September 5, 2014

[ROUND 5] MAYOR YVIKA GUNNHILDR - JUST ANOTHER NAMES ON THE DEATH LIST

[Round 5] Mayor Yvika Gunnhildr
"Just Another Names on The Death List"
Written by Herry P. Zulkarnaen

---

"Mama, apa Mama seorang pembunuh?"

Satu kalimat tanya dari putriku yang nyaris membuat jantungku berhenti berdetak. Entah siapa yang mengajarkannya untuk bertanya hal tersebut, tapi aku akan pastikan kalau orang itu tak akan lagi bernapas di alam semesta ini.

"Lana, sayang, pembunuh itu orang yang sangaaaat jahat," celetuk Alain sembari merangkul diriku yang masih terpaku dari belakang. "Nah, apakah Lana pernah melihat mama pernah berbuat jahat terhadap papa, kakek, nenek, atau kepada Lana sendiri?"

"Tidak, mama selalu baik sama Lana!" tegas putri kecilku sambil menggelengkan kepalanya. "Lana tahu kok, Lana tahu kalau Danny berkata bohong soal mama!"

"Nah, sekarang sebaiknya Lana siap-siap, kita akan berangkat sebentar lagi."


Jadi nama anak itu Danny, akan kucari info lebih banyak soal anak itu dan keluarganya besok, lalu akan kupastikan mereka menghilang dari dunia ini.

"Sayang, sebaiknya kau juga siap-siap, atau kita akan terlambat," bisik Alain sambil mengecup lembut pipiku. "Oh, dan pastikan kau tidak melakukan apapun kepada Danny dan keluarganya. Aku mengenal mereka, mereka keluarga baik-baik kok."

Aku benci sekali kalau ia berhasil menebak isi kepalaku!

"Aku hanya terkejut! Mana mungkin aku menyalahgunakan wewenangku hanya untuk masalah sepele ini!"

"Ya aku tahu, aku hanya menggodamu," sahut Alain sambil nyengir, sebelum berjalan menuju kamar kami.

Antara aku dan para pembunuh yang berkeliaran di luar sana, hanya seragam yang memisahkanku dari mereka. Selain itu aku tak ada bedanya dengan mereka.

***

Kukencangkan sarung tanganku selagi berjalan di lorong berujung cahaya, lalu kukokang senapanku. Kupastikan sabuk rompiku terikat kencang, dan kuperiksa persediaan peluru di magazen cadangan. Dengan langkah pasti kuikuti kera merah bersayap yang memandu di depanku, lalu perlahan kuraih pistol berperedam dari sarungnya.

"Aku memandumu hanya sampai di sini, Manusia," tutur si kera merah yang langsung menoleh ke arahku, namun ujung laras pistolku yang menyambut tatapannya.

"Terima kasih," jawabku yang langsung meremas pelatuk dan melubangi kepala si pemandu.

Kutendang tubuh si pemandu yang hendak jatuh ke arahku, kusingkirkan ia agar darahnya yang kehitaman tak mengotoriku.

Bila tempat ini bukanlah alam kematian dan hanya dunia fana seperti yang lainnya, maka keadilan juga tak akan ada di sini, hanya hukum yang ada, dan hukum ditentukan oleh makhluk yang memiliki kuasa dan kekuatan. Di tempat ini aku ada, di tempat ini pula aku bernapas, di tempat ini aku akan terus menjadi kuat, dan di tempat ini juga aku akan merebut kuasa dari yang memilikinya.

Lorong pun berakhir dan membawakuku tiba di sebuah kota bernuansa sangat maju. Dunia yang jelas jauh lebih maju daripada Septimus, mereka bahkan memiliki kendaraan yang dapat melayang di sini. Oh, ada banyak gedung yang melayang juga, lama-lama kota ini mulai terasa seperti kota-kota dalam film fiksi ilmiah yang sering kutonton.

Walau menghemat ruang untuk banyak bangunan, namun aku tak melihat ada manfaat lain dari gedung yang dibuat melayang di kota ini. Bayangkan kalau sampai terjadi malfungsi dari pengendali gravitasi bangunan tersebut, bukankah malah akan membawa petaka terhadap penghuni bangunan di bawahnya? Ini benar-benar dunia yang berbahaya.

"Daripada memikirkan masalah tata kota seperti pejabat, bukankah sebaiknya kau fokus pada pertarunganmu?"

Diamlah, Vinnie! Justru kaulah yang mengganggu konsentrasiku di sini! Keberadaan pikiranmu yang masih di dalam kepalaku benar-benar mengganggu, aku jadi seperti orang gila yang melakukan dialog dalam kepala sendiri!

Semakin jauh langkah membawaku ke pusat kota, semakin mengerti aku mengapa mereka membuat kota yang sedemikian rupa. Hanya sedikit jumlah manusia natural di kota ini, atau bahkan di dunia ini. Entah karena mereka memang benar-benar bukan sepenuhnya manusia lagi atau karena mereka hanya ilusi yang diciptakan si dewa kera merah, penutup mata kananku kesulitan mengunci orang-orang di dunia ini.

"Aku pilih kemungkinan kedua."

Ya, aku juga menduga seperti itu.

Di kota seluas ini bagaimana caranya aku dapat menemukan lawanku? Si kera pemandu barusan bilang kalau mereka ada lima, dan aku harus mencari mereka di antara jutaan penghuni kota ini. Mereka bisa ada di mana saja, mana mungkin aku bisa menemukan mereka dalam waktu singkat.

Aku tak punya waktu untuk semua omong kosong ini! Aku tak punya waktu untuk menelusuri tiap sudut kota ini, mulai dari pemukiman kumuh sampai tempat tinggal para orang-orang kaya. Mengapa aku harus mempertaruhkan lagi nyawaku di tempat ini, dan bergantung pada si kacamata untuk membebaskan kami semua?

"Sudah terlambat untuk menyesali keputusanmu, harusnya kau bunuh saja si kacamata saat ada kesempatan."

Dan membuat seluruh peserta yang tersisa melawanku saat itu juga? Kurasa itu bukan ide bag—

Hal berikutnya yang kusadari adalah, aku terbaring di jalanan beton dengan kepala yang luar biasa sakit. Entah apa yang baru saja terjadi, namun reflekku tak mengizinkanku untuk berpikir. Walau kesulitan untuk berdiri, mual, dan kepala yang terasa sakit, aku merangkak cepat ke sebuah gang di antara dua gedung tinggi untuk berlindung.

"Seseorang baru saja menembak tepat di kepalamu. Tanpa kemampuan barumu, saat ini seharusnya kau sudah mati."

Kuraba pelipis kiriku, dan benar apa kata Vincent, kulitku berubah menjadi sisik dan masih terasa panas akibat benturan di sana. Seseorang baru saja menembak kepalaku. Untuk sementara aku akan duduk bersandar di gang kecil ini dulu, rasa pusing dan mual yang saat ini kurasakan membuatku tak dapat bangkit.

"Walau tak dapat melukaimu, tapi kurasa efek benturan peluru barusan cukup terasa olehmu. Lalu menilai dari posisimu barusan, kurasa kau tertembak dari arah selatan."

Terima kasih, tapi itu sama sekali tidak membantuku. Siapapun yang menembakku barusan, dia menggunakan senapan penembak jitu  berdaya penetrasi tinggi dan dari jarak yang sangat jauh.

"Dan bagaimana kau bisa tahu?"

Aku tidak mendengar suara tembakan.

"Peredam?"

Senapan berperedam tak akan memiliki daya tembak yang bisa membuatku terpental.

Di saat kepalaku sudah mulai kembali terasa jernih, akupun bangkit dan menyusuri gang sempit tempatku bersembunyi. Melewati jalan becek yang berbau busuk, dan melalui bertumpuk-tumpuk onggokan sampah yang dikerumuni lalat. Sungguh berlawanan dengan pemandangan megah dan gemerlap yang menyambutku di saat aku baru tiba di dunia ini. Sepertinya di dunia manapun sama saja, kesenjangan sosial akan selalu ada antara si miskin dan si kaya.

Di ujung gang lainnya yang langsung menghadap jalan aku berhenti, menyandarkan tubuhku di sisi tembok yang lembap dan mengamati sekitar. Nampak seseorang dengan kaki kiri terbuat dari rangka besi berlari sambil sesekali menembakan senjatanya ke belakang, ia berteriak-teriak dengan bahasa yang asing di telingaku. Lalu di sisi lainnya seorang pria berseragam militer membalas tembakan pria itu, nampaknya ia semacam aparat keamanan atau militer dunia ini.

"Mengingatkanmu dengan orang-orang Celestia dari faksi mesin, bukan? Para keparat yang mengotori tubuh mereka dengan mesin."

Tanpa kaum Celestia, Septimus tak akan semaju sekarang, Vinnie. Lagipula bukankah sebagian dari mereka membantumu pada perang besar yang lalu?

"Faksi mesin membantuku hanya karena mereka tak ingin kembali dijajah oleh kaum mereka sendiri, dari planet asal mereka sendiri! Dan itu tidak otomatis membuatku menjadi teman mereka! Selain itu apa kau lupa, yang membuatmu sampai berada di tempat ini adalah tank kaum Celestia?"

Aku tak lagi menanggapi Vincent, kini fokusku beralih pada pria berseragam yang berhasil meringkus si pria berkaki logam. Namun saat ia hendak membawa buruannya, seorang wanita tiba-tiba saja berlari dan menghantam kepalanya dengan sebuah baton.

"Seekor anjing sebaiknya tetap diam dan meringkuk saja di tanah!" tegasnya sambil meludahi kepala si pria berseragam yang kini tersungkur dan tak lagi bergerak.

Tak puas dengan tindakannya terhadap si pria berseragam, kini wanita bertopi yang memakai jaket hitam mulai memukuli si pria berkaki logam. Ia terus memukuli kepalanya berkali-kali sampai korbannya tak lagi bergerak.

Sial, sekarang ia melihat ke arahku!

"Kau, anjing betina yang bersembunyi di sana, keluarlah!" perintahnya sambil menunjuk dengan baton di tangannya ke arah persembunyianku.

"Apa kau akan melawannya secara terang-terangan?"

Penutup mataku sudah mengunci gelombang otaknya, aku akan melawannya kalau sudah mengetahui kemampuannya. Untuk sementara kurasa aku akan menghindar dan menilai situasi terlebih dahulu, apalagi aku masih belum tahu lokasi si penembak jitu, akan berbahaya kalau aku sampai bertempur di tempat terbuka.

Setelah melemparkan granat asap, aku mulai berlari menuju gedung di seberang jalan. Aku memang berhasil menghindari si wanita bertopi, tapi lain cerita untuk si penembak jitu misterius. Baru sampai di pertengahan jalan, lagi-lagi hantaman keras kurasakan dan membuatku terpelanting. Kali ini punggungku yang terkena tembakan. Walau sempat tersungkur, namun aku berhasil mencapai lobi gedung yang kutuju.

Tak ada waktu untuk merasa lega atau bersyukur, karena penembakan barusan, si wanita bertopi jadi mengetahui lokasiku.

"Oi, anjing pengecut, ayo lawan aku!" teriaknya sambil berlari ke arah gedung tempatku berlindung.

Heh, memangnya aku sebodoh itu mau meladeni badak sepertimu secara frontal?

Selagi si wanita bertopi masih belum sampai, aku bergegas menuju bagian dalam gedung kosong ini, melalui beberapa lorong dan belokan hingga sampai ke sebuah aula besar. Ruang aula yang berdebu, berbau apak yang bercampur bau kotoran manusia. Entah sudah berapa lama gedung ini tidak terurus, dan kalau beruntung mungkin saja aku akan menemukan beberapa mayat gelandangan di tempat ini.

Sampah, kursi, dan entah apa lagi yang berserakan di ruang aula ini, semuanya seakan berteriak kalau gedung ini benar-benar ide yang buruk untuk kupilih sebagai tempat persembunyian. Sebaiknya aku segera mencari jalan keluar dari tempat ini, tapi melalu pintu depan sudah jelas ide yang sangat buruk, karena wanita bertopi itu pasti sedang mencariku di lobi gedung.

Dengan senapan serbu siaga di tangan dan berjalan sedikit merunduk, aku menuju ke pintu di seberang aula. Aku berjalan agak zig-zag menghindari tumpukan kursi berdebu yang berserakan di seluruh ruangan, semoga saja pintu itu dapat membawaku ke jalan keluar lain dari gedung ini.

"Nenekku pernah berkata…"

Akupun sontak berlutut lalu mengarahkan senapanku ke kiri, ke sumber suara di atas sebuah panggung reyot di sisi terjauh ruang aula.

"Hati nurani seseorang dapat tercermin jelas dari kedua bola matanya."

Seorang pemuda berambut pirang dan berzirah besi berdiri di atas panggung, dengan pose satu tangan bertolak di pinggang dan tangan satunya memegang dagu.

"Dan kau, Nona, hati nuranimu segelap matamu!" serunya lagi sambil menunjuk ke arahku.

Apa dia juga lawanku? Dan kenapa dengan nenekmu? Apa hubungannya nenekmu dengan semua ini? Kenapa aku harus peduli dengan nenekmu? Kenapa pula kau libatkan nenekmu dalam pertempuran ini?

"Persetan dengan neneknya, habisi dia sekarang, Ivy!"

Bersamaan dengan langkahnya ke arahku, kulepaskan satu tembakan ke arah keningnya. Namun keberuntungan masih berpihak kepada si pemuda berzirah besi, ia jatuh terperosok di panggung yang keropos dan membuat peluruku meleset.

"Hah! Jebakan dan tipu daya murahanmu tak akan dapat menyingkirkan seorang kesatria semudah itu, wanita jahat!" tukas si pemuda yang bergegas bangkit lalu menyisir rambut pirangnya ke belakang dengan tangan.

Ini jadi membuatku teringat sesuatu, bukankah kau dulu juga seorang kesatria berzirah besi, Vinnie?

"Perlu kau ingat, aku dulu seorang prajurit dan seorang komandan, bukan seorang kesatria dongeng sepertinya! Dan perlu kau ketahui, aku tak pernah senorak dia!"

Ya, ya, aku percaya…

"Kenapa kau diam saja, Nona? Apa kau akhirnya menyadari semua kesalahanmu? Baiklah, sekarang aku, Rex, dengan kekuatan dari Dewi Mirabelle akan menghukummu!" ujarnya sambil meraba-raba pinggangnya. "Mana pedangku?! Kenapa pedangku tidak ada?! Wanita jahat, kau sembunyikan di mana pedangku?!" tuduhnya lagi sambil menunjuk kepadaku.

Selagi si pemuda berlari kembali ke panggung untuk mencari pedangnya, aku meraih sebuah granat untuk kulempar ke arahnya. Tapi belum sempat hal tersebut kulakukan, pintu tempatku masuk tiba-tiba roboh dihantam sesuatu atau seseorang.

"Ooooi, anjing betina, apa kau di sini?! Ah, di sini kau rupanya!"

Belum cukup satu-persatu masalah muncul, kini pintu aula yang sebelumnya kutuju juga roboh setelah teriris-iris terlebih dahulu. Dari sana masuk seorang gadis berkuncir dua yang memegang dua buah pedang tipis berwarna hitam dan putih.

"Kau milikku," ucap si gadis berkuncir dua sambil menunjuk dengan pedang di tangan kirinya.

Wah-wah, dikurangi si penembak jitu, satu orang lagi maka lengkap semua lawanku di babak ini.

Dan betapa bencinya aku kalau tiba-tiba skenario pertempuran paling buruk benar-benar terjadi. Dari atap ruang aula yang berlubang dan langsung tembus ke lantai dua gedung, melompat turun satu lagi wanita berambut hitam yang sepanjang bahu dan dibiarkan tergerai, di tangannya tergenggam sebuah pedang tipis bergagang putih dan memiliki bilah yang agak transparan. Ia melompat turun dari ketinggian sekitar sepuluh meter dan mendarat dengan sempurna, seolah ia hanya melompat dari ketinggian satu meter.

"Apa kau yang menginvasi duniaku?" tanya wanita yang baru saja datang itu.

"Ah, apa barusan yang kau pikirkan?"

Vinnie, kumohon, diamlah!

"Wow, hei Nona-nona, tolonglah, jangan memperebutkanku dulu, kita masih ada tugas di sini," cetus si pemuda pirang yang lagi-lagi menyisir rambutnya ke belakang dengan kedua tangan, rupanya ia sudah menemukan pedangnya di tempat ia terperosok barusan.

"Tolong bunuh si norak itu duluan…"

Ini buruk, benar-benar buruk! Melawan empat orang—yang kemungkinan memiliki kekuatan seperti dari dalam dongeng—secara bersamaan seperti ini bukanlah ide bagus!

Ketiga wanita di hadapanku pun mulai melesat untuk bertarung, dan tentu saja aku tak akan tinggal diam menunggu dibunuh oleh mereka, akupun segera berlari menuju si pemuda pirang di atas panggung.

"Hei-hei, tahan dulu! Nenekku pernah berkata, mengeroyok seseorang itu—augh!"

"Persetan dengan nenekmu!" hardikku yang sambil berlalu menghantam dagu si pirang dengan popor senapanku, kemudian kutendang si pirang dari belakang hingga ia terpental ke arah ketiga lawan yang mengejarku.

Si pedang transparan yang berada paling dekat denganku, iapun melompat dan berputar menghindari tubuh Rex yang terpental. Berikutnya si wanita bertopi, ia melompat dan melakukan tendangan putar terhadap tubuh Rex hingga terpental ke lain arah. Tapi sial untuk lawan yang terakhir, ia rupanya tak menduga perubahan arah dari Rex yang terpental.

Si gadis berkuncir dua beradu wajah dengan Rex, dan kalau dinilai dari bagaimana mereka terpental satu-sama lain, kelihatannya tabrakan itu cukup keras.

"Cabul, mati saja kau!" omel si gadis berkuncir dua yang bergegas bangkit lalu menendang wajah Rex.

Lalu sementara Rex meringkuk berguling-guling di lantai berdebu sambil memegangi wajahnya, si gadis berkuncir dua kembali melesat untuk bertarung.

Di sisi lain ruang aula aku masih berusaha untuk membunuh dua lawanku, namun sampai saat ini mereka tergorespun tidak. Aku kesulitan membidik si wanita bertopi, ia selincah kecoak yang menghindari injakan. Lalu untuk si pedang transparan, ia menepis semua peluruku. Bagaimana mungkin aku melawan mereka sekaligus? Kemampuan mereka absurd!

"Sisikmu juga absurd, manfaatkan itu."

Ah, aku lupa soal kemampuan baruku…

Akhirnya kedua lawanku itu berhasil mendekatiku dari dua sisi, aku merunduk menghindari sabetan baton dari kiri, lalu melompat maju dan berguling menghindari tebasan pedang transparan dari kanan. Sambil berlutut aku berbalik dan menyemburkan beberapa peluru terakhir dari senapanku, kedua lawanku pun mundur ke arah belakang panggung. Namun belum sempat aku mengganti magazen senapanku, indikator di penutup mata kananku memperingatkan ada musuh yang mendekat di belakang.

Kupegang ujung laras senapanku, lalu kuputar tubuhku sambil bangkit dari berlutut untuk menyabetkan senapanku. Si kuncir dua menangkis seranganku dengan pedangnya, namun kekuatannya tidak sebanding denganku. Kuda-kudanya goyah dan pertahanannya terbuka. Kemudian kulepaskan senapanku dan kumanfaatkan momentum putaranku untuk berputar sekali lagi, tapi kali ini aku berputar rendah sambil menyapukan kaki kiriku dan membuatnya terjatuh.

Tak sempat aku melakukan serangan terakhir untuk menghabisi si kuncir dua, karena secepat mungkin aku harus mencabut pedang milikku dan menangkis serangan baton dari belakang. Kutendang dada si wanita bertopi hingga ia mundur lalu kuraih kembali senapanku, hanya untuk kulemparkan ke arah si pedang transparan yang kini urung mendekat. Setelah itu kuraih pistolku dengan tangan kiri dan kutodongkan kepadanya.

Tiga lawan kini mengepungku. Di tangan kanan pedangku kuarahkan ke si wanita bertopi, di tangan kiri sepucuk pistol kutodongkan ke si pedang transparan, sementara itu si gadis berkuncir dua tertatih berusaha memasang kuda-kudanya lagi di hadapanku.

"Namaku Yvika Gunnhildr, perkenalkan diri kalian."

"Altair Kilatih," sahut si pedang transparan tanpa mengalihkan pandangannya dariku.

Si gadis berkuncir dua tidak menjawabku, mungkin karena headphone besar yang terus menutupi telinganya.

"Kenapa aku harus memperkenalkan diriku kepada anjing rendahan sepertimu, hah?! Kita di sini seharusnya bertarung, saling bunuh, bukan malah saling berkenalan seperti di perkemahan anak sekolah! Atau sebaiknya kita bergosip saja sambil perang bantal? Atau apa kalian mau saling curhat soal cowok yang kalian suka?"

"Aku hanya tanya namamu, kenapa kau malah pidato?"

Wanita itupun meludah. "Namaku Lucia, jangan lupa salamku kepada malaikat maut," cibirnya sambil melempar topi ke arahku, yang tentu saja kutepis dengan sedikit gerakan pedangku.

"Namaku Rex!" seru si pemuda pirang dari belakangku dan memecah keheningan di antara kami. "Dan nenekku pernah berkata—"

"Persetan dengan nenekmu!" sela kami berempat secara bersamaan. "Mati saja kau!" tambah Lucia sambil melemparkan baton miliknya ke arah Rex, yang dapat ditepisnya dengan mudah.

"Kalian jahat, salah apa neneku kepada kalian? Beliau orang baik, tidak seperti kalian!" timpal Rex yang kini mulai terisak.

Tapi memang tak ada satupun yang peduli dengannya atau neneknya. Lucia, Altair, juga si gadis berkuncir dua masih lekat mengawasiku.

"Baiklah, mari kita akhiri semua omong kosong ini!" seru Lucia yang kini kedua tangan dan kakinya terbungkus api berwarna hijau.

Namun bukan Lucia yang pertama bergerak, dan api buatannya membuatku lengah akan serangan dari lawan yang lain. Dan semuanya terlambat saat kusadari Altair menghilang, berikutnya tiba-tiba saja ia sudah berada di belakangku dan menyabetkan pedangnya. Aku bahkan tak sempat menangkis.

Serangan Altair membuatku terpental hingga hampir menjebol dinding, juga mematahkan beberapa tulang rusukku. Dalam prosesnya aku bahkan membersihkan separuh ruangan ini dari tumpukan kursi yang tak beraturan. Tubuhku harusnya sudah terbelah dua dan tercabik tumpukan kursi saat ini, kalau saja bukan karena kemampuan baruku.

Heh, tetap saja kemampuan ini tak dapat melindungiku dari luka dalam.

Belum juga aku bangkit dari serangan Altair barusan, Lucia sudah melayang di atasku dan berniat menghantamku dengan tinju apinya. Pedang dan pistolku entah terpental ke mana, maka akupun meraih belati dorong dari betisku. Lalu kutekan tombol di gelang tangan kananku.

Waktu serasa berhenti, dan tubuhku serasa terpental dengan kecepatan tinggi ke arah Altair. Aku berhenti dan berdiri tepat di belakang wanita itu, lalu kutanamkan belati beracun milikku ke leher Altair sebelum ia menyadari keberadaanku. Tubuh Altair pun ambruk akibat racun saraf dari belatiku, bersamaan denganku yang berlutut akibat menahan sakit.

Tetapi tak ada istirahat untuk tubuh lelahku, karena berikutnya aku harus melayani si gadis berkuncir dua. Aku yang masih berlutut berbalik untuk menepis tebasan pedangnya, dengan lengan kiriku yang terbalut zirah pelindung lengan. Sekali lagi serangannya terpental balik akibat tenaga kami yang berbeda jauh. Kumanfaatkan momen itu untuk memeluk tubuhnya, menjatuhkan, dan menindihnya. Untuk kemudian kuhantamkan tinju kiriku ke wajahnya, hingga ia hilang kesadaran.

Dengan posisi duduk menindih tubuhnya, kuraih pisau dari bahu kananku untuk menghabisi gadis ini.

"Mati kau, anjing betina!" desis Lucia yang entah sejak kapan sudah berada di belakangku.

Lagi-lagi rusuk kananku yang kena. Tendangan Lucia membuatku terpental dan berguling beberapa meter, dan kali ini rasa sakit benar-benar mencegahku untuk bangkit. Jangankan untuk bangun, bernapaspun sulit rasanya. Bagian dalam tubuhku seperti sedang ditusuk ratusan pisau. Walau aku tak berteriak kesakitan, tapi luka kali ini cukup untuk membuatku sampai menitikkan air mata.

Aku hanya bisa berbaring diam saat Lucia mendekat.

Kulepas gelang di tangan kananku.

"Bagaimana rasanya tendanganku barusan?" sindir Lucia yang kini berdiri di sisiku.

"Kau rasakan saja sendiri!" jawabku sambil mencengkeram pergelangan kaki Lucia, kupakaikan gelangku lalu kutekan tombolnya secepat mungkin.

Lucia pun menghilang sebelum sempat mendaratkan tinju terakhirnya, dan yang terjadi berikutnya ia muncul di hadapan tembok dengan tubuh remuk dan isi kepala berhamburan. Aku berhasil membuatnya menabrak tembok dengan kecepatan tinggi.

Kini tinggal si gadis berkuncir dua, dapat kulihat kalau ia masih tergeletak tak sadarkan diri. Namun seseorang menginjak tangan kananku saat aku berusaha meraih pistolku yang satu lagi, Rex.

"Jangan bunuh Cia, biarkan dia. Sudahi saja perlawananmu dan menyerahlah, Nona."

"Rex… ngar… ku…"

"Ha? Apa?" sahut Rex yang kini berlutut di sisiku.

"Rex, tolong dengarkan permintaan terakhirku," ulangku pelan.

"Katakanlah."

"Cium aku."

"Eh? Ta-tapi aku…"

Kutarik kerah zirah besi Rex lalu kukecup lembut bibir pemuda itu.

Tapi satu hal yang ia tak sadari, aku sudah berhasil meraih satu lagi belati dorong dari betis kiriku.

"Maaf," bisikku saat bibir kami berpisah, lalu kutikam lehernya dengan belati beracun yang sudah kusiapkan. "Sampaikan salamku pada nenekmu."

Tak butuh waktu lama sampai racunnya bekerja, tubuh Rex pun segera kehilangan tenaganya dan terjatuh di atas tubuhku.

"Alain harus tahu soal ini…"

Akan kubunuh kau kalau kejadian ini sampai di telinga Alain!

Kuraih pistolku yang satu lagi, lalu segera kulubangi kepala si gadis berkuncir dua yang tergeletak beberapa meter dari tempatku. Dia beruntung mati dalam keadaan tidak sadar. Setelah itu kugeser jasad Rex yang tersungkur di atas tubuhku, lalu kupejamkan mata untuk beristirahat. Masih ada satu musuh lagi.

***

Beberapa jam rasanya seperti bertahun-tahun, apalagi kalau kau menunggu dengan seluruh tubuh yang terasa seperti ditikam terus menerus. Tetapi akhirnya lawanku datang juga, ia masuk dari pintu yang sama denganku dan Lucia. Dan aku benar-benar tak percaya ini, seorang gadis kecil berkacamata yang menenteng senapan penembak jitu yang besar. Lawanku yang terakhir seorang gadis kecil…

Tetap saja tak akan merubah fakta bahwa aku masih kesulitan bergerak, aku hanya bisa berharap rencanaku berhasil. Heh, anehnya gadis ini terus berjalan mendekatiku, rupanya ia sama naifnya dengan Rex.

"Kenapa kau tak langsung membunuhku?" tanyaku saat ia sudah berjarak sekitar tiga meter dariku.

"Jangan khawatir, aku akan melakukannya," jawab gadis itu sambil mengangkat senapannya.

Namun di saat yang bersamaan, aku membuka tangan kiriku yang menutupi sebuah granat cahaya. Kemudian aku segera melemparkan satu granat tangan sesaat setelah granat cahaya meletus, dan tak lupa kuaktifkan medan pelindung dari zirah kiriku.

Kejadian barusan mengejutkannya, ia pun melepaskan tembakan secara bertubi-tubi selama ia mengalami kebutaan sesaat. Beberapa di antara tembakan itu seharusnya mengenaiku, kalau saja bukan karena medan pelindung milikku.Tak lama kemudia tembakan pun berhenti, kurasa ia menunggu penglihatannya untuk kembali. Tapi sayangnya itu tak akan terjadi, karena barusan adalah cahaya terakhir yang akan gadis itu lihat.

Suara ledakan pun terdengar dan senapan gadis itu jatuh tepat di sisiku, tepat di saat pelindungku memudar.

"Lalu bagaimana sekarang?"

Tunggu jemputan.

"Bukankan kau sudah menghabisi pemandumu?"

Ah… sudahlah, biarkan aku istirahat dulu, akan kupikirkan soal itu nanti.

***

"Mama, apa Mama pernah membunuh orang?"

"Terlalu banyak, sayang, terlalu banyak… dan mama lelah sekali."

***

Guest appearance:
-          The Sniper Luna Aracellia
-          The Mad Beast Lucia Chelios
-          The Deadly Darcia Regine Cobrina Viprez
-          The Fast and Lovely Altair Kilatih (This Realm resident)
-          And The Granma's Boy, Rex

9 comments:

  1. Seperti biasa, entri Yvika selalu punya ciri khas dengan tulisan yang ringkas, padat, dan jelas. Penggambaran battlenya juga mungkin bisa dibilang paling fluid dari semua entri ronde ini yang saya baca, bahkan tanpa perlu menonjolkan sesuatu berskala wah dalam pertarungan lawan lima orang sekaligus. Memasukkan karakter seperti Rex di entri ini juga membantu bikin atmosfir pertarungan bisa diselipin candaan - walau agak geli juga liat Rex dicium dulu sebelum dibunuh...perlukah? All in all, saya seneng sama pilihan karakter yang dilawan - entah kenapa rasanya pas aja, mungkin minus Rex yang sedikit out of place dibanding lima perempuan lainnya.

    ReplyDelete
  2. Anonymous6/9/14 11:53

    -=Yafeth=-


    Dialog dengan Vincent menarik. Bahasa ringan dan saya bisa membayangkan yang bertutur adalah seorang wanita. Siapa menyangka yang menulis laki-laki :v Flashback halus. Itu nilai lebih.

    Penggambaran karakter yang menjadi lawan masih terbatas, sih. Tapi masih bisa dimaklumi berkat adegan pertarungannya yang mengalir. Malang nasib Rex. Dan juga Alain yang di-NTR.

    Nilai akhir 9.

    ReplyDelete
  3. Elle : *tutup mata* Rex dan Mommy Ivy ciuman >.<
    Yvika : ...
    Rex : ...
    Leon : Aku penasaran, gimana manisnya bibir Mami Ivy waktu masih jadi manusia. Kecup-kecup basah yang aduhai, pastinya XD
    Yvika : Mau coba sekarang? *mengambil pisau beracun*
    Leon : A-ampuni, hamba! *bersujud orz* Tolong jangan racuni hamba.
    ...
    Lucia : *nenggak bir* Cih! Mati menyedihkan aku di sini!
    Nema : Sempurna sekali.
    Cheril : Ini rumahnya Lucy, ya? Aku pengen foto-foto.
    Zany : Katanya bakpau di sini enak-enak.
    Lucia : Ya. Terutama yang isinya daging manusia.
    Cheril : ....
    Zany : ...
    Nema : Sempurna sekali.
    ...
    Sal : Kawasan ini ... kurang sentuhan musik, nih.
    Reeh : Hamba setuju.
    Baikai : Tingkat kriminalitas tinggi. Mungkin saya bisa membuka biro detektif di kota ini.
    ...
    Ursula : Hei, anak-anak. Ayo kita pergi.
    Ursario : Cepetan, bura!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Padahal ini duniaku ... bukan dunia Lucia.

      Delete
  4. 1. Tulisan ini punya dialog yang decent. Saya suka dialognya Rex. Penempatan Rex di sini saya kira faktor terbaik yang membuat tulisan ini tetap segar, selain Lucia. Rex, yang pada dasarnya memang begitu menambah warna dan mencairkan suasana. Lucia juga, makiannya jadi khas, dialognya dengan Yvika paling bagus dari keseluruhan dialog: "Kenapa aku harus memperkenalkan diriku kepada anjing rendahan sepertimu, hah?! Kita di sini seharusnya bertarung, saling bunuh, bukan malah saling berkenalan seperti di perkemahan anak sekolah! Atau sebaiknya kita bergosip saja sambil perang bantal? Atau apa kalian mau saling curhat soal cowok yang kalian suka?" Natural cewek bermulut tajam, tapi tetap punya humor.
    .
    2. Narasi pertarungannya lumayan mengalir dan sederhana, sehingga mudah dicerna akal pembaca awam yang belum baca Yvika sebelumnya.
    .
    3. Baru baca dua tulisan termasuk ini sejauh ini. Jadi mengerti ternyata untuk membuat cerita yang kompleks dan mengelaborasi aspek-aspek penting ternyata butuh banyak jumlah kata. Kali ini penulis sepertinya harus lebih banyak mendalami beberapa aspek, seperti pendalaman karakter (Yvika maupun musuh) dan deskripsi tempat yang kurang vivid (seperti penggambaran kota modern yang sampai sekarang belum masuk di otak saya).
    .
    4. Seperti judulnya "Just Another... bla-bla-bla". Terasa sekali pertarungan ini seperti sambil lalu, masih seperti tulisan 'sampingan'. Aduh, sulit menjelaskannya. Tapi saya kira penulis punya potensi untuk membuat pertarungan kolosal bila suatu hari total dan habis-habisan dalam menulis.

    Nilai: 8 dari 10.

    ReplyDelete
  5. Ada Viny lama-lama jadi enak juga, narasinya jadi ga monoton, sekali pun musuh belum dateng jadi masi bisa ada dialog. Entah napa saya merasa kehadiran Rex ini menggaringkan suasana. >.< Paling suka pas uda akhir-akhir pertarungannya, musuh-musuh Yvika dibunuh ga pake banyak basa-basi.

    8

    ReplyDelete
  6. Top Tier, Baik Scene pertarungan dan juga Joke di tengah pertarungan.

    Tapi, Mr Eksposisinya mengganggu buat saya (mungkin saya doang). padahal kalau PoV 1, harusnya Yvika analisa musuh langsung tanpa harus dikasih karakter (kayaknya) serba tahu.

    Catatan: saya ngasih nilainya berdasarkan urutan Favor
    Nilai Anda
    ursario - 9
    claudia - 8.7
    Nurin - 8.4
    Yvika - 8.1
    Sjena - 7.8
    Sil - 7.5
    Stalza - 7.2
    Lazu - 6.9
    Salvatore - 6.6
    deismo - 6.3

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -