May 18, 2014

[ROUND 2 -THVR] MBA IRWIN - NAFSU DAN MEMBUNUH

[Round 2-Thvr] Mba Irwin
"Nafsu dan Membunuh"
Written by [.Re]

---

Warning R 15+

Mba Irwin - Nafsu dan Membunuh


Peace Maker. Itulah julukan dari Mba Irwin, gadis berambut pelangi dengan hiasan sayur-sayuran tergantung di rambutnya (yang ternyata bisa dimakan). Nama yang tabu diucapkan bagi para penghuni realmnya dahulu. Nama yang bila disebut akan meluruhkan nafsu membunuh dari pelaku perang. Banyak yang tidak tahan dengan perilaku pasif-tidak-jelas-tapi-agresif dari gadis ini. Dan saat ini, (seharusnya) ia telah mati.

Yang mati tidak akan bisa berkata. Walau pada akhirnya mereka mengikuti segala aturan pencipta tanpa tanya. Dan itulah yang menjadi pertanyaan besar saat Mba merasa dirinya hidup dan tidak berada di surga... atau neraka.

Mba tidak mengingat bagaimana dirinya menjadi bagian dari turnamen bernama Battle of Realms. Yang ia tahu hanyalah seorang pemuda berkulit merah dan berambut mohawk putih mendatanginya saat sedang terpekur di sebuah kubangan besar. Sepasang sayap putih sang pemuda sempat membuai Mba. Ia dibuat mengigau "Ah... Malaikat," di tengah-tengah ributnya suara khalayak yang panik menyelamatkan korban ledakan.

Sang Malaikat, yang mengenalkan diri sebagai Hyvt, mengatakan bahwa ia datang untuk menjemput Mba. Tentu gadis ini bingung dan ragu. Hampir setiap wanita mengharap adanya penjemput tampan untuk membawa mereka pergi ke tempat yang membuai. Hanya saja, setiap wanita butuh kepastian.

"Kamu dapat bertemu dengan suamimu nanti."

Janji itulah yang membuat Mba nekat mengambil resiko... yang akan dibencinya ke depan.


***


Janji tetaplah janji. Hanya terucap di mulut dan bukan kenyataan. Mba tidak menemukan Antakaba sesampainya di daratan merah. Sejauh matanya memandang di antara 44 makhluk, sama sekali tidak terlihat figur Antakaba.

"Maaf...di mana Anta?" tanya Mba.

"Kau tidak akan menemukannya di sini," jawab Hyvt datar.

Mba mengerutkan alis. "Maaf... tapi tadi tuan berkata..."

"Kau hanya dapat bertemu dengannya apabila memenangkan turnamen."

"Turnamen?" Mba menyentuh pelipisnya. Kata itu menyandung porsi memorinya.

"Ya. Battle of Realms. Pemenang dari turnamen ini akan dihidupkan kembali dan mendapatkan apa yang mereka inginkan."

Bola mata hitam Mba terbelalak. "Tapi... maaf tuan... bukankah hidup kembali berarti menyalahi takdir?" ia mengerenyitkan dahi menahan sakit setiap kali mencoba mengingat sesuatu yang berhubungan dengan turnamen.

"Semua tidak mustahil dan tidak dilarang bagi Yang Maha Kuasa Thurqk. Dan apakah kau tidak memiliki nafsu untuk bertemu kembali dengannya?"

Thurqk. Itu kali pertama Mba Irwin mendengar nama tersebut. Lidahnya sempat keseleo mengucapkan nama itu. Lafalnya terdengar seperti Turk tapi Hyvt mewajibkan sengau halus saat mengucap huruf T. Dan Qk itu harus diperkeras. Jadi Thurqk itu lembut di awal keras di ujung.

Hyvt menunjuk sebuah layar besar di kejauhan sana. Layar itu menampilkan sosok berwarna merah yang bertelanjang dada. Beberapa garis kemerahan terlihat di sekujur tubuhnya, membentuk sebuah pola seolah membelah tiap bagian tubuh secara simetris. Tapi hal yang paling khas bagi Mba adalah adanya garis hitam panjang di bawah mata yang mengesankan citra air mata. Bagi Mba, citra ini terkesan lembut.

Tapi saat sang dewa merah menyeringai,  dengan dagu terangkat dan suara yang besar membahana, Mba dibuat takut –lagi takjub. Langkahnya yang keras dan tegas mendatangi 11 makhluk dalam satu ruangan dipenuhi dengan kharisma. Percaya diri, ponggah, lagi kuat. Namanya sesuai dengan imaji yang dibayangkan. Lembut di awal, keras di akhir.

 Yang terjadi selanjutnya membuat mata Mba membelalak. Pembantaian. Apa yang terjadi seharusnya cukup untuk memicu teleport dan menghentikan kegilaan dari sang dewa merah. Pun ia sudah mendengar banyaknya makhluk yang memberi respon jijik, mual atau hanya diam. Seharusnya... ya, seharusnya gadis ini juga ikut mual dan terisak. Tapi yang ada Mba justru tersenyum kecil.

Senyum kecil itu memancing reaksi dari seseorang di sampingnya. "Kenapa senyum-senyum? Demen heh, liat bantai-bantaian?"

Mba menengok dan mendapati seorang pemuda berambut hitam metalik dengan gaya jabrik. Hal yang menarik perhatian (sekaligus membuatnya merinding) adalah tindikan di alis kanan dan bibir bawah pemuda tersebut. Lebih lagi, tato rantai melilit bagian tubuhnya yang terbuka. Lengan, tangan bahkan sampai ke betis. Hanya leher dan kepala saja yang masih 'bersih' (jangan lupakan tindikan di wajahnya).

"Oh... maaf... bukan... aku merasa seperti sedang melihat anak kecil yang senang bermain. Anak kecil itu kesepian walau sudah banyak boneka di sekelilingnya."

"Buat lo yang mati barusan cuma boneka?" mata coklat si pemuda menantang tajam Mba. Ia memonyongkan bibirnya.

"Maaf... bukan itu..."

Si pemuda meludah ke tanah. "Sedeng. Lo harusnya liat seremnya tawuran. 'Gini nih generasi alay yang sok saiko."

Mba tidak bisa membalas. Ia hanya memandang punggung si pemuda yang sudah berbalik pergi. Dan si pemuda memberi jari tengah padanya. Mba kemudian menundukkan kepala, menghormat karena sudah diberi nasihat. Dan ia tahu, nasihat tersebut benar adanya. Tidak seharusnya Peace Maker tersenyum melihat konflik...

Mba melihat kembali ke layar. Mata hitamnya memandang pada sosok dewa merah yang masih membantai kumpulan makhluk. Ia hanya terdiam. Entah apa yang ada di kepala Mba saat melihatnya.

                                                    
***


Awan dan angin yang kencang menerpa kulit Mba. berkali-kali ia mengerjapkan mata mendapati masuknya debu ke mata. Sejauh mata memandang, ia hanya mendapati merah dan merahnya langit. Sesekali ia merasakan goncangan saat Hyvt yang ditumpanginya memasuki awan hitam. Mereka telah terbang di udara selama lebih dari sejam. Baru kali ini Hyvt menurunkan kecepatan dan ketinggian. 

Mba melirik ke bawah sembari mencengkram keras bahu Hyvt. Ia melihat susunan pulau-pulau dengan warna dan ukuran yang berbeda. Yah, bisa diibaratkan mereka seperti lalat yang sedang terbang di atas kumpulan kue-kue. 

 "Maaf... tuan akan membawaku ke mana?" ulang Mba yang masih gugup memegangi Hyvt. Matanya tidak berhenti melihat ke kiri dan kanan. "Tuan?" tanyanya lagi saat Hyvt berhenti di atas sebuah pulau yang terlihat hijau dan asri.

Hyvt terdiam sebelum menjawab "Ujian pertama..."

Lantas tiba-tiba Hyvt terbang vertikal. Gerakan tiba-tiba itu membuat Mba mengeraskan cengkramannnya. Ia ingin menjerit tapi deru kecepatan naik pemuda bersayap putih itu membuatnya sesak napas.

Hyvt memutar dirinya di udara.  Saking kerasnya putaran itu sampai membuat tangan Mba terlepas. Jatuhlah gadis itu ke pulau yang hijau lagi asri. Kali ini ia menjerit keras.

Hyvt terdiam memerhatikan titik kemungkinan jatuhnya Mba. "Ternyata memang ditakdirkan..." ujarnya datar.

Mba mendarat dengan bersujud. Tidak ada cela dan cacat. Tapi keterkejutan membuat napasnya naik turun.

Ia melihat, jauh di angkasa, Hyvt berputar balik dan menjauh. Rancang pikir Mba menyimpulkan bahwa tempat inilah lokasi ia harus bertarung. Sekalinya menjejakkan kaki, Mba merasakan keanehan tersendiri dari pulau ini... yang ia tahu tidak akan disukainya.   


***


Bila narasi bisa menjadi pedang. Maka saat ini Mba sedang berada di sebuah pedang yang tajam dan melengkung tidak jelas. Semenjak ia mendarat, semua yang ada di pulau ini akan berubah. Semua akan terlibat dalam lingkaran menyesatkan.

Secara gamblang tidak ada yang begitu aneh dari daratan di tempat ini. Paling hanya ada sebuah bangunan besar di pulau ini yang terlihat begitu megah dan menutupi horizon pandang. Mba mengenali bangunan tersebut sebagai Coliseum. Banyaknya jendela dan bentuk teater langit terbuka itu mengingatkannya akan tarung barbar yang biasa diadakan untuk menghibur para pejabat negara.

Mba Irwin menghela napas. Sudah jelas baginya bahwa turnamen ini lebih ke adu fisik atau adu nyawa. Hanya saja, firasat Mba mengatakan ada sesuatu yang berbeda. Ketiadaan tribun penonton membuat pikirannya bergolak. Lagipula, jelas-jelas di pintu gerbangnya tertulis "Selamat Datang di Taman Nafsu."

Benarkah ini tarung fisik? Tapi faktanya ia tetap harus masuk ke dalam untuk tahu.

Atau tidak.

Mba memilih untuk duduk dengan kalem. Andai disuruh menunggu, ia bisa tahan hidup setidaknya seminggu. Tiga hari memakan hiasan sayur-sayuran di kepalanya. Sehari makan batu dan sisanya puasa sebelum kering.

Pilihan yang bagus, Mba. Sangat bagus sampai dia akhirnya bosan sendiri.

Oh, tapi ia mulai bermain dengan rumput yang bergoyang. Sepertinya gadis ini memiliki kemampuan lain, tidak cepat bosan menunggu. Pantas saja dia banyak berangan bertemu suaminya.

Ups salah.

Mba mengeraskan genggaman tangannya dan mengambil napas panjang tiga kali sebelum melangkah masuk. 

Terpaksa? Itu jelas. Bila tidak begitu, Mba tidak akan menjadi Peace Maker yang harus masuk dalam berbagai situasi serba sulit dan kadang penuh jebakan.

Gerbang yang dimasuki Mba berujung pada pertigaan besar. Sebuah plang besar bertuliskan "Pilihlah takdirmu. Apapun yang kau pilih sama saja. Kau akan dibuat terbang ke langit ke tujuh."

Mba menelengkan kepala, tidak mengerti akan kalimat itu.

Apapun itu, Mba memilih untuk berjalan ke kiri. Sepertinya insting manusia untuk berjalan ke kiri saat dihadapkan dua pilihan cocok untuk menggambarkan situasi Mba. yah, apapun itu, yang namanya coliseum pasti ujung-ujungnya akan saling bertemu. Ia melewati sebuah lorong kecil... dan saat inilah pertunjukan sesungguhnya akan dimulai.


***


Lorong yang luas lagi lebar. Bukan sesuatu yang Mba harap untuk lihat dalam ampitheater. Lebar lorong ini kurang lebih setara dengan bergumulnya lima manusia di tanah. Cukup luas untuk adegan bertarung yang panas.

"Seram."

Absurd. Tidak ada yang seram di sini. Lihat, langit saja terlihat biru. Padahal Mba yakin tadinya merah. Yah, itu mungkin bisa disebut keanehan. Lalu lantainya berpetak-petak besar seluas 25 meter persegi. Setiap petak memiliki warna tersendiri. Biru, merah, kuning, hijau. Semuanya warna cerah. Serius, apanya yang seram? Paling-paling hanya jadi candaan dan permainan main petak sederhana saja.

"Aneh."

Dibilang aneh juga malah makin penasaran. Mba yang mengendap penuh keraguan sudah jadi bukti ia mengikuti permainan aneh ini selangkah demi selangkah. Oh, gadis itu diam memandang dinding dan tiang.

Ehem, kombinasi tiang yang menjorok keluar dari dinding seharusnya bukan arsitektur aneh. Beberapa negara Ero- maksudnya pasti ada yang menggunakan gaya necis seperti ini. para elitist mungkin. Ah, sekarang Mba curiga pada ketinggian tiang. Ya, ia boleh curiga karena bangunan ini tidak memiliki langit-langit tapi memiliki tiang setinggi langit –atau kurang lebih setinggi itulah. Namun dindingnya hanya setinggi satu setengah manusia. Aha, ia menyadari adanya misteri di balik dinding tersebut.

"Suara apa itu?"

Mba menempelkan telinganya ke dinding. Rasa penasaran membuatnya mengerenyitkan kening. "Erangan?" Ujarnya, mengenali kemungkinan adanya yang tersakiti di dalam. Ayo, sadarilah adanya pintu berwarna pink tak jauh dari tempat Mba berdiri.

Tumben, Mba tidak takut atau ragu untuk mengecek pintu itu. Ia mencoba memutar kenop. Terbuka. Aha, ada ranjang berantakan. Lihat saja banyaknya selimut yang berserakan di atasnya. Lengkap pula dengan kelambu putih berbahan sutra. Aromanya terasa sedikit... asin (seperti bau ikan, katanya) walau tertutup oleh wewangian yang memikat.

Ayo Mba, pilih, melangkah masuk atau tetap di ambang pintu?


Aha, si gadis berbaju hitam memilih masuk. Kejutan apa yang akan dihadapinya? Aha pertama, pintu akan tertutup seperti kantung semar. Tidak ada jalan keluar walaupun dinding dan pintu digedor. Mba harus bersiap menghadapi apa yang bersembunyi di balik kamar ini. Kedua, sebuah dehem halus muncul dari selimut di ranjang.

"Hai sayang,"

Mba menengokkan wajahnya. Roman pucatnya sangat menggemaskan. Jari-jemarinya dengan panik berusaha menutup matanya dari pemandangan surgawi. Tapi sela-sela jari justru mengajaknya untuk terus memandang sosok pria mengagumkan yang hampir bugil. Hanya selembar kain sutra putih saja yang menutupi daerah penting.

Mba tanpa sadar meneteskan liur. Matanya terus terpancang pada dada bidang si pria. Ia pun tergerak untuk mendekat, sungguh berani. Mulutnya pun tanpa sadar berujar "Anta..." dan saat itulah ia menggeleng berkali-kali untuk memanggil kesadarannya.

Namun apalah daya, jarak dirinya dan si pria hanya tersisa tiga langkah. Mba pun tersurut mundur. Naah, mundurnya Mba justru membuat si pria makin gerah mendekat.

"Hush hush pergi!"

Mba dengan panik mengayunkan tangan untuk mengusir si pria. Tapi gerakan tangannya justru menarik helai sutra si pria. Akhirnya, (mungkin) untuk pertama kalinya Mba melihat benda sakti dari pria.

"IIIII ULAR!!"

Aha! Mba makin panik! Gerakan mengayun tangannya makin keras.

"UGH!"

Auch! Wajah si pria berdada bidang langsung berubah ungu. Jangan bayangkan betapa sakitnya bila daerah rawan itu terpukul. Tersentuh saja sudah ngilu apalagi terpukul.

 "Rupanya kamu senang main kasar ya?" ujar si pria yang justru makin senang. Lidahnya menyapu bibir. Mata si pria semakin membuas. Oh oh, ini bukan lagi godaan tapi jelas sudah perilaku yang menjurus pemaksaan *ehem*

Aha, lihatlah wajah panik Mba. Lututnya langsung meluruh di lantai membuat wajahnya sejajar dengan Ular yang baru disebutnya.

Si Ular pun mendongak, membuat Mba makin panik. Ia menjerit keras lalu merangkak kabur dengan tenaga extra kepepet. Sayang oh sayang, kaki Mba ditangkap. Ia ditarik sampai menggelusur lantai. Mungkin tak terbayang di kepala gadis itu apa yang akan dilakukan si pria. Namun bisa dipastikan bukan hal yang menyenangkan. Lihat saja mata si pria yang membuas begitu juga dengan kekehan yang menggila. 

Apakah di saat genting ini akan muncul pahlawan?


***


Mba menutup matanya. Lama. Ia tidak merasakan apapun. Padahal ia tahu seorang pria (mesum) sedang menyerangnya.

Mba mencoba membuka matanya. Alangkah terkejutnya ia saat menyadari sosok pria yang menyerangnya ternyata sudah kaku beku oleh es.

"Mbak nggak apa-apa?"

Suara yang berat dengan nada kalem menyapa kuping Mba –terlebih lagi langsung memanggil namanya. Ia mendongak dan mendapati seorang pria berwajah oval dan berambut hitam ikal gondrong sedang menatapnya dari balik punggung si pria mesum. Si gondrong mendadak bersembunyi kembali di balik si pria mesum. Ia memunculkan wajahnya yang sedikit memerah, cukup senada dengan kulitnya yang putih.

"Siapa tuan?"

Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan Mba. Lalu setelahnya, Mba terkesiap dan merangkak mundur. Jangan-jangan pria ini juga ingin bertindak yang sama dengan si mesum. Sontak ia pun menutup dadanya dengan tangan dan juga merapatkan kaki.

"Ah eh ah... jangan takut mbak..." ujar si gondrong. "Sa-saya nggak bermaksud jahat," tambahnya sembari menggaruk-garuk kepala. Ia pun melangkah keluar dari persembunyiannya. Mba makin merengutkan wajahnya. Melihat ini, si gondrong melangkah mundur.

Roman wajah Mba melunak. Ia mengamati pria itu dari atas ke bawah. Pria itu mengenakan sweater biru dengan sebuah scarf terlilit di lehernya. Celana jeans biru dongker dan sepatu casual bewarna abu-abu menjadi atribut bawahnya. Sekilas tidak ada hal yang berbahaya. Tapi apalah bahaya di hadapan seorang Peace Maker.

"Se-serius saya nggak ada maksud... Saya dengar teriakan. Jadi saya buru-buru masuk. Terus tahunya nona lagi mau di... di-ituin sama dia," ujarnya dengan wajah yang sedikit memerah. "Mau nggak mau saya bekuin dulu si jorok ini," tambahnya seraya mengetuk kepala si pria mesum.

"Mbak juga tersesat di sini?"

"Maaf... tersesat?"

"Iya, di taman mangkok mie ini."

"Maaf... taman mangkuk mi?" Mba makin mengerenyitkan kening.

Si gondrong menyentuh hidung mancungnya. Ia melihat Mba masih meringkuk gemetar. "Maksudku, di tempat ini. Maaf kalau aku masih menakutimu," ujarnya sembari melangkah mundur. "Aku hanya butuh bulu putih dari kamar ini."

Mba mendapati si gondrong mengambil sebuah bulu sayap putih. "Itu bulu sayap Hyvt?"

"Hyvt? Mbak juga peserta turnamen?"

Tanpa ada rasa curiga, Mba mengangguk. Jawaban itu membuat si gondrong terkesiap. Ia memuntir bulu sayap di tangannya. Bulu itu mengeluarkan hawa dingin dan berubah warna menjadi biru muda.

"Ma-maaf namaku Mba Irwin. Apa tuan tahu sesuatu tentang turnamen ini? atau tentang situasi kita saat ini?" Mba Irwin perlahan membetulkan posisinya dan duduk bersimpuh. Ia tahu sekarang ganti si gondrong ini yang waspada.

"Azraq. Azraq Ibrahim," ujar si gondrong. Ia terdiam sejenak, memandang mata hitam Mba. lalu ia memalingkan wajahnya yang sempat memerah. "Intinya kita yang ada di sini harus saling menghabisi... kurang lebih begitu. Memangnya mbak nggak tahu apa-apa?"

Mba menggelengkan kepalanya tiga kali. "Maaf, Hyvt hanya memberitahuku tentang... siapa itu... si Thurqk yang katanya bisa menghidupkan kembali peserta yang menang."

"Jadi begitu... lalu, apa mbak akan menyerangku sekarang?"

Mba menggeleng dua kali. "Maaf... itu adalah tindakan bodoh. Aku lebih tertarik untuk bertemu dengan suamiku dibanding harus hidup kembali. Lagipula, aku adalah Peace Maker, jadi tugasku adalah mendamaikan pertikaian, bukan membuatnya," ujar Mba lurus.

"Lalu... untuk apa tuan mencari bulu putih?" tanya Mba.

"Oh ini? Di bangunan ini sepertinya terdapat banyak ruangan yang hanya bisa dibuka dengan sayap ini. Warna putih artinya kunci untuk pintu putih."

"Aneh, tadi aku bisa masuk tanpa bulu itu."

"Pintu pertama yang dibuka nggak pakai bulu. Pintu setelahnya harus pakai," tambah Azraq.

"Oh..."

Mba bersyukur karena penjelasan ini. Setidaknya ia tidak akan berjalan mondar-mandir di bangunan ini tanpa petunjuk apapun.

"Bulu ini juga hanya muncul kalau penjaga yang ada di sini bisa dikalahkan."

Mba memandang Azraq. Mengapa dirinya sama sekali tidak menemukan imaji adanya pertempuran. Bila ada respon konflik, maka seharusnya ia dapat langsung teleport untuk menghentikannya. Besar kemungkinan kejadian itu telah terjadi cukup lama.

"Aku baru saja mengalahkannya. Pria mesum itu mencoba merogol celanaku. Dan yah... mbak tahu selanjutnya. Aku membekukannya seperti yang satu ini."

Mba merangkak mendekati si pria mesum. Dengan ragu, ia menyentuh kulit si pria mesum. Sensasi es yang dingin membuat gadis itu menarik kembali tangannya.

"Maaf tuan... bisakah tuan kembalikan ia ke kondisi normal?"

"Tapi dia hampir mencelakai mbak loh."

Mba menggeleng. "Dia hampir mencelakaiku. Tapi dia tidak layak diperlakukan seperti ini."

Azraq menepuk bahu si pria mesum "Tenang saja. Paling 2 jam lagi esnya akan mencair. Dan aku tidak membekukan jantung atau paru-paru mereka," ujar Azraq sembari mengusap bulu sayap itu ke hidung si mesum. Mba dapat melihat hidung si mesum bergerak-gerak pelan.

"Ja-jangan disiksa. Kasihan dia," pinta Mba.

Azraq menjauhkan bulu itu, membuat tubuh beku si mesum bergetar keras. Serpihan es meluncur dari hidungnya. "Tuh, masih hidup kan?" ujar Azraq seraya menyeringai gagap, wajahnya yang masih memerah membuat Mba berkomentar polos.

"Tuan Azraq lucu ya," dan habis sudah merah Azraq merambat sampai ke telinganya.

 "Mbak Irwin juga cantik," balas Azraq yang membuat Mba turut tersipu. "Ah... mbak mau ikut denganku? Dua kepala lebih baik dari satu kepala."

Mba mengangguk dan lantas mengekor di belakang Azraq.  


***


Aha, Ambush adalah hal yang paling sering muncul dalam board ga- berbagai skenario hidup. Kapan peristiwa itu muncul tentu menarik untuk ditunggu. Saat ini saja misalnya, saat Azraq membuka pintu dan berjalan keluar, adalah momen yang cukup menggoda untuk penyergapan.  

Dan memang ada! Sebuah sabetan tonfa datang dari sudut peripheral mata Azraq.

Azraq merespon seadanya. Ia mengangkat bulu sayap putih dan memblok tonfa itu layaknya kipas menahan pedang. Ia terselamatkan karena butiran kristal es sempat membentuk sebuah jaring. Wow! Azraq sampai terdorong  kembali ke dalam ruangan dan es miliknya hancur! Bahkan bulu sayap itu terlontar ke udara. Pastinya pemilik Tonfa ini memiliki tenaga bak gorila... pink? Tunggu... yang menyerang barusan ternyata perempuan!

Ini sungguh menarik. Kaum Amazoness dahulu juga memiliki tenaga yang tidak kalah dengan pria. Oh tapi mungkin lebih tepat disebut kelincahan, sama seperti gadis berjaket venetia pink ini. Tudung jaket itu terbuka mengikuti gerak cepat sang gadis. Matanya dengan cepat mencari titik lemah Azraq yang baru saja limbung. Aha, ini menarik. Apakah gadis ini akan menghabisi Azraq secepat ini?

Oh, jangan pernah lupakan kalau ada kartu Counter Ambush. Kartu yang seringkali dipakai para ahli strategi perang untuk membalikkan situasi. Pertanyaannya, siapa yang akan memilikinya?

"Hentikan!"

Tusukan tonfa gadis itu hanya tinggal berjarak satu lengan. Saat itu pula sebuah telapak tangan menghentikan laju geraknya. Si gadis berjaket pink terkesiap. Tonfa miliknya bergetar dan hampir saja terlempar bila tidak ditahan dengan keras. Telapak tangan itu baginya terasa seperti sebuah berlian.

Pastinya ia kesal. Lihat saja tatapan tajamnya pada sosok yang menghalangi keberhasilannya. Ia berujar "Kau beruntung," pada sosok Azraq yang terjatuh di tanah sementara matanya tetap terpancang pada Mba yang menahan tonfa-nya. Sekilas ia merasa postur Mba sangat aneh. Tangan Mba yang tidak menahan tonfa berada di atas ubun-ubun si gadis berjaket pink. Ia baru mengerti makna postur itu saat Azraq berujar

"Nona yang beruntung."

Telapak tangan Mba yang lain ternyata melindungi si gadis berjaket pink dari tajamnya siraman balok es dari bulu sayap putih.

"Pengendali air juga," ujar si gadis berjaket pink, melontarkan senyum tak suka. Wajahnya yang cantik memiliki roman beku yang misterius. Menawan sekaligus mematikan. 

"Maaf... bisakah kita-" belum selesai ucapan Mba, si gadis sudah kembali bergerak. Kali ini jauh lebih cepat.

Aha, tapi Azraq sudah waspada. Ia menyentuhkan tangannya ke lantai dan membentuk sebuah genangan es. Dengan bantuan es itu, ia mendorong dirinya menjauh dan bahkan membuat tanjakan tinggi ke udara. Azraq mendarat di kasur dengan santainya.

Kali ini ganti Azraq yang bertindak. Ooh, ia mengambil botol wewangian dan menyiramkannya ke selimut. Lulu yang kembali menerjang pastilah tidak mengerti maksud tindakan tersebut. Tapi intuisinya seakan berkata bahaya! Ia mengerem tepat dua langkah sebelum sampai di hadapan Azraq.

Aha, siapa yang menyangka serbuan balok es tajam yang tipis datang dari selimut. Si gondrong satu ini rupanya menggunakan serat kain sebagai jejaring untuk menembakkan es yang lebih tipis dalam mode tersebar. Oh, belum lagi serat kain yang robek juga jadi peluru terselubung.

Lingkup jangkauan tembakan es itu terlalu luas untuk dihindari, jadi mau tidak mau si gadis berjaket pink ini nekat menyilangkan pertahanan dan merunduk untuk memperkecil ruang perlukaan.

Hening.

Si gadis berjaket pink sama sekali tidak merasakan apapun. Ia hanya mencium wewangian yang tersebar di udara. Sudah hanya itu saja.

"Maaf... kumohon kalian berdua menghentikan pertempuran kalian."

Lagi-lagi si gadis berjaket pink mendapati Mba merintangi mereka. Dan lagi, gadis berambut pelangi itu berdiri dengan tangan terbuka. Satu dua bunga es bersemi di baju hitamnya. Menarik. Tanah hitam konon memiliki humus terbanyak.

"Sorry... si mbak pink itu yang nyerang duluan," ujar Azraq. "Aku hanya ingin bekuin dia saja kok."

"Maaf... tuan Azraq jangan bohong. Serat kain yang beku ini juga bisa membunuh orang," ujar Mba seraya mengambil sebuah serat seprei dari bajunya (yang ternyata tidak ikut hancur). Dua orang yang melihat ini sudah pasti hanya bisa tergagap saja. Mana ada yang menerima serangan begitu rupa dan masih segar bugar.

"Apa mbak Irwin itu Superman... eh Superwoman? Bisa kebal begitu..." tanya Azraq. Si gadis berjaket pink juga terdiam dan memandang tajam pada Mba.

"Maaf... kurang lebih begitu," ujar Mba seraya membungkukkan badan (berlagak paham). "Kumohon... kalian berdua berdamai. Bertarung dan bertengkar itu tidak baik. Apalagi sudah main fisik," tambahnya seraya bersujud di tanah secara perlahan. "...Kumohon."

"Aduh mbak, bangun dong. Jadi nggak enak hati melihatnya," ujar Azraq.

"Kau menghancurkan moodku," ujar si gadis berjaket pink. Ia memutar tonfanya dan berbalik badan.  

"Maaf nona... maukah-"

Yang dipanggil sama sekali mengabaikan panggilan dan sudah keluar pintu.

"Apa mbak Irwin ingin mengajak dia?" terka Azraq.

Mba mengangguk tiga kali. "Serius?" tanya Azraq lagi.

Mba mengangguk dua kali. "Maaf... tiga kepala lebih baik dari dua kepala bukan? Atau tuan Azraq tidak suka bersama dengannya?"

Azraq tidak ingin menjawab. Terlihat jelas sekali dari mimiknya. Tapi apalah daya, saat memandang mata Mba, energi berdebatnya terasa tersedot begitu saja. Terbaik yang bisa ia lakukan hanya mengulang "Serius?"

Mba mengangguk sekali. Yakin. Dan jadilah mereka keluar berdua mengejar si gadis berbaju pink.


***


Lulu Lavatia Magnara del' Chronoss. Nama yang sulit diingat. Beruntunglah Mba dan Azraq bahwa gadis jutek itu mau saja dipanggil Lulu.

Lulu berjalan di hadapan Mba dan Azraq. Tangannya dimasukkan ke dalam saku. Hanya suara langkah kaki yang terdengar darinya. Sudah 10 menit berlalu dan tidak ada percakapan di antara tiga orang ini, yah kecuali untuk Azraq dan Mba.

"Jadi, tuan Azraq seharusnya sudah menikah dengan pasangan tuan... maaf bila aku mengungkit masa lalu yang sedih."

"Ng-nggak apa-apa, mbak. Aku justru harus bersyukur karena bisa dapat kesempatan kedua."

"Dan harus saling bunuh karenanya?" sela Lulu.

Nah, kalimat ini yang penting. Memang seharusnya pertarungan dimulai dari sini bukan? Ah, sayang tidak terjadi apa-apa. Mba dan Azraq justru saling membuang muka dan mengalihkan pembicaraan.

"Ti-tidak ada pintu putih,"

"Sabar saja, nanti juga ketemu mbak."

"Kalian ini munafik sekali," komentar Lulu yang perlahan melambatkan langkahnya. Dalam hitungan detik ia sudah sejajar dengan Mba. Selagi percakapan masih berlangsung, Lulu mengucapkan sesuatu.

"Maaf... Apa?" tanya Mba mendekatkan telinganya.

"Kebelet," ujar Lulu datar – dengan volume lebih keras.

"Ma-maaf... kalau aku tidak sop-"

Ucapan maaf dari Mba disela dengan melenggang santainya Lulu ke pojokan tiang. Azraq ingin menengok. Baru leher itu bergerak 45 derajat, Mba sudah membelokkannya kembali ke posisinya semula. Azraq pun dibuat melenguh pendek -kesakitan.

"Jangan lihat!" Tangan Mba pun menutupi mata Azraq. Tapi yang namanya panca indra akan menguat apabila satu dilumpuhkan. Azraq semakin jengah mendengar suara kucuran air di belakangnya. Pun, bau amis yang menyapa hidungnya semakin meliarkan imajinasi. Bau amis-asam itu bercampur dengan sensasi harum bercampur keringat dari jemari gadis yang menutup matanya. Makin jadilah angan-angan itu berbuah sensual. Oh, tahan dirilah Azraq, memiliki momen bersama dua gadis cantik dapat meratakan logika. Aduh, Ia mengarahkan tangannya ke lokasi rawan pria. Berpura-pura hendak membetulkan celana yang tidak ketat. Gerah.

"Aaah..." erangan dari Lulu membuat Azraq tersentak. Suara itu terdengar manis. Berdeguklah ia dibuatnya.

Mba pun ganti menutup kuping Azraq. Gadis ini juga merasa sedikit sensasi aneh, mendekati geli, saat mendengar Lulu buang hajat. Bahkan ia merasa pipinya mulai panas. Dirinya pun heran. Padahal seharusnya perilaku itu biasa-biasa saja. Sekarang ia berharap Lulu mempercepat aktivitasnya.

"Selesai," Ujar Lulu yang melewati Mba. Mba bernapas lega karena bisa melepas tangannya dari kuping Azraq. Hanya saja ia dikejutkan oleh tindakan Lulu yang memeperkan tangannya ke baju Azraq.

"Buat kenang-kenangan," ujar Lulu, datar, tapi memiliki seringai menggoda yang misterius –antara provokasi bertarung atau tertawa meremehkan.

"Jorok!" ujar Azraq sembari membuat bunga es di bajunya. Ia menepis-nepis jijik bunga es berwarna kuning itu dari bajunya.

Lulu tidak peduli dan terus melangkah memeriksa pintu satu persatu.

"Tidakkah kalian menyadari ada yang aneh dari bangunan ini?" ujarnya.

Mba dan Azraq menggeleng. "Dari awal sih memang aneh. Dinding di lorong besar itu saja misalnya. Walau tingginya cuma segitu tapi nggak bisa diloncatin. Harus pakai bulu sayap," jawab Azraq.

"Bukan itu, gondrong. Hawa di tempat ini maksudku."

"Hawa?"

"Kalau kau bisa mengendalikan air seharusnya kau tahu partikel air yang dibawa di tempat ini berbeda. Ada unsur yang perlahan-lahan membuat..." Lulu terdiam dan menggigit bibirnya.

"Membuat?" tanya Azraq, berharap Lulu melanjutkan.

"Kalian akan tahu dengan sendirinya."

Mungkin tidak ada yang menyadari bahwa panas di tubuh Lulu meningkat. Pun tidak ada yang menyadari bahwa memang perangkap telah disediakan semenjak awal.


***


Topik selanjutnya adalah encounter. Sedikit berbeda dengan Ambush... tidak juga sih. Ambush seharusnya menjadi bagian dari encounter. Di kebanyakan board ga- kehidupan, encounter menjadi dianggap menjadi bagian dari skenario takdir. Dan takdir selalu tak terduga, seperti saat ini.

"Apa itu di depan sana? Roda?" tanya Mba, memicingkan mata memerhatikan objek hitam yang mendekati mereka.

"Oh tidak..."

"Aku mencium bahaya," ujar Lulu seraya menarik ton-fa-nya.

"Bola?" Mba makin bertanya. Ia melirik Azraq yang mengeluarkan hawa dingin. Es-es tipis bermunculan di sekitarnya.  

"Maaf... kalau boleh tanya..."

Pertanyaan Mba terjawab dengan makin jelasnya objek yang mendekati mereka. Bola hitam. Ukurannya kira-kira sebesar tiga kali tubuh manusia. Sepasang tangan yang terbuat dari kayu menempel di dinding kiri dan kanan, membuat jalur bola tersebut tetap berada di tengah.

Semakin dekat, Mba semakin dapat melihat adanya wajah di tengah bola –yang anehnya tidak ikut berotasi. "Ada wajah... anak-anak?" wajah itu memiliki dua bagian rambut yang tersisir rapi, hidung mancung dan kulit sawo matang. Wajah itu tersenyum lebar, seperti tidak pernah terkena masalah –padahal jelas ia membawa masalah.  

 "Itu Manggale," ujar Azraq. Ia terdiam sebentar lalu melanjutkan "Setelah berubah..." Azraq menderitkan gigi. "Ia menyelamatkanku dan menjadi korban godaan perempuan di sini," es yang berada di sekitar Azraq menebal dan membentuk tombak-tombak yang tajam.

Bola tersebut berhenti, kira-kira sepuluh langkah dari mereka. Sesekali bola itu bergoyang seolah ragu untuk maju –atau mungkin mengawasi. Tidak ada yang bergerak. Kedua kubu ini saling mengamati.

Warna hitam bola tersebut memutih dan mulai tembus pandang. Di dalamnya mereka melihat sosok pemuda yang sedang bergumul melingkar dengan seorang gadis bersayap. Mereka terus berputar perlahan layaknya masuk mesin cuci. Mungkin itulah yang disebut pemurnian dosa... atau justru dimurnikan oleh dosa. Satu yang pasti, citra ini cukup meyakinkan mereka (terutama Mba) akan adanya bahaya dari godaan nafsu.

"Benda ini kuat," ujar Azraq.

"Dan kau lari karenanya, benar?" tanya Lulu.

Azraq mengangguk dengan enggan. "Aku pun begitu," jawab Lulu tiba-tiba.

Azraq yang mendengarnya tidak percaya. Ia ingin bertanya lebih lanjut tapi majunya bola itu membuat mereka berhenti bercakap. 

Azraq melemparkan tombak esnya. Delapan buah. Semuanya menyasar target secara acak.

Tapi bola itu mendadak melejit ke atas menggunakan tumpuan tangannya. Di udara, bola itu memuntir deras sebelum meluncur turun dengan cepat.

Tiga kawanan itu menghindar sejauh-jauhnya.  Keputusan yang tepat. Lantai putih yang terhujam langsung retak akibat jatuhnya bola tersebut. 

"Jelas bukan bola karet," komentar Lulu.

Lulu yang pertama kali siap menyerang. Tonfa di tangannya siap menusuk bola tersebut. Di saat itulah, Mba menghalangi.

"Maaf... bisakah kita lari saja?"

Lulu mendorong Mba dengan keras seraya berteriak "Jangan gila!". Ia pun menyentak tanah, menerjang cepat dengan menyusur tanah.

Tangan si bola bernama Manggale menusuk cepat menyongsong datangnya Lulu. Lambat. Lulu dengan cepat menghindar ke samping. Tak hanya itu, Tonfanya digesekkan ke tangan Manggale jejadian.

Percikan kayu terlempar dari gesekan bilah tajam Tonfa dengan tangan dari bola tersebut. Tanpa ampun, gadis itu mengoyak tangan si bola, membuatnya hampir putus. Baginya itu belum selesai. Lihat bagaimana tatapan matanya mengincar inti bola layaknya pemburu.

Kayu. cukup aneh membayangkan bola seperti itu hanya memiliki tangan kayu. Tapi yang namanya kejutan tidak selalu datang dari percikan saja, lihat tangan lain dari si bola.

Lulu terlalu fokus menerjang, ia tidak sadar adanya serangan yang datang dari sudut peripheral-nya. Di saat itulah sebuah tombak es tajam menusuk tangan si bola. Lulu melirik dan mendapati Azraq yang sedang membuat tombak-tombak es tajam  untuk memukul mundur tangan si bola.

"Seharusnya kalau nyerang kasih kode dong."

Mba yang melihat ini hanya bisa cemas. Entah berapa kali gambaran untuk mencegah pertempuran berkelebat di kepalanya. Tapi roman ragunya menjelaskan segala alibi. Lagipula, dalam hatinya berdesir hasrat kecil agar si bola dikalahkan. Dan ia tahu, ini bukan sesuatu yang seharusnya dirindukan Peace Maker.


***


Tonfa Lulu sebentar lagi mendarat di wajah 'menyebalkan' dari Manggale. Tapi kesenangan tersebut tiba-tiba terhapus oleh diam-mengapungnya Lulu di udara.

Lulu menggeram. Berapa kali ia mencoba mengerahkan tenaganya untuk mendorong tapi tetap saja tidak bisa menggerakkan Tonfa yang tinggal sejengkal. Ia menoleh kesal pada Mba. Sayang sekali, ia sendiri membelalakkan mata melihat Lulu tergantung di udara seperti itu bahkan sampai menggelengkan kepalanya tiga kali.

"Itu Telekinesis Manggale!" teriak Azraq. Ia berusaha memeringatkan Lulu tapi yang ada justru membuat gadis itu menengok padanya –meminta penjelasan.  Lulu tidak menyadari (lagi), munculnya tangan ke tiga dari tengah bola –begitupun Azraq. Tangan itu dalam sekejap bergerak hendak menikam Lulu.

Dan kali ini Mba datang. Ia muncul begitu saja di antara Lulu dan si bola. Tusukan itu tepat menghantam perut Mba. Tangan yang menusuk tergetar hebat dan rontok. Mulai dari jari dan terus meletup sampai ujung lengan. Mba pun terlempar tiga langkah karenanya, mendesak Lulu untuk mundur bersama.  

Tangan ke empat terbentuk dan terangkat ke udara. Jelas sekali hendak meremukkan Mba dan Lulu bersamaan.

"Bodoh!" erang Lulu seraya mencoba menggeser Mba yang menindihnya. Kali ini Azraq yang berusaha menyelamatkan mereka. Ia membuat sebuah seluncuran salju dan menerjang ke arah kedua gadis tersebut. Giginya bergemeretak, berusaha memercepat gerakannya.

Azraq telat.

Tangan itu terlanjur menghantam tanah. Deru dan debu menghalangi pandangannya. Siapa pula yang dapat selamat dari hantaman sekeras itu. Roman ketidakpercayaan berganti menjadi  nafsu angkara saat ia berteriak "KURANG AJAR!!". Bilah es yang berada di sekitarnya memadat dan mengeras, makin tajam bagai berlian. Mungkin bagi Azraq sekarang karbon dan air hanya berbeda tipis.

Belum ada ia melempar es tersebut, tangan ke empat tersebut retak. Retaknya terus mengalir sampai ke ujung bola. Perlahan tangan tersebut tercacak hancur. Percikan kayu terlempar ke seluruh penjuru. Mengerikan.

Dan dalang dari ini tak lain adalah Mba Irwin yang berdiri merintangi serangan barusan. Napasnya tersenggal.

"Bodoh!" erang Lulu lagi. Untuk pertama kalinya Mba mengerutkan kening. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa ingin memercepat pertarungan ini. Bukan demi perdamaian tapi demi sesuatu yang terus bergolak dalam perutnya. 


***


Akan terasa menyebalkan apabila sebuah film tidak memberitahukan sebuah kejadian penting dan hanya closure saja. Misalnya seperti saat ini, bola hitam itu sudah hancur, berkeping-keping. Beberapa serpihan es bertebaran di sekeliling bola. Beberapa patahan kayu terselip di jaket pink Lulu. Gadis itu hanya menatap lantai yang terkotori onggokan daging dan tulang. Azraq meringis ngilu dan membekukan organ tersebut. Setidaknya lebih baik daripada membiarkan udara tercemar oleh tajamnya bau hasil olah pencernaan.

Mba? Dia berdiri di antara serpihan si bola sembari memandang langit biru. Napasnya terdengar panjang-pendek seolah merintih. Wajahnya memerah sampai ke telinga. Bulir keringat mengucur deras, membasahi beberapa bagian rambut pelangi yang menjulur ke dadanya.

 "BODOH!" Teriak Lulu. Azraq sampai dibuat terjengkit kaget. "Mengapa dari tadi kau menerima serangan dia langsung?"

Mba tidak menjawab dan terus mengambil napas panjang pendek. Entah apakah ia mendengar teriakan barusan atau tidak.

"Mbak?" tanya Azraq. Ia menyentuh pundak gadis itu. Detik itu juga Mba menjerit keras, tangannya bergerak menutup dada dan ia jatuh mendemprok di tanah. Ia menggigit bibirnya dan berkali-kali meracau sebuah nama.

"Anta... Anta..."

"...Apa yang?" tanya Azraq. Ia melempar pandangan bertanya pada Lulu. Gadis itu berdecak kesal

"Inilah rahasia dari tempat ini."

"Maksud mbak Lulu?"

"Matamu lamur? Mereka yang tergoda di sini akan menjadi bola keparat! Dan serangan bola itu menyalurkan hawa nafsu. Hawa yang menjijikkan! Siapapun yang terkena serangannya secara langsung akan merasakan... " Gadis itu terdiam dan menggigit bibirnya. Ia menoleh pada Mba yang merintih di tanah. Jemari gadis berrambut pelangi itu sedang bergerilya untuk memadamkan panas di tubuh. Alih-alih yang ada justru erangan dan makin memanas, persis seperti gatal yang digaruk.

"Dari mana kau tahu?"

Cukup sudah. Lulu mengambil bulu sayap biru dan melangkah pergi meninggalkan mereka. Sekarang hanya tersisa Azraq dan Mba saja.

"Lulu... gadis itu sudah lebih dahulu terkena serangan bola..." rintih Mba tiba-tiba. "Maaf... seharusnya aku menyadari tindakan gadis itu. Dia menahan agar dirinya tidak kalah oleh nafsu..." pungkas Mba.

"Jadi... sedari tadi dia horny?"

Mba mengangguk seadanya, berlagak mengerti istilah barusan.


***


Debuff, adalah istilah populer dunia game yang menyatakan adanya status buruk yang menurunkan parameter. Dalam dunia nyata pun, hal tersebut juga banyak terjadi. Sakit, terluka atau keracunan menjadi bagian dari debuff.  Untuk kasus saat ini, Mba yang habis terkena serangan 'nafsu' bisa dikatakan terkena debuff. Beruntunglah bahwa debuff memiliki durasi tertentu dan akan hilang dengan sendirinya.

Mba mulai bisa mengontrol dirinya. Ia berjalan menunduk dan meminta agar Azraq berjalan agak jauh darinya. Azraq menyadari kondisi Mba... karena ia turut merasakannya. Darahnya berdesir cepat setelah pertarungan barusan, beberapa bahkan mengalir ke tempat yang membuat Azraq kikuk untuk berjalan tegak –apalagi bersebelahan dengan seorang gadis. Dan untuk saat ini, ia butuh pengalih perhatian. Beruntung ia mendapatkannya dengan cepat.

"Mbak! Ada pintu biru itu terbuka!"

Mba mengangkat wajahnya. Sebuah pintu biru terbuka tak jauh dari lokasi mereka. Sebuah informasi yang mengkhawatirkan masuk ke otak Mba dan Azraq. Mereka melihat genangan darah mengalir dari balik pintu. Kompak mereka berdua bergegas.

Mereka melihat seorang gadis dengan busana sehelai sutra tengah terbaring di lantai. Rambut hitamnya luruh menutup mata sampai ke hidung. Darah mengalir dari mata dan pipi gadis itu. Bibirnya megap-megap mengambil napas. Sebuah luka panjang melintang diagonal dari perut kanan ke dada kiri. Jelas sebuah luka yang fatal.

"Astaga!" Mba yang panik langsung mencoba menutup luka itu dengan tangannya. Sementara Azraq dengan segera mengaktifkan es, ia hendak membekukan lubang luka yang menganga –sembari membuang mukanya yang memerah.

"JANGAN COBA-COBA!" teriakan keras barusan membuat keduanya berhenti. Keduanya menengok ke sumber suara.  Di pojok ruangan, mereka mendapati sosok Lulu yang tengah menungkupkan wajah di balik lututnya.

"Nona Lulu..."

"Jangan coba-coba disembuhkan. Makhluk kurang ajar itu..." Lulu menggigit bibirnya untuk menghentikan kalimat yang hendak meluncur. Hanya kakinya yang berlapis sepatu bot hitam saja yang terus gelisah mencakar-cakar lantai.

"Ini... jebakan dari taman ini?" tanya Azraq.

Lulu tidak menjawab. Diam berarti iya. Sudah cukuplah itu bagi Azraq. Di lain sisi, Mba justru menempelkan kain sutra milik sang korban di atas luka, berusaha menutup sekadarnya. Sang korban merintih mengucapkan "Lulu Lavatia... Magnara del' Chronoss," seraya menarik senyum.

Di saat itulah Lulu meloncat cepat dan memotong leher sang gadis. Mba kecolongan. Ia mendapati darah gadis itu muncrat membasahi wajahnya. Senyum sang gadis itu pun menghilang karena Lulu tidak hanya berhenti pada leher. Seluruh wajah sang gadis dicacak sampai tak dapat dikenali.

"Dia Jahanam!" seru Lulu. Ia ganti menusuk tubuh korban berkali-kali. Giginya berderit keras, berusaha menahan statuta dirinya yang tumpah.

Mba terisak mendapati adegan ini. Berulang kali ia mencengkram dada kirinya sembari berusaha mengambil napas yang satu dua. Perutnya hampir bergejolak. Sensasi mual tersebut mampu ditahannya agar tidak keluar lebih dari kerongkongan.

Azraq sendiri tidak tahu harus berkata apa.  

Setelah lima menit barulah Lulu puas. Ia menyeka keringatnya dan terus menatap kesal pada 'karya seni'-nya. Azraq pun memberi rasa iba. Ia hanya mengerti tapi tak paham kekesalan Lulu.

Mba berdiri dan berjalan menuju ranjang dan mengambil selimut. Dengan satu tarikan napas, selimut itu disampirkan untuk menutupi tubuh korban. Dan sebelum Lulu atau Azraq bertanya, Mba lebih dahulu menjelaskan "Maaf... bagaimanapun yang jahat tetap layak mendapat pertolongan. Setidaknya sekedar penguburan yang layak."

Lulu terdiam dan menggigit bibirnya. Kesal. Semua rona misterius yang menguar dari gadis ini seolah lenyap tergantikan getir lagi pedih yang hendak meloncat dari bibir.

"Nona Lulu... bisakah ceritakan apa yang terjadi?"

Lulu menggeleng sekali. Napasnya naik turun dengan deras. Air matanya terlihat hendak mengalir. Ia berkali-kali meremas gaun hitam di balik jaket pinknya. Bila diperhatikan, kancing jaket itu telah rusak. Sebuah rona merah terselip di dekat tulang selangka. Mba Irwin membisu mendapati kondisi Lulu. Sedikit banyak ia tahu apa yang terjadi.

"Bulu putih! Ada yang punya bulu putih?!"

Azraq mengeluarkan bulu tersebut dari sakunya. Lulu menyambar benda itu dengan cepat dan berlari ke sudut ruangan. Ia menempelkan bulu putih tersebut ke tengah pintu. Voila, pintu putih terbuka begitu saja.

Tanpa berterimakasih, Lulu melesat keluar dan membanting pintu dengan keras. Aaah, dengan ini satu bagian telah selesai dilewati. Mungkin ada baiknya bila mereka sempat menyisip teh sebentar sebelum harus merasakan... sesuatu yang exquisite. Sayang, tidak ada kemewahan seperti itu di board ga- Battle of Realms ronde dua ini.


***


Memang yang namanya kedamaian baru ada setelah perang. Setelah berbagai debuff dan peristiwa bunuh membunuh dibalik godaan nafsu barusan, semua kelelahan dan sakit atau apapun lenyap. Anggap saja sebagai bonus kenaikan level. Tapi bohong. Yang namanya naik level pastilah mendapat tantangan lebih. Jadi kondisi buruk apapun bisa dianggap sebagai tantangan, bukan?

Mba dan Azraq keluar dari ruangan setelah mereka membungkus dan membekukan mayat korban. Coba tebak, kondisi mereka masih sama. Tegangan dan panas tubuh yang haus mencari pelampiasan surgawi *ehem* masih bercokol. Lebih bahkan. 

Mba dan Azraq dipaksa bertahan dengan kondisi yang makin memanas. Satu pandangan mata yang bertemu saja dapat membuat kerongkongan berdeguk.

Dan sial bagi mereka, lokasi di balik pintu memiliki hawa yang panas. Keduanya hampir secara bersamaan menghela napas panjang. Jangan mengeluh, yang namanya tantangan pasti meningkat. Menyadari bahwa perjalanan tidak akan lebih mudah, keduanya hanya bisa meringis.

Es yang diciptakan Azraq sama sekali tidak bisa mengusir panas. Sensasi ini seolah datang langsung dari dalam tubuh dan berpusat di bawah pusar.

Dan yang membuat Mba dan Azraq heran. Lulu ternyata menunggu mereka tak jauh dari pintu. Gadis itu menyender ke dinding dan menatap lantai.

"Nona Lulu... nona menunggu kami?" tanya Mba mempercepat langkahnya.

Lulu tidak menjawab dan hanya melengos. Azraq dan Mba mengejar langkah gadis itu. Mereka menyusuri lorong kedua tanpa banyak cakap. Kepala dan hati mereka semakin diisi oleh ragam imajinasi yang harus dibuang dengan cepat. Dan Mba menemukan cara yang tepat.

"Maaf nona Lulu... bisakah nona ceritakan apa yang terjadi pada teman nona yang lain?" bujuk-tanya Mba. Percakapan setidaknya bisa membantu mengusir apapun yang bercokol di otak. Dan Mba cukup tahu lebih baik tidak mengungkit kejadian sebelum ini.

"Teman?" tanya Lulu balik.

"Maaf... maksudku... katanya tadi nona lari saat bertemu dengan si bola..."

"Yang mana?"

Azraq melanjutkan "Mbak Lulu tadi bilang menemukan bola yang sama. Bola yang tadinya seseorang yang mengikuti turnamen ini."

"Mereka..." Lulu memelankan suaranya. "Mereka berdua terjebak dalam kubangan nafsu bersama bidadari pulau ini."

"Maaf... siapa saja?" tanya Mba.

"Enzeru dan Lazuardi," jawab Lulu.

"Lalu apa yang terjadi dengan mereka?" tanya Azraq.

"Mereka mati sebelum transformasi selesai," jawab Lulu.

"Maaf... maksudnya?"

"Simpel saja. Entitasnya dihancurkan sebelum benar-benar utuh dan bisa mengambil kemampuan."

Dan jawaban itu menjadi penutup percakapan. Azraq mengerutkan keningnya. Jari telunjuknya berkali-kali mengusap dagu. Matanya tak lepas dari gadis berjaket pink itu.

"Mbak Lulu-"

"Kalian tidak merasa aneh di sini?" sergah Lulu.

Lulu menunjuk sekelilingnya. "Lihat, tidak ada pintu sama sekali di sini. Kita sedari tadi hanya berjalan melewati lorong saja."

"Oh... iya nona Lulu benar," ujar Mba. "...Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya. Logikanya mulai susah diajak kerjasama. Sebisa mungkin ia pasti ingin keluar.

"Mencari lebih dalam tentunya. Berharaplah ada petunjuk lebih baik."

"Aku tidak setuju. Kita tidak seharusnya masuk lebih dalam."

Ini pertama kalinya Azraq menentang pendapat. Biasanya dia hanya menjadi karakter support yang terima-terima saja. "Lihat, kita bisa saja mencoba untuk melompati dinding ini. Tidak ada pintu berarti kemungkinan bisa dilompati bukan?"

Lulu menggeleng "Aku sudah mencoba dan tidak bisa."

Azraq meringis mendengarnya. Ia mencoba memutar otak, mencari jalur lain yang bisa dipikirkannya.

"Dan kau merasa bisa tahan lama-lama di sini? Dengan ular yang semakin tegak?" seloroh Lulu.

Azraq mengerenyitkan alis. "Maksud mbak Lulu?"

Lulu menunjuk selangkangan Azraq. "Kalau kau bisa menahan diri sih bagus. Tapi semakin lama, keberadaanmu bisa membahayakan kami kalau tidak cepat-cepat. Siapa yang bisa menduga kapan kau akan menjadi serigala," ia kemudian menyeringai "Tapi yah... kalau kau memang ingin sendirian di sini tidak apa-apa. Setidaknya ularmu bisa ditenangkan dengan siulan dan khayalan," Lulu berhenti sebentar, tertawa kecil lalu melanjutkan "Atau mungkin pakai tangan?"

Azraq memandang Lulu lalu berpindah pada Mba. Oho, ia dihadapkan pada posisi yang sulit. Keningnya berkerut tajam, membuat tampangnya jadi lebih tua berkali lipat. Cara yang efektif untuk membuat darah naik ke kepala dan membuat sebuah keputusan.

"AGH! Ya sudah, aku ikut kalian saja."

Ya, pilihan yang bagus Azraq. Dengan ini, kartu Jebakan siap untuk diaktifkan. Jangan lupa bahwa sesuatu yang sudah dipilih tidak bisa dikembalikan. Waktu tidak pernah mengizinkan save state untuk eksperimen. Ini kehidupan. Dan kehidupan selalu multifaset.


***


Era game modern hampir memutus batasan gender. Saksikanlah betapa banyaknya karakter wanita berperang dalam banyak board ga- kehidupan. Sejarah mencatat bahwa banyak pejuang wanita yang namanya tenggelam karena prinsip patriarki. Dan setelah batasan gender mulai dibenamkan. Fitur temptation atau godaan antar lawan jenis menjadi isu yang cukup hangat... begitupun juga dengan histeria sesama jenis.

Dalam pretense yang sama, bolehlah disebut bahwa tim berisi Lulu, Mba dan Azraq menjadi bagian dari kesetaraan tersebut. Petualangan mereka di lapis ke dua taman ini membubuhkan kesadaran: bahwa ketertarikan dapat muncul seiring perjalanan... (baik dipaksa ataupun tidak).

Semakin mereka melangkah ke dalam, semakin merasa panaslah tubuh mereka. Lulu yang biasanya cuek pun mulai menarik kerah jaketnya dan mengibas-ibaskan angin ke sekitar wilayah dada. Keringatnya mulai turun sebutir, membuat rona merah wajahnya senada dengan jaket pink-nya. Demi tuhan! Terimakasih pada Thurqk yang telah membuat gadis ini jadi sangat menawan –lagi berbahaya.

Mba pun juga tidak jauh berbeda. Entah beberapa kali ia mulai gemetar. Wajahnya turut memerah. Beberapa kali ia berjalan agak tersendat

"Mau pipis?" tanya Lulu.

Mba menggeleng tiga kali.

"Aku mencium bau basah," ujar Lulu seraya menatap tajam pada Mba.

Mba menggeleng makin keras.

"Lantas?"

Mba tidak menjawab. Langkahnya mulai limbung dan perlahan tapi pasti semakin mendekati Azraq. sesekali mata hitam itu melirik Azraq. Dan setelahnya, ia tersenyum tipis lalu bergeser mendekat.

Azraq di lain sisi juga melirik Mba. Saat ia beradu pandang, sebuah nama meluncur begitu saja "Nisa...". Oho, nama gadis lain. Tapi Azraq menggelengkan kepalanya. Logika masih tersangkut di kepala pria ini.

Oow, ada yang aneh di sini.

Mba menggigit bibir, sesekali membasahinya. Bibir merah itu berkilau menggoda. Belum lagi mata Mba semakin berkaca-kaca. Kerongkongannya semakin memanas dan terus memaksa ludah untuk membasahi.

Ia mencengkram pundak Azraq. "Anta..." ujarnya seraya mendorong pria itu hingga rebah di tanah.

"Nisa..." balas Azraq –membiarkan Mba rebah di dadanya. Tangannya perlahan mengusap rambut pelangi itu. Syahdu namun dipenuhi dengan kerinduan. Ia pun membenamkan wajahnya di ubun-ubun Mba. napasnya naik turun dan perlahan makin teratur walau debar jantungnya meningkat tajam, begitupun panas badannya. Oh, entahlah apa yang ada di benak dua manusia dewasa ini. Satu yang pasti, Lulu hanya diam memandang saja dengan senyum tipis lagi menggoda.

Azraq terkesiap. Ia mendorong pundak Mba.

"Tunggu Nisa... kita belum muhrim... kita belum menikah."

Mba membalas dengan sebuah senyuman.

"Maaf Anta... tapi kita sudah menikah... hanya belum..." dan gadis itu tersenyum lembut. Tindakannya mengganti kata-kata. Jemari putihnya merayap di dada Azraq. Napas gadis itu semakin memberat.

Jangan kira Azraq pertapa suci. Saat ini kontrol dirinya hampir putus saat melihat rona wajah gadis itu memerah. Konon bila wanita menggoda, maka hanya prialah yang mampu menghentikan diri. Tapi apalah daya bila darah sudah mengalir terbalik.

Mba pun menyadari terbaliknya aliran darah itu. Ia menengok dan menundukkan wajahnya.

"Nakal... Anta nakal," ujarnya dengan lirih. Mata gadis itu semakin basah, mengaburkan segala logika dan berserah diri pada naluri hewani. Begitupun dengan Azraq. Ia mengambil tangan Mba. Jakunnya berdeguk. Dua pasang mata sudah saling memberi pesan. Hanya butuh tiga hirupan napas sebelum wajah saling menempel. Satu, dua...

"Matilah!"

Bersamaan dengan itu sebuah tusukan bilah Tonfa mendarat di kepala Mba.

Pelakunya, Lulu, menyeringai. Sial baginya, serangan tersebut tidak berdampak apapun pada si rambut pelangi. Merasa kurang, ia menjambak rambut Mba dan menegakkannya. Tapi tidak ada rintih sakit dari Mba. Satu dua tusukan kembali dilancarkan tak juga mengubah apapun.

Mba menengok, wajahnya memerah, bulir air mata menetes dengan bibir yang bergerak tipis. "Mengapa..."

Panik, Lulu menusukkan tonfa itu berkali-kali ke wajah. Tapi yang didapatinya adalah tonfa yang patah. Ia pun mengambil sebilah belati. Sayang sebelum ia sempat menusukkanya, Mba terlebih dahulu mencengkram tangan gadis itu.

"...Nona Lulu..."

Wajah Lulu dan Mba hanya berjarak sejengkal. Dan entah bagaimana, Lulu melihat sosok Mba jauh lebih besar darinya. Lebih kuat dan... menakutkan. Desir hangat napasnya yang menyentuh pipi membuat Lulu mengerang tertahan.

"...Anta..." desis Mba, halus, seraya mendekatkan bibirnya pada wajah Lulu.

Dan Lulu merasakan sensasi basah mengalir di lehernya. Ia menjerit tertahan saat kulitnya tertarik dan tergigit. Nyeri yang terpasung dan membekas pun justru membuat sekujur tubuhnya teraliri listrik. Panas tubuhnya meningkat tajam hanya karena sensasi rasa di satu tempat. Tenaganya pun lenyap, jangan harap ia mampu menggeser kepala yang menempel di bahunya saat ini.

Kepala Mba turun ke bawah. Memar yang masih memerah di selangka Lulu menjadi targetnya. Luka yang belum sembuh memberi rasa sakit yang memanas. Konon sakit dan nikmat hanya dipisahkan oleh selembar saraf. Lenguh Lulu yang menggema terdengar manis. Tapi tentu saja perpindahan itu membutuhkan energi yang luar biasa. Dengan rupa lelah, ia menengok pada Azraq, mengharapkan rupa bantuan.

Tapi yang ada Azraq justru asyik membelalak. Komando otak dan tubuhnya jelas bersebrangan. Lihat saja bagaimana ia gelisah berkali-kali memperbaiki posisi celananya. Aha, jangan segan-segan, buka saja bila memang panas. Toh tidak ada saksi mata lagi. Lagipula tontonan mata ini tentu dapat menyegarkan dahaga bukan? Bebaskan saja diri-

"AWAS!!"

Tiba-tiba Azraq berteriak. Keping es-nya berkelebat tajam dan menusuk punggung Mba. Terkesiaplah Mba mendapati tindak 'jahat'nya pada Lulu "Ma-maaf nona Lulu..."

"Mbak! Menyingkir! Dia akan memakanmu!"

Mba menengok dan mendapati sebuah selubung biru tembus pandang hendak menerkamnya. Pucatlah gadis itu, kakinya lantas kaku mengejang.

Azraq menarik kerah punggung Mba. Sayangnya ia kurang cepat, rambut Mba terlilit oleh selubung tersebut.

Tarik menarik pun terjadi. Mba pun berusaha keras menjauh dari Lulu tapi apalah daya, dorongannya tidak mampu menggeser gadis itu sejengkal pun.

"Dasar Jejadian!" maki Azraq. Ia pun menyemburkan hawa dingin pada mata 'Lulu'. Gadis berjaket pink itu pun mengaduh, jelas bukan karena menikmatinya. Selubung tembus pandang miliknya melepas rambut Mba.

Beringsutlah Mba menjauh dari 'Lulu'. Azraq telah siap dengan lapis es tajamnya. Dua-tiga es tajam dilontarkan. Dan ia tidak memberi ampun. Kening 'Lulu' tertembus. Dan tidak sampai dua detik, gadis itu sudah tak bergerak, menghembuskan nyawa dengan mata terbelalak.

Mba yang melihat itu hanya bisa mengatupkan mulut dan menutupnya dengan kedua tangan. Ia hampir berteriak "Mengapa...?" tapi tak jadi saat mendapati 'Lulu' tiba-tiba berubah menjadi gadis bersayap dan hanya mengenakan sehelai sutra. Dan pertanyaan Mba berubah.

"Nona Lulu?" jemari Mba bergerak ingin menyentuh 'Lulu' yang tak bergerak. Tapi ia menghentikan tindakannya...

"Jangan sentuh! Dia bukan mbak Lulu yang kita kenal," perintah Azraq.

"Mengapa tuan tahu?" tanya Mba seraya memandang Azraq. Bola mata hitamnya memandang Azraq, meminta penjelasan.

"Dia hendak memakan dan menjadikan mbak sebagai bola."

Mba masih belum puas. Ia masih memandang tak percaya. Azraq menggaruk-garuk kepalanya "Aku curiga dia bukan asli karena... kelakuannya tidak mirip mbak Lulu," Mba masih memandang "...Ugh... dan... dan... itu loh, mbak Lulu yang ini coba menghilangkan jejak dengan mencacak tubuh korban..." masih belum cukup untuk Mba. "Apa mbak nggak lihat dia mau makan mbak? Dia hampir menelan mbak seperti Manggale yang ditelan di depan mataku," ujar Azraq, kali ini lebih gelisah dan kesal. "Bahkan dia tidak ingat kalau mbak itu kebal! Dia itu sengaja menggiring kita masuk lebih dalam, mbak!" dan akhirnya nada suara Azraq naik.

Mba tidak menyangka Azraq akan bersuara tinggi. Ia pun beringsut mundur dan menjauh dari Azraq.

"A... maaf mbak. Aku nggak mau lagi lihat temanku mati."

Mba menundukkan kepala. "Tapi tuan Azraq tidak perlu membunuhnya... aku yakin masih ada hal yang bisa dilakukannya bila ia masih hidup..."

Azraq hanya bisa miris. Ia diam dan tidak bisa memberikan alasan yang pasti. Ia bisa saja berkata "Nafsu menguasainya. Tapi nafsu apa? Membunuh memang masuk dalam insting hewani. Sama seperti reproduksi. "

Aha, Azraq dan Mba memandang kiri-kanan. Mereka heran ada suara asing yang tiba-tiba berbicara seolah dekat dengan mereka. "Ada baiknya tirai penceritaan dikuak di sini... karena mereka akan bertemu dengan TUHAN,"

Dan setelahnya semua pemandangan berubah untuk menyambut kedatangan sosok yang tengah berbicara.


***


Mba dan Azraq hanya bisa terdiam. Bukan karena mengagumi perubahan pemandangan yang lebih indah. Bukan, bukan karena melihat banyaknya bidadari dan bidadara yang menyilaukan mata dengan tubuh mereka yang seronok. Bukan pula karena mencium aroma wewangian yang manis di tengah padang rumput yang hijau. Bukan pula karena melihat munculnya seorang pria berkacamata berusia sekitar 40-an yang dikelilingi banyak bidadari tanpa busana. Para gadis cantik itu mengusap pipi persegi, rambut cokelat muda dan janggut tipis si pria layaknya barang kesayangan –yang jelas dapat membuat cemburu para pria. Bukan. Bukan itu semua. Tapi lebih karena si pria yang terus berbicara tanpa henti... tentang segala hal yang telah terjadi.

"Bagaimana rasanya berada dalam board game buatanku kali ini? Apakah balance? Menyenangkan? Adakah yang harus diperbaiki? Aku membuat ini berdasarkan prinsip board game Ludo. Mudah, hanya bermain dadu saja. Tapi tentu kutambah unsur Dungeons and Dragons agar lebih menarik. Maka dari itu aku membumbui cerita dan statistik ala Role Playing Game. Dan aku harus jadi Game Master agar skenario menjadi menarik."

Mba dan Azraq jelas begah dengan racauan si pria kacamata ini. Mereka sangat terbelalak mendengar "Jadi aku memanipulasi kalian dengan berbagai sugesti dan narasi. Kalian harus percaya bahwa ini semua hanya skenario. Oh, kalian tidak menyadarinya? Coba saja kembali ke beberapa halaman ingatan sebelumnya. Bila memang tidak merasa, lain kali akan kugarisbawahi narasiku."

Pria tersebut memunculkan sebuah layar berisikan foto Azraq dan beberapa tulisan terkait dirinya. Ia dapat melihat status berupa ATK, DEF, INT, WIS berikut juga jenis serangan diikuti kode seperti 1d6, 3d9, 5d12 dan macam-macam lagi.

"Aku juga sudah membuat parameter statistik yang berbeda agar lebih seru. Sedikit OOC akan memberi bumbu yang menarik. Misalnya kau, gondrong. Tadinya kemampuanmu hanya mengubah air menjadi es. Tapi sekarang aku membuatmu mampu mengubah bahkan udara menjadi es. Kau tidak menyadari itu?" Azraq pun terkesiap. Roman mukanya jelas menyadari bahwa yang diucapkan pria ini benar adanya.

Si pria berkacamata menengok pada Mba. Ia memunculkan sebuah layar lagi. Kali ini dengan foto Mba. "Dan kau..." ia mengerenyitkan alisnya. "Aku tak tahu kau datang darimana. Parametermu tidak ada yang bisa diubah. Sepertinya kau itu alien yang datang dikhususkan untuk mengobrak-abrik permainanku. Aku terpaksa mengubah banyak skenario untuk menyesuaikan kehadiranmu," si pria berkacamata kemudian memberikan senyum misterius pada Azraq.  "Salah satunya adalah mengubah skenario pasanganmu," pungkasnya.

Si pria mengusap pipi salah satu bidadari lalu berkata "Tadinya aku ingin menjadikanmu pasangan Lulu. Tapi yah, karena nona... Mba Irwin di sana itu datang, terpaksa skenarionya kuganti sedikit. Dan ayolah hargai usahaku, aku berhasil membuat kalian tergoda nafsu," si pria berkacamata terkekeh senang lalu berjalan maju meninggalkan para bidadari. Ia melenggang mendekat sembari membuka tangannya pada Mba dan Azraq. "Aha, aku tak boleh melupakan suatu hal. Selamat! Toh kalian akhirnya bisa bertemu denganku di sini." 

Terlepas dari apa yang dikatakan pria ini, perilakunya sangat tidak sopan. Ia tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum bercakap.

"Oh, maaf bila aku tak sopan. Kenalkan, namaku Tommy, Tommy Vessel. Saat ini kalian berdua sedang ada dalam pengaruh taman ini dan cerita board game ini." Demi apa? "Bila itu kurang jelas bagi kalian. Dan sebagai pendahuluan, kau harus melawanku sebagai last boss."

"Jangan kaget begitu. Bukankah hal yang biasa bila pada akhir perjalanan kalian harus melawan tembok besar? Dan ayolah, aku sengaja menahan hawa nafsu reproduksi kalian saat ini agar bisa sedikit serius menghadapiku."

"Sebelum lupa, parameterku juga sudah disesuaikan selayaknya last boss." Ia tersenyum sebelum berbisik tipis "Jadi Imba,". Tommy mengeluarkan sebuah mata dadu. "Normalnya aku harus menggunakan menara dadu sebagai tempat mengocok dadu tapi sekarang tidak perlu lagi," dan ia pun menggulirkan dadu tersebut ke tanah. Dadu tersebut berputar dan belum berhenti sampai  Tommy berucap "Dan aku bisa mengatur angkanya. Enam."

Dadu berhenti di angka enam. Sebuah monster gurita muncul di hadapan dadu tersebut. "Aha, jangan kaget dengan gurita ini. Parameternya sudah di-alter agar bisa muncul di daratan. Tidak hanya di lantai laut saja. Ah tunggu, gurita juga ada yang bisa jalan di darat, mungkin kalau kalian ke internet bisa mengeceknya di cracked.com," ujar Tommy seraya menangkap dadu yang terbang kembali ke tangannya. "Dan sekarang giliran kalian."


***


Mba dan Azraq sadar ini bahwa lawan di hadapan mereka ini berbahaya. Bukan karena apa yang telah diucapkan. Melainkan karena apa yang tidak diucapkan. Keduanya tidak tahu bagaimana menghadapi sesuatu yang dapat menentukan segalanya. Sesuatu yang sangat superior dan dapat mendominasi segalanya termasuk kemauan.

Bagaimana tidak, badai monolog dari Tommy barusan sama sekali tidak bisa dicela. Bukan tidak bisa dicela melainkan tidak ada celah untuk menyela.

"Tuan Azraq, lebih baik kita lari saja..." ujar Mba.

 Belum Azraq selesai mengutarakan keinginannya, sebuah tentakel gurita bergerak cepat menyambar Mba. "Barusan satu turn. Mba bercakap, kau berpikir. Berarti giliranku menyerang," ujar Tommy yang sudah selesai menggulirkan dadu berangka enam (lagi).


"Monster gurita akan memeluk Mba dan meremasnya sampai lemas."

Dan memang benar. Monster gurita itu melakukan apa yang diperintahkan. Tentakelnya menggerayangi tubuh Mba. Lengket lagi menjijikkan. Mba hanya bisa menjerit panik dan mencoba melepaskan diri. Tapi jarinya selalu terpelincir setiap kali menggenggam tentakel.

"Dan Azraq membuang satu turn dengan menunggu,"Azraq menggeretakkan gigi kicauan Tommy.

"Ada yang salah dengan ini? pasti pikirmu begitu. Dan kau telah menghabiskan satu turn untuk berpikir. Enam." Sela Tommy yang kembali menggulirkan dadu enam. Gurita itu makin keras melilitkan tentakelnya. Sebuah erangan tertahan terdengar. Dan perlahan Mba tenggelam dalam lindungan tentakel raksasa.

"Kau salah tentang satu hal..." gumam Azraq yang tersenyum.

Tommy menaikkan alisnya "...Kau sudah menghabiskan satu turn lagi untuk berkata itu. Enam." tapi sedikit banyak Tommy menyadari adanya berat keyakinan di sana. Dan ia pun mengikuti arah pandangan mata Azraq.

"Kau belum menghitung giliran mbak..." ujar Azraq.

Tiba-tiba saja tentakel gurita berdenyut dan seolah mendapat rontaan dari dalam. Tommy terus memandang tak berkedip. Ia dapat melihat monster peliharaannya itu sedang disakiti. Secara parameter, Tommy belum tahu banyak tentang Mba –pun tidak mampu mengubahnya. Yang ia tahu hanyalah gadis itu memiliki kekuatan fisik kuat. Ia mengambil dadu dan hendak melemparnya.

"Dan kau lupa giliranku lagi."

Sebuah tombak es tajam menembus bahu kanan Tommy. "Kau sebagai tuhan gadungan ternyata juga bisa lengah," ujar Azraq sembari memunculkan bunga es dari  balik punggungnya. "Trik murahan begini saja bisa kena."

Tommy menggeram dan berusaha menjatuhkan dadunya. Sayang, Azraq sudah terlebih dahulu bergerak. Sebuah jejaring es yang tajam menghancurkan dadu tersebut berkeping-keping.

Habis sudah asa Tommy. Ia sudah melihat jelas bagaimana Mba bisa keluar dari lilitan monster gurita-nya. Bahkan monster itu dibanting sampai tidak sadarkan diri. Dan ia terheran-heran melihat gadis itu kemudian bersujud minta maaf berulang kali. Apapun itu, sekarang Tommy sudah ciut melihat ujung tombak es ditempelkan pada keningnya.

Pada detik itulah Azraq teringat akan turnamen Battle of Realms. "Kalau aku membunuhmu maka semua ini akan selesai..." ujarnya.  Wajah kalem Azraq mendadak berubah mengerikan. Bukan  marah, bukan kesal melainkan pencerahan... yang hanya dipenuhi nafsu nirlogika.

Sekali lagi Mba menghentikan Azraq. Ia berkata bahwa tidak seharusnya Tommy dibunuh. Lagipula, pria itu sudah tidak bisa lagi bertindak. Ia menyarankan agar pria itu diikat saja.

Jujur saja, ada yang terasa off di sini. Andai memang Tommy adalah last boss... mengapa tidak terasa tensi pertarungan sama sekali?  Tidak ada yang dapat membuat pria ini tampak menakutkan. Ia seolah menjadi bagian kecil –hampir tidak penting bahkan. Berarti ada sesuatu yang lebih, yang menguasai sesuatu dari balik layar.

"Kalian jangan meremehkanku! Jangan kira kalian yang kuat bisa seenaknya menindas yang lemah."

Bagai dikomando, seluruh bidadari merayap mendekati Tommy. Tangan mereka yang mulus lagi jenjang menggerayangi kaki Tommy. Semakin lama semakin ke atas. Mereka pun menjatuhkan Tommy di tanah. Pria itu justru tertawa puas.

Mba dan Azraq hanya bisa terpaku di tempat. Mereka seolah dipaksa untuk menonton drama film biru picisan. Ya, antagonis terakhir menghabiskan waktu dengan bercengkrama dengan haremnya. Badai ciuman dan lenguhan menyerang semua panca indra.

Semua yang dilihat ini langsung membuat kedua insan, Mba dan Azraq, gelisah. Mereka saling pandang dan kehabisan kata-kata. Saling jengah sendiri.

Mereka tidak bisa menutup mata pun menundukkan pandangan. Setiap kali bidadari itu meranggas tubuh Tommy, membuka helai pakaian demi pakaian, maka kala itu pula Mba dan Azraq merasa ditelanjangi. Setiap lenguhan dan erangan manis terdengar bagai simfoni yang membakar kerongkongan. Setiap aroma yang tercium membuat susunan saraf berantakan. Otak pun kacau dan dipaksa berhenti berlogika. Setiap kecup menggoda dari bidadari membuat pikiran Azraq dan Mba memutih, seolah yang ada di lokasi tersebut hanya pasangan surgawi. "Ikutlah..." bujuk halus itu lantas membuat jemari Mba dan Azraq perlahan saling bertautan. Lalu keduanya saling berpandangan. Dan jarak wajah keduanya pun memendek. 

Dan sekarang giliran Azraq yang tidak dapat menahan diri. Ia mendorong Mba jatuh ke tanah. Mba pun terbuai dengan birunya langit. Memorinya kembali lari ke masa dimana ia bercengkrama dengan Antakaba, suaminya.

Saat itulah, Mba melihat Hyvt bersayap putih melayang di langit. Mata mereka berdua bertemu. Tatapan jijik dari Hyvt membuat Mba tersentak. Tangannya refleks bergerak dan mendorong Azraq sembari berteriak halus 

"Maaf... tapi aku sudah bersuami..."

Tapi pria yang sudah kadung kalut bernafsu tidak akan mendengar itu. Azraq pun membekukan tangan Mba. "Tenang saja..." ujarnya berkali-kali. Tangan pria itupun dengan gemetar menyentuh kulit di balik baju Mba.

Jangan tanya roman gadis yang dipaksa bercinta. Air mata gadis itu mulai turun. Bibirnya bergetar menyebut nama suaminya berulang kali. Setiap kali jari Azraq menjelajah satu senti tubuhnya, setiap kali itu pula tubuhnya mengejang. Napasnya memendek. Ia takut mendongak. Bahkan ia takut membuka mata. "Anta..." erangnya dalam suara yang makin serak, makin tak terdengar.

Saat genting itulah sebuah bulu sayap putih menghantam kening Mba. Mba membuka mata. Ia mendapati Hyvt bersayap putih makin memberi roman jijik. Tidak, lebih ke arah kesal. Kerut di wajahnya semakin menekuk dengan urat hijau menyembul. Bola mata malaikat berambut mohawk itu pun memerah.

Mba takut.

Tapi lebih takut pada Hyvt di atas.

Bukan karena Hyvt menakutkan.

Tapi karena pandangan itu menyiratkan bahwa dirinya mau saja diperlakukan begitu. Mana kehormatan seorang istri yang baru saja ditinggal mati suami? Di mana daya usaha melawan bajingan yang hendak mengambil kesucian? Dan berbagai tuduhan amoral yang terbayang di kepala Mba membuatnya bercucuran air mata. Ia tak rela bila dirinya dicap seperti itu!

Mba meronta keras! Ia mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan berteriak keras. Ia tak peduli apakah tindakannya akan berhasil atau tidak. Ia hanya butuh berusaha karena ia tahu dewata akan menjawab usaha apapun sesuai kadarnya. Dan memang benar, Mba tidak lagi merasakan gerakan jemari tangan Azraq. Justru ia mendengar rintihan panjang.

Mba menengadah. Ia mendapati muka pria itu berubah ungu. Mulutnya dimonyongkan dan pupil matanya menghadap ke atas. Apakah ini... sakit yang mengarah menjadi kenikmatan? Mba bergidik, sampai akhirnya ia menyadari bahwa Azraq memegangi selangkangannya.

"Patah... mak... patah..."

Setelah itu rubuhlah Azraq di samping Mba. 

Mba mengambil napas lega lalu berbisik tipis "Ma...Maaf... semoga tuan Azraq masih bisa diberi keturunan..."

Pekerjaan selanjutnya adalah melepaskan diri dari jerat es yang mengunci tangan. Mba berulang kali mencoba mengangkat tangannya. Tapi tidak bisa. Ia benci dirinya saat ini, kemampuannya memang hanya dikhususkan untuk memadamkan konflik (dengan kekerasan). Untuk mencari kebebasan? Tidak ada. Kecuali bila 'panggilan' konflik memaksanya untuk langsung melejit ke lokasi. Sialnya saat ini, dirinya justru berada di tengah konflik.

Mba kembali mendengar rintihan dan erangan. Ia mencoba mendongak dan memerhatikan apa yang terjadi. Puluhan selubung tembus pandang mengikat dan mengurung Tommy di tengah-tengah. Mulutnya sudah berbuih dan bola matanya sudah memutih. Sepertinya ia tidak mungkin lagi terselamatkan.

Selubung berlapis itu perlahan menebal, membulat dan membesar. Ukurannya setinggi enam orang dewasa. Mba pun mulai meracau "... Anta... aku takut..." berkali-kali menyaksikan transformasi tersebut. Wajah Tommy muncul di tengah-tengahnya.

Demi... entahlah apa yang harus disumpah saat ini...

Mba hanya bisa tergugu saat menyaksikan bola tersebut mendekatinya dengan perlahan. Belasan tangan keluar dari bola tersebut. Putih lagi mulus. Semua tangan tersebut bergerak mendekati Mba. Sepasang tangan mencengkram pergelangan kaki Mba. Lalu dengan paksa, sepasang tangan itu membuka paksa kaki Mba yang rapat tertutup. Tangan yang lain bergerilya, mengusap betis dan semakin naik. Mba tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia hanya bisa menggigit bibirnya sembari meronta sekuat-kuatnya. Tapi tidak ada yang berhasil.

Mba berdoa dalam hati, berharap bisa diselamatkan dari musibah ini. Berkali-kali ia sesenggukan dan mengulang doanya lagi akibat sensasi yang mulai merambat di paha dan terus merayap naik. Ia hanya butuh bantuan dari yang di Atas sana.

Mba mendengar lengking suara yang cepat seolah udara terbelah. Sedetik setelahnya, sebuah benda menembus bola besar itu, membuatnya melengkung lalu bocor memuntahkan darah dan organ-organ dalam tubuh manusia ke mana-mana. Belasan tangan yang hendak menistakan diri Mba pun luruh remuk.

Doa Mba terjawab.

Tapi bukanlah dewata yang turun untuk membantunya.

Mba terperangah memandangi sosok merah bertanduk yang berada di tengah mayat bola. Si lembut di awal tapi keras di akhir.

"Tuan...Thurqk..." desis Mba.

Dan ia datang dengan kumpulan Hyvt bersayap hitam. Entah apa yang dilakukannya di sini.


***
 

Sosok mera- dewa bernama Thurqk memandang sekelilingnya. Ia kemudian menyeringai kecil. "Ini yang kalian sebut lapisan penahan?!" ia menjentikkan jari dan membuat seluruh Hyvt jatuh bergedebam di tanah. Beberapa di antara Hyvt mengaduh, beberapa tidak dan beberapa tidak dapat mengaduh. Thurqk berkacak pinggang dan mulai berjalan sembari memperhatikan sekelilingnya.

 "Mana yang kalian sebut anomali?"

Hyvt yang masih bisa menjawab juga turut memandang sekeliling. "Tadi..." Thurqk kembali menjentikkan jarinya. Kepala Hyvt yang barusan beerbicara tiba-tiba meledak dan berubah menjadi api hitam. Api itu terbang ke arah Hyvt dan masuk ke jarinya. Lalu Thurqk kembali menjentikkan jari. Hyvt lain terbentuk di hadapannya.

"Bukan tadi, sekarang!"

"Maaf yang maha kuasa, tapi kami tidak menemukan lagi adanya sinyal aneh dari pulau ini."

"Jadi?"

Hyvt lain berbicara "Kami gagal mengetahui atau salah sangka," dan tubuhnya kembali meledak seusai berujar. Ia kembali dihidupkan dengan cara yang sama dengan Hyvt sebelumnya.

"Siapa ini?" Thurqk mengedikkan kepala saat melihat Mba yang masih kaku terkunci. Mba dapat merasakan tatapan yang sangat tajam darinya. Ia merasa seperti ditekan dari atas. Mata itu bagai jangkar yang mengakar langsung ke pusat tubuh Mba. Buah ketakutannya pun melompat dalam bentuk rintihan.

Thurqk menjentikkan jarinya. Semua Hyvt yang sudah mati lantas meledak dan menjadi kumpulan bola api. Hyvt yang bisa menjawab kembali berujar "Kami tidak tahu."

Thurqk tidak berkata banyak. Jemarinya bertindak lebih cepat dari kata-kata. Api panas lantas berkobar membakar tubuh Mba.

Ia pun memandang sekelilingnya lagi. "Temukan satu peserta terakhir," perintahnya pada Hyvt. Seluruh Hyvt yang berada di sana langsung terbang mencari. Thurqk menjentikkan jarinya, membuat bola api yang tertembak ke tanah. Bola api itu lantas berubah menjadi singgasana emas dengan belasan bidadari yang mengerubunginya.

Sekali lagi dewata merah itu menjentikkan jarinya, menciptakan angin yang bergerak lembut. Angin tersebut menyibak rambutnya dan perlahan bergerak memuntir menuju genangan darah dari Tommy.

Bagai mesin cuci, angin tersebut berputar keras memisahkan darah dengan materi kotor. Setelah warna darah terlihat lebih jernih, angin membawanya kembali ke cawan yang dipegang bidadari.   

Thurqk menyisip cairan dari cawan. Matanya mengerjap sejenak. "Darah pejuang memang luar biasa."

Sebuah layar muncul di hadapan Thurqk. Hyvt muncul di sana dan berkata "Yang maha kuasa, kami berhasil menemukan Xabi Anger Metalici."

"Bawa ke sini," ujar Thurqk sembari menjentikkan jari. Membuat sebuah gerbang besar berjarak 20 langkah darinya. Jentikan kedua membuat seluruh ruangan berubah menjadi nuansa merah. Karpet, tiang begitupun juga dengan langit. Thurqk berdecak "Bosan," dan ia berdiri dari singgasananya.

Sebuah suara menghentikannya untuk berdiri. Ia menengok dan mendapati sosok yang tengah dibakarnya terbatuk-batuk. Mendadak sebuah senyum meliuk di bibirnya. Ia menjentikkan jari, membuat api itu lenyap tanpa sisa. Jentikan ketiga mendudukkan sosok yang dibakar barusan untuk menghadapnya.

Thurqk menatap mata Mba. Yang ditatap tak berani mengangkat muka. Ia pun lantas mundur dan bersujud di hadapan sang dewa.

"Siapa namamu?" tanya Thurqk dalam nada jumawa.

"...Mba Irwin..."

"Kau kebal?"

Mba menggeleng sekali. Thurqk menjentikkan jarinya. Mba kembali terbakar. Tiga detik kemudian api itu kembali padam. Tapi tidak ada cacat sama sekali di tubuh gadis itu. Sehelai rambut terbakar pun tidak. Bahkan baju juga sama sekali tak berubah.

Thurqk menyeringai. "Angkat kepalamu," ujarnya seraya turun dari singgasana.

Mba mengangkat kepala. Dan belum ada ia melihat wajah Thurqk, sebuah tinju menghantamnya dari atas. Hanya saja, sebagai Peace Maker, daya serang yang amat keras akan dikembalikan pada penyerang. Begitupun tinju yang sudah menghantam kepala Mba. Tegangan balik yang menghantam sampai membuat darah mengucur dan membasahi kepala Mba.

Mba menengadah. Ia mendapati Thurqk sedang memandangi kepalan tangannya yang berdarah. Sang dewa merah menyeringai dan terkekeh pelan lalu berbalik badan dan kembali duduk di singgasananya. "Berdiri," perintahnya membuat Mba kembali sigap berdiri.

Thurqk meneteskan darahnya ke dalam cawan. Suara desis yang mengerikan terdengar dari dalamnya. Isi cawan itu lantas menggelegak dan tumpah ruah ke sekelilingnya. Para bidadari yang berada di sekelilingnya menjerit ketakutan. Tubuh mereka terbakar dan meleleh seperti lilin begitu tersentuh cairan cawan tersebut.

Mba bergidik mendapati lumernya para gadis cantik itu. Tiada lagi kecantikan saat kehancuran sudah berbicara. Ia mungkin sedikit bersyukur masih ada satu bidadari yang selamat –walau terlihat ketakutan.

Sayang, syukur tersebut hanya menjadi emosi sementara. Thurqk meledakkan kepala bidadari itu. "Ceritakan, kenapa kau bisa sampai di duniaku, di alam kematian," ujarnya sembari menopang kepalanya dengan kepalan tangan. Mba pun berhalusinasi melihat senyum dan binar ketertarikan dari sang dewata.

Mba pun menceritakan 'ketidaktahuannya' tentang situasi dan kondisi yang dialaminya. Ia menceritakan bahwa malaikat bernama Hyvt yang mengantarnya ke pulau ini. "Menarik. Sungguh menarik!" lalu Thurqk pun tertawa terbahak-bahak. Belum sempat Mba mengerti mengapa Thurqk tertawa, kembali sebuah kobaran api membakarnya. Tapi Mba tidak merasakannya.

"Dan malaikat bodohku tidak ada yang mengaku?" Thurqk makin  keras tertawa. Sungguh Mba tidak mengerti kelakuan dewa merah satu ini.

"Maaf... mungkin mereka ingin memberi kejutan?" ucap Mba , agak hati-hati.

Seliuk seringai muncul dari bibir sang dewa. Telunjuknya digerakkan, menyuruh Mba untuk mendekat. Gadis itu menggeleng dan enggan mendekat.

Thurqk justru menyeringai senang. Karpet merah yang berada di bawah kaki Mba mendadak bergumul menjatuhkan tubuh Mba. Detik selanjutnya karpet itu menggulung Mba dan berguling mendekati Thurqk. Sebelum Mba sempat menjerit, karpet itu melontarkan tubuh Mba ke udara... dan mendaratkannya tepat di pangkuan Thurqk.

"Ah..." hanya kata itulah yang keluar saat Mba menatap mata Thurqk. Ia pun mencoba mengalihkan pandangan. Thurqk tidak mengizinkannya. Pipi Mba dicengkram dengan dua jari. Ia menarik wajah Mba untuk menengok, saling bertatapan.

"...Ma...maaf," Bola mata Mba mencoba lari ke bawah. Tindakan itu justru membuatnya lengah dan tidak menyadari apa yang Thurqk lakukan.

Ciuman. Tepat di bibir.

Mba mencoba mendorong, mencoba memukul dada bahkan mencakar tapi dewa merah itu sama sekali tidak bergeming. Pun yang ada, gairah menjelajah setiap sudut mulut Mba. Ia hampir menangis saat mulutnya dipenuhi oleh cairan yang memanas. Saliva. Mba jelas mengenalinya. Puncaknya, gadis itu menitikkan air mata saat jemari Thurqk mulai bergerak nakal menuju dadanya.

Sebuah tamparan menerpa pipi Thurqk. Tidak terdapat jejak merah sama sekali di pipi dewa merah itu. Tapi bukan berarti tamparan itu tak berarti.

Sudut bibir dewa merah meneteskan darah. Ludahnya yang dibuang ke tanah pun pekat merah. Ia menyeringai memandang wajah Mba yang memerah padam dengan mata yang menyalak tajam padanya.

"Muka itu. Ya. Ini baru muka yang tidak membuat bosan."

Jemari dan jempol Thurqk kembali mencengkram pipi Mba. Ia terkekeh kecil mendapati Mba yang hanya terdiam gemetar menatapnya. Dengus napas gadis itu terdengar panjang. Jari tengah Thurqk yang bebas bergerak mencakar pipi itu secara perlahan. Tidak ada rona merah di pipi gadis itu, pun tidak ada jengah. Yang ada justru Mba semakin lancang menatap balik.  Entah kekuatan apa yang membuatnya berani berbuat itu...

 "Yang maha kuasa, Thurqk," sebuah suara dari salah satu Hyvt bersayap hitam memutus kekhidmatan yang terjadi di antara Mba dan Thurqk. Mba tidak menyadari bahwa di sekeliling mereka terdapat banyak Hyvt yang memandangi mereka berdua. Dan selayaknya budak yang tidak tahu situasi dan kondisi, Hyvt tadi melanjutkan "Kami membawa Xabi ke hadapan yang-"

Kepala yang berbicara, Hyvt, meledak berkeping-keping. Jelas bahwa sang dewa merah tak suka dirinya diinterupsi. Ia berdecak kecil sebelum mencampakkan Mba ke samping. Fokus dewa ini lantas berganti pada pintu gerbang merah yang perlahan terbuka.

Dari balik pintu gerbang datanglah seorang pemuda. Mba lantas mengenalinya sebagai pemuda yang mengajaknya bicara sebelum memasuki pulau ini. Tato rantai di sekujur badan dan tindikan di wajah menjadi identitas unik yang mudah dikenali.
"Selamat datang," Ujar Thurqk. Ia pun kemudian mengedikkan kepala, menyuruh beberapa Hyvt untuk membangunkan Azraq yang masih pingsan.

Para Hyvt mengguyur Azraq dengan air dingin. Pria itu terbangun dengan sentakan kuat. Lalu setelahnya ia mengerang, memegangi selangkangannya sembari mencoba mengawasi sekelilingnya.

 "Hanya kalian berdua saja yang tersisa dari tujuh orang. Kalian sudah tahu peraturannya,"

"Jadi ceritanya gue harus belek leher ini orang?" tanya si pemuda seraya menunjuk Azraq dengan jempolnya. Otomatis Azraq bersiaga.

"Gampang bener," tambah si pemuda.

Lantas pemuda itu mengeluarkan sebuah jarum. Pria tampang sangar tapi senjata kecil. Mungkin banyak yang akan menganggapnya remeh... pada pandangan pertama. Tapi begitu jarum tersebut diusap perlahan bentuknya memanjang dan makin melengkung sampai akhirnya membentuk sebuah katana.

"Maaf... kumohon kalian jangan berkelahi..."
Suara lirih Mba dari kejauhan membuat si pemuda dan Azraq secara bersamaan menoleh pada Mba.

"Oh, rupanya lo tuh jalang si sadis. Pantes aja girang ngeliat darah, heh," sundut pemuda itu seraya mengacungkan pedangnya pada Mba.

Azraq pun tak pelak mengerutkan kening. Ia melihat posisi Mba yang berada tak jauh dari Thurqk. Sekelumit keraguan terbersit dari matanya. "Jadi... selama ini...?" ia pun berujar menggelontorkan pertanyaan pada Mba.    

Mba menggeleng tiga kali. Matanya berkaca-kaca menanggapi tuduhan yang belum sempat terlontar.

"Ah, bodo amat lah. Gue males debat sama nonton sinetron. Sini, selesein aja pake darah. PR gue masih banyak di rumah," ujar si pemuda seraya balik mengacungkan pedangnya pada Azraq.  Mba ingin menghentikan pertarungan ini. Ia memandang pada Azraq, berharap pria tersebut setidaknya mengerti apa yang diinginkannya.

"Tuan Azraq... aku bisa menjelaskan..."

"Diamlah Mbak. Aku nggak percaya lagi sama mbak," kalimat Azraq ini memutus asa Mba. "Dan memang seharusnya aku melakukan ini sedari awal." 

"Oke. Biar lu nggak mati penasaran, nama gue Xabi. Xabi Metallici Anger. Di STM julukan gue Saint Anger."

"Namaku Azraq, Azraq Ibrahim."

Begitulah, perkenalan ini menjadi awal dari ajang pertarungan. Nafsu yang ada di ruangan ini berubah total. Tidak ada lagi godaan dari bidadari, yang ada hanyalah godaan untuk membunuh.


***


Mata Thurqk berkilat senang saat mendapati aksi baku hantam antara Xabi dan Azraq. di awal pertempuran saja keduanya sudah melepas serangan sangat cepat. Azraq melempar sembilan buah tombak es tajam sementara Xabi dengan lincahnya menebas setiap es yang datang.

"Cuma begitu, heh! CURUT LO!"

Amarah Xabi mendadak meledak begitu saja. Tanpa angin, tanpa hujan. Ledakan amarah itu membuat ledakan kekuatan yang luar biasa, walau justru berakhir sembrono. Ia terpeleset jebakan es licin dari Azraq.

"ANJING!" umpatnya.

Azraq tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya pada Xabi. Debur-debur es tipis tertiup bagai kipas besar.

Xabi melompat menghindar dengan bertumpu pada tangan. Tapi ini sudah masuk dalam prediksi Azraq. Angin es yang ditiupnya mendadak mengangkasa dan membeku total menjadi bongkahan es besar. Gaya gravitasi dengan cepat membawa objek besar ini turun.

Xabi tentu saja menengadah, sejenak teralihkan perhatiannya oleh turunnya bongkahan es besar. Katananya siap untuk menyabet benda itu. Ia tidak melihat Azraq yang maju menerjang.

Gerakan Azraq juga bukannya tidak mengambil resiko. Ia tahu betapa cepat dan liarnya tebasan Xabi. Maka saat menerjang, ia menggunakan perisai es. Di tangan kanannya, sebuah bunga es terhimpun. Perut Xabi menjadi target.

Dan Xabi memang telat bereaksi. Setelat-telatnya ia bereaksi, tetap saja tebasan katananya cepat. belum lagi, ada satu fakta yang tidak Azraq ketahui: Katana Xabi bisa membesar.

Ayunan pedang yang membesar itu seolah menebas udara. Ukurannya tidak menjadi penghalang kecepatan. Azraq hanya bisa bereaksi dengan mengangkat perisai esnya. Ia berkonsentrasi pula membesarkan es tersebut. 

Retak.

Perisai es Azraq retak dan mulai terbelah. Katana tersebut membelah perisai dan mulai menembus kulit Azraq.

Panik, Azraq melempar bunga es di tangannya. Xabi yang fokus menebas tidak bisa mengelak. Kepalanya akan terbekukan oleh rampai bunga es.

Pada saat itulah sebuah tangan mencegah gerakan katana tersebut. Begitu juga menghentikan bunga es. Baik Azraq maupun Xabi terpelanting keras akibat dahsyatnya tenaga yang dikembalikan pada mereka.  Dan sosok yang menyebabkan mereka terpelanting itu menerima utuh runtuhnya balok es besar dengan seluruh tubuhnya. Balok es besar itu pecah dan hancur berkeping-keping, menyiram sosok berambut pelangi yang terengah di tengah-tengah.

Thurqk yang sedari tadi masih terkekeh senang langsung berdiri dari singgasananya. Ia menengok ke samping dan mendapati seorang perempuan tidak lagi berada di tempatnya. Ya, seperti biasa, Mba-lah yang menghentikan pertikaian keduanya di saat genting.

"WANITA!"

Hardik keras Thurqk pada Mba.

Yang dihardik terdiam lalu mundur perlahan dan bersujud. Tidak ada kata maaf terlontar. Ini tidak biasanya.

"Kumohon... hentikan lah turnamen ini. Jangan lagi ada korban. Mereka yang mati pasti masih memiliki keinginan untuk melanjutkan hidup. Ingin kedamaian," ujar Mba.

Thurqk menyelanya dengan melemparkan bola api kepada gadis yang masih bersujud itu. Tapi seperti sebelumnya, gadis itu sama sekali tidak terpengaruh. Sirkuit emosi sang dewa merah mulai terpantik. Ia turun dari singgasana dan mendekati Mba dengan langkah lebar.

Bola api. Laser. Bola api lagi. Tidak ada yang bisa membuat gadis itu menjerit. Thurqk berdecak kesal. Bola api –kali ini sembilan buah. Pagar api. Bola api –sembilan buah lagi. Masih belum dapat membuat Mba bahkan mengangkat kepalanya.

Thurqk sampai di hadapan Mba. Dengan keras ia menjambak rambut pelangi Mba. Gadis itu menengadah tanpa roman sakit. Mata hitamnya hanya lurus menatap Thurqk. Tidak ada sebersit takut dari binar mata Mba. Seringai senang Thurqk mulai menghilang.

"Gunakan api yang mengubah dimensi, yang maha kuasa," sebuah teriakan keras dari barisan Hyvt yang mengepung membuat Thurqk menoleh. Ia mencari sumber suara. Para Hyvt saling pandang satu sama lain, tidak tahu pula siapa yang melontarkan nasihat barusan.

Sang dewa merah mencoba anjuran. Sebuah api merah yang berubah warna menjadi pelangi menjilat tangannya. Percikan api yang terlontar dari tangan tersebut membakar kulit Mba. gadis itu pun juga tercenung. Cemas mulai merambati roman wajahnya.

Thurqk dapat melihat ini, dengan lambaian ringan, ia menyentuhkan kepalan tangannya ke perut Mba. Dalam sekejap api yang membara membakar tubuh Mba. Raungan keras terdengar dari gadis itu. Kulitnya yang putih lumat terbakar dan memerah. Tubuhnya mengaku-kejang sejenak sebelum jatuh tergolek di tanah.

"Nah, ulang lagi pertarungannya!" perintahnya pada para Hyvt. Malaikat bersayap hitam itu pun kembali mengguyur Xabi dan Azraq dengan air.

Mba merangkak. Tangan mungil itu mencengkram kaki sang dewa merah. "Hentikan..."

Thurqk mengubah api pelangi itu menjadi sebuah sepatu. Ia lalu menendang tangan Mba. Siku gadis itu berbelok ke arah yang tidak wajar. Jeritan menyakitkan terdengar.

"Maaf..."

Kembali tendangan lain bersarang di rusuk gadis itu. Suara tidak menyenangkan terdengar.

"Hentikan..." racau Mba.

Thurqk menyeringai senang. Ia menelentangkan tubuh Mba. Dengan kukunya yang tajam, Thurqk merajahkan namanya di perut sang gadis. Desis asap terdengar. Bau daging terbakar membuat pengap hidung. Tapi jerit sakit dari Mba-lah yang paling terdengar menyayat. Sayang para Hyvt tidak ada yang merespon. Mereka yang tidak bertugas hanya menatap dingin pada gadis itu.

Mba meringis, mencoba menahan sakit dengan mengucap nama "Anta..." berkali-kali. Apalah daya, ia hanya bisa menangis saat nama sang dewa merah sudah utuh tertoreh di perutnya.

"Lain kali hentikanlah sendiri bila bisa," pungkas Thurqk. Ia kembali menorehkan senyum senang di wajahnya. "Sayang sekali, kalau saja kau bisa menghentikannya, mungkin mereka akan selamat."

Kalimat itu membuat Mba terdiam –menyisakan isak pelan. Di tengah isaknya, gadis itu menoleh ke kerumunan Hyvt. Ia melihat Hyvt bersayap putih yang berdiri di baris belakang menatap padanya. Hyvt bersayap putih, anomali di antara para Hyvt, menggerakkan bibirnya. Mba dapat membacanya karena apa yang diucap selalu terulang.

"Jadilah... Peace... Maker..."

"Ini... Perang..."

Mata Mba membelalak. Hyvt bersayap putih itu pun menghilang begitu saja, meninggalkan sebuah senyum misterius yang terus terpatri di kepala Mba. Tangan gadis itu perlahan merayap ke salah hiasan sayur-sayuran di kepalanya. Satu persatu sayuran itu disusunnya di atas kepala membentuk sebuah mahkota sayur. Gigi gadis itu berderit saat selesai membuat mahkota. Sekali. Dua kali. Sampai akhirnya ia berujar tipis.

"... ini Perang..."

Dan isak tangis Mba berhenti.


***


Di jaman Purbakala dahulu, nafsu lah yang digunakan sebagai syarat untuk menentukan keinginan bertahan hidup. Hanya yang kuat yang berhak menyalurkan nafsunya. Maka jangan salahkan bila Blood Lust masih berakar dalam tubuh manusia.

Dan peperangan hanyalah menjadi bagian kecil dari nafsu manusia... yang bergabung dengan kemarahan dan kebanggaan. 

Di salah satu sudut, berdiri Azraq Ibrahim, yang siap dengan es di tangan. Di sisi lain, tampak Xabi yang siap dengan pedang. Di salah satu sisi tampak Thurqk yang mengamati dengan roman bingung. Dan di sisi lain, tampak Mba.

Gadis itu tampak gontai. Ia melangkah limbung. Pandangan matanya kosong dan bibirnya mengucap tipis sesuatu.

Thurqk melangkah mendekati gadis itu, sekali lagi hendak menghentikannya. Tapi alangkah kagetnya ia saat Mba tiba-tiba menghilang saat hendak disentuh. Yang lebih mengagetkan, Mba ternyata muncul di depan Azraq.

Pria yang pernah bertualang bersama Mba ini terkejut bukan kepalang. Sedikit banyak ia sudah tahu kemampuan Mba. Pasif, tidak pernah aktif. Tapi saat ia menatap mata Mba yang seolah kosong, ia tahu ada sesuatu yang salah dari Mba. Lebih tepatnya, bahaya.

Azraq tahu refleksnya tidak begitu cepat, tapi setidaknya ia tahu bagaimana menghindari jangkauan tangan yang hendak menyentuh keningnya.  Azraq pun tahu tangan itu bergerak lambat. Tapi ia tidak mengerti bagaimana sentuhan ringan di keningnya dapat membuat kakinya terangkat dan terputar tiga kali di udara sebelum jatuh bergedebam di bawah kaki Mba.

Begitupun Xabi. Ia terkejut bukan kepalang saat Mba tiba-tiba muncul di hadapannya. Pun ia tidak mengerti bagaimana tangan Mba bisa jauh lebih cepat darinya. Ia hanya tahu pergelangan tangannya terpegang, terpuntir lalu mendarat dengan wajah duluan. Yang lebih menyedihkan, ia mendengar suara patah. Dan detik setelahnya ia baru sadar pergelangan tangannya yang patah.

Thurqk pun terpana senang. Ia mendapatkan pertunjukan yang diinginkannya.

"Tuan bilang... kalau mereka kukalahkan maka tidak ada yang harus terbunuh bukan?" ujar Mba, dalam nada suara yang berat, nyaris serak.
Tentu saja Thurqk tidak mengatakan itu. Entah dari mana asumsi yang terucap itu. Tapi sang dewa merah membiarkan saja. Ia hanya memberi senyum dingin.

Diam berarti iya. Selepas itu Mba kembali menghilang dan muncul di hadapan Azraq yang sudah berdiri tegak.

"Mbak?"

Kata itu selesai bersamaan dengan jatuh telentangnya Azraq di lantai. Ia lagi-lagi tidak mengerti apa yang Mba lakukan. Ia hanya melihat tangan Mba (yang sudah patah) bergerak ringan melewati samping pinggangnya. Lalu setelahnya, ia melihat bumi berputar. Dan kasur bumi sudah siap menantinya saat kata itu selesai.

Xabi merangsek. "ANJING!" umpatnya keras seraya berusaha mengembalikan posisi tulang yang patah. Angin keras berputar dari tanah seiring kerasnya amarah dari pemuda ini. Tapi sekali lagi... belum ada angin itu bergerak, Xabi sudah terlempar tinggi. Yang ia lihat hanyalah lambaian tangan Mba yang bergerak dari bawah ke atas. Sungguh, Xabi bahkan tidak merasakan tangan itu menyentuh dagunya. Tindikan di bibirnya pun tidak bergetar sedikitpun. Tapi yang ia rasakan adalah nyata.

Xabi melayang dan mendaratkan punggungnya di salah satu tiang. Lalu bagai masih terhipnotis, Xabi merosot turun. Ia terdiam keheranan dan jatuh terduduk tanpa tenaga. Badannya bergetar hebat. Seluruh kemarahannya sontak lenyap begitu saja berganti emosi yang membuat badannya tak dapat digerakkan. Ia hanya dapat memandang berpindahnya Mba pada Azraq.

Dan yang ia lihat juga tak jauh berbeda. Tak dapat dimengerti mata dan akal sehat. Mba hanya bergerak pelan melewati Azraq yang sedang berlindung di balik kubah es maha tebal. Tapi setelahnya, Azraq terpelanting bagai anai-anai bertebaran. Es miliknya bahkan tidak lecet. Ia seolah dicabut begitu saja dari kubah besar itu.

"Sudah..." ujar Mba. "Mereka sudah tidak lagi memiliki keinginan untuk berkonflik," pungkasnya. Lantas gadis itu duduk dan bersujud pada Thurqk "Mohon tepati janjimu... tuan Thurqk."


Thurqk tertawa. Kecil lalu semakin lama semakin besar dan membahana. "Sesuai permintaanmu," Thurqk menjentikkan jarinya. Lalu terdengar jeritan keras. Mba menengokkan mukanya ke sumber suara.

Ia mendapati kepala Xabi sudah bergulir di lantai. Darahnya membuat karpet merah semakin merah. Gantinya, wajah Mba memutih seolah darahnya ikut tersedot tuk mewarnai karpet.

"Mereka tidak perlu lagi saling bunuh," sambung Thurqk.

Mba lantas pingsan. Begitu saja. Seolah dirinya bagai cangkang polos yang remuk redam.

Thurqk tertawa keras. Sangat keras, sampai nyaris terdengar terpingkal. Ia menengok pada Azraq. "Pergilah, anggap kau mendapat kartu pas kali ini. Pertunjukan kalian sangat menyenangkan," ujar Thurqk.

Ia pun mengangkat tubuh Mba yang pingsan "Dan kali ini kalian memberiku hadiah yang sangat menyenangkan," ujarnya dalam seringai dingin. Thurqk kemudian memandang perut Mba yang bertuliskan namanya. Ia terkekeh lalu terbang meninggalkan semuanya.

Hyvt bersayap putih yang menyaksikan itu hanya memberi senyum misterius. Ia pun berbalik badan dan menghilang di tengah keramaian Hyvt yang sibuk mengurus mayat Xabi.


-- To Be Continued --



10 comments:

  1. Aku masih belum bisa mencerna apa yg aku baca.
    Sekarang aku coba nyusun kembali apa yang terjadi barusan.
    Gagal.

    Dan review aku mulai.

    Plot : Narasinya top tier! Bener2 bisa bikin pembaca tenggelam ke dalam dunia rekaan Author. Dan setelah selesai aku baca, rasanya kayak habis tersadar dari mimpi. Dan seperti mimpi, aku nggak bisa mereka ulang adegan2 yg terjadi tadi.

    Terlalu banyak distraksi, kurangnya titik fokus membuat cerita ini terkesan membingungkan. Belum selesai satu kejadian, tiba2 narasi udah pindah ke kejadian lain. Closure, atau Plot Jump, membuatku sangat kebingungan disini.
    Aku harus membaca ulang beberapa paragraf untuk mengerti apa yang sedang terjadi.

    Banyak pertanyaan muncul di benakku. Apa yang terjadi pada Lulu? Kenapa dia berubah jadi jejadian? Bukankah tadi dia masih Lulu yang biasanya? Apa yang terjadi setelah party mengalahkan Manggale? Gadis itu siapa? Kenapa Lulu begitu bernafsu membunuhnya? Tapi kenapa Lulu -

    Lalu apa yang terjadi apabila mereka tergoda? Bola itu apa? Apa Manggale berubah wujud jadi bola atau dia terkurung di dalam bola? Serpihan daging setelah mengalahkan Manggale itu berasal dari mana?

    Wait, Tommy Vessel itu peserta, bukan Author kan? Di bagian Tommy itu aku mulai kebingungan, karena Author sejak tadi menggunakan istilah board ga-

    Kenapa Thurqk datang? Hyvt anomali itu siapa?
    Wait, aku belum mengerti penggunaan bulu2 tsb. Sebenarnya latar tempat ini seperti apa? Sebuah kastil dengan langit di dalamnya? Dengan pilar setinggi langit namun tembok pendek yang somehow nggak bisa diloncatin?

    Ah, ini pasti closure. Mohon pencerahannya, Author.


    Karakter : Random, aku kebingungan dengan karakter2 mereka. Mungkin karena terpengaruh nafsu, karakter mereka jadi bias.
    Aku bingung ketika Mba senyum2 ngeliat Thurqk membunuh 11 orang. Wait, what happened to you, Mba? Apa dia terpengaruh Sjena?

    Tommy yang keberadaannya somehow udah di-hint dari awal malah nggak ngasi sebuah dinamika yang berarti. Malah anti klimaks. Personalitynya yang tampaknya menarik tiba2 hilang begitu saja tanpa arti, kalah tanpa perlawanan.

    Xabi hanya terlihat seperti remaja random dgn bahasa gaul.

    Azraq.. Oh nggak ada yg bisa menggantikan Sinbad kharismatik di sisi Mba - meskipun engkau berasal dari Timur Tengah.
    Disini aku nggak begitu ngeliat personality Azraq kayak gimana selain dia penolong yang terpengaruh nafsu.


    Battle : Memang susah membuat cerita battle dengan tokoh utama yang tak bisa bertarung. Mau nggak mau harus puter otak mikirin plotnya.
    Dan aku juga muter otak mikirin how is this going xD

    Battlenya terlalu singkat dan bahkan rasanya cerita ini masih bisa lanjut tanpa battle sama sekali. Kemunculan Tommy - seperti yang sudah disebut di atas, malah membingungkan cerita, dan belum selesai pembaca mencerna apa yang terjadi, Tommy mati sudah.


    Overall, keunikan narasi lah yang membuatku tergoda untuk membaca sampai akhir. Sementara cerita, bukan berantakan.. tapi random. Plotnya rapi, tapi elemen penyusunnya berkesan random dan muncul out of nowhere. Ini pendapatku sih, mari kita lihat pendapat teman2 yang lain juga xD

    Dariku..
    7.5/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jujur Bay, gw banyak miss di sini. closure yang gw tempelkan itu termasuk dari salah satu bagian yang miss gw ceritakan. leave it at that. gw bakal introspeksi supaya ga terlalu ketawa ketiwi ma inner self lagi :3
      kemungkinan beberapa pertanyaan yang lu ajukan, terutama soal anomali itu baru gw jawab di R3. yes, i kinda make a mistake there, but i will make it as a mysterious part of canon. bear with me for awhile :3

      soal karakterisasi, gw agak loose di sini. begah bahkan sebenarnya. gw mencoba berlindung di balik tataran asumsi Lust (so OOC is unavoidable tapi gw ada tameng lain), jadi gw ga bisa terjun utuh ke karakter. yes, gw membayangkan semua adegan lust itu as third party... kecuali bagian Lulu di yuri-in :P #plak Rendi PLAK!

      untuk Tommy, dia gw upgrade jadi Board Game - Game Master. sayang ini pengetahuan yang niche sih jadinya agak susah masuk wkkkw. well, yang pasti dia masuk sebagai bagian dari anomali yang nanti maw gw ceritain di R3 :x

      ty ya Bay :D

      Delete
  2. entri ketujuh :3

    sebelumnya, saya pengen apresiasi dulu karena bisa bikin cerita yg panjang....
    tapi random.

    baik, langsung aja ya kak...

    random--berantakan--narasi bagus--mesum. kira2 4 kata itu yg bisa saya gambarin tentang cerita ini. persis sama ama yg ditulis kak bayee, battlenya terkesan random ama saya. bukan hanya mbak irwinnya, entri lain juga. di tengah2, saya mikir, "ini entri pada ngapain di pulau?"

    akhirnya, saya terpaksa buka canon panitia dan menemukan, "oh.. di pulau lust... pantes..." dan setelah itu, saya baru ngerti apa yg dituliskan di cerita ini. awalnya, saya takut kalo saya nga ngerti gara2 banyak pikiran atau dasarnya emang lemot, tapi setelah baca komennya kak bayee, saya baru tahu kalo bukan saya saja yg berpikir kayak gitu.

    dan akhirnya, setelah mempertimbangkan matang2, saya ngasih nilai 3.5. dari lima, alias 7.0. maaf banget kak, tapi kalo hal2 random di atas bisa diperbaiki, saya bakal ngasih nilai minimal 8.

    semangat kak >.<

    ReplyDelete
    Replies
    1. ty ya dah komen di sini Yief :D

      well, soal random dan berantakan... gw cma bisa bilang "Quasi 4th wall itu susah diterima dan dimengerti." dah tu aja defense gw. dan jujur juga, banyak yang gw miss di sini saat nulis. gegara fokus gw terlalu di bagian R15+nya wkkwkww

      Delete
  3. Okay, Umi kasih cerita ini nilai 8 dengan pertimbangan gaya bahasa, alur dan karakterisasi yang super duper keren.

    dari 4 entry pula THVR yang udah Umi baca, 2 di antaranya -ini termasuk- menampilkan lust dengan *piiip* dan terima kasih pada om ren yang udah kasih warning di awal kalo ini adalah R 15 >.<

    Waktu om Ren nanya tentang thurqk udah pernah intervensi apa belom, umi kira dirimu cuma bakal masukin intervensi tingkat rendah, but.. I'm shock. dirimu masukin Thurqk lebih dari itu.

    Dan seperti janji, endingnya ga ketebak sama Umi >.< jadi umi kasih nilai 8. minus 2, umi kasih di PM karena.... T~T Umi udah janji ga ngomongin yang jelek-jeleknya *orz

    Semangat om Rend >.<

    ReplyDelete
  4. Ugh, ini cerita sangat dewasa... Saya sepikles nih om rend... Bingung mau komen apa, otak saya ga mampu mencerna @.@

    Satu yang pasti, lust nya kerasa banget.

    Oh iya, ada scene Thurqk nongol dan mengintervensi, lain daripada yang lain nih. Tapi saya rada bingung, jadi akhirnya yang menang Azraq ya?

    Nilainya 7 nih om rend... @.@

    ReplyDelete
  5. Wow, Xabi ga diampuni tapi Azraq dibiarin lewat ya. Mereka beneran mainan. Thurqk brengsek emang. Dia tau caranya jadi villain. :|

    Seperti di ronde satu, cri khas gaya bahasanya berkesan banget. XDb Di awal, kecanggungan Azraq akan wanita kerasa, tapi itu ga berlebihan, dia masih bisa nyelamatin orang. Pas pokoknya.

    Btw banyak yg 3x di sini, ya - mba pas ngangguk, geleng2, sama narik napas. Lulu juga bilang "bodoh" 3x kalo ga salah, hahaha.

    Tommy yang melek teknologi keliatan di dialognya. Pertarungannya lumayan ngotak. Lulu yang dari awal terkesan udah tahu banyak juga masuk akal. Si Azraq ngga nyangka akhirnya bakalan kena tendang Mba, lumayan kocak di situ XD Sementara, Xabi sama kayak yg saya lakuin ke Nurin, pake bahasa gaul. Tp udah lumayan kok porsi dia di cerita. Karakternya yg pemberontak jadi cocok dipaksa bertarung, bahkan sempet dicari sama Hvyt.

    7/10

    ReplyDelete
  6. Ini cuma perasaan moi atau canon di sini Om Ren jadi ribet lagi ya? Padahal di R1 canonnya lebih mudah dicerna. Narasinya bagus tapi nggak membantu moi untuk menikmati canonnya dengan baik. Sebenernya moi mau ngasih nilai pas-pasan sih tapi author moi suka yang lusty-lusty sih. Tuh liat mukanya mesum-mesum pengen ditonjok. Oi, author, kasih nilai berapa?

    Adham: 7,5 BUAT MBAAAAAAAAAAA! HIDUP MESUUUUUUUUUUUUM! #kemudianngaceng

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -