ketika spirit genetikmu memakan Gerbang Khatea."

"Kenapa...tahap metamorfosisku adalah berupa rongga?"

"Karena akan menjadi apa dirimu, ditentukan oleh terisi oleh apa sajakah masing-masing lapis rongga. Rongga Pepana sudah terisi oleh Safir Tujuh Dosa, Sakrifar. Kini kau nekad menyerap fragmen lingkaran waktu, Cronoa. Maka Durandal telah diisi oleh Cronoa."

"Tapi katamu...aku hanya punya tiga ribu detik sebelum keberadaanku lenyap..."

"Kecuali."

"Kecuali?"

"Kecuali bahwa lingkaran waktu, Cronoa, memberimu kesempatan untuk menyerapnya secara utuh. Bila gagal, kau langsung mati. Bila berhasil, kemampuanmu menggandakan diri akan hilang dan digantikan"

"Ja-jadi aku tak bisa lagi membentuk tubuh-tubuh parasit?"

"Kemampuanmu untuk menggandakan diri, membentuk Lazu-Lazu humanoid yang persis sama dengan dirimu sekarang, akan hilang dan digantikan."

"I-itu sih jawaban yang tidak jelas..."

"Begitu caramu menjawabku?"

"Ma-maaf! Aku tak nyaman berbicara dengan keberadaan abstrak..."

"Cronoa akan meminjamkanmu kekuatan untuk menyerap hingga lima ribu tubuh sekaligus. Cari lima ribu tubuh, satukan semuanya dengan dirimu, jadikan mereka semua dirimu, berjumlah satu, di saat yang sama."

"Apa-apaan itu?! Bagaimana mungkin aku bisa--"

"Pintu-pintu dunia memiliki kunci. Bukalah dengan langkahmu sendiri. Bila kau lolos dari taring Cronoa pada Durandal, metamorfosa akan berlanjut. Kau akan mampu membuka kepompong kecilmu."

Lazu membuka mata seolah tak terjadi apa pun. Tubuhnya utuh. Bola hitam tak ada. Tapi ada gelegak asing di dalam tubuhnya. Saat ia sengaja mencoba mendefinisikan gelegak itu, tubuhnya terasa bagaikan berputar dan akan lumer.

Maka Lazu berdebar. Mencoba abaikan sensasi gila itu. Tiga ribu detik.

Mendekati akhir labirin.

Di ujung koridor ini ada pintu.

Pintu yang dari dalamnya, berbisiklah pada Lazu, suara itu.

Selamat datang, Nak.

----

Lazu tiba di ruangan berbentuk oval. Sama sekali tak mirip labirin yang sedari tadi ia susuri dalam tubuh monster ungu.

Apakah kau sudah mengetahui?

Lazu menatap tajam pada ruangan yang sekilas kosong itu. Suara yang menggaung dalam kepalanya ini, yang menghantuinya dari sepanjang hidupnya, kini semakin jelas dan nyata dalam ruangan ini.

Lazu tahu kenapa.

"Dari monster ungu yang datang ke lokasi konflik dalam labirin di mana pun konflik tersebut berada maka argumenku bahwa monster ungu memiliki pendengaran sensitif adalah invalid. Setiap kali terjadi tarung maka labirin ini seolah memastikan bahwa hanya akan ada satu monster individu yang diutus setiap kalinya untuk membunuh sumber konflik, menelannya, lalu berjalan kembali ke lokasi ruang oval yang sedang kutempati ini. "

Cukup bagus.

"Langkah-langkah monster ketika berjalan yang konstan terprogram rapi menunjukkan sinyal-sinyal komando terperinci yang saling terkoordinasi antar monster individu namun juga menandakan kepatuhan tanpa tanya terhadap keberadaan yang lebih tinggi. Dan iguana kecil mengetahui identitasku sehingga memanggil gerombolan tikus. Ini juga adalah sinyal komando."

Sehingga?

"Sehingga kesimpulan dari premis adalah bahwa seluruh labirin dan monster yang ada di dalamnya tak lain adalah kumpulan organisme kecil yang bertindak selaku sistem pertahanan milik organisme besar terhadap infeksi enam belas organisme asing."

Dan siapakah para organisme ini?

"Enam belas organisme penginfeksi adalah kami, para peserta yang tersisa dari Para Terpilih Thurqk. Sejak awal, kami semua hanyalah tamu tak diundang dalam sebentuk organisme besar yang memuat semua ini. Memuat labirin ini, semua monster ini, dan kami."

Ya, para penghuni tubuhku.

"Ya, kami semua sedang menghuni tubuhmu," Lazu menengadah dengan tatapan yang berubah penuh ketajaman, "Daemon Lamashtu !!!"

Dinding dalam labirin Vishala tak memiliki atap. Langit-langitnya pun kosong tanpa terlihat ujungnya. Kecuali kali ini. Di atas dimensi penyangga yang meneduhi seluruh labirin, bersinar ungu gelap,

Adalah seraut wajah singa yang lebih besar dari makhluk apa pun yang pernah Lazu lihat. Dua matanya bersinar congkak di langit. Kepala berwujud dahsyat itu bukan sekedar mengapung di udara, namun ada pula urat serta daging metafisik di sekelilingnya yang menyatukannya dengan seluruh dinding, lantai, bahkan lapisan udara di labirin.

Nak. Bertobatlah selagi sempat. Thurqk akan mengampuni keberadaanmu.

"Keberadaanku...bukan hal yang harus diampuni...!!" Lazu mengepalkan tinju kecilnya sekuat yang ia mampu. Ketenangannya tak lagi ada dalam pikirannya.

Siapa yang menyangka, Thurqk memang sengaja mengatur pertemuan ini. Anak bermarga Altair sudah tumbuh besar, kata-Nya.

"Jangan ganggu Altair Kilatih...dia...temanku..."

Dan Si Matoi. Si Kecil Lazu, yang tumbuh dalam dekapan rahimku. Tidakkah kau mengerti? Kau pun adalah bagian dari keluarga, Nak. Tapi hanya bila kau menerima-Nya sebagai messiah bagimu. Pelita terang di hatimu.

"Berhenti bicara seolah-olah kau adalah indukku. Kau bukanlah Ayah atau Ibu..." kembali Lazu menolak, meski hatinya ciut menggigil. Karena hadapannya tengah terbentang makhluk berkekuatan luar biasa yang sudah hidup sejak galaksi pertama pun belumlah berada.

Dialah Lamashtu. Sang Pemangsa Kelahiran.

Lazu melesat ke udara dengan dinding ruang oval sebagai sandaran pantulnya, tak ubahnya belalang biru yang meloncat sigap.

Kau juga adalah darah dagingku, apa pun usahamu untuk menyangkal!

Raut singa raksasa membuka mulutnya bagaikan ingin menelan apa pun di hadapannya. Namun bukan, karena dari mulut itu keluar melayanglah tiga arca batu sebesar gedung bertingkat enam. Berbentuk kepala manusia utuh yang berteriak mengerikan.

Ruang luas itu bagai tenggelam oleh pekikan bersahutan tiga arca dan gemuruh dari gerak melayang mereka. Kepala-kepala itu beterbangan dengan sangat cepat namun menimbulkan pusaran angin memekakkan telinga.

Dalam ketakutannya terhadap  makhluk superior bernama Lamashtu, Lazu masih memaksakan diri melakukan observasi. Arca batu emas matanya terus terpejam. Arca batu merah mulutnya terus tertutup. Arca terakhir, arca hitam, tak memiliki telinga dan hanya melayang diam di satu tempat.

Kepala arca merah membuka mulutnya keluarlah seekor tawon sebesar manusia dewasa yang terbang cepat menghadang Lazu.

Dengan sebuah sengatan dari taji ekor tawon tersebut, tubuh Lazu langsung mati rasa. Racun yang sangat kuat menjalari tubuhnya.

Lazu balas memegang ruas perut si tawon untuk mengeringkan cairan tubuhnya. Namun sesuatu yang aneh terjadi. Sebuah simbol kepala singa bersinar pada ruas perut serangga itu. Tangan Lazu terpental kuat.

Arca emas sontak membuka matanya dan dua bola api raksasa berhamburan keluar dari rongga mata tersebut menuju ke arah Lazu.

Hawa panas menjalar ke dalam tubuh Lazu, melelehkan pembuluh tubuhnya sejengkal demi sejengkal hingga mencair kehitaman di sendi-sendinya. Si Matoi merasa air tubuhnya menguap sangat cepat,  tak ubahnya dipanggang hidup-hidup dalam didihnya tungku.

Lazu memutuskan sebagian perutnya, mencoba menginfeksi bola api yang menukik. Namun kembali simbol kepala singa berkekuatan aneh menyala di permukaan bola api dan komponen parasitnya pun terpental sia-sia.

Teknik-tekniknya gagal total. Si Matoi barulah menyadari bahwa kekuatannya tak berarti dibanding setan di hadapannya.

Hanya dengan tersapu tepian hawa panas dari sebuah bola api raksasa, Lazu terhempas sangat jauh dari udara.

Kau memang hanya bayi. Tapi tak kusangka benar-benar lemah begini rupa.

Tubuhnya membentur dinding labirin tanpa daya, nyala api mulai memercik dalam kedua lengan Si Matoi, menohokkan rasa sakit membakar ke sudut-sudut tubuhnya. Tubuhnya terlalu lemah untuk ia angkat. Hanya kata yang masih sanggup ia lontarkan.

"Kau ingin membunuhku bahkan sebelum aku lahir! Adalah Ayah dan Ibu yang menumbuhkanku pada rahim klorofil..."

Untuk dapat menyesuaikan diri dengan rahim klorofil, kau menghisap nutrisi dari tubuh daemonikku terlebih dulu.

"Aku menghisap nutrisimu...karena kaulah yang ingin membunuhku terlebih dahulu!"

dan ratusan kawanan tawon, kumbang, serta nyamuk, yang semuanya sebesar manusia dewasa, terbang keluar dari mulut arca bagai hujan mematikan yang memenuhi dunia.

Lazu diliputi gentar, ia menyadari corak garis-garis bersinar aneka warna, menandakan terkandungnya zat racun pada tiap serangga yang dapat membunuh satu desa sekaligus. Ia menyadari api dan hawa panas sudah membakar sebagian besar tubuh birunya. Ia menyadari bahwa satu saja serangga besar itu sanggup mengakhiri hidupnya.

Tak mungkin ia menang bahkan meski melawan dua serangga saja, terlebih jumlah keterlaluan seperti ini, dengan kondisi sudah seperti ini. Terlebih melawan Lamashtu itu sendiri yang bahkan belum perlu bertindak sama sekali.

Ya, aku memang tak menduga bahwa esensi daemonku yang mestinya membunuhmu, ternyata justru digunakan untuk balik menjadikanku media tumbuh. Mathula memang cerdas luar biasa.

"Jangan sebut nama Ibu seolah kau mengenalnya..."

Maka tak ada jalan lain. Lazu harus melakukan pertaruhan. Ia rentangkan dua lengannya kuat-kuat ke depan, berkonsentrasi penuh hingga gemetaran, memanggil kekuatan yang baru saja ia serap dan tak bisa ia pertahankan lebih lama lagi.

"Lamasthu, kau memang tak mungkin kukalahkan. Aku tahu itu. Tapi tahukah kau, bahwa aku baru saja menelan paksa sebuah lingkaran waktu? Yang tak sanggup kutanggung kecuali aku juga pasti akan mati karenanya?"

Kekuatan itu, yang diserapnya dari lingkaran waktu milik Sjena Reinhilde. Sebuah kengerian yang sangat kuat hingga menyebabkan tubuhnya seperti akan pecah bila tak lekas ia lepaskan dari dalam tubuhnya.

"Melawanmu, atau menanggung kekuatan itu, akan memberiku kematian yang sama. Namun tahukah kau bahwa lingkaran waktu yang kutanggung ini, berbicara padaku, memberiku satu kesempatan saja, satu kesempatan untuk menjalarkan kekuatan pembunuh ini ke sekitarku?"

Itulah energi lingkaran waktu yang Lazu serap dari kekuatan terakhir Sjena Reinhilde.

"Lingkaran waktu mengatakan: bila ingin menanggung kekuatan sebesar itu tanpa dijemput maut, aku harus membagi kekuatan itu ke dalam ribuan tubuh, barulah menyatukan setiap tubuh itu sekaligus dalam diriku. Tapi tahukah kau?"

Puluhan ribu serangga pembawa maut berduyun-duyun menuju satu titik, dengungan serta kerikan parau dari mereka menyatu bagai bunyi sebuah badai, luasnya bagaikan atmosfir sebuah planet yang membanjir tumpah-ruah hanya untuk membunuh Lazu semata.

Tapi perubahan ekspresi wajah daemon raksasa di atas sana, menandakan pertarungan ini telah tiba pada titik balik.

"Tahukah kau bahwa kaulah yang telah menyediakan semua tubuh itu untukku?" Lazu membuka kedua telapak tangannya. Melayang di depan kedua telapak biru itu adalah sebentuk cangkang elips transparan sebesar telur ayam.

Dan di dalamnya tengah meringkuk sesosok Lazu kecil, Lazu parasit. Hanya saja seluruh tubuhnya terdiri dari giok hijau.

"Enshaka-Sakrifar: Tubuh Giok Telaga!!"

Lazu dalam cangkang elips membuka matanya. Dan serangkai bunyi bergesek memecah bagai orkestra, saat tubuh giok itu meledakkan sebaran aura berbentuk akar-akaran hijau pucat ke segala arah.

Aura itu menembus tubuh seekor tawon raksasa hingga ke belakang tubuhnya, menjalar dan bercabang.

Menembus dua nyamuk, tiga kumbang badak, seratus jenis kumbang sayap jarum, sepuluh ribu insekta beracun dengan pasti.

Lamashtu terhenyak menyaksikan saat dalam aura tersebut sebuah lingkaran waktu terlahir. Membekukan semua yang diterpanya dalam kesunyian kuantum, menggantung semua serangga itu diam abadi di udara, Lazu Giok terpekur sebagai pusatnya.

Lazu kausa pun memeluk Lazu kecil berwarna giok itu, dan mengambil alih fokus pertarungan.

"Pentalogi Enshaka: Unifio!!"

Dua Lazu bersatu, Lazu biru yang awal dan Lazu hijau giok yang menjadi medium energi putaran penyambung zaman.

---

Seberkas sinar hijau memancar hingga teranglah dataran Nanthara, menelusup ke tiap lekuk labirin Vishala. Hingga bahkan Thurqk di atas singgasana dunia pun memalingkan wajah angkaranya ke sana. Dan sebuah tanya meluncur tanpa bisa dicegah dari mulutnya,

"Bocah keturunan Mathula dan Toiren itu...membuka paksa Segel Enigma dalam Gerbang Khatea?"

Thurqk pun menunduk hingga rambutnya menutupi matanya dalam bayang merah. Dan saat dagunya terangkat hingga menengadah ke angkasa, darinya terdengar tawa terbahak yang menggetarkan seluruh istana agung.

"Heh..heh...heheh...hahHAHAHAHAAAHAAAHAAA!!!"

Abby menatap dari kejauhan, tak percaya bahwa Sang Dewa dapat tertawa lepas seperti itu.

Namun secepat itu pula tawa besar itu lenyap. Thurqk diam bersandar, menopangkan rahang pada sebelah kepalan tangan. Hvyt penjaga elit di ruang singgasana pun terperangah melihat tatapan Thurqk saat itu. Ekspresi yang tak mungkin. Sorot matanya, penuh melankolia.

---

Aku tak lagi dapat berbicara langsung ke pikiranmu? Mustahil...Apakah kekuatan itu membebaskanmu dari mantraku sepenuhnya?

Cahaya hijau pucat memudar dan masuk pada tubuh Lazu yang kini berwarna agak berbeda. Ada pulas hijau pada tubuh biru itu, seperti dua warna yang terlukis, bercampur dan terpisah di berbagai tempat.

"Ya. Ayah dan Ibu berkata bahwa keburukan-keburukan yang pernah kurasakan atau kuperbuat, hanyalah hasil dari ide yang dibisikkan padaku dari sebuah entitas demonik. Mereka menyebutkan namamu. Lamashtu!"

Dengan ujaran itu maka Lazu menjejak lantai dan melenting gesit ke udara. Ia menarik napas dan menyilangkan lengan di depan dada, lalu menghentak kedua lengan ke sisi tubuh sejajar bahu.

"Sakrifar: Gerimis Hutan Batu Giok!"

Penyatuan dua Lazu menyembuhkan luka-lukanya. Memberi kesegaran membungkus tubuh Si Matoi. Dalam hibrida teknik Sakrifar dan Enshaka, tak seperti dalam tubuh Sjena, lingkaran waktu menemukan kedamaian dan penerjemahannya sendiri.

Memantul pada dinding-dinding labirin yang meninggi, tubuh Si Matoi berpendar hijau bening. Seiring lontaran tubuhnya, terbentuklah riak-riak transparan unik pada beberapa zona di udara atau pun area dinding yang ia lewati. Seperti zona permukaan air yang terkena lemparan batu. Sejumlah riak itu meluas sesaat lalu lenyap.

Lamashtu tak tahu apa arti dari tetes-tetes riak itu, tapi dia tahu apa yang Lazu bicarakan. Raut wajah angker itu menanggapi dengan suara menggunung.

Ya. Akulah yang selama ini, sepanjang hidupmu, telah berbicara padamu. Mendorongmu untuk bersiasat. Membakar semangatmu untuk bangkit. Agar kau tak jadi makhluk yang lemah. Agar kau mampu menghadapi kebusukan hati bumi yang kau pijak.

"Mencoba mengalihkan perasaan benciku kepada para penghuni ekosistem planet asalku. Kau benar. Aku memang benci pada mereka yang mengasingkanku sekeluarga."

Maka kau tahu bahwa bisikan dariku bermakna. Dan pilihanku tepat. Dengan desakan dariku kau mampu memikirkan berbagai analisis dan taktik handal yang bahkan membuatku berdecak kagum.

"Namun...semua itu tak mengubah fakta bahwa, kaulah yang paling membuat Ayah menderita selama hidupnya!"

Lazu berteriak seraya melesat ke arca merah dan emas yang akhirnya menukik makin dekat ke arahnya, seperti dua bukit yang runtuh. Cahaya hijau memancar bagaikan lentera dari kedua telapak tangan Si Matoi, dan ekspresinya bagai anak yang sedang mencoba menanam pohon. Ketakutannya teralihkan oleh keingintahuan akan esensi kekuatan barunya.

Aku? Keberadaanmulah yang membuat Toiren mandul selama ini. Kau yang bermutasi hingga menjadi parasit bahkan bagi ayahmu sendiri!

Kekuatan segera beradu. Lazu memutar di udara hindari hantaman arca merah raksasa, kemudian mengikuti daya dorong aliran udara, ia memukulkan dua telapak tangannya ke permukaan arca emas sekeras-kerasnya.

Di sekitar area yang terpukul, menyala tipis sebuah simbol berbentuk kepala singa ungu. Simbol Lamashtu. Tak ada perwujudan efek apa pun dari serangan Lazu, sebaliknya Si Matoi merasakan tekanan balik dan nyeri yang luar biasa. Ia terhempas sangat kuat hingga tubuhnya kembali melesak ke dalam permukaan lantai labirin.

Ledakan udara tercipta, namun Lazu sudah kembali bangkit dengan tubuh tercabik bebatuan dan kerikil tajam dan cairan tubuh mengalir keluar dari tubuhnya. Kembali ia tatap Lamashtu dengan benci meski dunia terlihat berputar.

"Agar aku bisa semata-mata terlahir! Namun kaulah yang pernah menyiksaku dalam tubuh Ayah!"

Lazu kembali melompat. Di tengah lompatan, ia sadari bahwa hanya arca merah dan emas yang berpindah-pindah dalam lintasan terbang mereka yang menimbulkan angin ribut.

Kini bahkan kau menyangkal bahwa dirimu adalah parasit?

"Kau benar-benar dungu. Setiap janin, embrio, adalah parasit yang mengambil zat gizi langsung dari induknya! Maka apa pun mutasi yang membentuk diriku, kasih sayang murni dari dua indukku takkan berubah!"

Murni? Kasih sayang? Sepertinya aku harus menarik pujian serta undanganku sebelumnya.

Arca hitam terdiam di udara, beberapa ratus meter di bawah raut wajah Lamashtu yang memenuhi angkasa. Lazu bereksperimen.

"Sakrifar! Indeks Luminatia!" Lazu mengubah indeks difraksinya, memfokuskan pergerakan semua cahaya yang berkontak, hingga tubuh fisiknya membentuk dan menembakkan empat jalur cahaya tipis yang memiliki daya tembus bagai laser.

Lamashtu terlambat merespon. Lazu sengaja mengatur agar tembakannya ke arca hitam sampai lebih dulu seperempat detik. Tembakan kedua mengenai raut wajah gigantik Lamashtu di angkasa, dan setengah detik setelahnya barulah dua laser secara bersamaan mengenai dua arca melayang.

Hasil dari serangan putus asa itu sungguh mengejutkan Si Matoi. Begitu wajah asli Lamashtu terkena sorot jalur cahaya, dinding-dinding labirin serta tubuh metafisik raksasa Lamashtu itu sendiri bagai mengerut dan bergetar kesakitan. Terlihat cahaya bersimbol kepala singa di sekeliling masing-masing dinding serta arca. Simbol itu bergoyang  rapuh seperti cahaya lilin ditiup.

Dan begitu dua sorot laser sisanya mengenai kedua arca, terjadi hal yang membuat Lazu terperangah. Sinar berdaya hancur sangat lemah yang ia tembakkan itu, hasil olahan sedikit cahaya obor yang hanya remang-remang sepanjang koridor labirin, mampu membuat retakan pada permukaan kedua arca batu.

Lazu mengumpulkan berkas cahaya, namun kini ia arahkan ke dinding. Tembok batu hitam itu retak lebar meski tak hancur. Sebuah fenomena yang sangat kontras dengan situasi sebelumnya, di mana bahkan tubuh parasit Lazu tak bisa mengurai semilimeter pun dari dinding.

Lamasthu mengaum dahsyat memekakkan seluruh labirin. Raut wajahnya yang ungu semakin sarat kekejaman, surainya yang raksasa mengembang dahsyat.

Tapi Si Matoi sangat mengerti, raungan itu muncul karena kelemahannya baru saja ditikam.

Maka arca merah dan arca emas memuntahkan banjir bola api raksasa dan kawanan serangga super beracun kembali.

Hujan bola api pun menyala pada dinding labirin yang tak juga hangus atau goyah. Seiring dengannya, kobaran itu tak juga padam. Si Matoi menatap ngeri saat seluruh area Vishala berubah menjadi labirin api!

Namun, meski sebelah matanya tergurat api hingga ke rahang, ada satu yang terus terbayang dan berulang dalam celah ingatannya.

"Arca hitam tak memiliki kekuatan apa pun dan hanya melayang di dekat raut wajah aslimu sebagai pengalih perhatian. Kau memiliki mantra khusus yang membuat struktur labirin dan tubuhmu tak bisa dilukai."

Gemuruh dahsyat menggebu-gebu dalam kilatan api dan racun berbadai menyambut Lazu dengan kematian. Tapi perhitungan Si Matoi tak terpatahkan. Pola penyebaran daya dorong hujan meteor raksasa serta distribusi tekanan udara yang jelas terbaca dan terkalkulasi olehnya. Bahkan tanpa perlu ia melihat.

Lazu memantul pada dinding dan mengubah sudut lentingannya, menyisir tipis kekosongan udara antara dinding serta bola api sekaligus memancing puluhan serangga untuk mengejarnya ke arah yang serupa.

Malang bagi mereka, Lazu pun memperhitungkan tipisnya celah ruang dan jeda waktu sehingga puluhan serangga raksasa pengejar tak ayal disambut di udara oleh sebukit bongkahan api murni.

"Namun kepalamu, inti tubuhmu yang merancang dan merumuskan seluruh mantra berkekuatan sangat tinggi itu, ternyata justru tak bisa terlindungi oleh mantra tersebut dan menjadi kelemahan terbesarmu. Serangan seringan apa pun, terbukti dari sorot pilar cahaya tipis dariku tadi, akan merusak keseimbangan mantra itu."

Hanya dengan bergerak memantul, Lazu merancang sejumlah titik benturan antara ratusan serangga yang tersisa dengan hujan meteor raksasa, mencipta rentetan daya dorong dari ledakan api berantai yang membantunya menanjaki langit.

"Pesan Ayah, berbuatlah baik. Pesan Ibu, berniatlah baik."

Lazu melesat. Tubuhnya semakin terkikis oleh api dan racun, selemah kain lusuh terkoyak di tengah labirin pelumat bumi. Tapi,

"Hanya pesan inilah yang mengantarkan langkahku. Namun hanya inilah pula yang kuperlukan. Inilah makna yang tak mungkin kau pahami!"

Tapi ketika ia sampai di puncak, di hadapan wajah Lamashtu, sang daemon superior menyaksikan sorot mata Lazu justru kian bersinar perak bagai rembulan membara.

Lamashtu meraung penuh kemarahan. Raungan itu pula mengandung mantra puncak dari sang daemon.

Aku adalah Lamashtu. Kekuatanku adalah mampu menelan masuk sebuah ruang, ke dalam tubuhku.

Dalam tubuhku, aku mampu melahirkan tiga anak berupa arca berbentuk kepala humanoid. Dari ketiganya, cucu-cucuku pun menetas dan lahir.

Tanpa peringatan, binar perak di kedua mata Si Matoi menjadi keruh menghitam. Bola matanya kempis. Semua karena terbangunkannya sebuah kekuatan tak kasat mata dari sang daemon.

Dan sifat alamiku yang terakhir adalah, Senandung Rahim. Aku adalah rahim yang menampung. Aku dapat memilih mana makhluk yang boleh lahir atau keluar dari tubuhku, mana yang tidak.

Senandungku membusukkan daging dan tulang siapa pun yang kumau. Membusukkan zat padat atau cair, mematikan kehidupan para makhluk. Kau dan juga Altair Kilatih akan mati dengan derita tak terkatakan!

Cairan tubuh Si Matoi menggenang, melepaskan zat-zat racun yang mengeroposkan kulitnya sendiri.

Kami semua butuh makan. Aku pun hanya bertahan hidup. Sepertimu.

Bahkan Lazu dapat merasakan urat pembuluh rongga dadanya mendadak membusuk hingga ke kepala.

"Bertahan hidup adalah urusanmu. Namun di masa lalu, aku tumbuh dalam tubuh Ayah dengan kebencian yang kau tanamkan memenuhi hatiku. Sehingga aku menjadi licik seperti ini. Itulah kesalahanmu. Namun aku selalu berdoa..."

Lazu tersedak. Tenggoroknya hampir tertutup cairan busuk dari penggumpalan tubuhnya sendiri.

Berdoa? Kepada siapa kau berdoa? Satu-satunya yang Thurqk inginkan hanyalah tarian hiburan darimu!

"Berdoa pada Tuhanku yang sejati! agar suatu saat, aku dapat menyembuhkan penyakit pada diriku ini. Kelicikan ini. Yang tak mampu kucegah, tak mampu kutahan, untuk memanipulasi mereka yang ada di sekelilingku agar melakukan apa yang kuinginkan."

Kau tak waras. Kecerdasan manipulatif adalah berkah.

"Itulah hasil dari hasutan dan cara pandangmu, Iblis! Tapi mengalahkanmu...melenyapkanmu...akan menjadi sebuah awal baru! Kelahiran Lazuardi yang sesungguhnya!"

Senandung Rahim memicu pembusukan semua sel dari organisme yang ada dalam jangkauan kehendak Lamashtu.

Tampaknya tak ada gunanya menjadikanmu sebagai keluarga Nanthara. Kau hanya akan mencemari kami, para Daemon superior, dengan ambiguitas sudut pandangmu!

Lazu menutup mata, tubuhnya tertutup lapisan kulit tua seperti papirus kering, melayang jatuh bagai daun gugur. Lalu di udara, tubuhnya menyerpih mati.

Namun sesaat sebelumnya, sang daemon sempat menyaksikan satu telapak tangan Lazu mengepal dan memekar ke udara. Diiringi sebuah bisikan.

"Enshaka Lamashtu: Lahir Giok Bumi."

Riak-riak bermunculan, bertaburan di udara serta dinding. Berdentingan serupa cangkang-cangkang telur berbagai ukuran. Dari sekecil telur angsa hingga seukuran paus putih pemakan bukit. Semakin dan semakin banyak seperti butiran air saat hujan.

Semua bentukan telur bersinar hijau, berubah bening, mulai berdenyut dalam satu suara. Bagaikan ribuan jantung berdegup dengan harmoni terukir sarat presisi.

Sang daemon ingat. Riak dan bentukan telur itu, semuanya ada di tempat yang pernah dilintasi oleh Si Matoi. Seketika, Lamashtu tahu. Karena dia pernah terancam oleh denyut harmoni yang sama.

Lazu. Kalian semua...Lazu!

Benarlah dugaan panik Lamashtu. Semua riak menjadi telur hijau bening berdenyut. Itulah ribuan koloni Lazu parasit yang terlahir dalam lingkaran waktu.

Kemampuan Enshaka Lamashtu adalah, membuat zona di mana pun Lazu pernah berada. Kapan pun ia inginkan, sebagian atau semua zona akan mengalami lingkaran waktu yang melahirkan Lazu parasit dalam sekejap.

Atas terisinya rongga Durandal, kini tak bisa lagi ada lebih dari satu Lazu. Sekiranya Lazu awal masih hidup, para Lazu parasit akan menyatu dengannya. Namun karena Lazu baru saja mati, para parasit bergerak membentuk satu Lazu yang baru.

Dentang andante menyeruak ke angkasa, ribuan tubuh parasit menebar-cabangkan akar-akar keberadaan mereka meluas, meledak, mencengkeramkan daya lahap ke seluruh tubuh inang mereka. Lamashtu itu sendiri.

Sang daemon meraungkan mantra Senandung Rahim yang merajai bumi, untuk sekali lagi memusnahkan semua bibit Sang Matoi.

Namun percuma. Semua Lazu parasit yang terus melahap tubuhnya ini belumlah lagi memiliki telinga yang dapat mendengar atau terpengaruh oleh Senandung Rahim.

Maka raut wajah singa itu kini menjerit putus asa. Beribu akar bening merona hijau mulai bercokol sepanjang surai serta menembus rahangnya hingga ke bagian terdalam pusat otak sang daemon.

Jadi...aku harus berakhir di sini...ingat, Lazu...meski kau takkan lagi dapat mendengar suaraku...namun dunia ini memang pantas menjadi mangsamu...

Urat serta tubuh metafisik Lamashtu lenyap tergantikan oleh jalinan akar parasit hijau yang memangsanya. Hingga tiada tersisa.

Sampai pada titik di mana semua jalinan akar tubuh parasit berjalin, memadat dan memisahkan diri dari labirin Vishala Rashta. Mengecil dan membentuk humanoid bening biru kehijauan.

Matanya pejam. Kepalanya terasa amat berat.

"Telah kukatakan bahwa kau bukan indukku. Kau hanya spirit penghasut. Maka enyahlah. Ini adalah hari kelahiranku."

Lututnya sangat lemah. Matanya amat mengantuk. Lazu pun tertidur dalam posisi berlutut.

Lazu mati, tapi lahir kembali.

---

Gelap. Buram. Remang. Terang. Dinding-dinding labirin menyempit dan beruntuhan. Langit-langit kini punya batas. Namun batas itu juga adalah bebatuan yang runtuh. Tapi secara bersamaan semua bergerak menjauh dari tubuhnya dengan cepat.

Ada yang sedang membawanya. Lazu membuka paksa matanya. Kilat! Kilat sedang membawanya berlari menyusuri labirin yang mulai runtuh karena tak lagi ditopang oleh kekuatan dahsyat Lamashtu.

Diperhatikannya pergerakan otot, ritme napas, kedipan mata si gadis putih yang telah normal kembali.

Ya, seperti juga Lazu, Kilat pun telah mencapai tahap lanjut dari kemampuannya. Mengkalibrasi katana putih untuk ditikamkan pada dirinya sendiri, gravitasi telah memutus kekangan waktu yang tadi melambatkan gerakan Kilat.

Bahkan terjadi efek pengembalian waktu yang membuat tubuh Kilat kembali sempurna tanpa luka apa pun.

Sampai pada satu titik di mana mereka tiba di sebuah pintu. Kilat menendang paksa pintu itu. Ada ruangan luas di baliknya. Tak terpengaruh oleh getaran dan hancurnya labirin Vishala yang kini mereka telah lewati. Kilat menurunkan Lazu bersandar ke dinding.

Ya. Mereka tiba di titik pusat labirin. Dalam ruangan khusus yang aman. Beberapa figur terlihat berkumpul di sana. Semua terlihat luka dan kelelahan.

Ada sesosok manusia berkacamata yang mengangguk pada mereka berdua. Lalu dia kembali diam, seperti menunggu beberapa figur lagi untuk datang.

Dan...

Di sebuah sudut, Sjena Reinhilde terduduk. Entah bagaimana dia bisa sadar dari pingsannya dan meloloskan diri. Menatap Lazu dan Kilat tanpa bicara dengan rambut acak-acakan dan sorot mata mabuk. Lazu merasa pembuluh internalnya berdegup kesal dan takut bersamaan.

Tapi tangan Kilat memegang bahunya. Memberinya rasa aman.

Si Matoi tersenyum simpul melihat itu semua. Ia menghela napas dalam lalu berujar pada Kilat, "Ternyata kau selamat, ya."

Kalimat Lazu terhenti sampai di sana, karena bahkan ia pun tak mampu menebak apa yang terjadi selanjutnya.

Gadis belia itu mendekapnya. Erat, tak hendak melepas. Wajahnya basah oleh airmata, butir-butir bening itu singgah pada rona pipinya yang seranum apel.

Lazu kebingungan. Ia tak tahu apa yang harus dikata. Ada hangat yang membungkus tubuhnya, entah dari organ mana.

"Ayah dan Ibu...adalah makhluk bersel tunggal. Sehingga...mereka tak pernah bisa memelukku...seperti ini..." Lazu berkata pelan.

Namun Kilat tahu, seperti juga Lazu perlahan mulai tahu, di bawah langit-langit pusat labirin dan cahaya lamat-lamat tak ubahnya malam hari.

"Tapi aku bisa, Lazu...aku bisa memelukmu."

Bahwa hangat itu berasal dari sanubari.

"Karena memori ayahku telah menunjukkan padaku, siapakah kau ini. Terima kasih, Temanku..." Kilat bicara terisak-isak, tak kuasa menahan perasaannya yang bergetar lembut.

"Untuk apa?"

"Untuk dirimu sendiri yang dapat lahir ke dunia...untuk dirimu yang melindungiku...dari jerumusan waktu, dari Sjena...dari Lamashtu...semuanya."

Kilat merasa damai. Sangat banyak yang ingin diceritakannya pada Lazu. Tentang masa lalu Altair Hali dan dua suami istri mikroorganisme yang merupakan induk Si Matoi.

Dan juga tentang Lamashtu. Tentang mengapa Lamashtu dulu terpanggil ke Aspemina, dan juga mengapa sang daemon menjadi antek Thurqk sehingga Lazu harus bertemu dengannya di sini.

Dan rahasia tentang dia yang memanggil Gerbang Khatea, dan tujuannya.

Namun itu bisa menunggu. Kilat hanya ingin ada di dekat Si Matoi, merasakan bahu mereka yang saling bergesekan, seperti tak mungkin terpisah lagi.

Lazu memejamkan mata dan tersenyum. Mungkin setangguh apa pun Altair Kilatih, ia tetap adalah perempuan yang bisa merasa terlindungi. Yang meresapi perasaannya sendiri dan memandang dunianya sendiri dalam warna-warni bubuk peri.

"Terimakasih, Lazu..."

"Aku sudah punya calon istri, lho."

"Nggak ada yang nanya."

Dalam kelelahan  dan rasa haus yang sangat, mereka berdua tertawa riang seperti dua anak kecil menemukan rumah ajaib yang terbuat dari es krim.

Dan bila tiba saatnya, tunas-tunas kehidupan barulah yang akan membawa nyala kegigihan dari Toiren, Mathula, serta keluarga Altair. Untuk menggenapkan larik lembar dalam sebuah kisah.

6 comments:

  1. finish.

    Despite all the Overshowing, dan overdescription. saya menyelesaikan ini dengan melongkapi semua flashback.

    This is Good Battle scene: Better than before.

    tapi tetap narasi Lazu membuat saya gak bisa baca semuanya...
    ibarat makan Steak, saya cuman bisa makan dagingnya, tapi salad dipinggirnya terlalu pedas untuk dimakan.

    jadi:
    FInal Verdict: 7

    ReplyDelete
  2. Entah kenapa semakin ke sini saya semakin bisa 'nerima' isi entri Lazu. Baik dari segi canon skala besarnya (yang entah gimana diserempetin sama canon Kilat, tapi masih believable), maupun battlenya (saya beneran acungin jempol buat gimana penggambaran Lamashtu di sini, dan nyambungin ke masa lalu Lazu). Akhir kata mungkin saya pengen ngasih nilai satu poin lebih, kalau bukan karena beratnya usaha saya buat baca ini yang bukan hanya karena style tulisannya sulit saya cerna (ini sama kayak bilang lidah orang beda"), tapi ngga adanya pembagian jeda atau part di tulisan sepanjang ini juga menambah kesulitan saya untuk ngambil napas sehingga ga mungkin baca entri ini dalam sekali jalan, apalagi berusaha nikmatin setiap deskripsi (yang sebenernya indah) yang mungkin disajikan.

    Nilai 8

    ReplyDelete
  3. Aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi barusan. Mungkin karena aku belum baca canon Lazu sebelumnya, jadi aku belum terbiasa dengan gaya tulis Author.
    Bisa dibilang, Author punya style yang cukup khas, namun aku rasa cukup berat utk dicerna dari segi tata bahasa.
    Well, review dimulai.

    Plot : Plotnya (seharusnya) brilian. Andai aku mengerti apa yang terjadi secara keseluruhan. Karena aku cuma bisa nangkap sepotong2, dan masih mereka ulang kejadian, namun gagal.
    Aku ngerti motivasi Sjena di ronde ini, tapi aku masih belum bisa mencerna taktik Lazu yang begitu rumit. Bagaimana dia mengendalikan cahaya, bagaimana konsep ruang dan waktu ala Lazu, konsep lahir dan mati, virus dan parasit, dan banyak lainnya.

    Bagian flashbacknya bagus, bisa nyambung sama Kilat. Tapi aku masih belum tahu bagaimana organisme sebesar tujuh unit atom berbicara dengan manusia yang ukurannya jutaan kali ukuran mereka.
    (Mungkin sudah dijelaskan Author, jika aku melewatkannya, mohon maaf)

    Meskipun dalam ruang lingkup mikroorganisme, tapi saat membaca bagian masa lalu Lazu, aku masih agak risih soal organisme jantan yang melahirkan. Karena dikepalaku yang terbayang bukan wujud mereka seperti mikroorganisme, tapi seperti manusia (well aku nggak bisa bayangin mikroorganisme).

    Karakter : Randomnessnya Sjena kurang berasa disini. Namun lebih terkesan kejam dan anggun (dan lebih waras tentunya). Aku nggak bilang Sjena OOC, tapi bisa dibilang "This is Sjena should be", seorang ratu kegelapan dengan kekejaman tiada tara. Kalo aja persona-ku nggak ngambil alih konsep awal Sjena, pastinya Sjena bakal kayak gini.

    Utk Kilat, naifnya cukup oke.
    Utk Lazu, well aku nggak bisa komen banyak.

    Lamashtu top banget deh. Di canonku cuma digambarin binatang buas biasa, tapi disini dia punya konsep, dan personality yg berasa demon top class. Mulai dari konsep "birth eater" sampe hubungannya sama masa lalu Lazu, semuanya itu brilian dan nggak pernah terpikirkan olehku sama sekali!


    Battle : Semua karakter kemampuannya nyaris diluar nalarku. Bahkan konsep ruang-waktu Sjena disini jadi jauh lebih rumit. Kemampuan enshaka-sakrifarnya Lazu aku juga belum ngerti (karena belum baca canonnya). Lalu kemampuan Kilat yang awalnya melee bisa jadi regenerasi. Namun aku masih nggak ngerti hubungan gravitasi, katana putih, nusukin diri, nanotech, sama regenerasi
    Lalu juga kemampuan Lamashtu, arca2 itu..Binatang2 itu..

    Terlepas dari semua kerumitan itu. Aku suka konsep2 yang diajukan disini. Namun sayang, belum selesai aku mencerna satu konsep, aku udah disuapi beberapa konsep lain yang datang bersamaan, sehingga mau nggak mau aku telan bulat2 semuanya tanpa sempat mengecap konsep tsb satu persatu.

    Tapi bisa dibilang ini adalah ciri khas entry Lazu, yang penuh dengan konsep yang rumit.

    Aku bingung harus ngasi nilai berapa, pengen ngasi nilai tinggi, tapi aku sendiri belum bisa mencerna ceritanya secara mendalam.
    Dariku 7.5/10

    ReplyDelete
  4. Aaaa... gaya narasi yang terlalu berbunga bikin tempo baca saya lambat, dan itu menghambat saya untuk menikmati scene battle-nya. Untuk scene lainnya mungkin tak apa dan saya cukup menikmati, tapi untuk di battle... that's just too much for me to take.

    As for the plot, too much info mengenai kelahiran Lazu dan ikatannya dengan keluarga Kilat. Kalau novel atau cerbung ini bisa kumaklumi, tapi kalau di cerpen... overkill bila dibandingkan dengan battle scene last boss di cerpen ini.

    Score 7

    ReplyDelete
  5. narasinya kompleks sekali yak, saya tidak terlalu terbiasa membaca narasi sedetail ini, beberapa part saya tidak terlalu paham dengan istilah-istilah yang di gunakan dan terkesan berat bagi saya untuk mengerti, tapi scene battle nya saya bisa imajinasikan karena kedetailan itu tadi, saya sendiri tidak pernah membaca novel genre seperti ini, saya terbiasa membaca novel mistery atau thriller, dan untuk kesan pertama saya ini bagus karena saya membaca sampai habis, terlepas saya masih tidak terlalu paham apa yang sebenarnya terjadi karena tidak membaca dari awal, hehehe
    overall ini cukup menarik bagi saya yang baru pertama kali membaca genre seperti ini

    score 7,5/10

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -