[Round 1-I] Salvator Jackson
"Last Monkey Standing"
Written by Dendi Lanjung
---
[Adegan 1] Musisi dan Sulingnya
Sal yang masih mengantuk, sempoyongan menahan berat badannya sendiri. Bagaimana tidak, sesaat sebelumnya dia masih merasa nyaman tertidur lelap di atas pohon aneh berwarna merah, yang disebut makhluk merah bersayap sebagai pohon Rachta.
Dan sekarang dia berdiri di halaman sebuah istana yang megah namun memancarkan aura yang suram. Di sampingnya berjajar rapi makhluk berbagai jenis yang tadi berkumpul bersamanya di hutan merah. Semuanya tampak kebingungan, semuanya tampak berbeda dan semuanya tampak pendek di mata Sal. Tapi semuanya berjajar rapi, itu yang membuat Sal bingung.
"Di mana lagi kita sekarang? Istana Disney versi kubur?" Komentar Sal. Belum sempat Sal berkomentar lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara keras yang berasal dari balkon istana.
"Selamat datang di Devasche Vadhi." Ucap sesosok makhluk bertanduk yang tampaknya menjadi pemimpin para mahkluk bersayap itu. Walau wujudnya tak menyerupai manusia pada umumnya, tapi dari suaranya Sal menyadari kalau itu adalah seorang pria. Sal menebak kalau pria inilah yang disebut makhluk bersayap sebelumnya sebagai Dewa Thurqk.
"Kalian berada di Nanthara Island. Pulau yang hanya bisa dijejaki oleh mereka yang sudah mati," jelas pria tersebut, "beberapa dari kalian masih mengingat bagaimana kalian mati, apapun caranya semuanya adalah kehendakku, Akulah yang mematikan kalian. Sedangkan makhluk di sekitar kalian, para Hvyt, mereka yang menjadi perantaraku dalam melakukannya. Mengambil nyawa kalian dan membawanya ke sini."
Pria tersebut bukanlah pemimpin biasa, pria itu sepertinya menganggap dirinya sendiri sebagai Tuhan atau Dewa Kematian, atau setidaknya mempunyai kekuatan setara dewa yang membuatnya percaya diri dengan perkataannya tersebut. Itu yang langsung terbersit di pikiran Sal ketika mendengar perkataannya.
Sementara si pria melanjutkan penjelasannya, Sal yang masih mengantuk tiba-tiba menguap dan secara refleks merentangkan tangannya ke atas. Tapi dengan cepat tangan Sal kembali turun seakan ada yang memaksanya dengan kekuatan tak kasat mata.
Sal cukup kaget setelah kejadian itu, kantuknya tiba-tiba hilang dan suaranya tertahan. Tanpa disadari Sal, kumisnya sedikit bergetar.
"Aku yakin kalian akan menghiburku. Sebagai gantinya, tak peduli seberapa banyak dosa yang telah kalian lakukan di dunia, hukuman atas itu ditunda hingga rencanaku selesai."
Bersamaan dengan itu, sebuah layar hologram raksasa muncul di langit. Menampilkan nama-nama yang asing, salah satunya namanya sendiri, Salvator Jackson.
"Mereka salah mengetik namaku, kurang 'e' tuh!" Umpat Sal dalam hati. "Dewa apaan sampai salah mengetik nama gitu?!"
Pria yang bernama Dewa Thurqk terus melanjutkan penjelasannya. Dari yang ditangkap Sal, sekelompok dari mereka akan dikirim ke suatu dunia dan diperintahkan untuk bertarung sampai menyisakan satu orang saja sebagai pemenangnya. Dan pemenangnya akan mendapat kesempatan kedua untuk memperbaiki takdir dan lahir kembali ke dunia asal masing-masing.
Tapi bukan itu yang diinginkan Sal, dia tidak mau lahir kembali sebelum mendapat apa yang dia inginkan. Dia mati bukan karena paksaan pihak luar, dia mati karena pilihannya sendiri.
"Dan lagi, Aku gak suka bertarung." Batin Sal.
Layar hologram yang kedua menampilkan nama-nama yang telah disusun dalam kelompok-kelompok kecil. Namanya sendiri masuk dalam kelompok I bersama empat orang lainnya.
"Satu hal, jangan membuatku merasa bosan," ucap Dewa Thurqk lagi dengan nada mengancam. "Aku tidak menciptakan makhluk hanya untuk menjadikan mereka seorang pengecut."
Dewa Thurqk pun beranjak pergi dari balkon. Sedetik kemudian, para makhluk yang disebut Hvyt mulai bergerak dari posisinya, membawa paksa orang-orang yang tadi berjajar rapi di halaman istana, termasuk Sal. "Uh, lagi-lagi gini."
•••••
Malam itu langit terlihat sayu, bintang-bintang pun malu-malu menunjukkan gemerlapnya. Gejolak kehidupan malam baru saja dimulai di sebuah kota kecil itu, sementara waktu masih menunjukkan pukul delapan. Jalanan pun masih terlihat penuh, walau tidak sampai membuat macet.
Di kota yang sedang menjalani musim semi itu udara cukup hangat. Musim semi adalah musim cinta, atau setidaknya begitu kata orang yang sedang kasmaran. Hal itu dimamfaatkan para penduduk, terutama para pasangan, untuk berkeliaran di jalanan kota, di taman atau pusat perbelanjaan.
Tidak disadari oleh seorangpun, di atas ketinggian kurang lebih 30 meter, sesosok mahkluk bersayap tiba-tiba muncul. Makhluk itu membawa sesosok mahkluk lainnya, yang memiliki tubuh lebih besar dari makluk bersayap, selain itu berekor dan berambut afro.
"Lepaskan Aku! Maen comot aja dari tadi!" Teriak Salvatore.
"Dengan senang hati." Jawab si makhluk bersayap.
Tubuh Sal dijatuhkan begitu saja oleh makhluk bersayap itu, dari awal memang makhluk itu seperti terlihat kesusahan mengangkat badan Sal yang cukup berat.
Sesaat sebelum menyentuh tanah, Sal dengan sigap bertumpu dengan keempat tangannya -dua telapak kakinya bisa dibilang mirip telapak tangan, dan ketika keempat tangannya menyentuh tanah, dengan sedikit gerakan pegas, Sal berguling untuk mengurangi efek benturannya.
"Makhluk sial, seenaknya saja mereka memperlakukan musisi terhormat sepertiku!" Umpat Sal dengan keras. "Eh, baru sadar, akhirnya bisa bebas ngomong lagi, sebelumnya Aku gak bisa berbuat apa-apa mungkin gara-gara kekuatan Dewa tadi."
Tempatnya terjatuh cukup datar dan bersih, di jalan sepi yang terbuat dari jejeran batu alam. Tidak banyak orang yang berlalu lalang di jalan tersebut, tidak juga kendaraan. Sal menduga kalau dia dijatuhkan di sebuah kota kecil yang minim penduduk, atau setidaknya daerah pinggiran kota.
Tidak banyak gedung bertingkat di sana, mungkin hanya beberapa saja gedung yang lebih dari dua tingkat. Sebuah bangunan yang cukup jauh, menarik perhatian Sal karena mempunyai menara yang cukup tinggi. Bangunan itu sendiri berdiri di sebuah bukit yang sepertinya merupakan dataran paling tinggi di kota tersebut.
"Sepertinya cocok tuh buat tempat tidur." Ucap Sal sambil tersenyum. "Kalau gak salah, si Truk tadi bilang, tiap kelompok ditempatkan di salah satu dunia peserta, dan kelompokku ditempatkan di dunia orang yang bernama Luna, hmm, lupa nama belakangnya."
Sal pun membersihkan debu-debu yang menempel di kemejanya saat dia terjatuh tadi, namun kemudian dia teringat sesuatu. "Sulingku mana?"
Matanya panik mencari ke sekeliling. Tak berapa lama dia menemukan sulingnya tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Seorang penduduk yang berusia setengah baya terlihat sedang berjalan menuju suling, tidak menyadari kakinya sedikit lagi menginjak suling bambu tersebut.
"Awas!" Teriak Sal.
Serta merta Sal melompat dan menyambar suling yang sedikit lagi terinjak. Mau tidak mau badan Sal yang besar beradu dengan si pria sampai menyebabkan pria tersebut terjatuh.
Si pria tampak terkejut, wajahnya tampak kebingungan karena dia seperti ditubruk tembok yang tak terlihat.
"Hati-hati kalau jalan, hampir aja kau menginjak sulingku tau!" Teriak Sal dengan marah, dilanjutkan dengan memukulkan suling itu ke kepala si pria. Si pria yang kesakitan semakin bingung dan akhirnya melarikan diri karena takut.
"Iya jig sana, kabur siah!" Sal yang lega karena sulingnya tidak apa-apa menciumi sulingnya seakan itu anaknya yang hilang.
"Nah sekarang ngapain ya?" Sal yang tidak tahu harus berbuat apa akhirnya berangkat menuju bangunan tinggi yang tadi dilihatnya.
•••••
[Adegan 2] Magnum Girl
Luna Aracellia terdiam cukup lama di persimpangan jalan itu, dia tahu tempat apa itu, dia belum lupa kejadian apa yang terjadi di sana. Itu adalah tempat dia mati.
Kejadian itu berlangsung sangat cepat, dia pun lupa bagaimana detilnya, yang pasti dia ditabrak sebuah truk yang kehilangan kendali. Setelah itu dia tak ingat apa-apa lagi, sampai kemudian jiwanya dikumpulkan di Jagatha Vadhi, yaitu daratan yang dipenuhi pohon merah. Kemudian dipindahkan ke halaman istana Devasche Vadhi untuk mendengarkan ucapan dari pria yang disebut Dewa Thurqk.
Dan sekarang dia kembali ke dunianya sendiri, tapi tidak dalam keadaan hidup. Walau dia bisa merasakan dinginnya malam, tapi sepertinya tak ada seorangpun yang melihatnya ataupun menyadari kehadirannya. Kalau tidak, mereka mungkin sudah heboh melihat seorang gadis yang mengendong sniper rifle di punggungnya.
Sedikit cerita tentang senjata yang dibawanya. Sniper rifle berkode Arctic Warfare Magnum (AWM) itu dicurinya ketika melarikan diri setelah membunuh ayah tirinya. Senjata itu adalah salah satu koleksi senjata milik ayah tirinya yang merupakan ketua mafia di kota tersebut. Senjata itu juga adalah senjata yang sering dipercaya Luna untuk melakukan pembunuhan jarak jauh.
Setelah itu berturut-turut dia mendapatkan pistol semi otomatis .45 Heckler & Koch USP Match dan .45 Safari Arms Matchmaster 1911, keduanya dimodifikasi supaya kompatibel dengan peluru .357 Magnum, tidak jelas alasan modifikasi tersebut. Selain itu kedua pistol juga telah dialiri kekuatan bulan sehingga hanya bisa digunakan saat bulan purnama.
Saat dia dinyatakan mati dan dikumpulkan di Devasche Vadhi, dia bersyukur dia masih memiliki ketiga sahabat setianya itu.
Kembali ke masa sekarang, Luna masih belum beranjak dari persimpangan jalan tempat dia menghembuskan nafas terakhirnya itu. Di tengah lamunannya dia tersadar akan sebuah foto yang dipajang di pinggir jalan persis di tempat dia mengalami kecelakaan, beberapa karangan bunga terlihat disusun di tempat itu. Foto itu adalah foto dirinya, di foto tersebut tertulis "Rest in Peace, Luna Aracellia."
Tak berapa lama datang seorang bapak-bapak yang membawa karangan bunga, si bapak itu kemudian meletakkan karangan bunga tersebut di tempat foto itu berada.
"Maafkan bapak nak, kalau saja bapak tidak memaksakan untuk menyetir..." Si bapak tidak mampu melanjutkan ucapannya, dan mulai menangis. Luna yang melihat kejadian itu hanya bisa memperbaiki letak kacamata yang mulai terasa tak nyaman di matanya.
Gadis itu pun pergi meninggalkan si bapak yang masih menangis tersedu, menuju tempat rahasianya, di sebuah gedung yang terletak di atas bukit yang berada tak jauh dari tempatnya dijatuhkan.
"Kesempatan kedua ya?" Gumam Luna. "Entah apakah Aku menginginkanya."
•••••
Hanya butuh beberapa menit bagi Luna untuk sampai ke gedung tua itu, dia punya jalur khusus supaya cepat sampai ke halaman gedung. Gedung itu sendiri adalah bekas sekolah yang sudah tak terpakai, mempunyai tiga lantai dan sebuah menara jam setinggi 20 meter. Sekolah Luna sendiri di saat dia masih hidup terletak jauh di pusat kota.
Tempat rahasia Luna terletak di lantai menara paling atas, yaitu sebuah lantai misterius yang sepertinya menjadi penghubung antara Luna dan kekuatan magis yang muncul dari cahaya bulan.
Namun kali ini dilihatnya langit begitu gelap, cahaya bulan yang diinginkannya sama sekali tidak nampak. Baginya ketiadaan cahaya bulan adalah sebuah kerugian.
Sebagai seorang penembak jitu, dia terbiasa melakukan observasi lokasi terlebih dahulu, pengecekan profil sasaran yang akan dieksekusi, dari mulai kebiasaan, pola makan, juga jadwal harian sasaran tersebut. Tidak seperti penembak jitu militer yang bekerja berpasangan, Luna hanya bekerja sendiri, dan itu sama sekali bukan masalah baginya.
Tapi kali ini Luna tidak mengetahui apapun tentang lokasi ataupun musuh yang akan dihadapinya, ini bukan caranya bekerja. Ini bahkan bukan pekerjaan, ini adalah battle royale yang dipaksakan padanya. Dan Luna tahu, dalam battle royale, tidak ada yang namanya juara kedua.
Disertai ketiga sahabat setianya, segera saja Luna berlari menuju menara tersebut. Kalau dia serius ingin memenangkan pertarungan, dia harus menyiapkan rencana yang jitu, persiapan yang matang, dan tentu saja tempat yang strategis.
Untuk naik ke lantai paling atas, Luna harus melewati anak tangga dari lantai satu sampai ke lantai tiga. Kemudian menaiki sebuah tangga vertikal yang menghubungkan lantai tiga dengan ruangan mesin jam, tak ada kesulitan berarti bagi Luna yang sudah terbiasa bolak-balik ke ruangan itu. Namun sebelum Luna memasuki ruangan rahasia tersebut, dia mendengar suara mencurigakan. Suara itu adalah suara alunan musik yang dihasilkan oleh sejenis alat musik tiup.
Meniru kata-kata Sniper-man, 'My Snipe-sense is tingling,' insting bertahan Luna menjadi aktif. Secepat itukah musuh menemukan lokasi persembunyiannya? Apa dia telah ditemukan lebih dulu oleh musuh? Dia tidak memperkirakan hal ini. Luna menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu lama tertahan bayangan masa lalu kematiannya. Apa yang akan dia lakukan sekarang?
Satu-satunya senjata yang bisa dipakai hanya Sniper Rifle-nya, tapi senjata itu tidak efektif untuk digunakan dalam pertarungan jarak dekat. Sementara kedua pistol .357 Magnum-nya hanya bisa diaktifkan setelah dia menyanyikan Song of Moonlight. Dan untuk menyanyikan lagu itu cukup mustahil dalam kondisi Luna sekarang.
Tapi Luna tak mau berlama-lama di dalam keraguan. Pertama dia mengaktifkan tombol pada kacamatanya, mengubah lensanya menjadi mode malam. Tapi itu belum cukup, musuh bisa saja berkamufase, dia pun mengaktifkan pendeteksi panas yang juga ada pada kacamatanya. Setelah dia yakin musuh tidak ada di ruangan, perlahan dia mulai masuk. Untuk jaga-jaga, Luna menyiapkan Sniper Rifle-nya, mengisi peluru .300 magnum ke dalam selongsongnya. Dia melakukannya dengan sangat hati-hati, tidak bersuara.
Musik itu masih terus terdengar, entah kenapa nadanya terdengar tidak asing di telinga Luna.
Keberadaan musuh masih belum diketahui tempatnya. Luna mengendap-ngendap seperti kucing pencuri, mendekati jendela ventilasi, dugaannya adalah musuh berada di atap menara.
Musik dari alat musik tiup yang dimainkannya masih terdengar, entah kenapa alunan nada dari suling membuat Luna seperti berada di dunia yang sangat jauh. Entah karena pengaruh musik atau karena kejadian di persimpangan jalan tadi, tanpa sadar Luna pun mulai menyanyi...
"Ambilkan bulan bu, ambilkan bulan bu, yang selalu bersinar di langit... Eh?" Baru beberapa bait Luna menyanyi, mata gadis itu mulai berkaca-kaca.
"Apa ini? Kenapa denganku?" Ucap Luna heran.
Luna jarang sekali menangis, ketika sekolah atau beraksi sebagai Moonlight Scarlet, Luna jarang sekali menunjukkan emosi yang berlebih. Orang-orang yang mengenalnya, melihat Luna sebagai gadis yang seperti tak punya beban. Atau mungkin selama ini dia memendamnya, entahlah, Luna tidak pernah memikirkannya terlalu jauh.
Tapi kemudian Luna tersadar, lagu yang dimainkan oleh si musuh adalah lagu yang sering dinyanyikannya, lagu yang dinamai Luna sebagai Song of Moonlight. Bagaimana si musuh tahu tentang lagu itu.
Belum sempat Luna menghapus air matanya. Musik itu pun berhenti.
'Shut-' Barusan dia tak sengaja bicara, bahkan sempat bernyanyi, benar-benar kesalahan fatal. Terdengar bunyi berisik di atap menara, Luna pun semakin menggenggam senapannya dengan erat. Musuh itu menuju tempatnya.
Sedetik kemudian, di lubang jendela munculah bayangan kepala dengan posisi terbalik. Dari siluetnya, mahkluk tersebut memiliki bentuk kepala yang aneh dan dari kemampuannya bergantung dengan posisi terbalik, Luna ingat pernah melihat sekilas mahkluk itu sewatu masih di Jagathi Vadhi.
"Si monyet!" Ucap Luna singkat.
"Oi, kedengaran kaya memaki tahu," balas orang itu. "Tapi Aku memang monyet sih, namaku Salvatore Jackson, kau bisa memanggilku Sal, dan kau sendiri siapa, nona kecil?"
"Nona kecil? Siapa yang kecil?" Bentak Luna.
"Kau." Jawab Sal sambil memamerkan giginya yang lebar.
'Apa-apaan orang ini? Belum apa-apa udah sok akrab gitu' Ucap Luna dalam hati.
Kedua makhluk berbeda ras itu saling berpandangan. Di mata Luna, makluk di depannya adalah binatang buas yang bisa setiap saat menerkamnya. Di mata Salvatore, Luna hanya terlihat sebagai gadis kecil rapuh yang sedang memegang senjata yang tidak sesuai dengan penampilan si gadis tersebut. Masing-masing mereka mencoba membaca langkah yang akan dipilih lawannya.
Mata Luna kemudian terfokus pada satu benda aneh yang ada di atas mulut si monyet. Sepanjang umur hidupnya yang hanya 14 tahun, Luna belum pernah melihat hal yang seperti itu.
•••••
[Adegan 3] 21 dan 413 tahun
Jauh dari tempat Luna dan Sal bertemu, di halaman parkir pusat perbelanjaan yang masih cukup ramai, seorang pria sedang berjalan santai. Pria dengan gaya rambut anak band metal itu hanya memakai kaos tangan panjang dan celana denim hitam, padahal malam itu suhu udara bisa dikatakan cukup dingin. Nama pria itu adalah Enzeru Schwarz.
Dengan wajah dingin, Enzeru memandangi orang-orang yang berlalu lalang melewatinya, tidak menghiraukan keberadaan Enzeru yang sedang memegang sebuah sabit besar. Orang-orang itu tidak melihatnya, dan mungkin tidak bisa mendengarnya juga. Dia dijatuhkan tidak jauh dari tempat ini.
Ketika dia dikumpulkan di Devaschi Vadhi, dia tak bisa melakukan apa-apa selain diam. Sebagai seorang abdi Tuhan, Enzeru memiliki kekuatan untuk mencabut nyawa semua makhluk hidup. Dia tidak pernah mendengar nama Dewa Thurqk sebelumnya, apa dia Tuhan di dunia yang lain, apa Tuhannya mengetahui tentang keberadaan Dewa Thurqk. Siapapun Dewa Thurqk, dia mempunyai kekuatan untuk mengatur semua makhluk hidup, dan juga memiliki akses untuk mencampuri urusan dunia kematian. Apa Thurqk memang benar-benar 'Tuhan' selain Tuhannya.
Sebagai seorang pencabut nyawa, Enzeru berbeda dengan malaikat lainnya, dia dilahirkan sebagai manusia setelah menyatu dengan Sang Malaikat Maut. Bentuk tubuhnya yang menyerupai manusia, bisa membuat Enzeru berinteraksi dengan manusia lainnya. Tubuhnya tidak bisa merasakan lapar atau haus, tidak merasakan kantuk dan juga kebal terhadap penyakit. Namun kemampuan terbangnya dibatasi, sehingga Enzeru lebih sering menjalani hidupnya dengan berjalan kaki.
Entah apa maksud Tuhan menciptakannya berbeda dengan malaikat yang lain. Masih banyak hal yang ingin dia tanyakan, dan satu-satunya cara adalah dengan memenangkan Battle Royale ini. Namun sebelum itu, dia memilih untuk diam khusyu menikmati musik cadas yang terdengar nyaring dari sebuah toko musik di sudut mall. Toko musik bernama K-ON! Tersebut sedang memutar lagu berjudul Hikari, dari band rock favorit Enzeru, yaitu Death Devil.
"Kelihatannya asyik banget?" Tiba-tiba seorang wanita berambut putih menyapa Enzeru.
Enzeru yang terkejut melihat wanita tersebut langsung berseru. "Sawa-chan sensei?!"
"Siapa Sawa-chan sensei?" Tanya si wanita sambil cemberut. "Tapi Cel memang seorang sensei sih."
Wanita itu mempunyai wajah cantik yang berkesan dewasa, hidung mancung dan bibir tipis, ditambah kulit putih dan tubuh tinggi bak peragawati. Hanya dengan menatap wajahnya, sanggup membuat pria manapun bertekuk lutut. Selain itu penampilannya yang modis, dengan rok mini, sepatu boot pendek dan jaket kulit hitam membuatnya lebih menarik. Tapi tidak bagi Enzeru, ekspresi yang diperlihatkan Enzeru tidak berubah, dan tetap dingin.
"Ah maaf, dandanan anda mengingatkan saya pada karakter anime favorit saya." Jawab Enzeru datar.
"Karakter anime?" Tanya si wanita agak bingung.
Enzeru menatap tajam wanita tersebut, tanpa berkata dia menggerakkan sedikit tangannya yang sedang memegang sabit.
Si wanita yang melihat gerakan itu langsung mengangkat tangannya. "Tu-Tunggu sebentar, Cel tidak bermaksud mengajak bertarung, apalagi dengan pria tampan seperti kamu."
"Cel?" Ucap Enzeru sambil menurunkan senjatanya. "Oh, Celestia Hang?"
"Kok tahu nama lengkap Cel?"
"Saya mengingat semua nama peserta yang ada di kelompok kita."
"Wah, sudah tampan, cermat juga, Cel suka pria seperti kamu."
Enzeru menanggapi pujian itu lagi-lagi dengan wajah datar.
"Kenapa anda tidak berniat bertarung?" Tanyanya kemudian.
"Haruskah kita bertarung? Cel bukan petarung, Cel hanya seorang guru di sekolah sihir," ucap Celestia sambil tersenyum. "Oh iya, cukup panggil Cel aja, hmm, kalau En sendiri, apa akan bertarung? Eh, namamu Enzeru kan?"
"En? Hmm, anda tahu nama saya juga?" Tanya Enzeru yang heran.
"Sudah dibilang panggil Cel aja, tapi sudahlah. Cel tahu kamu Enzeru, soalnya sewaktu di Jagatha Vadhi, Cel sempat melihat En mengeluarkan sayap dari punggung Enzeru, sayap yang sangat indah, dan itu mengingatkan Cel pada malaikat." Jelas Cel sambil mengedipkan sebelah matanya yang indah.
"Ada dua peserta pria di kelompok kita yaitu Enzeru Schwarz dan Salvator Jackson, kecuali kalau Luna itu nama pria," Jelas Cel.
"Sebelum masuk ke mall ini, Cel melihat makhluk jelek berbulu yang melompat dari satu gedung ke gedung lainnya, kalau melihat bentuk tubuhnya yang seperti monyet, Cel yakin kalau dia yang bernama Salvator Jackson." Lanjut Celestia, "En ngerti kan, nama Salvator, Sal, Saru?"
"Hmm."
"Kamu pria yang tidak banyak ekspresi ya? Atau memang semua malaikat seperti itu?" Ucap Cel kembali tersenyum sambil menatap mata Enzeru.
Enzeru yang diperhatikan seperti itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Apa anda tahu sesuatu tentang Thurqk, atau tentang Jagathi dan Devaschi Vadhi?"
"Tidak, Cel sendiri baru tahu, seumur hidup Cel belum pernah mendengar nama-nama itu." Jawab Cel. "Oh iya, En belum menjawab pertanyaan tadi, apa Enzeru juga tidak berniat bertarung?"
Enzeru tidak langsung menjawab pertanyaan Cel, dia justru memperhatikan seorang ibu yang sedang menggandeng anak kecil, si anak terlihat enggan diajak pulang oleh ibunya.
"Untuk apa? Di saat hidup atau di saat mati seperti sekarang, tugasku tetap sama, mencabut nyawa semua mahkluk yang akhir hidupnya telah ditentukan di Pohon Kematian." Ucap Enzeru tiba-tiba. "Sebelum waktu itu tiba, bukankah lebih baik menarik melihat para mahluk hidup itu menjalani hidupnya. Akan dibawa kemana hidup mereka, apa akan disia-siakan atau menjalani hidup dengan sepenuh hati."
"Apa kamu juga akan mencabut nyawa Cel bila waktu kematian Cel sudah ditentukan?"
"Iya, tanpa terkecuali."
"Menakutkan, kamu gak ada basa-basinya sama sekali ya.?
"Tidak juga, sudah dibilang itu hanyalah tugas." Balas Enzeru. "Pada dasarnya semua makhluk di dunia ini diciptakan dari ketiadaan kehidupan, Tuhan kemudian menganugerahkan kehidupan, dan makhluk tersebut kemudian lahir ke dunia. Kehidupan itu hanyalah sebuah titipan dari Tuhan dan Kematian hanyalah sebuah bentuk pengembalian kehidupan dari makhluk kepada Tuhannya."
Celestia yang mendengar ucapan Enzeru hanya bisa mengangguk. Sebagai manusia yang pernah hidup selama ratusan tahun, konsep kehidupan dan kematian yang diucapkan Enzeru memang sangat logis baginya.
Tapi walau begitu hubungan manusia selalu menjadi hal yang misterius bagi Celestia. Kisah kematiannya membuktikan hal itu.
"Tapi kamu lebih mirip manusia daripada malaikat maut," Ucap Cel. "Jika Cel baik pada Enzeru, En tidak akan mencabut nyawa Cel kan?"
"Sudah saya bilang, itu adalah tugas—"
"Iya iya, maksud Cel, kalau memang sudah waktunya bagi Cel untuk mati... Enzeru akan melakukannya dengan lembut kan? Tidak akan merasakan sakit kan?"
Enzeru tidak bisa mengiyakan ataupun menolak permintaan Cel, dia tidak pernah memikirkan hal tersebut. Malaikat maut seharusnya tidak memikirkan hal-hal yang bersifat manusiawi seperti itu, tapi kenapa sekarang dia memikirkannya.
Di tengah pembicaraan tersebut, tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam supermarket yang ada di bawah mall. Tak berapa lama, para pengunjung mall mulai berlarian keluar. Mereka melarikan diri dari sesuatu.
"Mereka kenapa?" Tanya Cel heran.
Enzeru hanya diam memperhatikan, dia belum bisa memutuskan sebelum tahu apa yang terjadi.
Salah satu pengunjung pria yang keluar tiba-tiba mengerang kesakitan, matanya memerah dan kemudian batuk-batuk, dari mulut pengunjung tersebut keluar darah berwarna hitam. Tampak bekas luka menganga di leher pengunjung tersebut. Kemudian dia menjadi tenang, pandangannya hampa.
Cel merasa jijik melihat hal yang menimpa si pria, dia tidak suka melihat darah. Tapi tak ayal dia merasa kasihan melihat yang terjadi pada si pria, karena dia pernah mengalami kejadian seperti itu, kejadian yang berakhir dengan kematiannya.
Beberapa detik kemudian, pria itu tiba-tiba menyerang pengunjung lain yang juga sedang berlari. Pria itu menerjang dan menggigit pengunjung yang diserangnya, terdengar teriakan kesakitan dari si korban.
Cel dan Enzeru yang melihat kejadian itu saling berpandangan. Tidak jauh dari sana seorang wanita melakukan hal yang sama, menyerang orang di dekatnya, dan kejadian itu bukan hanya terjadi pada satu orang, tapi mulai menyebar. Orang yang diserang mengalami kejang-kejang, kesakitan dan mengeluarkan darah, kemudian tiba-tiba bersikap tenang, dan setelah itu berubah drastis, dan bertindak agresif kepada orang di dekatnya. Kejadian itu terus berulang, seperti api yang membakar rumput kering.
"Enzeru, apa ini yang disebut World War Zom—" Cel tidak melanjutkan ucapannya, dia melihat Enzeru melihat ke atas langit. "Ng, apa yang kamu lihat, En?"
"Para malaikat maut." Ucap Enzeru singkat. Cel ikut melihat ke langit, tapi dia tak melihat apa-apa.
"Apa hanya yang kamu yang bisa melihatnya?" Tanya Cel kembali. "Enzeru, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Para malaikat maut itu melakukan tugasnya, mencabut nyawa. Kalau melihat jumlahnya, nyawa yang akan diambil pasti sangat banyak." Jawab Enzeru. "Tapi kenapa, kenapa tidak ada perintah untuk saya? Kenapa Tuhan tidak menurunkan firman-Nya? Apa karena saya sudah dianggap mati."
Tak sampai setengah jam lalu, Enzeru masih bisa melihat para penduduk beraktivitas dengan senangnya, keluarga yang menikmati kebersamaannya, pasangan pria wanita yang saling berkasih sayang. Enzeru melihat begitu indah dan damainya kehidupan. Tapi hanya butuh setengah jam, semuanya berubah. Suami meyerang istrinya, ibu menyerang anaknya, tanpa pandang bulu, tanpa diskriminasi.
Seorang petugas polisi mencoba mengendalikan keadaan dengan menembakkan senjata ke arah penduduk yang sudah terjangkit, tapi percuma, si polisi akhirnya turut menjadi korban. Lalu lintas kacau balau, kendaraan saling bertubrukan. Pada detik itu, kemanusian seakan tidak pernah ada, berganti dengan nafsu liar binatang.
Pembawaan Enzeru yang kalem dan datar sedikit demi sedikit mulai hancur, dia mulai kehilangan ketenangannya. Sementara di atas langit, dilihatnya para malaikat maut terbang berputar-putar seperti burung hering yang mengincar bangkai di bawahnya.
"En, tenanglah, dunia ini mungkin bukan dunia yang sebenarnya, mungkin ini hanya dunia ciptaan Thurqk itu, dia menginginkan kita bertarung di dunia yang telah dia tunjuk kan?" Ucap Cel mencoba menenangkan Enzeru. "Semua ini terjadi pasti karena seseorang, mungkin salah satu peserta, apa yang harus kita lakukan En?"
Celestia benar, mungkin ini dunia buatan, dan kejadian ini pasti ulah seseorang. Di tengah rasa frustasinya, Enzeru mencoba tenang, dilihatnya para malaikat maut masih terus berputar-putar di atas langit kota. "Mereka belum bergerak, itu artinya orang-orang itu belum mati. Mungkin mereka masih bisa diselamatkan."
Pria itu kemudian mengembangkan sayap hitamnya yang disebut Hallowed Wings. Dengan kemampuan yang dimilikinya, sayap hitam Enzeru mampu mendeteksi pergerakan seseorang dan juga energi spiritual di area yang luas. Enzeru menutup matanya, mencoba berkonsentrasi. Sementara di sebelahnya, Celestia menunggu dengan sabar.
Enzeru membuka matanya, kemudian melihat ke suatu arah. "Di tengah kekacauan seperti ini, saya tidak bisa mendeteksi secara akurat, tapi saya mendapat petunjuk. Manusia-manusia ini, setelah terjangkiti, mereka kemudian menyebarkan penyakitnya ke manusia yang lain. Tapi ada semacam pola tertentu, mereka perlahan bergerak menuju ke satu tempat."
Cel mendengarkan dengan serius. "Dan dimanakah itu?"
"Ke arah bukit yang ada bangunan dengan menara jam di atasnya. Kesanalah mereka semua bergerak." Jelas Enzeru.
"Oh, kalau tidak salah, monyet yang tadi dilihat Cel juga bergelantungan ke arah sana!" Seru Cel. "Jangan-jangan, semua ini terjadi karena ulah dia, En tahu kan seekor monyet yang berpenyakit rabies mampu menularkan penyakit hanya dengan gigitan?"
Enzeru menatap tajam ke arah bukit tersebut. "Kalau memang benar ini gara-gara monyet itu, dia akan menjadi yang pertama kehilangan kepala terkena sabetan Death Scythe ini!"
"Saya akan mengejarnya, sebelum para malaikat maut itu mulai mencabut nyawa para penduduk. Aku tidak tahu apa mereka masih bisa disembuhkan atau tidak, tapi setidaknya mungkin ada cara untuk menghentikan penyebarannya. Anda tidak apa-apa kalau saya tinggal?" Ucap Enzeru sambil menatap Celestia.
Cel yang ditanya sempat terdiam, dia tak menyangka dibalik wajah dinginnya ternyata pria itu punya sifat perhatian. Cel pun tersenyum.
"Tentu saja tak apa-apa, Cel secepat mungkin akan menyusul En. En sendiri hati-hati ya."
Enzeru hanya mengangguk menjawab perkataan wanita tersebut, dia pun kemudian mengepakkan sayapnya. Setelah melihat sebentar ke arah Celestia, Enzeru pun menghilang di kegelapan malam.
"Tapi tetap saja tidak tersenyum." Keluh Cel sambil melihat kepergian pria itu. "Semakin lama kamu semakin mirip mantan kekasih keduaku, Evan."
Sebelum Cel mulai menyusul Enzeru, sekali lagi dia memandangi para penduduk yang masih berlaku seperti hewan gila. Semuanya bergerak tak beraturan, tapi terlihat mempunyai tujuan yang sama, yaitu menyebarkan penyakit ke semua semua makhluk yang bernafas. Mungkin saat ini dia aman, karena para manusia itu tidak melihat dirinya. Tapi mungkin juga tidak.
Puluhan orang yang telah terjangkiti tiba-tiba menjadi tenang, pandangannya mereka tetap kosong. Dan seperti dikomando, pandangan mereka semua sekarang terarah tepat kepada Celestia. Cel yang menyadari hal itu merasakan bahaya luar biasa.
"Firasatku tidak enak nih. Bukan begini perjanjiannya." Ucap Cel.
Dan benar saja, puluhan manusia yang sudah terjangkit itu serempak menyerang Celestia. Wanita berambut putih itu pun mengeluarkan sepasang Butterfly Blade yang sedari tadi disimpan di pinggangnya. Berbeda dengan Butterfly Sword biasa dengan setengah bagian melengkung yang tajam, Butterfly Blade miliknya dibuat pipih dan tumpul.
Dia cukup ahli menggunakan keduanya, bahkan dia sempat dikenal sebagai Sorcerer-X karena kemampuannya menggunakan dua senjata tersebut. Namun dia tak berharap akan menggunakannya sekarang.
"Maaf malaikat tampan, tadi katamu mereka mungkin masih hidup, tapi mereka terlihat mati bagiku." Secepat kata-kata yang keluar dari mulutnya, secepat itu pula tebasan Butterfly Blade-nya mengenai kepala lawan. Tidak ada darah yang keluar, hanya terdengar suara keras tengkorak lawan yang retak.
Mendengar itu, Celestia hanya tersenyum puas. "Selanjutnya kau wanita jalang!"
•••••
[Adegan 4] Moon and Monkey
Kembali ke ruangan di menara jam, beberapa menit sebelumnya.
Salvatore yang tiba di bangunan di atas bukit merasakan kumisnya bergetar pelan. Hal itu menandakan kumisnya mendeteksi adanya irama di sekitar bangunan tersebut.
"Apa mungkin di menara itu? Tak ada salahnya untuk memeriksa." Dengan gerakan ringan, Sal memanjat dinding bangunan dengan lincahnya. Dirasakannya bangunan tersebut sedikit bergoyang.
"Ups, sepertinya Aku harus berhati-hati, bangunan ini terlihat kuat, padahal sebenarnya rapuh. Mungkin karena sudah tua."
Kumisnya semakin lama kian bergolak bersamaan dengan makin dekatnya dia ke puncak menara. Dengan perlahan, Sal terus memanjat dari satu ruas jendela ke jendela di atasnya. Untuk sesaat dia berhenti sejenak ketika melihat sebuah tali baja yang menempel dari ujung jendela di tingkat paling atas ke halaman di bawahnya.
"Tali baja apa ini? Sepertinya untuk menahan bangunan reyot ini ya?"
Dia kemudian melanjutkan panjatannya sampai akhirnya dia pun tiba di atap menara. Kumisnya makin tidak terkendali.
"Tidak ada pilihan lain, kumis ini harus diikat." Dan Sal pun mengikat kumisnya dengan simpul mati. "Aku belum pernah merasakan Irama yang terfokus di satu titik seperti ini, benar-benar berbeda dengan duniaku."
Dunia tempat tinggal Sal memang penuh dengan Irama Alam Semesta, Irama itu menyelimuti seluruh galaksi Suling Sakti tempat Sal hidup. Sangat berbeda dengan dunia yang sekarang didatangi Sal.
"Di seluruh kota, sepertinya hanya tempat ini yang memiliki Irama, hanya saja aroma Irama-nya terasa sedikit menyedihkan, kenapa ya?"
Sal kemudian melihat sekeliling bangunan, dia menduga bangunan ini bekas sekolah atau semacamnya. Halamannya tidak terlalu luas, tapi juga tidak terlalu sempit, halamannya sendiri banyak ditumbuhi tanaman liar dan rumput yang sepertinya sudah lama tidak dipotong.
Sementara itu di belakang bangunan terdapat banyak pohon cemara, tanpa penerangan, kumpulan pohon cemara itu tampak seperti hutan berhantu.
"Aku tidak mau bermalam di sana." Ucap Sal sambil merinding membayangkan makhluk jenis apa yang tinggal di hutan cemara tersebut.
Sal pun kemudian mencari tempat berbaring yang nyaman, dan memulai celotehnya. "Malam ini Aku akan tidur di sini, Aku sama sekali tak mau terlibat pertarungan konyol itu. Kalau Aku beruntung, mungkin mereka sudah saling bunuh di pagi hari."
"Tapi saat ini Aku belum mengantuk, Aku sudah cukup tidur di hutan merah, kalau begitu Aku akan memainkan sulingku ini. Penduduk kota ini sepertinya tidak menghargai musik yang kumainkan, mereka sama sekali tidak menghiraukanku."
Sal mengambil suling kesayangan yang disimpan di balik kemejanya. Suling Sal terbuat dari bambu dari Planet Awisome yang terkenal sebagai penghasil bambu berkualitas terbaik di seantero galaksi, dan dibuat oleh seekor kura-kura perngrajin terkenal yang bernama Karapagos. Bagian kosong di dalam Suling itu telah dilapisi dengan vernish khusus yang mampu menarik Irama tiap suling itu dimainkan.
Suling yang memiliki warna gading itu telah menemani Sal selama berkelana dari satu planet ke planet lainnya, telah dimainkan beribu kali saat Sal sedang sendiri, dan lebih banyak lagi digunakan sebagai alat pukul saat Sal dengan jengkel pada seseorang.
"Irama di atap ini sepertinya mempunyai nada sendiri, untuk tujuan apa sebenarnya mengumpulkan Irama di satu titik seperti ini?"
Sal menempelkan bibir monyongnya di lubang tiup suling, memejamkan mata dan mulai meniupkan udara dari paru-paru melewati ruang kosong dalam suling. Alunan suara lembut perlahan keluar dari lubang suling, nada demi nada saling berkejaran tapi sama sekali tidak dalam tempo yang cepat.
Sal sebelumnya belum pernah memainkan lagu itu, dia hanya mengikuti nada dari Irama yang bersemayam di atap menara, tapi Sal memainkan lagu itu seperti sudah berulang kali memainkannya. Lagu itu adalah lagu tentang kerinduan, setidaknya itu yang diduga Sal, karena dari nada-nadanya Sal tahu kalau ini adalah lagu bertipe Balada.
Di saat Sal masih asyik memainkan suling, samar-samar kuping Sal menangkap suara langkah seseorang. Ada seseorang yang sedang bergerak di dalam bangunan, dari wangi tubuhnya yang lembut, Sal menebak kalau ini seorang wanita.
'Apa yang dilakukan seorang wanita, malam-malam di tempat sepi seperti ini?' Batin Sal, tapi dia tidak menghiraukannya dan terus memainkan sulingnya. Suara langkah tersebut kemudian menghilang, Sal tidak mendengar apa-apa, tapi dari baunya Sal tahu kalau si wanita ada tepat di bawahnya dan sepertinya tidak bergerak.
Di saat Sal meneruskan permainan sulingnya, dari bawah terdengar samar-samar suara lembut wanita tersebut.
"Ambilkan bulan bu, ambilkan bulan bu, yang selalu bersinar di langit... Eh, apa ini? Kenapa denganku?"
Walau samar-samar, pendengaran Sal yang tajam bisa menangkap suara lembut si wanita, Sal sudah sering mendengar berbagai jenis suara manusia, dan suara wanita itu adalah suara paling merdu yang pernah didengarnya.
Rasa penasaran Sal membuat dia menghentikan permainan sulingnya, dengan sedikit terburu-buru Sal mendekati jendela di bawahnya, dan bergelantungan dengan kelapa di bawah. Ketika Sal melihat ke dalam ruangan, dilihatnya seorang gadis yang masih belia. Gadis tersebut memakai jaket dan rok berwarna hitam, kemeja putih terlihat di balik jaket tersebut. Tapi yang menarik perhatian Sal adalah benda yang dipegang si gadis belia.
"Si monyet!" Ucap si gadis tiba-tiba.
"Oi, kedengaran kaya memaki tahu," balas Sal. "Tapi Aku memang monyet sih, namaku Salvatore Jackson, kau bisa memanggilku Sal, dan kau sendiri siapa, nona kecil?"
"Nona kecil? Siapa yang kecil?" Bentak si gadis marah, kelihatan sekali tidak mau dianggap anak kecil.
"Kau." Jawab Sal sambil tersenyum dan menunjuk si gadis.
Untuk sesaat Sal dan gadis itu saling berpandangan. Sal melihat gadis di depannya sebagai anak kecil rapuh yang sedang memegang senjata yang tidak sesuai dengan penampilan si gadis tersebut. Masing-masing mereka mencoba membaca langkah yang akan dipilih lawannya.
Mata si gadis tiba-tiba melotot seakan menyadari sesuatu, dan kemudian tertawa terbahak. "Hahaha, itu kumis kan? Kok bisa diikat kaya gitu? Aneh banget."
"Hmm, kumisku lucu ya?" Ucap Sal. "Soalnya kalau kubuka ikatannya, kumisnya pasti bergetar hebat."
Sal pun membuka ikatan kumisnya, dan memang benar, kumis Sal seketika bergetar hebat. Si gadis yang melihat hal itu tertawa keras seakan melihat lawakan paling lucu di dunia, tangannya menepuk-nepuk lantai saking tak kuat menahan tawanya.
"Perasaan gak ada yang aneh dengan kumisku, kau belum melihat kumis jaring atau kumis tanduk rusa raksasa, itu bahkan lebih aneh lagi." Ucap Sal.
"Kalau dilihat lebih jelas lagi, kapalamu juga aneh, apa itu yang ada di atas rambutmu?" Tanya si gadis.
"Ini biji mete, ciri khas ras kami, bangsa Meteo."
"Bisa dimakan?"
"Tentu saja tidak, ini bagian kepalaku tahu!" Jawab Sal kesal. "Ngomong-ngomong kau bisa sopan dikit gak sih? Aku ini lebih tua darimu tahu!"
"Marah nih ye." Balas si gadis sambil cekikikan. "Maaf deh om, hanya saja om beda dengan pria-pria yang pernah kukenal, tapi om bukan pedofil kan?"
"Enak aja, Aku ini musisi terhormat, Aku tidak tertarik dengan anak baru gede sepertimu!" Bentak Sal marah, sambil mengubah posisi memanjatnya.
"Tahu gak? Kau itu mirip seseorang yang kukenal, sama-sama menjengkelkan. Sifat suka menghinanya, postur tubuhnya, sama-sama anak kecil." Lanjut Sal.
"Namaku Luna... Luna Aracellia, orang-orang di sini memanggilku sebagai Moonlight Scarlet." Ucap si gadis tidak menghiraukan kata-kata Sal. "Aku seorang penembak jitu, dan juga freelance assasin."
"Freelance assasin? Pembunuh lepas, ng, kau membunuh untuk hobi?" Tanya Sal berlagak polos.
"Bukan!" Bantah Luna. "Aku membunuh hanya bila diperlukan, Aku hanya membunuh orang jahat, tiap malam Aku menghabiskan waktuku untuk menghabisi orang-orang jahat di kota ini."
"Maksudmu, kau pamer ya?" Ucap Sal mendengus. "Terus?"
"Apa om juga orang jahat? Kalau om orang jahat, Aku akan bunuh om sekarang juga!" Ucap Luna tegas.
"Hmm, pertama, jangan manggil om, kesannya Aku ini om genit. Panggil Aa aja. Kedua, apa Aku terlihat seperti orang jahat?"
"Iya." Jawab Luna singkat. "Tapi penampilan bisa menipu sih, Aa Sal mungkin saja orang baik yang berpura-pura seperti orang jahat yang menyamar jadi orang baik, padahal sebenarnya orang jahat. Jadi Aasal bisa saja sebenarnya orang jahat."
"Hah?! Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kamu omongin. Dan jangan digabungin gitu manggilnya, Aa aja. Dasar, kau memang benar-benar mengingatkanku padanya."
"Mengingatkan pada siapa?" Tanya Luna.
"Ho, kau penasaran ya?" Balas Sal balik bertanya.
"Gak juga sih." Jawab Luna singkat.
"Seorang manusia dari planet Krismon, gadis kecil sepertimu, hmm, terakhir Aku bertemu dengannya sewaktu dia masih berusia 15 tahun."
"Tenyata memang pedofil!" Ucap Luna.
"Waktu itu Aku juga berumur 18 tahun, jadi cukup sebaya!" Ucap Sal membela diri.
"Hmm, terus, apa yang terjadi?" Tanya Luna.
"Kami pernah sama-sama berjanji untuk mengelilingi galaksi, padahal kami sama-sama tidak punya uang. Dia bilang, untuk bertahan hidup kalau perlu dengan mengamen, tapi tidak boleh mengemis, dia juga bilang pasti akan menepati janjinya. Tapi janji tinggal janji, dia lebih memilih uang kertas daripada uang receh. Setelah itu selama 30 tahun, Aku tak pernah bertemu lagi dengannya." Ucap Sal.
"Dan sebulan kemarin Aku baru tahu kalau Planet Krismon telah hancur..." Sal terdiam, mengingat masa lalunya.
"Oh."
"Jangan bilang 'Oh' aja. Kau bisa mengerti kan perasaanku?"
"Aku bisa mengerti, tapi Aku kan gak perlu bersimpati padamu." Ucap Luna.
"Wow, kau bisa bertelepati?" Sal mencoba bercanda.
"Hmm, tadi Aasal bilang soal Planet dan Galaksi, apa di duniamu mudah untuk berpergian antar planet?" Tanya Luna penuh dengan ketertarikan.
"Sudah kubilang jangan disatuin manggilnya, tapi iya, sudah sangat mudah untuk berpergian dari satu planet ke planet lainnya—"
"Apa Aa pernah pergi ke bulan juga?" Potong Luna.
"Kau gak dengar ya? Berpergian dari satu planet ke planet lainnya itu sudah sangat mudah, apalagi cuma sebatas bulan." Jawab Sal. Luna mendengarkan dengan takjub.
"Aku ingin sekali pergi ke bulan!" Seru Luna.
"Kalau kau mau, nanti kuajak, hmm, tapi tentu saja setelah keluar dari permainan konyol ini." Balas Sal sambil tersenyum.
Luna senang sekali mendengar ajakan Sal, sambil tersenyum lebar dia berkata, "Janji ya!"
'Apaan, walau tadi bilangnya pembunuh dan penembak jitu, tapi ternyata sifatnya masih seperti anak kecil' Pikir Sal.
"Iya, Aku janji deh." Ucap Sal. "Oh iya, apa kau tahu ada juga lho planet yang punya bulan lebih dari—"
Sebelum Sal menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba terdengar ledakan yang sangat keras. Baik Sal maupun Luna terkejut bukan main, karena sumber ledakan bisa dibilang tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdua.
"Suara apa itu? Telingaku sampai berdenging gini." Ucap Sal sambil menutupi telinganya.
Sementara Luna yang sama-sama terkejut, buru-buru menghampiri jendela. Dia terkejut melihat arah ledakan, itu adalah tempat pengisian bahan bakar, asap mengepul hebat dari tempat tersebut.
Dari atas menara Luna bisa melihat dengan jelas hampir seluruh kota, walau tidak terlalu jelas, dia bisa melihat terjadi kepanikan di pusat kota, ledakan yang terjadi barusan sepertinya hanya puncak kekacauan. Kebakaran hampir merata terjadi di seluruh kota, sirine mobil polisi terdengar bersahutan dari jauh.
Tak lama kemudian terdengar suara tembakan, tak hanya sekali, tapi berkali-kali dan hampir di semua tempat.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi pada kotaku!" Ucap Luna. Sal yang ikut menyaksikan hanya bisa celingak-celinguk.
Luna pun kemudian memakai scope yang terpasang di sniper rifle-nya untuk meneropong keadaan. Sejauh mata memandang, yang dilihatnya hanya adegan mengerikan.
"Mereka saling serang, para penduduk itu bertindak di luar kewajaran." Jelas Luna sambil terus meneropong. "Ini pasti perbuatan salah satu lawan. Tapi siapa dan bagaimana caranya?"
"Oh iya, mungkin agak telat, apa kota ini terkenal dengan bau tidak sedapnya?" Tanya Sal tiba-tiba. "Soalnya sewaktu Aku menuju tempat ini, di sepanjang jalan Aku mencium bau yang menyengat, seperti bau sampah atau bau tikus."
"Tidak, kota ini mungkin terkenal sebagai kota yang korup, tapi kebersihannya cukup terjaga." Luna tidak melanjutkan perkataannya, dia masih sibuk meneropong kota dari sudut ke sudut. Hingga pandangannya berhenti di satu tempat, yaitu sebuah halaman parkir mall di pusat kota. Jarak dari menara ke pusat perbelanjaan tersebut kurang lebih 2 kilometer menurut perhitungan Luna.
Melalui teropongnya, di halaman parkir tersebut, Luna melihat dua orang yang anehnya terlihat tenang di saat para penduduk lainnya berlarian histeris. Dua orang itu adalah seorang pria berpakaian kaos putih dan celana panjang hitam, dan satunya adalah seorang wanita yang memakai jaket hitam dan rok mini.
Luna sempat mengira mereka penduduk, tapi ketika si pria berkaos putih tiba-tiba mengeluarkan sayap hitamnya, barulah dia tersadar kalau kedua orang itu adalah peserta battle royale ini juga.
"Apa mereka orang jahatnya?" Bisik Luna.
"Kenapa berbisik? Siapa yang orang jahat?" Sal yang mempunyai pendengaran tajam merespon kata-kata Luna.
"Uh, Aku bicara sendiri kok, hmm, Aku melihat dua peserta lainnya, pria dan wanita, namun Aku tidak bisa memastikan apa mereka penyebab kekacauan ini, si pria bisa mengeluarkan sayap dari punggungnya." Jelas Luna.
"Jangan berbuat apa-apa, jangan sampai mereka tahu kita ada di sini." Saran Sal
Luna terus memperhatikan mereka, si pria kemudian secara tiba-tiba terbang dengan cepat dan kemudian menghilang dari pandangan Luna.
"Si pria terbang dan terus hilang, kalau dari arah sebelum menghilang, dia menuju ke sini." Ucap Luna sembari mengatur zoom pada scope-nya.
"Apa?!" Seru Sal. "Jangan-jangan mereka tahu kau sedang mengintip mereka."
"Bisa jadi." Ucap Luna datar. Fokusnya sekarang berpindah pada si wanita yang ditinggal sendiri, wanita tersebut terlihat tidak beranjak dari tempatnya.
"Oi, tanggung jawab!" Seru Sal, tapi Luna tetap tidak bergeming, pandangannya terus terfokus pada si wanita.
Sal yang merasa tidak dihiraukan, naik ke atap menara. Dia merasakan suatu Irama yang besar sedang menuju dirinya, itu ditandai dengan kumisnya yang bergetar tak searah.
"Gawat nih, orang itu sepertinya bukan manusia biasa, tapi dimana dia? Aku sama sekali tak bisa melihatnya." Ucap Sal sambil memicingkan matanya mencoba mencari keberadaan pria yang diceritakan Luna.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan dari bawah Sal berdiri, tembakan itu berasal dari jendela tempat Luna berada. Sal buru-buru kembali menghampiri Luna, dilihatnya gadis itu bersiap untuk melakukan tembakan kedua.
"Apa yang kaulakukan, siapa yang kau tembak?" Tanya Sal.
"Diam!" Bentak Luna. "Beraninya wanita itu melukai para penduduk, Aku tidak akan memaafkan dia!"
"Eh, kau serius gadis kecil?"
"Yang kuperlukan hanya cahaya bulan," Ucap Luna sambil melihat ke langit. "Aku harus konsentrasi untuk—"
Luna tidak melanjutkan ucapannya, dia terkejut karena saat melihat ke langit, bulan bercahaya dengan indahnya. "Sejak kapan?"
"Kenapa dengan bulan?" Tanya Sal sambil ikut melihat ke atas langit. Tapi belum sempat Sal berkomentar lebih lanjut, naluri Sal berteriak kalau ada bahaya yang mendekat.
Bersamaan dengan itu, sesosok pria bersayap hitam terbang dengan kecepatan tinggi menerjang dengan sabitnya besar. Secara refleks Sal melompat ke atas menghindari serangan tersebut. Karena otot kakinya yang kuat, lompatan Sal mencapai ketinggian dua kali lipat dari atap menara.
Pria bersayap hitam yang melihat hal itu, kemudian melemparkan sabitnya ke arah Sal. Sabit tersebut berputar-putar ke arah jatuhnya Sal, Sal yang menyadari bahaya belum hilang sepenuhnya kemudian meluruskan badannya dengan posisi kepala di bawah supaya jatuh lebih cepat.
Usahanya berhasil, hanya sepersekian centimeter, sabit itu mengenai ruang kosong dan melewati ekornya yang tertinggal.
Terdengar suara dentuman yang cukup keras ketika Sal jatuh kembali tepat di atap menara. Menara yang sudah rapuh itu semakin bergoyang menahan berat badan Sal.
"Hei, hati-hati!" Teriak Luna yang masih berada di dalam ruangan.
Merasa tempat itu sudah tidak aman, Luna menggunakan tali baja darurat yang sudah disiapkannya jauh-jauh hari untuk melarikan diri secepatnya dari ruangan tersebut. Gadis itu pun meluncur dengan cepat ke bawah menggunakan graple hook yang terkait pada tali baja. Sal yang kebetulan melihat aksi Luna Cuma bisa takjub.
"Wow, ternyata tali itu buat main flying fox ya? Tapi bagus deh, Aku sempat khawatir tadi." Ucap Sal.
Namun lagi-lagi dia harus menghindar karena sabit yang tadi dilempar pria bersayap, kembali mengincar dirinya. Dengan cepat Sal berguling ke samping.
"Sekarang malah main boomerang," Ucap Sal sambil melihat sabit itu berputar dan melayang ke arah pria bersayap. Sal menarik nafas panjang dan kemudian berteriak.
"PABEULIT siah!"
Tubuh pria bersayap tiba-tiba sedikit bergetar ketika mendengar teriakan Sal. Dan kejadian selanjutnya sungguh di luar dugaan. Sabit yang melayang ke arahnya, tepat mengenai kepalanya. Tapi untungnya yang mengenai kepala adalah bagian pegangannya dan bukan bagian sabitnya yang tajam. Bersamaan dengan itu tubuh si pria terjatuh ke atap bangunan di sebelah menara.
Sal tidak membuang-buang waktu untuk mengambil sabit besar yang jatuh tersebut, dia kemudian menyusul si pria ke atap bangunan di bawahnya. Namun sosok si pria menghilang.
"Kemana orang itu?" Sal kebingungan karena tidak sama sekali tidak bisa merasakan keberadaan si pria.
•••••
[Adegan 5] Realm of The Dead
Enzeru merasakan kepalanya sakit teramat sangat, wajahnya menunjukkan keterkejutan luar biasa. Karena seumur hidup dia belum pernah gagal menangkap sabit yang dilemparnya.
Sayapnya telah kembali ke dalam punggungnya, butuh waktu beberapa saat untuk memunculkannya kembali. Dia kemudian melihat sekeliling mencari sabitnya, namun tidak menemukannya.
Dari atas atap menara, Sal melompat turun ke bawah. Secepat kilat Enzeru menyelusup ke dalam bayangan.
"Kemana orang itu?" Tanya Sal sambil melihat kesana-kemari.
Dari belakang Sal, perlahan Enzeru muncul dari area gelap menara jam. Sal yang masih kebingungan mencari lokasi keberadaan Enzeru, merasakan kumisnya bergetar. Lagi-lagi dengan refleks yang cepat, Sal menghindari pergerakan Enzeru yang berbahaya.
"Kau mencari ini?" Seru Sal.
Enzeru melihat monyet itu telah membawa Death Scythe-nya.
"Kembalikan!" Perintah Enzeru.
"Gak salah tuh? Lihat posisi dong!" Ucap Sal geram. "Setelah barusan kau coba membunuhku, kau pikir Aku akan dengan gampangnya mengembalikan senjata ini?"
Enzeru balik menatap tajam Sal. "Kau yang menebarkan penyakit kepada para penduduk itu kan? Saya tidak akan memaafkanmu!"
"Kamu ini ngomong apa sih? Apa Aku terlihat seperti bakteri penyakit bagimu?" Ucap Sal marah. "Aku ini musisi terhormat, walau Aku sering berpergian, tapi kebersihanku selalu terjaga, mandi sekali sehari, juga rajin gosok gigi."
Enzeru masih menatap marah Sal, tapi mau tidak mau dia harus mengakui kalau manusia monyet di depannya berpakaian cukup bersih, rambut afronya terlihat tertata bulat rapi, walau memang bentuk kumisnya jauh dari kata wajar. Tapi secara keseluruhan, monyet pesolek itu terlihat tidak bersalah.
"Tapi itu tetap tidak membuktikan kalau kau bukan penyebabnya!" Ucap Enzeru.
"Memangnya apa bukti kalau Aku pelakunya?" Tanya Sal.
Enzeru tidak bisa menjawab, tindakannya hanya berdasar perkataan Celestia.
"Kenapa kau begitu peduli dengan apa yang terjadi pada mereka?" Tanya Sal. "Atau itu hanya satu alasanmu untuk melenyapkan Aku?"
"Orang-orang itu tidak ada hubungannya dengan pertarungan kita, hanya itu." Jawab Enzeru. "Kalau ingin membunuh saya, lakukan saja!"
"Tenang anak muda, sudah kubilang Aku ini musisi, Aku bukan pembunuh, keberadaanku di pertarungan konyol ini bisa dibilang hal yang tak direncanakan. Mungkin berlaku untukmu juga."
"Tapi makhluk apa sebenarnya kau? Aku bisa mencium bau gadis yang tadi, atau wanita seksi dengan rok mini yang kulihat saat menuju ke sini, dan bahkan Aku bisa mencium bau mayat busuk yang sepertinya semakin lama semakin menyengat," Sal memperhatikan sosok Enzeru dari atas sampai bawah, hidungnya mendengus.
"Tapi Aku sama sekali tidak bisa mencium baumu, tidak ada keringat, bau badan, kulit kering atau apapun, baumu seperti plastik higienis yang belum terkena kotoran apapun, dan tidak ada makhluk dengan bau seperti itu."
"Tunggu, apa maksudmu dengan bau mayat busuk?" Tidak menghiraukan pertanyaan Sal, Enzeru tertarik dengan fakta baru yang didapatnya.
Sejauh ini Enzeru baru melihat tiga orang, yaitu Celestia, Salvator, dan gadis dengan senapan. Dia sekarang cukup yakin kalau si monyet dan si gadis tidak ada hubungannya dengan kejadian yang menimpa para penduduk.
Dan itu berarti, satu orang lagi adalah orang yang menghasilkan bau busuk tersebut. Orang itu juga yang entah bagaimana caranya punya kemampuan untuk menjangkiti orang lain dengan suatu penyakit dan kemampuan untuk mengendalikan korbannya, atau setidaknya menghilangkan akal sehat si korban sehingga membuatnya melakukan kekerasan.
"Ya benar, bau busuk seperti sampah mati atau bau bangkai." Jawab Sal. "Tunggu dulu, jangan-jangan kau berpikir bau busuk ini berasal dari salah satu peserta?"
"Entahlah, tapi kemungkinan besar seperti itu. Dimana kau mencium bau busuk itu?" Tanya Enzeru.
"Sebenarnya Aku tidak bisa menunjukkan lokasinya secara lebih akurat, baunya terkesan samar, seakan tertutup sesuatu." Jelas Sal. Di saat Salvatore coba lebih mempertajam penciumannya, terdengar teriakan dari bawah.
Di halaman yang tak jauh dari gedung tempat kedua pria itu berdiri, Luna yang tadi meluncur dengan menggunakan tali baja dari atas menara terlihat di kelilingi para penduduk yang telah terjangkit. Dia hanya menghindar ketika para penduduk itu mulai menyerangnya, dan sepertinya tidak ada niat untuk menyerang balik.
"Luna dalam bahaya." Ucap Sal khawatir.
"Jadi nama gadis itu Luna, kalau begitu peserta yang terakhir bernama Nurin." Ucap Enzeru. "Mereka sudah sampai ke sini, orang-orang itu semua bergerak ke bangunan ini, seakan mencoba dikumpulkan. Ada kemungkinan orang bernama Nurin itu ada di sekitar sini. Tapi dimana?"
"Coba bawah tanah." Balas Sal, dia kemudian menyerahkan sabit besar yang dipegangnya kembali ke Enzeru.
"Kau sepertinya cukup baik, walau Irama yang kau punya cukup menakutkan, tapi Aku bisa merasakan sebuah jiwa yang muda."
"Irama?" Tanya Enzeru.
"Aku akan menolong si ABG, dan kau cari si Nurin itu." Lanjut Sal.
"Iya om." Jawab Enzeru.
"Jangan ikut-ikutan manggil om deh, geli dengernya." Sal kemudian meloncat dari gedung tiga lantai tersebut. Dan tepat mendarat di samping Luna.
Enzeru melihat Sal yang pergi dengan banyak pertanyaan, 'Kenapa dia mengembalikan Death Scythe dengan begitu mudahnya, apa dia tidak takut Aku akan kembali menyerangnya, atau dia yakin bisa menghentikan seranganku lagi, atau karena dia tahu Aku tidak akan menyerangnya, tapi apapun itu dia mempercayaiku."
Enzeru kemudian mengeluarkan sayap hitamnya. "Lagi-lagi Aku terlalu memporsirmu, tapi hanya kau yang bisa kuandalkan, Sayap."
Seperti sebelumnya, Enzeru kemudian memejamkan mata dan mulai meraba-raba pergerakan semua makhluk yang ada di sekelilingnya. Dia bisa merasakan Luna dan Salvatore yang sedang bertahan dari serangan para orang-orang itu, dia juga bisa merasakan kalau jumlah orang-orang yang terjangkit semakin lama semakin bertambah banyak. Kemudian dia memfokuskan pada pergerakan di bawah tanah sesuai saran Sal, dan dia pun merasakan sesuatu.
"Disana kau ternyata." Enzeru kemudian memasuki bayangan seperti sebelumnya, gerakannya memasuki bayangan seperti seorang penyelam memasuki air. Itu adalah kemampuannya sebagai seorang pencabut nyawa yang disebut dengan Black Light, dengan kemampuan itu, Enzeru mampu berpindah dalam sekejap ke bayangan yang ada di tempat lain.
•••••
Luna yang dikelilingi para penduduk yang telah terjangkit, berusaha untuk terus menghindar. Dia menyadari kalau para penduduk itu dipaksa untuk melakukan hal yang tidak mereka kehendaki. "Hentikan, kenapa kalian sebenarnya?"
Luna terus berteriak, namun para penduduk itu tak mendengarnya, rasa frustasinya kian memuncak. Bagaimana tidak, para penduduk kota yang sewaktu hidup coba dia lindungi, sekarang malah mencoba menyerangnya.
Luna kenal orang-orang ini, sewaktu dia masih hidup dan beraksi sebagai Moonlight Scarlet, orang-orang ini melindunginya, memberinya dukungan, dan bahkan memujanya sebagai dewi penolong mereka dari kesewenang-wenangan grup mafia dan pejabat korup. Orang-orang itu, penjual toko roti kesukaannya, penjaga toko buku dan majalah yang sering dikunjunginya, bahkan ada guru yang selalu memberikan nasehat kepadanya. Luna tahu orang-orang ini, mereka punya keluarga, punya kehidupannya sendiri-sendiri.
"Hentikan, tolong hentikan." Ucap Luna sambil mengucurkan air mata. "Aku tak mau melukai kalian. Aku..."
Luna tahu percuma berteriak pada mereka, karena mereka tidak bisa mendengar atau melihatnya, tapi mereka bisa mengetahui keberadaan Luna adalah bukti kalau mereka dikendalikan.
Bulan yang bercahaya terang, dan dua pistol berpeluru magnum di pinggangnya lebih dari cukup untuk 'menghentikan' pergerakan orang-orang itu. Peluru magnum pada kedua pistolnya telah dimodifikasi dengan sihir bulan supaya tidak habis-habis walau ditembakkan terus-menerus. Tapi hati nuraninya menolak dia melakukan hal itu, dia hanya bisa menghindar dan sesekali melakukan gerakan mendorong untuk menjauhkan mereka.
Tiba-tiba di sampingnya, Sal mendarat dengan posisi badan merangkak, seperti seekor binatang buas yang akan menerjang mangsanya.
"Jangan sakiti mereka!" Perintah Luna.
"Apa?!" Ucap Sal kaget, tapi kemudian dia menyadari maksud Luna. Tangan Sal kemudian memegang pinggang Luna bermaksud untuk membawanya ke atap. "Oh, Aku memang tak bermaksud menyerang, Aku justru hanya mau menjemputmu."
Sebelum Luna bisa membalas perkataan Sal, tiba-tiba sebuah mobil SUV melaju dengan cepat menabrak kerumunan para penduduk yang terjangkit. Tanpa ampun, para penduduk itu menjadi menjadi korban keganasan mobil, ada yang terlempar, ada juga yang sampai tergilas.
Mobil itu berputar-putar membentuk donut, siapapun pengemudinya sudah sangat ahli menyetir mobil. Putaran yang dihasilkan ban mobil membuat sebuah pola lingkaran di halaman gedung tak terpakai tersebut. Mobil itu pun kemudian berhenti tepat di hadapan Salvatore dan Luna, pintu supir mobil SUV itu terbuka, keluar dari dalam mobil itu seorang wanita berkulit putih dengan pakaian yang cukup seksi.
Melihat penampilan wanita berambut putih tersebut, Sal hanya bersiul. Sementara di sampingnya, raut wajah Luna terlihat sangat-sangat murka.
•••••
[Adegan 6] Lalat dan Sayap Hitam
Tidak diketahui oleh Luna dan Salvatore, di kedalaman 2 meter di bawah tanah, dalam sebuah ruangan yang terletak tepat di bawah menara jam. Seorang wanita dengan penampilan menjijikan sedang berdiri di tengah ruangan. Nama wanita tersebut adalah Nurin, yang lebih dikenal sebagai Empress of The Flies, atau Ratu Lalat.
Nama Empress of the Flies didapat Nurin karena kemampuannya mengendalikan berbagai jenis lalat. Lalat yang sekarang mengelilingi tubuhnya mempunyai ukuran 3 kali lipat dari lalat rumahan. Lalat yang bernama Bot Fly itu adalah jenis lalat pemakan daging, tapi berbeda dengan Bot Fly biasa, Bot Fly milik Nurin lebih ganas dan menyerang syaraf otak inangnya. Sehingga mudah bagi Nurin untuk mengendalikan manusia yang telah menjadi inang lalat karnivora tersebut.
Tidak jauh dari tempat Nurin berdiri, terdapat sebuah lorong tempatnya masuk. Lorong tersebut dipenuhi orang-orang yang disebut Nurin sebagai bonekanya, sebagian membawa obor, sebagian lagi membawa berbagai jenis alat berbahaya, seperti kapak, pacul, tongkat bisbol dan bahkan ada yang membawa gergaji mesin.
Mereka mengerang kesakitan, tubuh mereka penuh luka dan belatung, darah keluar dari mulut dan hidung mereka. Tapi mereka terus bergerak mematuhi si wanita lalat.
"Beruntung banget, ini bisa jadi tempat persembunyianku." Ucap Luna sambil berjalan mengitari ruangan. "Makasih buat lalat-lalat setiaku, karena memberi tahu tempat ini. Entah ruangan apa ini sebenernya, dan siapa yang membuatnya. Tapi satu hal yang pasti, ruangan ini seperti tercipta untukku."
Ruangan itu sendiri cukup luas untuk diisi puluhan orang, membentuk lingkaran dengan pilar-pilar kayu. Di tengah ruangan terdapat gambar pentagram yang dibuat entah kapan, di ujung ruangan terdapat sebuah altar batu berwarna hitam, ketika Nurin meraba altar tersebut, dia menyadari kalau warna hitam itu adalah darah yang telah lama mengering.
Di dinding belakang altar hitam itu, Nurin melihat gambar yang dipahat, yaitu gambar matahari yang tertutup bulan.
"Seram banget, apa ini semacam tempat pemujaan Dewa Gerhana?"
Di sisi ruangan terdapat parit sedalam satu meter, dan di dalam parit tersebut cukup mengerikan karena banyak sekali berserakan tulang-tulang manusia. Nurin memeriksa tulang-tulang itu.
"Ini bukan tulang orang dewasa, ini tulang anak-anak dan jumlahnya ratusan." Ucap Nurin. "Dan mereka bilang kalau Aku ini iblis."
Nurin tidak sengaja menemukan ruangan ini, ketika dia dijatuhkan dengan kasar ke sebuah taman, tidak henti-henti Nurin mengumpat setelahnya. Orang-orang di taman itu tidak menyadari, lebih tepatnya tidak melihat atau mendengar kedatangan Nurin, tapi mereka bisa mencium bau menyengat yang berasal dari tubuh wanita itu. Menyadari hal itu, Nurin seperti diberi kesempatan untuk mengejar obsesinya mengumpulkan boneka sebanyak-banyaknya tanpa ada sedikitpun yang mengetahuinya.
Dia pun berjalan dari taman itu, sambil menularkan penyakit mematikan melalui gigitan lalat peliharaannya. Sampai dia akhirnya memasuki sebuah mall yang penuh dengan mangsa kesukaannya. Kali ini dia merasa tidak akan gagal, karena sekarang tidak akan ada tentara yang bisa melihatnya, apalagi sampai membunuhnya.
Dari basement mall itulah Nurin mendapat akses ke sebuah lorong rahasia yang menghubungkan dia dengan ruangan yang ditempatinya sekarang.
"Sempurna." Ucap Nurin sambil tertawa cekikikan. Nurin kemudian duduk di atas altar hitam itu. "Nah sekarang bagaimana caranya Aku membuat empat peserta lainnya menjadi jendral perang bonekaku. Atau kubiarkan saja pion-pion bonekaku melemahkan mereka dulu? Yang jelas Aku ngantuk banget. Lalat-lalat kesayanganku juga lemah kalau menghadapi gelapnya malam."
Nurin dengan santainya kemudian berbaring di atas altar tersebut. "Dari semenjak dibawa ke hutan itu, Aku sama sekali belum tidur."
Di saat Nurin sedang enak–enak tiduran, sosok Enzeru tiba-tiba muncul dari balik bayangan di belakang Nurin. Nurin yang berbaring tidur membelakangi Enzeru, awalnya tidak menyadari kehadiran pria yang memegang senjata sabit besar itu, sampai lalat-lalat kesayangannya memberitahu dia.
Enzeru langsung menutup hidup ketika mencium bau busuk yang dikeluarkan Nurin, bagi Enzeru wanita di depannya adalah wanita paling menjijikan yang pernah dilihat Enzeru. Rambut yang kusut, baju compang-camping, dan lalat berterbangan mengeliling tubuhnya.
Belasan orang yang terjangkit terlihat berkumpul mengelilingi wanita yang cukup pendek tersebut. Mereka terlihat seperti abdi kerajaan yang sedang memuja seorang ratu.
"Kau, gimana kau bisa ada di sini?" Tanya Nurin kaget.
"Tidak penting bagaimana caranya saya bisa disini. Dari awal saya agak ragu kalau seekor monyet bisa menyebabkan hal seperti ini." Ucap Enzeru.
"Monyet?" Tanya Nurin. "Oh, salah satu peserta juga ya? Apa dia cukup kuat?"
"Jangan banyak bicara, yang penting kau harus menghentikan semua yang kau lakukan!" Perintah Enzeru.
"Kenapa juga Aku harus nurutin perkataan musuh? Bukankah kita diperintahkan untuk saling bertarung." Balas Nurin, dalam hati Nurin berpikir alangkah bagusnya kalau pria ini bisa menjadi bonekanya juga.
"Kau telah mengotori kehidupan, membunuh orang-orang tidak berdosa, menjadikan mereka sebagai budakmu—"
"Apa salahnya? Aku hanya menjadi diriku sendiri, Aku diciptakan seperti ini. Setiap orang dilahirkan ke dunia dengan tujuannya masing-masing, begitu juga Aku. Dan jangan bilang Aku telah mengotori kehidupan, karena dari awal kehidupan tidak pernah bersih, selalu kotor, selalu penuh dengan kebencian!"
"Aku justru menolong mereka, membuat mereka bonekaku supaya mereka tidak perlu lagi merasakan perasaan dikhianati, disakiti, dibenci. Bagi mereka, Aku adalah penyelamat mereka!"
Tanpa aba-aba, Enzeru menyabetkan Death Scythe miliknya ke arah Nurin. Dia menyabetkan senjatanya dari jauh karena tidak tahan dengan bau menyengat tubuh Nurin.
Walau dari jauh, sabetan sabit besar itu mengeluarkan gelombang berelemen racun ke arah Nurin, itu adalah salah satu keunikan senjata milik Enzeru tersebut.
Nurin tidak sempat menghindar menerima langsung serangan itu, gadis itu tampak terkejut menerima serangan yang tiba-tiba dilancarkan Enzeru. Racun pun mengenai tubuhnya. Namun tidak diketahui Enzeru, tubuh Nurin mempunyai kekebalan yang tinggi terhadap racun.
Tapi tetap saja gelombang serangan sabit Enzeru cukup untuk menghempaskan tubuh Nurin ke belakang, Nurin mengerang kesakitan.
"Berengsek!" Umpat Nurin.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Enzeru pun melesat mendekati Nurin yang masih terkapar, dihayunkan sabit besarnya ke arah gadis tersebut.
"Matilah kau!" Teriak Enzeru.
Nurin yang terpepet, secara reflek mengeluarkan kemampuannya yaitu menghasilkan kabut pekat hijau yang dengan cepat menyebar ke seluruh ruangan. Kabut itupun segera memenuhi ruangan, yang mengakibatkan jarak pandang menjadi nol.
Namun Enzeru yang sudah terlanjur bergerak, terus menerobos kabut hijau tersebut, dan dia merasakan sabitnya mengoyak menembus daging.
Enzeru menghentikan gerakannya, menyangka dia telah membunuh si wanita lalat. Tapi ketika dia mendekatkan sabitnya, ujung sabitnya ternyata menembus kepala seorang penduduk yang telah jadi boneka Nurin. Enzeru sangat terkejut mengetahui kenyataan itu, di tengah-tengah kabut hijau yang tebal, Enzeru terdiam.
"Hebat juga kau bisa bertahan dari kabut racunku, kau pasti bukan manusia." Puji Nurin dari balik kabut. "Tapi Aku tidak marah, walau kau menyakitiku, Aku tidak marah. Karena Aku tahu, kau sama sepertiku, kau hanya menjadi dirimu sendiri, wahai Malaikat Kematian!"
Enzeru yang mendengar hal itu, kemudian kembali mengeluarkan sayap hitamnya. 'Dalam keadaan jarak pandang terbatas, hanya inilah satu-satunya cara. Aku terus-terusan mengeluarkan sayapku, tapi tak ada pilihan lain,' Keluh Enzeru dalam hati.
Dengan sayap itu Enzeru mampu mendeteksi gerakan orang-orang di sekitarnya, dia merasakan belasan penduduk yang terjangkit menggeliat kesakitan akibat menghirup kabut asap tersebut.
Dia kemudian mengepakkan sayapnya sekuat tenaga, secara ajaib kabut itu mulai menghilang. Tapi Enzeru belum bisa bernafas lega, dilihatnya para penduduk mulai berjatuhan karena terlalu banyak menghirup kabut beracun.
"Sayang sekali, bonekaku jadi rusak." Ucap Nurin. "Lain kali akan kukurangi kepekatan kabutnya."
"Kau... Tidak bisa dimaafkan!" Ucap Enzeru geram. Dia kemudian bersiap untuk menyerang Nurin lagi.
Mengantisipasi hal ini, Nurin memerintahkan lalat-lalat pembunuh yang mengelilingi tubuhnya untuk menyerang Enzeru. Dengan gerakan yang terorganisir, puluhan lalat-lalat pemakan daging itu terbang dengan cepat ke arah Enzeru, tujuannya jelas yaitu untuk mengoyak-ngoyak tubuh pria tersebut.
Melihat hal itu Enzeru menghindar dengan mudah, dan sekali lagi tenggelam ke dalam bayangan. Bot fly yang mengejarnya hanya menabrak lantai tempat bayangan itu ada.
Enzeru tiba-tiba muncul dari samping Nurin, Nurin yang tidak sempat menghindar tak ayal menjadi korban cekikan Enzeru. Karena perbedaan tubuh tinggi, Tubuh Nurin yang mungil terangkat cukup tinggi dari atas lantai.
Lalat-lalat di sekeliling Nurin terbang tak terarah akibat tidak ada perintah dari pikiran Nurin.
"Tu-Tunggu!" Ucap Nurin sambil berusaha melepas tangan Enzeru yang mencekik lehernya. "Apa kau tidak penasaran kenapa Aku melakukannya?"
"Saya tidak perlu mendengarkan perkataanmu. Tugas saya hanya satu, yaitu melenyapkanmu!" Jawab Enzeru. Tak menghiraukan bau menyengat tubuh Nurin, dia terus mencengkeram leher wanita tersebut.
"A-Apa kau tahu, kalau Aku tidak seharusnya disini, maksudku semua peserta battle royale ini memang tidak seharusnya disini, tapi apa kau tahu, Aku dibiarkan hidup padahal seharusnya Aku sudah kalah dan mati." Lanjut Nurin.
"Apa maksudmu?" Tanya Enzeru.
"Maksudku... Ada seseorang yang sok pintar dan berusaha memenangkan pertarungan ini dengan mempermainkan kita bagai pion."
Enzeru menatap tajam Nurin, matanya menunjukkan nafsu membunuh yang kuat. Semakin kuat cekikan Enzeru, kesadaran Nurin semakin hilang.
Tapi tiba-tiba terjadi kejadian yang aneh, tubuh Nurin secara cepat mulai mengeras, berat tubuhnya pun meningkat drastis, semakin lama semakin berat. Enzeru kemudian menyadari tubuhnya perlahan ikut mengeras, tubuh kecil Nurin yang mulai membatu dijatuhkannya.
"Wanita jal—" Ucap Nurin sebelum akhirnya seluruh tubuh mematung. Lalat-lalat yang sebelumnay terbang mengelilingi tubuh si gadis mulai menjauihi dan terbang tak beraturan.
Karena tubuhnya yang unik, Enzeru mempunyai kekebalan absolut terhadap penyakit, termasuk terhadap santet atau semacamnya. Tapi kutukan ini sedikit berbeda, walau tubuh Enzeru bisa menahannya, namun perlahan tubuhnya mulai mengeras.
Sebelum seluruh tubuhnya berakhir sama seperti tubuh Nurin, Enzeru pun menjatuhkan dirinya ke dalam bayangan.
•••••
[Adegan 7] Three Queen
Beberapa saat sebelumnya.
Celestia yang datang dengan mengendarai mobil, menabrak semua penduduk yang mengelilingi Luna dan Salvatore.
Kedua wanita berbeda usia itu sama-sama berteriak. "Kau!"
"Lihat apa yang kau perbuat pada pipi Cel! Kau menggores pipi Cel yang mulus dengan pelurumu itu, Cel marah."
"Diam!" Bentak Luna. "Gak usah sok manis, tante!"
Wajah Celestia seketika menjadi dingin, sifat aslinya keluar. "Tante katamu? Akan kubunuh kau sekarang juga!"
Celestai kemudian mengerakkan tangannya, tiba-tiba dari dalam tanah muncul makluk-makluk yang terbuat dari tanah dan bebatuan di sekitar bangunan, dengan penampilan yang mirip dengan Celestia. "Bunuh tiap orang yang mendekat!"
Mendengar perintah Celestia, sosok-sosok Amethys itu kemudian menyerang para penduduk yang mengelilingi mereka. Jumlah Amethys yang puluhan bisa mengimbangi para penduduk yang semakin lama semakin banyak berdatangan.
"Dengan ini tidak akan ada yang menganggu."
"Apa yang kau lakukan pada orang-orang itu? Beraninya kau melukai mereka!" Teriak Luna.
Celestia mengeluarkan kedua bilah Butterfly Blade-nya. "Aku tak suka melihat darah, tapi kalau darahmu, Aku akan dengan senang hati mencincang dan membakar tubuhmu!"
Melihat hal itu, Luna mengeluarkan dua pistolnya. HK USP Match di tangan kanan dan Safari Arms Matchmaster 1911 di tangan kirinya, dia kemudian melepaskan pengaman pada kedua pistol tersebut.
"Pistol ya? Coba apa kau bisa mengikuti kecepatanku." Secepat kilat Celestia melesat ke arah Luna yang langsung menyambutnya dengan tembakan bertubi-tubi.
Celestia tidak bergeming dan terus melesat, beberapa tembakan jelas mengenai tubuh wanita berambut putih tersebut.
"Tubuh wanita itu berubah menjadi seperti batu." Seru Salvatore, dia merasakan kumisnya kembali bergetar hebat.
Celestia melancarkan serangan pisau tumpulnya ke arah Luna yang dengan cepat menangkisnya, keduanya kemudian saling serang dengan menggunakan senjatanya masing-masing. Keduanya pengguna dua senjata, keduanya memiliki kecepatan yang seimbang.
Luna menggunakan kedua pistolnya layaknya sebuah pedang, namun tiap dia coba menembakkannya ke arah kepala Celestia, Cel menangkis dan membelokkan arah tembakannya. Begitu juga Cel yang coba menebas Luna dengan Butterfly Blade, ditangkis Luna dengan kedua pistolnya.
"Ini pertarungan tingkat tinggi, dan keduanya menggunakan kekuatan Irama yang besar." Komentar Salvatore.
Tiap tembakan Luna yang mengincar bagian tubuh, dibiarkan saja oleh Celestia, tapi tiap tembakan yang mengincar wajah, dengan cepat dibelokkan oleh pedang tumpul wanita batu tersebut.
"Kelemahanmu ada di wajah kan?" Ucap Luna sambil terus mengincar wajah Cel.
Cel tidak menjawab, tapi semakin lama dia semakin meningkatkan intensitas serangannya. Tebasan demi tebasan menjadi semakin cepat dan bertenaga.
Luna yang menyadari hal itu terus bertahan sambil sesekali menembakkan pistolnya ke arah wajah Cel, tapi lagi-lagi hanya mengenai angin. 'Aku sudah menggunakan Moonlight Dance untuk menghindar dan menyerang wanita ini, Aku juga tahu kelemahannya, tapi tembakanku sama sekali tidak bisa mengenainya.'
Tanpa bisa dihindari Luna, sebuah sapuan menerjang kaki Luna sehingga membuat keseimbangan Luna hilang. Dengan cepat Celestia kemudian melakukan sebuah tendangan memutar yang tepat mengenai perut Luna.
Tubuh Luna terlempar cukup jauh, tapi tendangan itu tak sampai membuatnya terjatuh.
"Bagaimana rasanya, ditendang kaki sekeras batu?" Ucap Celestia.
Sementara tak jauh dari sana Sal melihat mereka dengan takjub, tapi baginya pertarungan mereka adalah hal yang membuang-buang waktu. "Bisa tidak, jangan berkelahi dulu, kita punya urusan yang cukup mendesak di sini."
Yang dimaksud Sal adalah semakin bertambahnya jumlah para penduduk yang mendatangi bangunan tersebut, jumlahnya bukan lagi ratusan, tapi setidaknya sudah mencapai ribuan orang. Luna terduduk lemas melihat kenyataan itu, perasaannya hancur, kota yang pernah dilindunginya telah berubah menjadi neraka.
"Ini tidak seharusnya terjadi." Perasaannya bercampur aduk antara marah, sedih dan bingung memikirkan apa penyebabnya. Sementara itu para penduduk mulai menyerang
Dua buah kapal jet terbang rendah mengitari kota, suara mesin yang keras membuat Sal harus menutup telinganya. "Apa-apaan kapal itu?"
"Pihak pemerintah negeri ini pasti sudah menyadari hal yang terjadi di kota ini, mereka memerintahkan angkatan bersenjata untuk bersiap menghadapi skenario terburuk, dan dilihat dari manapun, inilah skenario terburuk. Mereka akan membom atom kota ini!" Ucap Celestia sambil menendang seorang penduduk yang berhasil lolos dari Amethys. Lapisan Igneus di badannya berubah kembali menjadi kulit manusia biasa.
"Apa?!" Balas Sal. "Kenapa mereka berbuat seperti itu?"
"Karena itu sudah menjadi prosedur standar, pemerintah pada umumnya memilih untuk melenyapkan satu kota yang memulai penularan, daripada menerima resiko penyebarannya meluas sampai ke seluruh negeri. Pemerintah pastinya memprioritaskan penyelamatan jumlah mayoritas dan mengorbankan jumlah minoritas."
"Tapi benar-benar deh, wanita itu bertindak terlalu berlebihan. Aku tidak menyangka kemampuannya bisa seperti ini." Lanjut Cel.
"Wanita?" Tanya Sal.
"Iya, Nurin, si wanita lalat, dialah yang melakukan semua ini. Aku sebenarnya jijik mendekati dirinya, dia punya masalah dengan bau badan."
"Jadi pelakunya wanita? Sukar dipercaya." Ucap Sal. "Tapi memang benar, baunya membuatku tidak tahan. Sekarang si pria bersayap sedang menghadapinya."
"Pria bersayap? Jadi Enzeru ada di sini? Dimana dia?"
"Di bawah tanah, tepat di bawah bangunan ini." Jawab Sal.
Bersamaan dengan pembicaraan itu, puluhan Amethys yang menahan para penduduk semakin lama semakin terdorong.
"Jadi dia menepati janjinya." Bisik Celestia sambil tersenyum. "Biar kuberitahu kalian sesuatu, yang menyuruh Nurin untuk menggila adalah Aku!"
•••••
Kita kembali ke jauh sebelumnya, beberapa saat setelah Celestia dijatuhkan oleh Hyvt.
Celestia yang berjalan menyusuri taman kemudian berpapasan dengan Nurin, dan seperti yang lain, Celestia harus menutup hidungnya ketika mencium bau badan wanita lalat itu.
Ketika melihat Nurin menggunakan kekuatannya sebagai pengendali lalat dan 'boneka', dalam kepala Cel muncul suatu rencana jahat.
"Hei kau, bekerja samalah denganku." Seru Celestia tanpa basa basi.
Nurin yang mendengar perkataan Cel melihat kemunculan wanita tersebut dengan sinis.
"Kalau Aku mau, Aku bisa saja menyerangmu dengan lalat-lalatku ini." Ancam Nurin.
"Coba saja, dan akan kukutuk kau jadi batu!" Balas Celestia balik mengancam.
"Kau hanya menggertak." Ucap Nurin.
Celestia tidak menjawab perkataan Nurin, sebaliknya dia malah merubah kulitnya menjadi sekeras batu. Kemudian dengan menggerakkan sedikit tangannya, tiba-tiba dari dalam tanah, muncul beberapa sosok yang memiliki bentuk tubuh seperti Celestia. Sosok-sosok itu terbuat dari batuan dan tanah yang ada di sekeliling dua wanita tersebut.
"Kulitku sekarang sekeras batu, tapi tak seperti batu biasa yang kaku, ini adalah batu fleksibel yang disebut Igneus. Lalatmu tidak bisa menembus batu kan?" Ucap Cel sambil mencemooh Nurin.
"Dan makhluk-makhluk ini adalah Amethys, mereka bisa disebut bonekaku. Aku bisa menyuruh mereka membunuhmu sekarang juga dan Aku yakin bonekamu bukan tandingan boneka milikku."
Nurin hanya meneguk ludah mendengar ucapan Celestia.
"Jadi apa maumu? Kau ingin Aku bekerja sama denganmu?" Tanya Nurin.
"Iya, kita bisa berkerja sama setidaknya sampai ketiga orang lainnya dikalahkan. Setelah tinggal kita berdua, baru kita putuskan siapa yang menjadi pemenang."
"Biar kutebak, kemungkinan besar kau lah yang akan menjadi pemenangnya?"
"Atau kau ingin menentukannya sekarang juga?" Tantang Celestia.
"Tidak, terima kasih." Tolak Nurin. "Tujuanku hanya mengumpulkan 'boneka' sebanyak-banyaknya, dengan adanya battle royale ini justru menciptakan kondisi ideal bagiku, Aku bisa dengan bebas menularkan penyakit dan mengendalikan para manusia rendah itu sesuka hatiku tanpa takut dikejar polisi atau tentara."
"Dunia ini surga bagiku." Ucap Nurin sambil tertawa terkikik.
"Sinting, tapi tak masalah buatku, asal kau membiarkanmu menjadi pemenang, Aku takkan mengganggu obsesimu." Ucap Celestia. "Jika nanti Aku menang, Aku akan meminta Dewa itu untuk membiarkanmu hidup di dunia ini."
"Terus kau sendiri, apa tujuanmu memenangkan pertarungan ini?" Nurin balik bertanya.
Celestia tersenyum tipis. "Kau tidak perlu tahu. Yang perlu kau lakukan hanya membuat kekacauan dan mengumpulkan semua peserta di satu tempat."
Celestia melihat ke sekeliling, dia melihat sebuah bukit di kejauhan. "Arahkan semua 'boneka'mu ke arah bangunan di bukit itu. Biar Aku yang urus sisanya."
Nurin hanya melihat sebentar bukit tersebut, walau tidak yakin dengan kemampuan Celestia, untuk sekarang dia merasa lebih baik untuk mengikuti kemauan wanita batu tersebut.
"Asalkan Aku dibiarkan melakukan semauku, akan kuturuti perintahmu." Jawab Nurin. 'Untuk sekarang.' Tambahnya dalam hati.
•••••
Kembali ke masa sekarang.
"Jadi dia menepati janjinya." Bisik Celestia sambil tersenyum. "Biar kuberitahu kalian sesuatu, yang menyuruh Nurin untuk menggila adalah Aku!"
Luna yang mendengar hal itu kembali ke kesadarannya. "Apa maksudmu?"
"Aku menyuruhnya untuk menyuruhnya mengumpulkan kalian semua di satu tempat, tentu saja dia tidak tahu apa yang mampu kulakukan setelahnya." Jelas Cel.
Baik Luna atau Salvatore menyadari sesuatu yang buruk akan segera terjadi, Salvatore buru-buru menyiapkan sulingnya sementara Luna meraih sniper rifle yang dari tadi ada di punggungnya.
Namun sebelum Sal dan Luna mampu menggunakan senjatanya, Celestia mendahului mereka. Pertama Cel melakukan lagi tendangannya ke arah Salvatore, secara refleks Sal mencoba menangkis dengan tangannya. Tapi tidak disadari Sal, yang diincar Celestia adalah suling yang dipegangnya. Tendangan Cel tepat mengenai suling bambu Cel sehingga membuatnya terlempar agak jauh, tepat di dekat para penduduk yang meronta-ronta mencoba melewati halangan para Amethys.
Setelah selesai dengan Sal, Celestia kemudian beralih ke arah Luna. Luna yang sedang menyiapkan sniper rifle-nya tak sempat membidik sama sekali. Kali ini pun tendangan Cel mengenai tepat pada rifle tersebut sehingga membuatnya terlempar jauh. Luna terkejut melihat hal itu, bukan karena serangannya tapi karena gadis muda tidak percaya, rifle itu dengan mudahnya terlepas dari genggamannya.
Luna pun mencoba mengambil kembali senjatanya, tapi tentu saja tidak semudah itu. Celestia dengan dingin kemudian menghantam sampai berkali-kali kepala dan punggung Luna dengan kedua bilah Butterfly Blade-nya sehingga membuatnya jatuh telungkup.
"Jangan pernah membelakangi musuh! Aku kira kau tahu dasar-dasar pertarungan." Ejek Celestia kepada Luna.
Tapi Luna tidak berhenti, dia kemudian merangkak menuju senapannya terlempar.
"Dan kau juga monyet, tidak butuh jenius untuk tahu kalau suling yang dari tadi kau pegang adalah senjatamu. Sebagai seorang instruktur pertahanan sihir hitam, menurutku kalian berdua adalah petarung yang payah."
Celestia kemudian menyimpan kembali kedua bilah pedangnya ke balik pinggangnya.
"Biar kuperlihatkan pertunjukan menarik."
Celestia kemudian berlutut dan menyentuhkan kedua tangannya ke tanah, terlihat dia berkomat-kamit seperti melafalkan sesuatu mantera. Dia kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas udara, lapisan batu Igneus kembali muncul di seluruh tubuhnya.
"Tanah, air dan udara, dengarlah rintihan anakmu, jadikanlah semua makhluk menjadi batu, Flante Unda Medusa!"
Tubuh Celestia mengeluarkan gelombang ledakan terus menerus merambat melalui udara. Terjadi distorsi ruang pada udara sejauh 1 kilometer setelah Celestia meneriakkan kalimat itu. Sal yang menyadari hal itu merasakan kumisnya berputar-putar tak karuan.
"Irama jenis apalagi ini?" Teriaknya.
Perlahan-lahan semua makluk yang ada di sekitar Celestia, gerakannya semakin melambat, tubuh mereka mulai mengeras. Para penduduk mulai berubah menjadi batu dari kaki sampai ke kepala mereka, termasuk Sal dan Luna yang berusaha meraih senjatanya, mereka berdua pun tak luput dari kutukan yang diteriakkan Cel.
Cel yang melihat semua itu tersenyum lebar. Kutukan batu yang dilakukannya berhasil. Namun tiba-tiba dari belakang Celestia berdiri, terdengar suara mesin pesawat yang semakin lama semakin nyaring. Ketika Cel berbalik untuk melihatnya, dia terperanjat melihat pemandangan yang dilihatnya. Sebuah pesawat jet tempur yang tadi melintasi bukit tempat mereka berada sepertinya kembali untuk mengawasi tempat ini, tapi ketinggian pesawat itu semakin lama semakin menurun.
"Jangan-jangan pilot kapal itu juga berubah menjadi batu."
Tidak ada yang bisa menghentikan jatuhnya pesawat itu, bahkan Celestia. Apalagi setelah melakukan kutukan batu, kondisi tubuh Cel menurun drastis.
Pesawat Jet itu tepat menabrak menara jam, ledakan dahsyat pun terjadi. Tubuh Celestia terlempar keras ke arah para penduduk yang telah menjadi batu.
•••••
Bangunan tua itu runtuh seketika. Asap mengepul dari pesawat jet yang meledak.
Seluruh makhluk hidup yang ada di tanah seketika berubah menjadi batu tanpa terkecuali, Luna, Salvatore dan Nurin yang ada di bawah tanah, dan termasuk orang-orang yang terjangkit, semua terkena kutukan batu yang dilancarkan Celesta. Wanita itu terengah-engah setelah mengeluarkan mantera yang sangat menguras energinya itu, dia pun menutupi wajahnya dan kemudian tertawa terbahak.
"Aku menang, semuanya telah mati membatu, tidak ada yang bisa melawanku sekarang!"
Celestia melihat sekelilingnya telah menjadi dunia batu, tak ada kehidupan, dingin sedingin hatinya. Di melihat posisi Luna yang merangkak, berusaha meraih senapannya, juga monyet raksasa yang sedang meraih sulingnya, keduanya mematung, tapi dia tak melihat keberadaan Enzeru.
"Malaikat polos itu sepertinya sudah dihabisi oleh wanita lalat, dan harusnya si cebol itu sudah membatu juga."
Segera setelahnya, tubuh Celestia ambruk, kulit tubuh Cel yang sebelumnya dilapisi sihir batu Igneus perlahan menghilang, kulit di seluruh tubuhnya kembali menjadi kulit manusia biasa. Dia menjadi sulit bergerak karena kehilangan tenaga, tubuhnya bergetar akibat syaraf motorisnya terganggu.
"Efek Spell Stone selalu membuatku kesulitan. Tapi sebanding dengan hasil yang kudapat." Ucap Cel lega.
Ketika Celestia sedang berusaha mengistirahatkan tubuhnya, muncul dari kegelapan malam, sesosok bayangan makhluk bersayap mendekatinya. Celestia yang menyadari hal itu berusaha untuk berdiri.
"Aku pemenangnya, benar kan, Hyvt." Ucap Cel tersenyum.
Tapi senyuman seketika itu hilang ketika melihat makhluk tersebut membawa sebuah sabit besar, dan terutama setelah melihat wajah makhluk bersayap itu. Ketakutan segera melanda jiwanya.
"Enzeru!"
"Aku mendengar semuanya dari Nurin." Ucap Enzeru.
"Ba-Bagaimana kau bisa selamat?" Tanya Cel. "Enzeru dengar! Aku—" Belum sempat Celestia menyelesaikan perkataannya, sebuah tebasan dari Death Scythe yang dilancarkan Enzeru, melewati leher Celestia dengan cepat.
Mata Celestia terbelalak, sementara bibirnya masih bergetar ketika mata sabit itu kembali dalam posisi diamnya. Sedetik kemudian, kepala Cel terlepas dan jatuh mengelinding menjauhi tubuhnya yang masih berdiri.
"Setidaknya Aku menepati janjiku, kau tidak mati secara menyakitkan." Ucap Enzeru dingin, terlihat kesedihan meliputi wajahnya.
Bersamaan dengan jatuhnya tubuh tanpa kepala Cel, kutukan batu pun terangkat, satu per satu orang-orang yang menjadi batu kembali seperti semula. Para penduduk yang menjadi boneka Nurin, mengerang merintih kesakitan, gerakan mereka kaku dan bahkan terlihat kesulitan untuk berdiri.
Luna dan Salvatore yang kembali seperti semula pun sempat terengah-engah. Luna kembali merangkak menuju sniper rifle-nya, "Aku harus cepat mengambil senjataku."
"Gila, Irama yang menakutkan, wanita itu berbahaya." Ucap Salvatore tak mengetahui kalau Celestia sudah mati. Sementara dia celingak celinguk, kumisnya kembali bergetar.
Enzeru masih tak bergerak di tempat tubuh Cel, dia memegangi dadanya. "Aku terus-terusan menggunakan Sayap dan Black Light, kekuatanku semakin menghilang."
Di saat Enzeru dan Salvatore sedang mengatur nafasnya, dan Luna yang akhirnya berhasil meraih sniper rifle-nya, bersamaan dengan itu, para penduduk yang terjangkit kembali bergerak tidak beraturan. Mereka kembali berusaha menyerang mereka bertiga.
"Wanita itu masih hidup." Ucap Enzeru.
"Siapa yang masih hidup?" Salvatore tidak perlu lama menunggu jawabannya karena hidungnya kembali mencium bau busuk sebelumnya. "Arrgh! Bau busuk ini lagi."
Sal pun teringat akan sulingnya dan kembali mencarinya.
•••••
Nurin terbatuk-batuk setelah terbebas dari kutukan batu Celestia. Dia terkejut ketika melihat ruangan di sekitarnya telah hancur, lapisan tanah di atas ruangan tersebut ambruk ke bawah dan melahirkan sebuah lubang yang menuju ke permukaan.
"Apa yang terjadi? Mana lalat-lalatku? Mana bonekaku?"
Nurin kemudian perlahan memanjat reruntuhan bangunan yang ambruk, tak butuh waktu lama bagi si wanita lalat untuk keluar dari lubang yang tercipta akibat ledakan. Sesampainya di luar, dia melihat ribuan bonekanya telah berkumpul di puncak bukit tersebut.
Di samping para bonekanya, dia juga melihat seekor monyet raksasa, gadis yang memegang senjata, dia juga melihat mayat Celestia yang telah kehilangan kepalanya, dia menyeringai puas melihat kematian Celestia yang mengenaskan.
Dan terakhir tentu saja dia melihat Enzeru yang memegangi dadanya, tanpa pikir panjang dia memerintahkan para lalat parasit yang mendiami kepala para penduduk untuk menyerang Enzeru secara bersamaan. Lalat-lalat itu keluar meninggalkan tubuh inangnya dan secara bersamaan menyerang Enzeru yang tak siap.
Selain lalat, Nurin juga memerintahkan pasukan bonekanya untuk menahan tubuh Enzeru supaya tidak meyelam ke dalam bayangan lagi.
"Kali ini tidak akan kubiarkan, matilah kau!"
Nurin berteriak sambil tertawa mengerikan, melihat daging tubuh Enzeru sedikit demi sedikit terkoyak, dilahap oleh gerombolan lalat pemakan daging tersebut.
•••••
Enzeru tidak bisa berbuat apa-apa, otot-otot tangan yang memegang sabitnya pun telah habis dimakan, dia bahkan tidak sempat berkata apa-apa.
Sebagai manusia dia telah merasakan banyak emosi, perasaan senang, sedih dan marah. Akhirnya dia menyadari, dirinya sebagai malaikat tidak membutuhkan semua sifat manusiawi seperti itu. Dia tidak mau berkata apa-apa, dia menerima ini sebagai kematian dirinya, kematian tubuh manusianya. Yang dia inginkan sekarang hanyalah pulang menghadap Tuhannya.
Tubuh Enzeru hanya menyisakan tulang-tulang kotor, sisa daging dan organ yang masih menempel tidak lepas dari kebuasan lalat pembunuh. Tapi anehnya tak ada darah keluar dari tubuh itu.
Salvatore yang melihat kejadian sadis itu hanya terdiam ngeri, seumur hidupnya dia belum penah menyaksikan hal seperti ini. Dia melihat Malaikat muda itu dimakan hidup-hidup, tapi Sal tak mendengar sedikitpun erangan kesakitan.
Salvatore kemudian melirik Luna, dilihatnya gadis itu menatap tajam Nurin yang masih asyik menikmati kemenangannya terhadap Enzeru. Sal kemudian memanggil gadis belia tersebut. Luna hanya mengangguk mendengar namanya dipanggil Sal.
Tangan Sal menggenggam erat sulingnya, kemudian mendekatkan lubang suling ke mulutnya dan memejamkan matanya. Dia pun mulai melantunkan sebuah tembang dari penyanyi dangdut legendaris yang berasal dari di dunianya.
(Darah muda darahnya para remaja
Yang selalu merasa gagah
Tak pernah mau mengalah
Masa muda masa yang berapi-api
Yang maunya menang sendiri
Walau salah tak perduli
Darah muda
Biasanya para remaja
Berpikirnya sekali saja
Tanpa menghiraukan akibatnya
Wahai kawan para remaja
Waspadalah dalam melangkah
Agar tidak menyesal akhirnya)
Alunan nada yang dimainkan Sal terdengar merdu mengalir melewati dinginnya malam. Nurin yang mendengar suara musik tersebut mengalihkan perhatiannya pada Salvatore.
"Apa yang kau lakukan? Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu?"
Nurin menghampiri Sal yang sedang khusyu memainkan sulingnya. "Berikutnya adalah kau. Tapi sebelumnya..."
Perhatian Nurin beralih kepada Luna yang sedang bersiap membidiknya.
"Kau kira Aku akan membiarkanmu begitu saja?" Nurin kemudian mendekati Luna yang sedang dalam posisi terduduk. Dia lalu menggerakkan tangannya, memerintahkan lalat-lalat pemakan daging kesayangannya untuk menyerang Luna.
Luna yang sedang bersiap membidik kehilangan konsentrasinya melihat kedatangan lalat-lalat tersebut. Tapi kemudian lalat-lalat itu hanya terbang melewatinya, dan kemudian bergerak tak beraturan di udara. Luna heran melihat, tapi saat Luna melihat kembali ke arah Nurin, gadis berusia 14 tahun itu hanya bengong melihat kelakuan si wanita lalat.
Dilihatnya Nurin malah asyik bergoyang, wanita itu bergoyang mengikuti irama dari musik yang dimainkan Salvatore melalui sulingnya. Yang lebih membuat Luna bengong adalah para penduduk pun mulai mengikuti goyangan Nurin, mereka seakan bisa mendengar musik yang dimainkan oleh Salvatore.
Luna tidak bisa berkomentar apa-apa melihat hal itu. Namun pikirannya kembali terfokus pada apa yang akan dia lakukan sebelumnya, pada apa yang harus dia lakukan sekarang.
Luna menggenggam senapannya dengan erat, mengarahkan sniper rifle merk AWM itu tepat ke arah kepala Nurin. Dan tanpa mengulur waktu, Luna menembakkan sniper rifle-nya.
Peluru .300 Winchester Magnum melesat keluar dengan cepat dari selongsongnya dan langsung menembus kepala Nurin. Tubuh si wanita lalat terhempas jatuh tanpa bersuara.
"Point Blank. Sungguh memalukan." Ucap Luna seraya menjatuhkan sniper rifle tersebut.
Bersamaan dengan kematian Nurin, semua penduduk yang telah terjangkit lalat Nurin, secara serempak mulai berjatuhan.
Sal pun menghentikan musiknya, "Inilah Muse Koplo tingkat Raja, dari tembang Sang Ksatria Bergitar, Rambo Irama."
•••••
Salvatore berdiri gagah di halaman sebuah gedung yang porak poranda, badannya tidak bisa dikatakan tegak tapi caranya berdiri menunjukkan aroma keangkuhan.
Kepulan asap masih keluar dari reruntuhan gedung. Suasana di pinggiran kota tempat gedung berdiri menjadi semakin hening sekaligus mencekam. Ratusan, atau mungkin ribuan mayat bergelimpangan di lingkungan sekitar gedung. Beberapa sosok unik terlihat terkapar dengam tubuh yang mengenaskan.
"Mungkin inilah yang disebut Last Man Standing," ucap Sal berusaha terlihat keren. "tapi Aku kan bukan man, Aku ini monyet!"
Salvatore kemudian bergegas menghampiri Luna yang masih terbaring.
"Kau tidak apa-apa, gadis kecil." Salvatore memeriksa kondisi Luna, dan dia cukup terkejut ketika Luna telah kehilangan kaki kirinya.
"Apa yang terjadi? Apa ini sewaktu bertarung melawan si wanita batu?"
"Aku tidak tahu, sewaktu terbebas dari kutukan wanita itu, Aku sudah kehilangan kakiku."
Sal coba menganalisa yang terjadi, dia melihat sekeliling dan kemudian terkejut ketika melihat menara jam itu telah runtuh.
"Sewaktu kita membatu, sepertinya terjadi ledakan yang menghancurkan menara itu." Ucap Sal.
Luna tidak berniat menjawab perkataan Sal, gadis itu hanya terdiam, seluruh emosinya merasa telah habis terkuras, dia pun kemudian menangis.
"Terasa sakit ya? Aku punya musik yang menyembuhkan luka, Muse Resital namanya. Tapi Aku tidak tahu apa bisa menumbuhkan bagian tubuh yang hilang."
Sal kembali menempelkan suling ke mulutnya, dia pun mulai meniup suling tersebut. Alunan nada terdengar dari suling tesebut, tapi entah kenapa Sal merasa ada yang kurang.
"Aneh, kenapa Aku tidak bisa mengaktifkan Muse-nya?"
Sal kemudian tersadar, kumisnya telah layu. Sal tidak bisa merasakan lagi energi Irama di dunia ini,
"Iramanya menghilang, apa karena menaranya telah hancur?" Ucap Sal kebingungan. "Sial, sepertinya Iramanya sudah habis terpakai saat mengeluarkan Muse Koplo barusan. Gimana nih?"
"Sudahlah." Ucap Luna. "Aku tak layak untuk diselamatkan, karena Aku telah gagal sebagai pelindung kota ini. Aku tak layak—"
Sal memandang Luna, gadis itu terlihat lelah untuk usianya.
"Bagiku kau terlihat seperti anak kecil, jadi gak usah sok dewasa gitu!"
Luna hanya diam mendengar kata-kata Sal, gadis itu kemudian memandang bulan yang masih bercahaya di langit malam itu.
"Kau mengingatkanku pada satu hal yang paling kubenci." Ucap Luna.
"Dan apa itu?" Tanya Sal.
"Matahari." Jawab Luna singkat.
Sal hanya mendengus mendengar ucapan si gadis, dia tak berniat membantah, pada kenyataannya rambut afro warna kuning miliknya sedikit banyak memang bisa dikatakan mirip matahari.
"Alasannya kenapa? Apa sang mentari punya salah padamu?"
"Sinarnya terlalu menyilaukan, Aku lebih menyukai bulan."
"Hmm, apa kau sadar kalau cahaya bulan berasal dari pantulan sinar matahari juga?" Ucap Sal.
Luna tidak menghiraukan perkataan Sal. "Nyanyikan sebuah lagu untukku, lagu tentang bulan."
"Lagu yang sempat kumainkan waktu di atap menara itu gimana?"
"Jangan, lagu itu hanya membuatku sedih, lagu itu mengingatkanku pada mendinag ibuku... Nyanyikan untukku lagu tentang bulan, tapi yang lebih ceria." Pinta Luna.
"Hmm, baiklah, kebetulan Aku punya lagu yang tepat. Ini lagu yang dinyanyikan penyanyi favoritku, Frank Sinarterang, ini lagu tentang cinta."
Sal pun sekali lagi memainkan sulingnya, alunan merdu suling terdengar ke seantero kota yang telah mati.
(Fly me to the moon
And let me play among the stars
Let me see what spring is like
On Jupiter and Mars
In other words, hold my hand
In other words, baby, kiss me
Fill my heart with song
And let me sing forever more
You are all I long for
All I worship and adore
In other words, please be true
In other words, I love you)
Ketika Sal menyelesaikan lagunya, "Ah iya, kita masih janji utnuk pergi ke bulan itu kan?"
Namun dilihatnya Luna telah menutup mata dan tertidur selamanya.
"Kalau saja kita bertemu di dunia yang lain, dan di kesempatan yang lain, Aku mungkin akan mengangkatmu anak."
Sal kemudian berdiri, berjalan menjauh dari tempat Luna berbaring. Di kejauhan tampak sosok makhluk bersayap mendekatinya.
•••••
[Ekstra] Prolog: Ingatan yang Samar
Beberapa bulan sebelumnya...
Salvatore yang duduk bersantai bersama temannya, Dom Koretto si Domba Kikir, dikejutkan dengan sebuah artikel di koran Tribun Galaksi yang iseng dibacanya.
"Apa ini?!" Tanya Sal.
"Itu koran." Jawab Dom dengan asal.
"Iya tahu, tapi lihat berita ini, di sini tertulis kalau Planet Krismon meledak!"
"Ng, berita itu sudah lewat seminggu, ini koran seminggu yang lalu tahu, padahal seantero Suling Sakti cukup heboh lho, planet Krismon kan tempat berdirinya Bank Central Antariksa." Jelas Dom. "Ah, seingatku kau pernah bilang kalau kau dulu tinggal di planet itu kan?"
"Aku punya janji dengan seseorang di planet itu." Sal merasa tak percaya mendengar berita tersebut. "Dom, Aku harus bertemu dengan dia, tolong bantu Aku!"
"Gak mungkin bisa, Sal." Jawab Dom. "Temanmu itu pasti sudah mati bersamaan dengan meledaknya planet itu. Di koran diberitakan kalau tidak ada satupun yang selamat."
"Aku tetap harus bertemu dengannya, walau Aku harus menyusul sampai ke dunia kematian sekalipun, Aku harus bertemu dengan orang itu!" Seru Sal dengan tegas.
"Ap--" Dom terkejut mendengar ucapan temannya itu, dia tahu bagaimana keras kepalanya Sal, tapi baginya ini terlalu berlebihan. "Kau gila ya?! Kau sadar apa yang barusan kau ucapkan, itu sama saja bunuh diri tahu!"
"Sebenarnya janji apa yang kau buat dengan orang itu, dan siapa sebenarnya dia?" Tanya Dom kemudian.
Sal terdiam sejenak, matanya menatap tajam memandang jauh ke angkasa. "Dia adalah orang yang telah membuatku patah hati."
"Lebay." Balas Dom singkat.
•••••
Singkat cerita, setelah mencari cara kesana kemari, Sal dan Dom akhirnya berhasil mendapatkan sebuah artifak kuno bernama The Elder Scroll of Kaditukadieu.
"Konon dengan membaca lembaran kuno tersebut, sambil membayangkan suatu benda atau wajah seseorang, si pembaca bisa langsung berpindah ke tempat benda atau orang tersebut berada." Jelas Sal.
"Gila, kita mungkin satu-satunya orang yang berani merampok rumah Ki Joko Bieber hanya untuk mendapat lembaran kertas yang kayaknya gak berharga ini." Ucap Dom dengan tegang. "Kita pasti akan diburu Si Bonek Pemburu dari Planet Suraturnius, Ling The Cakot!"
"Dan bahkan kita gak tahu, apa lembaran ini beneran punya irama yang kau maksud atau gak?" Lanjut Dom.
"Sekarang waktu yang tepat untuk mengetahuinya kan?" Balas Sal dengan wajah serius.
"Silangkan jari." Tambah Dom.
"Kau gak punya jari, kau kan domba."
Mereka berdua saling berpandangan, ucapan tadi harusnya sebuah candaan, tapi tak satupun dari mereka berdua yang ingin tertawa.
"Hei, kalau-kalau Aku gak selamat, tolong kau jaga dua muridku, Astrella dan Lody Tomiya, mereka berdua musisi muda berbakat, calon bintang." Pinta Sal.
"Oi, kau tahu kan mottoku, 'I live my life dari satu perempatan lampu merah ke perempatan lampu merah', Aku gak mungkin bisa menjadi guru pengantimu."
"Lho bukannya mottomu itu darmaji, dahar lima ngaku hiji?"
"Enak aja, itu ente aja kali Sal."
Keduanya kembali terdiam.
"Aku gak minta kau jadi guru mereka, Aku hanya ingin kau menjaga mereka, merawat mereka seperti adikmu sendiri, Aku titip mereka berdua padamu."
Dom hanya mengangguk mendengar ucapan Sal, keduanya kemudian berpelukan, bukan untuk sok romantis tapi hanya untuk menyembunyikan mata mereka yang mulai berkaca-kaca.
"Good luck, Sal."
"Iya."
Sal membuka lembaran kuno yang sedari tadi dipegangnya. Dia cukup terkejut melihat isi lembaran itu, sebuah aransemen lagu ternyata tertulis di sana. Namun nada yang tertera di lembaran tersebut tampak asing di mata Sal.
Baik Sal maupun Dom saling berpandangan, keduanya meneguk ludah masing-masing. Akhirnya Sal memberanikan diri untuk memainkan sulingnya mengikuti kunci-kunci nada yang ada di lembaran itu.
Dan tak berapa lama lembaran kuno tersebut mulai mengeluarkan asap hitam dengan bau yang tidak sedap, seakan mempunyai nyawa, asap tersebut kemudian menyelimuti tubuh Sal. Sal yang menghirup asap hitam tersebut kemudian terkapar lemas.
Nafas Sal tak teratur dan kumisnya bergetar hebat. Dom yang melihat kondisi sahabatnya itu hanya bisa berteriak-teriak memanggil namanya.
Sesaat kemudian jantung Sal berhenti berdetak dan dia pun menghembuskan nafas terakhirnya sambil memegang erat suling bambu kesayangannya. Pada detik itu Salvatore Jackson telah mati.
•••••
Sal membuka matanya dengan berat, dia merasakan sangat sulit untuk melakukan hal yang semestinya ringan tersebut. Bukan karena dia mengantuk atau semacamnya, tapi karena sebuah tekanan berhawa dingin menerpa wajah dan seluruh tubuhnya. Itu adalah tekanan yang disebabkan oleh tiupan angin yang sangat kencang dan menerpa tubuhnya dari bawah. Atau lebih tepatnya tubuhnyalah yang sedang melawan angin, karena tubuh Sal sedang dalam keadaan jatuh bebas.
Seketika Sal menjadi panik. "Apa-apaan ini? Inikah dunia kematian? Gak seperti yang kubayangkan."
Matanya melihat sekeliling, dari arah dia jatuh dilihatnya gumpalan awan berwarna ungu yang menutupi seluruh permukaan langit. Awan ungu itu sangat luas seperti tak berujung. Sementara di bawah terlihat daratan berwarna merah, ataukah sebuah lautan berwarna merah, kedua mata Sal bahkan tak bisa membedakannya. Tapi yang jelas jarak dari awan sampai ke bawah bisa dibilang sangat jauh.
Tapi yang lebih membuatnya terkejut, ternyata bukan hanya dia yang terjatuh ke daratan atau lautan merah itu. Di sampingnya, di sepanjang langit, terdapat beratus-ratus atau beribu-ribu makhluk yang juga ikut terjatuh. Beberapa dari mereka jatuh dengan cepat, beberapa lainnya jatuh dalam keadaan terbakar. Dan sisanya terkena sambaran petir secara berulang-ulang.
"Kenapa dengan mereka? Apa itu yang namanya siksa alam kubur?" Ucap Sal sembari mengingat-ngingat dosa yang banyak dia lakukan selama hidup. "Tapi ngomong-ngomong, mau sampai kapan Aku terjatuh gini?"
Tiba-tiba dari kejauhan tampak sesosok makhluk merah bersayap mendekati Sal dengan kecepatan tinggi, belum sempat Sal membuka mulut, makhluk itu menyambar tubuh Sal yang tak bisa berbuat apa-apa.
Kejadian selanjutnya seperti yang sudah diketahui semua. Pemenang Ronde 1 dari Grup I adalah Salvatore Jackson.
Huhu, kayanya siapapun yang make pov3 pindah" fokus karakter dengan cerita dibagi part" gini otomatis dapet poin plus dari saya.
ReplyDeleteSaya juga seneng dengan twistnya kalau ternyata mastermind-nya bukan Nurin, tapi Celestia. Cuma kok begit udah outbreak, Celestia malah ngumumin 'akulah pelakunya'? Kalo emang mau licik kenapa ga sekalian tikam aja Sal sama Luna dari belakang dengan ga nge-reveal rencananya?
Meski tulisan ini panjang, saya lancar tanpa skip ngebacanya. Unsur komediknya ga gitu mengganggu suasana, cuma saya bingung kok prolog malah ditaro di akhir? Disebut 'extra' lebih cocok kayanya
Btw, Enzeru berasa lebih keren daripada Sal di cerita ini www
8/10
Tercatat
DeleteEuh, pertama-tama, itu kenapa judulnya kayaknya sering jadi 'Salvator' ya, kurang 'e', hahaha. Salvator kedengeran sedikit lebih keren sih :p
ReplyDeleteBacanya lumayan enak, penggambaran karakternya bagus, contohnya Cel. Di awal-awal dia pake nama sendiri sebagai kata ganti aku, kayak tokoh2 anime cewe manja/polos. Ini pas banget sama sifatnya yang emang suka dandan. Si Enzeru sampe nyangka dia tokoh anime, ga nyangka juga dia bakal apal sama yang begituan XD
Unsur komedinya seger, banyak parodi. Ada toko K-On, WWZ, Elder Scroll Kaditukadieu (mengingat bionya kang dendi yg katanya suka Skyrim). Penggunaan lagu juga, kayak darah muda (#OneDoesNotSimply baca liriknya tanpa nyanyiin lagunya dalam hati), sama lagu fly me to the moon & ambilkan bulanku yg beneran pas buat pertemuan Sal sama Luna.
Waktu Sal bilang dia bukan man tapi monyet juga bikin ngakak XD tapi kirain dia bakal lebih milih disebut Meteo daripada monyet, lho. Tapi kalo gitu judulnya jadi kurang lucu sih.
Dan setuju si Enzeru lebih keren di sini, sialnya authornya sendiri gabisa bikin dia sekeren ini DX /pecut!
8/10
Tercatat
DeleteWahahaha!! Salvatore keren!!
ReplyDeleteSaya enak bacanya, dan karakternya masing masing digambarkan secara menarik. Jokesnya juga dapet (sampe senyum-seyum sendiri)
Btw, 2 orang diatas bilang Enzeru lebih keren disini dan saya setuju :v
8.5/10
Tercatat
DeleteO ho ho ho hon! Moi ngakak itu ada lagu Rhoma Irama segala. Siaut. Salvator keren dah. Jokenya oke, narasinya juga oke. 8 deh.
ReplyDeleteTercatat
Delete"This is fun. Reading this short story is fun." >.<
ReplyDeleteselain Typo penempatan kata sama nama orang yang entah kenapa ketuker-tuker, Umi enggak nemuin hal lain yang bisa Umi jadiin bahan komen.
Jadi biar ga di anulir sama om panitia yang galak, Umi kasih kesan aja yah :
- sama kayak om Adham >.< Umi ngakak pas beberapa kali lagu kakek Rhoma Irama (atau Rambo Irama) dinyanyiin
- belum lagi joke mengenai kata 'om' dan beberapa joke lainnya yang tahu tempat, cerita ini jadi lucu dan fresh. Mungkin cerita ini jadi cerita komedi pertama yang bisa Umi nikmatin
Karena kata Om panitia Boleh kasih koma, jadi Umi kasih 8.9/10 dari Umi >.< (1.1 buat Typo -_-)
Tunggu.. Apa ini komedi? Karena ini sukses menyegarkan hari saya.
ReplyDeleteHahaha....
Istana disney.. salvatore jadi punya logat sunda(?)
dan muncul Roma--Rambo Irama?
LOLOL
Bahasanya santai tapi cukup serius.
Tulisannya enak diikuti meski fontnya gede dan sumpah, hampir wall of text
Selain typo, saya ngga akan komplen deh
+8.5
sebelumnya, saya mau balas komentar yg ada di canon saya ya kak...
ReplyDelete*kalo di canon saya kakak bilang kalo salvatorenya keren bgt, di sini lunanya imut bgt :3
langsung aja ya kak...
1. typo
2. guyonannya koplak bgt kak XD
3. battlenya ngalir
4. pembagian partnya yang saya suka. entah kenapa saya setipe ama kak sam :3. saya udah sering ketemu pembagian part seperti ini, tapi menurut saya, ini benar2 memorable --> selain punya sjena. bedanya, sjena ditulis dg lebih serius, sedangkan ini santai. saya suka
nilainya: 8.5. hehehe...