Demi hidup
Harus ada yang mati…
I
Pertarungan melawan bayangan Collete telah lama usai. Kini Stallza kembali memasuki lorong gelap yang tampak tak berujung. Dia bisa saja memakai Neona untuk menerangi lorong itu—kalau saja energinya tidak terkuras habis dalam pertarungan sebelumnya. Stallza kini mengandalkan indera perabanya untuk mengetahui jalan yang dia lalui. Tangan kiri yang menempel ke tembok yang kasar memberikan informasi bahwa lorong ini tidak bercabang sama sekali. Atau setidaknya itulah yang bisa dipahami Stallza di tengah kegelapan lorong itu. Langkah kakinya bergema, memberikan Stallza informasi bahwa lorong itu cukup luas. Namun Stallza tidak tahu apakah di dalam luasnya lorong itu ada jebakan atau musuh yang menunggunya. Stallza hanya berharap si makhluk merah bernama Thurqk itu tidak menyerangnya tiba-tiba di sini.
"Meski aku tidak yakin itu terjadi," bisik Stallza pada dirinya sendiri. Suara bisikannya bergema. Stallza menduga akan ada suara lain menanggapi bisikannya—entah suara gemerisik kecil atau mungkin geraman atau bahkan suara seseorang yang berbicara balik padanya. Tapi itu semua tidak terjadi. Dia sendirian di dalam lorong gelap itu, ditemani dinding kasar dan suara kaki yang bergema.
Kesendirian bisa membunuh. Stallza tahu itu. Beberapa kali dia melihat temannya yang pada akhirnya bunuh diri karena dikurung berbulan-bulan dalam tawanan musuh. Ada pula prajurit-prajurit musuh yang bunuh diri ketika mereka terjebak dalam labirin istana saat mereka ingin menyusup ke dalam istana yang dijaga Stallza. Mereka semua memilih mati karena kesendirian dan kesepian menjadikan manusia gila. Stallza mungkin juga akan menjadi gila seandainya dia tidak menyibukkan pikirannya dalam keadaan seperti itu—dan juga dalam keadaan yang dialaminya saat ini. Dan salah satu yang selalu ampuh membuatnya sibuk berpikir adalah sosok sang putri.
"Lan …."
Satu nama yang selalu memberikannya semangat. Semasa masih di Ventinis, Putri Lan merupakan mercusuarnya. Sang putri bagaikan harapan akan hari-hari yang damai. Melihat senyum dan keceriaannya yang sangat jauh berbeda dengan para bangsawan lain selalu membuatnya senang. Dan kini mercusuar itu direbut oleh si makhluk merah bernama Thurqk.
Tanpa sadar Stallza mengepalkan tangan kirinya. "Kau salah besar, Thurqk," katanya geram. "Tunggu sampai aku menghabisimu sendiri!" Gelora amarah dan semangat membakar jiwa Stallza. Bagaikan kapal yang berlayar mendekati pantai dengan bimbingan mercusuar, Stallza berjalan semakin cepat menyusuri lorong itu.
~~~
II
Lorong yang dijalani Stallza berujung pada sebuah ruangan berukuran sangat besar. Seluruh sisinya berwarna merah—merah gelap maupun merah terang, sesuai selera buruk si pemilik dunia. Di dalam ruangan itu telah ada 'panitia penyambutan' yang segera 'menyambut' sang pahlawan dari pulau Ryax. Tangan dan kaki Stallza dipegangi oleh beberapa hvyt—para anggota 'panitia penyambutan' Stallza—sementara beberapa hvyt lain menghantam seluruh sendi di tubuhnya. Para hvyt itu bahkan tidak memberikan kesempatan Stallza untuk melawan. Satu hvyt merebut tas pinggang Stallza, sementara yang lain membungkam mulutnya.
Stallza mencoba memberontak dari para hvyt yang menahannya. Sisik Forneus berwujud di tubuhnya, namun para hvyt terus menyerang sendi-sendi Stallza dengan pisau. Dahulu Stallza mengalahkan Forneus dengan menyerang persendiannya yang tidak terlindung sisik, kali ini kelemahan Forneus itu menjadi kelemahannya juga. Darah mengucur dari tubuh Stallza, membuat matanya menjadi kabur. Pada akhirnya Stallza berhenti memberontak. Kesadarannya kembali lenyap.
~~~
"Apa kita harus selalu melakukan ini di setiap babak? Memukulinya hingga pingsan sebelum menggotongnya seperti ini?" tanya seorang hvyt dengan simbol lidah api di bagian perutnya. Dia menggotong Stallza sementara terbang. Temannya, seorang hvyt lain dengan simbol api di bagian dada kiri, tampak tidak peduli atau ingin menolongnya.
"Apa kau ingin membantah perintah Yang Mulia Thurqk ?" balas hvyt dengan simbol api di dada kiri.
Hvyt dengan simbol lidah api di perut menghela napas panjang. "Tapi membawa peserta ini adalah pekerjaan yang berat," dia melirik ke temannya yang terbang tak jauh di depannya, "apalagi kalau cuma aku saja yang membawanya."
Hvyt dengan simbol api di dadanya menoleh ke belakang. "Dia tidak seberat itu, kan?"
"Kalau begitu coba saja," hvyt yang menggotong Stallza melemparkan tubuh pria itu ke depan. Dengan panik hvyt dengan simbol lidah api di dadanya menangkap Stallza.
"Hei! Kau tahu peraturannya! Jangan biarkan peserta mati sebelum tiba di tempat pertandingan!" seru hvyt dengan simbol lidah api di dada.
"Terserah," kata hvyt dengan simbol api di perut. "Toh para peserta ini tidak lebih dari boneka mainan Yang Mulia Thurqk. Mereka tidak nyata." Dia mengepakkan sayapnya, melaju lebih di depan temannya.
"Setidaknya kita tidak ditugasi untuk membawanya masuk ke labirin," kata hvyt dengan simbol lidah api di dada. "Hvyt yang membawanya saat itu mati ditebas hanya dengan dua gerakan."
"Dan saat kita membawanya ke Khramanaka dia malah keluar dari sana sambil menghancurkan Menara Penyesalan. Siapa yang tahu apa yang akan dilakukannya pada kita," kata hvyt dengan simbol lidah api di perut.
"Dan kalau kita tidak membawanya, kita akan dibakar Yang Mulia Thurqk. Apa kau mau itu?"
Hvyt dengan simbol lidah api di perut terdiam sejenak. "Bawa saja peserta itu," katanya. "Aku malas kalau hanya aku yang bekerja," lanjutnya sambil mengepakkan sayap sekeras-kerasnya.
"Hei! Kau menyuruhku membawa peserta menyusahkan ini sendirian?!" seru hvyt dengan simbol api di dada. Hvyt temannya telah terbang jauh, tak mendengarkan pertanyaannya sama sekali. Hvyt dengan simbol api di dadanya menghela napas panjang. Sempat terbersit keinginan untuk menjatuhkan peserta yang dibawanya. Melihat peserta yang dibawanya menghantam pepohonan di hutan mungkin akan menghibur. Tetapi kengerian yang dilihatnya saat sang dewa marah membuatnya bergidik dan membuang jauh-jauh pikiran itu. Dia mengepakkan sayapnya kuat-kuat dan melaju lebih cepat, mengejar bayangan temannya yang sudah mulai tak terlihat.
~~~
III
Stallza menggigil hebat karena dingin. Paru-parunya menarik udara sebanyak-banyaknya sebelum dikeluarkan dalam bentuk batuk. Berkat itu semua kesadarannya kembali. Badannya terlalu lemah untuk bergerak, tetapi dia sadar bahwa tangannya tergantung ke atas dengan rantai besi dan badannya terendam hingga seleher.
Tubuh Stallza tampaknya telah menahan dingin sangat lama di dalam penjara air ini, tanpa pakaian yang menutupi bagian atas tubuhnya. Badannya sakit dan nyeri saat air dingin di sekitarnya bergerak dan membelai luka-luka di punggung dan sendi-sendinya. Air garam, pikir Stallza.
Stallza mengerjap beberapa kali, berusaha untuk lebih terbiasa dengan lingkungan barunya. Rantai besi yang membuat kedua tangannya tergantung nyaris menyentuh langit-langit yang pendek tampak belum berkarat sama sekali. Sepertinya kedua rantai itu sengaja disiapkan untuknya. Stallza mencoba menggerakkan kakinya. Tidak ada pijakan sama sekali, tetapi Stallza mengetahui kalau dinding di belakang dan depannya masing-masing hanya berjarak satu kaki dari tubuhnya. Demikian pula dinding kiri dan kanannya. Terdapat lubang yang cukup luas yang terletak di dinding depan untuk bernapas dan memberikan sedikit cahaya temaram untuk menerangi lubang tahanan Stallza.
Stallza tidak merasakan para sipiritianya sama sekali. Itu berarti mereka juga diambil oleh si makhluk merah. Itu berarti dia tidak punya kesempatan untuk bertahan di dunia serbamerah ini.
Kesadaran Stallza kembali menghilang. Matanya menjadi berat. Dia memutuskan untuk menyerah pada dingin yang menyelimutinya dan mati untuk selamanya. Namun sebelum itu sempat terjadi, sebuah guncangan keras pada rantai yang menggantung Stallza membuatnya tersadar.
Stallza menengadah dengan lemah. Dari lubang di depannya Stallza melihat sepasang lengan kekar meremas rantai yang menahan tubuhnya. Suara otot-otot yang menegang dan logam yang retak bersatu. Dan tak lama setelahnya kedua rantai itu pun putus. Tubuh Stallza tidak terjatuh ke dalam lubang yang tidak berdasar. Kedua lengan kekar itu masih memegang rantai yang menahan Stallza. Dengan kekuatan yang melampaui manusia biasa kedua tangan itu menarik tubuh Stallza tanpa kesusahan. Beberapa detik kemudian Stallza telah berada di luar lubang itu.
"Anda tampak kacau sekali, tuan Stallza," kata sebuah suara pria di atas tubuh Stallza yang tertelungkup. Suaranya tidak terlalu dalam dan berat, namun juga tidak terdengar nyaring. Stallza tidak pernah ingat punya spiritia yang bersuara seperti itu.
"Siapa… kau…?" tanya Stallza lemah.
Kedua lengan yang menolong Stallza membantu pria itu untuk telentang. Dalam cahaya temaram, Stallza kini bisa melihat sosok pria yang menyelamatkan dirinya. Usianya sekitar tiga puluhan, dengan rambut panjang berwarna hitam bergelombang sepundak. Wajah pria itu persegi dengan kulit kecokelatan gelap. pria itu tersenyum ramah. "Ini pertama kalinya kita bertemu dalam wujudku seperti ini," katanya. Pria itu mengulurkan tangannya pada Stallza dan membantunya bangun. "Namaku Forneus. Terima kasih telah membebaskanku dari pengaruh Thurqk."
~~~
Butuh waktu lama untuk Stallza mengolah informasi yang baru saja dia terima. Dalam ingatannya yang masih segar, nama Forneus adalah milik seekor monster raksasa yang dia kalahkan dalam lorong sebelum bertemu Nolan. Dalam ingatannya itu juga dia telah berhasil membunuh monster itu. Namun kini ada seorang pria yang mengaku kalau namanya adalah Forneus.
Stallza tertawa miris. "Sekarang pertunjukan picisan apa lagi yang dimainkan si merah? Setelah merendamku hingga nyaris mati kedua kalinya, kini dia mengirimkan boneka untuk membunuhku. Sungguh lemah dan pengecut sekali si merah itu," kata Stallza sinis.
"Aku setuju dengan perkataan Anda, tuan Stallza," kata pria bernama Forneus itu.
Stallza mendelik. Dia melihat sosok pria itu dari atas dan bawah. Pria itu memakai sebuah pakaian unik berwarna merah, mirip dengan pakaian bangsawan di dunia asal Stallza—panjang hingga nyaris menyentuh lantai dengan sulaman pita emas di lengan dan sisi-sisi bajunya.
"Jadi sekarang si merah mengirim anak buahnya yang bisa menyamar dengan baik," kata Stallza.
Kening Forneus berkerut. "Apa maksud Anda?"
"Forneus yang kutahu sudah mati dan terserap ke tubuhku. Lalu kau menyebut dirimu sebagai Forneus?" balas Stallza.
Mendengar itu Forneus tertawa. "Apa yang lucu?" tanya Stallza tegas. Tenaganya kembali pulih dengan cepat begitu keluar dari dalam lubang.
"Seperti yang saya katakan tadi. Ini adalah pertemuan kita dalam wujud ini. Memang benar, dulu kita pernah bertemu dalam wujud monsterku. Tapi wujud asliku adalah yang saat ini Anda lihat, tuan Stallza," jelas Forneus.
"Aku tidak bisa percaya. Coba lagi," kata Stallza.
Forneus menghela napas. "Baiklah, akan kujelaskan lebih detail. Aku berasal dari sebuah dunia lain. Di sana aku memiliki pasukan yang besar. Suatu waktu seseorang berwarna merah datang bersama pasukannya dan berhasil mengurungku ke dalam kristal. Seluruh pasukanku pun dikurung seperti diriku. Selama dalam kristal aku tidak ingat apa-apa. Saat aku sadar, aku telah berhadapan denganmu dalam wujud penjagaku. Dalam bentuk itu aku hanya punya satu tujuan, melindungi siapapun yang memanggilku. Aku menggila, menyerang siapapun di depanku. Namun Anda berhasil mengalahkan wujudku saat itu sehingga aku lepas dari pengaruh Thurqk. Sebagai rasa terima kasih, aku memberikan setengah kemampuanku pada Anda," jelas Forneus.
"Kupikir itu karena kehendak si merah," kata Stallza.
Forneus tertawa. "Saat aku kalah, Thurqk tidak lagi berkuasa terhadap diriku. Kristal yang mengurungku sudah hancur, dan aku bebas melakukan apapun. Dia hanya melakukan sandiwara, seolah dialah yang mengirim kekuatan sisik pelindungku pada Anda," kata Forneus.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Stallza penuh curiga.
"Menolong Anda untuk membalas si merah Thurqk. Seandainya aku punya waktu, aku sendiri yang akan membunuhnya. Akan kubanjiri dunianya ini dengan darahnya dan menyebarkan serpihan dagingnya ke segala penjuru dunia ini. Tapi sayangnya aku harus kembali ke duniaku secepatnya sebelum pintu antardunia menuju duniaku tertutup. Jadi dengan memberikan kekuatanku sepenuhnya, aku juga ingin Anda membalaskan bagianku juga. Setuju?"
"Apa untungnya untukku?" tanya Stallza lagi.
Forneus terdiam sejenak. "Kurasa Anda tidak punya pilihan lain selain percaya padaku sekarang. Spiritia Anda saat ini tidak di sini. Sebaiknya Anda punya kekuatan untuk melawan. Jika Anda setuju, maka kekuatan sisik pelindungku akan sepenuhnya milik Anda. Tidak akan ada lagi batasan seperti sendi yang terbuka. Juga kekuatan fisikku akan Anda miliki," jawab Forneus.
"Apa bisa kau memisahkan kedua wujud itu? Bukankah kekuatan itu bagian dari dirimu juga?"
"Aku berhak menganugerahkan kekuatanku kepada siapapun yang kukehendaki. Dan meski aku memberikan kekuatanku pada ribuan orang, aku tidak akan kehabisan sama sekali. Anda tidak perlu khawatir," kata Forneus. Dia mengamati Stallza sejenak. Keraguan di mata pria itu mulai menghilang. "Jadi, apa kita sepakat?" tanyanya sambil mengulurkan tangan pada Stallza.
Stallza menyambut uluran tangan Forneus. "Aku tidak punya pilihan lain," kata Stallza. Dia meraih uluran tangan Forneus.
"Bagus. Dengan ini, aku, Forneus, memberikan kekuatan pada Stallza. Tidak akan ada apapun yang bisa menembus kulitmu. Tidak akan ada pukulan, tusukan, atua tebasan yang akan melukaimu selama berada di dunia ini," kata Forneus. Tubuhnya bersinar, disusul tubuh Stallza yang juga bersinar. Ruangan di sekitar mereka dipenuhi cahaya terang menyilaukan untuk sesaat. Dan saat cahaya terang menyilaukan itu meredup, Stallza sudah tidak melihat sosok Forneus.
IV
Thurqk tampak menikmati hasil kerjanya. Dari atas sebuah balkon tinggi dia melihat arena yang dia buat secara khusus untuk pertandingan berikutnya. Sambil bersandar di kursi berlapis kulit sang dewa merah mengangkat gelas anggurnya dan menyesap isinya secara perlahan.
"Bagaimana dengan semua ruangan itu? Apa semuanya sudah terhubung?" tanya Thurqk. Si dewa merah menggoyang gelas anggurnya dengan anggun, membuat cairan di dalamnya berputar dengan lembut.
"Kami telah menghubungkan semuanya. Jaringan di pulau Ryax yang juga sempat hancur telah selesai diperbaiki. Nolan benar-benar membantu kami di saat-saat terakhir," jawab seorang hvyt di belakang si dewa merah.
Thurqk tersenyum. Dia menghirup aroma anggur di gelasnya sebelum menenggak habis isi gelas itu. "Bagus! Kalau begitu tunggu apa lagi?" Si dewa merah menjentikkan jari. Sesaat kemudian beberapa hvyt muncul sambil membawa seseorang yang terikat di tiang.
Thurqk berdiri dari kursinya dan berbalik. Dia tersenyum puas melihat sosok yang terikat di tiang itu. "Nolan! Baik sekali kau mau mengunjungi teman baikmu ini," katanya sambil membentangkan tangannya.
Nolan tidak menjawab. Seluruh tubuh pria berkacamata itu dililiti kain aneh berwarna merah yang senantiasa mengeluarkan cairan kental seperti darah. Hanya matanya yang tampak. Tetapi tidak dibutuhkan mulut untuk meneriakkan kebencian Nolan. Matanya yang nyalang seakan ingin melompat dari tempatnya dan menyerang si dewa merah.
"Ah, kawan. Seandainya kau ingin sedikit saja patuh padaku, kau tidak akan seperti ini," kata Thurqk. Si dewa merah berjalan perlahan ke belakang Nolan. Dengan perlahan pula dia menusukkan kukunya ke punggung Nolan. Pria berkacamata itu menjerit sesaat setelah kuku itu menembus kain aneh yang meliliti tubuhnya.
"Ah, aku lupa. Kain ini adalah pengganti kulitmu sekarang. Jika ditusuk sedikit saja, darahmu akan memancar seperti ini," kata Thurqk dengan intonasi seolah dia iba. Namun sesaat kemudian si dewa merah malah menusukkan kukunya lebih dalam lagi. "Jangankan tertusuk sesuatu. Jika kain ini tergesek saat kau bergerak pasti terasa sangat sakit, bukan? Apa kau menikmati setiap rasa sakit itu? Jangan khawatir, temanku. Kau tidak akan mati karena kehabisan darah. Kain ini akan menyerap semua darah yang keluar dari tubuhmu dan mengembalikannya ke dalam dirimu," kata Thurqk. Napasnya memburu. Menyiksa Nolan memberikan sensasi luar biasa menyenangkan untuk si dewa merah. Mendengarkan teriakan tertahan dari pria berkacamata itu membuatnya puas. Namun si dewa merah tiba-tiba mengakhiri siksaannya dan kembali ke kursinya.
"Delapan peserta yang tersisa pasti bisa memberikan hiburan yang lebih menarik lagi. Jangan cepat puas," kata Thurqk pada dirinya sendiri.
"Mengenai itu…"
Thurqk baru saja akan kembali mengisi gelas anggurnya saat mendengarkan seorang hvyt di belakangnya. Si dewa merah tahu betul nada bicara seperti itu. "Ada masalah apa, hambaku?" tanya Thurqk. Tangannya menggenggam gelas anggurnya dengan keras.
"Maafkan kami, Yang Mulia. Tapi… tampaknya peserta bernama Yvika berhasil kabur dari dunia ini," kata hvyt.
Thurqk sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Berkat kekacauan yang dibuat Nolan pada saat membuat arena pertandingan ilegal di babak sebelumnya, seluruh sistem dunianya menjadi kacau. Tidak aneh kalau ada satu atau dua anomali terjadi. Termasuk invasi ataupun penyusupan.
"Jadi maksudmu dunia sempurna ini disusupi musuh?" Thurqk bangkit perlahan dari kursinya. Gelas di tangannya mulai retak. Hvyt di belakang si dewa merah mulai gemetar ketakutan.
"Maafkan kami, Yang Mulia. Tetapi mereka memakai kekuatan yang tidak pernah kami kenal sebelumnya. Kami berusaha untuk menghalau mereka, tapi—" Perkataan hvyt itu tidak selesai diucapkan. Tubuhnya seketika didorong jatuh dari balkon oleh dewa yang dijunjungnya. Hvyt itu hendak mengembangkan sayapnya, namun dia tidak merasakan bagian tubuhnya itu. Hvyt itu menoleh ke belakang dan melihat bahwa sayapnya telah hilang. Sang dewa sembahannya telah mengambil sayapnya itu.
Arena di bawah balkon tempat Thurqk berada merupakan sisa-sisa istana yang telah dibuang si dewa merah karena bosan. Dia merombaknya dengan membuat ruangan yang menghubungkan langsung ke berbagai tempat. Selain itu si dewa merah menambahkan sebuah kubah tipis untuk menutupi arena. Kubah itu tidak bisa dianggap remeh meski tampak rapuh. Terbukti dengan hancurnya tubuh hvyt yang didorong jatuh oleh si dewa merah begitu menyentuh kubah.
"Tidak! Tidak boleh! Siapa lawan Yvika?!" teriak Thurqk dengan suara parau. Tidak ada jawaban yang terdengar.
Thurqk menoleh pada sederet hvyt di belakangnya, membuat para hvyt itu segera bersujud ketakutan. Tidak ada satupun yang berani menyatakan pendapatnya. Mereka takut bernasib sama dengan kawannya yang telah menjadi debu saat membentur kubah tipis di bawah sana.
"Jawab dewamu! Atau kalian ingin seperti hvyt yang jatuh tadi!" seru Thurqk.
Para hvyt itu segera bersujud memohon ampun. "Yang menjadi lawan peserta Yvika adalah Stallza, Yang Mulia! Mohon ampun!" seru salah satu hvyt dengan suara bergetar.
Thurqk meremas gelas di tangannya hingga hancur menjadi debu. Stallza. Nama peserta yang mulai terasa mengganggu sejak menghancurkan pulau Ryax. Thurqk tahu siapapun yang mengalahkan Ryax akan punya kemampuan serupa dirinya, mengendalikan para hvyt jika dia kehendaki. Hanya butuh sedikit kemampuan lagi sebelum peserta itu memiliki kekuatan setara dengan dirinya.
"Apa tahanan itu sudah ditemukan?" tanya Thurqk. Putri Lan Tania yang dijadikan sebagai sandera berhasil melarikan diri. Si dewa tidak punya apa-apa lagi untuk mengontrol Stallza untuk bermain sesuai kehendaknya.
"Maaf, Yang Mulia. Kami masih belum menemukan dia," kata seorang hvyt. "Tapi nona Abby telah keluar mencarinya. Gadis itu pasti akan ditemukan, demikian juga dengan kristal-kristal yang dia curi," lanjut hvyt itu.
"Apapun yang terjadi, jangan biarkan semua kristal ataupun sandera itu bertemu dengan Stallza. Lakukan apapun untuk mencegahnya!" seru Thurqk.
Para hvyt yang bersujud di depan Thurkq tidak membuang waktu. Mereka segera mengepakkan sayap mereka dan pergi ke berbagai arah. Mereka berharap untuk bisa membawa hasil pada sang dewa, atau mereka akan mati.
Di atas balkon hanya ada Nolan dan Thurqk. "Tidak baik kalau seorang peserta menang tanpa pertarungan. Tidak adil sama sekali," kata Thurqk. Dia menoleh pada Nolan. "Apa kau punya ide?" tanyanya.
Nolan tak merespon Thurqk.
"Ayolah. Kau sudah membantuku membangun arena ini. Apa kau tidak ingin membantuku untuk mencarikan solusinya?"
Masih tidak ada respon. Nolan masih menatap Thurqk dengan sorot mata tajam.
"Ingat, kau masih punya keluarga di dunia asalmu. Apa kau masih ingin menentangku?"
Ancaman Thurqk berhasil. Sorot mata Nolan melunak. Matanya bergerak ke kiri dan ke kanan dengan cepat.
"Bagus," Thurqk menjentikkan jarinya. Kain di mulut Nolan terbuka. "Sekarang bicara. Apa solusi yang bisa kau berikan untuk masalah seperti ini," lanjutnya.
"Kau…." Nolan berdehem untuk melegakan tenggorokannya yang terasa kering. "Kau bisa memanggil kembali peserta yang belum mati."
Thurqk mengelus-elus dagunya. "Ide bagus. Sepertinya aku punya satu yang bisa digunakan melawan si pengacau itu," kata si dewa merah. Dia kembali menjentikkan jarinya. Kain merah yang meliliti tubuh Nolan kembali bergerak dan menutupi mulut pria berkacamata itu. Nolan mencoba berontak, tetapi saat dia bergerak, darah segar seketika keluar dari kulitnya.
Melihat tindakan sia-sia Nolan membuat Thurqk berdecak kesal. "Sudah kukatakan tenang saja, bukan? Jika kau bergerak, maka kain itu akan memecahkan pembuluh darahmu. Seandainya bukan karena kemampuan kain itu untuk menyerap darah dan mengembalikannya ke tubuhmu, kau sudah mati kehabisan darah. Aku masih membutuhkan kemampuanmu," kata Thurqk. Tangannya memegangi kepala Nolan dan meremas rambutnya. "Jangan berani mati tanpa seizinku, atau seluruh orang yang kau kenal akan bernasib sama sepertimu. Mengerti?" kata si dewa merah dengan suara pelan dan parau , nyaris seperti sebuah geraman.
Nolan mengangguk. Thurqk tersenyum puas. Dia melepaskan remasannya dan sebagai gantinya menepuk kepala pria berkacamata itu. "Bagus, kau adalah peliharaan yang baik. Sekarang mari kita tunggu Abby datang sebelum memulai pertunjukan menyenangkan ini," kata si dewa merah. Thurqk berjalan ke samping meja di depan kursinya dan mengambil botol anggur yang terbuka. Dia memutuskan meminumnya secara langsung, tidak lagi dengan gelas seperti yang sering dilakukan para manusia.
~~~
V
Stallza merasa khawatir karena belum bisa menemukan Lan kembali. Tetapi karena si dewa merah bernama Thurqk itu tidak—atau belum—mengadakan acara eksekusi mati terhadap gadis itu, Stallza masih bisa merasa lega. Si dewa merah mungkin adalah seorang penipu, seperti yang diceritakan Forneus padanya. Tetapi dia menepati janjinya dalam satu hal: menyiksa dan membunuh seseorang. Jika dia ingin memberikan siksaan mental yang berat pada Stallza, maka pastilah si dewa merah membawanya ke suatu tempat dan menunjukkan bagaimana dia membunuh Lan.
Sebuah kemungkinan lain melintas di kepala Stallza. Mengapa si dewa merah menunda selama ini untuk membunuhnya atau Lan? Bukannya dia tidak senang masih bisa hidup ataupun karena belum melihat mayat Lan, tetapi jika si dewa merah itu menunda selama ini, pasti ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang sedang terjadi. Lalu Stallza ingat mengenai sebuah kisah di masa lalu, saat Lan menyelamatkan dirinya sendiri saat diculik oleh seorang bangsawan yang ingin menggulingkan raja. Mungkin saja gadis itu sekarang melakukan hal yang sama. Itu adalah hal yang bagus sekaligus buruk. Bagus, karena setidaknya si dewa merah tidak akan menghabisinya saat ini juga. Buruk, karena Stallza tidak akan mudah menemukannya.
Berbicara mengenai sesuatu yang buruk, Stallza teringat pada spiritia-spiritianya. Selain para spiritia yang menjadi sandera si dewa merah, Stallza tidak tahu di mana spiritia-spiritianya yang tersisa. Semua senjatanya, bahkan tas pinggangnya sekalipun, tidak ada di dekatnya. Bayangkan rasa hati seorang ahli pedang yang kehilangan pedangnya dan dipaksa bertarung. Seperti itulah yang dirasakan Stallza saat ini.
Stallza memandang berkeliling. Lubang tahanan Stallza ternyata menempel ke sebuah dinding dari sebuah ruangan luas. Selain lubang tempat Stallza ditahan, masih ada sekitar dua puluh lubang lain di dinding yang sama. Stallza memeriksa masing-masing lubang. Tidak ada seorangpun atau apapun yang berada di lubang-lubang itu.
Di sisi dinding yang berhadapan dengan lubang-lubang itu terdapat sebuah pintu. Stallza menduganya sebagai pintu keluar. Jarak antara tempatnya berdiri dan pintu itu sekitar lima puluh meter. Tidak terdapat apa-apa di antara dirinya dan pintu itu. Bahkan tidak ada satupun hvyt yang menjaga ruangan ini.
Stallza merasa curiga. Dia mengambil sebuah untaian rantai rusak yang diputuskan oleh Forneus saat melepaskan dirinya dan melemparkan rantai itu sejauh-jauhnya. Rantai itu jatuh sekitar sepuluh meter dari Stallza. Begitu rantai itu kembali menyentuh lantai, sebuah ledakan hebat segera menghancurkan rantai itu. Sumber ledakan berada tepat di tempat rantai yang dilempar Stallza dan lantai itu bertemu. Ledakan yang terjadi termasuk kuat karena berhasil mendorong Stallza ke dinding. Stallza sempat dikena gelombang panas dari ledakan, namun dia tidak merasa terbakar sama sekali.
Stallza memeriksa badannya. Dadanya yang tidak terlindungi apapun tidak tampak terbakar sama sekali. Sebagai gantinya di daerah sekitar dada, lengan, dan perut Stallza muncul sisik-sisik berwarna hijau kebiruan.
"Jadi yang dikatakan orang itu benar?" tanya Stallza pada dirinya sendiri. Apa yang dikatakan Forneus terbukti benar. Tubuhnya terlindungi oleh sisik yang dapat menahan apapun. Stallza berpikir dirinya akan tampak aneh jika seluruh tubuhnya ditumbuhi sisik seperti ular. Tetapi untung baginya, sisik yang muncul di dada dan perutnya tidak bertahan lama. Beberapa saat kemudian sisik-sisik itu memudar dan kembali menampakkan kulit asli Stallza.
"Hmm…. Kulit antiapi? Bagus sekali," kata Stallza. Dia tersenyum. Jebakan yang mungkin ada di ruangan penahanan ini tidak akan menjadi masalah. Stallza mengangguk mantap. Dia memutuskan untuk berlari menuju pintu keluar.
VI
Melalui satu pengalaman terhempas ke dinding, Stallza menjadi tahu cara kerja jebakan di lantai ruangan tahanannya. Siapapun yang menginjak lantai itu dalam jarak tertentu dari lubang tahanan akan meledak. Beruntung Stallza memiliki sisik Forneus.
Melalui rantai yang dilemparnya ke lantai, Stallza menghitung ada setengah detik rentang waktu dari mulai lantai disentuh sampai lantai meledak. Jika dia bisa berlari dengan hanya menyentuh lantai tidak lebih dari setengah detik, gelombang ledakan tidak akan sempat membuatnya terhempas. Panas yang berasal dari ledakan sendiri masih bisa ditahannya dengan kemampuan baru dari Forneus.
Stallza mengambil ancang-ancang. Matanya menatap garis akhir tujuannya: sebuah pintu dari kayu setinggi dua kali tubuhnya. Stallza tidak tahu sampai di batas mana jebakan ini ada, tetapi itu tidak membuatnya membatalkan rencananya ini. Dia tidak ingin membuang waktu untuk berpikir. Stallza mulai berlari tanpa membiarkan kakinya bersentuhan terlalu lama dengan lantai. Sesuai dengan dugaannya, lantai yang telah dilaluinya meledak dengan hebat; Stallza bagaikan sedang berlomba demi nyawanya sendiri, jika berhenti, maka dirinya akan berada dalam nyala api.
Jarak antara Stallza dan pintu tinggal beberapa langkah lagi, namun ledakan masih tetap terjadi. Stallza mulai panik. Dia sempat mengira kalau daerah di dekat pintu tidak akan dipasangi perangkap. Tetapi dengan masih adanya ledakan di belakang, Stallza mulai ragu dengan dugaannya itu. Stallza tidak tahu apakah lantai di depan pintu itu aman. Sementara di belakangnya ledakan-ledakan yang ditimbulkannya menyatu membentuk gelombang yang besar. Jika pun daerah di depan pintu bebas dari jebakan, gelombang yang mengejarnya akan membuatnya gepeng ke dinding. Lebih baik jika dia memanfaatkan gelombang itu untuk keluar. Maka beberapa langkah terakhir, alih-alih tetap berlari, Stallza malah melompat ke depan. Dia mengangkat kedua kakinya dari lantai dan sedikit membungkuk. Tangannya ditekuk ke muka untuk menyelamatkan kepalanya. Sisik pemberian Forneus muncul di sekujur tubuhnya secara spontan saat merasakan gelombang ledakan mulai menyentuh kulit belakangnya. Hanya dalam hitungan sepersekian detik saja tubuh Stallza terdorong menuju pintu bagaikan peluru meriam. Dalam hitungan sepersekian detik pula akhirnya Stallza berhasil menembus pintu itu disertai api, panas, dan gelombang ledakan yang lolos dari dalam ruangan dengan suara keras.
Stallza berguling di lantai di luar ruang tahanan untuk beberapa saat sampai punggungnya membentur dinding. Dengan cepat Stallza memutar tubuhnya, menjejakkan kedua kakinya ke lantai batu dan berdiri. Matanya dengan cepat menyapu daerah sekitarnya. Di luar dari ruang tahanannya ternyata ada lorong memanjang yang berbelok di kedua sisinya. Tidak ada hvyt yang menjaga di luar pintu ruang tahanan. Stallza kembali siaga dan menajamkan telinganya. Dia siap menghadapi gerombolan hvyt yang mungkin datang karena suara ledakan dari ruang tahanannya. Tetapi mereka tidak pernah datang. Tidak terdengar apapun di sepanjang lorong itu selain suara lidah-lidah api yang menari-nari dari obor yang menerangi lorong.
"Mereka tidak ada di sini?" tanyanya heran. "Tidak seperti penjara sungguhan." Stallza menurunkan tingkat kesiagaannya dan kembali mengamati ruangan tahanannya. Di atas lubang yang dulunya adalah pintu terdapat sebuah papan dari tembaga. Aksara yang tercetak timbul di sana tidak seperti aksara yang dikenal oleh Stallza, tetapi entah bagaimana caranya Stallza tahu apa yang dituliskan di atas sana.
"Ruangan Stallza sang Pemanggil," kata Stallza saat mengucapkan isi tulisan itu. Seketika Stallza teringat pada semua spiritianya. Stallza berjingkat-jingkat lari ke ujung lorong di sebelah kanannya. Dia menempelkan punggungnya ke dinding tepat sebelum belokan ke kiri dan mendengarkan suara-suara di lorong di sebelah kirinya itu. Tetapi lagi-lagi tidak ada suara selain dari obor yang menyala. Stallza mengintip dari tempatnya. Lorong itu juga kosong melompong. Tanpa membuang waktu Stallza menyusuri lorong itu hingga mendapatkan persimpangan. Stallza memejamkan matanya sejenak untuk merasakan keberadaan spiritianya sebelum memilih menyusuri persimpangan itu ke arah kanan.
Di sepanjang lorong yang dilalui Stallza terdapat banyak pintu. Tetapi hanya beberapa yang memiliki papan nama. Beberapa yang sempat diamatinya adalah milik Lazu dan Ursario. Lalu saat lorong itu kembali berakhir pada persimpangan, Stallza kembali berhenti untuk merasakan spiritianya.
Semua pengendali spiritia mampu merasakan keberadaan para spiritianya sejauh apapun mereka terpisah. Karena itu Stallza bergegas menyusuri lorong di sebelah kirinya. Saat menyusuri lorong itu dia melihat sebuah kejanggalan. Setelah beberapa lama berlari Stallza melihat dinding di sisi kanannya jebol. Dia berhenti sejenak dan mengintip ke balik tembok yang hancur itu. Dan yang dilihatnya di balik tembok itu adalah langit merah Devasche Vadhi.
Apapun yang dulu mungkin pernah ada di balik tembok itu kini telah hancur lebur. Batu-batu penyusun tembok tampak kokoh dan tebal—saat Stallza memegang sisi dalam tembok itu untuk menahan dirinya agar tidak terjatuh, ada jarak selengan antara bagian luar dan dalam tembok—namun semuanya hancur tak bersisa. Stallza melihat ke bawah dan menemukan dirinya berada di sisi sebuah jurang. Lebih tepatnya lagi bangunan yang ditempatinya saat ini berdiri tepat di sisi jurang. Di bawah sana dia melihat apa yang sekiranya menjadi sisa-sisa dari ruangan—setidaknya itulah dugaan Stallza—yang sudah hancur berantakan itu. Di bawah sana juga ada puluhan, bahkan ratusan bangkai hvyt, seolah-olah ada yang menyerbu ke tempat ini.
Kini Stallza mengerti mengapa tidak ada hvyt yang menjaga tempat ini. Mereka fokus menangani kerusakan ini. Mereka juga mungkin sibuk mengejar siapapun yang menyerang bangunan ini. Stallza berjalan pergi saat tiba-tiba kakinya terantuk sesuatu. Stallza melihat sebuah papan nama dari tembaga dengan aksara yang tercetak timbul. "Yvika?" Alis Stallza terangkat. Dia sepertinya pernah mendengar nama itu sebelumnya. "Ah, nyonya yang kutemui di labirin!" serunya saat berhasil mengingat si pemilik nama. Papan nama itu mungkin dulunya berada di dinding yang sudah hancur ini. Jika memang demikian, maka apa yang dulunya berada di belakang tembok yang hancur ini adalah ruang tahanan si nyonya berpakaian ketat itu. Stallza tidak mengingat ada mayat manusia di bawah jurang. Apa berarti si nyonya berhasil melarikan diri di sini?
"Semoga Anda selamat, Nyonya," kata Stallza. Dia melompati papan nama Yvika dan kembali berlari menyusuri lorong.
~~~
VII
Pertarungan pertama baru saja selesai, namun Thurqk sudah mulai tidak puas. Dia memang telah menyaksikan pertarungan mati-matian selama empat jam dari dua peserta. Enam puluh ruangan pada arena tiga lantai yang disediakannya pun terpakai dengan efisien. Tetapi itu semua belum cukup. Dengan sebuah jentikan dia menginstruksikan agar pertarungan berikutnya segera dimulai. Namun setelah menuggu beberapa menit, kedua peserta yang seharusnya segera bertarung tidak juga muncul di arena.
"Mana pertarungan berikutnya!" teriak Thurqk tidak sabar.
Seorang hvyt datang dengan takut-takut. Tatapan mata sang dewa merah membuat seluruh tubuhnya terasa seperti terbakar.
"Kapan pertarungan berikutnya? Apa kau mau membuatku menunggu mati bosan?" tanya Thurqk dengan suara paraunya.
"Ma—maaf, Yang Mulia. A—ada sedikit masalah terjadi," kata hvyt yang menghadap pada Thurqk.
Thurqk memicingkan matanya. Emosinya mulai naik. "Masalah?"
"Pe—peserta Stallza tidak berada di tahanannya, Tuan," jawab hvyt.
"Gantikan dia dengan peserta lain yang sudah kalah! Aku akan menghanguskan kristal jiwanya secara pribadi nanti. Tentunya setelah menyiksa pacarnya terlebih dulu," kata Thurqk enteng. "Keluarkan peserta yang satunya lagi sekarang."
"Itu…." Sang hvyt ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"APA LAGI!" bentak Thurqk.
Hvyt di depannya segera bersujud hingga di lantai. "Ampun, Yang Mulia! Peserta bernama Yvika berhasil kabur dari tahanannya. Pasukan tidak dikenal menembus dunia ini dan segera menyerang tahanan untuk membebaskan peserta itu," kata sang hvyt dengan cepat.
"APA!?" Amarah Thurqk meledak. Dia menghentakkan kakinya dengan keras. Seketika lantai di atas hvyt di depannya terbuka, membuat makhluk malang itu terjatuh ke bawah, langsung ke atas selubung merah yang segera menceraiberaikan tubuhnya ketika saling bersentuhan.
"Cari Stallza di manapun dia berada! Jangan biarkan dia kembali ke dunianya!" bentak Thurqk. Sang dewa merah membalik meja dan menginjak-injak gelas dan botol yang terjatuh dari meja itu dengan gusar. Saat itulah dia mendengar sebuah suara tawa.
"Kau tertawa, Nolan?" Thurqk menatap tawanannya dengan sorot mata tajam. Dia menjentikkan jarinya sambil berjalan mendekati Nolan. Kain yang menutup mulut pria berkacamata itu kembali membuka.
"Bagaimana hadiahku, Thurqk?" tanya Nolan di antara tawa puasnya. Dia sudah tidak peduli dengan luka yang keluar setiap kali tubuhnya bergerak akibat tertawa.
"Hadiah?"
"Hadiah. Aku membuka sedikit pengaman duniamu ini sehingga siapapun bisa keluar dan masuk tanpa perlu izinmu. Dan aku juga sudah memasang beberapa gerbang antartempat di antara ruangan di arenamu. Bisa saja mereka menemukan cara untuk keluar dari dunia ini," jelas Nolan.
"Kau pikir kau lebih cerdas dariku?" Thurqk menyeringai. Dia mengulurkan tangannya ke arah arena di bawahnya tanpa melepaskan pandangannya dari Nolan. Sebuah lingkaran diagram sihir berwarna merah darah muncul beberapa inchi dari telapak tangan sang dewa. Di saat bersamaan pintu-pintu ruangan dari arena di bawahnya bergetar hebat, seakan nyaris lepas dari tempatnya. Sang dewa tersenyum puas. "Aku akan menghancurkan hadiahmu itu," katanya.
"Coba saja," kata Nolan puas.
Thurqk memusatkan kekuatannya untuk mengendalikan kondisi-kondisi di dalam arenanya. Diagram sihirnya memancarkan cahaya kuat yang menyilaukan. Pintu-pintu ruangan dalam arena makin bergetar kuat, namun tidak ada satupun yang terlepas dari tempatnya. Tidak ada perubahan yang berarti. Bahkan dengan kekuatan penuh sang dewa hanya bisa mengurangi sedikit kondisi yang ditetapkan Nolan pada arena di bawah sana.
"Jangan terlalu mengandalkan jaringan komputer, Yang Mulia. Apalagi tidak menyediakan rencana cadangan jika sistemmu diretas," ejek Nolan. Baginya yang sudah mengetahui segala rahasia dunia sang dewa, apa yang dilakukan olehnya tak jauh beda dengan seorang pembuat program yang berusaha memulihkan kondisi buatannya yang dikacaukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Thurk membalas ejekan Nolan dengan menamparnya dengan sangat keras. Jika bukan karena ditahan oleh kain yang membalutnya, tubuh Nolan pasti sudah terpental, bahkan mungkin kepalanya akan terlepas.
"Aku masih punya kuasa di sini! Mereka masih akan bermain dalam aturanku!" seru Thurqk. Matanya menyala-nyala dalam amarah.
"Kau tidak akan melakukan itu, Thurqk," kata Nolan dengan tenang. "Aku memasang pertahanan dan jebakan-jebakan di sana-sini. Kau mungkin akan bisa menemukan semua jebakan itu dan mengatasinya. Tetapi di saat yang sama, para peserta pun akan menemukannya dan menggunakan jebakan-jebakan itu untuk menguntungkan mereka."
Nolan merasakan kain yang membalut seluruh tubuhnya menjadi semakin rapat mengikatnya. Darah kembali keluar dari tubuhnya, membuat Nolan tampak seperti jeruk yang sedang diperas sari patinya. Dia menggeram, menolak memberikan kenikmatan pada si dewa merah.
"Kau ingin berteriak? Maka berteriaklah dengan keras!" seru Thurqk saat melihat korbannya terikat keras.
"Ini tidak ada apa-apanya. Penderitaan seperti ini adalah harga yang kecil untuk rencanaku yang besar," kata Nolan di antara erangannya.
"Karena pengkhianatanmu ini, maka semua orang yang mengenalmu di dunia asalmu akan kulenyapkan. Bahkan akan kuhancurkan duniamu!" seru Thurqk. Dia melihat perubahan di mata Nolan. Meski kecil dan nyaris tak terlihat, ada ketakutan yang merayap keluar dari matanya. Dan itu membuat Thurqk gembira. "Akan kulakukan segera. Akan kuhancurkan mereka. Aku tidak akan menunggu lagi. Apa kau ingin melihatnya sekarang?" Thurqk mengangkat tangan kanannya, bersiap untuk menjentikkan jari. Diagram sihir Thurqk di tangannya yang lain menghilang. "Kau tahu apa yang akan terjadi saat kujentikkan jariku, bukan?"
Rasa takut di mata Nolan semakin terlihat. Thurqk bahkan merasakan ada kengerian di sana. "Bagus, berikan tatapan kengerian itu padaku, Nolan," bisik Thurqk dengan suara parau di depan wajah Nolan. Sang dewa merah hendak menjentikkan jarinya sekuat tenaga setelah melihat ketakutan di mata Nolan akhirnya terlihat jelas di wajahnya, namun kehadiran Abby membuatnya urung.
Thurqk berdecak saat melihat gadis kecil itu tiba-tiba muncul di sampingnya dan menatapnya dengan tatapan polos, seakan dia adalah anak kecil polos yang tidak tahu apa-apa. "Akhirnya kau datang juga," kata Thurqk. "Setelah membawa sampah ini padaku dan menceritakan semua rencananya kau malah pergi lagi. Semoga kedatanganmu sekarang membawa kabar baik," kata Thurqk sambil kembali menghempaskan dirinya ke kursi kulit empuk, singgasananya untuk saat ini. Singgasananya yang asli rusak parah akibat ledakan di dalam ruangannya. Hal yang masih membuat sang dewa merah sangat gusar hingga saat ini.
"Aku membawa kabar baik," kata Abby tenang. Dengan melompat-lompat kecil dia mengelilingi sang dewa merah tanpa takut memicu murkanya. "Anda akan bisa melihatnya nanti. Tapi sebelum itu, bagaimana kalau kita saksikan pertarungan berikutnya."
"Aku bahkan belum menentukan lawan untuk Stallza. Terlalu banyak pemberontakan hari ini," kata Thurqk. Kali ini suaranya tidak lagi meledak-ledak parau.
"Semua pemberontakan yang dimulai di pagi hari akan tenggelam di saat sore, seperti matahari yang terbit dan tenggelam," kata Abby.
"Kau bicara apa, anak kecil? Tidak ada matahari di Devasche Vadhi ini!" kata Thurqk.
"Maka artinya tidak ada pemberontakan yang berarti untuk Anda, Yang Mulia Thurqk. Karena tidak ada matahari yang terbit dan tenggelam di tempat ini," kata Abby. Gadis itu masih berkeliling di depan sang dewa merah, namun kegusaran sang dewa sudah tidak sebesar sebelumnya. Sang dewa merah mengangguk-angguk dan mengelus dagunya sendiri, menghayati apa yang dikatakan oleh Abby, si gadis kecil yang entah mengapa tidak pernah menjadi sasaran murka sang dewa merah.
"Aku tidak salah memberikanmu kebijaksanaan dan kekejamanku, Abby. Kerja yang bagus," kata Thurqk. Gadis kecil yang sedari tadi mengelilinginya berhenti, menyelipkan satu kakinya ke belakang sambil mengangkat ujung-ujung roknya. Thurqk mengenalinya sebagai gaya menghormat putri-putri dari dunia Nolan. "Kau baru saja dari dunia manusia tidak berguna ini?" tanya Thurqk sambil menunjuk Nolan dengan jempolnya. Ekspresi sang dewa tampak jijik saat melakukan itu, seakan Nolan adalah sampah yang tidak layak untuk disinggung dalam hal apapun.
Abby tidak menjawab langsung. Lebih tepatnya gadis kecil itu tampak tidak peduli lagi setelah dia memberi hormat pada sang dewa. Dia kembali melompat-lompat kecil mengelilingi sang dewa.
"Ah, sudahlah. Terserah apa yang kau kerjakan. Lalu apa kabar baik yang kaubawa untukku?" tanya Thurqk. Sang dewa merah menjentikkan jari. Sebuah kursi kecil empuk berlapis belundru hitam muncul tepat di sisi kiri singgasana miliknya. Abby seketika melompat ke kursi itu.
"Akan kutunjukkan," abby menjentikkan jarinya. Seketika di tengah arena muncul seorang pria dalam balutan jubah abu-abu yang tampak bingung dengan keadaan di sekitarnya.
Thurqk mendelik ke arah Abby. "Itu hanya Stallza. Lalu kenapa?" tanya sang dewa.
Abby kembali menjentikkan jarinya. Lagi-lagi muncul sesosok manusia di tengah arena, namun rupanya tak seperti peserta manapun. Dia adalah seorang gadis bermata biru dengan rambut pendek berwarna merah menyala. Sebuah luka yang menembus telapak tangan kanannya telah mengering, namun bekasnya masih tampak jelas. Gadis itu melihat Stallza dengan tatapan kosong. Sementara Stallza terperangah melihat gadis itu.
Thurqk memicingkan mata saat melihat gadis itu. "Rasa-rasanya aku mengenali gadis itu," katanya.
"Itu si pengacau. Sepertinya dia berhasil mencuri kristal yang Anda simpan dan memakainya, entah bagaimana caranya," kata Abby sambil menggoyangkan kakinya ke depan dan ke belakang.
Thurqk menggeram. Tangannya terangkat kembali. Seketika muncul sebuah tombak batu di telapak tangannya, siap untuk dilesatkan ke arah sosok kedua yang muncul di arena. Namun sebelum sempat melemparkan tombak itu, Abby mencegahnya.
"Selubung ini hanya bisa diserang dari atas dan dengan kekuatan Anda semata. Tetapi saat Anda melakukan itu, selubung ini akan hancur. Untuk saat ini Anda tidak perlu melakukan apapun, karena gadis itu yang akan melakukan semuanya," kata Abby polos.
Thurqk mengangkat alisnya dan tersenyum. Tombak di tangannya menghilang. "Bagus sekali idemu. Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang manusia yang dimabuk cinta selain harus melawan orang yang dicintainya. Bagaimana kalau kuberikan sedikit sentuhan untuk membuat drama ini lebih mematikan?" Thurqk kembali menjentikkan jarinya. Sosok ketiga muncul di dalam arena, membuat Stallza semakin kebingungan. Sosok ketiga itu tampak seperti bayangan hitam dengan dua bola bercahaya di daerah yang terlihat seperti wajah. Tingginya sekitar tiga meter, nyaris dua kali ukuran tubuh Stallza.
"Si hantu yang telah lama kalah? Kukira Anda akan membangkitkan orang lain yang lebih kuat dari dia. Kolator, mungkin?" tanya Abby.
Thurqk mendecak. "Jika kupanggil Kolator, mungkin saja pertarungannya akan selesai dalam sekejap. Apa asyiknya itu?" balas sang dewa merah dengan enteng. "Pertunjukanku haruslah penuh air mata, penderitaan, darah. Elegi dan ironi. Harapan kecil yang hancur menjadi keputusasaan tak berujung. Lalu harus diakhiri dengan kehancuran semuanya. Dengan begitu saat aku datang dan memulihkan mereka, mereka semua akan bersujud dan memujiku sebagai penyelamat mereka. Rencana yang luar biasa, bukan? Sebagai langkah awal, aku memberikan kembali kehidupan kedua untuk si hantu tinggi di bawah sana," lanjut sang dewa.
"Anda memang luar biasa cerdas, Yang Mulia Thurqk," kata Abby sambil menatap sang dewa. "Kini tidak akan ada satupun yang akan membantah kebaikan hati dan keadikuasaan Anda."
"Tentu saja, Abby!" seru Thurqk. Sang dewa merah tertawa terbahak-bahak. "Akulah Thurqk, pencipta alam semesta ini! Patuhlah padaku, hai para makhluk hina!" Tawa Thurqk menggema ke seluruh penjuru Devasche Vadhi.
Di tengah arena, Stallza menatap makhluk merah yang tertawa di atasnya dengan penuh murka.
VIII
Segalanya berubah dengan cepat. Semua keberuntungannya lenyap seketika setelah bertemu gadis kecil berambut hitam dengan pita biru di kepalanya. Dari gadis itu menguar aura yang sama seperti Thurqk, membuat Stallza mengambil kuda-kuda siap untuk bertarung. Dia siap untuk mengambil spiritianya kapanpun gadis itu melakukan gerakan apapun. Tetapi gadis itu malah tersenyum. Lalu sesaat kemudian Stallza tidak ingat apa-apa lagi.
Saat Stallza sadar, dirinya tidak lagi berada di bangunan tempatnya ditahan. Semuanya berubah drastis. Dinding-dinding bangunan penjara dengan batu-batu besar berganti dengan sebuah lapangan yang berada di tengah-tengah bangunan berlantai tiga. Di masing-masing lantai terdapat lima ruangan. Terdapat dua tangga untuk naik ke lantai dua dan tiga. Di atas kepalanya terdapat selubung menyerupai kubah berwarna merah. Dan dari balik kubah itu tampak sosok si gadis kecil bersama Thurqk.
Belum habis kebingungan Stallza, sebuah dentuman keras di depannya membuat Stallza terkejut. Dengan cepat dia menoleh, dan dia terperangah. Di depannya berdiri sesosok gadis berjubah hitam. Dia berambut pendek dengan warna merah menyala. Mata birunya menatap kosong. Penampilan luarnya mungkin berbeda, tapi Stallza mengenal siapa gadis itu.
"Lan?" tanya Stallza lirih. Gadis di depannya masih menatapnya dengan kosong, seakan jiwanya tidak berada di sana. Stallza ingin memeluk gadis itu, namun dentuman kedua kalinya terdengar. Kini sesosok makhluk dengan jubah hitam lain muncul. Makhluk itu melayang beberapa kaki dari lantai dan nyaris tembus pandang, membuat Stallza menduga makhluk itu adalah hantu.
Tawa Thurqk membuat Stallza kembali menoleh ke atas. Lan yang kini tampak seperti boneka. Sosok menyerupai hantu tinggi. Gadis kecil berpita biru di kepalanya yang tersenyum polos di samping Thurqk. Semua itu membuat Stallza sadar. Babak keenam telah dibuka. Dan kedua sosok di depannya saat ini akan menjadi lawannya.
IX
Si hantu hitam berbeda dari semua lawan yang pernah dihadapi Stallza. Stallza berspiritialis—menggabungkan dirinya sendiri dengan spiritia—dengan Calcis. Stallza dalam baju zirah tulang menyerang dengan cepat, namun sosok si hantu hitam berhasil mengelak dari semua serangan Stallza. Si hantu hitam juga tampaknya tidak ingin wajahnya terlihat secara langsung. Berkali-kali Stallza mencoba menyingkap tudung yang menutupi wajahnya, namun si hantu hitam dengan gesit berkelit.
Saat sibuk menyerang si hantu hitam, Stallza tidak menyadari sama sekali pada keberadaan Lan yang telah berdiri jauh dari aula. Gadis itu mengarahkan kedua tangannya mengantisipasi gerakan Stallza. Saat si hantu hitam memukul Stallza mundur dan membuat gerakannya sedikit berhenti, di saat bersamaan dari tangan Lan keluar dua buah bola api. Stallza tidak sadar sama sekali hingga kedua bola api itu menghantamnya.
Tubuh Stallza yang tidak siap menerima serangan itu terhempas ke dinding. Tubuhnya tidak sakit sama sekali oleh panas—kulitnya seketika dilapisi sisik dari Forneus ketika bola-bola api itu mendekat. Tetapi hatinya terasa sangat sakit karena yang menyerangnya adalah gadis yang dicintainya.
"Lan?" tanya Stallza. Stallza sadar gadis itu mungkin saja dikendalikan oleh Thurqk. "Lan, ini aku. Sadarlah!" teriaknya.
Lan membalasnya dengan mengacungkan jari ke arah Stallza. Dari udara kosong melesat puluhan tombak besi yang membara. Stallza berlari dan melompat menghindari serangannya, namun Lan tidak berhenti. Jarinya mengikuti setiap gerakan Stallza. Setiap kali tombak-tombak itu menancap ke dinding atau pintu, seketika itu pula tombak-tombak itu meledak.
"LAN!" teriak Stallza. Tiga tombak membara mengarah ke kepala, dada, dan perut Stallza bersamaan. Stallza melompat ke belakang dan menghantam ketiganya dalam satu gerakan. Ketiga tombak itu meledak tepat di bawah tubuhnya, tapi tubuh Stallza tidak terbakar atau terhempas oleh ledakan itu.
Lan yang dihadapinya saat ini masih memiliki kemampuan sebagai pengendali spiritia. Gadis itu bahkan menggabungkan dua spiritia bersamaan dalam penyatuannya. Tetapi sifatnya jauh berbeda. Gadis itu tidak tersenyum manis, alih-alih malah tersungging senyum licik di wajahnya.
Senyuman licik dan pandangan kosong Lan membuat hati Stallza semakin sakit. Tetapi dia tidak ingin menyerah. Stallza tahu spiritia yang bergabung dengan Lan saat ini. Mungkin saja dia bisa membuat Lan sadar jika dia bisa meminta mereka lepas dari tubuh gadis itu.
"Phosporosso! Ferra!" teriak Stallza memanggil keduanya. Sayang, tidak ada respon apapun dari kedua spiritia itu.
Stallza bangkit. Mungkin saja dia bisa menyadarkan gadis itu jika berdiri dekat dengannya. Mungkin saja gadis itu akan kembali mengingat siapa dirinya jika dia bisa memegang tangannya. Tetapi saat dia hendak mengayunkan kakinya maju, dia merasakan sesuatu menahan kakinya. Stallza menoleh ke kakinya dan melihat sesosok hantu kecil memeluk kakinya dengan erat.
Hantu kecil yang memeluk kaki Stallza tidak lebih tinggi dari betisnya. Warna jubahnya merah. Dia menunduk, seakan menyembunyikan wajahnya, seperti yang dilakukan oleh si hantu besar. Tangan-tangannya kecil namun kekar. Sedikitpun Stallza tidak bisa bergerak dari tempatnya.
"Tidak akan kubiarkan kau pergi ke manapun!" teriak si hantu kecil berjubah merah dengan suara nyaring. Di telinga Stallza suara hantu itu terdengar seperti suara anak gadis kecil yang menjengkelkan.
"Lepaskan!" teriak Stallza pada si hantu kecil. Si hantu kecil tidak mengikuti keinginan Stallza sama sekali. Dia malah semakin erat memeluk kaki Stallza dan menariknya hingga membuat Stallza kehilangan keseimbangan.
"Deismo! Sekarang!" teriak si hantu pada sosok hantu berjubah hitam.
"Seismo, kau lupa memanggilku," sesosok hantu kecil dengan jubah berwarna hijau muncul dari balik punggung hantu berjubah hitam.
"Aku tidak peduli padamu! Mati saja kau, Heismo!" seru si hantu merah dengan suara yang memekakkan telinga.
"Lepaskan kataku!" teriak Stallza. Dia berusaha bangkit dari posisinya, namun si hantu merah bernama Seismo itu segera berpindah dari kakinya dan menduduki punggungnya. Meski ukurannya kecil, Seismo menekan punggung Stallza dengan kekuatan gabungan sepuluh orang.
"Sebaiknya kau diam saja! Sampah! Makanan babi! Bahkan sampah sepertimu tidak layak jadi makanan babi!" teriak Seismo di telinga Stallza.
"Makanan babi? Kau kejam juga, ya? Hahaha," kata Heismo girang di atas pundak si hantu hitam. Hantu kecil berwarna hijau itu mencolek si hantu hitam. "Deismo, ayo kita hancurkan dia," katanya.
"Baik," balas Deismo, si hantu hitam. Si hantu hitam menoleh pada Seismo yang duduk di atas tubuh Stallza yang tengkurap sambil menghantam punggung pria itu. "Tahan dia sedikit lebih lama," katanya pada Seismo.
"Apa perlu kuhancurkan kepalanya?" tanya Seismo sambil kembali menghantam punggung Stallza sekali lagi. Pria malang itu hanya bisa mengerang kesakitan karena gelombang pukulan yang langsung diterima tubuhnya itu. "Boleh, ya? Aku suka mendengar suara kesakitannya," pintanya pada Deismo.
"Tidak," kata Deismo, "dia harus mati dengan menderita. Itu perintah Yang Mulia Thurqk."
Seismo berdecak kesal. Dia kembali menghantam punggung Stallza dengan kekuatan penuh. Pukulan telak itu membuat Stallza sempat tidak bernapas untuk sesaat. Mendengarkan suara napas yang terputus dari pria yang didudukinya nyaris membuat Seismo menggila dan menghantamnya kembali. Kali ini untuk menghancurkan kepalanya.
Deismo memberi kode pada Heismo di punggungnya. Hantu kecil berwarna hijau di punggung Deismo melayang turun. Hantu berwarna hitam itu mengeluarkan tangan dari dalam jubahnya. Kuku-kuku panjang di jari-jari hantu itu tampak tajam, seolah dengan menyentuhnya saja sudah cukup membuat sesuatu terpotong. Tetapi Heismo tidak ragu menyentuh tangan Deismo.
"Fuse," kata Deismo saat telapak tangannya dan telapak tangan Heismo saling bersentuhan. Asap hitam dan hijau keluar dari tubuh keduanya, berputar-putar dan akhirnya membungkus keduanya.
"Kau akan melihat kekuatan tuanku," bisik Seismo ke telinga Stallza sebelum menghantam tengkuk Stallza. Seismo menjaga agar tidak mematahkan leher ppria itu sebelum waktunya.
Asap dua warna yang membungkus tubuh Deismo dan Heismo menghilang, namun dari dalam asap itu tidak terlihat lagi sosok Deismo ataupun Heismo. Sebagai gantinya adalah sesosok makhluk menyerupai manusia berwarna hijau daun dengan setengah bagian tubuh bawahnya tenggelam di dalam sebuah bola kristal berwarna sama.
"Itu adalah Bhaine, makhluk gabungan antara Deismo dan Heismo. Anggap saja kau beruntung dibunuh olehnya. Setidaknya tubuhmu tidak akan hancur berantakan," kata Seismo. Hantu kecil itu tertawa riang seperti anak kecil.
Sebagian tubuh Bhaine tampak seperti manusia, sedangkan sisanya adalah bola. Tubuh manusia Bhaine dapat melompat masuk ke dalam bolanya, mirip seperti manusia biasa yang melompat masuk ke dalam air. Dalam keadaan ini makhluk itu akan sepenuhnya menjadi sebuah bola yang dapat bergerak dengan menggelindingkan tubuhnya. Dan tergilas oleh bola seperti itu lebih menyakitkan daripada semua hantaman Seismo.
Bhaine berkali-kali melindas tubuh Stallza begitu Seismo pergi dari punggungnya. Belum sempat untuk bangkit, bola kristal raksasa Bhaine menimpanya dan kembali membuatnya tengkurap. Bahkan bola kristal itu berkali-kali melewati tubuh Stallza dengan sengaja. Stallza mengerang keras. Dia mulai kesulitan bernapas. Daya tahan Calcis, spiritia yang menjadi baju zirah tulang yang membungkusnya pun berkurang drastis. Hantaman Seismo dan Bhaine membuat baju zirah Stallza itu mulai retak dan menyerpih.
Setelah puas menggilas Stallza, Bhaine bergeser dari tubuh pria malang itu. Tubuh manusia Bhaine keluar dari dalam bolanya. Tangannya mengacu pada Stallza. "Apa kau merasakan dingin?" tanya makhluk itu pada Stallza.
"Aku… tidak merasakan apapun," kata Stallza dengan susah payah. Stallza menopang tubuhnya dengan kedua sikunya, berusaha untuk membuat napasnya kembali normal.
"Benarkah?" tanya Bhaine. Makhluk itu membungkuk dan menyentuh kepala Stallza. "Kalau seperti ini?" tanyanya lagi.
Stallza menoleh ke arah Bhaine. "Aku tidak tahu apa yang kau lakukan, tapi aku tidak merasakan apapun," katanya. Seluruh tubuhnya kini diselimuti sisik hijau kebiruan.
"Aneh," kata Bhaine. Dia kembali menegakkan tubuhnya. "Seharusnya kau merasa kedinginan sekarang."
Stallza tertawa kecil. "Kau salah memilih lawan," kata Stallza. "Calcis, serang dia!" seru Stallza.
Serpihan tulang di sekitar Stallza melesat ke arah Bhaine, namun makhluk itu sempat menghindar. Beberapa serpihan tulang menembus pundaknya, namun Bhaine sempat menyelam kembali ke dalam bolanya untuk menghindari serangan ke titik-titik vitalnya.
Stallza tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia tidak melihat keberadaan Seismo dan Lan. Stallza khawatir pada Lan, tapi kali ini dia harus menghindar dahulu. Dengan usaha keras akhirnya dia bisa kembali berdiri. Namun bola kristal hijau di depannya telah siap menggelinding kembali ke arahnya.
"Argonos, muncullah!" seru Stallza. Tepat sebelum bola kristal Bhaine menyentuh Stallza dan menghancurkannya, gerakan bola itu seketika berhenti. Di atas kepala Stallza muncul sesosok makhluk berbentuk bola di tengah dua cincin yang berputar. Makhluk itulah Argonos, spiritia dari golongan mulia yang bisa mengendalikan waktu. Argonos hanya bisa menghentikan waktu dalam wilayah terbatas selama tiga menit. Tetapi waktu seperti itu sudah cukup untuk Stallza.
"Tungstenno, muncullah!" seru Stallza lagi. Kini muncul sesosok laba-laba raksasa hitam di belakang Stallza. Laba-laba itu segera mengangkat tubuh Stallza yang lunglai ke atas punggungnya sendiri. Dengan sekali lompatan, laba-laba itu berpindah ke lantai tiga. Waktu tiga menit yang dihentikan Argonos pun habis, tepat di saat Tungstenno membawa masuk tubuh Stallza ke sebuah ruangan.
X
Pintu yang dilewati Stallza membawanya ke sebuah ruangan asing. Asing, karena selama ini nuansa yang memenuhi mata Stallza hanya warna merah. Tetapi di dalam ruangan ini tidak terdapat warna merah di manapun. Dinding, langit-langit, dan lantai ruangan itu berwarna putih. Udara di dalam ruangan itu sejuk dan nyaman untuk dihirup. Berada di dalam ruangan itu membuatnya sejenak melupakan pertempuran di luar. Tungstenno dan Argonos telah kembali ke dalam tas pinggangnya. Dan segera Stallza dikuasai rasa kantuk yang damai.
Alam mimpi menyambut Stallza. Di dalam sana tidak ada hantu beraneka warna. Tidak ada Thurqk. Tidak ada Lan yang menyerangnya dengan senyuman licik.
Tanpa sadar Stallza menangis dalam tidurnya.
~~~
Tubuh Stallza berbaring tenang di atas awan. Langit biru membentang di atasnya. Awan saling menjalin dan merajut membentuk permadani lembut di bawah tubuhnya. Udara yang sesekali bertiup lembut terasa di kulitnya. Dia merasa tenang dan bebas. Mungkin perasaan seperti inilah yang akan dia alami seandainya dia melepaskan segala hal tentang dunianya. Mungkin saja jika dia meninggalkan keinginannya untuk mengembalikan eksistensinya, kedamaian jiwa seperti ini akan dialaminya lebih awal.
Tapi terlambat sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali. Maka Stallza kembali memejamkan matanya, menyerap semua kesendirian yang damai di sekitarnya.
Damai dan sendiri. Atau setidaknya itulah yang dianggap Stallza. Kenyataannya Stallza tidak sendiri di dunia yang tampak damai ini. Ada sesosok makhluk lain di sana. Seluruh tubuhnya bercahaya sehingga sulit mengetahui wajahnya atau apakah dia laki-laki atau perempuan.
"Stallza," sosok bercahaya itu berbicara dalam suara campuran pria dan wanita.
Stallza bangkit dari tidurnya. Tepat di depannya berdiri makhluk yang bercahaya menyilaukan. "Siapa kau?" tanya Stallza sambil menudungi matanya dengan tangan.
"Ini aku," kata sosok bercahaya itu. "Akulah Ventinis, makhluk yang kaupanggil dengan mengorbankan eksistensimu sendiri."
~~~
Jika ini mimpi, inilah mimpi yang paling aneh. Sosok yang berdiri di depannya saat ini adalah makhluk legendaris yang tidak pernah ada tetapi sepenuhnya nyata. Beberapa orang di masa lalu menganggapnya monster yang terlarang. Makhluk yang tidak boleh dipanggil ke dunia. Tabu bagi para pengendali spiritia. Dalam kitab kuno tentang pengendali spiritia, Stallza mengetahui alasan makhluk itu menjadi tabu. Seorang pengendali spiritia harus mengorbankan dirinya sendiri demi membawa makhluk itu ke dunia nyata. Dan Stallza melanggar tabu itu.
"Tidak kusangka kita akan bertemu kedua kalinya di tempat ini," kata Stallza. Tangannya masih melindungi matanya yang silau.
"Sesungguhnya ini adalah pertemuan kita yang ketiga," kata Ventinis.
"Ketiga?" tanya Stallza bingung.
"Mungkin kau tidak ingat, tapi semasa kecil kau pernah bertemu denganku. Sebelum kau bertemu dengan Iodesa, spiritia pertama yang kaulihat adalah diriku," kata Ventinis.
"Aku tidak ingat apa-apa," kata Stallza.
"Apa kau pikir semua orang bisa menjadi pengguna spiritia tanpa bertemu denganku?"
"Siapa kau sebenarnya, Ventinis?" tanya Stallza.
"Aku adalah induk para spiritia," jawab Ventinis. "Jaman dahulu kala, terdapat manusia-manusia bersayap di Ventinis. Mereka hidup di pulau-pulau melayang di atas awan, dunia atas. Manusia-manusia bersayap itu sangat cerdas dan maju. Jika diperbandingkan, manusia tanpa sayap sepertimu saat itu tampak seperti kera bagi mereka.
"Pada suatu waktu mereka menciptakan sebuah makhluk dari intisari dunia. Mereka menyebut makhluk itu sebagai Ventinis. Mereka membawa makhluk itu ke dunia bawah, dunia manusia tanpa sayap. Kalian, manusia tanpa sayap, menganggap mereka pelayan dewa dan menyembah Ventinis. Hal ini membuat para manusia bersayap itu kesal. Mereka menyerang dunia bawah dan memutuskan untuk menghancurkan makhluk Ventinis itu. Tetapi Ventinis melawan balik.
"Pada akhirnya manusia bersayap berhasil menghancurkan Ventinis berkeping-keping. Dari kepingan-kepingan itu lahir makhluk-makhluk baru bernama spiritia. Para spiritia itu masing-masing mewarisi satu kemampuan Ventinis. Dan para manusia bersayap itu berhasil mengendalikan spiritia-spiritia itu.
"Manusia-manusia bersayap yang mengendalikan spiritia kembali turun ke dunia bawah. Mereka menyatakan diri sebagai dewa. Siapapun yang membantah akan mereka hancurkan tanpa ampun. Selama ratusan tahun manusia tanpa sayap menyembah mereka dalam ketakutan. Para manusia bersayap saling berlomba mengumpulkan penyembah dari para manusia tanpa sayap. Mereka menyombongkan diri jika memiliki jumlah penyembah yang lebih banyak dari yang lain.
"Persaingan aneh para manusia bersayap itu berujung pada pertempuran antarsesama mereka. Para manusia bersayap saling berperang memperebutkan spiritia lawannya. Para penyembah merekapun terlibat dalam peperangan. Ratusan tahun peperangan dunia atas dan dunia bawah nyaris menghancurkan kedua dunia itu. Lalu semuanya berubah saat seorang manusia tanpa sayap berhasil menguasai satu spiritia yang jatuh ke dunia bawah."
"Siapa spiritia itu?" tanya Stallza.
"Spiritia pertama yang menerimamu," kata Ventinis.
"Iodesa?"
"Benar," kata Ventinis. "Dia adalah spiritia pertama yang berpihak pada manusia tanpa sayap. Orang yang pertama kali menggunakan kekuatannya, orang yang pertama kali bergabung dengannya, adalah seorang gadis yang hatinya murni. Dia hanya ingin mengakhiri perang. Dia tidak memakai para spiritia sebagai senjata pembunuh. Hal ini membuat semua spiritia berpaling padanya. Lalu akhirnya dia berhasil mengikat perjanjian dengan empat puluh spiritia.
"Suatu hari, para manusia bersayap bersepakat turun untuk membunuh gadis itu dan mengambil semua spiritia yang telah berpihak padanya. Empat puluh spiritia itu menolak untuk kembal. Mereka ingin bertarung, namun kemampuan mereka tidak ada apa-apanya tanpa bergabung dengan sang gadis. Gadis itu, tanpa tahu apa-apa, menggunakan sepuluh spiritianya secara bersamaan. Tanpa sadar tindakannya malah memanggil diriku, Ventinis, kembali ke dunia. Aku memunahkan semua manusia bersayap itu untuk selamanya. Manusia tanpa sayap bersuka cita saat melihat aku berhasil melakukan itu," jelas Ventinis.
"Apa yang terjadi pada gadis itu?" tanya Stallza.
"Dia menghilang. Dirinya terlupakan oleh nyaris semua orang. Manusia tanpa sayap seperti dirimu tidak sanggup membayar biaya untuk menggunakan kekuatan sepuluh spiritia sekaligus. Gadis itu tidak berhasil mempertahankan eksistensinya sebagai manusia dan akhirnya menghilang dari dunia dan ingatan sesamanya. Satu-satunya yang mengingat gadis itu adalah adik perempuannya yang masih kecil. Darinyalah lahir para pengendali spiritia," jawab Ventinis.
"Jadi dia adalah leluhur dari Lan?" tanya Stallza lagi.
"Benar," jawab Ventinis.
"Tapi aku bukan anggota keluarga Lan. Dia sudah memeriksanya. Lalu bagaimana bisa aku menjadi tuan para spiritia?"
"Karena kau melihatku saat muncul kembali ke dunia untuk kedua kalinya," kata Ventinis.
Stallza mengernyit. Dia berpikir dialah yang memanggil Ventinis untuk kedua kalinya ke dunia ini. "Siapa yang memanggilmu saat itu?" tanyanya.
"Ratu Aktania Araz Tantaluzia. Ratu kerajaan Mendev, ibu dari gadis yang kau cintai."
"Kukira sang ratu meninggal karena sakit."
"Itulah permintaan terakhir sang ratu. Dia berhasil memanggil diriku tanpa kehabisan eksistensinya. Tetapi dengan eksistensi yang dimilikinya, sang ratu tidak akan bisa bertahan. Karena itu dia meminta padaku untuk mengizinkannya wafat dengan tenang."
"Untuk apa dia memanggilmu?"
"Melawan sesuatu yang lahir bersama para Spiritia," kata Ventinis. Makhluk itu menghela napas panjang. "Dahulu kala di pinggir kerajaan Mendev muncul makhluk asing yang tidak bisa dikalahkan siapapun. Makhluk kegelapan itu lahir dari sisa-sisa diriku yang tidak berhasil berubah menjadi spiritia. Mereka kembali muncul dan mengganggu manusia. Saat itu mereka dikenal sebagai hantu dari hutan, monster pemakan manusia, penyihir jahat. Sang ratu, merasa bertanggung jawab terhadap spiritia, berperang sendiri melawan mereka semua. Di saat terakhir, dengan terpaksa sang ratu mengorbankan dirinya demi menghabisi mereka semua.
"Pertempuran dengan para makhluk kegelapan itu menghancurkan satu kota. Hanya sedikit yang selamat, banyak orang yang menjadi korban. Kau salah satu yang selamat, sedangkan kedua orang tuamu menjadi salah satu dari sekian banyak korban yang jatuh. Di antara semua orang yang selamat saat itu, hanya kau saja yang sadar saat aku muncul. Aku sempat melihatmu saat itu, saat kau masih berusia delapan tahun," kata Ventinis.
"Karena itu para spiritia itu bisa mengikat perjanjian denganku?"
"Benar."
"Lalu apakah aku akan hilang selamanya?"
"Tergantung keputusanmu," kata Ventinis. Cahaya yang memancar dari tubuh Ventinis meredup. Sosoknya berubah menjadi sesosok wanita berambut hitam panjang. Wanita itu memakai baju terusan putih berenda dengan lengan pendek. Keduanya terlipat anggun di depan perutnya. Dengan perlahan dia berjalan ke arah Stallza. "Berdirilah, Stallza," suara yang keluar dari mulut Ventinis kini adalah suara seorang wanita yang lembut.
Stallza menurunkan tangannya dan melihat pada sosok wanita di depannya. Saat melihat wajah orang di depannya, Stallza segera berdiri tegak dan menyilangkan tangan kanannya ke pundak kirinya. "Hormat pada yang mulia Ratu Aktania!" serunya pada wanita itu.
"Itu adalah namaku yang dulu. Kini aku adalah Ventinis. Aku dan sang ratu telah menyatu. Saat kau memanggilku, aku bisa bertemu dengan putri Lan kembali. Itu membuatku bahagia. Eksistensiku sebagai seorang Aktania sempat pulih. Aku mendengarkan keinginan putriku itu untuk menyelamatkan dirimu. Karena itulah kau berada di sini," kata Ventinis.
"Tapi saya tetap tidak bisa menjadi manusia kembali," kata Stallza sopan.
"Karena kau kebingungan. Kau bingung apakah kau layak untuk kembali. Kau bingung, apakah kau sesuai untuk putriku. Kukatakan padamu, tidak ada satupun bangsawan yang sepadan dengannya. Kau adalah orang yang tepat, pria yang bisa melindungi hatinya dari dunia kebangsawanan yang penuh kemunafikan itu," kata Ventinis.
"Tapi, Putri Lan saat ini…"
"Aku tahu," kata Ventinis. "Putri Lan saat ini dipengaruhi. Seseorang mengunci kesadarannya dan beberapa spiritiamu. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tetapi kekuatan gelap yang kulawan saat itu kini muncul di sini. Kekuatan itu bersatu dengan kekuatan milik makhluk merah yang menculikmu ke sini. Tetapi ingatlah, tempat kalian berdua adalah di Ventinis. Tidak ada yang bisa mengambil kalian dariku."
"Lalu apa yang harus saya lakukan?"
"Jangan takut," jawab Ventinis. Dia mengulurkan tangannya pada Stallza. Di tangannya terdapat sebuah kristal yang memancarkan cahaya putih yang terang. "Ini adalah intisariku. Aku dan sang ratu berkenan mengizinkanmu menggunakan kristal ini sebagai spiritiamu. Dengan aku sebagai spiritiamu, maka kau bisa menghancurkan dunia ini dan memulangkan Putri Lan kembali ke Ventinis. Sampai saat itu tiba, aku ingin kau menjaganya dengan kristal ini."
"Tapi…"
"Jangan takut. Aku menyertaimu. Kau tidak akan kehilangan eksistensimu sebagai jiwa. Di dalam kristal ini ada eksistensi gadis yang memanggilku pertama kalinya, eksistensi sang ratu, dan juga eksistensimu. Aku tidak butuh apa-apa lagi," kata Ventinis.
Stallza ragu untuk mengambil kristal itu. Dia merasa tidak layak memilikinya. Tapi senyuman sang ratu menyemangatinya. Kini Stallza tahu dari siapa senyuman manis Lan berasal.
"Akan kupulangkan Lan ke Ventinis," kata Stallza mantap. "Dan akan kugunakan kekuatan Anda pada waktu yang tepat."
"Keputusan yang bijak, Stallza," kata Ventinis. "Ah, aku hampir lupa. Sebelum aku pergi, ada yang ingin bertemu kembali denganmu." Ventinis memberi tanda agar Stallza berbalik. Stallza mengikuti keinginan Ventinis.
Sesosok gadis berambut panjang berwarna jingga dengan mata merah menangis saat Stallza melihatnya. Gadis bergaun merah itu berlari ke arah Stallza dan segera memeluknya.
"Iodesa, maafkan aku," bisik Stallza sambil mengelus kepala gadis itu untuk menenangkannya.
"Jangan lupakan kami, Tuan." Seorang gadis bersuara berat muncul di belakang Iodesa. Gadis berambut hitam dan memakai cadar itu berdiri dengan sebilah pedang hitam di tangannya.
"Plumbina," sahut Stallza gembira.
Plumbina memeluk Stallza dan Iodesa. "Aku senang bisa kembali," bisiknya lembut.
"Bagaimana dengan teman-teman yang lain?" tanya Stallza.
"Mereka segera ke sini," jawab Plumbina. "Mereka masih tertahan."
"Tertahan di mana?"
"Di dalam tubuh Putri Lan," kata Iodesa sesengukan. "Gadis bernama Abby menangkap kami. Entah bagaimana dia memasukkan spiritia lain ke dalam tubuh sang putri di luar kehendaknya. Plumbina berhasil membawa pergi diriku dan Ventinis. Karena itu kami berhasil berada di sini, bertemu dengan tuan kembali."
"Aku tidak pernah tahu kalian bisa memiliki wujud nyata seperti itu," kata Stallza pada Plumbina dan Iodesa.
"Putri melakukan jurus terlarang," kata Plumbina.
Stallza mengernyit. Plumbina tahu kalau tuannya tidak mengerti apa yang dia katakan. Maka diapun melanjutkan dengan singkat. "Penyatuan dunia," katanya sambil melirik Iodesa, berharap gadis itu mau menjabarkan lebih lanjut.
"Kakek dari tuan putri adalah pengendali spiritia dan juga pandai besi yang hebat. Dia adalah orang yang membuat belati khusus yang bisa menghubungkan dunia manusia dan spiritia. Saat seorang manusia menusukkan dirinya sendiri dengan belati itu, belati itu akan menyatu dengan dirinya dan orang itu akan membuka gerbang dua dunia melalui dirinya sendiri," kata Iodesa.
"Lalu apa bayarannya?" tanya Stallza serius.
"Darah," kata Plumbina.
Stallza menoleh pada Iodesa untuk mendapat jawaban lebih jelas.
"Seluruh darah di tubuh tuan putri akan habis jika teknik ini tidak dibatalkan dalam seminggu. Dan cara membatalkannya melalui teknik "Extracto". Dibutuhkan dua belas belati. Satu belati pada tuan putri. Sisanya ada pada tuan," kata Iodesa.
"Berapa hari telah berlalu?" tanya Stallza.
"Enam," kata Plumbina. "Beberapa jam lagi tepat tujuh hari."
"Berarti kita harus keluar dari sini. Segera. Aku harus mengalahkan hantu bernama Deismo, Heismo, dan Seismo. Dan meski bisa membebaskan teman-teman yang lain, aku juga belum tahu bagaimana caranya melepaskan pengaruh musuh pada tubuh Lan. Kuharap kalian bisa membantuku nantinya," kata Stallza. Plumbina dan Iodesa menganggu bersamaan.
Stallza menoleh ke belakang. Sosok Ventinis tidak ada lagi di sana. Sebagai gantinya muncul sebuah pintu.
"Kita keluar," kata Plumbina.
Stallza mengangguk.
"Ke mana guci-guci yang selama ini kau bawa?" tanya Stallza pada Plumbina saat mereka bertiga berjalan menuju pintu.
"Rahasia," jawab Plumbina singkat. Matanya tersenyum. "Semua wanita harus punya rahasia, bukan?"
~~~
XI
Deismo bosan menunggu. Waktu yang tersisa untuk babak ini tinggal tiga jam. Dia harus segera membunuh Stallza untuk menang jika ingin kesempatan keduanya menjadi kenyataan. Sebelumnya dia telah menghancurkan pintu yang dimasuki Stallza. Tetapi dia tidak menemukan seorang pun di dalam ruangan itu. Hanya ada ruangan kosong dipenuhi tumpukan batu berwarna merah. Deismo memasuki ruangan lain. Tetapi dia malah terlempar ke sebuah dunia asing dengan beragam mesin berwujud manusia. Deismo yang panik dan bingung sempat tersesat dan membuat kerusakan di dunia itu. Kepanikannya berakhir saat dia memasuki sebuah pintu dan kembali ke arena pertandingan. Saat itu, dunia mesin yang ditinggalkannya telah porak poranda.
Belajar dari pengalaman, Deismo tidak dengan sembrono memasuki sebuah ruangan. Hantu itu membuka sebuah pintu dan mengintip ke dalam. "Tidak ada apapun di sini," katanya. Saat dia meninggalkan ruangan itu, Seismo segera menghancurkan pintunya dengan senang hati. Deismo melakukannya beberapa kali hingga seluruh ruangan di lantai tiga sudah hancur berantakan.
"Apa yang akan kita lakukan pada gadis manusia di bawah sana, Deismo?" tanya Heismo yang duduk di punggung Deismo. Tangannya sibuk dengan Ókedex, ensiklopedia digitalnya. "Ah, dan kurasa dia tidak termasuk peserta sama sekali. Tidak ada data tentang dia di sini," lanjut Heismo sambil menunjuk Ókedex miliknya.
"Apa kau yakin?" tanya Deismo.
"Untuk masalah nama peserta dan muka alat ini seratus persen akurat!" protes Heismo.
"Tapi tidak dengan kemampuan para peserta bukan?" ejek Seismo.
"Sisik pelindung Stallza bukan termasuk kemampuan awalnya. Jelas saja salah!" kata Heismo membela diri.
"Ya, ya, ya. Si banyak gaya dan mulut besarnya," ejek Seismo lagi.
"Kau sendiri monyet liar tidak punya otak!" balas Heismo.
"Apa?! Kau mau berkelahi, hah?!"
"Siapa takut?!"
"Kalian berdua diam!" bentak Deismo. Kedua hantu kecil itu langsung terdiam. Meski masih saling mengancam dengan tatapan mereka, tidak satupun yang melakukan tindakan apapun terhadap lawannya.
"Ah, teman kita sudah tiba," kata Deismo saat melihat sebuah pintu di lantai dua tiba-tiba terbuka. Dia melirik ke sosok gadis yang berdiri diam bagaikan boneka di lantai dasar. "Dan sepertinya dari pertarungan sebelumnya aku tahu apa yang harus kita lakukan dengan gadis di bawah sana. Hehehe," katanya diikuti tawa kejam seperti penjahat-penjahat dalam film.
"Ah, aku suka jika kau sudah tertawa seperti penjahat, Deismo. Huhuhuhu," kata Seismo. Hantu berwarna merah itu ikut tertawa seperti Deismo.
"Aku tidak paham apa yang kalian katakan, tapi sepertinya ini menyenangkan. Hihihihi," kata Heismo sambil ikut tertawa.
"Heismo, diam!" kata Deismo dan Seismo bersamaan, membuat Heismo seketika membisu.
~~~
Stallza, Plumbina, dan Iodesa melangkah melewati ambang pintu di dalam dunia tempatnya bertemu Ventinis dan mendapati dirinya kembali ke arena pertarungan. Tetapi bukan itu saja, begitu dia masuk kembali ke arena pertarungan, dia melihat makhluk aneh berbentuk kepompong seukuran manusia. Seluruh kepompong itu terbuat dari rantai beraneka bentuk. Dari tubuh kepompok itu juga terdapat dua belas rantai berukuran panjang dengan ujung-ujung tajam seperti cakar. Empat dari dua belas rantai itu menancap ke dinding, menahan tubuhnya di udara.
"Apa dia masih makhluk yang sama?" tanya Stallza bingung.
"Itu adalah dua di dalam satu," kata Plumbina singkat.
"Maksudnya?" tanya Stallza.
"Dia adalah makhluk yang dibentuk oleh dua sosok yang sebenarnya sama. Seperti belahan diri dari satu makhluk yang sama," kata Iodesa menjelaskan.
"Dia benar," kata Heismo. Hantu berwarna hijau itu muncul dari belakang sosok kepompong itu. " Ini adalah Vrysali. Salam kenal semuanya," kata Heismo, seakan-akan dialah yang sedang memperkenalkan diri.
"Sekarang apa, Tuan?" tanya Plumbina.
"Bergabunglah denganku," jawab Stallza.
Plumbina mengangguk. Stallza berbisik, "Spiritialis." Sosok Plumbina berubah menjadi asap yang berputar-putar mengelilingi tubuh Stallza. Saat asap itu menghilang, di tangan Stallza sudah terdapat sebuah pedang berwarna hitam legam. Jubahnya berubah menjadi pakaian hitam. Sebuah kain hitam muncul dan melindungi mulut dan hidungnya.
"Bahkan spiritialismu baru, Plumbina," bisik Stallza.
Stallza merogoh kantung tas pinggangnya dan mengeluarkan sebuah belati dan menjatuhkannya ke lantai. "Ini adalah titik pertama," katanya. Stallza mengambil satu belati lagi dan dengan segera melemparnya ke arah Heismo.
Heismo berhasil menghindar. Belati yang dilempar ke arahnya meleset dan menancap di dinding di belakangnya. "Hei! Aku hampir kena, tahu! Tidak sopan!" protesnya.
"Dan itu adalah titik kedua," kata Stallza, mengabaikan apa yang dikatakan oleh Heismo. "Tinggal sembilan lagi."
Heismo memeriksa Ókedex miliknya. Dia mencari segala hal mengenai Stallza. Dia mendapati data mengenai belati Stallza yang bisa digunakan sebagai senjata lempar dan senjata tarung dekat. "Hanya senjata biasa, toh? Vrysali, serang dia secara langsung," katanya pada kempompong rantai yang ditumpanginya.
Kepompong rantai yang melayang di tengah arena mengangkat delapan rantai panjangnya yang tersisa. Gerakan berikutnya nyaris tidak terlihat oleh mata. Empat rantai meluncur seperti panah ke arah Stallza. Beruntunglah Stallza bisa mengantisipasi gerakan itu dengan melompat ke atas. Iodesa yang berdiri di belakang Stallza juga sudah terlebih dulu kembali ke bentuk kristalnya dan berlindung di dalam tas Stallza.
Sementara berada di udara, Stallza melempar dua belati lagi ke dinding kiri dan kanan si kepompong rantai. Kini seluruh arena sudah berada dalam wilayah kendali Stallza. "Extracto!" seru Stallza.
Keempat belati yang dilempar Stallza memancarkan cahaya yang saling terhubung. Daerah di dalam keempat titik itu seketika memancarkan cahaya terang yang membutakan. Inilah Extracto, kemampuan Stallza untuk mengumpulkan informasi lawan. Waktu di dalam Extracto nyaris tidak berjalan. Dengan bantuan spiritia-spiritianya, Stallza meneliti lawannya. Mereka menembus tubuh si kempompong rantai dan si hantu kecil, lalu kemudian kembali ke Stallza dengan membawa informasi yang dibutuhkan pria itu.
Extracto hanya berlangsung sedetik di dunia nyata. Bagi orang biasa, cahaya yang muncul di tengah-tengah keempat belati yang dilempar Stallza hanya terlihat seperti kilatan kecil. Tidak ada yang sadar apa yang terjadi, kecuali Stallza sendiri.
"Namamu Deismo. Kedua hantu itu adalah belahan dirimu. Kemampuanmu yang utama adalah sihir panas dan dingin. Tubuhmu sebenarnya tidak bisa dilihat oleh mata manusia biasa. Sayangnya orang yang kau hadapi ini sudah bukan manusia biasa lagi. Karena kau mengalahkan Kinnara dan Kinnari, maka kau bisa menjadi monster seperti sekarang. Seharusnya kau sudah kalah dan musnah, namun sepertinya demi menjaga babak ini berlangsung, kau dimunculkan. Aku benar, bukan?" kata Stallza.
"Ba—bagaimana kau bisa tahu!?" seru Heismo kaget. Si hantu kecil nyaris mengangkat wajahnya dan menatap Stallza langsung, tetapi Stallza sempat menghentikannya.
"Jangan angkat wajahmu. Aku tidak mau mengurusi makhluk gila," kata Stallza.
"Sampai itu juga kau tahu?" bisik Heismo lirih. Si hantu kecil itu mengangkat wajahnya dan melihat langsung wajah Stallza. Badannya bergetar hebat. Matanya menjadi gelap. Jubah hijau yang menandakan dirinya menghilang. Heismo mulai menggeram. "Vysali! Jangan tanggung-tanggung!" teriaknya parau.
Merespon teriakan Heismo, Vysali menyerang Stallza dengan kedelapan rantainya. Stallza melompat ke salah satu rantai namun rantai itu ditarik kembali sebelum sempat dijadikan jalan oleh Stallza. Satu rantai menyerang dari depan dan tiga rantai lain dari belakang saat Stallza melayang di udara. Stallza tidak menghindar. Dia berputar di udara, menebas hancur keempat rantai itu dengan mudah.
"Graaahhh!! Vysali! Tunjukkan saja gadis itu sekarang!" teriak Heismo gusar. Hantu kecil itu mungkin sudah menggila, tapi dia tetap saja tidak berani maju dan menyerang Stallza secara langsung.
Vysali membuka kepompong rantainya. Dari dalam kepompongnya muncul Lan yang terbungkus rantai dari kaki hingga ke mulut. Mata gadis itu masih kosong, seperti boneka hidup.
"Mwahahahahahaha! Kami tahu dia penting untukmu! Kalau kau ingin dia selamat, buang semua senjatamu! Menyerahlah sekarang dan matilah!" seru Heismo.
Stallza menghela napas. Musuhnya kali ini cukup pengecut juga. "Baiklah, akan kulakukan," katanya sambil mengambil belatinya yang tersisa. "Sebenarnya aku sudah menunggu ini dari tadi," Stallza membuang belatinya ke sekeliling arena pertandingan seolah-olah tanpa arah.
"Terserah apa katamu! Sekarang buang semua spiritiamu!" teriak Heismo.
"Apa kau yakin?" Stallza mengusap dagunya. "Ah, dan meski jubahmu hilang, aku masih bisa melihatmu dengan jelas. Ternyata kau kelihatan cebol tanpa jubah itu."
Heismo mengambil rantai dan melilitkan rantai itu ke leher Lan. "Buang atau kubunuh gadis ini!" teriak hantu kecil itu sambil menarik rambut merah Lan dengan kasar.
Stallza membuang semua kristal spiritia dari dalam tasnya ke bawah. Saat perhatian Heismo teralihkan, Stallza menjentikkan jarinya. Sebelas belati yang tersebar di seluruh arena memancarkan cahaya dan saling terhubung satu dengan lainnya. Sekali lagi belati-belati itu berubah bagaikan pagar yang mengelilingi Stallza, Lan, dan trio hantu di dalam arena. Tanah di bawah mereka bersinar terang, dan Stallza tersenyum.
"Yang terakhir padamu," kata Stallza sambil menunjuk Lan. "Extracto!"
~~~
XII
Dalam Extracto, dunia berjalan sangat lambat. Sedetik bagaikan sehari. Dunia Satu Detik, itulah julukan lain teknik ini. Dalam dunia seperti itu, seluruh spiritia bisa menjadi apa saja. Mereka yang dalam keadaan biasa tampak seperti roh, kini bisa berubah ke bentuk asli mereka tanpa perlu meminjam sepersepuluh eksistensi Stallza sebagai pengguna mereka.
Beberapa spiritia Stallza mencoba menembus tubuh Lan. Mereka mencoba menarik kawan mereka yang terperangkap dalam tubuh gadis itu. Tetapi mereka terpental oleh sesuatu yang tak kasat mata. Gadis itu berontak. Sesuatu yang mustahil dilakukan oleh orang lain selain pengguna spiritia di dalam Extracto ini.
"Aku terpaksa maju," kata Plumbina. Dalam dunia Extracto dia melepaskan diri dari Stallza. "Apa boleh?"
"Apa tidak ada cara lain?" tawar Stallza.
"Selubung itu," kata Plumbina sambil menunjuk ke arah Lan. "Akan kutebas."
Stallza takut jika Lan akan terluka. Dia tidak bisa melihat selubung yang dikatakan Plumbina. Tetapi tatapan mata Plumbina tampak sangat yakin. Stallza tidak punya pilihan lain untuk percaya. Lagipula dia yakin Plumbina tidak akan melukai Lan. Maka Stallza pun mengangguk setuju.
Begitu mendapat persetujuan, Plumbina melesat ke arah Lan. Dengan gerakan yang cepat dia menebas udara di sekitar tubuh gadis itu. Udara di sekeliling Lan yang tampak tak kasat mata berubah menjadi gelap. Sebuah selubung berwarna hitam muncul sesaat sebelum akhirnya robek akibat luka tebasan Plumbina.
"Sekarang," kata Plumbina pada kawan-kawannya.
Para spiritia kembali mencoba menembus tubuh Lan. Kali ini mereka berhasil. Semua spiritia yang terkurung di dalam diri gadis itu terlepas. Kini tersisa Lan yang masih memberontak gila.
Seorang spiritianya muncul di samping Stallza. Wujudnya seperti seorang wanita bangsawan berkulit putih dan bertubuh tinggi. Tubuhnya tampak anggun dalam balutan terusan berlengan pendek berwarna emas, dengan belahan samping yang memanjang hingga ke pahanya. Rambutnya yang pirang dan panjang dikepang dan digelung ke atas. Matanya yang hijau menatap lembut pada Stallza.
"Auria," sapa Stallza.
"Apakah Anda membutuhkan saya, tuan?" tanya Auria lembut.
"Apa kau bisa menenangkan Lan?"
"Aku sudah bersama tuan putri sejak kecil. Aku tahu cara menenangkan dia jika kesal," kata Auria. Wanita itu berjalan anggun ke arah Lan yang masih berontak dalam kekangan rantai. Dengan lembut Auria mengelus kepala Lan. "Tenanglah, Tuan Putriku. Tenanglah," bisiknya lembut di telinga Lan. Cara ini berhasil meredakan Lan untuk sesaat, sebelum dia kembali meronta-ronta. "Sepertinya masih ada kegelapan di dalam hati tuan putri," kata Auria kecewa.
"Terima kasih, Auria. Kau sudah sangat membantu," kata Stallza lembut. Dia kini telah berdiri tepat di depan Lan. Dengan lembut dia menyentuh wajah gadis itu. "Jika semuanya tidak bisa mengembalikanmu padaku, maka aku sendiri yang akan membawamu kembali," kata Stallza pada Lan.
Stallza menghancurkan rantai yang melilit wajah Lan. Apa yang dilakukan Stallza berikutnya membuat Auria terkejut. Stallza mengangkat dagu Lan, dan dalam gerakan yang cepat dia menempelkan bibirnya dengan bibir gadis itu. Tidak hanya sampai itu saja. Seluruh rindu dalam hati Stallza yang menumpuk selama ini mendesaknya untuk memagut bibir gadis itu lebih lama. Dia tidak ingin semua ini berakhir segera.
Lan berontak ingin lepas dari Stallza. Tetapi Stallza menarik kepalanya. Dia berusaha menolak saat lidah pria itu mulai menyeruak masuk ke dalam mulutnya. Tetapi saat lidah mereka bertemu, tubuhnya kaku seketika. Sesuatu dalam dirinya bangkit. Kerinduan yang mendalam mendorongnya untuk membalas Stallza. Ya, dia mengingat rasa ini. Kebersamaan terakhir mereka sebelum perang besar yang membuat mereka terpisah. Rasa cinta yang manis dari hubungan yang tak mengingat status sosial, hanya ada pemuda dan gadis muda yang ingin menjadi satu. Lan terlarut dalam perasaannya, menikmati setiap gerakan Stallza dan membalasnya. Ah, inilah yang dia inginkan. Air matanya mengalir. Selubung hitam yang menyelimuti pikiran dan hatinya hancur berkeping-keping oleh Stallza, pria yang mencintainya dan dia cintai.
Auria mendehem. "Maaf, tuan, putri. Tapi di sini banyak orang," kata wanita itu.
Teguran halus Auria membuat Stallza dan Lan sadar. Dengan cepat Stallza menarik dirinya sendiri menjauh. Dengan malu-malu dia membersihkan bibirnya sendiri. Stallza mencuri pandang pada Lan. Gadis itu menunduk denngan muka merah seperti udang rebus. Dia sudah kembali.
"Kalau kita tidak bisa kembali hidup-hidup dari sini, kuhajar kau," kata Lan pelan. Tanpa diketahui siapapun, sang putri menjilati apa yang tersisa dari ciuman mereka berdua.
"Syukurlah kau sudah kembali," kata Stallza pelan.
"Dan karena semuanya sudah kembali, bagaimana kalau kita keluar dari sini sebelum semuanya jadi lepas kendali?" sahut Ferra. Spiritia berwujud gadis dengan rambut merah dan kulit cokelat gelap itu menyengir. Tangan kanannya merangkul leher seorang gadis berambut perak dengan sepasang telinga serigala yang menangis. "Maaf karena aku menyerangmu," kata Ferra pada Stallza.
"Aku tahu kalian dipengaruhi," kata Stallza. Dia mendehem sebentar sebelum melanjutkan, "Sesuatu yang menguasai kalian sudah hilang sekarang."
"Semua berkat ciuman yang panas, ya?" goda Ferra. Stallza mendehem gugup.
"Tuan…" Gadis yang dirangkul Ferra menangis terisak.
"Diamlah, anak anjing," bisik Ferra sambil memutar-mutar kepalan tangannya ke kepala gadis berkuping serigala itu.
"Aku ini serigala!" bantah gadis itu.
"Anak serigala masih belum cukup umur untuk mengerti cinta orang dewasa. Hohohoho," kata spiritia berwujud gadis muda yang seluruh tubuhnya diselimuti kabut.
"Diam kau, tante mesum! Nitria bodoh!" teriak si kuping serigala
"Kau yang diam, Koboldia," kata Ferra sambil menjitak kepala gadis yang dirangkulnya.
"Aw! Sakit, kak!" balas Koboldia.
Spiritia-spiritia Stallza yang berwujud seperti gadis manusia menanggapi aksi Stallza dengan beragam gaya. Almena menutup matanya, namun dengan menyisakan sedikit celah di jarinya. Argia menutup mata adiknya, Cupria. Silic tampak tidak peduli, tapi entah mengapa ada sedikit rona merah muncul di wajahnya yang putih. Nicca bersiul. Iodesa pura-pura tidak melihat ke arah Stallza dan Lan meski wajahnya merona merah seperti udang rebus. Sedangkan beberapa gadis yang lain bersembunyi di belakang Phosporosso.
"Kalian kenapa bersembunyi?" tanya Phosporosso pada para gadis di belakangnya. Para gadis itu menggeleng. Mereka sendiri tidak tahu mengapa mereka sembunyi, meski mata mereka tetap memperhatikan semua yang dilakukan oleh tuan mereka. Dan muka mereka semua sudah seperti orang yang kena panas tinggi. Jika Auria tidak menghentikan keduanya, mungkin salah satu dari mereka akan mimisan dan pingsan di tempat.
"Ah..," Stallza mendehem untuk kesekian kalinya. Dia sudah cukup kikuk dengan keadaan ini. "Teman-teman sekalian, terima kasih karena sudah kembali padaku. Musuh kita masih ada di luar. Mereka masih duduk di atas sementara melihat kita di sini seperti binatang yang diadu. Dan aku tidak suka itu. Aku ingin membalas mereka semua. Apa kalian bersamaku?"
"Ya!" seru semua spiritia secara serempak.
"Kalau begitu kita keluar dari sini dan menyerang balik!"
"Ya!!" seru semua spiritia lagi.
Para spiritia kembali ke dalam tas pinggang Stallza. Kini hanya ada dirinya, Lan, dan trio hantu yang menjadi latar dari semua peristiwa yang terjadi selama ini.
Stallza tersenyum lembut pada Lan. "Kita bertemu nanti di luar," bisiknya.
Lan mengangguk. "Semoga kita bisa kembali ke Ventinis," kata gadis itu.
Stallza menunjukkan kristal yang diberikan Ventinis padanya. "Aku sudah memiliki ini," kata Stallza.
Mata Lan melebar. "Siapa yang memberimu itu?" tanyanya.
"Ventinis sendiri," jawab Stallza.
"Stallza… itu adalah kristal jiwamu. Saat kau mengembalikannya ke dalam dirimu, kau akan menjadi manusia kembali. Tapi itu berarti jika sesuatu terjadi padamu…" Lan tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Bayangan kehilangan Stallza untuk kedua kalinya melintas di pikirannya.
Stallza merasakan kesedihan Lan. Kesedihan gadis itu adalah kesedihannya juga. "Aku akan hati-hati," katanya sambil mengelus pipi Lan. "Ventinis juga menyuruhku tidak menggunakan kristal ini dengan sembrono."
Lan mengangguk. "Aku mencintaimu," kata gadis itu.
Stallza membalas pernyataan gadis itu dengan kecupan singkat. "Akan kubawa kau pulang," katanya. Cahaya yang memenuhi Dunia Satu Detik mulai meredup. Bersamaan dengan itu, perlahan dunia satu detik mereka pun memudar.
XIII
Sedetik terasa seperti sehari telah berlalu. Kini Stallza kembali ke dunia nyata bersama sepasukan spiritia yang siap membantunya. Heismo yang masih menggila sedikit terkejut, tapi bagi hantu itu segalanya hanya seperti kilatan petir. Hanya Stallza dan Lan yang tahu apa yang sedang terjadi.
"Apa yang kau lakukan?!" teriak Heismo. Tangannya hendak mencengkeram leher Lan, tanpa menyadari perubahan apapun pada gadis itu.
Tepat sebelum lehernya dicengkeram, Lan berteriak keras, "Ferra! Helia! Spiritialis!" Sebuah kristal meluncur keluar dari tas Stallza dan masuk ke dalam gadis itu. Sosok Lan berubah begitu kristal itu masuk ke dalam dirinya. Rambutnya berubah menjadi merah menyala. Kulitnya berubah menjadi cokelat gelap. Lan menghancurkan kepompong yang menahannya dengan mudah. Lan tidak terjatuh. Spiritialis—penggabungan dirinya dengan spiritia—dengan Helia memberikan kemampuan melayang di udara pada penggunanya.
"Apa?!" teriak Heismo tidak percaya. Di saat bersamaan, rantai-rantai yang putus menghantamnya hingga tubuhnya terpental ke tembok. Heismo tidak bergerak lagi setelah itu.
Lan tidak berhenti sampai di situ. Gadis itu mengangkat kedua tangannya. Dari udara kosong bermunculan ratusan pasak besi. Dengan sekali ayun ratusan pasak itu menghantam Heismo dan Vrysali. Kedua makhluk itu babak belur, namun mereka belum kalah.
Vrysali kembali terpisah menjadi Deismo dan Seismo. Keduanya terhempas ke lantai satu, sedangkan Heismo masih terkapar di lantai dua.
"Sialan!!!" teriak Seismo kesal. Dipandanginya wajah Lan. Seketika emosinya memuncak. Matanya menjadi gelap. Jubah merahnya lenyap, membuat sosoknya menghilang dalam pandangan Lan.
Seismo melompat ke arah Lan untuk menyerang kepalanya, tetapi insting Lan masih bisa merasakan keberadaannya. Gadis itu menghindar sebelum Seismo berhasil menyarangkan pukulannya.
"Buat saja mereka kelelahan," kata Stallza yang berdiri di lantai dua, tepat di belakang Lan.
"Jangan bicara saja! Bantu aku, dong," seru Lan pada Stallza. Seismo yang tak terlihat kini kembali menyerang, membuatnya terpaksa melayang makin ke atas untuk menghindar.
"Ayolah. Setelah tidak melihatmu sekian lama, setidaknya berikan aku waktu mengagumi cara bertarungmu," goda Stallza. Lan membalasnya dengan melemparkan pasak ke arahnya, yang dihindarinya dengan mudah.
Lan dan Stallza sejenak lupa pada Deismo. Mereka tidak sadar si hantu hitam itu telah melihat wajah Stallza. Secara tiba-tiba hantu setinggi tiga meter itu dan nyaris menghantam Stallza. Deismo tidak berhenti di situ. Dia memutar tubuhnya dan mengejar Lan yang melayang-layang di udara.
"Nitria!" seru Lan.
"Koboldia!" seru Stallza.
Sesosok gadis dengan sayap biru dan kabut yang menyelimuti dirinya muncul di depan Lan. Gadis itu mengerling pada sang putri. "Pertunjukan yang luar biasa, nona," katanya.
"Fokus pada pertarungan, Nitria," balas Lan. Mukanya kembali panas.
Di depan Stallza muncul seorang gadis berambut perak dengan ekor dan telinga serigala. Gadis itu tampak merengut. "Oh? Jadi aku dipanggil juga, ya?" katanya ketus.
"Fokus pada pertarungan pertarungan, Koboldia," kata Nitria.
"Iya, iya, tante mesum," balas Koboldia. Sebuah belati lengkung muncul di masing-masing tangannya.
Nitria hanya tersenyum mendengar ocehan Koboldia. Matanya sendiri tidak lepas dari sosok Seismo dan Deismo—sosok keduanya tidak terlihat di mata manusia biasa, tetapi bagi spiritia keduanya tampak jelas. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Sebelum keduanya sempat menyerang kembali, Nitria menyebarkan kabut yang menyelimuti dirinya memenuhi seluruh arena. Cukup untuk membuat suhu dingin dan pandangan terbatas.
Koboldia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Meski tidak begitu akrab dengan Nitria yang selalu menggodanya, dalam pertarungan Koboldia bisa bekerjasama dengan mudah dengan spiritia pengendali es itu. Kabut bukan masalah baginya. Dengan gerakan cepat dia melesat di tengah kabut itu dan menyabetkan belatinya pada Seismo dan Deismo. Tubuh fisik kedua hantu itu tercabik-cabik. Deismo dan Seismo berusaha menyerang balik, tetapi kabut yang memenuhi arena itu membuat mereka malah saling menyerang.
Bunyi saat kedua hantu saling menghantam terdengar seperti tulang retak. Pada kenyataannya, seluruh tubuh Seismo hancur berkeping-keping karena hantaman kepalan tangan Deismo. Di saat bersamaan, tangan Deismo juga hancur karena gelombang getaran dari hantaman Seismo.
"Mereka saling menghancurkan," kata Nitria. "Saatnya menghabisi keduanya."
Koboldia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan cepat dia menyerang Deismo bertubi-tubi hingga akhirnya tubuh hantu itu hancur menjadi debu.
Setelah memastikan hawa keberadaan Deismo dan Seismo telah lenyap, Nitria kembali menarik kabut dingin yang menyelimuti arena ke dirinya. "Pertarungan ini selesai," katanya.
"Masih belum," kata Stallza. Pria itu menunjuk ke atas.
Lan, Nitria dan Koboldia menengadah ke atas. Mereka melihat sebuah balkon melayang di atas selubung berwarna merah. Di atas sana tampak Thurqk dan Abby. Seorang pria berkacamata terikat di tiang di samping Thurqk dengan tubuh bersimbah darah.
"Gadis itu yang membuatku hilang ingatan," kata Lan dingin.
"Gadis itu sudah beberapa kali kutemui. Dia yang membuatku terlempar ke arena ini," kata Stallza.
Nitria merasakan ada sesuatu yang aneh pada gadis yang sepintas tampak polos di samping Thurqk. "Dia bukan anak kecil biasa. Sebaiknya kita ke tempat tuan Stallza, nona. Kurasa dia sedang merencanakan sesuatu yang buruk lagi," katanya pada Lan.
Lan mengangguk setuju. Dia melayang menuju tempat Stallza berdiri, namun sebelum dia sampai, sosoknya ditelan sesosok asap hitam yang menghilang lenyap seketika.
"LAN!!" teriak Stallza yang terkejut melihat kekasihnya menghilang di depan matanya. Belum hilang keterkejutannya, beberapa asap hitam yang terbang seperti hantu menerjang Koboldia dan Nitria dan menghilangkan kedua spiritia itu.
Stallza menatap murka pada Thurqk. Dia melompat menerjang ke atas, namun dia tidak menyadari pusaran asap hitam yang muncul dari tengah-tengah arena. Pusaran itu menyerap sisa-sisa Deismo dan kedua belahan dirinya ke dalam kegelapan. Pusaran itu juga menarik Stallza yang melayang di udara. Pusaran asap hitam itu seketika lenyap ketika berhasil menelan Stallza. Kini tidak ada satupun yang tersisa di dalam arena.
~~~
XIV
"Untuk apa kau membawa mereka pergi, Abby? Kalau mereka mencoba melawanku, maka aku bisa menghancurkan mereka langsung dengan selubung arena ini," kata Thurqk sedikit kesal.
"Aku pikir akan lebih menarik menyimpan yang paling unik sebagai yang terakhir dibunuh," kata Abby polos. "Lagipula pertarungannya menyenangkan."
"Menyenangkan apanya! Dua kali kilatan cahaya, lalu tiba-tiba si pengacau kembali berpihak padanya! Dan peserta boneka yang kumunculkan tidak bertahan lama! Lalu apa itu, semua peserta hilang selama satu jam. Satu jam yang terbuang percuma!" teraik Thurqk gusar. Dia menoleh kepada Nolan yang nyaris pingsan karena sakit. "Ini pasti ulahmu! Setelah ini aku akan memotong-motong tubuhmu dan menyatukannya kembali untuk kupotong-potong lagi!" teriaknya.
"Anda tidak melihat apa yang terjadi?" tanya Abby. Dia menatap polos pada sang dewa. "Aku melihat jelas semuanya. Si Stallza ini cukup licik, mencari kelemahan lawan saat mereka tidak bisa melakukan apa-apa," katanya.
"Jangan bicara macam-macam, Abby! Aku tidak melihat apapun itu berarti tidak ada apa-apa yang terjadi! Paham!" seru Thurqk dengan suara parau.
Abby mengedikkan bahu. Dia tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi. Dia tidak perlu memberitahu sang dewa bagaimana Stallza menghancurkan selubung gelap yang mempengaruhi jiwa dan pikiran Lan. Dia tidak perlu memberitahu semua rahasia yang hanya dia saja yang tahu.
Abby kembali mengayunkan kakinya dengan riang. Sebentar lagi rencananya akan berjalan. Untuk saat ini, dia ingin menikmati pertunjukan penuh darah yang akan disajikan Thurqk berikutnya.
~~~
Meski udah sering baca entri panjang, entah kenapa rasanya entri ini panjang banget saya bacanya, walau pas dirangkum berdasarkan poin apa" yang terjadi, sebenernya ga segitu banyak juga. Mungkin panjangnya karena setiap adegan banyak deskripsinya, atau percakapan"nya.
ReplyDeletePadahal di akhir saya kira Stallza-Lan bakal jadi kayak Ursario-Ursula, tapi Lan diculik lagi, ya? Kayaknya di antar peserta yang tersisa ini emang Stallza yang paling benci sama Thurqk di canon-nya
Nilai 9
DeletePenulisan dialog rapi, tanda baca oke. Kombinasi embed dialog sama yang terpisah pun enak dibacanya. Pokoknya penulisan udah mantep banget. Berkembang pesat kalau dibandingin sama tulisan yg dipost di Lounge fanpage. Tapi sejak awal di lounge juga emang keliatan udah rapih banget sih dialognya.
ReplyDeletePoin menarik ada di penggambaran adegan penutup di beberapa bagian yang bisa mancing penasaran pembaca. misalnya di bagian ini: [Di tengah arena, Stallza menatap makhluk merah yang tertawa di atasnya dengan penuh murka.] Ada juga referensi ke Yvika. Cerita yang dibuat Om Zoel di wall dijadikan sebuah ancaman tak terduga bagi Thurqk di entry ini.
Lalu di tengah-tengah, waktu Stallza-Lan join itu muncul kesan harem yang kuat(?) ditambah bumbu komedinya yang tutup-tutupan mata antar spiritia, jadi jeda yang bagus sebelum launjut serangan balasan ke tiga trio hantu itu. Kalau saya malah rada kebalikan dari bang sam, meskipun ini memang panjang, dialog Abby dan Thurqk di akhir bikin saya bilang, "Lho? Udah selesai?" Saya ngerasa masih menikmati pertarungan terakhir.
8.6/10
Terima kasih :3
DeleteHmm.....
ReplyDeleteBaru saya sadari ini sekarang... Stallza bisa spiritialis dan Deismo bisa fuse. Ini adalah pertarungan antar pengguna kemampuan untuk bergabung dengan mahluk lain.
Pada Entri ini diceritakan kembali putri Lan yang kembali tertangkap setelah kabur dari Thurqk, lalu dimunculkan sebagai lawan Stallza di ronde berikutnya.... Mengingat Stallza punya banyak Spiritia, jadi kurasa Deismo, kedua klonnya dan Lan melawan Stallza adalah pertarungan yang cukup adil :D
Tapi sebelum melanjutkan.... Bukannya jubah Deismo berwarna putih? Dan sifat Deismo.... Entah ini menjadi sebuah tren atau tidak, tapi sepertinya Deismo sering dilihat sebagai mahluk untuk kaki tangan Thurqk... Dan dia serta kedua klonnya terasa lebih “Sadis”.... jadi kurasa.... OOC? Sayang sekali kalau sifatnya kurang dieksplor.
Moving away from Deismo.... Dari Ventinis sang spiritia dapat disimpulkan bahwa Stallza mendapat kemampuan memanggil spiritia karena melihat Ventinis saat kecil, lalu setelah percakapan panjang, Stallza dengan bantuan Ventinis melepas Lan dari kendali Thurqk.
Battle menarik, tapi setelah beberapa chapter membaca, pemilihan spiritia Stallza hanya “itu-itu” saja. Ada 40 spiritia Stallza, 20 telah diungkapkan, tapi masih ada beberapa yang jarang muncul, bahkan tidak muncul sama sekali. Sangat disayangkan kalau kesempatan 20 spiritia itu disia-siakan.
Di sisi lain, saya semakin bingung bagaimana Spiritia bekerja. Pemanggilan 5 spiritia dalam satu waktu dapat mengikis eksistensi Stallza, tapi bagaimana kehadiran Ventinis tidak menghabiskan eksistensi Stallza,itu masih sebuah misteri.
Saya lebih suka entri Deismo daripada Stallza, jadi saya beri nilai 7
Saya rasa cukup dulu untuk sekarang... maaf kalau ada kesalahan....
Dalam satu waktu itu maksudnya dalam sekali pemanggilan. Kehadiran Ventinis ini berada di dunia Spiritia, bukan dunia nyata. Kalau dipanggil di dunia nyata, maka si pemanggil membayar harga dengan eksistensinya.
DeleteMasalah 20-an yang belum tampil.... Susah juga, ya... :P
Dan saya tidak membaca/mengikuti Deismo dari awal, sih. Makanya OOT :P
- Grande -
ReplyDeleteSama kayak sam, saya ngerasa entry ini panjang banget. Kalau saya mungkin karena emang lebih tertarik ma pertarungan spirita ketimbang cerita Stallza menyelamatkan putri.
Ah, gerombolan Deismo di sini jadi kayak kaki tangan penjahat bengis yang ditugasin nyulik orang, wkwkwkwkwk. Agak kasihan juga sama mereka.
Tapi selebihnya oke, dari kerapihan penulisan dan lain-lain.
Nilai 8
Delete.
ReplyDelete