May 17, 2014

[ROUND 2 - THVR] XABI ANGER METALLICI - FIGHT OR FLIGHT

[Round 2-Thvr] Xabi Anger Metallici
"Fight or Flight"
Written by Eka Puspita

---

Layar besar di langit itu kembali muncul. Adegan demi adegan ditayangkan secara live. Sang Dewa bertindak sebagai pemeran utama di sana.

Thurqk tampak tidak senang dengan ucapan seorang lelaki yang tidak mengakui dewa berkulit merah itu sebagai sang pencipta semesta.

Apakah mereka bodoh? Memangnya mereka pikir pencipta alam semesta ini siapa? Tuhan yang selama ini mereka sembahkah? Bahkan di Bumi ada lebih dari 3000 agama dengan Tuhan yang berbeda. Ironisnya tidak ada satu pun yang dapat memberi bukti nyata keberadaan sang pencipta itu. Dan jika sekarang Sang Pencipta itu menunjukkan diri dan memberi bukti, kenapa mereka menyangkal?

Pikiran Xabi terhenti. Ia mendecakkan lidahnya ketika melihat Thurqk menghancurkan seorang wanita berambut perak yang telah ia kalahkan tempo hari. Sedikit sesal terselip di benaknya. Namun melihat penyiksaan Thurqk yang tanpa ampun tentu saja semakin membuat ia tidak mau kalah di turnamen ini.

"Bagaimana?"

Sedikit terkejut Xabi mendengar suara Hvyt di sampingnya. "Apanya?" dilihatnya kembali layar di langit yang tiba-tiba saja menghilang, memaksa wajahnya berputar ke arah makhluk tinggi bersayap itu.

"Apakah kau mau bernasib seperti sebelas orang itu?"

Xabi menatap dalam mata Hvyt yang hitam. Semua yang disaksikannya barusan hanyalah bagai sebuah film thriller box office yang biasa ia tonton di kaset bajakan.

Hvyt sedikit terhenyak dengan sorot mata Xabi. Tidak ada kengerian tergambar di sana, tidak pula rasa takut. Ia malah melihat mata coklat gelap itu menyala seperti pohon rachta, menantangnya untuk segera mengantarkan anak muda itu menuju babak selanjutnya dari pertandingan ini.

"Baiklah…baiklah, nak. Sekarang waktumu untuk bersenang-senang…"

***

Matahari musim panas dengan angin semilir dan gemerisik daun kelapa menggoda siapapun untuk terlelap dalam kasur-kasur empuk yang bertebaran. Kain-kain satin lebar membentang, berkibar di tiup angin di sela pilar-pilar kokoh. Tingginya bersaing dengan pohon kelapa yang meliuk-liuk. Andai para kelapa tegak lurus, pastilah lebih tinggi dari pilar-pilar aneh itu.

Xabi mendengkur di salah satu kasur empuk beralas kain satin putih. Rasa nyaman menjadi-jadi, merasuki seluruh badannya hingga ia terlena dengan buaian angin sepoi.

Begitu lelapnya Xabi tertidur hingga ia tidak menyadari ada dua sosok lain yang berada di dekatnya.

Adalah seorang berambut warna-warni berhiaskan sayur-mayur sebagai mahkota dengan sedikit gemetar mundur dua langkah menjauhi seorang lagi. Tubuhnya terus gemetar demi menghindari serangan fisik dari gadis yang memiliki rambut panjang.

"Menyerahlah, Mba! Meskipun kau seorang Peacemaker tapi bukankah gelar itu tak berguna?" lantang si gadis berambut panjang berkata.

"Tidak mungkin…aku tidak mau siapapun terluka!" terkepal tangan si Mba mendengar ucapan gadis dihadapannya.

"Tidak ada gunanya lagi kamu hidup lagi, Mba. Jadi…tetaplah mati!" gadis berjaket pink itu menggerakkan tangan di udara.

"Tidak…jangan Lulu. Kumohon!"

 Mba mengulurkan tangannya. Namun terlambat, di atas kepala gadis bernama Lulu itu telah terbentuk gumpalan awan hitam. Sesosok makhluk tinggi berbadan hangus keluar dari gumpalan awan, melesat menuju Mba. Cahaya hitam-biru berkelebat menghujam tubuh Mba. Rupanya makhluk itu melesatkan cahaya petir dan muatan listrik.

Mba memekik. Rambutnya terhempas angin yang di bawa oleh makhluk yang dipanggil Lulu. Jurus-jurus si makhluk gelap tak mampu melukainya tapi Mba hampir kehabisan napas karena makhluk itu terus berputar seperti gasing.

"Sudah kubilang, kan Mba? Lebih baik kamu tetap mati agar dapat bertemu dengan kekasihmu itu…Danzel milikku!! Hahaha…" puas Lulu tertawa, melihat Mba yang sepertinya sudah sekarat. Dielusnya rambut yang tergerai di bahu kanan dengan jemari kirinya. Bola matanya berputar sedikit ke arah timur.

Seorang pria rupawan tampak tengah duduk di sebuah tempat tidur dengan kelambu putih yang tersingkap. Sehelai kain melilit tubuhnya, menutupi lutut hingga ke pusar dan menampakkan sebagian dadanya yang bidang. Otot-otot bisepnya tidak disembunyikan sama sekali. Senyum menawan terbentuk di bibirnya.

"Danzel…kamu milikku," bisik Lulu seraya melayangkan kiss bye.

Bruakkk!!!
Sebuah kilatan hitam-biru melesat menembus tubuh Lulu. Terjatuh Lulu di kedua lututnya. Rasa nyeri merebak dari dadanya. Denyut- demi denyut jantungnya terasa sangat lambat. Matanya mulai mengabur dan sebuah cairan mengalir melalui kerongkongan melewati mulut dan hidung membuatnya tersedak.

"Mba…ka-kamu….." samar terlihat wanita bermahkota sayur itu berlutut, merangsek hendak mendekat.

"Sudah kubilang jangan Lulu…jangan…" Mba meraih tangan Lulu yang mulai dingin. Mata coklat itu perlahan berkaca-kaca. "Ma-maafkan aku…" dipeluknya tangan Lulu sehangat mungkin meski itu tak mampu menyelamatkan temannya itu.

"Hei…aku Lulu, kamu siapa?"

"Baiklah…kita kalahkan salah satu dan kembali bersama-sama!"

"Ya…pria itu amat tampan!"

Kata-kata Lulu terngiang di benak Mba. Teringat saat ia pertama kali bertemu Lulu. Mereka berteman. Mengobrol dan bercengkrama tentang kehidupan meraka.

"Yah…beginilah akhirnya. Kau sudah mengalahkannya, Mba…" sebuah tangan lembut hinggap di bahu Mba.

Air mata yang semula sudah hampir tumpah sirna seketika demi melihat mata hijau indah itu. Mba tak melepaskan pandangannya. Rasanya sangat sejuk melihat kedua bola mata itu berada di dalam wajah yang sedemikian rupawan. Ia ingn terus menatapnya dan menatapnya, seolah seluruh dunia ada di kedua mata itu.  Ia ingin memilikinya.

"Seperti kesepakatan kita tadi, siapapun pemenangnya berhak memilikiku," pria tampan itu tersenyum.

Seperti melihat surga, bibir Mba melengkung. Tangan si pria pun disambut dengan hangat. Seolah tidak terjadi apa-apa, Mba melangkahkan kakinya melewati Lulu yang sudah tidak bernapas.

Tidak ada lagi pemikiran yang lain-lain selain pria dihadapannya, Danzel. Mba tidak menolak ketika Danzel mengangkat tubuhnya. Ia bahkan mengalungkan lengannya ke leher si pria yang jenjang.

Kain satin berkibar-kibar di udara, di bawa angin ke sana-kemari. Cuaca hangat tidak pernah berubah satu derajat pun. Xabi terbangun saat lembaran kain satin putih tertiup mengenai pipinya. Perlahan matanya dibuka, menangkap gambar demi gambar yang ada di hadapannya.

Langit masih sama seperti pertama kali ia tiba di pulau ini. Biru tanpa awan segorespun. Xabi melihat sesosok tubuh tergeletak tak jauh dari tempatnya. Dilangkahkan kakinya menuju sosok berjaket merah itu. Lebih dekat terlihat lebih jelas sosok itu adalah seorang gadis.

"Ah…dia sudah mati." Ucap Xabi setelah ia berjongkok memeriksa denyut nadi gadis berambut panjang itu. Dilihat dari pakaiannya mungkin dia adalah salah satu orang yang terpilih. Darah yang keluar dari mulutnya begitu banyak, menandakan yang telah membunuh gadis itu adalah orang yang memiliki kekuatan besar. "Mungkin yang satunya masih di sekitar sini," diusapnya kedua mata mayat itu hingga menutup, "…harus waspada."

Xabi akhirnya memutuskan untuk berdiri dan melihat berkeliling. Pulau aneh ini tampak lengang dengan kasur-kasur bertebaran. Aneh sekali kain satin ini terlihat baru semua. Apakah setiap hari ada petugas yang mengganti sprei dan kain satin yang digantung pada pilar-pilar yang juga terasa ganjil.

"Eh…" Xabi memicingkan mata, berusaha menangkap gambaran lebih jelas. "Apa itu?" spontan kata tanya itu meluncur ketika matanya menangkap ada sesosok makhluk di balik kelambu pada salah satu tempat tidur yang tentu saja serba putih.

Perlahan kakinya berjinjit, menghindari benda-benda yang mungkin bisa disenggolnya. Berkali pula ia bersembunyi di antara pilar-pilar tinggi sambil sesekali melirik sekeliling. Pada pilar yang terdekat, sekitar tujuh meter dari tempat tidur yang tirainya tertutup itu, Xabi jongkok. Kepalanya dimiringkan sedikit dari pilar putih itu.

Telinga Xabi mulai mendengar suara-suara aneh dari balik kelambu. Sepertinya itu adalah salah satu makhluk yang terpilih, pikirnya. Matanya terus memperhatikan bayangan-bayangan samar yang dapat ditangkap mata.

Me-mereka ada dua! batin Xabi.

Angin lembut berhembus di pulau seribu kasur itu, menerbangkan helaian satin. Tak terkecuali kelambu-kelambu yang tergerai.

Dada Xabi berdegub kencang, sesuatu dalam dirinya tergelitik. Tanpa sadar ia menggigit cincin di bibirnya. Sebuah perasaan bangkit demi melihat apa yang ada di balik tirai. Bisa-bisanya mereka berbuat begitu! Apa mereka tidak takut jika tiba-tiba saja musuh datang dan menghancurkan mereka?

Edan! Kedua orang ini sungguh edan!

Xabi menutup sebelah matanya dan membiarkan sebelah lagi menyaksikan adegan dari balik layar. Sesuatu itupun bergolak lebih dahsyat di dalam dirinya, apalagi kini suara-suara itu terdengar begitu nyata dan jelas. Desahan demi desahan serta erangan dari makhluk berambut warna-warni itu membuat Xabi gila.

Tak ingin sesuatu itu lebih besar dan menganggunya lebih jauh, Xabi memutuskan pergi dari tempat itu. Ia membutuhkan sesuatu untuk menormalkan detak jantung dan panas tubuhnya. Ia harus menemukan sesuatu untuk melupakan apa yang baru saja dilihatnya.

***

Xabi berlari menuju tempat yang tidak ia ketahui. Kepalanya sibuk mengingat, memilah-milah koleksi lagu yang telah ia masukkan ke dalam memori kepalanya. Enter Sandman, Paranoid hingga War yang dimainkan oleh Joe Satriani. Beruntungnya ia mengingat sebuah lagu dari Iron Maiden.

Coming home far away
When I see the runway lights in the misty dawn
The night is fading fast
Coming home far away
As the favor trials alight
Where I've been tonight you know I will not stay

Ia berhenti pada lirik terakhir kakinya tidak bergerak. Matanya memandang sekeliling, mencari sesuatu yang menyerupai apa yang ada di tempat asalnya.

Langit biru itu terlalu sempurna. Pilar-pilar tinggi tak pernah ia temukan di Distrine, kota tempatnya berasal. Kain-kain itu hanya mengingatkannya pada sebuah kota yang para penduduknya bekerja melukis kain.

"Hhh…" napasnya terdengar lama. Tangan kananya yang merogoh saku celana menemukan sebuah benda kecil. Dikeluarkannya kemudian matanya menatap benda itu sayu.

"Aku…tak akan pernah pulang lagi," bisiknya pada benda di dalam kotak yang ternyata adalah sebuah jarum. "Entahlah…aku punya kesempatan mengikuti turnamen ini…" kata-katanya terhenti.

Sebuah tangan putih bersih menyentuh pundak Xabi. Rasanya lembut meski pundak itu masih terhalang oleh sebuah kaos berbahan cotton combed 20's.

"Si-siapa kau?" hampir loncat pemuda di ujung remaja itu melihat sosok di belakangnya.

Seorang gadis berkulit putih bercahaya tengah tersenyum padanya. Rambutnya yang hitam panjang tergerai, sesekali beberapa helai melayang ditiup angin sepoi. Alisnya begitu tertata sempurna di atas mata hijaunya yang mengkilat seperti terbuat dari baja yang di cat pernis.

"Aku Feryal, bidadari yang sedang turun ke pulau Thvr ini. Umm…apa yang dilakukan pria tampan sepertimu di sini?" disentuhnya pipi Xabi. "Hmm…kau begitu muda – " tangannya bergerak perlahan menuruni leher, dada hingga menyusup ke balik kaos hitam yang Xabi pakai, " – dan tampan. Apakah kau mau bersenang-senang denganku?"

Panas tiba-tiba saja menghinggapi Xabi. Ia tidak tahu apa ia harus menjauhkan diri dari wanita yang mengaku seorang bidadari ini.

"Aku…namaku Xabi. Aku sedang mencari tujuh orang yang terpilih…" Xabi menjauhkan wajahnya dari Feryal yang kini tengah mengendus-endus badannya.

"Jadi…kau suruhan Thurqk juga, ya?" ucap wanita itu manja. Dimasukkannya jari kelingking ke cincin yang ada di pusar Xabi. Namun ia langsung meringis manja karena Xabi melemparkan tangannya dari balik kaos.

"Apa yang kau mau?"
Berdiri Xabi. Kakinya melangkah mundur. Sedikit gemetar tangannya menggenggam kotak jarum. Kakinya tiba-tiba saja tidak sekuat biasanya menopang tubuhnya untuk tetap tegak. Sedikit kesulitan juga ia mengatur detak jantungnya agar tetap normal.

"Aku hanya ingin membantumu, Xabi…" berdiri pula Feryal, "…membuatmu lebih santai dalam pertarungan ini."

Dari tempatnya berdiri terlihat Freyal begitu menarik. Selembar kain satin melilit tubuhnya mulai dari atas lutut membentuk rok ketat hingga ke bagian dada, hanya tiga perempat. Siapapun yang ada di depannya bisa melihat – atau setidaknya mengintip – apa yang ada di balik selembar kain itu. Di bagian punggung terdapat sebuah simpul pita sederhana. Taruhan! Jika simpul itu lepas, maka seluruh kain yang membungkusnya akan terbuka.

Feryal adalah gambaran gadis ideal yang tak bisa ditolak oleh lelaki manapun. Bibir tipis merah menggoda, leher jenjang hingga betis yang mulus. Laki-laki normal tak akan mampu berkata tidak untuk bidadari yang satu itu.

"A-aku tidak butuh bantuanmu…"

"Ah…setiap orang butuh bantuan. Setidaknya sekali seumur hidup. Aku akan membantumu menghilangkan stress sepanjang pertandingan." Freyal melangkah mendekati Xabi sementara Xabi terus mundur hingga sebuah pilar menahannya.

Freyal tersenyum nakal. "Aku menyukaimu…" bisiknya tepat di depan telinga Xabi. Kedua lengannya mengusap-usap pipi Xabi yang mulai memerah.

Napas Xabi mulai terasa berat. Jantungnya semakin kencang berdetak ketika wajah ayu itu tepat berada di depan wajahnya. Kedua bola mata hijau itu berkelip-kilap sampai-sampai Xabi harus menahan diri untuk tidak mencongkelnya keluar. Sekuat tenaga ia berusaha untuk berlari, namun satu sisi dalam dirinya memaksanya untuk tinggal dan menikmati setiap belaian Freyal.

Freyal perlahan mendekatkan tubuhnya pada Xabi. Lebih dekat dan dekat hingga tak ada jarak di antara keduanya. Getar demi getar dada Xabi bisa dirasakannya. Maka tidak ragu lagi ia menyusupkan jemarinya di sela rambut jabrik hitam itu. Mendengar napas Xabi yang sudah tidak biasa, Freyal tahu inilah saatnya. Maka perlahan bibirnya mendekat, hendak mencapai bibir di depannya.

Brugh!
Sebuah bola biru mendarat ke arah Xabi dan Freyal yang hampir saja berciuman. Freyal terlempar. 'Gaun'-nya melorot.

"Ugh!" bola biru itu bersuara. Sejenak bola itu berubah menjadi sosok manusia dengan warna biru translusen.

Xabi bersiaga. Kesal juga ia telah diganggu pada saat yang menyenangkan.

"Tolong aku…tolong…" si manusia biru menarik lengan Xabi. Sebelah tangannya menunjuk ke sebuah tempat tidur.

Xabi melempar pandangannya pada arah yang ditunjuk si manusia biru. "Ada apa?"

Xabi tak perlu mendengar jawaban dari si manusia biru karena dari balik tempat tidur itu sebuah monster raksasa muncul. Raksasa bertentakel itu menggeliat-geliat. Rupanya ia tersangkut kain satin yang terbentang di antara pilar.

"Makhluk itu mengincar Lazu…" ucap si manusia biru perlahan sembari bersembunyi di balik tubuh Xabi.

Xabi hanya terdiam melihat makhluk itu kesulitan bergerak. Si gurita raksasa berusaha melepaskan kain-kain yang membuatnya tersangkut. Namun justru ia malah semakin terjebak dan tak bisa meloloskan diri hingga akhirnya sebuah ledakan erjadi tepat dari tempat sang gurita raksasa.

Makhluk biru itu merunduk, meletakkan kedua lengan di depan kepala. "I-itu…itu makhluknya!" ditariknya lengan Xabi dan Freyal yang tengah membenarkan pakaiannya. "Ayo sembunyi!"

Baru saja tiga makhluk itu hendak melangkah, hujan turun dari langit. Hujan dengan airnya yang hitam pekat. Lazu menoleh ke udara. Air tumpah dari langit, tepatnya berasal dari arah ledakan . ternyata itu adalah tinta gurita raksasa atau darahnya?

"Damn! Apa ini?" Xabi menepis air yang mengumpul di lengannya.

"Dari gurita itu…asalnya dari makhluk itu!" seru Lazu.

"Menjijikan!!!" Feryal menjerit. Kain satin putih yang melilit tubuhnya telah berubah kusam dan basah. Tidak tahan dengan kekotoran itu, tangannya meraih ikatan di punggung kemudian menariknya.

Lazu dan Xabi hanya bisa ternganga melihat Feryal yang kini terbang tinggi dan melemparkan kain satinnya ke arah mereka berdua.

"Aku akan menemuimu lagi, Xabi…setelah semuanya beres," ujar Feryal yang tidak berhenti menjauhi daratan. Gadis itu terbang tinggi meliuk-liukkan badannya yang kini tanpa penutup hingga menghilang dari pandangan.

"Hai…kalian berdua! Bidadari itu sudah pergi." Seorang pemuda datang menggenggam sebuah tongkat bersabit.

"Uwahhh…o-orang itu…" mata Lazu membesar melihat si pemuda bertongkat.

"Siapa dia?" berbisik Xabi.

"Dia adalah dewa kematian…" sedikit bergetar suara Lazu. Ia tidak ingin dekat-dekat dengan ujung tongkat si pemuda. "Namanya Enzeru…"

"Dewa kematian katamu? Apakah Dewa bisa mati?" dahi Xabi berkerut. Matanya tidak lepas dari pemuda bernama Enzeru itu.

"Hei. Aku ini personifikasi kematian, bukan dewa kematian!" Enzeru yang rupanya mendengar percakapan Lazu dan Xabi protes.

"Personifikasi?" kembali berkerut dahi Xabi. Setahunya itu adalah sebuah nama majas yang ia tidak tahu apa gunanya ataupun maknanya.

"Lazu…jangan kabur lagi! Ayo hadapi aku!" Enzeru mengacungkan tongkatnya.

"A-aku tidak suka bertarung. Aku tidak mau…"

"Aih…jadi sisa waktu di sini akan terbuang percuma, eh?"

"Sisa waktu?"

"Apa dia tidak tahu Lazu?" ditatapnya Xabi tajam. Enzeru bisa merasakan bahwa orang ini punya emosi yang besar, terutama marah. "Kita hanya puya waktu sepuluh jam untuk membunuh salah seorang yang terdampar di sini dan kembali ke titik awal ntk memenangkan ronde ke dua ini…"

"Sepertinya dia yang membunuh monster gurita tadi," Lazu menatap sisa tinta yang ada di ujung tongkat Enzeru. Hanya ada di ujung, tidak di bagian lain.

"Oh…Tommy. Aku sudah menghabisinya tadi bersama gurita raksasanya itu."

Xabi melihat ekspresi Enzeru yang datar. Sepertinya ia adalah lawan yang akan mengasyikan daripada Lazu yang tidak bersemangat bertarung. Maka ia melangkah ke depan dan mengeluakan jarumnya, membentuknya menjadi pedang dengan panjang satu meter.

"Hei…Lazu, pergilah! Aku yang akan menghabisinya!"

"Eh?" Lazu menatap Xabi sejenak. "Benarkah itu?"

Sebuah anggukan menjawab pertanyaan Lazu. "Carilah lawan lain, Lazu…"

"Baik…terima kasih, Xabi…" ucap Lazu yang segera pergi menuju tempat yang lebih teduh di pulau itu.

"Kau…fans Metallica, ya?"

"Eh?"

***

Sudah hampir delapan jam sejak ia tiba pertama kali di pulau itu. Satu jam terakhirnya ia gunakan untuk bertarung dengan Enzeru, si personifikasi kematian. Peluh bercucuran dari dahi dan leher Xabi. Kaos hitamnya pun sudah dibasahi keringat, selain hujan tinta si gurita.

Berkali-kali diserangnya Enzeru namun berkali pula Enzeru menghindar. Suara pedang dan tonkat tak jarang berbunyi nyaring. Sekali waktu Xabi melesat hendak menusuk Enzeru tapi ia hanya menusuk udara. Enzeru yang tiba-tiba muncul dari bayangan pilar segera menyergap Xabi dengan senjatanya. Beruntung sekali ada sebuah tempat tidur di dekat sana.

Xabi melompat, melewati kolong tempat tidur. Tak lama tempat tidur itu pun hancur terkena sabetan ujung tongkat Enzeru. Beberapa kayu beterbangan, menyentuh kulit Xabi dengan kecepatan tinggi.

"Ugh…ini cuma buang-buang waktu," keluh Xabi. Dikecilkannya pedangnya kemudian dimasukkan kembali ke dalam saku.

"Ya…kau benar, Xabi. Akan lebih baik mendengarkan Mastodon atau Children of Boddom, kan?" tanya Enzeru yang baru saja muncul dari balik bayangan sebuah pohon kelapa.

"Lebih baik Metallica atau Exodus!"

"Trash…aliranmu itu, ya? Sampah!"

"A-apa katanya?" terbuka telapak tangan Xabi. Sebentuk angin berputar-putar, semakin besar dan besar hingga di arahkannya ke Enzeru.

Enzeru dengan tenang bergerak ke samping kiri. Pusaran angin berdebu itu melewatnya begitu saja.

Terlalu mudah.

Tersenyum Xabi yang melihat Enzeru menghindari dust devilnya. Angin itu terus berputar, menghancurkan tempat-tempat tidur kosong, pilar-pilar serta batang-batang pohon kelapa. Helaian=helaian kain satin beterbangan. Sebagian tersangkut di antara pilar dan pohon kelapa kemudian koyak tersapu angin.

"Eh…" Enzeru baru saja menyadari sesuatu. Ia memang bukanlah sasaran dari angin barusan. Sasarannya adalah semua benda tinggi yang membentuk bayangan di tanah. Setelah semua luluh lantak, tentu ia tidak bisa melakukan black light, bergerak dengan kecepatan cahaya menuju tempat yang terdapat bayangan. "Pintar juga…"

Keadaan menjadi tidak jelas. Debu-debu masih beterbangan meski dust evil sudah dihentikan. Enzeru mengambil kuda-kuda. Pandangannya menyapu sekeliling meski hanya terlihat debu dan debu. Ia harus ekstra hati-hati atau matanya akan kelilipan. Tongkatnya digenggam erat dengan kedua tangannya. Matanya melihat bayangan di sisi kiri, maka segera saja ia melemparkan tongkatnya e arah bayangan itu.

Beberapa detik kemudian tongkatnya kembali. Tangan kanan Enzeru dengan sigap menangkap kembali tongkatnya. Namun secepat yang ia bisa kembali dilemparkan tongkatnya ke arah belakang. Ada suara langkah kaki di belakangnya. Enzeru yakin itu adalah Xabi. Maka ia menungu senjatanya kembali.

Senjatanya kembali bersamaan dengan suara jeritan di balik debu. Tidak ragu lagi kini ia. Sekuat tenaga dilemparkannya kembali tongkat dengan ujung sabit itu ke arah yang sama. Kali ini suara jeritan terdengar lebih kencang.

Senjata Enzeru kembali dengan beberapa helai benang aneh melilit tongkatnya. Sedikit ragu Enzeru melangkahkan kakinya menuju arah jeritan tadi. Ia tidak menemukan apapun. Tapi…

Brukkk!!!

Kakinya menendang sesuatu. Cukup keras. Enzeru meringis pelan. Diangkatnya apa yang baru saja terantuk oleh kakinya.

Sebuah lengan boneka! Terbuat dari jenis kayu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tapi ia tahu kayu itu kuat karena kakinya kini mulai mengeluarkan darah.

"Kau yang telah menghancurkan Sigale!"

Sesosok bayangan muncul tepat di depan wajah Enzeru. Pemuda itu meloncat ke belakang. Ia berusaha mengenali siapakah makhluk itu. Belum sempat matanya merekam dengan jelas makhluk apa itu, tiba-tiba saja makhluk itu menghilang. Enzeru tidak merasakan adanya kehidupan pada makhluk barusan. Itu hantu?

***

Xabi menjauh dari debu-debu yang masih beterbangan menyelimuti udara. Ia hendak mengamati apa yang akan Enzeru lakukan di tengah debu, tanpa bayangan. Cukup lama ia menanti hingga matanya menangkap sesosok makhluk yang cukup besar bergerak di antara serpihan debu. Tak lama sebuah senjata menghantamnya, membuat makhluk itu tersungkur.

Mengenal senjata itu, sebuah ide terlintas di benak Xabi. Maka ia terus memperhatikan makhluk itu hingga seangan ke dua datang dan menghancurkan tubuh makhluk itu.

Dengan segenap keyakinan, dibukanya  kedua telapak tangan dan mulai membentuk pusaran angin berapi. Dilepasnya pusaran angin berapi itu untuk kemudian berkonsentrasi memperbesar dan mempercepat putarannya. Setelah yakin bahwa tornado apinya cukup besar, maka di arahkannya dengan sangat cepat menuju arah makhluk yang roboh itu.

***

Enzeru terkejut dengan suara gemuruh yang kian lama terdengar mendekat. Bagaikan suara ribuan lebah yang mengamuk. Kulitnya perlahan mengeluarkan keringat. Cuaca tiba-tiba saja berubah sangat panas.

Sebelum menyadari apa yang terjadi, tubuh Enzeru terlanjut tersengat tornado api Xabi. Beruntung ia tidak terjebak di dalamnya sehingga ia hanya cukup terlempar sejauh dua puluh meter dengan luka bakar di beberapa bagian tubuh.

Merangkak Enzeru, berusaha berdiri. Dikumpulkan kekuatannya. Sayap-sayap kecil perlahan bermunculan di punggungnya. Setelah genap berjumlah 4000, perlahan sayap-sayap itu bersatu membentuk sepasang sayap hitam yang besar.

Sayap hitam itu membawa terbang Enzeru yang mencari-cari dimana Xabi berada. Ia harus cepat atau semua kekuatan yang telah ia keluarkan untuk mmbentuk dua saya ini akan sia-sia.

Namun tampaknya pengorbanan Enzeru tidak akan percuma karena dilihatnya Xabi tengah berdiri memicingkan mata dengan sebuah tangan di dahi.

Enzeru mendekat cepat. Ujung tongkatnya ia hantamkan tepat di kepala Xabi, membuat pemuda itu limbung dan terjatuh.

Xabi mengerjapkan matanya. Kepalanya digeleng-gelengkn sedikit meski nyut-nyutan terasa masih nyata. Ia berusaha bangkit namun sebuah pukulan keras kembali bersarang, kali ini di bahunya. Kembali tergeletak ia. Merasa ada seseorang yang sudah pasti memukulnya, matanya menangkap bayangan-bayangan yang mungkin ada, tapi ia tidak melihat sosok yang dicarinya.

Sebuah senjata yang sudah tidak asing lagi mendadak muncul, terayun menuju dadanya. Dengan sigap tubuhnya berguling ke kanan menghindari tongkat sabit. Namun ia sama sekali tidak melihat Enzeru. Apakah ia mengendalikan senjatanya jarak jauh?

Bles!
Xabi menarik napas panjang ketika senjata itu melayang dua inchi dari batang hidungnya. Segera dikeluarkannya tornado api kecil. Senjata itu dilempari pusaran angin berapi kecil. Melayang jauh si tongkat sabit menjauhi tornado.

Saat itulah, Xabi menciptakan lagi beberapa tornado setinggi tiga meter. Dibentuknya benteng dengan api yang menari-nari itu. Dengan benteng api itu, maka jalan satu-satunya bagi Enzeru untuk menyerang adalah dari atas. Itupun  jika ia berhasil melompat setinggi lebih dari tiga meter atau jika ia memiliki sayap.

Enzeru berhasil lolos dari tornado api yang tiba-tiba menghilang saat mengejarnya. Namun ketika ia melihat ke arah Xabi, tidak nampak wajah pemuda berkaos hitam itu. Terhalang oleh putaran api yang cepat.

Berkeliling Enzeru mencari celah untuk bisa masuk tapi tidak ada. Hingga akhirnya ia terbang tinggi dan menemukan tidak ada api di bagian atas. Tanpa pikir panjang – karena kedua sayapnya akan segera hilang – ia segera mengangkat tongkatnya. Dengan kekuatan penuh, Enzeru mengarahkan ujung tongkatnya ke leher Xabi.

Api di bagian atas sedikit terhempas dan Xabi merasakannya. Ia tahu apa artinya itu. Saat ia merasakan pergerakan angin di udara menghempas rambutnya, maka semua tornado yang membentengenginya ia gabungkan. Dengan segenap kekuatan, diarahkannya tornado super besar itu ke arah Enzeru.

Mata si Personifikasi Kematian itu membelalak. Ia tidak sempat menghindari serangan Xabi hingga ia pun terjebak dalam kobaran api yang berputar. Panas menggigiti setiap mili kulit tubuhnya. Enzeru bertahan tapi perlahan ia kehabisan oksigen dan kehilangan kesadaran hingga tubuhnya habis dilahap api.

Terduduk Xabi, tangannya memegangi kepalanya yang tadi terhantam. Perih merambat hingga ia terjatuh di kedua lututnya. Perlahan badannya pun merosot. Sejenak dinikmatinya perih di sekujur badan.

"Ah…" Xabi teringat sesuatu. Maka ia pun tertatih berdiri dan berjalan untuk menyelesaikan misi ronde dua ini. Ya. Ia harus kembali ke titik awal agar ia bisa melanjutkan pertarungan ini.

***

"Hah…lama sekali kau, nak…" Hvyt telah menunggunya di tempat yang tadi ia gunakan untuk tidur sejenak.

"Bisa kita pergi sekarang?" terengah Xabi. Tangan kirinya memegang lengannya yang lain.

"Hahaha…kau tak mau bersenang-senang dengan para gadis di pulau ini?" yang ditanya hanya menggeleng. "Apa kau yakin?" Hvyt menatap beberapa gadis yang tengah berenang riang di pantai.

"Bawa saja aku…"

Hvyt mulai menggamit tangan Xabi dan membawanya terbang. Pada saat itulah seseorang dari bawah berteriak, "Xabi! Xabi…"

Meskipun lelah, Xabi melongok ke bawah. Terkejut ia melihat Lazu tengah berenang di pantai. "Ah…makhluk itu…"

"Aku sudah berhasil mengalahkan Azraq…aku akan menemukan Hvyt di sebelah timur!" teriak Lazu.

Syukurlah. Entah kenapa hati Xabi berkata seperti itu. Setidaknya ia bisa bertemu lagi dengan makhluk biru itu. "Selamat berjuang, LAZU!" teriak Xabi setelah mengumpulkan sisa tenaga yng dimilikinya.

Lazu melambaikan tangan ke arah Xabi. Tanpa ia sadari, segerombolan gadis cantik memesona tengah mengelilinya.

--GOODBYE LUST--

3 comments:

  1. Umi kasih 7/10 untuk ceritanya karena berhasil bikin Umi ketawa. Gaya bahasanya lumayan mengalir, cuma mungkin kurang enak di batle aja, masih berasa kayak baca laporan. >.<

    Oh iya, persahabatan yang muncul antara lazu sama Xabi juga bisa digali lebih. Mba munculnya cuma sekilas, ga tahu juga ngapain Mba muncul :D

    semangat Ekaaa~ ditunggu perjuangannya >.<

    ReplyDelete
  2. Kepincut sama endingnya nih. Solidaritas Xabi keliatan. Juga sekalian ngasih open-ending buat Lazu. XDb

    Emang alami kalau Lazu nyangka 'dia' dewa kematian. Nama band2 itu lumayan ampuh buat bikin konflik XD juga sedikit pun dari thrash ke trash biar Xabi ke-provoke.

    Battlenya seru, eksplorasi kemampuan masing2 bagus. Selain itu, suasana di awal waktu ada mba sama lulu lumayan ngeblend dengan baik antara komedi dan seriusnya. Terakhir, penulisan udah cukup rapi, dan alurnya ngalir dgn lancar.

    7,8/10

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -