“Watch your confidence human, or it will kill you slowly.”
- The Author –
:: [30 minutes before]
SilentSilia, begitulah nama gadis yang kini ada di dalam gendongannya. Ia tak tahu asal gadis ini karena memang bukan urusannya untuk tahu. Yang ia tahu, hanya sang Dewa yang mengetahui apapun yang tidak diketahui makhluknya.
Ia tahu tugasnya kali ini lebih berat. Dahulu ia hanyalah Hvyt yang ditugaskan untuk menari sebagai penghibur sang Dewa. Namun, belakangan, sang Dewa yang sadis itu tak pernah puas lagi dengan tarian yang ia berikan. Berkali ia harus mengalami sakitnya dihancurleburkan oleh Dewa Thurqk sebelum akhirnya diciptakan kembali.
Ia tak pernah marah ataupun menentang atas kelakuan kejam sang Dewa, karena yang ia tahu, apapun yang dilakukan sang Dewa adalah hal terbaik untuk semuanya. Seperti saat ini, Ia diperintahkan oleh sang Dewa untuk mengantarkan Sil, si gadis tanpa mulut dan bersilia ini kembali ke Jagatha. Dewa ingin gadis ini memperoleh pengobatan terhadap luka dalam yang dideritanya. Lihat kan? Dewanya sangat baik.
Sesampainya di Jagatha, Hvyt mendarat perlahan di atas tanah merah yang terdekat dengan pohon Rachta paling besar. Lengan mungil si gadis bersilia itu menggenggam erat tali suspender yang Hvyt kenakan di atas dada bidangnya. Gadis ini mulai sadar dari alam buainya. Hvyt perlahan menurunkan tubuh mungil itu ke atas tanah merah.
Gadis itu membuka matanya perlahan. Menatap sekelilingnya, termasuk Hvyt.
“Anda sudah sadar, Nona?”
Hvyt masih mengambil dedaunan pohon Rachta dan menggilingnya dengan bebatuan panas dari Jagatha. Tangannya yang diciptakan kebal oleh sang Dewa dengan gesit menggiling setiap daun Rachta yang dikumpulkannya. Dalam sekejap dedaunan itu sudah berubah menjadi bubur merah. Siap untuk dioles ke tubuh yang terluka.
Hvyt membawa bubur daun Rachta itu ke dekat gadis bersilia yang masih tergeletak lemah.
[Kau,]
[mau apa?]
“Mengobati lukamu, Nona. Dewa memintaku untuk mengobatimu.” Perlahan Hvyt mengangkat lengan Sil dan mengolesinya dengan bubur merah. Dia mendecih, tubuh immortal namun merasakan sakit. Betapa bahagia dewanya memiliki makhluk seperti ini.
[Ya,]
[Untuk Persona sejenis Dewa-mu,]
[aku memang penghibur yang baik.]
Gadis ini menatap nanar kepada Hvyt. Bubur merah yang Hvyt oleskan ke seluruh bagian tubuh Sil perlahan menghilang. Seiring dengan itu, memar-memar yang terdapat di setiap bagian tubuh gadis itu juga menghilang.
[Untuk apa dia mengobatiku,]
[jika pada akhirnya akan ia lukai lagi tubuh ini?]
Gadis itu menatap lemah kepada Hvyt. Hvyt tahu mata itu. Mata yang lelah akan pertarungan. Mata yang lelah akan kematian. Mata yang lelah karena tak dapat menjadi diri sendiri. Namun, itu berbahaya untuk si pemilik mata.
“Siksaan belum berakhir, Nona. Selama kau tidak mengakui-Nya. Selama itu pula kau akan disiksa.” Dia menatap dingin ke arah gadis ber-silia itu. Bagaimanapun, gadis ini tidak paham betapa murah hatinya sang Dewa kepadanya.
[Dan kau katakan bahwa Thurqk Dewa?]
"Jaga Siliamu Nona. Kau tidak tahu apa yang dapat dilakukan oleh Dewa Thurqk!"
[Dia, bukan Dewa!]
Hvyt terdiam, ia tidak tahu bagaimana caranya membuktikan bahwa Thurqk adalah dewa. Ia hanya tahu bahwa Thurqk-lah yang menciptakannya dan Hvyt-hvyt lainnya. Dan ia takut untuk mengakui bahwa...
“Siapa yang kau sebut bukan Dewa, Nona Manis?”
Suara seseorang di belakang tubuh Hvyt mau tak mau membuatnya seketika berdiri. Ia sangat mengenal suara itu. Suara dalam tegas dan sombong. Suara dari penciptanya, Thurqk.
Di hadapannya Sil sudah tak lagi dalam keadaan terbaring tak berdaya. Ia sudah berubah bentuk menjadi seorang gadis yang terikat tak berdaya. Kaki dan tangannya terikat dengan erat entah oleh apa.
“Kau masih belum mengakuiku juga, Nona? Setelah semua kebaikanku padamu?” Thurqk berjalan mendekati Sil dengan tangan bersedekap ke dada. Menatap wajah takut gadis yang merona dengan manisnya. Seolah ingin melawan namun tak punya daya.
[Kebaikan macam apa yang kau berikan, Thurqk?]
Tatapan kebencian itu terlihat jelas di mata Hvyt. Ia terpana, Dewanya memang selalu mempunyai cara untuk membangkitkan gairah siapapun yang ada di hadapannya. Lihat saja bagaimana gairah gadis ini langsung berkobar saat berhadapan langsung dengan sang Dewa.
Sang Dewa tertawa sejenak, “lihatlah sekelilingmu Sil. Lihatlah tubuhmu. Lihat semua hal yang telah terjadi di sekelilingmu.”
[Kau tahu?]
[yang kulihat hanyalah bukti dari kebengisanmu, Thurqk.]
Perlahan Silia itu turun. Mata Sil menatap tajam ke arah Dewa berkulit merah itu.
“Kau terlalu mendustakan kenikmatan yang kuberikan, Sil.” Sang Dewa merunduk di hadapan gadis mungil itu. Tersenyum menang.
[Kenikmatan kau bilang?]
[Kenikmatan yang pedih?]
“Sil, ingatlah. Tak akan pernah ada kata nikmat jika tak ada kata pedih. Pedih itupun adalah kenikmatan yang tiada tara. Jika kau dapat memahaminya.” Sang Dewa mengucapkannya langsung di depan kedua mata Sil. Menatap mata nanar itu tepat ke maniknya sambil tersenyum bangga.
Sekali lagi, Hvyt berdecak kagum dengan perkataan Dewanya itu. Ya... Tak akan ada kenikmatan jika tidak ada keperihan. Tidak akan ada kebencian jika tidak ada kasih sayang. Semuanya ada dan saling melengkapi satu sama lain. Betapa dewanya ini sangat murah hati pada makhluknya.
Sil kembali membentuk silianya perlahan [Mengapa tidak kau siksa saja kami semua, Thurqk?]
“Aku ingin memberikan kalian kesempatan. SilentSilia, kau harus paham! Aku tidak akan mengubah nasib kalian jika kalian tidak mengubah nasib kalian sendiri.” Thurqk dengan wajahnya yang garang menatap Sil lalu berbalik perlahan. Seolah ingin menunjukkan kuasanya pada kedua makhluk ciptaannya itu.
Terlihat jelas di mata Hvyt betapa Sil menatap jijik ke arah Dewanya. Ingin sekali ia cungkil bola mata itu. Namun ia tak mungkin melakukannya sekarang. Sang Dewa saja tidak marah, sebagai makhluk-Nya, apa hak Hvyt untuk marah?
“Sil, jangan sampai kau membuatku bosan kali ini. Tunjukkanlah sedikit antusiasmu padaku, niscaya aku akan memberikan apapun yang kau mau.”
Gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam dan membentuk sebuah kalimat kembali dengan Silia-nya, [Baiklah, jika itu yang kau mau.]
Bukan main terkejutnya Hvyt dengan kalimat itu. Ia tak menyangka bahwa Sil akan sebegitu mudahnya mengikuti kemauan Dewa-nya. Ia sempat melongo sebentar sebelum akhirnya mata sang Dewa tertangkap oleh sudut matanya.
“Dan kau Hvyt, Aku tidak menciptakanmu untuk berdiam diri seperti itu. Bawa dia ke pertarungan selanjutnya. K15.” Bersamaan dengan itu, sang Dewa menghilang beserta ikatan dan kursi yang diduduki Sil. Menyebabkan gadis itu jatuh terduduk ke tanah Jagatha.
“Baik, Dewa.” Hvyt menunduk sambil meletakkan tangannya di dada. Bentuk penghormatannya kepada sang Dewa.
Dengan sigap ia menarik tangan Sil ke arah sebuah lubang besar yang tercipta di dekat pohon Rachta. Lubang itu akan menjadi jalan menuju tempat pertarungan yang selanjutnya. Ruang K15.
Tepat di bibir lubang itu, Hvyt berhenti.
“Sil, dengar. Aturan pertarungan kali ini hanya satu. Bunuh lawanmu dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Hanya satu makhluk. Kau hanya harus membunuhnya. Setelah itu, kau bebas.”
Tepat setelah itu, sebelum Sil berkata apapun, ia mendorong tubuh Sil ke arah lubang hitam tersebut. Sil terjatuh tanpa teriakan dan tanpa perlawanan. Tidak berapa lama, lubang itu menutup kembali menjadi tanah merah Jagatha Vadhi. Meninggalkan Hvyt berdiri sendiri menunggu panggilan kemenangan dari SilentSilia, gadis tanpa mulut.
* * *
::[00 : 00 : 00]
Rasa sakit dari bokongnya kini mengirimkan sinyal menuju otak. Ya, ia terjatuh. Tepat di tengah sebuah ruangan gelap. Dinding kamar itu membentuk sebuah lingkaran besar yang jika Sil perkirakan mungkin berdiameter sekitar 10 meter.
Ia mencoba bangkit namun sekali lagi jatuh terduduk. Kakinya sangat sakit. Bagaimana tidak, ia terjatuh dengan kaki yang terlebih dahulu menghantam lantai. Ia sudah berusaha untuk mencari pegangan dengan silia-nya. Namun percuma. Lubang tadi seolah selalu menjauh ketika Silianya mendekat. Sepanjang apapun ia menjulurkan silianya, ia tetap tak menemukan apa-apa.
Bunyi ‘plop’ dari dinding di atasnya membuyarkan pikirannya. Sil menatap ke arah langit-langit ruangan untuk melihat apa yang terjadi. Dan wajahnya memucat segera. Lubang tempat ia datang telah menutup dengan sempurna seolah tak pernah ada lubang di sana.
Tadinya ia sempat berpikir untuk terbang jika memang keadaan mendesak. Namun sekarang? Ia tak tahu harus bagaimana. Lihatlah! Ruangan ini kecil. Gelap. Tak ada penerangan. Cahaya yang ada hanya cukup untuknya melihat diri sendiri dan melihat sekeliling ruangan.
Tak ada jendela ataupun pintu. Semuanya rapat. Hanya dinding berbentuk tabung yang rapat. Yang benar saja? Ia seperti di dalam sebuah kaleng raksasa sekarang. Ini adalah ruangan yang sama dengan ruangan tempat Carl menyekapnya.
Wajahnya memucat. Ketakutan mendekati dirinya. Teringat bagaimana ia dikurung di dalam ruangan itu selama berhari-hari. Pria yang ia kenal tak pernah menyakiti bahkan membuatnnya lapar, kali itu tak membiarkannya bahkan menyentuh setetes airpun.
Teringat pula di memorinya bagaimana akhirnya pria itu datang bersama seorang gadis dari Persona Plantae yang dengan menjijikkannya selalu melendot pada Carl. Bagaimana mereka memamerkan berbagai foto pose Persona Silium yang berhasil mereka bunuh.
Air matanya menetes mengingat betapa bejatnya Carl memperlakukan keluarganya. Ia ingat ketika satu-persatu foto yang dicetak di atas kertas daur ulang itu ditempelkan Carl pada dinding ruangan sambil sesekali tertawa. Menceritakan setiap proses yang dilakukannya pada korban di dalam foto tersebut. Meninggalkan Sil di dalam ruangan penuh dengan foto penyiksaan keluarganya.
Air matanya lebih deras lagi ketika mengingat foto balita-balita lucu yang dirobek mulutnya. Yang dipotong kakinya saat masih balita itu masih hidup lengkap dengan ekspresi kesakitannya. Yang dimasukkan ke mesin pemotong daging. Seketika tubuh Sil melemah. Ia tahu ruangan ini sengaja diciptakan oleh dewa biadab itu untuk menyiksanya.
Terdengar kembali suara Thurqk yang menggema di dalam otaknya di tengah isak tangisnya.
“Aku bisa lebih kejam dari itu Sil. Jika kau tidak memberikan tontonan yang menarik untukku.” Suara itu dengan perlahan menyusup ke hati Sil. Ketakutanpun terbentuk kembali.
Ia memucat. Sil menatap sekeliling mencari lawannya. Satu hal yang ia tahu. Ia harus segera membunuh lawannya. Jika tidak, ia akan terjebak oleh masa lalunya sendiri. Ia tahu, Thurqk sedang melakukan penyiksaan korban dengan mengembalikannya ke tempat yang paling ia ditakuti. Ia tahu itu, karena matanya melakukan hal yang sama.
“Kau takut? Sepertinya aku akan menang mudah kali ini.” Suara itu membuat Sil akhirnya menyadari bahwa lawannya berada tepat di belakangnya. Berada tepat di titik butanya. Sil berbalik dengan posisi siaga.
“Perkenalkan, aku Lucia Chellios. Siapakah namamu, Nona?” Terlihat oleh Sil wanita itu sedang menyender pada dinding di belakangnya dengan santai. Tangan bersedekap di dada dan salah satu telapak kakinya ikut bersender pada dinding belakangnya.
Sil mencoba menganalisa lawannya. Untuk memperkirakan apa yang harus ia lakukan untuk melawan gadis di hadapannya.
Pertama, gadis itu mengenakan topi detektif. Pertanda gadis itu juga sudah terbiasa menganalisa keadaan.
Kedua, pakaiannya yang sangat santai (kau tahu jaket olahraga dengan sebuah tank top putih dan celana jeans terlihat santai bukan?) membuktikan bahwa lawannya mungkin saja memiliki kemampuan lain. Mengingat dia membiarkan tubuhnya tidak terlindungi.
Dan terakhir, benda mirip tongkat yang tergantung di garis pinggang celananya terlihat sangat berbahaya. Warnanya tak dapat terlihat dengan baik dengan penerangan seperti ini. Namun, dilihat dari bentuknya yang kokoh, benda itu bisa jadi sangat berbahaya.
Tak ada yang lebih buruk dari ini, kan?
Dugaannya salah. Bunyi getar dari langit di atasnya membuatnya sadar ada bahaya lain yang mengancam. Dua buah benda panjang muncul tepat di tengah langit-langit. Menurun perlahan. Sil bergerak menepi ke arah dinding. Menghidar dari kedua pemancang tersebut.
Mereka terdiam menatap pemancang tersebut. Mata mereka saling bergerak mengawasi baik lawan maupun kedua pemancang. Tepat 30 cm dari tanah, pemancang itu berhenti. Membuat kedua pasang mata itu terpaku. Tubuh mereka menegang dengan sendirinya. Baik Sil maupun Lucia tahu bahwa dewa tak beradab itu punya kegilaan di luar batas akal.
Tak ada pergerakan apapun selama beberapa saat. Mereka hanya saling mengawasi. Menunggu apa yang terjadi dengan kedua tiang itu. Dari pengalaman mereka, tak ada satupun benda yang dimunculkan ke dalam pertarungan tanpa fungsi. Lihat saja di pertarungan sebelumnya, bagaimana seluruh benda di pulau tempat mereka bertarung berkomplot untuk membuat mereka lemah.
Tak butuh waktu lama untuk membuktikan bahwa dugaan mereka benar. Bunyi berdesing dari besi yang bergesekan dari ujung bawah pemancang tersebut membuat mereka paham, keadaan tak semudah yang mereka kira. Sil meralat analisanya segera. Ia bukan berada di dalam kaleng raksasa. Bukan! Ini adalah blender raksasa.
* * *
Lucia, si gadis pengguna baton itu menatap ngeri pada benda yang muncul di ujung pemancang. Wajahnya memucat. Teringat lagi olehnya kata-kata Thurqk sebelum ia diterbangkan oleh Hvyt ke ruangan ini.
“Lucia, kau bukan tandingannya. Maka dari itu, kuciptakan ruangan yang menguntungkanmu. Karena lawanmu kali ini, immortal. Ruangan itu akan menyiksanya dengan sangat perlahan. Sehingga ia akan tersiksa secara mental. Sakit selalu berhasil membuat makhlukku menyerah.”
“Memang siapa targetku kali ini?” Lucia mengatakan hal tersebut dengan mencoba menganggap bahwa Thurqk adalah kliennya.
“SilentSilia, gadis immortal tanpa mulut. Kau harus punya kekuatan lebih untuk melawannya.” Thurqk tertawa sebelum akhirnya meninggalkannya dan Hvyt untuk melanjutkan pertarungan.
Ini yang kau katakan keberuntungan, Thurqk? Cih... Aku lupa keberuntungan yang kau maksud adalah siksaan.
Ini jelas bukan keberuntungan di pihaknya. Tubuh gadis itu immortal. Lucia tidak, itu jelas merupakan keuntungan untuk Sil. Lucia petarung jarak dekat. Dengan adanya pemancang dengan benda tajam di tengahnya jelas bukan keuntungan untuk petarung jarak dekat bukan?
Tidak berapa lama benda itu bergerak perlahan dan berputar. Mengingatkan Lucia pada sebuah benda yang sering ia gunakan untuk membuat jus kesehatan. Blender. Di hadapannya Gadis berbaju hitam itu sudah terbang menghindar dari pisau tajam yang berputar itu.
Oh Thurqk. Kau merupakan pembual terhebat yang pernah ada di dunia. Dia bisa terbang dan kau ciptakan blender yang hanya berputar di bawah?!
Lucia merapat ke dinding yang bulat untuk melindungi dirinya dari putaran pemancang. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia merasa sangat bodoh telah mempercayai dewa tak punya perikemanusiaan itu.
“Hei, Sil! Kau ingin menyelamatkan diri sendiri, huh?” Lucia berjalan seperti cicak merayap mendekati Sil, ingin cepat menyelesaikan misi kali ini. Seperti sehati, Sil juga terbang ke arahnya.
* * *
::[00 : 15 : 00]
Sil tahu, ini bukan saatnya lagi untuk berlama-lama di ruangan ini. Kalimat Thurqk yang berhasil mengelabui Lucia dan membuat gadis itu meremehkannya mentah-mentah tadi membuatnya sadar. Thurqk bisa lebih gila darinya saat melemahkan mental makhluk ciptaan-Nya.
Di bawah sana Lucia berjalan medekatinya searah dengan putaran blender yang perlahan. Sejak beberapa detik yang lalu, benda tajam di bawah sana sudah mulai berputar-putar seperti membentuk kurva angka delapan.
Iapun sama, terbang mendekati Lucia. Ia setuju dengan pemikiran Lucia. Ini harus segera diakhiri. Entah siapapun nanti yang akan keluar sebagai pemenang. Karena hidup mereka kini tergantung dengan seberapa cepat mereka bergerak.
Wajah Lucia yang semakin memucat membuat Sil paham, gadis di bawah sana sedang menetralisir rasa takutnya yang membesar. Sama seperti Sil. Ia bertahan tidak menggunakan silianya demi memperkecil kemungkinan yang dapat membuatnya terjerat. Meski akhirnya malah membuat Lucia semakin merasa ngeri dengan keadaannya.
“Hai pengecut! Kau tidak berani melawanku, hah?” Ucap gadis itu sambil sesekali melompat menghindar dari bilah pisau blender.
<Apa yang dipikirkan gadis ini?> Suara hati Lucia terdengar jelas di pikiran Sil.
Sil bingung. Kalau keadaan seperti ini terus, baik ia maupun Lucia tak akan mungkin berhasil. Tak akan ada yang menang dalam pertarungan ini. Dengan perlahan ia menyentakkan kakinya yang terluka ke udara. Rasa sakit menjalar kembali ke otaknya. Iapun terbang menuju Lucia.
Sil mengarahkan silianya ke tubuh lawan sambil berusaha menghindar dari putaran bilah pisar. Sementara Lucia sudah menyiapkan batonnya untuk menyerang. Tepat ketika silia Sil tingga beberapa senti lagi mengenai Lucia, ketakutannya menjadi nyata. Putaran blender itu tiba-tiba berubah menjadi lebih kencang secara mendatar. Saat itu, hanya satu hal yang diinginkan Sil. Membunuh Thurqk.
* * *
[00 : 20 : 00]
Lucia segera berbaring di celah tiga puluh sentimeter antara lantai dengan pisau blender begitu melihat putaran pisau itu semakin kencang. Di atasnya, gadis tanpa mulut itu telah berputar-putar dengan wajah meringis menahan sakit.
Rambutnya terbelit di antara bilah pisau. Urat-urat rambutnya keluar. Mata gadis itu terpejam kencang. Air matanya menetes mengenai wajah Lucia. Kakinya, tergiling perlahan, walaupun tidak hancur. Sekarang mengertilah Lucia keberuntungan yang Thurqk maksud.
Kau terjebak di dalam blender raksasa dan tergiling hidup-hidup. Tubuhmu tak bisa hancur. Bisa kau bayangkan betapa sakitnya itu? Lihatlah, kaki Sil yang berkali-kali harus tergerus setiap pisau-pisau itu menyentuhnya.
Belum lagi rambutnya yang sepertinya tak juga dapat putus dan semakin tertarik keluar. Sakit. Kau coba memanjangkannya dan hanya berakhir dengan semakin terbelit. Manusia biasa sepertinya tentu sudah jadi bubur daging jika mengalami siksaan seperti Sil. Namun itu tak menyakitkan, toh kau langsung mati setelahnya. Sementara Sil?
Lucia gemetar membayangkan rasa sakit yang harus diterima oleh Sil. Ia tak bergerak. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Pemandangan mengerikan ditambah dengan ekspresi Sil yang menahan kesakitan luar biasa membuat Lucia hanya bisa memejamkan mata.
Walaupun begitu, tak hanya Sil yang mengalami siksaan mental. Luciapun tak lepas dari siksaan tersebut. Bagaimana perasaanmu melihat manusia lain yang tersiksa? Bukan kasihan. Takut. Itu setidaknya yang Lucia rasakan saat ini. Ketakutan yang sangat mencekat lehernya.
Ia teringat kembali pada saat itu. Saat di mana ia menatap tubuh-tubuh kecil itu harus bergelimangan darah. Daging manusia yang berserakan di mana-mana. Jeritan. Tawa mengerikan.
“Aahhh.... ” Lucia meneriakkan ketakutannya yang menggema di ruangan kecil itu. Gadis yang terjebak di hadapannya itu tidak dapat teriak. Ia hanya meringis. Menagis. Tidak ada sedikitpun suara yang keluar. Membuat batin Lucia semakin merasa berat.
“Tidak.. tidak.. bukan salahku...” Lucia menangis menatap wajah polos nan merona yang berputar-putar seiring bilah pisau blender tersebut. Teringat olehnya kembali seorang bocah yang baru bangun tidur, tersenyum menatap padanya. Lalu pada detik berikutnya, senyuman itu berubah menjadi gelimang darah dan tumpukan daging yang berterbangan.
“Ahhh... tolong hentikan itu! Thurqk, hentikan semua ini! Aku sudah tak kuat.” Isak tangis mewarnai suaranya yang tercekat. Gaung suara memantulkan kembali suara isak tangis dan teriakannya. Ditutupnya mata demi melindungi diri dari melihat pemandangan siksa yang mengerikan di hadapannya.
Bersamaan dengan itu, keinginannya terwujud. Semuanya, berakhir. Semuanya... telah... berakhir.
* * *
:: [00 : 05 : 00]
Gadis itu membuka matanya perlahan. Wajahnya masih basah oleh air mata. Dilihatnya tumpukan daging halus di tengah blender yang sudah berhenti. Terdapat daging berbentuk kaki yang tersisa dari tubuh seorang makhluk. Warna merah tumpukan daging cincang itu menyatu dengan kegelapan suasana di sekelilingnya. Memperlihatkan sisa-sisa kengerian yang dialami oleh sang pemilik daging.
Lurus dengan itu, sebuah pintu telah terbuka. Menampakkan sosok yang sangat ia kenali. Hvyt. Sosok pengantar dan penjemputnya selama tiga pertarungan. Ia mencoba merubah arah kepalanya. Sakit. Rambutnya masih terjerat dengan indah pada bagian tengah blender tersebut.
Setiap pergerakan yang ia lakukan menambah deritanya. Ia sudah tak lagi dapat merasakan ujung kakinya. Tangannya juga sudah terasa layu. Beruntung ia memiliki tubuh yang tak dapat dilukai. Tidak beruntung ia memiliki tubuh yang mudah tersakiti. Samar-samar ia mengingat apa yang terjadi.
Lucia berteriak dan memohon kepada Thurqk untuk menghentikan semuanya. Ia ingat, bagaimana akhirnya gadis itu menutup wajahnya sesaat sebelum kakinya terjerat oleh Silia milik Sil yang tergantung bebas. Teriakan menyayat dari Lucia mengiringi terhentinya siksaan yang Sil alami.
“Selamat Nona Silia. Dewa pasti sangat bahagia menyaksikan semua penyiksaan ini.” Ujar Hvyt ketika sampai pada tempat Sil terjerat. Gadis itu tak mampu melepaskan dirinya dari jeratan seorang diri. Bahkan ia tak sanggup untuk membalas kalimat tak berhati dari Hvyt barusan.
Tubuhnya terasa sakit. Hvyt melepaskan satu-persatu silia yang terjerat pada bilah pisau itu. Setiap pergerakan Hvyt membuatnya merasa sangat menderita. Ia bahkan lebih menderita daripada saat ia disekap oleh Carl dahulu.
“Aku tahu kau merasa sangat kesakitan sekarang. Tapi aku punya kabar gembira untukmu, tidak ada satupun rasa sakit yang tak dapat disembuhkan oleh Dewa Thurqk. Ia menciptakan sakit, ia juga yang menciptakan penawarnya.”
Sil sudah tak dapat lagi menggerakkan silianya untuk membalas perkataan Hvyt. Yang ia paham hanya satu hal, rasa sakit ini, suatu hari, ia akan membalasnya. Ia bersumpah demi seluruh ilmu pengetahuan yang berhasil membuatnya ada, ia akan mengungkapkan siapa sebenarnya Thurqk dan apa tujuannya. Seperti ia bersumpah, akan mengungkapkan cerita dibalik kepunahan ras Persona Silium.
Kebencian ini, suatu hari akan terbalaskan. Kau Thurqk bukanlah dewa. Kau bukanlah dewa.
Dan si gadis bersiliapun tak lagi menemukan kesadarannya.
* * *
Dibandingkan entry Lucia, ane mendapati narasi entry SIl ini lebih enak dipahami. Tempo alurnya pas. Antara narasi saat ini dan narasi yang menceritakan masa lalu juga jelas.
ReplyDeleteTapi minusnya, ane berasa lagi nonton film SAW (pernah nonton ngga?), di mana dua orang dimasukin ke satu ruangan, disiksa, trus liat siapa yang mati duluan. Bedanya di SAW kadang orangnya harus saling melakukan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya, tapi di sini ane ngerasa dua-duanya ga ngapa-ngapain, cuma saling lihat dan nunggu siapa yang mati duluan.
Jadi akhirnya itu, Lucia mati kena blender atau dibunuh Sil?
Nilainya ane post di bawah.
Nilai 6,3, lebih banyak 0,3 dari Lucia, karena meski dari segi pertarungannya kurang berasa tapi narasinya lebih enak dibaca.
Deletebuahahahah...
DeleteUmi emang membayangkan per adegannya itu kayak film SAW. Dan emang, Pergolakan bathin yang membuat mereka ga bisa ngapa-ngapain.
Dan yah, for the sake of canon, gomen, Umi belum nunjukkin batle di sini.
jujur, endingnya itu nulisnya buru-buru. Makanya jadi begitu, pengennya sih nekenin pergolakan batin karena emang Sil ini mainannya psikologi.
Itu Lucia matinya bukan karena Sil, Karena blender. Tapi dia kejerat Silianya Sil yang nyulur sampe bawah tanpa disadari Sil. Ketarik terus kegiling. *orz
Karena panitia ga nulis, wajib ngebunuh. ya Umi pake aja si blender yang ngebunuh >.<
dan terima kasih udah baca :D
Po:
ReplyDeleteWah Mbak Umroh. Agak bingung jg sama R3 Sil. Plusnya emang kanon Sil yaitu masa lalunya tergali dgn cukup, meski narasinya kadang lebih ke kehidupan anak muda sehari2 yg mgkn gak tlalu cocok dgn Sil.
Tentang rasa sakit Sil jg dieksplor melalui blender. Cuma aja ada yg aneh yaitu emgnya titik lemah Sil di perut gak bakal keungkap kalo masuk blender gt?
Dan sayangnya nih, di R3 ini Sil nggak ngapa2in utk menang. Pergolakaan batin dan interaksi lawan jg nggak kuat. Lucia jg yg tukang gebuk yah ttp gak ngapa2in.
Jadi maaf bgt, nilai dariku 6,5. (Kurang 1,2 dari Lucia). Mdh2n ke dpnnya lebih bagus lg ngeeksplor mulai dari karakter sendiri. Smangat.
Ceritanya kan Sil hidup di bumi masa depan, jadi tentang narasi yang bikin dia seolah hidup layaknya manusia biasa Umi mudah-mudahan ga akan rubah >.< #ngeles
Deletenah itu, Umi lupa... Umi lupa banget kalo itu bajunya ga immortal kayak tubuhnya >/////< Umi lupa banget.. Maafin Umi bagian itu.
soal ga ngapa-ngapain untuk menang *orz... gomene om po... ini for the sake of canon.
dan nilai, ga masalah >.< Nilai nomor 2, belajar nomor satu >.< pilih presiden nomor 0 #plak
Sil si anak emas Thurqk, dikasih home advantage lagi #plak
ReplyDeleteNyaris bisa dibilang ga ada battle yang dieksplor di sini. Cuma mainan situasi ruang aja. Sil ga ada interogasi memori, Lucia ga ada usaha buat bertahan juga. Saya rada bingung, kenapa akhirannya malah menit kelima? Itu typo kah? Terus, Sil menang cuma karena dia immortal?
Padahal kayanya lumayan kalo penulis masukin sesuatu di luar battle yang sekiranya bisa ngasih insight tentang Sil, paling ngga nambal kurangnya adegan aksi di entri ini. Meski overall bisa dibilang, saya lebih menikmati ini ketimbang entri lawan murni karena narasinya
Shared score dari impression K-15 : 6,2
Polarization -/+ 0,2
Karena saya lebih suka entri Sil, jadi entri ini saya kasih +0,2
Final score : 6,4
oAo Itu typo waktu emang nyebelin banget..
DeleteAwalnya Umi buatnya menurun dari 30->0, terus entah kenapa rasanya ga singkron karena mau masukin adegan awalan ketemu thuruk.. jadi di edit, dan FAIL >:( :|
btw, makasih kak Sam udah bacaaa >.<
dih, pertarungannya serem banget, padahal gak ada adegan berantem tapi malah bikin saya lebih merinding daripada entry lainnya, bener2 serem dan nakutin...
ReplyDeletenarasinya seperti biasa padat, tapi gak masalah soalnya ceritanya sendiri gak begitu panjang, 5 menit aja udah abis dibaca soalnya... dan seperti kata Sam, mungkin itu typo ya di akhir waktunya malah jadi 05:00 padahal harusnya 25:00
nilai 7/10 karena walaupun merinding tapi gak ada pertarungannya, dan Lucia juga ngenes amat mati tanpa ada perlawanan.
hiks :'( iya itu typo... dan itu typo paling ngenes daripada typo kata. >:(
DeleteMakasih kak Riz-chan >.<
akhirnya bisa baca Entri Sil setelah R2:D
ReplyDeleteJujur sih, gw ngerasa entri ini sedikit lebih menggugah dibanding R2 kemaren. detilnya lebih bagus dan rasanya ada pergolakan batin.
Ending matinya si Lucia IMO bagus. Tapi sayang ah, keknya kurang nampol kalo ga kena ilusi Sil dlu baru teriak2 gitu. ibarat kata biar ada Amplifikasi dari trauma masa lalu Lucia.
di Entri ini, Sil juga lebih keliatan punya gestur dan emosi dibanding sebelumnya. good job Um :3
nilai: 8
Agak mirip sama R2 Kilat, pembagian partnya pake timestamp.. Mirip R2 Kilat juga pas part yang rada krusial timestampnya salah tulis.. #ketawagaringingetblundersendiri
ReplyDeleteKalo dibanding sama Lucia, narasinya jauh lebih enak diikutin.. Sedangkan minus terbesarnya, battlenya hampir nggak ngapa-ngapain.. Oke ngeliat orang tersiksa dengan indah, daging tersayat, organ berceceran dan sejenisnya memang menyenangkan.. Tapi dari segi cerita canon Sil ini justru monoton banget karena terasa kek cuman muasin hasrat penulis buat nulis gore tanpa ngasih kejadian / adegan apa apa lagi ke pembaca..
Satu poin di atas Lucia karena narasinya yang enak..
6/10
Okay...
ReplyDeleteMeski ini lebih bagus dari sisi penulisan entry lawannya, Sil bener-bener ga ngapa-ngapain ke lawannya. Lucia mati sendiri... I don't like that. Well, setidaknya ada sedikit usaha, walau akhirnya malah nyelakain diri sendiri (like an airhead).
Score 8,5
:*
ReplyDelete