[Round 1–A] Colette Reves
"A L'Origine (In The Beginning)"
Written by Adham T. Fusama
---
Hiruk-pikuk itu terasa laksana mimpi. Bagaikan kilasan-kilasan film yang direkam secara amatir dan diedit secara kasar. Suara-suara teriakan panik terdengar timbul tenggelam. Kadang kencang, kadang sayup. Ada yang berteriak, “Mampus kau, Tutsi!” tapi si pemilik suara entah di mana.
Satu hal yang jelas, Colette sempat merasakan ada panas yang menyengat perutnya. Detik selanjutnya, dia laksana gentong bocor yang mengucurkan cairan merah dengan deras. Hangat meninggalkan dirinya, digantikan dingin yang membekukan. Kakinya tak kuat lagi menopang tubuh. Dia pun roboh diiringi jeritan histeris.
Orang-orang berseragam hitam segera menghampirinya, menutup dan menekan lukanya dengan kain, serta memohon agar dia bertahan. Tapi, kantuk itu teramat kuat membuatnya tak sanggup untuk menahan. Terlebih, dia sudah lelah. Jadi, dia ingin orang-orang membiarkannya untuk tidur.
Sebentar saja….
Sewaktu tersadar, dia mendapati dirinya di alam yang serba merah dan hitam. Dia tidak tahu apakah itu alam mimpi atau akhirat. Satu yang pasti, mustahil dia berada di Kigali atau Paris. Tempat itu aneh, dihuni oleh manusia, hewan, dan entah makhluk apa lagi. Namun di sana, Colette bertemu dengan seorang bocal kecil. Namanya lucu.
“Oo-choop?” tanya Colette yang dibalas dengan anggukan oleh si pengamen cilik itu.
Ucup yang semula bersedih akhirnya menghapus air mata. Colette mengajaknya mencari jalan pulang. Colette akan ke Paris, Ucup akan ke Bandung—sister city dari Paris yang dijuluki Parisj van Java. Akan tetapi, bukannya menemukan jalan pulang, mereka malah diadang oleh makhluk aneh berwarna merah dan bersayap hitam.
Makhluk itu bernama Hvyt dan mengaku sebagai malaikat. Belum selesai keanehan itu dicerna oleh Colette—sementara Ucup bersembunyi di belakangnya sambil mencengkeram celana balon Colette—ada satu sosok lagi yang muncul. Kali ini sosok tersebut bernama Thurqk dan dia mengaku sebagai dewa.
Dia mengumpulkan Colette, Ucup, dan lainnya. Lalu, dengan seenaknya, dia menyuruh mereka untuk bertarung dalam sebuah turnamen bernama Battle of Realms. “Satu hal… jangan membuatku bosan,” katanya angkuh juga tuli oleh pelbagai protes dari yang lain, termasuk Colette.
Colette memang bukan orang yang terlalu agamis. Ayahnya menganut agama mayoritas di Prancis sementara ibunya penganut animisme. Colette sering mendengar nama tuhan-tuhan dan dewa-dewa yang dipercaya oleh kedua orangtuanya, tapi Thurqk bukan salah satunya. Jadi, mana mau dia mengikuti dewa yang bukan tuhannya?
Meskipun demikian, tetap saja Colette—dan yang lainnya—tidak berdaya. Para Hvyt menjalankan perintah majikan mereka. Colette dan Ucup menjerit sewaktu mereka dipisahkan dan dilempar ke gerbang yang berbeda. Terakhir yang Colette ingat adalah saat dia menjerit sekuat tenaga sewaktu ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya ke dalam lubang hitam pekat di balik gerbang. Dan, dia pun jatuh, jatuh, jatuh, dan terus jatuh.
Colette mengerjapkan matanya. Gelap. Dia mengerjap. Ada sedikit cahaya meski lemah. Colette mengerang sewaktu kesadarannya kembali. Kepalanya berdenyut-denyut dan terasa agak pusing. Colette mencoba bangkit. Rupanya tadi dia terbaring di tanah.
“Ah… moi (aku) mimpi buruk,” erangnya, memijat-mijat belakang kepala. Dia yakin kalau dia baru saja bermimpi. Bodoh sekali dia bisa sampai tertidur sewaktu melakukan pertunjukan di Kigali, Rwanda—negara kelahiran ibunya. Atau, jangan-jangan pertunjukkannya sudah usai?
Colette tercengang sewaktu melihat ke sekelilingnya. Dia perlu mengucek-ucek matanya untuk memastikan. Ternyata, dia sedang tidak berada di Kigali atau kota lainnya di Rwanda. Tidak! Meski hari sudah malam, dia yakin dia sedang tidak berada di Afrika sama sekali. Pun bukan pula Paris atau bagian manapun dari Prancis.
Dia sedang berada di sebuah Pecinaan. Dia berani bertaruh ini bukan Pecinaan yang terdapat di Paris. Dia pernah ke sana untuk mencoba bebek peking. Tempatnya sekarang sama sekali berbeda dengan Pecinaan manapun yang pernah disambanginya.
Pecinaan tersebut kosong dan kotor. Di kanan-kirinya berdiri ruko-ruko dan gedung-gedung kumuh. Dinding-dindingnya kotor dicoret-coret. Kaca-kaca jendelanya banyak yang pecah. Beberapa jendela dan pintu malah ada yang dipaku dengan papan. Genteng-gentengnya pecah, sementara pipa-pipa di sisi dinding bagaikan kulit ular raksasa yang sudah berkarat.
Pemandangan yang menyedihkan… sekaligus menyeramkan. Jalanannya kotor, berdebu, dan dipenuhi sampah. Kaleng-kaleng bekas, kertas koran compang-camping, dan sampah lainnya dari tong sampah tercecer begitu saja. Di kedua sisi jalan terdapat beberapa gerobak yang sepertinya dulu digunakan untuk menjajakan makanan namun sekarang sudah banyak yang hancur. Secara keseluruhan, pemandangan di sekelilingnya mirip kandang babi. Udara pun menguarkan aroma kandang babi.
Colette masih belum tahu tempatnya berada saat ini. Jangan-jangan dia berada di pinggiran Hongkong atau Guangzhou kendati dia sangat menyangsikannya. Terlebih, sepertinya tempat ini sudah lama ditinggalkan.
Kenapa dia berada di sini? Jangan-jangan dia diculik mafia Hongkong! Atau, jangan-jangan sedang berada di salah satu arena Battle of Realms! Kendati masih enggan untuk percaya, tampaknya dia memang dipaksa untuk bertarung.
Colette menjerit sewaktu mendengar ada suara berkelontang. Dia bersiaga dan segera mengaktifkan Reves-nya. Dia memasang kuda-kuda—meski kakinya gemetar sehingga dia terlihat menggelikan—dan kedua tangannya diangkat. Telapak tangannya lurus dan datar seolah ada tembok di depannya. Detik selanjutnya, tanah di bawahnya bergetar. Dan, diiringi debum dan deru yang cukup menggetarkan, sebuah tembok kaca anti peluru yang tebal berdiri di depannya.
“Chateau du Versailles—Palace of Versailles!” seru Colette, menamakan jurusnya itu. “Siapa di sana! Keluarlah! Ayo! M-Moi tidak takut!” Bilang begitu juga, kaki Colette gemetar ketakutan.
Suara berkelontang lagi dan kali ini ada sesuatu tersandung dan terguling-guling keluar dari balik gang yang gelap. Colette menjerit dengan kaki meloncat-loncat seolah ada tikus yang lewat di antara kedua kakinya. “Eeeeeek!”
“Uwaaah! TolongJanganBunuhAku! AkuTidakMauMati! AkuTidakMauBertarung!”
“Eeeeeeek!” Colette semakin menjadi-jadi. Dia bahkan mengeluarkan kata-kata kutukan dalam bahasa Prancis karena sesuatu tersebut bisa bicara. Awalnya Colette mengira yang menggelinding tadi adalah galon minuman atau semacamnya. Dan, dia nyaris pingsan karena galon tersebut ternyata makhluk yang mirip manusia.
“SACRE BLEU! APA ITU?” jeritnya, mundur beberapa langkah padahal sebenarnya dia aman karena ada Chateau du Versailles yang berdiri di antara mereka. Tapi, dia tidak mau mengambil risiko. Dia merasa, semakin jauh dia dari makhluk itu, dia akan semakin aman.
“Tolong jangan bunuh aku!” makhluk itu kini tertelungkup nungging gemetar di tanah, dengan kedua lengan menutupi belakang kepalanya.
Colette terkejut. Makhluk itu ketakutan? “Si-Siapa vous (kamu)? V-Vous mau apa?” tanya Colette, hati-hati.
“V-Vous? A-Apa itu?” tanya makhluk itu, mengangkat kepalanya dan memperlihatkan wajahnya yang dihiasi mata bundar nan menggemaskan. Pupilnya bersinar seperti permata.
Untuk beberapa saat, Colette tidak bisa berkata-kata. Degub jantungnya berubah dari degub ketakutan menjadi degub penasaran dan ketakjuban. Baru kali ini dia melihat ada makhluk seperti itu. Dia seperti ubur-ubur atau agar-agar. Tubuhnya berwarna biru translusens.
“Er, um, v-vous itu artinya kamu. You, voi, anta, anata. V-Vous paham?” Colette menjelaskan.
Makhluk akhirnya itu mengangguk. “A-Aku… namaku Lazuardi. Panggil saja Lazu.”
“Lazoo?” Colette mengonfirmasi dan dijawab dengan anggukan, “Moi Colette. Panggil saja Coco. Au fait—omong-omong—Lazoo itu apa?”
“A-Aku ras Matoi. Aku keturunan fitoplankton dan parasit laut,” jawab Lazu, kini bangkit karena sudah mendapat sedikit keberanian.
Jawaban Lazu malah semakin membuat Colette bingung. Colette memang tidak sempat menyelesaikan kuliahnya, tapi dia berani bersumpah belum pernah mendengar ada makhluk keturunan fitoplankton dan parasit laut.
“La-Lalu, Coco ini apa? Badut?” tanya Lazu, merujuk pada riasan wajah Colette.
“Badut? Non (tidak/bukan)! Moi mime artist,” Colette menjawab dengan bangga sebelum kembali bersiaga. “A-Apa vous itu… mu-musuh?” tanyanya, mengacungkan tangan dengan gesture seperti sedang memegang pistol. Jika Lazu macam-macam, dia bisa menembaknya dengan segera.
Lazu buru-buru menggeleng. Bahkan ditodong pistol tangan seperti itu sudah membuatnya cemas dan takut. “A-Aku ti-tidak mau bertarung,” katanya, “A-A-Apa kamu musuh?”
Ditanya begitu Colette malah bingung. Dia menelan ludah walau akhirnya menggeleng. “Sa-Sama… moi juga tidak mau bertarung.”
“Ja-Jadi, Coco tidak akan menyerangku?”
“Ti-Tidak,” geleng Colette, “A-Apa Lazoo akan menyerangku?”
Lazu menggeleng. “Tidak.”
“A-Apa tubuh Lazoo memiliki racun atau menguarkan racun melalui udara?” tanya Colette yang merasa tolol karena baru kepikiran sekarang. Dia kurang waspada. Dia pun segera menutup hidungnya dengan tangan.
“Tidak,” jawab Lazu, tidak tersinggung dengan reaksi Colette. “Aku tidak punya racun. Percayalah.”
Meski masih sangsi, Colette menurunkan tangannya. Selama beberapa saat keduanya hanya berdiri, saling tatap, saling waspada. Colette memandang mata Lazu. Dia mencoba mencari-cari secercah niat jahat di sana. Tapi, dia tidak menemukannya di mata Lazu. Terlebih, akhirnya Chateau du Versailles menghilang setelah habis batas waktu sepuluh menit. Kalau Lazu memang jahat, dia pasti akan menyerang sekarang.
Colette menelan ludah. Dia memutuskan untuk percaya. “Uung… Lazoo… boleh moi menyentuh vous?” tanya Colette yang sangat penasaran hingga tidak bisa ditahannya lagi.
Lazu tersenyum dan mengangguk. Colette menelan ludah lagi, mempersiapkan diri. Dia kemudian maju dengan hati-hati. Detak jantungnya semakin intens tiap kali kakinya melangkah lebih dekat. Lazu diam saja. Dia seperti mempersilakan Colette untuk menyentuhnya. Namun, Colette tetap siaga kalau-kalau Lazu menyergap.
Sebenarnya Colette agak takut untuk menyentuh Lazu. Lengannya yang teracung ke depan tampak gemetar. Dia berharap sarung tangannya cukup untuk melindungi dirinya dari bahaya apa pun yang mungkin dikeluarkan oleh kulit biru Lazu. Dan akhirnya, ujung telunjuk Colette pun menyentuh dahi Lazu.
Colette menjerit tertahan—serta langsung menarik tangannya lagi—begitu merasakan kulit Lazu yang kenyal. “O hon! Vous seperti ubur-ubur!” komentar Colette. Ada keterkejutan, ketakjuban, serta suka cita di suaranya itu.
Lazu cuma terkekeh geli. Dia membiarkan Colette menyentuhnya lagi, kali ini dengan kelima jarinya. “A-Apa vous akan bocor kalau moi remas-remas?” tanya Colette, terkikik geli tapi takut-takut. Lazu menggeleng.
Colette pun memberanikan diri untuk memegang Lazu dengan kedua tangannya, bahkan bermain-main dengan riangnya. Colette memekik girang, tertawa, sambil meremas-remas Lazu. “O ho ho ho hon! Kyaaaa! Boing, boing! Lazooooooo… vous lucu bangeeeet!” Colette tak tahan lagi akhirnya memeluk Lazu dengan gemas. “J’adore! J’adooooore—kagum! Ras Matoi luar biasa! C’est magnifique!”
Setelah puas, Colette melepaskan Lazu dan tersenyum. Lazu pun balas tersenyum. Baru saja Colette hendak berkata “senang bertemu denganmu,” dia malah menjerit ngeri. Sebuah ledakan baru saja menggema di udara. Colette dan Lazu terbelalak ketakutan. Keduanya melihat ada kumparan asap tak jauh dari tempat mereka.
Kebekuan melanda tubuh Colette. Dia punya firasat kalau ledakan itu disebabkan oleh peserta turnamen lainnya. Ada dorongan untuk kabur bersama Lazu sebelum batinnya meneriakkan sebuah kenyataan yang tak dapat disangkal.
Mau lari ke mana? Seluruh tempat ini adalah arena. Lari atau bersembunyi pun percuma. Cepat atau lambat musuh akan datang padamu!
Colette menelan ludah. Tampaknya, dia memang tidak bisa ke mana-mana. Lantas… dia harus bagaimana?
*
Kepulan asap dari ledakan kedua akhirnya menipis. Perempuan berkacamata itu terbatuk-batuk. Nyaris saja dia hancur berkeping-keping terkena ledakan tadi. Dia sangat beruntung bisa selamat dari dua ledakan.
Perempuan itu mengutuk kesal. Lawannya ternyata sangat hebat. Dia salah perhitungan. Dia pikir laki-laki itu lengah karena terlalu santai menghadapi keadaan. Dia pikir dia akan menang jika menyerang lawannya itu secara tiba-tiba. Dia salah besar dan sekarang dia menyesalinya.
Perempuan itu terkesiap begitu mendengar ada suara langkah kaki di depannya, di balik kepulan asap yang masih menjadi tirai di antara mereka. Dia pun segera mengambil pedangnya, siap menyerang.
“Oxia… serang!”
Mata perempuan tersebut terbelalak. Dia menjerit sewaktu ada kerbau putih bersih menyerangnya. Alih-alih menyeruduk, si kerbau itu malah menembus tubuh si perempuan laksana hantu. Perempuan itu kaget. Dia tidak terluka, tapi….
“O-Ohok!”
Pedang si perempuan jatuh. Kedua tangannya kini memegangi lehernya. Gelagat perempuan itu aneh. Tubuhnya kejang-kejang dan mulutnya megap-megap. Dia seperti ikan yang dikeluarkan dari dalam air. Wajahnya memucat dan dia pun akhirnya tumbang tak sadarkan diri.
Colette dan Lazu terbelalak heran. Keduanya melihat kejadian tersebut dari balik sebuah gedung. Di depan mereka terbentang sebuah lapangan beton—seperti alun-alun kota. Di sanalah sumber ledakan yang mereka dengar tadi. Dugaan Colette benar, alun-alun tersebut sedang menjadi tempat pertempuran antarpetarung. Dan, salah satu dari mereka baru saja dikalahkan.
Asap akhirnya hilang sepenuhnya. Colette melihat seorang pria bertudung dan bermantel perak menyeruak dari balik asap. Dia menggaruk kepalanya dan menarik napas. “Duh, padahal aku tidak suka melawan wanita. Tapi, apa boleh buat. Kamu menyerangku duluan, sih.”
Colette melihat pria itu berkata muram pada lawan yang baru dia kalahkan tersebut.
“Ah, Oxia… makasih buat bantuannya, ya?” kata si pria sewaktu kerbau putih tersebut menghampirinya. “Sekarang, beristirahatlah.”
Si kerbau mengangguk sebelum menghilang. Colette langsung tahu kalau pria itu bukan pria sembarangan. Dia bahkan berdoa semoga pria itu tidak melihatnya atau Lazu. Sehela napas lega nyaris dia embuskan tatkala pria itu berbalik untuk pergi. Tapi, kedatangan seseorang malah membuat suasana semakin runyam.
“Kau terlalu naïf, pendekar perak.”
Baik si pria maupun Colette dan Lazu di tempat yang berbeda, mereka semua terkejut sewaktu mendengar ada suara dingin yang datang menghampiri alun-alun. Si pria perak berbalik dan mengerutkan dahinya. Seorang wanita bertopi trucker berjalan ke arahnya dengan penuh percaya diri.
“Siapa kau?” tanya si pria.
“Perkenalkan, aku Lucia,” si wanita menjawab dengan santai. “Dan, kau?”
“Stallza,” jawab pria bermantel itu. “Apa maumu?”
“Melihat-lihat,” jawab Lucia, mengangkat bahu. “Tadi aku melihat ada ledakan jadi aku ke sini. Ternyata ada pertarungan. Aku mengamati sebentar dan terus terang aku kagum dengan kemampuanmu.”
“Terima kasih,” jawab Stallza meski dia tahu kalau tadi bukan sebuah pujian. Paling tidak, bukan pujian yang tulus. Dia bingung sewaktu Lucia menghampiri perempuan berkacamata yang baru saja dikalahkannya itu.
Lucia berjongkok untuk memeriksa pakaian perempuan itu. Dia mengeluarkan dompet dari saku si kacamata. “Volatile,” katanya, membaca kartu identitas yang ada di dompet itu. “Korban pertama di pertarungan ini.”
Lucia menarik napas berat seolah sedih atas kekalahan Volatile. Dia kemudian bangkit dan mengambil pedang yang tadi dijatuhkan Volatile. “Tapi, Stallza,” kata Lucia lagi, “Ada satu kesalahan yang kau lakukan. Kesalahan kecil sih, tapi bisa berakibat fatal.”
Stallza tidak bertanya apa kesalahannya itu. Namun, wajahnya bertanya-tanya sehingga Lucia pun mengemukakan jawabannya. “Kalau kamu melawan musuh, pastikan musuhmu tidak bisa melawanmu lagi.”
Yang terjadi selanjutnya begitu mendadak dan di luar dugaan. Tanpa belas kasihan, Lucia mengayunkan pedang di tangannya untuk memisahkan kepala Volatile dari badannya. Colette dan Lazu menjerit ketakutan. Colette langsung memejam dan menekap mulut.
Jantung Colette berdegup kencang dalam teror. Dia baru saja melihat ada orang yang dipenggal di depan matanya. Mengerikan! Tubuhnya gemetar tak terkendali. Dia bahkan terisak meski dia berusaha menahan sekuat tenaga supaya tidak ketahuan oleh Lucia.
Beruntung, di saat yang bersamaan, Stallza juga menjerit kaget. Dia tak percaya dengan perbuatan Lucia barusan. Lucia cuma tersenyum simpul seakan membunuh bukanlah perkara yang harus dibesar-besarkan.
“Nah, sekarang, waktunya untuk mengalahkanmu!” kata Lucia.
Stallza melonjak kaget begitu Lucia menyerang. Gerakan perempuan itu sungguh cepat. Stallza terpaksa mundur sewaktu Lucia mengayunkan pedangnya.
“Cih! Sebenernya aku tidak suka melawan perempuan! Tapi untuk jalang keparat sepertimu, akan kubuat pengecualian!” geram Stallza, “HARGIA! KELUARLAH!”
Colette, yang masih gemetar di balik tembok, melihat ada gadis cilik yang melompat keluar dari kristal di tangan Stallza. Bukan manusia melainkan roh atau sejenisnya, karena gadis itu berwarna perak seluruhnya—dari ujung rambut hingga ujung kepala.
Gadis itu menyemburkan cairan perak ke arah Lucia. Lucia bersalto untuk menghindar. Keputusan yang tepat karena cairan tersebut mampu meluluhkan besi sewaktu mengenai pipa. Lucia tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia melompat ke arah Stallza yang pertahanannya terbuka sementara Hargia baru akan berbalik untuk menyerang lagi.
“RASAKAN!” Lucia mengayunkan pedangnya namun berhasil ditangkis dengan pisau di tangan kanan Stallza.
Stallza menjerit tertahan tanpa melonggarkan tenaganya sewaktu ujung pedang Lucia menggores kulit lengannya. Tapi, tak ada waktu untuk menangisi luka. Dengan sigap, Stallza mengeluarkan pisau lainnya dengan tangan kiri dan menyerang lengan Lucia. Lucia menjerit kesakitan sewaktu tangan kanannya tersayat. Pedangnya pun terlepas.
Lucia terpaksa mundur. Stallza juga. Dia bersiap untuk serangan selanjutnya walau tidak mengharapkan kalau Lucia mengeluarkan sebuah baton lipat dari sakunya. Dengan sekuat tenaga, Lucia mengayunkan batonnya.
Bunyi derak mengerikan terdengar sewaktu baton Lucia menggebuk lengan Stallza. Stallza menjerit dan terlempar hingga jatuh ke tanah. Kedua pisau di tangannya juga terlepas. Lucia hendak menyerang lagi meski urung sebab Hargia mengadangnya.
“Cih! Menyusahkan saja!” Lucia menggeram kesal.
“Oy, Bo-Bodoh! Kau baik-baik saja?” tanya Hargia, agak membentak.
Stallza, yang terkapar di tanah, memegangi lengannya yang patah. Dia mengerang kesakitan. “Si-Sial! Terbuat dari apa senjatanya itu?” Stallza tidak menyangka senjata Lucia terbuat dari bahan yang sedemikian kuat. “Kenapa kamu tadi tidak menyerangnya, Hargia?”
“Ha-Habisnya, kamu nggak ngasih perintah! Dasar bodoh!” jawab Hargia, salah tingkah, “Makanya, kalau ngasih perintah yang lengkap dong! Dasar bego! Tolol! Nggak guna!”
“Iya, iya, maaf…” kata Stallza, menarik napas berat. Dia pun mencoba bangkit sembari terus memegangi lengan kanannya yang patah. “Kita selesaikan saja sampai di sini. Hargia, kamu beristirahat saja. Nanti akan kupanggil lagi.”
Hargia pun menghilang diiringi dengusan sebal. Stallza lantas mengeluarkan kristal yang lainnya dengan tangan kiri. Lucia bersiaga. Dia sebenarnya hendak mencegah Stallza tapi dia kalah cepat. Dia terpaksa berhenti di tempat ketika Stallza berseru, “HYDRA! TERBANGLAH!”
Seekor burung biru melesat cepat. Lucia kontan melompat untuk menghindar. Tapi burung itu tidak menyerangnya. Dia malah terbang seperti bola pinball yang melesat gila-gilaan ke segala arah dan tidak menyerang Lucia.
Lucia bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Dia kemudian melihat Stallza mengeluarkan geretan dan pupilnya pun membengkak ketakutan. “Si-Sial!”
“Selamat tinggal, Lucia!” kata Stallza dingin, melempar geretannya ke depan untuk membakar Hydra.
Colette dan Lazu menjerit saat Hydra meledak hebat, sampai-sampai angin ledakannya pun mampu membuat mereka terpental. Colette terguling ke tanah. Dia merintih kesakitan. Telinganya pun berdenging.
Colette tak percaya Stallza memiliki kekuatan semacam itu. Jadi, Stallza jugakah yang menyebabkan dua ledakan sebelumnya? Kekuatan macam apa yang dia miliki? Penasaran, Colette menarik tubuhnya kembali untuk melihat hasil pertarungan. Mustahil Lucia bisa selamat dari ledakan sehebat itu.
Colette dapat mendengar suara batuk Stallza. Dia bisa melihat kembali sosok pria itu setelah asap menipis. Tapi, dia tidak menemukan Lucia meski telah melihat ke sekeliling. Apa tubuh Lucia sudah hancur berkeping-keping sehingga tidak tersisa?
“Ternyata begitu. Sekarang aku mengerti kekuatanmu.”
Bulu kuduk Stallza meremang ketika mendengar suara Lucia di belakangnya. Dia baru akan menoleh tapi terlambat. Tanpa ampun, Lucia menggebuki Stallza dengan batonnya. Stallza menjerit-jerit kesakitan sebelum tersungkur ke tanah.
“Si-Sial… bagaimana kau bisa—?”
“Untung aku sempat menyadari perbedaan udara ketika burung birumu melesat-lesat. Lalu, saat kau mengeluarkan geretan, akhirnya aku yakin kalau burung itu mengeluarkan gas yang mudah meledak. Nama burungmu Hydra. Mungkin dia burung dengan senyawa Hidrogen?” tebak Lucia. “Makanya, sebelum meledak aku langsung menghindar, melompat masuk ke dalam salah satu gedung dan berlindung. Saat ledakan selesai dan asap masih tebal, aku keluar lagi.”
Stallza geram bukan main. Dia hendak mengambil kristalnya lagi tapi seluruh tubuhnya sakit luar biasa.
“Jadi, kekuatanmu itu elemen kimia, ya?” Lucia melanjutkan,” Oxia dan Hargia barangkali berasal dari kata oksigen dan hidragirum atau raksa. Sepertinya aku benar, ya? Sudah kubilang, kan, kalau tadi aku sempat mengamatimu? Aku sekalian mempelajari kekuatan dan kelemahanmu.”
“Jangan sombong dulu kau!” raung Stallza marah, “Aku belum—OHOOOK!”
Colette terbeliak kaget, menekap mulutnya, dan sengaja menggigit bibir bawahnya supaya tidak mengeluarkan jeritan. Lucia baru saja menusuk jantung Stallza dengan entengnya.
Menggunakan pisau Stallza yang mungkin dipungutnya saat melesat di tengah kepulan asap, Lucia mencabut nyawa pria bermantel perak tersebut. Dalam sekejap, Stallza pun mengembuskan napas terakhirnya.
“Maaf, kau kalah,” kata Lucia, bangkit dan menendang jasad Stallza.
*
Colette dan Lazu masih gemetar di tempat mereka. Mereka ingin kabur tapi terlalu takut untuk melakukannya. Kalau sampai ketahuan Lucia, mereka pasti dalam bahaya.
“Nah,” kata Lucia, mengantongi kembali baton lipatnya. “Kalian berdua mau keluar atau kabur seperti tikus?”
Jantung Colette mencelos. Kengerian segera menjalari kulitnya. Udara sekitar langsung terasa membeku. Gawat!, pikirnya. Lucia mengetahui keberadaan mereka!
“Kalian mau main petak umpet sampai kapan?” tanya Lucia lagi, membuat jantung Colette berdebar tak keruan.
Colette menoleh ke arah Lazu yang balas memandangnya dengan tatapan takut. Colette berjengit sewaktu mendengar langkah kaki Lucia yang menghampiri mereka. “Baiklah, kalau kalian tidak mau keluar…”
Colette panik. Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana ini?
“… akan kususul dan kubunuh kalian.”
“LAZOO! DEPECHE TOI! CEPAT! KABUUUR!”
Lucia kaget sewaktu mendengar seruan tersebut. Dia segera berlari dan lebih terkejut lagi ketika melihat para korbannya sudah melarikan diri… menggunakan sepeda.
“TOUR DE FRANCE!” seru Colette, mengayuh sepeda pink-nya dengan penuh semangat sementara Lazu duduk di sadel belakang.
Lucia terperanjat karena tak menyangka kalau korbannya memiliki sepeda. Dengan geram, dia segera berlari mengejar keduanya.
Lazu menoleh ke belakang untuk melihat keadaan. Dia tidak menyangka kalau Lucia mampu bergerat sangat cepat, gesit, dan lincah. Bahkan, boleh dibilang kecepatan lari Lucia sama dengan kecepatan sepeda mereka.
“Coco! Cepat! DiaMengejarKita! LarinyaSangatCepat! DiaKayakKesetanan!” Lazu meminta Colette untuk menambah kecepatan.
“Tenang saja! Moi pasti akan membawa kita ke tempat aman! Moi akan melindungi vous!”
Colette mencari cara untuk meloloskan diri. Dia berbelok ke gang kecil, lantas berbelok ke gang lainnya lagi, berharap dapat mengelabui Lucia. Dia tidak memedulikan napasnya yang terengah-engah atau betisnya yang memanas. Di pikirannya cuma satu yakni meloloskan diri dari Lucia.
“HAHAHA! MAU LARI KE MANA KALIAN? SELURUH WILAYAH INI TAMAN BERMAINKU! AKU TAHU SELUK-BELUK TEMPAT INI! KALIAN TIDAK AKAN LOLOS!”
Colette mendengar gaung suara Lucia di belakang mereka. Colette mengutuk, tidak mau percaya dengan ucapan Lucia barusan. Dia terus berusaha, berharap tanah lapang di penghujung gang di depan matanya itu adalah jalan keluar.
Nyatanya dia salah. Begitu mereka keluar dari dalam gang, Lucia berlari dari arah kanan. Mata Colette terbelalak. Rupanya Lucia memang tahu seluk-beluk tempat ini. Dan, Lucia melempar tongkat besi yang dibawanya ke jeruji sepeda.
“NOOOOON! UAAAAAHHH!” Colette dan Lazu melayang ketika sepeda mereka terpelanting akibat dijegal besi Lucia. Colette pun tersungkur bersama Lazu.
“Akhirnya kalian berhenti juga, dasar cecungguk-cecungguk tak berguna,” kekeh Lucia.
Colette mengaduh ketika berusaha berdiri. Dia menoleh ke Lazu yang tadi menggelinding hingga menabrak tembok ruko. Colette bersyukur Lazu tidak apa-apa. Kini dia beringsut mundur untuk menghampiri Lazu sekaligus menjauh dari Lucia.
“Atau, kalian pikir kalian bisa lolos dariku?” tanya Lucia yang kini memberi dengusan mengejek.
“Kalau belum dicoba, siapa yang tahu, kan? Kami tidak mau bertarung,” jawab Colette.
“Tidak mau bertarung? BWAHAHAHA! Terus, kalian mau ke sini mau apa? Melawak? HAHAHA! Apa kalian tidak sadar kalau kalian—kita semua!—berada di sini untuk bertarung?” Lucia tertawa lagi kali ini sampai perlu memegangi perut.
Colette merasa terhina tapi dia tidak menanggapi gelak tawa Lucia yang barbar itu.
“Aduh, kalian ini bukan cuma naïf tapi memang bodoh, ya?” kata Lucia, diselingi dengan kikikan geli, begitu selesai tertawa, “Kuberitahu saja, satu-satunya jalan untuk keluar dari turnamen ini adalah bertarung dan menang. Kalian tidak bisa kabur. Kalian tidak bisa bersembunyi.”
Colette mengerang ketakukan sewaktu Lucia mengeluarkan batonnya. “Dan,” kata Lucia, “Kalau kalian tidak mau bertarung, silakan saja. Tapi, jangan mengeluh, KALAU AKU MEMBUNUH KALIAN!”
Colette, yang semula hendak berdiri dan mengeluarkan cambuknya, malah berteriak kaget. Dia terkejut dengan kecepatan Lucia yang mengagumkan. Alhasil, dia cuma bisa melindungi diri dengan lengan sementara Lucia mengayunkan batonnya.
Tak disangka, Lazu melompat ke depan Colette guna menerima serangan baton Lucia. “Tenang saja, Coco! Lazu akan melindungimu!”
Lucia tidak peduli. Dia menggebuk Lazu sekuat tenaga. Akan tetapi, dia tidak memperhitungkan kekuatan Lazu. Begitu menyentuh tubuh Lazu, baton tersebut malah terpental dan mengayun cepat ke arah sebaliknya. Lucia mendelik kaget.
BLETAAAAAK!
“HUWEEEEEK!”
Baton Lucia menghajar hidung empunya sendiri. Lucia tersandung kaget ke belakang dan akhirnya jatuh tersungkur. Hidungnya patah, mengalirkan darah yang deras.
Colette yang melihat kejadian itu terperangah tak percaya sebelum tertawa. “O HO HO HO HO HON! SENJATA MAKAN TUAN! RASAKAN!” puas sekali Colette melihatnya. “Merci beaucoup—terima kasih, Lazoo!”
Lucia menutup hidungnya dengan tangan supaya darahnya tidak mengucur gila-gilaan. Dia tak percaya! Dia dipermalukan dengan mudahnya! Amarah pun segera membakar hatinya. Dia geram pada makhluk biru aneh tersebut. “BAJINGAAAAAAAN! AKAN KUHABISI KALIAN!”
Colette tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia tidak mau Lucia menyerangnya lagi. Dia pun mencabut cambuknya dan mulai memecut Lucia.
Lucia menjerit. Dia kaget karena perempuan badut hitam itu ternyata memiliki cambuk. Ayunan cambuk Colette pun begitu bertubi-tubi, membingungkan Lucia, sehingga dia tidak tahu harus bagaimana. Akhirnya, dengan terbirit-birit, Lucia melompat ke dalam gang untuk menghindari serangan Colette.
Tangan Lucia meraba-raba panik ke tanah. Dia mencari sesuatu di dalam gang yang dapat digunakannya sebagai senjata. Terus terang, dia gelagapan. Hidungnya yang berdarah dan badannya yang ngilu dicambuk berkali-kali membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Tangannya kemudian mencengkeram sesuatu. Sebuah pecahan botol. Bukan senjata yang dia inginkan tapi dia bisa memanfaatkannya.
“Kee~tee~muuu~”
“HIYAAAAA!” Lucia menjerit kaget saat Lazu sudah berada di sampingnya. Dia mencoba kabur namun terlambat. Lazu segera mencengkeram lengannya.
“Selesai sudah,” kata Lazu.
Lucia terperanjat sewaktu merasakan lengannya mengering. “AA—AAA—AAAAARGH!” dia menjerit lantang sewaktu merasakan cairan tubuhnya diisap Lazu. Dengan panik, Lucia mencoba melepaskan diri dengan menendang-nendang Lazu, mengayun-ayun pecahan botol, dan…
“JRASH!”
“LAZOOO!” Colette memekik histeris.
Lazu terbeliak. Dia memuntahkan air dari mulutnya. Dan, sewaktu dia melihat ke bawah, dia menemukan lengan Lucia yang memegang pecahan botol telah bersarang di perutnya. Air pun berbondong-bondong meninggalkan raga birunya.
Lucia menyeringai. Dia tak menyangka bisa menemukan kelemahan makhluk itu tapi dia senang. Dan, karena makhluk biru itu telah mempermalukannya, Lucia pun menghadiahkan sebuah hukuman yang setimpal.
“LAZOOO! NOOOON!”
Colette hendak menolong temannya itu namun terlambat. Dia memekik sewaktu Lucia mengeluarkan api dari tangannya. Lazu mendorong tubuhnya ke belakang. Dia berhasil melepaskan tubuhnya dari tangan Lucia. Tapi, semua telah terlambat.
Colette menekap mulutnya. Matanya dibanjiri kesedihan. Dia tak sanggup melihat Lazu yang terbakar di atas tanah. Lazu berguling agar bisa mendongakkan kepalanya untuk melihat Colette. Pupilnya yang bercahaya bak permata menguarkan kesedihan. Akan tetapi, Lazu justru tersenyum. Senyum terakhir sebelum akhirnya dia habis terbakar.
“LAZOOOOOOOO!” Colette jatuh terduduk, tak kuasa menahan kesedihan yang menimpanya.
“Hahaha,” Lucia tertawa. Meski agak limbung dan perlu mendorong tubuhnya ke dinding, dia bangkit. Dia menggeser paksa hidungnya yang patah—dan berteriak lantang saking sakitnya—supaya posisi tulang hidungnya bisa kembali. Setelahnya, dia merasa jauh lebih baik. Darah yang membanjiri hidung dan mulutnya pun dia hapus menggunakan lengannya.
“Tinggal satu tikus lagi,” seringainya, mempersiapkan baton untuk menghajar Colette yang masih menangisi kematian Lazu.
*
Hiruk-pikuk itu terasa laksana mimpi. Bagaikan kilasan-kilasan film yang direkam secara amatir dan diedit secara kasar. Suara-suara teriakan panik terdengar timbul tenggelam. Kadang kencang, kadang sayup. Ada yang berseru di sampingnya, bilang, “Colette… bertahanlah!”
Bertahan? Bertahan untuk apa? Bertahan untuk tetap hidup? Kenapa? Bukankah mati adalah hal lumrah? Semua orang pasti mati… kenapa mati harus ditakuti? Terlebih, mati itu tidak sakit. Buktinya, sekarang sakit itu perlahan-lahan akhirnya menghilang. Bukankah justru hidup yang menyakitkan? Hidup ini dipenuhi dengan duka, dera, derita. Hidup itu melelahkan.
Dan, kebetulan, dia pun sudah lelah. Jadi, dia ingin orang-orang membiarkannya untuk tidur. Sebentar saja….
Ya, sebentar saja….
Colette… bertahanlah….
Entah kenapa, suara itu terdengar begitu familiar. Suara yang ia rindukan. Dengan perlahan, Colette membuka kelopak matanya yang berat. Samar-samar, di ujung panggung, dia melihat dua sosok yang memerhatikannya. Seorang pria gemuk dan wanita langsing berkulit legam. Keduanya tersenyum.
Mama…? Papa…?
Colette tidak percaya. Dia pasti tengah berhalusinasi. Tapi, begitu dipanggil, keduanya mengangguk. Lebih-lebih, mereka memang terlihat seperti almarhum orangtuanya. Air mata Colette pun menetes.
Mama… Papa… moi kangen… moi ingin bertemu kalian….
Ibunya mengangguk. Kalau begitu, bertahanlah Colette… Kamu kuat… kamu dilindungi oleh cinta dan impian….
Tapi… Mama…?
Kamu kuat, Colette….Percayalah….
“Kalau begitu, lindungi aku, ya?” Lazu memberi persyaratan, sewaktu Colette mengajaknya ke arah ledakan.
“Eh? Melindungi vous?” Colette terkejut, “Tapi, vous kan laki-laki. Harusnya vous melindungi moi yang perempuan.”
“Kalau begitu, aku tidak mau ikut!” pungkas Lazu, melipat tangannya di depan dada.
“Kenapa?” Colette mengerutkan keningnya, “Kalau ke sana, siapa tahu kita bisa mempelajari kekuatan dan kelemahan musuh. Dengan begitu kita punya kesempatan untuk bertahan.”
“Ha-Habisnya, aku lemah. Aku tidak punya kekuatan yang hebat seperti kamu,” kata Lazu menundukkan kepala, “Kamu bisa mengeluarkan tembok pelindung. Kamu pasti bisa bertahan. Kalau aku….”
Kata-kata Lazu tidak selesai tapi Colette paham maksudnya. Dia pun tersenyum. “Tres bien—baiklah. Kalau begitu, kita saling menjaga dan melindungi. Oui?”
Lazu mendongakkan kembali kepalanya lalu mengangguk. “Setuju. Kita akan saling menjaga dan melindungi!” Mereka bahkan saling mengaitkan jari kelingking masing-masing.
“Tapi, seorang gentlemen sejati wajib melindungi wanita, lho,” Colette menambahkan sambil mengedip ke Lazu. Dia kemudian tertawa.
Lazu juga tertawa. Dia merasa tenang. Setidaknya, dia tidak sendirian di tempat antah-berantah yang mengerikan ini. Seulas senyum lega. Senyum yang sama sewaktu tubuhnya terbakar api namun setidaknya Colette selamat.
Setidaknya, dia telah menepati janjinya. Setidaknya, dia mati sebagai seorang gentlemen….
“OWAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!” Colette berteriak sekuat tenaga meluapkan seluruh emosi di dalam dadanya. Amarah yang memuncak serta duka yang mendalam meruah bersamaan.
Colette berdiri sambil beruraian air mata yang menghancurkan riasan wajahnya. Dia membuka kakinya dan mengacungkan kedua tangannya ke depan. Lucia bingung melihat kuda-kuda aneh tersebut. Namun, dia langsung pucat pasi begitu muncul dua senapan mesin di kedua tangannya.
“Sial!” Lucia segera lari untuk menyelamatkan diri.
“MEURS, PUTE!—MATILAH, DASAR JALANG!” lengking Colette menembaki Lucia tanpa ampun. “NOM DE PUTAIN DE BORDEL DE MERDE DE SALOPERIE DE CONNARD D’ENCULE DE TA MERE!” Colette mengumpat gila-gilaan, seiring dengan muntahan peluru dari moncong senapannya.
Lucia melarikan diri dari terjangan peluru. Beruntung Colette dalam keadaan terguncang sehingga menembak secara membabi-buta alih-alih fokus pada target. Terlebih, sepertinya Colette bukan penembak yang ahli.
Lucia selamat begitu dia melompat menerjang jendela sebuah toko. Dia memastikan dirinya tetap selamat dengan berlindung di balik meja yang terjungkal. Di luar sana, Colette masih mengumpat secara emosional sembari mendesingkan puluhan peluru.
“Keparat! Wanita itu punya kekuatan yang hebat!” geram Lucia. “Bagaimana caraku mengalahkannya?”
Lucia melihat ke sekelilingnya. Tampaknya dia melompat masuk ke sebuah restoran. Dia menemukan ada wajan, spatula, kompor, perlengkapan masak, dan pelbagai macam pisau. Dia tersenyum. “Seperti masuk ke gudang senjata saja,” kekehnya.
*
Colette menekan-nekan pelatuk senapannya tapi tidak ada lagi peluru yang keluar. Dengan sebal, dia buang kedua gatling yang sudah tidak berguna tersebut. Dia mencabut cambuknya dan berjalan ke arah restoran.
Langkahnya limbung membuatnya terkejut. Sepertinya, dia terlalu banyak mengeluarkan energi untuk mematerialisasi senapan mesin. Terlebih, dia memang sedikit lelah setelah kejar-kejaran menggunakan sepeda. Dia tidak boleh boros menggunakan Reves-nya. Bisa-bisa malah dia yang celaka.
Colette masuk ke dalam restoran dengan berhati-hati. Dia terkesiap sewaktu mendengar ada desingan seperti suara sesuatu yang melesat. Colette melompat ke samping, menghindari pisau-pisau yang dilempar Lucia.
“HEAAAAAA!” Lucia maju menyerbu. Dia tidak akan membiarkan Colette mengeluarkan senjata lainnya.
Colette mengayunkan cambuknya yang langsung ditahan dengan terampil oleh Lucia menggunakan batonnya. Kini, ujung cambuk Colette terlilit di baton Lucia. Tanpa membuang waktu, Lucia menyentak kencang batonnya dan membuat Colette melepaskan cambuknya.
“Ah! Non!” Colette kaget, apalagi Lucia sekarang bersalto dan mengayunkan tendangan.
Colette secara refleks mengangkat kedua lengannya ke depan dada untuk melindungi diri. Upayanya tersebut tidak membuahkan hasil yang signifikan. Begitu tendangan Lucia masuk, Colette terpelanting menabrak tembok. Colette menjerit kesakitan.
Lucia mengayunkan batonnya. Colette bereaksi cepat, mengayunkan kakinya untuk menyapu kaki Lucia. Lucia menjerit begitu tubuhnya limbung, sementara Colette bersalto bangun dan melompat mundur.
Colette berkonsentrasi, mengambil kuda-kuda, kali ini kedua tangannya diayun secara melingkar. Lucia menggerutu karena Colette berhasil mengeluarkan senjata baru. Dia sudah siap apabila Colette mengeluarkan senjata api lagi. Namun ternyata, Colette malah mengeluarkan tiga buah gelang besi.
Gelang-gelang besi tersebut berdiameter kira-kira lima puluh sentimeter. Itu adalah gelang-gelang yang biasa dipakai pesulap, yang dapat dilepas pasang sesuka hati tergantung dengan ketrampilan si pemakai. Bedanya, gelang-gelang Colette berwarna biru, putih, dan merah.
“Liberte, egalite, fraternite (Freedom, equality, brotherhood)!” ujar Colette, menyambung ketiga gelang tersebut seraya memasang kuda-kuda.
Lucia mendengus mengejek. “Kau mau melawanku dengan gelang-gelang itu? Menggelikan sekali!” ejek Lucia sebelum maju menyerang Colette.
Colette melepas gelang merahnya—Fraternite. Begitu baton Lucia terayun, Colette menunduk lalu menghajar sikut Lucia dengan Fraternite. Lucia menjerit. Batonnya terlepas. Colette segera berdiri lalu menggeser tubuhnya ke belakang Lucia.
Lucia yang kesakitan—akibat sikunya patah—tak dapat menghindar sewaktu Colette mengalungkan gelang putih—Egalite—ke lehernya. Egalite masih tersambung dengan Liberte—gelang biru. Colette menarik Liberte ke bawah. Akibatnya tubuh Lucia pun terhuyung. Lucia berusaha tidak jatuh dengan menguatkan kakinya. Colette tahu, karena itulah dia menghajar tulang kering Lucia dengan fraternite.
Lucia menjerit sewaktu tubuhnya jatuh ke lantai. Colette menginjak dan berdiri di punggung Lucia, membuat wanita bertopi trucker itu meraung-raung. Colette memasang kembali fraternite, sehingga ketiga gelangnya kini tersambung kembali. Dan, tanpa ampun, Colette menarik ketiganya guna mencekik leher Lucia sekaligus membuat tubuhnya melengkung ke atas.
“AAAAAAAAAAARGH!” Lucia kesakitan.
“INI BUAT LAZOO, DASAR SUNDAL!” seru Colette geram.
Lucia megap-megap. Dia sulit bernapas dan tulang punggungnya terasa mau patah. “B-B-BANGSAAAAAT!” Lucia marah. Dia mengayunkan lengannya ke belakang dan menyapu kaki Colette.
Colette kehilangan keseimbangan juga gelang-gelangnya. Lucia tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia memutar tubuh dan mengayunkan kakinya. Ujung sepatu Lucia mengenai dagu Colette. Walau hanya menyerempet, itu cukup buat Lucia karena Colette menjerit kaget dan melonggarkan kewaspadaannya.
“HIIIIIYAAAAAAAAAA!” Lucia melompat bangkit dengan melayangkan tinju ke pipi Colette.
Colette menjerit. Lucia tidak memberi ampun. Dia memegang bahu Colette sebelum menyarangkan serangan dengkul ke perut lawannya itu.
“OHOOOK!” Colette memuntahkan cairan bening dan pahit. Pening yang luar biasa segera menyerang, membuat mata Colette berkunang-kunang, bahkan nyaris membuatnya kehilangan kesadaran.
Colette terjerembap ke lantai. Di sana, dia menangis dan merintih sembari memegangi perutnya yang sakit. Lucia memungut batonnya lagi. Dia mengatur napas karena terus terang dia sudah sangat lelah. Sekujur badannya juga nyeri dan sakit.
“Cukup!” katanya menghampiri Colette yang masih meringkuk kesakitan, “Ini yang terakhir… akan kuhancurkan kepalamu.”
Lucia mengangkat batonnya dengan kedua tangan, mengincar kepala Colette. Colette hanya mampu menjulurkan tangannya yang gemetar ke kaki Lucia.
“MATILAH KAU, BODOH!” seru Lucia, mengayunkan batonnya, dan…
DOR!
“UWAAAARGH!” Lucia melompat kesakitan dan jatuh berguling-guling di lantai begitu kakinya dilubangi timah panas dari pistol yang muncul di tangan Colette. “KEPARAT! BANGSAT! AAAARGH! SAKIT, DASAR BRENGSEK!”
“Siapa bilang aku mau mati?” erang Colette, mencoba berdiri meski perutnya masih terasa melilit. Dia menembak Lucia lagi tapi tembakannya meleset. Lucia berguling ke balik tiang tembok restoran. Dia mengambil mangkuk pecah di lantai lalu melemparkannya ke Colette.
Colette menjerit walau serangan putus asa dari Lucia tidak mengenai dirinya. “CUMA ITU YANG VOUS BISA?” lengking Colette, menantang, “AYO, KELUARLAH! BUNUH AKU!”
“Memang itu rencanaku, goblok!” geram Lucia di balik tiang tegel. Dia merobek sedikit ujung bajunya untuk menutup luka tembak di kaki. Lucia tidak tahan lagi. Dia pun meraung dan mengeluarkan api hijau dari kedua tangan dan kaki. Api hijau tersebut juga menjalar ke batonnya.
“MATILAH KAAAAU!” Lucia nekat keluar dan menyerang Colette.
Colette menembak lagi tapi Lucia berhasil mengelak berkat kelincahannya. Lucia menggunakan seluruh energinya untuk satu tujuan terakhir, yakni membunuh Colette.
Colette terbelalak. Dia terpaksa menghindar sewaktu pelurunya sudah habis. Lucia mengayunkan baton apinya. Colette berhasil menghindar tapi tendangan Lucia berikutnya datang tanpa peringatan.
Colette terpelanting dan menabrak meja. Dia menjerit namun buru-buru mengguling-gulingkan tubuhnya guna memadamkan api yang membakar bajunya. Dengan brutal, Lucia menyerang lagi.
“MAMPUS!”
“UAAAAAH!” Colette tidak sempat menghindar. Dia hanya bisa memejamkan mata dan bersiap menerima sakit yang amat sangat.
BRUAAAAK! Baton api Lucia menghancurkan tegel lantai.
Colette gemetar dalam teror karena baton Lucia nyaris menghancurkan kepalanya. Entah kenapa, Lucia meleset beberapa senti. Colette dilanda ketakutan dan kebingungan. Tapi, dia tahu kalau dia beruntung. Maka, dia langsung berguling menghindar dan melompat mundur.
Kondisi Lucia aneh. Dia terlihat agak limbung. Api hijaunya juga padam. Dia mengucek-ucek matanya sambil mengumpat kesal. Colette tidak tahu apa yang terjadi pada Lucia walau dia yakin itu adalah efek samping dari kekuatan Lucia.
Colette bersiaga. Dia senang karena musuhnya melemah. Namun, bilang begitu juga sebenarnya dia pun sudah sangat lelah. Mungkin, dia cuma bisa mematerialisasi satu atau dua benda lagi.
Jadi, inilah puncaknya. Baik Colette maupun Lucia sudah sama-sama lelah. Serangan berikutnya akan menentukan siapa yang akan menang.
Lucia akhirnya pulih. Matanya sudah tidak kabur lagi. Di depannya, Colette berusaha mengatur napas. Colette tidak memasang posisi seperti dia akan mengeluarkan senjata api. Jadi, Lucia memberanikan diri memasang kuda-kuda untuk menyerang.
Sejenak, keduanya hanya diam di tempat, bersiaga, mengatur napas. Lucia mengangkat batonnya, Colette memutar-mutar tangan kanannya.
“HEAAAAAAAAAAA!” Lucia menyerbu lebih dulu, tepat saat kitir di tangan Colette termaterialisasi. Tanpa ragu, Colette melempar kitirnya, dan…
… Lucia berhasil mengelak. Colette terbelalak, melihat kitirnya terbang jauh di belakang Lucia. Lucia tertawa gembira.
“HAHAHA! KAU KALAH!” serunya girang. Ekspresinya seperti serigala lapar yang berhasil menerkam mangsa. “MATILAH KAU!”
“Vous yang kalah!” kata Colette dingin.
Lucia terkejut sewaktu ada rantai yang tiba-tiba muncul di udara. Salah satu ujung rantai bermuara di tangan Colette dan ujung lainnya… terpasang di kitir yang tadi melayang. Lucia tidak menyangka! Ternyata yang Colette lempar barusan bukan sekadar kitir biasa melainkan kitir berantai. Hanya saja, rantai tersebut belum sempat muncul begitu Colette melempar kitirnya itu.
Kebekuan menjalar di punggung Lucia begitu Colette menarik rantainya. Kitir tersebut pun melayang kembali dan…
“MOULIN ROUGE (Kincir Merah)!” pekik Colette.
JRAAASH!
“UAAAAAARRRGHHH!” Lucia menjerit kesakitan sewaktu kitir itu menembus punggungnya. Dia pun jatuh tersungkur ke depan Colette. Darah merah mengalir dari punggungnya.
Colette berniat mengakhiri semuanya. Dia melilitkan rantai ke leher Lucia dan menariknya sekuat tenaga.
“OHOOK! AARGH! GRUAAAH!” Lucia menggelepar-gelepar panik sewaktu Colette mencekik lehernya dengan rantai. Dia berusaha menyelamatkan diri namun Colette tidak memberi kesempatan. Terlebih, Colette menginjak kepalanya supaya dia tidak bisa bergerak. Colette menambah kekuatan tarikan rantainya, dan…
KRAAAK!
Colette mendengar ada suara derak ketika leher Lucia patah. Akhirnya, Lucia pun berhenti menggelepar, berhenti meronta-ronta, dan berhenti bernapas. Lucia meregang nyawa dengan mata terbelalak.
Colette melepaskan rantainya sebelum jatuh terduduk ke lantai. “Selesai…” katanya, dengan napas terengah-engah. “Semuanya sudah selesai…”
Colette mulai terisak lagi. Air matanya meleleh kembali. “Sudah selesai, Lazoo…. Moi menang…” isak Colette, mengingat teman birunya yang malang. Dia merebahkan diri ke lantai dan menangis sepuas-puasnya di sana.
Dia pikir, jika dia mati, dia akan masuk surga. Langsung bertemu dengan ayah dan ibunya. Dia pikir, dia akan bahagia. Ternyata, dia salah. Ini neraka! Semua ini adalah neraka!
“Kini kalian sudah mengerti. Untuk dapat bertahan hingga akhir, tak ada cara lain selain mengalahkan siapa pun yang menghalangi kalian.”
Tidak… moi tidak mau bertarung lagi. Moi tidak mau membunuh lagi.
Colette melihat ada yang datang. Namun dia tidak tahu siapa itu. Pandangannya kabur karena dibanjiri air mata. Siapa itu? Musuh?
Colette pasrah. Dia sudah tidak punya tenaga untuk bertarung.
“Ayo, bertarung lagi…”
Tidak… Colette menggeleng.
“Tidak? Maksudmu kau tidak mau bertempur lagi?”
Ya… sudah cukup… angguk Colette. Dan vous tidak akan bisa memaksa moi….
Colette memasukkan moncong pistol yang dimaterialisasikan ke dalam mulutnya. Dia menarik pelatuk, dan….
C’est fini. Sudah selesai.
***
Eh, ternyata kalo masuk blog format italic-nya hilang kah? Padahal saya cek di e-mail, italic-nya masih ada. Saya juga sempat kirim ke e-mail sendiri dan waktu saya cek format italic-nya tidak hilang. Tapi, ya sudahlah.
ReplyDeleteToo bad yah... soalnya pas sampe spasi antar barisnya berlebihan. Jadi untuk memperbaikinya saya mesti ngilanging segala bentuk formatted text biar pas sama di blog.
DeletePLEASE JANGAN DIILANGIN! :'(
DeleteAwakakakakka,, Colette ya,,,
ReplyDeleteLucu amat narasinya, penggambaran Colette juga wow.
.
Dia sama Lazu unyu bedua-duaan gitu ah. Boleh di-ship? XD
Itu lucu amat ada sepeda pink.. XDDD
.
Bang, btw :
- tuhannya >> Ini kata Tuhan ngga pake kapital ya?
- “JRASH!” >> Aaaa... sound efeknya ngomong ._. Sori bang
- Tidak… moi tidak mau bertarung lagi. Moi tidak mau membunuh lagi. >> Ini mestinya dialog bukan sih?
- Ya… sudah cukup… angguk Colette. Dan vous tidak akan bisa memaksa moi…. >> Sama ini kesannya janggal
+8 dulu ya bang
Iya "tuhan" di sana sengaja nggak pake kapital.
DeleteMaaf, Jrash-nya bisa ngomong. :v
Dua terakhir jadi membingungkan karena italic-nya hilang. Dan, barangkali beberapa dialog Prancisnya juga menganggu karena tidak ada italic. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.
O ho ho ho hon :D
Tercatat
DeleteWooow, baca final fightnya benar-benar intense...
ReplyDeleteLemme guess, ini pasti dapet beberapa wangsit setelah nonton The Raid 2 ya.
XD
Perjuangan si Collete ini kek duelnya Yuda vs Assassin. :D
.
Oh tidak, Lazu mokad secara gentel....
TT___TT
Dham, sepertinya kita sama-sama membunuh oc kita di R1 ini ya...
:D
+8 dulu
Ummm... lebih terinspirasi dari Kow Lan di Kung Fu Boy sih. O ho ho hon.
DeleteTercatat
DeleteIni pleasant surprise. Jujur tadinya saya kira ga akan terlalu fond of Colette - bukan rasis lho, tapi karena kayanya kemampuan 'bikin sesuatu jadi nyata' belakangan rada mainstream. Tapi rupanya Adham bisa bikin karakterisasi Colette beneran kuat - terutama dapet banget pas tinggal dia sama Lucia.
ReplyDelete8/10
Ini komentar dari kreator moi, Monsieur Fusama:
DeleteHahaha, Colette itu karakter yang "nyusahin" karena kekuatannya macam Betti tapi dia tidak bisa memanfaatkannya dengan maksimal karena dia sebenarnya cuma performer bukan petarung jadi masih gugup untuk mengaplikasikan kekuatannya dalam battle. Plus, dia juga bukan seperti Infi yang jago menganalisis dan terbiasa bertarung. Jadi, saya memang harus "menahan diri" supaya Colette tidak OOC karena terlalu hebat dalam bertarung. Akhirnya ya jika pertarungan Colette vs Lucia terkesan amatir itu memang disengaja. Akan ada perkembangan karakter jika Colette lolos ke ronde-ronde selanjutnya.
***
Tres bien, merci beaucoup Monsieur Rillme.
Tercatat
DeleteKaito Crowley menyeruput cangkir tehnya setelah layar televisi menunjukkan video telah habis. di sebelahnya, duduk dengan anggun adalah nona Clive yang berambut biru, ia tampak memegangi kepalanya.
ReplyDelete"Bagaimana menurutmu, nona Clive?" tanya Kaito.
"Sejujurnya, dua bahasa ini membuatku pusing," jawab Clive, "Dan bahasa-bahasa itu, ya ampun...!"
"Bukankah itu menambah rasa pada pertarungan?" Kaito menyanggah, "Aku pikir inilah yang membuat pertarungan Colette dan Lucia lebih berasa."
"Sayangnya, Selain Colette, Lazu dan Lucia, pembagian peran dalam pertarungan ini tidak rata," Clive melanjutkan protesnya.
"Nona, kau pikir mudah membuat lima orang berpartisipasi dalam pertarungan dan mendalami mereka semua?" Kaito kembali tidak setuju, "Menurutku, dengan tiga karakter ini, penulis sudah cukup memberikan pendalaman."
"dan tidak memanfaatkan sifat parasit Lazu?" Clive menggeleng, "Tidak, sayangnya aku sangat menantikan bagaimana penulis lain memanfaatkan Lazu. aku kecewa dengan penulis ini."
"jadi nilai yang anda berikan?" Kaito meletakkan cangkir tehnya.
"Dua," jawab Clive.
"Kalau begitu, aku akan memberikan empat," kata Kaito, "Aku menikmati pertarungan terakhir."
**
Total Nilai : +6
I-Ini siapa yang ngomong? Vous punya kepribadian ganda? :v
DeleteClive dan Kaito POV ... tokoh si Arai di HxH... :v
DeleteTercatat
kyknya emang terlalu fokus ke lucia sebagai antagonis juga. selain itu, memakai penggerak plot yaitu lazu agak fatal disini. soalnya, dari cerpen yg aku baca pas punya lazu mah, dia orangnya(?) emang inosen tapi munafik gitu(buatku). jadi, kerasa nggak klik disini.
ReplyDeletetrus, pas bagian lucia yg bilang dia tau kekuatannya stallza. disini nggak ada keren2nya. bukannya orang yg udh baca charsheet juga udh tahu ya?
trus ya itu juga, pembagian porsinya nggak rata.
tapi, beneran badut. lucu. :lol: apalagi pas naik sepeda itu. dan nice buat battlenya. apalagi adegan yg terakhir pas dimunculin senjata itu.
7/10.
Moi kayaknya terlalu baik ama Lazoo. Lazoo padahal rese ya? :v
DeleteIya kan authornya / pembaca yang tahu. OC kan belum tahu kekuatan masing-masing, makanya harus cari cara buat tau kekuatan dan kelemahan yang lain.
O ho ho ho hon. Merci. Dan sorry Volatile mati di awal. Desole, sorry :')
Tercated
Deletewhwhwhw
ReplyDeletebanyak momen yang penuh konflik di sini. gw suka dengan cerita lu yang ngebuat OC jadi lebih manusiawi dan bukan manusia super. Mungkin karena itu lu pilih Lucia sebagai lawan terakhir.
cma gw agak keki karena Colette ga sempet nyicip kemampuan Stallza. Volatile mati di awal no problem lah. setidaknya dari situ kebangun bahayanya kemampuan Stallza. tapi karena Colette ga sempet icip, rasanya jadi nanggung aja.
however, gw pleased dengan adegan battlenya. intensenya nyaris berasa kek well.. the Raid... (sori baru nonton makanya cukup hype) ... tapi minus darah2an kecuali bagian Lucia :))
nilai... +8.5
kalo aja si Colette sempet icip2 kemampuan Stallza, mgkn gw bakal lebih awestruck :)
Merci beaucoup Monsieru Datriansyah :3
DeleteSekarang sepertinya tak terelakkan ya kalo battle full body contact bakal disamakan dengan The Raid :) Tapi ya gapapa lah.
Tercated
DeleteHaiyhooo~ (づ。◕‿‿◕。)づ
ReplyDelete#sungkem sama master`
lucuuu~ openingnya sama Lazuuu~ (≧◡≦)
walo ketebak Lazoo bakal koid gegara luci இ_இ
battle lawan lucia na detil yauw, , lawan yg berat~
sasugoiy, master Dham!
#ampoooni atas komen gaje, , >w<
titip nilai 8/10 di mari yauuw~
#haiyhooo~ (づ。◕‿‿◕。)づ
Merci Hael :3
DeleteTercated
Delete“Untung aku sempat menyadari perbedaan udara ketika burung birumu melesat-lesat. Lalu, saat kau mengeluarkan geretan, akhirnya aku yakin kalau burung itu mengeluarkan gas yang mudah meledak. Nama burungmu Hydra. Mungkin dia burung dengan senyawa Hidrogen?” tebak Lucia. “Makanya, sebelum meledak aku langsung menghindar, melompat masuk ke dalam salah satu gedung dan berlindung. Saat ledakan selesai dan asap masih tebal, aku keluar lagi.”
ReplyDeletekalimat seperti ini downer banget loh. lebih baik diubah menjadi narasi atau flashback.
dan lanjut demi lanjut terlalu banyak dialog Tell. >.<
Gwa tahu kalau Collete prancis. tapi tolong kalau mau dua bahasa Konsisten dong...
jangan ada yang nyebutnya 2 kali “Chateau du Versailles—Palace of Versailles!”
Er, um, v-vous itu artinya kamu. You, voi, anta, anata. V-Vous paham?”
kalau kayak gitu, berarti bisa bahasa jepang inggris dan indonesia juga?
lagian Trope utama cross realm adalah Auto translit bahasa.
dan satu lagi minus nilai di kata Kitir sama seperti sastra, sengaja mencari benda aneh biar kita guugle dan tahu belakangan apa itu merepotkan pembaca.
Final Verdict 5.5
Itu yang you, voi, anata, anta maksudnya untuk memberi opsi ke Lazoo. :3
DeleteTapi, ya, nanti kalo lolos bakal dibikin lebih konsisten deh.
Kitir itu bukan bahasa sastra ah. Moi rasa banyak digunakan.
Kitir emang bukan bahasa sastra tapi beneran mesti di cari dulu buat tahu apaan.
Deletemenikmati battle, walaupun bahasanya agak membingungkan.......
ReplyDelete8/10
Pardon moi, merci udah nikmatin :3
Delete*Kasi french kiss*
Anulir.. Komennya kurang kuat buat mewakili nilai 8 yang dikasih.
DeleteNOOOOOOOOOOON! NILAI MOI! #nangissesenggukan
DeleteOke, akhirnya selesai baca.
ReplyDeleteMmm, pertama, aku membaca cerita ini sebelum membaca character sheet-nya Colette. Sepanjang cerita, aku membayangkan Colette sebagai anak kecil berumur 9-12 tahunan, bukan sebagai dewasa muda 19 tahun. Mungkin ini bukan masalah besar, cuma rasanya harus aku tulis di sini.
Mengenai penerjemahan bahasa asing, secara pribadi aku lebih suka kalau dialog dibiarkan tetap dalam bahasa asli, tanpa perlu diterjemahkan. Menurutku kebanyakan pembaca enggak se-braindead itu untuk menuntut terjemahan tiap kali muncul kata yang tidak mereka kenal. :p
Btw, mungkin cukup berikan kata-kata yang umum dipakai saja, supaya pembaca tidak susah menebak artinya (vous, moi, j’adore). Bila yang diberikan adalah sederet dialog panjang dalam bahasa asing, bisa-bisa pembaca malah merasa sebal dan akhirnya berhenti membaca ceritanya. (Contoh lain yang bagus adalah makian panjang Colette saat memberodol Lucia).
Lalu apabila muncul kalimat yang memiliki relevansi kuat pada plot cerita, mungkin bisa kamu coba sisipkan terjemahannya dalam bentuk kata keterangan di narasinya. Aku pernah membaca cerpen yang menggunakan teknik ini, dan hasilnya lumayan enak dibaca.
(Tambahan: menurutku Chateau du Versailles sebenarnya enggak perlu diterjemahkan sebagai Palace of Versailles. Keduanya sama-sama kedengaran eksotik.)
(spoiler warning) Ending di mana Colette bunuh diri ini terkesan .. aneh. Mungkin tanpa pembaca ketahui, ia menderita depresi, tetapi sepanjang cerita, aku tidak mendapat kesan bahwa Colette adalah orang yang akan memutuskan nyawanya sendiri ketika ia dihadapi masalah berat. Jadi, yeah, adegan ini agak terkesan dibuat-buat.
Aku punya catatan tersendiri untuk narasi dan dialog, tetapi sekarang rasanya aku cukup membicarakan bagian yang ini saja.
Terakhir, aku suka desain karakter Colette. Terutama gelang-gelang senjatanya. Terkesan kreatif, dan asyik untuk disaksikan aksinya.
7,6/10
-Ivon
Bonsoir, Madamoiselle Ivon. Merci beaucoup buat komennya yang mantap. Soal bahasa nanti akan moi lebih perhatikan kalo lolos babak selanjutnya. Emang agak kongtroversyong karena ada yang suka ada yang nggak.
DeleteO ho ho ho hon.
Tercatat
Deleteholla, mademoiselle Collete. :D
ReplyDeletenih om Adham umi kasih komen :
1. "moi mime artist" harusnya jadi "moi est mime artis" penggunaan to be est pada singular pronoun di baha sa prancis
2. Sekali lagi kak Adham. Setelah novel-Bukan-teenlit yang kau berikan pada umi, cerita ini menjadi the next bergidik story yang bikin umi takuutt... Itu Lucia-nya kejem banget motong kepala Volatile
3. Lucia Horor banget, kayaknya kak Adham sedang memuaskan diri nulis cerita begini >:(
4. jahat kau kak Adham, adegan Lazu mati terasa nyesek banget.
5. dan... apa-apaan Collete-nya bunuh diri :/
6. umi mau nanya, pecinaan itu apa ya? :3
nilai : 10/10 (umi sukaaaa <3)
SACRED BLEU! 10?! MERCI BEAUCOUP, MADEMOISELLE UMI! *cipika-cipiki*
DeleteSiapa bilang moi bunuh diri? O ho ho ho ho hon.
Sekali lagi, moi ucapin merci! :*
*cipika cipikiin Collete balik*
Deletewoaaaa, mademoiselle Collete, titip salam pertanyaan dun buat author-mu yang cakepnya nanggung itu..
"pecinaan" tuh apa? *penasaran
oh iya, kalau Collete bunuh diri ini yang bales siapa :/
Tercatat
DeleteMon Dieu! Bahasa Perancis di cerita ini ... berantakan oTL
ReplyDeleteMungkin enaknya kalau Mas Adham tambah lagi kosa kata tentang ungkapan ekspresi, dan semacamnya. Juga tentang apa yang biasanya dikatakan sewaktu memperkenalkan diri. Pun tentang bagaimana merangkai subjek dan predikat dengan lebih tepat. Kalau ini sudah diatasi, kesan bahwa si Collete ini hanya France-citizen-wannabe bisa dihilangkan.
Si Volatile ... kasihan, hanya muncul secuil dan belum sempat memperlihatkan keahliannya.
Si Lazoo ... kemampuan analisisnya tidak terlihat di cerita ini. Gaya bicaranya yang panjanglebartinggi luasvolumedesimalkomasembilansembilan juga tidak muncul. Yang ada malah Lazoo yang terlalu melankolis :v
Nilai minus untuk ketiga hal itu.
Tetapi, penggambaran latar tempatnya lumayan wawaw. Ada drama-drama sedikit antara Lazoo dan Coco, yang baguslah buat sedikit membumbui cerita. Pertarungannya juga detail.Kemampuan Stallza dan Lucia tergarap dengan baik. Adegan klimaksnya cukup dramatis dan memukau.
Yah, sekalipun si Cocollete bunuh diri. Paling si Thurqkey juga bakal menghidupkannya lagi kalau sikonnya memang mengharuskan demikian.
Oke.
Tadinya mau saya kasih 5 karena gambar “nightmare” yang itu, tetapi setelah membaca cerita ini, bolehlah saya kasih 8.0 untuk tulisannya.
O ho ho ho hon.
DeleteMohon maaf soalnya author moi bego dan ga bisa bahasa Prancis. Nanti diperbaiki :D
Tolong setelah gambar nightmare itu moi jangan dibenci... karena moi begitu berharga :3
Merci Monsieur Heru
Tercatat
DeleteAlur : 3/3
ReplyDeleteAaa.. Speechless lah sy, gk bisa komen banyak utk cerita yg bagus >w<
Sy suka semua adegannya, memorable! ^^)d
Karakterisasi : 2,5/3
Agak lucu pas Lucia terdesak, kok kayaknya nggak segagah pas dia sengak wkwkw dan rsanya reaksi pas dua terdesak krg greget >.<
Selebihnya suka semuanya, Coco, Lazu, Lucia, n Stallza... ^^)d
Volatille dkasi porsi sedikit demi fokusnya cerita sy kira wajar
Gaya bahasa : 2/2
Ini oke! Cuma yg waktu DOR sy kira sayang kalo langsung UWAAHH... Empasis dor nya gak bgt kerasa >.< selebihnya ok, deskripsinya bagus, diksinya jg mantab... Suka pas Lucia mati ^^)d
Typo n error : 1/1
Ada bbrp typo, tp gk bgt mengganggu
Hal-hal lain : 1/1
Coco adlh char faborit saya, larena Colette begitu berharga (y)
Sy suka karakternya unij >.<
Total : 9,5
Smoga Coco lolos ke ronde brkutnya ^^)/
O ho ho ho ho hon! 9,5? Moi juha speechless :3
DeleteMerci beaucoup mademoiselle Ann! *Cipika cipiki*
Doain moi lolos ya... karena moi begitu berharga :v
O ho ho ho hon!
Wkwkwkw typo n eror utk komen saya 0/1 >.< #plakk
DeleteMaaf ya, tp smga bsa dimengerti ~~~ \o\
Tapi nilai tetep kan? #cemas
DeleteLOL XD
Tercatat
DeleteCerita Colette ketemu Lazu lucu banget! Saya senyum-senyum sendiri bacanya >:D terus... pas mereka naik sepeda kayuh warna pink saya langsung ngakak, hahaha!!
ReplyDeleteAlamak! Kocak nian lah, apalagi pas Lazu nyungseb pas jatuh dari sepeda.
Hm... tapi pertarungannya nggak terbagi rata ya? Volatile di sini kebagian munculnya dikit banget dan hampir nggak munculin abiliti sama sekali :-? Eh tapi itu sih terserah author ya, saya nggak bakalan komen banyak soal itu. Terus, saya kira Lazu tipe yang diam-diam menghanyutkan. Polos-polos licik gitu, setelah baca cerita Lazu. Ternyata dia benar-benar pasrah di sini.
Hm...
Awal-awalnya lucu, sarat dengan guyonan. Lalu jeng jeng jeng~! Mendadak ganti jadi action beringas dengan darah dan air mata #eaahh... Duh, battle Lucia vs Colette bener-bener alot, keduanya babak belur dan sama-sama hampir mati, aaa... saya ngebayangin make up tebal Colette berantakan campur debu dan mukanya lebam. Badut biasa aja udah serem, apalagi badut yang babak belur >_<, eh tapi dia mime artist ya? Ah sudahlah, memang mirip badut kok :v #OI
Intinya, saya suka ceritanya <3
Nilai: 8/10
Naer~
Merci Naer :*
DeleteTercatat
Deletebahasa adham sih ya, udah terbiasa jadi gak usah di komen soal bahasa. cuma eksplorasi (gile bahasa akuh) karakter nya kurang. Kurang greget jadinya. tapi itu di awal sih, mulai ke akhir mulai enak dan endingnya ya sistem adham, gak waras!
ReplyDeleteoverall suka. 7,9/10 dulu deh ya
Nilainya tanggung amat :D
DeleteO ho ho hon. Merci.
Hubungan Collette dan Lazu nya lucu banget... Lazu mati dengan keren. Pertarungannya intens tapi enak dibaca. Collette meski kayak badut tapi hatinya lembut, tadinya ane kirain dia tepi badut yang selalu ketawa menyeramkan dan ga kenal rasa sakit, hehehehehe.
ReplyDeletePertarungan seru begini ane kasih nilai 10 tanpa ragu-ragu.
O ho ho ho hon. Merci, Epicu.
DeleteKalo lolos R1 bakal lebih happy dan keren deh bertarungnya.
Ini kan masih "galau" karena dipaksa harus berantem.
Tapi, moi ga nyeremin kok. O ho ho ho hon.
Udah banyak yang bahas tapi tetep, pemakaian bahasa Perancisnya rada ngeganggu buatku soalnya Colette jelas ngerti bahasa Indonesia.. Aku gak ngerti bahasa Perancis sih, tapi aku bakal lebih bisa nikmatin kalo ngomong Perancis ya Perancis aja, gak usah diulang lagi dengan bahasa translasinya.. Walau sebenernya jadi gak konsisten juga kalo pake dual bahasa gini, gimana ngejelasin Lazu yang makhluk laut bisa fasih bahasa Indonesia? Bagusnya pake Indo aja kalo buatku, pake Perancis kalo pas ada kalimat yang emang bisa jadi kuat kalo ditulis pake bahasa itu kek waktu Colette ngumpat panjang atau nama jurus..
ReplyDeleteTapi ceritanya sendiri bagus, narasi dan dialognya bagus, perkembangan karakter Colette kerasa, karakterisasi tiap peserta battle juga bagus, walau sampe detik terakhir aku masih nunggu Lazu tiba tiba muncul melakukan sesuatu.. :v
Ah iya, Colette sama Lazoo cute bangeeetttt uuooohhh.. >_<
Kasian Lazu keknya cuman di sini dan di canonnya sendiri aja dia dapet screentime.. T_T
Adegan terakhir itu Colette bunuh diri atau berhalusinasi sih, gak jelas.. Bikin penasaan, tapi bukan hal yang buruk sih, keknya bakal dibahas lagi di cerita selanjutnya..
8/10 buatmuh Coco.. Best canon di 1A ini >_< /
O ho ho ho hon
DeleteEndingnya emang open ending kok. :3
Merci beaucoup.
Tercatat
DeleteA pleasant surprise, saya kira bakalan full komedi, ternyata ini badut bengis juga~
ReplyDeleteBelievable, saya suka caranya yang ga maksimal pakai kekuatannya, juga rasa takutnya akan lawan yang kuat.
8,5/10
Merci Monsieur Zoel :3
Deletekitir itu apa kak? :o
ReplyDeletesama dgn kakak2 yg lain, bhs prancisnya bs dkasi keterangan di akhir aja kak, ato djelaskan d narasi :3
gaya bcaranya lazu nyambung2 kyk gitu ya kak? ada parodi galon jg xD
trus adegan bunuh dirinya colette lumayan mendadak jg, pdhl dia udh dkasi smangat sama papa mamanya x3
tp battlenya seru kak
nilai 8,5/10 :)
Kitir itu senjata mirip kincir / baling2 :3
DeleteMerci beaucoup udah baca. O ho ho ho hon.
Halo Nona Coco. Sayah suka sama pertemuan sama Lazu nih. Stammeringnya kocak duaan itu XD
ReplyDeletePertarungan Stallza sama Lucia lumayan seru, dialog konflik antar mereka juga. Pas banget sama karakter mereka, terutama Lucia yg pas ngincar Lazu & Coco, juahaat banget dia, bilang mereka mau ngelawak pula, haha.
Cara ngasih arti di antara code-switching Indonesia-Perancis juga enak, selain pake tanda kurung, pake pengulangan juga. Ini ngingetin sama ceritanya SnowDrop di kekom, Kepak Sayap Hitam: Noir XD
Endingnya ternyata suicidal, Coco punya perhatian juga sama matinya Lazu yg innocent. Mereka bilang cara bunuh diri yang paling segar itu memang dengan cara memasukkan moncong pistol yg diarahkan ke langit-langit mulutmu.
9/10
Halo monsieur Haris.
DeleteMoi nggak bunuh diri kok. O ho ho ho ho hon.
Merci beaucoup udah baca :3
Karena waktunya telah selesai, moi ucapkan merci beaucoup pada semua yang telah meluangkan waktu untuk membaca canon moi, dan memberi kritik, saran, serta nilai. Moi seneng banget banyak yang menerima moi sebagai OC author bego moi dengan hangat. Sekali lagi, merci beaucoup. #tjipokpaksasatusatu
ReplyDeleteO ho ho ho ho ho hon.