April 9, 2014

[ROUND 1 - D] UCUP - BERMULA

[Round 1-D] Ucup
"Bermula"
Written by Tamz Martaatmaja

---

“...Untuk dapat bertahan hingga akhir, tak ada cara lain selain mengalahkan siapa pun yang menghalangi kalian. Dari lima puluh lima yang ada di sini, akan kuperkecil jumlahnya menjadi empat puluh empat. Ya, sebelas di antara kalian akan merasakan siksaan yang pedih dariku.”

            Perkataan Dewa Thurqk masih terngiang di telinga Ucup. Otaknya berpikir. Mencoba mencerna apa yang dewa itu maksud. Pandangannya berkeliling, mencoba mencari jawaban dari setiap makhluk yang berserakan. Semua diam, dan menghilang...

***

            Gelap itu tergantikan cahaya yang terang benderang. Sangat menyilaukan mata. Dikedip-kedipkannya matanya. Sesekali dia geleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir pusing yang dia rasakan. Detik demi detik matanya mulai dapat melihat keadaan sekitar. Makin jelas dan dia tahu dia berada dimana. Terkejut sedikit tertahan. Mulutnya ternganga takjub. Matanya menyapu sekitar. Meyakinkan dirinya akan apa yang dia lihat.

            Sandal jepit itu menyeruak menginjak jalanan trotoar. Berlari dengan satu arah pasti. Bangunan tua yang dulu pernah dia tinggali. Dia berlari. Berteriak mengucap salam pada setiap orang yang dia jumpai. Beberapa dia kenal. Beberapa orang baru yang asing baginya namun dia tak peduli. Dia sapa siapapun yang dia temui. Bahkan gelandangan yang berada di atas jembatan penyeberangan, yang biasanya dia takuti, kini dia sapa dengan senyum merekah. Walau tak ada jawaban baginya.

            Dia berhenti tepat di depan bangunan itu. Melihat dengan takjub. Matanya mulai berair namun dia tahan agar tidak jatuh. Dia mengambil napas panjang dan berteriak.

“AKU PULAAAAAAAAAAAANG...!”

Dia kembali berlari. Meneriakan nama temannya satu persatu.

“Ujang! Nina! Angga! Ucup pulang! Dimarana maraneh???*

            3 orang anak keluar dari bangunan itu. Beriringan. Seorang anak wanita berada di tengah. Diapit oleh dua anak lelaki yang sebaya dengannya. Pun dengan Ucup. Umur mereka hanya terpaut 1 tahun. Ucup yang paling tua. Itu mengapa Ucup dianggap kakak oleh mereka bertiga.

            Ucup kembali terdiam melihat 3 orang yang dia sayangi menghampirinya. Air matanya tak tertahan lagi. Dia benar-benar menangis. Dibuka nya tangannya lebar-lebar. Bersiap memeluk mereka. Tapi... mereka bukan menghampirinya. Mereka berjalan melaluinya. Mengabaikannya. Tertawa senang, bernyanyi, berceloteh, bukan untuknya. Dia tak terlihat bagi mereka.

***
           
Rambut caramel itu berayun diterpa angin. Tangannya terlentang merasakan sejuknya sang angin. Pita putih yang dia pakai untuk mengikat rambutnya berkibar gagah bak bendera pusaka. Matanya terpejam. Pikirannya tenang.
           
Dia membuka matanya perlahan. Melihat sekeliling. Mencoba mencari tahu dimana dia berada. Jalanan yang di lewati banyak kendaraan. Bangunan yang desainnya sangat tua. Langit biru bersih. Tatapannya tertuju pada bangunan yang memiliki begitu banyak tiang. Dengan kemampuannya sebagai seorang pustakawan, dia dapat membaca apapun dan menterjemahkannya. Dia memandang tulisan pada gedung itu dan mulai membacanya.

“GEDUNG MERDEKA... apa? Keren!”

Dia hendak berlari menuju gedung itu ketika sebuah mobil melaju dengan kencang. Dia kaget akan kedatangan sebuah mobil yang tiba-tiba dengan kecepatan tinggi. Namun lebih kaget lagi ketika mobil itu terus melaju menembus tubuhnya. Rok yang dia pakai berkibar. Buku yang dia pegang hampir terjatuh. Namun dengan sigap dia menangkapnya. Matanya mengikuti perginya mobil itu. Namun matanya teralihkan. Dia menangkap pergerakan seseorang. Seorang anak kecil yang berlari menaiki jembatan. Dia mengenal anak itu. Anak yang dia lihat di kerumunan makhluk yang dibawa Hvyt. Dia mengurungkan niatnya untuk memasuki museum. Dia berjalan perlahan mengikuti anak itu.

Dia berlari kecil ketika anak itu berlari lalu bersembunyi ketika berhenti. Dia perhatikan tingkah anak itu. Berteriak memanggil orang lain, meregangkan tanagnnya, lalu menangis ketika 3 orang anak melewatinya. Dia tersontak. Kaget dan terlukis rona bahagia dalam wajahnya. Segera dia berlari menuju anak tadi.

“Hei kamu! Aku tahu! Kita tidak terlihat! Mereka cuek terhadapmu kan? Mereka tak akan pernah melihatmu,mendengarmu, maupun merasakan kehadiranmu. Kita tak terlihat! Keren! Kita bagai hantu!”

Carol terdiam ketika mengatakan kata “hantu”. Dia tersadar jika dia telah meninggal. Dia kembali mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Buku itu merenggut nyawanya. Hvyt membawanya pada Thurqk. Turnamen. Menyingkirkan siapapun yang menghalangi.

“Menghalangi? Kau kah...?” Carol bergumam.

“Ya? Ucup? Menghalangi? Menghalangi apa? Kamu siapa? Tadi cerewet sekarang diam.”

“Tidak.” Carol pergi begitu saja.

Ucup terdiam memandang Carol yang meninggalkannya. Diam-diam dia berjalan dibelakangnya.

***

 “Bunuh siapa pun yang menghalangi. Siapapun.”

Gadis itu bergumam pada dirinya sendiri. Mulutnya tak henti memainkan stick permen chupa. Pandangannya tajam. Mengamati daerah sekitarnya. Gedung-gedung tinggi menjulang. Kendaraan hilir mudik dimana-dimana. Lokasinya yang berada di atas sebuah gedung memungkinkannya melihat dengan leluasa.

Dia mengganti pandangan. Mengamati dua orang anak yang akhirnya bertemu. Seorang anak perempuan dengan seragam seperti anak sekolah, dan seorang anak laki-laki yang biasa saja. Mereka bertemu sepintas. Anak lelaki itu ditinggalkan walau akhirnya tetap mengikuti secara diam-diam.

Dia kembali bergumam.

“Bunuh siapa pun yang menghalangi. Siapapun.”

Anak lelaki itu ternyata berbelok menaiki jembatan. Tidak lagi mengikuti.
“Ini kesempatanku.” Dia kembali bergumam. Dia langsung melompat turun tepat di hadapan si anak perempuan.
“Hai. Ini waktunya.” Dia mengarahkan tangan kanannya pada perempuan itu.
“Siapa namamu?” tanya gadis itu.
“Ca, Carol”
“Oke Carol, selamat tinggal”
Tatto ular yang tergambar di telapak tangannya membuka rahangnya dan tiba-tiba keluar sebuah pedang. Bersiap menusuk leher Carol.

Carol ternyata lebih gesit. Dia menahan tusukan pedang Cia dengan bukunya. Cia melepas tusukannya pada buku itu. Hendak menebas Carol namun Carol telah lari. Carol berlari berbalik arah. Kembali menuju tempat dia pertama datang. Tangannya mengibas-ngibas. Melontarkan pot bunga besar di sepanjang trotoar. Bahkan sebuah sepedo motor melayang menuju Cia.

Dengan kegesitan yang dimilikinya, Cia dapat menghindari benda-benda yang dilontarkan Carol dengan kekuatan telekinesisnya. Bahkan lari Cia pun ternyata lebih cepat dari yang Carol duga. Tepat setelah Cia berada di samping Carol, ketika dia akan menghunus pedangnya, trotoar yang dia injak tiba-tiba terbelah. Memisahkan dirinya dengan Carol.

Mereka berdua diam. Melihat sekeliling. Mencari sumber dari kekuatan yang telah memisahkan mereka. Cia bergerak mundur waspada. Memasang kuda-kuda jikalau terjadi sesuatu secepatnya. Berbeda dengan Carol yang langsung pergi mencari tempat berlindung.

“Aku lawannmu.” Terdengar suara seorang pria dari balik tiang penyangga jembatan penyeberangan. Seorang pria botak dengan tattoo disekujur tubuhnya. Tattoo nya saling sambung membentuk suatu ukiran.

Cia langsung melesat memburu si pria. Pedangnya telah kembali dia hilangkan. Dia menyerang dengan tangan kosong. Kemampuannya bertarung sangat menawan. Memukul, menendang,semua dengan kecepatan yang luar biasa.

Kolator, seorang penjaga Farum yang memiliki bentuk tubuh kurus dan lentur dengan kecepatan respon yang tinggi. Semua serangan Cia dapat ditangkisnya dengan mudah. Pukulan atas, tendangan pada perut, pukulan pada leher, semua di tangkisnya.

Cia sedikit kelelahan. Tak ada satupun serangnannya yang dapat melukai Kolator. Kolator tersenyum mencibir. Namun Cia belum menyerah, Kembali dikeluarkannya pedang putih dari tangan kanannya.

“Ini belum berakhir!” Cia kembali menyerang. Pedangnya dia hunus. Dia arahkan tepat pada jantung Kolator. Tapi kembali dia mengelak. Pedang Cia hanya menusuk udara kosaong. Tubuhnya limbung ke depan, hampir terjatuh. Tangan kirinya mengarah pada kolator dan keluar sebuah pedang berwarna hitam dengan cepat. Tepat menusuk dadanya.

Kolator tediam. Matanya terbelalak melihat pedang bersarang di dadanya. Dia mencoba mencabut kembali pedang itu, namun sia-sia. Pedang itu tertancap keras pada dadanya. Memotong rusuknya. Semakin dia mencoba, semakin dia merusak rusuknya. Semakin lama dia merasakan mati rasa. Dia berpikir itu terjadi karena kekuatannya. Namun selang beberapa detik, Wajahnya memucat, mulutnya terbuka, mengerang mencoba menarik napasnya. Gagal, napasnya terhenti tiba-tiba. Tubuhnya jatuh. Dibiarkan begitu saja.

Cia tidak tinggal diam. Dia melempar pedang putihnya ke arah semak belukar di depan bangunan tua. Menyebabkan teriakan yang muncul dari baliknya.

“KAU...?” Carol berdiri dengan pedang menancap di pahanya. Tiba-tiba otot dan syarafnya terasa lumpuh. Dia terjatuh telungkup, memegang dadanya kesakitan, Meregang dan akhirnya diam.

“Telah aku oleskan darahku pada ujung pedang itu. Salah kau sendiri telah melukaiku. Kini kau sendiri yang merasakan darahku.” Cia mencabut pedangnya, berbalik, dan berteriak.

“HEI KAU BOCAH DI ATAS JEMBATAN! TURUN!”

Ucup keluar dari persembunyiannya. Kakinya gemetar. Hanya selang beberapa menit dia telah melihat dua kematian di hadapannya. Kini gilirannya menghadapi gadis pembunuh itu.

“Kemari kau! Aku ingin bermain denganmu!”

Ucup turun menghampiri Cia. Kakinya semakin gemetar ketika jarak mereka semakin dekat. Tanpa disadari, Cia bergerak dengan cepat dan membekapnya dari belakang.

“Sekarang ikut aku, bocah!”

***

Rex berjalan mengendap. Langkahnya pelan sehingga baju besi yang ia pakai tidak menimbulkan bunyi sama sekali. Pandangannya tidak lepas dari Cia yang menyeret Ucup masuk ke sebuah gedung tua. Sementara tangan Ucup telah terikat oleh akar yang Cia cabut secara paksa dari sebuah pohon di trotoar. Tak jauh dari tempat jasad Carol tergeletak.

Dipandangnya jasad Carol ketika dia melewatinya. Pikirannya berkecamuk. Dia tidak ingin ada korban lagi. Apalagi Ucup. Dia masih kecil. Memang dia trauma terhadap anak kecil. Tapi batinnya menguatkannya bahwa hanya cukup adiknya saja yang menjadi korban pembunuhan.

Rex sampai di lantai 5 tempat Cia menyekap Ucup. Ucup diikat pada tiang dengan tangan di belakang dan posisinya duduk berselonjor. Sementara Cia dengan permen chupa di mulutnya berjalan mondar-mandir di depan Ucup. Memikirkan hal yang dapat dia lakukan padanya. Rex bersembunyi, memperhatikan mereka berdua.

“Kaka siapa?” tanya Ucup polos.

“Darcia Regine Cobrina Viprez”

“Apa? Kobra? Ular?”

Plak! Terdengar suara sesuatu yang patah. Cia berbalik dan menyeringai. Terlihat permen yang dia makan telah dia gigit hingga patah. Matanya menyolot tajam.

“KAU PANGGIL AKU ULAR? DASAR BOCAH LEMAH TAK ADA GUNA!” Suara Cia membesar. Membentak Ucup dengan sangat keras. Ucup terdiam. Tak biasa baginya suatu bentakan.

“AKU REGINE! BUKAN ULAR! DASAR TOLOL!”

Kali ini Cia yang telah berubah menjadi Regine, alter ego nya sendiri, melayangkan satu tamparan keras pada pipi Ucup.

Ucup tersentak. Dipegangnya pipinya yang mulai memanas. Ditatapnya mata Regine.

“SAKIT? ITU BELUM SEBERAPA!”

Kali ini Regine menendang muka Ucup. Tidak terlalu keras, namun cukup untuk mengalirkan darah dari hidungnya. Kali ini Ucup tidak bisa diam. Dia berteriak. Meronta.

“Maaf, Ucup tidak bermaksud begitu! Maaf!” Matanya basah. Suaranya serak menahan rasa sakit.

“MAAF KAU BILANG? MAAF? MAKAN TUH MAAF!” Regine menginjak kaki Ucup yang berselonjor lurus dengan keras. Ucup meronta berusaha menyelamatkan kakinya. Namun semakin dia berusaha, semakin keras tekanan kaki Regine. Hingga terdengar suara retakan. Kaki Ucup patah.

Kali ini Ucup teriak. Merintih. Menangis. Memohon ampun. Dia tidak kuat dengan sakitnya kaki yang patah. Digerak-gerakannya tangannya. Mencoba meloloskan diri dari ikatan.

Regine menarik kerah baju Ucup. Mukanya dia dekatkan. Tercium bau darah segar yang mengalir dari hidung Ucup.

“KAU PIKIR AKU AKAN MEMBIARKANMU HIDUP? BUNUH SIAPAPUN YANG MENGHALANGIMU! AKAN KUBUNUH KAU!”

Regine mengeluarkan sebuah glaive. Diputar-putarkannya glaive itu di depan Ucup. Sesekali dia kibaskan. Melukai pipi dan mengoyak pakaian Ucup. Darah keluar dari luka yang diakibatkan glaive itu.

“BERHENTI!”

Rex berteriak. Menghentikan kegiatan Regine. Menghentikan tawa bahagia Regine melihat Ucup yang mengerang kesakitan. Meminta ampun padanya. Seperti heroine yang membuatnya ketagihan.

“Jangan sakiti anak itu atau....”

“ATAU APA? KAU MATI JUGA? BAIKLAH!”

Regine maju menyerang. Di hantamnya baju besi Rex dengan glaive nya. Sementara Rex menangkisnya dengan sesuatu yang tidak terlihat namun dia memegangnya seperti sebuah pedang. Regine tidak dapat memastikan benda apa itu.

Disisi lain, Ucup berusaha meloloskan dirinya. Digerakannya tangannya ke kiri, kanan, atas, bawah. Bahkan sesekali dia sentakan agar ikatannya terlepas. Namun pandangannya terarah pada pertarungan di depannya. Dia melihat glaive Regine yang di ayunkan kesana kemari mencoba menebas Rex. Namun pedang yang digunakan Rex selalu bisa melindunginya.

Sword of the Sun!” Rex sedikit berteriak. Dari dalam pedangnya muncul sebuah cahaya terang yang membutakan beberapa saat. Regine kehilangan konsentrasi. Dia menutup matanya, menghalangi sinar yang menyilaukan. Dengan segera, Rex menebas perut Regine. Menyebabkannya terpental jauh. Meninggalkan darah yang keluar dari mulut Regine. Regine terduduk. Batuk. Mengeluarkan lebih banyak darah dari mulutnya. Matanya masih merasakan silau yang amat sangat. Membuatnya hanya bisa melihat cahaya putih di sekelilingnya.

“KURANG AJAR!!” Regine berteriak. Dia berdiri. Mengelap darah yang berada pada mulutnya. Menyeimbangkan dirinya dan berusaha melihat diman Rex berada. Napasnya terengah. Rambutnya mulai berantakan. Dan ketika matanya mulai dapat menangkap sosok Rex, dia mulai maju menyerang.

Kembali, tubuh Regine terpental sesaat setelah dia bergerak maju menyerang Rex. Ucup berdiri dengan satu kaki. Mengarahkan kecrekan yang selama ini dia simpan di saku celananya pada Regine. Membuat sebuah gelombang bunyi yang dapat mementalkan Regine.

“Kau tak akan bisa menyerang siapapun” ucap Ucup.

“BERANI-BERANINYA KAU BOCAH TENGIK!” Regine berteriak lebih kencang. Dipukul-pukulkan tangannya pada lantai. Menahan amarah yang besar dan rasa sakit yang dia dapat. Melihat ada kesempatan, Rex segera mengeluarkan jurusnya.

Sword of Devoted!”

Dengan kecepatan yang luar biasa, Rex bergerak menerjang Regine yang sudah siap berdiri. Segera dikibaskannya pedangya. Tanpa terlihat. Tanpa suara. Memisahkan kepala dan badan Regine. Menggelindingkannya menuju tepi Bangunan dan akhirnya jatuh kembali ke tanah.

Ucup ternganga melihat apa yang terjadi. 3 kematian telah dia lihat dalam waktu yang sangat singkat. Kembali kata-kata Thurqk terngiang di kepalanya.

“...Untuk dapat bertahan hingga akhir, tak ada cara lain selain mengalahkan siapa pun yang menghalangi kalian. Dari lima puluh lima yang ada di sini, akan kuperkecil jumlahnya menjadi empat puluh empat. Ya, sebelas di antara kalian akan merasakan siksaan yang pedih dariku.”

Ucup bergumam sendiri. “Demi bertemu ibu, aku tidak boleh mati. Aku tidak boleh kalah. Aku harus menang. Aku harus selamat. Ini untuk ibu.”
Rex menatap Ucup yang terdiam. Melamun. Dia berjalan perlahan mendekatinya. Baju besinya berkelontang membangunkan Ucup dari lamunannya. Ucup mundur. Menjauh dari jangkauan Rex.

“Mundur. Jangan mendekat” Ucup mengarahkan kecrekannya pada Rex. Namun Rex tak menghiraukannya. Dia tetap maju mendekati Ucup.

Dengan satu kaki yang dia pakai untuk berpijak, Ucup menjauh dari rex. Kecrekannya tetap terarah pada Rex.

“Aku bilang jangan mendekat!”

Ucup mengeluarkan gelombang yang lebih besar dari sebelumnya. Tepat mengenai perut Rex. Namun dengan kemampuannya menguatkan baju besi yang dia pakai, dia tidak terpental seperti halnya Regine. Hanya bergerak mundur sedikit.

“Tenang Ucup, tak apa. Aku tak akan menyakitimu. Aku akan obati lukamu.” Rex kembali mendekat.
“Tidak, aku tidak mau!” Kembali ucup mengeluarkan gelombang bunyi. Rex pun diam. Berjongkok, dan menaruh pedangnya di lantai.

“Aku simpan pedang ini disini. Aku janji, aku takan menyakitimu.”

Ucup menyipitkan matanya. Dilihatnya ada kerusakan pada baju baja yang Rex pakai. Tepat di Ulu hati. Tempat yang selama bertarung tadi dia lindungi. Tempat yang Ucup yakini merupakan titik kelemahannya. Titik fatalnya. Dengan hati-hati, Ucup melontarkan gelombangnya. Tepat pada sasaran. Tepat di ulu hati Rex.

Rex mengerang kesakitan. Dia terjatuh dengan posisi bersujud. Tangan kanannya memegang ulu hatinya. Merasakan sakit yang cukup besar. Semua kenangan buruk saat dia meninggal muncul. Semua rasa sakit hati akan penghianatan menguat seiring mengerasnya alunan lagu yang tiba-tiba muncul dari arah Ucup. Sebuah lagu yang menyedihkan. Menyakitkan bahkan menyengsarakan. Menelan semua rasa yang ada dan hanya menghadirkan kesakitan. Memunculkan rasa frustasi yang amat sangat dalam diri Rex. Wajah adiknya tiba-tiba muncul di benaknya. Menyalahkannya akan kematiannya. Sahabatnya menertawakannya atas kebodohannya. Meludahinya.

Ucup melompat perlahan dengan musik yang masih mengalun. Diambilnya tambang yang tergeletak di sudut ruangan. Tambang yang biasa dipakai anak-anak untuk menjemur pakaian mereka setelah kehujanan. Kini dia pegang, dia ikatkan pada leher Rex, dan membisikan sesuatu tepat didepan telinganya.

“Melompatlah, hapus semua rasa sakit itu. Melompatlah”

Dengan mata muak yang diliputi frustasi dan rasa sakit, Rex berjalan menuju tepi bangunan. Menatap tanah, berteriak, dan melompat. Sementara tambang yang telah diikatkan pada lehernya menahannya tepat di tengah bangunan. Membuatnya tergantung tercekik. Kakinya meronta menggapai bangunan, menyelamatkan diri. Mata nya memerah. Suaranya serak menyerukan satu nama.

“Ucup...”kata terakhir yang dia ucapkan sebelum akhirnya tubuhnya mengejang dan lemas. Membiarkannya menggantung dalam diam.

Ucup berdiri di tepi. Memperhatikan tubuh Rex yang mulai berayun ditiup angin. Matanya basah. Dia menangis. Pikirannya kacau. Semua kematian berkelebat dalam benaknya. Kolator, Carol, Regine, dan sekarang Rex.

“Haruskah kita saling bunuh?” dia bergumam. Kepalanya menengadah menatap langit, kemudian dia berseru.

“THURQK! Aku berhasil hidup! Aku selamat! Aku menang! Puas Kau? Puas?”

Ucup berbalik. Dan dia mendapati pedang Rex telah hilang dari tempatnya semula disimpan.

22 comments:

  1. Oochooop! Vous menderita sekali dihajar Cia! Uhuhuhu #hugUcup
    Cia! Awas kamu ya!
    Ceritanya lumayan tapi kurang epik. Tulisannya masih berantakan tapi ga begitu ganggu. Bagian Ucup dan Cia-nya bikin moi sedih. Uhuhuhu 7 buat Oochoop.

    ReplyDelete
  2. Di dua versi yang udah keluar, polanya sama ya - Cia jahat, Rex tragic hero
    Saya seneng penggambaran desperate-nya Ucup di sini, sampe dia bunuh Rex kayak gitu..
    Paling saya saran aja biar enak dibaca, benerin indentasi sama paragrafnya. Dan saya baru sadar, kok fontnya bisa beda ya? Tapi ini cuma masalah formatting, jadi sebenernya bukan bener" masalah sih

    8/10

    ReplyDelete
  3. Ucup ini ceritanya yang paling singkat yang saya baca.
    Aduh ucup.. kamu lucu banget...
    Sini sama Om aja. Daripada kamu liat empat temanmu mati kayak gitu.
    Tadinya saya sempet bingung sama pertandingan antara Carol, Cia dan Kolator, tapi saya baca ulang, oh yes, saya ngerti.

    Anyhow, saya ngga ada masalah sama formating karena saya copas ke word, memudahkan saya cari apa yang mau saya komen. Tapi kenyataannya saya ngga nemu cacat, IMO. Saya malah nemu feels... (Man, I drowned into feels..)

    Ini mungkin saya aja: saya ngerasa Ucup ini beruntung, karena dia masih anak-anak? Entahlah.

    +9 ya...

    Good Luck ucup, semoga ketemu mamanya.

    ReplyDelete
  4. Anonymous9/4/14 19:26

    Rasanya agak aneh, karakter anak kecil yang digambarkan enggak tegaan, mampu menyuruh seseorang terjun bunuh diri.

    8/10

    -Ivon

    ReplyDelete
  5. pertarungan yang singkat dan to the point. karakterisasi juga pas dan nggak OOC parah kayak versi saya, lol.

    Enak dibaca, cuma yah emang rasanya terlalu pendek sih

    7/10

    ReplyDelete
  6. Oh Ucup........~
    anyway, saya demen ceritanya....
    berkesan dan menarik

    9/10 (kependekan, padahal ngarep lebih *digampar) :v

    ReplyDelete
  7. Jiaaah, ucup enak banget ya... Cuma nyerang di bagian akhir doang, kurang greget duh

    Tapi bagian bertarungnya keren juga, gampang dibayangin (cuma ada typo dikit)

    8 for you

    ReplyDelete
  8. Oh God, cerita ini sangat menyentuh. Hampir nangis bacanya juga. Walaupun pertarungannya kurang menonjol.

    Tapi Akan kuberi nilai sempurna 10/10

    ReplyDelete
  9. Tulisannya bagus gan. Galaunya Ucup kerasa sampai ke hati. Berantem dan ceritanya singkat sih. Tapi taunya Ucup jahat, uda nonton, eh di saat terakhir ngabisin Rex, Ucup, mengapa kau tega???

    Ane kasih 7. Seandainya Ucup lebih banyak bagian actionnya, nilainya bisa lebih tinggi.

    ReplyDelete
  10. Krak!

    Sebuah telur burung jatuh dari sarangnya dan mendarat tepat di kepala Luna. Namun, walaupun rambutnya dipenuhi telur yang pecah, Luna tak peduli. Ia lebih tertarik pada seorang anak yang terperangkap dalam sebuah battle royale.

    Luna mengamati lagi dari ujung senapan snipernya. Kali ini, ia melihat seseorang menginjak kaki anak itu.

    “Patah.” Tentu saja.

    Pertarungan masih berlangsung pilu. Hingga akhirnya anak itu membunuh Rex dengan kekuatannya.

    “Suara ya…”

    Luna meletakkan senapannya Aku tak menyangka, Thurqk bisa-bisanya menyuruh anak kecil itu bertarung. Dewa sialan.”

    Luna memilih pergi. Ia tak tahan juga melihat anak kecil diperlakukan seperti itu. Ia mengambil sebuah pistol flare dan menembakkan delapan kembang api di langit. Lalu, ia menghilang bersama hembusan angin sebelum para Hyvt datang dan membawanya pergi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh now I understand~ 8 then... tercatat

      Delete
  11. Ini ... pendek sekali. Hampir tak ada karakter yang memunculkan kemampuan terbaik mereka. Carol dan Kolator bahkan sudah mati sebelum pembaca tahu apa kemampuan keduanya. Hanya Rex dan Cia yang kebagian adegan aksi dalam porsi yang cukup banyak.

    Karakter Ucup sangat jauh dari yang saya harapkan. Sunda-nya kurang. Bahasa Sundanya pun hanya muncul di dialog pertama—“Dimarana maranehna?”—saja. Setelah itu, bahasanya sangat baku seperti anak sekolahan teladan. Teknik bertarungnya Ucup, seperti musik gila dan musik surga, kurang dijelaskan dalam narasi. Padahal dalam charsheet-nya, Ucup harus menggunakan kecrekannya, ‘kan? Dan saya tidak melihat satu lagu pun dilantunkan oleh si pengamen cilik.

    Masuk ke teknik narasi. Rasanya aneh saja membaca kalimat-kalimat narasi yang pendek-pendek karena dipotong sekenanya. Mungkin maksudnya untuk gaya bercerita. Tapi menurut saya ini malah mengganggu kelancaran alur narasi. Contohnya dalam alinea ini:

    —Dia membuka matanya perlahan. Melihat sekeliling. Mencoba mencari tahu dimana dia berada. Jalanan yang di lewati banyak kendaraan. Bangunan yang desainnya sangat tua. Langit biru bersih. Tatapannya tertuju pada bangunan yang memiliki begitu banyak tiang.

    Mungkin solusi yang bisa saya berikan adalah penggunaan koma daripada titik. Ataupun tambahkan subjek agar alurnya tetap enak terbaca.

    Dan tentu saja, masih banyak kesalahan EYD dan semacamnya, yang saya begitu malas untuk menyebutkan satu demi satu.

    Oke. Cerita ini masih bisa digarap lagi. Poin dari saya 5.0

    ReplyDelete
  12. Kaito menghela nafas dan kemudian meletakkan cangkir tehnya.

    "Aku tahu memunculkan semua kemampuan karakter itu susah, tapi haruskah hanya dua yang muncul?" tanyanya.

    "Apa yang kau harapkan, Kaito?" tanya Clive, "Aku sejujurnya terkesan dengan narasinya."

    "Kecuali saat memasuki dialog dan battle?" gerutu Kaito.

    "hei! menggerutu itu bagianku!" Clive memarahi Kaito, "Baiklah, berapa nilainya?"

    "Satu," jawab Kaito singkat.

    "Pelit sekali?" Clive menatap Kaito heran, "Kau marah durasi kemunculan Carol amat singkat? aku akan beri empat."

    *

    Total Nilai : Lima.

    ReplyDelete
  13. "Don't expect to high. Expectations will make you disapointed." - Someone that I don't know -

    This is exactly what I feel when read this Batle.

    Dibilang Epic, enggak cukup, dibilang dramatis juga ga nyampe.
    Singkatnya, batle ini tanggung.

    terlalu singkat hingga umi sendiri bingung sebenarnya Ucup ini karakter yang melankolis banget apa ceria banget. Dan sependapat sama kak Ivon, alasan ucup untuk minta Rex bunuh diri terasa kurang kuat. Kurang di dramatisin lagi bagian di mana Ucup frustasinya.

    dari umi 6/10 :D

    ReplyDelete
  14. mobile jadi malas panjang2

    1. tidak berasa konflik ucup ditengah pertarungan deathmatch.
    2. karakter lawan mudah mati.

    final verdict: 7

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -