---
Akan kuceritakan pada kalian, sebuah kisah.
Apakah kalian tahu ada sepasang kekasih yang begitu kuatnya cinta di antara keduanya sehingga sang Maut pun tak mampu memisahkan cinta itu?
Pernahkah kalian mendengar seorang ibu yang rasa sayangnya kepada keluarga mampu mengalahkan akal sehatnya, menghapus rasa kasihannya terhadap nyawa orang lain?
Atau mungkin kalian suka musik? Ahli memainkan alat musik? Bagaimana jika kukatakan pada kalian kalau kemampuan musik kalian tak ada apa-apanya dibandingkan kelihaian seekor monyet tampan dalam berseruling?
Jika kalian senang bermain air, kurasa kalian pun tak akan mampu mengalahkan kecintaan suatu makhluk yang hidup-matinya selalu berurusan dengan air. Makhluk ini, kukatakan saja, akan membuat kalian berpikir dua kali untuk menyia-nyiakan air bersih di rumah.
Kemudian ada suatu boneka beruang yang mampu mengalahkan beruang manapun di dunia ini. Ya, boneka ini bisa membuat beruang asli pun menangis. Boneka ini pantas dilabeli "buas". Pernah lihat boneka beruang yang seperti ini?
Dan bagaimana seandainya mereka semua—sepasang kekasih, sang ibu, si pemusik, makhluk air, dan boneka beruang—ditandingkan untuk saling bertahan melawan godaan?
Bukan godaan biasa. Ini adalah godaan yang sudah menjerat begitu banyaknya makhluk berakal sehingga mereka malah mengabaikan akal itu. Godaan yang membuat kalian tidak ingin melakukan apa-apa.
Kemalasan.
Apakah kalian juga punya masalah mengatasi rasa malas? Jiwa-jiwa tangguh yang akan segera kuceritakan pun memiliki masalah yang sama. Tetapi pada akhirnya, mereka berjuang mengalahkan godaan itu.
Mungkin kalian bisa mengambil hikmah dari mereka. Mungkin juga tidak.
Dan terakhir, bagaimana kalau kelimanya, yang tadinya hanya bergulat melawan kemalasan, malah terjerumus dalam pertempuran hidup-mati yang tak terelakkan?
Kukatakan saja, ini akan menjadi kisah yang panjang. Apa kalian siap? Mari kita mulai.
Bab 1—Rayuan Pulau Pasir
<1>
Adalah sang Dewata. Namanya sulit untuk diucapkan. Aku yakin, lidah kalian pun pasti tergigit sewaktu mengucapkan nama Dewata itu untuk pertama kalinya. Oleh sebab itu, mari kita simpan dulu nama sang Dewata untuk lain kesempatan. Sayangi lidah kalian.
Masalahnya adalah, sang Dewata memiliki hobi buruk. Dia senang bermain-main dengan nyawa. Mereka-mereka yang sedianya sudah mati malah dibangkitkan-Nya hanya demi sebuah hiburan.
Ya. Pulau ini pun merupakan satu dari sekian ribu taman bermain sang Dewata. Pulau ini adalah satu dari yang tujuh pulau penggoda iman.
Namanya ... sesulit nama sang Dewata. Mari kita sebut saja pulau ini sebagai "Pulau Yang Terlalu Nyaman". Dan kita bisa sama-sama berdoa agar sang Dewata suatu saat nanti lebih punya "citarasa" dalam menamakan sesuatu.
Mari kita lihat.
Di seluruh pulau ini, terciumlah bau butiran pasir yang diterbangkan angin. Gundukan pasir satu, gundukan pasir dua, gundukan pasir tiga ... kalian bisa terus menghitung sampai beratus ribu gundukan.
Mereka tak pernah sama, bukit ataupun gunung pasir ini. Mereka selalu berganti muka. Jangan heran kalau sebentar saja kalian memalingkan muka, maka suatu bukit pasir telah menjadi gunung pasir ataupun sebaliknya.
Sejak awal, pasir-pasir itu telah mempermainkan akal sehat kalian.
Tambahan. Suhu pulau ini tak terlalu bersahabat untuk mereka yang menyukai kesejukan. Jika kalian menjual kipas angin, pasti akan laku keras di sini. Itu kalau sekiranya pulau ini berpenduduk.
Nyatanya tidak.
Seperti yang telah kusinggung tadi, ini adalah pulau yang fungsi satu-satunya hanyalah sebagai panggung untuk menyuguhkan hiburan bagi sang Dewata.
Dan kuberi tahu pada kalian. Sang Dewata telah menyiapkan suatu tipuan licik. Dia telah menyihir pulau ini.
Memangnya kalian pikir dari mana nama "Pulau Yang Terlalu Nyaman" itu berasal? Kukatakan saja. Kalian sungguh tidak berharap untuk menyamankan diri di pulau ini.
Pulau ini adalah tentang semua tentang ilusi yang melenyapkan logika.
Mari kita lihat, siapa saja yang termakan muslihat ini.
<2>
Bagi mereka, satu adalah dua. Dan sepasang juga bisa berarti satu. Beberapa menyebut mereka sebagai monster. Tapi mereka jauh lebih berbahaya dari itu.
Sesungguhnya mereka adalah monster di antara monster.
Sebut mereka palsu. Mereka sesungguhnya terlahir sebagai manusia. Tetapi cinta telah membutakan mereka. Ataukah sebaliknya? Cinta justru telah memberi mereka pandangan baru.
Dullahan adalah nama monster pencabut nyawa itu, dulunya. Dia tidak memiliki kepala. Dan sekarang, Dullahan tidak lagi menjadi Dullahan yang dulu. Bisa kalian bayangkan? Sekarang dia memiliki dua kepala!
Claude dan Claudia telah mengakali kematian mereka. Tubuh Dullahan, entah dengan akal bulus seperti apa, telah mereka kuasai. Dipakailah tubuh itu secara bergantian. Terkadang Dullahan itu adalah Claude, terkadang Claudia.
Sesekali tubuh mereka dibiarkan berjalan tanpa kepala. Sebab, pada dasarnya itu tetaplah Dullahan. Claude dan Claudia-lah yang menjadi kepalanya. Mereka punya kebebasan untuk memasang-lepas kepala itu. Barangkali, semua orang akan menjerit ngeri kalau melihat Claude dan Claudia sedang memainkan trik lepas-pasang kepala itu.
Tadinya mereka merasa telah mendapatkan keabadian. Seabad lebih mereka hidup bersenang-senang, melawan entah berapa banyak monster, serta memenggal entah berapa banyak kepala.
Tetapi toh mereka mati juga.
Namun sekali lagi, cinta kembali memotivasi mereka. Di alam kematian pun mereka selalu ingin bersama.
Masalahnya adalah sang Dewata sudah menjadikan keduanya sebagai satu dari sekian banyak penghibur. Sang Dewata tak ingin bosan. Taruhannya adalah kebersamaan Claude dan Claudia. Keberadaan mereka bisa lenyap, bersama dengan lenyapnya cinta mereka.
Setelah satu kali lolos dari panggung hiburan serupa, kali ini Dullahan Berkepala Dua itu bersiap mengatasi babak baru, menghadapi lawan berbeda. Kali ini arenanya adalah pulau berpasir ini.
Tetapi mereka beruntung.
Mereka adalah satu-satunya peserta yang diturunkan di tengah pulau. Ada apa di sana? Bisa kukatakan, itu adalah surga yang selalu diimpikan oleh para penjelajah padang pasir di mana pun.
Oase.
Dan tanpa mereka sadari, ilusi sang pulau telah tersenyum pada mereka. Claude dan Claudia pun ikut tersenyum.
"Claude, kurasa kita berada di tempat yang salah."
"Kenapa kau berkata demikian, tuan putri?"
Yang disapa sebagai tuan putri pun tersipu. Dia senang kalau sang kekasih memanggilnya demikian.
"Bukan begitu, pangeranku," balas Claudia. "Lihat saja. Setelah alam kematian merah seperti darah, kemudian dunia dengan lubang dimensi di sana-sini, sekarang malah ...."
"Ya. Aku pun seperti tak percaya dengan mataku sendiri. Tapi sepertinya kita memang sedang di hotel."
Angin berpasir telah berhembus kepada mereka. Di mata keduanya yang satu nyawa dan satu rasa, oase ini telah berganti wujud. Ini seperti sebuah tempat mewah untuk bersantai. Hotel bintang lima di pinggir pantai.
"Tinggi sekali, Claudia," sambil berkata demikian, Claude menengadah. Tangan kanannya terangkat sedikit, menutupi mata dari silaunya cahaya.
Claudia, sebagai kepala saja, kemudian melayang-layang di samping Claude. "Lihat. Lihat, Claude! Ada yang mendekat."
Sekali lagi angin bertiup mengakali penglihatan mereka. Dan telinga mereka pun mendengar apa yang seharusnya tak terdengar.
"Silahkan. Selamat bersenang-senang, Tuan Claude dan Nona Claudia. Untuk hari ini, hotel kami khusus dipesan hanya untuk kesenangan Anda berdua semata. Sekali lagi, hanya Anda berdua. Tak ada pelanggan lain. Maka, nikmatilah bulan madu Anda."
Di mata Claude dan Claudia, tampak seorang pelayan hotel sedang memberikan sambutan.
"Terima kasih," balas Claude dan Claudia berbarengan. Keduanya bahkan tak berprasangka apa-apa. Padahal pelayan itu tak terkejut dengan wujud sang Dullahan. Kepala seorang gadis melayang-layang di udara, ingat itu? Kalian pasti bertanya-tanya, pelatihan seperti apa yang dijalani si pelayan sehingga dia tak gugup ataupun terkejut melayani monster seperti sang Dullahan.
Andai saja pelayan itu nyata.
Dan waktu terus berjalan. Sekarang Claudia yang menempati tubuh mereka. Dia berenang-renang di "pantai", tanpa menyadari kalau itu bukanlah air asin. Claude membiarkan. Sekarang dia hanya berjemur di tepian, menyaksikan senyuman sang kekasih yang selalu manis di matanya.
Sesekali pikiran Claude terusik.
"Hei, Claudia. Apakah kita tidak melupakan sesuatu?"
"Apa?"
"Seperti ... yah, kenapa sebenarnya kita berada di sini?"
"Untuk berbulan madu tentu saja. Masa' kamu lupa, sih? Bukankah yang selalu kita inginkan adalah kebersamaan? Dan tentunya, bersenang-senang."
Tanpa terduga, Claudia menyipratkan air ke arah kekasihnya.
"Hei, tunggu. Ini curang, hahaha," tawa Claude. "Aku tak punya tangan untuk membalasmu."
"Itu deritamu."
Claudia terus menghujani Claude dengan cipratan air. Sang pangeran tak berkutik.
Bagaimanapun, keduanya tampak begitu menikmati momen itu. Sekarang yang muncul adalah sisi kemanusiaan mereka yang paling dalam. Yaitu rasa cinta satu sama lain.
Kali ini, pikiran Claudia yang terusik.
"Tapi benar juga, Claude," katanya sambil menaikkan alis. "Apakah benar kita tidak melupakan sesuatu?"
Claude membalas, "Itu yang dari tadi terbersit di benakku. Tetapi ...."
"Tetapi apa?"
"Entahlah. Aku tak mau memikirkan lebih jauh." Nada bicara Claude terdengar ragu. Tetapi sedetik kemudian, dia kembali tersenyum. "Aku hanya ingin menikmati kebersamaan denganmu. Aku ingin selamanya—"
Dan Claudia sudah kembali menyipratkan air.
"Hei, hei, ayo gantian. Biar aku yang memakai tubuh itu," Claude memelas.
"Dalam mimpimu. Hahaha."
Kalian telah menyaksikan mantra pulau ini. Bisikan angin dan debu padang pasir di sini akan mewujudkan segala kesenangan. Tapi hanya dalam bentuk ilusi.
Bagi Claude dan Claudia, hal yang paling menyenangkan adalah saat bisa bersama, berdua. Mereka sudah mendapatkannya setelah menjadi Dullahan.
Tapi pulau ini mampu memberikan apa yang belum pernah mereka dapatkan. Yaitu waktu santai untuk menikmati kebersamaan itu. Tak pernah, sepanjang seabad usia mereka, Claude dan Claudia lepas dari medan pertempuran. Mereka selalu ada di sana. Kapan mereka bisa memiliki waktu untuk berdua, bersenang-senang, jauh dari pertumpahan darah? Dan inilah saatnya, mereka pikir, untuk menebus semua itu.
Masa bodoh dengan semuanya. Hotel ini, pantai ini, kesenangan ini, semuanya adalah milik mereka. Tak ada salahnya dong, bermalas-malasan sedikit? Begitu yang mereka pikirkan.
Nyatanya mereka sudah terbuai. Sesungguhnya tak pernah ada hotel, pantai, ataupun pelayan. Padahal waktu terus berlalu. Dan saat batas waktu itu habis, mereka akan kehilangan segalanya.
Namun apakah mereka telah kalah?
Jangan buru-buru menyimpulkan. Ini baru permulaan, sekedar perkenalan saja.
Sekarang ada baiknya kita tengok peserta yang lain. Dan kukatakan saja, yang satu ini bukanlah orang yang bisa kalian anggap remeh. Bayangkan kalau ibu kalian marah semarah-marahnya. Dan bayangkan kalau ada wanita yang lebih mengerikan daripada itu.
Mari kita temui dia.
<3>
Namanya adalah Yvika Gunnhildr. Sulit diucapkan? Lebih baik kalian memanggilnya sebagai Bibi Ivy. Sebab dia sudah memiliki seorang anak, meskipun usianya masih muda. Anaknya adalah seorang gadis manis yang bernama Lana.
Sayangnya, maut memisahkan mereka.
Sang ibu, terlalu bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya. Apa yang dilakukan Bibi Ivy sehari-hari? Kalian pasti akan terkejut. Sebab, Bibi Ivy adalah tentara yang garang kalau sedang memegang senjata. Ya, lebih garang daripada anak nakal yang suka mengerjai kalian, sudah pasti.
Bibi Ivy tinggal di suatu tempat nun jauh di sana, yang terkenal dengan teknologi persenjataannya ataupun teknik mantra para penyihirnya. Dan bibi ini bukan sembarang tentara. Dia adalah yang terbaik di antara yang terbaik. Bibi Ivy adalah ketua dari pasukan pengintai.
Seragam militernya, serta seluruh senjata yang menempel di sana, akan langsung membuat kalian mengangkat tangan. Menyerah. Dan satu alat pengintai elektronik di mata kanannya—mirip penutup mata bajak laut—mampu mendeteksi dan mengingat lokasi anak-anak jahat yang layak diberikan pelajaran.
Sudah kubilang 'kan, dia bukan bibi yang bisa kalian remehkan.
Namun resiko terbesar seorang tentara adalah menjemput ajal lebih cepat daripada yang bisa dibayangkan. Tak ada pengecualian, bahkan untuk tentara setangguh Bibi Ivy.
Sekarang, dia hanyalah jiwa yang bermain-main di panggung hiburan sang Dewata. Tapi sang Dewata telah berjanji, kalau Bibi Ivy keluar sebagai pemenang dari rangkaian permainan ini, maka dia akan dihidupkan kembali.
Dia pasti ingin sekali bertemu kembali dengan Lana, putrinya.
Tapi apa kalian menyangka? Ternyata Bibi Ivy sudah menemukannya! Di sini, di pulau ini.
Angin berpasir sudah membiusnya.
Yang ada di hadapan Bibi Ivy adalah sebuah rumah kecil. Itu adalah rumahnya di desa, jauh dari hiruk-pikuk ibukota ataupun kegaduhan barak militer. Itu adalah rumah tempat Bibi Ivy berlibur mengisi waktu luang bersama keluarga kecilnya—suami dan anak.
Begitu pandangan si bibi beralih ke samping kiri dan kanan, yang terlihat hanya bukit rerumputan. Ada sumur tempat dia menimba air untuk keperluan sehari-hari. Ada lapangan datar tempat dia menjemur pakaian, sekaligus tempat untuk sesekali meregangkan sendi dengan berolahraga. Tentu kalian sudah tahu, tentara harus tetap prima dalam kondisi libur pun.
Kemudian Bibi Ivy mendengar pintu rumah yang terbuka dengan perlahan, dan ...
"Mama!"
Mata Bibi Ivy langsung membesar, sedikit berair. Tampak sesosok gadis yang mukanya mirip dengan si bibi, di depan pintu.
"L-Lana? Astaga ... kenapa kamu ...."
Tetapi sosok "Lana" itu sudah berlari memeluk sang bibi. Tentu Bibi Ivy hanya bisa balas memeluk. Sekarang dia benar-benar yakin kalau yang ada di depannya adalah rumahnya.
Air mata Bibi Ivy mengalir begitu deras, dibarengi dengan senyum bahagia. Akhirnya dia bisa bertemu lagi dengan "putri"nya.
Padahal, tanpa disadari tentara tangguh itu, yang dipeluknya sesungguhnya hanyalah kumpulan angin dan debu pasir saja.
Benar-benar dahsyat tipuan sang Dewata. Barangkali di atas sana, Dia hanya tertawa terbahak-bahak. Kalian pasti bisa membayangkan sang Dewata berkata, "Lihat. Sudah kukabulkan keinginanmu untuk bertemu putrimu. Selamat menikmati kebersamaan itu. Hahahaha!"
Kemudian Bibi Ivy mengajak putrinya, sama-sama bersandar di tembok rumah kecil itu. Bibi melepas rompi tentaranya, yang dipenuhi senjata seperti pisau dan pistol. Topi dan penutup mata juga dilepas. Bahkan senapan serbu futuristiknya pun diletakkan begitu saja di tanah. Dia hanya ingin bersantai.
Mereka mengobrol.
"Mana ayahmu, Lana? Mama sudah lama tak melihat muka culunnya. Hihihi."
"Ayah masih sibuk di rumah kakek-nenek, keluarga Yorick."
"Dasar ayahmu itu," omel Bibi Ivy, "padahal mama sudah repot-repot meluangkan waktu bersantai dan pulang ke desa. Sesekali, akan mama ajak ayahmu itu untuk sparring bela diri, biar mama kasih sedikit pelajaran."
"Haha. Ayah pasti kalah kalau sudah berkelahi dengan Mama."
"Hei, itu bukan berkelahi, Lana. Sparring!"
Ya. Bibi Ivy sudah benar-benar melupakan semuanya. Dia telah lupa pada pertempuran yang baru saja dibereskannya beberapa waktu lalu. Bertemu gadis vampir, melawan lelaki pemilik mainan berbahaya, lalu ada juga anak kecil pengendali boneka, dan tentu tak ada yang melupakan bocah punk yang mengerikan itu. Semua memori itu seolah sudah sirna begitu saja.
Bibi Ivy tak sadar, kalau sekarang dirinya masih dalam permainan yang sama. Ronde kedua, tepatnya. Dia masih harus menang dalam ujian ini, untuk menghibur sang Dewata yang punya tabiat buruk.
Tapi sekarang, Bibi Ivy merasa sudah memiliki segalanya. Dan segalanya di sini berarti saat-saat bercanda bersama putri mungilnya. Ingin rasanya bibi itu menghabiskan sepanjang hari, bahkan sepanjang malam, hanya untuk menemani putrinya.
Dan waktu terus saja berlalu.
Sampai pada suatu saat ....
"Mama. Kok Lana merasa semakin panas, ya? Haus, nih."
"Hhhh ... benar juga," Bibi Ivy menyeka keringat. "Dasar. Ini pasti karena industrialisasi di kota sebelah. Mereka mengotori kesejukan desa ini."
"Mama, haus."
"Ah, sebentar. Mama ingat kalau sumur kita punya air jernih yang nikmat."
Sambil tersenyum manis, Bibi Ivy bangkit menuju "sumur" yang tak jauh dari sana. Begitu ditimba, yang terciduk oleh ember bukanlah air. Melainkan pasir saja.
"Hah? Ini benar-benar parah. Aku tak tahu kalau sumur kita bisa kering juga. Apa musim kemarau sudah tiba?"
Dengan kesal, bibi itu membuang semua isi ember. Tentu saja, aslinya tak pernah ada ember dan sumur. Sebenarnya Bibi Ivy hanya mengeruk-ngeruk bukit pasir saja.
"Mama, Lana haus ... dan di rumah tak ada air bersih juga. Lana ingin mandi."
Sementara itu, terdengar putrinya terus merengek.
"Hhhh. Terpaksa, deh," si bibi menghela nafas. "Tunggu sebentar ya, Lana. Mama akan pergi ke sumber mata air di dekat sini. Mama agak lupa tempatnya. Tapi ini tak akan lama kok."
Setelah Bibi Ivy mengelus-elus kepala putrinya, dia pun bergegas pergi. Mungkin karena nalurinya, bibi itu langsung memakai kembali semua perlengkapan militernya dalam waktu singkat.
Dia siap berangkat.
Nah, sekarang bagaimana pendapat kalian? Berbeda dengan Claude dan Claudia, tampaknya Bibi Ivy bisa dengan mudah mengatasi keinginannya untuk menghabiskan waktu bersama anaknya. Godaan itu kalah oleh rasa tanggung jawab sebagai ibu yang ingin mencarikan air untuk putrinya. Sekalipun wujud asli sang putri sesungguhnya hanya khayalan.
Setidaknya, Bibi Ivy tidak bermalas-malasan. Kakinya terus bergerak. Entah kebetulan atau bukan, langkahnya seperti begitu terarah. Hanya berselang beberapa mil di depannya adalah oase itu.
Baru dua peserta. Mungkin kalian bertanya-tanya mana peserta lainnya.
Sekarang kutanya balik, setinggi apa badan kalian?
<4>
Tampan adalah nama aliasnya. Gentleman adalah warna hatinya.
Rambut kribonya bernuansa keemasan. Bahkan biji jambu mete pun tumbuh di pucuk rambut itu, jangan tanya bagaimana bisa. Kumisnya dapat bergetar-getar mendeteksi Irama Semesta. Panggil dia Sal, kependekan dari Salvatore Jackson.
Masih ingat tadi saat kutanya berapa tinggi kalian? Atau mungkin kuganti pertanyaannya, berapa tinggi teman kalian yang paling jangkung? Dan aku yakin, bahkan teman terjangkung kalian pun akan mendongak untuk melihat wajah Sal.
Dia adalah monyet. Ya, monyet yang sangat tinggi. Mungkin semua monyet dari ras Meteo memang tinggi-tinggi. Dia berasal dari tempat yang sangat sangat jauh, tak akan bisa kalian bayangkan. Tapi dia bukan pebasket, meskipun sangat tinggi. Mungkin kalian lupa kalau di awal tadi sempat kusinggung soal monyet yang pandai bermain seruling?
Bahkan saat ini pun, si monyet sudah bersiap meniupkan serulingnya.
Bukan di sembarang tempat. Saat ini Sal sedang berkonser di atas panggung gedung opera. Di hadapannya, seluruh kursi telah penuh terisi. Mereka semua bertepuk tangan.
Mata Sal berkaca-kaca. Agak terharu rupanya dia. Bagi seorang musisi jalanan yang hidup dari perempatan satu ke perempatan lain, bisa tampil di panggung semegah ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
Sal menoleh ke sebelahnya.
Dom Koretto, si Domba Kikir, menyengir. Tanda dia sudah siap.
Sal melirik ke belakang.
Sungguh luar biasa. Gedung opera memang levelnya berbeda. Sudah ada belasan musisi dan penyanyi latar yang siap mengiring. Mereka semua pun telah siap untuk beraksi.
"Oke, Dom. Saatnya kita ajari mereka cara bermusik ala Mustachio."
"Mantap, Sal!"
Setelah itu Sal mengangkat tangan, menyudahi tepuk tangan penonton. Pertunjukan pun dimulai.
"Satu lagu. 'Balada Seorang Biduan' untuk kalian!" seru Sal.
Diawali dengan tabuhan kendang dengan ritme perlahan dari Dom, masuklah ke intro suara seruling yang mendayu-dayu dari Sal. Kemudian keduanya bergantian menyanyikan lirik lagu tersebut, diiringi para penyanyi latar. Beginilah liriknya.
Dari sebuah desa
Berbekal suling tua
Datang ke Ibukota
Dengan penuh harapan
Jadi seorang biduan
Jadi seorang biduan
Kau biduan pujaan
Pujaan tua muda
Kau ditaburi cah'ya
Dan sinar kekaguman
Dan riuhnya tepukan
Dan riuhnya tepukan
Meskipun kau tersenyum
Tapi orang pun tahu
Apa isi hatimu
Tatkala kau lagukan
Lagumu lagu sendu
Perjalanan hidupmu
Ditinggal kekasihmu
Ditinggal kekasihmu
Sal bukan musisi biasa. Dia dianugerahi suara yang begitu jernih, serta seruling yang mampu menghantarkan energi Irama Semesta. Sebut ini sebagai muse, permainan musik yang mampu menggetarkan emosi dan menggugah perasaan. Efeknya jauh mengena di dalam hati.
Lagu balada ini membuat semua penonton terharu. Bahkan airmata Sal pun ikut mengalir.
Lagu ini benar-benar mewakili curahan hatinya yang terdalam. Benaknya mengawang-awang sejenak, mengingat ketika dia masih berusia 18 tahun dan gadis itu masih berusia 15. Dia adalah gadis yang bahkan saat Sal mengingat namanya saja sudah langsung terbayang segala luka sakit hati yang masih membekas sampai sekarang. Bahkan setelah 30 tahun berlalu.
Mengapa oh mengapa? Mengapa dia harus mati?
Tetapi lamunan Sal terbuyarkan oleh tepukan penonton. Mereka berseru-seru, meskipun sambil berlinangan air mata.
"Lagi! Lagi! Lagi!"
"Lagu balada! Beri kami lagu balada yang menusuk hati!"
"Satu lagi!"
Seruan sorak-sorai itu kian meriuh.
Sal tersenyum. Dia melirik ke samping.
"Oi, Dom. Gimana nih? Mereka minta lagu balada lagi. Kita masih ada stok lagu buat dimainkan?"
"Haha, jangan bercanda, Sal. Kau punya SERIBU lagu patah hati. Kau terlalu sering galau, kawan."
"Seribu? Koleksi lagu patah hatiku cuman 979, kok. Suer, deh."
"Sembilan ratus tujuh puluh sembilan. Bulatkan itu jadi seribu. Dasar, Lutung Afro Dekil! Dikasih uang kertas malah minta recehan!"
"Berisik! Daripada kau, Domba yang jari pun tak punya. Mana bisa kau main seruling sepertiku."
"Biarin! Yang penting aku makan di warung pasti bayar. Nggak kayak situ."
"Duh, jangan buka-buka aib kawan sendiri dong," Sal menyengir. "Tapi ngomong-ngomong, gedung opera ini kagak punya pendingin ruangan, ya? Panas sekali."
Selagi mereka berdua saling berbalas kata, ternyata penonton sudah berseru kembali.
"Solo! Mainkan seruling solo!"
"Kami ingin dengar seruling Sal!"
"Sal! Sal! Sal!"
Dom tersenyum, sedangkan Sal menyengir lebar.
"Sori nih, Sobat," cibir Sal, "sepertinya penonton tahu pemusik mana yang mereka inginkan."
"Oke. Oke. Aku nyerah, deh. Ini panggungmu, kawan."
Tepuk tangan bergema meriah, sebelum Sal kembali menenangkan mereka.
"Baiklah. Ini adalah medley dari 'Hometown Sunshine' dan 'The Place I'll Return to Someday'. Khusus untuk kalian semua!"
Dan Sal kembali beraksi, sekalipun badannya merasa begitu gerah. Dia mengalunkan nada-nada dari seruling kesayangannya dengan penuh penghayatan jiwa.
Penonton pun terkesima.
Ini adalah momen yang tak akan bisa Sal lupakan.
Sebab, saat ini dia sedang bermusik di panggung gedung opera yang tidak ada. Dia bermain bersama para pemusik yang tak ada. Dia bersenda gurau dengan sahabatnya yang tak ada. Dan dia melantunkan serulingnya menghadap para penonton yang tak ada.
Semua tak pernah ada. Dari awal, Sal sudah terlena oleh tiupan angin padang pasir di pulau ini.
Pasti kalian akan menganggap Sal gila jika kalian melihatnya sendiri. Begitu asiknya Sal berdiri di gundukan pasir kecil, menghadap bukit ataupun gunung pasir yang dianggapnya sebagai hadirin. Begitu asiknya dia bermusik dengan iringan nada dari angin berpasir yang dianggapnya sebagai para pemusik latar.
Tetapi alunan seruling Sal bukan tanpa makna.
Di tempat yang begitu terbuka seperti ini, suara merdu itu terdengar sampai jauh.
Dan sekarang, kita akan menyaksikan sejauh mana lagu balada itu terbawa angin.
<5>
"Nguooh! Air. Air membukit di mana-mana!"
Dia adalah makhluk hijau mungil yang benar-benar menyukai air, lebih dari siapa pun. Bahkan saat ini juga, dia sudah melompat, terjun bebas untuk berenang di bukit air itu.
Tapi ....
"Bweeeeh! Cuih! Uhuk. Uhuk. Huek!"
Si hijau mungil memuntahkan kembali pasir yang ditelannya. Kemudian bukit pasir itu mulai roboh menimpanya. Mula-mula perlahan. Tapi hanya berlalu beberapa detik saja, semua pasir itu tiba-tiba tumpah sekaligus. Dia terkubur.
Tapi tak lama.
Makhluk hijau mungil itu melompat menembus timbunan pasir yang tadi mengurungnya. Kemudian dia berdiri di samping lubang bekas dia menerobos.
Matanya memandang sekeliling, ke samping kiri-kanan, bahkan ke bawah kakinya. Dan dia masih tak percaya.
"Ngoaah? Mustahil. Seharusnya ini semua air. Lautan yang bergunung, bergulung, berpuncak-puncak. Bahkan aku sekarang berdiri di atas air, 'kan?" Terdengar nada bicaranya masih penuh semangat. "Tapi ... tapi ...."
Penuh keraguan, direngkuhlah "air" yang dimaksudnya.
Masih tampak seperti air di matanya, tetapi yang dirasakan oleh tangannya adalah butiran pasir. Ya. Semuanya hanyalah pasir.
Saat itu, kepalanya pun terasa pusing.
Nalar. Nalar. Pikirannya terus mencoba untuk menalar. Dan coba tebak? Ternyata tak perlu menunggu waktu lama baginya untuk mencapai pada satu kesimpulan.
"Aku tahu. Ini semua ternyata hanya ilusi. Sial!"
Bahkan, si hijau mungil sudah memikirkan suatu teknik penangkal halusinasi.
Dia melepas goggle yang tadinya melekat di dahinya. Kemudian dia berjongkok sambil meraih tas ransel di punggungnya. Ah, ranselnya sekarang sudah penuh dengan debu dan pasir. Dibalikkannya sehingga semua pasir itu tumpah meruah. Bersama dengan empat batu kecil.
"Ups, ups, gawat."
Dengan cepat, si hijau mungil menangkap keempat batu miliknya sebelum batu itu meluncur jauh bersama pasir-pasir. Ditaruhnya di permukaan pasir yang rata, meskipun di matanya pasir itu masih tampak seperti air. Kemudian satu batu, yang berwarna biru, diambilnya. Batu itu digoreskannya pelan-pelan pada kaca goggle miliknya.
Dan kaca itu pun tentu saja lama-lama berubah menjadi biru. Cukup tebal pula, sehingga jika goggle itu dipakai pun tak akan ada yang bisa terlihat. Kecuali warna biru.
Setelah itu, semua batu miliknya ditaruh kembali ke dalam ransel. Sedangkan ransel itu pun dipakai lagi di punggung.
"Ngoahahaha! Beres."
Dengan bangga, dipakainya goggle itu. Tidak hanya menghias dahi, melainkan benar-benar dipakai sebagai kacamata.
Tentu saja, sekarang dia tak bisa melihat apa-apa. Tetapi itulah yang memang diincar oleh si hijau mungil namun cerdik.
"Di tempat yang penuh ilusi, aku tak bisa mengandalkan penglihatan ragaku. Sekarang, pakai mata batin. Ya, mata bat—"
Belum sempat dia menyelesaikan sugesti diri itu, si mungil hijau sudah terjatuh. Tersandung gundukan pasir.
Kembali dia tersungkur. Dan dia sangat tidak menyukai itu. Ini malah membuatnya kesal. Tetapi dia masih tetap ngotot untuk memakai goggle miliknya.
Dia kembali berjalan. Dengan sangat hati-hati.
"Pokoknya mata batin. Semua yang menipu mata raga, tak akan bisa menipu mata bat—"
Bisa ditebak. Dia sudah terpeleset lagi. Mungkin kalian sekarang bertanya-tanya, benarkan si hijau mungil ini cerdik?
Ah, kenapa kita terus memanggilnya sebagai hijau mungil? Dia punya nama, asal kalian tahu.
Dia adalah Bara si Tumpara. Berasal dari suatu tempat yang dipenuhi air. Badannya memang hijau. Tetapi ada yang lebih mencolok daripada warna badannya. Kedua telinganya yang menyembul ke atas, ternyata tersambung dengan sepasang lentera putih yang menyala-nyala. Katanya sih, tali yang menghubungkan telinga dan lentera itu adalah tali roh.
Jangan membayangkan yang ngeri-ngeri ketika mendengar kata roh. Bukan. Itu bukan dibuat dengan mengumpulkan para hantu untuk kemudian dipintal menjadi tali. Sebut saja itu tali spiritual, tali mistis, atau tali apapun dalam bayangan kalian. Intinya, kalian tak akan bisa menyentuh tali itu.
Tetapi bagaimana dengan lenteranya?
Sebaiknya, kalian juga jangan menyentuhnya untuk alasan berbeda. Lentera itu bisa melontarkanmu bagaikan ledakan bom. Hati-hati!
Dan mungkin ini akan menyenangkan kalian. Bara, tidaklah setinggi kalian. Dia hanya lebih tinggi sedikit daripada kursi yang kalian duduki. Tapi bukan berarti kalian boleh meremehkan dia. Nanti kalian akan lihat sendiri.
Bara terus melangkah. Entah sudah berapa kali dia tersandung dan terjungkal. Lenteranya pun sudah menghancurkan beberapa gundukan pasir karena dia begitu kesal.
Tapi dia tetap berjalan.
"Aku bersumpah. Sedikit, hanya sedikit saja terasa tadi. Nguooh. Tapi aku yakin naluriku merasakan adanya sumber air di gurun ini. Air sungguhan!" Bara mencoba untuk menajamkan indera keenamnya. "Tapi, tapi ... hiks ... mengapa aku malah sedih begini. Nguaaaaaaaah....!"
Tak diduga-duga, Bara malah bersimpuh dan mengalirkan air mata yang deras. Tiba-tiba saja hatinya terasa begitu sedih. Bukan. Bukan karena padang pasir yang menipunya sehingga tampak seperti air. Kalau itu sih hanya membuat Bara kesal saja. Sedangkan ini ... ini adalah sesuatu yang lain.
Ada sesuatu yang menggugahnya sampai-sampai dia menangis.
"Nguaaaa ... mengapa? Mengapa? Hiks."
Sambil terisak, pelan-pelan telinga Bara menangkap sesuatu. Suara. Tepatnya, alunan nada.
"Nguoh? Siapa yang bermain seruling di tempat seperti ini? Bahkan melodinya lebih indah dari nyanyian putri duyung di Skyemeria. Tapi sendu. Dan membuatku .... nguaaaaaaah .... Aku jadi ingin membuat mata air di gurun ini!"
Kembali Bara menangis. Dan alunan nada itu terdengar semakin jelas. Telinga si mungil hijau sudah bisa mengira-ngira dari mana arah datangnya suara itu.
Ya. Kalian mungkin bisa langsung menebak siapa yang memainkan seruling itu. Tetapi tidak demikian bagi Bara. Itulah yang membuatnya penasaran saat ini.
Maka, sekalipun dengan mata yang tak melihat, Bara kembali bangkit. Kedua kakinya langsung mengubah arah menuju sumber alunan seruling. Dan dia melangkah, hanya untuk kembali tersandung.
"Awww!"
Tak mau lama mencium pasir, Bara langsung melompat bangkit.
"Kalau itu dihitung, aku sudah tersandung sebanyak 20 kali. Atau 30 kali? Nguooh. Tenggorokanku mulai kering ...."
Itulah Bara si Tumpara. Meskipun harus sambil sesengukan, dia tetap melangkah. Sejak awal, dia sudah bisa mengakali ilusi dari pulau berpasir ini.
Hebat bukan?
Padahal tadinya Bara berpikir kalau dirinya akan menghabiskan waktu sepanjang hari untuk berenang-renang di gunung-gunung air. Tetapi bagi makhluk yang menghabiskan sepanjang hidupnya bersama air, dia tak mau lama-lama tertipu oleh air bohongan.
Di suatu tempat di padang pasir ini, si mungil hijau yakin, ada air sungguhan. Kepalanya sudah dipenuhi oleh pikiran untuk berenang ataupun menyelam di sana. Kalau ingin bermalas-malasan, di sanalah tempat yang sesuai untuk itu.
Tetapi kok kakinya malah terus melangkah ke sumber alunan seruling?
Ah, sudahlah. Mungkin siapa pun yang meniup seruling sedih itu bisa membantunya menemukan sumber air.
Oiya. Tadi kalian mengira kalau Bara itu pendek? Tunggu sampai kalian menemui yang satu ini. Dia peserta terakhir.
<6>
Teddy, teddy beary. Dia bukanlah teddy beary.
Dia sedang bergembira. Jiwa-jiwa petarung yang tangguh telah membuatnya semakin kuat. Kalau dirinya bertambah kuat, maka si bukan-teddy-beary itu pun bertambah senang.
Teddy, teddy beary. Dia membawa senapan yang bisa membuatmu pergi menyusul nenek moyangmu. Dia berkacamata gelap. Dia bertopi dan berjaket keren. Teddy, teddy beary. Dia bukanlah teddy beary.
Ah, apakah kalian membaca narasi itu dengan menyanyikannya? Kalau memang demikian, kuharap aku bisa mendengar suara merdu kalian.
Oke, sekarang kita menemui si bukan-teddy-beary. Ursario adalah nama kebanggaannya. Tetapi kalian bisa memanggilnya Ursa.
Tinggi Ursa sekitar setengah dari Bara. Pendek, bukan? Ya. Sebab dia adalah boneka beruang. Itulah wujudnya saat ini.
Ursa memiliki masa lalu yang kelam. Ada baiknya kita tidak terlalu membahasnya sekarang. Hanya satu yang bisa kukatakan untuk saat ini. Dulunya Ursa adalah demon.
Bukan demon biasa. Dia adalah Demonlord, raja dari kaumnya. Namun kekalahan perang dari kaum demon lain, membuatnya terjebak dalam kondisi menyedihkan seperti sekarang. Teddy, teddy beary. Dia adalah demon yang mendiami boneka teddy bear.
Dan sedang apa dia sekarang? Dia sedang bercermin. Ya, meskipun dia melihat dari balik kacamata gelap, rupanya itu tak menjadikannya aman dari halusinasi.
Dia berdiri menghadap satu gundukan pasir, menganggapnya sebagai cermin megah yang dulu pernah menghias kastil miliknya.
"Bura? Apa aku tampak lebih tinggi?" Ursa senyum-senyum sendiri. "Tambah lima centi. Burahahaha! Sudah kuduga. Terima kasih untuk sumbangan jiwa-jiwa kalian. Blondy Girly, Imaginey Girly, Woody Dolly Bataky, dan Planty Demony Girly."
Ursa pun menyebut nama-nama lawan yang ditaklukkannya pada permainan yang lalu. Dan sungguh kalian tak akan menyangka. Si boneka beruang itu bahkan merenggut kebebasan dari jiwa lawan-lawannya setelah mereka kalah. Bukannya membiarkan jiwa-jiwa itu beristirahat dengan tenang, si Ursa malah menghisap mereka ke dalam tubuhnya sendiri.
Dan untuk apa? Tak lain dan tak bukan, sebagai penambah kekuatan energi jiwanya.
"Dan sekarang kurasa aku bisa, ehem. Ehem. Huffff ...."
Setelah membersihkan tenggorokannya, Ursa tampak mengambil nafas dalam-dalam. Apa yang akan dilakukannya?
"Burooooaaaaaaawwwwwr!"
Oh, ternyata dia meraung.
Tapi suaranya melengking tinggi ... lebih mirip suara kucing yang ekornya terjepit. Bahkan lebih parau daripada itu.
"......"
Angin padang pasir pun melolong aneh. Seolah menertawakan tingkah si boneka beruang yang gagal meraung.
Ursa menengok kanan-kiri, takut ada yang melihatnya. Tapi tidak ada siapa-siapa. Sekarang, si boneka jatuh berlutut, malah terpuruk sendiri. Dia tertunduk lesu meratapi nasib.
"Buraa. Aku masih jauh dari tujuan. Yang tadi itu, bahkan tak akan mampu menakuti kelinci. Apa jadinya Demonlord dari Ursa-Regalheim kalau tidak punya raungan dengan suara yang berat, dalam, dan berwibawa?"
Seolah berniat menghibur Ursa, angin gurun bersiul. Ketika boneka itu menoleh ke samping. Sungguh dia tak percaya dengan penglihatannya.
"Bura? Mengapa ada toko lolipop di sini?"
Ursa kemudian mengendus-endus dengan penciuman tajamnya. Tapi dia tidak merasakan manisnya aroma permen lolipop. Sekali lagi diendus, tetap saja yang tercium hanya bau pasir.
"....?!"
Sekarang Ursa malah melihat rumah gulali di sebelah toko lolipop itu. Diceknya lagi dengan hidungnya. Dan benar. Bau nikmat gulali tak pernah ada.
Bercampur antara bingung dan kesal, Ursa langsung meraih senapan di punggungnya.
"Sialan! Ini pasti tipuan dari Luxa Demony! Mereka paling licik soal pembiasan cahaya!"
Ketika letupan senapan bergema, runtuhlah rumah gulali dan toko lolipop itu menjadi tumpukan pasir.
Ursa menutup mata sejenak, kemudian membukanya lagi.
Tetapi untuk kesekian kalinya, hadirlah bangunan yang lain. Kini di hadapan Ursa malah tampak outlet pakaian. Topi dan jaket keren terpampang di etalase. Dan ukurannya khusus untuk boneka beruang. Tertulis diskon 99% pula.
Ini terlalu bagus untuk jadi kenyataan, Ursa tahu itu.
"Buraaa! Ilusi dari Luxa Demony. Ilusi dari Luxa Demony di mana-mana!"
Dengan segala kepanikan yang memenuhi kepalanya, si boneka beruang memutuskan untuk angkat kaki. Dia pun berlari seperti kesetanan, tak peduli ilusi apapun yang terus muncul menggodanya.
Ya. Kalian mungkin tidak tahu. Tapi Luxa Demony yang disebut oleh Ursa adalah kaum demon yang dulu telah meluluh-lantakkan kerajaan Demonlord Ursario. Mereka adalah demon yang menguasai kekuatan cahaya, kelemahan Ursa.
Sampai sekarang pun, Ursa terus menyimpan trauma. Pokoknya, curigai dulu siapa pun. Soal benar-tidaknya mereka berhubungan dengan Luxa Demon, itu urusan belakangan.
Andai kalian mencoba mengajak bicara si boneka, paling kalian hanya akan mendapat balasan "Bura? Siapa kau? Dari baumu, aku tahu kau pasti sekutu Luxa Demony, 'kan?" Dan kalian akan menemui nasib sial kalau setelah itu Ursa menembakkan senapannya ke muka kalian.
Coba lihat, si boneka terus saja berlarian tak tentu arah.
"Buraaa! Ilusi dari Luxa Demony. Ilusi dari Luxa Demony di mana-mana!"
Nah, sekarang kita sudah menyaksikan siapa saja peserta dari permainan hiburan yang dirancang sang Dewata.
Dan sabar. Sebentar lagi, mereka pun akan saling bertemu.
Bab 2—Konser yang Terhenti, Hotel yang Menjadi Tiada
<7>
Ursa si bukan-teddy-beary berlari begitu kencangnya. Dia tidak tahu kemana langkah kakinya akan membawanya. Pokoknya lari dulu. Lari saja terus sampai ilusi dari Luxa Demon itu tak terlihat lagi.
Pada satu kesempatan, hidung Ursa pun menangkap bau yang janggal. Bau yang sangat berbeda. Ya. Bau apapun selain bau pasir akan terasa aneh untuk saat ini. Namun, semestinya si boneka diam dulu di tempat kalau sedang membau sesuatu.
Kalau dia terus berlari seperti ini ....
Ah, bunyi tubrukan itu keras sekali.
"Buraaaa!"
"Nguoooh!"
Ursa terpental ke udara, berputar-putar begitu tinggi sebelum jatuh ke permukaan pasir. Dia memantul satu, dua, tiga kali, sampai akhirnya tubuhnya berhenti terseret. Wajahnya pun terbenam di pasir.
Apa—atau tepatnya siapa—yang ditabrak Ursa?
Dari suara "nguoh"nya, kalian bisa menebak dengan mudah. Dia adalah si makhluk hijau mungil, Bara si Tumpara. Dengan mata yang tertutup goggle rusak, dia tentu tak bisa sewaspada biasanya.
Sungguh tak menyangka kalau dari arah belakang akan ada sesuatu yang menubruknya begitu keras.
Bara terjungkal ke depan, berguling berkali-kali. Dan kembali wajahnya mencium permukaan pasir.
"Nguuuh ... apa-apaan ini?"
Bara langsung melompat bangkit, sedikit bersalto. Agar bisa kembali melihat, dia pun menggeser gogglenya ke atas. Kemudian Bara menengok kanan-kiri, mencari pelaku yang menabraknya.
Dia pun menemukannya.
"Ngoah? Boneka beruang ... teddy bear?"
"Buraah!" Ursa menarik wajahnya dari pasir. "Apa itu tadi?"
Hanya butuh waktu singkat, hidung Ursa sudah mendeteksi bau makhluk lain. Di belakangnya. Dan ini bukanlah ilusi, dia tahu itu.
Ketika si boneka menolehkan kepalanya, melirik ke samping, Bara sudah menatapnya. Pandangan keduanya pun beradu.
"Bura? Demony jenis apa itu? Hijau. Dan pendek sekali."
Mendengar itu, Bara tersulut. "Nguooh! Apa kau bilang, teddy? Aku dua kali lebih tinggi darimu."
"Aku bukan teddy bear! Aku Ursario, inkarnasi dari Demonlord penguasa Ursa-Regalheim. Dalam wujud asliku, kau hanya seujung kuku kakiku saja, Greeny Shorty!"
"Nguapah? Sekarang mana wujud aslimu, Ursa-ngioh? Yang kulihat hanyalah boneka teddy. Dan jangan panggil aku Greeny Shorty, aku juga punya nama. Bara si Tumpara, pejuang dari Skye—"
"Diam!" potong Ursa. Dengan cepat, si boneka pun menodongkan senapannya. "Tak perlu kau kasih tahu, aku sudah tahu. Dari lenteramu yang bercahaya, kau pasti ada hubungannya dengan Luxa Demony, 'kan?"
"Ngoahaha! Tuduhan ngawur apa itu?" Bara malah tertawa, sejenak saja. Setelah itu ekspresinya berubah serius. "Tapi aku tidak suka kalau kau mengarahkan senjatamu ke mukaku, Ursa-ngioh. Mau ngajak kelahi?"
Bara menggoyang-goyangkan kedua tangannya, meregangkan sendi. Tak lupa dia memijat lehernya. Kalian bisa membayangkan sendiri. Kalau Bara berkelahi mengandalkan lenteranya, dia akan sangat sering memutar kepala. Itu bisa membuat lehernya pegal. Makanya, dia pemanasan dulu.
Di sisi lain, Ursa sudah mengeker senapannya, tepat mengarah ke wajah Bara, di tengah-tengah kedua alis. Kalau tembakan bersarang di situ, akan fatal akibatnya. Jari Ursa pun tampak siap untuk menarik pelatuk.
Akankah terjadi perkelahian di sini?
Seharusnya begitu. Tetapi jangan lupa, ini adalah pulau kemalasan. Angin gurun langsung menerpa kedua sosok mungil itu. Efeknya langsung muncul.
"Nguuh ... sebenarnya aku ingin memberimu pelajaran saat ini juga, Ursa-ngioh. Tapi tenggorokanku sudah begitu kering. Aku dehidrasi." Bara berlutut, kedua tangannya menopang. "Hauuus ....."
Ursa menurunkan senapannya. "Buraah. Entah kenapa, aku juga merasa sangat lelah. Hei, Greeny Tumparey. Andai kau tahu berapa jauh aku berlari tadi, buraaah ...." Kemudian si boneka beruang pun menjatuhkan diri, terlentang. "Saatnya beruang ... berhibernasi."
"Benar juga, nguoah. Aku pun jadi ikut mengantuk."
Suasana berganti sepi.
Setidaknya untuk semenit.
Sebab tak lama berselang, keduanya sudah mendengar lantunan nada seruling. Ya. Seruling yang itu.
"Nguooh, tidak." Bara mengeluh. "Jangan ini lagi. Kupikir sudah berhenti tadi. Nguaaaaah ...."
"Bura? Kenapa kau malah menangis, Tumparey?" Ursa menatap heran, masih dalam posisi berbaring. "Ah...!? T-tunggu, kenapa aku jadi ... buruhuhuhuhu ...."
Tiba-tiba saja Ursa terbayang masa-masa menyedihkan yang dilaluinya selama dua tahun menjadi boneka beruang yang lemah.
"Nguuaa ... kamu pun kena efek suara itu?"
"Apa? Apa ini sebenarnya? Buruhuhuhu ... hiks."
"Aku juga tidak tahu. Tadi aku sedang menuju asalnya musik itu. Tetapi tiba-tiba alunannya berhenti. Dan sekarang, malah kembali terdengar."
"Ada seseorang yang memainkannya? D-dia pasti antek Luxa Demony juga. Sial. Aku tidak pernah tahu ada sihir semacam ini, buruhuhu ... hiks."
"Kalau begini terus, air mataku bisa habis, nguooh. Ini harus dihentikan."
"Ya."
"Jadi kamu pun setuju, Ursa-ngioh."
"Ya. Tapi aku ... merasa begitu berat untuk bangkit, buraa." Kemudian Ursario menoleh ke samping. "Dan aku malah melihat ada rumah kue di sana. Tidaaak ...."
Bara mengambil sejengkal pasir, kemudian melemparkannya ke muka Ursa.
"Waa! Apa-apaan ini, Tumparey?"
"Ayo bangun. Jangan tertipu oleh semua ilusi ini, Ursa-ngioh!"
Dengan sedikit paksaan, Bara menarik lengan Ursa sehingga boneka beruang itu pun berdiri.
"Buraa. Baiklah. Aku akan ke sana juga. Makanya, jangan pegang-pegang buluku, Shorty Tumparey! Kau membuatnya kotor."
"Ngoahaha!" balas. "Kau sudah kotor oleh debu dan pasir, Ursa-ngioh. Bulu-bulumu sudah seperti karung goni rusak."
"Brrgh ..."
"Dan kenapa juga kau memakai kacamata hitam begitu?"
"Bawel. Aku tidak suka cahaya."
Kemudian terdengar kembali lantunan seruling. Lebih sendu daripada yang tadi.
"Nguaa ... sial! Terdengar lagi. Ayo kita segera berangkat!"
"Aku bisa mencium bau aneh dari sana, buraa. Tidak begitu jauh. Hiks."
"Dan ini aneh, nguoh. Ilusi airnya tidak sebanyak tadi."
"Ah, betul juga. Sekarang permen yang kulihat pun sedikit."
"Berarti aku tak perlu memakai goggleku lagi."
Mereka pun sepakat untuk berdamai, untuk sementara. Keduanya berlari cepat menuju sumber suara.
"Oh iya, Ursa-ngioh. Apa kamu tahu, sebenarnya kita sedang apa sih di pulau ini?"
"Aku lupa. Dan aku malas memikirkannya."
"Dan yang kuingat pun hanya semangatku untuk mencari mata air."
<8>
Ini adalah lagu Sal yang kesembilan belas. Sekalipun mulutnya mulai kering dan badannya semakin kegerahan oleh panas, tetapi semangatnya tak kunjung kendur.
Semua demi konsernya, demi para hadirin yang terus setia menyaksikan penampilan sang musisi.
Tetapi apa itu? Di antara ribuan penonton, dua sosok itu tampak begitu mencolok. Yang satu adalah boneka beruang bertopi dan berkacamata hitam. Sedangkan yang satu lagi ... entah bagaimana Sal mendeskripsikannya, yang jelas warnanya hijau dan di atas kepalanya ada dua lentera.
Si musisi terheran, apa si boneka beruang sedang mengarahkan senapan ke arah Sal?
"Itu bukan penonton," gumam Sal.
Dan letusan senapan terdengar begitu nyaring.
Refleks, Sal mencoba menghindari itu. Bisa kalian bayangkan? Peluru dari senapan itu hampir saja melubangi biji jambu mete di rambut afro Sal.
Kehilangan keseimbangan, monyet besar itu pun terjungkal.
Saat itulah kabut ilusi menghilang dari pandangannya. Dan sungguh Sal terkejut.
"Apa? Apa?" Sal celingukan, melihat-lihat sekelilingnya. "Kemana gedung operanya? Kemana para penonton yang jumlahnya ribuan tadi?" Sal menoleh ke belakang. "Dom? Dan pemusik latar? Kemana kalian pergi?"
Semua berubah kembali menjadi padang pasir yang gersang.
Di kejauhan, Bara si Tumpara hijau menjitak kepala Ursa yang berdiri di sampingnya.
"Apa yang kau lakukan, beruang bodoh? Kenapa kau menembaknya begitu saja?"
Ursa mendongak kesal, "Hei! Kau tidak tahu? Yellowy Monkey seaneh itu pasti antek Luxa Demo—"
Perkataan Ursa terpotong. Bara sudah kembali menjitak kepala si boneka beruang.
Sementara itu, Sal masih tak mempercayai apa yang baru saja terjadi. Dia ingin bertanya. Tapi dari apa yang dilihatnya, tampaknya hanya dua penonton pengganggu itu yang bisa ditanyai.
Sal segera melompat, berdiri kembali. Kemudian dia berseru.
"Hei, Hijau Cebol dan Beruang Kontet! Apa kalian tahu apa yang terjadi?"
Telinga bulat Ursa bergetar. Demikian pula dengan Bara. Kupingnya sakit mendengar ejekan itu.
"Ursa-ngioh," kata Bara pelan. "Tembak si Monyet Jangkung itu."
"Siap."
Seiringan dengan bunyi berdesing, peluru melontar begitu cepat mengincar muka Sal. Tetapi bukan Sal namanya kalau dia tak punya teknik elakan yang cantik. Setengah berakrobat, monyet kuning itu memutar tubuh ke samping. Sekitar 900° dia bersalto, atau kira-kira 2 ½ kali putaran.
Hasilnya, peluru itu hanya lewat lima senti di depan hidung merah Sal.
Sal mendarat sempurna. Tapi keringatnya mengucur deras.
"Monyet Salon!" makinya. "Yang tadi itu nyaris saja. Kalau kena, bisa-bisa hidungku harus operasi plastik."
Sal langsung melirik ke arah dua sosok mungil tadi. Si beruang rupanya sudah bersiap menembakkan peluru selanjutnya.
"Tak bisa dibiarkan!"
Segera Sal memainkan serulingnya. Lantunan nada itu terdengar begitu kuat, dalam tempo yang sangat cepat. Ini adalah koplo.
Langsung berdampak.
Lihat saja apa yang dilakukan Ursa dan Bara sekarang.
"Teddy, teddy beary~ aku si bukan teddy beary ... bura? Apa? Kenapa aku malah bernyanyi?"
Bukan hanya bersenandung, si boneka beruang juga mulai berputar-putar, menari mengikuti irama seruling.
Dan Bara?
"Bara Bara Bara~ Bere Bere Bere~ Bara Bara Tumparara, Bere Tumperere ... nguohh? Badanku bergerak sendiri...!?"
Ya. Si mungil hijau ternyata ikut bergoyang dan bernyanyi.
Dari jauh, Sal tersenyum karena jurusnya berhasil. Mulutnya tak berhenti meniup seruling koplo. Kemudian pelan-pelan Sal mendekat, sambil tetap memainkan nada.
Setelah dia sampai di hadapan Bara dan Ursa, Sal pun menghentikan permainan serulingnya. Seketika, tari dan nyanyi kedua makhluk mungil itu ikut berhenti. Tadinya mereka merasa lega. Namun keduanya sungguh tak menyangka, kalau Sal masih punya trik lain.
"Dasar Hijau Cebol dan Beruang Kontet, hareudang maraneh sia!"
Ucapan Sal seperti mantra dengan kekuatan sugesti tingkat tinggi. Langsung saja Bara dan Ursa merasa begitu gerah dan panas. Keduanya bertekuk lutut.
"Nguoooh ... tenggorokanku semakin kering ... dehidrasi ... terik semakin terik ...."
"Bulu-buluku ... buraa ... berasap?"
Sal tertawa, "Wahahaha. Rasain. Makan tuh panas!" Sekalipun Sal berkata demikian, sebenarnya dia juga merasa gerah dari tadi.
"Hhh ... untung teknik bacotku kagak ngaruh ke diri sendiri."
Dilihat oleh Sal kalau dua makhluk kecil di depannya terus meronta-ronta kepanasan.
"Ampun ... Om!" kata Bara. "Gimana kalau ... kita ngobrol saja?"
"Buraa ... buluku menguap. To...loong...." Ursa hanya bisa meringis.
Sal berjongkok di depan keduanya. "Ha? Jadi baru sekarang kalian mau ngomong?"
Beberapa waktu berselang, ketiga makhluk aneh itu kini sudah duduk saling berhadapan. Mereka bertukar informasi seadanya.
"Jadi semua itu ilusi?" seru Sal. "Pantas saja. Kalau dipikir-pikir benar juga sih. Aku musisi jalanan sejati. Kalaupun konser, mestinya ya harus di jalan tol. Bukan di gedung opera yang elit kayak gitu."
"Nguoh, begitulah," timpal Bara. "Dan ilusi itu semakin kuat kalau kita hanya sendirian."
"Tapi aku masih ragu, apa kalian berdua sama sekali bukan bawahan Mag-Lumina Jelek dari Luxa Demo—"
Bara meninju pipi Ursa, berbarengan dengan tumit kaki Sal yang ikut menghantam ubun-ubun kepala si boneka beruang.
"Buraaa! Apa-apaan ini?"
Bara mencibir, "Dibilangin dari tadi. Di sini tidak ada yang namanya Luxa Demony atau apapun itu."
"Hmm ... jangan-jangan," Sal menatap tajam ke arah Ursa, "kamu sendirilah Luxa Demon itu?"
"T-tidak mungkin! Aku Ursario, titisan Demonlord dari ...." perkataan Ursa terhenti, "... ah, tiba-tiba aku jadi semakin lelah. Aku mau hibernasi." Ursa langsung berbaring, terlentang.
Sal dan Bara pun menguap.
"Memang," ujar Sal, "di saat panas-panas begini, lebih enak tidur siang."
"Nguoooh. Aku jadi ikut mengantuk."
Ketiganya pun membaringkan tubuh.
Mereka terdiam.
Serasa malas untuk mengerjakan apapun.
...
...
Tapi ada satu hal yang tidak bisa dibohongi. Yaitu rasa haus.
"Tenggorokanku ... perlu air," keluh Bara. "Aku ingin berenang di kolam yang jernih. Dan mengapa tidak muncul ilusi seperti tadi, nguooh? Sekalipun cuma bohongan, aku senang kalau melihat air."
"Sebentar," sela Sal. "Aku tahu sedikit tentang teknik survival di alam liar. Katanya sih, kalau di tempat yang begitu kering sampai-sampai kita tak menemukan air, kita bisa memanfaatkan air dari dalam tubuh kita sendiri."
"Maksudnya?" tanya Ursa.
"Apa kalian pernah minum air kencing sendiri?"
"Ooh," sahut Ursa lemas, seolah yang dikatakan Sal adalah kewajaran. "Tapi aku boneka. Tidak bisa pipis, buraaa."
Mereka kembali hening, sampai Bara angkat bicara.
"Aku ... bisa memberimu air."
"...?! Tunggu dulu, tunggu dulu!" Sal bangun sambil panik. "Aku cuma bercanda tadi, kawan. M-masa' sih musisi terkenal sepertiku harus minum air kencing orang lain?"
"Bukan. Bukan air kencing. Tapi air sungguhan. Aku bisa merasakannya," balas Bara.
"Hah?"
Selagi Sal masih melongo, badan Bara sudah mulai bergerak. Si Tumpara hijau itu merangkak pelan-pelan menuju suatu lokasi.
"Hei, Hijau Cebol, sebenarnya apa yang mau kau—"
Bara mengabaikan perkataan Sal. Si Tumpara mulai menggaruk-garuk pasir. Terus menerus dikerjakannya. Sampai suatu saat, tak ada lagi pasir yang bisa dikais.
Tampaklah permukaan tanah.
"Aku adalah Bara si Tumpara," Bara tersenyum menang. "Merasakan 'roh' dan 'nyawa' air adalah pekerjaan mudah bagiku."
"Ha! Jadi?" Sal mendekat. "Maksudmu di balik tanah ini ada air?"
"Ya. Aku samar-samar merasakannya."
Kemudian Sal tersenyum lebar.
"Oke. Sekarang adalah bagianku. Serahkan pekerjaan yang berat pada gentleman."
Dengan penuh semangat, Sal menggunakan kuku tangannya untuk menggali permukaan tanah. Kalian ingat, pada dasarnya dia tetaplah monyet. Soal gali-menggali tanah, biarpun kotor, sudah jadi bagian dari naluri alamiahnya. Gali, gali terus. Pokoknya, kedua tangan itu harus terus menggali.
Dan setelah membuat cekungan tanah yang cukup besar, yang ditunggu pun tiba...
Mata Sal dan Bara berkaca-kaca.
Mereka melihat pantulan wajah mereka di genangan air.
Ya. Itu adalah air sungguhan. Luasnya hanya seperiuk saja. Tetapi itu jauh lebih baik daripada tidak ada. Tanpa dikomando, keduanya langsung meraup air dengan kedua tangan. Buru-buru meminumnya.
Bahkan, Ursa yang dari tadi hanya tidur-tiduran langsung bangkit. Hidungnya mencium air. Begitu dia melihat Sal dan Bara sedang asik melepas dahaga, si boneka beruang pun tak mau ketinggalan.
"Hei. Bagi-bagi airnya, Tumparey Yellowy Monkey!"
Masih misteri apakah sebuah boneka membutuhkan minum atau tidak. Tetapi untuk saat ini, ada baiknya kita biarkan Ursa ikut menikmati air segar itu.
Hanya dalam sekejab, semua air itu telah habis
Kelelahan mereka bertiga seolah sirna. Dan sekarang, pikiran mereka mulai jernih.
"Kalau kuingat-ingat, bukankah sebenarnya kita sedang dalam suatu pertandingan?" ungkap Sal.
"Nguooh! Benar. Setelah kau mengatakannya, sepertinya memang begitulah yang terjadi," sahut Bara semangat.
"Dan aku harus mengumpulkan banyak jiwa petarung yang tangguh," Ursa ikut menanggapi.
Ketiganya saling memandang. Mereka sudah bisa keluar dari tipuan pulau, tapi belum sepenuhnya.
"Sial, aku lupa apa yang baru saja kuingat," keluh Sal sambil menggaruk-garuk rambut afronya. "Aku butuh air yang lebih banyak lagi."
Bara tersenyum mendengar itu.
"Kita telah menemukan air, meskipun kecil." Bara memalingkan muka, memandang ke arah tertentu dengan tatapan meyakinkan. "Dan aku tahu, sebagai Tumpara ... ini adalah pertanda kalau tak jauh dari sini pasti ada sumber mata air yang jauh lebih besar. Sebuah oase."
"Aku duluan. Burahahaha!"
Tanpa terduga, Ursa sudah berlari ke arah yang tadi ditunjukkan Bara. Dia mencuri start.
"Ngoah? Jangan curang, Ursa-ngioh!"
Bara pun menyusul.
Kedua makhluk mungil itu berlari cepat, saling berlomba mendahului. Sementara Sal, yang tertinggal di belakang mereka, hanya menyengir lebar-lebar.
"Wahaha. Kalian pikir dengan kaki pendek seperti itu bisa mengalahkan kaki jenjangku soal adu lari? Kutunjukkan teknik langkah 1000 dari ras Meteo."
Akhirnya Sal ikut mengejar, dengan kecepatan di luar akal sehat.
<9>
Sekarang kita main tebak-tebakan. Siapa yang akan sampai lebih dulu di oase? Apakah itu Sal? Bara? Atau Ursa?
Jika kalian menjawab salah satu dari yang tiga itu, maka nol besar untuk kalian. Sebab, jauh sebelum ketiganya berlomba lari, sudah ada seseorang yang berjalan menuju oase tadi.
Ya. Kita akan bertemu lagi dengan seorang bibi yang sedang mencarikan air untuk putrinya.
Bibi Ivy.
Oase itu, di mata Bibi Ivy yang terbuai oleh ilusi, tampak seperti sebuah dam. Atau sebuah bendungan air yang biasa dibuat oleh militer untuk mengatur suplai air bersih di suatu markas besar.
"Ha? Kenapa ada dam di sini? Aku tidak ingat kalau di dekat desa ada yang seperti ini. Ah, sudahlah. Aku harus membawa air untuk Lana. Kebetulan ini adalah dam. Tak akan susah untuk menemui lori ataupun gerobak yang bisa memuat banyak dirijen air."
Bibi Ivy teringat kalau di sepanjang perjalanannya tadi, dia tidak menemui satu warga desa pun. Padahal, dia ingin meminjam beberapa dirijen untuk menampung air.
Ya, kita semua tahu kalau si bibi masih berhalusinasi. Dalam bayangannya sendiri, Bibi Ivy merasa kalau dia sedang berjalan menyusuri jalan setapak di desanya.
Namun, alat penglihatan elektronik di mata kanan Bibi Ivy berbunyi. Itu tanda kalau benda itu telah mendeteksi adanya gelombang tertentu. Ternyata di dam ini ada seseorang, begitulah pikir si bibi.
Pelan-pelan, dia memanjat tangga samping dam, yang sesungguhnya hanyalah sisi miring dari bukit pasir.
Di atas, Bibi Ivy melihat ada sesosok makhluk. Menyerupai manusia. Rambut putih dengan pakaian hitam putih. Tapi anehnya, bibi itu menyaksikan dua kepala. Satu menempel di badan, dan satu melayang-layang.
"Astaga. Makhluk apa itu?"
Kalau saja Bibi Ivy sadar tentang dirinya yang masih dalam suatu permainan bertempur hidup-mati, pasti dia akan terlebih dahulu mencari posisi. Mengapa? Alasannya karena Bibi Ivy sangat jago dalam persoalan menembak jitu.
Tapi kali ini situasinya lain.
Bibi Ivy masih dalam pengaruh halusinasi. Pikirannya masih ditutupi kabut. Namun tubuhnya, sebaliknya, sudah lebih dahulu bertindak sesuai naluri sebagai tentara.
Dalam gerakan cepat, dia langsung berlari mendekati makhluk tadi. Sampailah dia pada jarak tertentu. Dengan senapan serbu yang sudah dalam posisi siap menembak, Bibi Ivy pun berteriak.
"Angkat tangan! Aku Mayor Yvika Gunnhildr, ketua RIGS, dari Kerajaan Eydir. Sebutkan identitasmu, monster!"
Tentu saja aksi Bibi Ivy itu mengejutkan si makhluk berkepala dua. Kalian masih ingat? Mereka adalah Claude dan Claudia, sang Dullahan.
Saat ini, yang memakai tubuh Dullahan adalah Claude. Dia pun mengangkat tangan, seolah menyerah. Tetapi sorot matanya justru menunjukkan kekesalan. Begitu pula dengan kepala Claudia di sebelah Claude.
"Aku Claude Higglfiggr. Dan ini adalah ...."
"Claudia Neuntzmann. Kami Claude dan Claudia."
Sepasang kekasih itu memperkenalkan diri.
"Perihal identitas yang kamu maksud," Claude menambahkan, "barangkali 'Dullahan' bisa memuaskanmu?"
Mata Bibi Ivy membesar. "Dullahan? M-maksudmu monster tanpa kepala yang ada di buku mitologi?"
"Sedikit keliru," balas Claude, "sebab kami sekarang PUNYA dua kepala."
"Yang lebih penting," Claudia menatap tajam, "mau apa kau di hotel ini? Hotel ini sudah kami pesan, khusus untuk kami berdua saja. Kami sedang berbulan madu. Jangan ganggu. Kau cari hotel lain saja, Nona Mayor!"
"Nyonya, bukan nona," Bibi Ivy mengoreksi. "Dan apa maksud kalian dengan hotel? Demi Langit, ini adalah dam!"
"Dam?" ujar Claude dengan alis terangkat.
"Maksudmu bendungan?" timpal Claudia, sama herannya. "Bukankah ini adalah ...."
Pelan-pelan ilusi itu pun buyar.
Ketika Claude ataupun Claudia menoleh, mereka sadar kalau hotel itu tak pernah ada.
Wujud dam juga menghilang dari pandangan Bibi Ivy.
Semuanya terperangah. Sekarang mereka tersadar kalau ini hanyalah suatu oase, mata air di tengah-tengah gurun pasir. Luas mata air itu sekitar dua kali lapangan bola. Tak ada pepohonan di pinggirnya. Hanya ada tanah dan pasir.
Hilanglah kabut yang menutupi akal mereka.
"Mustahil," geram Claude. "Jadi selama ini...?"
"Aku ingat, Claude," ungkap Claudia. "Kita masih dalam permainan itu."
"Ya, Claudia. Aku juga sadar itu. Entah sudah berapa banyak waktu yang terbuang."
Di sisi lain, Bibi Ivy jatuh terduduk. Dia juga bisa mengingatnya. Dan airmatanya langsung menetes.
"Lana ... Lana yang tadi itu hanyalah ... bayanganku saja?"
Karena Bibi Ivy sudah tidak menodongkan senapannya lagi, Claude menurunkan tangannya. Sementara itu, Claudia yang melihat adanya kesempatan langsung berbisik.
"Ayo, Claude. Kita habisi Nyonya Mayor itu sekarang. Kau ingat peraturannya? Kita hanya perlu membunuh satu peserta saja, kemudian langsung kembali ke titik awal."
"Ya. Benar."
"Dan titik awal kita itu di oase ini, 'kan? Kita bisa memenangkan ronde ini sekarang juga, Claude."
"Sabar, sayangku."
"Ha? Kau mau tunggu apa lagi? Sini biar aku yang mengendalikan tubuh kita. Aku bisa punya tubuh baru setelah memenggal kepala si Nyonya Mayor. Sudah lama aku ingin tubuh yang tinggi sepertinya, kau ingat bukan?"
"Maka kubilang, kita harus sedikit bersabar."
"Urgh. Kau terlalu lama berpikir, Claude. Memangnya apa lagi yang harus kita tunggu?"
Claude kemudian mengelus dagu, mencoba menganalisa situasi dan kondisi. Kalian tentu tahu. Sekalipun mereka sepasang kekasih, bukan berarti sifat mereka sama. Soal berpikir dan berlogika, Claude lebih ahli daripada Claudia. Walaupun kebiasaan Claude ini sering menjengkelkan Claudia yang tak sabaran, toh strategi Claude kerap menyelamatkan mereka dari situasi genting.
Claudia pun menunggu dengan hati kesal.
"Begini, Claudia," kata Claude akhirnya. "Aku setuju denganmu kalau mengalahkan Nyonya Mayor di depan kita ini adalah tiket tercepat kita untuk memenangkan ronde ini."
"Ya. Lalu?"
"Lihat saja sendiri. Dari perlengkapannya, postur tubuhnya, jelas kalau Nyonya Mayor itu sangat terlatih. Kita masih belum tahu apa kekuatannya. Kemunculannya yang tiba-tiba saat kita masih terlena adalah kerugian taktis bagi kita."
"Jadi?"
"Senjata Nyonya Mayor itu, senapannya, adalah kelemahan kita. Dari jarak sedekat ini, kepala kita bisa dengan mudah ditembaknya. Bisa saja kubelokkan arah peluru itu. Tapi kalau jumlahnya terlalu banyak, aku tak yakin semuanya bisa kukendalikan."
"Makanya, Claude," bantah Claudia, "kita serang sekarang juga, selagi Nyonya Mayor itu sedang terpaku. Biar aku yang mengontrol tubuh kita. Kalaupun dia melawan, aku bisa menahan semuanya dengan kekuatanku."
"Lebih baik kita mundur dulu."
"Hei!"
Karena yang menguasai tubuh Dullahan itu sekarang adalah Claude, maka lelaki itu berkuasa untuk menggerakkannya, sekalipun Claudia protes. Claude mundur dengan perlahan-lahan supaya tidak menarik perhatian Bibi Ivy.
Selangkah demi selangkah, Dullahan itu menjauhi pinggir oase.
Akhirnya mereka sampai di gundukan pasir yang tinggi. Cukup untuk bersembunyi dan mengamati dari jarak agak jauh.
Sementara itu, Bibi Ivy masih terduduk merenungi apa yang baru saja dialaminya. Halusinasi ini membuatnya kesal, tapi juga sedih.
"Aku ingat," gumamnya, "kalau aku sudah mati. Ini adalah alam kematian. Tak mungkin Lana ada di sini. Tetapi aku tak lupa. Sosok yang mengaku Dewa itu ... menjanjikan nyawa baru."
Setelah menyeka airmatanya, Bibi Ivy langsung bangkit.
"Aku harus memenangkan semua ini. Demi Lana yang asli. Bukan Lana ilusi."
Kemudian Bibi Ivy menoleh, tepat mengarah ke bukit pasir yang dijadikan tempat persembunyian oleh Claude dan Claudia.
"Hei, bocah Dullahan!" teriak si bibi. "Aku tahu kalian di sana. Keluarlah. Kita selesaikan sekarang juga."
Tak ada jawaban.
"Heh. Kalian tidak akan bisa lari." Bibi Ivy menyentuh penutup mata elektroniknya. "Benda ini sudah mengunci gelombang otak kalian. Kalau kalian tidak keluar, aku yang akan ma—"
Tanpa diduga bibi itu, permukaan air oase menyembur tinggi bersamaan dengan teriakan "Yahuuuu!"
"Siapa?"
Dengan sigap, Bibi Ivy mengalihkan senapannya ke samping. Di kolam, tampak seekor monyet kuning yang tubuhnya tinggi besar sedang asik menikmati segarnya air.
"Monyet?"
Belum sempat Bibi Ivy menalar lebih jauh, sudah terdengar teriakan lainnya. Dari arah padang pasir.
"Nguooooh! Itu mata airku, Sal!"
"Buraaaa! Mengapa aku malah tiba terakhir?"
Bibi Ivy melihat sosok mungil berwarna hijau yang dengan gembiranya melompat ke dalam kolam. Kembali permukaan oase menyembur. Sedangkan sosok yang satunya lagi, semacam boneka beruang, tidak ikut menyeburkan diri. Dia berhenti tepat di pinggir mata air.
Akhirnya Bibi Ivy menyadari siapa ketiga makhluk itu.
"Sial! Peserta lainnya."
Oke, sekarang kita sudah sampai di sini. Kelimanya sudah berada di satu posisi.
Setelah ini, semua akan berlangsung jauh lebih serius, lebih keras, dan lebih brutal. Akan ada pertumpahan darah yang tak bisa dihindari. Apakah kalian sudah menyiapkan mental?
Kuharap demikian.
Bab 3—Pertempuran Dimulai!
<10>
Di balik gundukan pasir tempat persembunyiannya, Claudia tampak begitu kesal.
"Lihat, Claude. Gara-gara kau menunggu terlalu lama, sekarang malah muncul peserta lainnya. Tiga sekaligus."
"Maaf. Aku salah perhitungan."
"Kau ingat persyaratan untuk menyelesaikan babak di pulau ini? Kita harus membunuh SATU lawan, dan hanya satu. Sekarang kalau kondisinya seperti ini, gimana coba?"
"Kita akan segera beraksi—"
"Akhirnya. Itu yang dari tadi kutunggu."
"—setelah menganalisa semua kekuatan lawan."
Kepala Claudia pun jatuh terpuruk. Seolah, semua semangatnya hilang begitu saja. Matanya melirik sinis ke arah Claude.
"Kau sadar 'kan kalau ini adalah pulau kemalasan, Claude? Cocok sekali. Kurasa aku akan tidur saja. TIDUR, kau dengar?"
Bairpun disindir seperti itu, Claude tetap pada pendiriannya. Akhirnya kepala Claudia benar-benar masuk ke dalam ransel yang selalu mereka bawa.
"Nanti kalau sudah saatnya, aku akan membangunkanmu, tuan putri."
"Diam, Claude!"
Sekarang kita tinggalkan Dullahan itu untuk sementara waktu. Sebab, suasana di oase sudah jauh lebih ramai.
***
Sal masih asik berenang di permukaan mata air. Bara bahkan lebih gila dari itu. Si Tumpara sudah menyelam dan tak muncul-muncul lagi. Dia memiliki nafas panjang yang akan membuat iri para penyelam di dunia kalian. Bara mampu bertahan menyelam di dalam air selama satu jam. Bayangkan lamanya itu.
Lalu di mana Ursa?
Dia masih berdiri di pinggir oase. Tadinya dia berniat untuk memancing di sana. Tetapi sepertinya dia ragu kalau mata air ini ada ikannya atau tidak. Dan dua makhluk yang malah asik berenang di mata air itu akan sangat mengganggu keasikan si boneka beruang dalam memancing.
Ketiganya begitu gembira menemukan mata air itu, sehingga mereka tidak menyadari kalau sudah ada Bibi Ivy yang terlebih dahulu berada di oase itu. Di dekat mereka.
Tapi kesenangan ketiga makhluk itu tak akan bertahan lama.
Kita lihat saja.
"Satu di pinggir kolam. Dua di kolam. Ini akan menyusahkan," gumam Bibi Ivy. "Apa kubereskan yang dua dulu?"
Dia mengambil segenggam granat dari saku rompinya, kemudian dicabutlah pengamannya. Dengan ekspresi datar, Bibi Ivy melemparkan granat itu. Tepat ke tengah kolam.
Satu detik...
Dua detik ...
Dan ...
Bagaikan semburan gunung berapi, permukaan air itu memuncrat begitu tingginya. Tentunya dibarengi dengan gemuruh ledakan yang memekakkan telinga.
Angin ledakan itu mementalkan Ursa yang tadi berdiri di pinggir. Boneka beruang itu terguling-guling, bersama dengan percikan air yang membasahi bulunya.
Adapun Sal, dia menyadari adanya granat sesaat sebelum granat itu jatuh ke kolam. Buru-buru dia menjauh. Dan ketika ledakan terjadi, dia hanya terlempar ke sisi jauh mata air itu.
Bagaimana dengan Bara?
Tak terbayangkan olehnya, sewaktu sedang asik-asiknya menyelam, tiba-tiba di sampingnya meluncur turun sebuah granat. Mata Bara pun melotot. Tepat saat granat itu mulai bercahaya di dalam air, Bara melompat keluar dari mata air. Tentunya dengan muka sepanik-paniknya.
Bersamaaan dengan ledakan tadi, Bara sudah bersalto di udara begitu tinggi. Dan dia mendarat tak jauh di belakang Bibi Ivy. "Nguooh? Apa itu tadi?"
Ursa juga segera bangkit. Dengan gerak cepat, dia mengambil senapannya dan menodongkannya ke arah si pelempar granat. "Bura?! Ternyata ada Humany. Sial. Tadi hidungku terlalu senang dengan bau air."
Dan Sal, meskipun dari jauh, dia bisa melihat jelas sosok yang bertanggung jawab atas kegaduhan tadi. Sosok itu ternyata tak mengecewakannya. "Uhuy! Nona yang cantik. Ini seperti oase di tengah oase."
Satu di kolam, satu di samping, dan satu di belakang. Bibi Ivy menyadari dirinya terkepung dari tiga arah.
"Ternyata mereka semua selamat? Ini ... tidak menguntungkanku."
Bibi Ivy berbalik badan. Dia langsung mengarahkan senapan serbunya, bergantian ke arah Ursa ataupun Bara. Kalian bisa melihat raut wajah bibi itu tampak begitu waspada. Seolah bersiap menerima serangan kapan pun.
"Ledakan tadi sedikit menyegarkanku," ujar Bara. "Mata air itu bukan mata air yang kucari. Bukan mata air yang bisa mengantarkanku kembali ke Skyemeria."
"Siapa kau, Army Missy? Apa kau tentara yang disewa Luxa Demony?" Ursa ikut berbicara.
Sementara itu, Bibi Ivy hanya bisa mendengarkan ocehan dari dua makhluk mungil tadi. Entah apa yang mereka bicarakan, Bibi Ivy tidak ambil peduli.
Dan dia pun tak mau membuang waktu untuk menjawab. Dia lebih tertarik untuk berpikir. Sebagai tentara, dia langsung memilih prioritas. Dalam pikirannya, senapan yang dipegang si boneka beruang adalah hal pertama yang harus diwaspadai.
"Nguooh. Dan aku jadi ingat sekarang. Ini adalah turnamen!" seru si Tumpara. "Maaf, Tante. Aku tak punya dendam padamu. Tetapi demi kembali ke Skyemeria, aku ... Bara si Tumpara, akan mengalahkanmu dan menyelesaikan babak ini."
"Army Missy! Tunduklah, dan biarkan jiwamu menjadi santapan Demonlord Ursario!" Ursa juga berseru.
Senyuman muncul menghias wajah Bibi Ivy. "Bara, dan Ursario," katanya. "Kalau kalian memang berani, ayo maju!"
Inilah yang telah ditunggu-tunggu. Pertarungan akhirnya dimulai juga!
<11>
Sal belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukannya.
Dia mengutuki nasib sialnya. Mengapa harus bertemu wanita lagi? Di babak sebelumnya, dia tak bisa menunjukkan aksi kerennya sama sekali karena lawan utamanya—Penyihir Batu dan Ratu Lalat—adalah wanita yang cantik.
Sal terpaksa membiarkan si Malaikat Pendiam dan Gadis Bulan melakukan semua kerja berat, sementara dirinya sendiri hanya meniup seruling. Dia hanya bisa mendukung dari belakang.
Sekarang, haruskah dia melawan nona manis dengan seragam tentara itu? Ataukah dia berbalik menikam Bara dan Ursa dari belakang, padahal sebelumnya mereka bertiga telah bercanda ria begitu akrab?
Untuk saat ini, yang bisa dilakukan Sal hanyalah mengamati jalannya pertempuran dari jauh, dari pinggiran oase, sembari mengeringkan tubuhnya yang tadi basah.
"Semoga nona cantik itu selamat."
***
Kita kembali ke medan laga. Yang pertama menyerang adalah Ursa. Dia menembakkan senapannya, dua kali.
Namun refleks Bibi Ivy luar biasa. Dia menghindar ke samping dengan gerakan yang efektif, membiarkan peluru-peluru itu lewat, tipis saja.
"Oh, boleh juga bidikanmu, boneka. Sekarang gantian, ya?" Sesuai perkataannya, bibi itulah yang sekarang menembakkan senapan serbunya.
Senapan Ursa kalah canggih. Kalah telak oleh senapan serbu futuristik yang dipegang si bibi. Seolah tanpa jeda, senapan serbu Bibi Ivy terus saja menembakkan peluru ke arah Ursa. Membuat boneka beruang itu lari kocar-kacir.
"Buraaa! Gawat! Gawat! GAWAT!"
Terus saja boneka itu berlarian, panik. Beruntung, beberapa peluru hanya menyerempet bulunya saja.
Sekarang dia bersembunyi sambil tiarap, terlindung oleh gundukan tanah.
Kemudian datanglah serangan kedua, dari samping Bibi Ivy. Itu adalah Bara si Tumpara.
"Nguoooh!"
Gerakan Bara sungguh cepat. Dia menerjang dengan satu lompatan yang tangkas. Ketika dirasa sudah cukup dekat, Bara berputar sembari mengayunkan kedua lenteranya.
Bibi Ivy sudah bersiap. Dia bermaksud menahan sapuan lentera Bara dengan badan senapannya. Tetapi ...
Sewaktu lentera itu menyentuh senapan si bibi, meletuplah suatu ledakan. Tercipta dari benturan energi yang begitu kuat.
Senapan itu hancur, sedangkan Bibi Ivy terlempar ke belakang. Tetapi dengan kesigapannya, dia tidak sampai terjatuh ke tanah. Dengan sedikit lecutan tangan sebagai tumpuan, dia memutar tubuh dan mendarat sempurna.
Bagaimanapun, sorot matanya tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
"Sialan! Senapanku!" maki si bibi. "Sebenarnya lentera apa itu?"
Bara tak menjawab. Dia sudah menyerang lagi. Polanya masih sama, dengan mengandalkan ledakan energi yang dihasilkan benturan kedua lenteranya. Berbekal pengalaman tempur sebagai tentara, Bibi Ivy berusaha menebak arah gerakan Bara.
Satu kali, dua kali, tiga kali ayunan lentera Bara tidak mengenai sasaran apa-apa.
"Nguo? Kenapa tak ada yang kena?"
Pada ayunan yang keempat, Bibi Ivy melihat kelengahan Bara. Setelah menghindari itu, tahu-tahu si bibi sudah melesat dan berada tepat di belakang Bara. Segera bibi itu mencabut pisau taktis miliknya dari rompi. Apakah dia akan menusuk Bara?
Seharusnya begitu.
Tetapi sedetik sebelum itu, dari sudut matanya, Bibi Ivy menangkap gerakan berbahaya dari suatu tempat. Ursa sudah membidik!
Terdengar tiga kali tembakan.
"Sial! Humany yang satu ini susah sekali ditembak!" omel Ursa.
Ya, seperti yang dikatakannya, ternyata Bibi Ivy sudah bermanuver untuk menghindari tembakan Ursa sesaat sebelum tiga tembakan itu meletup. Bidikan jitu Ursa gagal total. Tetapi setidaknya, upaya itu sudah menyelamatkan Bara dari satu tikaman yang fatal.
"Boneka Ursario itu sungguh merepotkan."
Bibi Ivy hanya sempat menyelesaikan satu kalimat keluhan, sebab Bara sudah kembali menyerbu dari depan.
"Dan Bara si lentera ini pun sama saja!"
Sekali lagi Bara mengayunkan lentera secara menyamping. Sayangnya, terbaca begitu mudahnya oleh lawannya. Bibi Ivy langsung menjatuhkan badan ke belakang, terlentang. Dengan demikian lentera Bara kembali menyapu udara kosong.
Dan Bibi Ivy melihat badan Bara terbuka tanpa pertahanan. Langsung saja ditendangnya perut Bara dengan sekuat tenaga.
"Nguoooh!"
Karena badannya yang kecil dan ringan, Bara begitu mudah diterbangkan hanya oleh tenaga tendangan Bibi Ivy. Sambil berteriak kesakitan, si Tumpara terlontar dan memantul dua kali di permukaan tanah, sebelum akhirnya tercebur kembali ke kolam mata air.
Bibi Ivy menoleh ke samping. "Sekarang adalah giliranmu, boneka beruang."
Ursa menatap ngeri begitu Bibi Ivy berlari mendekat ke arahnya. Sejumlah tembakan dilancarkan Ursa, tapi tak ada satu pun yang mengena. "Buraa! Lagi-lagi!"
"Terlalu cepat seratus tahun bagimu untuk bermain senapan melawanku, 'Demonlord' Ursario," ledek Bibi Ivy.
Hanya dalam satu kali lompatan, Bibi Ivy sudah tiba di samping Ursa. Terpaut sekian meter saja.
Ketika si boneka hendak menodongkan senapannya ke arah Bibi Ivy, malah senapan itu yang ditendang si bibi hingga terlepas dari tangan Ursa. Senapan itu terjatuh ke tanah.
"Putriku, Lana, juga punya satu boneka teddy bear," kata Bibi Ivy. "Tapi tak seberbahaya kamu!"
Tendangan kedua mengenai pinggang Ursa, membuatnya tersungkur ke samping. Dan serangan Bibi Ivy belum berhenti. Dia sudah bersiap menghujamkan pisau ke punggung si boneka.
Tapi tikaman itu hanya mengenai permukaan tanah.
Bertumpu pada kedua tangan, Ursa sudah terlebih dahulu melontarkan dirinya. Dia melayang di udara, tepat ketika pisau taktis Bibi Ivy menancap di tanah.
Dan sekarang, teknik baru Ursa bangkit. Ketika tangannya menjulur ke samping, senapannya yang berjarak empat meter darinya tiba-tiba tertarik oleh semacam kekuatan telekinesis. Dalam sekejab, senapan itu sudah ada lagi di tangan si boneka.
Bibi Ivy lengah. Moncong senapan Ursario sudah menempel tepat di pelipis kanan si bibi.
"Astaga, boneka ini!"
Ketika pelatuk senapan ditekan, bunyi nyaring itu seharusnya sudah menidurkan bibi tentara itu untuk selamanya. Bahkan Ursa tersenyum lebar, merasa sudah yakin akan kemenangannya.
Tetapi hanya dalam sekejab mata, senyuman itu runtuh.
"Bura...!?"
Sosok Bibi Ivy sudah menghilang dari hadapan Ursa. Bagaimana bisa? Padahal sedetik yang lalu masih tepat di depan muka. Yang terlihat hanyalah pisau si bibi yang masih menancap di tanah.
Ursa mendarat. Hidungnya langsung mendeteksi bau si bibi. Boneka beruang itu menoleh, dan sosok Bibi Ivy terlihat di sana. Terpaut sepuluh meter dari si boneka. Sejak kapan?
Gelang elektronis yang dikenakan di lengan kanan Bibi Ivy memercikkan listrik.
"Oh? Ternyata gelangnya masih bertahan?" gumam Bibi Ivy. "Baguslah. Tak akan kumaafkan pak tua itu kalau membuatkanku alat yang rusak dalam sekali pakai saja."
Rupanya, gelang itulah yang tadi membuat Bibi Ivy mampu melakukan perpindahan dalam sekejab. Istilahnya, teleportasi.
"Army Missy, kau ... tangguh," ujar Ursa.
Bibi Ivy tersenyum, "Ya. Kau juga, Ursario."
Deru angin membawa butiran pasir ke tengah-tengah mereka. Tapi kali ini, tak ada lagi ilusi yang tercipta. Keduanya telah begitu fokus, setidaknya untuk saat ini.
Dari jarak sepuluh meter, Ursa kembali membidik lawannya. Bibi Ivy merespon dengan mencabut sepasang pistol semi-otomatis dari sarung pistol di kedua sisi rompinya. Sekarang pistol itu sudah digenggamnya di masing-masing tangan.
"Boneka, tadi kau begitu kesal karena tembakanmu tak ada yang kena, 'kan? Gimana kalau sekarang aku tidak menghindar?"
"Bura? A-apa maksudmu?"
"Tembak saja, aku tak akan menghindar. Tapi kuingatkan, jangan ke sini," Bibi Ivy menunjuk ke badannya. "Percuma. Peluru mungilmu tak akan bisa menembus rompiku. Coba bidik kepalaku."
Ditantang seperti itu, tentu saja Ursa meradang. Tanpa ampun, senapannya langsung memuntahkan peluru secara membabi buta, mengincar kepala si bibi.
Tapi inilah yang tak akan pernah terbayangkan oleh si boneka.
Setiap peluru yang diletuskan oleh senapan Ursa dibalas oleh tembakan dari dua pistol Bibi Ivy. Benar-benar ajaib! Peluru mereka bertemu di udara, sama-sama hancur.
Dan bukan hanya satu, dua, dan tiga, melainkan seluruh tembakan Ursa yang jumlahnya selusin itu, semua gagal dengan cara yang sama.
Ah, sekarang kita semua tahu. Mengapa Bibi Ivy begitu percaya diri menantang Ursa untuk adu tembakan.
"Buraaa ... m-mustahil...!?"
Boneka beruang itu hanya bisa terpana. Peluru di senapannya sudah habis. Sebenarnya dia punya amunisi cadangan di balik jaket hitamnya. Tetapi saat ini, Ursa begitu terpaku oleh kelihaian sang bibi.
"Kalau begitu, Ursario. Selamat tinggal."
Selesai mengucapkan itu, sosok Bibi Ivy sudah menghilang. Ursa panik. Bukan apa-apa. Hidungnya langsung mencium bau si bibi, tepat dari arah belakang.
Sambil berjongkok, Bibi Ivy mencabut satu lagi senjatanya. Sebuah pedang pendek.
Sabetan pertama memutuskan kaki kanan si boneka beruang.
Tusukan selanjutnya menembus tubuh Ursa dari belakang.
"Jangan dendam padaku, ya?"
Kemudian Bibi Ivy menarik kembali pedangnya, menyisakan sebuah boneka beruang dengan badan berlubang dan kaki terpotong sebelah. Ursa rubuh.
Bibi Ivy menyarungkan kembali pedang pendeknya. Dia pun mencabut pisau yang tadi menancap di tanah. Adapun senapan Ursa beserta sejumlah amunisi cadangannya, telah disita oleh tentara itu. Sekarang, senapan kecil itu tersampir di punggung Bibi Ivy. Lumayan sebagai pengganti senapan serbu yang tadi dihancurkan Bara.
Gelang teleportasi di tangan kanannya, bagaimanapun, tampak sudah mengepulkan asap.
"Hhh ... rusak juga, akhirnya."
Setelah itu, pandangan si bibi beralih ke kiri. Agak jauh di sana, di seberang mata air, tampak seekor monyet jangkung yang rambut kribonya berwarna emas.
"Monyet kuning yang di sana!" teriak Bibi Ivy. "Kau mau menjadi lawanku selanjutnya?!"
Dari seberang, monyet itu pun membalas. "Salvatore Jackson! Tapi kamu bisa memanggilku Aa Sal, nona cantik! Jujur saja, aku tak mau menyakitimu! Lagipula, bukankah lawanmu masih belum kalah?!"
"Apa?!"
"Hati-hatilah! Jangan sampai dirimu terluka, cantik!"
Seketika, bulu roma Bibi Ivy berdiri. Yang pertama diceknya adalah 'mayat' si boneka. Langsung saja bibi itu menoleh.
Dan apa yang didapatinya?
Ursa masih bergerak. Dia merangkak perlahan-lahan, sembari salah satu tangannya memegang potongan kaki kanannya.
"Astaga! Masih hidup saja?" seru si bibi, kesal.
Ursa melirik ke belakang. "Bura! Masa' sudah ketahuan?" Karena trik 'pura-pura mati'nya gagal, Ursa buru-buru merangkak lebih cepat. Andai saja dia punya waktu, dia bisa menyambung kembali kakinya dengan teknik barunya.
Tetapi Bibi Ivy sepertinya tak akan memberikan Ursa kesempatan.
"Ah, sudahlah. Akan kucincang saja sampai beribu potongan," sambil berkata begitu, Bibi Ivy sudah menghunus pisaunya dan pedang pendeknya sekaligus. Dia pun berjalan perlahan, mendekati Ursa.
"Buraaa ...!"
Ursa menjulurkan tangan, berusaha memanggil senapannya seperti tadi. Tapi kali ini gagal. Senapan itu sudah tersemat begitu kuat di punggung Bibi Ivy.
"Ha! Mau menggunakan trik telekinesis murahanmu seperti tadi?" sindir Bibi Ivy. "Maaf, boneka. Sekarang senapan mungilmu sudah jadi propertiku."
"Urrgh ...."
Tampaknya, kali ini riwayat Ursa bisa berakhir. Tapi kuberi tahu saja. Boneka beruang itu masih punya teknik perubahan wujud yang mungkin bisa menyelamatkannya sekarang. Namun, teknik itu menguras energi jiwa yang sungguh besar. Dan dengan kaki yang hanya sebelah seperti ini, bahkan setelah berubah wujud pun dia tak akan bisa bertempur dengan baik.
Jadi, mari kita ucapkan selamat tinggal padanya. Atau yah ... kita bisa menyimpan salam perpisahan itu untuk lain waktu.
Kalian mendengar suara gemuruh itu? Bibi Ivy pun mendengarnya. Dari arah kolam mata air. Dan bibi melihatnya.
"Sungguh keterlaluan, makhluk-makhluk mungil ini!"
Cahaya lenteranya berubah menjadi biru terang. Dia berdiri menaiki ombak air tinggi yang perlahan-lahan membeku, membentuk semacam perosotan yang langsung dipakainya untuk meluncur. Dan kemudian melompatlah dia ke udara.
Di udara, kedua lenteranya terus membentuk jalur es, sehingga dia bisa terus meluncur tanpa henti.
Bara si Tumpara telah kembali.
<12>
Kita tengok Claude yang masih memata-matai dari kejauhan. Claudia, di sisi lain, masih terlelap di dalam ransel mereka.
"Sudah kuduga. Nyonya Mayor bernama Yvika Gunnhildr itu ternyata memang tangguh. Kemudian makhluk hijau kecil itu juga tak bisa diremehkan. Dan yang masih misterius ... si monyet. Kenapa dia tidak ikut bertempur?"
Claude masih menimbang-nimbang. Semua kemungkinan diperhitungkannya.
"Aku ataupun Claudia hanya perlu membunuh satu untuk menang. Dan kurasa, sebentar lagi aku harus membangunkan si tuan putri."
***
Sekarang, wujud oase itu berubah drastis. Kristal es menjulang di mana-mana. Sebagian permukaan mata air sudah membeku. Ini adalah ulah si Tumpara. Kekuatannya sebagai Bara-Rice telah muncul.
Bara mengayunkan lenteranya dari atas ke bawah, tetapi Bibi Ivy masih dapat menghindarinya dengan berguling satu kali ke samping. Lentera itu hanya menghantam tanah, menciptakan satu lagi kristal es yang besar.
"Nguooh!"
Serangan Bara tak berhenti sampai di sana. Dia menciptakan jalur es di udara dengan menaiki lentera birunya. Kemudian Bara meluncur ke sisi belakang Bibi Ivy. Kini, manuver si Tumpara tak bisa tertebak semudah tadi.
Kali ini, Bibi Ivy-lah yang panik.
Dia menembakkan kedua pistolnya. Tetapi Bara sudah berlindung di balik jalur es yang dibuatnya. Peluru-peluru itu hanya bersarang di tembok es, dan pelan-pelan peluru itu ikut membeku.
"Andai saja gelang teleportasiku masih berfungsi."
Bibi Ivy mengubah taktik. Dia menyarungkan kedua pistolnya dan ganti menghunus pisau di tangan kanan dan pedang pendeknya di tangan kiri. Sementara itu, Bara masih meluncur di udara dengan jalur esnya. Dia membuat jalur yang berliku-liku, memutar kesana-kemari di udara, untuk membingungkan Bibi Ivy.
Akan tetapi, Bibi Ivy sengaja berdiam di tempat. Yang diincarnya adalah serangan balik.
Dan saat yang ditunggu itu tiba juga.
Seketika, Bara sudah melompat mengincar Bibi Ivy dari sisi kanan. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, Bibi Ivy menusukkan pisaunya, mengincar leher si Tumpara.
Hampir kena ... kalau saja Bara tak mengubah manuver secara tiba-tiba. Dengan menggunakan lenteranya sebagai pijakan, Bara bersalto melewati atas kepala Bibi Ivy.
Dalam posisi yang jungkir balik, Bara menyabetkan lenteranya. Bibi Ivy mencoba mengelak, tetapi tidak terlalu berhasil.
Salah satu lentera biru Bara menyerempet bahu kiri Bibi Ivy. Berselang sedetik, bahu itu sudah diselimuti oleh es. Bibi itu langsung merasa dingin, seolah menusuk sampai tulang. Bekunya bahkan merembet sampai menutupi seluruh lengan kiri.
Kehilangan keseimbangan, Bibi Ivy pun terjatuh. Lengan kirinya mati rasa, kaku, bahkan pedang yang tadi digenggamnya kini terlepas.
"Kurang ajar...!"
Bibi Ivy hanya bisa mengumpat. Dia mencoba bangkit, tetapi Bara yang mendarat di sebelahnya sudah melancarkan serangan lain. Kedua kaki si bibi pun dihantam oleh lentera biru si Tumpara, tanpa ampun.
Bisa kalian bayangkan? Sekarang setengah tubuh Bibi Ivy sudah lumpuh. Dia tak bisa bergerak lagi, hanya bisa terbaring kaku menunggu nasib apa yang akan menimpanya.
Mengapa harus lengan kirinya yang membeku? Padahal, di sanalah terpasang zirah khusus yang mampu menciptakan medan energi yang bisa melindunginya. Tetapi kalau tertutup es seperti ini, tak mungkin untuk mengaktifkannya.
"Maaf, Tante."
Bara memungut pedang pendek yang tadi dijatuhkan Bibi Ivy. Kemudian dia melompat tegak lurus, begitu tinggi. Pedang itu digenggam dengan kedua tangannya, kuat-kuat. Ujungnya menghadap ke bawah, siap menghujam dengan memanfaatkan kekuatan gravitasi seluruh tubuh.
Akhirnya Bara melesat turun dengan sangat cepat.
Bibi Ivy yang pasrah hanya bisa menutup mata, bersiap menjemput ajal.
Ah, kalian bisa melihat percikan berwarna merah memuncrat sewaktu pedang itu menembus tubuh malang itu tepat di dadanya.
"Nguoo??"
Bibi Ivy membuka mata. Dia melihat sosok yang tinggi besar itu mengucurkan darah dari badannya yang ditembus pedang.
"Si monyet kuning?"
Sal menoleh dengan senyuman. "Hai, cantik. Padahal tadi sudah kuingatkan ... agar hati-hati, 'kan?"
Bara pun melongo.
"Sal?? Tapi mengapa? Mengapa kau melindungi tante itu?"
Sal menahan tubuh Bara di udara dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya sudah mengepal. Menyiapkan tinju.
"Rrrgh ... kau tahu, Hijau Cebol," dengan suara yang serak, Sal berkata, "menyebut nona cantik dengan panggilan tante itu tidak sopan, tahu!"
Bogem kiri Sal pun melayang, tepat mengena di muka si Tumpara hijau.
Hasilnya, Bara terjungkal keras membentur tanah satu kali dan memantul tinggi. Tetapi di udara, Bara sudah membentuk jalur es lagi sehingga dia berhenti di sana.
Mukanya tampak berantakan karena tinju dari Sal. Dan jelas, Bara masih tak mengerti apa yang sebenarnya ada di pikiran monyet itu.
Sal mencabut pedang yang menembus tubuhnya lalu mematahkan pedang itu dengan menghantamkan sisi bilahnya ke dengkul. Agak gegabah. Ketika pedang itu tercabut, darahnya malah mengucur deras dari lubang luka itu.
Tetapi Sal tampaknya tidak peduli. Dia sudah melesat maju, menerjang si Tumpara.
"Hijau Cebol!" seru Sal. "Aku benci orang yang rela menyakiti wanita, hanya demi kemenangan."
"Nguooh? Apakah ilusi kembali menyerang otakmu?"
Sal hanya menjawab dengan tendangan terbang berkecepatan tinggi. Bara terlambat mengelak. Telapak kaki Sal sudah menerjang perut si Tumpara begitu kuat.
Tapi sebelum terjatuh, Bara sempat menyabetkan lenteranya, membekukan sebagian muka Sal.
"Huh! Kagak mempan, tahu!"
Sal langsung menampar mukanya sendiri, menghancurkan es yang tadinya menutupinya. Setelah itu, kembali Sal melayangkan tendangan monyetnya.
Kali ini meleset.
Bara akhirnya emosi juga, "Nguooh! Kalau kau memang ngajak kelahi, aku tak akan sungkan!"
Apa yang terjadi selanjutnya mampu membuat Bibi Ivy yang menyaksikan dari jauh terheran-heran. Sosok kecil dan besar, saling bertarung begitu buas. Sama-sama mengandalkan gerakan akrobatik.
Bara meluncur di udara, memutari Sal, hanya untuk mendapatkan satu tendangan balik yang keras dari si monyet. Dan bukan hanya itu. Sal gantian menyerang dengan tendangan kapak yang didahului oleh salto. Sayangnya, gerakan itu begitu ceroboh, tak mengenai apa-apa. Malah kaki Sal yang dihantam oleh dua lentera beku Bara.
Sal tersungkur membentur tanah. Tetapi justru itu membuatnya semakin menggila. Tak menghiraukan darahnya yang terus mengucur deras, kembali Sal melancarkan tendangan terbang dengan satu kakinya yang belum beku.
Bara bersiap untuk menghalau itu tanpa menyadari kalau tendangan Sal yang ini adalah tipuan.
Sal menarik kakinya, membuat ayunan lentera Bara yang tadinya mengincar kaki itu hanya menyabet udara. Setelah itu, barulah Sal menyarangkan tendangan yang sesungguhnya.
Bara terpental tinggi, tetapi Sal baru memulai rangkaian serangannya.
Dengan memantul-mantul di jalur es yang dibuat Bara, Sal sudah tiba tepat di atas Bara. Tendangan berikutnya meluncurkan tubuh mungil itu ke samping. Lagi-lagi Sal memanfaatkan jalur es untuk berpindah tempat, menyusul Bara. Ditendangnya lagi Bara untuk kesekian kalinya.
Rangkaian serangan udara ini seolah tak berhenti. Jalur-jalur es itu malah beralih fungsi menjadi panggung akrobatik Sal. Bara jadi bulan-bulanan si monyet kribo yang kini seperti sudah kesetanan.
Dan ini adalah tendangan penutup dari Sal.
Tubuh mungil Bara meluncur tegak lurus menghujam bumi. Berdebam begitu nyaringnya. Permukaan tanah meretak lebar ke segala arah. Debu dan pasir berterbangan.
Bara sudah tak berdaya. Wujudnya kembali seperti biasa, bukan Bara-Rice lagi.
Kondisi Sal pun begitu parah. Entah sudah berapa liter darah yang meninggalkan tubuhnya. Dia tak bisa lagi menjaga keseimbangan sehingga terjatuhlah dia dari salah satu pilar es.
Di saat seperti itu, matanya malah melirik ke samping. Ke arah Bibi Ivy. Sal melemparkan senyuman terindahnya, sebelum akhirnya dia menghantam tanah juga.
Bibi Ivy yang melihat itu, hanya bisa tersenyum miris.
"Maaf, monyet manis. Aku sudah punya suami."
***
Seluruh es yang dibuat Bara tahu-tahu mencair, seiring dengan robohnya si Tumpara. Jalur-jalur es itu menjadi air, langsung mengguyur bumi seperti hujan yang lebat.
Es yang tadinya membekukan setengah tubuh Bibi Ivy juga ikut melebur. Sekarang dia sudah terbebas.
Atau tidak?
Berjarak hanya semeter di sebelah Bibi Ivy, sudah ada monster pemenggal kepala yang menunggu.
"Kita bertemu lagi, Nyonya Mayor," sapa Claudia. "Aku iri padamu yang punya tubuh tinggi atletis seperti itu."
Bibi Ivy segera memalingkan wajah ke arah sumber suara, hanya untuk menemui ayunan pisau penjagal dari sang Dullahan.
<13>
Beberapa saat sebelumnya, Ursa sudah berdiri di antara dua makhluk yang terbaring kaku. Ya. Selagi Bibi Ivy sibuk meladeni Bara, si boneka beruang memanfaatkan kesempatan itu untuk mencoba teknik regenerasinya yang merupakan hasil ekstraksi dari jiwa petarung seorang Imagyn.
Kaki kanan Ursa sudah tersambung seperti sedia kala. Lubang di perutnya sudah tertambal. Sekarang yang ditunggunya adalah saat-saat kematian dari dua makhluk yang ada di hadapannya.
"Yellowy Monkey, Greeny Tumparey. Kondisi kalian menyedihkan sekali."
Sal, yang ternyata masih punya sisa-sisa nafas, mendongakkan kepala untuk melihat sosok Ursa.
"Uhuk ... uhuk ... Beruang Kontet," Sal berkata sambil terbatuk darah, "m-mau apa kau di sini?"
Yang ditanya malah menjawab dengan seringai licik.
"Sayang sekali senapanku sedang disita si Humany itu," ujar Ursa. "Jadinya aku tidak bisa menembak kepalamu, Yellowy Monkey."
"A-apaa?"
"Sudah, cepatlah mati! Aku butuh jiwamu. Atau," kemudian Ursa melirik ke arah lain, "sepertinya lebih baik kuambil dulu jiwa Tumparey ini."
Si boneka mulai merapal mantra-mantra dalam bahasa asing. Pelan-pelan, tubuhnya mulai memancarkan aura kegelapan, tanda kalau dia sedang menggunakan sihir Ursa Demon.
Tetapi ...
Di depan tubuh Bara sudah muncul sebongkah batu kecil berwarna merah, melayang-layang. Batu itu kemudian memberikan suplai energi roh kepada kedua lentera bara, membuat lentera itu kembali memancarkan cahaya terang. Kali ini berbentuk bintang kemerahan.
Dan seperti mukjizat, Bara yang tadinya sudah roboh bisa bangkit kembali. Meskipun dengan tubuh berbalut luka, raut wajah Bara malah menampakkan kesegaran.
Dia sudah kembali fit.
"Terima kasih. Roh Longan."
Batu merah itu diambilnya, untuk segera dimasukkannya kembali ke dalam ransel.
"Buraaa! Tak mungkin!" Ursa hanya bisa membatalkan mantranya di tengah jalan. Dia tidak bisa menghisap jiwa dari makhluk yang belum mati.
Tetapi yang paling terkejut adalah Sal. Monyet sekarat itu hanya bisa menatap dengan penuh tanda tanya.
"Errrgh...!" suara Sal bergetar. "Cebol, dan Kontet, tapi ... kalian berdua ini ... ternyata monster, ya?"
Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut Sal.
Dia terkulai lemas, akhirnya menghembuskan nafas penghabisannya.
"Nguuh!" Bara sedikit terisak. "Maaf, Sal. Aku tak berniat membunuhmu. Kau monyet yang tangguh."
Sementara itu, Ursa melangkahkan kaki ke belakang, mundur perlahan-lahan. Instingnya tahu. Tanpa senjata apa-apa, dirinya tak akan mampu menghadapi Bara dalam wujud Bara-Longan itu.
Apakah Ursa harus mengubah wujudnya juga?
Tetapi Bara malah melompat tinggi.
"Maaf, Ursa-ngioh," katanya, "kita akan mengobrol di lain waktu. Aku ada perlu dengan Tante itu!"
Bara mengibaskan kedua lenteranya, menimbulkan ledakan energi yang berbentuk seperti trampolin. Memanfaatkan itu, Bara langsung melesat dengan kecepatan begitu luar biasa.
***
Kepala Bibi Ivy hampir saja terpenggal oleh pisau penjagal itu, ketika tiba-tiba justru sang Dullahan yang terpental. Dia diserang dari arah yang tak diduganya.
Bara-lah yang tadi menabrak sosok penjagal itu, si Claudia, membuatnya tersingkir jauh dari hadapan Bibi Ivy.
"Kau ... si lentera ... masih hidup?" Bibi Ivy bingung harus bereaksi seperti apa. "Kenapa menolongku?"
"Jangan salah, Tante," balas Bara. "Aku hanya tidak suka kalau ada orang lain yang mengambil mangsaku."
"Oh, ya?"
"Gara-gara dirimu, aku jadi membunuh orang yang tak bersalah."
"Hei, jangan seenaknya buat aku seperti kambing hitam. Aku tidak pernah meminta si Monyet Kuning untuk menyelamatkanku."
"Nguoooh! Aku belum puas kalau belum menghajarmu, Tante. Melihatmu aku langsung terbayang para Motavatu jahat itu."
"Aku tidak kenal dengan Motavatu atau apapun itu. Tapi jangan kira kalau aku sungkan untuk menjahatimu, bocah lentera. Oh, kuperingatkan. Aku bisa jadi sangat JAHAT."
Melihat wujud baru Bara, semangat bertempur si bibi malah bangkit. Dengan gerak cepat, dia sudah menarik dua pistol dari rompinya.
Langsung saja Bara menjadi sasaran tembak. Tetapi dia rupanya sudah lebih dulu melompat tinggi, menghindari itu.
Dan setiap Bara bersalto, gelombang energi memantulkan tubuhnya ke arah lain dengan kecepatan luar biasa. Mata si Bibi begitu kesulitan mengikuti pergerakan Bara. Si Tumpara terus memantul ke kiri, kanan, kiri, atas, kiri, kanan ... seolah tak ada hentinya.
Tembakan Bibi Ivy yang dikenal jitu pun tak mampu menyentuh Bara sama sekali.
Suatu ketika, pantulan Bara mengarah ke bawah, tepat mengincar posisi Bibi Ivy berdiri.
Itulah yang ditunggu-tunggu oleh si bibi.
Segera Bibi Ivy mengaktifkan kemampuan zirah di tangan kirinya. Tentu saja pemilihan momennya harus pas, yaitu ketika Bara sudah terlalu dekat sehingga tak akan sempat melakukan pengereman ataupun mengubah manuver di udara.
Seperti sebuah kubah, di sekeliling Bibi Ivy langsung terbentuk medan energi yang kokoh. Benar saja. Bara menabrak medan energi itu dengan kecepatan tinggi, hanya untuk tersungkur ke tanah dengan dentuman yang dahsyat.
Bayangkan kalian berlari sekuat tenaga lalu tanpa kalian sadari ada tembok yang menghadang kalian. Bayangkan sakit yang kalian rasakan sewaktu membentur tembok itu. Nah, rasa sakit yang saat ini dialami Bara adalah sepuluh kali lipat dari itu.
"Nguuo....."
Debu dan pasir berterbangan di sekitar Bara. Sekujur tubuhnya terasa ngilu tak tertahankan. Tetapi dia harus segera bangkit. Sebab, Bibi Ivy sudah menghampirinya dengan dua pistol yang siap meletup.
Bara menghujamkan lenteranya ke tanah sebagai tolakan. Kemudian tubuhnya bersalto dengan putaran yang sedikit saja. Tetapi itu sudah cukup untuk memunculkan trampolin energi.
Menggunakan itu, Bara kembali melontarkan tubuhnya.
"Apa?!"
Bibi Ivy tak sempat menghindar. Badan Bara sudah menabraknya, mengenai kepala dan badan bagian atas. Keduanya sama-sama terjungkal.
Penutup mata Bibi Ivy terlepas dan pecah. Bahunya serasa lepas dari engselnya. Atau memang benar-benar lepas? Yang jelas itu menyakitkan baginya. Dia meraung-raung, berguling ke kanan ke kiri menahan penderitaan itu.
Sementara itu Bara sudah kembali berdiri.
Melihat itu, Bibi Ivy buru-buru mengambil senjata lain yang belum dipakainya. Itu adalah sepasang pisau lempar berukuran kecil yang tersembunyi di betisnya. Dari posisi yang masih setengah berbaring, dilemparkanlah kedua pisau kecil itu.
Satu berhasil dihindari Bara. Satu lagi hanya menyerempet tangan, mengoresnya.
"Ngoahaha!" tawa Bara bangga. "Sayang sekali, Tante. Lemparanmu mele...set...??"
Tiba-tiba Bara merasa begitu aneh. Kakinya langsung lemas tak mampu menahan bobot tubuh, sehingga dia jatuh tengkurap. Sekujur badannya merinding.
"Ini ... racun?"
"....ya. Sejenis pelumpuh syaraf. Tapi kuberi sedikit modifikasi, untuk membuat siapapun yang terkena itu jauh lebih menderita."
Benar saja. Sekarang Bara merasa badannya seperti diremuk-remukkan, ataupun seperti dicelup ke dalam penggorengan yang mendidih. Bara hanya bisa menjerit melawan itu.
"Nguooooh!! Ini ... tidak sakit! Aku tak merasa sakit ... sama ... sekali...!!"
Bibi Ivy tersenyum sedih. Mungkin melihat sosok Bara yang mungil membuatnya sedikit iba. Seolah dirinya sedang mengerjai anak kecil seumuran putrinya. Dan melihat Bara mencoba menahan racun itu ... malah membuat hati Bibi Ivy teriris.
"NguoooohHH!! Aku ... tak akan ... mati ... oleh ... racun....!!"
Namun kondisi Bara menunjukkan gejala sebaliknya. Urat matanya menegang. Mulutnya mulai berbusa.
Tak tega melihat lawannya lama menderita, Bibi Ivy bermaksud untuk segera mengakhiri ini. Dia mulai bangkit meskipun bahu kanannya sudah remuk. Tangan kirinya mencabut sebilah pisau taktis, menghunusnya.
Tetapi ....
Sebuah batu berwarna kuning mencuat keluar dari ransel punggung Bara. Batu itu melayang di depan si Tumpara, memercik-mercikkan listrik. Kemudian batu itu bercahaya.
Lentera Bara yang tadinya padam, kini bersinar kuning. Terang sekali. Rupanya batu itu memberi lentera Bara asupan energi roh yang baru.
"Astaga! Monster ini!" seru Bibi Ivy.
Ya. Bara bangkit lagi untuk kesekian kalinya. Badannya berpijar kekuningan. Kondisinya kembali prima. Racun syaraf tadi seperti sirna begitu saja. Wujudnya kini bernama Bara-Onion.
"Terima kasih, Roh Onion."
Bara memasukkan kembali batu kuning itu ke dalam ransel.
Bibi Ivy tertawa kaku, "Hah! Kesialanku belum berakhir, rupanya."
Bab 4—Mereka yang Berguguran
<14>
Di sisi oase yang lain, Claudia mengutuki kesialannya. Siapa yang mengganggunya tadi? Kini seluruh pakaiannya kotor karena tadi tubuhnya terseret begitu jauh di permukaan tanah.
"Sudah kubilang, Claudia," kata Claude dari dalam ransel, "tak perlu basa-basi 'Kita bertemu lagi, Nyonya Mayor. Aku iri padamu yang punya tubuh tinggi atletis seperti itu'. Harusnya kamu langsung penggal saja kepala si Nyonya Mayor secara diam-diam."
"Diam, Claude. Kepalaku masih pusing, nih."
Dengan badan terhuyung-huyung Claudia mulai berjalan.
"Nah, sekarang bagaimana?" katanya kepada Claude. "Apa kita cari target lain saja?"
"Saran yang bagus. Dan kita tak perlu mencari jauh-jauh. Lihat."
Kepala Claude menyembul keluar, matanya melirik ke kiri menunjukkan sesuatu pada Claudia.
"Ah, si boneka beruang."
"Ya. Silahkan saja kamu yang melawannya, tuan putri."
"Kenapa tidak kamu saja, Claude?"
"Aku ... penyayang binatang. Aku tidak tega menyakiti beruang itu."
"Oh, tolonglah. Dia cuma boneka."
"Kuyakinkan kamu, dia bukan CUMA boneka. Tadi kakinya terpotong dan badannya tertembus pedang. Tetapi lihat sekarang, seperti tidak pernah terjadi apa-apa."
"Ho. Jadi apa pendapatmu, Claude?"
"Kurasa tubuhnya, secara teknis, mirip dengan kita. Jangan incar kerusakan kecil, lebih baik fokus pada penghancuran total."
"Tinggal cabik-cabik saja, 'kan? Ini akan sangat mudah."
"Sekarang saat yang tepat, saat senapannya disita oleh si Nyonya Mayor."
"Oke, Claude. Mau taruhan? Kurasa aku bisa menghabisinya tanpa harus menggunakan claustroclaucht."
Saat itu, Ursa sedang melakukan ritual penyerapan jiwa Sal. Boneka beruang itu berkomat-kamit, membaca mantra, sembari seluruh tubuhnya diselimuti aura kegelapan.
Sedikit dibukanya suatu retsleting yang tersembunyi di lebatnya bulu, di tempat paling rahasia di tubuh boneka itu.
"Aku, Ursario, titisan dari Demonlord penguasa Ursa-Regalheim, mengakui jiwa tangguh yang kau miliki, wahai Yellowy Monkey!"
Kemudian secara ajaib, energi jiwa Sal yang tadinya hendak menghilang, malah tersedot ke dalam tubuh Ursa melalui celah retsleting itu.
"Buriyeaah! Aku merasa semakin kuat, sekarang!"
Baru saja Ursa bergembira atas jiwa baru yang diserapnya, hidungnya telah mendeteksi sesuatu. Datangnya dari arah belakang. Begitu dia menoleh, telah tampak sesosok wanita berbaju hitam putih.
"Mengumpulkan roh seperti itu ... kau punya hobi yang buruk, boneka beruang," sapa Claudia. "Gimana kalau kita main-main sebentar?"
Sepertinya sapaan itu hanya basa-basi, karena setelah itu Claudia sudah menikamkan pisau jagalnya ke ubun-ubun Ursa.
"Holly Beary!!"
Sekalipun sambil terkaget, Ursa berhasil mengelak ke samping. Kepalanya selamat, untuk saat ini. Hanya saja, robekan di pinggir topinya jadi bertambah.
"Apa-apaan ini? Knifey Girly! Kau suruhan Luxa Demony?"
Claudia menyeringai, "Luxa Demony? Ya, benar. Tadi mereka baru saja memesan sesuatu. Mereka mau 'boneka beruang cincang' yang dipanggang secara 'medium'."
Claudia terus menusuk-nusukkan pisau jagalnya ke bawah. Ursa melompat ke kiri dan ke kanan, menghindari semua itu. Tetapi suatu ketika, lompatannya malah mengarah ke depan kaki si gadis penjagal.
Tak ayal, ditendanglah Ursa sekuat-kuatnya oleh Claudia.
Si boneka terlempar tinggi, sebelum akhirnya menyusruk ke suatu gundukan pasir. Kepalanya tenggelam di sana.
Buru-buru dia menarik kepalanya.
Sekarang topi dan kacamata gelapnya sudah semakin berantakan. Ursa menggeram kesal.
"Ngggrrr...! Biarpun tanpa senapan, suruhan Luxa Demony sepertimu masih bisa kuatasi! Ayo bangkitlah, jiwa petarung dari tanah Bataky! Buraaaooooowwwrr!"
Claudia memiringkan kepala, "Ha? Boneka beruang itu mengeong? Jangan-jangan isi boneka itu sebenarnya adalah kucing??"
Kemudian Claudia melihat badan Ursa diselimuti bayangan gelap. Terpaksa gadis itu bertanya pada kekasihnya yang masih berdiam di dalam ransel.
"Itu apa, Claude?"
"Aku tak tahu. Tapi hati-hatilah."
"Kamu tak membantu sama sekali."
Aura kegelapan yang menutupi tubuh si boneka mulai menipis, seperti membran hitam transparan.
Lalu Ursa berlari, melesat maju. Sangat cepat sehingga tahu-tahu sudah di depan Claudia.
Gadis itu, sambil setengah berjongkok, langsung menebaskan pisaunya secara menyamping. Tetapi Ursa malah menangkap pergelangan tangan Claudia. Ditariklah tangan itu oleh Ursa, sehingga gadis itu kehilangan keseimbangan. Terakhir, Ursa menyelengkat salah satu kaki Claudia.
Claudia tersungkur dengan muka mencium tanah.
Selanjutnya, Ursa sudah menjatuhkan diri sambil menghujamkan siku ke tengkuk Claudia.
Kepala gadis itu copot, kemudian melayang ke udara. Kepala itu memutar wajah menghadap Ursa, lalu memelototi si boneka.
"Sakit, tahu!"
Tiba-tiba badan si gadis pun berdiri, walau tanpa kepala. Ursa meloncat kaget.
"Bura? Apa-apaan itu?"
Tangan Claudia meraih kepalanya dan memasangnya lagi di badannya. Setelah itu, ransel yang dibawa Claudia pun terbuka, memunculkan satu lagi kepala. Kali ini kepala lelaki, yaitu Claude.
"Ada satu lagi? Sebenarnya kalian ini Demony dari jenis apa?!"
Claudia tertawa, "Wahaha. Kami adalah Super Two-Headed Demony, utusan dari Luxa Demony yang kau takuti. Mata kami dapat menembakkan laser yang bisa membakarmu sampai tak bersisa."
"Apaa? S-sungguhan?" Ursa mulai panik. "T-ternyata mereka memang sudah mengetahui keberadaanku sampai ke sini...??"
"Bohong, kok. Kami berdua hanyalah Dullahan," Claude yang menjawab. Kemudian dia melirik ke samping, "Dan Claudia, berhenti mempermainkan si beruang kecil. Kasihan."
"Ah, kamu tidak seru, Claude!" omel Claudia. "Padahal dia lucu sekali kalau ketakutan begitu."
Merasa sudah tertipu mentah-mentah, Ursa murka juga. Sambil menjejak-jejakkan kaki kanannya ke tanah, dia berkata, "K-ketakutan? Memangnya siapa yang takut? Aku adalah Ursario yang akan memusnahkan seluruh Luxa Demony sampai tak ada yang tersisa!"
"Ho. Seram sekali," ledek Claudia.
"Errh ... aku akan mengawasi saja. Dari atas. Selamat bertarung," setelah berkata demikian, kepala Claude melayang tinggi. Rupanya dia benar-benar enggan berhadapan dengan 'binatang'.
Jadi, apakah pertarungan itu akan dilanjutkan?
Ya, tentu saja.
Lihat, Ursa pun sudah tak sabar. Dengan tubuh yang masih diselimuti aura kegelapan yang tipis, dia melompat ke depan muka Claudia.
Ursa melancarkan tendangan terbang. Mungkin terinspirasi dari teknik Sal tadi.
Sayangnya, Claudia sudah bersiap. Ketika dia mencondongkan badan ke belakang, tendangan terbang Ursa pun dihindari dengan mudah. Malah, Claudia balik menyabetkan pisau jagalnya.
Si boneka berusaha mengelak, tapi tak begitu berhasil. Lengan kanannya tergores, untungnya tidak begitu dalam.
"Huh. Kurang telak," keluh Claudia.
Ursa mendarat di belakang Claudia. Kini, si boneka telah siap dengan serangkaian serangan.
Pertama, Ursa menendang belakang lutut Claudia, meruntuhkan keseimbangan gadis itu.
Kemudian, pada saat badan Claudia mulai terjatuh ke belakang, Ursa melancarkan pukulan bertubi menghajar pinggang si gadis.
Claudia balas menusukkan pisaunya, seperti biasa. Tetapi dalam posisi goyah seperti itu, genggaman pisaunya tak akan begitu kuat. Ketika Ursa membalas dengan tendangan menyamping menghantam punggung tangan Claudia, terlemparlah pisau itu ke udara.
Kini Claudia tak punya senjata sama sekali, sementara tubuhnya sudah hampir menyentuh tanah.
Ursa menambah derita Claudia dengan meninju telinga si gadis begitu kuat, membuatnya pusing.
Claudia jatuh terjengkang, dengan posisi badan menyamping.
Detik selanjutnya, Ursa melompat menangkap pisau jagal Claudia di udara. Yang diincar Ursa adalah tusukan fatal di pelipis dahi Claudia.
Claudia bahkan tidak menyadari itu, namun ....
"Claudia! Gunakan claustroclaucht!"
Mendengar suara Claude, badan Claudia bergerak mengikuti naluri. Dari sudut matanya, si gadis bisa melihat Ursa akan segera menikamnya dari udara.
Claudia menjulurkan tangannya.
Dan apa yang terjadi?
Tiba-tiba gerakan Ursa terhenti di udara.
"Bura? Kenapa tubuhku...?"
Ursa berusaha meronta-ronta, tetapi dia tidak bisa melepaskan diri dari belenggu tak kasat mata yang menahannya di udara.
Tanpa melepaskan pandangannya ke boneka itu, Claudia beranjak bangkit. Akhirnya dia menggunakan tekniknya juga. Kemampuannya adalah memanipulasi ruang. Claudia—dan hanya dia saja—mampu menciptakan bangun ruang tak terlihat, yang selain tak bisa dihancurkan, juga terkadang berguna untuk mengunci pergerakan musuh.
Memang, luas bangun ruang yang bisa diciptakannya hanya sebatas bola sepak saja. Tetapi ukuran itu sudah lebih dari cukup untuk mengurung seekor boneka beruang yang tingginya hanya sekitar 30-an centimeter.
"Hhh ... boneka yang berbahaya. Kembalikan!"
Claudia merenggut kembali pisau jagalnya dari tangan Ursa.
Sementara itu, kepala Claude perlahan-lahan turun, hingga berhenti di samping Claudia.
"Sudah kubilang di bukan boneka beruang biasa," kata Claude.
"Ya. Hampir saja aku mati tadi, kalau saja aku tidak mendengar teriakanmu," Claudia menghela nafas panjang. "Jadi sekarang, bagaimana cara menghabisi boneka ini?"
"Kita bisa mulai dari apa yang menjadi keahlian kita. Yaitu memenggal kepala."
"Haha. Aku suka itu."
Setelah sepakat dengan metode yang akan mereka gunakan, Claudia pun mendekatkan mata pisau jagalnya ke leher Ursa. Hanya dalam satu gorokan, kepala Ursa akan segera melayang.
Tapi benarkah si boneka beruang menyerah semudah ini?
Kalau kalian lupa, inilah saatnya aku mengingatkan kalian tentang teknik rahasia Ursario, inkarnasi dari Demonlord. Dia bisa berubah wujud.
"Burrraaah!!"
Seketika, aura kegelapan di tubuh Ursa menjadi semakin pekat. Dan sekejab kemudian, pendaran cahaya gelap itu menghilang. Bulu-bulu Ursa berubah terang, coklat kekuningan. Badannya tidak membesar, justru malah menjadi lebih ramping.
Wujud Ursa sekarang adalah boneka beruang madu yang mungil.
Langsung saja angin meletup kencang, seolah meledak keluar dari tubuh si boneka.
"Arh! Apa ini?"
Claudia tersentak. Karena angin kencang itu, refleks dia menutup matanya. Dan ini berarti teknik claustroclaucht-nya sirna. Ursa bisa melepaskan diri.
"Claude! Ini...?!"
"Boneka beruang itu ..."
Saat mendarat di tanah, langsung saja Ursa melompat ke belakang untuk kemudian berlari sampai jarak tertentu. Dia mencari jarak aman. Dalam wujud yang sekarang, Ursa hanya bisa menyerang dari jauh dengan memantra sihir-sihir berelemen alam.
Namun, perubahan wujud ini memerlukan energi jiwa yang begitu banyak. Ursa hanya bisa mempertahankan bentuk boneka beruang madu ini sekitar beberapa menit saja.
Dia harus menyerang dengan efektif, dan efisien.
Sihir pertama adalah angin.
Berkat pengamatannya tadi, Ursa menyadari kelemahan dari teknik claustroclaucht lawannya. Yaitu penglihatan. Teknik aneh Dullahan itu ternyata hanya bisa bertahan selama matanya masih menatap targetnya. Makanya, Ursa memanggil angin kencang untuk memenuhi tempat ini.
Dan karena wilayah ini adalah padang pasir, maka angin itu akan lebih berefek karena turut membawa butiran-butiran pasir yang bisa membuat mata ... err ... kelilipan.
"Claude! Mataku kemasukan debu!"
"Tenang, Claudia. Jangan panik. Selama bisa memperkirakan posisi musuh, claustroclaucht kita masih bisa bekerja."
Sihir kedua adalah tanah.
Ursa memunculkan puluhan tonjolan batu di permukaan tanah, seperti stalagmit-stalagmit. Tidak tajam, tapi sangat besar. Tujuannya memang bukan untuk menyerang Claude ataupun Claudia. Melainkan untuk menyembunyikan sosok Ursa sendiri dari pandangan mereka.
Terlindung di balik bebatuan besar itu, Ursa bergerak berpindah-pindah, sembari mencari celah.
"Oke, Claude. Kalau begini, bagaimana memperkirakan posisi si boneka?"
"...."
Sihir ketiga adalah pepohonan, tepatnya sulur berduri.
Dari sekeliling permukaan tanah tempat Claudia berdiri, tiba-tiba menyeruaklah puluhan sulur tajam yang langsung mengarah sang Dullahan.
"Claudia!" seru Claude.
"Ya, aku tahu!" balas Claudia.
Kemampuan claustroclaucht mereka yang kedua adalah mengubah orientasi arah dari sesuatu. Baik Claude ataupun Claudia, sama-sama bisa melakukan ini.
Saat Claudia mengaktifkan teknik ini, sulur-sulur itu tiba-tiba berubah jalur menjauhi dirinya. Tetapi tidak semuanya, sayang sekali. Beberapa sulur lepas dari pengamatan gadis itu, dan tetap mengarah ke tubuhnya.
"Ganti!"
Seketika, Claude mengambil alih tubuh Dullahan itu, menggantikan Claudia. Kini Claude bisa mengaktifkan teknik claustroclaucht miliknya, yaitu pertukaran dua objek.
Yang ditukar adalah pisau jagalnya. Berganti dengan satu batu besar hasil sihiran Ursa. Akibatnya, sulur-sulur itu malah menancap di batu itu, alih-alih tubuh Dullahan Claude.
"Ah, Claude! Kenapa kau buang pisau jagal kita?"
"Aku tak sempat memikirkan objek lain untuk ditukar. Nanti kita pungut lagi. Sekarang pikirkan untuk keluar dari kurungan sulur-sulur ini."
"Dan angin kencang ini masih saja mengganggu."
Claude dan Claudia tidak menduga kalau masih ada sihir keempat. Sihir sulur tadi sesungguhnya hanyalah pengalih perhatian saja. Dan apakah bentuk sihir keempat itu?
Bunga.
"Hei, Claude. Sejak kapan ada kembang baby blue di punggungmu?" kata kepala Claudia.
"Hah?"
Seperti yang dikatakan Claudia, sudah ada lima bunga biru yang menempel di badan Claude. Tapi bukan sekedar menempel.
"Ini...!?"
Claude pun menyadarinya.
Baby blue yang 'ini' adalah bunga parasit yang sudah mengakar di tubuhnya. Dan efeknya sungguh tak disangka.
Tubuh Dullahan—yang katanya abadi itu—mulai terurai menjadi butiran tanah. Claude ingin segera mencabuti bunga biru itu. Tetapi apa daya, dua baby blue yang menempel di bahunya telah melebur bahu itu menjadi tanah. Kedua tangannya terlepas. Disusul dengan kedua kakinya. Dan terakhir, badannya.
Tak mau proses penguraian itu merentet sampai ke kepala, buru-buru kepala Claude melepaskan diri.
"..."
"....."
Entah itu Claude ataupun Claudia, keduanya sama-sama tak percaya.
Hanya dalam waktu kurang dari satu menit, tubuh Dullahan yang selalu melindungi mereka selama seabad, telah berubah menjadi tumpukan tanah. Dengan kondisi tanpa tubuh seperti sekarang, bahkan kemampuan claustroclaucht yang mereka banggakan pun lenyap.
"Kehabisan kata-kata, Twinny Heady?"
Claude dan Claudia langsung menoleh, dan mereka melihat sosok si boneka beruang madu, Ursa. Boneka itu sudah memantra sihir penutup, yang sama dengan sihir pertama. Yakni angin.
"Waaah!"
"Tidak..!"
Claude dan Claudia yang hanya tinggal kepala tak berdaya menolak hempasan angin itu. Mereka terbawa begitu tinggi. Suatu ketika, angin itu menjauhkan jarak di antara keduanya, hanya sebagai ancang-ancang untuk membenturkan kedua kepala itu.
Kalimat penutup yang terdengar dari mulut mereka ....
"Claude, aku mencintaimu..."
"Ya, aku juga mencintai kamu. Claudia..."
Kepala Claude dan kepala Claudia akhirnya bertabrakan begitu kencang di udara. Setelah itu, keduanya jatuh ke bumi dalam keadaan hilang kesadaran.
Tubuh Ursa kembali seperti sedia kala dengan efek samping, yaitu kelelahan yang luar biasa. Dia hanya bisa berbaring di atas salah satu batu besar, beristirahat.
Ursa melihat ke bawah, tak jauh dari posisinya. Dua kepala tampak tergeletak begitu dekatnya. Sungguh aneh. Senyuman Claude dan Claudia tidak menghilang sekalipun mereka tak sadarkan diri. Keduanya terlihat bahagia. Mungkin yang mereka mau memanglah hanya kebersamaan. Berdua, dalam kondisi apapun.
"Urrrgh ... Twinny Heady itu masih hidup," keluh Ursa. "Kalau begini sih, aku tidak bisa menghisap jiwa mereka. Buraa. Andaikan teknik perubahan wujud ini tak terlalu menguras energi."
Ursa menghela nafas.
"Aku butuh tambahan tenaga ... segera."
<15>
Tadi kita sudah dihibur dengan menyaksikan pergulatan seru antara Ursa melawan Claude dan Claudia. Sekarang, kita akan kembali menyaksikan dua peserta lain yang masih saja bertarung secara sengit. Seolah, mereka adalah musuh bebuyutan saja.
Bara si Tumpara dan Bibi Ivy.
Perkelahian mereka sudah berpindah lokasi berkali-kali. Sampai akhirnya, mereka tiba juga di bekas medan tempur Ursa. Melihat pinggiran oase itu telah berubah seperti kumpulan monumen batu, tentu mereka terkejut. Tetapi untuk saat ini, mereka mengesampingkan pertanyaan apapun.
Sebab, ini adalah klimaks dari pertempuran mereka berdua.
Mungkin kalian sudah menanti-nanti, siapa yang akhirnya menang di antara keduanya.
"Ngoooahhh!"
"Gawat—!"
Ketika lentera kuning Bara mengayun rendah, kaki Bibi Ivy terkena telak. Percikan debu-debu emas yang menguar dari lentera Bara tampak begitu indah. Bersamaan dengan suara ledakan, badan bibi yang tingginya tiga kali lipat Tumpara itu malah terpelanting begitu mudahnya.
Bibi Ivy mendarat dengan kepala terlebih dahulu, sebelum terguling satu kali ke belakang.
Saat ini, satu-satunya senjata yang ada di tangannya hanyalah senapan mungil milik Ursa. Kedua pistol semi-otomatisnya sudah kehabisan amunisi. Pedang pendeknya dipatahkan Sal, sedangkan pisau taktis itu entah terjatuh di mana.
Sambil menahan rasa sakit di bahu kanan yang sudah semakin remuk, bibi mengarahkan senapan itu. Dia memegangnya dengan satu tangan kiri. Dalam posisi setengah tengkurap, Bibi Ivy menembak.
Senapan mungil itu meletus memuntahkan peluru.
Bidikan Bibi Ivy tepat mengenai muka Bara, menghancurkannya sampai berkeping-keping. Atau begitulah kelihatannya. Nyatanya, bukan hanya kepala Bara yang 'pecah', melainkan seluruh tubuhnya. Secara ajaib, badan Bara mengurai menjadi debu-debu keemasan.
"Lagi-lagi...?!" Bibi Ivy hanya bisa memaki.
Debu-debu yang sama tiba-tiba muncul tepat di samping kiri Bibi Ivy. Sosok Bara mewujud lagi ketika debu-debu keemasan itu menyatu.
Dan sosok Tumpara itu sudah bersiap mengayunkan lenteranya.
Dalam kondisi terpojok, Bibi Ivy hanya bisa mengandalkan pertahanan terakhirnya. Yaitu zirah di lengan kiri yang bisa memunculkan medan energi. Hanya bisa dipakai satu jam sekali, sayangnya.
Ketika medan energi itu aktif, kedua lentera Bara menghantamnya berkali-kali. Ledakan kuning berhiaskan debu-debu emas terus tercipta dari benturan energi itu.
"Nguooh? Tabir apa ini?"
Bagaimanapun, Bara tak perlu lama-lama terbingung. Ketika setengah menit berlalu, medan pelindung itu lenyap dengan sendirinya.
"Gawat!"
Buru-buru Bibi Ivy menusukkan ujung senapan Ursa ke dada Bara. Kena. Tapi sekali lagi, tubuh Bara berpendar menjadi ribuan partikel cahaya emas. Kemudian titik-titik debu berkilau itu berpindah ke belakang Bibi Ivy, untuk mewujud kembali sebagai Bara-Onion.
Sedikit pasrah, Bibi Ivy hanya bisa menghujamkan gagang senapannya ke arah belakang.
Tapi tak disangkanya, serangan itu ternyata berhasil mengenai muka Bara. Dan tak ada perpendaran debu seperti biasanya.
"Nguaah!"
Tubuh mungil Bara terjungkal ke belakang. Tumpara itu benar-benar terkaget. Tapi dia masih bisa sedikit bersalto agar tak terjatuh. Setelah itu, Bara langsung menjauh untuk mengambil jarak.
Senyuman Bibi Ivy muncul.
"Begitu rupanya. Tadinya kupikir semacam sihir apa ... tapi ternyata, wujud Onion-mu hanyalah memanfaatkan pembiasan cahaya, bukan? Yang dari tadi kutembak dan kupukul ternyata hanya ilusi optikal saja."
Bara tersentak.
Rahasianya terbongkar.
"Me-memangnya kenapa kalau tahu itu, Tante? Bukan berarti kau bisa langsung mengalahkan Bara-Onion!"
"Boleh kucoba?"
Bibi Ivy beranjak bangkit dengan menyandar pada batu besar di sampingnya. Kondisinya sudah benar-benar kritis, sesungguhnya. Bahu kanan remuk, kaki melepuh, dan entah berapa banyak tulang rusuk yang patah. Tetapi Bibi Ivy seolah melupakan itu semua.
Diambilnya satu ampule kecil dari salah satu saku rompinya. Kemudian disuntikkannya ke bahu kanan. Itu adalah morfin untuk pembiusan lokal. Dengan demikian, Bibi Ivy bisa menggerakkan kembali tangan kanannya yang tadinya terasa begitu nyeri. Memang, ini cuma untuk sementara. Tetapi untuk rencana yang akan segera dilancarkannya, Bibi Ivy benar-benar membutuhkan kekuatan dari kedua tangannya.
"M-mau apa kau, Tante?"
"Bara si Tumpara. Aku tahu cara mencegah pembiasan cahaya."
Dengan gerak cepat, Bibi Ivy mengambil sejenis granat dari sakunya. Hanya ada satu, berarti kesempatan ini cuma sekali. Itu bukanlah granat biasa.
Ketika Bibi Ivy membanting granat itu ke tanah, kepulan asap tebal langsung memenuhi daerah itu.
"Nguooh! Ini bom ... asap?"
Bara kebingungan. Dia tidak bisa melihat apapun selain asap. Dia kehilangan sosok lawannya. Bara bergerak kesana-kemari, tetapi dia masih saja berada dalam kepulan asap.
Memanfaatkan celah itu, Bibi Ivy bergerak cepat. Dia berlari memutar dari samping Bara. Ya. Berbeda dengan Bara, Bibi Ivy sudah terlatih untuk mendeteksi keberadaan musuh di dalam kabut asap, sembari bergerak tanpa suara.
Tahu-tahu, Bibi Ivy sudah berada di sudut mati si Tumpara. Sambil berjongkok, bibi itu menyergap Bara dari belakang. Kemudian, Bibi Ivy mengangkat tubuh mungil itu sembari berupaya mencekik lehernya dengan memanfaatkan bilah senapan Ursa.
"Nguh...!??"
Bara langsung merasa sesak. Dia tak bisa berteriak ataupun mengambil nafas.
"Maaf, Bara kecil. Untuk bisa menyelesaikan babak ini, aku harus membunuh satu. Lana sudah menungguku."
".....!?"
Bibi Ivy mencekik leher Bara semakin kuat. Bibi itu tahu kalau dirinya harus segera menyelesaikan semua ini sebelum efek bius di bahu kanannya pudar.
Bara mencoba berontak. Dia mengayun-ayunkan kedua lenteranya, berniat mengincar kepala Bibi Ivy. Tetapi rupanya si bibi telah memperhitungkan itu. Dengan menggerakkan badan Bara, Bibi Ivy dapat dengan mudah mengubah arah ayunan lenteranya. Tak ada satupun yang berhasil mengenai kepala Bibi Ivy.
Upaya Bara gagal.
Dan nafasnya juga sudah hampir habis. Bahkan sekarang dia sudah kembali ke wujud asal, bukan Bara-Onion lagi. Tak ada lagi kilau keemasan yang memancar dari tubuhnya. Nyala kedua lenteranya kian meredup.
Ketika kesadarannya mulai sirna, Bara mengerahkan usaha terakhir ... selagi nyala lenteranya belum padam sepenuhnya.
Satu ayunan lentera, bukan mengincar Bibi Ivy, melainkan mengarah pada perut Bara sendiri.
Kilauan cahaya itu memunculkan senyuman di wajah si Tumpara. Rupanya roh lentera mengerti. Dalam kondisi biasa, lentera Bara tak akan pernah melukai Bara sendiri. Tetapi untuk saat ini saja, roh lentera mencabut perlindungannya ... untuk menyelamatkan nyawa si Tumpara.
Hempasan ledakan itu begitu kuat.
Bara dan Bibi Ivy sama-sama terpental tinggi. Kuncian Bibi Ivy terlepas, leher Bara terbebas dari jerat cekikan. Si mungil hijau menghirup udara dalam-dalam. Setelah itu, dia langsung bertindak.
Dari posisi mereka yang masih melayang di udara, Bara memutar tubuh menghadap lawannya. Kedua kaki si Tumpara terangkat. Kemudian Bara mulai menekuk lututnya, sebagai ancang-ancang.
"A-apa yang kau...?"
"Selamat tinggal, Tante."
Bara menendangkan kedua kakinya sekuat tenaga, menghempaskan tubuh Bibi Ivy ke arah tertentu.
Dan ....
Sungguh malang.
Tubuh Bibi Ivy terhenti di tengah udara ... setelah tiga pucuk sulur tajam menembus badannya. Ya. Itu adalah sulur-sulur yang muncul akibat sihir Ursa. Bibi Ivy menggunakan sisa tenaganya untuk menutup mata dan tersenyum.
"L..a...na....."
Akhirnya, sang Mayor gugur di medan pertempuran.
Bara mendarat tak jauh dari posisi Bibi Ivy. Si Tumpara mungil memandangi tubuh tak bernyawa itu dengan iba. Hati kecilnya menjerit. Mengapa? Mengapa dia harus terlibat dalam pertarungan gila ini?
Kemudian Bara menyaksikan roh dari Bibi Ivy mulai meninggalkan raga kosong itu. Sebagai Tumpara yang akrab dengan roh, tentu saja mata Bara berbeda. Dia bisa melihat roh ataupun jiwa yang tak kasat mata.
Tetapi apa yang terjadi?
"Nguooh?"
Roh Bibi Ivy bergerak secara aneh. Seperti terhisap ke arah tertentu. Padahal, semestinya roh itu menghilang segera setelah meninggalkan tubuh kosongnya untuk kembali ke alam kematian.
Saat itu, Bara mendengar suara tawa yang akrab di telinganya.
"Burahaha! Terima kasih, Army Missy. Aku memang sedang membutuhkan energi jiwa."
***
Saat Bara dan Bibi Ivy bertarung tadi, sebenarnya Ursa sudah mengamati mereka dari kejauhan. Dari atas salah satu batu besar.
Si boneka masih kepayahan, tak mampu bergerak. Dalam kondisi seperti ini, butuh istirahat yang cukup lama agar energi jiwa Ursa pulih perlahan-lahan. Namun, dengan kedatangan Bara dan Bibi Ivy, Ursa menyeringai. Dia bisa memanfaatkan pertarungan mereka.
Selanjutnya, Ursa hanya perlu menunggu sampai ada yang mati. Satu boleh. Dua-duanya malah lebih baik. Akhirnya, yang menemui ajal lebih dahulu adalah Bibi Ivy.
Kesempatan itu datang juga.
Ursa mengulangi apa yang tadi diperbuatnya terhadap jiwa Sal. Si boneka, kali ini, mengincar jiwa Bibi Ivy.
"Army Missy ... aku, Ursario, inkarnasi dari Demonlord penguasa Ursa-Regalheim, mengakui ketangguhan jiwamu."
Setelah itu, Ursa membaca mantra yang diperlukannya. Tubuhnya berpendar kegelapan. Terarah ke celah retsleting rahasia, energi jiwa dari Bibi Ivy pun tersedot.
Seketika, Ursa merasakan tubuhnya lebih segar.
Setelah tertawa puas, Ursa bangkit dengan lincah. Dilihatnya di bawah, si Tumpara tampak kebingungan.
Kemudian Ursario melompat turun dari batu besar itu dan mendarat di dekat mayat Bibi Ivy. Bara yang ada di sana masih terbengong.
"Ursa-ngioh? Ternyata kamu masih ada di sini?"
"Kita bertemu lagi, Tumparey."
Ursa hanya menjawab sekenanya. Dia memungut senapan kecil yang tergeletak tak jauh dari sana.
"Apa yang kau lakukan, Ursa-ngioh?"
"Bura? Aku hanya mengambil kembali senjataku. Humany ini merebutnya dariku tadi."
Kemudian Ursa memanjati sulur-sulur itu, hingga sampai di mayat Bibi Ivy. Ursa merogoh-rogoh rompi tentara si bibi, mencari amunisi senapan mungilnya.
Ternyata masih ada.
Setelah mengisi ulang peluru senapannya sampai penuh, Ursa melompat turun. Sekali lagi, Bara menanyainya.
"Ursa-ngioh? Apa kamu tahu apa yang terjadi pada roh si Tante?"
Ursa menoleh, "Roh? Aku menyerapnya."
"Menyerap? Apa maksudmu?"
Tak ada jawaban dari Ursa. Si boneka malah melenggang pergi dari sana. Dia harus buru-buru. Ada stok energi jiwa lain, yang harus diamankannya sekarang juga.
Bagaimanapun, Bara membuntutinya dari belakang.
***
Ursa sudah sampai di lokasi yang ditujunya. Sepasang kepala itu, Claude dan Claudia, masih tergeletak di sana.
Terdengar dua kali letupan senapan.
Ursa memastikan kematian kedua kepala itu, pada akhirnya. Dan saat yang ditunggunya pun tiba, yaitu saat-saat jiwa meninggalkan tubuh. Senyuman Ursa mengembang ketika menyadari kalau yang muncul ternyata dua jiwa sekaligus.
"Bura! Bagus sekali."
Kembali Ursa menyiapkan ritual. Kejadian selanjutnya sama seperti tadi. Ursa memantra, lalu memanggil jiwa ganda itu agar masuk ke tubuhnya.
Akan tetapi ....
Sesaat sebelum jiwa Claude dan Claudia terserap ke celah retsleting Ursa, ternyata Bara mendorong tubuh si boneka hingga terguling ke samping.
"Bura??"
Proses penyerapan jiwa terganggu. Bara kemudian berkata, "Wahai, roh-roh yang tenang. Pulanglah ke alam kematian."
Saat itu juga, roh Claude dan Claudia menghilang.
Bara lalu melirik tajam ke arah si boneka beruang. "Ursa-ngioh. Sekarang aku mengerti ... sifat aslimu."
"Holly Greeny Tumparey!" maki Ursa. "Kenapa kau mengganggu?! Jiwa mereka jadi gagal kuserap, kan?!"
"Kau seperti Motavatu," ujar Bara. "Mereka klan air. Sudah berkecukupan. Tetapi masih saja rakus, berniat menguasai seluruh air di Skyemeria. Ulah mereka akhirnya malah membawa bencana bagi planetku yang tadinya indah!"
"Maksudnya apa?"
"Seperti kataku tadi," nada bicara Bara semakin tinggi, "kau sama rendahnya dengan Motavatu! Kau mengambil apa-apa yang bukan milikmu. Bahkan mempermainkan roh-roh makhluk lain. Tak bisa dimaafkan!"
"Memangnya kenapa? Itu semua bukan urusanmu! Atau ... kau ingin menantangku, Tumparey?"
Situasi memanas. Akhirnya Ursa menodongkan senapannya. Di sisi lain, Bara malah menunjuk Ursa dengan gaya yang gagah.
"Demonlord Ursa-ngioh. Sebagai Tumpara, aku akan menghentikan perbuatan jahatmu saat ini juga!"
Bab 5—Selamat Tinggal, Pulau Kemalasan
<16>
Bara mengamuk sejadi-jadinya.
Kedua lenteranya meledakkan apapun yang tersentuh olehnya. Batu-batu besar, sulur berduri, seluruhnya hancur berkeping-keping. Sekarang, semuanya rata dengan permukaan tanah.
"Buraa!" Ursa menghindar dengan sepanik-paniknya. "Bahaya, bahaya, Tumparey itu BERBAHAYA!"
Satu ketika kedua lentera Bara membentur permukaan tanah. Menggelegar! Debu dan pasir berterbangan. Angin hempasannya melemparkan Ursa ke udara.
Tak mau berpasrah menerima serangan Bara, si boneka berniat membalas. Dari udara, dibidiknya si Tumpara.
Lima tembakan sekaligus.
Dan kelima-limanya dimentahkan begitu saja sewaktu Bara mengayunkan lenteranya sebagai perisai.
"Holly Beary!"
Ursa tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Kalau begini ceritanya, senapannya tak akan banyak berguna.
Sementara itu, Bara mengambil ancang-ancang. Dan dia melompat salto tinggi-tinggi, menyusul Ursa ke udara.
"Nguoooooh!!"
Dengan berseru sepenuh hati, Bara mengayunkan kedua lenteranya dari dua sisi yang berbeda. Kanan dan kiri. Dia berniat melumat Ursa di tengah-tengah.
Tak mau tubuhnya hancur lebur begitu saja, Ursa mencondongkan badan ke belakang. Berhasil. Kedua lentera itu saling menabrak, hanya terpaut beberapa jengkal di depan mukanya.
Tapi efek ledakannya tak bisa dibendung. Kembali Ursa terhempas. Kali ini ke bawah. Badan boneka itu memantul beberapa kali di permukaan tanah, sebelum akhirnya tercebur ke mata air oase.
"Ngoahaha! Bagus. Dia masuk ke air."
Bara tertawa lebar, menyadari kalau saat ini Ursa justru berada dalam daerah kekuasaan si Tumpara. Kalau di dalam air, pergerakan Bara akan berkali-kali lipat lebih cepat. Dia pun mendarat tepat di pinggir kolam, berniat untuk segera masuk ke sana. Akan tetapi ...
Sebuah benda mencuat dari permukaan air.
Sebuah senapan mungil melayang-layang di udara. Lalu memutar pelan hingga akhirnya moncong senapan itu mengarah ke Bara.
"Nguoh?"
Tiga tembakan.
Bara dalam kondisi tidak siap. Dia mencoba mengelak, tetapi hanya mampu menghidari satu peluru. Satu peluru menyerempet pundaknya. Satu lainnya bersarang di betis kiri si Tumpara.
Bara terjatuh sambil mengaduh kesakitan.
Sementara itu, Ursa sudah melompat keluar dari kolam. Segera dia menangkap kembali senapannya. Si boneka menggenggam senapan itu dengan kedua tangan, dalam posisi gagang menghadap ke bawah.
Sewaktu dia turun, Ursa menghujamkan gagang itu ke muka Bara. Setelah itu Ursa mendarat di tanah, sedikit terseret hingga posisinya sekarang terpaut sekian meter dari si Tumpara.
"Nguoaahh!"
Ursa agak lengah. Dia tak menduga kalau Bara, sekalipun dalam posisi terbaring, masih bisa mengendalikan kedua lentera yang tersambung ke telinganya. Cukup dengan menggerakkan kepalanya.
"Buraa!"
Ursa berhasil menghindari ayunan lentera pertama dengan melompat ke udara. Tetapi, posisinya sekarang itu malah menjadikannya sasaran empuk bagi lentera yang satunya lagi.
Lentera itu menghantam bagian belakang Ursa, menghanguskan jaket dan bulu-bulu di punggung si boneka. Setelah bunyi dentum yang nyaring, dia pun tersungkur mencium tanah. Senapannya bahkan terlempar lebih jauh.
Hanya karena satu serangan, Ursa sudah tak berdaya.
"Ngggrhh ... Tumparey sial...!" erang si boneka.
Kemudian Bara datang mendekat, berjalan tertatih-tatih. "Ngoahaha. Sudah habis energimu?"
Bara menghampiri, semakin dekat.
"Bura? M-mau apa kau, Tumparey?!"
Tentu saja Ursa panik. Saat ini, Bara menindih tubuh si boneka. Tangan Tumpara itu sudah memegang ujung kancing retsleting rahasia Ursa, yang seharusnya tidak diketahui siapapun selain oleh Ursa sendiri.
"Aku tadi melihatnya, Ursa-ngioh," kata Bara. "Roh-roh itu hendak masuk ke tubuhmu melalui ini, 'kan?"
"....!?"
"Nah, apa jadinya kalau retsleting ini kubuka lebar-lebar?"
"....!!? Hentikan, Tumparey!!"
Ursa tak berdaya. Pelan-pelan, Bara menarik retsleting itu.
"Hentikan!!"
"Kenapa harus berhenti? Aku akan mengakhiri sepak terjangmu, semua kejahatanmu, sekarang juga."
Ursa menjulurkan tangannya ke arah senapannya yang tergeletak begitu jauh darinya, berusaha untuk memanggil senjata itu. Tetapi jarak itu terlalu jauh. Tak ada reaksi apa-apa. Teknik telekinesis sederhana Ursa tak mampu menolongnya untuk kali ini.
Apalagi yang bisa dilakukannya sekarang?
"Aku...!" seru Ursa. "Aku harus membalaskan dendam seluruh Ursa-Demony yang takluk dalam peperangan di Netherworld Neda! A-aku tidak akan mati di sini! Aku, Ursario, akan bangkit kembali sebagai Demonlord ... penguasa seluruh Ursa-Regalheim....!!!"
Kemudian ...
Tanpa pernah disangka-sangka oleh Bara sebelumnya, keempat batu rohnya melesat keluar dari dalam ranselnya.
"Nguoh??"
Keempat batu roh itu melayang-layang tinggi dan semakin tinggi, jauh di atas Bara dan Ursa. Salah satu dari batu itu, yang berwarna biru, langsung bercahaya terang.
"Nguu ... mustahil!"
Seketika, badan Ursa bercahaya kebiruan. Si boneka merasakan asupan energi yang asing. Pelan-pelan, tenaganya bangkit dan pulih.
"Batu roh Rice? Mengapa?"
Sewaktu Bara masih terperangah, badan Ursa yang sedang ditindihnya mulai membesar. Bulu-bulu si boneka memutih. Kemudian Bara merasa sangat dingin.
Refleks, dia melompat mundur.
Sekarang di hadapan Bara adalah Ursa yang sudah berubah wujud menjadi boneka beruang kutub. Di sekeliling boneka itu, tanah mulai membeku.
"Ursa-ngioh ... kau bisa memicu kekuatan batu roh milikku?"
"Batu roh?" balas Ursa. "Entahlah ... aku juga heran. Tapi kalau soal energi jiwa ataupun roh, burahaha, itu sih sudah jadi santapan sehari-hariku."
Sekarang Bara teringat.
Batu-batu roh tak pernah memihak. Mereka akan memberikan kekuatan pada siapapun yang mereka anggap pantas, tak peduli dia jahat ataupun baik. Siapapun yang menyatakan 'harapan', 'kegigihan', 'ketahanan', dan 'semangat penghabisan', berhak mendapatkan anugerah dari batu-batu roh.
"A-aku mengerti," ujar Bara. "Jadi kalian menguji apakah aku masih pantas sebagai Tumpara?"
Batu-batu roh itu pun menjawab. Batu yang berwarna kuning bersinar cerah.
Kali ini, Bara juga berubah wujud, menjadi Bara-Onion. Luka tembak yang tadi diterimanya langsung sembuh seketika.
Ursa melepaskan topi, jaket, dan kacamata hitamnya, bersiap untuk memulai pertarungan. Begitu pula Bara yang sudah mengambil ancang-ancang.
Inilah pertempuran penghabisan bagi keduanya. Semua akan terjadi sangat cepat, maka jangan alihkan perhatian kalian. Kalau tidak, kalian tak akan bisa mengikuti pergerakan mereka berdua.
<17>
Ursa-Kutub menyeruduk Bara-Onion. Tubuh si Tumpara kembali memendar menjadi ribuan partikel cahaya keemasan. Tetapi hidung Ursa tak tertipu. Dia membuka rahangnya dan menggigit ke samping kiri.
Benar saja, di sana sudah ada Bara. Berusaha lepas dari gigi tajam si boneka beruang kutub, Bara mengayunkan lenteranya.
Dan kena. Ursa-Kutub terlempar oleh ledakan energi dari lentera itu. Tetapi tak begitu jauh. Dia balas menyerang dengan hembusan hawa dingin.
"Nguooh!"
Sekujur tubuh Bara membeku menyisakan lenteranya saja. Dan saat itulah, salah satu batu di langit bersinar. Kali ini warna merah.
Es yang menyelimuti tubuh si Tumpara langsung meleleh oleh sinar lentera merahnya. Bara-Longan kembali hadir.
Ketika dia bersalto, trampolin energi melontarkan tubuhnya. Badan Bara menghantam Ursa-kutub dengan kencang. Si boneka merintih, kesal. Dia melayangkan cakar tangannya yang tajam.
Namun Bara-Longan sangat lincah. Sedikit memutar lentera, dia sudah menciptakan trampolin energi lain. Melompatlah Bara begitu tinggi. Dan di udara, Bara memantul berkali-kali, kanan, kiri, kanan, kanan, atas, kiri, kanan ... membingungkan Ursa. Bara bisa turun dan menerjang kapan saja.
Sekarang batu kuning ganti mengirimkan kekuatannya kepada Ursa.
Badan boneka itu semakin besar, sangat gemuk, sejumlah bulu putihnya berganti menjadi hitam. Ursa-Panda.
"Nguooh!"
Bara-Longan akhirnya memutuskan untuk menyerbu. Dia tidak tahu kalau Ursa dalam wujud boneka panda memiliki tubuh sekokoh karang. Ketika akhirnya Bara menabrak Ursa-Panda, si Tumpara-lah yang merasakan sakitnya benturan itu.
Dia tersungkur.
Dan lagi-lagi wujud Ursa berubah. Kali ini berkat batu merah. Badan Ursa kini lebih kekar. Bulu-bulunya berwarna hitam. Kuku cakarnya menjadi lebih panjang, lebih besar, dan lebih tajam. Siap untuk mencabik-cabik lawannya.
Ursa-Hitam pun maju.
"Mati kau, Tumparey!"
Karena Bara-Longan masih merasakan efek dari benturan yang tadi, tubuhnya tak selincah biasanya. Dia tak mampu bersalto untuk menciptakan trampolin energi. Akibatnya, dia hanya bisa mengelak kanan-kiri, menghindari kuku tajam Ursa-Hitam.
Bara-Longan terus terdesak oleh gempuran lawannya. Dia bermaksud lari untuk mengulur waktu, tetapi malah punggungnya yang terkoyak oleh cakar Ursa-Hitam. Kemudian si boneka menabrakkan tubuhnya hingga Bara-Longan terjatuh.
Ursa-Hitam bersiap menghujamkan cakarnya ke jantung Bara, tetapi ....
"Roh Rice! T-tolong aku!"
Batu biru bersinar.
Bara-Longan berubah menjadi Bara-Rice, wujud yang mampu mengayunkan lentera biru pembeku.
"O-ow!" tiba-tiba gerakan Ursa-Hitam terhenti. "Dari warna lenteranya ... itu Icey Tumparey."
Ya. Si boneka beruang hitam tidak begitu suka menghadapi lawan yang menggunakan sihir elemen air ataupun es. Dan benar saja, Bara-Rice yang menyadari keseganan lawannya langsung balik menyerang. Si Tumpara tak memberi ampun sama sekali.
Satu kali, dua kali, tiga kali lentera birunya menghantam Ursa-Hitam. Dan pada serangan yang keempat, badan Ursa-Hitam jatuh terguling. Seluruh permukaan tubuh boneka itu dingin, dilapisi es beku.
Sekarang giliran si boneka beruang yang tak berkutik.
Bara-Rice kemudian menggunakan lenteranya untuk membentuk jalur es dan meluncur ke langit. Dari sana, dia bersiap untuk melancarkan serangan pamungkas.
Namun batu yang terakhir, batu hijau, sudah memancarkan energinya. Kali ini, baik Bara maupun Ursa sama-sama menerima kekuatan roh dari batu itu.
"Nguooh?! Tunggu, tunggu, jangan ubah aku jadi Bara-Spinach sekarang."
Lentera biru Bara berganti menjadi lentera bergerigi tajam ketika wujudnya sudah menjadi Bara-Spinach. Dan karena dia sudah bukan Bara-Rice lagi, maka jalur es yang tadi dibentuknya langsung mencair. Si Tumpara terjun bebas. Untungnya masih bisa mendarat dengan mulus.
Sementara itu di hadapan si Tumpara, Ursa-Madu yang tampak.
"Nguoh? Kau jadi mengecil? Bisa apa dengan wujud begitu?"
"Mau coba, Tumparey?"
Ursa-Madu memantra sihir tanah dan sihir pepohonan sekaligus. Stalagmit-stalagmit tajam dikelilingi sulur berduri mencuat dari permukaan tanah.
Namun Bara-Spinach sudah sangat siap. Lenteranya kini seperti gergaji mesin yang tajam, begitu diayunkan mampu memotong semua yang dikehendaki si Tumpara. Stalagmit dan sulur yang dimantra Ursa-Madu hancur.
Bahkan sebagai tambahan, dari kedua lentera Bara melesatlah sepasang bumerang raksasa, ganti mengincar Ursa-Madu.
Giliran si boneka yang bertahan. Tak mau meremehkan jurus bumerang lawannya, Ursa langsung menyebarkan baby blue si bunga biru parasit. Ketika kedua bumerang itu hampir mengenai Ursa-Madu, keduanya malah menguap menjadi butiran tanah. Baby blue berhasil lagi.
Setelah berulang kali berubah wujud, silih ganti menyerang dan bertahan, kini Ursa dan Bara malah terdiam.
Hening.
Tak ada yang bergerak.
Seperti hanya menunggu.
"Ngoahaha. Kau mengerti, Ursa-ngioh? Semua perubahan-perubahan tadi ibaratnya pemanasan saja. Kurasa sebentar lagi keempat batu roh itu akan menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya."
"Bura? Memangnya apa yang akan terjadi saat itu?"
"Wujud terkuatku akan hadir. Dan saat itulah pertarungan yang sesungguhnya dimulai."
Yang telah dinantikan akhirnya terjadi. Seperti kata Bara, keempat batu roh itu langsung bercahaya seluruhnya, secara bersamaan. Cahaya yang putih dan sangat menyilaukan.
"Nguuooooh! Rice, Spinach, Onion, dan Longan! Jadikan aku Bara-Risol!!"
Saat itu juga, tubuh Bara si Tumpara memancarkan aura cahaya yang berkobar dahsyat, seperti matahari.
"S-sudah kuduga!" Ursa panik. "Bercahaya seperti itu ... kau pasti memang berhubungan dengan Luxa Demony!!"
Kemudian sama halnya dengan yang telah terjadi sebelum-sebelumnya, keempat batu roh itu ternyata memberikan anugerah serupa pada Ursa.
Kini Ursa diselimuti tabir kegelapan. Sangat pekat. Tubuhnya pun mulai memudar seperti bayang-bayang. Dan sosoknya membesar, kian membumbung, sehingga Ursa yang tadinya hanya seukuran penggaris sekarang sudah setinggi Sal. Bukan hanya itu, percikan petir yang bergelora dan meraung-raung di sekujur tubuh bayang-bayang itu memberikan ancaman bahaya yang nyata.
Itulah wujud boneka beruang iblis. Ursa-Iblis.
"I-ini..!?" Ursa pun terheran sendiri. Bahkan suaranya berubah menjadi berat, dan dalam. "Kenapa bisa? Batu roh itu ... ternyata punya energi yang teramat melimpah hingga aku ... buraaaaahh!! Inilah kekuatan sejati dari Demonlord Ursario!!"
Bara tersenyum senang. "Ngoaah, keren! Badanmu jadi tinggi begitu, Ursa-ngioh. Lalu cahayaku melawan kegelapanmu? Mari kita adu yang mana yang lebih kuat."
"Nggrrrh...! Aku tak akan takut padamu, Lighty Tumparey! Aku tak akan pernah takut lagi pada cahaya!"
"Kita mulai, Ursa-ngioh."
Saat Bara mengarahkan tangannya ke langit, keempat batu roh pun turun. Sekarang semua batu itu berputar mengelilingi si Tumpara, keempatnya juga berkobar putih. Bara memang membutuhkan batu-batu itu untuk melancarkan setiap tekniknya dalam wujud Bara-Risol.
Dan semua pun dimulai kembali.
Ursa-Iblis mengibaskan kedua lengannya, mengakibatkan getaran gelombang petir yang membakar lurus ke depan. Setiap melaju, gelombang itu mendengungkan gemuruh yang mengerikan.
"Solar Shield!"
Seiring teriakan dari Bara-Risol, keempat batu rohnya membentuk perisai energi berbentuk persegi di depan si Tumpara. Tabir pelindung itulah yang terhantam oleh gelombang petir dari Ursa-Iblis, alih-alih Bara sendiri.
Gelombang itu lenyap. Lalu keempat batu roh Bara terpental jauh akibat ledakan energi tadi. Kini di antara Bara dan Ursa tersisalah bekas hangus di permukaan tanah, hasil dari serangan tadi.
"Nguooh. Bahaya!" seru Bara. Dan dia kembali memanggil keempat batu rohnya. "Sekarang, Solar Star!"
Keempat batu roh itu sekarang menempel, untuk membentuk empat mata pisau energi yang tajam. Bentuknya menyerupai bintang shuriken. Dengan perintah dari Bara, Solar Star itu pun melaju mengincar lawannya dengan kecepatan sangat tinggi. Gerakannya pun berayun-ayun tak bisa ditebak.
Hasilnya menakjubkan.
Badan Ursa-Iblis terpotong-potong setiap kali Solar Star itu mengenainya. Satu, dua, tiga, empat, dan lima, kini badan si Demonlord terburai menjadi lima bagian. Saat durasi Solar Star habis, keempat batu roh terpental ke segala arah, seperti tadi.
Tetapi apa yang terjadi?
Potongan tubuh Ursa-Iblis kembali menyatu dan membentuk sosoknya kembali. Utuh. Namun, cairan kental berwarna hitam, seperti oli, mengucur deras dari sejumlah bagian di tubuhnya. Seolah-olah, badan Demonlord itu meluluh.
"Sudah kuduga," kata si beruang, "bahkan dalam wujud seperti ini pun sihir cahaya tetaplah berbahaya. NgggrrrRRR!!"
Penuh amarah, Ursa-Iblis pun menyerbu maju. Dia meraung-raung dengan suara yang menggelegar. Namun Bara-Risol tampaknya tak gentar. Dia berdiam di tempat, bersiap menyambut lawannya.
"Percuma, Ursa-ngioh! Dalam wujud Bara-Risol, aku seperti Roh Cahaya yang tak mungkin tersentu—!"
Satu pecutan lengan dari Ursa-Iblis mengena telak bagian depan si Tumpara mungil. Tubuhnya terlontar tinggi, disertai kepulan asap tanda terbakar. Bara merasakan perih yang membara. "Nguoooooo....!!"
Ya, tentu saja sesama kekuatan roh saling bisa menyentuh dan menyakiti, bukan? Terlebih, keduanya dari unsur yang sangat berlawanan.
Serangan Ursa-Iblis berlanjut. Dia menyemburkan dua bola energi kegelapan yang masing-masing sebesar karang. Bola-bola itu tertuju ke arah Bara-Risol yang masih melayang di udara, dan masih mengepul.
Tak mau jadi sasaran tembak yang pasrah, si Tumpara pun mengayunkan lentera rohnya. Satu bola kegelapan berhasil dihancurkan, tetapi yang satu lagi tidak. Dalam detik-detik terakhir, Bara-Risol mencoba menghindar dengan manuver udara. Tetapi bola energi itu tetap menyerempet badannya, dan ....
Ledakan dahsyat pun terjadi.
Tubuh Bara-Risol terjun bebas, penuh luka, dan setengah lumpuh. Tak ayal, Ursa-Iblis langsung berlari menyambutnya, mencoba menusukkan cakar tajam dari arah bawah.
"T-tak bisa dibiarkan! Batu roh ... kembalilah, dan buatlah portal Solar Dash!"
Batu-batu yang tadinya terpencar jauh, segera berkumpul tepat di bawah arah jatuh si Tumpara. Keempat batu itu berputar cepat, membentuk retakan ruang dan waktu. Bara masuk ke dalam celah itu, dan menghilang bersama keempat batu rohnya.
"Apaa?!"
Ursa-Iblis yang kehilangan sasaran hanya bisa menghentikan terkamannya. Hidungnya langsung membau dan segera dia sadar kalau Bara-Risol telah berpindah, atau tepatnya, berteleportasi. Posisi Tumpara itu kini terpaut 50 meter, jauh di belakang sang Demonlord.
Di sana, Bara si Tumpara sudah menyiapkan serangan lain. Dengan empat batu roh berkobar yang berputar mengelilingi tubuhnya, Bara-Risol melesat maju dan mendekat. Dia terus mendekat untuk memperpendek jarak.
Ketika merasa sudah cukup dekat, Bara-Risol mengerem dan berhenti.
"Oke, Ursa-ngioh," katanya. "Ini akan menjadi serangan terakhirku."
Keempat batu roh Bara berpindah posisi, kini melayang di depan. Kobaran cahaya batu-batu itu semakin terang.
"Pertama. Sol Shoot!"
Batu pertama menembakkan peluru cahaya, lurus mengarah ke Ursa-Iblis. Sangat cepat, sehingga bahkan Demonlord itu tak sempat bereaksi. Tahu-tahu, tubuh bayangannya sudah dihantam peluru.
Dan serangan itu tak berhenti sampai di situ. Batu-batu lainnya ikut menembakkan peluru serupa, berkali-kali. Seperti senapan mesin, rentetan tembakan itu seolah tak ada habisnya.
Kalau cuma satu, mungkin kerusakannya kecil. Tapi ini sudah ratusan. Dan semuanya tepat sasaran. Badan besar Ursa-Iblis terus terdorong mundur, diberondong oleh Sol Shoot. Dia sempat mencoba menghindar ke kiri, tetapi gagal. Menghindar ke arah lain pun sama saja. Arah geraknya telah terkunci.
"BrooooaaarrrRRRRR....!!!"
Ursa-Iblis hanya bisa meraung pasrah. Dia semakin terdorong ke arah mata air.
Saat itulah Bara-Risol menghentikan Sol Shoot-nya, hanya untuk menyiapkan serangan penutup. Keempat batu rohnya mulai berputar-putar di depannya. Lama-lama diameter putaran itu mengecil, dan semakin kecil. Hingga suatu ketika, keempatnya kembali bertabrakan.
"Terima ini, Ursa-ngioh! Burst Sol!!"
Dari energi benturan empat batu roh itu, muncul semacam tembakan sinar yang sangat besar, melesat lurus ke depan. Bunyi dengung yang memekakkan telinga mengiringi laju sinar raksasa itu. Dan sasarannya adalah Ursa-Iblis, sudah berlutut lemah akibat dihujani Sol Shoot yang tadi.
Ursa-Iblis sama sekali tak bisa menghindar.
Tubuhnya menerima serangan itu tepat dari depan. Bahkan, dirinya dibawa oleh energi dorongan sinar raksasa itu. Menuju kolam mata air.
Dan ....
Seolah ada meteor besar yang jatuh. Seluruh isi mata air memuncrat ke angkasa. Bagaikan terdidih oleh api neraka, lautan air itu menguap. Kubah ledakan membumbung setinggi-tingginya.
Ketika semua itu berakhir, oase itu sudah mengering sepenuhnya. Tak ada lagi air. Yang ada hanyalah kawah raksasa.
"Nguaaaah .... maafkan aku, oase," Bara terisak. "Mestinya tadi aku mengarahkan serangan ke tempat lain...."
Bara sudah kembali ke wujud normalnya. Keempat batu rohnya kembali masuk ke dalam ransel. Langsung dia jatuh terduduk, lemas.
"Aku haus ... tenggorokanku kering ...."
Bara merangkak. Ya, dia tak mampu lagi berjalan. Bara terus merangkak, mendekat ke kawah yang tadinya merupakan mata air yang indah. Tetapi sesampainya di pinggir kawah, harapannya sirna.
Sudah benar-benar kering. Tak ada lagi yang bisa diminum.
"Aku ... jadi menyesal," ucapnya.
"Tak perlu menyesal," balas suara lain, "kau sudah berjuang sekuat yang kau bisa, Tumparey."
Bulu kuduk Bara berdiri. Dia merasakannya. Moncong senapan itu sudah menempel tepat di belakang kepalanya. Ketika Bara melirik dari sudut matanya, terlihat si boneka beruang.
"Kau....!?"
"Kenapa kaget?" kata Ursa. "Sejak awal, wujud Demony Beary itu hanyalah tubuh bayangan saja. Burahaha. Kalau bukan begitu, mana berani aku melawanmu yang punya segala macam sihir cahaya mematikan itu."
"J-jadi yang tadi it—???"
Cukup satu tembakan fatal untuk mengakhiri segalanya.
Kedua lentera Bara padam. Tubuh si Tumpara tak bergerak lagi, setelah Ursa melubangi kepalanya.
Semua pertarungan telah usai. Tapi Ursa merasa harus melakukan sesuatu. Yah ... kalian tahu sendiri, ritual rutinnya. Jiwa si Tumpara sudah mulai keluar dari raga kosongnya, siap untuk dilahap oleh si boneka beruang.
"Aku, Ursario, inkarnasi dari Demonlord penguasa Ursa-Regalheim mengakui...."
Namun kali ini Ursa menghentikan kalimatnya di tengah-tengah. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
Ursa merenung ... lalu memutuskan.
"Baiklah, untuk kali ini saja," katanya sambil menghela nafas. "Wahai ... jiwa Tumparey yang tenang. Aku, Ursario, tak akan mengganggumu. Pergilah ke tempat manapun yang kau mau."
Seketika, jiwa Bara pun menghilang. Ursa tidak jadi menyerapnya. Entah apa alasan si boneka. Mungkin dia terbawa emosi Bara yang mengatakan 'Jangan mempermainkan roh!'. Atau mungkin juga, Ursa hanya memberikan penghormatan sejati kepada petarung tangguh yang dikalahkannya. Yaitu dengan membiarkan jiwa itu beristirahat tenang.
Yang jelas, pertarungannya dengan si Tumpara tak akan pernah dilupakan Ursa.
"Ah, sudahlah. Lagipula aku sudah menyerap jiwa Yellowy Monkey dan Army Missy. Itu sudah cukup untuk sekarang, buraahmm...." Ursa menguap. "Tapi sialnya, ini semua belum selesai."
<18>
Ursa ingat kalau pada babak ini, dia harus kembali ke titik awal tempat dia pertama kali muncul di pulau. Kalau tidak, permainan tak akan berakhir. Dan dirinya pun bisa dinyatakan gugur.
Pertanyaannya, apakah si boneka masih ingat di mana titik awal itu?
Ursa sudah memakai kembali topi, jaket, dan kacamata hitamnya. Dia siap pergi. Tapi kemana?
"Bura? Bura?? BURA???"
Ursa melihat sekeliling ... kanan, kiri, depan, belakang. Dan semua tampak tak ada bedanya. Hanya ada tumpukan pasir, tumpukan pasir, dan tumpukan pasir. Dia lupa kalau ini adalah gurun pasir yang teramat luas.
Nah. Kalau sudah begini, coba tebak bagaimana cara dia kembali.
"Urgghh ... capeknya. Aku ingin hibernasi, buraaahmm ...." kembali Ursa menguap, sebelum membaringkan badan menghadap langit.
Kedua tangannya dilipat di belakang kepala, sebagai bantalan. Tampaknya dia sudah benar-benar siap untuk tidur. Karena sekarang dirinya kembali sendirian, maka tipuan angin berpasir kembali membiusnya. Mula-mula, dengan menanamkan rasa malas.
"Bukannya aku tak mau pergi, buraa ... lagipula, siapa yang bisa ingat di mana titik awal itu, kalau diturunkannya di tengah padang pasir?!"
Setelah mengomel sendiri, kembali Ursa mengosongkan pikiran. Matanya memandang langit. Dan rasa kantuk semakin dahsyat menyerangnya.
Dia mulai melamun. Di langit, bisa dibayangkannya wajah sang Dewata. Merah. Jelek. Tertawa penuh keangkuhan. Ursa benci dengan Dewata itu. Ursa juga benci kekalahan. Maka, Ursa mencoba bangkit melawan segala rasa kantuk dan lelahnya.
Dia berdiri.
Diambilnya senapan mungil yang tadinya tersampir di punggung. Ursa mendongak. Sambil memegang gagangnya, diarahkan moncong senapan itu ke langit.
"Hooi!! Goddy Thurqkey!!" teriaknya. "Kau ingin hiburan, aku sudah memberikannya! Aku sudah mengalahkan semua peserta lain! Susah, tahu! Mereka semua kuat-kuat seperti monster! Aku hanya ingin Kau membantu sedikit untuk bisa pulang!"
Tentu saja tak ada jawaban dari langit.
"Caranya mudah, kok!" masih sambil berteriak, Ursa meneruskan. "Aku akan melemparkan senapanku! Dan Kau hanya perlu menunjukkan arah yang benar!"
Tak perlu menunggu balasan, Ursa sudah melemparkan senapannya ke udara. Senapan itu berputar-putar horizontal, seperti baling-baling. Dan saat senapan itu terjatuh ke permukaan tanah, moncongnya menghadap ke arah tertentu.
Ursa tersenyum, "Oh. Ke sana, ya?"
Si boneka memungut kembali senapannya lalu mulai melangkah pergi. Tetapi langsung saja dia teringat sesuatu.
"Tunggu, tunggu, tunggu. Goddy Thurqkey itu licik. Dari muka jeleknya juga sudah ketahuan kalau Dia sama buruknya dengan Mag-Lumina. Maka dari itu," Ursa menoleh ke belakang, "aku harus mengambil arah yang sebaliknya. Burahahaha! Kau tak bisa menipuku, Goddy."
Ursa pun berbalik arah.
***
Kini, si boneka beruang terbang cepat menerobos padang pasir.
Ah, bukan. Dia bukan terbang seperti yang kalian bayangkan. Ursa hanya mengendarai senapannya.
Sebenarnya itu pun baru dipikirkannya tadi. Dia begitu malas untuk berjalan, apalagi untuk berlari. Makanya, dia memikirkan cara cepat. Pikirnya, kenapa tidak memanfaatkan telekinesisnya? Memang, teknik itu hanya bisa digunakan untuk mengendalikan senapan mungilnya saja. Tapi itu pun sudah cukup.
Tadinya, Ursa bermaksud mengendarai senapan itu dengan menungganginya di antara kedua kaki. Namun, itu malah lebih mirip nenek sihir dengan sapu terbang. Ursa tidak suka. Maka, dia memilih gaya yang lebih keren.
Dia berdiri di atas senapan itu!
"Buryeaaaaah!" seru Ursa kegirangan. "Aku adalah Windy Beary. Gusty Beary. Stormy Beary! Wuhuhuhu!"
Ursa mengendalikan senapannya seperti gaya seorang peselancar yang menaklukkan ombak di lautan.
Namun bukan berarti tak ada rintangan sama sekali. Angin-angin berpasir itu kembali menyuguhkan ilusi. Di mata Ursa sekarang, dia seperti melewati kota besar yang semuanya terbentuk dari permen, kue tart, coklat, gulali, lolipop, pokoknya yang manis-manis.
Dia pun melihat sejumlah kacamata hitam yang jauh lebih keren dari miliknya, jaket-jaket yang jauh lebih macho dari yang dipakainya, serta topi-topi yang jauh lebih gagah dari topinya. Semua itu melayang-layang di udara, menggoda Ursa untuk meraihnya.
Bagaimana Ursa menghadapi semua itu?
"Weeek," si boneka menjulurkan lidah. "Ilusi Luxa Demony seperti ini sudah tak akan bisa menipuku lagi. Ayo maju, Ursus-2K!"
Ya. 'Ursus-2K' adalah nama baru yang diberikan Ursa untuk senapannya. Dan tanpa tergoda oleh tipuan seperti apapun, si boneka hanya melesat lurus ke depan.
Maka sampailah Ursa di suatu lokasi, masih di tengah padang pasir. Di sana sudah menantilah sesosok yang berwarna merah, tinggi besar, berambut mohawk, dengan sayap hitam terbentang. Ursa mengenalinya sebagai Mohawky Demony, malaikat pesuruh sang Dewata.
"Selamat, Tuan Ursario," kata si malaikat. "Anda sampai di titik awal, sekitar 30 menit sebelum batas waktu berakhir."
"....."
Ursa tidak menjawab. Dia terbujur lelah di atas senapannya yang pelan-pelan mulai turun dan mendarat ke permukaan pasir. Teknik telekinesis itu memang melelahkan, tapi setidaknya jauh lebih baik daripada harus berjalan kaki.
Si malaikat langsung memungut boneka beruang mungil itu dengan satu tangan, untuk kemudian terbang tinggi ke langit.
Taley of the Not-So-Slothy Beary—SELESAI
Haiyhooo~ (づ。◕‿‿◕。)づ
ReplyDeletePanjang pysaaan~
tapi hebat, , entry pertama sepanjang ini, ,
kecepatan ketik tingkat tinggi!
dialog n narasi na jugak luwes pysaan~
Nice!
~~
~~
Bara jadi lawan yg tangguh yaa, , sampe Risol na muncul pula~
#ahnn aku jadi maluw~ (≧◡≦)
titip 8/10 buat master! #yeay~
(づ。◕‿‿◕。)づ
Makasih, makasih. Kalau begitu, keempat batu rohnya boleh dikasihkan ke Ursa, nggak?
Delete(づ。◕‿‿◕。)づ
URSA KEREEEEENNNN!!!!!
ReplyDeleteSaya asik baca Ursa, gaya dia benar-benar terasa sebagai demon lord....
battlenya seru (walaupun panjang)
9/10
Makasih sudah menyempatkan baca sekalipun panjang :D
DeleteWow, panjang banget... Tapi tetep enak bacanya, battle nya juga seru :D karakterisasi nya keren, pas banget..
ReplyDeleteHm... Ga tau mau komen apa lagi, minusnya sih di panjang cerita aja (but its no problem)
9/10 >.<)/
Makasih Tyas~ >.<)/
Delete==Riilme's POWER Scale on Ursario's 2nd round==
ReplyDeletePlot points : A-
Overall character usage : A-
Writing techs : A-
Engaging battle : B+
Reading enjoyment : B+
==Score in number : 8,6==
Super. Selain ngalahin rekor tulisan panjang saya, bang Heru juga jadi submitter tercepat despite being placed in the Sloth's island #plak. Dan isinya mesti dibilang ga mengencewakan, karena kerasa banget cerita ini lebih in-depth soal setiap karakter yang terlibat dibanding r1nya Ursa. Saya juga jadi sedikit nangkep ciri khas tulisan bang Heru - sering ngajak ngobrol pembaca, seolah ini lagi ceritain dongeng.
Sedikit kritiknya...entah ini saya aja, atau emang saya suka ngerasa off begitu bang Heru masuk ke adegan battle. Kayak, polarization-nya jauh antara awal sampe ke tengah yang komedik dan mendadak begitu saling temu dan mulai berantem jadi action-rushed. Kayak, mereka" yang tadinya masih kocak"an tau" berantem gitu aja. Bingung ngejelasinnya gimana, tapi intinya feel antara first half-second half cerita ini kayak beda jauh buat saya, tapi ini pendapat pribadi sih. Yang lain mungkin ga ngeliat kayak gitu juga.
Yap, dalam bayangan saya, si narator memang sedang bercerita semacam dongeng pada sekumpulan anak-anak, remaja, dan lain-lain. Karena kalau dipikir-pikir, judulnya kan "Tale".
DeleteDan ,makasih Sam atas kritikannya. Saya memang masih mencari-cari formula yang pas untuk memberikan nuansa yang sama dalam battle seperti pada adegan santai. Sepertinya, masih banyak yang perlu dievaluasi lagi. :(
BURAAA! URSA UNYUUUUUUUUUUUUUUU!!!!!
ReplyDeleteKasi 10 deh karena Ursa unyu
#dianulir
Ursa-panda itu..aduh bayanginnya aja udah megap2.
<- lemah terhadap panda
Anyway, nggak mau berlama2, aku mulai reviewnya
Plot : Asik banget! Awal2 kerasa banget slothy-nya. Ilusi yang terjadi di pulau ini. Meski panjang, namun cerita ini ringan utk diikuti, karena komedi antar 3 karakter di awal2, lalu gaya cerita yg not-so-tale #plak yang bikin pembaca ngerasa dimanjain ama nenek sambil dibacain dongeng sampe tidur.
Nggak kayak tale punyaku yg naratornya ngetroll :v, narator disini bener2 asik dlm bercerita, membawa plot dari perkenalan, pertemuan, ilusi, motivasi, sampai akhirnya bertarung.
Kalo aku sih bakal ngakhirin tale ini dengan gantung selesai Ursa ngalahin lawannya, hehe
Karakter : URSA UNYUUUUUUUUUU
Aduh nggak bisa ngomong apa selain senyum2 sendiri pas Ursa ngomong "Bura" #remesremespipiursa
CC lumayan asik disini, yang penting dunia milik berdua, yg lain ngontrak :v
Sayang Claude yang taktikal nggak banyak bertindak disini, lebih banyak Claudia.
<- fansnya Claude
Lalu untuk Bara, Y U NO MATI MATI SIH..Kasian bibi Ivy :(
Motivasinya mirip2 Ursa sih, bisa dibilang counterpartnya malah.
Utk Sal, mati sebagai gentleman itu benar2 epik
#standingapplause
Konsernya keren lho..Dan dialog mid-konsernya bener2 lucu.
Utk bibi Ivy. Kasian ya ga bisa ketemu Lana yang asli :(
Motivasinya dapet banget, aku bisa ngerasain perasaan si bibi yg pengen ketemu anaknya. Meskipun harus bertarung mati2an.
Sayang, Bara itu immortal :v, diserang nggak mati2. Tapi perjuangan bibi Ivy patut diacungi jempol.
Battle : Sayang, kelucuan di awal2 bikin pembaca nggak siap dgn tensi di akhir. Utk battlenya sendiri, aku rasa cukup ngalir dan seru. Tapi entah kenapa aku malah agak distracted dan nge-skip beberapa kalimat, terus pas nyadar si A sekarat aku baru nyadar dan balik baca lagi.
Mungkin karena battle yg cukup panjang dan petarungnya banyak, jadi aku agak bingung tentang apa yg terjadi. Tapi Author udah ngejelasin dengan detail kok, jadi yg salah bukan pada Author.
Anyway last battle Ursa vs Bara itu epikkkkkkkk!!!!!!
Penggunaan keempat bola itu kreatif banget! Nggak nyangka aja ada kekuatan yg bisa dipake sama2 kayak gitu.
Lalu twist di akhir waktu Ursa bilang itu cuma wujud bayangan juga bener2 nggak keduga.
Sayang CC disini nggak terlalu taktikal, Claustroclauht-nya malah nggak banyak keluar. Dan aku nggak begitu ngerti waktu Claude nukar pisau sama sulur itu tujuannya buat apa. Tolong dijelasin dong :D
Dan space-shapingnya Claudia juga nggak banyak keluar, selain buat ngurung Ursa.
Padahal battle mereka yang paling aku tunggu2, tapi sayang nggak banyak kepake disini ya :(
Overall, cerita ini sangat-sangat seru!
Dan keunyuan Ursa itu nilai ++ buatku #plak
Utk nilai, aku kasi 9/10 karena CC disini nggak begitu keluar kemampuan (dan muslihatnya)
Ah benar soal Claude. Soalnya, kebayangnya sih si Claude itu penyayang binatang. Jadinya dia tak bisa maksimal menghadapi Ursa. Jadinya malah Claudia yang lebih banyak beraksi.
DeleteOh iya, itu pisau jagalnya ditukar posisi dengan batu. Bukan sulurnya. Dan batu itu digunakan untuk pelindung agar tak tertikam sulur-sulur yang gagal dibendung claustroclaucht. Kenapa pisau jagal yang ditukar? Karena mungkin Claude nggak sempat memikirkan benda lain >.<
Dan kalau dipikir-pikir, CC memang mendapat porsi tempur yang lebih sedikit dibandingkan yang lain, yah? Saya juga menyayangkan itu :(
mari saya lihat tanggal postnya...
ReplyDeleteMay 4, 2014
itu berarti saya perlu 4 hari menyelesaikan cerita ini.
pertanyaan yang pasti keluar dari mulut bang heru adalah mengapa?
bukan, bukan karena ceritanya panjang. saya menghabiskan CC itu sekali baca.
menghabiskan cerita 30K juga pernah sekali baca.
alasan saya tersendat dalam membaca cerita ini adalah 1, dan hanya 1.
gak ada excitement!
====
Serius, Cerita bang Heru ini benar-benar sempurna dalam teknis tulisan, ilustrasi, narasi, dan hampir segala hal.
tetapi dengan pembagian fokus yang seimbang kepada kelima karakter, dan juga cara penceritaan yang seperti berdongeng ini, dan juga motivasi kelima karakter ini...
saya menemukan bahwa bang Heru kekurangan 1 hal. O.T.P. One True Protagonis.
----
Jika saya tidak melihat Judul cerita / dan pembuat cerita (membaca anonimus) dan diberikan kisah ini. otak saya akan menolak ini karena beneran saya gak bisa ketemu "siapa yang harus saya dukung/siapa yang harus saya benci sampai lihat matinya?"
sehingga kalau kata orang, gak ada hook untuk membaca apa yang bergulir selanjutnya...
jadi Nilai saya 6.5 (itu semua murni karena ini Readable.)
Wah, dapet 6.5 lagi :(
DeleteOke. Kritikannya saya catat~
Saatnya, the comment!!! >_<
ReplyDeletePertama-tama, mengutip salah satu commenter sebelumnya, saya merasa seperti ada dua partisi besar dalam cerita ini. Satu adalah sebelum battle, dan kedua adalah setelah battle dimulai. Sekarang kita bahas satu persatu.
Di partisi pertama, meski panjang aliran ceritanya bener-bener membuat saya ga bisa lepas membaca. Gaya bertuturnya enak, santai, dan diselipi kelucuan-kelucuan trio Ursa-Bara-Sal (bisa nyaingin trio Warkop DKI nih >.< ) Tiap karakter juga dibahas satu-satu, yang meski panjang, tak kunjung membuat bosan. Semuanya bener-bener didalami satu persatu.
Tapi ketika negara api menyerang semua berubah #plak
Maksudku, ketika battle dimulai, ada perbedaan. Hehehe. Setengah bagian terakhir bener-bener full pertarungan intens, dan tidak seperti sebelumnya, lama-lama saya jadi jengah dan bertanya 'kapan beresnya nih pertarungan'? Dan ga kayak sebelumnya, aliran ceritanya jadi berkesan random. Sal seperti tiba-tiba ikut campur, Baranya galau nyerang ini, nyerang itu. Lalu CC nya agak gimana ya, alasan Claude mengamati dulu agak kurang logis, padahal klo kata saya lebih logis klo ikutin kata hati Claudia aja, mereka langsung hantem pas pertama Yvika masih down. Mungkin tujuannya sih agar pertarungan jadi tidak monoton dan saling bertukar partner baku hantam ya... Tapi itu, alurnya jadi kerasa random, dan alasan-alasan join tarungnya berasa kurang greget. Juga di situ saya bimbang apakah di pertarungan genrenya masih komedi apa uda serius.
Klo secara penulisan pertarungan, deskripsi dan lain-lainnya sudah bagus. Cuman ya itu tadi, karena panjang banget lama-lama saya skimming.
Jadi bro, nilai akhirnya 7 (y)
Mungkin karena Claude adalah tipe suami-takut-istri
Delete#EHH
Ah, well. Terima kasih sudah menyempatkan membaca dan berkomentar
Aduuuh gustiiiii... Ursa unyuk pisaaaan!
ReplyDeleteIni canon seru bikin moi pengen berhadapan dengan semua OC yang ada di sini.
Battle nya juga seru2 banget. Battle Ursa vs Bara itu brutally adorable! Sayang agak terlalu panjang jadi sedikit melelahkan.
Tapi sayang pengaruh pulau Mhyr-nya kurang kerasa di battle selain di awal2, tapi itu forgivable lah soalnya emang tricky buat nulis battle yang "males2an". O ho ho ho ho hon.
Masih ada typo, salah tulis, dan hiperkorek juga.
Hembus, apapun, dirijen, sekejab ''orz
Ga begitu ganggu sih tapi cukup bikin kelilipan.
Tapi, moi suka dengan gaya berceritanya yang kayak ngedongeng. Somehow it works.
Ursa maju ke R3! O ho ho ho hon! 8,5 dari moi!
Tapi saya lebih suka hembus daripada embus. Dan apapun juga saya lebih suka digabung, seperti pada bagaimanapun. Juga dirijen ... saya memakai itu karena lebih pas daripada dirigen ataupun ejaan lain.
DeleteWell, terima kasih sudah membaca dan berkomen.
Openingnya, whoa~ "Sial, sepertinya aku sedang membaca sesuatu yang keren." adalah kata2 yg terbenak di saya XD walaupun udah diperingatin bakal panjang tp tetep enak bacanya.
ReplyDeleteHumornya jg seger2, paling ada dikit di bagian sal & dom yg ttg warung itu ga bikin terlalu ngakak. Kalo tentang intro setiap karakter, ada bbrp yang emang ngash kesan baru buat ngegambarin setiap chara dan sekalian nyambungin ke plot canon ini, beberapa lainnya mungkin rada teddyous(?) buat pembaca lain karena udah pada baca di charsheet. Di sisi lain, kalo ada pembaca yg blm familiar sama BoR jd lebih gampang ngebayangin mereka seiring jlnnya cerita tanpa mesti liat charsheet dulu. Additionally, ilustrasinya nya juga bikin tambah menarik (itu dikirim pake attachment atau kode html kah?) Yaak, pokoknya ini sangat menghibur!
9/10
Ilustrasinya saya masukkan ke badan emailnya. Saya kirimnya pakai gmail. Mungkin pakai kode HTML juga bisa, mesti ditanyakan sama Om Glen dulu~
DeleteAnyway, terima kasih banyak sudah membaca, berkomentar, dan menyumbangkan nilai~
As I promise >.< Umi ga bakalan ngomongin poin minus >.< Selain karena emang udah janji, Umi juga emang ga nemu wkkwkkw >.<
ReplyDeleteBanyak banget poin menarik dari cerita ini >.< Saking banyaknya Umi bingung Umi harus kasih nilai berapa >.<
Gaya cerita yang kak Heru banget >.< Juga pertarungan Unyu di akhir dari Bara- Ursa sampe kelahi unyuw mereka diawal. Caude-Claudia juga kerasa banget mesranya ><
Umi juga suka banget sifat Ursanya kerasa full banget disini >.<
Ilusi pasir itu kerasa banget >.< kebayang Claudia berenang renang di atas pasir mirip Patrick yang gerak-gerakin tangannya di atas salju. >.< Apa si Claudi ga kena MERS ya? wkwwkakaka
karena banyak Umi kasih 9/10 >.<
Makasih banyak, Ummi >.<
DeleteAstagfirullah.. ini ada berapa halaman ya? puanjang sekali...
ReplyDeleteD:
Biasanya ane suka amat sangat teramat malas buat membaca satu story yang jalan ceritanya teramat panjang. Tapi keunyuan Ursa dan kocaknya banyolan tiga makhluk aneh itu sukses bikin ane terus membaca, sampe menghabiskan waktu sekitar empat jam.. (duh lapar...)
.
Bang Hewan ini dari dulu emang jago bikin story ngocol ya.
XD
kalo dipikir-pikir emang bener sih, penamaan pulau dan nama dewata sendiri emang bisa bikin lidah keseleo :v
style nulis berasa tale ini juga benar-benar enak dibaca.
...
ukh... Bibi Ivy mati ya... padahal ane ngefans sama dia.. T_T
.
Final score.
9/10
(karena bisa bikin saia baca cerita panjang sampe selesai)
Bibi Ivy tetap hidup di dalam Ursario~
DeleteMakasih Om Ichsan sudah membaca, berkomentar, dan menyumbangkan poin.
Poin plusnya mnurutku banyak:
ReplyDelete- Narasi ngedongengnya yg pas bagian2 awal dan tengah itu asik banget. Interaksi sama pembaca yang halus bikin pembaca kyk lagi ngebuka novel yang isinya dongeng peri, ksatria, naga dan hal2 fantasi lainnya.
- para karakter didalami dengan baik. Diceritakan asal-usulnya tanpa lepas dari olahan narasi Mas Heru yg asik. Meski, jika diliat lagi, ini punya kelemahan yg cukup besar soalnya keliatan di sini bahwa Ursa belum punya kedalaman karakter. Kalau Yvika punya pengalaman syahdu dengan Lana yang jadi penggerak dan mempengaruhi cara pandangnya, kalau Sal punya dunia musiknya, Ursa di sini justru nggak dieksplor banyak secara kualitas kepribadian. Banyak interaksinya sama karakter lain cuma melibatkan kata2 Luxa Demony yang kesannya diulang2 dan nggak ke mana2. Jadinya ya itu kurasa kurang kegali dibanding yang lain.
- Battlenya keren dan tiap karakter dapat kesempatan mereka untuk bersinar. Cuma aja kurasa alasannya itu agak kurang. Masing2 kyk kerjasama utk nganggap bahwa sebuah pertarungan hidup mati adalah hal lumrah mesti mereka laksanakan dan abis2an. Jadi begitu masuk ke mode battle, mereka langsung saling hajar dengan kekuatan maksimal karena peraturan tarungnya emang begitu dan motivasi utama mereka bikin efek langsung, sehingga mereka harus menang. Kyknya ini jadi melemahkan interaksi antar karakter yang sebenernya potensial juga untuk bikin konflik antar mereka. Misal kepribadian Ursa yang tukang ambil jiwa emang jadi ngebikin Bara marah sehingga ngajak tarung final, tapi urutan2 kejadiannya kurang menggiring, jadinya alasan tarung itu kerasa cuma sebagai pelengkap, kesannya lebih karena cuma mereka aja yang tersisa.
- Dan ketika battle dimulai, ya narasi dongeng yg renyah itu jadi ilang dan tau2 para karakter switch to battle mode.
Tapi kesimpulan, buatku ini tmasuk yang enak diikutin dan secara teknis juga keren. Nilai dariku 7
- Po
Makasih Om Po sudah membaca, berkomentar, dan menyumbang nilai. Kalau di entri kemarin saya dapat 6, dan sekarang 7, barangkali di entri selanjutnya bisa dapat 8, hehehe :D
Delete#ngarep
Kisah background-nya Ursa masih saya simpan untuk babak selanjutnya~
entri ketiga :3
ReplyDeletesebelumnya, saya mau ngasih tepuk tangan karena berhasil submit hari pertama dengan jumlah 101 halaman #plokplokplok --> atau yg keukur ama word pas saya copas cerita kakak dari blog
lanjut ya....
peran narator di sini saya suka. pada beberapa fiksi yg saya baca, pengarang terkesan sengaja memberi jarak antara karakter dan pembaca, walaupun dalam hatinya pengarang pasti pengen bikin karakter yg dekat di hati pembaca. nah, salah satu siasatnya adalah menggunakan penutur dalam cerita (dalam hal ini adalah narator). sayangnya, beberapa fiksi yg memakai narator justru semakin gagal dan membuat sang karakter seperti burung, dimasukin ke sangkar emas, digantung tinggi, dan kita cuma boleh tahu lewat omongan si penjaga sangkar.
kerennya, hal tersebut ga saya temukan di cerita ini.
poin minusnya, hal tersebut seringkali bikin wordcount jadi bengkak gara2 keasikan nulis, apalagi kalo temanya udah komedi. kalo nulis, saya selalu batasin paling maksimal banget antara 30-40 halaman kalo sistemnya battle royal, dan lebih sedikit lagi kalo vs1. minjem kata2 tukang mainan, "sayang pembaca, sayang pembaca." walaupun narasi, alur, dll keren banget, itu ga ngubah kalo ini sebenernya tetap cerpen (pada mulanya, ga tau deh kalo kak heru pengen jadiin novel :3 ). jujur, saya ga bisa baca sekali tamat. untung saya punya tab, bisa disimpan jadi pdf, kalo ga punya? bisa jadi saya tinggalin trus kasih komentar asal2an. apalagi minggu2 kemaren saya lagi ujian. tapi, akhirnya saya bisa tamatin juga (hore..) dan ngasih komentar di sini.
untuk isi saya ga perlu komentar lagi. wordcount yg nauzubillah bener2 bisa jelasin semua adegan secara lengkap. gambar2nya keren, rada2 unik malah. saya awalnya pengen ngasih lebih tinggi, tapi gara2 panjangnya tadi, dg berat hati saya ngasih nilai 8.5. soalnya saya ga bisa belajar gara2 baca ursanya, lucu banget (becanda, hehehe.... masih sempet baca buku H-1 ujian).
Makasih, makasih~
DeleteTadinya saya memang niatnya santai dan tidak mau nulis yang terburu-buru seperti entri R1. Tapi apa daya kalau takdir menghendaki jadinya 21K~
Sekali lagi makasih sudah dibaca, meskipun panjangnya innalillahi~
Battle Epic
ReplyDeleteEYDnya bagus
Tidak ada typo :)
Nilai= 9
Stella Opinion:
Uwa ... boneka ini lucu sekali :) aku tak akan segan-segan menambahkan nilai untukmu :)
Stella merapal mantra, bola kristalnya berpendar kebiruan
Efek= 0,5
Total= 9,5
Hug And Kisses for your Teddy Bear >.<
Ada kok typo-nya, kalau dicari dengan teliti >.<
DeleteTerima kasih sudah membaca, berkomentar, dan menyumbang nilai ~
For God's sake, this is too damn long...
ReplyDeleteAgak draggy bacanya, tapi ini bagus, sangat bagus, hanya agak draggy aja. Karakterisasi dapet, penceritaan luwes, tapi terlalu banyak karakter dengan porsi cukup bikin bacanya rada (meh). Mungkin potongan-potongan adegannya yang bikin saya terasa lompat-lompat bacanya. Ah entahlah...
Score 8,5
Long longy longy beary~~
DeleteMakasih banyak Om Jul, sudah membaca cerita panjaang ini. Trims juga sumbangan kritik dan poinnya
yay panjang, anehnya cerpan ni malah berhasil dbaca tanpa skip/skim :D
ReplyDeleteagak g tlalu suka sama gaya dongengnya sih kak, soalnya target pembaca bor kan rata2 dah remaja ato dewasa, klo mau menarik pembaca anak2 jg kyknya sih blm pas kak, narasinya msh agak tinggi bahasanya x3
tapi suka sama ceritanya, gambarnya, sama battlenya jg :)
nilai 9
Ah, makasih sudah menjadi pembaca terakhir untuk entri R2 Ursario ini, Setsu~
Delete