May 18, 2014

[ROUND 2 - MHYR] MAYOR YVIKA GUNNHILDR - ANOTHER BEGINNING'S END

[Round 2-Mhyr] Mayor Yvika Gunnhildr
"Another Beginning's End"

---

Ada kalanya ketika aku ingin melupakan segalanya, tak memiliki apapun dan siapapun. Dengan begitu aku dapat bertempur tanpa beban, tanpa harus takut kehilangan mereka. Namun saat ini berbeda, aku bertarung demi mereka, demi sebuah kesempatan untuk bertemu dengan mereka lagi.

"Mama!"

Sosok Lana masih berada di hadapanku, terlihat begitu dekat. Harum rambutnya dapat tercium jelas olehku, seolah saat ini putri manisku itu benar-benar berada dipelukanku. Namun secepat apapun aku berlari, sejauh apapun aku berjalan, aku tetap tak dapat meraihnya.

Akal sehatku mengatakan, kalau semua ini hanyalah ilusi. Mungkin si kera merah bernama Truk itu yang melakukannya. Walaupun aku sudah tahu ini semua hanyalah ilusi, tetapi seluruh tubuhku berharap ini semua dapat menjadi nyata. Ah, entahlah, mungkin aku sudah terlampau muak dengan semua pertempuran dan pembunuhan yang kulalui sampai saat ini.

Aku sudah sangat lelah, tolong biarkan diriku beristirahat dengan tenang.

Kuarahkan senapan serbu di tangan kepada sosok Lana di hadapanku.

Maafkan aku, Lana, Alain.

Dengan satu tarikan pelatuk, sosok Lana pun menghilang seperti asap. Sudah kuduga semuanya ilusi, pemandangan di sekelilingku pun perlahan berubah menjadi hamparan pasir dengan sebuah batu besar berujung lancip di kiriku. Berikutnya giliranku, maka kuposisikan senapanku hingga popornya berada di tanah dan larasnya mengarah ke bawah daguku sendiri.

Pelatuk sudah kutarik, suara letusan terdengar, namun aku tak merasakan apapun. Di hadapanku kini nampak sosok seekor monyet yang lebih besar dari manusia dewasa, ia sedang berlutut dengan tangan kanan menggenggam laras senapanku yang kini terarah ke langit.

"Apa yang Nona sedang lakukan? Bunuh diri tidak cocok untuk makhluk seindah dirimu, Nona."

Astaga! Demi Fuscienne, Duscha, dan para Dewa lainnya di alam semesta ini! Monyetnya bisa ngomong!

Sayangnya aku tak dapat berlama-lama terpana akan keajaiban alam yang satu ini, aku bergegas bangkit dan menodongkan senapanku kepadanya. Kalau monyet ini bisa bicara, entah apa lagi kemampuannya dalam bertarung. Apalagi kalau dia berhasil lolos dari babak sebelumnya, itu berarti ia lebih baik dari para lawannya atau lawanku di babak itu.

Terkecuali kalau si kera merah Truk itu pilih kasih terhadap monyet satu ini, maka tidak aneh ia dapat lolos sampai saat ini. Kera merah dan kera putih, mungikin mereka saling menyukai satu sama lain. Hah, aku bahkan tidak peduli kalau keduanya jantan, siapa tahu mereka memang memiliki orientasi ke arah sana. Hei, aku tak masalah dengan orang-orang berorientasi sama, aku bahkan tak masalah dengan mereka semasa aku hidup. Biarkan saja mereka.

Sambil terus menodongkan senjata, aku perlahan mundur. Sampai saat aku merasa menginjak sesuatu yang empuk, dan kurasa ini bukanlah gundukan pasir. Sebuah boneka beruang berwarna coklat, ada sebuah lubang di dahinya. Mungkin benda ini milik si monyet, dan aku tak sengaja menembaknya barusan di saat aku menembak ilusi akan Lana.

"BUUUURRRRRRRRYYYYYYAAAAAA!"

Sial, aku benar-benar terkejut untuk yang satu itu! Boneka beruangnya ternyata hidup. Tapi entah apakah ia masih hidup sekarang, karena barusan aku secara reflek memberinya beberapa puluh lubang baru di tubuhnya. Bukan salahku.

Monyet yang bisa bicara, boneka beruang yang hidup, aku jadi ingin tahu makhluk apa lagi yang kutemui berikutnya?

"Nona tenanglah, aku tak akan melukaimu," seru si monyet yang kini mengangkat kedua tangannya. "Ursa, kau tak apa?"

"Stupidity Soldier-girly, akan kubunuh kau nanti!"

Melihat boneka beruang yang penuh lubang itu merangkak menuju sebuah senapan berburu, aku pun mundur beberapa langkah sambil menembaki boneka itu lagi. Cukup di luar dugaan, ternyata ia cukup gesit berguling menghindari tembakanku. Akhirnya boneka itu pun berhasil meraih senapan berburu yang diincarnya, dengan sigap ia kemudian memuntahkan beberapa peluru ke arahku.

Satu peluru mengenai lengan kiriku, tepat di zirah pelindung lenganku. Daya hantam dari peluru senapan yang luar biasa keras, membuat tubuhku terpelanting dan berputar di udara. Semuanya berlangsung begitu cepat, aku bahkan tak sempat merasa sakit setelah wajahku menghantam pasir yang panas.

Senapan milikku entah terpental ke mana, dan aku tak ingin repot-repot mencarinya sementara si boneka beruang berusaha membunuhku. Harus menjauh, hanya itu yang dapat kupikirkan saat ini. Selagi berlari dari si beruang, aku menyadari ada sesuatu yang salah dengan lengan kiriku, aku tak dapat menggerakkannya.

Setelah cukup jauh dari si monyet dan si beruang, aku berhenti di balik sebuah bukit pasir. Bagus, kursor di penutup mata kananku menunjukkan kalau mereka tak mengikutiku, sepertinya mereka kehilangan jejakku. Aku bersyukur dengan kencangnya angin di pulau ini, jejak kakiku di pasir langsung tertutup sempurna. Selain itu aku juga berlari searah dengan bertiupnya angin, untuk berjaga-jaga kalau salah satu dari mereka memiliki penciuman yang tajam.

Ah, sudah kuduga kalau ada yang salah dengan lengan kiriku, ternyata bahuku mengalami dislokasi. Sial, tidak ada benda yang dapat kujadikan tumpuan untuk mengembalikan posisi bahuku lagi! Sekarang rasa sakitnya mulai terasa, tiap gerakan tubuh membuat bahu kiriku serasa ditusuk pisau.

Uh, sebaiknya untuk sementara aku akan beristirahat dulu di tempat ini, di bawah bayang-bayang bukit pasir.

Jam milikku hilang bersama dengan senapanku, aku tak punya penunjuk waktu lagi sekarang. Namun memperkirakan dari pergeseran matahari, kira-kira sudah tiga atau empat jam berlalu sejak aku diturunkan di pulau ini. Sekitar satu atau dua jam lagi matahari akan terbenam, dan tiba waktunya bagiku untuk kembali bergerak.

Kalau kera merah bernama Truk itu benar-benar memberiku waktu sepuluh jam, maka waktuku yang tersisa nanti sekitar empat atau tiga jam lagi. Kurang dari tiga jam untuk amannya, dan aku harus dapat membunuh salah satu peserta dalam dua jam.

Sial, dua jam tidak cukup untuk membunuh makhluk seperti mereka! Aku harus bergerak sekarang!

Tapi nanti saja deh, aku malas bergerak di cuaca sepanas ini. Sebaiknya kutunggu matahari terbenam, lagipula kurangnya cahaya dapat menguntungkanku.

***

Sialan! Sisa berapa lama lagi waktuku?! Seharusnya aku tidak bermalasan barusan!

Ini pertama kalinya aku ketiduran di tengah pertempuran, dan entah aku harus merasa bangga atau aneh karena masih hidup sampai saat ini. Yah, secara teknis aku memang sudah mati, tapi hidup lagi. Mungkin tak benar-benar hidup, karena aku masih terjebak di dunia aneh ini.

Matahari sudah terbenam dan sialnya lagi, suasana tidak segelap yang kuharapkan. Cahaya bintang dan sebuah bulan cukup memberikan penerangan di pulau padang pasir ini, namun kurasa aku mash bisa memanfaatkan keadaan ini.

Si monyet sudah tidak ada lagi dalam radarku, hanya si boneka beruang, itu berarti pertarungan belum sepenuhnya berakhir. Suara letusan senapan terdengar sayup-sayup di kejauhan, memperkuat dugaanku bahwa ini belum berakhir. Aku lumayan bertanya-tanya, kira-kira siapa lawan si beruang cebol itu?

Saat akan meraih kedua pistol berperedam milikku, rasa sakit kembali menendangku. Ah, rupanya aku lupa kalau bahu kiriku mengalami dislokasi. Sangat disayangkan memang, tapi bukan berarti aku tak dapat bertarung lagi.

Keadaan ini jadi mengingatkanku akan misiku melawan pemberontak di Leirith. Saat itu aku terpisah dengan seluruh anggota reguku, dan aku terpaksa bertahan di pertempuran dengan sebatang besi menancap di pinggul kiriku. Kedua kakiku sulit digerakkan dan aku terpaksa bertempur dengan cara merangkak menggunakan sisi kanan tubuhku, itupun rasa sakitnya masih terasa luar biasa tiap kali aku bergerak.

Aku jadi ingin tertawa, karena walau luka yang kualami kali ini tidak separah waktu itu, namun lawanku bukanlah para pemberontak yang minim pengalaman berperang. Mereka bahkan bukan manusia. Mungkin faktor tersebut yang tadi siang mendorongku untuk mengakhiri keberadaanku sendiri di tempat terkutuk ini, karena aku sendiri sudah tak yakin akan sanggup menghadapi makhluk-makhluk ajaib itu.

Ah sudahlah, aku akan membawa beberapa dari keparat-keparat itu bersamaku kalau memang kisahku harus berakhir di sini.

Setelah beberapa ratus meter melalui padang pasir ditemani cahaya langit malam, akhirnya aku dapat melihat langsung pertarungan tersebut. Nampaknya si beruang sedang bertarung melawan seorang pria—atau pemuda—entahlah, pencahayaannya kurang untuk dapat memastikan usia lawan si beruang.

Ia berpakaian dengan corak warna hitam dan putih, memakai tas punggung yang sedikit terbuka, dan hanya menggenggam sebuah pisau dapur. Tunggu… apa-apaan ini?! Pisau dapur melawan senapan berburu, dan dia belum tertembak sekalipun? Apa pisau itu salah satu senjata ajaib yang dapat membuat pemiliknya kebal peluru? Kalau iya, maka aku akan kesulitan melawannya.

Aku sudah pernah menghadapi si beruang cebol itu, nampaknya peluru tidak dapat membunuh si keparat itu. Untuk si pemuda, atau pria lawan si beruang, kelihatannya akan sangat sulit bagiku untuk mengalahkannya.

Untuk sementara, biar kucoba dahulu. Dengan pistol berperedam, aku menembak lawan si beruang beberapa puluh meter dari belakangnya. Di luar dugaan dia menengok ke arahku, lalu kulihat sebuah percikan api seolah peluruku telah membentur sesuatu yang tak kasat mata.

Tak lama ia menoleh ke arahku, sebelum kembali menghadapi serangan-serangan dari si beruang cebol. Sementara itu aku kembali berlari memutari mereka, karena aku tak akan tinggal diam setelah posisiku diketahui. Aku terus melalui bukit-bukit pasir searah jarum jam hingga kini aku mendekati posisi si beruang, ada cara lain yang ingin kucoba.

Sebelumnya ia menghalau peluruku seolah memiliki mata di belakang kepalanya, dan tidak aneh kalau memang iya. Kali ini akan kucoba serangan frontal, bersamaan dengan serangan si beruang. Aku mencoba apakah ia dapat menghalau seranganku, di saat ia harus berkonsentrasi melawan si beruang.

Saat ini si beruang masih melakukan serangan-serangan dengan mengayunkan senapannya, ia jarang mengeluarkan tembakan. Tapi melihat kemampuan lawannya, masuk akal bila si beruang menghemat peluru. Bahkan tubuh si beruanglah yang terlihat lebih menderita daripada lawannya, terdapat luka sobekan di sana-sini akibat sayatan pisau lawannya.

Aku menunggu dan terus menunggu, sampai akhirnya si beruang mulai membidikkan senapan miliknya. Kubidikkan juga pistol di tanganku, namun aku urung melepaskan tembakan. Sesuatu yang aneh baru saja terjadi, tiba-tiba saja senjata mereka tertukar. Si beruang membidik menggunakan sebilah pisau, sementara itu senapan si beruang berada di genggaman lawannya.

Si beruang yang nampak kesal melemparkan pisaunya ke arah si lawan, namun di saat yang bersamaan pisau itu kembali berubah menjadi senapan. Kini si beruang tak memiliki senjata lagi.

Kini aku tak punya pilihan lain lagi, aku harus menembaki pemuda itu sebanyak mungkin, karena siapa tahu dia tak dapat menghalau semua peluruku. Tapi belum sempat aku menembak, ada keganjilan lain yang terjadi, dan kali ini berasal dari si beruang. Bulu-bulu boneka itu memutih, dan ada hawa dingin yang berasal dari tubuhnya.

Lagi-lagi aku urung menyerang dan kembali memperhatikan mereka. Tunggu sebentar lagi, karena pasti akan ada celah bagiku untuk melancarkan serangan tanpa harus melibatkan diri dalam pertarungan dua makhluk ajaib itu.

Si beruang semakin ganas menyerang, ia menyemburkan uap putih berkali-kali kepada lawannya. Sementara itu si pemuda tak mengambil inisiatif serangan seperti sebelumnya, ia hanya menghindar dan terus saja menghindar.

Eh? Kenapa dia berlari ke arahku?

Sial! Si keparat itu sengaja lari ke arahku, sekilas aku dapat melihat senyumnya saat ia melompati tempat persembunyianku. Ia sengaja menggiring si beruang ke arahku agar aku ikut di pertarungan ini!

Sambil berlari keluar dari persembunyianku, aku tak melepaskan pandangan dari beruang cebol yang ngamuk itu. Dalam kondisi normal mungkin memang terlihat lucu, dua orang terlihat melarikan diri dari boneka beruang yang mengamuk. Tapi pada kenyataannya, tidak lucu kalau boneka beruang itu dapat membekukan apapun dengan semburan napasnya. Lihat saja, pasir-pasir berubah menjadi Kristal es setelah terkena serangannya.

Aku berlari ke arah yang berlawanan dari si pemuda sialan itu, berharap kalau beruang cebol memilih untuk mengejarnya.

Sialan! Beruangnya mengejarku!

Beruang itu terlalu fokus mengejarku, ia bahkan tak menyadari kalau di belakangnya si pemuda ikut mengejar. Satu sayatan di punggung si beruang membuatnya hilang keseimbangan dan terpental. Aku bermaksud menyambutnya dengan tembakan pistol, namun si beruang menelengkan kepalanya hingga tembakanku meleset dan mengenai kaki si pemuda.

Tak ayal aku tertabrak oleh tubuh si pemuda yang terjungkal di hadapanku, kami bertiga terguling di pasir. Tubrukan barusan secara tak sengaja membetulkan posisi bahuku yang bergeser, tapi pisau sang pemuda kini menancap di paha kananku.

Sementara si pemuda dan si beruang sama-sama berdiri menjaga jarak di antara kami bertiga, aku hanya bisa berlutut menahan sakit dengan sebilah pisau dapur yang masih menancap di paha.

Ini menggelikan, mereka masih terlihat segar bugar. Si beruang terkena sayatan berkali-kali, tapi dia masih bisa bertarung. Lalu pemuda sialan itu, ia sudah terkena tembakan di kaki tapi masih bisa berdiri. Aku sudah terluka dua kali hari ini, keduanya menyulitkan aku untuk bergerak. Jangankan untuk bertarung, untuk berlari pun aku kesulitan. Bahkan sekarang pisaunya masih menancap!

Pisaunya masih menancap!

Demi Fuscienne, kenapa aku tak diberikan kemampuan penyembuh atau menyemburkan api?!

Untuk beberapa saat tak ada satupun di antara kami yang bergerak atau bicara, hanya diam dan saling mengamati. Samar dapat kudengar geraman dari si beruang cebol albino itu. Entah hanya perasaanku saja, atau udaranya semakin terasa dingin di tempat ini.

Aku sadar betul kalau padang pasir suhunya benar-benar dingin di malam hari, tapi untuk yang satu ini kurasa terus turun sampai di bawah titik beku. Si pemuda menatapku, lalu kami berdua melihat ke arah si beruang.

Cih, kami berdua sadar kalau penurunan suhu ini tidak normal, terutama dengan peningkatan kecepatan angin dan salju yang mulai turun. Si beruang cebol itu penyebabnya!

Si pemuda berlari ke arah si beruang, entah dengan cara apa ia akan menyerang tanpa senjata, aku juga tak ingin tahu untuk saat ini. Aku juga mencoba menembak si beruang dari posisiku, tapi kencangnya tiupan angin membuatku tak dapat membidik lurus. Si pemuda juga nampaknya kesulitan mendekat dalam kondisi badai seperti ini, tubuhnya yang ringan terpelanting oleh angin ke arahku.

Sesaat kemudian si pemuda menabrakku sebelum kami berdua terpental lagi ke dua arah yang berbeda, ia sempat mencabut pisaunya dari kakiku di saat kami berbenturan.

"Maaf!" teriaknya segera setelah pemuda keparat itu bangkit kembali.

Tentu saja aku tak akan menjawabnya, dalam hati aku mengutuk pemuda sialan itu sambil meringkuk menahan rasa sakit. Darah mulai merembes keluar melalui luka barusan, namun rasa sakitnya tak sebanding dengan hawa dingin yang semakin menusuk tulang-tulangku. Aku akan mati di tempat ini, kalau tak segera menemukan cara untuk membunuh salah satu dari dua makhluk ini.

"Hei, aku kan sudah minta maaf, kenapa kau masih cemberut? Apa kau ingin aku menancapkan pisau ini kembali di sana?"

Mendengar hal barusan, aku langsung melepaskan beberapa tembakan ke arah si pemuda. Sama seperti sebelumnya, semua peluru tersebut terlihat membentur dinding tak kasat mata.

"Ho, ini menarik. Apa kau ingin melawanku?" ujarnya sambil merangsek berlari menuju posisiku.

Aku bermaksud menghindar, namun entah mengapa kedua kakiku tak dapat digerakkan. Seolah kedua kakiku tertanam di blok beton yang tak terlihat. Tak butuh waktu lama sampai aku mulai merasakan tekanan di dada kiriku, sebuah hantaman keras terasa membuat tubuhku terpelanting.

"Tidak tembus rupanya," gumam pemuda sialan itu sebelum ia kembali berlari menuju si beruang.

Apa maksudnya tembus? Serangan macam apa itu barusan?

Kuraba rompi yang terkena serangan barusan, terdapat sebuah cekungan lempengan baja yang cukup dalam di sana. Terakhir kali rompiku mendapat kerusakan seperti itu, saat aku terkena tombak dari buronan yang mengendarai motor.

Jadi bukan hanya perisai, pemuda sialan itu juga memiliki senjata tak kasat mata, dan ia barusan mencoba menikam jantungku dengan senjatanya? Keparat!

Satu hal lagi yang harus menjadi perhatianku, yaitu di saat pemuda itu menukar senapan milik si beruang dengan pisau miliknya. Aku harus menjadikan hal-hal tersebut sebagai pertimbangan sebelum bergabung dengan pertarungan jarak dekat mereka, terutama dengan hilangnya senapan serbu miliku siang tadi.

Tertatih aku berjalan menuju pertarungan antara pemuda keparat itu dan si beruang cebol. Dari posisiku terkesan seolah si pemuda hanya menghindari serangan-serangan si beruang, tapi aku tahu benar kalau pemuda sialan itu juga melakukan serangan balik yang tak terlihat.

Sambil terus mendekat aku melepaskan tembakan membabi buta dari satu pistolku, sesuai dugaanku mereka berdua menghindar, dan kini perhatian keduanya tertuju kepadaku. Lalu di saat aku berniat melepaskan tembakan berikutnya, tiba-tiba saja pistol berubah menjadi sebuah pisau, dan kini pemuda sialan itu yang menodongkan pistol kepadaku.

Inilah saat yang kutunggu!

Sambil melompat ke kanan menghindari tembakan si pemuda, kulempar granat cahaya yang sejak tadi kugenggam di tangan kiri dan tersembunyi dipunggung. Aku langsung memejamkan mata dan berguling di kala tubuhku mendarat, menghindari pancaran cahaya yang membutakan dari ledakan granat tersebut.

Pistolku kembali di genggaman, aku tak tahu juga tak ingin tahu sebabnya. Satu hal yang aku tahu pasti, aku hanya punya waktu beberapa detik sebelum penglihatan mereka kembali. Tanpa basa-basi, pemuda di sebelah kiriku langsung tersungkur setelah aku melubangi kepalanya beberapa kali. Kemudian kulepas zirah pelindung lenganku, kumasukan sebuah granat aktif ke dalamnya, kuaktifkan perisai dengan jeda 2 detik, lalu kulemparkan ke arah si beruang.

Si beruang menangkap zirah tersebut tepat di saat perisainya aktif, kini ia akan berada di dalam medan tertutup saat granat tersebut meledak. Kalau hal ini tak dapat membunuhnya, entah apa yang bisa.

Sebuah ledakan terdengar tak lama kemudian, pelindung dari zirah lenganku berubah warna menjadi hitam oleh asap. Sepertinya si beruang sudah menemui ajalnya, karena badai salju pun sudah berhenti. Sekarang saatnya ak—

"Agh!"

"Beraninya kau melakukan itu terhadap Claude!"

Ada suara seorang wanita di belakangku, dan aku merasakan rasa sakit yang luar biasa di perut bagian kanan. Sialan, ternyata masih ada satu peserta lagi!

Pisau! Ini tusukan pisau! Dia menusukku tepat di bagian rompi yang tidak terlindungi pelat baja!

Semakin dalam wanita itu menghujamkan pisaunya, semakin sesak napasku. Dengan tergesa akupun meraih gelang di tangan kananku, berikutnya kami berdua berpindah tempat sejauh sepuluh meter. Untuk tepatnya mungkin lebih baik kalau disebut terlempar, karena pendaratan kami berdua tidaklah mulus. Kami berdua terguling di pasir untuk beberapa saat, dan kini ia terbaring di hadapanku.

Aku memanfaatkan hal tersebut untuk menghujamkan pisau milikku ke leher wanita itu, yang disusul dengan dua peluru di belakang kepala. Ia tak bergerak lagi, sepertinya semua sudah selesai. Kulepaskan pistolku, lalu kugeser tubuhku agar berbaring terlentang

Sebuah batu besar berujung lancip di kiriku menunjukkan kalau tempat ini adalah lokasi aku pertama diturunkan di pulau ini. Ironis memang, karena tempat ini pula yang akan menjadi akhir dari diriku. Kini aku sudah tak dapat bergerak lagi, pendarahan dari kaki dan perutku sudah terlalu banyak, rasa sakitnya pun sudah tak tertahankan lagi.

Ah sudahlah, biarkan aku beristirahat dengan tenang.

8 comments:

  1. ==Riilme's POWER Scale on Yvika Gunnhildr's 2nd round==
    Plot points : B
    Overall character usage : B-
    Writing techs : B
    Engaging battle : B
    Reading enjoyment : B
    ==Score in number : 6,8==

    Saya mau nunjukin sedikit OOC di CC :
    1) kalau salah satu dari mereka mati, dua"nya mati, karena mereka cuma punya satu nyawa dibagi buat berdua
    2) pisau mereka pisau jagal gede yang ujungnya rata/tumpul, yang tajem cuma yang bagian buat menggal (jadi kayak guillotine dikasih gagang)
    3) yang punya kemampuan barrier itu Claudia, bukan Claude

    Kok kayanya tiap pertarungan tante Ivy mati-matian banget ya? Jadi kasian ngeliatnya.
    Dan kalimat terakhir itu... Berasa seperti penulis sendiri bilang kalo udah pengen berhenti...or am I reading it too much?
    Tapi yang jelas, berarti kondisi kemenangannya belum terpenuhi ya di cerita ini?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anonymous19/5/14 22:15

      Eeeeh! Jadi kalau salah satu mati, dua2nya mati?! Aduh, saya juga salah gede katanya, soalnya di cerita saya, Claude tertembak di kepala & mati, trus Claudia bertarung sendirian XD

      - Dendi Lanjung

      Delete
    2. Anonymous19/5/14 22:18

      *kayaknya

      Delete
    3. Rada miss di skill, untuk pisau, Ivy akan tetap berpendapat kalau itu pisau dapur (she's a soldier, not a cook). Maaf Sam~
      oTL

      Untuk bagian mati, nope, Claude belum mati di saat Claudia muncul. A shot to the head doesn't mean insta-kill, sure it'll lead to the death eventually. They both died during the teleport jump, before Ivy stab and shot her, that's why she didn't get up again after the jump.

      Kondisi kemenangan
      10 jam (sekitar waktu itu karena jamnya hilang)
      Bunuh salah satu lawan (Ivy killed 2 enemies, and 3 heads)
      Kembali ke titik awal (done that)

      Lastly, you're not reading into it too much, I've got a spark for continuing my delayed writing project.

      Thanks for droppin' by~

      Delete
    4. Well, Ursa sih nggak tahu kondisi itu. Jadi dia menembak kedua kepala CC sekaligus untuk memastikan kematiannya~

      Delete
  2. Alur : 1,8/3
    Battlenya bagus, berasa real... Adegan per adegannya juga asik banget >.<
    Cuma... Ya itu, gk ada ceritanya ._. Cuma bakbikbuk doang ._.
    Awalnya asik siy, joke nya juga suka >.< detil2nya jg mantab >.< tapi cuma bakbikbuk doang ._.

    Karalterisasi : 1,5/3
    Claude nya mati... Claudianya ngamuk... awkwk so sweet >.<
    Tapi ooc ._. Dan gak ada interaksi antrkarakter selain bakbikbuk ._.

    Gaya bahasa : 2/2
    Berasa baca buku harian atau laporan dr kejadian yg sbnernya >.<

    Typo n Error : 1/1
    Hal-hal Lain : 1/1

    Total poin : 7,3
    Smoga cerita berikutnya lebih ada ceritanya >w<)7

    ReplyDelete
  3. Aieeee Mami Yvika lagi2 bad ass dengan battle yang keras. Seperti biasa narasinya lancar dan ga neko-neko. Kudos buat om Zoel. Tapi sayang efek pulaunya ga kerasa dan karakter lainnya kurang tereksplor dan CC malah OOC. Oh well. 7,5 dari moi!

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -