---
Opened Curtain
Kematian.
Hanya itulah takdir yang menunggu siapapun yang kini berada di dunia merah.
Di hadapan para 'peserta permainan' yang masih tersisa, sebuah layar raksasa terpampang.
Di sana, mereka menyaksikan sendiri bagaimana sebelas peserta lain – yang kini tidak lagi berkumpul di tempat ini – baru saja dibantai oleh si entitas merah bertanduk yang mengaku diri sebagai seorang dewa. Sang dewa menghidupkan kembali mereka yang mati, hanya untuk kemudian menghancurkan mereka di depan sesamanya, sebagai bukti bahwa ia punya kuasa atas segala-galanya.
Barangsiapa berani melawan, ganjarannya adalah kematian.
Singkatnya, ini adalah parade pamer kekuatan.
Panggung eksekusi.
Penegasan posisi tentang siapa yang di atas dan siapa yang di bawah.
Serta hukum alam yang paling rimba, bahwa hanya mereka yang paling kuat yang akan terus bertahan hidup di atas mayat mereka yang lemah.
Kira-kira begitulah pesan yang diterima oleh semua peserta.
Terlepas dari apakah si dewa benar-benar melakukan semua ini hanya karena butuh hiburan, atau mungkin memang beginilah cara neraka menghukum para pendosa, semua yang hadir di sana tahu kalau mereka tidak punya pilihan lain selain mengikuti kehendak dia yang memegang kendali.
Mengikuti kata pepatah lama, manusia hanya bisa berusaha, namun Tuhan-lah yang menentukan.
Para peserta hanya bisa bertarung, dan sang dewa-lah yang memutuskan nasib mereka.
Berbagai ekspresi terlihat jelas di mana-mana. Ngeri, marah, gelisah, murung, lega, khawatir, tegang, sedih, apapun itu, semua campur aduk menjadi satu. Menghasilkan suasana yang sungguh tidak padu.
Jauh di tengah kerumunan massa, dua pasang mata, hijau dan biru warnanya, menatap seksama semua kejadian yang ditampilkan di layar dengan perangai santai.
"Takut?"
Claude Higglfiggr bertanya pada (kepala) sang kekasihnya. Dalam rangkulan si pria berambut putih, Claudia Neuntzmann menjawab dengan nada tak acuh.
"Hmm, tidak juga. Mereka matinya secepat itu, seperti tidak merasakan sakit dulu. Kalau matinya dalam sekejap dan tanpa perlu menderita sih, rasanya tidak masalah."
Mata keduanya bertemu.
"Eh, tapi aku bilang begini bukan berarti aku terima-terima saja kalau kita kalah, lho," Claudia menambahkan. "Maksudku, selama masih berbentuk permainan yang bisa kita menangkan…. kenapa tidak dicoba?"
"Ahahaha, iya iya. Aku tahu, kok."
Dengan lembut Claude mengusap kepala Claudia sekali, lalu memasukannya ke dalam tas punggung mereka. Sebentar lagi babak selanjutnya akan dimulai. Terlihat para malaikat merah sudah mulai menghampiri, tanda bahwa lagi-lagi mereka akan dibawa ke tempat lain untuk bertanding satu sama lain.
"Claude," panggil Claudia dari balik tas punggung sesaat sebelum mereka berangkat.
"Ya, Claudia?"
"Masih ingin terus hidup?"
Terdengar Claude tertawa kecil.
"Yah. Bila maut memang belum menjemput."
Sang malaikat merah bersayap hitam pengantar mereka betutur singkat di perjalanan.
Satu pulau. Lima peserta. Sepuluh jam.
Bunuh satu lawan, kembali ke titik awal.
Instruksi yang sederhana.
Dan demikianlah, pasangan dua kepala memulai pertandingan mereka yang kedua!
*****
1st Quarter
-1-
Ke manapun mata memandang, di depan hanya terhampar padang pasir.
Berbalik ke belakang, yang ada hanya laut sewarna darah.
Kosong melompong. Tidak ada apa-apa. Tidak menarik. Membosankan.
Salvatore Jackson menggaruk rambut afronya yang kering dan gatal disengat sinar matahari.
Sejak ia menjejakkan kaki di sini, ia mendapati dirinya enggan sekali bergerak dari sebuah diagram lingkaran yang menjadi penanda titik awal ia berada. Malaikat merah tadi sudah bilang kalau pulau ini perlambang kemalasan, tapi bagi Salvatore sendiri lebih tepat kalau disebut sebagai perlambang kebosanan.
"Nggak asyik nih, mau ngapain di tempat kosong panas-panas begini? Jangankan berantem, tidur-tiduran aja ga enak rasanya!"
Walau sambil menggerutu sendiri, toh si monyet jangkung tetap saja menyelonjorkan badannya mengarah ke laut. Meski yang ada di depan mata adalah warna merah dan bukannya biru, desiran ombak lebih punya irama alami dibanding gurun yang sunyi.
Tadinya ia ingin memejamkan mata untuk tidur, tapi kemudian ia melihat sesuatu yang ganjil ketika menutup matanya sendiri.
"…?"
Selain kegelapan yang lazimnya seseorang temui ketika menutup mata, kini ia juga melihat tambahan berupa enam digit angka yang terus berkurang.
Langsung bisa ditebak kalau kumpulan angka itu adalah hitung mundur waktu yang menjadi durasi permainan kali ini.
"Ah elah, masa' mau merem aja juga diganggu?"
Salvatore mendengus sebal.
Sekarang bagaimana?
Masih menghadapkan badannya ke laut yang tak berhenti bergolak, sang musisi patah hati merenungkan apa yang sudah terjadi padanya sejauh ini.
Kalau ia ingat-ingat lagi, ia sendiri sebenarnya tidak banyak melakukan apa-apa selama pertandingan sebelumnya. Ia bertemu dengan wanita berambut putih yang bisa mengubah orang menjadi batu, pria bersabit dengan sayap hitam, gadis muda penembak jitu, dan seorang perempuan bau yang mengendalikan lalat. Mereka semua saling bertarung, dan posisi Salvatore tak ubahnya penonton yang hanya sekali-dua kali mendendangkan lagu meski bukan dengan tujuan melukai.
Pada akhirnya, semua peserta lain mati. Meninggalkan si Meteo jantan sendiri.
Yah, intinya itu sudah menjadi bukti kalau seseorang bisa menang tanpa bertarung. Dipikir lagi, dengan adanya lima peserta kali ini, sudah cukuplah kalau dua orang mengalahkan dua orang lainnya, jadi akan ada dua pemenang dan satu orang yang menganggur.
Salvatore berniat menjadi satu orang tersebut.
Pertama, ia sungguh enggan berkelahi. Bukan hanya karena itu semua cuma buang tenaga dan bukan bidangnya, tapi juga karena sejatinya dia adalah seorang musisi alih-alih petarung. Membawakan musik untuk orang lain lebih cocok buat dia daripada melayangkan jotosan ke orang lain.
Kedua – dan yang paling penting ada di benaknya sejak awal pertandingan pertama – adalah fakta kalau ia mati karena pilihannya sendiri. Bukan karena kecelakaan, bukan pula karena dibunuh orang. Tambahan lagi, Salvatore tidak menginginkan kehidupan kembali kalau itu tanpa disertai keinginannya yang belum terkabul selama masih di dunia fana, karena rasanya hidup kedua pun bakal jadi percuma.
Singkat kata, genap sudah alasannya untuk tidak perlu susah-susah melibatkan diri di permainan si dewa yang bosan dan kurang kerjaan ini.
Jadi Salvatore duduk menatap laut sambil menggaruk lagi rambut afronya yang lebat.
"….duh, kok jadi galau begini ya bawaannya?"
Melankoli dari pemandangan laut dan perasaan tak menentu yang ditimbulkannya ternyata cukup membuat jiwa musisi Salvatore tergelitik. Tidak salah lagi, nuansa seperti ini mudah diliputi mood kegalauan kalau ia terus menerus berdiam diri.
Salvatore membalikan badannya dan menghadapi hamparan gurun yang luas membentang sejauh mata memandang.
Tetapi oh tetapi, betapa ia sendiri tak tahu apa yang bisa dikerjakannya di tempat yang cuma ada pasir dan pasir di mana-mana. Dia monyet, bukan unta. Meski sepanjang kehidupannya ia hidup nomaden, melintasi padang pasir jelas bukan sesuatu yang menjadi kebiasaan.
Memang selalu ada pilihan untuk tidak melakukan apa-apa… Tapi rasanya tidak nyaman. Beda ceritanya kalau ia ada di tempat yang tinggi lagi rindang macam sebuah pohon, maka pasti tidur selama apapun bakal terasa lebih menyenangkan ketimbang diam di tempat begini.
Bosan. Sungguh, bosan lebih tepat menggambarkan perasaannya ketimbang malas.
Entah berapa lama Salvatore memandangi padang pasir, ketika tiba-tiba di depan matanya muncul pemandangan yang berbeda dengan sebelumnya.
"Heh? Dari kapan tahu-tahu ada pohon di sana?"
Salvatore memicingkan mata.
Ada sesuatu di kejauhan yang baru sekarang memasuki pandangannya, terlihat samar namun mengundang. Perlahan tapi pasti, gambaran bagai kabut embun di pagi hari mulai menampakkan suatu pemandangan lain selain sebuah padang pasir tanpa penghuni.
"Wuih, itu kan…"
Tak salah lagi.
Pepohonan yang rindang, semak-semak dan rerumputan yang rimbun, ditambah danau yang tampak begitu menyejukkan… Semua itu menunjukkan kalau di tengah- tengah teriknya matahari dan gersangnya gurun ini, masih ada secercah harapan.
Sebuah harapan bernama 'oasis'.
"Wuhu~!"
Sambil bersenandung riang, Salvatore pun beranjak dari perbaringannya dan berlari-lari kegirangan menuju oasis dambaannya nun jauh di sana. Tak lagi ia pikirkan soal panas atau kakinya yang menapak langsung dengan pasir tebal, asal bisa mengatasi rasa bosan karena tidak mengerjakan apa-apa.
Tampaknya bagi seorang – seekor – Salvatore yang pada keadaan biasa punya sifat pemalas, apa yang dibawa oleh pulau ini justru memberikan efek berkebalikan.
Tentu saja, apa yang sebenarnya Salvatore lihat tak lain dan tak bukan adalah sebuah fatamorgana. Buah dari pikiran menyenangkan yang berusaha menyangkal kebosanan dalam diri.
Tapi apa pedulinya?
Toh ia sendiri hanya ingin bersantai sampai pertandingan ini selesai.
*****
-2-
Pasir. Pasir. Pasir. Laut. Merah. Sunyi. Malaikat. Pergi. Sebelas. Mati. Bertarung. Lagi. Sendiri. Kosong. Pasir. Pasir. Pasir. Lemas. Panas. Malas.
Bara si Tumpara menengok ke kanan dan ke kiri untuk kesekian kali.
Lagi-lagi begini. Lagi-lagi si Thurqk si Iblis berbuat sesuka hati.
Tak puas rupanya si merah bertanduk mengadu nyawa dalam sebelas kali lima, sekarang dibuat lagi olehnya permainan baru di pulau isi padang nestapa. Bara mungil menengadahkan kepala, berpikir dalam keadaan begini baiknya ia berbuat apa.
Silaunya.
Bara mengenakan goggle yang selama ini ada di dahi untuk menghindari kontak langsung antara cahaya dengan kedua mata.
Bagi mahluk sepertinya, pulau ini saja tak ubahnya neraka. Kering kerontang di mana-mana, membuat berjalan melangkah ke depan pun rasanya sungkan. Salah-salah kehabisan cairan dan mati kepanasan duluan sebelum bertemu dengan lawan.
Tapi Iblis sudah bertitah.
Jangan malas. Jangan membuat bosan.
Bunuh satu lawan, kembali ke titik awal.
Mengamati diagram lingkaran tempatnya terduduk dalam diam, Bara Tumpara memutar lagi ingatannya tentang pertandingan sebelumnya. Ia masih ada di sini, berarti ia menang. Menang, berarti semua yang lain kalah. Dan dalam pertandingan itu, mengalahkan tidak berarti sama dengan membunuh. Cuma dibekukan saja semua, selesai sudah. Yang penting 'menang'.
Tapi sekarang lain.
Perintahnya spesifik. Jelas, sederhana, namun tanpa ruang untuk didebat yang tersisa. Sudah ada kata 'bunuh'nya, jadi mengalahkan di sini sekarang cuma punya satu arti, tidak boleh ada interpretasi sendiri.
Haruskah si Tumpara hijau berkelahi dengan aturan ini?
Alasan. Alasan. Coba cari alasan.
Alasan kenapa harus bertarung. Alasan kenapa dia masih di sini.
Si hijau yang polos, Bara si Tumpara, cuma punya satu tujuan untuk terus bertahan.
Lewati rintangan penuh petualangan di neraka, temui mata air yang penuh kejernihan di surga!
Memikirkan ini, lentera Bara jadi menyala-nyala.
Adalah Skyemaira, planet asal Bara, terkenal asri dan biru karena permukaan airnya. Tapi bangsa bernama Motavatu melakukan monopoli, membuat bulan jadi dua dan sepertiga air di planet terangkat ke angkasa. Maka dimulailah pertempuran Bara – sang terpilih yang menjadi dalang roh lentera – untuk melawan para Motavatu demi mengembalikan air ke Skyemaira.
Air di dunianya tidak lagi jernih. Sihir hitam Motavatu menguasai air. Tugas Bara mengembalikan air ke dataran, agar air dan tanah bersatu kembali.
Bara tak ingat pasti bagaimana ia mati. Tapi empat buah batu roh di ranselnya masih menemani, tanda bahwa pertempurannya masih menjadi sebuah misi.
Kalau berhasil menemukan air jernih dalam pengelanannya di dunia orang mati, bukan tidak mungkin pemecahan untuk masalahnya di dunia nyata akan ia temui.
Dan dengan ini, bulatlah tekad Bara.
Ia akan bertarung kalau memang harus bertarung.
Harus tampil keren! Laki-laki yang punya prinsip adalah laki-laki yang keren!
Begitu memikirkan ini, Bara pun menyadari ada sesuatu yang berubah dari tadi.
Tak tahan dengan pasir berdebu ataupun langit panas menyengat, dalam lamunannya barusan hanya laut yang ditatap Bara. Laut yang merah dan entah masih air atau bukan.
Tapi sekarang, tidak ada lagi laut merah di depan mata. Sebagai gantinya, laut biru yang jernih tampak menggantikan.
Sihirkah ini? Ilusi siapakah ini? Tipuan mata macam apa yang sedang terjadi?
Bara membuka goggle yang ia kenakan dan mengusap matanya, siapa tahu cuma mimpi di siang bolong. Tapi semua betulan, ternyata. Semua nyata. Setidaknya demikian matanya berkata.
Aneh, tapi ajaib!
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Baru memikirkan air jernih, tahu-tahu di depan mata muncul air jernih tanpa perlu dicari.
Lentera Bara bergetar tak sabar.
Tapi Bara masih bergeming. Prinsipnya, kalau mau keren, tidak boleh hilang kendali. Yang tenang, yang kalem. Pikir masak-masak dulu baru bertindak, biar terlihat memakai otak.
Bohong kalau Bara tidak tergoda untuk langsung melompat ke air yang ia lihat. Tapi tunggu, tahan dulu. Kata-kata dalam hati menghentikan keinginan diri sendiri.
Meski tidak ada yang memperhatikan, pribadi Bara harus selalu tampil percaya diri. Sebelum ia percaya sepenuhnya pada apa yang ia lihat, janganlah serampangan. Santai saja menghadapi situasi ini, jangan dibawa buru-buru.
Bara mencoba berpikir lagi.
Jelas dirinya tak tahan berlama-lama dalam panas. Bisa dehidrasi. Tak nyaman pula kalau tidak tahu di mana sumber air. Sekarang air sudah dekat.
Satu alasan untuk berdiam diri hilang sudah.
Lalu ada pesan dari si Iblis yang mengaku dewa. Jangan malas katanya. Mungkin maksudnya, malas itu penyakit. Kalau diam terus, Bara bisa sakit. Makanya sekarang muncullah air supaya Bara terpancing untuk bergerak.
Satu alasan untuk berdiam diri hilang lagi.
Sekarang airnya sendiri. Kok bisa dari merah jadi biru, pikir Bara berdecak kagum. Ini pasti ada misterinya. Misteri kalau cuma dilihat tidak akan ketahuan bentuk aslinya, harus disentuh langsung baru bisa dikuak apa rahasianya. Penasaran adalah awal dari petualangan.
Satu alasan untuk berdiam diri hilang – Bara haus, baik akan petualangan maupun dalam arti yang sebenarnya.
Sekarang hilang sudah semua lapis keraguan Bara.
Air yang dicari, air yang ada di depan mata, cuma ada yang satu ini.
Tak usah ragu lagi! Jadilah sosok berani, segera aksi!
Maka Bara pun meloncat.
Terceburlah ia ke dalam laut, jauh dari dataran tanpa pantai yang tinggi dari permukaan air, lama tak kelihatan adanya tanda-tanda ia akan muncul lagi.
Tenggelamkah ia? Selamatkah ia?
Bagaimana nasibnya, tiada seorang pun yang tahu. Bahkan Bara sendiri tak tahu kalau yang tampak di pulau ini sebenarnya bisa menipu.
Tapi satu hal sudah jelas terjadi.
Sosok Bara si Tumpara, salah satu dari lima peserta, telah menghilang dari atas pulau tersebut.
*****
-3-
Berikut adalah apa yang menurut Ursario terjadi pada dirinya sejak menginjakkan kaki di pulau ini.
Segera setelah menapakkan kaki (baca : dijatuhkan oleh malaikat merah yang mengantarnya) di pulau yang entah di mana lokasi pastinya ini, Ursario segera mendapati bahwa dirinya berada di sebuah tempat penuh dengan berbagai macam camilan dan manisan yang bahkan tak pernah ia bayangkan akan ia lihat seumur hidupnya.
Pulau makanan.
Sang boneka beruang heran bukan kepalang. Kalau ia tidak salah ingat, ada yang bilang dia akan dikirim ke pulau penuh pasir, bukan pulau penuh makanan. Ini mestinya pulau lain. Apa malaikat merah yang mengantarnya salah kirim?
Tentu saja, awalnya Ursario merasa waspada. Bukan Ursario namanya kalau tidak bertanya dua kali tiap sesuatu hal terjadi, atau ada orang baru yang ia temui.
Mungkinkah ini salah satu tipu daya antek-antek Luxa Demony?
Ia mengendus setiap wangi dari setiap makanan yang ada, dan hidungnya berkata semua ini nyata.
Ia memasang telinganya, siapa tahu ada yang sedang bersembunyi dan mempermainkannya. Tapi tidak, ia tidak mendengar ada siapa-siapa di sekitarnya.
Ia membuka kacamata hitamnya, namun warna-warni tempat ini tampak begitu berkilau hingga tak kuasa ia melihat sekeliling tanpa kacamata hitam itu.
Akhirnya Ursario sampai pada satu kesimpulan.
Mungkin ia salah dengar. Mungkin memang di pertandingan kedua ini ia ditempatkan di pulau makanan, bukan pulau padang pasir.
Maka ia tidak lagi menahan diri.
"Burahahahaha! Goodbye, Sandy Landy! Welcome, Candy Landy!"
Ursario pun berlari menyerbu setiap setiap yang ia temui.
Gulali, lolipop, cokelat, keju, madu, keripik, biskuit, anggur, roti, daging……
….Ursario tidak lagi bisa menyebutkan jenis makanan yang ia temui di tempat ini.
Setidaknya, si boneka beruang masih punya kendali untuk menahan diri tidak menyantap semua yang ia lihat. Tapi toh tetap saja, ia comot sana-sini, masukkan satu-dua ke mulut, penasaran dengan rasa yang mungkin bisa berkata lebih banyak daripada mata.
Dan kenyataannya, soal rasa, lidah memang tidak bisa berbohong.
"Buhuueekk!!"
Entah kenapa, semua makanan yang masuk ke dalam mulut Ursario semua punya rasa yang sama.
Sebuah rasa yang…bagaimana mengatakannya? Seperti tidak ada rasanya, tapi menempel di lidah dan membuat yang memakan langsung ingin memuntahkannya kembali.
"Air, air! Aku butuh air!"
Berusaha mengeyahkan perasaan tidak enak yang tersisa di lidah, Ursario memandang ke sekeliling. Butuh waktu beberapa saat sampai kemudian ia menemukan sebuah pancuran air yang tampak segar, keluar dari belahan tanah seperti sebuah geyser.
Tanpa pikir panjang, Ursario melompat ke dalam pilar air itu.
Namun apa yang kemudian terjadi sungguh tak bisa ia mengerti.
Bukan air yang ia dapat, tapi justru sebuah pusaran seperti menaiki sebuah wahana pusing di taman ria.
"Buraburaburabura—Bueeergh.."
Ursario mual seketika. Ia merasa seperti ingin muntah, tapi apa yang bisa dimuntahkan sebuah boneka beruang dari isi perutnya selain buntalan kapas?
Perlahan tapi pasti, Ursario mulai kehilangan kesadaran.
Dalam hati, tak henti-hentinya ia mengumpat penuh dendam.
"Goddy Thurkey sialan… Ternyata kau memang sekutu Luxa Demony…!"
Berikut adalah apa yang sebenarnya terjadi pada Ursario sejak menginjakkan kaki di pulau Mhyr.
Segera setelah dijatuhkan oleh Hvyt yang membawanya di atas tanah tepi pantai yang tak berpasir, Ursario memandang sekeliling dan segera mendapati dirinya berada di pulau yang nyaris hanya dihuni oleh ketiadaan.
Impresi awal orang normal mungkin memang mengatakan pulau ini tampak kosong.
Tapi tentu saja, pulau ini punya tipuan tersendiri.
Adalah ilusi hal-hal menyenangkan yang segera tampil mengelabui indera Ursario, dan kebetulan, yang pertama berhasil dimunculkan oleh pulau ini adalah pemandangan berupa makanan.
Tak perlu waktu lama sampai Ursario agaknya terbuai untuk mencoba apa yang matanya lihat – walau sebenarnya semua itu maya adanya.
Sebuah gundukan kecil pasir, dua buah, tiga buah…
Mulut dan perut Ursario terisi pasir yang jelas tidak mengenyangkan, apalagi mengenakkan.
Herannya, meski sudah menerima kenyataan pahit ini, ilusi dari pulau tampaknya tidak segera lepas dari Ursario. Ia masih melihat pulau ini sebagai pulau penuh makanan, dan kini harapan kedua muncul.
Ursario menginginkan air.
Jelas, tidak ada air dalam jarak dekat sejauh mata memandang di tengah padang pasir yang gersang ini.
Namun mata Ursario berkata lain.
Sebuah pusaran angin bergulung di tengah gurun pun terlihat bagai air mancur di matanya, entah bagaimana.
Tanpa banyak tanya, Ursario melompat ke dalamnya.
Jelaslah apa yang kemudian terjadi.
Kini sang boneka beruang terombang-ambing tak menentu, terbawa angin dahsyat yang bergulung-gulung membentuk pusaran di tengah padang pasir.
*****
-4-
Premis awal yang diceritakan oleh malaikat merah yang membawanya adalah sebagai berikut :
"Pulau ini adalah perlambang kemalasan. Sekali menjejakkan kaki, kau akan dibuai oleh hal yang menyenangkan bagimu dan melupakan tujuan awalmu berada di sini."
Tapi di saat yang sama, si malaikat juga bilang kalau yang harus dia lakukan adalah membunuh satu lawan, lalu kembali lagi ke tempat awal di mana sang malaikat menurunkannya – tepi pantai dengan sebuah diagram aneh di tanah.
Bagi Yvika Gunnhildr, hal itu berarti satu :
Semua yang ada di atas pulau nanti adalah tipuan. Bisa dengan mudah dilawan kalau kau sudah memiliki persiapan.
Ya, karena mengetahui hal ini, Yvika langsung tahu kebohongan yang menipu matanya saat melihat sosok Lana, anaknya yang begitu ia cinta, hadir sesaat ketika ia sampai di sini. Dengan enggan ia berpaling dari ilusi itu, dan benarlah, sedikit keteguhan hati untuk menolak kenyataan palsu cukup untuk membuat matanya memandang kembali dengan jernih.
Thurqk sialan, pikirnya. Tipuan murahan begini apa maksudnya? Mau memberiku kesenangan semu kalau aku tidak bisa kembali lagi ke tempat Lana menunggu?
Dengan gusar, Yvika pergi meninggalkan titik awalnya seraya menyusuri pantai. Semakin jauh ia melangkah, semakin ia merasa ringan, dan berbagai ilusi yang mungkin bermunculan pun seolah sudah tidak berminat lagi menggodanya untuk berhenti.
Mungkin ini karena pada prinsipnya, kemalasan adalah sesuatu yang menahan seseorang untuk bergerak melakukan sesuatu. Satu-satunya obat dari kemalasan, tentu saja, adalah dengan memulai.
Satu langkah kecil untuk mengawali semua.
Kalau tidak memulai, memang segalanya tidak akan pernah selesai.
Dengan niat dan aksi nyata, kemalasan tidak berarti apa-apa.
Tapi itu semua tak lebih dari sekedar ide konsep.
Pada kenyatannya, Yvika mampu berjalan seperti ini tak lain adalah berkat sugesti yang ia ciptakan sendiri.
Yah, kalau yang dia butuhkan memang hiburan, tidak mungkin dia membiarkan objek tontonannya bermalas-malasan tanpa melakukan apa-apa. Kalau tidak, itu bakal jadi tontonan yang super membosankan.
Bagi Yvika, sejauh yang bisa ia lihat, pulau ini lebih tampak sebagai contoh kemalasan sang dewa dalam menciptakan sesuatu, saking gersang dan kosongnya padang pasir yang terhampar di depan mata. Cocok juga, 'perlambang kemalasan sang dewa'.
Sang wanita tentara menyulut api untuk rokoknya, membiarkan nikotin menjadi satu-satunya teman perjalannya kali ini.
Yvika menyusuri sisi pantai dengan alasan, andaikata ia bertemu dengan seorang lawan, akan lebih mudah untuk kemudian kembali ke tempat asalnya dengan menyusuri jalur pantai yang ia lalui ketimbang melewati gurun pasir yang luas. Sambil berpikir demikian, ia pun beberapa kali menutup mata, memperhitungkan berapa waktu yang telah berlalu dan menyiapkan image training beberapa skenario penyergapan lawan.
Tentu saja, ia masih belum tahu lawan seperti apa yang ia dapat kali ini.
Pada pertandingan pertama, ia dihadapkan dengan remaja yang bisa membuat puting beliung api, bocah yang bisa mengendalikan boneka, bapak-bapak pemanggil monster, dan seorang wanita vampir. Minus si wanita vampir, bisa dibilang ia mampu mengalahkan sebagian besar dari musuhnya dengan modal kemampuannya sendiri.
Memikirkan hal ini, Yvika setidaknya cukup yakin bahwa seaneh apapun lawannya, kalau cuma harus membunuh satu dari empat, perkaranya tidak akan serumit pertandingan sebelumnya.
Kepercayaan diri mulai menyelimuti perasaan Yvika. Sebagian kecil hatinya tidak mau tunduk pada permainan sang dewa, tapi sebagian yang lain juga menyerunya agar tetap bertahan selama yang ia bisa.
Ia berjalan dan berjalan, dan beberapa waktu pun berlalu.
Tanpa disadari, rokok di mulutnya telah habis. Sang wanita tentara tak sadar kalau berjalan sambil berpikir bisa mengalihkan perhatiannya dari waktu seperti ini.
Ketika hendak mengeluarkan rokok kedua, mendadak mata Yvika menangkap pergerakan sesuatu yang asing nun jauh di sana.
"….?"
Yvika memicingkan matanya ke udara.
Tidak, ia tidak mungkin salah menduga. Sebagai seorang ahli dalam penyerbuan dan penyergapan, ia telah terlatih merasakan hawa keberadaan orang lain, terutama mereka yang menjadi targetnya. Meski belum menangkap sosok macam apa yang ia rasakan kehadirannya ini, Yvika tahu pasti kalau sesuatu tengah menuju ke arahnya.
Serta merta ia menyiapkan senapan serbunya, dengan mata kiri tertutup dan mata kanan waspada, siap membidik apapun yang akan masuk dalam jarak pandangnya.
Beberapa saat kemudian, dugaannya terbukti benar.
Datanglah sesosok…atau lebih tepatnya, sebuah kepala yang melintas begitu saja di udara bagai pesawat terbang rendah.
"Ap—"
Yvika tidak dapat menyelesaikan kalimatnya.
Ia tahu pertarungan alam baka ini punya lusinan mahluk aneh yang bahkan bisa dikumpulkan untuk membentuk sebuah sirkus kalau si dewa mau, tapi tak pernah ia bayangkan kalau ia akan menemukan sebuah kepala terbang bak hantu di siang bolong.
Jarak antara dirinya di tanah dan kepala itu di udara cukup jauh, dan kepala itu sudah menghilang dari pandangannya sebelum ia menangkap jelas seperti apa rupanya secara detil selain hanya sebentuk kepala.
Namun ajaib, Yvika masih sempat menguncinya dengan alat pelacak di mata kanan sebelum sosok itu benar-benar tidak terlihat lagi oleh jarak pandang matanya.
"….."
Yvika tak yakin apa yang baru saja ia lihat.
Ilusi lagi kah? Tapi rasanya ia sudah cukup sadar. Bahkan bayangan Lana pun sama sekali tidak muncul lagi sejak ia berjalan kaki.
Kalau begitu jelas jawabannya. Kepala itu pasti salah satu dari empat lawan yang ada di pulau ini.
Sempat terpikir oleh Yvika untuk segera mengejar kepala itu, tapi kemudian ia mengurungkan niatnya. Kepala itu terbang ke arah yang berlawanan dengannya, dan lagi kecepatan terbangnya di udara tidak bisa diikuti Yvika dari darat (terutama karena matahari silau luar biasa, membuat siapapun pasti enggan menatap ke arah langit lama-lama).
Toh lagipula, ia sudah menyimpan gelombang si kepala dengan alat pelacaknya. Yvika bisa mengejarnya kapanpun ia mau, jadi rasanya tidak perlu terlalu terburu-buru.
Setelah rasa terkejutnya reda, Yvika menyalakan lagi rokok keduanya dan melanjutkan perjalanan.
Yah, kalau memang takdir, siapa tahu ia akan bertemu lagi dengan si pemilik kepala aneh yang satu ini di lain waktu.
*****
-5-
Di belahan pulau yang lain, tampak seorang lelaki berambut putih duduk dengan sabar di dalam diagram lingkaran. Sesekali angin menerpa tubuhnya, panas menyengat kepalanya, namun ia hanya menutup mata sambil tersenyum tanpa mengubah postur tubuh sama sekali. Persis seperti seseorang yang tengah bersemedi.
Waktu telah berlalu cukup lama sejak ia mulai melakukan ini. Menunggu sang kekasih kembali dari apa yang ia sebut sebagai sebuah eksplorasi.
Claude dan Claudia telah terpisah sekitar lebih dari setengah jam. Begitu tahu pertarungan kali ini diadakan di sebuah pulau kecil, spontan Claudia menawarkan diri menjadi 'satelit pengamat'. Entah dari mana, ia mendapat ide untuk memetakan ujung-ujung pulau ini dengan menyusurinya dari langit, siapa tahu ia bisa memberi gambaran jelas sebelum mereka mulai bergerak.
"Pokoknya serahkan saja padaku," begitulah ia berujar dengan penuh semangat, meninggalkan Claude yang tidak sempat menolak gagasan tersebut.
Sementara Claudia pergi, Claude sendiri heran dengan apa yang ia temui.
Tidak, lebih tepatnya, ia heran dengan apa yang tidak ia temui.
Bila ingatannya tidak salah, ia dengar pulau ini akan mencoba menipu siapa yang menjejakkan kaki di atasnya untuk bermalas-malasan dengan memunculkan hal-hal yang menyenangkan bagi si pendatang. Herannya, baik Claude maupun Claudia sama sekali tidak merasa ada kelainan berarti sejak mereka tiba di sini.
Mungkin seharusnya ia bersyukur, tapi Claude malah jadi tergelitik untuk berpikir kenapa bisa seperti ini.
Apakah karena mereka sudah saling melengkapi satu sama lain, sehingga tidak perlu hal-hal yang lain lagi?
Bagi Claude, hal yang paling menyenangkan baginya adalah bersama dengan Claudia.
Bagi Claudia, hal yang paling menyenangkan baginya adalah bersama dengan Claude.
Bersama keduanya membuat efek halusinasi pulau Mhyr menjadi tidak berlaku.
Kekuatan cinta mematahkan pengaruh dari pulau dewa!
"Haha, yang benar saja…"
Masih sambil menutup mata – menghitung enam digit angka yang terus berkurang, Claude menertawakan ide klise ini dalam kepalanya.
Tak lama kemudian, Claude membuka matanya, mendapati Claudia yang terbang rendah menuju ke pelukannya.
"Selamat datang kembali," sambut Claude sambil mengusap kepala Claudia. Basah dan lengket. Pasti karena keringat dan minyak. Padahal biasanya rambut Claudia lembut dan halus kalau dipegang.
Yang disambut tampak memasang ekspresi yang merupakan campuran kelelahan dan kekesalan, entah karena apa. Di dalam pelukan Claude, ia hanya menjawab pendek dengan "Hn," bahkan bukan ucapan ceria seperti "Aku pulang~."
Claude kemudian bertanya,
"Bagaimana jalan-jalannya? Menyenangkan?"
"Apanya?" balas Claudia dengan nada menggerutu. "Pulau ini panasnya menyebalkan sekali… Rasanya aku nyaris pingsan tadi…"
Claude tahu gerutuan Claudia bukan karena sang kekasih sebal dengan pertanyaannya. Tapi karena yang mengusulkan untuk 'menyusuri pulau' adalah Claudia sendiri, sebagian dari hati kecil Claude ikut berkata, "Yah, salahmu sendiri terbang tinggi jauh-jauh di pulau gurun terik begini."
Tentu saja ucapan itu tidak pernah keluar dari mulut Claude, karena menggoda Claudia di saat seperti ini sama saja dengan meledakkan panci yang sudah terlampau panas.
"Mau istirahat dulu?"
"Dalam tas saja," jawab Claudia. "Sambil jalan. Kita dikejar waktu kan?"
"Masih ada sekitar 8-9 jam, sih," ujar Claude seraya memasukkan kepala Claudia ke dalam tas punggung mereka. "Memangnya tadi kau menemukan apa?"
"Intinya, ada lima titik awal di pinggir pulau ini…," kata Claudia, kini dengan nada malas. "Sudah ya, biar aku tidur dulu. Kamu jalan saja sesukamu, kalau cuma bunuh satu tanpa aku juga bisa kan?"
Ah. Claudia benar-benar lelah rupanya.
Kalau sudah begini, tampaknya Claude harus bermain sendiri di pertandingan kali ini. Jadi buat apa sebenarnya Claudia susah-susah keliling pulau tadi?
"Ngomong-ngomong, mau jalan ke arah mana?" tanya Claude memastikan.
"…zzzzz…"
Yang dimintai pendapat sudah hilang kesadarannya dari alam ini.
Claude menghela napas pelan, kemudian bangkit dari diagram lingkaran tempatnya duduk.
Setidaknya ada sedikit petunjuk dari laporan Claudia. Kalau memang semua titik awal peserta ditaruh di ujung-ujung pulau, besar kemungkinannya mereka yang sudah mulai berjalan tidak ada lagi di sana. Claudia tadi juga bilang jalan saja sesukanya, plus menyebut soal mereka dikejar waktu, berarti mungkin memang sudah tidak ada lagi peserta yang menetap di ujung pulau.
Claude menatap gurun pasir yang terhampar di hadapannya.
Sambil meregangkan badannya untuk bersiap-siap, Claude berharap dalam hati.
Semoga ia tidak perlu terlalu berlama-lama di pertandingan kali ini… Malas juga rasanya kalau harus menghabiskan waktu di pulau gersang begini.
Dan demikianlah, semua peserta telah bergerak meninggalkan posisi awal mereka.
Tak lama lagi, pertandingan yang sebenarnya baru akan dimulai!
*****
2nd Quarter
-1-
Salvatore Jackson merasa dirinya sedang berhalusinasi.
Entahlah. Mungkin dorongan kebosanan telah menjelma menjadi kegilaan saat ia memaksakan kakinya terangkat, satu dua, kiri kanan, silih berganti, menyusuri gundukan pasir tak berujung, melawan panas yang membakar telapak tanpa alas.
Semua hanya untuk satu alasan.
Oasis. Oasis yang mengundangnya di depan mata.
Sal berjalan seolah tak kenal lelah meski jarak terus membuat pemisah. Ada kalanya ia merasa sudah dekat, tapi ternyata masih jauh. Beberapa kali ia ingin berhenti, tapi tak sudi rasanya kalau berhenti di tengah titik antah berantah tanpa arah kembali. Jadi pilihannya cuma satu : maju terus, pantang mundur!
Sal sempat ingin menyerah. Masa bodoh dengan pertandingan, cukuplah ia keluar dari gurun ini dengan selamat. Tapi kemudian ia teringat si dewa merah suka bakar-bakaran. Gawat itu. Habis panas ketemu panas lagi, bisa-bisa abu pun tak bersisa dari si Meteo jantan ini nanti.
Jadi ia mencoba berjuang sedikit lagi. Seperti orang bilang, menyerah lebih buruk daripada kalah.
Maka sampailah ia di hamparan hijau dengan sebuah kolam air yang luas lagi segar, indah lagi tenang, serta nyaman lagi rindang.
Dan hal pertama yang Sal pikirkan adalah bahwa dirinya sedang berhalusinasi.
"Ah, aku ngga akan kena tipu lagi… Pasti udah sampe sini, eh ga taunya masih jauh lagi…"
Dengan tertatih-tatih Sal menyeret tubuhnya mendekati apa yang ia lihat sebagai tempat ideal bernama oasis sedari awal, meski tampak skeptis soal nyata atau tidaknya.
Baru setelah kepalanya tercebur ke air lewat beberapa langkah kemudian, sadarlah ia kalau perjalanannya sudah berakhir.
"Eh? Lho? Oasisnya beneran toh?"
Sal membenamkan kembali kepalanya ke air, kemudian mengangkat kepalanya seraya membuka mata lebar-lebar.
Tak salah lagi. Ia akhirnya tiba di tempat yang ia kira tadinya tidak ada. Tempat sungguhan pula, bukan tipuan atau kebohongan pulau seperti yang ia duga.
"Wuhu~!"
Sang musisi afro riang bukan kepalang. Hilang sudah mereka yang bernama kelelahan dan keputusasaan, yang ia kenal sekarang hanyalah si suka dan si cita.
Ia kemudian melepas helai demi helai pakaian, siap menerima kesegaran menyeluruh.
"Sebelum tidur siang, mandi dulu ah yang puas, biar pas bangun nanti tetep ganteng maksimal!"
Sal baru saja hendak melompat ke danau oasis, ketika langkahnya terhenti melihat sesuatu berwarna hijau pekat menjijikkan tahu-tahu menyembul ke permukaan air.
"…?"
Ketika ia hendak melihat dari dekat, seketika itulah sosok hijau dengan dua cahaya menyala mendadak melompat keluar!
"Ngoahahahaha!"
"Hiiii—!! Kodok hejo!!"
Si sosok hijau mendarat tepat di depan Sal yang hanya mengenakan celana dalam motif hati. Sosok itu tampak begitu pendek setelah dilihat lagi, hanya setinggi paha Sal. Ia mengenakan sebuah goggle – yang kemudian ia buka sambil menggelengkan kepalanya bak iklan shampoo – dan sepasang…lentera?
Dengan penuh gaya dan percaya diri, ia langsung menatap lurus ke depan.
"Ketemu mahluk muka merah jambu!" ujarnya sambil menunjuk ke tengah selangkangan Sal. "Nah, sekarang, ayo bertarung denganku!"
"Ogah! Mana mau aku adu pedang sesama jantan! Jangan tunjuk-tunjuk ke arah situ, serem tahu!"
Si hijau pendek menelengkan kepalanya ke atas, baru menyadari mahluk di hadapannya tidak punya wajah merah jambu, tapi berwajah monyet.
Lebih tepatnya, dia memang monyet. Hanya saja kelewat jangkung untuk ukuran si hijau pendek.
"Oooh, orangnya kribo ternyata," kata si hijau berdecak kagum. "Ada biji tumbuh di kepala pula, dirimu ini gabungan pohon sama binatang ya? Keren!"
Sal menggaruk kepalanya dan berbalik.
Bukannya ia tidak terima pujian kalau dirinya keren… Tapi untuk sekarang, dia ingin memakai bajunya kembali terlebih dahulu.
Bara Tumpara namanya. Mampu menjelajah di dalam air selama satu jam nonstop, petualang akuatik yang tampak penuh dengan energi ke manapun ia pergi.
Menurut ceritanya, ia berenang dari ujung pulau dan tahu-tahu sampai ke oasis ini.
"Tapi pulau ini kan isinya pasir doang?" sergah Sal. "Kamu berenang dari mana?"
"Dari laut," jawab Bara enteng. "Air masuk dari dalam tanah di dasar ujung pulau, dari sana ada celah-celah kecil mirip penyaringan, yang ujungnya sampai ke dasar danau di sini."
Sal memanggut-manggut mendengar penjelasan Bara.
Setelah sesi perkenalan singkat yang berujung pada percakapan ini, tanpa basa-basi bara langsung melanjutkan.
"Jadi, kau tak mau bertarung?"
Sal bergidik mendengar pertanyaan ini.
Bukannya dia takut, tapi ia enggan. Seperti yang sudah ia tegaskan pada dirinya sendiri sejak pertama menginjakkan kaki di sini, ia tidak berminat dengan pertarungan. Kalau terpaksa, maka ia berniat mengeluarkan saja jurus langkah seribunya untuk kabur sejauh-jauhnya dari tempat ini.
Satu gelengan pelan.
Dan si hijau tersenyum sambil memberikan jempol.
"Bagus! Aku juga tidak mau bertarung."
Sekarang Sal malah jadi bingung.
"…lho? Bukannya tadi kamu yang menantangku duluan?"
"Cuma memastikan, siapa tahu kau suka pertempuran. Tapi tidak juga tidak apa-apa. Bertarung kalau perlu saja, bagus juga. Berkawan sajalah kita, mengobrol santai di sini."
Sal semakin tidak mengerti pola pikir mahluk aneh yang satu ini.
"Lalu pertandingannya?"
Bara menaruh tangan di dagu. Berpikir sejenak.
Kemudian ia menjentikkan jari.
"Waktu masih lama. Cara menang, pikirkan nanti saja. Mumpung di sini, lebih bagus kalau tukar-tukar cerita."
Sambil menggaruk kepalanya yang tidak lagi gatal, Sal mencoba membalas ajakan si hijau kecil dengan sedikitnya memberikan seulas senyum.
"Bolehlah."
*****
-2-
Panas.
Benar-benar panas.
Claude telah berjalan untuk waktu yang cukup lama, dan sekarang barulah ia sadar kenapa Claudia sebegitu lemasnya ketika kembali setelah mengelilingi pulau.
Meski hidup nomaden selama satu abad, Claude dan Claudia tumbuh dan besar di wilayah yang relatif cukup dingin sepanjang tahun. Setelah terekspos oleh cuaca ekstrim seperti di tengah padang pasir ini, kelihatannya pengalaman hidup 100 tahun dan tubuh abadi dullahan sekalipun tidak lantas membuat mereka jadi kebal terhadap rasa panas.
"Claudia.."
Tidak ada jawaban.
"Claudia…"
Claude mencoba mengajak kekasihnya berbicara, namun nihil. Kelihatannya yang bersangkutan benar-benar ambruk di dalam tas mereka.
Claude sudah terlanjur melangkah cukup jauh (menurutnya) di gurun yang entah di mana ujungnya ini. Ia menoleh ke belakang, tapi tidak yakin juga apakah ia harus kembali. Bagaimana ia bisa bertemu dan bertarung dengan lawannya, kalau semangatnya sudah padam duluan melintasi lautan pasir ini?
Tanpa bisa berbicara dengan Claudia untuk setidaknya meringankan beban mental ini, Claude berjalan seperti zombie yang hanya menyeret tubuh tanpa jiwa dan semangat sama sekali.
Ah. Mungkin beginilah bentuk kemalasan yang dimaksud, meski tanpa ilusi.
Claude menghibur dirinya sendiri dengan berpikir demikian.
Ya, mungkin sebenarnya pulau ini tidak sepanas ini. Mungkin ini semua sengaja menjadi cobaan untuk mereka berdua karena si dewa tahu tidak bisa menipu mereka berdua dengan ilusi, jadi ia berikan saja penghambat nyata yang membuat malas bergerak berupa tempat dan cuaca yang tidak bersahabat.
Setidaknya kalau memang begitu, Claude jadi merasa ia tidak selemah yang ia kira. Pasti ia merasa lemah dan lelah karena faktor pulaunya.
Masih sambil terus menanamkan sugesti pada dirinya sendiri. Claude kemudian melihat ada sesuatu berukuran kecil yang tampak terkubur di dalam pasir yang ia lewati.
Claude menghampiri benda yang menyembul keluar dari gundukan pasir tersebut, lalu mengeluarkannya…
…hanya untuk mendapati sebuah boneka beruang dengan dengan jaket kulit, topi, dan kacamata hitam.
"….?"
Claude mengamati dengan seksama boneka itu.
Siapa yang membuang sampah di tengah gurun pasir begini? Apa salah satu peserta gemar membawa-bawa boneka beruang ke mana-mana, dan tidak sengaja boneka ini tertinggal ketika melintasi tempat ini?
Menurut Claude sendiri, boneka itu cukup menggemaskan, tapi ukurannya yang hanya setinggi penggaris terlalu kecil. Kalau saja boneka ini lebih besar, mungkin cukup empuk untuk dipeluk-peluk.
Melihat kacamata hitam dan topi yang dikenakan si boneka, Claude jadi iri. Kalau ukurannya lebih besar, pasti sudah dia ambil dua benda itu dari si boneka.
Entah kenapa, mungkin untuk menghibur dirinya sendiri, Claude kemudian memegang kedua tangan sang boneka beruang dan memainkannya di udara seraya berkata,
"Hup, hup, hup. Selamat siang, tuan beruang. Cuacanya panas sekali ya hari ini. Sedang apa kau di sini? Apa kau tersesat seperti kami?"
Kalau Claudia mendengar apa yang dilakukan Claude saat ini, wanita itu pasti menertawakan dan mengatai masa kecilnya kurang bahagia.
Tapi Claude butuh pengalih perhatian. Panas sudah terlalu lama menyerang kepalanya, membuatnya butuh untuk sedikit meringankan suasana.
Namun apa yang kemudian terjadi sungguh tidak terduga.
Mendadak sang boneka beruang bergerak seperti hidup, menggerakkan kepalanya menatap ke arah Claude, dan segera menarik senapan dari punggung hingga moncongnya teracung tepat di depan hidung Claude.
"Bura?! Siapa kau pegang-pegang aku begini?! Antek-antek Luxa Demony, hah!?"
"Gyaaaaaaah!!"
Terkejut mendapati boneka di tangannya tiba-tiba bergerak sendiri, secara refleks Claude langsung melempar sang boneka beruang sejauh-jauhnya.
"Buraaaaaaaaa??!"
Boneka itu terlempar cukup jauh, tidak kelihatan lagi di bukit pasir yang mana mendaratnya oleh mata Claude.
Sementara Claude sendiri langsung dengan panik mempercepat langkah meninggalkan tempat ia menemukan si boneka beruang.
Dalam kepalanya langsung muncul banyak pertanyaan yang berhasil membuatnya melupakan rasa panas.
Kenapa boneka itu bergerak? Kenapa reaksi spontannya malah melempar boneka itu? Kenapa rasanya dia tidak ingin berurusan dengan si boneka? Ah, mungkin karena boneka itu boneka binatang dan lucu, jadi Claude enggan merusaknya. Tidak, yang lebih penting, boneka itu bergerak! Dia berbicara! Apa jangan-jangan dia salah satu peserta? Berarti tadi Claude sebenarnya nyaris terbunuh? Lalu kenapa yang pertama disebut oleh boneka itu Luxa Demony? Apa itu nama lain dari si dewa merah? Lalu kenapa sekarang Claude malah bergerak menjauhi si boneka? Tunggu, boneka itu tidak mengejarnya, kan? Tidak. Berarti aman. Lalu sekarang—
Rentetan pemikiran Claude mendadak buyar ketika sebuah desing peluru terdengar dari kejauhan.
Claude hanya sempat bergerak sedikit.
Dan kini ia merasakan darah mengucur dari pelipisnya.
"…eh?"
Mendadak Claude panik.
Beruang itu? Boneka beruang itukah yang menyerangnya? Cepat sekali! Dan dari jarak sejauh apa dia menyerang, sampai Claude tak bisa menemukan di mana penyerangnya sejauh mata memandang?
Terdengar bunyi tembakan kedua, dan kali inipun Claude tidak bisa berbuat banyak selain membiarkan bahunya terserempet peluru.
"Ugh!"
Sambil menahan rasa sakit, Claude mulai berlari supaya tidak menjadi mangsa empuk dalam posisi diam.
Sial. Ini benar-benar kondisi yang super sial.
Pertama, lawan yang tidak terlihat, apalagi yang menyerang dari jarak jauh, adalah musuh besar bagi Claude. Di tengah bukit-bukit pasir begini, sulit baginya memastikan dari mana peluru datang, dan di mana penyerangnya berada atau bersembunyi. Mustahil melakukan serangan balik.
Kedua, di mana-mana cuma ada pasir. Kemampuan khusus Claude sebenarnya cukup praktis, tetapi mengharuskannya untuk menukar satu benda dengan benda lain. Di tempat di mana yang ada hanyalah ketiadaan seperti ini, benda yang dapat ditukar adalah nihil. Menukar sesuatu dengan pasir pasti cuma tahan sepersekian detik sampai pasirnya jatuh.
Dan ketiga… Claude saat ini tengah kelelahan. Baik secara fisik maupun mental.
Padahal yang ia lakukan dari tadi cuma berjalan. Kenapa rasanya tubuhnya begitu berat untuk digerakkan?
Claude benar-benar sulit berpikir jernih, dan tembakan ketiga sudah dilepaskan. Beruntung kali ini ia melompat dan berguling di atas pasir untuk menghindar, membuat peluru yang satu ini meleset.
Tapi Claude tidak mau berlama-lama dalam situasi bahaya begini. Ia tidak akan menang dalam kontes ketahanan, apalagi kalau jadi pihak yang diburu.
Maka ide yang ada di kepala Claude saat ini hanyalah satu.
Kabur.
*****
-3-
Tanpa sepengetahuan Claude, Ursario bukanlah pelaku penembakan yang saat ini tengah mengincarnya.
Selepas dilempar oleh si pria berambut putih, Ursario kembali terjerembab di dalam gundukan pasir. Ketika ia berhasil membersihkan tubuhnya dari pasir yang menempel, Ursario mengumpat kesal.
"Whitey Manny sialan.. Melemparku seenaknya seperti itu…"
Ursario masih sedikit kelimpungan. Ia tidak begitu ingat apa yang terjadi sebelum ia kehilangan kesadaran, tapi ia merasa kepalanya seperti berputar-putar. Sang boneka beruang melirik ke kiri dan ke kanan, baru sadar kalau ia sama sekali tidak punya acuan arah, tidak pula tahu di mana posisinya saat ini.
Untunglah efek ilusi pulau yang ia terima sejak pertama tiba agaknya sudah sedikit berkurang. Kini inderanya bekerja lebih baik dari sebelumnya.
Ursario mengendus sebuah aroma yang ramai di satu arah. Bau yang merupakan campuran keringat, asin laut, tanaman hijau, dan sebuah danau. Ya, Ursario ingat ia juga membaui sebuah danau di hutan Viridian pada pertandingan yang lalu.
Berpikir kalau tidak ada salahnya mencoba berjalan ke arah sana, Ursario pun melangkah kecil.
Karena tubuhnya yang hanya seukuran boneka. Ursario berjalan lebih lambat daripada orang pada umumnya dengan langkah-langkah yang pendek.
"Cih. Kalau begini bakalan lama…"
Ketika berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan, iapun mendapat ide.
Dari pertandingan sebelumnya, ia telah menyerap beberapa jiwa petarung lain dan dengannya memiliki kemampuan mereka. Rasanya sekarang adalah waktu yang tepat untuk mencoba beberapa kemampuan baru yang didapat Ursario.
Yang pertama adalah kemampuan telekinesis milik seorang wanita fotografer.
Objek apa yang bisa dimainkan oleh Ursario?
Ia melirik ke arah senapannya, kemudian menaikinya.
Dengan kemampuan telekinesis yang ia miliki, senapan tersebut pun ia kendalikan sehingga menjadi tak ubahnya sebuah papan luncur.
"Yi-ha~! Ini namanya Rifle Sandboarding~!"
Ursario pun terus meluncur tanpa perlu mengeluarkan tenaga dan keringat. Kemampuan baru yang satu ini praktis sekali! Rasanya mulai sekarang Ursario akan memakai metode ini untuk bepergian ke mana-mana daripada capek-capek
berjalan kaki.
Di tempat yang saat ini tengah dituju oleh sang boneka beruang, Salvatore si Meteo dan Bara si Tumpara masih bercakap-cakap soal kisah hidup mereka yang menarik untuk dibagi.
Begitu tahu Salvatore adalah seorang musisi, Bara tak henti-hentinya memuji "Keren, master!" dan memintanya membawakan berbagai macam lagu. Karena tidak ada hal lain yang dikerjakan, Sal memainkan serulingnya, membuat si Tumpara hijau terlena dengan melodinya.
Tapi konser kecil-kecilan itu tidak berlangsung lama, karena kemudian datanglah pihak ketiga.
Sesuatu yang meluncur dengan cepat dari padang pasir bagai sebuah motor balap bising, hingga menciptakan asap tebal di belakangnya, yang mendadak menyerbu oasis seperti sebuah angin kencang lewat.
"Uhuk uhuk! Apa-apaan nih?"
Begitu asap pasir yang sesaat menyelimuti oasis perlahan memudar, tampaklah sosok Ursario yang berdiri di tengah oasis, di atas senapan yang melayang di udara.
"Burahahaha, hidungku memang membanggakan seperti biasanya," ujar si boneka beruang mengusap hidungnya sendiri. Ia melirik ke arah sekitar, dan ketika ia mendapati seekor monyet dan sosok mahluk hijau cebol berdiri tak jauh darinya, iapun bergerak menghampiri mereka.
"Wuih, boneka beruang naik senapan terbang? Mantap!" seru si hijau pada Ursario.
"Siapa kamu? Peserta juga?" tanya si monyet jangkung.
"Namaku Demonlord Ursario, penguasa Ursa-Regalheim!" jawab Ursario bangga. "Tadi kamu sebut-sebut soal peserta, Yellowy Monkey? Kok rasanya aku lupa-lupa ingat sesuatu begitu dengar tentang 'peserta'… Kalian tahu sesuatu, mahluk asing? Seperti, ada di mana kita sekarang?"
Sebelum Salvatore membalas, Bara sudah terlebih dahulu bertutur,
"Lho, memangnya kamu lupa? Kita kan masih dalam permainan Thurqk si iblis. Tempat ini namanya pulau…pulau…pokoknya pulau 'jangan malas'."
Barulah Ursario teringat.
Permainan setelah mati, ronde kedua, ilusi makanan yang memuakkan…
"Aku ingat sekarang!" Ursario tiba-tiba berseru. "Goddy Thurkey sialan! Aku harus keluar dari pulau ini, dan kupastikan dia pasti sudah bersekongkol dengan para Luxa Demony!"
Tapi bagaimana caranya?
Meski dengan kemampuan telekinesis, Ursario ragu ia bisa menyebrangi lautan tanpa petunjuk begitu meninggalkan pulau ini. Jadi bagaimana…
"Kamu mau bertarung?"
Ucapan si hijau kembali mengalihkan perhatian Ursario.
"Bunuh satu lawan, kembali ke titik awal. Cara menangnya cuma begitu saja, katanya," lanjutnya. "Master Sal ini tidak mau bertarung, jadi kalau mau duel antar laki-laki, lebih baik biar aku saja yang layani."
Baik Ursario maupun Salvatore bergeming mendengar ucapan Bara si Tumpara.
"Eh, kalo aku sih emang ga mau bertarung, tapi bukannya tadi kamu bilang kamu juga? Kok lagi-lagi malah nantangin orang, yang bener maumu gimana sih?" tanya Sal keheranan.
"Bura? Berani sekali menantangku," kata Ursario angkuh. "Siapa namamu?"
"Bara. Bara si Tumpara!"
"Tumpara? Nama dari negara mana tuh, nggak pernah dengar. Tapi okelah, aku suka keberanianmu. Jiwa macam begini biasanya lezat untuk diserap," kata Ursario mulai bersemangat. "Kalau begitu, ayo bertarung, Greeny Tumparey!"
"Ngoahahaha! Ayo, ayo!"
Maka Bara dan Ursario pun sama-sama mengambil langkah mundur jauh ke belakang dan mulai memasang kuda-kuda masing-masing.
"Eh, eh? Langsung mulai? Gitu aja?"
Sebagai pihak yang merasa tidak terlibat dan tidak mau terlibat, Salvatore pun bergegas mencari pohon rindang terdekat untuk mengambil tempat aman dan nyaman sebagai penonton.
Begitu si monyet jangkung mengungsi, saat itu pula kedua petarung kecil bergerak bersamaan memulai pertarungan!
Yang memulai inisiatif serangan terlebih dahulu adalah Ursario.
Sang boneka beruang mengambil senapannya dan melepaskan sebuah tembakan ke arah Bara.
Menyambut serangan itu, Bara langsung melakukan putaran horizontal seperti sebuah gasing.
Peluru dari senapan Ursario terhalau dengan ayunan lentera Bara.
"Bura? Dia bisa menangkis peluru?"
Tak berhenti sampai di situ, detik berikutnya Bara mengubah putarannya menjadi putaran vertikal, kali ini mirip sebuah roda – yang kemudian segera melesat ke arah Ursario bagai banteng hendak menyeruduk.
Tapi Ursario tidak tinggal diam. Kini saatnya memperlihatkan kemampuan bela diri Mossak dari Batak untuk pertarungan jarak dekat!
Ursario segera memperagakan kemampuan barunya yang kedua. Menyambut datangnya Bara, Ursario berkonstrasi penuh, dan pada suatu jarak yang tepat, Ursario menggeser sedikit badannya untuk menghindari serbuan Bara.
Tanpa menunggu Bara berhenti berputar, sang boneka beruang melesakkan sebuah pukulan penuh tenaga dari samping tubuh Bara!
"—!?"
Sayang, dalam hal pengalaman bertarung tangan kosong jarak dekat, kelihatannya si Tumpara hijau masih lebih unggul.
Ia sudah mengantisipasi serangan balik dari Ursario. Ketika tangan kecil Ursario belum sampai menyentuh Bara, dia sudah terlebih dahulu berputar ke arah sebaliknya ketika menangkap gerakan itu – sehingga Ursario hanya memukul udara kosong.
Dan tanpa membuang waktu dari jeda yang tercipta, kembali Bara melakukan putaran gasing, membiarkan lenteranya terayun rendah menghempas tubuh Ursario.
"Buraagh!"
Sang boneka beruang tersungkur di sebuah pohon, namun dengan cepat bangkit kembali sambil tersenyum.
"Heh. Ternyata kemampuanmu boleh juga, Greeny Tumparey! Kelihatannya aku harus mulai serius kalau begini!"
"Ngoahahaha," tawa ringan Bara menggema. "Nikmati saja pertarungannya, kawan!"
Keduanya pun kembali melaju ke arah satu sama lain, melanjutkan pertarungan mereka dengan penuh gairah.
*****
-4-
Di tengah gurun pasir, Claude Higglfiggr berdiri seorang diri.
Setelah melewati aksi berlari di gurun mati-matian, Claude akhirnya berhasil meninggalkan pemburunya. Dengan berhati-hati ia beristirahat memulihkan tenaga di balik sebuah batu besar yang ia temukan di tengah gurun, sambil menunggu seandainya lawan tak terlihat yang satu ini ternyata masih mengejarnya.
Namun setelah sekian lama waktu berlalu, tidak ada tanda-tanda bahwa ia dikejar.
Claude baru hendak bernapas lega, ketika kemudian ia menyadari bahwa ia telah kehilangan tiga hal.
Ia telah sepenuhnya kehilangan arah, lawannya…
…dan juga Claudia.
Oh, sial. Sial sial sial.
Terkutuklah pulau ini dan segala kesialan yang menyertainya.
Claude tidak tahu pasti bagaimana ini bisa terjadi, tapi ia curiga mungkin tembakan yang sempat menyasar bagian pundak membuat tas berisi kepala Claudia terlepas dari punggungnya. Selama berlari tadi, isi kepala dan fokusnya memang sudah buram sama sekali, sampai tidak sadar kesalahan luar biasa ini bisa sampai terjadi.
Claude dan Claudia, meski berbagi tubuh dan nyawa, tapi tidak bisa berbagi pikiran layaknya telepati – jadi Claude sama sekali tidak punya petunjuk soal posisi Claudia sekarang.
Meski tidak tahu di mana ia menjatuhkan Claudia, kalau ia masih hidup, maka begitu pula dengan Claudia. Yang artinya untuk sementara kekasihnya itu masih selamat.
Tapi untuk berapa lama?
Bagaimana kalau sang lawan menemukannya dan menjadikannya sandera?
Claude berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Begitu ia merasa cukup istirahat untuk kembali berjalan, ia pun memutuskan untuk mencoba menyusuri padang pasir di hadapannya sekali lagi.
Semoga saja semuanya belum terlambat, sebelum sesuatu yang buruk mungkin terjadi.
Di bagian padang pasir yang lain, Yvika Gunnhildr menatap sebuah tas punggung yang tergeletak di atas pasir dengan tatapan keheranan.
Berbekal titik lacak yang ditangkap oleh alat di mata kanannya, ia berhasil menemukan lawan pertama dan menyiapkan sebuah serangan kejutan.
Sayangnya, sang lawan ternyata cukup awas untuk menyadari serangan pertama yang ia lepaskan, dan bagi seorang penembak jitu, kegagalan serangan pertama sedikit banyak mengurangi persentase keberhasilan serangan-serangan berikutnya.
Yvika melihat lawannya dengan susah payah menghindar dari serbuannya, kemudian kabur menyusuri luasnya padang pasir. Tentu saja Yvika tidak ambil pusing, toh ia bisa membuntutinya dengan alat pelacak yang ia miliki. Ia sengaja membiarkan lawannya lega dulu untuk sesaat demi memberi rasa aman yang palsu, lalu kemudian menyiapkan serangan kejutan kedua.
Namun ketika ia mengikuti arah yang ditunjukkan dari mata kanannya, bukan lawannya yang ia temui, melainkan sebuah tas punggung.
Tidak ada siapa-siapa sejauh ia memandang. Bagaimana mungkin ia salah mengunci target?
Saat ia mengingat kembali bagaimana ia mendapatkan koordinat sang lawan buruan, Yvika langsung punya sebuah dugaan.
Ia membuka tas itu…dan dugaannya segera terbukti benar.
Di dalam tas itu, ia mendapati kepala seorang wanita berambut putih. Uap panas berhamburan keluar, dan tampak seisi dalam tas itu bertabur peluh di mana-mana.
Tak salah lagi. Ternyata bukan orang yang lari tadi yang pelacaknya incar, melainkan kepala wanita ini.
Sebuah kepala wanita yang tampak tidak sadar, bahkan tidak bisa diperkirakan masih mahluk hidup atau bukan.
Sekarang, apa yang harus ia lakukan dengan kepala ini?
*****
3rd Quarter
-1-
Suasana di oasis telah sepenuhnya berubah.
Tidak ada lagi perasaan damai bagi siapapun yang melihatnya saat ini, karena kondisi oasis sekarang sungguh mirip seperti bekas sebuah medan perang.
Kubangan air di mana-mana. Tanah-tanah yang tidak rata. Pepohonan tumbang dan semak-semak rusak. Nyaris tidak ada lagi unsur keindahan yang bisa didapat.
Dan di atas tanah berlumuran darah, sebuah sosok berdiri dengan gagah.
Sosok dengan tubuh mungil dan pakaian yang kini compang-camping, menandakan pertarungan hebat yang baru saja ia lalui.
Ursario.
Sang boneka beruang tidak menyangka bisa langsung mengaplikasikan empat kemampuan barunya dalam pertarungannya kali ini – termasuk kemampuan regenerasi milik wanita bermata pelangi dan kemampuan menanamkan tumbuhan parasit milik wanita tanaman. Alhasil, meski melalui pertarungan yang cukup dahsyat, bisa dikatakan Ursario tidak menemukan kesulitan berarti untuk memenangkan pertarungan kali ini.
Sementara itu di depannya, sosok mahluk hijau, Bara si Tumpara, terbaring lemah tak berdaya.
Lentera yang terhubung dengan kepalanya pun kini sudah padam, seolah menandakan jiwanya sudah tidak lagi punya semangat membara seperti namanya.
"Ngoahh… Ternyata aku kalah..," ujarnya lemah dengan sisa-sisa tenaga terakhir. "Kalau begitu…aku sampai di sini saja…"
Bara menghembuskan napas terakhirnya.
Di hadapan Bara, Ursario yang sedari tadi tengah melakukan sebuah ritual aneh telah bersiap menerima kematian sang lawan – mengambil kemampuan dari jiwa yang akan ia serap.
"Bara si Tumpara, aku mengakui jiwa petarung milikmu!"
Bersamaan dengan kalimat tersebut, sosok astral berwujud roh Bara tersedot ke dalam tubuh boneka Ursario melalui retsleting di belakang punggung.
Ursario tampak luar biasa puas dengan apa yang ia dapat.
"Burahahaha!! Sebelumnya empat, sekarang dapat lagi kemampuan hebat!" serunya tertawa penuh kemenangan. "Kalau begini sih, bahkan tanpa perubahan wujud sekalipun, aku sudah jadi jauh lebih kuat, burahahahaha!!"
Dengan kemampuan telekinesis miliknya, Ursario kemudian mengangkat mayat Bara, lalu membuang mahluk hijau itu ke sisa-sisa danau – sedikit bentuk penghormatan terakhir karena menurutnya mahluk itu akan lebih suka menyatu dengan air ketimbang dikubur dalam tanah.
Selesai sudah. Sekarang yang ia perlukan hanyalah mencari di mana titik awal ketika ia sampai di pulau ini untuk pertama kali.
"…bura? Rasanya aku melupakan sesuatu…atau seseorang? Ah, tapi rasanya bukan sesuatu yang penting…"
Ursario kemudian mengambil senapannya, siap untuk meluncur pergi meninggalkan tempat ini.
Begitu Ursario pergi, Salvatore Jackson pun keluar dari persembunyiannya di balik semak-semak dan pepohonan tumbang.
"Wuih… Tuh boneka beruang kemampuannya horor amat yak. Gile aje kalo mesti sampe lawan yang gituan.."
Salvatore menatap sedih pemandangan yang ia dapati di hadapannya. Padahal ia yang pertama sampai di tempat ini, dan tidak ada yang ia inginkan selain bersantai sampai waktu habis… tapi lihat sekarang. Tidur di tempat yang terbengkalai begini sih sama saja seperti gelandangan.
Sang Meteo juga tidak bisa tidur sepanjang pertarungan Ursario versus Bara tadi. Selain karena keduanya ribut dan mengacau sekeliling mereka, Salvatore sendiri menyaksikan pertarungan dua mahluk bantet itu cukup dramatis dan menggugah. Tidak kalah dengan film aksi yang biasanya diputar di bioskop atau televisi. Jadi meski tidak mau terlibat, agaknya Sal tidak bisa menahan godaan untuk menonton keseluruhan pertarungan itu sampai akhir.
Sekarang, mahluk hijau amfibi yang pertama ia temui di pulau ini pun sudah tidak benyawa lagi. Padahal baru beberapa saat lalu ia masih tertawa seperti tidak peduli dengan dunia.
Entah kenapa Salvatore tidak bisa merasa sedih. Mungkin karena mereka memang belum saling mengenal lama, dan mungkin juga karena pada dasarnya, Sal sadar mereka semua memang sudah mati. Entah lewat pertarungan atau lewat siksaan, pada akhirnya semua yang ada di sini nasibnya kurang lebih bakal sama semua.
Tapi setidaknya Sal masih menyimpan sedikit belasungkawa, sekaligus rasa kagum atas kegigihan dalam duel kedua mahluk kerdil barusan.
Jadi Sal menghampiri sisa danau tempat mayat Bara mengambang, kemudian mulai meniup serulingnya, memberikan persembahan sebuah lagu untuk mengantar kepergian arwah si Tumpara yang telah tiada.
Di tengah alunan musik merdu nan syahdu, ternyata suara yang ditimbulkan oleh musik Sal cukup terdengar jelas dalam diameter yang luas.
Tak ayal, musik tersebut terdengar oleh seseorang yang tengah kehilangan arah, mengundang orang itu untuk datang menuju ke arah sumber suara.
"….?"
Merasakan keberadaan orang lain, Sal menoleh ke belakang, menghentikan musiknya ketika menyadari ia telah tanpa sengaja menuntun orang lain ke tempat ini.
Orang tersebut – seorang pria berwajah pucat dengan baju hitam-putih – tampak terengah-engah, dan ketika mendapati Sal di depannya, ia segera berkata,
"Maaf… Bisa minta tolong? Kelihatannya aku tersesat di sini…"
*****
-2-
Ketika Claudia Neuntzmann membuka mata, bukanlah wajah kekasihnya – Claude Higglfiggr – yang ia dapati, melainkan sebuah mulut pistol genggam terarah ke kepalanya.
"—!?"
Claudia ingin berteriak, tapi kemudian menahan suaranya sendiri.
Ia melirik ke arah tangan si pemegang pistol. Seorang wanita kekar dengan balutan pakaian militer, berambut pendek dengan topi, kulit gelap, dan mata kanan tertutup sebuah alat.
Jelas bukan Claude. Dan tidak ada Claude di manapun, sejauh apapun matanya mencari.
Bagaimana ini bisa terjadi?
"Ternyata kau memang hidup, ya," kata sang wanita tentara, masih dengan tatapan tajam waspada. "Jangan bergerak. Katakan, apa kau juga salah satu peserta?"
Peserta? Ah ya, pertandingan. Masih berlangsung rupanya. Lalu di mana Claude? Kenapa mereka terpisah seperti ini? Dan siapa perempuan ini?
"Hei. Aku bertanya. Jawab aku."
Claudia menatap balik sang wanita tentara lekat-lekat. Pistol di tangannya masih tergenggam dengan erat, siap menarik pelatuk kapanpun sang pemilik menghendaki.
Kalau dia mati di sini, selesai sudah.
Di awal ia memang sempat mengatakan tidak peduli soal menang-kalah…tapi Claudia tidak sudi mati konyol tanpa tahu apa-apa seperti ini!
"Aku, robot pengintai," jawab Claudia dengan nada datar bak sebuah suara sintesis. "Pengguna tidak teridentifikasi. Harap verifikasi kata kunci sebelum memulai penggunaan."
Sang wanita tentara mengernyitkan alis.
"Kau mau menipuku atau apa?"
Ia meraih rambut Claudia, mengangkatnya sehingga mereka bertatapan pada ketinggian yang sama, masih dengan pistol menempel di dahi Claudia.
"Mendeteksi potensi senjata api. Peringatan, kerusakan akan menghasilkan ledakan dengan radius 10 kilometer. Mohon amakan barang berbahaya."
Claudia masih melanjutkan sandiwaranya, tapi ia tahu, sehebat apapun bakat terpendamnya dalam berakting (testimoni : dirinya sendiri), wanita itu kelihatannya cukup curiga. Sekarang yang ia perlukan hanyalah satu celah di mana ia yakin pistol di depannya telah turun, dan ia akan terbang untuk kabur.
Claudia masih memberikan tatapan kosong pada si wanita tentara, sambil sekuat tenaga berusaha menahan agar mimik wajahnya tidak berubah sedikitpun sejak ia bangun.
Hening sesaat.
Akhirnya sang wanita tentara menurunkan pistol genggamnya – meski pistol itu masih tersiaga di tangan.
Cengkeramannya pada rambut Claudia masih erat. Dan kuat.
"Dengar, kalau sekedar ingin membunuhmu, aku tidak perlu menunggumu bangun terlebih dahulu," ujarnya menghela napas.
Bau rokok.
Claudia masih bungkam. Wanita itu kemudian melanjutkan,
"Katakan sejujurnya padaku. Kalau kau memang robot, bisakah kau membawakan pemilikmu kepadaku?"
Mendadak angin berhembus, dan mata Claudia kelilipan debu.
Ia pun terpaksa mengerjapkan matanya.
"Ha. Benar dugaanku, kau cuma pura-pura!"
Sang wanita tentara langsung mengangkat kembali pistolnya ke arah Claudia, sementara Claudia hanya bisa tersenyum kecut.
"Baik, baik, aku berhenti. Kau menang," ujar Claudia dengan nada pasrah. "Tapi kuberitahu saja, membunuhku tidak akan membuatmu menang di pertandingan ini."
"Oh, jadi siapa yang seharusnya kubunuh? Orang payah yang lari luntang-lantang dariku dan mencampakkanmu di tengah gurun ini?"
Mendengar kalimat tersebut, mendadak raut wajah Claudia berubah murka.
"Jangan bicara hal-hal buruk soal Claude di depanku, kau dengar itu?" seru Claudia dengan wajah mengancam. "Tarik kembali ucapanmu, jalang."
"Sayangnya aku bukan jalang. Aku sudah berkeluarga dengan satu anak. Dan tidak kusangka, gadis berwajah manis sepertimu bisa juga berkata kotor."
"Jangan memanggilku 'gadis'. Aku yakin aku sudah hidup setidaknya empat kali lebih lama dari usiamu."
Claudia dan sang wanita tentara saling bertukar tatapan. Kemudian wajah si wanita berkulit gelap tampak mulai melunak.
"Aku suka kau. Orang yang menempatkan orang lain di atas dirinya sendiri adalah orang yang benar-benar punya sesuatu untuk dilindungi," katanya memuji. "Aku Yvika Gunnhildr. Kau?"
"Claudia Neuntzmann," jawab Claudia, kini ikut meredakan sedikit emosinya. "Dengar. Aku mengerti kalau kita sedang terlibat dalam permainan barbar, tapi bukan berarti kita tidak boleh membuat kenalan atau bekerjasama, bukan? Terlebih lagi di pertandingan ini – tidak seperti sebelumnya – tidak ada aturan yang mengatakan kalau hanya boleh ada satu pemenang akhir."
Yvika mengangkat alis.
"Apa yang hendak kau katakan?"
"Aku ingin membuat sebuah penawaran. Bawa aku kembali pada kekasihku – Claude, dan akan kupastikan kau maju ke babak berikutnya, meski nyawa taruhannya."
Sebuah senyum tersungging di wajah Yvika.
"Kau bahkan bisa langsung membual setelah bangun tidur barusan. Bagaimana aku bisa mempercayaimu?"
"Ayolah, masa kau tidak percaya padaku? Sebagai sesama manusia?"
"Kau jelas bukan manusia."
"Uuh, ralat kalau begitu. Sebagai sesama wanita."
Kali ini Yvika tertawa kecil. Ia melepaskan genggamannya pada rambut Claudia, membiarkan sang kepala tanpa badan melayang begitu saja di udara.
Claudia terdiam sejenak, namun tidak beranjak ke mana-mana dari tempatnya melayang.
"Kau tidak langsung kabur, eh.. Padahal kukira itu yang akan kau lakukan begitu aku melepaskanmu."
"Kau bisa langsung menembakku kalau itu sampai terjadi."
Claudia membalas ucapan Yvika dengan ikut tersenyum.
"Kau memang menarik," Yvika kembali menambahkan. "Baiklah, biar kubantu kau – toh awalnya kalian terpisah karena perbuatanku juga. Lagipula, kelihatannya tidak ada salahnya punya teman mengobrol untuk menghabiskan sisa waktu di tempat membosankan ini."
*****
-3-
"Tapi aku tidak berhalusinasi! Kekasihku ini memang menyertaiku ke mana-mana!"
Di pinggiran oasis yang hancur, kini duduk Claude dan Sal yang tengah membicarakan masalah Claude.
Sebenarnya Sal sendiri cukup malas berurusan lagi dengan peserta lain…tapi raut muka peserta yang satu ini tampak putus asa dan menyedihkan sekali, hingga ia rasanya sedikit iba juga, dan memutuskan untuk mendengarkan keluhan apa yang orang ini punya.
Karena tadi dia bilang dia tersesat, Sal kira si pria berambut putih cuma ingin tahu arah dan sudah mengalahkan satu peserta lain.
Tapi ternyata yang ia cari adalah kekasihnya, yang katanya selalu bersama dengannya sehidup semati.
"Peserta kan ada satu lagi. Yang kamu maksud pacarmu itu peserta yang itu?"
"Bukan… Claudia itu cuma kepala, dan punya rambut putih sepertiku," jelas Claude murung.
Sal memperhatikan laki-laki suram ini.
Kalau menarik kesimpulan sendiri, kelihatannya orang ini dulunya semacam penderita kelainan jiwa saat masih hidup, dan antara berdelusi punya pacar atau memang cukup gila untuk memotong kepala pacarnya sendiri dan membawanya ke mana-mana.
Tapi intinya, orang ini bukan orang yang isi kepalanya beres.
"Gini ya, aku sih mau aja bantu, tapi kamu tahu sendiri tempat ini kayak gimana. Jadi maaf nih, kayaknya ga bakal bisa banyak bantu."
Claude tampak mengusap keringat di kepalanya.
"Ah, ya, tidak masalah. Terima kasih sudah mendengar keluhanku…"
Kemudian Claude tampak berpikir sesuatu.
"Ngomong-ngomong, apa kau sudah bertemu dengan peserta lain selain aku?"
"Ya, ada dua orang…atau lebih tepat, dua ekor sepertiku. Eh, maksudnya bukan dua ekor monyet ya. Yang satu mahluk amfibi hijau, yang mayatnya ada di tengah oasis ini… Bukan, bukan aku yang bunuh, lho. Yang ngebunuh itu satu lagi, seekor beruang yang kayak boneka. Dia baru pergi ga sampe berapa menit sebelum kamu datang ke sini."
"Seekor boneka beruang? Serius?" tanya Claude dengan nada tak percaya.
"Iya.. Boneka beruang yang kemampuannya macem-macem, serem. Bisa berubah wujud pula. Kenapa emangnya?"
Claude menggigit jari.
Kalau begitu, lawan yang menembaknya sebelum kehilangan Claudia memang bukan si boneka beruang?
Minus Sal, Claude sendiri, dan seorang peserta yang sudah gugur, berarti Claudia terancam bahaya oleh dua pihak. Satu boneka beruang berbahaya, dan satu penembak jitu berbahaya.
"Ugh. Claudia yang malang. Dia pasti kebingungan dan bertanya-tanya di mana aku sekarang…"
Sal mengelus-elus kumisnya melihat Claude malah semakin depresi.
"Mau kubawakan satu lagu biar semangat lagi?" tawarnya berusaha bersikap ramah.
Claude menatap ke arah Sal, tersenyum lemah.
"…boleh. Terima kasih, dan maaf sebelumnya."
Sal pun mulai melantunkan sebuah musik tenang dengan permainan serulingnya. Sementara itu, ia dapat melihat Claude bangkit dari tempat duduknya, kelihatan mencari sesuatu di pepohonan yang rubuh.
Awalnya Sal heran dengan apa yang pria itu lakukan, kemudian merasa paham saat Claude membawakan dua buah kelapa ke tempatnya.
Sal masih memainkan serulingnya ketika Claude mengeluarkan sebuah pisau besar. Pisau yang kelihatannya biasa dipakai tukang daging.
Ia melihat Claude menaruh sebuah kelapa di antara mereka, seperti hendak menyodorkannya untuk Sal, dan mengayunkan pisaunya ke arah kelapa itu.
Ia tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya.
"Hah.. Hah…"
Claudia bersimpuh di dekat danau, membersihkan pisau jagalnya yang bersimbah darah.
Sesaat setelah pisau jagalnya terayun, Claude menukar kelapa di tanah dengan kepala Salvatore, membelah kepala sang musisi malang dengan mudah menjadi dua seperti memotong semangka.
Dengan demikian, kuota 'bunuh satu lawan' yang menjadi aturan pertandingan ini sudah terpenuhi bagi Claude.
Namun ia jadi merasa sedikit bersalah.
Pertama, orang ini sudah dengan baik hati mendengar keluhannya, bahkan berusaha meringankan beban pikiran Claude. Dan kedua….orang ini benar-benar bisa dikatakan seperti binatang secara penampilan, membuat Claude sebenarnya tak tega membunuhnya.
Tapi apa boleh buat. Dalam waktu yang singkat, Claude terpaksa mengambil tindakan cepat.
"Maafkan aku, kaum primata dan sebangsanya... Sungguh, aku melakukan ini bukan karena benci, tapi demi cinta..."
Setelah mendoakan agar semua binatang masuk surga, Claude pun meninggalkan oasis.
Kali ini bukan lagi untuk mencari Claudia, tapi untuk segera kembali ke titik awal mereka.
*****
-4-
Di lain tempat, Claudia dan Yvika berjalan menyusuri padang pasir sambil bercakap-cakap layaknya sepasang sahabat lama.
Setelah bertukar cerita bagaimana mereka melalui pertandingan sebelumnya, pembicaraan berlanjut pada bagaimana kehidupan mereka sebelum mati. Dari sana, entah kenapa keduanya jadi merasa cocok dan saling bertukar opini maupun kisah pribadi.
Pikiran wanita memang tidak bisa dimengerti. Sebelumnya lawan, sekarang sudah jadi teman akrab. Benar-benar hubungan yang ajaib.
"Kalian sudah bersama selama satu abad? Romantis sekali."
Claudia, yang tengah melayang mengikuti Yvika di sampingnya, tersipu mendengar pujian teman barunya itu ketika ia selesai menceritakan kisahnya.
Mungkin karena selama ini terlalu lama bersama Claude, begitu mendapat kesempatan baru untuk mengobrol banyak dengan orang lain – terutama sesama jenis, Claudia jadi punya begitu banyak hal yang bisa dijadikan topik pembicaraan tanpa henti.
"Ahaha, bukan apa-apa kok. Malah saking lamanya, aku jadi merasa begitu terbiasa. Seperti dia adalah perpanjangan dari diriku sendiri saja…"
Yvika membuang rokoknya yang entah keberapa, lalu menyadari seluruh rokoknya sudah habis. Tak ambil pusing, kemudian ia melanjutkan,
"Tapi kalau mendengar ceritamu, aku jadi kagum dengan pria kekasihmu itu. Sepertinya banyak juga yang kalian korbankan sepanjang hidup kalian hanya untuk bersama."
"…meski dibilang begitu, menurutku sendiri, kisah kami tidak sepenuhnya bahagia, lho."
"Kau merasa kesepian?"
Claudia tersenyum pahit mendengar pertanyaan Yvika.
"Bisa dibilang begitu. Aku iri denganmu. Sebuah keluarga, seorang anak… Itu adalah sesuatu yang aku dan Claude tidak pernah miliki selama kami hidup."
"Kenapa tidak?"
"Kami tidak bisa," jawab Claudia lirih. "Kau lihat, kami berbagi satu tubuh. Ketika kami memutuskan untuk menentang kematian, mungkin secara tidak langsung kami memang sudah dikutuk untuk tidak pernah sepenuhnya mendapatkan kebahagiaan, selain mencukupkan diri kami dengan saling memiliki satu sama lain…"
Melihat teman bicaranya jadi muram, Yvika mencoba mengalihkan topik. Ia mengeluarkan sebuah liontin, dan mengajak Claudia untuk melihat isinya.
Di dalam, terdapat foto seorang anak perempuan manis yang tersenyum lebar.
"Lucu ya? Namanya Lana, baru delapan tahun… Masih begitu kecil, membuatku khawatir bagaimana perasaannya kalau tahu ibunya tak akan pernah lagi pulang ke rumah.."
Claudia menatap Yvika, sadar kalau sebagai seorang ibu, pasti ada rasa tanggungjawab dan kasih sayang yang tak tergambarkan saat ini. Ia penasaran, seperti apakah rasanya menjadi orang yang melahirkan sebuah jiwa ke dunia?
Dan di satu sisi, Claudia juga kagum bahwa meski dalam keadaan sadar dirinya sudah mati, Yvika masih bisa mengontrol dirinya sendiri dan tidak kehilangan harapan.
Seandainya ia memiliki tubuh, ingin rasanya Claudia mengusap punggung Yvika saat ini.
"Aku ingin bertemu dengannya."
Hanya itulah yang bisa diucapkan Claudia untuk balas menghibur Yvika.
Sang wanita tentara mengiyakan, kemudian memasukkan kembali liontinnya dan menatap ke depan.
"Jangan khawatir," Claudia berujar lagi. "Aku sudah berjanji, kita berdua pasti akan sama-sama melewati ronde ini."
"Hum. Kuharap kau juga bisa segera bertemu lagi dengan kekasihmu itu."
Kedua wanita itu bertukar senyuman dan melanjutkan perjalanan mereka.
"Sebentar," kata Claudia tiba-tiba. "Aku merasa ada orang lain di kejauhan."
"…? Aku tidak melihat siapa-siapa."
"Percayalah, aku punya kemampuan yang mengharuskanku terlatih menjaga dan memfokuskan pandangan. Tunggu di sini sebentar."
Claudia lalu terbang tinggi meninggalkan Yvika, dan melihat dari udara, ada sebuah titik di kejauhan yang sedang menuju ke arah yang sama dengan yang mereka tuju di kejauhan sana.
Claudia lalu menghampiri Yvika seraya berkata,
"Benar, ada peserta lain – dan aku yakin ini bukan Claude dalam sekali lihat. Kalau kita berjalan terus, kita bakal bertemu dengannya – tapi kelihatannya dia berjalan lebih cepat daripada kita."
"Lalu bagaimana?"
"Biar aku maju duluan. Aku bisa sampai ke sana lebih cepat dengan terbang begini," usul Claudia. "Siapkan senjatamu sambil terus berjalan lurus. Akan kutahan dia semampuku, dan saat dia lengah, serang dia!"
Yvika memberikan sebuah jempol tanda setuju.
"Oke. Kita berkumpul dalam lima menit. Aku bisa melacak posisimu dengan alat di mata kananku ini, jadi tenang saja, aku pasti akan menyusul."
Claudia mengangguk pelan, dan segera memisahkan diri dari Yvika, meluncur ke arah seorang lawan yang ia lihat barusan.
*****
4th Quarter
-1-
Claude merasa dirinya bodoh sekali.
Seharusnya dia sudah tahu kalau ia tidak akan kuat lagi berjalan di tengah padang pasir ini.
Ia menatap langit, dan matahari masih saja bersinar menyebalkan.
Ia menutup mata, melihat enam digit angka yang menunjukkan waktu tinggal kurang dari setengahnya.
Itu berarti sudah lebih dari lima jam berlalu. Lalu kenapa matahari belum terbenam juga? Apa ketika mereka sampai di sini, sebenarnya waktu masih pagi hari?
Ah. Apapun alasannya, Claude jelas kelelahan. Lagi.
Berjalan ratusan meter di tempat begini, yang pemandangannya di mana-mana sama saja sampai kehilangan arah, telah menyiksa fisik dan mentalnya.
Padahal ia sudah berencana, dengan status berhasil membunuh satu peserta, yang perlu ia lakukan cuma kembali ke titik awal, dan selesai semua perkara. Apapun yang saat ini terjadi pada Claudia, dia bisa meminta malaikat pengantarnya untuk mencari belahan dirinya itu telrebih dulu sebelum meninggalkan pulau ini nanti.
Setidaknya begitulah pikirnya, sebelum ternyata ia dikalahkan oleh sengatan matahari.
"Claudia…"
Ketika mengingat Claudia, Claude teringat sesuatu.
Benar juga. Saat mereka pertama kali tiba di pulau ini, Claudia mampu mengelilingi pulau hanya dalam waktu kurang dari sejam.
Dengan kepala saja.
Itu dia! Itu dia cara untuk menghemat waktu dan tenaga!
Claude pun segera melepaskan kepala dari tubuhnya dan terbang tinggi, tinggi ke langit.
Seingatnya, tidak ada aturan yang mengatakan kalau peserta harus kembali dalam keadaan utuh. Jadi daripada menyeret badannya yang lamban melewati padang pasir tanpa tahu arah, lebih baik ia terbang saja dengan leluasa. Badannya bisa diambil kalau dia sudah sampai nanti.
Merasa ini adalah ide bagus, Claude pun segera melesat ke satu arah, berharap bisa menemukan titik awal dengan secepatnya!
Perasaan hati Ursario sebenarnya sedang senang siang ini ketika ia berselancar di atas pasir, namun semua berubah saat sesuatu tiba-tiba menghantamnya dari langit.
"Bura!? Apa- apaan ini!?"
Ursario – yang tampaknya berhasil menghindar sebelum benda itu tepat mengenainya – segera bersiaga dan menarik senapannya, melihat dari mana arah datangnya serangan tak diundang ini.
Ketika ia menangkap pergerakan sesuatu dari pasir yang berlubang, sebuah benda bulat putih meluncur ke arahnya.
"Ugh!'
Ursario melakukan lompatan ke belakang, menghindari serangan dadakan itu. Tampaknya ia jadi teringat dengan gaya bertarung Bara yang juga frontal seperti ini, sehingga telah sedikit terbiasa.
Ursario melepaskan beberapa tembakan, namun meleset. Benda putih itu cukup lincah rupanya.
Dan barulah Ursario sadar setelah melihat baik-baik, bahwa benda putih itu bukanlah sebuah peluru meriam, melainkan kepala seorang gadis.
"Cih. Canonny Heady ini keras kepala sekali!"
Ursario pun segera berkonsentrasi, kemudian berdiri tegak menantang, seolah membiarkan dirinya terbuka untuk diserang.
Sang kepala putih melaju kembali ke arahnya.
"Kena kau!"
"—!?"
Gerakan si kepala putih segera terhenti. Ia kebingungan. Apa yang sedang terjadi?
Rupanya Ursario telah menggunakan kemampuan telekinesis miliknya untuk menghentikan pergerakan si kepala putih. Dia sengaja membiarkan dirinya tanpa penjagaan, karena dengan begitu ia bisa menangkap dengan baik saat penyerangnya melesat ke arahnya.
"Burahahaha! Sayang sekali ya, Canonny Heady. Kelihatannya mencoba melawan Demonlord Ursario ini masih terlalu cepat satu milenium untukmu!"
Ursario pun kembali mengarahkan senapannya, puas menatap sang kepala tanpa badan yang tampak menyerah dan tak berdaya.
Namun belum sempat ia menarik pelatuknya, mendadak sesuatu meluncur dan menembus kepalanya.
Sang boneka beruang segera ambruk di atas pasir dengan kepala berlubang.
"Kita berhasil!"
Claudia menghampiri Yvika, yang menyambut kedatangannya dengan tersenyum.
"Terima kasih, dan maaf sedikit lama. Targetnya kecil sekali, tapi untung dia tidak sadar aku sudah sampai di sini. Kau hebat dalam mengalihkan perhatian orang."
"Ehehe, sudah lama tidak mendengar seseorang memuji bakat terpendamku," kata Claudia setengah bercanda. "Selamat. Dengan begini, kau sudah pasti maju ke ronde selanjutnya."
"Um. Semua ini berkat bantuanmu. Tenang saja, aku akan menepati janjiku juga untuk membawamu kembali. Kita bisa—"
Belum selesai ucapan Yvika, tiba-tiba saja sesuatu melubangi pundaknya dari belakang.
"—ggh?!"
"Yvika!"
Kedua wanita itu segera menoleh ke arah serangan tersebut, dan mendapati sang boneka beruang sudah berdiri lagi.
Yang lebih menyeramkan lagi, mereka dapat melihat kalau perlahan, bagian kepala boneka yang berlubang itu mulai menutup, sedikit demi sedikit.
"Dia punya kemampuan regenerasi!?" pekik Claudia.
"Sialan. Aku tidak memperhitungkan serangan balasan begini," ucap Yvika sambil menahan perdarahan di pundaknya. Kelihatannya satu tangannya tidak dapat berfungsi lagi akibat serangan barusan.
Sementara itu, sang boneka beruang berteriak dengan lantang,
"Buraaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!! Berani sekali kalian menyerangku seperti itu!! Sekalipun kalian bukan bagian dari Luxa-Demony, kejahatan kalian tidak akan pernah aku ampuni!!"
"Gawat, dia marah," kata Yvika dengan nada bergetar. "Sekarang bagaimana?"
"Aku akan menjadi pengalih perhatian seperti tadi," jawab Claudia. "Tanganmu yang satu lagi, masih bisa digunakan?"
"Kelihatannya."
"Kita akan membuat ini jadi pertarungan jarak dekat. Kau punya senjata tajam? Pakai itu saja, akan sulit menggunakan senjata proyektil dengan lawan ini, apalagi dia sadar kita ada dua orang sekarang."
Yvika mengangguk pelan.
"Tak kusangka kau bisa berpikir secepat ini. Kelihatannya kau benar-benar lebih veteran soal pertarungan daripada aku yang tentara."
"Memujinya nanti saja. Ayo kita mulai!"
Seperti sebelumnya, Claudia pun melesat tinggi ke langit. Melihat pergerakan itu, Ursario segera mengikuti ke mana sang kepala tanpa badan bergerak, hanya untuk mendapati sinar matahari begitu silau dibelakangi oleh sang kepala.
Ya, kacamata hitam Ursario sudah hancur bersama dengan tembakan pertama Yvika.
Perhatian Ursario telah teralihkan. Ia mengira kepala itu akan menyerangnya lagi, tapi ternyata tidak.
Hanya beberapa detik, tapi waktu yang singkat itu sudah cukup bagi Yvika untuk menarik pisau dengan racun pelumpuh syaraf miliknya dan merangsek maju.
Targetnya memang kecil, namun dengan cekatan Yvika menebas kepala Ursario dengan satu ayunan tangan.
Kepala sang boneka beruang pun terpisah dari badannya, dan sekali lagi ambruk dengan suara nyaring.
"Hah.. Hah.. Dengan ini, seharusnya selesai, kan.."
Yvika tidak bisa membayangkan kalau mahluk ini masih bangun setelah kepelanya ditebas. Mungkin aneh berpikir begini, padahal ia punya partner seorang wanita tanpa badan. Tapi kelihatannya mengerikan sekali kalau kemampuan regenerasi si boneka beruang sampai memulihkan kepala juga.
Yvika diam dan mengamati si boneka beruang. Dia tidak bergerak. Mungkin sekalipun dia masih hidup, racun Yvika telah bekerja dan melumpuhkannya?
"Sudah aman?" tanya Claudia yang menyeru dari udara.
Yvika berbalik dan memberikan jempolnya, mengisyaratkan bahwa pertarungan mereka telah berakhir.
"—ohok!?"
…atau belum.
Sensasi panas dan nyeri yang luar biasa terasa di dada Yvika. Ia pun jatuh bersimpuh, susah payah mempertahankan kesadarannya. Samar-samar ia melihat sosok kecil yang berjalan ke arahnya, menarik rambutnya sambil berbisik,
"Lengah. Belum pernah ketemu lawan yang bisa pura-pura mati, ya?"
Yvika tidak tahu apa lanjutan kalimatnya.
Detik berikutnya, kepalanya terasa begitu kosong.
*****
-2-
"Yvikaaaaaaaaaaaaaaaa!!"
Claudia berteriak sejadi-jadinya.
Di depan matanya sendiri, seorang wanita yang sudah ia janjikan akan ia bantu memenangkan permainan ini,sekarang malah terbunuh tanpa bisa ia tolong sama sekali.
Claudia menangis. Claudia murka. Claudia ingin mengamuk.
Tapi semua efek kejut ini malah membuat Claudia membeku di udara.
Ia tidak punya apa-apa untuk melawan. Kesadarannya akan hal ini membuatnya terlalu ragu untuk bergerak, bahkan meski emosinya meluap tak tertahankan.
Seandainya ia mengendalikan badan dullahan, miliknya, melawan boneka beruang itu pasti bukan masalah…
"….?"
Tunggu. Sensasi apa ini?
Claudia mencoba menggerakkan bagian tubuh yang seharusnya tidak terhubung dengan kepalanya. Dan ia bisa merasakannya.
Itu artinya…tubuh dullahan mereka saat ini tidak berkepala. Claude tidak sedang menggunakannya, karena itu Claudia bisa mengendalikannya.
Tapi di mana?
Claudia tidak ambil pusing. Di manapun tubuh itu, ia memaksanya berlari dengan modal intuisi menuju ke tempatnya berada saat ini.
"Berikutnya giliranmu, Canonny Heady!" seru sang boneka beruang pada Claudia sambil memasang kembali kepalanya. "Bersiaplah!"
Claudia tidak tahu berapa lama waktu yang diperlukan hingga tubuhnya sampai ke sini, tapi tidak ada pilihan lain. Ia harus menjaga jarak dan mengulur waktu!
Menahan rasa panas karena semakin dekat jarak antara dirinya dengan matahari, Claudia terus terbang tinggi hingga tak terjangkau oleh Ursario.
Di bawah sana, Claudia bisa melihat si boneka beruang marah-marah.
Tidak, Claudia harus bersabar. Tubuhnya belum datang dan masih berlari, Claudia bisa merasakannya.
Terlihat di bawah si boneka beruang sedang melakukan sesuatu.
Sebentar, apa yang dia lakukan pada tubuh Yvika? Kenapa mendadak ada cahaya aneh keluar dari tubuhnya?
Oh tidak. Apapun itu, si beruang sedang melakukan sesuatu yang buruk pada jasad Yvika.
Claudia kehilangan kendali. Ia pun meluncur seperti sebuah meteor hendak menghantam bumi.
Namun sial, ternyata ini memang provokasi yang sama dengan yang dilakukan si boneka beruang sebelumnya.
Kepala Claudia terhenti sebelum mencapai target yang ia tuju.
Telekinesis lagi!
"Orang bilang bahkan keledai tidak akan terjebak lubang yang sama dua kali, lho," kata si boneka beruang mengejek. "Tunggu antreanmu, Cannony Heady. Setelah aku menyerap jiwa Army Missy ini, aku akan meladenimu."
"Kau—!!"
Claudia ingin berontak, tapi apa daya. Kepalanya diam begitu saja di udara, tak mampu melakukan apa-apa.
Claudia melihat Ursario melakukan sebuah ritual aneh. Entah bagaimana, sesuatu yang tampak seperti perwujudan arwah Yvika keluar dari mayatnya, kemudian tersedot begitu saja ke dalam si boneka beruang melalui lubang ritsleting di belakang tubuhnya.
"Pu-hah~. Hari ini aku beruntung sekali, dapat satu lagi kemampuan baru," kata si boneka beruang sambil mengusap-usap perutnya, seperti baru memakan sesuatu yang mengenyangkan. "Nah, sekarang, sebaiknya kau kuapakan dulu ya?"
Claudia bergidik. Jadi mahluk ini memakan jiwa orang mati?
"Bura… Aku bingung. Ya sudahlah," kata si boneka beruang mengambil senapannya, lalu membidik ke arah Claudia. "Begini saja, ya?"
Claudia mengumpat dalam hati.
Kalau saja tubuhnya di sini—
"—!?"
Tubuhnya!
Tubuhnya sudah tiba!
Claudia melihat di belakang Ursario, tubuh yang ia kendalikan meski dengan rasa bayangan, kini tiba dengan berlari kencang!
"Heh, akhirnya datang jugaaaa!"
"Bura? Apa maksud—"
Claudia langsung menendang si boneka beruang hingga terlontar jauh.
Alhasil, kekangan telekinesisnya lepas, dan Claudia segera menghambur turun, bersatu kembali dengan tubuhnya.
Claudia benar-benar tidak punya ide bagaimana keadaan Claude saat ini. Tapi baginya sekarang, yang paling penting adalah menghabisi terlebih dahulu boneka beruang lalim yang satu ini!
Ursario bangkit kembali, mendapati si wanita berambut putih kini sudah memiliki badan yang muncul entah dari mana.
Dan ia melihat kini sang wanita berlari ke arahnya.
"Dia itu bodoh atau apa? Masa' tidak belajar juga?"
Ursario hendak mengendalikan pergerakan sang wanita dengan telekinesis, namun tampak sang wanita mengayunkan tangannya, dan sesuatu menusuk tubuh Ursario.
"Buraaa!?"
Ursario merasa tubuhnya tertusuk sesuatu yang muncul dari tanah, mengoyak isi tubuh kecilnya hingga berhamburan keluar. Tapi dia bahkan tidak melihat apapun! Dengan apa si wanita rambut putih ini menyerang?
Tampak si wanita tidak berhenti mengayunkan tangannya. Kini ke arah bawah, dan sekarang sesuatu seperti menghantam Ursario dari atas.
Sekali, dua kali, tak berhenti – seperti hendak melumat habis sisa tubuh Ursario yang terkoyak.
"CUKUP SUDAH!"
Ursario geram bukan main. Meski sekarang dia punya kemampuan regenerasi, dia tetap merasa tak sudi dipecundangi tanpa melawan seperti ini!
Maka Ursario pun segera berubah wujud, menjadi sosok beruang madu yang lebih kecil lagi dari ukurannya semula, namun lincah dan memiliki kekebalan terhadap serangan magis.
Akhirnya ia merasa terlepas dari serangan tak terlihat si wanita berambut putih. Tanpa basa-basi langsung saja ia mengeluarkan sihir elemen alam, mengeluarkan sulur-sulur tanaman yang melilit tubuh sang wanita dalam sekejap saja.
Sang wanita meronta-ronta, memotong setiap sulur yang mengikatnya, namun semua itu percuma. Sulur itu terus muncul seperti tidak ada habisnya, terlalu banyak untuk ditangani oleh si wanita berambut putih dalam satu waktu sekaligus.
Tidak selesai sampai di situ, Ursario juga mengeluarkan sihir elemen tanah digabung dengan angin, menciptakan sebuah kubah magkuk besar di area pasir tempat wanita itu berdiri.
Sebuah pasir hisap.
"Burahaha! Sekarang tamatlah riwayatmu, Whitey Girly! Seratus sulur dan pasir hisap. Kau tidak bisa lari lagi dari jeratan gandaku ini!"
*****
-3-
"Berhenti di situ!"
""?!""
Baik Claudia maupun Ursario menoleh ketika mendengar seseorang berteriak.
Mereka menatap ke langit, dan menemukan sosok Hvyt sang malaikat merah yang terbang rendah, menyeru pada mereka untuk berhenti bertarung.
"Bura? Apa-apaan kau ini? Mau ganggu segala, memangnya kamu peserta?"
"Bukan saya," kata Hvyt itu seraya menunjukkan apa yang tangannya rangkul. "Tapi beliau."
Di tangannya, terlihatlah sebuah kepala milik lelaki berambut putih.
"Claude! Kau baik-baik saja?" seru Claudia dari bawah cerukan pasir hisap.
"Oh, Claudia, apa yang terjadi padamu?" Claude segera melepaskan diri dari Hvyt dan melayang ke tempat Claudia tengah terjebak. Ia kemudian berteriak pada Ursario, "Hei beruang, lepaskan dia! Kami sudah memenangkan pertandingan ini!"
"Bura? Apa maksudmu memenangkan pertandingan ini?"
Sebelum Ursario melanjutkan protesnya, ia mengingat sesuatu ketika melihat wajah si pria berambut putih yang hanya kepala tanpa badan.
"Tunggu, kau Whitey Manny yang melemparku! Jadi kalian berdua adalah satu?!"
"Sudahlah, itu masalah kecil. Yang penting sekarang, hentikan sihirmu itu! Atau aku dan malaikat ini harus memaksamu?"
Sosok Hvyt merah berjalan mendekati Ursario, kelihatannya memihak pasangan lelaki dan perempuan berambut putih itu dan meminta dengan sopan agar Ursario berhenti.
Meski luar biasa sebal, toh Ursario sudah pulih kembali. Dan dia juga sudah dapat tiket untuk menang, jadi sebenarnya memang dia tidak perlu keluar tenaga ekstra seperti ini sejak awal.
"Cih. Untung hari ini hatiku sedang senang karena dapat dua jiwa baru, jadi aku akan sedikit berbaik hati," katanya, melepaskan tahanan sihir yang ia lakukan dan kembali menjadi boneka beruang coklat dalam wujud biasa. "Awas kalau ketemu lagi, kalian Whitey Manny dan Whitey Girly!"
Iapun membalikkan badan dan berlalu, meninggalkan Claude dan Claudia di dalam cerukan pasir yang sudah tidak lagi bergerak menghisap tubuh mereka.
Claude menghela napas lega dan memandangi Claudia.
"Kau tidak apa-apa, Clau—"
Claude tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena sebuah tamparan kemudian bersarang di pipinya.
"…? Claudia? Apa yang—"
"Claude bodoh!" seru Claudia sambil terisak-isak. "Kau pikir aku ingin diselamatkan seperti itu?"
Claude tak mengerti apa yang sedang terjadi. Dan ia lebih tidak mengerti lagi ketika Claudia tiba-tiba berteriak pilu,
"Oi, dewa merah! Kau ingin hiburan, bukan? Kalau semua selesai begitu saja seperti ini, bukankah rasanya sungguh antiklimatik? Bukankah yang kau inginkan adalah tontonan yang menarik? Lagipula masih ada sisa waktu! Karena itu, meski kami sudah dinyatakan menang, tidak ada larangan untuk meneruskan pertandingan, bukan?"
"Claudia, apa yang kau katakan? Kau masih ingin mengejar boneka beruang itu?"
Claudia menghapus airmatanya dan mengangguk pelan.
"Untuk apa membahayakan diri seperti itu? Kita sudah menang," kata Claude keheranan.
"Justru itu. Karena kita sudah menang, kita bisa bertarung habis-habisan tanpa perlu khawatir soal bagaimana hasil akhirnya nanti. Matipun tidak masalah, toh pasti kita dihidupkan lagi oleh si dewa merah itu untuk pertandingan selanjutnya."
Melihat sorot mata Claudia, Claude tahu kalau ia sungguh-sungguh. Seperti apapun Claude menahannya, tekad bulat Claudia saat ini tidak akan mungkin bisa digoyahkan, apapun alasannya.
Jadi terpaksa Claude mengalah, meski sedikit enggan.
"Kau kejam, Claudia. Sebelumnya harimau, sekarang beruang... Punya dendam apa kau pada para binatang?" kata Claude setengah bercanda.
Namun jawaban yang keluar dari Claudia menyiratkan sebuah keseriusan yang teramat sangat.
"Aku tidak punya dendam. Aku cuma punya janji. Janji sesama wanita."
"Wanita?"
"Ya. Seorang wanita yang karena kesalahanku mati di atas sana."
Claudia menunjuk ke luar cerukan seraya mengeluarkan tubuh mereka dari himpitan pasir dan tanaman. Penasaran, Claude pun terbang ke arah yang Claudia tunjuk, dan mendapati mayat seorang wanita berkulit gelap.
Hanya dengan melihat sekilas, Claude bisa mengira-ngira apa yang terjadi ada Claudia dan wanita ini selama dia tidak ada.
Paham dengan niat kekasihnya yang bahkan belum terucap, Claude pun menghampiri Claudia yang tengah mendaki keluar dari cerukan pasir, lalu berkata,
"Claudia, maaf, boleh kupinjam tubuh kita?"
Claudia menelengkan kepalanya, tapi tidak balas bertanya. Ia melepaskan kepala dari tubuh, dan membiarkan Claude kini mengontrol tubuh tersebut. Claude segera berlari ke atas diikuti Claudia yang melayang di belakangnya.
Claudia terkejut ketika Claude menghampiri mayat Yvika seraya mengeluarkan pisau jagal mereka.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya.
"Kita hendak membuat wanita ini menang, bukan sekdar membalas dendam pada si boneka beruang itu, kan?" tanya Claude memastikan, memasang ekspresi yang seolah berkata bahwa ia tahu apa yang ia lakukan.
"Ya, memang benar.. Tapi dia sudah mati. Jadi kutanya sekali lagi : Claude, apa yang ingin kau lakukan?"
Claude mengusap lembut kepala Claudia, kemudian berkata,
"Tenang saja. Aku punya sebuah rencana."
*****
-4-
Ursario kehilangan arah.
Selepas meninggalkan pasangan rambut putih barusan, ia terlalu lelah setelah melakukan perubahan wujud. Ia bahkan malas melakukan telekinesis untuk membawa tubuhnya di atas senapan seperti yang ia lakukan selama ini, jadi dengan langkah kecil yang gontai, ia menyeret tubuhnya melintasi padang pasir yang luas.
Yah, setidaknya ia tinggal mencapai titik awalnya saja untuk menang. Setelah, selesai sudah.
Lagipula semua lawan di pulau ini sudah habis, jadi dia tidak perlu bertarung dan cuma perlu berjalan. Berjalan dan berjalan, melawan semua kemalasan….
Tiba-tiba saja pandangan Ursario berubah.
"Bura?!"
Detik sebelumnya ia masih melihat padang pasir dari tanah. Namun entah kenapa, sekarang ia malah melihat padang pasir dari sudut pandang burung.
"Halo," sapa sebuah suara. "Maaf menyita kepalamu, tuan beruang."
Ursario menoleh – meski baru kemudian ia sadari kepalanya tidak lagi menempel dengan badan – dan mendapati ia sedang berada di dalam genggaman si pria berambut putih, yang terbang dengan dibawa si malaikat merah.
"Kau!? Apa yang kau lakukan?"
"Eeh, aku benar-benar minta maaf sebelumnya," kata si pria berambut putih. "Aku menukar kepalamu dengan sebuah granat milik si nona tentara. Sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini, tapi silakan tonton saja kelanjutannya dari atas sini."
Ursario tidak mengerti. Ia ingin melakukan sesuatu, tapi sensasi tanpa tubuh ini sungguh aneh, hingga ia tidak tahu bagaimana ia bahkan bisa mengendalikan tubuh yang ia lihat dari sudut pandang orang ketiga seperti ini.
Ia melihat ke bawah, mendapati si wanita berambut putih – yang entah bagaimana pula memakai tubuh sang wanita tentara – kini menghampiri tubuh si boneka.
"Apa-apaan ini! Kenapa kalian menyerangku dari belakang seperti ini!? Bukannya tadi kau bilang kalian sudah menang!?"
Ursario meraung penuh amarah, namun terlambat. Di bawah sana, si wanita berambut putih sudah mengambil tubuhnya yang berkepala granat, lalu menarik ritsleting di belakang tubuhnya.
"Maaf, tapi ada sedikit perubahan. Kuharap kau tidak keberatan mati di sini."
"Buraaaaaaaaaaaaaa!!!! Dasar pengecut, kalian berduaaaaaaaaaa!!!"
Seketika itu pula, seluruh jiwa-jiwa malang yang terpenjara dalam tubuh boneka Ursario terbebas keluar. Dalam proses tersebut, Claudia melampiaskan kekesalannya dengan membuang semua kapas yang menjadi isi tubuh Ursario hingga habis tak bersisa, bagai sebuah kulit tanpa daging dan tulang.
Kepala Ursario yang berada di atas sana bersama Claude kini sudah tidak sadarkan diri. Claude dan Claudia tidak tahu, tetapi saat Claudia membuka ritsleting Ursario – yang ia lakukan hanya karena ia melihat ritual Ursario – sebenarnya Ursario pun ikut meninggalkan tubuhnya, sehingga kini tubuh boneka itu sepenuhnya kosong tanpa nyawa.
Claudia menjejalkan granat dalam tubuh si boneka beruang, menarik pin dari granat tersebut, kemudian melemparnya jauh-jauh.
Tubuh boneka itupun meledak bak kembang api di udara, tercerai berai menjadi serpihan, menyatu dengan debu dan pasir yang dibawa oleh angin.
"Heh. Rasakan itu, beruang sialan."
*****
-5-
Beberapa waktu telah berlalu setelah Claude dan Claudia berhasil mengalahkan Ursario.
Di ujung pulau Mhyr, Claudia menaruh jasad Yvika beserta kepalanya di atas sebuah diagram lingkaran, yang ia yakini merupakan titik awal dari Yvika.
Menurut Claude, tidak ada peraturan yang mengatakan kalau peserta tidak bisa memenangkan pertandingan dalam keadaan mati. Si dewa merah cuma mengatakan kondisi kemenangan, dan tidak ada kondisi kekalahan. Jadi, peserta yang mati tidak bisa dianggap kalah sampai pertandingan benar-benar berakhir.
Maka Claudia membunuh si boneka beruang dengan tubuh Yvika, berharap dengan ini Yvika memenuhi syarat sebagai salah satu pemenang pertandingan ini.
Bila memang demikian, maka ia akan dihidupkan kembali untuk mengikuti pertandingan selanjutnya.
Dan mereka akan bertemu kembali di lain kesempatan.
Claudia pun membalikkan badan, membiarkan seorang malaikat merah datang dan mengambil jasad Yvika pergi meninggalkan pulau ini.
"Sampai jumpa."
*****
Closed Curtain
"Claudia.. Boleh aku bertanya?"
"Hm?"
"Kenapa kelihatannya kau peduli sekali dengan wanita tentara yang sudah mati tadi?"
"…dia bercerita kepadaku. Soal keluarganya, soal putrinya yang masih kecil, dan bagaimana ia sedih kalau harus meninggalkan mereka."
"…lalu?"
"Claude-ku tersayang, apa kau lupa? Ya, mungkin kau sudah lupa. Kita sudah terlalu lama dan terbiasa hidup bersama, sampai melupakan mimpi-mimpi biasa yang dulu ingin kita raih selama masih menjadi sepasang manusia."
"Oh. Maaf… Aku tidak begitu mengingatnya."
"Aku tidak menyalahkanmu. Tapi apa kau ingat angan-angan kita yang ini? Tinggal di sebuah rumah sederhana yang jauh dari pusat keramaian, punya dua orang anak - satu laki-laki dan satu perempuan, juga seekor anjing sebagai peliharaan…. Hal-hal seperti itu, tidakkah mengingatkanmu pada betapa sederhananya kebahagiaan yang kita inginkan, sebelum maut mengubah segalanya?"
"Hm.. Kelihatannya aku paham maksudmu. Kau ingin cinta kita benar-benar abadi, dengan keturunan yang akan terus mengisahkan cerita tentang kita sekalipun kita sudah mati?"
"Aku tidak tahu bagaimana kau bisa berpikir begitu, tapi kurasa boleh saya kau mengartikannya demikian."
"Kalau begitu, kenapa kita tidak berusaha untuk meraihnya?"
"Eh?"
"Dewa merah itu bilang kan? Kalau kita menang dari pertandingan ini, kita akan diberikan semacam kehidupan kedua... Kalau begitu, bukankah kita juga boleh meminta dalam kondisi seperti apa kita dihidupkan kembali nantinya?"
"Memangnya apa yang hendak kamu minta?"
"Kita akan menjadi Adam dan Hawa di kehidupan yang baru."
*****
Dendi Lanjung:
ReplyDeleteIni permainan taktik, bahasanya enak, walau di bagian-bagian awal mungkin mencoba meniru gaya bahasa penulis empunya karakter masing-masing, hehe
tapi (lagi-lagi) tiap karakter terceritakan sangat detil, dan saya suka.
nilai: 10/10
ah iya lupa, pemilihan judulnya benar-benar 'aneh' banget XD
DeleteDendi Lanjung:
ReplyDelete(eh ko ilang comment-nya, ketik lagi)
Ini permainan taktik, bahasanya enak, walau di bagian-bagian awal mungkin mencoba meniru gaya bahasa penulis empunya karakter masing-masing, hehe
tapi (lagi-lagi) tiap karakter terceritakan sangat detil, dan saya suka.
nilai: 10/10
Reply
Poin plusnya adalah Mas Sam berusaha ngikutin gaya bahasa masing2 peserta, ini keliatan terutama pada Bara.
ReplyDeleteStrateginya juga bagus di bagian Sal, tapi sayangnya udah ketebak bakal tuker2an. Di sisi strategi ini yang paling bikin off mnurutku adalah bahwa Sal kyk nggak punya peranan dan dinamika tarung vs CC (apakah tarung secara pemikiran atau musik atau apa), aspek Sal ini sama sekali gak keluar, padahal dia adalah tokoh kunci yang jadi persyaratan menang CC. Jadi ya kesannya perencanaan CC ataupun Mas Sam utk memenuhi persyaratan ini dibuat dgn instan.
Terus untuk battlenya, aku jg ngerti bahwa Mas Sam (bukan CC tapinya) bukan author yang suka ceritain tarung fisik. Tapi masalahnya ya itu, CC adalah karakter yang jago tarung bukan hanya strategi tapi juga frontal karena Claustroclauchtnya, jadi kemampuan battle ini tersia2kan banget kalo sebatas menitikberatkan pada strategi yang udah bisa kebaca pula. Pas tarung klimaks ngelawan Ursa, datangnya Hvyt kyknya jadi pemaksaan dari Mas Sam supaya CC tetap hidup dan bisa menang, padahal gak ada juga sih yg ngehalangin Ursa ngebunuh CC pas udah di situasi pasir hisap kyk gt. Apalagi, pertarungan jadi hilang kesannya karena Ursa dipaksa lepas dari suasana dan kesiagaan tarung, dan lagi nyantai2 terus tiba2 dibantai dgn Claustroclaucht tanpa effort. Sekilas keliatannya kyk strategi, tapi ngeliat keadaan Ursa kyk gitu ya gak ada bedanya sama Sal.
Battle Ursa vs Bara itu juga seru, dan lebih dititikberatkan dibanding CC sendiri sebenernya. Tapi lagi2 ada kesan sengaja dipotong krn gak mau ngehilangin fokus ke CC.
Karakter CC juga masih keliatan Bland. Gak bland ala Hideya yang emang dimaksudkan untuk itu, tapi ini lebih kepada kesannya Mas Sam belum bisa keluar dari karakter yang tipenya kyk gini: tenang, gak terpengaruh apa pun, anggap semua adalah permainan, dan utk kasus CC: sifat romantisnya pun masih kerasa dibuat2.
Gak tau sih, mungkin karena buru2 atau apa, tapi utk R2 aku belum bisa ngasih nilai CC lebih dari: 4
- Po
entri keenam :3
ReplyDeletewell.. kak sam...
saya membaca CC dengan perasaan nano-nano. kenapa?
karena saya tidak sedang membaca tulisan kak sam yang sepertinya dibuat oleh kak sam.
ciri khas narasi kak sam masih ada di sini. lebih nekanin ke deskripsi, showing, ketimbang dialog yang rumit. agak beda ama saya :p. di sini poin yang saya suka. dan itu kegambar jelas di awal-awal (sebelum 1st quarter). nah, masalahnya, pas mulai kuarter 1, yg saya lihat justru seperti orang yg dikejar deadline buat nulis. alhasil, narasi jadi berantakan, alur juga rushed, dan saya (jujur) agak kebingungan pas ngebaca canonnya sampai akhir. "lho, si X tiba2 udah mati aja? apa saya yg skip atau alurnya yg kurang jelas?" saya ga tau. akhirnya, saya terpaksa balik ke atas dan ngebaca ulang bagian tersebut. ya, akhirnya sih ngerti juga XD...
tapi ini bukan seperti kak sam yg biasanya.
karena itu, dengan berat hati, saya kasih nilainya 7.5. jujur kak, walaupun 60 halaman dan ada gambarnya juga, itu belum cukup ngebantu cerita ini jadi lebih menarik kayak R1 (maaf, saya juga lupa komen, padahal udah dibikin drafnya di word -___-)
semangat kak >_<
Poin Minus :
ReplyDeleteKalo buatku, gak ada hook cerita sama sekali di awal.. Abis intro masing masing karakter itu aku hampir skip seluruhnya sampai part 3.. Well nggak bener bener skip gak baca sih, aku baca tapi gak dapet hal yang ngehook jadinya malah rada nggak tertarik dan yang udah kubaca gak bisa masuk ke ingatanku..
Ada beberapa dialog yang entah kenapa terasa gak natural.. Beberapa bagian pas Claudia ketemu Yvika pertama kali, sama beberapa dialog nya Claude dan Claudia..
Nggak ada hook juga di battle, entah karena terlalu cepat atau karena gampang tertebak..
Bara paling aneh dan bikin penasaran di sini, tapi sayang dia mati terlalu cepat.. Gak ngerti ini minus point apa nggak tapi aku malah lebih tertarik sama dia daripada ceritanya Sal or Ursa..
Aku gak ngerti kenapa Hvyt ikut campur, pas bawa Claude itu.. Menurutku adegan itu nggak perlu..
Ceritanya panjang tapi sedikit hal penting yang terjadi..
Poin Plus :
Narasinya ngalir banget, enak diikutin.. Karakterisasinya dapet, cara mereka ngomong dan tingkahnya masing masing..
Yvika - Claudia duo diceritain dengan baik, dinamiknya juga bagus.. Ini bagian paling menarik buatku sepanjang cerita..
Dan yes, ternyata pikirannya sama beneran soal celah aturan yang peserta gak perlu balik dalam keadaan hidup itu hahaa..
Peta letak itu ngebantu banget wkwkw
Nilai :
6/10, forgive me Mas Sam.. Iya cerita ini emang terkesan, nggak berantakan sih.. Tapi gripnya nggak kerasa.. Lebih ke ceritanya sendiri yang gak terlalu menarik buatku..
Awalnya pas baru copy ke word, 51 halaman! Serius?
ReplyDeleteTapi setelah dibaca, ternyata nggak se-melelahkan(?) yang aku pikirkan. Paragraf-paragrafnya nggak terlalu panjang, pembagian quarternya membantu banget utk memberi jeda pada pembaca agar nggak kelelahan. Soal teknis, aku nggak perlu banyak komen deh, kecuali ada beberapa typo yg buatku sih nggak terlalu mengganggu.
Oke review dimulai.
Plot : Bisa dibilang, R2 ini adalah momen utk character development buat CC (Claudia pada khususnya). Persahabatan antar wanita itu cukup menyentuh buatku. Dan motivasi masing2 juga kerasa banget di persahabatan mereka.
Setelah baca 2 entry MHYR, aku jadi bersimpati sama ibu satu ini. :')
Karakterisasi : Sepertinya digarap agak buru2, nggak kayak R1 kemarin yg bener2 detail karakterisasinya. Kali ini karakterisasi karakter2 lain seperti Sal dan Bara kurang begitu tergali. Dan keduanya pun mati terlalu cepat :(
Utk Ursa, buatku sih oke. Karakter Ursa ratenya E(everyone) jadi kurasa setiap Author pasti mampu menginterpretasikan karakter Ursa dengan baik :D
Battle : Kenapa battlenya sedikit :(
Pertarungan Bara dan Ursa yang di canon Ursa digarap begitu epik, disini hanya terjadi off screen. Padahal aku juga pengen liat mereka bertarung.
Pertarungan taktikal CC di R1 pun kurang berasa disini. Pertarungan dgn last boss pun nggak seepik lawan Ravelt kemarin.
Bisa dibilang hampir semua battle diakhiri saat hampir menuju klimaks. Paling nggak pertarungannya Ursa vs Bara diperlihatkan, dan juga battle Ursa-madu (bener nggak?) vs Claudia juga dibikin agak panjang, sebelum akhirnya Claudia hampir kalah dan diselamatkan Claude, kurasa bakal lebih seru.
Lalu matinya Ursa.. Karena nggak terjadi battle yg dramatis tadi, matinya Ursa pun nggak begitu ngegrip :(
Overall, cerita ini masih keren, cuma terkesan digarap buru2 (hey, kok banyak ya entry R2 digarap buru2?). Dariku 7.5/10
Aiish ... ratingnya Ursa itu E? >.<
DeletePadahal kebayangnya sama saya itu butuh "Parental Guidance"~
uuh..
ReplyDeletenggak seepik R1, saya rada kecewa karena banyak part yang di skip
mungkin karena dikejar deadline?
no typo dan smooth writing
7.5/10
Sepertinya para deadliners banyak tidak diuntungkan di round ini, termasuk Sam sendiri. This is... weak, monsieur Sam. Sorry to say. Panjangnya sih tidak segila R1 tapi malah lebih melelahkan untuk dibaca. Entahlah, bahkan battle-nya saja felt flat, datar, ketebak, dan tidak seseru R1, apalagi seepik waktu lawan Ravelt.
ReplyDeleteMoi kasih 7 karena narasinya masih membantu.
Sam, saya ngakak baca celotehan Claude dan reaksinya Claudia pas ditodong. Pura2 jadi robot? LOL :D
ReplyDeleteNilainya 8/10 dari saya.
Delete~~~ ( >A< ) ~~~
ReplyDelete