[Round 1-C] Altair Kilatih
"Realitas Kematian"
Written by Fusyana
---
Kilat berdiri di balkon lantai dua sebuah perpustakaan, memandang jauh kedepan. Dia tak mengenal tanah ini. Dia bahkan hampir tak mengenali dirinya sendiri. Sudah berkali-kali dia melihat bayangan tubuhnya di permukaan kaca buram dari sepasang pintu geser di belakangnya. Wajahnya terlihat putih bersih dan rambutnya hitam lurus. Kaosnya hitam, terbalut oleh jaket putih yang tebal. Dia memakai celana hitam dan sepatu putih dengan sedikit aksen hitam. Sepasang fingerless glove terpakai di kedua tangannya.
"Siapa aku? Aku siapa?" bisiknya kepada cermin. "Ah, aku Kilat," dia membalikkan badannya, melihat lingkungan yang asing dihadapannya untuk kesekian kalinya dan termenung. "Kilat. Kilat? Kilat siapa?"
Ini bukan dunianya, dia tahu itu. Tapi di mana dunianya yang sebenarnya? Dia ingat akan bangunan-bangunan yang melayang di udara, tapi di langit ini hanya ada awan dan burung. Semua bangunan yang ada di sekitarnya berdiri di atas tanah, dan entah kenapa, dia merasa sangat kesal. Setiap jengkal tanah tertutup oleh beton dan aspal. Jangankan pohon, rumput pun hanya tumbuh di petak-petak kecil di sudut tikungan, sementara semua kendaraan yang bergerak mengeluarkan suara yang bising, bahkan sesekali asap hitam. Semua hal itu terasa sama sekali tak masuk akal dipikirannya.
Kilat mengeram, melampiaskan kekesalannya dengan menggenggam erat-erat gagang katana di tangan kanannya.
"Hah? Katana? Katana Putih!" dia terkejut memandang katana dengan fisik yang hampir transparan berada di genggaman tangannya, lalu seketika tersadar bahwa tubuhnya jauh lebih kuat daripada manusia biasa. Kilat melompat turun dari balkon lantai dua dan mendarat tanpa suara di lantai beton, tepat di tengah-tengah kerumunan orang.
Dia berdiri, menenteng Katana Putih di tangan kanannya dan melihat orang-orang disekelilingnya. Mereka berjalan. Mereka mengobrol. Dan tak ada seorangpun yang menyadari keberadaan Kilat.
~~~~~
"Raging Bash!" seorang lelaki berambut coklat dan berjubah hitam berteriak sembari memecahkan bola kristal di genggamannya. Pecahan kristal seketika berubah menjadi butiran cahaya perak yang langsung terserap masuk ke dalam tubuhnya. Tubuh lelaki itu besinar merah, dia tampak kebingungan, "Hah? Apa yang baru saja kulakukan?"
Sebuah pukulan melayang tepat di wajah linglungnya. Lelaki itu terpental ke belakang sampai badannya menabrak tembok yang langsung runtuh dan membenamkannya dalam tumbukan batu-bata. Teriakan konyol, erangan bercampur dengan kekagetan, keluar dari dalam mulutnya. Tapi lelaki itu langsung bangkit dari balik puing-puing bata, "Tunggu. Hei, aku tak merasakan apa-apa?" wajahnya semakin keheranan.
"Jangan pura-pura bodoh kau, bajingan!" teriak sosok yang baru saja melemparkan tubuhnya dengan sekali pukul, seekor kadal berbentuk manusia, setinggi 3 meter. "Aku tahu kau yang mengacaukan ingatanku! Siapa kau sebenarnya? Jawab!" sebilah pedang terangkat di udara, siap untuk menyerang.
"Aku yakin kau salah orang, serius," jawab si lelaki seadanya.
Manusia kadal terdiam sejenak, terlihat seperti sedang menahan emosinya, lalu dia berteriak dan mengeram. Di gang kecil yang sepi itu, suara teriakannya bergetar, bercampur antara erangan binatang buas dan teriakan putus asa seorang manusia biasa. Dia membelah dinding di sisi kirinya dengan pedangnya, menyapu vending machine di sisi kanannya dengan ekornya yang panjang, lalu menerjang ke depan.
Spontan, lelaki berjubah hitam memasang kuda-kuda untuk menahan serangan manusia kadal. "Sial, dunia pasti sedang kiamat," keluhnya.
Manusia kadal menyabetkan pedangnya dan sang lelaki menahannya dengan kedua lengannya, "Eh? Pedang? Sepertinya aku salah mengantisipasi serangan." Kedua lengannya sobek, darah bercucuran.
"Pedangmu tajam juga, padahal, entah kenapa, aku merasa seharusnya tak akan ada yang bisa melukaiku dalam kondisi ini," katanya dengan sombong, sementara wajahnya yang pucat pasi jelas berkata lain.
"Tak mungkin... Aku yakin pedangku berasal dari logam terkuat di alam semesta dan berlumuran racun paling mematikan. Bagaimana mungkin manusia sepertimu bisa tetap berdiri utuh?!" Manusia kadal terbelalak, "Jadi memang kau penyebab semua ini. Aku akan benar-benar membunuhmu kalau kau tak mau menyembuhkan isi kepalaku."
"Aku bukan manusia sih sebenarnya," lelaki itu melepas jubah hitamnya, lalu membuka kemeja coklatnya dan merobek kedua lengan kemejanya, mengikatkannya pada bekas sayatan di kedua lengannya sebagai penutup luka. "Tapi aku yakin, bukan aku orang yang sedang kau cari."
Lelaki itu menarik sebuah pedang sepanjang hampir satu meter dari pinggangnya. Di gagang pedang berwarna silver mengkilat itu terdapat sebuah pelatuk kecil. Dia mengarahkan ujung pedangnya ke tangan kanan manusia kadal. Cahaya matahari terpantul dari mata pedang yang mengkilat dimana terdapat sebuah tulisan latin "Gunblade" di salah satu sisinya. Pelatuk ditarik, dan sebuah peluru bulat berwarna silver melejit dari punggung pedang yang berongga, menembus pergelangan tangan kanan manusia kadal dan menjatuhkan pedang beracun yang dia genggam.
Manusia kadal melompat kedepan, menendang "Gunblade" di tangan lelaki berambut coklat dalam satu gerakan. Tangan kirinya dengan sigap mencekik leher lelaki itu dan mengangkatnya ke udara.
"Kau lebih memilih mati rupanya," emosi manusia kadal membuncah.
~~~~~
"Aneh, ya?" seorang lelaki berambut ikal dengan syal dan pakaian serba biru berjalan mendekati Kilat dari belakang. "Sepertinya memang tak ada seorangpun yang menyadari keberadaan kita saat kita melakukan sesuatu yang tak biasa. Ah, maksudku, orang biasa tak mungkin bisa dengan santai melompat dari lantai dua begitu saja."
Kilat membalikkan badannya, "Kau tahu apa yang sedang terjadi di sini?" Pandangannya terpusat pada sepasang mata lelaki berambut ikal dihadapannya, mengharapkan jawaban yang tegas dan nyata.
Sang lelaki terkejut melihat wajah Kilat yang cerah seolah bercahaya, rambut hitamnya yang lurus dan hitam berkilau, serta ekpresi wajahnya yang lembut, "Eh, ah, m… maaf, aku tak menyangka kamu secantik ini… Heh? Ah… Maksudku, aku tak sempat melihat wajahmu saat kamu tiba-tiba melompat dari balkon di atasku. Aku… aku tak bermaksud menggodamu!"
Kilat memiringkan kepalanya, tak mengerti akan apa yang sedang lelaki itu katakan. Lelaki berambut ikal memejamkan matanya dan memasang ekspresi yang berkata, "Ini memalukan sekali, tolong bunuh aku!"
"Kenapa kau memakai sepatu abu-abu? Padahal syalmu biru, sweatermu biru, celanamu juga biru," tanya Kilat tiba-tiba.
"Eh? Ini? Aku… aku suka biru. Tapi aku takut malah jadi pusat perhatian kalau semua yang kupakai berwarna biru, jadi… jadi aku terpaksa memakai sepatu abu-abu. Tapi tenang saja, kaos kakiku biru kok, walaupun tidak kelihatan," lelaki berambut ikal tersenyum panik.
"Hmm..." gumam Kilat.
"Tunggu... Kita tadi sedang membahas apa, ya?" tanya Kilat dengan serius, ekspresi wajahnya terlihat polos. Lelaki berambut ikal menanyakan hal yang sama di saat yang tepat bersamaan, ekspresi wajahnya terlihat panik.
~~~~~
Pergelangan tangan kanannya sudah teregenerasi dan kembali seperti semula, tak ada bekas luka. Manusia kadal melancarkan pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan. Tetapi lelaki berambut coklat yang sedari tadi dia hantam habis-habisan masih tetap berdiri, seolah tak merasakan apa-apa.
"Apa-apaan kau ini!" manusia kadal geram.
Lima menit baru saja berlalu sejak lelaki berambut coklat memecahkan bola kristal di genggamannya. Tubuhnya terus menyala merah sejak saat itu, "Sudah kubilang, kau tak akan bisa melukaiku selama tubuhku menyala merah."
Manusia kadal menyabetkan ekornya ke arah kepala sang lelaki. Beberapa saat sebelum ekornya menyentuh wajahnya, nyala merah di tubuh lelaki berambut coklat seketika padam. Sang lelaki terpelanting dan berteriak kesakitan, "Sakit, bodoh!"
Manusia kadal tersenyum lega, "Kau sudah pada? Sepertinya aku bisa benar-benar membunuhmu kali ini." Dia melihat sekeliling, mencari pedangnya yang terjatuh beberapa saat lalu. Dia mengambil pedangnya dan berjalan menghampiri lelaki berambut coklat yang sedang terkapar. Sayangnya, lelaki itu sudah tak ada di tempatnya. Manusia kadal waspada, matanya melirik ke kiri dan kanan, berusaha mencari darimana lelaki itu akan menyerang.
Sepuluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda keberadaan lelaki berambut coklat. Manusia kadal terdiam, sadar bahwa dia baru saja dipecundangi oleh musuhnya. Dia berteriak marah sekencang-kencangnya, "Kurang ajar! Jangan bilang kau melarikan diri, rambut coklat bajingan!"
Lelaki berambut coklat sudah jauh meninggalkan gang sepi tempat pertarungan singkatnya dengan manusia kadal. Dia terus belari melewati gang-gang sempit. Semakin banyak orang yang dia temui di sepanjang jalan, tak ada seorangpun yang sadar akan keberadaannya.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya. "Seorang laki-laki bertelanjang dada dengan tubuh penuh tato baru saja berubah menjadi seekor manusia kadal raksasa dan mencoba membunuhku. Dan aku, tubuhku menyala merah dan menjadi puluhan kali lebih kuat. Aku bahkan sanggup menahan sayatan sebilah pedang, walaupun darahku mengalir seperti Bengawan Solo. Kadal tadi bilang bahwa kepalanya kacau. Aku merasa kepalaku baik-baik saja, tapi entah kenapa, aku sering mengingat sesuatu yang sebelumnya tak ada dalam ingatanku, seperti bagaimana caranya menggunakan Raging Bash, hah.. bagaimana caranya menggunakan Gunblade..." Nafasnya terengah-engah, "Sialan, staminaku… hah, benar-benar tak bisa diandalkan..."
Jalanan di depannya bercabang dua, yang satu lurus kedepan, sedangkan yang satunya lagi berkelok agak menukik ke sisi kanan. Dia mengambil arah ke kanan dengan harapan bisa berhenti dan beristirahat di celah-celah tembok. Namun saat berbelok, dia menabrak sesuatu dan terjatuh. Dia mengangkat wajahnya, melihat benda apa yang baru saja dia tabrak, tapi yang ada di hadapannya adalah sesuatu yang sama sekali tak pernah dia perkirakan sebelumnya, sepasang makhluk bertubuh merah kekar setinggi dua meter dengan rambut mohawk abu-abu dan sayap hitam lebar, melayang beberapa senti di atas tanah. Seluruh tubuhnya, dari ujung kaki sampai kepala hanya berwarna merah, rangkaian tulang kecil yang tebal tersemat sebagai gelang di masing-masing pergelangan tangan mereka. Garis-garis hitam dengan pola yang aneh menutupi tubuhnya yang bertelanjang dada, sementara tangan mereka masing-masing menggenggam sebuah senjata yang terdiri dari susunan tulang-tulang raksasa. Makhluk di sisi kiri menggenggam senjata berupa tombak besar, sedangkan mahkluk di sisi kanan menggenggam senjata berupa palu raksasa yang ujungnya dia sandarkan pada pundaknya. Tak ada seorangpun di sekitar situ yang terlihat sadar akan keberadaan kedua makhluk itu.
Lelaki berambut coklat berusaha mengambil pedang-pistol peraknya, tapi wajahnya tiba-tiba pucat, "Sialan, Gunbladeku ketinggalan."
~~~~~
Azraq, lelaki berambut ikal dengan pakaian serba biru, baru saja menjelaskan kepada Kilat bahwa saat ini mereka sedang berada di Jepang, sebuah negara kepulauan yang terletak di planet Bumi. Dia juga menjelaskan bahwa dia berasal dari sebuah pulau bernama Jawa di negara Indonesia dan bahwa dia tak tahu bagaimana dia bisa tiba-tiba berada di Jepang.
Azraq tak mengerti bahasa Jepang, tapi sejak tiba-tiba berada di sini, entah kenapa semua orang Jepang seolah berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Kilat sendiri menyadari hal itu, dia tahu semua orang di sekitarnya berbicara dengan menggunakan bahasa yang asing, termasuk Azraq, tapi dia bisa mengerti semua yang mereka katakan, seolah semua orang berbicara menggunakan bahasa Aquilla, planet asalnya.
"Berapa titik koordinat semesta planet ini?" tanya Kilat.
"M, maksudnya?" Azraq bengong.
"Kau tak mengerti tentang koordinat semesta, berarti Bumi belum memiliki teknologi FTL dan berada jauh di sisi luar semesta. Artinya, tak ada jalan pulang untukku, bagaimana bisa aku berada tiba-tiba berada di sini?" Kilat mengambil langkah pelan, matanya tertancap di angkasa.
Azraq ikut berjalan mengikuti arah langkah Kilat, "Sebentar... K, Kilat, apa kau benar-benar berasal dari planet lain?"
"Aku sendiri tak begitu yakin," Kilat menghela nafas panjang, kemudian tersenyum. Melihat itu wajah Azraq memerah dan dia salah tingkah. "Kepalaku terasa sangat kacau. Saat aku memusatkan pikiranku, aku bisa mengingat tempat asalku. Sebuah planet yang sangat indah dengan dataran yang sama sekali tak terjamah manusia, karena semua manusia pada dasarnya hidup di angkasa, lautan yang luas dan berisi banyak makhluk aneh, mobil terbang… Tapi sebentar saja pikiranku teralihkan ke hal lain, aku akan langsung melupakan semuanya, bahkan aku tak bisa mengingat siapa diriku. Aku yakin tak ada yang salah dengan diriku. Aku yakin apapun yang membuat kepalaku sekacau ini berasal dari luar."
Azraq masih terpaku melihat senyum Kilat. Dia mengerti Kilat sedang khawatir dengan apa yang terjadi kepada dirinya, tapi dia juga mengerti bahwa tak ada sedikitpun rasa sedih atau putus asa yang terpancar di mata Kilat. Dengan terbata dia berkata, "A, aku… Aku akan membantumu! Aku dan kamu, kita berdua akan mencari tahu apa sedang terjadi denganmu, aku tak peduli berapapun waktu yang kita perlukan, aku akan terus membantumu sampai masalahmu selesai. Si, siapa tahu kemunculanku di Jepang yang tiba-tiba ini ada hubungannya juga dengan hal itu."
Mendengar kata-kata Azraq, seorang lelaki yang sedari tadi terlihat mengikuti mereka dari belakang tersedak oleh tawa. Wajah Azraq merah padam, sementara Kilat tersenyum lembut. Lelaki itu mendekat, rambutnya coklat, dia bertelanjang dada dan kedua lengannya dibalut oleh sepotong kain, "Maaf, aku tak tahan untuk tak tertawa. Namaku Leon, aku tak ingin membantu kalian berdua, tapi aku ingin kalian membantuku."
"Apa yang terjadi dengan tubuhmu?" Kilat memandangi sepasang potongan kain yang terikat sejajar di kedua lengan lelaki itu.
"Tak penting," katanya tak menghiraukan. "Sebenarnya aku bisa saja melakukan hal ini seorang diri jika sedang berada dalam kondisi terbaik, tapi sepertinya racun kadal sialan itu terlalu kuat, aku menyerap terlalu banyak energi sihir yang sudah sangat sedikit dari dalam tubuhku agar racunnya tak menyebar. Bisa jadi, aku tak punya banyak waktu lagi untuk hidup. Tapi apa yang akan kita lakukan, paling tidak bisa membantu kita mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan kita."
"Kau tak apa-apa? Apa maksudmu?" tanya Kilat penasaran.
"Tunggu, kau baru saja berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia, benar kan?" terlihat secuil semangat di mata Azraq.
"Maksudku, kau menenteng sebuah pedang dengan badan transparan, bajumu terlihat tak biasa, tapi aku yakin kau bukan seorang cosplayer," Leon memandangi Kilat dan Azraq. "Beberapa jam yang lalu aku bertemu dengan laki-laki aneh penuh tato dan dia berubah menjadi kadal raksasa. Dan tak ada seorangpun yang menyadari keberadaan kita, keberadaan kalian. Benar, kan? Yang paling penting, aku mendengar percakapan kalian, ingatan kalian kacau. Aku tak ingat pernah bertemu kalian, tapi aku yakin apa yang terjadi dengan kita, saling berhubungan. Kalian mungkin tak akan percaya, tapi tadi aku bertemu dengan sepasang malaikat merah setinggi dua meter. Mereka terus menyebut sebuah nama, Thurqk. Jangan tanya, aku sama sekali tak tahu apa artinya. Mereka mengenalku. Mereka tahu siapa aku. Mereka mengatakan bahwa ada 5 orang sepertiku di tempat ini dan terbang meninggalkanku begitu saja. Dan ya, aku berasal dari Indonesia. Aku tahu ini Jepang, tapi sepertinya ini adalah Jepang di masa lalu. Aku berasal dari tahun 2044 dan dunia sedang dilanda perang nuklir."
Kilat mendengarkan Leon sambil memperhatikan bentuk alisnya yang aneh, ujungnya terlihat membengkok ke atas.
"Jadi, Kilat adalah alien, kau adalah penyihir dari masa depan. Sepertinya aku bisa mempercayai keberadaan manusia kadal dan malaikat," kata-kata Azraq terasa penuh dengan kekhawatiran, sementara wajahnya terlihat pasrah dengan apa yang akan terjadi. "Jadi apa yang harus kita lakukan?"
Leon tersenyum, "Kalau apa yang malaikat merah itu katakan benar, maka kau, dan kau, serta kadal sialan tadi, adalah 4 orang pertama. Kita perlu mencari orang terakhir, seseorang yang tak dihiraukan keberadaannya oleh orang biasa, dan mungkin juga kehilangan sedikit ingatannya. Dari situ, mungkin kita bisa mengetahui apa yang sedang terjadi sebenarnya… Mungkin kita bisa kembali ke tempat asal kita masing-masing."
"Tapi sebelumnya, bantu aku mencari Gunbladeku terlebih dahulu," lanjutnya.
~~~~~
"Apa kau yakin kita tak melanggar perintah Dewa Thurqk, Hyvt?" dengan kalem malaikat merah bertanya kepada malaikat merah yang terbang di sampingnya.
"Sang Dewa memerintahkan agar kita segera kembali ke Devasche Vadhi, Hyvt," jawab sang malaikat merah dengan kalem. Ekpresi wajah mereka datar, seolah tanpa emosi. "Sang Dewa memerintahkan bahwa kita boleh kembali lagi ke sini jika pemenang di realm ini sudah terpilih. Tapi makhluk itu telah menghancurkan portal realm dan membuat kita terjebak di sini. Kita telah melanggar perintah Dewa Thurqk untuk segera kembali setelah mengantar mereka memasuki realm ini. Semakin lama kita berada di sini, Sang Dewa akan semakin murka."
"Jadi itu alasan kenapa kau memberikan sebuah petunjuk kepada Leon?" malaikat merah menembus awan.
"Benar, dengan begitu mereka bisa segera mencari mahkluk itu. Makhluk itu harus segera dihancurkan agar portal realm bisa kembali. Selama makhluk itu masih hidup, portal realm tak akan bisa tercipta kembali. Semakin cepat kita kembali, Sang Dewa akan semakin senang, Hyvt," ada kesan bangga dari matanya saat dia berbicara.
"Tapi Hyvt, bukankah Sang Dewa juga memerintahkan agar kita tak mengganggu jalannya pertarungan?"
Malaikat merah terdiam. Sayapnya terbuka lebar dan dia melayang diantara susunan awan, jauh di atas langit Negeri Sakura. Malaikat merah yang lain mengikutinya, dan terus mengikutinya melayang di udara, kemanapun dia pergi. Sampai pada akhirnya, tiga puluh menit telah berlalu, lalu malaikat merah berkata dengan nada yang sangat datar, "Matilah kita."
~~~~~
Manusia kadal sudah berubah wujud kembali menjadi manusia biasa. Sebuah tato berbentuk naga menutupi lengan kanannya, sebuah tato berbentuk pistol terukir di dadanya. Dia bertelanjang dada dan mengenakan celana jeans hitam yang ujungnya sudah sedikit terkoyak karena perubahannya menjadi kadal raksasa. Saat dalam wujud manusia kadal, tubuhnya yang membesar memang hanya bagian atas saja, oleh karena itu dia merasa percuma jika harus menggenakan baju. Sedangkan tubuh bagian bawahnya hanya sedikit membesar, relatif kecil jika dibandingkan dengan perubahan tubuh bagian atasnya, sementara ekornya tumbuh sedikit di atas pantatnya, membuatnya tak perlu mencari celana baru tiap kali dia berubah wujud kembali menjadi manusia.
Dia telah menghabiskan berjam-jam mencari lelaki berambut coklat yang menyebalkan tadi dan tak berhasil menemukannya. Dia memasuki sebuah cafe dan duduk di dalam tanpa seorangpun yang menghiraukan keberadaannya. Dia mulai bisa sedikit menenangkan dirinya, emosinya sudah lumayan terkontrol. Lalu dia mencoba mengingat-ingat kembali siapa dirinya, apa yang terjadi dengannya. Percuma, ingatannya kabur.
Biasanya, dia menyukai kesendiriannya. Dia ingat pekerjaannya adalah membunuh orang demi uang. Karena itu dia tak pernah begitu peduli dengan orang lain. Percuma saja, pikirnya. Toh salah satu dari mereka bisa saja dia bunuh malam nanti kalau ada orang lain yang menginginkannya. Namun tetap saja, saat semua orang di sini tak menghiraukan keberadaannya, dia merasa sangat kesal.
Dia melihat sekeliling, lalu meludah kesal dan berdiri menghampiri meja sebuah keluarga kecil. Tanpa pikir panjang dia mengambil segelas orange juice di atas meja itu. Penghuni meja itu kaget dan mengatakan sesuatu tentang gelas yang bergerak sendiri. Tak lama kemudian seluruh penghuni cafe kecil itu panik. Dia menegak habis isi gelas di genggamannya lalu membantingnya ke lantai dan pergi meninggalkan cafe itu.
Saat melangkah melewati pintu keluar, seorang remaja pria dengan seragam sekolah yang berjalan di seberang jalan menoleh, melihatnya dengan pandangan mata kosong dan berlalu begitu saja.
Lelaki bertato terhenyak. "Siapa kau?" bisiknya sambil berlari mengejar remaja itu. Remaja itu terlihat normal, seperti orang-orang biasa di tempat ini yang tak menghiraukan keberadaannya, tak seperti lelaki berambut coklat yang beberapa saat yang lalu dia temui, satu-satunya orang yang menyadari keberadaannya.
Lelaki Bertato menghentikan langkah sang remaja, "Kau bisa melihatku, kan?"
Si remaja hanya menunduk, seolah tak mau diganggu.
"Jawab, Bocah!" bentaknya.
"Jangan ganggu aku!" teriak si remaja.
"Jadi kau benar benar bisa melihatku, hah!" lelaki bertato menarik kerah si remaja. "Siapa kau, Bocah!?"
Si remaja menatap tajam mata lelaki bertato. "Lepaskan aku!" kata-katanya penuh gejolak emosi. "Aku bukan siapa-siapa. Kau bukan siapa-siapa!"
Seketika, bayangan hitam menyelimuti tubuh lelaki bertato. Saat bayangan itu hilang, dia terduduk lemas, kehilangan semua ingatan tentang dirinya.
"Oh tidak, tidak... Aku melakukannya lagi," si remaja panik. "Apa yang aku lakukan? Apa yang kau lakukan?! Kenapa kau ada di kepalaku?! Kenapa kau menyuruhku menghapus kesadaran orang yang menyiksa Haruna?! Kenapa kau membuatku menghilangkan Haruna!!"
Dia berteriak sejadi-jadinya. Bayangan hitam pekat bergumul di sekitarnya, melenyapkan semua benda mati yang tersentuh, tiang lampu, tiang listrik, mobil yang lewat. Semua orang panik dan berhamburan. Pondasi salah satu gedung tertinggi di sekitar situ lenyap setelah tersentuh bayangan hitam dan seluruh bangunan gedung seisinya jatuh ke bumi.
~~~~~
Kilat, Azraq dan Leon berada di atap sebuah gedung demi bisa melihat lebih jelas tempat-tempat di sekitar mereka.
"Jadi, bagaimana cara kita menemukan orang yang kau cari, Leon?" Azraq membenarkan syalnya yang tertarik angin.
Belum sempet Leon menjawab, Kilat berkata, "Gedungnya..." sembari menunjuk salah satu gedung, lima ratus meter di depan mereka, yang runtuh begitu saja.
"Mari kita mulai dengan gedung itu," Leon mengambil sebuah bola kristal dari dalam saku celana dan memecahkannya. Setelah cahaya perak dari pecahan bola kristal merasukinya, tubuh Leon menyala biru, "Rushtio."
Leon melompat dari atap gedung ke atap gedung lain dengan kecepatan yang luar biasa. Dia terus melompat menuju ke arah gedung yang runtuh.
Dengan kekuatannya, Azraq membekukan pijakan kakinya. "K, Kilat... A, aku bisa menggendongmu dan kita bisa sampai lebih cepat," wajahnya memerah.
"OK," Kilat tersenyum. "Tapi tubuhku berat sekali, loh," dia memeluk leher Azraq tanpa pikir panjang dan mengangkat kakinya yang langsung disangga oleh kedua tangan Azraq.
"Kau benar, berat sekali," Azraq berusaha sekuat tenaga menahan Kilat di punggungnya. Dia menggerakkan jarinya perlahan dan sebuah jalur es menjulang dari bawah pijakannya. Jalur es itu lalu melengkung dan terus memanjang ke arah gedung yang runtuh dengan kecepatan tinggi, mengantarkan Azraq dan Kilat yang berdiri diam di pucuk terdepan dari jalur es. Tak butuh waktu lama sampai mereka berada di samping Leon yang melompat-lompat diantara atap gedung.
"Manipulasi es? Serius? Dan kau kaget setelah tahu aku penyihir dari masa depan?" Leon terkekeh.
"Aku sudah bilang, kan? Aku mempercayaimu," Azraq masih berusaha sekuat tenaga menahan Kilat. Kilat sendiri terlihat asyik melihat jalur es di belakangnya.
Mereka mendarat di tengah jalan, tak jauh dari reruntuhan gedung. Semua orang berhamburan, panik. Mayat dan puing-puing reruntuhan berserakan dimana-mana. Tak jauh dari puing-puing reruntuhan seorang remaja terduduk lemah, bayangan hitam menyelimuti tubuhnya.
"Kalian melihat anak itu?" Leon menunjukkan posisi si remaja.
"Ya," Azraq menurunkan Kilat dari punggungnya. "Dan sepertinya, tak ada seorangpun yang menyadari keberadaannya. Dia mungkin orang yang sedang kita cari. Tapi apa-apaan ini..." Azraq merasa mual melihat kejadian di depan.
Sementara itu, senyum di bibir Kilat sudah hilang tak berbekas. Dia terlihat sangat marah. Dia berjalan ke arah Si Remaja. Beberapa langkah selanjutnya, terlihat seorang lelaki bertato bergumam seorang diri, "Apa yang sedang kulakukan di sini? Si... siapa aku?"
Kilat meliriknya, dan lelaki itu menatap matanya, "Apa yang sedang kau lihat, wanita?"
"Kau bisa melihatku?" langkah Kilat terhenti.
"Apa yang terjadi padaku? Apa yang terjadi padaku!" lelaki itu berteriak dan berlari ke arah Kilat dengan sebilah pedang terhunus. Kilat terlambat menyadari bahwa dirinya berada dalam bahaya. Namun sebuah dinding es berjalan dan memerangkap pergelangan tangan lelaki bertato, menghentikan langkahnya. Sementara Leon bergerak dengan sangat cepat dan tanpa disadari Kilat sudah berada belasan langkah dari lelaki bertato yang pergelangan tangannya terkurung oleh dinding es Azraq.
"Hati-hati Kilat, lelaki itu adalah manusia kadal sialan yang kuceritakan sebelumnya. Pedangnya punya racun yang sangat mematikan."
"Terima kasih, aku lemah terhadap racun. Sedikit saja benda itu menggoresku, aku mati."
"Aku bisa membekukan tubuh orang ini sekarang juga," teriak Azraq, mengisyaratkan agar Kilat dan Leon memeriksa si remaja dan menyerahkan lelaki bertato untuk dia tangani.
"Jangan sampai terkena pedang beracunnya, Azraq," teriak Kilat sebelum pergi bersama Leon. Azraq mengangguk.
Lelaki bertato memberontak, berusaha melepaskan diri.
"Maafkan aku," Azraq membuat dinding es yang mengelilingi tubuh lelaki bertato, mengurungnya dalam balok es raksasa. Namun tak lama kemudian lengan lelaki bertato membesar dan balok es yang baru saja Azraq ciptakan terpecah. Dari balik balok es raksasa itu muncul seorang manusia kadal yang marah.
Azraq tahu dia harus bertindak cepat. Dia merubah pecahan es di sekitar manusia kadal menjadi air, mengumpulkan air tersebut dan menghantamkannya ke wajah manusia kadal. Saat cipratan air menyelimuti wajahnya, Azraq merubahnya kembali menjadi es. Manusia kadal terkejut, hidungnya tertutup dan tak bisa bernafas. Azraq menciptakan sebilah pedang es dari uap air di udara dengan ujung yang sangat lancip.
"Aku menyukai binatang, kau tahu itu? Tapi kau hampir membunuh Leon dan Kilat hanya karena kebingungan dengan apa yang sedang terjadi dengan ingatanmu," Azraq berlari menghunuskan pedang esnya dan menancapkannya ke perut Manusia Kadal.
Manusia Kadal mengerang tanpa suara. Dia mencakar lapisan es di wajahnya, membebasannya dari ancaman mati karena kehabisan nafas. Tapi pedang es masih tertancap ke dalam perut, menembus tubuhnya sampai ke belakang. Tangan Azraq masih menggengam pedang itu, wajahnya bertatapan dengan musuhnya. Manusia kadal menarik nafas, lalu menyemburkan cairan beracun dari dalam mulutnya ke arah wajah di hadapannya. Azraq meniup angin dengan mulutnya dan mengubah uap udara yang keluar menjadi dinding es tipis yang melindungi wajahnya dari semburan cairan racun.
Manusa kadal menendang perut Azraq, membuat tubuhnya tersungkur ke bumi. Dia memotong pedang es yang tercantap ke dalam perutnya dan mengayunkan pedang beracunnya ke tubuh Azraq yang terbaring. Azraq sadar, satu sabetan saja bisa membunuhnya seketika. Maka dia bertarung dengan waktu. Dia mengangkat tangannya dengan cepat, berusaha memanipulasi es yang masih tersisa di dalam perut manusia kadal. Dan dia berhasil. Lapisan es berubah menjadi air dan meresap ke dalam perutnya, bercampur dengan darah dan menyebar ke sela-sela organ tubuhnya, lalu semua cairan itu membeku. Gerakan manusia kadal terhenti di udara, dia terjatuh dan mengerang kesakitan.
"Kau membunuhku! Kau sudah membunuhku, bajingan!" darah keluar dari dalam mulutnya. Badannya kejang selama beberapa saat, lalu terdiam membisu.
~~~~~
"Tolong aku!" rintih seorang remaja berambut hitam yang terduduk lemas. "Bunuh aku, tolong bunuh aku!" bayangan hitam melayang dan mengelilingi tubuhnya, seolah menyelimutinya dari dunia.
Kilat berusaha mendekat, "Apa yang terjadi denganmu? Siapa kamu?"
"Aku Shu... Aku yang telah membunuh mereka semua," tangisnya.
"Kenapa kau membunuh mereka, Shu?" Kilat mendekatinya pelan-pelan, berusaha agar tak menyentuh bayangan hitam yang terlihat berbahaya.
"Bukan aku," rengek Shu. "Penyebab semua ini adalah Void. Dia ada di dalam kepalaku. Dia yang menyuruhku menghilangkan semuanya. Dia yang membuatku menghilangkan Haruna." Mendengar nama itu keluar dari mulutnya sendiri, Shu histeris, "Oh tidak... Haruna! Haruna sudah tak ada lagi!" Shu berteriak dan menangis.
"Shu, tenangkan dirimu! "pinta Kilat. "Haruna. Siapa itu Haruna, Shu?"
Shu menjawab dengan suara yang berat, "Dia sahabatku. Jangan sekali-kali kau berani mencoba menyentuhnya!"
Bersamaan dengan itu, selimut bayangan hitam semakin tebal menutupi seluruh bagian tubuh Shu hingga hanya matanya saja yang terlihat. Dari sepasang mata itu, air mata Shu terus berucuran, sementara suara tangisan dan teriakannya tertelan oleh bayangan hitam perlahan demi perlahan, menyisakan kesunyian yang menyesakkan udara. Shu dan bayangan hitam itu seolah menyatu dan dengan suarau Shu, bayangan hitam berkata, "Aku adalah ketiadaan. Aku adalah keteraturan. Aku adalah pencipta keteraturan dalam kekacauan bernama dunia."
Lalu bayangan hitam itu melontarkan ribuan bola hitam dari dalam tubuhnya ke udara. Bola-bola hitam itu akan kembali terjatuh ke bumi dan membengkak, membentuk sebuah pola setengah lingkaran besar di atas tanah dimana semua hal yang berada dalam cengkeramannya akan lenyap begitu saja dari muka bumi, menyisakan sebuah lubang besar setengah lingkaran di dalam tanah.
Ribuan lubang tercipta puluhan kilometer di sekitarnya. Kilat hanya bisa melihat semua hal itu terjadi dengan cepat di hadapannya. "Apa yang kau lakukan?! Shu, hentikan semua ini!" perintahnya.
"Shu?" bayangan hitam berkata. "Tak ada lagi Shu di dunia ini, hanya ada Void."
Void, bayangan hitam tak berbentuk itu bergerak ke depan dan semua benda yang tersentuh olehnya menghilang. Leon menarik pelatuk Gunbladenya dan menembakkan dua buah peluru ke arah Void. Kedua peluru itu menyentuh tubuh Void dan lenyap tanpa bekas.
"Anak ini benar-benar mimpi buruk, Kilat," Leon berdiri di sisi kanan Kilat, kedua tangannya memegang gagang Gunblade dengan posisi siaga.
Kilat terpaku diam, antara tak percaya dengan apa yang dia lihat dan keinginan untuk segera menolong Shu, walaupun dia tak tahu apakah Shu masih bisa diselamatkan. Angin berisi debu menerpa tubuhnya yang mematung, Kilat menggerakkan kepalanya untuk menghindarinya dan di sudut matanya dia menangkap sepasang mata di tengah Void yang masih terus menitikkan air mata. Dia membulatkan tekatnya, "Kau melihat sepasang mata Shu di tengah Void, Leon?" Leon mengiyakan. "Shu berkata bahwa Void hidup di dalam kepalanya. Jika kita mau menghancurkan Void, kita harus membunuh Shu. Kemungkinan besar, mata Shu adalah titik lemah yang harus kita jadikan target. Tapi aku tak ingin membunuh Shu, Leon. Aku ingin menyelamatkannya."
"Hei, kau lihat kan apa yang telah dilakukan oleh... Void ini," Leon memandang wajah Kilat. "Kau mengerti kan, apapun yang terjadi dengan kepala kita, Void lah penyebabnya. Dia menghilangkan sesuatu dari otak kita."
"Aku tahu," Kilat melepas jaket putihnya, kaos dalam hitam menutup kulitnya yang putih bersih. "Tapi membunuhnya mungkin tak akan menyelesaikan masalah. Kita harus menyelamatkan Shu, dan memintanya memberitahu apa yang salah dengan kepala kita. Menyembuhkannya, kalau dia bisa."
"Oke, kau mungkin benar," Leon melihat Kilat dengan tanktop hitamnya, sepasang fingerless glove masih terpasang di kedua tangannya. Sebilah katana dengan badan yang hampir transparan berada pada genggaman jemari tangan kanannya. "Kenapa kau melepas jaketmu?"
"Maaf, kebiasaan," Kilat tersenyum kecil. "Jaket ini sangat membantu karena bisa melindungiku dari luka ringan. Tapi melepasnya bisa membantu lebih fokus dalam bertarung."
"Kau orang yang aneh," sindir Leon. "Jadi bagaimana kita bisa menyelamatkan anak itu?"
"Aku tak tahu, Leon. Bantu aku memikirkannya!" Kilat mengayunkan Katana Putih memutar seperti kincir. Void semakin mendekat. "Kau penyihir kan, di planetku penyihir hanya ada dalam cerita fiksi. Void menghilangkan benda yang dia sentuh seperti reaktor wormgate yang rusak, tapi dia juga punya kemampuan untuk melenyapkan isi pikiran kita, dia juga bisa berbicara dengan menirukan suara Shu. Aku benar-benar tak tahu mahkluk apa itu dan bagaimana cara mengalahkannya dan menyelamatkan Shu."
Mendengar itu Leon tersenyum kecil, "Kau tahu Kilat, di bumi ada teori bahwa sihir adalah ilmu sains yang belum kita ketahui. Teori itu benar. Aku memang sudah tinggal selama tiga puluh tahun di bumi tapi sebenarnya aku berasal dari tempat lain, sebuah dunia sihir. Di dunia tempatku berasal, ada sebuah mantra sihir lumayan kompleks yang bisa menghancurkan sebuah pulau hanya dengan mengucapkannya sekali saja. Saat sampai di bumi, aku melihat sihir dengan efek yang persis sama. Orang bumi menyebutnya sebagai bom atom. Sihir hanyalah sains yang belum bisa kita rumuskan. Aku terlahir dengan bakat sihir yang sangat kecil, tapi aku bisa merasakannya, Kilat. Tubuhnya punya properti seorang katalis sihir. Semua pakaianmu dilengkapi dengan mantra perlindungan. Dan katanamu adalah artifak sihir yang sangat kuat."
"Jangan becanda, Leon," Kilat bergerak ke kiri menghindari percikan bayangan hitam dari Void yang semakin dekat. Saat Void menjulurkan bayangan hitam ke arah mereka berdua, Leon mengangkat tubuh Kilat dan membawa dia lari menjauh dengan kecepatan tinggi. Tubuh Leon masih menyala biru. "Tak ada yang spesial dalam diriku, semua ini hanya nanotech, Leon. Aku bukan seorang penyihir."
"Menurutku, semua orang adalah penyihir, Kilat. Azraq adalah penyihir es. Manusia kadal sialan tadi adalah pengguna sihir perubahan wujud. Anak cengeng di depan kita adalah penyihir dengan kekuatan kegelapan yang sialan kuatnya... Kau, adalah penyihir. Seperti yang sudah kukatakan, sihir adalah sains. Pegang ini, Kilat," Leon menyerahkan tiga butir bola kristal perak kepada Kilat. "Aku merasakan kekuatan yang sangat besar dalam katanamu. Pecahkan bola kristal ini dengan pedangmu, lalu ucapkan mantranya, 'Raging Bash'."
"Apa yang akan terjadi jika aku melakukan hal itu?" Kilat menggenggam tiga bola kristal dalam kepalan tangan kirinya. Matanya terfokus pada Void yang terus merangsek melenyapkan apapun yang dia lewati.
"Aku tak tahu, Kilat. Aku tak pernah melakukan hal ini pada benda mati sebelumnya," Leon memandang katana di genggaman Kilat. "Apa kekuatan katana ini?"
Kilat memejamkan matanya, mencoba mencari ingatan tentang katananya dari memorinya yang berantakan, "Namanya Katana Putih, ditempa dari mineral bernama salju putih, salah satu benda terkuat di planetku. Proses pembuatannya melibatkan nanotech yang membuat Katana Putih mampu melakukan kalibrasi gravitasi dalam skala kecil, anggap saja seperti magnet raksasa yang mampu berubah menjadi kutub utara dan kutub selatan sesukanya. Kurasa, aku bisa mengendalikannya dengan instingku."
"Impresif," Leon mengangguk kecil, lalu mengeluarkan bola kristal terakhir dari dalam sakunya. "Mari kita lihat bagaimana kekuatan Katana Putih dalam prakteknya." Leon memecahkan bola kristal dalam genggamannya, "Raging Bash! Ugh, aku tak tahu apa yang akan terjadi pada tubuhku jika aku menggunakan Rushtio dan Raging Bash bersamaan..." Aura biru di tubuh Leon bercampur dengan aura merah dari sihir yang baru saja dia aktifnya. Dua warna saling bercampur dan berbenturan dalam tubuhnya. Leon melompat ke arah Void.
"Shu!" teriak Kilat, Void menoleh. Sepasang mata yang berkaca-kaca memandang Kilat dari kejauhan. "Aku tak mengenalmu, tapi aku dan Leon akan menyelamatkanmu! Jika kau masih ada di dalam sana, lawan Void di dalam kepalamu!" Kilat memasukkan dua bola kristal ke dalam saku celananya dan melemparkan satu sisanya ke udara. Dia mengangkat Katana Putih dan menebas bola kristal itu mendatar saat benda itu terjatuh tepat di hadapan Kilat.
"Raging Bash!" badan pedang yang transparan menyala merah. Kilat membawanya berlari ke arah Void.
"Explosion!" Leon menyerang badan Void dengan Gunbladenya. Sebuah ledakan tercipta saat mata pedang Gunblade menyentuh Void, namun dengan cepat efek ledakan itu hilang bersamaan dengan Gunblade di genggaman tangan Leon. Void mengangkat tubuhnya naik ke dalam reruntuhan gedung. Langit-langit di atasnya runtuh perlahan saat tubuh Void menyentuh dinding-dinding penyangganya.
Kilat menelusup masuk mengikuti Void. Dia berlari secepat kilat menghindari beton-beton yang berjatuhan, memutar tubuhnya di udara dan menebas satu-persatu lapisan beton dan dinding yang tak bisa dia hindari. Bio-nanotechnology yang ada dalam tubuhnya membuat Kilat bisa melihat dengan jelas detil-detil gerakan puing-puing reruntuhan di hadapannya. Telinganya yang peka mendeteksi setiap suara untuk mencari keberadaan Void, sebuah titik sunyi dimana tak terdengar sedikitpun suara, karena Void telah melenyapkannya. Maka dalam sekejap, Kilat sudah berada di hadapan Void. Aura merah masih menyelimutinya, tapi Katana Putih menghitam saat Kilat mengaktifkan kemampuan kalibrasi gravitasi. Semua lapisan di tengah ruangan tempat mereka bertemu terkoyak berhamburan karena efek pusaran gravitasi.
"Bunuh aku!" seru bayangan hitam di hadapannya. Kilat tahu, kali ini suara itu bukan berasal dari Void, melainkan Shu.
Void menjulurkan lidah bayangan ke arahnya. Kilat memutar tubuhnya ke belakang dan menyejajarkan mata pedang hitam Katana Putih di depan sikunya. Saat tubuhnya melakukan satu putaran penuh, Kilat membentangkan lengan kanannya dan melakukan tusukan ke belakang tepat ke badan Void. "Aku tak akan membunuhmu!" mata Kilat menatap tajam.
Katana Putih masih berada dalam genggaman Kilat. Pekikan keras terdengar dari badan Void yang terbelah dua. Dari belahan itu terlihat separuh perut Shu dengan jelas. Di saat yang sama, lantai di ruangan itu runtuh. Kilat melompat ke arah Void, berusaha menebasnya sekali lagi dengan katana hitamnya. Namun terjadi sebuah ledakan besar tanpa suara dari dalam Void. Kilat terpental ke udara. Sebuah bola hitam tercipta dan bola itu membesar dengan cepat.
Kilat tahu bola apa itu. Apapun yang disentuhnya akan sirna, dan Kilat tak bisa menghindar, tak ada pijakan di udara yang bisa membantunya untuk melompat menjauhi bola hitam di hadapannya. Sesaat sebelum bola hitam menyentuhnya, Kilat merasakan seseorang sedang menarik kaosnya dari belakang sekuat tenaga. Tubuhnya terpelanting mundur. Sosok Leon terlihat melompat kedepan, menoleh dan tersenyum kepada Kilat, lalu menembus bola hitam yang membengkak.
"Leooonn!!!" Kilat menjerit sejadi-jadinya. Dia melemparkan katananya ke titik pusat bola.
Katana Putih melesat di udara. Badannya hitam pekat. Aura merah menyelimutinya dan puing-puing reruntuhan tertarik dengan kuat, terlontar satu-persatu mengikuti Katana Putih memasuki bola hitam yang tak kalah pekat. Sedetik kemudian, Kata putih menembus sisi lain dari bola, membawa Shu keluar darinya dengan dada tertusuk. Lalu bola hitam Void menghilang tanpa menyisakan apapun, sementara puing-puing besi dan beton yang terlontar di udara dan belum tersentuh bola hitam berjatuhan begitu saja menciptakan puluhan gemuruh kecil yang bersahutan saat menyentuh tanah.
Kilat berlari ke arah Shu, melompat-lompat menghindari hujan beton tanpa sedikitpun menghiraukannya. Dia mendapati Shu terbujur kaku di tanah, Katana Putih tertancap di dadanya. Air mata Kilat berceceran.
"Tidak... Ma, maafkan aku..." dia mengelus rambut hitam Shu.
Shu tersenyum dan berkata dengan pelan, "Tak apa. Terima kasih telah membunuhku. Dengan ini, kau sudah menyelamatkanku. Void yang asli masih ada di kepalaku, tapi sebentar lagi aku akan mati dan dia juga akan mati. Sebentar lagi, aku akan bertemu dengan Haruna..."
Shu mengangkat telapak tangannya dan menaruhnya di kepala Kilat. Dan semua ingatan Kilat yang hilang, kembali, bersamaan dengan hembusan nafas terakhirnya dan senyuman bahagia di wajahnya yang tak bernyawa.
~~~~~
Satu jam telah berlalu, Kilat menceritakan semua yang dia ingat kepada Azraq. Tentang kehidupannya. Tentang kematiannya. Tentang Dewa Thurqk, Malaikat Hyvt dan Pulau Nanthara serta pertarungan yang seharusnya mereka lakukan. Kilat menceritakan tentang detik pertama mereka berlima mendarat di realm ini, dibantu oleh Hyvt yang membawa mereka terbang satu-persatu melewati portal realm. Lalu bagaimana Shu lepas kontrol begitu melihat realm ini, tempat asal Shu saat dia masih hidup. Shu merenggut realitas kematian dari ingatan mereka berlima dengan bantuan Void. Membuat ingatan mereka kacau dan kabur. Kilat juga memberitahu nama manusia kadal yang telah dikalahkan oleh Azraq, Alvin Dzekov, seorang pembunuh bayaran saat dia masih hidup. Sesekali, Kilat mengusap air matanya di tengah-tengah cerita.
"Jadi, tinggal kita berdua yang tersisa, dan kita harus bertarung hingga hanya satu diantara kita yang tersisa?" mata Azraq memandang jauh di awan.
"Kau mempercayaiku?" Kilat menatap awan yang sama di kejauhan.
"Ya," jawab Azraq mantap. "Sayang sekali ingatanku tak bisa kembali. Tapi aku percaya padamu. Samar-samar, aku juga merasa bahwa aku harus selamat dari tempat ini jika aku ingin kembali ke duniaku, kembali bersama dengan teman dan keluargaku, juga seseorang yang aku sayangi."
"Jadi, kita bertarung?" Kilat tersenyum hangat ke arah Azraq.
"Jadi, kita bertarung." Azraq membalas senyumannya, berusaha untuk tak panik.
~~~~~
Pagi menjelang. Matahari mengintip di balik gunung, cahaya kuningnya hangat menyapa dunia yang porak poranda. Sepasang malaikat Hyvt melayang di udara, melihat sekelilingnya dimana dataran membeku dan kubangan air menutupi lubang-lubang besar, bekas amukan Void, yang beserakan. Sedangkan di udara, awan membeku. Beberapa di antaranya membentuk pola-pola aneh yang memanjang dan menukik ke bawah, menyatu dengan tanah.
"Mereka benar-benar mengacaukan tempat ini," Hyvt membetulkan letak palu raksasa di pundaknya.
"Dewa Thurqk akan membunuh kita," Hyvt dengan tombak raksasa di genggamannya berkata pelan.
"Siapa yang tersisa?" Hyvt berpalu melayang rendah.
"Entahlah, Dewa Thurqk akan membunuh kita," Hyvt bertombak mengepakkan sayap hitamnya di udara.
"Oh, gadis itu rupanya," Hyvt berpalu menunjuk seseorang yang terbaling telentang di tanah, dikelilingi oleh rangkaian es.
Mata gadis itu memandang awan es yang melayang di atasnya, nafasnya terengah-engah. Tapi tak terlihat setetespun keringat dari tubuhnya. Tak ada bekas luka di kulitnya yang lembut diterpa cahaya kekuningan dari matahari pagi.
Hyvt bertombak melongok ke atas, sebuah lubang dimensi tercipta di langit. "Akhirnya, walaupun terlambat, tapi realitas kematian telah kembali, portal realm tercipta lagi," gumamnya. "Dewa Thurqk akan segera membunuh kita."
"Tentu saja," Hyvt berpalu menjawab dengan nada suara tanpa emosi.
~~end~~
--
Cheers,
fusyana :3 | FB
Okeh..
ReplyDeleteProlognya agak kurang dibangun, seharusnya bisa lebih tanpa harus pindah plot dulu.
Pengenalan tokoh Kilat sama pengembangannya di jalannya cerita juga agak kurang. Aku tau Kilat dari deskripsi sebelumnya, tapi tetap kerasa sifat Kilat-nya kurang ditonjolin.
Terus soal Void. Inkosistensi kah? Plothole?
Poin-poin plus-nya ada di susunan kata di cerita yang enak dibaca dan alurnya ngalir.
Semua kekuatan kontestan lain ditonjolin dengan baik. Hubungan dan sifat antar kontestan yang kayaknya satu golongan (selain Alvin XD) membuat cerita yang ga harus benar-benar bertarung untuk ngalahin saingan di realm itu.
Di adegan tarungnya, yang chaos karena Shu... I mean Void, kepalaku bisa ngebayangin dengan jelas.
Terus apa lagi ya, err.. oh ya aku suka twist ilang ingatannya :D
Penggal epilog ditutup pelan-pelan, enak bacanya.
overall mantap!
Tujuh koma Lima dari Sepuluh dariku
- Fata, the genius fart
Iya.. Kilatnya kurang belaianku, ini murni kesalahanku karena terlalu fokus nyelesein plot ceritanya dan deket-deket dedlen..
DeleteYang Void plotholenya dimana yah Fat? mungkinkah yang waktu Shu ngembaliin ingatan Kilat? kalo itu sih karena emang aturan kekuatan Void, walau semua hilang, yang hilang bisa di recreate lagi asal penggunanya mampu..
thanks banget kritiknyaw btw (y)
Tercatat
DeleteAda beberapa poin minus buat saya pribadi yang saya liat ga cuma di cerita ini, tapi juga berulang" muncul di cerita lain di ronde 1 :
ReplyDelete>Dialog / monolog panjang tanpa jeda
>Karakter utama kurang menonjol
>Penjelasan situasi dan kemampuan lewat dialog/monolog alih" narasi (sebenernya ini tergantung keadaan dalem cerita, tapi dalem cerita ini contoihnha, tensinya malah turun pas obrolan Leon-Kilat dan keberadaan Shu jadi ga kerasa urgent bahayanya)
>Nyisain satu peserta di akhir yang disingkirin gitu aja for the convenience of ending the story
Meski begitu saya bisa bilang tulisan ini well-done sih. Sempet ngira bakal ngeliat kesan buru" karena mepet deadline, tapi alurnya lumayan konsisten, dan bahasa yang digunain ringan. Plotnya cukup simpel dan ketebak (buat yang udah baca charsheet shu langsung kebayang arahnya ke mana)
7/10
thanks kritiknyaw Mas Sam~
Deleteakan berusaha kuperbaiki di R2 <--- yakin banget lolos *dicekek*
Tercatat
Deletekilaaaaaat >,< ~ <3
ReplyDeletedi antara semua battle, paling suka pas azrac lawan manusia kadal (y)
kilat-leon vs void juga keren sih, tp entah knp lebih suka battlenya azrac, sayang battle azrac dan kilat gak diceritain =="
btw, keknya si tokoh utama kurang disorot atau gimana gitu ya XD
anyway, kukasih nilai 9 dari 10 :D
Berarti bener keputusanku buat bikin Azraq ngelawan Alvin di akhir.. Awalnya mo Leon aja yang ngelawan dia lagi buat ngelanjutin pertarungan sebelumnya dan Azraq yang mati nyelametin Kilat dari Void..
DeleteIyaaa aku mo balas dendam membelai Kilat semesra-mesranya ntar kalo lolos >//<
Thanks banget reviewnya Yat (y)
Tercatat
DeletePlot ceritanya menarik, penceritaannya juga bagus. Ini salah satu yang narasi dan dialognya enak saya ikutin. Cuman kadang lucu pas ada dialog-dialog panjang, apalagi di saat Void lagi mengamuk, masi sempet ngomong panjang lebar.
ReplyDelete.
Sebenernya tiap karakternya jadi punya peran masing-masing, tapi Kilatnya jadi kerasa bukan peran utama. Saya malah sempet ngerasa Leon itu tokoh utama yang sebenarnya, klo bukan dia tiba-tiba mati ngorbanin diri. Bagus sih, Leon yang dikasi hint sama Hvyt, jadi ga selalu tokoh utama yang jadi kunci kemenangan, tapi penceritaan tentang Kilatnya tetep harus digali lagi.
Battlenya bisa dikatakan tergolong singkat, tapi seru. Cuman klo dalam sebuah cerita ada misal ada battle utama, battle menengah, dan battle sampingan, battle-battle yang terjadi itu masih terasa battle menengah. Saya sih ngarepin ada battle akhir gede-gede an penuh emosi antara Kilat sama Azraq, sayangnya tahu-tahu Azraq kalah. Padahal klo dibikin menurutku keren sih. Karena, dengan begitu Kilat nya ga jadi berasa Deus ex Machina, orang baik yang menang gitu aja karena keadaan, tanpa harus bertarung.
Nilainya kukasih 8.
Thanks kritiknyaw~
DeleteTarungnya sengaja singkat sih emang, soalnya batas waktu aktivasi magicnya Leon cuman 5-10 menit aja.. Plus batas waktu menjelang dedlennya juga singkat :v *dicekek*
Aku malah ragu sebenernya mau nulis battlenya Kilat sama Azraq, soalnya emang dari awal vs Void itu kuanggep sebagai puncak ceritanya.. Takut jadi gak mulus endingnya kalo maksa ngasih adegan battle yang lebih keren dari itu, walau sebenernya Kilat vs. Azraq emang lebih gila lagi sih ngeliat sisa-sisa bertarungan mereka..
Tapi bener juga, kalo make konflik Kilat yang ingatannya sudah balik sama Azraq yang ingatannya gak bakal balik harusnya battle yang lebih epic lagi bisa kutulis.. Sama sekali nggak kepikiran ini sebelumnya :v
Ceritanya enak di baca walau awalnya agak aneh kenapa Kilat hilang ingatan. terus pertarungan melawan azraq di akhir nggak ketauan.
ReplyDeleteBiar tambah semangat nilainya 9/10
yaaay 9 tengkiu Mas Yuda >_< /
Deletewhhwhw gw suka dengan cara bangun karakterisasi karakter di sini. semua terasa banget perannya :D
ReplyDelete"Kau sudah pada?" << ini tadinya apa ya? gw penasaran ada yang kurang ditulis kah?
gw agak sedih gara2 Azraq vs Kilatih ga ditampilin battlenya T^T
i mean, mereka dah ada chemistry gt kenapa ga sekalian aja ada adegan battle yang bikin my heart doki2 suru gt T^T
nilai: 8/10
itu "padam" wkwkwkw kurang m
Deletegomenasai.. keknya emang bagusan kalo ditampilin aja yah..
Tercatat
DeleteMoi want more Kilatih! Author Moi pengen Kilatih lebih "menonjol" boing-boing gimana gitu. Moi udah tabok author moi.
ReplyDeleteIki narasinya udah apik, dialognya juga lancara walau agak kaku. Battlenya juga lumayan seru, tapi ya itu... more Kilatih :D
Moi titip nilai 7. Author moi pengen ngasih nilai lebih tapi karena dia masih pingsan digampar moi, jadi nggak ngasih nilai tambah.
O ho ho ho hon.
Merci, Mademoiselle Colette~
DeleteSemoga gak didepak Thurqk deh biar bisa bikin cerita yang lebih menonjolkan Kilat lagi :3
Tapi jagain authornya Coco biar gak macem-macemin Kilat >_<
Tercatat
DeleteLumayan, tadinya saya agak bingung karena diawal semua bertarung nggak jelas sambil hilang ingatan, ternyata plot twist kerjaannya si Shu.
ReplyDeleteMinus poinnya, si Kilatih kurang berasa karakter utama, berasa sampingan. Void-nya Shu emang bisa keluar alter-ego? (saya gak baca CS-nya) jadi bingung juga.
7/10
Tercatat
DeleteOh damn onion... Ini keren!
ReplyDeleteTerlepas dari komentar saia yang akan subyektif-- karena karakter Leon benar-benar digarap dengan baik di sini. Tapi ini benar-benar keren.
Menurutku, ini adalah postingan terbaik dari group 1-C .
Jujur ane bisa enjoy baca story ini dari awal sampe akhir tanpa harus melakukan fast read. Dimulai dari plot hole "disengaja" yang penulis kemukakan di awal cerita, (jadi semacam hook buat nerusin baca karena berhasil membangun rasa penasaran pembaca.), sampe susunan plot yang berhasil membangun "pertemanan" antar entrant yang seharusnya saling bermusuhan. (in this case, lagi-lagi Alvin jadi villain ya... ahahahaha.)
Jadi inti utamanya, kelebihan story ini adalah : penulis yang berhasil membangun rasa penasaran akan kelanjutan cerita pada pembacanya. Itu yang ane belum temukan di entry lain di group 1-C (termasuk punya ane sendiri, wkwkwkwkwkwk.)
Akhir kata, nilai 9/10 dari ane ya...
Pengen sih ngasih perfect score, tapi ntar kesannya jadi overrated... :D
Akhir kata, well done. :D
"Promise is Promise. I have done my Promise, Mr. Fusyana." <--Umi
ReplyDeleteOke. Ada Fan servis Kilatih pake tank top aaawwww >////<. Ga ada yang bahas ini satupun padahal cowok-cowok yang komen di atas pada ngaku penggemarnya Kilatih. Cih. *menatap miris semua cowok penggemar Kilatih di atas* Dan mana ini penggemar Kilatih yang lain malah enggak baca. haft.
Baca ini jujur Umi jadi inget sama anime Guilty Crown. Penggunaan Void, Setan gelap, nama Shu sendiri. jadi bikin inget sama anime itu.wkwkwk >.<
Kesan Umi dari tulisan ini bagus. Mulai dari penggarapannya, Twistnya dari Void-nya Shu. CUma Umi mau protes, kenapa Kilatihnya dikit banget porsinya?
Umi kasih nilai 8.9/10 deh :D
Dan tambahan, tokoh Leon disini adalah tokoh Leon yang pernah bikin Umi jatuh cinta >.< terima kasih sudah mengembalikan Leon. *menatap nista ke arah authornya Leon* wkwkwk >.<
Delete**smirk**
DeleteWow....
ReplyDeleteSaya seneng gaya bahasanya ini. Meskipun panjang tiap paragrafnya sesuatu.
Bang bang,,, mengeram atau menggeram yang bener?
Battlenya something.
+8