May 20, 2014

[ROUND 2 - ARSK] ALTAIR KILATIH - DUNIA 36.000 DETIK

[Round 2-Arsk] Altair Kilatih
"Dunia 36.000 Detik"
Written by Fusyana

---


-300 Detik.

Kilat terbaring telentang di antara serpihan raksasa pilar-pilar dari benteng es. Azraq terkapar tak sadarkan diri di suatu tempat di salah satu sisi kota yang luluh lantah, entah di mana. Kilat terdisorientasi akan arah setelah bertarung selama sepuluh jam dengan pengendali air dan es, sahabatnya sendiri. 

Azraq telah menciptakan hujan dari udara kosong, membekukan awan dan membuat benteng serta puluhan marionette salju berwujud beruang kutub kelaparan. Kilat tahu dia tak perlu mencari di mana tubuh Azraq kini tergeletak hanya untuk memastikan apakah dia masih hidup. Dia yakin Azraq hidup, di mana pun tubuhnya terkulai tanpa kesadaran.

Kilat menang. Dia memenangkan pertempuran sakit, yang lahir atas kehendak dewa yang sakit, di alam kematiannya. Ah, Kilat sudah mati. Dia langsung teringat, semua ingatan Kilat yang terenggut Void telah didapatkannya kembali, dan dia teringat... akan kematiannya.

Sore itu Virus AI menginfeksi kantong-kantong automoton sampah environmental, memporak-porandakan kota Aquilla. Kilat adalah anggota dari Satuan Cyborg Hunter, pemburu manusia separuh mesin dengan aliansi Virus AI pada sistemnya. Automoton sampah adalah robot, bukan cyborg. Tapi tak ada bedanya jika keduanya sama-sama terinfeksi oleh Virus AI.

Kilat menggenggam kemenangan pada hari itu. Dia melumpuhkan semua automoton yang terinfeksi dengan harga sepotong nyawanya. Dia melakukan apa yang harus dia lakukan. Dia melakukan hal yang benar dan dia melakukannya dengan sebenar-benarnya. Tak ada secercahpun penyesalan di hembusan terakhir nafasnya. Senyuman kebanggaan tersungging lebar.

Sampai dia terbangun di tanah merah dengan ribuan malaikat merah raksasa bersayap hitam lebar melayang di udara. Dan sesosok yang mengaku bahwa dirinya seorang dewa mengumumkan bahwa dia sedang mengumpulkan nyawa setiap makhluk ciptaannya di alam kematian untuk menghiburnya dalam sebuah turnamen omong kosong.

Kilat melihat ras lain yang ada di dekatnya, objek-objek yang Thurqk Sang Dewa klaim sebagai makhluk ciptaannya. Kilat asing akan sebagian besar dari mereka, tapi dia mengenali beberapa diantaranya. Seorang Viridian. Satu ras air baru bertubuh bening transulen dari sebuah planet biota air tak jauh dari Aquilla, planet asal Kilat. Diantara mereka juga ada Widinghi, seorang Bushvallha dari Farum di galaksi Sapon yang keberadaannya telah terdengar akrab sampai ke sistem tata surya Kilat.

Saat masih hidup, Kilat memang sering menonton channel discovery luar angkasa dari jaringan TyFNet saat dia bosan mendengar briefing misi yang tak ada hubungannya dengan cyborg. Tentu saja atasannya memarahinya karena tak bisa fokus dengan briefing yang sedang berlangsung. Sekarang, Kilat justru bersyukur di masa hidupnya dia sering menjelajah TyFNet dan channel discovery luar angkasa. Dari sanalah dia mengetahui beberapa ras yang terkumpul di tanah merah ini.

Di Aquilla telah tersedia mesin berteknologi FTL. Sebuah wormgate, lubang ruang dan waktu yang berfungsi untuk mendistorsi jarak sebagai sarana bepergian ke galaksi lain dengan cepat, telah ratusan tahun terinstall di langit utara, hanya berjarak beberapa ratus ribu kilometer dari atmosfer Aquilla.

Eksplorasi luar angkasa sudah menjadi cerita lama. Kilat sudah beberapa kali pergi keluar planet, walau tak pernah sampai ke luar tata surya karena tuntutan pekerjaannya. Jadi Kilat mengerti, seperti semua orang di Aquilla mengerti, bahwa semua hal aneh, seaneh apapun, bisa ditemui di luar sana. Dari bakteri dengan kemampuan berpikir, individu tak terhingga dengan satu titik pikiran, makhluk cosmic dengan tubuh murni energi, bahkan Dewa.

Para penjelajah telah memastikan bahwa Dewa dan Tuhan hanyalah sebuah gelar, bukan sebuah konsep. Setiap Dewa yang mereka temui hanyalah sebuah ras dari salah satu bentuk kehidupan. Yang membedakannya dengan mahkluk hidup lainnya adalah besaran kekuatannya, dan terkadang seberapa banyak pengikutinya. Namun tetap saja, sekuat dan sebanyak apapun pengikut Sang Dewa, dia tetaplah seorang makhluk hidup.

Bushvallha adalah ras manusia buta, tapi mereka adalah dewa bagi sebagian orang. Widinghi adalah manusia, tapi dia adalah dewa kematian bagi planetnya, Sang Perenggut Nyawa. Kenyataan bahwa Dewa Perenggut Nyawa telah direnggut nyawanya oleh mahkluk yang bahkan tak ada dalam kitab suci agamanya adalah hal yang sangat ironis.

Hal itu juga menunjukkan bahwa pada dasarnya, tak ada Tuhan di alam semesta. Bahwa Thurqk, Dewa yang melayang di langit, di hadapan Kilat saat ini, adalah seorang mahkluk hidup biasa. Sama seperti Widinghi dan dewa-dewa lainnya di seluruh penjuru alam semesta. Kilat yakin akan hal itu. Dia meyakini, atau mungkin berusaha untuk meyakini, bahwa dia sedang terdampar di suatu tempat di luar galaksinya, entah dengan cara apa. Dia bisa kembali ke planetnya, yang dia butuhkan hanya titik koordinat semesta tempatnya berada dan kombinasi antara pesawat berteknologi FTL dan sebuah wormgate.

Sampai pada akhirnya, Sang Dewa mengirimkan Kilat dan empat orang lainnya untuk saling membunuh di salah satu planet. Kilat ingin menolaknya, dia ingin mencari alternatif lain untuk keluar dari cengkeraman Thurqk. Tapi apa yang bisa dia lakukan saat ingatannya akan kematian, akan Thurqk dan turnamennya, lenyap? Itu yang terjadi padanya saat memulai ronde pertama ini.

Saat ingatannya kembali, semua sudah terlambat. Tiga orang telah mati. Satu mati demi melindunginya. Satu lagi mati di tangannya. Kilat tak berdaya. Semuanya terasa sangat nyata, terlalu nyata untuk sebuah fantasi tentang spesies dewa dari galaksi lain.

Bagaimanapun juga dia ingat bahwa dia sudah mati. Bagaimana Thurqk membunuh mereka semua dan mengumpulkannya dalam satu tempat? Makhluk-makhluk dari berbagai galaksi itu? Bagaimana dia bisa menciptakan belasan wormgate mini menuju planet lain hanya dengan pikirannya?

Ayah Kilat pernah berkata bahwa kau belum boleh mengganggap dirimu sendiri kuat sebelum kau menyadari seberapa kuat orang lain. Dengan begitu kau bisa memberi pengampunan kepada orang yang tak lebih kuat darimu dan menerima perasaan takut dari orang yang jauh lebih kuat dari dirimu. Perasaan takut adalah penghargaan kepada lawanmu. Perasaan takut juga tanda bahaya yang kadang harus kau hadapi, atau harus kau hindari. Hanya orang bodoh yang menyombongkan kekuatannya kepada orang yang jauh lebih kuat dari dirinya.

Tubuh Kilat merasakan ketakutan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Melihat sebesar apa kekuatan Thurqk, jelas hanya orang lemah dan bodoh yang akan dengan lantang menentangnya.

Lalu saat dia tak bisa menemukan alternatif lain untuk lepas dari genggaman Thurqk, Kilat menantang Azraq, orang terakhir yang tersisa selain dirinya di ronde ini. Dia mendapati dirinya tunduk akan peraturan yang mengharuskannya menjadi orang terakhir yang tersisa demi bisa memenangkan ronde ini.

Azraq kuat, tapi tak sekuat dirinya. Kilat bisa mengakhiri pertarungan lebih awal. Dia bahkan bisa mengakhiri pertarungan itu kapan pun jika dia mau menggunakan dua kristal sihir pemberian Leon yang masih ada di dalam sakunya. Sepanjang pertarungan, pikiran Kilat tak pernah ada di situ. Dia terus memikirkan semua hal tentang Thurqk. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Bagaimana caranya melepaskan diri dari permainan konyol ini? Haruskah dia membunuh Azraq?

Azraq memang kuat, presisi pengendalian air dan es yang dia lakukan tak bisa diremehkan. Tapi dari segi teknik bertarung, mental dan pengalaman, Kilat menang telak. Kilat tahu seharusnya dia memberi pengampunan kepada lawan yang tak lebih kuat dari dirinya dengan segera mengakhirinya. Tapi dia tak yakin bagaimana cara dia mengakhiri pertarungan. Haruskah dia menang? Haruskah dia mengalah?

Kilat tahu jawabannya, dia hanya tak mau mengakuinya.

Pertarungan berlangsung selama sepuluh jam penuh. Azraq hanyalah manusia biasa. Dia sudah kehabisan tenaga sejak satu sampai dua jam yang lalu. Sedangkan Kilat adalah manusia dengan bio-nanotech tertanam dalam seluruh bagian tubuhnya. Dia masih akan terus bertarung walau sepuluh hari berlalu.

Kilat hanya perlu memaksakan dirinya untuk menghantam Azraq di titik yang tepat dan menumbangkannya, memaksakan dirinya untuk memenangkan pertarungan. Dan Kilat melakukannya di detik-detik terakhir.

Kilat lalu terbaring telentang diantara serpihan raksasa pilar-pilar dari benteng es. Bahu kanan kaos hitamnya robek terkena konstruksi es Azraq, menampakkan tulang bahunya yang putih bersih diterpa cercah pagi dari cahaya matahari kekuningan yang mengintip dari balik gunung. Matanya menatap nanar ke angkasa. Kini dia sudah tak memikirkan apapun. Dia tak bisa memikirkan apapun setelah semua yang telah terjadi kepadanya, kecuali secuil pertanyaan tanpa jawaban : Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Saat itu juga, sepasang malaikat merah, Hyvt, utusan Thurqk yang loyal, menghampirinya. Tak ada sebercak emosipun tertangkap dari raut wajah mereka.

"Kau pemenang ronde pertama, Nona. Sang Dewa sudah memutuskan bahwa Dia tak akan membunuh Hyvt dan Hyvt," Hyvt bertombak menunjuk Hvyt berpalu di sebelahnya dan dirinya sendiri.

"Itulah kemuliaan Dewa Thurqk," sahut Hvyt berpalu.

"Tapi Sang Dewa memerintahkan Hvyt dan Hvyt untuk menjadi pengantarmu menuju setiap tempat yang Maha Kuasa Thurqk tentukan untuk jadi arena berikutnya," Hvyt memindahkan tombaknya ke tangan kiri. Tangan kanannya dia gunakan untuk menggenggam perut Kilat dan melemparkannya ke atas pundaknya. "Dan selama kau hidup, Hvyt dan Hyvt masih diizinkan untuk hidup," lanjutnya.

"Kau hidup, artinya Dewa Thurqk terhibur. Hanya itu yang diinginkan oleh semua Hvyt," Hvyt berpalu melayang mengambil Katana Putih yang tadi tertancap di dekat tempat Kilat berbaring. Katana yang ditempa dari mineral langka dari planetnya, ditambah dengan material nanotechnology yang mampu memanipulasi medan gravitasi. Katana yang terkunci dengan sandi dna keluarga Kilat, yang seharusnya akan terasa sangat berat jika dipegang oleh siapapun diluar keluarga besarnya. Hvyt mengangkatnya tanpa bersusah-payah.

Kilat terkulai di punggung Hvyt bertombak, letak kaos hitam di tubuhnya berantakan. Dia ingin memberontak, tapi tubuhnya terasa sangat lemas seolah tanpa daya. Sepertinya Thurqk melakukan sesuatu agar siapapun yang dibawa pergi oleh Hvyt tak bertindak macam-macam.

Tapi Kilat masih bisa menggerakkan mulutnya, "Mau kalian bawa kemana tubuhku?!"

"Kembali ke Nanthara, Satha Praghatak," jawab Hvyt yang menggendongnya.

"Biasa dikenal dengan sebutan Kepulauan Tujuh Dosa, kalau kau penasaran. Tak perlu khawatir, ada permainan lain sepanjang sepuluh jam menantimu di sana," timpal Hvyt berpalu.

Kilat memutar otaknya, berusaha memahapi apa maksud mereka. Sementara tubuhnya serta dua malaikat pengantarnya tersedot masuk ke dalam wormgate mini bernama Portal Realm.


-60 Detik.

Semua kembali seperti semula. Kaos hitam tanpa lengan yang bahunya sudah robek tadi, kini terpakai rapi di tubuh Kilat. Jaket putih tebal yang hilang entah di mana kini kembali menyelimuti tubuhnya. Katana Putih berada nyaman di genggaman tangan kanannya. Sepasang Hvyt melayang di hadapannya. Mereka berbicara bergantian, tanpa ekspresi.

"Ini adalah ronde kedua."

"Selamat, kau terpilih untuk memasuki Arsk, Pulau Keserakahan."

"Ada lima orang yang berada di pulau ini, Baika Kuzunoha, Nim Imanuel, Reeh Al-Sahr'a, Richella Elleanor dan kau, Altair Kilatih. Kelima-limanya akan mengawali ronde ini di waktu yang sama namun di tempat yang berbeda."

"Pijakanmu saat ini adalah titik awalmu. Di situlah Portal Realmmu nanti akan terbuka, menang atau kalah. Setiap orang mempunyai titik awal mereka masing-masing."

"Peraturannya mudah. Bunuh seseorang dengan tanganmu sendiri, lalu kembali ke titik awal tanpa membawa satupun benda yang kau temukan di pulau ini. Kau punya waktu sepuluh jam."

"Dimulai dari detik ini."


0 Detik.

Dalam satu kepakan sayap, kedua Hvyt meluncur jauh di angkasa, lepas dari pandangan mata biasa. Tapi masih tak cukup jauh bagi mata kilat Kilat. Matanya masih bisa menangkap dengan jelas keberadaan sepasang Hvyt yang mengantarnya. Mereka melayang diam di udara. Kepala mereka memandang ke bawah, bertatapan dengan Kilat dari kejauhan, seolah tahu Kilat sedang melihatnya dari bawah.

Kilat memalingkan wajahnya. Pikirannya kembali kepada semua hal membingungkan yang para Hvyt lemparkan kepadanya sesaat yang lalu.

Satha Praghatak? Arsk? Pulau Keserakahan?

Sebuah tanda tanya besar muncul di kepalanya. Namun semua segera menjadi masuk akal saat Kilat melihat ke sekelilingnya, mengamati tiap detail lekuk tanah yang dia pijak.

"Emas?" gumam Kilat lirih.

Semua yang ada di hadapannya adalah emas. Semua detil pulau ini adalah emas. Emas besar. Emas kecil. Emas berbentuk bulir jagung. Emas berbentuk pohon dengan skala satu berbanding satu. Emas dengan segala bentuk dan ukuran. Bahkan butiran milimeter pasir di kaki Kilat adalah serpihan emas.

Orang lain mungkin akan langsung tergila-gila melihat pulau yang penuh dengan tumpukan emas, tapi tidak dengan Kilat. Kilat terlahir di tengah keluarga Altair, pemimpin inovasi teknologi nanotech di planetnya. Sejak dia kecil, semua kebutuhannya selalu terpenuhi oleh keluarganya.

Emas? Jangankan mengharapkannya, memikirkannya pun Kilat tak pernah. Harta adalah hal terakhir yang ada di kepala Kilat, atau mungkin justru tidak ada sama sekali dipikirannya. Kalau yang Thurqk maksud dengan keserakahan adalah keberadaan gunung harta di pulau ini, maka Sang Dewa salah besar jika mengganggap Kilat bisa terpengaruh.

Tantangan kedua Thurqk tak mungkin semudah ini, pikir Kilat. Pasti ada sesuatu yang tersembunyi, sebuah kejutan yang merepotkan yang menunggu Kilat di pulau ini. Kilat pun melangkahkan kakinya perlahan memasuki Arsk untuk mencari tahu.


3 Detik.

"Jangan tinggalin aku sendirian, Hvyt bego!" seorang anak kecil mendekap erat dua buah boneka dan meneriaki Hvyt yang mulai mengepakkan sayapnya, bersiap untuk meninggalkan dia dan bonekanya.

Sang Hvyt menghentikan ayunan tubuhnya, sayapnya masih mengepak untuk membuat tubuhnya tetap melayang di udara. Dengan nada datar dia berkata, "Nim Imanuel, aku sudah menjelaskan semua hal yang perlu kau ketahui di ronde ini. Sekarang saatnya kau pergi dan memenangkan pertarungan di Pulau Arsk ini demi menghibur Yang Mulia Thurqk."

"Tark Turk Tark Turk, aku bosan dengan nama Thurkq!" teriak Nim, anak kecil yang matanya selalu tertutup oleh rambut depannya.

"Kau boleh bosan dengan Tuhanmu, tapi sekali lagi kau sembarangan memanggil namanya, aku akan membunuhmu," Hvyt menatap tubuh Nim dan mengancamnya tanpa ekspresi.

Hvyt tak bisa melihat mata Nim yang tertutup rambutnya yang lebat, tapi terlihat dengan jelas bahwa Nim sebal. Entah karena marah atau ketakutan, Nim menggigit bibirnya menahan tangis. Bagi Nim, Hvyt yang telah mengantarnya terbang dari satu realm ke realm lain, satu pulau ke pulau lain dan berbicara panjang lebar tanpa ekpresi adalah salah satu teman terdekatnya saat ini.

Nim tak butuh teman yang tak bisa memanjakannya, tak bisa diajak bermain lagi.

Maka tangan kanannya bergerak cepat mengangkat rambutnya dan memperlihatkan matanya yang berkaca-kaca. "Memangnya kau bisa membunuhku? Memangnya kau bisa!" teriaknya terisak.

Kini Hvyt bisa melihat dengan jelas mata Nim. Kabar buruk. Karena mata Nim bukanlah mata anak 8 tahun. Matanya adalah kutukan kuno dari iblis di masa silam. Mata iblis yang tercipta sejak dia lahir ke bumi, dan dia bawa disepanjang hidupnya.

Nim tak tahu cara lain selain hidup bersama mata iblisnya. Semua yang bisa dilakukan oleh mata iblis itu adalah hal wajar untuk Nim, betapapun menakutkannya kekuatan itu. Dan kekuatan mata iblisnya adalah menjadikan apapun yang dia tatap menjadi boneka yang bisa dia kendalikan. Hal yang paling Nim sukai di dunia.

Sepuluh detik setelah mata Nim menatap mata Hvyt, nyawa Hvyt melayang. Tubuh merahnya menyusut dan terjatuh ke tanah. Dagingnya yang keras melunak selembut kapas.

Nim mengusap matanya yang berkaca-kaca dengan lengannya dan rambunya yang lebat kembali menutupinya. Dia berdiri memungut boneka Hvyt di tanah. Tertawa sambil sedikit terisak dan berkata, "Sekarang kau bisa jadi temanku selamanya, Hvyt Bego. Boneka memang lebih menyenangkan daripada semua makhluk hidup yang merepotkan."

Tangan kanannya mendekat erat boneka panda kusam di dadanya. Tangan kirinya menggenggam dua buah sayap dari dua buah boneka Hvyt dengan motif berbeda dan menyeretnya sambil berjalan memasuki pulau dengan langkah-langkah kecilnya.


60 detik.

"Emaaaasss nnoooomm!!!"

"Uwwwooohhh kalung emas! Cincin emas! Mahkota emas nom!!"

"Peti peti peti..."

"Jump dive into the golden sand dum dum~"

"Swimming to the gold chest dum nom~"

"Woaaahh isinya emas batangan nom!"

"Quick craft time! Karung goni! Extra money bag nom!"

"Masukin karung~"

"Masukin karung nom~"

"Masukin karung semua semua dum nom~"

"Nom? Apa itu?"

"Holy flying humeno pohon emas nom!!"

"Daun emaaasss!"

"Buah emaaasss nom!"

"Quick craft! Quick craft! Brand new shiny gold craft tools nom!"

"Kyyaaa nom!"

"Gimana ini caranya masukin pohon ke karung goni nom hahahaha!"


3.598 Detik.

Kilat mendengar suara bergemeretak di kejauhan, keras memekakkan telinga. Dia mendeteksi asal resonan suara dengan indera pendengarannya yang tajam. Setelah menemukan titik tujuannya, Kilat melompat ke pohon emas terdekat. Dari pohon emas itu dia melompat ke pohon-pohon emas lainnya menuju arah suara.

Beberapa meter dia lewati dengan satu lompatan. Kilat berhenti begitu sampai di pohon emas terakhir. Kedua telapak sepatunya menempel di batang pohon emas seperti lem vakum. Fingerless glove di tangan kanannya melakukan hal yang sama, Kilat menempelkannya ke sisi lain pohon untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Tangan kirinya mengenggam Katana Putih yang hampir transparan, terjulur lurus kebawah. Matanya mengawasi kejadian di hadapannya.

Sesosok perempuan pendek bertubuh bulat lucu bernyanyi riang sambil menggergaji pohon emas menjadi potongan-potongan kecil.

"Potong-potong pohon emas~

"Emas di Pulau Asrk~

"Kumpulkan ke karung~ dan bawa pulang ning nom~"

Kilat tertegun takjub melihat sosok lucu yang bernyanyi riang. Tubuhnya yang bulat lucu dan rambutnya yang memerah mempesona Kilat. Di hatinya dia ikut menirukan nyanyiannya yang riang.

Lima menit kemudian Kilat tersadar kembali dari rasa takjubnya. Dia lalu melompat ke bawah, tak jauh di dekat sosok mungil yang asyik dengan pekerjaannya.

"Kamu nggak seharusnya membawa pulang benda-benda yang ada di sini loh," suara Kilat menghentikan nyanyian riang perempuan kerdil di hadapannya.

"Humeno?" sosok mungil itu memiringkan kepalanya keheranan setelah melihat Kilat.

"Hu... Humeno?" Kilat tak mengerti apa maksudnya.

"Kamu humeno kan, nom?"

"Nom?" kali ini gliran Kilat yang mengeryitkan keningnya penasaran. "Aku Kilat."

"Hah!? Kamu halilintar!?"perempuan itu menjatuhkan semua peralatan emas di tangannya karena terkejut. Mulutnya menganga keheranan.

"Bukan. Bukan," Kilat melambaikan telapak tangannya. "Maksudku, namaku Kilat. Kilatih. Altair Kilatih, dari planet Aquilla. Aku manusia kok. Kamu siapa?"

"Oh! Bikin kaget saja nom," perempuan itu tertawa, pipinya yang kenyal dan berbintik-bintik merah tersungging hangat. "Manusia itu humeno nom. Aku gnome dari gunung Merrigold nom. Panggil saja, Elle."

Kilat tak bisa menahan senyum mendengar cara Elle berbicara. Elle mengambil kembali peralatannya yang tergeletak di pasir emas.

"Kembali bekerja nom!" celetuk Elle riang.

"Sebentar, Elle, jangan bilang kamu memotong pohon-pohon emas di sekitar sini dengan gergaji? Bukannya emas itu sangat kuat?" melihat sekeliling, memang terlihat dengan jelas bahwa pepohonan emas di sekitar tempat itu telah tumbang sebagian dan terpotong kecil-kecil.

"Jangan remehkan gergaji berlian Elle, nom," kepercayaan diri tanpa batas terpampang di wajahnya yang lucu. Elle menarik google di keningnya turun untuk menutupi matanya. Lalu dia mulai menggergaji pohon emas yang dia tunggangi dengan gergaji yang seluruh bagiannya terbuat dari berlian murni.

"Bantu aku memasukkan potongan emas ini ke dalam karung besar di sebelah sana nom!" teriak Elle di tengah kebisingan gergaji berliannya.

"Oke!" terbawa oleh aura riang Elle, tanpa sadar Kilat menurutinya dan membantunya memasukkan semua potongan emas ke dalam karung raksasa.

Beberapa menit kemudian hampir semua potongan emas telah terkumpul di dalam sebuah karung raksasa, lima pohon, puluhan peti harta dan belasan kerukan pasir. Tinggal menyisakan beberapa batang emas yang sudah benar-benar tak muat untuk dipaksakan masuk.

"Aku nggak akan kuat bawa karung segede ini nom!" Elle terbahak sendirian.

Kilat tersenyum kecil melihatnya, "Elle, kamu beneran mau membawa pulang semua barang ini?"

"Tentu saja nom!" Elle mengepalkan tangannya ke angkasa.

Kilat mulai khawatir dengan perempuan mungil ini, sepertinya dia telah terhasut oleh ketamakan akan harta. Kilat berusaha mengingatkannya, "Tapi kan peraturannya –"

Kata-katanya terpotong oleh teriakan kegirangan Si Bulat Mungil, "Ah! Aku tahu nom aku tahu!" 

Elle menatap Kilat dengan senyum dari ujung telinga satu ke telinga lainnya, "Kilat, kamu bukan humeno biasa kan. Aku tahu nom, karena aku Crafter, Tinker, Rustbucker. Kamu juga sama sekali nggak ngeluarin keringat mengangkat emas-emas berat itu nom. Kamu bukan humeno biasa kan nom?"

Kilat sedikit terkejut dibuatnya. Badan Kilat yang tak pernah mengeluarkan keringat adalah hal yang lumayan mencolok. Tapi perlu sedikit pengamatan ekstra sekedar untuk mengetahui seseorang seharusnya berkeringat atau tidak. Hal itu membuat Kilat tersadar akan daya pengamatan Elle yang tajam.

"Iya sih, aku bukan manusia biasa," Kilat tersenyum malu. "Tubuhku sudah dimodifikasi dengan bio-nanotech sehingga indera dan ketahanannya menjadi jauh melebihi manusia biasa."

Kilat mencubit pipinya sendiri, memamerkannya kepada Elle, "Kulit ini memang sekilas terlihat mirip kulit manusia biasa, tapi sebenarnya ini kulit dari sintesis organik bio-nanotech. Lebih peka dan lebih kuat daripada kulit manusia biasa. Lebih sulit ditempeli oleh debu dan kotoran. Dan nggak perlu mengeluarkan keringat yang mengganggu."

Elle terpana, "Enak sekali kamu, Kilat. Aku juga mau nggak usah berkeringat dan nggak usah cuci muka seumur hidupku. Kalau perlu nggak usah mandi seumur hidup, nom!" tawa riang terpancar di wajahnya seketika.

Kilat semakin gemas kepada gnome mungil ini. Dia tertawa mengiringi keceriaan Elle, "Tapi aku juga masih perlu mandi kok Elle, beberapa hari sekali."

"Intinya," Elle berpura-pura membenarkan letak googlenya hanya agar terlihat keren. "Kilat punya kekuatan melebihi humeno biasa nom. Jadi Kilat bisa bantu Elle membawa semua barang ini nom. Tenang saja, aku akan membuat sebuah kendaraan biar Kilat nggak perlu bersusah-payah... Karena aku nggak bisa naik kendaraan nom," kalimat terakhirnya dia ucapkan dengan sangat pelan, berusaha agar tak terdengar oleh Kilat.

Elle lupa bahwa indera pendengaran Kilat sangat tajam. Kilat hanya tersenyum gemas.

Beberapa menit kemudian terciptalah sebuah sepeda emas dengan gerobak besar yang berfungsi untuk mengangkut karung harta raksasa milik Elle. Kilat terkagum akan kemampuan Elle menciptakan sesuatu dari dahan-dahan emas yang tak muat masuk ke dalam karung hartanya menjadi sebuah kendaraan pengangkut hanya dalam beberapa menit saja.

"Kamu yakin mau membawa semua emas ini pulang, Elle?" Kilat masih tak bisa membuang kekhawatirannya. "Kamu tahu kan aturan permainan di pulau ini?"

"Tenang saja tenang saja nom. Elle nggak bodoh nom. Semua sudah kuperhitungkan. Thurqk ingin kita menghiburnya kan, aku bisa menyanyikan lagu-lagu bagus untuk Thurqk, atau aku bisa membuatkan craft item terbaikku. Aku hanya perlu membuatnya terhibur sedikit saja dan aku akan diperbolehkan membawa pulang semua emas ini nom. Serahkan semua pada Elle nom."

Kilat tak bisa membantah keinginan Elle lagi. Dia memutuskan untuk mengikutinya dan melihat apa yang terjadi, lalu membantunya jika dia menemui kesulitan.

Mata Kilat terus memandang pipi Elle yang bulat lucu, membuatnya larut dalam imajinasi anehnya sendiri. Sedetik kemudian Elle menyuruh Kilat untuk naik ke atas sepeda dan mulai mengayuhnya. Elle yang tak bisa menaiki kendaraan meletakkan tubuhnya nyaman di punggung Kilat.

Tanpa mengeluarkan banyak tenaga, Kilat menggendong Elle dan mengayuh sepedanya menuju titik manapun yang ditunjuk oleh gnome mungil di punggungnya.


4.520 Detik.

Seorang pemuda bersorban putih berlari di padang pasir emas. Dia memakai pakaian berupa jubah panjang berwarna coklat. Matanya hijau zamrud dan hidungnya mancung. Tubuhnya ringan, lincah meliuk-liuk, seolah dibawa pergi oleh angin melewati tumpukan peti berisi berbagai perhiasan. Dia berhenti saat sampai di bukit kecil berisi pedang yang terbuat dari berbagai batu mulia.

Sebuah pedang dia angkat dari tanah untuk dia kagumi. Matanya menelisik tiap detil pedang di genggamannya. Dia kibaskan pedang itu. Dia ayunkan ke samping dan ke depan untuk melihat berat dan kepadatannya, keseimbangn alur gerakannya.

Pedang yang sempurna, pikirnya. Dia sematkan pedang itu ke pinggang kirinya, bersandingan dengan pedang kecintaannya di pinggang kanannya. Dia berjalan dan mengambil sebuah belati yang terbuat dari permata opal. Dia sayatkan belati itu ke udara, mempertimbangkan apakah belati itu bisa dia bawa atau tidak.

Namun seketika dia tersadar.

"Bukan. Aku tak boleh mengambil apapun yang ada di sini," gumamnya. "Seindah apapun pedang-pedang ini."

Dia lemparkan belati opal di genggamannya ke arah peti kayu beberapa langkah di sampingnya. Belati itu tertancap pada peti dan peti pun terbuka. Berbagai macam perhiasan menyembul dari dalam peti.

Lelaki Bersorban berjalan mendekati peti itu, berhenti di depannya dan menarik pedang yang tadi dia ambil dari pinggangnya, untuk dia tancapkan ke dalam peti yang penuh dengan perhiasan. Dia lalu terduduk, menyandarkan punggungnya pada peti harta itu.

Pikirannya kembali mempertanyakan akan dunia yang dia pijak. Dunia kematian, kata Sang Dewa. Dan benar saja, dia memang telah mati. Tapi keingintahuannya akan rahasia semesta tak pernah surut. Dia tahu dunia kematian ini memiliki nama, pulau Nanthara. Dan dia telah menjinakkan angin di pulau ini, sama seperti dia telah menjinakkan angin di seluruh dunia saat dia masih hidup.

Sang Angin akan mengikuti perintahnya. Sang Angin akan membisikkan bisikannya ke tanah ini dan membisikkan kembali apapun yang Sang Angin lihat di tanah ini kembali ke telinganya. Tapi angin hanyalah angin. Angin tak akan bisa menjawab saat kau menanyakan kepadanya tentang rahasia semesta.

Hukum apa yang menciptakan dan mengatur dunia ini? Hukum apa yang menciptakan dan mengatur Thurkq Sang Dewa? Atau jawaban paling mudah, Sang Dewakah hukum yang menciptakan dan mengatur segalanya?

Pria Bersorban menolak untuk menerima jawaban sederhana itu. Pasti ada rahasia yang tersembunyi di semesta ini, dan dia ingin mengetahui rahasia apapun di balik semuanya.

Seketika, semua harta dan pedang berbagai bentuk di pulau ini menjadi sekedar gangguan ringan. Yang harus dia cari bukanlah pedang dan harta, melainkan kebenaran.

Tiba-tiba Sang Angin membisikkan bahwa dia kedatangan tamu. Sang Angin menunjuk arah utara, maka Pria Bersorban menarik belati opal yang tertancap di samping sandarannya dan melemparkannya ke arah utara.

Di arah belati opal itu melesak, terdapat dada lelaki berjas coklat kusam penuh lubang dengan kening tertutup sebuah bandana yang terbuat dari besi.

"Reeh Al Zahr'a, pengendali angin Nanthara. Aku tahu, bukan pertarungan yang sedang kau cari," lelaki itu menangkis pisau yang melesat ke arahnya dengan satu sapuan ringan dari katananya.

"Dan aku tak tahu siapa dirimu, wahai pemuda," Reeh, Pria Bersorban membalas sapaannya. "Tapi pujianku untukmu, karena sanggup mengetahui keberadaan Sang Angin."

"Oh, aku nggak punya kemampuan setinggi itu, tenang saja," lelaki berbandana besi berjalan mendekati Reeh dan berhenti beberapa langkah di hadapannya. "Tapi aku punya kemampuan untuk mencari tahu sesuatu, dan mencari tahu jalan keluar dari sesuatu. Namaku Baika Kuzunoha."

"Apa yang ingin kau cari tahu dariku, Tuan Baika," Reeh menatap lelaki di hadapannya.

"Nggak banyak," Kuzunoha membenarkan letak jasnya yang sudah compang-canping. "Hanya saja, mengingat peserta lain di pulau ini adalah seorang perempuan gnome, seorang gadis belasan tahun dan seorang anak kecil, kupikir hal paling masuk akal yang harus kulakukan adalah menjauhkan pertarungan dari mereka. Biarkan mereka menyelesaikan ronde ini dengan cara mereka sendiri, sesama perempuan dan anak kecil."

"Karena itu Tuan sengaja mencariku?" Reeh mulai mengerti maksud kedatangan Kuzunoha.

"Karena itu aku sengaja mencarimu," Kuzunoha menjelaskan maksud kedatangannya.

"Saya suka gaya Tuan, sungguh saya menyukainya," timpal Reeh sarkastik.

Reeh langsung berjongkok, memasang kuda-kuda. Tangan kanannya menggenggam gagang pedang dengan bilang lengkung yang tersemat di pinggang sebelah kanan. Sikunya menempel sejajar dengan mata pedang. Sang Angin membantunya menarik pedang itu. Dengan cepat Reeh memposisikan ujung pedang kedepan, sementara tangan kanannya menggenggam erat gagang pedangnya tepat di depan dada. Tangan kiri menopang ujung bawah gagang pedang yang menghadap dadanya.

Dia perintahkan Sang Angin untuk meluncurkan tubuhkanya ke depan. Maka Sang Angin menghunuskan pedang dan tubuh Reeh dalam satu kesatuan ke arah Baika bak sepucuk peluru yang melesat dari selongsong senapan angin. 

"Sambut mereka, Masakado," Kuzunoha membisikkan nama pedangnya seiring satu sayatan lebar dengan arah vertikal ke bawah.

Sang Angin menghempaskan tubuh Reeh ke kanan, menyelamatkannya dari sayatan Kuzunoha. Reeh terhempas ke sisi kiri Kuzunoha. Dia memutar sisi kiri tubuhnya ke belakang untuk menyeimbangkan diri. Bersamaan itu, tangan kanannya menghunuskan pedang ke depan dan berhasil menggores bahu kiri Kuzunoha.

Kuzunoha mengangkat kaki kanannya, memutarnya ke belakang dan menghantamkannya sekuat tenaga ke wajah Reeh sampai sorban putihnya yang bermotif bunga merah muda terlepas. Bahu Kuzunoha menyemburkan darah segar berkat sayatan yang cukup lebar. Tapi dia berhasil membuat Reeh terjungkal dengan darah segar bercucuran dari hidungnya.

"Lumayan," gumam Reeh sambil mengusap darah di hidungnya. Tubuh Reeh terangkat oleh Sang Angin kebelakang, demi menjaga jarak dengan Kuzunoha. Di udara, dia memposisikan dirinya menghadap ke arah musuhnya.

Reeh melihat Kuzunoha hendak mengeluarkan sebuah tabung silinder kecil berbentuk unik saat tubuhnya menyentuk tanah. Reeh tak mau mengambil resiko, dia cabut dua bilah pedang terdekat dan dia lemparkan bersama Sang Angin untuk mencegah tindakan Kuzunoha selanjutnya.

Kuzunoha membuka tutup tabung sillinder, beradu cepat dengan dua bilah pedang yang melesat ke arahnya. Dari tabung itu keluar sebuah magnetite, ekstrak energi dari kehidupan.

"Belial," bisik Kuzunoha.

Magnetite dari tabung silindernya bersinar dan sesosok makhluk merah berekor keluar dari balik cahaya di hadapan Kuzunoha sambil menggenggam dua bilah pedang yang tadi dilemparkan oleh Reeh.

"Serang Reeh Al Sahr'a, Belial!" perintah Kuzunoha.

Mendengar perintah itu, mata Belial menyala. Kekesalan jelas terlihat dari wajahnya. Dengan mulut memercikkan api dia menatap Kuzunoha dan berkata, "Aku akan membakar hangus siapapun dihadapanku tanpa kau perintah. Kalau aku mau, akan kuhanguskan tubuhmu sekarang juga, Mediator Keparat!"

Mendengar itu Kuzunoha tersenyum kecil, seolah memang sengaja memancing amarah Belial. Kuzunoha tidak menyandang gelar mediator tanpa alasan. Dia punya bakat untuk menyelesaikan segala macam konflik. Dan terkadang, diperlukan sebuah konflik untuk menyelesaikan konflik yang lain.

Dengan amarah memuncak, Belial melompat ke arah Reeh. Otot pahanya yang besar melontarkan seluruh berat tubuhnya ke udara, sementara mulutnya menyemburkan api yang sanggup melelehkan butiran pasir emas di bawahnya.

Seluruh pandangan Reeh tertutup oleh kobaran api. Angin biasa tak akan bisa menyelamatkannya. Maka Reeh memohon kekuatan yang lebih besar. Sang Angin menjawabnya dengan menghamburkan seluruh percikan api ke udara dengan hembusannya yang agung.

Belial mendarat ke bumi, menggetarkan tanah di sekitar kakinya yang besar. Langit menyala merah seolah matahari meledak di atas permukaan tanah.

Kuzunoha berlari dan melompati kepala Belial, menghunuskan katananya, Masakado, ke arah Reeh yang berdiri hanya beberapa langkah di depan Belial. Reeh mengangkat pedangnya untuk menangkis serangan Kuzunoha. Masakado terpental kesamping, Kuzunoha terlihat berusaha sekuat tenaga agar katana itu tak terlepas dari tangannya.

Setelah menjejakkan kakinya ke bumi dan menemukan keseimbangannya kembali, Kuzunoha mengayunkan Masakado sekali lagi dengan gerakan horisontal yang cepat. Reeh membalasnya dengan sayatan vertikal ke bawah. Percikan cahaya tercipta dari gesekan kedua senjata yang sedang mereka adu.

"Mana apimu, Belial? Kerjakan tugasmu!" teriak Kuzunoha di tengah pertarungan.

Amarah Belial semakin memuncak. Kini tak hanya mulutnya yang memercikkan api, hidungnya pun demikian. Telinganya berasap. Kepalanya seolah akan meledak, "Kubunuh kalian!"

Belial membuka mulutnya lebar-lebar. Dia meraung dan api yang lebih dahsyat tersembur ke segala penjuru.

Kuzunoha sudah memperkirakansebesar apa kekuatan yang akan dikeluarkan Belial. Dia tak bisa lari dari semburan apinya, tapi dia sudah membuka tabung silinder kedua sepersekian detik yang lalu.

"Orochi, lindungi aku," bisiknya.

Magnetite dari dalam tabung silinder menyala dan berubah menjadi ular setinggi 8 meter dengan 8 buah kepala dan 8 buah ekor. Ular itu menyelimuti tubuh Baika dan berubah menjadi es sesaat sebelum semburan api Belial menyentuh mereka.

Sedangkan Reeh jelas tak bisa menghindar. Dia memejamkan matanya dan memohon kepada Sang Angin sekali lagi.

"Angin Nanthara, engkau adalah badai yang agung. Engkaulah ombak yang sanggup melahap apapun yang membendungmu... Maka tunjukkanlah kekuatanmu kepadaku."

Reeh membentangkan kedua tangannya dan mengangkatnya bersamaan ke udara. Hembusan angin yang luar biasa mengikuti gerakannya, menyapu bumi dan mengangkat seluruh tumpukan pasir emas ke udara membentuk ombak pasir dengan kilau paling indah di seantero Nanthara. Ombak pasir itu bergerak menembus semburan api begitu saja. Terbakar menjadi cairan emas, membuatnya menjadi ombak yang sesungguhnya.

Hembusan angin kedua menyusul. Lebih dahsyat dari hembusan angin pertama. Kali ini angin itu berputar dan berputar sekencang-kencangnya, membentuk vortek badai yang menarik semua molekul api di udara dan melenyapkannya dalam kehampaan.

Orochi, ular berkepala delapan yang melindungi Kuzunoha dengan tubuh esnya, mengerang kesakitan. Badannya meleleh terkena ombak emas panas. Kuzunoha tak ingin demonnya mati begitu saja, dia menarik Orochi kembali ke bentuk magnetite dan mengistirahatkannya ke dalam tabung silindernya. Dia bersyukur tak ada sepercikpun emas panas yang mengenai tubuhnya.

Kuzunoha terkejut melihat kemampuan Reeh. Dia tak menyangka Reeh telah benar-benar menaklukkan Angin Nanthara dan dapat memerintahnya dengan presisi dan kekuatan sebesar ini. Reeh kuat, sangat kuat. Hal itu membuat tekad Kuzunoha untuk mengalahkannya semakin kuat.

"Demi melindungi gadis itu. Ya, semuanya demi melindungi gadis itu," gumamnya.

Kuzunoha bersiap menyerang, Masakado kokoh dalam genggaman. Namun saat Kuzunoha meloncat ke depan, Belial menarik kakinya dan menghempaskannya ke samping. Tubuhnya menghantam tumpukan peti harta.

"Sial aku nggak memperhatikan keberadaan Belial," Kuzunoha mengerang kesakitan.

Di depan, dia melihat Belial yang murka membakar bumi dengan menyemburkan api ke segala penjuru. Tapi tak ada tanda-tanda keberadaan Reeh di tanah yang terbakar.

Kuzunoha mengamati dengan seksama, "Kemana perginya orang itu?"

"Hamba di sini, Tuan Baika," bisik Reeh yang tiba-tiba muncul di samping Kuzunoha. Angin menyelimuti keberadaannya. Angin membawa tubuhnya ke tempat yang dia inginkan.

Kuzunoha terperanjat. Dia tak bisa beranjak menghindar.

Dengan bijak, Reeh menanamkan bilah pedang lengkung kesayangannya ke dalam perut Sang Mediator.


11.123 Detik.

Kuzunoha mendengar sayup-sayup suara yang terasa sangat jauh. Suara itu bergetar panik, tapi lembut, penuh perhatian.

"–ngun!"

"Hei, ba–"

"–pa yang terjadi pada–"

"–darlah!"

Perlahan suara-suara itu terdengar semakin dekat, semakin jelas.

"Hei! Sadarlah!"

"Lukanya parah sekali..."

"Beneran deh, Kilat. Aku kenal dia nom. Aku kenal dia waktu ronde pertama belum dimulai nom."

Kuzunoha mulai bisa mendengar dua nada suara yang berbeda. Perutnya terasa seperti meledak. Dia berusaha membuka kelopak matanya. Seiring dengan itu dia merasakan keinginan yang besar untuk memuntahkan segala isi tubuhnya.

Kuzunoha masihbisa mendengar dengan jelas dua suara di dekatnya. Tapi suara-suara itu terasa seperti berada di latar belakang dan bisa berlalu kapan saja.

Dia berusaha sekuat tenaga, kelopak matanya terbuka perlahan demi perlahan. Cahaya matahari segera menyergap kedua pupilnya yang berbeda warna. Saat cahaya yang membutakannya berlalu, dia mendapati dirinya berada di pangkuan seorang gadis berambut hitam lurus.

Gadis itu...

Helai rambutnya lembut menyentuh pipi Kuzunoha. Kulitnya putih bersih. Wajah panik gadis itu menatapnya.

Gadis itu... ah gadis itu, pikir Kuzunoha. Kini giliran hatinya yang ingin meledak.

30253 detik.

"Pixie, ubah aku menjadi seekor elang," berawal dari kalimat itu, serta sehelai bulu elang, kini Kuzunoha terbang dengan wujud elang mengeilingi pulau Arsk.

Pixie adalah salah satu demon Kuzunoha yang mampu mengubah Kuzunoha menjadi makhluk apapun asal dia memiliki secuil saja dna makhluk yang ingin dia tiru wujudnya. Tubuh Pixie sangat kecil, hanya sejengkal tangan, dengan dua pasang sayap tranparan di punggungnya. Mereka berkeliling untuk mencari tahu keberadaan peserta lain, mengintai mereka. Sudah tiga peserta yang Kuzunoha intai sejak hampir satu jam yang lalu. Kurang satu orang lagi.

"Pixie, kamu bisa terbang, kan? Ngapain kamu tiduran di punggungku?" kata Kuzunoha dalam wujud elangnya.

Pixie tak menghiraukan pertanyaan tuannya, dia sibuk memeluk dan mencium tubuh elang Kuzunoha. Tubuhnya terbaring tengkurap di punggung tuannya, kedua telapak kakinya tak henti-hentinya dia angkat kebelakang dan dia jejak-jejakkan ke bulu-bulu halus Kuzunoha sambi l tersipu dan tertawa bahagia.

Kuzunoha menghela nafas panjang, "Pixie, ayolah..."

"Aaah, Tuan Kuzu ah! Pixie kan jarang-jarang bisa ngeliat Tuan terbang. Pixie suka terbang, dan Tuan tahu Pixie suka Tuan Kuzu. Ini dua hal terindah di dunia. Pokoknya Pixie mau menikmatinya!" rengek Pixie sambil membenamkan wajahnya ke bulu-bulu halus di leher Kuzunoha, diiringi oleh tawa bahagia yang ada henti-hentinya.

Kuzunoha menghela nafas panjang sekali lagi, kali ini tanpa berkata sepatah pun. Dia hanya tersenyum.

Di kejauhan, mata elang Kuzunoha menangkap sesosok gadis muda yang berjalan di tengah tumpukan peti harta dan pilar-pilar emas. Gadis itu adalah peserta terakhir yang akan Kuzunoha amati. Kuzunoha melayang dan berhenti di puncak salah satu pilar.

Dengan mata elangnya, Kuzunoha mengamati sesosok gadis yang melewati tumpukan harta tanpa sedikitpun mempedulikannya. Gadis itu memakai celana hitam dan jaket putih. Di tangan kanannya terdapat pedang sebening kaca yang dia tenteng begitu saja tanpa sarung pedang. Mata gadis itu sejatam elang.

"Jadi, dia peserta terakhir ya, Tuan? Siapa tadi namanya, Altair Kilatih?" Pixie beranjak dari punggung Kuzunoha dan malayang di hadapannya. "Tadi pas Tuan terbang, Tuan keren banget! Elang aja kalah gagah sama–"

"Ssstt... Tolong diam sebentar, Pixie," Kuzunoha membentangkan sebelah ekornya dan menarik Pixie masuk ke dalam dekapannya untuk membuatnya diam.

Pixie meleleh bahagia dalam dekapan tuannya.

Mata Kuzunohai tak lepas dari gadis yang dia amati. Ada perasaan yang tidak dia mengerti. Lalu tanpa dia sadari, dia telah mengepakkan sayapnya menuju ke arah Sang Gadis, meninggalkan Pixie yang lemas karena terlalu bahagia di puncak pilar emas.

Kuzunoha terbang rendah, lalu berputar di atas kepala Kilat. Kilat yang menyadarinya berteriak riang, "Wah! Elang!"

Saat Kuzunoha terbang menjauh, Kilat berlari mengikutinya, "Elaaaaang!"

Kuzunoha tak menyadari bahwa Kilat mampu berlari dengan sangat cepat. Sekejap saja Kilat melompat menangkap tubuhnya dan dia sudah berada di atas tumpukan pasir emas, nyaman dalam depakan Kilat.

"Aku nggak nyangka ada elang di pulau ini," mata Kilat berbinar memandang tubuh elang Kuzunoha dalam dekapannya.

"Kamu sendirian?" Kilat tertawa bahagia. "Di mana temanmu? Kamu tersesat ya? Makan apa kamu di pulau ini?"

Kuzunoha melihat sebuah pesona yang tak terbantahkan dari senyuman Kilat. Matanya berbinar seperti gadis kecil yang mendapatkan hadiah kesukaannya. Nada bicaranya sedikit bergetar, namun tetap renyah dan menyenangkan. Seolah gadis itu iri melihat dirinya yang mampu terbang tinggi di angkasa, sekaligus bahagia bisa mendekap tubuhnya di permukaan bumi.

Kuzunoha melepaskan diri dari dekapan Kilat dan berdiri di atas kedua tangan Kilat yang menyilang di depan dadanya. Dia menyucuk pelan kening Kilat, membuat gadis itu berteriak dan tertawa geli.

Semuanya terekam seperti sebuah gerakan lambat. Tawa geli Kilat dan ekspresi wajahnya yang manis menggoda. Rambutnya yang hitam lembut, menyapu butiran pasir emas di belakangnya, memercikkan titik-titik indah yang berkilau terang.

Kuzunoha bukan manusia biasa, dia adalah keturunan tidak langsung antara manusia dan demon. Dia tak terlahir dengan kemampuan untuk merasakan emosi. Karena itu dia menghabiskan masa kecilnya mempelajari bagaimana cara merasakan emosi dan bagaimana cara mengekspresikannya. Tapi emosi ini tak pernah dia rasakan sebelumnya. Ini sebuah perasaan yang baru untuknya.

Kuzunoha jatuh cinta.

Dia membuka lebar kedua sayapnya dan rasa kagum terpancar di wajah Kilat. Satu-dua kepakan dan Kuzunoha melayang di udara, lalu terbang ke angkasa, sementara Kilat merengek memintanya untuk kembali. Kuzunoha meliriknya sekali lagi dan terus membumbung tinggi.

Tiba-tiba semuanya menjadi jelas. Apa tujuannya, apa tugasnya di pulau ini.

Kuzunoha memanggil Pixie dari kejauhan dengan pekikan elangnya. Pixie segera terbang menyusul tuannya.

"Aaa, Tuan Kuzu tega meninggalkanku," rengek Pixie manja.

"Pixie, aku tahu apa yang harus kulakukan," Kuzunoha menatap lurus kedepan. "Kilatih berjalan ke arah Elle. Aku kenal Elle. Dia memang sudah terhasut oleh harta, terjebak dalam muslihat Arsk. Tapi Elle gnome yang baik dan Kilatih yang nggak terpengaruh oleh harta, sama sepertiku, nggak akan bikin Elle memusuhinya. Jadi kemungkinan besar mereka justru akan berteman."

Pixie mendengarkan penjelasan tuannya dengan seksama.

"Selanjutnya, Reeh Al Zahr'a. Aku tahu, dia bukan orang yang jahat, tapi dia terlalu kuat. Kilatih dan Elle nggak akan sanggup melawan kekuatan maksimal Reeh."

"Terus gimana dengan anak kecil maniak boneka itu, Tuan?" tanya Pixie seraya mengingat peserta pertama yang mereka intai.

"Dia nggak penting sekarang, Pixie," Kuzunoha memandang Pixie yang terbang di sampingnya. "Yang penting sekarang adalah Reeh. Dia berlari ke arah Kilatih dan Elle, aku harus mencegahnya, menyingkirkannya."

"Tuan ingin membunuh Reeh?" Pixie sedikit kaget dengan pernyataan Tuannya. Tak biasanya Tuannya bersikap seperti ini. "Sebentar, kenapa Tuan terus ngebahas Elle dan Kilatih?"

"Gadis itu, Pixie. Gadis itu... Altair Kilatih. Aku menginginkannya. Aku tak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Aku akan menyingkirkan Reeh, lalu aku akan mendapatkan Kilatih dan menyelamatkannya dari pulau ini."

"Heh?!" Pixie merasa hatinya tersambar oleh petir. "Tuan... Tuan Kuzu jatuh cinta?! Terus gimana dengan perasaanku pada Tuan?!"

Pixie menangis dan memukul-mukul sayap Kuzunoha, membuatnya hilang keseimbangan.

"Eh? Kenapa kamu nangis Pixie? Heh? Hei, tunggu-tunggu, kita bisa jatuh Pixie, kita bisa jatuh!"

Kuzunoha berusaha menenangkan demon kecilnya yang menangis semakin menjadi-jadi, sebelum keduanya menabrak salah satu pilar emas karena kehilangan keseimbangan.


17.306 Detik.

"Kamu beneran sudah nggak apa-apa lagi?" Kilat meraba perut Kuzunoha yang sedang telentang tanpa mengenakan baju, memeriksa bekas tusukan yang telah tertutup dan menyisakan sebuah goresan hitam seperti bekas luka bakar.

"Serius Kilat, kamu nggak perlu khawatir lagi. Aku sudah sembuh berkat sihir regenerasi tadi," Kuzunoha memegang kening Kilat dan menjauhkannya dari perutnya.

Kilat masih sedikit khawatir. Dia familiar dengan teknologi regeneratif memanfaatkan pluripotent stem cell di dunianya yang bahkan bisa memperbaiki tangan yang terpotong. Tapi secanggih apapun peralatan dan teknologinya, luka tusuk selebar itu tak mungkin bisa sembuh secepat ini.

"Ini sihir Kilat," bisik Kuzunoha, seolah tahu apa yang sedang dia pikirkan. "Kamu mungkin nggak terbiasa dengan sihir karena berasal dari dunia yang saintifis. Tapi percayalah, aku sudah sembuh."

Kilat teringat akan kata-kata Leon di Jepang, sihir hanyalah sains yang belum bisa dirumuskan. Kilat tersenyum pada Kuzunoha dan berusaha menelan kekhawatirannya.

Elle yang sedari tadi sibuk mengamati perhiasan di gengamannya mendatangi Kuzunoha dan melempar kemeja birunya yang sudah dia jahit seperti baru, "Aku masih nggak nyangka Zuzu juga ada di pulau ini nom."

Kemeja itu mendarat di kepala Kuzunoha, menutupi sebagian wajahnya, "Makasih, Elle nom."

Elle membalas ucapan terima kasih Kuzunoha dengan senyuman.

Kuzunoha berdiri dan mengenakan kemeja itu, tapi ada yang sedikit aneh, "Elle, mana dua kancing yang paling atas?"

"Oh, maaf nom. Kancing aslinya emang sudah rusak dan nggak bisa diperbaiki," Elle mengambil segenggam pasir emas dan menebarkannya ke bawah. "Di pulau ini nggak ada batu dan kayu nom, hanya ada emas. Aku bisa sih bikin kancing dari emas, tapi mending emas-emas itu kubawa pulang saja daripada dibikin jadi kancing. Lagipula Elle sudah mengklaim semua emas di pulau ini sebagai milik Elle nom. Dan lagipula lagi nom, Zuzu lebih sexy memakai kemeja dengan kancing atas terbuka nom."

Senyum nakal terpajang di wajah Elle. Kilat dan Kuzunoha yang berdiri berdampingan hanya bisa saling memandang dan melempar senyuman melihat tingkah Elle.

"Maaf, Kuzunoha. Aku dan Elle nggak bisa memperbaiki jas kulitmu," Kilat menunjukkan jas Kuzunoha yang sudah sobek sedemikian rupa sampai tak bisa dikenali lagi. "Kamu boleh memakai jaketku kalau mau, sepertinya ukuran kita sama, pasti muat kalau kamu pakai."

Kuzunoha tertawa, "Sudahlah, Kilat, itu bukan jaket biasa kan. Jaket itu melindungimu, kamu membutuhkannya. Aku bisa hidup hanya dengan mengenakan celana dan kemeja tanpa dua kancing, tenang saja."

"Baiklah, kalau kamu nggak mau," Kilat memalingkan tubuhnya dan beranjak untuk membuang jas lusuh Kuzunoha.

Di dekat tempat Kilat membuang jas Kuzunoha, Masakado tegeletak di samping peti harta. Kilat mengamati tiap lekuk pedang yang indah itu sambil melamunkan sesuatu.

Sudah hampir lima jam dia menjejakkan kakinya di pulau ini. Dia sudah bertemu dengan dua orang baik yang langsung menjadi temannya. Mereka bertiga sudah saling memberitahu titik awal mereka masing-masing, Kuzunoha bahkan sudah memberitahu letak titik awal kedua peserta lainnya, tapi Kilat masih tak tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya agar bisa melewati ronde ini.

"Kilat, kamu lagi mikiran apa nom?" Elle mendekati Kilat yang tiba-tiba melamun.

Kilat tersenyum, "Aku bingung gimana caranya melewati ronde ini. Salah satu peraturan utamanya, kita harus membunuh seseorang kan? Aku nggak akan membunuh orang begitu saja. Aku juga ingin kita lolos sama-sama."

"Hmm... Aku juga bingung nom. Kalau masalah membawa pulang harta, aku masih bisa menghibur Thurkq dan menggodanya. Tapi kalau masalah membunuh, aku nggak tahu nom."

"Elle, kamu serius mau menggoda seorang dewa?" Kilat tertawa mendengarnya.

"Jangan remehkan kaum gnome nom," canda Elle. Dia melanjutkan kalimatnya dengan nyanyian dan tarian, "Gnome itu sexy nom, mereka menggoda yum nom..."

Kilat terbahak dan langsung memeluk tubuh Elle karena gemas.

"Sebenarnya..." Kuzunoha mendekati Kilat dan Elle yang sedang asyik berpelukan, "...Aku tahu bagaimana melewati ronde ini."

"Serius nom?", "Kamu serius, Kuzunoha?" tanya Elle dan Kilat serempak.

"Ya," Kuzunoha mengangguk. "Ada celah dalam peraturan di ronde ini. Kalian ingat apa saja peraturannya?"

"Pertama! Bunuh seseorang dengan tanganmu sendiri nom," seru Elle.

"Kedua, kembali ke titik awal tanpa membawa satupun benda yang ada di pulau ini. Waktu kita sepuluh jam," lanjut Kilat.

"Benar," sahut Kuzunoha. "Nggak ada peraturan kita harus kembali ke titik awal dalam keadaan hidup, kan?"

"Bagaimana caranya kembali ke titik awal kalau kita sudah nggak bernyawa nom?" tanya Elle polos.

"Jawabannya ada pada kemampuanku," Kuzunoha mengambil sebuah tabung silinder dari balik pakaiannya. "Aku bisa memanggil demon dengan tabung kecil ini dan memerintahnya. Sayang hanya satu magnetite saja yang tersisa, magnetiteku yang lainnya sudah dihancurkan oleh Reeh saat dia menusukku dari belakang."

"Magnetite? Reeh itu jahat ya?" tanya Kilat penasaran.

"Entahlah," jawab Kuzunoha sekenanya. "Tapi kamu nggak perlu khawatir, Kilat. Kamu nggak perlu menghiraukan orang itu. Kamu hanya perlu terus bersamaku dan kita akan melewati ronde ini, Elle juga."

Ada tatapan picik saat Kuzunoha mengucapkan kata-kata itu, namun tak ada seorangpun yang menyadarinya.

"Jadi kita saling membunun satu sama lain nom? Terus demon-demon Zuzu akan mengantar jasad kita ke titik awal masing-masing nom?" Elle sedikit merinding membayangkan rencana itu. "Bagaimana dengan hartaku? Aku nggak mau meninggalkan pulau ini tanpa harta-hartaku nom!"

"Kita bisa saling membunuh satu sama lain, ya," Kuzunoha memutar-mutar tabung silinder di tangannya. "Tapi itu opsi terakhir. Kita cari tahu dulu peserta terakhir, seorang anak kecil yang maniak dengan boneka, baru kita putuskan apa yang harus kita lakukan untuk melewati ronde ini."

Kilat mempertimbangkan rencana Kuzunoha di dalam hati. Dia sudah memikirkan berbagai rencana untuk keluar dari pulau ini di sepanjang perjalanannya dan sepertinya memang rencana Kuzunoha ini yang paling masuk akal. Kilat ingin mengikuti rencana Kuzunoha, tapi dia berusaha untuk tetap waspada.

"Terus, Reeh gimana nom? Kita tinggalin dia gitu aja?" Elle memandang Kuzunoha, seolah mengingatkannya dengan orang yang telah menusuk perutnya untuk menanyakan langkah apa yang akan dia ambil. "Zuzu?" 

Kuzunoha terdiam, berusaha memutuskan sesuatu. Matanya berkali-kali melirik Kilat, lalu mendengus kecewa, "Kita berpencar. Waktu kita sedikit. Kalian berdua mencari bocah boneka ke arah barat. Aku akan membayar hutangku pada Reeh. Tapi sebelumnya, kita perlu mencari Belial terlebih dahulu."

"Siapa Belial?" tanya Kilat.

"Salah satu demonku yang terlepas dan menghilang waktu aku terkapar dengan perut menganga." 

Kuzunoha membuka tutup tabung silindernya, "Kita nggak perlu mencarinya sendiri. Aku akan menyuruh demonku yang lainnya untuk mencarinya. Kohryu, keluarlah!"

Seekor naga bersisik emas dan berkaki empat menampakkan tubuhnya di udara. Tubuhnya besar dan terdapat sebuah bola di masing-masing kakinya. Naga itu meraung memekakkan telinga. Percikan-percikan listrik kecil tersebar di sepanjang tubuhnya.

"Tolong temukan Belial secepatnya dan bawa kemari, aku membutuhkannya."

Sang Naga mengangguk dan meraung sekali lagi, lalu terbang ke arah barat tanpa ragu-ragu, seolah bisa merasakan di mana keberadaan demon merah pengendali api yang sedang dicari oleh tuannya.

Kilat dan Elle hanya bisa terpana melihat kejadian di hadapan mereka.

"Kita bisa langsung berpencar sekarang," Kuzunoha merapikan bandana besi di kepalanya. "Aku akan segera membereskan masalahku dengan Reeh dan menyusul kalian. Aku sudah tahu kekuatannya seperti apa. Aku bisa mengalahkannya."

"Kilatzuzu tunggu aku nom! Aku mau sembunyiin harta-hartaku dulu biar nggak ngerepotin, tapi nanti kita balik lagi buat ngambil semua harta ini nom," Elle bergegas menuju karung hartanya, meninggalkan Kilat dan Kuzunoha berdua.

Kilat lalu berjalan bersama Kuzunoha. Dia merasa ini saat yang tepat untuk bertanya kepada Kuzunoha, "Kuzunoha, apa yang harus kita lakukan biar Elle bisa melewati ronde ini, dia sudah sangat terhasut dengan harta."

Kuzunoha tersenyum singkat, seolah sudah menunggu pertanyaan itu keluar dari mulutnya,"Aku memakai metal headband ini untuk menutupi mata ketiga yang ada di keningku. Mata itu punya kemampuan hypnosis, rencananya aku ingin menggunakannya untuk mempengaruhi Elle agar dia melupakan hartanya."

Kilat menarik nafas lega, dia tersenyum bahagia dan mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Kuzunoha.

Kuzunoha mengangguk dan balas menanyakan sesuatu, "Kilat, kamu nggak tertarik dengan harta-harta ini?"

"Nggak," Kilat menggelengkan kepalanya, dia memang sama sekali tak tertarik dengan apapun yang ada di pulau ini. "Sama sekali."

"Sebenarnya, aku lebih tertarik dengan Masakado daripada semua harta di pulau ini dijadikan satu." Kilat masih berjalan ditemani Kuzunoha.

"Matamu jeli juga," Kuzunoha terlihat senang mengetahui bahwa Kilat menyukai Masakado. "Tahu nggak Masakado terbuat dari apa?"

Mengetahui beberapa logam mulia langka karena keluarganya suka mengoleksi pedang-pedang yang terbuat dari berbagai logam eksotik. Tapi Kilat tak tahu dari logam apa Masakado terbuat.

"Dari apa?" tanya Kilat penasaran.

"Dari paduan antara batu yang turun dari langit dan sisik monster raksasa bernama Apollyon," bisik Kuzunoha.

"Serius?" Kilat semakin tertarik dengan pedang itu.

Kuzunoha tersenyum jahil.

"Boleh nggak kalau kuminta?" goda Kilat.

Kilat merasa dirinya semakin akrab dengan Kuzunoha. Sekejap, dia bisa benar-benar melupakan tentang segala permaian dan pertarungan yang dia hadapi selama ini. Tapi obrolan hangat mereka segera terhenti saat terdengar suara jeritan Elle di kejauhan.

"Tolong nom!"

Kilat dan Kuzunoha segera berlari ke tempat Elle. Keduanya mengambil kedua pedang mereka masing-masing yang tergeletak tak jauh dari tempat mereka berdiri, sambil terus berlari dan meneriakkan nama Elle.

Sesampainya di tempat Elle, Belial dan Kohryu menghadang mereka. Sang Naga terbang di beberapa meter di udara dan Sang Kadal Api berdiri di atas karung harta Elle yang tersayat lebar. Harta yang sudah susah payah Elle dan Kilat kumpulkan berhamburan.

"Zuzu, nagamu nyetrum aku nom!" protes Elle. "Ah... Hartaku nom..."

"Kohryu! Belial!" Kuzunoha berusaha mengontrol kedua demonnya. Tapi percuma, mereka seolah tak mendengar kata-kata Kuzunoha sama sekali.

Kilat berlari menjemput Elle, Belial yang melihatnya melompat dan menyemburkan api ke tubuh Kilat. Kilat sama sekali tak memperhatikan gerakan Belial, namun dengan sigap Kuzunoha menarik tubuhnya, menyelamatkannya dari semburan api Belial.

Kuzunoha marah sejadi-jadinya, "Belial, beraninya kau mengancam keselamatan Kilatih."

Kilat mengangkat Katana Putihnya, "Aku bisa membereskan Demon Apimu ini sendirian, Kuzunoha."

"Aku akan menghajarnya, Kilat," kata Kuzunoha geram.

"Kamu nggak percaya dengan kemampuanku?" Kilat tak mau kalah.

Kuzunoha terdiam sejenak sembari menatap Kilat, "Dengar, jangan sampai kamu terkena semburan apinya. Kulitnya juga lumayan keras, jadi nggak perlu menahan diri, kamu boleh membunuhnya. Ah, bunuh saja dia, Kilat. Itu cara paling cepat dan mudah untuk mengalahkannya."

Beberapa langkah di depan, Belial membuka mulutnya, percikan api terlihat bersinar diantara bibir dan deretan gigi-giginya. Kilat tersenyum penuh percaya diri.

Kuzunoha menarik tubuh Elle dan beranjak pergi, "Aku dan Elle akan mengurus Kohryu."

"Nooom! Hartaku nom!" di genggaman Kuzunoga, Elle berontak. Kuzunoha terus berlari tanpa mempedulikan jeritannya.

Kini hanya tersisa Kilat dan Belial. Belial mengangkat sedikit sudut kecil mulutnya, menantang Kilat. Tanpa ada aba-aba Belial membuka mulutnya lebar-lebar, mendorong kepalanya kedepan dan menyembutkan api seperti keran yang menyemburkan air.

Kali ini Kilat waspada. Kali ini Kilat siap dan sigap menanggapi apapun yang datang ke arahnya. Satu lompatan ke udara dan tubuhnya kini berada tujuh meter di udara, terlontar ke arah Belial sambil menghindari api yang dia semburkan. Kilat mengangkat kedua kakinya ke samping dan meluruskannya ke atas, menjungkir-balikkan posisi tubuhnya di udara sambil berputar, membuat tubuhnya lurus menghadap Belial dengan posisi terbalik. Katana Putih berada di genggaman kedua tangannya, terjuntai di bawah kepalanya. Dengan posisi itu Kilat menebas Belial dari udara.

Satu sabetan besar, namun Belial menghadangnya dengan sebelah tangannya yang berkulit keras. Tapi sabetan itu bukan sabetan biasa. Kilat melakukan kalibrasi gravitasi untuk menambah sedikit berat Katana Putih, sebuah kemampuan unik yang sudah tertanam dalam nanotech yang membentuk Katana Putih dan dikendalikan oleh insting Kilat berkat sinkronisasi nanotech yang terdapat di dalam pedang dan tubuhnya.

Darah berwarna hitam tercucur dari tangan Belial. Kilat mendarat di belakang Belial, menghadap punggung Demon Api itu. Dia meneruskan serangannya dengan menantapkan Katana Putih ke punggung Belial dan menendang pangkal gagangnya dengan kedua telapak kakinya.

Belial tak beranjak dari tempatnya berdiri, tapi Katana Putih telah tertancap separuh ke dalam punggung Belial yang mengerang kesakitan. Belial mengibaskan ekornya ke arah Kilat yang dengan mudah menghindarinya. Gagal dengan usahanya itu, Belial membuka mulutnya dan memutar tubuhnya ke belakang sambil menyemburkan api ke arah manapun kepalanya bergerak.

Kilat berlindung dengan salto pendek ke depan dan memeluk kaki kanan Belial dari sisi samping dengan posisi tubuh terbalik. Dia mengayunkan kakinya ke atas, menendang rahang Belial sebelum Belial berhasil memutarkan kepalanya untuk membakar tubuh Kilat.

Belial tersedak oleh apinya sendiri. Emosinya membuncah karena merasa dipermainkan oleh seorang gadis. Dengan cekatan, Kilat menjejakkan kedua telapak sepatunya dan menempelkannya di punggung Belial. Posisinya menghadap Katana Putih yang tertancam di bawah tubuhnya. Kilat mencabut katana itu dengan paksa, menyemburkan darah hitam dari punggung Belial.

Kilat salto kebelakang, melompati kepala Belial dan mendaratkan satu tebasan lagi ke mata Belial. Sekarang, tubuh Belial sudah dipenuhi oleh luka yang fatal. Hal itu seharusnya cukup untuk melumpuhkan Belial. Erangan kesakitan terdengar dari mulutnya. Tapi di luar dugaan, tubuhnya masih kokoh berdiri. Belial melompat dan menyerang Kilat dengan kibasan ekornya, diiringi semburan-semburan api pendek dan bertubi-tubi dari mulutnya.

Kilat melompat jauh kebelakang untuk menghindar. Melihat erangan kesakitan dan serangan membabi-buta yang Belial lakukan, semuanya terasa tak masuk akal, seolah Belial sedang dikendalikan oleh sesuatu.

Belial berjalan ke arah Kilat, lehernya menyala bersiap untuk menyemburkan sesuatu. Celah-celah mulut dan hidungnya meneteskan cairan panas seperti lava. Kilat merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.

Dia segera berlari ke arah Belial. Berlari dan berlari sekuat tenaga. Pasir-pasir yang dia jejaki terlempar ke udara seperti lautan debu yang dilewati oleh mobil yang melaju kencang. Kilat melontarkan tubuhnya ke dada Belial. Belial mundur beberapa langkah menerima berat tubuh Kilat yang langsung menempelkan telapak sepatunya sebelah kanan ke bahu kiri Belial sementara telapak sepatu kirinya dia tempelkan ke dada kanan Belial. Fingerless glove yang ada di tangan kirinya menempel di sisi kanan leher Belial, sedangkan Katana Putih yang ujungnya terangkat di pelipis kanan Kilat menghadap lurus ke leher Belial yang menyala merah, bersiap menyemburkan sesuatu.

Kilat melakukan kalibrasi gravitasi dan menghunuskan Katana Putih ke titik tengah leher Belial dengan berat dan kecepatan yang luar biasa. Seketika saja leher Belial meledakkan cairan lava dan membunuhnya.

Kilat berusaha menghindar dan melindungi tubuhnya dengan jaket putihnya. Jaket itu memperlambat gerusan lava panas yang terciprat ke badan Kilat, tapi tak cukup kuat untuk melindungi badannya sepenuhnya. Kilat langsung mencopot dan melemparkan jaket itu agar badannya tak ikut terbakar. Dia selamat dengan hanya sedikit luka bakar di sekitar siku kanannya.

Tubuh Belial yang kini tanpa kepala terjatuh ke pasir emas yang sudah meleleh sebagian. Lalu seuatu keluar dari balik tubuh Belial. Sesuatu yang panjang dan tebal, namun hampir tak bisa dilihat. Sesuatu yang sangat mirip dengan... benang.

Benda mirip benang itu melayang di udara, berjalan tenang ke arah Kilat. Lalu seketika, ujungnya menempel di tengkuk Kilat.


25.478 Detik.

Kilat merasakan tubuhnya bergerak dengan sendirinya. Bergoyang kesana-kemari, layaknya seekor angsa yang sedang berdansa.

Semua terasa ringan dan tak nyata. Dunianya bergetar, bergerak dengan cepat dan samar-samar. Seperti awan-awan yang terlihat sepintas demi sepintas dari sisi jendela penumpang sebuah taksi terbang di langit Aquilla.

Kilat tak bisa mengingat apa yang telah terjadi, dia tak tahu apa yang sedang dia lakukan. Dia merasakan Katana Putih di genggamannya, terayun kesana-kemari mengikuti sebuah nada tanpa suara.

Dia merasakan kakinya terangkat, melompat-lompat di udara seperti katak hijau di tengah hujan di alam mimpinya.

Lalu dia melihat Elle dengan berbagai peralatan di tangannya, wajahnya panik, matanya berkaca-kaca meminta sesuatu untuk berhenti.

Kilat tak merasakan apa-apa. Tapi tubuhnya berlari kesana-kemari, seperti seekor kucing yang berusaha menangkap sebuah bola bekel.

Di sudut lain dunianya, Kuzunoha terlihat berantakan. Nafasnya terdengar lirih, seolah membisikkan dengan lembut di telinga Kilat bahwa dia sudah lelah meladeninya. Bahwa dia ingin menyelamatkannya dari dunia tanpa rasa. Tapi tenaga Kuzunoha telah habis, darah bercucuran dari setiap sayatan di tubuhnya. Matanya menyala dan tak akan padam, tapi tubuhnya sudah lama menyerah.

Elle... Kilat ingin bertemu dengan Elle, menanyakan apa yang sedang terjadi dengan Kuzunoha. Namun Elle tak mau menghiraukannya, dia sibuk menangis dan berteriak tanpa kata-kata.

Kilat memandang angkasa, di sana dia dapati raja dari segala naga dengan kilatan seribu cahaya. Dia berdansa bersama Kilat. Sang Naga dan dirinya, mereka sama-sama sebuah Kilat. Menyambar bumi dalam notasi yang saling berirama.

Di sudut mata Kilat, Kuzunoha terlihat membalikkan badannya dan berlari dengan tergesa-gesa. Badannya tak mau menopang keinginan dan tekatnya lagi, tapi Kuzunoha terus berlari. Walau langkahnya sempoyongan seperti sehelai bulu diterpa sepoi angin.

Kilat mengejarnya. Dia tak ingin mengejarnya tapi tubuhnya mengantarkan dirinya kepada Kuzunoha. Katana Putihnya terangkat, membidik punggung Kuzunoha seperti sebuah anak panah yang berada di tengah busurnya, bersiap untuk dilesakkan.

Kilat tak mengerti dengan semua yang terjadi. Dia ingin menghentikan semuanya. Dia ingin tertidur. Tapi tubuhnya terus melayang ke arah manapun Kuzunoha berlari.

Kilat melihat Kuzunoha melompat, berteriak tanpa suara.

Dan tiba-tiba, dada seorang anak kecil berbaju putih dan boneka kusam hitam-putih di pelukannya tertembus sekaligus oleh Masakado.

Kilat terjungkal dari dunia tanpa rasa. Pipinya menatap bumi. Inderanya kembali. Dia merasakan semua sensasi rasa ditubuhnya perlahan demi perlahan. Dia mulai mendengar suara-suara kecil yang semakin mengeras. Dan matanya mulai melihat semuanya semakin jelas.

Kohryu meraung pergi.

Kuzunoha terkapar di dekatnya dengan luka sayatan di sekujur tubuhnya. Wajahnya sudah hampir tak bisa dikenali lagi. Darah membanjiri bumi.

Di kejauhan, Elle meneriakkan nama Zuzu berkali-kali dengan tangisan yang menderu.

Air mata Kilat berjatuhan begitu saja, tubuhnya bergetar, hatinya sesak, dan dia menjerit sejadi-jadinya,

"KUZUNOHAAAA!!!"


31.192 Detik.

Nim, bocah maniak boneka, peserta terakhir ronde ini. Dia yang mengendalikan Belial dan Kohryu lalu menyerang Elle, Kilat dan Kuzunoha. Kilat berhasil mengalahkan Belial tapi benang pengendali milik Nim yang sebelumnya mengendalikan semua ekspresi gerakan Belial berpindah ke tubuh Kilat, membuat Kilat berada dalam kendali Nim.

Nim menggunakan tubuh Kilat untuk menyerang Elle dan Kuzunoha, dengan Kohryu masih tetap berada di bawah kendali Nim dan membantu Kilat menyerang kedua temannya. Semua jebakan dan peralatan buatan Elle tak ada artinya melawan kekuatan Kohryu. Sedangkan Kuzunoha berusaha sekuat tenaga untuk tak melukai Kilat sementara Kilat dengan leluasa melakukan hal itu kepadanya.

Kuzunoha mencoba kekuatan mata ketiganya tanpa membuahkan hasil. Dia tahu Nim berada di balik semua ini, tapi dia tak tahu di mana Nim menyembunyikan diri. Satu jam lebih berlalu sebelum Kuzunoha berhasil menemukan Nim dan melepaskan nyawa bocah itu dari tubuhnya.

Tapi semuanya sudah terlambat. Beberapa tulang rusuk Elle patah, telinga kirinya tuli dan berdarah. Kohryu yang tekejut terbang entah kemana. Sementara Kuzunoha menderita luka sayatan dari sabetan katana Kilat di sekujur tubuhnya. Wajahnya rusak, darah benar-benar mengalir dari tubuhnya seperti lautan.

Kilat menangis tak berdaya. Dia memeluk tubuh Kuzunoha, meluapkan segala perasaan sedih dan penyesalannya.

"Maafkan... aku, Kilat," Kuzunoha berbisik lirih, kata-katanya pelan dan terbata-bata. "Maafkan aku nggak bisa menyelamatkanmu dari pulau ini... Nggak bisa melindungimu dari perasaan bersalah dan penyesalan yang sedang kamu rasakan..."

Kilat menyeka pipi Kuzunoha. Matanya penuh oleh air mata.

"Aku bahagia kok, Kilat," bisik Kuzunoha. "Aku senang bisa bertemu sama kamu... Hiduplah, Kilat... Menangkan permainan konyol ini... Kembalilah ke duniamu..."

"Berhenti bicara, Kuzu. Berhenti bicara..." tiap kata yang keluar dari mulut Kilat tergetar oleh isak tertahan. "Sembuhkan dirimu... pakai sihir... pakai apapun!"

Tersadar akan sesuatu, Kilat berseru panik, "Sihir! Elle, Elle! Ambilkan Masakado... Tolong Elle, pedang itu bisa menyembuhkan Kuzu!"

Elle yang sedari tadi tak henti-hentinya menangis melihat Kuzunoha dan Kilat segera berjalan dan mengambil katana milik Kuzunoha.

"Sudah... Sudah terlambat, Kilat..." tubuh Kuzunoha semakin lemas.

"Aku nggak mau menyerah! Aku nggak mau kamu mati seperti ini..." Kilat meremas pundak Kuzunoha di pangkuannya.

"Kilat..." Kuzunoha tahu, Kilat hanya mengganggapnya sebagai teman. Tapi dia ingin, untuk detik ini saja, dia ingin memiliki Kilat untuk dirinya sendiri. Maka, Kuzunoha mengerahkan sisa-sisa kekuatannya untuk mengangkat kepalanya dan mengecup lirih kening Kilat, sebagai tanda perpisahan. 

Kilat terbelalak. Dia hanya bisa tertunduk dan menangis, "Maafkan aku, Kuzu... Maafkan aku..."

Kuzunoha tersenyum hangat. Lalu Elle mendekat, tertatih karena beberapa goresan luka di kakinya dan panjang katana yang melebihi tinggi badannya. Elle menyeret Masakado dan berhenti di depan Kilat yang terduduk memangku Kuzunoha.

Menyadari itu, Kilat segera menurunkan badan Kuzunoha ke tanah, "Elle! Cepat Elle, cepat! Berikan Masakado kepada Kuzu!"

Elle mengangguk, masih menangis, dan dengan sebuah ayunan dia tancapkan Masakado tepat ke leher Kuzunoha, meregang nyawanya yang sudah sekarat, membuatnya terbunuh seketika.


1 Detik.

"Sebelum engkau pergi, bolehkah aku menanyakan sesuatu, Hvyt?" Reeh berdiri di titik awalnya, tangan kirinya dia letakkan di belakang tubuhnya. Jemari tangan kanannya dia angkat ke udara untuk merasakan aliran angin.

Hvyt yang melayang beberapa senti di atas tanah menghentikan gerakannya di udara dan memutar tubuhnya menghadap Reeh, "Aku diutus untuk mengantarmu ke tempat manapun yang dipilih oleh Sang Dewa, bukan untuk menjawab pertanyaanmu, Reeh."

Reeh menggeser sedikit posisi tubuhnya demi merasakan aliran angin dari sudut yang berbeda. Karakteristik Angin Nanthara memang berbeda dengan angin di Htrae, tempat hidupnya sebelum dipanggil oleh Sang Dewa ke alam kematian.

Angin Htrae memiliki satu tubuh dan satu pikiran, agung menyelimuti bumi. Wataknya tenang dan penyabar, serta santun dan pengertian. Karena satu tubuh dan satu pikiran, gejolak kecil di sebuah titik di suatu belahan bumi akan mempengaruhi titik-titik lainnya.

Sedangkan Angin Nanthara andalah ratusan entitas berbeda dengan tubuh dan pikiran yang berbeda, saling menghimpit satu dengan yang lainnya. Mereka kasar dan nakal, serta kekanakan dan punya rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka bisa bersatu dan berbisik dan berpikir dengan nada yang sama, tapi mereka lebih memilih untuk saling terpisah dan tak peduli antara satu dengan yang lainnya.

Angin Nanthara tak bisa dikuasai selamanya. Hari ini kau bisa akrab dengannya, besok kau bisa tiba-tiba menjadi musuhnya. Reeh harus memutar otak dan melakukan pendekatan yang berbeda setiap kali dia ingin berbicara dengan Angin Nanthara.

"Hvyt, kau tunduk pada perintah Sang Dewa, benar?" Reeh mengelus lembut angin dari sudut lainnya.

"Tetap tak membuatku harus menjawab pertanyaanmu," Hvyt menjawab datar.

"Sang Dewa menginginkan semua yang ada di pulau ini untuk menghiburnya, bukan?" Reeh melirik Hvyt, dan menggeser tubuhnya ke sudut lain yang berbeda, masih meraba aliran angin.

"Ya. Siksanya menantimu kalau kau sampai gagal," Hvyt mengepakkan sayapnya, menjaga tubuhnya tetap melayang di udara.

"Hvyt, mari membuat kesepakatan," Reeh kini menghadapkan tubuhnya kepada Hvyt.

"Untuk apa?" tanya Hvyt.

"Untuk memastikan bahwa kau melaksanakan tugas utamamu sebagai abdi Sang Dewa, yaitu menyenangkan hatinya," Reeh tersenyum singkat.

Hvyt terdiam, matanya memandang hampa pada Reeh.

"Kau tahu kekuatanku, Hvyt?" Reeh membuka kedua lengannya, "Aku berbicara dengan Sang Angin. Aku bisa menyuruhnya meninggalkan lekukan sayapmu."

Dan angin di sekutar sayap Hvyt lenyap, menyisakan kehampaan dan menjatuhkan tubuh Hvyt ke bumi. Hvyt tak suka menjejakkan kaki telanjangnya di atas bumi. Semua Hvyt seperti itu, dan Reeh tahu.

"Aku juga bisa membujuknya untuk mengangkat tubuhmu kembali," Reeh menurunkan kedua tangannya dan menyilangkannya di belakang tubuhnya.

Bersamaan dengan itu semburat angin mengangkat tubuh Hvyt kembali ke udara. Hvyt masih terdiam tanpa ekspresi. Tak ada seorangpun yang tahu apa yang ada di pikiran seorang Hvyt. Dia bisa saja memecahkan kepala Reeh seketika dengan tulang raksasa di genggamannya, setelah apa yang baru saja dilakukan oleh Reeh. Tapi tidak, dia hanya terdiam.

Melihat itu, Reeh meneruskan berbicara, "Pilihannya ada dua, Hvyt. Pertama, aku akan mengerahkan seluruh angin di pulau ini selama sepuluh jam penuh, membisikkan arah tujuan kepada masing-masing peserta dan mencegah mereka saling bertemu. Tak akan ada konflik dan pertarungan. Benar, semua peserta, termasuk aku, akan disiksa oleh Sang Dewa. Tapi Sang Dewa akan kecewa, Ia tak akan mendapatkan hiburan apapun dari pulau ini. Sia-sia."

Hvyt masih terdiam.

"Pilihan kedua, Hvyt, adalah aku dan Sang Angin merangkai konflik. Membujuk, menghembuskan dan membisikan masing-masing peserta agar mereka bertemu dengan dengan orang yang tepat di saat yang tepat. Menciptakan drama, lalu pengkhianatan. Pertarungan sengit yang mendebarkan. Menghibur Sang Dewa," Reeh menatap Hvyt tajam.

Hembusan angin menyapu tubuh Reeh, menyisir serat-serat pakaiannya.

Kali ini, Hvyt membuka mulutnya, "Hibur Sang Dewa, Reeh. Kalau kau sanggup, aku akan menjawab semua pertanyaanmu saat kau kembali ke titik ini, asalkan aku bisa menjawabnya."

"Oh, engkau pasti bisa menjawabnya, Hvyt. Engkau pasti bisa..."


2.000 Detik.

Reeh membisikkan kalimatnya kepada Sang Angin dan Sang Angin mengantarkannya ke telinga Nim.

Nim mendengarkan suara tanpa wujud, suara yang tak dia ketahui datang darimana. Bulu kuduk Nim berdiri. Dia mendengar suara itu bertanya tentang apa yang paling dia inginkan di dunia. Awalnya Nim ragu, tapi akhirnya dia menjawabnya, dia ingin boneka. Dia ingin mengendalikan semua orang dan binatang, lalu saat sudah puas, merubah mereka semua menjadi boneka.

Suara itu menjanjikan dua ekor mahkluk yang lebih hebat dar sekedar binatang untuk dia kendalikan dan jadikan mainan sesukanya. Nim senang bukan kepalang.

Dua jam kemudian, makhluk pertama datang, berkulit merah dan menyemburkan api. Nim mengeluarkan benang energi dari ujung jarinya dan mengendalikan makhluk itu seperti marionette. Makhluk kedua datang tiga jam berikutnya, seekor naga raksasa. Nim mengeluarkan benang energi dari ujung jarinya yang lain dan mengendalikannya.

Dia bawa boneka itu berjalan-jalan. Lalu dia menemukan seorang perempuan kerdil yang sedang asyik menyembunyikan karung hartanya. Nim ingin mengubahnya menjadi boneka, tapi dia ingin menggodanya terlebih dahulu.

Nim bersembunyi dan menggerakkan mainan monster apinya untuk mengoyak dan membuang semua harta yang berusaha disembunyikan perempuan kerdil itu. Nim tertawa melihatnya berteriak ketakutan minta tolong. Dia menggerakkan mainan naganya dan menyengat pantat perempuan itu dengan petir mini. Perempuan kerdil itu menjerit semaki histeris. Nim terpingkal-pingkal dibuatnya.

Lalu datang dua orang lain, kakak cantik dan kakak ganteng. Mereka berdua serasi, tingginya sama dan sama-sama membawa katana. Nim ingin mengubah keduanya menjadi boneka. Tapi dia ingin menggoda mereka terlebih dahulu. Nim menyembur-nyemburkan api ke arah kakak cantik dengan monster apinya. Tapi kakak cantik malah memotong kepala mainannya itu. Nim kesal.

Benang energi yang tertanam di badan monster api akan kembali ke dalam ujung jari Nim dan dia akan kehilangan satu mainannya. Nim membenci hal itu. Tapi tiba-tiba ada angin kencang membawa benang energi itu dan menancapkannya ke tubuh kakak cantik dan Nim langsung mendapatkan mainan baru. Kekesalannya langsung sirna.

Nim ingin mengadu kakak cantik yang sudah bisa dia kendalikan dengan kakak ganteng yang kesusahan melawan monster naganya. Tapi kakak ganteng tak mau diajak bermain. Nim kembali kesal, dia menghukum kakak ganteng karena telah membuatnya kesal. Dia menyabetkan katana kakak cantik ke seluruh tubuh kakak ganteng sampai badannya berlumuran darah.

Rasakan, pikir Nim.

Tapi tiba-tiba angin berhembus dan membuka tempat persembunyian Nim. Kakak ganteng melihat tubuh Nim dan berlari ke arahnya menenteng katana dengan tubuh berlumuran darah. Nim ketakutan. Dia menggerakkan kakak cantik untuk menyelamatkannya, tapi ada angin besar yang menghambat pergerakan kakak cantik. Hari ini, angin langsung menjadi hal yang paling Nim benci di dunia.

Kakak ganteng berlumuran darah berlari dengan cepat. Nim tak sempat beranjak pergi. Nim memeluk Imanuel di dadanya, boneka panda kusam kesayangannya. Tapi kakak yang menakutkan itu menancapkan katananya ke arah Imanuel dan menembus dadanya.

Nim kesakitan. Lalu Nim tak ingat apa-apa lagi.


3.000 Detik.

Reeh memohon kepada Sang Angin agar Sang Angin mau mengantar seekor elang untuk bertemu dengan seorang gadis.

Sang Angin menyanggupinya, maka bertemulah mereka dan hati elang berbunga-bunga.

Saat elang itu merubah wujudnya kembali menjadi seorang lelaki, Sang Angin membantu Reeh agar lelaki itu bertemu kembali dengan gadis tadi. Maka bertemulah mereka berdua dan mereka saling menyapa dan saling bercerita.

Saat gadis itu berada dalam bahaya, Reeh meminta agar Sang Angin membantu lelaki itu menyelamatkan gadis pujaannya. Sang Angin membantunya, dan gadis itu terselamatkan.


4.000 Detik.

Reeh menceritakan kepada Sang Angin tentang kisah seorang perempuan mungil yang menyukai harta.

Perempuan itu suka menyanyi dan menari, riang dan senang selalu. Sang Angin menyukai perempuan mungil itu. Dia meminta Reeh untuk mengajarkan kepadanya cara bernyanyi, agar dia bisa ikut bernyanyi bersama perempuan mungil itu.

Reeh dengan senang hati meminjamkan suaranya, "Aku cinta emas. Aku cinta emas."

Sang Angin membawa suara Reeh dan membisikkannya dalam bentuk nada ke telinga mungil perempuan mungil itu. Sang Angin membisikkannya dengan lirih dan terus-menerus, agar perempuan mungil itu tak kaget dan terus ingat akan emas yang membuat dia bahagia di setiap detiknya.

Namun tanpa sengaja, Sang Angin mendengar bahwa teman lelaki dari perempuan mungil itu ingin menghapuskan ingatannya akan harta. Padahal lelaki itu tahu , harta adalah hal yang paling membuat perempuan mungil itu bahagia. Lelaki itu ingin merenggut kebahagiaan perempuan mungil.

Sang Angin tak terima dan melaporkannya kepada Reeh, menanyakan apa yang harus dia lakukan untuk membuat perempuan mungil itu tetap bahagia dengan harta-hartanya. Reeh menyuruh Sang Angin untuk menunggu.

Sang Angin menunggu, dan terus menunggu. Lalu di saat yang tepat Reeh memberi sinyal kepada Sang Angin untuk bergerak. Sang Angin segera bergerak, berhembus meniup sebilah katana tepat ke titik tengah leher lelaki yang ingin merenggut kebahagiaan perempuan mungil.


31.875 Detik.

Kilat berlari mengejar Elle yang terseok-seok menyeret Masakado. Elle berlari menggunakan sepatu khusus yang membuat larinya menjadi cepat, tapi fisik dan mentalnya yang terluka parah membuat keberadaan sepatu itu menjadi tak begitu berpengaruh. Kilat menghentikan langkah Elle dengan menabrak tubuhnya hingga mereka terguling berdua di atas tumpukan mutiara.

Kilat merangkak dan mencoba untuk berdiri. Isak tangisnya terhenti, namun air matanya tak henti-hentinya mengalir. Kilat berusaha bertanya dengan baik-baik, "Elle, kenapa kamu membunuh Kuzu? Apa salahnya?"

Elle terduduk, menangis tersedu-sedu melihat kedua telapak tangannya sendiri.

"Bukan aku nom... Sumpah nom, bukan aku yang bunuh Zuzu... Kilat... Zuzu sahabatku nom... Aku sayang Zuzu nom..."

"Oh, engkau bersalah, Nona," Reeh muncul dari balik tumpukan peti harta. "Engkau sudah menggorok leher sahabatmu yang sedang sekarat. Tentu saja engkau bersalah, Nona."

Bersamaan dengan itu bibir Reeh bergerak perlahan, jemari tangan kanannya terangkat ke arah Elle. Elle langsung memegang lehernya panik. Dia membuka mulutnya seperti sedang mencari udara. Elle memandang Kilat dengan ekspresi wajah kesakitan. Tangannya berusa menggapai Kilat, meminta pertolongan.

Kilat tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Elle terlihat seperti tak bisa bernafas. Lelaki berambut coklat bergelombang dan bermata hijau itu... diakah Reeh? Apa yang sedang dia lakukan pada Elle?

Kilat menggenggam erat Katana Putih. Dia hendak menanyakan apa yang Reeh lakukan pada Elle. Namun, tanpa Kilat sadari, Reeh sudah mengambil Masakado dan dengan langkah pelan bergerak kebelakang Elle dan menusuk punggungnya, menembus jantungnya, menembus dadanya, merenggut nyawanya.

Seketika angin berhembus dan berputar-putar seolah ada yang sedang menyulut sumbu amarahnya.

"Elle?" mata Kilat terbelalak.

Reeh menarik Masakado ke udara dan membuangnya. Tubuh Elle terjatuh ke tumpukan mutiara dan angin berhembus semakin kencang di sekitar tubuhnya. Darah Elle mewarnai mutiara putih dengan bercak-bercak darah. Kilat menggigit ujung atas bibirnya hingga berdarah. Angin menyambar wajahnya, mengeringkan air matanya.

Katana Putih terangkat. Amarah Kilat yang memuncak, kesedihan, kekecewaan dan segala kekesalannya memenuhi jalur sinkronisasinya dengan nanotech yang mengatur kalibrasi gravitasi di dalam katananya. Bilah Katana Putih menghitam, kehilangan transparansinya. Gyrokinetic Burst terjadi, keadaan dimana jalur sinkronisasi antara nanotech di tubuh Kilat dan di Katana Putih yang dikendalikan oleh insting bertarung itu meluap-luap.

Kilat mengayunkan katananya dengan kedua belah tangannya. Medan gravitasi di sekitar Katana Putih terdistorsi, ribuan butiran mutiara di tanah terlempar berhamburan lalu terpencar ke segala penjuru dihantam oleh amukan angin.

Kilat berlari dan melompat setinggi-tinginya. Reeh berlari menjauhi jasad Elle, menggerakkan bibirnya perlahan , membisikkan sesuatu dan Sang Angin menghantam tubuh Kilat dari bawah seperti sebuah bogem raksasa.

Kilat terombang-ambing di udara. Tapi Kilat menggenggam Katana Putih semakin erat dan bilahnya semakin menghitam seiring dengan distorsi medan gravitasi yang menarik tubuh Kilat keluar dari badai. Dia arahkan Katana Putih ke sosok Reeh. Katana Putih melesat hebat. Sebuah peluru setajam pedang dan seberat gravitasi, menghantam tanah dan memporak-porandakan apapun yang berada di sekitarnya. Reeh berhasil menghindar dengan mengendarai angin. 

Reeh menarik pedang bilah lengkungnya. Sang Angin mengantarkan tubuhnya mendekati Kilat dari belakang. Dia tempatkan serangannya sedemekian rupa pada posisi yang paling mematikan. Tapi Kilat mengayunkan katananya ke belakang dan sebelum mata pedang hitamnya menyentuh Reeh, tubuh Reeh sudah terlempar ke udara dan terjerembab ke bumi. Kilat mengejarnya.

Reeh meminta Sang Angin untuk mengumpulkan semua awan hujan di Satha Praghatak. Reeh meminta Sang Angin untuk mengambil Masakado. Reeh meminta Sang Angin menghempaskan tubuh Kilat dengan badainya yang dahsyat. Sang Angin melaksanakannya. Namun menghempaskan tubuh Kilat yang memegang medan gravitasi di tangannya terbukti bukanlah hal yang mudah. Kilat hanya terhempas beberapa langkah kebelakang dan dia sudah berlari kedepan lagi.

Reeh sudah memegang dua bilah pedang di kedua tangannya saat Kilat menyerang. Dengan bantuan Sang Angin dan kedua pedangnya Reeh menghentikan sabetan Kilat di udara.

Kilat melihat Masakado berada di genggaman Reeh.

"Berikan pedang itu padaku," mata Kilat menatap tajam, suaranya penuh dengan amarah. "Masakado itu milikku. Pedangmu juga milikku. Seluruh pedang di dunia ini milikku dan akan kupakai untuk membunuhmu."

Kilat menendang perut Reeh yang telah mengerahkan segala kemampuannya hanya untuk menahan serangan Kilat. Tapi Reeh tak melepaskan kedua pedang di tangannya.

Sebuah petir menyambar. Kilat memandang ke atas dan awan hitam dari berbagai penjuru Satha Praghatak telah memenuhi pulau Arsk. Satu petir lagi menyambar dan air dari langit tumpah ke bumi dengan deras. Sang Angin membantu akselerasi turunnya air hujan, membuat aliran air terjatuh semakin deras, menggerus pasir emas dan butiran mutiara beberapa senti tingginya hingga menampilan tanah pulau Arsk yang sebenarnya.

Tubuh Kilat basah oleh guyuran hujan yang sangat deras. Orang biasa akan langsung pingsan terkena hantaman aliran sederas itu, tapi Kilat berdiri. Kulit pundaknya yang putih seolah bersinar. Matanya menatap tajam, penuh amarah. Katana Putih yang menghitam dia genggam erat-erat.

Belasan meter di depan, Reeh berjalan pelan dengan sepatu boot yang kotor oleh tanah liat. Namun, Sang Angin melindunginya dari hujan, meniup setiap tetesnya menjauhi Reeh sehingga pakaiannya tetap kering. Keringat bercucuran dari pelipisnya. Tapi tatapan matanya penuh percaya diri. Pedang bilah lengkung dan Masakado dia genggam berdampingan.

Kilat mulai berlari. Namun saat kaki kirinya terangkat ke belakang, Sang Angin meniupnya ke atas. Kilat kehilangan kesembangan dan secepat angin Reeh melesak. Kedua kakinya tertekuk simpuh di udara dan dua sabetan sejajar menyayat pipi dan sisi samping paha kanan Kilat yang langsung terjungkal ke tanah. Darah segar mengalir dan terbasuh oleh rentetan air hujan, menyisakan rasa perih dan ngilu.

"Engkau lemah, Nona," Reeh mengerahkan Sang Angin dan Sang Angin melemparkan tubuh Kilat ke udara.

Reeh menyambutnya dengan menebas lengan kanan Kilat di udara. Tubuh Kilat terjatuh ke tanah sekali lagi. Dia berteriak kesakitan sementara Katana Putih yang tadi dia genggam di tangan kanannya terlepas. Nyala hitamnya padam, Gyrokinetic Burst tak lagi aktif.

Reeh segera menyingkirkan katana yang merepotkan itu, membuangnya dengan bantuan tipuan Sang Angin.

Kehilangan katananya, Kilat tak mau menyerah. Dia menyeruduk dada Reeh dengan bahu kanannya. Tangan kiri Kilat memegangi lengan kanannya yang terluka cukup dalam. Kilat menyorong badan Reeh dan menghantamkannya ke sebuah pilar emas.

Reeh membalasnya dengan menebas dada Kilat, menciptakan luka sayatan di bawah lehernya yang putih. Kilat terduduk kesakitan.

"Apa maumu? Kenapa kau bunuh Elle?" bentak Kilat marah.

"Yang kuinginkan, Nona, adalah rahasia Nanthara," Reeh menatap Kilat. "Aku membunuh temanmu untuk mendekatkanku dengan apa yang kuinginkan."

"Kau nggak akan mendapatkannya!" Kilat menyerang Reeh membabi -buta. Lalu Sang Angin menghempaskan tubuhnya puluhan meter ke udara.

"Ah, engkau melontarkannya terlalu jauh, Angin," gumam Reeh.

Dia memperbaiki letak pakaiannya yang kini sudah basah dan kotor, lalu berjalan ke tempat Kilat terlontar. Dia sudah telalu banyak meminta bantuan kepada Sang Angin, kalau Reeh tak mengistirahatkannya, Sang Angin bisa berbalik menyerangnya. Lagipula, dengan kondisi Kilat yang seperti itu, Reeh yakin hanya tinggal menunggu waktu sebelum dia bisa mengalahkannya.

Sementara itu, Kilat mendarat di tumpukan besar peti-peti harta. Mulut dan hidungnya berdarah. Luka sayatan di tubuhnya terasa semakin perih karena guyuran hujan. Kilat ingin mengalahkan Reeh, membalas perbuatannya terhadap Elle. Tapi dengan kondisinya saat ini dan tanpa Katana Putih, Kilat tak akan bisa berbuat apa-apa.

Kilat terduduk dan melihat ke sekelilingnya. Mencari senjata, mencari pedang yang kokoh untuk melawan Reeh. Tapi yang ada di hamparan matanya hanyalah peti harta. Sampai tanpa sengaja dia melihat sebuah peti dengan simbol kilatan petir.

Kilat berdiri dan berjalan mendekati peti itu lalu membukanya. Sebuah cahaya kuning membutakan matanya sementara. Lalu Kilat mendapati peti itu kosong, tak ada harta dan perhiasan, hanya berisi secarik kertas tebal yang kedap air. Kilat mengambil kertas kosong itu, membaliknya, dan melihat sebaris tulisan dalam bahasa planet bumi : Let The Lightning Burn You.

Kilat mengerti arti tulisan itu. Tapi dia tak mengerti apa maknanya dan kenapa terdapat sebuah simbol kilat di peti itu, seolah peti itu adalah pesan yang ditujukan untuknya.

Kilat? Petir?

"Sebentar..." mata Kilat bersinar begitu menyadari apa maksud tulisan itu. Dia berteriak, "Kohryu!"

Langit terbelah, seekor naga emas berkaki empat muncul dari balik awan, turun di hadapan Kilat. Keempat kakinya mencengkeram empat bola.

Suara Sang Naga menggelegar, "Di mana Demon Hunter berada?"

Kilat menatapnya tanpa rasa takut, "Kuzu sudah meninggal. Elle sudah meninggal. Kau nggak punya tempat lagi untuk kembali. Dan sekarang aku sedang marah. Kalau kau juga marah, sambar aku! Pinjamkan kekuatanmu padaku! Aku akan menyalurkan kemarahanmu."

Kohryu meraung, "Kau bukan Demon Hunter, Perempuan."

"Bukan," Kilat tersenyum sinis. "Aku Cyborg Hunter, tipe hunter paling keren dari semua hunter yang pernah kau temui semumur hidupmu. Aku sanggup menangani seluruh kekuatanmu. Jadi, bantu aku menyelesaikan pertarungan ini."

Sang Naga berputar di udara, seolah seperti sedang tertawa terbahak-bahak, "Mari kita lihat, Perempuan."

Kohryu terbang ke bumi, menyambar Kilat dan masuk ke tubuhnya. Kilat mengerang, menahan sakit yang luar biasa saat Kohryu menyambarnya. Tubuh Kilat seolah bergetar. Dia melihat kilatan petir kecil memancar dari dalam tubuhnya.

Reeh melompat dari balik tumpukan peti harta dan melayang di udara. Wajahnya terlihat kaget dan niatnya untuk mengistirahatkan Sang Angin terlihat urung.

Reeh mengamati sekeliling, mencari sesuatu dan tak menemukannya, "Naga Baika, apa yang kau lakukan dengan Naga Baika?"

Kilat mengangkat wajahnya dan tersenyum penuh kemenangan.

"Menyuruhnya untuk membuatku jadi kilat yang sesungguhnya," jawabnya.

Kilat melesat begitu saja, tanpa kuda-kuda, tanpa aba-aba. Tubuhnya kini adalah energi, kilatan halilintar yang akan menyambar siapapun yang membuatnya murka.

Reeh memohon bahkan berdoa kepada Sang Angin, meminta badai terkuat yang bisa Sang Angin ciptakan. Langit bergemuruh dan badai terkuat di seluruh Nanthara tercipta. Berputar dan menghempaskan apapun yang dia sentuh lalu menyatu untuk encoba untuk membelokkan arah lesakan Kilat, berusaha untuk melontarkannya keluar dari Pulau Keserakahan.

Tapi angin manapun tak akan sanggup menggoyahkan kilat. Dalam satu sambaran, Kilat menembus badai, dan terus meluncur lurus menembus tubuh musuhnya.


34.000 Detik.

Pulau Arsk, salah satu dari 7 pulau yang membentuk kepulauan Satha Praghatak. Pulau Arsk, Pulau Keserakahan. Siapapun yang menginjakkan kakinya di pulau ini akan termakan oleh keserakahan, keinginan terbesar masing-masing individu yang terpanjing keluar dan tak terbendung.

Keserakahan Nim adalah keinginannya untuk menjadikan semua orang menjadi boneka mainannya. Pulau Arsk mengerjakan tugasnya dengan baik dan kini Imanuel hanyalah boneka kusam tanpa nyawa. 

Kuzunoha menemukan Kilat. Kuzunoha ingin mendapatkan Kilat. Cinta adalah keserakahan Kuzunoha. Pulau Arsk dengan senang hati mencabut nyawanya demi nama cinta.

Elle termakan oleh keserakahannya akan harta. Tapi keserakahan itu palsu, bisikan-bisikan lain ikut menuntunnya untuk terus memikirkan harta. Maka Pulau Arsk menyerahkan nasibnya ke orang lain.

Reeh menginginkan rahasia semesta dan hanya itu yang benar-benar dia inginkan di sepanjang eksistensinya. Keserakahannya tiada batas, menentang alam. Maka Pulau Arsk mengirimkan kilatan energi alam untuk menuntaskan nyawanya.

Kilat tertarik pada pedang-pedang eksotik. Tapi dia bisa meredam keserakahannya, entah karena teralihkan oleh kasih sayang atau terbutakan oleh amarah. Atau mungkin, hatinya sudah lelah. Pada akhirnya, Kilat melupakan semua ketertarikannya, semua keserakahannya, untuk sementara. Dan Pulau Arsk mengembalikannya kepada Sang Dewa.


35.500 Detik.

Kilat berjalan menuju titik awal.

Sebelumnya, dia menerapkan strategi awal Kuzunoha. Kuzunoha telah membunuh Nim, Elle telah membunuh Kuzunoha. Keduanya masing-masing telah membunuh seseorang. Kilat tak tahu mereka bisa melewati ronde ini atau tidak, tapi Kilat tak ingin berdiam diri saja.

Dengan sisa-sisa kekuatan Kohryu, Kilat mengembalikan jasad Kuzunoha dan Elle ke titik awal mereka masing-masing, berharap mereka bisa lolos.

Kini kekuatan yang diberikan Kohryu telah lenyap sama sekali, bersamaan dengan sosok Kohryu yang sudah tak bisa Kilat rasakan lagi. Tubuh Kilat lemas, dia merasa memang tak seharusnya dia memaksakan diri meminjam kekuatan Kohryu, tapi saat itu, tak ada pilihan lain lagi yang bisa dia ambil. Paling tidak, Kilat bersyukur kini sudah berada tak jauh dari titik awalnya.

Kilat masih penasaran dengan peti kecil bersimbol kilat tadi namun dia sudah terlalu lelah untuk memikirkan siapa di balik semua itu.

Kilat berjalan semakin dekat menuju titik awal. Kulitnya sobek di sana-sini, pun begitu dengan bajunya. Rambutnya penuh lumpur. Sudah hampir tak ada stamina yang tersisa. Kilat merasa, semakin dekat dia dengan titik awal, penglihatannya semakin kabur.

Baru saat sampai beberapa meter dari titik awal, Kilat menyadari bahwa penglihatannya tidak benar-benar kabur, melainkan ada sebuah tulisan yang muncul di matanya. Tulisan itu semakin jelas saat Kilat berada beberapa langkah saja dari titik awal.

Kilat berhenti sejenak, mengucek matanya, memastikan bahwa tulisan itu memang ada di dalam matanya.

Saat Kilat menjejakkan kakinya di titik awal, tulisan itu baru terlihat dengan sangat jelas.

Kilat, sudah menerima pesanku di dalam peti?

Kilat terkejut, "Apa? Siapa... siapa ini?"

Tulisan pertama terhapus satu huruf demi satu huruf, lalu muncul tulisan baru, hanya sepatah kata, atau sebuah nama lebih tepatnya.

Nolan.


36.000 Detik, End.


--
Cheers,
fusyana :3 | FB

17 comments:

  1. ==Riilme's POWER Scale on Altair Kilatih's 2nd round==
    Plot points : A-
    Overall character usage : A-
    Writing techs : A-
    Engaging battle : A-
    Reading enjoyment : A-
    ==Score in number : 9,0==

    ..............

    ......damn. Dari mana saya harus mulai?

    Mari kita main runut aja. Pertama, saya lumayan suka penulis menjadikan battle offscreen yang ada di penghujung ronde 1 Kilat sebagai pembuka, ngebikin sebuah kontinuitas yang padu. Itu kemudian langsung disusul dengan penjabaran singkat soal latar belakang Kilat, yang menjadi bekal bagi pembaca untuk tahu soal dia sebelum berlanjut ke cerita pertandingan kedua.

    Dan di pertandingan ini beneran banyak poin menarik.

    Penggunaan waktu sebagai pembatas part itu brilian. Saya sempet kepikiran make ini, tapi akhirnya lebih nyaman ngebaginya secara biasa aja, jadi kagum penulis bisa manfaatin ide batas waktu secara maksimal. Soal kesamaan ide, saya juga seneng ternyata bukan saya doang yang mikir kalo 'peserta tidak diharuskan kembali dalam keadaan hidup' itu celah yang lumayan besar dari peraturan kali ini.

    Lalu isinya sendiri... Beneran deh, karakterisasinya dapet, apalagi setelah kemudian dijabarin dalam bentuk apa keserakahan yang dihadapi tiap" peserta. Twist kalo ternyata Reeh itu mastermind juga menarik, saya sempet penasaran ke mana dia ngilang habis nusuk Baikai. Dan endingnya...berasa kayak nonton film Marvel aja ini, dikasih cliffhanger macem gitu.

    Satu kritik aja. Di [30253 detik], itu kayanya salah waktu ya? Saya semept ga ngeh kenapa Baikai jadi elang, pas dicermati lagi, baru sadar kalo itu flashback, tapi kok waktunya udah lebih maju daripada pas Baikai ketusuk? Tapi mungkin ini typo doang ya? Overall bagus. Saya puas baca entri ronde 2 yang satu ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. thanks Mas Sam, udah disempetin baca.. :D

      Delete
  2. 9!!

    Yes! Ini cerita yg bs ngebuat bulu kuduk gw naik. Excitement dr ketegangannya hadir dr tensi konflik emosional individu masing2 karakter. Ekspektasi plotnya agak di luar dugaan jd ngebuat gw utk keep on track (yep, gw ga ngalihin pandangan sama sekali). Ada bbrp momen gw skim tp sama sekali ga ganggu dan masih bs grip.
    Apa lagi? Karakterisasinya nyata. Gw bs ngeliat mereka idup dan bnr2 interaksi dgn versi Kilat.

    Gw agak terganggu dengan tell (tadinya) tp ternyata authornya bs memolesnya menjadi sebuah keharusan. Banyak hal yg emg harus dijelaskan apalagi dgn plot yg agak rapet gini (menggunakan alur waktu psti bikin sense of rush).
    Negatifnya? Well... typo. Tp ga gitu ganggu ah. Dah keknya itu aja.

    Kay, lain kali bikin ceritanya mepet deadline aja ya Fu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku malah penasaran kalo bisa nulis di minggu pertama tar hasilnya sejelek apa wkwkwk

      thanks Mas Ren udah disempetin baca :D

      Delete
  3. Anonymous21/5/14 11:39

    Aku kurang gitu suka novel atau cerita panjang bgt gini soalnya aku orangnya cepet bosen. Nemu pace event yang dikit lambat aja atau sekedar penjabaran background setting dikit aja kepanjangan aku udah bisa langsung bosen dan males lanjut baca. Apalagi cerita pertarungan2 gini. Cuma penasaran bgt liat komen2 lumayan bagus di fb soal ini, apaan coba komennya lumayan bagus gitu sampe plue chan aja bilang bagus, nyebelin bgt...
    Jadi aku putusin baca deh, buat nyari2 bahan buat aku cengin dan bisa menyangkal semua komen yg lumayan bagus itu...
    Apaan coba aku malah gak mau berenti baca, aku skip aja nggak. Padahal aku bacanya bangun tidur bgt yang masih pengen balik bobo cantik lagi, dan ini sukses bikin aku bangun karena harus konsen bacanya. Sampe aku mengabaikan omongan orang yg aku sayang yg nyuruh aku mandi, katanya cantik aku bakalan berkurang kalo gak mandi. Aku bahkan sampe rela cantik aku berkurang buat baca ini...
    Intinya gak ngebosenin, semuanya terasa pas buat aku yg orangnya cepet bosenan. Pace eventsnya, penjabaran karakter, setting dan pertarungannya gak berlebihan sampe bikin aku bosen dan gak kurang juga sampe bikin harus memunculkan pertanyaan2. Aku gak ngerti soall teknik penulisan, diksi, pendalaman karakter bla bla bla, aku ngasih nilai dari perasaan aku saat baca aja, gimana yah bilang nya, semakin aku baca keinginan aku buat baca itu terus meningkat...
    9,3 deh...
    Males kan jadinya harus ngasih nilai segitu...
    Harusnya aku emang gak usah baca...
    Asli sumpah ngeselin bgt... Huhhh...

    ReplyDelete
    Replies
    1. siaaalll reviewnya tsundere abisss
      makasih tapi dikasih nilai 9 lebih.. bukan berarti aku seneng ya... huh!

      Delete
  4. 9.5
    Keren gila ini nom!! XD
    Pas elle nyanyi, jd ketawa sndiri xD
    Romantisme kilat dan kuzu jg sweet banget, dan menyentuh banget pas kuzu mati..
    Tp karakter favoritku dsni reeh, imba banget kemampuannya XD
    Keren fu >_<
    Gak ngebosanin bcanya XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. bikin fanartnya (y)

      thanks udah sempet baca Yat.. fanartnya becanda aja kok, tapi kalo ada waktu bikin ya aku seneng aja dibikinin wkwkwk..

      Delete
    2. Anonymous21/5/14 12:34

      kenapa ngasih nilainya lebih tinggi dari aku???
      huhhh

      Delete
    3. kamu ngasi nilai tsundere sih, harusnya ini dapet sepuluh kan, tapi gara gara tsun-tsun akhirnya dikasih nilain nanggung banget 9.3 apaan itu :v

      Delete
  5. Wew... Keren nih! XD

    Gaya bahasa, plot dan pendalaman OC mantap. Aku suka ketika kilat menggunakan kekuatan Kohryu untuk menjadi kilat yang sesungguhnya, Xzibit mampir dan berkata "yo dawg! gue denger loe suka kilat, jadi gue taruh kilat di dalam kilat sehingga loe dapat kilat di dalem kilat." :D

    Sayangnya flashback r1 di intronya terlalu panjang, jadi langsung aku skip ke 0 detik.

    Ada beberapa typo,

    Nilai akhir: +9,1

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kilat dihantam kilat sampai kilat masuk ke dalam Kilat sehingga Kilat jadi kilat itu hal pertama yang ingin kumasukin cerita setelah liat skillnya Baika XD

      thanks udah disempetin baca yah..

      Delete
  6. Biarkanku menuangkan isi hati secara perlahan, setahap demi setahap dari awal hingga akhir.

    Di intro rasanya masih agak kaku, kemungkinan narasi. Emang bagus juga pakai penjelasan awal, tapi agak terlalu padat.

    Masuk ke pulau Arsk, cerita mulai asyik. Meski, pas pertama-tama rasanya adem ayem banget, cuma Elle yang kepincut harta, itu pun juga ga gila-gila amat, cuma sekedar suka. Tapi penyebabnya ternyata dijelaskan belakangan.

    Lalu Baikai berantem abis-abisan sama Reeh, terluka, diselamatkan, dan ada flashback di mana benih cinta tumbuh. Drama kisah kasih yang menghanyutkan jiwa pun dimulai. Kesan saya, agak bingung saat pertama baca flashback, kenapa Baikai hidup lagi, tapi teryata itu flashback, mungkin akibat salah kasi keterangan waktu.

    Sampe situ ane masih adem ayem juga bacanya. Ketertarikan mulai menanjak ketika Baikai mulai memimpin regu dan memikirkan strategi untuk keluar dari pulau dan membahagiakan Thurqk. Dia jadi sosok gentleman gitu, haha. Trus pertarungan kembali berlangsung, dan Baikai mati. Sampai saat itu semua masih terasa biasa, sampai pas ane baca paragraf terakhir mengenai Elle nusuk Baikai.

    Tirai sandiwara pun dibuka, cahaya bersinar menyilaukan.

    Ternyata eh ternyata, Reeh yang bekerja di balik segalanya??? Dia nyusun ini itu sampe ane sempet mikir, jangan-jangan kutukan pulau Arsk itu tidak ada. Jangan-jangan Reeh yang berperan sebagai greed? Sumpah, di bagian ini ane tercengang. Manipulasi anginnya juga dipake secara optimum sampe bisa bikin Hvyt ga bisa terbang.

    Dan meski bertolak belakang ma Reeh di charsheet saya, saya bisa menerima dan saya suka ma karakter Reeh di sini. Yah mungkin karena pengaruh pulau Arsk juga ya.

    Pertarungan pun berlanjut, dan pada akhirnya villain akan tetap mati di tangan hero bagaimana pun usahanya.

    Keren. Ceritanya keren.

    Yang kadang ane sayangkan itu di bagian dialog. Padahal secara umum menggunakan bahasa baku, tapi kenapa harus terselip kata-kata kurang baku seperti 'nggak'. Kalau yang mengucapkan Elle sih masih wajar ya soalnya dari awal emang digambarkan gitu, tapi saat kata itu keluar dari mulut Baikai, sementara sisa dialog dihabiskan dengan kalimat full baku, jadi terasa aneh.

    Sama, ane ga yakin ini kekurangan atau kelebihan. Tapi dominasi karakternya membuat Kilat ga begitu bersinar sebagai karakter utama. Kilat kesannya cuma sebagai pembuka dan penutup, sementara panggung utama diisi oleh Baikai dan Reeh. Dari ketika Baikai membuat strategi sampai di mati, kesannya seolah Baikai tokoh utamanya. Lalu dari Baikai mati dan kereveal tentang strategi Reeh, jadi kayak Reeh tokoh utamanya. Bahkan ane ga akan protes klo misalnya cerita selesai dengan kemenangan Reeh (maunya :P). Apalagi doi uda keren banget ngatur segala siasatnya. Sehingga kemenangan Kilat di akhir itu terasa seperti kemenangan yang sekedar harus menang karena 'ini adalah tulisan ronde 2 nya Kilat'.

    Tapi seperti yang ane katakan sebelumnya, ane ga tahu ini kekuarangan atau kelebihan. Mungkin juga karena komposisi penyorotannya seperti ini, pembaca jadi penasaran baca karena peran penting ga diboyong semua oleh tokoh utama seperti cerita-cerita lain.

    Oh ya, mengenai penjelasan mengenai sumber keserakahan di akhir, kayaknya ke-greed-an Kilat kurang kerasa (di luar karena teredam atau teralihkan atau lelah itu).

    Dan di ending, ga nyangka juga akan dibuat kayak gitu, hahaha.

    Nilai 9.

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalau soal spotlight cerita emang niatnya bikin nggak Kilat aja yang dapet peran di sini.. aku ngerasa, dapet lima karakter yang bisa aku maenin kek apa aja dan rugi banget kalo yang kubahas hanya Kilat aja.. R1ku juga kek gini tapi fail miserably gara-gara Kilat malah hampir gak masuk spotlight..

      di R2 ini aku berusaha nekanin Kilat sebagai tokoh utama, dia yang berteman sama Elle, dan Baika jatuh cintrong sama dia, Nim ngendaliin Kilat buat maen-maen dan bikin kacau tanpa dia sadari, trus Reeh bikin scheme paling nohok buat ngehibur Thurqk yang ngebikin peserta lain saling berkhianat sampai hanya Kilat yang tersisa..

      sampai situ, aku udah ngerasa semuanya berpusat di Kilat sih.. sedangkan Baika dan Reeh yang dapet peran lebih gede emang sengaja kubikin biar mereka bukan sekedar karakter sampingan, plus mereka aslinya nggak jahat jadi aku gak bisa bikin mereka tiba-tiba jahat tanpa alasan, mungkin itu yang bikin Baika dan Reeh di part part tertentu kerasa jadi kek tokoh utama kali ya..

      dan yes, walaupun tujuanku kek diatas, kuakui emang masih kurang maksimal nyeritainnya dan masih banyak yang perlu diperbaiki.. hehee.. masih terlalu banyak tell, kek kata Mas Ren.. dan dialognya itu sebenernya aku berusaha ngebikin seluwes mungkin karena di R1 dikritik Masadham dialognya masih kerasa kaku.. akan berusaha aku perbaikin lagi ronde berikutnya..

      aaaa green nya Kilat itu emang nggak maksimal.. cuman ada pedang Baika aja yang ekstotik dan aku nggak ada waktu buat nekanin greednya Kilat..

      sebenernya, cerita ini ada yang kutahan sih dan nggak kusampaikan semuanya.. terutama tentang Reeh.. mari berharap Kilat dan Reeh ketemuan lagi, it'll be epic I promise..

      thanks yah bro udah disempetin baca dan ngasih banyak kritik dan saran..

      Delete
  7. Anonymous23/5/14 21:29

    akhirnya selesai dibaca.. waktunya keluarin uneg-uneg..

    narasi pembukanya oke, ada cerita akhir R1 di mana Kilat selamat dan berhasil bertahan hidup.. bagus karena emang nyambungin cerita R1 ke R2, dan ceritanya jadi 'ngelengkapin' battle akhir Kilat di R1 yg kesannya kosong.. tapi entah ini cuman perasaanku aja, 'sedikit' cerita di R1 jadi terkesan 'banyak' di sini..

    Kilat yg tadinya di R1 kurang eksis akhirnya digali lebih baik.. keren Fu sesuai janji :D Kilatnya lebih dibelai wkwkwk.. karakter lain juga ga kalah soal eksis, semuanya dapat jatah yg pas..pengembangan karakternya pun cukup baik..

    dramanya, saling berhubungan dan chemistry tiap karakter jadi peran penting di cerita.. plus aku suka ide "Ketamakan" yang ada di pulau ini.. semua kembali ke siapapun mereka yg ada di sini, semua sisi "tamak" peserta berhasil diliatin kecuali Kilat sendiri, entah kenapa Kilat yg tereak2 pengen pedang ini pedang itu, dan terpesona dgn berbagai macam pedang di sini, justru ga se-tamak mereka yg lain..

    DAT REEH!! Imba banget itu orang XD
    sumpah waktu awal baca, aku ga sedikit pun mikir kalo Reeh yg ada di balik semua konflik itu.. tapi terus kepikiran ini orang di mana abis nusuk terus ilang ga muncul2 lagi.. sebelum lanjut baca, dan meninggalkan tanda tanya di beberapa penggalan kalimat, akhirnya aku senyam senyum sendiri waktu tau Reeh ini 'puppeteer' sebenanya, mana dia jadiin Nim puppeteer juga lagii XD kereeen

    pembagian waktu di setiap bagian juga bagus bagiku.. selain nurunin pace, aku pribadi juga bisa cepat jenuh dengan kalimat-kalimat yang masih on the way membangun cerita.. jadi part per-waktunya itu jadi penenang sesaat, dan nyambung lagi buat nerusin baca hahaha

    juga endingnya, kirain tadi mau dijadiin kartu ace buat nanti di R3 (semoga lolos :3).. eh taunya langsung dikasi tau siapa yg ngirim sms itu wkwkwk.. tapi its okay, sangat baik, Fu.. sangat baik ceritanya :)


    overall, ini cerita Kilat yg jelas lebih baik dari yg pertama.. soal typo aku ga komentar, ga ada typo fatal yg sampe bikin ngerubah maksud cerita hehe..
    dan dengan semua kekerenan yg ada, aku kasih nilaaaaaai:

    Sembilan koma Lima per Sepuluh

    :3

    - the genius fart

    ReplyDelete
  8. Whoa! Ini keren! Barangkali Fusyana salah satu deadliner yang tidak terkena "kutukan" deadline sehingga menghasilkan canon yang biasa-biasa saja. Prolognya biasa saja tapi kemudian semakin menarik. Chemistry Kilat-Elle, Elle-Kuzu, Kilat-Kuzu bagus. Aduh itu sedih banget pas Kuzu mati. Twist Reeh-nya top notch, cliffhanger endingnya mindf*ck! Yes!

    Sayang agak too much tell. Akhirnya efek pulau Arsk-nya ga kerasa walo authornya udah telling soal efeknya di akhir. Trus kata author moi, Kilat-nya masih kurang seksi -_-

    Tolong abaikan aja author moi. Moi kasih 8.

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -