April 6, 2014

[ROUND 1 - J] CLAUDE & CLAUDIA - SOMEHOW OR ANOTHER, WE GOT AN ANABIOSIS

[Round 1-J] Claude & Claudia
"Somehow or Another, We Got an Anabiosis"
Written by Sam Riilme

---

Opened Curtain

Ketika Claudia Neuntzmann membuka matanya, adalah wajah kekasihnya – Claude Higglfiggr – yang pertama kali ia dapati setelah terbangun dari alam mimpi.

Claude menaruh kepala Claudia di pangkuannya sambil mengelus lembut rambut putihnya yang halus. Menyadari Claudia sudah terbangun, iapun menatapnya hangat, seraya menyapa,

“Selamat pagi, tuan putri. Tidurmu kelihatannya nyenyak sekali.”

Claudia mengerjapkan matanya beberapa kali. Kemudian ia melihat ke sekeliling.

Tempat yang asing. Lagi.

Sebelumnya mereka bukan berada di sini. Ia ingat sebelum ia menutup mata untuk tidur, mereka berada di tempat yang hanya punya warna merah dan hitam, tempat yang berkesan memuakkan dan kelam. Jelas bukan tempat yang sama dengan yang ia lihat sekarang.

“Di mana ini?”

“Kau tidak akan percaya kalau aku ceritakan apa yang terjadi sebelum kita sampai di sini.”

“Ceritakanlah.”

Maka berceritalah Claude, bagaimana para malaikat bersayap dengan tubuh merah membawa mereka ke hadapan sesosok entitas yang menyebut dirinya dewa, bagaimana dewa itu menyatakan bahwa ialah yang membangkitkan mereka dari kematian, dan bagaimana mereka akhirnya tiba di sini untuk satu alasan – mengalahkan sesama mahluk yang bangkit dari kematian untuk mengikuti permainan yang diadakan oleh sang dewa.

“Jadi, kita harus bertarung atau kita akan mati?”

“Secara teknis kita memang sudah mati. Kurasa maksudnya, kalau kita kalah, kita akan dikirim ke neraka atau semacamnya. Bagaimana menurutmu?”

Claudia mengangkat satu alis.

“Jelas kan? Kalau caranya sudah jelas, berarti tinggal kita lakukan saja – kalahkan mereka semua dan segera keluar dari dunia antah berantah ini!”

Membalas aura positif yang terpancar dari Claudia, Claude hanya bisa tersenyum mengiyakan.

“Claude, gantian. Biarkan aku yang memakai tubuh ini duluan,” ujar Claudia kemudian.

“Hm? Kau yakin? Aku tahu kau kelihatan bersemangat, tapi ini bukan main-main, lho.”

Kepala perempuan muda tanpa badan memberikan pandangan menantang pada sang pasangan, membuat si laki-laki menghela napas pelan, lalu mencabut kepalanya sendiri dari badan.

“Baiklah, baiklah.. Ladies first, silakan…”

Posisi pun berubah – sekarang Claudia-lah yang memegang kendali tubuh mereka, sementara Claude kini bersemayam di dalam tas punggung mereka. Claudia bangkit, menghirup napas dalam-dalam seolah berusaha mengingat kembali bagaimana rasanya hidup sebelum mati.



Sebelum mulai melangkahkan kaki, Claudia bergumam pelan,

“Kau takut neraka, Claude?”

“Tidak selama bersamamu, Claudia.”

Dan berangkatlah mereka berdua menuju medan pertempuran pertama!

*****





1st Quarter

-1-
Kalau ada satu frase yang tepat untuk menggambarkan tempat Claude dan Claudia berada saat ini, frase tersebut adalah ‘penuh lubang’.


Sejauh mata memandang, di situlah lubang dapat ditemukan. Lubang-lubang tersebut tampak seperti pusaran warna yang aneh, dengan bulatan hitam di tengahnya, tersebar di mana-mana. Di atas rumput, pepohonan, jalan setapak, bahkan udara dan langit kosong.

Kenapa disebut lubang? Karena setiap saatnya, ada saja benda yang tertarik masuk, atau justru dimuntahkan oleh lubang-lubang tersebut – menandakan bahwa setiap bentuk bulat aneh yang mereka temui adalah penghubung dengan suatu tempat yang lain.

Bila hanya terdapat satu-dua lubang seperti itu, mungkin mereka yang baru pertama melihatnya akan menganggap lubang tersebut sebagai objek yang menarik. Namun bila keadaannya seperti ini, lubang-lubang itu justru sangat mengganggu pemandangan. Ibarat sebuah tembok bersih yang dipenuhi dengan coretan asal-asalan.

Siapapun yang menyebabkan semua ini terjadi pasti bukan orang yang sayang lingkungan.

Tapi toh ini bukan tempat yang mereka tinggali, jadi sebenarnya Claudia tidak begitu peduli.

Sejak ia meninggalkan posisi awal, Claudia telah berjalan tanpa arah selama sekitar belasan menit. Selama itu pula, ia belum menemukan mahluk hidup lain – tidak ada manusia, tidak ada binatang, tidak ada sesuatu yang tampak hidup. Dan ini lebih mengusik perasaannya ketimbang lubang-lubang aneh yang mereka lalui.

“Bagaimana pendapatmu, Claude?”

Tas punggung yang saat ini dikenakan Claudia sengaja dibiarkan terbuka sedikit ritsletingnya, supaya Claude yang berada di dalamnya dapat melihat dunia luar tanpa benar-benar terlihat. Sementara Claudia melihat ke depan, Claude melihat ke belakang. Bersama mereka berdua saling menjaga dari arah yang berlawanan.

“Sejauh ini aku belum melihat sesuatu yang bisa kusebut sebagai lawan. Kalau aku tidak salah ingat, jumlah lawan kita ada empat orang. Apa mereka sudah mulai bertarung satu sama lain?” ujar Claude menanggapi.

Claudia mendengus sebal.

“Apa serunya kalau kita dilibatkan di dalam permainan di mana kita tidak ikut bermain?”

“Kan sudah kubilang, ini bukan sekedar permainan…”

“Tapi kalau terus menang, kita bisa mendapat sedikit waktu lebih lama untuk terus bersama. Bukankah itu sesuatu yang patut dicoba untuk kita raih, selama kemungkinannya masih ada?”

Terdengar helaan napas Claude. Tanda bahwa ia mengalah.

Bukannya Claude tidak senang mendebat Claudia, hanya saja kata-kata sederhana Claudia kadang mengandung kebenaran yang tak bisa Claude bantah. Maka apapun yang Claude pikirkan, ketika Claudia sudah mengambil keputusan, Claude akan menghormati keputusan tersebut dan berusaha untuk mengikutinya.

Mereka pun berhenti berbicara sejenak, memfokuskan diri pada bagaimana cara keluar dari hutan penuh corak lubang ini.

Beberapa waktu pun berlalu.

Claude merasa mereka sudah berjalan cukup lama, namun pemandangan yang ia lihat dari belakang kelihatannya tidak banyak berubah.

“Perasaanku saja, atau kita cuma berputar-putar dari tadi? Kau yakin tidak tersesat?” tanya Claude pada akhirnya.

“U-uh…Claude berisik! Kau tidur saja yang tenang kalau mau, saat kau bangun nanti aku pasti sudah memenangkan pertandingan ini!”

Tidur? Di tengah pertarungan? Sungguh saran yang tidak masuk akal. Untuk saat-saat seperti ini, Claude jelas tidak akan mengikuti perkataan Claudia.

“Claudia, kita menghabiskan waktu dengan tidak ke mana-mana. Meski harus kukatakan aku senang bisa lebih lama menghabiskan waktu bersamamu, kalau lima menit lagi kita belum keluar juga, sebaiknya aku saja yang menggunakan tubuh kita untuk mencari jalan keluar.”

Claude menunggu jawaban dari Claudia, namun sang kekasih tak kunjung menanggapi.

“Claudia?”

Claude mencoba menggerakkan badan mereka. Bergerak. Artinya kuasa penuh bukan pada Claudia.  Artinya kepala Claudia tengah meninggalkan badannya sekarang.

“Claudia!”

Dari balik tas punggung Claude berteriak memanggil. Sekali, dua kali, hingga kemudian terdengar suara yang mendekat dari jauh.

“Ooooh! Akhirnya, sebuah jalan besar!”

Suara Claudia. Tak lama kemudian, Claude dapat merasakan ia tak lagi bisa mengendalikan tubuh mereka – yang artinya Claudia sudah kembali menempati tubuh ini.

“Claudia? Dari mana–”

“–Claude, aku menemukan sebuah jalan di luar hutan. Kelihatannya di ujung jalan itu ada sebuah desa.”

“Eeh, kau tahu, aku tidak bisa melihat yang kau lihat dari belakang sini… Dan dari mana kau tadi?”

“Barusan terpikir olehku kalau melihat dari atas lebih mudah daripada melihat ke depan. Jadi aku – kepalaku – terbang ke atas, dan voila! Aku menemukan jalan keluar!”

Kalau saat ini Claude memiliki sebuah tangan, ia pasti sudah menaruhnya di dahi setelah mendengar jawaban tersebut.

“Kau ini membuatku khawatir saja. Apa sulitnya sih memberitahu apa yang hendak kau lakukan terlebih dahulu?”

Lagi-lagi Claudia tidak menghiraukannya. Tapi kali ini mereka bergerak, dan Claude bisa merasakannya.

Ternyata tidak butuh waktu lama hingga Claude bisa ikut melihat jalan setapak yang Claudia lalui dari belakang. Sebentar waktu berselang, tibalah mereka di sebuah desa kecil yang tampak berantakan.

Desa itu berantakan bukan semata-mata karena banyaknya lubang seperti di hutan barusan. Bentuk bangunan- bangunan yang ada di desa itu terlihat tidak rapi, terkesan dibuat hanya sekedar agar bisa ditinggali tanpa mempedulikan nilai estetika dan enak dipandang.

Namun yang paling menimbulkan kesan berantakan adalah para penghuni desa itu sendiri.

“Wow. Monster. Monster di mana-mana.”

Sejauh Claudia memandang, tak bisa ia hitung jumlah berbagai spesies dan ras mahluk yang berlalu-lalang di dalam hiruk-pikuk desa kecil tersebut. Ada yang masih sedikit menyerupai manusia secara morfologi, ada yang lebih mirip hewan atau tumbuhan, ada pula yang Claudia sendiri bingung bagaimana menggambarkannya dengan kata-kata. Mereka semua menghuni desa ini di setiap sudut, tampak seperti campuran berbagai cat warna yang dilempar begitu saja ke dalam kanvas hingga menghasilkan gambar abstrak.

“Kusangka di bagian hutan tadi tempat ini – dunia ini, bahkan – sepi seutuhnya,” Claudia berkomentar. “Tapi ternyata mahluk anehnya lebih banyak daripada di dunia kita, ya.”

Selama Claudia menyusuri seisi desa, Claude mengintip dari belakang.

Seperti kata Claudia, keanekaragaman mahluk yang hidup di tempat ini benar-benar tak terbayangkan. Di tempat mereka berdua berasal, memang ada mahluk-mahluk aneh seperti penghisap darah dan perubah bentuk, namun dominasinya masih berbentuk menyerupai manusia. Sementara di tempat ini, sesuatu yang benar-benar mirip manusia biasa justru terasa langka.

Mendadak terlintas di pikiran Claude mengenai lubang-lubang yang tersebar tak beraturan di dunia ini. Apakah lubang-lubang itu berarti sesuatu? Adakah hubungannya dengan mereka yang tinggal di tempat ini?

“Claude….”

Lamunan Claude dibuyarkan oleh panggilan Claudia. Sontak Claude segera menjawab,

“Ya, Claudia?”

“Mereka tidak bisa melihat kita.”

…tidak bisa melihat? …apa maksudnya?

“Kelihatannya kita menjadi tembus pandang atau semacamnya,” jelas Claudia menambahkan.

“Kau tidak bercanda?”

“Serius. Tidak ada yang menatapku atau menyadari keberadaanku sejak tadi. Aku sudah berapa kali mencoba menepuk bahu atau berdiri di depan seseorang, tapi tidak ada yang sadar. Seolah-olah kita tidak benar-benar berada di sini. Seolah-olah kita ini hantu.

Mendengar perkataan ini, Claude berpikir sejenak.

Kelihatannya perkataan Claudia ada benarnya. Mereka sudah berjalan mengelilingi desa, dari belakang pun Claude tahu hal itu. Dan memang tidak ada satupun tatapan yang rasanya terarah pada mereka berdua. Hal itu cukup ganjil untuk seorang pendatang baru dari luar yang masuk ke satu wilayah kecil, apalagi dengan penampilan yang agaknya berbeda dengan kebanyakan penghuni tempat ini.

“Yah, kita kan sudah mati,” ujar Claude mencoba menyimpulkan. “Rasanya tidak aneh kalau memang kita sekarang berwujud hantu.”

Sialnya, dalam keadaan ini justru sulit menemukan mahluk macam apa yang menjadi lawan mereka sebenarnya. Bagaimana mereka akan tahu kalau-kalau ada lawan yang tersembunyi di antara para monster ini?

Seolah menjawab kebingungan tersebut, tiba-tiba saja terdengar bunyi yang menggelegar dari suatu sudut desa.

“–?!”

Seketika itu pula suasana berubah menjadi ricuh. Para mahluk berteriak gaduh, berlari tak karuan, menghempas Claudia yang tidak menangkap apa yang baru saja terjadi.

“Ada apa ini? Ada apa ini?”

Lalu bunyi kedua terdengar lagi. Kali ini lebih keras, dan lebih dekat.

Suara ledakan!

“Claudia,” Claude menyeru, mengisyaratkan tanda awas pada situasi ini.

“Aku sudah melindungi kepalaku, jadi tenang saja,” balas Claudia. “Daripada ikut lari bersama mereka yang panik, kurasa aku justru penasaran dengan biang keladi dari semua keributan ini.”

Di tengah keributan yang terjadi, Claudia sempat menangkap dari mana arah datangnya benda yang menyebabkan ledakan kedua. Pandangan Claudia segera tertuju pada sosok di udara.

Sesosok binatang yang tampak lebih familiar daripada mahluk berbagai rupa yang ada di sini – seekor harimau, namun berwarna merah – tampak melayang begitu saja di langit kosong. Di atas harimau itu, tampak seseorang duduk menungganginya bagai menunggangi seekor kuda.

Tak salah lagi, penunggang harimau itulah yang bertanggungjawab atas kedua ledakan barusan.

Sang penunggang harimau terbang kemudian melepaskan peledak yang ketiga, yang jatuh tak begitu jauh dari tempat Claudia berada.

Dengan bunyi yang keras membahana, Claudia dapat menyaksikan sebagian isi desa – termasuk pula beberapa penghuninya yang bernasib malang – tersedot ke dalam ledakan hitam yang seperti memakan apa yang dilewatinya hingga hanya menyisakan ketiadaan.

Tidak ada sisa bangunan rusak, tidak ada daging atau darah. Hanya ledakan hitam, dan hilanglah semua yang dilalap ledakan tersebut.

Claudia melihat ke sekeliling. Sama sekali tidak ada siapapun selain dirinya sendiri yang menatap ke arah langit, seolah tidak ada yang tahu dari mana serangan tersebut berasal. Tidak pula ada yang mencoba menunjuk ke arah si penunggang harimau, dan tidak ada antisipasi berupa serangan balasan atau menghindar dari tempat ledakan akan terjadi berikutnya.

“Claude, pikirkan ini : ada sosok yang menyerang dari atas, tapi semua tidak melihat ke arah yang aku lihat. Apa kemungkinannya dia sesama peserta permainan ini?”

“Nyaris 100%, kalau kau bertanya padaku,” jawab Claude tanpa ragu. “Pasti begitu. Kelihatannya keberadaan kita gaib bagi penghuni dunia ini, namun tampak bagi sesama hantu. Cukup masuk akal juga untuk sebuah permainan di antara orang-orang mati.”

“Ho-ho. Kurasa aku jadi mengerti pola pikir dia yang di atas sana. Dia hendak melenyapkan semua yang ada di bawah, menghemat waktu daripada mencari lawan satu-persatu di antara sirkus kumpulan mahluk aneh ini.”

Claudia menyunggingkan sebuah senyum, sementara Claude tertawa kecil.

“Memulai pertarungan dengan menyerang tanpa pandang bulu? Tabiat lawan kita yang satu ini buruk sekali, ya.”

“Yup. Tipe yang kelihatannya sengaja ada untuk dihabisi pertama oleh kita berdua.”

*****

-2-

Andhika Karang namanya. Orang-orang biasa memanggilnya dengan nama panggilan Kara. Seorang pelajar sekolah menengah atas yang menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang menarik dari dirinya yang ia pikir dapat ia banggakan pada orang lain.

Redina Sungkar namanya. Seorang perempuan sebaya Kara, yang menjadi pujaan hatinya. Tanpa keberadaan Redina di dunia, mungkin Kara tidak akan tertarik untuk terus menjalani kehidupannya yang begitu-begitu saja. Redina adalah perlambang harapan, pemberi warna pada kehidupan Kara. Di luar kehidupan nyata yang selalu membuatnya lelah, hanya Redina-lah yang selalu ia impikan.

Maka setiap ia tidur di malam hari, ia akan bermimpi.

Hampir setiap saat ia bermimpi menjadi sosok yang sama sekali berbeda dengan kehidupan aslinya. Sosok berjubah merah-hitam, dengan berbagai macam senjata dan menunggangi seekor harimau. Sosok yang hebat. Kalau ia sedang frustasi, ia akan melampiaskan kekesalannya dengan berbuat kerusakan di alam mimpi. Puas sekali rasanya, merusak tanpa ada yang memprotes. Seperti melempar beban dari pundaknya.

Kadang kala pula, meski lebih jarang terjadi, ia dapat memimpikan Redina. Di dalam mimpinya, adalah ia dan Redina, sepasang remaja yang saling memadu cinta. Kadang bercampur dengan banyak perasaan yang ia pendam, kisahnya dan Redina di alam mimpi bisa berupa bermacam-macam cerita. Kadang ia menjadi pahlawan dan Redina putrinya, kadang pula hanya kisah roman picisan belaka.

Apapun itu, Kara jelas merasa lebih puas hidup di alam mimpi ketimbang di dunia nyata.

Akan tetapi semua berubah sejak maut menjemput.

Tidak ada lagi Redina yang menjadi harapannya. Tidak ada lagi alam mimpi yang menjadi tempat pelariannya.

Yang kini ada di hadapannya adalah sebuah pertarungan.

Membunuh, atau dibunuh.

Kara kesal luar biasa. Siapa yang seenaknya memutuskan bahwa ia harus mati di hari itu? Ia belum puas! Ia belum meraih apa-apa! Bahkan Redina pun masih berupa angan-angan, belum pernah menjadi bagian dari hidup dalam arti yang sebenarnya!

Segala macam perasaan kecewa dan marah bercampur jadi satu, meledak ketika Kara menyadari ia tak punya kuasa untuk mengubah ini semua.

“Sial. Sial. Sial sial sial sial! Sialaaaaaaaaaaaan!!”

Menunggangi Eza, harimau peliharaannya di alam mimpi yang ikut dihadirkan atas kehendak dewa dalam pertarungan ini, Kara pun melampiaskan amarahnya dengan melempar peledak yang ia miliki dari udara. Sudah tiga buah granat ia lemparkan, namun amarahnya tak juga kunjung reda.

“Brengsek! Dewa? Permainan? Bah! Memangnya siapa dia, seenaknya memutuskan semuanya sendiri?! Kalau aku tidak mati, semua tidak akan berakhir seperti ini!!”

Dari atas langit, Kara dapat melihat bahwa lemparan granatnya tidak dapat menciptakan apapun selain rasa hampa.

“Redina…”

Kara menundukkan kepala. Digenggamnya erat bulu rambut Eza erat-erat.

“Kau menyedihkan sekali, Tuan.”

Tedengar suara sang harimau berbicara. Sedari tadi hewan itu diam saja, namun agaknya ia terganggu juga melihat kondisi mental tuannya yang tidak stabil.

“Diam kau! Kau cuma produk dari khayalanku saja!” teriak Kara, masih di puncak emosinya. “Tahu apa kau soal bagaimana rasanya mati sebelum sempat mengungkapkan cinta?!”

“Setidaknya darimu aku tahu kalau cinta bisa membuat seseorang terlihat sangat konyol.”

Perkataan Eza sama sekali tidak membantu, dan malah membuat Kara mengambil granat lagi dari balik jubah yang ia kenakan.

“Granat itu terbatas, jangan kau buang-buang!” seru Eza mengingatkan.

“Apa pedulimu? Kalau perlu aku pakai rudal saja sekalian biar lebih cepat!”

“Tidak! Tahan dirimu! Ingat, rudalnya cuma dua! Kalau nanti mendadak muncul musuh yang luar biasa kuat bagaimana?!”

“–?!”

Kata-kata terakhir Eza berhasil membuat tangan Kara berhenti.

Saat itu pula ia kembali menyadari posisinya saat ini. Ia sedang bertarung. Bertarung untuk tidak tersingkirkan ke neraka. Ada musuh yang harus ia kalahkan. Kalau ia yang kalah, maka ia benar-benar tidak punya jalan lagi untuk kembali.

Kara terkekeh. Menyedihkan sekali, disuruh menahan diri oleh binatang bawahanmu sendiri.

“Kau benar.. Mungkin sebaiknya sekarang kita cari musuh yang harus dilawan dan segera selesaikan semua ini..”



Di bawah Eza dan Kara yang melayang di udara, Claudia saat ini tengah mengamati  sang harimau dan penunggangnya yang sudah berhenti melemparkan granat aneh. Ledakan yang ditimbulkan granat itu membuat lubang hitam yang diam untuk beberapa menit, sehingga Claudia berpikir lebih baik melancarkan serangan yang tidak terlihat daripada mengambil risiko diserang balik.

Bagaimana caranya?

“Ada saran, Claude?”

Claudia masih menengadahkan kepalanya ke atas. Selagi mereka belum bergerak, inilah kesempatan paling bagus untuk serangan kejutan.

“Kau bisa melihatnya, kan?” tanya Claude.

“Jelas. Melihatnya sama seperti melihat noda hitam di atas kertas putih.”

“Kalau begitu perkaranya gampang. Pertama-tama, balikkan saja dia dari posisinya.”



Kara tidak mengerti apa yang terjadi saat tubuhnya mendadak jatuh bebas dari ketinggian yang tak bisa ia perkirakan di langit.

Detik lalu ia masih menunggangi harimaunya Eza. Detik kemudian, dunia serasa terbalik, dan hal berikutnya yang ia ketahui adalah ia sedang terjatuh, ditarik oleh gravitasi dengan tanah di arah kepala dan langit di kaki.

“Aaaaaaaaaaahhhhhhhh!!!?”

Rasa pusing dan kaget bercampur jadi satu.

“EEEEZZZAAAAAAAAAA!!”

Serta merta Kara memanggil sang harimau merah. Eza memiliki kemampuan levitasi, maka apapun yang sebenarnya sedang terjadi, seharusnya harimau itu tidak ikut jatuh sepertinya. Dengan panik mata Kara mencari-cari di mana sosok Eza yang mungkin dapat menyelamatkannya dari celaka.

Samar-samar, ia dapat melihat Eza berlari di udara mengejarnya.

Sebentar lagi ia akan sampai ke tanah. Sudah terlambat untuk mencoba memperbaiki posisinya. Apakah Eza bisa sampai tepat waktu?

Kara menutup mata, tak siap menghadapi apapun yang selanjutnya akan terjadi.

“–ggh?!”

Mendadak ia merasa tubuhnya dihantam sesuatu, dan setelahnya tubuhnya tak lagi bergerak jatuh. Ia membuka mata, melihat Eza berhasil menggigit jubahnya sebelum ia membentur tanah. Mereka mendarat perlahan, dan Eza segera menurunkan Kara sebelum gigitannya merobek jubah sang tuan.

“Hah…hah… Kusangka aku akan mati tadi…”

Jantung Eza berdegup kencang. Tidak, ia tahu ia sudah mati. Namun pacuan adrenalin yang barusan ia rasakan menyadarkan bahwa setidaknya untuk saat ini, ia masih hidup. Dan jelas sekali kalau ia masih sayang nyawa.

“Tuan, kelihatannya lawan kita sudah menampakkan diri tanpa perlu dicari.”

Kara mendongak mendengar perkataan Eza, dan mendapati seorang wanita berambut putih dalam balutan pakaian monokrom. Wanita itu melempar senyum ke arahnya, membuat Kara bergidik.

“Selamat siang. Apakah kau juga peserta permainan-setelah-mati?”

Pertanyaan macam apa itu?

Kara segera mengambil posisi siaga dengan busur siap di tangan.

“Ah. Jadi tak salah lagi, kau memang salah satu lawan yang harus kukalahkan,” wanita itu menjawab pertanyaannya sendiri.

“Eza, serang dia!”

Tanpa membuang waktu, Kara memberikan perintah pada Eza dan mengarahkan busurnya pada sang wanita. Dibantu alat keker yang menandai target dengan cahaya infra merah, Kara segera menembakkan anak panah gravitasi miliknya.

Dua lawan satu. Wanita itu tak akan bisa mengelak dari kejaran Eza, dan akan dipersulit dengan rentetan tembakan dari busurnya. Kara pasti bisa memenangkan pertarungan ini!

…begitulah pikirnya, tetapi semua ternyata tak semudah yang ia kira.

Wanita itu cukup gesit untuk menghindar dari serbuan Eza, dan berputar melewati mahluk-mahluk aneh di sepanjang jalan. Kara terlambat menyadari bahwa keberadaan mereka tidak terlihat bagi mahluk-mahluk aneh di desa ini, dan sejak tadi wanita itu cukup cerdik memanfaatkan fakta ini untuk kepentingannya sendiri.

Setiap Kara melepaskan tembakan, wanita itu berlindung di balik salah satu penghuni desa sehingga Kara malah melukai orang yang salah.

Setiap Eza menerjang dari arah manapun, wanita itu entah bagaimana selalu berhasil menghempas Eza mundur, menciptakan cukup jarak baginya untuk menghindar lebih jauh.

…wanita ini tidak bisa dianggap remeh. Kara tidak bisa terus menyerang sembarangan seperti ini.

Ia hendak memanggil Eza untuk menungganginya dan menyerang sang wanita dari atas, namun teringat kembali bahwa ia baru saja nyaris jatuh dari langit.

Benar juga, ia bahkan tidak tahu kemampuan apa yang dimiliki oleh wanita itu. Bagaimana ia menjatuhkannya barusan? Bagaimana ia bisa menahan serbuan Eza?

“Eza, kembali ke sini!”

Apapun itu, Kara mencoba bermain aman dengan tidak terbang terlalu tinggi. Setelah Eza berbalik dan ia naik ke punggungnya. Kara mendapat mobilitas yang lebih tinggi untuk melakukan serangan jarak jauh. Ia memerintah Eza untuk naik ke atap-atap bangunan desa, dan beberapa kali melepaskan anak panah gravitasinya.

Sayang, sejauh ini tidak ada satupun yang tepat sasaran. Kebanyakan anak panah yang dilepaskan Kara kebanyakan menjadi peluru nyasar yang mengenai mereka yang bernasib sial.

“Akurasimu buruk, pantas saja wanita itu bisa menghindar dengan mudah. Ganti senjata sana.”

“Berisik, kau sendiri tidak bisa menyerangnya dari tadi!” gerutu Kara.

“Bukan salahku. Wanita itu punya kemampuan aneh. Setiap aku hendak menerkamnya, rasanya seperti ada sesuatu yang tak terlihat mementalkanku. Mungkin dia  bisa menciptakan dinding kaca?”

“Kita cari tahu nanti. Sekarang kita harus mempersempit jarak dengannya dulu!”

“…kukira kau petarung jarak jauh…”



 “Mereka benar-benar mengekor kita dari belakang,” gumam Claudia sambil terus berlari. “Penurut sekali.”

“Ya, aku bisa lihat dari sini,” timpal Claude. “Sesuai dengan rencana.”

“Ada gunanya juga menyusuri desa ini waktu kita tiba. Aku jadi tahu kalau ada tempat bagus untuk melawan orang seperti itu.”

“Aku sedikit menyesalkan dia membawa-bawa binatang tunggangan. Binatang yang malang. Semoga kita bisa mengalahkannya tanpa perlu membunuh harimaunya.”

“Haha, sayang, kelihatannya itu tidak mungkin. Binatang berbahaya begitu justru sebaiknya dibunuh lebih dulu agar penunggangnya tak bisa bergerak leluasa.”

“Ugh. Kau kejam, Claudia.”

“Apapun selama bisa menang bersamamu, Claude.”

*****

-3-

Setelah aksi kejar-kejaran antara seorang penunggang harimau dan seorang wanita, akhirnya sampailah mereka di tengah alun-alun desa.

 Di tempat inilah para warga desa yang panik akibat tiga ledakan sebelumnya kini tengah berkumpul, kelihatannya tengah membahas fenomena yang mereka anggap anomali. Mereka membentuk sebuah keramaian yang padat, bagai sekumpulan domba yang berusaha berada dalam kelompok agar tidak diterkam serigala bila keluar dari barisan.

Di tengah keramaian tersebut, Claudia berdiri menghadap ke arah sang pemuda dengan masker dan jubah, yang masih berada di atas harimau berwarna serupa dengan pakaiannya.

Mereka saling bertukar pandang, tak mempedulikan di sekeliling mereka terdapat kerumunan yang tak bisa melihat mereka. Sekali salah salah satu dari mereka bergerak, kerumunan mahluk ini pasti akan kembali panik karena ‘kekacauan yang tak terlihat’ yang mereka timbulkan.

Siapa yang akan memulai gerakan pertama?

Sebagai seseorang yang telah hidup selama lebih dari seabad dan sering menemui pertarungan sepanjang kehidupannya, Claudia sudah terbiasa mengendalikan diri dan menyusun rencana bersama Claude. Keduanya bukan petarung yang mengandalkan fisik secara langsung. Ada tahapan yang biasa mereka lalui untuk mengalahkan seorang lawan, dan saat ini tahap-tahap tersebut tengah berlangsung.

Di sisi lain, Kara lebih dikuasai emosi  dibandingkan wanita yang menjadi lawannya. Selain amarah yang sebenarnya belum sepenuhnya reda dari awal, ada pula kekecewaan bercampur frustasi karena belum ada serangan yang berhasil ia daratkan pada sang lawan. Dari segi pengalaman, Kara hanyalah seorang remaja biasa. Pengalaman bertarungnya tidak ada yang nyata, terbatas pada apa yang ia angan-angankan ketika ia bermimpi.

Dalam kondisi ini, jelas siapa yang akan memulai serangan duluan.

“Eza, maju!”

Bersama si harimau merah, Kara menerobos keramaian. Busur di tangannya telah ia ganti dengan pisau bergelombang tinggi yang mampu membelah logam titanium sekalipun. Pikirnya, kalau memang kemampuan wanita ini ada hubungannya dengan membuat dinding kaca, maka pisau miliknya ini pasti bisa menembusnya.

“Oh, dia mengambil umpannya.”

Claudia bergerak mundur, sehingga terdapat ruang kosong antara tempatnya berdiri tadi dan sekarang. Tepat ketika si harimau sampai di depannya, hewan besar itu mendadak mengaduh kesakitan.

Selain Claudia sendiri, tidak ada yang tahu bahwa baru saja ia memanipulasi ruang untuk membentuk sebuah bangun kerucut super tipis dan runcing, namun tak terlihat. Begitu si harimau ada di posisi yang tepat, Claudia meluncurkan kerucut itu secara vertikal dari tanah, menembus rahang dan mata si harimau yang malang.

Eza tersungkur, sementara Kara hanya bisa kebingungan.

“…?! Eza, kau kenapa?”

Tiba-tiba Kara merasakan sebuah sensasi aneh. Ia tahu perasaan ini. Ia memandang ke depan dan melihat pemandangan yang berbeda. Si wanita berjubah hitam-putih tidak ada di depannya. Tapi Kara tahu. Wanita itu pasti ada di belakangnya.

Naluri hewan Eza membuatnya segera melompat menjauh meski dengan luka yang ia terima. Sang harimau kemudian berbalik, dan mendapati sudah tidak ada siapa-siapa di belakang mereka. Namun Eza dan Kara tahu kalau mereka baru saja menghindari sesuatu berbahaya.

Di lain tempat, Claudia – gagal melancarkan serangan dari belakang setelah mengubah arah ke mana lawannya menghadap – berjalan pelan mengitari posisi Eza dan Kara.

Tempat ini sengaja dipilih karena luas dan ramai. Dua hal ini menguntungkan untuk sebuah taktik hit and run, dan sekalipun sebuah serangan gagal, Claudia bisa segera membaur dengan kerumunan sebelum serangan kedua, dan masih bisa bergerak leluasa di antaranya.

Taktik ini dipilih oleh Claude melihat lawan mereka awalnya lebih sering menggunakan serangan jarak jauh, dan temperamennya tampak buruk. Serangan gerilya seperti ini pasti bisa membuat lawan frustasi. Apalagi karena tempatnya berkesan padat, serangan jarak jauh yang ia miliki tidak ada untungnya digunakan di sini.

Tapi semua ini cuma teori. Pada kenyataannya, tempat ini cuma efektif selama keributan belum terjadi. Kalau massa panik dan berhamburan ke mana-mana, mungkin mereka akan kembali mengganti strategi.

“Coba muncul sekali lagi dan lihat apa yang dia lakukan,” kata Claude. “Kalau bisa habisi dia dalam serangan yang ini.”

“Kurasa aku benar soal harimaunya,” balas Claudia. “Tanpa hewan besar itu, laki-laki bermasker itu pasti tidak bisa berbuat banyak.”

Claudia kemudian keluar dari persembunyiannya dan menampakkan diri. Begitu melihatnya, Kara segera memberi aba-aba untuk Eza menyerang, namun harimau itu tidak menurut.

“Tidak bisakah kau lihat ini perangkap?” keluhnya sambil menahan luka yang ia terima. “Aku tidak mau maju dan tiba-tiba menginjak ranjau yang tak bisa kulihat seperti barusan.”

“Tapi dia ada di sana, diam melihat kita sambil tersenyum mengejek! Kalau ini bukan kesempatan, lalu kapan?”

“…kalau ini menurutmu mangsa empuk, kenapa tidak kau coba tembak saja dia?”

“Ah. Kau pintar, Eza! Kita lakukan serangan jarak jauh!”

Sang harimau mendesah, berpikir kenapa tuannya tampak lebih bodoh daripada dirinya. Memangnya dari awal siapa yang menyarankan pertarungan jarak dekat?

“Pegangan padaku dengan satu tanganmu, dan senjata di tangan lainnya. Kalau aku terbang, ada kemungkinan kau jatuh lagi kalau tidak berpegangan erat.”

Kara menuruti perintah Eza, tak sadar posisi antara tuan dan bawahan kelihatannya jadi terbalik.

Si harimau merah pun melompat tinggi ke udara, memberi jarak ideal bagi tuannya melakukan serangan jarak jauh apapun dengan persenjataan yang ia punya. Sementara di bawah sana, target mereka tampak masih diam di tempat.



“Mereka terbang lagi tuh,” keluh Claudia. “Apa kita jatuhkan lagi?”

“Jadi mereka tidak memakan umpan yang sama,” kata Claude. “Lihat saja dulu mereka mau apa.”



Di udara, Kara tengah memilah mana senjata yang sebaiknya digunakan. Pakai panah? Terlalu kecil lingkupnya, lagipula akurasinya tidak bisa dibanggakan. Pakai granat? Terlalu lambat jatuhnya, pasti bisa dihindari lebih mudah dari tembakan panah.

“Menurutmu aku harus menyerang dengan apa?”

“Kenapa malah jadi bertanya padaku?!”



Beberapa detik berlalu, dan baik Kara maupun Claudia menghabiskan waktu diam di posisi mereka masing-masing – Kara di udara dan Claudia di tanah.

Tak terasa, detik telah berubah menjadi menit.

Bosan menunggu, Claudia akhirnya memutuskan membalikkan kembali posisi si penunggang harimau tanpa meminta pendapat Claude.

“Aaaaaaaaaahhhhh!!”

Kara bergelantungan di udara sambil memegang erat rambut Eza dengan satu tangan.

“Adududuh! Oi, jangan jambak bulu rambutku!”

“Tidaaaak!! Kalau kulepas aku bakal jatuuuh!”

Sambil menggeram kesakitan, susah payah Eza melakukan gerakan berguling di udara, memperbaiki posisinya sehingga Kara kembali berada di punggungnya.

“Sudah cukup!” teriak Kara tiba-tiba. “Eza, terbang yang tinggi, tinggi sekali! Kita jatuhkan rudal dari ketinggian ini!”

“Oi, oi.”

“Aku serius! Kalau beruntung, siapa tahu ada satu-dua musuh lain juga di bawah sana, dan ledakan radius 10 kilometer tidak mungkin bisa dihindari atau ditahan. Ayo kita lakukan!”

Eza tidak bisa menyuarakan keberatannya, dan akhirnya terbang ke langit yang lebih tinggi.



“Mereka terbang lebih tinggi lagi. Kalau begini lama-lama sulit melihatnya. Bagaimana, Claude?”

“Susul saja mereka ke atas. Bahaya juga kalau mereka lepas dari pandangan kita.”



Kara sudah gelap mata. Ketika ia yakin jaraknya dengan permukaan tanah di bawah sana sudah cukup jauh, langsung saja  ia menekan tombol untuk melepaskan rudal tanpa ba-bi-bu.

Ia tidak melihat titik kecil yang melompat ke atas dari bawah sana, naik dan naik, seakan mempunyai pijakan tak terlihat di udara.

Titik kecil itu berpapasan dengan rudal yang ia lepaskan. Rudal terus jatuh ke bawah, sementara titik itu terus naik ke atas.

Sadarlah Kara bahwa titik itu adalah si wanita dengan jubah hitam-putih.

“Di, dia bisa terbang juga!?”

Sesungguhnya yang dilakukan Claudia bukanlah ‘terbang’. Ia hanya menciptakan sebentuk bangun yang menjadi pijakan kaki, dan melompat dari satu ketinggian ke ketinggian berikutnya. Claudia hampir mencapai Kara, namun kemudian berhenti untuk melirik ke bawah.

Claude menyeru untuk berhenti karena melihat apa yang terjadi di bawah sana.

“…..!?”

Ini semua semata-mata hanya faktor keberuntungan.

Terlepas dari taktik yang akhirnya tidak terlalu terpakai, baik Claude maupun Claudia tidak memperhitungkan lawan mereka ini memiliki senjata penghancur dengan skala sedahsyat yang mereka saksikan sekarang.

Sebuah ledakan  yang luar biasa besarnya terjadi di bawah sana. Ledakan tersebut menimbulkan lubang hitam, menyedot masuk mahluk hidup dan bangunan yang ada menuju kehampaan.

Proses penghancuran yang sungguh gila. Setelahnya, hanya gema bunyi dan udara kosong yang tersisa.

Di bawah sana kini terbentuk sebuah kubah setengah bola dengan tanah yang menjorok ke dalam. Sama sekali tidak menyisakan apa-apa selain bentukan tanah yang menandakan kerusakan maha dahsyat baru saja terjadi.

Andaikata Claude dan Claudia masih ada di bawah sana, mereka pasti tidak akan selamat.

Pandangan Claudia beralih pada si penunggang harimau.

“Benar kataku. Dari awal memang harimaunya dulu yang harus dihabisi!”

Claudia melakukan sebuah lompatan tinggi, menghujamkan sebentuk kerucut runcing dari bawah ke perut Eza sebelum mereka sempat bereaksi.

Darah segar mengucur ke bawah, bagai tetesan hujan yang tanggung.

Eza mulai merasa kelimpungan. Ia lelah dan lemah. Di atas tubuhnya, Kara memutar-mutar kepala, mencari-cari di mana gerangan wanita yang menjadi lawannya berada.

Mereka tidak melihat bahwa Claudia sudah berada di posisi yang lebih tinggi dari mereka.

Claudia bertolak dari pijakan udaranya dan melesat ke bawah. Dengan satu kaki terulur, tendangan vertikal Claudia menghantam punggung Eza – tepat di antara kedua paha Kara yang menungganginya.

Tubuh sang harimau merah pun meluncur jatuh dan tiba di tanah dengan bunyi bedebum keras.

*****

-4-

Andhika Karang sudah habis.

Remaja laki-laki dengan jubah merah-hitam itu terkapar di hamparan tanah kosong yang luas, tanah yang membentuk kubah terbalik hasil dari kerusakan yang ia perbuat.

Kara melihat ke samping. Sampai saat-saat terakhir, ia masih terlindungi oleh Eza, yang tubuhnya menghantam tanah lebih dulu, menjadi bantalan pelindung bagi dirinya. Eza kini benar-benar lemah, tak sanggup lagi bahkan untuk sekedar berdiri.

Namun Kara bahkan lebih lemah daripada harimaunya yang sekarat.

“Eza… Eza…”

Ia memanggil nama harimaunya. Hewan besar itu membuka mata perlahan, kemudian menutupnya kembali. Desahan napas yang berat terdengar keluar dari mulutnya.

“Tuan, kelihatannya sampai di sini saja petualangan kita. Maaf tidak bisa banyak membantu.”

“Tidak, kau ini bicara apa!?” seru Kara dengan nada tidak terima. “Jangan bicara seolah-olah kau akan mati! Kalau kau mati, aku tinggal sendiri!”

“Tuan, aku ini hanyalah bagian dari mimpimu,” kata Eza, yang kemudian batuk darah. “Kau, hanya kau sendirilah, yang punya kemampuan…untuk mewujudkan…mimpi-mimpimu…menjadi…nya..ta..”

Sang harimau menutup mata. Tidak ada lagi helaan napas, dan tidak lagi ia membuka matanya.

Eza telah tiada.

“Tiiiidaaaaaaakkk!!”

Kara menyeret tubuhnya untuk menggapai Eza. Tidak mungkin, pikirnya. Tidak mungkin semua selesai secepat ini. Apakah semua akan berakhir begitu saja? Apakah ia akan mati juga setelah ini?

“Sudah selesai ucapan perpisahannya? Kalau mau, aku bisa membuatmu menyusul harimau kesayanganmu itu.”

Mendengar suara tersebut, Kara segera membalikkan badan. Punggungnya bertemu dengan tubuh Eza yang sudah tidak bergerak. Di hadapannya, berdiri wanita mengerikan yang telah membunuh Eza, dengan senyum menghias di wajah selayaknya orang jahat.

“Jangan bergerak!” Kara berteriak, menunjukkan sebuah tombol di busur yang siap ia tekan. “Kalau kau maju sedikit saja, akan kulepaskan rudal dari sini!”

Si wanita berhenti melangkah.

“Benar, aku masih punya satu rudal! Dalam jarak sedekat ini, semua akan binasa seperti sebelumnya!” gertak Kara lagi.

Raut muka si wanita tidak tampak takut, tapi jelas terkejut. Terlalu terkejut malah. Dan kalau diperhatikan lagi, ia seperti tidak menatap lurus ke arah Kara. Setelahnya ia berbalik dan berlari menjauhinya.

“Hu, huhu, huahahahaha! Benar, larilah! Larilah seperti pengecut yang tak punya pilihan! Aku tahu kita semua takut mati! Dengan ledakan dari rudal ini, kita semua akan mati bersama-sama!”

Kara tertawa puas. Ancamannya berhasil.

Selama ia masih memegang senjata, ia belum akan kalah.

Begitulah pikirnya, sebelum kemudian ia merasakan hawa membunuh yang kuat dari belakang.

Kara membalikkan badannya, dan mendapati sesosok raksasa besar dengan jubah putih dan mata yang menyala-nyala seperti bara api. Seperti sesosok hantu raksasa.

“Kau… Apa kau yang menyebabkan semua kerusakan ini…?”

Raksasa itu berbicara dengan nada penuh tekanan.

Sungguh mengerikan. Bulu kuduk Kara langsung berdiri mendengarnya.

“Si, siapa kau!?”

Raksasa itu tidak menjawab, dan melangkah berat ke arah Kara.

“Ja, jangan macam-macam! Atau aku akan–“

“Tiada ampun… Tiada ampun bagimuuu!!!”

“Hiiiiii–!?”

Dengan raungan yang melebihi suara seekor binatang buas, sang raksasa melepas jubah putihnya, dan seketika itu pula ia menghilang dari pandangan Kara.

Kara tidak tahu apa yang terjadi.

Semuanya berlangsung begitu cepat.

Tubuhnya terkoyak di sana-sini, daging berhamburan dan darah berceceran.

Saking cepatnya, Kara tidak sempat merasakan sakit.

Yang ia tahu hanyalah kengerian akan kematian, yang menjemputnya lebih cepat daripada ia membuka mulut untuk sekedar berkata-kata.



Dari pinggir ceruk tanah yang merupakan sisa dari desa, Claudia menyaksikan pembantaian yang tengah berlangsung dengan pikiran tak menentu.

“Claude, ada orang ketiga. Dia berbentuk monster hitam raksasa, dan entah kenapa gerakannya cepat sekali. Kurasa bakal sulit mengimbanginya. Sekarang bagaimana?”

“Ini skenario di luar dugaan… Claudia, sebaiknya kau keluarkan aku.”

“Oke.”

“Claudia, salah! Kau malah menutup tasnya!”

“Ng? Kenapa mendadak ritseltingnya macet?”

“Ow ow ow! Claudia! Rambutku! Rambutku terjepit!”

“Eh? Se, serius?”

“Gawat. Kalau begini sebaiknya kita kabur saja dulu sebelum terkena masalah.”

“Ah, um, baiklah.”

Claudia pun berlari menuju hutan, sambil berharap semoga mereka tidak dikejar oleh mahluk hitam menyeramkan yang masih mengamuk di bawah sana.

*****

>[Andhika Karang] defeated

>Players left : 4 / 5




2nd Quarter

-1-

Sejak Deismo tiba di dunia ini, ia segera mengenali bahwa dunia ini adalah tempatnya berasal.

Dunia Paradoks. Dunia yang dipenuhi oleh lubang-lubang dimensi, di mana berbagai macam mahluk dari dimensi yang berbeda hidup di dalamnya. Dunia yang dikuasai oleh penciptanya yang lalim, Duster si misterius, pusat kebencian semua mahluk penghuni Dunia Paradoks.Yang pertama kali terbersit di pikiran Deismo hanya satu hal, dan hal itu sama sekali bukan soal permainan yang diselenggarakan oleh Thurqk.

Melainkan mencari Duster dan membunuhnya saat ini juga.

Bagi Deismo, dihadirkan kembali di tempat ini bagaikan sebuah kesempatan kedua.

Ia masih mengingat ketika ia mati terbuang di Danau Paralel, bagaimana ia gagal menghadapi Duster – sang penciptanya sendiri – dalam pertarungan untuk memperjuangkan hak-hak sahabatnya yang hidup dalam kesusahan.

Ia gagal dan terbunuh. Bagaimana nasib teman-temannya setelah pertempuran terakhir mereka?

Deismo segera pergi menuju benteng Duster, di mana sang pencipta dengan monster-monster penjaganya tinggal. Dia sudah membulatkan tekad. Persetan dengan permainan alam baka! Yang ia perlukan adalah memastikan bahwa ia menghabisi Duster kali ini!

Akan tetapi…

…alangkah terkejutnya Deismo ketika ia tiba di benteng Duster.

Bagian dalam benteng tersebut sudah porak-poranda, bagai dilanda sebuah bencana dari dalam.

Monster-monster penjaga ciptaan Duster bergelimpangan tanpa nyawa. Sudut-sudut bangunan tampak rusak di sana-sini. Dan ketika Deismo tiba, ketika itu pulalah hasratnya untuk menghabisi Duster surut seketika.

Ini mungkin hanya firasat, namun firasat yang sangatlah kuat.

Duster sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Begitulah yang Deismo pikirkan melihat pemandangan yang ada di depannya. Ia bahkan tidak merasa perlu memastikannya.

Hatinya telah tenang kembali. Dalam pikirannya, ia bisa membayangkan bagaimana teman-temannya dari Desa Terbuang saling bahu-membahu selepas kematiannya, menyerbu benteng Duster dan berhasil meraih kemenangan di akhir.

Hawa jahat yang mengancam dan mengendalikan dunia ini sudah tak bisa lagi ia rasakan.

Hatinya menjadi ringan. Deismo pun meninggalkan sisa-sisa dari benteng Duster. Benteng itu masih berdiri, namun sama sekali sudah tidak lagi menunjukkan kekuasaannya. Semua sekarang tinggal sejarah.

Sekarang pikiran Deismo beralih pada para penghuni desa.

Bagaimana kabar teman-temannya? Berapa banyak korban yang jatuh dalam pertempuran terakhir mereka? Deismo ingin tahu. Perasaan cemas dan rindu menyelimutinya, membuatnya ingin secepat mungkin kembali menemui teman-teman yang ia sayangi.

Tubuh besarnya melangkah dengan penuh harap.

Akan tetapi…

…alangkah terkejutnya Deismo ketika ia tiba di Desa Terbuang.

Takdir benar-benar sedang mempermainkannya saat ini. Ia berangkat ke benteng Duster untuk menghancurkannya, hanya untuk menemukan benteng itu sudah kehilangan makna. Ia bertolak menuju desa, namun yang ia temukan hanyalah tanah kosong yang menjorok ke dalam.

Desa itu telah hilang. Sepenuhnya.

Ini bahkan lebih parah dari ungkapan ‘diratakan dengan tanah’, karena tidak ada yang tersisa dari Desa Terbuang. Bahkan tanahnya sudah tidak rata lagi.

Hilang sudah semua harapan Deismo.

Kalau sudah begini, apa yang bisa ia perjuangkan? Untuk apa ia bertarung?

Dalam keraguan ini, ia mendengar suara.

Suara yang menyatakan diri sebagai pelaku di balik kerusakan yang terjadi.

Spontan keputusasaan Deismo berubah menjadi amarah.

Ia tidak lagi mengingat bagaimana, namun ia tahu ia sempat kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Deismo memasuki mode gila, berusaha menghabisi apapun yang bisa ia habisi di dalam kehampaan ini.

Deismo bahkan tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu, ketika ia mendapati dirinya tak lagi mengenakan jubah putihnya.

Amarahnya sudah tersalurkan. Dan kini kesedihan datang untuk menggantikan.

Ia merutuki nasibnya sendiri. Sayang, ia bukanlah mahluk yang bisa menitikkan air mata untuk meluapkan emosi yang ia rasakan.

Terhuyung-huyung, Deismo berjalan dan berjalan. Berusaha menjauhi apa yang kini telah tiada, karena itu semua terasa hanya akan menimbulkan luka bagi dirinya.

Berjalan menuju Danau Paralel, tempat di mana semua berakhir.

*****

-2-

Di lain tempat, Claude dan Claudia tengah menunggu kepergian si mahluk hitam besar dari lokasi yang tadinya merupakan Desa Terbuang.

Begitu Deismo pergi, kepala Claudia mengikutinya dari udara, sementara Claude mengambil alih tubuh mereka dan berjalan menuju cerukan tanah raksasa. Di sana, Claude menemukan mayat Kara yang tampak berantakan.

Mahluk hitam itu ternyata beringas sekali.

Pada awalnya Claude berniat untuk menggunakan tubuh si remaja laki-laki. Tapi kalau sudah sehancur ini, rasanya memakai tubuh itu hanya akan membuatnya seperti orang cacat. Maka Claude mengurungkan niatnya.

Claude meninggalkan tempat itu dan bertemu (kepala) Claudia di tengah jalan.

“Dia pergi ke mana?”

“Tidak tahu, ada semacam danau besar di ujung salah satu persimpangan jalan, dan kurasa dia menuju ke arah sana. Tadi aku juga sempat melihat, jalan yang lain menuju ke sebuah benteng yang sudah rusak. Mau mengikutinya atau coba pergi ke benteng itu?”

“Hmm… Selain si raksasa hitam, masih ada dua lawan lagi yang belum kita temui. Kalau mengikuti keinginanku, sebaiknya kita berpencar ke dua arah yang berbeda. Tapi masalahnya… siapa yang akan pegang kendali atas tubuh ini?”

“Kurasa ditinggalkan di persimpangan jalan juga tidak masalah. Orang yang melihatnya pasti cuma menganggapnya mayat tanpa kepala.”

Mengikuti saran Claudia, Claude memasukkan kepala Claudia ke dalam tas punggung dan menyusuri jalan besar keluar dari bekas desa.

Ketika mereka hampir tiba di persimpangan, terdengar bunyi langkah seseorang dari arah hutan di samping jalan.

Claude menoleh, dan dari balik pepohonan yang lebat, muncullah sesosok pria yang membawa sekuntum bunga.

“??”

Pria itu mengenakan sebuah jas kulit yang lusuh, namun wajahnya berkesan rapi dengan rambut yang tersisir ke belakang. Ada sebuah ikat kepala dari logam yang menutupi bagian dahi, dan di samping pinggangnya sebuah pedang tersampir.

Sambil memegangi bunga-bunga di dada, ia menatap Claude tanpa ekspresi berarti.

Dari pertukaran pandangan ini, Claude tahu kalau pria ini bisa melihatnya, yang artinya ia juga peserta permainan. Dengan kata lain, seorang lawan.

Akan tetapi Claude tidak bisa memasang sikap siaga. Pria ini bahkan tidak kelihatan punya niat bertarung.

“Permisi,” kata Claude memulai. “Apa yang sedang kau lakukan di sini?”

Pria itu mengangkat satu alis. Mungkin tak menyangka Claude akan mengajaknya bicara. Bunga-bunga ia pegang di satu tangan, kemudian ia berjalan menghampiri Claude seraya mengulurkan tangan yang lainnya.

“Namaku Baikai Kuzunoha.”

“…Claude Higglfiggr,” Claude membalas jabatan tangan si pria bunga. Heran, rasanya mereka seperti rekanan bisnis yang baru bertemu saja.

“Aku tersesat di hutan itu,” ujar Baikai Kuzunoha menunjuk ke arah dalam hutan. “Cukup lama. Atau lama sekali.”

Ia kemudian menatap lekat-lekat bunga yang ia bawa.

“Lalu aku menemukan bunga-bunga ini. Senang rasanya,” ujarnya mengakhiri kisah pendek tersebut.

Sekarang giliran Claude yang mengangkat sebelah alis.

“Ng, apa tidak ada hal lain yang sedang kau cari, atau lakukan? Atau hal yang harus kau lakukan setelah ini?”

“Ada. Aku sedang mencari demon. Di dunia ini, ada demon atau tidak?”

Demon? Apa yang dimaksud pria ini?

“Semacam monster, mungkin?”

“Ya, ya, seperti itu,” ujar Baikai mengiyakan. “Tahu sesuatu?”

Claude berpikir sejenak, kemudian menjawab,

“Di ujung jalan ini ada persimpangan. Kalau kau berbelok ke kiri, ada sebuah danau besar. Di sana kau akan menemukan sesosok monster hitam raksasa yang mengenakan jubah putih, dengan mata kuning menyala-nyala. Aku tidak tahu apa dia termasuk demon yang kau maksud, tapi jelas dia seorang monster. Mungkin kau akan ingin mencoba menemuinya.”

Pria itu memanggut-manggut sebentar. Lantas ia memberikan bunga yang ia pegang pada Claude.

“Ini. Terima kasih sudah memberitahuku. Sampai nanti. Kalau kita bertemu lagi, ayo mengobrol lagi. Akan kusediakan camilan untuk menemani.”

Lalu ia pergi begitu saja, meninggalkan Claude yang masih diam di tempatnya.



“Claude, ada apa? Aku tidak bisa melihat dari tadi,” Claudia bertanya dari balik tas punggung.

“Ada orang aneh yang memberiku bunga. Ah, kau tidak usah cemburu, dia laki-laki, kok. Beruntung bukan kau yang menerima bunga ini.”

“Ugh. Selama satu abad bersama denganmu, baru kali ini aku mendengar ada laki-laki yang memberimu bunga. Kedengarannya menjijikkan.”

“Hei, setidaknya dia tampak seperti orang baik-baik.”



Sesampainya di persimpangan jalan, Claude mengeluarkan Claudia dari tas punggung, kemudian melepaskan kepalanya sendiri dari badan mereka. Setelah badan mereka dibiarkan bersandar di sebuah pohon, (kepala) Claude dan(kepala) Claudia pun melayang bebas di udara.

“Jaga dirimu. Kalau ada apa-apa, atau kalau kau menemukan lawan kita yang terakhir, segera kembali dan ambil tubuh ini,” pesan Claude.

“Kau juga. Lihat apa yang ingin kau amati seperlunya saja. Kalau bisa, kembalilah ke sini dalam waktu kurang dari 20 menit,” balas Claudia.

Dengan saling bertukar senyuman, mereka pun berpisah untuk sementara, melayang menuju ke dua arah yang berbeda.

*****

-3-

Di depan Danau Paralel, Deismo terduduk memandangi danau yang dipenuhi oleh pusaran lubang-lubang dimensi. Keadaan batinnya saat ini tak menentu.

Apa lagi yang harus ia lakukan? Ia sudah tidak punya tempat untuk kembali. Tidak akan ada yang menyambutnya bila ia kembali. Kalaupun ia terus hidup, waktu hidupnya hanya sebentar dan hanya diisi oleh kekosongan yang menyakitkan.

Sang raksasa dengan jubah putih murung.

Haruskah ia mengakhiri dirinya sendiri di sini? Mengulang kembali apa yang telah, dan seharusnya terjadi – jatuh ke dalam danau ini dan tidak pernah bisa kembali?

Deismo tidak bisa memutuskan.

Ia menatap kuku-kukunya yang tajam. Sekarang, semua niatnya untuk membalas dendam dengan tangannya sendiri sudah tidak ada artinya lagi.

“Mau camilan?”

Mendadak sebuah suara menegurnya. Deismo nyaris menoleh, namun kemudian menahan diri untuk tidak melihat ke arah sumber suara. Tidak. Ia tidak ingin kembali kehilangan kendali atas diri untuk yang kedua kalinya dalam waktu dekat. Kalau sampai ia melihat orang ini, ia pasti akan kembali menjadi Deismo yang gila – karena seperti itulah ia diciptakan, menggila ketika melihat wajah lawan.

“Tidak, terima kasih,” ujar Deismo seraya memalingkan muka, tidak tahu seperti apa rupa lawan bicaranya. “Siapa kau?”

“Namaku Baikai Kuzunoha,” jawab suara di sebelah sana. “Apakah kau demon?”

“Aku Deismo. Duster’s Experiment: Impure Spiritual Mutated Organism. Banyak yang menyebutku monster. Aku tidak tahu apakah demon yang kau maksud punya arti sama.”

Deismo dapat mengira-ngira kalau lawan bicaranya ini sekarang duduk di sampingnya. Terdengar bunyi sesuatu dikunyah, mungkin itu bunyi si pemilik nama Baikai Kuzunoha yang sedang memakan apapun yang ia tawarkan pada Deismo.

“Kurasa lebih mudah kalau kau juga demon,” lanjut Baikai. “Dengan begitu, aku rasa aku punya alasan untuk melawanmu.”

Melawannya?

Barulah Deismo tersadar – orang yang duduk di sampingnya juga peserta permainan alam kematian!

Deismo tadinya ingin berdiri, namun ketenangan yang ia rasakan berhasil meyakinkannya untuk tetap duduk.

“Kau masih akan meneruskan permainan itu?” tanya Deismo.

“Haruskah aku?”

Deismo tak mengerti. Kenapa orang ini malah berbalik bertanya kepadanya?

“Sepanjang hidupku aku membasmi para demon, menjadi pelindung bagi manusia. Bahkan ketika aku mati, aku mati melindungi  seorang anak dari demon. Kalau dilihat seperti itu, bukankah kehidupan hingga kematianku sudah meninggalkan arti tersendiri?”

Hening sesaat.

“Bagaimana kau mati?” tanya orang itu kemudian.

Sungguh, Deismo ingin menatap si pemilik suara – sekedar mencari tahu seperti apa wajah yang ditampakkan saat ia mengajukan pertanyaan seperti ini. Namun Deismo hanya bisa memainkan kuku-kukunya, sambil menjawab,

“Aku hidup untuk melayani penciptaku. Penguasa di dunia ini, tepatnya. Aku bertarung melawan siapapun yang ia minta. Tapi kemudian, belakangan aku berbalik menentangnya. Aku memihak pada mereka yang sebelumnya kulawan. Lalu penciptaku murka, dan dalam pertarungan melawannya, aku jatuh ke danau di depan kita ini…dan mati.”

“Jadi, kau sedang merenungi kematianmu?”

Deismo mengangguk pelan. Sebenarnya itu bukan jawaban yang tepat, tapi hanya itu respon yang bisa ia berikan untuk saat ini.

“Kau tahu, kita berdua kelihatannya sama. Hidup penuh pertarungan, berusaha untuk melindungi sesuatu, mati karena melakukan apa yang kita yakini benar,” tutur Baikai dengan nada datar.

Mendengar hal itu, Deismo merasa ada benarnya juga. Maka ia mengangguk lagi.

“Saat ini pun situasinya sama. Mungkin ada yang menyuruh kita bertarung, tapi alasan kita sebenarnya sederhana. Kita mencari arti. Kalau aku seorang pembasmi demon dan kau demon-nya, keberadaan kita berdua berarti sesuatu. Bahkan di alam ini. Sekali berarti, setelah itu mati.”

Deismo berusaha memahami sesuatu. Kelihatannya, orang ini ingin bertarung, tapi ragu bagaimana memulainya. Dari pembicaraan mereka, tersirat adanya keinginan untuk menyelesaikan sesuatu. Sesuatu yang telah dimulai sejak mereka tiba di sini.

Orang ini tahu rasa hormat dan sikap ksatria.

Ia menggelitik dahulu pemikiran Deismo, memberinya peran untuk dimainkan, supaya mereka punya alasan untuk saling berhadapan tanpa belenggu embel-embel permainan. Itulah sebabnya ia terus menanyakan soal ‘demon’ sejak tadi.

Akhirnya Deismo membulatkan tekad dan berdiri.

Kalau tidak melakukan apa-apa, tidak akan ada yang berakhir. Dan tidak akan ada yang dimulai.

“Kalau begitu, aku tidak punya pilihan selain melawanmu.”

Baikai Kuzunoha ikut bangkit dari duduknya, menghabiskan camilan yang ia makan dan memasang kuda-kuda.

“Kelihatannya waktu makan camilan sudah habis. Mari.”



Claude mengamati perbincangan kedua peserta lawannya dari langit. Sebentar lagi keduanya sudah mulai bertarung.

Ini bagus. Pertama, mungkin salah satu dari mereka akan dikalahkan oleh yang lainnya. Kedua, karena sudah mengamati, Claude akan tahu strategi apa yang sebaiknya digunakan untuk melawan siapapun yang tersisa dari mereka berdua.

Claude memfokuskan pandangannya, berusaha tidak melewatkan bagian penting dari pertarungan yang tengah berlangsung.

Belum ada 20 menit. Masih ada banyak waktu untuk mengamati.

Semoga saja Claudia juga baik-baik saja di seberang sana.

*****

-4-

Seperti halnya ada siang hari dan ada malam hari, bagi Baikai Kuzunoha, lebih mudah bila melihat mereka yang hidup di dunia menjadi dua kategori : manusia dan demon.

Begitulah yang ia tahu selama hidupnya. Lindungi manusia, basmi demon.

Dia tidak melakukannya karena rasa suka atau benci. Dia melakukannya karena itulah perannya. Menerima semuanya seperti itu terasa lebih sederhana baginya.

Baikai menarik pedangnya.

Deismo sang lawan tidak bergerak di tempat, hanya mengangkat salah satu tangannya ke arah Baikai. Baikai tidak tahu kalau yang Deismo lakukan saat ini adalah penarikan energi, yang mengubah jalur energi yang melaluinya menjadi panas atau dingin sesuka hati.

Lidah api menjalar lurus, menyerempet jas Baikai yang segera berguling ke samping menghindari kobaran api tersebut.

“Yamata no Orochi!”

Baikai memanggil salah satu demon-nya – Yamata no Orochi, sosok ular raksasa dengan delapan kepala. Dengan perintahnya, sang ular raksasa menyerukan sebuah sihir elemen es, membekukan raksasa hitam berjubah putih yang tidak bergerak dari tempatnya.

Tubuh besar Deismo pun kini terkurung dalam bongkah es.

Semua selesai. Secepat inikah?

Tidak.

Bongkahan es yang memenjara Deismo pecah seketika, bahkan pecahan-pecahan tersebut terlihat seperti dikendalikan oleh Deismo. Ia lemparkan kembali peluru-peluru es tersebut, yang ditahan oleh dinding es ciptaan Yamata no Orochi. Kini pertarungan berubah menjadi antar elemental es.

Sementara itu, Baikai menyerbu maju ke arah Deismo dengan pedang tergenggam erat di tangan.

Namun Deismo telah menyadari hal itu. Saat Baikai mengayunkan pedangnya, kuku tajam Deismo dengan mudah menangkis, bahkan kemudian menangkap pedang Baikai. Sang pemanggil demon kalah tenaga, dan dengan segenap kemampuan ia berusaha menarik kembali pedangnya, mengambil langkah mundur menjauhi raksasa hitam.

Ketika serangan Yamata no Orochi tampak terhenti sesaat, Deismo segera merobek beberapa bagian dari jubahnya.

Teknik kloning. Bagian jubah yang ia robek berubah menjadi sejumlah Deismo-Deismo kecil.

Masih tidak bergerak barang sedikit pun dari posisi semula, Deismo pun menggerakkan klonnya. Beberapa klon menetap bersama Deismo, beberapa yang lainnya berhamburan dengan agresif menyerang ke arah Baikai dan Yamata no Orochi.

Melihat Yamata no Orochi menerima cukup banyak serangan, Baikai yang tengah berlari menghindar segera menariknya kembali dari medan pertempuran.

“Belial!”

Ia memanggil demon lain. Kali ini sesosok malaikat dengan tubuh seperti kadal yang berwarna cerah, memegangi sebuah trisula hitam.

Baikai memanfaatkan elemen api Belial untuk ia tambahkan pada pelurunya.  Ia menarik revolver, dan menembak setiap klon Deismo yang menerjang ke arahnya.

Dengan elemen api, kerusakan yang ditimbulkan lebih besar, bahkan menghasilkan efek ledakan ketika menghancurkan klon Deismo satu persatu.

Namun itu baru klon yang menyerang secara fisik. Deismo sendiri, beserta klon-klon yang mengiringinya, masih tetap melancarkan serangan gabungan elemental es dan api dari jarak yang tidak bisa didekati oleh Baikai. Sejak tadi yang bisa ia lakukan hanya terus berlari sambil mempertahankan diri, bahkan setelah Belial dipanggil pun sulit mencari celah untuk melakukan serangan balasan.

Baikai berpikir untuk memanggil demon lagi, tapi ia tidak boleh boros energi. Ada baiknya ia memikirkan dahulu pola yang ia tangkap dari teknik bertarung Deismo saat ini.

Sungguh pertarungan yang sengit.



Ya, pertarungan yang seru, menarik untuk ditonton.

Begitulah pikir Claude dari kejauhan.

Berdasarkan pengamatannya, kedua lawan yang sedang saling bertarung ini punya ciri yang mudah untuk diamati.

Si raksasa hitam cenderung diam di tempat sepanjang pertarungan, mengandalkan serangan elemental panas atau dingin dan anak buah kecilnya. Sementara si pria bunga punya katana dan revolver, tapi lebih bergantung pada pemanggilan monster untuk membantu pertarungannya.

Seandainya Claudia ada di sini, mereka pasti sudah memasang taruhan tentang siapa yang bakal menang.

Ah. Memikirkan Claudia membuatnya cemas.

Claude merasa sudah cukup tahu apa yang akan ia lakukan untuk menghadapi siapapun yang tersisa dari dua orang itu nanti.

Meninggalkan lokasi pertarungan tersebut, kepala tanpa badannya melayang lebih rendah menyusuri hutan di sisi jalan, hingga akhirnya sampai di persimpangan di mana mereka menaruh badan.

Tak disangka-sangka, di sana Claudia telah kembali dan menggunakan tubuh mereka.

“Ah, Claude!” serunya setengah berteriak. “Cepat masuk ke dalam tas! Kita harus bersembunyi!”

Melihat gelagat Claudia yang panik, Claude segera menempatkan diri di dalam tas punggung.

“Claudia, kau sudah menemukan lawan terakhir kita?”

“Ya, “ jawabnya dengan nada bergetar. “Dan dia sekarang pasti menuju ke sini.”

*****

-5-

“Di dalam benteng itu… bagaimana mengatakannya ya, pokoknya hancur seperti diobrak-abrik seseorang,” Claudia mulai bertutur dalam perjalanan mereka. “Lalu ada satu bagian dinding benteng yang berlubang – nyaris aku mengiranya sebuah balkon, tapi sebenarnya hanya ruangan dengan dinding rusak – di mana aku menemukan lawan terakhir kita.”

“Siapa dia?” tanya Claude penasaran.

“Seorang raja, kurasa.”

“Raja?”

“Ya, raja. Dia punya aura orang besar… pokoknya sekali melihatnya kau pasti tahu. Wajah bersih, rambut pirang. Memakai jubah merah dengan bulu putih, ia tidur sambil duduk di sebuah kursi besar, dengan bertopang dagu dan menyilangkan kaki, memeluk sebuah tongkat emas dengan batu rubi.”

“Wow. Entah mengapa aku langsung bisa membayangkan rupanya.”

“Yang mengagetkanku sebenarnya bukan soal penampilannya,” lanjut Claudia, masih sambil melewati bagian dalam hutan dengan langkah tergesa-gesa. “Tapi entah sial atau apa, ketika aku melihatnya, ia membuka mata. Lalu menguap lebar. Dan ketika mendapati kepalaku terbang di hadapannya, dia langsung tersenyum seperti orang mesum.”

“…yah, kalau ada orang yang malah tersenyum dan bukannya kaget ketika melihat kepala tanpa badan lewat, memang rasanya orang itu pasti orang aneh, sih…”

“Dengar dulu, ceritanya belum selesai. Ketika aku berpikir ‘gawat, ketahuan!’, aku langsung kabur, kan? Coba tebak dia mengejarku dengan apa?”

“Dengan apa?”

“…dengan robot seukuran sebuah rumah, entah muncul dari mana.”

“Pfffft!!”

Claude menahan tawa. Seorang raja, menaiki sebuah robot? Kalau Claude yang melihatnya langsung, pasti dia akan tertawa dulu di tempat.

“Hmph, kau bisa menganggapnya lucu, tapi pikirkan posisiku! Aku yang cuma kepala begini, tiba-tiba dikejar robot sebesar itu. Wajar dong kalau aku sempat panik.  Begitu mendapatkan badan kita, yang pertama kupikirkan adalah masuk hutan – pokoknya supaya dia tidak melihatku di tengah jalan.”

“Dan kita berhasil lari.”

“Ya, setidaknya untuk sekarang. Tadi kulihat dia mengejarku mengikuti jalan besar, jadi kalau aku sempat hilang dari pandangannya, besar kemungkinan dia bakal terus menyusuri ujung jalan itu.”

“Ujung jalan itu…berarti danau besar di sana?”

“Semoga begitu. Karena kalau benar dia menuju ke sana, itu berarti—“

“—semua peserta berkumpul di satu tempat,” ujar Claude menyimpulkan. “Bagus. Kalau berpikir praktis, ini bakal menghemat waktu. Sekarang ini kau sedang berlari memutar ke arah sana, kan?”

“Iya, tapi aku belum tahu bakal melakukan apa. Kalau mencoba berpikir sepertimu, kurasa inilah yang akan kulakukan. Benar kan?”

“Yup, kau sudah benar kok. Biarkan aku berpikir sejenak, dan akan kuberitahu apa yang sebaiknya kita lakukan setibanya di sana.”



Dugaan Claudia terbukti benar.

Ketika mereka tiba di balik hutan pinggiran danau, sudah ada tiga peserta berkumpul di satu tempat. Memegangi kepala Claude di depan dada, mereka menyaksikan apa yang akan terjadi setelah ini.

Sang raksasa hitam dengan mahluk-mahluk kecil bawahannya.

Sang pria berpedang dengan monster panggilannya.

Dan tentu saja.. sang raja dengan robotnya.

Dua orang pertama kelihatannya kaget pertarungan mereka diinterupsi oleh pihak ketiga. Tidak, bukan hanya kaget. Ada juga kesan tidak terima tergambar dari suasana yang penuh ketegangan saat ini.

Dari mana dia datang? Bagaimana ia sampai ke sini? Dan kenapa peserta yang satu ini ukurannya besar sekali? Bahkan Deismo yang memiliki badan setinggi 3 meter tak pantas disebut raksasa lagi karenanya.

Baikai Kuzunoha adalah yang pertama kali berbicara.

“Namaku Baikai Kuzunoha,” ujarnya memperkenalkan diri, sebagaimana ia selalu melakukannya – seolah-olah itulah naskah yang harus ia baca setiap bertemu dengan orang baru. Ia sarungkan kembali pedangnya, dan demon yang ia panggil pun ia tarik mundur dari tempat itu – memperlihatkan ia menunda dahulu pertarungannya. “Mengapa mengganggu kami, mahluk aneh? Apa kau demon?”

“Jaga bicaramu. Aku ini raja,” seru suara dari balik manusia besi raksasa dengan nada angkuh. “Yang kucari bukan kalian. Kalian tampaknya cuma lalat pengganggu – kenapa pula kalian ada di sini? Satu manusia biasa dan seorang monster…. Ah, monster. Jadi masih ada yang tersisa dari benteng itu, ya?”

“Sebenarnya, aku ini setengah manusia dan setengah demon,” ujar Baikai mengoreksi.

“Diam. Aku tidak peduli kau manusia biasa atau manusia jadi-jadian, keberadaan kalian tidak berarti dibandingkan keagungan diriku—”

“Tunggu,” sela Deismo memotong pembicaraan. “Kau bilang ‘sisa benteng itu’? Apakah kau yang menghancurkan benteng milik Duster?”

Tiba-tiba saja tangan manusia besi raksasa mengenggam bagian kepala Deismo dengan sangat kuat. Begitu kuat, hingga mungkin bila genggaman itu berubah menjadi cengkeraman, bagian kepala Deismo akan pecah saat itu juga.

“Siapa yang mengizinkanmu menyela kata-kataku?” suara sang raja menggema. “Monster tak tahu diri. Harusnya kau sudah kuhabisi bersama mahluk sebangsamu.”

“—kau!”

Deismo-Deismo kecil segera bergerak mengelilingi si manusia besi, namun tidak ada gunanya. Hanya dalam satu gerakan sapuan tangan, para Deismo kecil berguguran bagai nyamuk yang ditepuk.

Deismo sendiri sudah mencapai batasnya. Kalau tidak melakukan apa-apa, mungkin ia akan habis di sini!

Ia hendak kembali memasuki mode gila dan melepas jubahnya, ketika tiba-tiba kesadarannya menghilang.

Tangan keras yang menggenggam kepalanya telah meremukkan apapun yang bisa digenggam dari bagian atas tubuh Deismo.

“Dasar sampah.”

Seperti anak kecil membuang mainan yang sudah tidak ia suka, sang manusia besi raksasa melempar tubuh besar Deismo ke dalam Danau Paralel. Lubang-lubang dimensi yang besar dan banyak jumlahnya seketika itu juga meraup tubuh Deismo hingga tak bersisa lagi.

Sang hantu imitasi sudah lenyap dari dunia ini.



Di balik pepohonan, Claude dan Claudia termangu sesaat, kemudian saling bertukar pandang melihat kematian si raksasa hitam yang sebelumnya tampak begitu mengancam.

“Uh-oh. Claude, apa kau memikirkan apa yang kupikirkan?”

“Kelihatannya begitu. Kurasa kita perlu mengambil sedikit risiko untuk melawan yang satu ini.”

*****

>[Deismo] defeated

>Players left : 3 / 5

3rd Quarter
-1-
Sebagai seorang raja yang menguasai dunia dewa dan manusia, Ravelt Tardigarde sangat terganggu dengan kenyataan bahwa ada seorang dewa lain yang menyatakan diri berkuasa atas dirinya.

Seakan itu tidak cukup, dewa jelek itu juga mengatakan bahwa ia menghidupkan kembali dirinya setelah ia mati. Nyawanya adalah milik si dewa merah. Sungguh sebuah penghinaan, seorang raja harus tunduk pada aturan seseorang yang memegang kendali atas nyawanya.

Namun bukan itu puncak dari segala perasaan negatif Ravelt.

Adalah perkataan sang dewa merah bahwa ia harus bertarung melawan jiwa-jiwa lainnya dalam sebuah permainan hidup-mati yang konyol inilah, yang membuat perasaannya sangat tidak enak.

Ia tidak suka ini.

Menjadikan dirinya sebagai bahan hiburan seorang dewa antah-berantah yang merasa bosan… Ini bukan lagi di tingkat sebuah penghinaan biasa. Ini adalah perbudakan. Seorang raja sepertinya, diperbudak? Sungguh lelucon yang tidak lucu.

Ravelt sadar sepenuhnya, bahwa saat ini ia tidak memiliki kuasa apa-apa untuk melawan titah dewa merah yang menyebalkan itu.

Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah bertarung.

Tapi sungguh, memangnya siapa lawan yang sepadan dengannya?

Ia adalah entitas unggul yang telah diberkati 10 kemampuan tinggi oleh dewa di dunia tempat ia berasal. Dengan kemampuan-kemampuan seperti ini, siapa yang bisa melawannya?

[Aeonian Martial Arts] - kemampuan bela diri tangan kosong tingkat tinggi.

[All Equipable] - kemampuan memakai segala jenis senjata di dunia.

[Divine Access] - kemampuan untuk menggunakan kekuatan dewa.

[Dark Access] - kemampuan untuk menggunakan kekuatan kegelapan.

[Far Sight] - kemampuan penglihatan yang dapat melihat segala.

[King's Warehouse] - kemampuan menyimpan berbagai benda di dalam dimensi tertutup tak berbatas.

[Elemental Mastery] - kemampuan memanipulasi segala macam elemen.

[Space-Time Control] - kemampuan mengendalikan ruang dan waktu.

[Supreme Existence] - kemampuan yang membuat eksistensi diri selalu lebih tinggi daripada yang lain.

Dan yang terakhir, yang paling utama,

[Hero Essence] - kemampuan seorang tokoh utama sebuah cerita.

Lengkap sudah. Menurut pengalaman dan perkiraannya sendiri, menang melawan seorang Ravelt Tardigarde dalam sebuah pertarungan adalah mimpi di siang bolong.

Takdir akan selalu berpihak padanya, kecuali dunia sudah terbalik (yang mungkin memang sudah, karena dia kini bahkan tak bisa melawan dewa yang ingin ia tentang). Bahkan ia yakin, sekalipun ia tidur sampai pertandingan ini selesai, pasti dirinyalah yang tetap keluar sebagai pemenang di akhir.

Kebetulan Ravelt diturunkan oleh malaikat merah bersayap hitam di sebuah benteng yang cukup megah.  Semangatnya sedikit naik ketika melihat tempat besar seperti tempat ia berkuasa. Namun sungguh ia kecewa, isi dari benteng tersebut ternyata hanyalah mahluk-mahluk buruk rupa. Monster. Dan semua monster itu tidak tahu sopan santun pula. Keberadaannya yang seharusnya menebar rasa luar biasa bagi siapapun di sekitarnya sama sekali tidak berpengaruh bagi mereka.

Karenanya, dengan dalih pemanasan (yang sebenarnya dilandasi rasa sebal), Ravelt pun menghabisi seisi benteng tersebut sampai puas.

Usai meluluhlantahkan isi bangunan tersebut dan mengalahkan semua monster yang ia temui tanpa kesulitan berarti, Ravelt pun merasa cukup. Ia tidak tahu musuh yang harus ia lawan dalam permainan si dewa merah, tapi setelah semua gerak badan yang ia lakukan, rasanya ia ingin tidur siang terlebih dahulu.

Ia mencari-cari tempat yang nyaman, namun tak juga menemukannya.

“Kastil macam apa yang tidak menyediakan singgasana untuk seorang raja? Dasar orang-orang rendahan yang tidak punya selera.”

Akhirnya ia keluarkan sendiri sebuah singgasana mewah dari koleksi barang-barang di dimensi tertutupnya, lantas tidurlah ia tanpa rasa khawatir.



Ketika Ravelt terbangun, yang pertama ia lihat adalah wajah seorang wanita cantik.

Tidak bisa dikatakan secantik Alice, pujaan hatinya… Tetapi cukup menarik.

Sebuah kepala wanita cantik, hidup tanpa badan. Ingin rasanya ia memasukkannya ke dalam koleksi barang-barang anehnya.

Wanita itu tampak terkejut melihat Ravelt, dan segera kabur dengan melayang pergi.

Ravelt hendak mengejarnya, lalu berpikir – apa mungkin wanita itu salah satu lawannya? Ah, ternyata waktu untuk melawan karakter level rendah tiba juga, pikirnya. Ravelt entah kenapa menjadi malas. Apa serunya bertarung kalau sudah tahu dia yang bakal menang?

Kemudian terpikir olehnya, mungkin ia harus menurunkan sedikit levelnya sendiri.

Maka ia keluarkan salah satu benda yang bisa membatasi dirinya, namun masih cukup untuk digunakan bertarung.

“Hm. Ini bisa dipakai.”

Ya, sebuah robot seukuran sebuah rumah pasti sudah lebih dari cocok untuk merendahkan tingkatan kekuatannya menghadapi lawan-lawan yang lebih lemah!

Ravelt masih sempat melihat kalau kepala wanita yang terbang tadi menyusuri jalan sebelum menghilang di balik hutan. Ravelt belum menjelajahi dunia ini sejak tiba di benteng, dan akhirnya memutuskan untuk mengikuti saja jalan besar itu dengan mengendarai (?) robot miliknya.

Beberapa waktu kemudian, tibalah ia di Danau Paralel.

Di sana, yang menunggunya adalah sesosok monster dengan jubah putih, dan sesosok manusia yang tampak berpenampilan sok keren.

Ke mana wanita tanpa badan itu pergi?

Ketika isi pikirannya masih bertanya hal itu, kedua sosok yang belakangan baru ia ketahui sebagai lawannya malah mengalihkan perhatiannya.

Karena sebal, tanpa basa-basi ia kalahkan saja musuh yang berbentuk monster.

Ah. Ternyata sudah memakai robot untuk membatasi diri sekalipun, ia masih terlalu kuat bagi orang-orang ini. Kasihan sekali nasib mereka semua, mendapat lawan adidaya seperti dirinya.

Tapi mau bagaimana lagi?

Semuanya sudah digariskan.  Ravelt toh pasti akan menang tanpa perlu mencoba atau berusaha.

Sungguh permainan yang membosankan.

*****

-2-

Sebelum pertempuran yang tak terelakkan antara Baikai Kuzunoha dengan robot raksasa itu dimulai, Claude segera keluar dari persembunyiannya untuk menampakkan diri (dengan menggunakan tubuh utuh, tentunya).

“Hai,” sapa Claude canggung.

“Tuan… Hi, Higu.. Higurufiguru?”

“Panggil aku Claude saja,” sahut Claude seraya menghampiri Baikai. “Dengar, mungkin ini terkesan tiba-tiba dan terdengar seperti taktik pengecut, tapi maukah kau bekerjasama denganku?”

Sebelah alis Baikai terangkat pada wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi. Kenapa ini selalu terjadi ketika Claude mengajaknya bicara?

“Ke mana bunga yang kuberikan padamu?” tanya Baikai.

Bunga? Kenapa di saat seperti ini malah menanyakan soal bunga?

Claude tidak ingin memberikan impresi yang buruk di sini, dan ia harus cepat sebelum si pemilik robot memutuskan untuk menyerang mereka berdua. Pikirkan apa jawaban yang baik didengar oleh si pemberi bunga, ketika melihat bunga pemberiannya tak ada lagi di tanganmu!

“Kutaruh di antara pepohonan, karena mereka lebih indah berada di alam daripada di tanganku.”

Omong kosong. Bunga itu langsung dibuang begitu Baikai tidak terlihat lagi oleh Claude. Tapi jelas kalau menjawab seperti itu, sepertinya cuma akan menimbulkan kesan yang tidak baik.

Di sisi lain, Baikai tampak mengamati Claude sesaat, kemudian mengangguk setuju.

“Baik. Terima kasih sudah mau membantuku.”

Sekarang Claude yang menaikkan alisnya.

Begitu saja? Hanya karena ia menghargai bunga pemberiannya, orang ini mau bekerjasama sekalipun tahu semua orang di permainan ini adalah lawan?

“Ah, tidak, aku yang harus berterima kasih,” Claude berusaha merendah dan menutupi kebingungannya. Ditatapnya Baikai, kemudian sosok robot yang mengintimidasi di hadapan mereka berdua. Lalu dengan mantap, ia pun berseru, “Kalau begitu, ayo kita mulai!”



Satu lalat besar ia kalahkan, sekarang muncul lagi lalat baru.

Ravelt bertopang dagu di dalam robotnya. Mereka berdua mau bekerjasama melawannya? Ah, biarlah. Seribu orang setara semut tidak akan ada artinya menghadapi satu orang setara gajah.

Ravelt lalu menghitung. Satu, dua… Tiga ditambah monster yang baru ia bunuh, empat ditambah dirinya sendiri. Ada yang kurang. Mungkin wanita tanpa kepala yang ia lihat adalah peserta terakhir? Baguslah kalau begitu. Sebaiknya memang menyisakan yang paling menarik di akhir, toh lagipula ia memang enggan bertarung langsung dengan seorang wanita.

Sekarang, ia perlu menghabisi dulu dua orang laki-laki di hadapannya ini.



Robot raksasa itu mulai bergerak lagi.

Sebuah pukulan terayun ke bawah. Claude dan Baikai menghindar ke arah berlawanan, hingga tinju itu hanya menghantam tanah, meninggalkan sebuah bekas yang tercetak seperti lilin malam.

Untuk sesuatu yang berukuran besar, gerakannya bisa dikatakan tidak lambat. Cukup cepat, malah.

Claude berlari mengitari sang robot, sementara Baikai berdiri dengan gagah berani di depan. Tak bisa membagi dua fokus, robot itupun menyerang Baikai lebih dulu. Ia melompat mundur, namun kemudian datang pukulan kedua dari tangan yang satu lagi. Baikai tak sempat menghindar dengan sempurna, sehingga bagian lengan robot yang meninjunya menyerempet dirinya hingga ia jatuh terjerembab ke tanah.

Robot itu melangkah ke arah Baikai, mengangkat kaki tinggi-tinggi untuk menginjaknya.

Sekaranglah saatnya!

Tiba-tiba saja sang robot kehilangan keseimbangan, dan jatuh ke belakang danau.

Sukses besar. Claude tidak menyangka semua berjalan semudah ini.

Strateginya benar-benar sederhana. Dengan kemampuannya untuk menukar posisi satu objek dengan objek lain, ia menukar salah satu kaki yang dipakai robot itu untuk berdiri saat mengangkat kaki yang satu lagi dengan pohon – membuat keseimbangan robot goyah dan jatuh ke belakang. Gerakan memutar tadi juga untuk memastikan agar begitu jatuh, robot ini jatuh di Danau Paralel yang penuh dengan lubang dimensi sehingga tidak mungkin selamat.

“Hmph. Kalian kira bisa menang dengan menjatuhkanku?”

Sebelum tubuh besar sang robot menyentuh danau, tiba-tiba saja robot itu bergetar, kemudian melesat terbang ke udara!

“Geh! Robot itu bisa terbang juga?!”

Claude tidak memikirkan ini. Tapi kalau lawannya terbang, maka mungkin ia bisa melakukan hal yang serupa dengan yang Claudia lakukan pada si jubah merah-hitam di pertarungan pertama…

…pemikiran Claude terpotong saat Baikai menyergapnya ke tanah.

“—!? Apa yang kau lakukan?!”

“Tiarap,” kata Baikai tanpa menunjukkan emosi. “Serangan udara.”

Claude mendongak dan melihat robot itu tengah membuka bagian lengannya, dan memperlihatkan puluhan misil siap tembak ke arah mereka berdua.

Justru ini bukan saatnya tiarap!

Claude kembali berdiri, tidak memedulikan Baikai yang masih mencium rumput. Ia petik segenggam rumput di depan muka Baikai, kemudian bersiap menghadapi tembakan sang robot.

“Matilah kalian.”

Dua buah misil pertama diluncurkan.

Segera saja Claude membalikkan arah misil tersebut kembali ke arah sang robot. ‘Mengubah orientasi’ pada benda yang bergerak sama artinya dengan ‘mengubah trajektori’. Dari arah menjadi lintasan.Dengan kata lain, mengendalikan ke mana arah sebuah benda menuju.

“Apa?!”

Untuk pertama kalinya Ravelt merasa terkejut. Dengan kedua tangan robot menyilang menutupi daerah pilot, dua buah ledakan besar menghempasnya di udara.

“—gghh!!”

Sungguh beruntung armor robot ini super kuat, sehingga dapat menahan gaya yang ditimbulkan ledakan misil tersebut.

Merasa kelengahannya dimanfaatkan, Ravelt berniat menembakkan seluruh misilnya bertubi-tubi.

Namun entah bagaimana, sisa misil di lengan robot itu sudah kosong.

“Bagaimana bisa—“

Di bawah, Claude tersenyum penuh arti. Baru saja ia melemparkan rumput-rumput ke danau, lalu segera menukar rumput tersebut dengan misil-misil di lengan robot – sehingga kini hilanglah sudah semua misil ditelan oleh lubang dimensi entah ke mana.

Seharusnya benda yang lepas dari penglihatan Claude akan kembali ke tempat asal sebelum ditukar posisinya. Namun melihat misil itu tidak kembali, kelihatannya mereka saling bertabrakan dan meledak di dalam lubang dimensi sana.

“Sekarang! Baikai!”

Menyadari satu dari dua orang yang dilawannya tidak ada di tanah, Ravelt mengedarkan pandangan ke udara, dan menemukan sosok lawannya di atas seekor naga keemasan.

“Kohryu!”

Baikai menyeru, mengisyaratkan sebuah serangan. Sang naga emas membentuk awan kelam  yang melingkar di atas sang robot, dan turunlah sebuah petir yang menghantam seluruh robot tersebut dengan telak.

Sayang, semua itu tampaknya tidak terlalu menimbulkan kerusakan berarti di hadapan robot ini.

Satu serangan mungkin tidak cukup, maka Baikai hendak melakukannya lagi. Ia harus memastikan apakah ada kerusakan yang berhasil ia buat, sekalipun sedikit. Maka petir kedua menyambar – akan tetapi kali ini, sang robot menghindar dengan lihai begitu menangkap pola serangan sang naga yang hanya vertikal dari langit ke arah tanah.

“Kena kau.”

Robot Ravelt memutar tubuh besarnya di udara, kemudian menendang naga emas Baikai.

Tenaga dari tendangan itu begitu kuat, naga itu segera melunsur jatuh ke bawah beserta pemanggilnya.

“Baikai!”

Tepat sebelum Baikai dan naganya sampai ke tanah, Claude segera mengubah orientasi Baikai supaya pendaratannya tidak menyakitkan. Tubuh sang naga juga ikut diputar, dan hasilnya Baikai mendarat di atas tubuh Kohryu.

Syukurlah, partnernya ini tidak terluka.

Ketika Claude melihat lagi ke udara, kaki robot yang satu telah kembali ke sedia kala.

Claude menghela napas. Ia tidak pernah suka bertarung dengan lawan berukuran besar.

Sejak awal ia mengajak Baikai Kuzunoha untuk bekerja sama karena sadar dirinya punya batasan. Kalau cuma mengubah-ubah arah dan posisi, ia tidak akan pernah bisa menang dari robot ini. Claudia apalagi – bukan cuma kemampuannya sulit digunakan pada lawan yang besar, kecenderungannya untuk bertarung fisik juga akan membahayakan diri sendiri.

Claude adalah tipe yang lebih banyak berpikir, sedangkan Claudia lebih banyak bertindak.

Maka sementara Claudia bersembunyi,  Claude-lah yang tampil dalam pertarungan kali ini. Lagipula ia cukup percaya diri untuk tetap tenang dan selalu menjaga jarak aman setiap waktu.

Sekarang, bagaimana mengalahkan raja dalam zirah raksasa itu?



Baikai memperbaiki posisinya dan menarik Kohryu mundur. Kelihatannya serangan udara seperti tadi tidak begitu efektif.

“Ada ide lain, tuan Claude?” ujarnya seraya berdiri di samping sang pria berjubah hitam-putih.

“Sebenarnya ada sesuatu yang ingin kucoba, sih,” jawab Claude ragu. “Kau bisa memanggil dua monstermu itu di saat yang sama?”

“Kalau dua masih bisa,” Baikai menyanggupi. “Tapi hari ini aku sudah beberapa kali memanggil demon. Mungkin yang berikutnya tidak akan terlalu lama.”

“Kalau begitu ini adalah sebuah taruhan. Lihat, setelah aku menghabisi misilnya, kelihatannya robot itu tidak punya serangan jarak jauh lagi – dia bahkan menendang nagamu tadi. Kutebak dia bakal kembali lagi ke tanah setelah ini. Dalam aba-abaku, bisakah kau memanggil ular delapan kepala dan malaikat setengah kadal yang sebelumnya kau panggil?”

Baikai menelengkan kepala.

“Maksudmu Yamata no Orochi dan Belial?”

“Ya, ya, mereka berdua… Sial, dia benar-benar sudah mendarat lagi!”

Baikai ingin bertanya dari mana Claude tahu dua demon itu, tapi percakapan mereka terhenti ketika sang zirah besi raksasa sudah tiba kembali di tanah. Prediksi Claude ternyata benar; tangan besi yang besar itu kini lebih sering terayun untuk melakukan pukulan-pukulan penuh tenaga. Satu demi satu tinju tersebut menghantam tanah, membuat tak ada lagi pijakan di sekitar yang rata.

Claude dan Baikai masih terus menghindar, hingga akhirnya Claude menemukan kesempatan untuk kembali memisahkan diri dan mengitari lawan mereka.

Setelah berdiri di dekat daerah dengan banyak pepohonan, Claude segera menyeru,

“Baikai, bekukan kakinya!”

“Yamata no Orochi!”

Ular berkepala delapan kembali dimunculkan, dan dengan cepat sebuah sihir es menjalar dari tanah, membekukan kaki robot raksasa hingga ke persendiannya. Khawatir robot ini punya tenaga untuk melepaskan diri secara paksa dari kurungan es, Baikai terus memerintahkan Yamata no Orochi untuk tidak menghentikan sihir esnya.

Robot itu tampak seperti meronta, namun ternyata tidak mampu melepaskan diri dari es tersebut.

Di belakang sana, Claude menukar kedua kaki robot dengan pohon, membuat robot itu lagi-lagi kehilangan keseimbangan dan menahan diri dengan kedua tangannya.

“Sekarang tangan!”

Kembali Yamata no Orochi membekukan anggota gerak sang robot, dan kembali Claude menukarnya, hingga kini robot itu ibarat manusia buntung. Sebelum robot itu sempat melarikan diri ke udara – bahkan tanpa aba-aba dari Claude, Baikai sudah membuat badan robot tersebut menempel di tanah dengan es yang mengikatnya.

Dan seolah sudah menangkap maksud Claude, Baikai pun memanggil demon-nya yang kedua.

“Belial!”

Dalam keadaan tak bisa bergerak dan tak punya kuasa untuk berbalik melawan, robot raksasa itu kini benar-benar tanpa pertahanan. Belial pun menciptakan kobaran api besar di seluruh tubuh robot itu dari atas.

Overheat. Inilah yang diincar Claude.

Bila memang raksasa itu masih sebuah mesin, dalam keadaan tidak bisa lari dan jarak sedekat ini, mesin itu akan rusak bila diberi suhu yang terlalu tinggi – setidaknya secara sederhana begitulah idenya. Dan lagi, siapapun yang berada di dalamnya pasti juga tersiksa dalam keadaan seperti ini. Mau tak mau ia harus keluar atau ikut terpanggang di dalam.

Benar saja. Tak lama waktu berselang, bagian kokpit robot itu memisahkan diri keluar, meninggalkan robot yang memunculkan percikan-percikan kecil, kemudian meledak di sana-sini dan kini terbungkus asap hitam.

Robot itu berhasil mereka rusak!

Akhirnya Claude bisa bernapas lega. Ia segera mengalihkan pandangannya untuk melihat bagaimana laki-laki yang mengaku raja itu berekasi atas kemenangan mereka.

Bagian kokpit yang terpisah itu meluncur ke udara untuk beberapa detik, kemudian kembali mendarat ke tanah. Bagai sebuah kursi putar, ia yang duduk di sana membalikkan badannya dengan enggan menghadap Claude dan Baikai.

Ravelt Tardigarde duduk bersilang kaki dan menyilangkan tangannya di dada. Raut wajahnya adalah campuran ketidakpuasan, kekaguman, dan juga kebosanan.

Aneh memang, tapi begitulah yang bisa ditangkap ketika melihat wajahnya – berbagai ekspresi bercampur menjadi satu, menimbulkan impresi yang tak menentu.

Ia memandang Claude dan Baikai dengan tatapan merendahkan, sekalipun robot raksasanya baru saja dihancurkan.

“Kami sudah menghancurkan robotmu. Sekarang, menyerahlah!”

Ravelt bergidik. Ia bangkit meninggalkan tempat duduknya dengan jubah merah berkibar, kemudian berjalan sambil mengetukkan tongkat batu rubinya ke tanah dengan angkuh.

“Dasar manusia jelata. Kalian kira aku semenyedihkan itu hingga harus bergantung pada besi tua rongsokan untuk menghadapi kalian?” ujarnya menggeram. “Kalian salah. Salah besar. Kelihatannya kalian benar-benar harus mencicipi kekuatanku yang sebenarnya.”

*****

-3-

Begitu pria berambut pirang keluar dari zirah raksasanya, yang dilihat oleh seorang Baikai Kuzunoha  bisa diumpamakan seperti melihat ulat yang berubah menjadi kupu-kupu.

Ulat adalah mahluk yang merepotkan. Menggeliat-geliat menjijikkan, memakan daun seenaknya sehingga tanaman tak rapi, pokoknya sesuatu yang bisa dikategorikan hama. Bahkan seekor cacing masih lebih baik posisinya daripada seekor ulat.

Akan tetapi, begitu sang ulat berubah menjadi seekor kupu-kupu, segala keburukannya seketika berubah menjadi keindahan.

Entahlah, sosok di hadapan Baikai tampak begitu mempesona baginya. Sayang sekali kalau harus melawan sesama manusia, apalagi seseorang yang penuh dengan keagungan seperti ini.

Tubuh si pria pirang berpendar keemasan.

Betapa indahnya.

Namun semua kekaguman itu sirna ketika Baikai tersadar dari lamunannya.

Dengan kecepatan yang tak sempat ditangkap mata, si lelaki pirang telah berpindah ke depan dirinya dan Claude.

Satu tangannya mengepal, lalu ia lepaskan bagai peluru yang ditembakkan dari mulut pelontar api.

Pukulan itu masuk dengan telak, melesak di perut Claude yang luar biasa terkejut.

Tapi semua tidak berhenti di sini.

Pukulan kedua diluncurkan, mendarat di bagian dada. Terdengar sebuah suara patah.

Pasti tulang rusuk Claude rusak karenanya.

Lalu datanglah pukulan ketiga, keempat, dan kelima.

Pria berambut putih yang menerima semua serangan itu bahkan tidak bisa bereaksi apapun selain terkejut. Mungkin karena cepatnya seluruh serangan tersebut terjadi dalam waktu singkat, rasa sakit belum sempat sampai ke otak si penerima serangan.

Kombinasi pukulan yang merusak tubuh bagai merusak mainan itu ditutup dengan sebuah tendangan belakang.

Tendangan yang begitu keras, hingga tubuh Claude terhempas jauh di udara dan menabrak beberapa pohon di dalam hutan sebelum akhirnya berhenti dan jatuh tersungkur di tanah.

Semua itu terjadi hanya dalam hitungan detik.

Sadarlah Baikai kalau situasi ini begitu berbahaya.

Yamata no Orochi dan Belial masih di sini. Ia segera memerintahkan keduanya mendekat untuk melindunginya – tidak tahu bahwa di hadapan sang raja, pertahanan yang ia buat sia-sia belaka.

“Bermain dengan api dan es, kau kira cuma kau yang bisa?”

Sebuah pedang raksasa kemerahan dan tombak panjang berwarna biru muncul di kedua tangan si pirang. Dengan satu lompatan tinggi, sebuah ayunan pedang berhasil menebas kedelapan kepala Yamata no Orochi bagai memotong mentega, dan tanpa jeda ia lemparkan tombak di tangan yang satunya, menembus tubuh Belial hingga meninggalkan lubang sebesar kepala si demon merah.

Begitu saja, Yamata no Orochi dan Belial milik Baikai Kuzunoha sudah tidak berarti lagi.

“Lemah. Lemah kalian semua.”

Kini tinggal Baikai sendiri. Ia segera menarik katana dari pinggangnya dan memasang kuda-kuda.

“Baru sekarang kau mengeluarkan senjata? Terlambat sekali. Memangnya kau pikir sejak kapan pertarungan sudah dimulai?”

Baikai paham kalau dirinya telat bertindak. Kini dia sudah tak bisa memanggil demon, dan apa yang bisa ia lakukan untuk melawan orang berbahaya ini hanya tinggal tersisa satu cara.

Melepaskan kekuatan demon dalam dirinya sendiri.

“Uwooooooooohhh!!!”

Baikai Kuzunoha tak lagi berpikir.

Dengan membayar sebuah harga taruhan berupa kehilangan kendali atas dirinya sendiri, ia akan mengalahkan orang ini atau gagal melindungi diri!



Mengandalkan naluri demon yang bangkit dalam dirinya. Baikai bergerak cepat seperti orang kesetanan dengan mengayunkan pedangnya secara buas.

Ravelt tersentak sesaat, ketika mendapati pedang merahnya terlepas dari tangan karena serangan cepat Baikai. Pria dengan jas kulit itu benar-benar berubah menjadi sosok yang hanya mengandalkan naluri bertarung.

“Heh. Serangan putus asa. Kau benar-benar sudah tidak punya apa-apa, ya?”

“Ooooooo!!!!”

Baikai hanya menjawab dengan raungan. Pedangnya tak pernah berhenti menebas, kakinya tak pernah berhenti melangkah. Ia terus maju dan menyerang, bagai tak lagi mengenal kata berhenti ataupun mundur.

Siapapun bisa melihat kalau serangan serampangan ini sama sekali tidak bisa dikatakan punya keseimbangan yang baik. Baikai tak ubahnya seorang monster buta sekarang.

Melihat lawannya seperti itu, Ravelt merasa tidak perlu meladeninya dengan sekuat tenaga.

Teknik bela diri Aeonian yang dikuasai oleh Ravelt telah membuatnya mampu melihat serangan lawan dan melancarkan serangan balasan dengan mudah. Menghindari salah satu ayunan pedang Baikai, Ravelt pun menghujamkan sebuah tinju ke wajah pria dengan ikat kepala tersebut.

Baikai terpental ke belakang, namun segera menendang tanah dan melesat kembali ke arah Ravelt.

“Oooooooh!!”

“—!?”

Sabetan pedang Baikai menebas Ravelt, membuat kemejanya terkoyak.

Beruntung Ravelt sedang menggunakan [Divine Access] – aura dewa yang membuat kemampuan fisik serta ketahanannya terhadap berbagai macam serangan meningkat. Serangan Baikai tidak menimbulkan luka berarti selain sebuah robekan di kemeja dan terputusnya tali yang menyangga jubah merah kebesarannya.

Ravelt mengambil langkah mundur, lalu melepas jubah merahnya dan menggeretakkan jari-jemarinya.

“Sialan kau…,” ujarnya bersiap menyambut serangan Baikai Sambil menyingsingkan lengan kemeja. “Jubah dan kemeja ini barang super mahal, tahu!”



Duel fisik di antara kedua petarung berlanjut.

Pedang dan tinju saling beradu dengan kecepatan tinggi.

Pedang menebas, tinju melayang.

Satu menghindar, satu menerima. Satu menyerang, satu bertahan.

Menghantam pepohonan. Merusak bebatuan.

Lagi, lagi, lagi.

Semua gerakan saling dipertukarkan bagai lagu yang mengalun tanpa henti.

Pertarungan jarak dekat terus berlangsung tanpa ada pihak yang mau mengalah.

Pada akhirnya, semua ini berubah menjadi murni sebuah kontes ketahanan. Dan sang waktulah yang menentukan segalanya.

Pada satu titik, kelelahan mulai tampak pada wajah salah satu petarung.

“—ugh?!”

Baikai Kuzunoha mulai kehilangan momentum.

Ia telah menguras tenaganya sendiri lebih cepat dari yang ia perkirakan. Memaksakan menggunakan kekuatan demon ternyata menjadi senjata makan tuan yang menyerang dirinya sendiri lebih cepat daripada lawannya melukainya.

Baikai pun kelimpungan ketika kesadarannya mendadak kembali, dan kelelahan yang mulai menggerogoti tubuhnya segera membuatnya terjatuh ke tanah.

Dengan susah payah ia mengeluarkan revolver – sedikit berharap bisa melakukan sesuatu sebelum seluruh tenaganya benar-benar hilang.

Malang baginya, tangannya bahkan belum sempat terangkat untuk mengarahkan pistol tersebut ketika kaki sang raja pirang menginjaknya sambil tersenyum mengejek.

“Hoo, lihat di sini. Kau punya pedang dan pistol yang bagus,” ujarnya seraya mengambil paksa kedua benda itu dari tangan Baikai. “Baiklah, kau pilih dibunuh dengan senjatamu yang mana?”

Ravelt mengarahkan revolver ke arah Baikai. Ironis. Ini benar-benar sebuah ungkapan sesungguhnya dari ‘senjata makan tuan’.

Baikai menutup mata, menyerah pada nasib.

Terdengar bunyi klik, namun tak ada tembakan.

“…?”

Baikai membuka sebelah mata, melihat senyum mengejek Ravelt semakin menjadi-jadi.

“Fuh. Fuhahahahaha! Kau mengeluarkan pistol tanpa peluru? Bodoh sekali kau ini!”

Ravelt membuang revolver Baikai, dan kini mengangkat katananya tinggi-tinggi.

“Yah, dengan cara apapun tak masalah. Toh kau bakal mati juga.” Katana di tangan Ravelt siap menghunus ke arah jantung Baikai. “Selamat tinggal.”



Bunyi daging terkoyak.

Pedang tajam yang dihujamkan oleh sang raja menembus tubuh yang mengucurkan darah dengan derasnya.

Wajah Baikai Kuzunoha yang selama ini tidak menunjukkan banyak ekspresi, kini berubah menjadi keterkejutan yang nyata.

Tak hanya Baikai yang terkejut. Ravelt Tardigarde pun tak bisa menyembunyikan keheranan luar biasa yang tergambar di raut mukanya, ketika melihat apa yang terjadi di sini.

Pedang di tangan Ravelt menembus tubuh seseorang. Namun bukan tubuh Baikai si pemilik katana.

Melainkan tubuh seorang wanita dengan rambut putih.

Baikai tak bisa mencerna apa yang terjadi.

Siapa wanita yang melindunginya ini? Sekilas melihat, pakaian yang dikenakannya persis seperti yang dikenakan oleh Claude Higglfiggr... Rambutnya pun sama-sama putih pendek. Namun Claude jelas seorang pria. Jadi siapa orang ini?

Di balik tubuh sang wanita, Ravelt menarik pedangnya. Kelihatannya ia sendiri tak percaya telah menusuk orang yang salah, apalagi orang ini ternyata wanita yang ia cari.

“”Siapa kau?””

Kalimat itu keluar nyaris bersamaan dari mulut Baikai dan Ravelt.

Sang wanita berjubah hitam-putih berbalik, kemudian sambil memegangi dada menahan rasa sakit yang luar biasa, ia berkata,

“Aku Claude...,” ujarnya dengan nada bergetar. “Identitasku yang sebenarnya… adalah dullahan yang mampu berganti jenis kelamin saat aku menginginkannya…”

Wanita itu akhirnya berhasil berdiri dengan sempurna, meski kemungkinan masih menahan nyeri.

“Hei, kau. Raja yang mengejarku sejak bangun. Ketahuilah, bahwa aku adalah orang yang sama dengan yang membantu pria ini melawan robotmu sebelumnya…”

Wanita itu menatap mata Ravelt dengan penuh kesungguhan, seolah mata birunya yang bening hendak mengungkapkan lebih banyak kalimat tak terucap daripada apa yang keluar dari mulutnya.

Lalu tiba-tiba saja, ia bersujud di depan kaki Ravelt.

“30 menit! Beri kami waktu 30 menit, dan aku bersumpah dengan nyawaku kalau kami akan datang untuk melawanmu sekali lagi!”

Semua yang ada di tempat itu kehilangan kata-kata.

Terutama Ravelt, karena kalimat itu ditujukan kepadanya. Ketika mendapati situasi seperti ini, mendadak ia tak bisa menahan keinginannya untuk tertawa.

“Fuh. Fufufu. Fuhahahaha! Mengemis untuk keselamatan nyawamu, padahal kalian melawanku dua lawan satu? Menggelikan sekali. Apa yang akan kau lakukan seandainya aku berkata tidak?”

Wanita itu mengangkat kepalanya sedikit, sehingga matanya kembali bertemu dengan mata Ravelt.

Kali ini, sorot mata yang Ravelt temui adalah pandangan tajam yang begitu dingin dan menusuk.

Dengan nada yang menyiratkan kesungguhan, sang wanita berkata,

“Maka aku akan berusaha dengan segenap kemampuanku untuk lari dari tempat ini.”

Kembali semua tak mampu berbicara untuk beberapa saat.

Kalimat itu mungkin terdengar seperti ucapan pengecut yang rendah. Namun suara yang keluar saat wanita itu mengatakannya justru menyimpan kekuatan yang tak tergambarkan, alih-alih berkesan seperti kalimat merendahkan.

Adalah Ravelt, yang semula ingin tertawa lagi, namun kini merasa mengerti dengan perkataan sang wanita. Bagaimanapun juga, wanita ini telah menunjukkan keberanian luar biasa. Tak hanya ia mampu mengorbankan diri melindungi rekan yang sebenarnya merupakan lawannya juga, ia bahkan tak segan membuang harga diri untuk memohon sesuatu pada siapa yang tengah memegang kendali.

Orang ini tahu diri dan sadar akan posisinya.

Terlebih lagi, lawannya ini ternyata seorang wanita.

Kalau Ravelt sampai menolak permohonan wanita ini, rasanya tak layak ia menyebut dirinya sendiri raja dengan kelapangan hati yang patut dibanggakan, meski ia menguasai dunia dewa dan manusia sekalipun.

Karena itulah, hati Ravelt sedikit melunak.

“Hmph. Baiklah. Toh tidak seru juga bertarung dengan lawan yang tidak berada dalam kondisi prima. Lagipula kurasa tidak ada batas waktu untuk menyelesaikan permainan konyol ini.”

Ravelt menurunkan pedangnya sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Mendengar jawaban dari sang raja, wanita itu menaikkan kepalanya dengan ekspresi yang menunjukkan terimakasih tanpa ia perlu berkata-kata, membuat Ravelt tak bisa tak tersenyum untuk membalasnya.

“Kuberi kalian waktu sampai matahari dunia ini terbenam. Kalau mengikuti jalan besar ini, kalian akan menemukan sebuah benteng besar yang sudah cukup rusak. Tempat yang cocok untuk setting sebuah pertarungan terakhir. Aku akan menunggu kalian di sana.”

Ravelt mengambil kemeja merah dengan bulu putihnya di tanah dan menyandangkannya di pundak, kemudian membuang katana yang ia pegang dan mengambil kembali tongkat keemasan dengan batu rubi.

Kini, ia kembali ke sosoknya yang tampak seperti seorang raja yang tampil sempurna.

Sebelum Ravelt berbalik untuk meninggalkan dua orang lawannya, ia berpesan singkat,

“Bersyukurlah atas kemurahan hatiku. Kalau sampai kalian berani mengkhianati kesempatan ini dengan tidak menampakkan diri... Akan kutebang semua pohon dan kuledakkan semua lubang di dunia ini, bila itu yang diperlukan untuk menemukan kalian berdua!”

Lalu begitu saja, ia pergi dan menghilang dari pandangan mereka yang tertinggal di pinggir Danau Paralel saat ini.



Baikai Kuzunoha menyeret badannya, berusaha untuk mengambil posisi duduk di samping Claude yang kini berwujud seorang wanita.

“Aku berhutang nyawa padamu,” ucap Baikai tulus. “Budi baik ini pasti akan kubayar.”

“Terima kasih,” ujar sang wanita sambil tersenyum kecil. “Bagaimana kalau membayar hutang budi itu sekarang juga?”

“Huh? Apa maksud—“

Mendadak Baikai tak bisa mendengar suaranya sendiri.

Ia mencoba bergerak, tetapi sesuatu mengunci pergerakannya. Ia melihat ke arah sang wanita, berusaha mencari tahu mengapa semuanya terjadi tanpa bisa ia pahami.

Hanya satu hal yang jelas tergambar dan ia mengerti tanpa perlu adanya penjelasan.

Yaitu ketika ia merasakan kepalanya telah terpisah dengan badan.

Setelah itu, semua rasa di dunia tak lagi nyata baginya.



“Kerja bagus, Claudia.”

“Sama-sama, Claude.”

“Keputusan untuk tidak mengeluarkan kepala lain sepanjang tadi itu ternyata berguna sekali, ya.”

“Kalau dalam pertarungan seperti tadi, dua kepala begitu malah membahayakan kita sendiri, sih.”

“Ngomong-ngomong, aku tak menyangka aktingmu bisa meyakinkan sekali. Tapi yang lebih tak kusangka lagi adalah si raja itu bisa setuju begitu mudahnya.”

“Hmm.. Ini intuisiku saja, tapi kelihatannya tipe orang seperti itu memang lemah terhadap wanita. Karena itulah aku mengusulkan biar aku saja yang memintanya, karena pasti impact-nya berbeda.”

“Ahahaha, yah, kau ada benarnya juga sih. Meski tubuh dullahan ini abadi, setelah menerima serangan tadi, aku juga agak malas keluar lagi untuk memohon seperti yang kau lakukan barusan.”

“Huhu, jangan lupa untuk berterima kasih padaku. Lihat, sekarang kau sudah punya tubuh untuk dipakai, kan?”

“Yup, terima kasih. Aku juga lumayan suka tubuh begini, dan dia masih punya senjata yang bisa kita pakai.”

“Jadi, apa kita sudah siap untuk melawan raja terakhir?”

“Kapanpun kau siap. Permainan ini memang sudah saatnya berakhir.”

*****

>[Baikai Kuzunoha] defeated

>Players left : 2 / 5

4th Quarter

-1-

Mereka sudah mati.

Mati, dalam arti yang sebenarnya. Kehilangan nyawa dari raga. Terputus hubungan dengan kehidupan di dunia fana.

Dahulu, dahulu sekali, ketika Claude dan Claudia hanyalah sepasang muda-mudi manusia, mereka sudah pernah menghadapi sang pencabut nyawa. Ketika diumumkan pada mereka bahwa salah satu akan meninggalkan yang lainnya, mereka tidak bisa terima. Satu kali mereka mengakali kematian, membuat kedua jiwa mereka berbagi satu nyawa.

Dan untuk kedua kalinya, mereka mati. Kali ini benar-benar mati. Terbunuh oleh mahluk yang bertujuan sama seperti mereka, mencari keabadian untuk dibagi kepada orang yang dicintai.

Sejujurnya, baik Claude maupun Claudia tidak lagi begitu takut dengan kematian setelah mereka menjadi dullahan. Dikarenakan nyawa mereka terbagi untuk bersama, mereka sudah ditakdirkan untuk mati di saat yang sama. Bila Claude mati, Claudia akan menyertai. Begitu pula sebaliknya.

Hal ini membuat keduanya merasa tenang .

Mereka akan bersama hingga akhir, dan tidak ada salah satu dari mereka yang perlu merasa ditinggalkan.

Namun kemudian mereka dihidupkan lagi setelah mati. Menjalani sebuah kisah tambahan setelah lembaran kehidupan mereka yang panjang ditutup.

Semua ini tak lebih dari sekedar bonus. Sebuah ekstra.

Kalah di permainan inipun, mereka yakin akan tetap bersatu, entah di surga atau di neraka. Buktinya mereka dibangkitkan berdua. Dewa sekalipun sudah mengakui bahwa mereka adalah jiwa yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.



Tetapi,

Meski ini adalah sebentuk keegoisan,

Namun sekali lagi, sebentar lagi saja,



Mereka ingin melewatkan waktu bersama sedikit lebih lama…



…bila memang kesempatan itu benar-benar ada.

*****

-2-

Ravelt Tardigarde terduduk di tengah aula yang penuh dengan ornamen-ornamen antik nan indah.

Dikarenakan tidak adanya tempat yang benar-benar sesuai dengan seleranya di dalam benteng, maka Ravelt pun menyulap ruangan pertama yang dilalui seseorang ketika masuk dari lorong pintu utama benteng ini menjadi sebuah aula megah, bak sebuah ruang dansa istana kerajaan bernuansa barat. Singgasananya ia taruh di tengah ruangan, sengaja untuk menimbulkan kesan bahwa dirinya memang pantas menjadi pusat perhatian.

Dengan kemampuan [King’s Warehouse] dan [Space-Time Control] miliknya, melakukan hal-hal seperti ini adalah perkara kecil.

Setelah mendekorasi ruangan sedemikian rupa, ia merasa tidak ada lagi pekerjaan yang bisa ia lakukan selain menunggu kedatangan dua sosok yang sudah berjanji akan menemuinya dalam waktu dekat.

Ravelt menguap bosan.

Seharusnya ia tidak perlu sok keren dengan mengatakan bakal menunggu sampai matahari terbenam, gerutunya pada diri sendiri. Sekarang ia bahkan tidak tahu apakah kedua lawannya akan muncul atau tidak.

Nyaris ia memutuskan untuk tidur lagi, ketika pintu raksasa di ujung aula terbuka.

Ravelt memicingkan mata, dan mendapati sosok wanita berambut putih pendek dengan mata biru indah yang sebelumnya ia temui.

Namun ia hanya datang sendiri. Ke mana si pria yang mengenakan jas kulit compang-camping itu?

Sang wanita terus berjalan ke arah singgasana Ravelt, kemudian berhenti untuk membungkukkan badan.

Sadar dirinya sedang berada di posisi seorang tuan rumah yang menjamu seorang tamu, Ravelt pun mengangkat tongkatnya sebagai tanda agar si wanita berhenti membungkuk. Sedikit banyak ia kagum dengan wanita ini, yang tidak melupakan tata krama sekalipun sejatinya posisi mereka berdua  adalah lawan yang akan bertarung satu sama lain.

“Selamat datang. Aku sudah menunggumu.”

Sebuah sambutan yang terlambat ia sampaikan, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali.

“Ke mana pria yang satu lagi?” Ravelt kemudian bertanya.

Wanita itu menunjukkan ekspresi muram, lalu bertutur dengan nada lirih,

“Dia meninggal karena kelelahan akibat pertarungan denganmu dan pertarungan yang ia jalani sebelumnya. Asal kau tahu, kemampuannya adalah memanggil iblis dari dimensi lain, dan iblis-iblis itu menyedot energi darinya. Kelihatannya ia begitu memaksakan diri, tak sadar tubuhnya sudah menjerit di ambang batas kemampuan. Sayang sekali, usahaku menolongnya tadi seakan sama sekali tidak berarti.”

Wanita itu tidak membuang muka. Selama berbicara, ia terus memandangi Ravelt, seperti sebuah sikap untuk menghargai dan memerhatikan dengan seksama lawan bicara.

“Aku turut menyesal mendengarnya, “ ujar Ravelt menanggapi. Kemudian sesuatu terlintas di pikirannya, yang membuatnya langsung bertanya, “Ngomong-ngomong, kalau boleh aku tahu, kenapa kau hadir di depanku dengan penampilan seorang wanita?”

“Aku dalam sosok inilah yang pertama kau temui. Karena itu, aku akan menghadapimu dalam sosok ini pula untuk menghargai kesempatan yang sudah kau berikan padaku.”

Sebuah jawaban yang bagus. Menyiratkan bahwa wanita ini menjunjung tinggi sekali nilai-nilai kehormatan. Rasanya sayang kalau Ravelt harus sampai bertarung dengannya.

“Sebenarnya aku enggan melawan wanita. Bisakah kau menyerah saja, nona?” tawar Ravelt.

“Maaf. Aku datang dan berjanji untuk melawanmu. Bukan berjanji untuk menyerah kepadamu.”

“Atau gantilah kelaminmu menjadi laki-laki, sehingga kita bisa berduel layaknya pria terhormat.”

“Tidak, terima kasih. Sejujurnya aku lebih senang menjadi perempuan, dan pada dasarnya aku memang perempuan. Sungguh.”

Wanita itu terdengar tak mau didebat lagi perihal jenis kelaminnya, maka Ravelt pun mengangkat bahu. Yah, tidak masalah. Kalau toh pada akhirnya harus bertarung, ia bisa memikirkan cara supaya bisa menang tanpa perlu saling bunuh. Pasti mudah.

“Kalau begitu, apa kita mulai saja?”

Ravelt hendak berdiri dari singgasananya, ketika wanita itu mengarahkan tangan dengan telapak terbuka – mengisyaratkan Ravelt untuk tetap duduk.

“Maaf, mungkin ini terdengar lancang karena datang dariku yang hanya seorang tamu. Tapi karena kau sudah mengundangku ke sini… Sebelum kita bertarung, bolehkan kita mengobrol sebentar? Aku juga ingin melihat keindahan aula ini sebelum mati di tanganmu. Apakah semua ini kau yang membuatnya?”

Ravelt sungguh tak habis pikir. Baru saja wanita ini mengatakan ‘sebelum ia mati di tangannya’? Baru kali ini Ravelt bertemu lawan yang sudah menerima takdir mereka sejak awal berhadapan dengan dirinya.

Ia ingin mengatakan bahwa ia tidak akan berani melukai wanita, namun mungkin mengatakan hal itu hanya akan menyakiti perasaan si wanita, yang sudah begitu berani datang ke sini dengan penuh harga diri. Bahkan sekalipun ia mengaku bisa berganti jenis kelamin menjadi laki-laki, bagi Ravelt kini sosok di depannya itu sudah ia labeli sebagai seorang wanita sejati.

Ia mengurungkan niatnya berkomentar soal hal-hal yang tidak perlu, dan menjawab pertanyaan si wanita mengenai ruangan ini.

Ravelt menjelaskan bahwa salah satu kemampuannya adalah menyimpan berbagai benda di dalam sebuah dimensi tertutup, dan dia juga memiliki kemampuan lain untuk menciptakan sebuah dunia berdasarkan rekaannya sendiri dalam lingkup yang terbatas. Dengan kedua  kemampuan itulah, ia dapat menghadirkan kemewahan seperti ini.

Sambil mengitari singgasana Ravelt, wanita itu berpendapat,

“Tapi kalau dipikir lagi, rasanya sayang sekali ya menjadikan tempat sebagus ini sebagai tempat pertarungan.”

“Kau tidak perlu khawatir,” ujar Ravelt menambahkan. “Raja sepertiku dapat menggenggam benda apapun yang kuinginkan dari seluruh penjuru dunia. Kalau sekedar untuk menghidupkan suasana, memunculkan barang-barang dan tempat ini adalah murah bila dibandingkan dengan harga yang kau bayar saat kau mengorbankan dirimu.”

Wanita itu tampak tersanjung, dan melanjutkan berkeliling ruangan. Mungkin tak biasa dipuji sedemikian rupa oleh sosok rupawan nan adikuasa seperti Ravelt, yang jelas derajatnya lebih jauh darinya. Ya, pasti begitu, pikir Ravelt bangga pada dirinya sendiri.

“Oh ya, bagaimana dengan lukamu sendiri? Rasanya tidak adil juga kalau aku menghadapi wanita, terluka pula,” mendadak Ravelt teringat dengan serangan dengan pedang yang sempat menembus tubuh si wanita berambut putih.

“Kau tak perlu khawatir. Meski begini, tubuhku sebenarnya memiliki kemampuan untuk memulihkan diri – satu-dua luka saja tidak akan berpengaruh besar bagiku.”

Wanita itu berhenti berjalan, kemudian kembali menatap Ravelt.

“Kurasa sudah saatnya,” katanya tanpa berkedip. “Maaf sudah mengulur waktumu. Sebaiknya kita selesaikan ini sekarang juga.”

Kali ini Ravelt bangkit dari kursinya, kemudian berjalan dengan penuh kesiapan.

Kini di tengah ruangan, dua orang peserta terakhir dari permainan maut ini saling behadap-hadapan.

“Aku lupa kita belum mengenal nama satu sama lain,” kata Ravelt sebelum memulai. “Aku Ravelt Tardigarde, raja Akasha Eterna. Ingatlah nama ini sebagai suatu kehormatan bahwa kau pernah bertanding denganku.”

“Namaku Claudia Neuntzmann. Seorang dullahan perubah bentuk,” sang wanita menjawab seraya mengulas sebuah senyum. “Tapi kuharap kau tidak perlu mengingat ini, karena kurasa namaku tidak akan ada artinya bagimu.”



Pertarungan sudah dimulai.

Sang wanita bernama Claudia tidak mengambil kuda-kuda tertentu. Dari pengalaman Ravelt saat menghadapinya dengan robot, kemampuan perempuan ini (saat itu dalam wujud pria) sebenarnya sangat tidak jelas. Sebatas yang Ravelt tahu, kelihatannya ia bisa menukar posisi atau arah sebuah benda, tapi itupun cuma sekedar dugaan.

Ravelt berpikir bagaimana caranya mengalahkan wanita ini tanpa perlu membunuhnya.

Ah, tidak. Sebenarnya tidak membunuh itu perkara gampang.

Mungkin ia hanya perlu memukul bagian belakang leher si wanita, membuatnya tak sadarkan diri dengan satu hentakan keras menggunakan tangan. Ya, begitu saja. Kehilangan kesadaran dalam pertarungan bisa berarti kalah juga, bukan?

Sudah diputuskan.

Ravelt pun melangkahkan kaki untuk memulai serangannya.

Namun ada sesuatu yang aneh.

“—hm?”

Kedua kakinya tidak bisa digerakkan sama sekali dari tempatnya berdiri.

Ia mencoba mengangkatnya, namun sia-sia saja. Kakinya seperti dipaku ke lantai oleh sesuatu yang tak terlihat.

Mungkinkah?

“Nona Claudia, apa kau—“



Lalu sebuah bunyi letusan terdengar.

“Eh..?”

Ravelt memegangi dadanya.

Tak percaya.

Merah memenuhi tangannya.

Darah.

Dari mana?

Dadanya berlubang.

Luka apa?

Sebuah tembakan.

Tapi siapa?



Wanita di depannya masih berdiri dalam diam di tempatnya yang tidak berubah sejak awal pertarungan, dengan senyum nakal tersungging di wajah.

Kesadaran Ravelt rasanya mulai menghilang.

Begini saja?

Ia, seorang raja dengan sederet kemampuan luar biasa, mati tanpa tahu apa penyebabnya?

Ia tidak terima….

….tapi tubuhnya begitu memaksa untuk menutup kedua mata.

*****

-3-

Sepanjang kehidupan mereka menjadi dullahan, sudah tak terhitung berapa pertarungan yang telah dilalui oleh pasangan Claude dan Claudia.

Sebenarnya mereka sendiri lebih memilih untuk hidup damai. Namun bagi bangsa yang sudah sekali kembali dari alam baka dan menjadi anomali dunia, memang masalah akan selalu saja datang seperti biji besi yang ditarik oleh magnet.

Sepasukan tentara kerajaan, seorang juara gulat dunia, monster gurita raksasa, robot dengan kecerdasan manusia, hingga mahluk tidak jelas seperti vampir, zombie dan hantu… Semuanya sudah pernah dihadapi oleh mereka berdua. Kalau mereka berniat, mungkin bisa saja mereka membukukan ‘ensiklopedi 101 lawan Claude dan Claudia’ – tapi rasanya buku seperti itu hanya akan menjadi bahan referensi parodi saja.

Intinya, Claude dan Claudia sudah terbiasa dengan lawan seperti apapun.

Dalam jumlah banyak atau sedikit, ukuran besar atau kecil, kekuatan luar biasa atau biasa-biasa saja, semua bisa dilawan oleh mereka berdua.

Namun ‘bisa dilawan’ tidak selalu berarti ‘bisa dikalahkan’.

Setidaknya, setelah melihat bagaimana sang raja pirang bertarung di danau, Claude dan Claudia mendapat gambaran kalau raja ini adalah petarung angkuh dengan harga diri tinggi, yang kelihatannya memiliki banyak kemampuan namun secara peribadi lebih memilih pertarungan fisik.

Untuk lawan seperti ini, keduanya sepakat akan satu hal.

Orang ini tidak perlu dilawan secara langsung.

Maka berangkatlah Claudia untuk menemui sang raja terlebih dahulu, dengan Claude mengendap-endap mengikuti dari belakang sambil sembunyi-sembunyi.

Claudia merasa yakin ia bisa menyetir isi pembicaraan bila berbincang dengan si raja. Ia juga punya firasat raja ini punya kesan baik terhadapnya, jadi asal nada suara dan ekspresinya cocok dengan apa yang ia katakan, pasti si raja tidak terlalu mencurigai maksud terselubung dari setiap kalimatnya.

Ya, peran Claudia sebenarnya tak lebih dari sekedar pengalih perhatian.

Begitu memasuki ruangan, dalam beberapa kesempatan Claudia mengubah arah ke mana sang raja memandang dari singgasananya. Bahkan karena terlalu terfokus pada percakapannya dengan Claudia, ia sama sekali tidak menyadari bahwa sudah ada sosok lain yang berdiri di belakangnya.

Sosok yang tak lain dan tak bukan adalah Claude, dalam balutan tubuh milik Baikai Kuzunoha.

Alhasil, taktik ‘menyelinap dan tikam lawan dari belakang’ mereka sukses besar.

Kini, di depan mayat sang raja yang bersimbah darah, Claude dan Claudia berdiri menikmati kemenangan mereka.

“Tidak kusangka semua berakhir semudah ini,” kata Claude sambil memainkan revolver di tangannya. “Orang sombong begini memang pantas kalau umurnya pendek, ya.”

“Hahaha, benar, benar,” sahut Claudia menimpali. Kemudian ia berbicara dengan nada bangga. “Ternyata aku memang hebat ya, sampai raja seperti inipun tidak ada apa-apanya saat berhadapan denganku.”

“Tidak tidak, ini semua karena rencanaku yang benar-benar brilian.”

“Tidak tidak, ini karena kemampuan aktingku yang benar-benar sempurna.”

Claude dan Claudia saling bertukar pandang dan memicingkan mata masing-masing.

“Kenapa terkadang kau ini keras kepala sekali sih, susah ya mengakui fakta yang ada?”

“Kau sendiri, kenapa mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya sepele seperti ini?”

Ketika keduanya tengah berdebat, mendadak sebuah gerakan kecil tercipta.

Claude dan Claudia melirik ke arah mayat sang raja dengan tatapan tak percaya.

Jari-jari sang raja tampak bergerak-gerak, berusaha menggapai sesuatu.

Ia akhirnya memegang erat tongkat keemasannya. Meski dengan tenaga yang lemah, namun perlahan tapi pasti ia bangkit, berdiri kembali menghadap Claude dan Claudia.

“Kalian… Kalian menipuku…”

Kedua kekasih berambut putih itu membelalakkan mata, antara heran dan tak percaya. Sang raja ternyata selamat? Bagaimana mungkin dia belum mati?

Sontak sebuah aura kegelapan menyelimuti tubuh sang raja, dan dengan satu hentakan tongkat, aura itu meledak hingga menghempaskan tubuh Claude dan Claudia hingga mundur beberapa meter dari tempat mereka berdiri semula.

Claudia segera menatap Claude dengan tatapan menyalahkan.

“Kenapa dia masih hidup?”

“Jangan tanya aku. Mungkin lukanya tidak terlalu dalam, atau aku tidak mengenai bagian vital?”

“Kenapa tidak menembak bagian vital?”

“Aku pasti cuma meleset. Bagian vital ada di mana, kalau dilihat dari belakang kan rancu.”

“Kenapa tidak menembak kepalanya?”

“Sudah refleks. Karena terbiasa melindungi kepalamu dan kepalaku sendiri, aku malah jadi tidak berpikiran mengincar kepala orang lain juga.”

“Uuuh, dasar Claude tidak berguna!”

“Lho, kok jadi salahku? Mana kutahu dia punya kemampuan untuk bangkit seperti zombie begini?”

“Tapi semua bakal selesai kalau kau berhasil membunuhnya tadi!”

“Terus kau mau apa sekarang? Kita bertengkar seperti ini juga dia sudah terlanjur kembali!”

“Mau sampai kapan kalian berani mengabaikan keberadaanku!?”

Lolongan sang raja terdengar bagai binatang buas, menggema di dalam seisi aula hingga langit-langit seperti bergetar hanya karena suaranya.

Raja yang bangkit dari kematian ini tampak begitu menyeramkan, bagai roh penuh dendam yang siap menyeret siapapun yang melihatnya menuju kematian.

Namun menghadapi sosok seperti ini, Claude dan Claudia justru melakukan hal yang paling tak terduga.



“”Ahahahahahahahaha!!””



Mereka tertawa.

Tertawa begitu lepas, sambil menunjuk ke arah satu sama lain.

Sungguh sang raja (kini mungkin lebih tepat diberi sebutan raja kegelapan karena auranya) tak mengerti, mengapa kedua mahluk kurang ajar ini berani sekali tertawa setelah melukainya?

“Kapan kita terakhir bertengkar begini?”

“Entahlah, tapi rasanya menyenangkan. Kita seharusnya lebih sering bertengkar seperti tadi.”

“Sudah kubilang, berhenti bicara seperti orang tolol!”

Emosi sang raja memuncak, iapun meluncur seperti seekor banteng menyeruduk lurus, hingga menabrak satu dinding dan menimbulkan retakan besar.

Sementara itu, Claude dan Claudia – yang dengan mudahnya menghindari serangan tersebut – kini telah berhenti tertawa, dan siap untuk menghadapi pertarungan kedua.

“Kalau yang tadi final boss, berarti yang sekarang bisa dibilang true last boss, ya,” kata Claudia memberi perumpamaan.

“Kenapa pikiranmu sama denganku? Pertarungan dalam kastil, lawan terakhir kita raja kegelapan pula. Cocok sekali dengan setting sebuah RPG fantasi,” balas Claude.

Dan kini, tanpa sedikitpun ketakutan atau keraguan, berdua mereka siap menghadapi amukan sang raja kegelapan – satu pertarungan terakhir untuk mengakhiri segalanya!

*****

-4-

[Hero Essence].

Secara sederhana, kemampuan ini adalah kemampuan Ravelt Tardigarde untuk memposisikan dirinya sendiri sebagai seorang tokoh utama cerita. Seorang figur pahlawan. Dalam setiap cerita, pahlawan selalu dikaitkan dengan kekuatan besar, dan tidak mudah untuk dikalahkan.

Kemampuan pasif inilah yang menyelamatkan dirinya dari serangan kejutan Claude dan Claudia.

Bila mengambil pengandaian sebuah permainan RPG, Ravelt adalah karakter yang tidak mungkin mati karena satu serangan – setelak apapun serangan itu masuk, Ravelt masih akan bertahan meski hanya dengan 1 HP.

Dan karena karakteristiknya sebagai tokoh utama, ia bisa mendapatkan peningkatan kekuatan setelah lolos dari kondisi hidup dan mati.

Seperti sekarang ini.

Untuk menghilangkan rasa sakitnya – juga karena dibakar oleh api marah yang meluap-luap –, Ravelt segera menggunakan kemampuan [Dark Access] miliknya, sehingga kini ia diselimuti aura kegelapan yang menaikkan seluruh kemampuannya menjadi beberapa kali lipat.

Ravelt Tardigarde telah menjelma menjadi sosok yang tidak terkalahkan!

….yah, itu bila seseorang memandangnya hanya berdasarkan statistik dan kemampuan semata.

Namun dua sosok yang tengah ia lawan adalah orang-orang yang tidak peduli dengan hal-hal seperti itu.



Ravelt sang raja kegelapan menciptakan dua bilah pedang elemental angin plus kegelapan di kedua tangannya dalam waktu singkat, kemudian merangsek maju.

Satu tebasan ia lepaskan di udara, dan seketika itu juga sebuah pisau udara terbentuk.

“Claudia, perisai!”

“Iya, iya, sini berlindung di belakangku!”

Pisau udara yang melesat dengan kecepatan tinggi itu berhasil ditahan sempurna oleh bangun ruang yang dibentuk Claudia, sementara Claude di belakangnya sibuk mengisi peluru revolver.

“Kenapa semua yang menjadi lawan kita pasti punya kemampuan untuk jadi kalap begini, sih?”

“Lucunya, aku selalu melihat semua musuh yang sudah begini pasti menemui death flag.”

Sambil bertukar komentar, Claude kemudian memisahkan diri dari Claudia dan memutari aula. Saat ini hanya Claudia dalam tubuh dullahan mereka sajalah yang mampu menggunakan kemampuan [Claustroclaucht], karenanya Claude hanya bisa bergantung pada tubuh dan persenjataan milik Baikai Kuzunoha ini.

Melihat sang raja kegelapan sudah membuang jurus tangan kosongnya untuk serangan lepas dari jarak menengah hingga jauh, kelihatannya pertarungan ini tidak akan bisa selesai dengan cepat.

Sang raja dengan penuh semangat terus mengayunkan pedangnya, sesekali melompat dan menghantam apapun yang menjadi tempat pendaratannya.

Sementara Claudia mampu bertahan, Claude harus terus menghindar. Meski posisi mereka terpisah, pedang udara kegelapan milik sang raja ternyata terbukti efektif untuk mengurusi dua lawan di saat yang sama.

Kalau begini terus, Claude dan Claudia tidak punya ruang untuk membuat serangan.

Apa akal?

Sambil memikirkan apa yang bisa ia lakukan, Claude melepaskan beberapa tembakan.

Tidak berguna. Beberapa dengan mudah dihalau, beberapa ada yang menyerempet tubuh sang raja. Tapi tak nampak kesakitan di wajahnya.

Apa tubuhnya sekarang menjadi abadi?

Tidak, Claude masih melihat adanya darah. Bahkan luka tembak pertama tadi juga masih mengucur. Berarti setiap saat, nyawa si raja ini berkurang dengan sendirinya. Kalau begini, pertarungan mereka saat ini mungkin cuma pertarungan bertahan sambil mengulur waktu.

Oke. Bermain defensif pun tak masalah.

Claude ingin berpikir demikian, tapi pedang angin kegelapan dan serbuan membabi buta sang raja benar-benar merepotkan.

Saat ini Claude sungguh tak berani dekat-dekat barang 5 meter saja dari orang kalap ini. Sedangkan Claudia, toh tubuh mereka tak masalah bila dilukai, dan Claudia sendiri punya kemampuan bertahan baik, jadi dari tadi dia cukup nekat untuk memprovokasi si raja setiap Claude kelihatannya kesulitan untuk menghindar.

Meski disebut mengulur waktu, kalau tidak ada patokan waktunya, tetap saja menyusahkan.

Claude mulai berpikir untuk menjatuhkan dua pedang yang membuat si raja bisa melancarkan serangan meski jarak sudah dijaga sejak tadi.

“Claudia, bisa tahan kakinya?!”

Claude menyeru, dan Claudia menangkap pesan itu. Segera saja Claudia berlari tanpa ragu ke arah sang raja kegelapan. Sebelum benar-benar dekat, ia mengerem, lalu melakukan gestur tangan untuk mengunci kaki si raja dengan bangun ruang tak kasat matanya.

Tapi ini kelihatannya tidak lama. Belenggu begini tidak akan banyak berarti kalau yang ditahan masih bisa menyerang tanpa berubah posisi.

Di belakang sang raja yang berteriak tak karuan, tibalah Claude dengan revolvernya.

Ia melepaskan beberapa tembakan.

Dua dari tembakan-tembakan tersebut berhasil melukai tangan sang raja kegelapan, membuatnya melepaskan genggaman dari pedang angin kegelapan dan meraung-raung tak jelas.

Itu bukan ekspresi sakit. Itu ekspresi kesal, dan kelihatannya memang Claude dan Claudia sejak tadi lebih banyak membuatnya kesal daripada membuatnya sakit.

Claude ingin menembak lagi, tapi kemudian sadar pelurunya sudah habis.

“Tahan sebentar, peluruku habis!” seru Claude.

“Makanya sudah kubilang, kenapa tidak langsung tembak kepala saja!?” balas Claudia di seberang.

Ia merogoh saku, tapi sudah tidak ada lagi persediaan peluru cadangan. Iapun menurunkan revolvernya dan mencabut katana milik Baikai Kuzunoha.

Claude berlari dengan katana tergenggam di tangan, bersiap menikam sang raja kegelapan dari belakang. Taktik pengecut seperti biasanya.

Namun ketika sang raja kegelapan dan Claude hanya berjarak sebuah penggaris, mendadak Claude merasa sesuatu terhenti.

Tubuhnya.

Tubuhnya yang hendak mengayun pedang, kini berhenti begitu saja.

Tidak. Lebih tepatnya bukan tubuhnya yang berhenti. Waktu-lah yang berhenti bergerak.

Namun sang raja kegelapan tampak tidak terpengaruh. Meski tanpa menggerakkan kaki dan tanpa pedang di tangan, ia memutar badan, lalu menyarangkan sebuah pukulan di perut Claude.

Tidak terasa apa-apa. Tapi Claude tahu, sebuah gaya telah tercipta.

Lalu masuklah pukulan kedua di wajah.

Pukulan ketiga di dada.

Pukulan keempat di bahu.

Pukulan kelima di dagu.

Dan ketika semua tampak bergerak lagi, sejurus pukulan pamungkas telah melayang ke perut Claude, dan waktu kembali berputar.

“Ohok!!”

Claude terbatuk darah, namun bukan itu saja yang terjadi.

Seluruh gaya yang sebelumnya tertahan kini menghujam tubuhnya (tubuh Baikai Kuzunoha), dan segera membuatnya terpental mundur hingga menabrak dinding aula di ujung ruangan.

“Claude!”

Claudia berteriak panik, tak sadar telah melepaskan pandangan – yang artinya juga melepaskan tahanan – dari sang raja kegelapan.

Ketika melihat kesalahannya sendiri, Claudia cepat-cepat menahan si raja kembali, lalu mengambil pedang angin kegelapannya dari lantai.

Sayang, sang raja sudah bergerak lebih dulu sehingga hanya satu pedang yang berhasil Claudia rebut. Di tangan sang raja, pedang yang satu lagi sudah siap terhunus.

“Eeeii!”

Tanpa aba-aba, Claudia mencoba mengayunkan pedang itu.

Sang raja menangkisnya.

Sementara itu di arah samping mereka, mendadak terdengar sebuah ledakan seperti sesuatu menabrak dinding. Rupanya pisau angin yang ditimbulkan dari ayunan pedang berubah arah karena tangkisan sang raja.

Meski tak mahir menggunakan senjata, Claudia merasa benda ini bisa dipakai.

Maka tanpa ragu ia mengayunkannya sekali lagi.

Sang raja menangkisnya lagi.

Terjadilah adu pedang yang berdenting keras, menghempas sekitar dengan angin yang menyebar ke seluruh penjuru ruangan dan mengobrak-abrik seisi aula.

Claudia terus memberikan serangan, tak memberikan kesempatan untuk sang raja menunjukkan kemampuan lainnya.

“Ooooh!!”

Sadar kalau mereka tidak beranjak ke mana-mana, Claudia pun berkonsentrasi, hingga pada satu momen, ia berhasil mengunci gerakan tangan sang raja dengan kemampuan [Claustroclaucht] sebelum pedang di tangannya terayun ke arah Claudia.

“Kena kau!”

Satu ayunan kuat dari Claudia, dan hempasan pisau udara membuat tubuh si raja kegelapan melayang hingga menabrak langit-langit.

Kedua pedang angin kegelapan jatuh dengan bunyi nyaring ke lantai yang berantakan, lepas dari masing-masing tangan yang menggenggam keduanya.

“Hah… Hah.. Claude!”

Spontan Claudia segera  berlari menuju kekasihnya – berharap luka Claude tidak sebegitu parah. Kemungkinan besar tubuh yang ia pakai tidak akan bertahan lama lagi, jadi mereka tidak boleh terpisah begini.

Tampak tubuh Claude yang tersungkur di ujung ruangan, penuh darah dan lemah.

Claudia segera menghampirinya dan menggoyang-goyangkan tubuh Claude.

“Bangun, bangun Claude! Jangan bilang kau mati cuma karena serangan seperti ini!”

Mata Claude yang sebelumnya terpejam, mendadak terbuka dan melotot ke arah Claudia.

“Berisik,” katanya sambil mengerutkan alis. “Mana mungkin aku mati. Kalau aku mati, kau juga sudah mati.”

“Ah, iya, aku tahu, tapi….”

Claude mengulurkan tangannya, lalu mengusap lembut kepala Claudia.

“Tenang. Jangan lupa, kita sudah hidup bersama, dan akan mati bersama-sama.”

Claudia pun berhenti merengek dan memegangi lengan Claude.

“Ow ow ow ow!” Claude mengaduh, membuat Claudia segera melepaskan pegangannya. Claude menggeleng pelan seraya tersenyum kecil. “Ahahaha, sial… Rasanya beberapa tulang di tubuh ini patah. Payah juga, padahal kukira akhirnya punya tubuh untuk dipakai.”

“Tidak apa-apa, nanti pasti ada tubuh lain yang bisa kita pakai juga.”

“Atau kita minta ke dewa supaya diberi dua tubuh saja ya. Kurasa kalau menang, dewa merah itu pasti mau mengabulkan permintaan kita.”

Keduanya saling bertukar senyum, kemudian meraba wajah masing-masing.

Sambil memejamkan mata, mereka saling menyentuhkan dahi, bertukar kehangatan di dalam sepi.

Waktu-waktu seperti inilah yang mereka cari.

Di tengah pertarungan, di tengah kekacauan, apapun situasi yang dihadapkan pada mereka,

Bila mereka bisa menikmati waktu untuk bersama,

Claude dan Claudia akan mensyukurinya sebagai sebuah berkah yang tiada tara.



Ravelt Tardigarde benar-benar nyaris kehilangan kesadaran.

Ini adalah efek samping dari pemakaian kemampuan [Dark Access]. Sekuat apapun dirinya saat ini, dan sekalipun rasa lelah dan sakit tidak lagi ia rasakan…tubuh seorang Ravelt tetap saja pada dasarnya tubuh seorang manusia laki-laki biasa, dengan segala batasannya.

Memang, ia adalah seorang raja.

Memang, ia adalah setengah dewa.

Namun tak dapat dipungkiri lagi, Ravelt Tardigarde bukanlah sosok yang kebal apalagi abadi.

[Dark Access] sudah tidak aktif lagi sejak tadi. Begitu aura kegelapan berhenti menyelimutinya, tubuh Ravelt terjatuh dari langit-langit ke atas singgasana yang ia buat di bawah, dengan posisi yang sungguh membuat sekujur tubuhnya menjerit pilu.

Emosi apa yang ia rasakan saat ini?

Kekecewaan.

Atas dirinya sendiri, yang ternyata tidak bisa berbuat banyak meski bangga dengan segala kelebihan yang ia punya.

Kekesalan.

Atas keberhasilan lawannya mengalahkan dirinya, yang jelas membuatnya tidak terima.

Kemarahan.

Atas ketidakberdayaannya dalam melihat tipu daya yang ada di depan mata.

Kebencian.

Atas dewa merah yang seenaknya membuatnya mengikuti permainan ini, dan membuatnya merasakan hal-hal yang tidak ingin ia rasakan.

Namun ada satu emosi, yang begitu meluap-luap hingga rasanya tak tertahankan lagi.

Sebuah emosi yang bahkan menutupi semua perasaan negatif lainnya.

Yaitu, kecemburuan.

Sungguh, ia benar-benar tak tahan.

Melihat dua sosok yang menjadi lawannya saling bahu-membahu, begitu kompak dan terlihat menikmati setiap saat, dan tampak seperti pasangan yang benar-benar ideal diciptakan satu untuk yang lainnya.

Memadu kasih di tengah pertarungan melawan dirinya.

Apa-apaan sikap mesra seperti itu? Bahkan Ravelt, seorang raja setengah dewa, tidak punya kesempatan untuk menyatakan cinta pada wanita yang ia puja hingga akhir hayatnya!

Alice… Oh, Alice…

Ravelt meraba-raba udara kosong.

Kalau ia kalah di sini, apa yang bisa disampaikan pada Alice yang ditinggalkannya di Akasha Eterna?

Ravelt menggenggam tongkat keemasan dengan batu rubi miliknya, berjalan tertatih-tatih menuruni singgasana raja.

Tidak, ia tidak bisa membiarkan semua ini.

Dilihatnya kedua lawan yang tampak sedang berpelukan di ujung sana. Lalu emosinya kembali meluap, seakan menjadi bahan bakar yang memberi energi untuknya terus bergerak dalam keadaan seperti ini.

Ia tidak akan menjadi pecundang.

Sepasang kekasih itu tengah larut dalam buaian perasaan, tidak menyadari Ravelt telah tiba di dekat mereka.

Ravelt menangkat tongkatnya tinggi-tinggi, kemudian….



“—!?”

Claudia membatukkan darah ke wajah Claude.

Efek kejut yang luar biasa segera membuat kesadaran sang wanita berambut putih menipis.

Sementara Claude, di dalam kepayahannya, menahan nyeri yang luar biasa untuk menggerakkan kepala, melihat apa yang tengah mereka berdua terima.

Sesuatu berwarna keemasan, kini menembus dada Claudia dari belakang.

Dan terus menembus hingga ikut melubangi dada tubuh Claude yang ada di depannya.

*****

-5-

“Fuh. Fufufu. Fuhahahahahahahahahaha!!”

Tawa Ravelt menggema di seisi aula.

Ia mencabut tongkat keemasannya yang berlumuran darah, tertawa penuh kemenangan melihat kedua lawannya tersungkur tak berdaya dan tak tampak bergerak lagi.

“Rasakan! Itulah akibatnya bila berani melawan… Berani memperdaya seorang raja sepertiku!”

Ia kemudian menendang-nendang kepala si wanita berambut putih dari belakang, meski yang bersangkutan terlihat seperti sudah lagi tak sadarkan diri.

“Wanita jalang penipu! Baru kali ini ada orang yang seberani ini mengkhianati kepercayaanku! Mampus, mampus kau!”

Ravelt kembali tertawa terbahak-bahak.

Selesai. Selesai sudah.

Mungkin ia sudah lemah, dan terpaksa mengerahkan segenap tenaganya sampai titik penghabisan.

Tapi lihat siapa yang berdiri di akhir?

Ialah yang memenangkan pertarungan ini!

Ialah tokoh utamanya!

Seperti yang sudah digariskan oleh takdir, Ravelt tidak akan kalah oleh orang-orang biasa.

Dengan langkah yang lunglai, ia berjalan menuju singgasananya kembali. Mengistirahatkan tubuhnya yang terluka dan dilanda keletihan, Ravelt menyeringai.

Ia sudah menang.

Lalu apa?

Ia berpikir untuk menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi. Karena sebelumnya ia datang ke sini dengan dibawa oleh malaikat merah dengan sayap hitam, mungkin ia hanya bisa kembali dengan cara yang sama.

Berarti ia tinggal menunggu kedatangan mereka yang akan menjemputnya.

Tapi Ravelt bosan menunggu.

Dadanya masih nyeri, berlubang karena tembakan pria brengsek yang menyerangnya dari belakang. Untuk ukuran tubuh manusia, sungguh luar biasa Ravelt masih tetap bisa bergerak seolah tidak terjadi apa-apa.

Ravelt menyandarkan tongkat rubinya di samping kursi, bertopang dagu dan melirik ke arah lawannya yang kalah di ujung sana.

“……?”

Yang tergeletak di sudut ruangan itu hanyalah mayat pria dengan jas kulit tanpa kepala.

Sontak Ravelt bangkit dari tempat duduknya.

Ke mana?! Ke mana si wanita berjubah hitam-putih dan kepala pria kekasihnya pergi?!

“Aku di sini.”

Sebuah suara menjawab pertanyaan yang muncul dalam pikiran Ravelt.

Sang raja menoleh, dan mendapati seorang pria berambut putih, dengan jubah hitam-putih, yang tengah memegangi kepala wanita berambut serupa dengannya yang tengah menutup mata.

Tak salah lagi.

Pria inilah lawannya. Pria inilah yang sebelumnya menembaknya.

Entah bagaimana, Ravelt tak mengerti. Tapi ia tahu pasti, sang pria telah bertukar kepala dengan sang wanita, dan kini ganti memakai tubuh yang berdiri di hadapannya.

Pria itu memasukkan kepala wanita yang tampak kehilangan kesadaran ke tas punggung yang ia kenakan, kemudian kembali mendongakkan kepala untuk melihat ke arah Ravelt.

“Turunlah. Aku tahu, saat ini, kau pasti menyimpan segudang perasaan buruk pada kami. Tapi kita tahu kalau kita berdua sama-sama sudah di ambang batas. Saatnya untuk benar-benar mengakhiri semuanya.”

Ravelt tak terima diperintah seperti itu, tapi toh melawan perasaan apapun yang menyerang dirinya, ia tetap turun juga dari singgasananya dengan tatapan mata yang berkilat-kilat.

“Aku akan membunuhmu.”

Itulah yang diucapkan Ravelt begitu mereka berhadapan pada ketinggian yang sama.

“Aku akan mengalahkanmu.”

Balas pria itu, memaksakan sebuah senyum di wajahnya yang sudah babak belur.



Ini adalah pertarungan terakhir.

Sekaranglah segalanya ditentukan.

Tak ada lagi kata-kata diperlukan untuk mengumumkan hasrat kedua petarung mengakhiri semua ini.

Tubuh Ravelt berpendar keemasan. Namun redup. Kelihatannya jelas sekali bahwa ia tidak bisa lagi mengulur pertarungan ini lebih jauh.

Seketika itu juga Ravelt melayangkan sebuah tinju ke arah wajah lawannya.

Namun ia hanya meninju udara kosong.

“—!?”

Kepala si pria berambut putih tak ada lagi di depannya.

“Aku sudah dua kali menerima kombinasi seranganmu itu. Kau kira aku akan membiarkan diriku dihajar untuk yang ketiga kalinya?”

Ravelt menoleh dan mendapati kepala itu melayang di udara.

Dalam sepersekian detik ketika perhatiannya teralihkan seperti ini, sebuah pukulan dari badan tanpa kepala di depannya melayang masuk.

Tepat mendarat di tengah lubang dadanya yang mengucurkan darah.

“Urgh!!”

Ravelt menggertakkan gigi menahan sakit, terdorong mundur beberapa langkah.

Ia kemudian melakukan gerakan berputar dan melepaskan sebuah tendangan belakang.

Sekarang ganti tubuh tanpa kepala yang bergerak mundur, menyatu kembali dengan kepala pria berambut putih.

Kemudian mereka saling menerjang kembali, melepaskan pukulan dan tendangan ke arah masing-masing lawan.

Tidak ada jeda, meski peluh keringat dan darah terus terbuang dalam setiap gerakan.

Seandainya saja ada jeda waktu barang 5 detik saja, Ravelt pasti bisa menggunakan [Space-Time Control] atau [Elemental Mastery] miliknya. Sial bagi dirinya, waktu sejenak itu tak kunjung bisa ia dapatkan.

Sang pria berambut putih terus melancarkan serangan tanpa henti.

Baru kali ini ia justru dirugikan dengan pertarungan jarak dekat.

Meski Ravelt bisa mengimbanginya – bahkan melampaui serangan lawan berkat kemampuan bela diri tangan kosongnya yang tinggi, namun tetap saja Ravelt tidak bisa bertahan dengan baik.

Tidak ada celah untuk menghindar.

Ravelt benar-benar harus melakukan sesuatu.

Sesuatu yang akan mengakhiri semuanya dalam satu serangan.



Claude pun tengah memikirkan hal yang serupa.

Tidak seperti Claudia yang kini tertidur di dalam tas punggungnya, Claude tidak memiliki kemampuan untuk mengunci gerakan lawan ataupun membuat perisai untuk bertahan. Selain mengubah arah, yang bisa ia lakukan dengan kemampuannya hanyalah menukar benda yang satu dengan yang lainnya.

Dan entah bagaimana, kini ia malah melibatkan dirinya sendiri dalam pertarungan jarak dekat. Sesuatu yang dalam keadaan biasa pasti tidak akan akan dilakukan oleh Claude.

Ia perlu melakukan sesuatu.

Sesuatu yang akan mengakhiri semuanya dalam satu serangan.

Meskipun lawannya kepayahan karena terluka berat – sementara tubuh dullahannya cepat beregenerasi –, namun beban mental dan fisik telah membuat Claude cukup lelah. Ia sadar bahwa bila ini semua diperpanjang, mungkin ia akan kalah karena kehilangan kesadarannya terlebih dahulu.

Di tengah pertukaran pukulan dan tendangan yang mereka lakukan, Claude akhirnya melompat mundur.

Ini dia. Ini dia sebuah jeda. Sebuah celah.

Claude akan mengakhirinya di sini!



Ravelt akan mengakhirinya di sini!

Begitu si pria berambut putih melompat mundur, saat itulah Ravelt merasakan kesempatan untuk menciptakan sesuatu dengan kemampuannya.

Tak perlu sesuatu yang besar. Belati biasa sudah cukup.

Tak perlu waktu berhenti. Waktu melambat sesaat pun bisa digunakan.

Dan begitulah yang terjadi.

Dalam beberapa detik di antara diamnya ia dan lawannya, Ravelt memanfaatkan kesempatan itu untuk merapal penggunaan kedua kemampuannya sekaligus.

Sebuah pisau belati kecil termaterialisasi di tangannya.

Gerakan si pria berjubah hitam-putih tidak terhenti, tapi berhasil dilambatkan dengan kemampuan Ravelt.

Sekaranglah saatnya!

Ravelt menghentakkan kaki, menendang tanah untuk maju dan siap menusukkan belati ke leher si pria berambut putih – memastikan ia benar-benar mati kali ini!



Dalam sepersekian detik ketika sebuah belati muncul di tangan sang raja, saat itu pulalah Claude membungkukkan badan mengambil batu dari reruntuhan ruangan.

Ketika ia meluruskan badan, firasatnya telah memberitahu bahwa sang raja pasti sudah sampai di hadapannya dengan kecepatan yang tak bisa ia ikuti.

Maka semuanya adalah pertaruhan pada satu momen.

Ketika belati sang raja terangkat di udara, siap menusuk ke arahnya, Claude membelalakkan mata.

Ia melakukan tiga hal secara beruntun.

Yang pertama adalah mengubah orientasi penyerangnya, menjadi berbalik memunggunginya.

Yang kedua adalah menukar batu di tangannya dengan belati yang terangkat di tangan lawannya.

Dan yang terakhir,

Adalah menusuk lawannya dengan sekuat tenaga dari belakang.



Darah mengucur deras dari balik punggung Ravelt.

Sekalipun dengan tubuh dewa yang meningkatkan ketahanannya…ternyata ia benar-benar sudah mencapai batas.

Ia bahkan tak mampu menahan tusukan belati yang ia ciptakan sendiri.

 “Ini…ini tidak mungkin…”

Tangannya yang terangkat melemas dan menjatuhkan batu yang ia genggam. Saat itu pula, belati di tangan Claude berganti menjadi batu.

Ravelt jatuh berlutut. Sebelum ia sepenuhnya rubuh, ia menahan badannya dengan kedua tangan menumpu lantai. Masih tak sudi dirinya bertemu dengan tanah yang ia injak.

Ia melihat genangan darahnya sendiri di bawah badannya.

“Aku seorang pahlawan…!” tiba-tiba ia berteriak dengan suara serak. “Di cerita apapun, pahlawan… selalu menang di akhir!!”

Kemudian dalam satu kedipan mata, ia melihat badannya sendiri tanpa kepala.

Namun ia masih sadar. Apa yang terjadi di sini?

Tubuhnya rubuh ke lantai, dan terlihatlah olehnya bahwa kepalanya telah berganti dengan sebuah batu segenggaman tangan.

Ravelt menoleh, dan melihat Claude yang kini telah terlalu lelah untuk tersenyum kepadanya.

“Tunggu… Tunggu… Apa yang kau…”

Claude melempar kepala Ravelt ke udara.

“Tunggu! Jangan! Aku—“



Claude menyalurkan seluruh tenaganya yang tersisa pada kepalan tangannya, meninju kepala Ravelt hingga menghantam lantai dengan amat keras.

Diiringi dengan satu erangan lemah, sang raja pun kehilangan kesadarannya.

Kali ini benar-benar kalah, dan tak lagi membuka matanya.

Pertarungan sudah usai.

Claude-lah yang keluar sebagai pemenangnya!



Meninggalkan aula tempat pertarungan mereka, Claude berbalik seraya bergumam,

“Aku tidak peduli kau pahlawan atau raja. Sayang sekali, karena ini cerita kami. Bukan ceritamu.”

*****

>[Ravelt Tardigarde] defeated

>Winner : Claude Higglfiggr & Claudia Neuntzmann

Closed Curtain

Ketika Claudia Neuntzmann membuka matanya, adalah wajah kekasihnya – Claude Higglfiggr – yang pertama kali ia dapati setelah terbangun dari alam mimpi.

Claude menaruh kepala Claudia di pangkuannya sambil mengelus lembut rambut putihnya yang halus. Menyadari Claudia sudah terbangun, iapun menatapnya hangat, seraya menyapa,

“Selamat malam, tuan putri. Tidurmu kelihatannya nyenyak sekali.”

Claudia mengerjapkan matanya beberapa kali. Kemudian ia melihat ke sekeliling.

Tempat yang sama. Dunia yang penuh dengan lubang.

“Sudah selesai?” tanya Claudia.

“Ya, sudah selesai,” jawab Claude.

“Kita menang?”

“Ya, kita menang.”

Claudia menghela napas lega, lalu menggoyang-goyang kepalanya manja di dalam dekapan Claude.

“Kita menang~,” ujarnya riang, meski dengan suara pelan. “Ceritakan padaku, bagaimana kau sampai menang tadi?”

Maka berceritalah Claude, apa yang ia lakukan sejak Caludia kehilangan kesadaran. Bagaimana ia menantang si raja pirang dalam duel fisik satu lawan satu, bagaimana ia untuk kedua kalinya menyerang raja itu dari belakang, bahkan menyebutkan gumamannya di akhir ketika ia berhasil meraih kemenangan.

Claudia tersenyum puas mendengar cerita Claude.

“Sudah kubilang kan dari awal, kalau kita bakal menang?”

“Kalau aku tidak salah ingat, di awal kau bilang ‘Kau tidur saja yang tenang kalau mau, saat kau bangun nanti aku pasti sudah memenangkan pertandingan ini’. Sekarang, siapa yang tertidur saat aku susah payah memenangkan pertarungan ini, ya?”

Wajah Claudia berubah menjadi merah padam.

“Belum terlambat kok kalau mau bilang terima kasih,” kata Claude menggoda.

Lalu mendadak kepala Claudia terbang ke atas, menyundul dagu Claude yang mendekapnya.

“Ow!” Claude mengaduh. “Claudia, apa yang kau—“

Sebelum sempat Claude memprotes, bibir Claudia telah menyegel mulutnya sehingga tak bisa berkata-kata.

“……”

Cukup lama mereka menikmati momen ini dalam diam, sebelum akhirnya Claudia melepaskan diri sambil tersipu malu.

“I, ini saja sudah cukup kan?”

Claude kembali meraih kepala Claudia dan merangkulnya di dada.

“Selama bersamamu, aku akan selalu merasa cukup.”

Keduanya tersenyum, saling berbagi kehangatan sambil memandang langit yang telah berganti menjadi malam.

“Ngomong-ngomong, kita sudah menang kan? Apa itu berarti kita langsung pergi ke surga?”

“Tidak. Kalau seingatku, dewa merah itu bilang pesertanya ada puluhan orang… yang berarti setelah inipun mungkin masih ada pertarungan-pertarungan selanjutnya.”

“Masih ada lagi, ya… Ternyata tidak semudah yang kukira..”

“Yah, begitulah. Mau bilang apa? Kita berdua bangkit kembali saja rasanya sudah untung.”

Claude dan Claudia termenung sesaat.

Sampai kapan mereka harus bertarung?

Apa yang akan menunggu mereka di akhir?

Keduanya sudah tahu. Semua ini bagi mereka, tak lebih dari sebuah kisah tambahan belaka.

Apapun yang akan mereka hadapi, mereka tidak akan takut ataupun ragu.

Ketika sesosok malaikat merah dengan sayap hitam datang untuk menjemput mereka, keduanya sudah siap untuk kembali.



Sebelum tubuh mereka diangkat untuk meninggalkan dunia ini, Claudia bertanya,

“Apapun yang terjadi, kita akan selalu bersama, bukan?”

“Ya. Takkan ada yang bisa memisahkan kita. Bahkan kematian sekalipun, sekarang dan selamanya.”

*****

47 comments:

  1. Aduh, kok semuanya diborong Claudia & Claude? Meskipun ada juga si Andhika yang sudah tersingkir oleh (mungkin, kalau nggak salah baca) peserta lain. Akan terkesan lebih realistis kisahnya bila masing2 kontestan ada yang kebagian "kill". Misalnya Deismo kill siapa, dan Ravelt kill siapa. Well, seharusnya bisa lebih, tapi kali ini saya berikan (6/10) dulu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Err.. Ini itungannya malah yang beneran dikalahin CC cuma Baikai sama Ravelt. Kara dibunuh Deismo, Deismo dibunuh Ravelt

      Tapi trims udah meluangkan waktu ngebaca tulisan 20k ini~

      Delete
    2. (Sebenernya saya sempet penasaran om Andry beneran baca sampr akhir ato ngga, wwww)

      Delete
  2. Anonymous6/4/14 22:04

    Hebat.

    9/10

    -Ivon

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anonymous7/4/14 14:20

      Karena nampaknya sedang ada pencatatan nilai ...

      Kelebihan: Narasi yang ringan dan santai, serta alur yang asyik.

      Kekurangan: Ceritanya panjang, berpotensi membuat pembaca kelelahan.

      -Ivon

      Delete
  3. Kayanya saya jadi pengen ngasih warning notice ke tulisan sendiri buat pembaca (dan yang mau komen)

    Tulisan ini super panjang. Kalo ga kuat, mungkin bisa dijeda di setiap part yang saya kasih. Kalo membosankan, ga usah dipaksa ngebaca sampe habis pun gapapa
    Tapi saya bakal berterimakasih sama siapapun yang baca sampe akhir, apalagi kalo menikmati tulisan yang sederhana ini

    ReplyDelete
  4. Wuohohohohoho!!!!!

    Romantis banget si Claude sama Claudia.

    Tapi ada satu hal yang pengen saya tanyain saja deh Sam :

    Jantung Eza berdegup kencang. Tidak, ia tahu ia sudah mati. Namun pacuan adrenalin yang barusan ia rasakan menyadarkan bahwa setidaknya untuk saat ini, ia masih hidup. Dan jelas sekali kalau ia masih sayang nyawa.

    ^Eza kan makhluk alam mimpi. Kok dia mikir dirinya mati? Ini Eza apa Andhika?

    Terus ... pertarungan antara Deismo dan Baikai ... terasa ngebosenin. Tapi yang lainnya saya suka.

    Oke ... 9/10

    ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu Andhika Karang, pastin saya typo dan keskip >_<

      Battle Deismo sama Baikai emang membosankan karena cuma sekilas dan sampingan #plak

      Trims udah mampir~

      Delete
  5. Wahahaha!! Ravelt mati, dengan cara yang mengagumkan!!
    sebelum saya kasih nilai, ada beberapa hal yang ingin saya katakan
    1. Duster mati
    2. Andhika mati pertama
    3. Baikai ketemu sama Claude&Claudia
    4. Ravelt kalah, karena hero essence
    5. Ceritanya panjang

    APA KITA BARU PAKAI SKILL SYNCHRONIZE!!??

    btw, ceritanya bagus (pace yang enak dibaca, gak bikin fast read)...
    saya lempar...
    10/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. time to do some editing <(")

      Delete
    2. Waaah, glad you liked it~ >_<
      My first perfect score~

      Sejak liat charsheet ravelt saya beneran udah ngebayangin dia coxok jadi lawan macem last boss gitu, dan seneng begit ngeliat satu grup sama dia wwww
      Ah, maaf ya kalo saya punya kebiasaan bikin cerita panjang. Semoga meski melelahkan, tapi juga memuaskan :)

      Delete
  6. Umi kasih nilai 10/10, dan mau pamer, akhirnya baca ini total 3 jam dengan cara baca umi :D

    ini jago, mulai dari plot, karakterisasi, sampe latar suasananya dapet banget...

    btw saran umi kakak :D

    - dialog tag Claude sama Claudianya di adakan doong, umi di beberapa tempat bingung yang ngomong Claude apa Claudia >.<

    nah disini umi pengen ngasih kesan umi :
    - wkwkwkwkwkwkw permainan kata "akan tetapi..." di Deismo bikin umi geli sendiri
    - oke, trik dari Claude buat ngejebak zuzu lucu banget >.<
    - umi tiba-tiba kacau pas Deismo nge-klon dirinya terus umi bingung. yang terjadi tuh apa ya kak? Baikai narik demonnya terus Deismo tetep nyerang Baikai sama Belial?
    - Deismo-nya matinya aduuuhhhh >.< kayak gitu aja... *sebel
    - dan... Claudia jahat banget sama zuzu >.< huehue.. disaat umi mengira zuzu akan ikut sampe akhir, kenapa malah dia yang mati hiks dengan cara begitu lagi...
    - kematian Ravelt-nya keren abis. dipermalukan abis-abisan gitu. umi suka banget bagian kepalanya diganti sama batu, mwmwmwmw


    makasih kak, sudah memberikan tulisan bagus buat umi >.<

    ReplyDelete
    Replies
    1. Uuuh, sebelumnya saya beneran mesti minta maaf udah ngabisin 3 jam waktu Umi... orz
      Soal dialog tag, kayanya ini bener. Ke depannya saya usahain diperjelas deh.

      Sekarang saatnya bales tiap kesan~ :
      - Biar ada kesan ironinya itu wwww
      - Habis, dari charsheetnya, kerasa banget Baikai itu polos dan stoic (udah nanya ke pemilik ocnya), jadi ya diboongin aja deh
      - Pas Baikai vs Deismo kah? Iya, jadi klonnya nyerang Baikai+Belial....terus sisanya emang offscreen karena kita balik Claude, yang pas balik udah ngeliat ada Ravelt pula
      - Sebenernya bukan 'kayak gitu aja' lho. Matinya Deismo sengaja gampang justru sebagai penegasan kalo Ravelt ini orang yang bener" berbahaya
      - Karena CC emang pasangan egois, mereka cuma peduli ke sesama, ga mikirin orang lain (ga ooc dong saya). Kalo ini HxH, mereka pasti udah masuk Heretic
      - Karakter seimba Ravelt emang harus ngerasain dipecundangi - saya udah gregetan sejak pertama liat charsheetnya, dan eh ternyata dipertemukan. Ya udah deh puas"in banget nulis battle lawan dia >_<

      Terima kasih sudah berkenan mampir~

      Delete
  7. Retract tiap scene dari PoV lain itu... mungkin bagi sam: mengeksplor karakter lain

    bagi saya: for the sake of 20K Words.

    karena ternyata karakter lain bisa dieksplor saat fight scene karena pakai PoV 3 serba tahu... tanpa harus Retract (mini flashback.)

    kayak Claude watching Deismo dan Baikai.

    itu doang sih nilai minus.

    Final Verdict: 9/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Justru aslinya saya nulis tanpa bayangan ini bakal jadi 20k lho
      Tapi sejak HxH kayanya saya jadi kebentuk begini - misal dikasih banyak karakter, berasa pengen meddlesome semua dapet spotlight kalo bisa. Kalo kata gitta, orang baca ini jadi ga perlu baca charsheet biat tau semua karakternya

      Trims sudah berkenan mampir~

      Delete
  8. lol, pas awal baca charsheet saya agak bingung sama kemampuannya OC ini, tapi pas baca langsung kepikiran: Sekibanki+Seija = Claude&Claudia

    well mungkin cuma saya aja yang mikir gitu.

    ceritanya enak dan kalau buat Sam sih gak perlu banyak komentar lagi deh, cuma seperti biasa ceritanya super panjang, jadi bikin orang agak mabok kalau gak terbiasa baca cerita panjang.

    dan juga kayaknya kebiasaanmu yang bikin cerita last-man standing dan anti-climatix ending masih ada ya, atau saya aja yang kurang terkesan.

    9/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya bikin mereka udah dari sebelum touhou 14 lho. Tapi pas kamu bilang gini, rasanya bener juga - kerasa kaya gabungan mereka berdua >_<

      Ini panjang di luar dugaan. Kebetulan setting dan lawannya asik, dan entah kenapa saya lepas kendali waktu nulis... Kayanya yang ga kenal saya emang pada keburu males baca orz

      Padahal vs Ravelt ini saya udah berusaha se-shounen dan se-climax mungkin lho. Hmm, tapi mungkin emang masih kurang impact-nya ya

      Terima kasih sudah berkenan mampir~

      Delete
  9. Akhirnya moi beres baca juga. Phew... #lapkeringet
    Moi menghargai usaha Sam untuk mengenalkan semua OC dengan porsi yang fairly balance. Adalah tribute dan sebuah penghargaan bagi author lainnya karena tahu OC mereka dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin, tidak sekadar expandable. Untuk ini, moi ucapkan brava!

    This is a patiently written story that needed an experience to craft it. Dan terlihat pengalaman Sam di BOR sedari awal memang dengan sewajarnya menetapkan standar yang tinggi buat para peserta lainnya, baik rookies maupun veteran sekalipun.

    Oui, ada hal krusial yang tidak terhindarkan dan itu adalah panjang ceritanya. It's dauntingly long and in some part--mostly at the end--even Sam's craftsmanship narration didn't help at all. The pace is getting tiresome, the story is getting irksome, and it feels agonizing to watch you try to end the story with decent ending. Untungnya Sam berhasil meski tidak menutupi kenyataan bahwa beberapa bagian cerita akhirnya agak tertatih-tatih karena lelah.

    Moi masih melihat ada beberapa bagian yang bisa dibuang, serta banyak bagian yang masih bisa diedit, dipadatkan, dan dibuat lebih efektif. Beberapa contohnya adalah latar belakang para OC. But nevertheless, it's an outstanding effort from Sam and quite possibly a love letter to BOR itself. Untuk itu moi beri nilai 8 untuk itu. O ho ho ho hon!

    ReplyDelete
    Replies
    1. It would be helpful if you tell me which part is irksome
      Kalo soal latar belakang oc, saya nulis dengan mindset 'ini cerita harus bisa berdiri sendiri tanpa orang baca charsheet', karena jumlah peserta dan ceritanya sendiri already imposing for reader who's unfamiliar and too lazy to check things here and there
      Saya mungkin berapa kali juga bilang saya ga nahan diri pas nulis panjang, tapi ada satu alesan lagi - ini battle royale, dan ada 5 karakter dengan latar beda". Meski fokusnya oc saya sendiri, saya pribadi ngerasa kurang adil kalo ga ngupas cerita dari sudut setiap karakter yang terlibat - karena adanya merekalah cerita ini ada

      But yeah, it's a love letter, to be precise. Despite the good and the bad, I hope my feelings and passion conveyed in this story
      Thanks for reading~

      Delete
    2. O ho ho ho hon. Lazy readers, lazy readers everywhere XD

      Bagian pending bertarung ama Ravelt buat moi agak downer. Trus bagian kayak Ravelt merasa kekesalan, kekecewaan, kecemburuan. Atau pukulan pertama ke wajah, pukulan kedua ke dagu, pukulan ketiga entah ke mana lagi. Moi rasa bagian-bagian kayak gitu bisa ditulis dengan lebih baik. Battle akhir moi ngerasa agak kedodoran di beberapa bagian.

      Delete
    3. those amazing comments!! Are you a captain?!

      Delete
  10. Dengan mengucap bismillah kumulai membaca dan alhamdulilah setelah mengkhataminya >.<

    Sasuga sam, ceritanya emang panjang, tapi enak diikutin. Tapi saya ga yakin apa karena narasi atau plotnya. Jalannya pertarungan juga seru, namun saya sependapat sama Adham, bagian pertarungan terakhir yang ditunda itu bikin rasa intens nya down - meski mungkin itu memang mau ga mau terjadi, mengingat plot Claude ngambil badan Baikai baru bisa dimulai dari sana.

    Lalu, kadang beberapa narasinya ada yang terasa seperti lagi baca laporan berita gitu. Seperti pas lagi ngejelasin yang terjadi sebelumnya atau strategi-strategi pertarungan yang sebelumnya dipakai. Imo sih bisa diselipin jadi foreshadow aja, kayak pas Claude ngendap-ngendap, misal tiba-tiba ada suara dentingan cuma langsung dialihkan perhatiannya ma Claudia.

    Sama saya ngerasa kematiannya Karang, Deismo, ama Baikai itu agak... Singgg... Kayaknya grafik intensitasnya agak datar pas mereka mati.

    Tapi overall ini cerita mantap, nilainya 9!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ugh.. Kalo sun juga bilang gini, berarti kata Alma bener - saya emang ga bisa bikin adegan klimatik
      Saya bisa ngasih alesan gini : Kara sama Deismo itu mati dengan kemunculan karakter baru yang dengannya bikin si karakter baru ini tampak lebih berbahaya, sementara Baikai matinya by surprise. Tapi kalo dibilang begini, berarti emang matinya mereka kurang ada impactnya sih ya

      Terima kasih udah mampir~

      Delete
    2. Humm, emang tampak bahaya banget sih, karakter-karakter lamanya mati kayak disentil doang >.<

      Yee sama-sama~

      Delete
  11. yang aye pikir:

    1. panjang, panjang banget.
    2. alur yang enak, dan plotnya mantep. sama kayak nurin.
    3. semua karakter dapet bagian.


    yang bikin minus.
    1. bagian2 yang rasanya ga perlu diceritakan. yang paling ga sreg bagian nama2 skillnya ravelt. rasanya jadi aneeeeh D:
    2. pas udah mau klimaks, intense nya jadi turun gara2 battle akhirnya ditunda. tapi gpp deh, endingnya pas.


    aye sebenarnya baca2 skimming pas awal2 sebelum neyelesaiakan kuzu. pengen tau mesranya mereka. eh ternyata dapet komen kalo CC nya lebih mesra dan nyebelin dibanding yang disini. wkwkwk


    bales ah, baikai disini stoic nya lebaaayyy wkwkwkwkwkwkwkwkw
    geli bacanya pas dia kasi bunga ke claudia wkwkwkwkwkwk


    i give you 9/10!

    ReplyDelete
  12. Gara" charsheetnya (dan ga ngeliat comtoh cerita aslinya), saya kebayangnya Baikai ini stereotype karakter yang expressionless dan clueless, wwww
    Maafkan kalau ooc >_<

    Trims udah berkenan mampir~
    Semoga ga kapok baca cerita sepanjang ini, hehehe

    ReplyDelete
  13. +_+

    Komen sy pjg2 ndak terkirim, sy gak akan ngeluh betapa kekinya saya... Tapi saya mau minta maaf utk kak Sam krn br bisa komen, n maaf jg kalo misalnya komen sy ndak berkenan.. Maka dr itu sy mcba utk mengetik ulang :") #halah #pembukaannyasatuparagraf

    Alur : 2/3
    Di cerita ini sy plg suka kematian entran lain *-*)d
    Jadi saya langsung skip ke part 4 bagian terakhir ketika si raja kunyuk itu mati :") #plakk jujur aja sy krg suka sma kemunculan raja di sini, seolah dia ini dibully sma narasi +_+ dan narasi ttg si raja ini kbykn tell, jadi agak keki jg... Walo terbayar sma eksyen nya yg emg si raja ini bajingan :")
    Omong2 raja, sy jg krg suka kemunculan robot di sini... Lg2 ini masalah subjektif, tapi minimnya deskripsi bkin sy gk toleran thd makhluk futuristik itu.... Apa sblmnya CC pernah melihat robot?? Bagaimana dgn Baikai yg berteman dgn siluman ?? Trs sebenernya si raja ini dr jaman mana siy smp ngeluarin robot ??
    Dan setuju ma kak Adham, pas dia ngulur waktu ganti setting, itu kerasa bertele2... Saya langsung baca ke part terakhir, jd gk tau jg detilnya gimana #plak
    Mungkin bagus, mungkin nggk... Mungkin ada sedikit drama, mungkin ada bbrp trik... Tapi karena si raja ini anak tiri yg sengak, saya udh males duluan.... ;;-;;
    Di sisi lain--kebalikan sama kak Adham--saya suka lawan2 ini dijelasin latar belakangnya, tanpa harus buka CS, sya tau apa2 aja kmampuannya >__<

    Karakterisasi : 3/3
    Udh bkan masalah utk Kak Sam ini siy (y)

    Gaya bahasa : 2/2
    Walo berbeda aliran (?) ttp kasi poin plus ah, krn rsanya ini ciri kak Sam bgt... Saya gak bisa bohong kalo ngarepin deskripsi2 yg cantik, shg bisa memvisualisasikan dan merasakan imersi ke dlm cerita :") #wuihh
    Tp gk nyaranin itu jg, krn nti gaya ceritanya bkan kyk kak Sam lg ^^

    Typo n error : 1/1
    Skalinya ada, gk ngaruh ah x)

    Hal-hal lain : 1/1
    Well CC... Gimana rasanya berbagi tubuh dgn org yg kamu cintai?? Sy gak menangkapa ada kesan itu di sini... Segalanya tmpak normal... Mgkin krn udh 100 tahun brsama ? Apa seratus tahun itu mengubah hal2 absurd menjadi hal normal??

    Total poin : 9~
    Apa kalian senang bercinta di atas penderitaan org lain ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kesimpulan dari komentar Ann : Tulisan ini 'khas Sam Riilme banget' >_<

      Komplain soal robot... Di charsheet Ravelt sendiri ditulis kok kalo dia emang nyimpen robot sebagai salah satu koleksi, jadi gap teknologi itu sebenrnya cuma masalah persepsi. Adapun CC, saya udah lumayan nge-lampshade dari penjelasan di bagian di mana mereka udah ngadepin macem" musuh selama hidup mereka - ini juga sekaligus ngejawab soal hal" absurd udah jadi sesuatu yang normal buat CC (kalo baca deskripsi asal muasal mereka di grup, lebih berasa lagi kalo hal" aneh di sekitar mereka udah jadi makanan sehari")

      Trims udah mampir~

      Delete
  14. Rada panjang juga ya ini, hosh hosh. Pertarungan di awal perasaan lumayan sepi karena baru ketemu Kara & Eza aja. Tapi mereka juga ga mudah dikalahin sih. Suka sama ikatan master-servant di antara keduanya.

    Konflik2 kecil diantara CC juga menarik, makin nunjukkin kalau mereka emang punya kehendak masing-masing. Karena udh nature mereka buat ngemanipulasi, jadi pemanfaatan Baikai dan tipu2 Ravelt juga jadi poin plus. RAVELT KUAT BANGET GILAK XD

    Pertarungan favorit waktu CH-Baikai vs. Ravelt, walaupun CH-CN vs. Ravelt juga seru sih. Yang rada singkat paling kematian Deismo yg dihajar Ravelt, padahal awalnya udah serem dia. Tapi masuk akal juga karena Ravelt emang digambarin superior.

    Untuk komedi, lumayan nyengir waktu Baikai ngasih bunga ke CH, hahaha. Lumayan refreshing buat intermezzo, soalnya Baikai yg paling keliatan easy-going, sederhana dan konyol drpda yg lainnya di sini XD

    Endingnya, mungkin Ursa kalo liat bakalan bilang, "Dasar lovey-dovey Dobly Dullahany, kalian pasti utusan Lu---" *sumbat mulut ursa pake lolipop*

    8/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wehehe, Ravelt memang karakter yang asik buat jadi lawan, apalagi kalau bisa sampe jadi kawan

      Trims udah mampir~

      Delete
  15. Ada godaan buat ngetroll dan nulis "tl;dr" di komen sambil posting gambar orang joged2~ XD

    Curse you, Sam, this is too darn long. Tapi salut sama porsi tiap lawannya, walau menurutku kematian Deismo dan Andhika bikin saya bilang "WTF?!"

    Dua orang itu terkesan mati kena peluru nyasar, tiba2 nongol Deismo bunuh Andhika, dan tiba2 nongol Ravelt bunuh Deismo.

    Baikai death is my fave! It's like seeing Claudia said "You're welcome, Dear, now off with your head!" with a smile on her face~

    Also, I'm in awe with Ravelt as the final battle~

    9/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Too damn long? So you're saying I should limit this overflowing passion of mine? #slapped

      Daripada peluru nyasar, sebenernya saya di sini ngebangun Worf Effect (bang Zoel pernah baca tropenya?), jadi untuk nunjukin seberapa kuat karakter yang baru muncul, saya bikin dia ngalahin karakter yang sebelumnya udah ketauan kemampuannya duluan

      Trims udah mampir~

      Delete
    2. Moi bantu Om Zoel. O ho ho ho hon.
      http://www.youtube.com/watch?v=rIO-bTIdJEI

      Delete
  16. Hampir sejam aku ngabisin waktu untuk nyelesein baca ini. Sebuah waktu yang sangat lama buatku. Tapi TOTALLY WORTH IT

    Pas Eza mati itu, aku hampir nangis. Damn you author :'((((
    <- lemah akan kematian binatang

    Btw ijinkan aku nitip post dulu, krn aku harus balik kerja lagi (ini oL di warnet). Review dan nilai akan aku tambahkan nanti sepulang kerja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Plot : BRILIAN
      Ceritanya dibangun perlahan, sedikit demi sedikit, menguak satu demi persatu peserta dengan anggun. Mulai dari Kara, Deismo, dst. Disini plotnya nyatu sama latar realm, dan konflik yang ada di dalam realmnya juga kebawa. (Meski si boss udah dibunuh duluan). Dan bisa ku bilang, penggambaran realm di versi ini bener2 keren. Lebih keren daripada penggambaran versi Deismo malah >.<

      Karakter : Wah nggak perlu dikomen sebenernya, semua karakter rasanya asik banget buat diikutin. Perasaan tiap karakter tertangkap dgn baik dan meresap ke hati pembaca. Mulai dari Kara, remaja labil yg sebel nggak bisa mimpiin cewek idamannya. Deismo yang marah karena desanya dihancurin Kara. Baikai yg bishie nan rupawan. Sampe keagungan Ravelt.

      Aku juga suka karakter CC yang nggak peduli dgn apapun selama mereka tetep berdua.
      Dunia milik berdua, yang lain ngontrak #plak

      Semua karakter gentlemen banget. Acungi jempol buat semuanya (y)


      Battle : EFEK PROCRAS FTW!
      Ini yang aku cari2, dimana battle nggak sekali bertarung kelar. Ada jeda diantara battle untuk dialog pengenalan karakter, atau bahkan penundaan battle karena alasan tertentu. Dan Ravelt bener2 memenuhi imejnya sebagai final boss. Sampe 2x ngelawan pula (y)

      Baca ini kayak berasa baca Law of Ueki, tactical twistnya bener2 asik buat diikutin. Kekuatan CC bener2 banyak eksplorasinya, dan penggambaran yg lembut bikin pembaca nggak perlu repot2 buka charsheet lagi. Ini yg bikin battle enak banget diikutin.

      Selain itu kemampuan karakter2 lain bener2 dieksplorasi dengan baik. Kara dgn explosivenya, Deismo dgn - well - mode gilanya. Baikai dengan summonnya, dan paling epik Ravelt dengan King Warehouse dan skill pasifnya.

      Bisa dibilang kita punya beberapa kemiripan style, mulai dari penggunaan *** utk akhir chapter/time jump, penggunaan [] utk penamaan skill, sampe keterangan bersifat informasi di akhir chapter dgn bold.

      Lalu author dan OC bisa dibilang punya latar belakang yg sama. Sama2 ditempa ratusan pertarungan dan terbiasa bertarung, dan pernah menjadi pemenang turnamen. Ini yg sangat menantang buatku yg seorang..pembunuh random...
      (Iya cerpenku hampir semuanya berakhir/diawali dgn kematian karakter utama, makanya aku tertarik ketika BoR temanya afterlife. Krn kematian emang tema yg sering aku usung)
      Dan Sjena sendiri juga pembunuh random (bunuhin leluhurnya sendiri dan bikin eksistensinya sendiri hilang)

      Setelah membaca ini, aku melayangkan tantangan terbuka pada Author. Semoga kita bisa bertemu di ronde berikutnya dan bertarung dengan epik. xD

      Dariku 10/10

      Delete
    2. Apa ini....surat cinta? #plak

      Duh, sebagai soul brothers dalem style nulis, saya super tersanjung bayee suka tulisan ini (udah lama nunggu kehadiranmu, www). Rasanya semua poin komentarmu beneran ngewakilin apa yang emang pengen saya tunjukin dari tulisan ini - slow start, flesh out semua kepribadian dan kemampuan, battle yang ga cuma sekali, dll. Saya seneng ada yang ngupas tulisan saya sesuai sama poin yang ada di pikiran saya (y)

      Udah berapa orang yang ngirim tantangan terbuka ke CC sekarang? Diincar banyak orang begini... Tapi saya terima. Lagipula Sjena emang one that I set my eyes on sejak pertama baca ceritanya

      Trims udah berkenan mampir~

      Delete
  17. Kak Sam,
    1 jam 15 menit. HA!

    Saya suka ceritanya, terutama lawan Ravelt, si raja Imba.
    "Siapa lu, Velt? Gary Stu?" #heh

    Tapi gila eh sampe akhir si Ravelt ngga mati-mati.
    Dan sori kak, yang pas Deismo mati, itu berasa kayak... "Hah?"

    Oi, Claudia, jadi Fujo sajalah dikau. XD


    Suka romansa Claude sama Claudia. Love is bitter without mouth war (?)

    Tapi kak, ada hal yang saya agak kurang gimana gt :
    - Tanda petik dua yang dua kali ditulis (cari sendiri ya ada 2 dialog) itu maksudnya apa? Typo kah?
    - Terus tensi yang udah dibangun dengan rapi tiba-tiba drop gegara ada tanda ini >> (?) di tengah-tengah narasi
    - Ada tulisan 'Apa akal?' (saya cari lagi ngga nemu) itu rasanya janggal

    Anyway.... Namanya claude susah :v

    9.5 yaaa


    From your one and only,
    Dee
    :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wwwww saya juga baca charsheetnya Ravelt langsung kebayang Gary Stu

      Tanda petik dua kali? Mungkin typo
      Tanda tanya di tengah narasi itu rada lumrah ah buat saya, ngasih sedikit kesan unreliable narator karena bingung
      'Apa akal?' itu derivasinya dari dialog komik, yang kurang lebih sama ekspresinya kayak 'Ada ide apa?' atau 'Gimana nih caranya?'

      Trims udah berkenan mampir~

      Delete
  18. uwah, g ngitung berapa jam ngabisin ini, tp komenya mungkin mirip2 sama kakak2 yg lain, kepanjangaaaaan kak x3
    sebenarnya udh seru banget lho kak pas bagian baikai claude vs ravelt, kirain pas ravelt mau nembak kuzunoha pelurunya diubah arahnya buat nembak ke ravelt sendiri, sampai situ krasa udah klimaks kak, eh malah dtunda sama claudia jd kerasa antiklimaks, apalagi ada bagian nipu nembak dr belakang itu beneran gampang dtebak, untung msh ada true last boss round lg, tp kyknya minat membaca udh menurun sih kak, jd baca pertarungan ravelt agak skim x3
    keseluruhan ni seru bgt kak, cuman sayangnya itu panjang bgt, pembaca kyk dpaksa ngikutin alur cerita yg diulur2 pdhl seharusnya bs dselesaikan dgn cepat
    nilai 9/10 :)

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -