[Round 2-Khrd] Lucia Chelios
"The Value of Naivety"
Written by Adrienne Marsh
---
Sjena, mengapa kau meregang kepalamu begitu? Biasanya juga kamu santai.
"Jangan ganggu aku, [Author]! Aku masih waras! "
Apakah aku harus menulis dengan italic begini baru kau bisa menurut?
"Persetan kata-katamu, bajingan!"
Ayolah, tinggal bunuh saja anak itu apa susahnya?
------------------------------------------------------------
Lucia terjatuh di depan sebuah gerbang besar. Mungkin sebuah mansion,
mungkin kantor gubernur, yang pasti gadis itu terjatuh di halaman
sebuah rumah mewah yang terlihat sangat kuno. Sambil mengaduh, wanita
itu bangun dan melayangkan pandangannya seputar arena pertarungannya
kali ini.
Akhirnya, tempat yang asing. Terakhir kali matanya melihat wilayah
seperti ini hanya di film – film dokumenter tentang budaya Pedang dan
Penyihir daerah asalnya di televisi. Kompleks rumah selain rumah mewah
di belakangnya terlihat bagaikan jajaran balok tinggi naik-turun
dengan hiasan kerucut identik yang menghiasi setiap kepalanya. Lucia
melangkah mendekati gerbang dan mendorongnya terbuka. Jalan – jalan
bebatuannya cocok sekali sebagai setting sebuah film mafia negeri
barat.
"Kau tidak mau duduk sebentar dan mengobrol disini?"
Sebuah suara dalam terdengar dari atas rumah mewah, Lucia berbalik dan
mendongak. Seorang pria melambaikan tangan dengan ramah. Perawakannya
yang tinggi, rambut panjangnya, dan jubah putih itu membuat Lucia
teringat akan seorang pria di Jagatha Vadhi yang sedang mengobrol
bersama seorang gadis cilik. Oh ya, kelompok orang yang mengacuhkan
keberadaannya itu.
"Maaf, aku tak ingin melawanmu." Jawab Lucia.
"Begitu juga diriku. Tak ada artinya jika kita semua saling membunuh."
Senyuman dari pria itu menambah nilai plus bagi wajah rupawannya.
"Kau tahu, kau sendiri mengerti dari para malaikat bagaimana permainan
kali ini bukan?" Lucia memungut sebuah benda yang tergeletak di luar
gerbang. Sebuah baton logam.
"Ya, bunuh satu orang dan keluar dari tempat ini. Tapi apa gunanya
menjadi budak seorang Iblis yang bahkan kau sendiri tak yakin apakah
dia Tuhan maupun bukan?"
"Tapi dia melemparku keluar."
"Kau yang menyerang duluan." Primo mendehem. "Dia tidak punya pilihan
lain, bukan? Lihat, saat ini dia tidak menyerangmu lagi. Apa kau harus
membalas?"
"Cih." Kata-kata itu sedikit menohok Lucia. Hampir wanita itu ingin
membanting baton miliknya namun diurungkannya niatnya. "Persetan
dengan kau yang muncul entah dari mana. Biarlah lelaki itu yang
menyodok pedangnya ke dalam mulutmu."
"Apa kau ingin pergi mencari korban lain? Kuberitahukan kepadamu,
salah satu di antaranya masih anak – anak." Si rambut panjang masih
menatapnya dengan mata yang ketenangan yang sukar ditebak. Entah itu
karena kharisma luar biasa yang terpancar oleh keberadaannya.
"Terima kasih, setidaknya aku takkan membunuh si anak." Lucia
merapikan topinya dan berpaling dari sang pria.
"Mengapa kau masih berkeras kepala ingin membunuh?"
"Kau tahu, aku sudah lelah menanyai diriku sendiri hal seperti ini.
Apalagi setelah pertunjukan si Dewa yang meledakkan sebelas orang
kontestan gagal." Lucia kembali menatap mata pria itu dalam-dalam.
"Aku juga tak mau menumpahkan darah lagi. Tapi kali ini aku harus."
Langkah kaki gadis yang menjawabnya membuat sang pria berrambut
panjang terdiam dan tak balas menjawab. Bahkan ketika hanya angin yang
mengisi halaman kosong di bawahnya.
------------------------------------------------------------
"Orang – orang dewasa tengik!"
Seorang anak lelaki memaki ditengah sunyinya kota. Kecrekan yang
diayunkannya kesana kemari menciptakan harmoni yang tampaknya mustahil
muncul dari benda seperti itu.
"Blearghh!" seorang pemuda bersyal abu-abu di depannya berulang kali
memuntahkan darah yang tercurah beriringan dengan kedua bilik
telinganya. Tangannya berulang kali menghujamkan sebilah pisau ke
perutnya, seakan terhipnotis oleh melodi tersebut. "K-khau…. Akan
kubunuh kau…"
"Semua yang bukan ibu itu sama saja! Sama-sama anjing!" Ingus dan air
mata anak itu mengucur begitu saja saat ia mengibas-ngibaskan
kecrekannya, menerbangkan setiap kotak kayu dan kertas di sekitarnya,
Demikian juga si syal abu-abu yang sudah kehilangan nyawanya,
terlempar bagai seonggok daging sampai ke salah satu ujung daerah itu.
Kini si anak meringkuk sendiri di samping sebuah papan buletin,
mulutnya menceracau tidak jelas dan penuh dengan kutukan. Di wilayah
persegi yang sangat luas ini, hanya angin dan mayat itu yang mendengar
ocehannya.
-----------------------------------------------------------------
Sekejap Lucia menghentikan langkahnya, lengkap dengan sebuah erangan
pedih begitu berbagai macam teriakan seakan ingin mengoyak isi
kepalanya. Dentingan keras berdenging dari pukulan batonnya ke sebuah
tembok batu. Menjinakkan sejenak suara-suara berisik di dalam
benaknya.
"Ah…" wanita itu bersandar pada korban pelampiasannya yang terkikis
dalam dan menghela nafas. Segera ia menanduk keras ke arah yang sama,
menorehkan sedikit luka bentur di pelipis kanannya. "Begini lebih
baik." Lucia kembali melangkah dengan darah yang menetes, dan wanita
itu sama sekali tak merasa terganggu dengannya.
Lucia terus melangkah mengikuti kemana tembok-tembok perumahan itu
mengantarnya. Nafasnya sedikit terengah-engah akibat kepalanya yang
terasa berat dan matanya menyorot ke sana kemari, mencari sebuah
bangunan yang tak bisa digambarkannya dengan baik kecuali kepada
dirinya sendiri.
"Ohohoho, Mangsa rupanya~"
Terkutuklah keberuntungannya saat ini. Lagi-lagi musuh di waktu yang
sangat tidak tepat.
"Hei, tempat ini sudah mulai menggangguku. Kau tahu, karena kau saat
ini sedang berjalan tak berdaya kuasumsikan saja kau kehabisan tenaga
karena telah menghabisi salah seorang peserta yang tak kukenal di
pulau ini. " Visor biru produk film-film sains fiksi ketinggalan
zaman, jubah merah putih yang menghiasi tank top hitamnya membuat
wanita di depan Lucia tampak seperti superhero pemanggil hujan.
"Aku, Author saat ini menggantikan Sjena yang terpaksa kudiamkan
akibat suara-suara bising yang mengganggunya." Ah, Sjena Reinhilde.
Nama itu sempat disebut oleh sang malaikat merah yang mengantarnya ke
tempat ini. Tapi Author? Entah. "Kau bebas memanggilku dengan Sjena
atau Author, namun ingatlah bahwa saat ini yang berbicara di depanmu
bukanlah Sjena…" Lucia tak terlalu peduli dengan siapa mengakui siapa,
"…apa? Ahh!!!"
Yang pasti angin yang melempar jauh sosok Sjena ke tong – tong kayu
yang kosong bukanlah angin biasa. Bagus, satu lagi sumber sakit kepala
untuk Lucia.
Crek. Angin yang sama kini menerbangkan Lucia mundur lebih jauh, malah
lebih tinggi. Tubuhnya telah dibawa terbang menembus jendela sebuah
rumah di sebelahnya. Ia merasakan engsel bahunya di sebelah kanan
sedikit bergeser. "Bangsat!" Erangan perih kembali muncul dari
mulutnya ketika ia segera membetulkan paksa bahu kanannya dengan
sekali dorong.
"Eaaaaarrrrrhhhh!!!!" Teriakan itu jelas bukan milik seekor monster
buas ataupun lelaki perkasa yang memiliki kipas raksasa. Suaranya
terlalu parau untuk makhluk selevel mereka. "Ucup mau Ibu! Ibu Mana?!"
Ya, kekanak-kanakan malah.
"Persetan Ibumu, nak!" Jawaban yang benar, kini Sjena kembali terbang
bebas dan mencium jalan bebatuan. "Agh, Hentikan! Jangan ganggu aku,
Author!" Kali ini giliran Sjena yang meregang kepalanya dan berbicara
sendiri.
Paras anak itu sepintas terlihat mengenaskan. Wajah seorang anak yang
seharusnya masih memerah segar kini sudah tergantikan oleh pucatnya
abu-abu akibat mata yang tampak mengering dan mengkerut dengan
sisa-sisa air mata yang menetes di balik mata merahnya. Belum lagi air
liur yang tergenang di antara mulutnya yang menganga terbuka. Bagian
yang terlihat paling aktif justru alisnya, yang seperti akan mengkerut
selamanya di dalam kemarahan tanpa akal sehat. "Kalian…kalian harus
mati!!! Lalu antarkan Ucup ke Ibu!!!" Tata bicaranya tak beraturan,
kecrekan di tangannya kembali berputar, menerbangkan sembarang benda
ke segala penjuru mata angin.
Sjena kali ini cepat tanggap, menyepak sebuah bata yang terbang ke
arahnya lalu menjentikkan jarinya, membentuk sebuah pedang dari
bayangannya sendiri untuk membelah dua tong kosong yang menyusul
terbang ke wajahnya. "Jangan main-main, nak-Argh!" Sjena lagi-lagi
terjungkal akibat kecrekan liar itu. Tenaga angin dan ritme yang tak
terduga membuatnya tak sempat menghindari terpaan energi luar biasa
dari anak itu sehingga Ia menabrak tembok yang sama, jatuh di tong
yang sama.
Lucia akhirnya sanggup berdiri meski suara-suara itu masih
mengganggunya. Sebisa mungkin wanita itu tak ingin mempedulikan
mereka, namun suara-suara itu sudah menghantuinya dan menghinggapi
kepalanya dari detik kedatangannya di pulau ini. Dengan langkah
tertatih-tatih ia duduk bersandar pada sebuah meja yang paling dekat
dengannya dan memfokuskan kembali pandangannya.
Sebuah meja konter panjang. Rak kaca besar berisi botol-botol minuman
yang berjajar rapi di belakangnya. Akhirnya Lucia sampai juga.
Akhirnya Ia bisa berhenti menjadi manusia dan menahan diri terhadap anak-anak.
----------------------------------------------------------------
Sjena, kau bajingan! Harusnya kau serahkan saja kendali tubuhmu padaku!
"Sudahlah [Author]! kita sudah di luar area pusat dan para pengganggu
itu sudah buyar, namun otak anak ini sudah termakan habis oleh
panggangan [Murka] pulau ini!"
Dari wajahnya saja aku sudah tahu, tapi wanita barusan sepertinya agak
berbeda- awas, angin lagi!
"Aku tahu!"
Sebentar, serius kau akan menembakkan itu?
"[Shotgun]!"
Oke, luar biasa. Kini kau akan membalas seorang anak kecil yang dari
tadi hanya menerbangkanmu dengan sebuah shotgun bayangan yang barusan
kutulis muncul keberadaannya. Kau puas?
"Berisik"
DOR, dan habislah dia! Oh tunggu, angin itu memantulkan tembakannya….
"Sial." Sial.
[AHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!] Anak bajingan itu, habislah sudah tangan
kiri kita. Kini kau tak bisa lagi menggunakannya untuk makan popcorn
di Jagatha Vadhi, Chacha atau apapun tempat itu.
"Si Tanduk bisa menggantinya nanti jika kita selamat." Balasmu. Heh,
kau tak mungkin segila itu kan untuk mengacungkan jari tengah ke
dirimu sendiri? Baru kusadari ternyata pantulan [SHOTGUN] itu memakan
pangkal paha kita juga.
…..bedebah kau, Sjena.
Sungguh mengagetkan! Deus Ex Machina, ada pintu terbuka di sebelah kita! "Kau!"
-------------------------------------------------------------------
Sjena dan bocah itu berpaling menuju sumber suara pintu ditendang
terbuka, terbuka dengan sangat lebarnya hingga engsel-engselnya
terlepas.
"Semula aku mempertanyakan diriku, apakah ini ujian bagiku kalau detik
ini juga aku harus berhadapan dengan seorang anak kecil." Sosok itu
akhirnya menyeruak keluar di balik bayangan merah kelam beraroma
alcohol yang menyelimutinya.
Di hadapan mereka adalah seorang Lucia Chelios. Topi trucker yang
dikenakannya sedari awal kedatangannya di Jagatha Vadhi kini sudah tak
terlihat lagi. Rambut hitam bergelombangnya yang diikat poni telah
tampak jelas, dan tatapan matanya yang selalu terlihat bosan kini
semakin sayu setelah menenggak sebotol minuman [T & A's Special Brand
Liquor] di tangan kanannya. Sementara itu apa yang sebelumnya adalah
sebuah bagian dari topi truckernya kini sudah menjadi kain penyumbat
botol arak di tangan kirinya.
"Pemabuk bangsat!!!! Ibu kau bawa kemana!!???? Ibu ke mana!!???"
"Kau!"
Ocehan dua orang itu sudah jadi angin lalu di kepalanya. Bagaimana
tidak? Butuh berbotol-botol minuman untuk mendiamkan para bajingan
yang berteriak 'Bunuh mereka! Bunuh mereka! Bunuh mereka!' dalam
selang waktu sementara. Lucia juga terkekeh, tak diduganya ia akan
menemukan sekotak rokok di laci meja bartender tadi. Kini selinting
sudah tersemat di sela bibirnya. "Tapi ya sudahlah, aku sudah tak
perduli lagi. Toh kita sudah berada di neraka."
"Ibu di mana!!!!???"
Lucia yang terkekeh melenggang dengan sekali ayunan badan ke sisi
tertutup begitu satu lagi tenaga angin dari kecrekan sang bocah masuk
ke dalam bar dan menghancurkan meja dan rak kaca tempatnya mengambil
minuman. "Hei, hitam! " Serunya. "Tangannya!"
Langsung paham dengan maksud Lucia, Sjena yang sedang terkapar
memunculkan sebuah dart berwarna hitam gelap dan membidik bocah lelaki
yang segera mengalihkan sorotan mata ke arahnya. Dengan sekali ayun
kencang dari tangan kanannya, dart itu menembus jemari tangan kanan si
anak. Sukses menjatuhkan pengganggu yang sedari tadi menerbangkan
Sjena kemana-mana.
Lucia meletakkan botol di tangan kanannya, segera sebelum kobaran api
berwarna hijau kini menyelimuti telapak tangan kanannya itu. Dengan
sekali genggaman, kini kain putih bersama jaring-jaring hitamnya yang
menyumbat botol di tangan kiri itu pun tersulut. Lucia pernah
memerankan hal ini sebelumnya. Seorang penjahat yang menerobos masuk
dan membunuh anak dan isteri seorang polisi. Biasanya mafia yang
memerintahnya tak terdengar lagi kabarnya setelah seminggu, entah
karena polisi bersangkutan sudah menuntaskan dendamnya…
…atau seseorang menyuruh Lucia untuk menuntaskan dendam polisi tersebut. Ironis.
Lucia langsung berbalik dan melempar bom koktail itu ke bocah yang
kini meraung meratapi jarinya. Membuatnya semakin menangis
menjadi-jadi akibat panasnya api yang menjilat setiap bagian
kulitnya, baju hijaunya, memanggang daging jarinya yang terbuka. Lucia
tentu saja tak menikmati pandangan mengerikan itu, dan alih-alih
kembali memungut botol yang satunya lagi…
…dan memecahkannya.
"Haha! Matilah kau bocah! Ahahahahahahahaha….." Kebahagiaan Sjena akan
sakitnya yang terbalas berhenti ketika wanita itu menatap ke sosok
yang berdiri di atasnya.
"Kau juga."
"..Eh?"
Nafas Sjena putus begitu pecahan kaca botol di depan mata seketika
menghujam lehernya.
-----------------------------------------------------------------
Ah, tempat ini….. demikian pikir Lucia. Lelah dan perih kini
menggerogoti badannya, ditambah dengan suara-suara bising yang
berteriak tak tentu arah di dalam kepalanya. Pengaruh alkohol yang
menghajar kepalanya juga masih belum sirna, namun kali ini lintingan
tembakau yang tersemat di mulutnya sudah menyala.
Dengan sempoyongan kedua tangannya menyeret sepasang manusia yang
sudah tak bernyawa. Yang satu dengan pinggang hilang dan leher yang
menganga lebar dan yang satunya lagi hangus bagai monyet panggang.
Hitam legam dengan jemari kanan yang merah kelam.
Si leher buaya dilepas oleh Lucia, si gosong di angkatnya di depan
sang Malaikat Merah yang berdiri menunggunya.
"Dosa apa anak ini?"
"Thurqk mengatakan cukup satu saja yang anda bunuh di pertarungan ini."
"Dosa apa anak ini!?" Bentaknya. Kini mayat anak itu terlepas dari
tangannya saat Lucia mendorong kasar sang Malaikat. "Kutanya, dosa apa
anak ini hah!?"
Malaikat Merah tak menjawab, begitu juga mayat seorang pria bersyal
abu-abu di belakangnya.
-----------------------------------------------------------------
"Pada akhirnya, yang sudah muak menelan amarah dan nafsu membunuh
yang dapat bertahan dalam ujian ini…"
Sang lelaki berambut panjang melangkah keluar dari rumah besar yang
didiaminya, meremas sebutir bola berwarna biru terang hingga pecah
menjadi kumparan cahaya yang diserap tubuhnya.
"Jika saja pemuda ini tidak kabur dari amukan sang jelita yang jatuh
di pusat kegilaan mungkin kesadaran wanita itu takkan pernah kembali
pada tempatnya. Bukankah begitu, Lionearth?"
Bersamaan dengan panggilan itu, satu lagi Malaikat Merah turun di
halaman rumah besar, siap untuk mengantarnya kembali ke Jagatha Vadhi.
***
In the World full of Madness, being sane come with price ...
ReplyDeleteDengan memulai plot cerita dari tengah mungkin memberikan keuntungan dengan tidak perlu menuliskan detail yang terlalu banyak, tapi kerugiannya kemungkinan ada detail dasar yang terlupakan.
Misal soal peserta yang jadi korban Primo yang bahkan tidak disebut namanya. lalu soal detail mengenai senjata Lucia yang tidak jelas dimana posisinya pada bagian akhir, soal detail kota serta luka Lucia yang kurang di explorasi dalam cerita
Selain itu penceritaan yang tidak jelas mau dilihat dari sudut pandang siapa agak mengurangi kenikmatan membaca ceritanya.
it could be better.
Final verdict : 7.5/10
tensinya turun yah dari R1. atau karena memang pengen buru-buru?
ReplyDeleteSaya tahu, situ lagi sakit. tapi bukannya sakit sendiri seharusnya menjadikan cerita lebih dipikirkan.
Tensi yang turun, dan Killing Move yang "gitu doang" membuat saya gak bisa ngerate cerita ini terlalu tinggi.
tapi karena saya adalah seorang Chivalrius guy, saya gak bakal Nilai Rival!
ane agak ga bisa mencerna gan maksud di bagian Author dan Sjena itu gimana, kenapa bisa ada author ikutan... trus di bagian itu jadi rada bingung sama pov nya...
ReplyDeleteadegannya pendek-pendek jadi terasa cepat ceritanya, tapi jadi kurang jelas juga sama alurnya
maaf nih gan ane ngenilai 6 buat Lucia...
Yah kenapa pendek bangeeeeeeet :(
ReplyDeleteTensinya nggak setegang R1, dan nggak ada adegan slow motion lagi kayak ronde lalu
Anyway, aku bakal tetep review kok, nggak peduli lawan/kawan. Semuanya sama dimataku
Plot : Ada beberapa kesamaaan dalam canon kita.
1. kegilaan pulau
2. ucup berserk
Dua aja sih. Tapi makasi udah masukin Sjena jadi cast cerita, dan aku juga tentunya hohohoho. Ceritanya singkat, dan sayang labirin disini kurang digali kerumitannya. Seharusnya bisa ditonjolkan lagi supaya pembaca tahu kalo ini labirin, bukan perkampungan.
Di bagian Sjena lumayan bikin ngakak, tapi mungkin nggak semua ngerti kenapa author bisa masuk cerita, dan nggak semua ngerti joke ini. Tapi buatku ini lucu, apalagi dengan sebutan sarkas macam "Si Mulut Buaya" itu bener bikin ngakak. Penggunaan [bracket] juga membuatku merasa terhormat, makasi banget udah make aspek ini dalam cerita ya..
Karakteristik : Nggak banyak karakter yang tergali disini, selain Sjena dan Ucup. Meski Primo muncul di awal, tapi dia nggak ngasi tribute apa ke cerita, sayang banget. Mungkin klo Primo dibikin berserk asik juga lho.
Dan untuk dua karakter lainnya, Leon dan Flager. Nggak bisa ngomong apa karena mereka matinya cepet banget.
Sarkasnya Sjena udah dapet banget. Terus untuk Ucup sendiri, karena dia berserk, itu kurasa bagus kok. Berserknya manggil mamak :v
Perjuangan Lucia sendiri melawan 'kegilaan' juga lumayan asik.
Battle : Sayang singkat banget. Nggak sampe klimaks tau2 udah selesai. Aku jadi "K..kok kamu keluarnya cepet banget sih?"
#ambigu
Nggak banyak yang tergali di battle, Lucia pun nggak banyak bertindak. Padahal pengen liat Soul Fire Fistnya keluar. Kalo Ucup emang nggak banyak varian serangannya. Terus Sjena yg kena shotgunnya sendiri, oke itu goblok banget Sjena bruakakakakakak!
Overall cerita ini cukup menghibur, sayang tensi ceritanya kurang memuncak. Karakterisasi kurang tergali dari para karakter. Dan perjuangan melawan kegilaan itu seharusnya bisa jadi plotline yang naikin tensi cerita lho. Lalu nggak adanya perjuangan lepas dari labirin, Lucia menang dan dengan mudah balik ke tempatnya diturunkan tadi.
6/10 dariku. Sebenarnya Author telah berhasil membuat battle royale yang seru banget (slow motion FTW!!!) di episode lalu, tapi sayang disini nggak seseru yg lalu :(
Nilai ini murni penilaianku sebagai pembaca, nggak ada sangkut pautnya dengan rivalry atau semacamnya.
Aduh >.< entah kenapa rasanya kok berantakan sekali ya?
ReplyDeleteSemuanya terasa begitu terburu-buru, bahkan kematian Flager begitu... biasa. Cepet bengat, cuma tiga-empat paragraf kalau tidak salah. Dan bagian Sjena interaksi dengan [Author] itu adalah bagian yang paling kacau menurut saya. >.<''
Untuk battle-nya, cukup rusuh dengan gore yang oke, walaupun porsinya kurang. Karakter lain kurang dieksplor.
Nilai dari saya: 6.5
Naer~
==Riilme's POWER Scale on Lucia Chelios' 2nd round==
ReplyDeletePlot points : C+
Overall character usage : C+
Writing techs : B
Engaging battle : C+
Reading enjoyment : C+
==Score in number : 5,4==
Coba saya mulai dari fokus karakter.
Oke ini cerita Lucia, tapi karena pembagian part ga dipertegas, kadang saya bingung ini mau nyorot siapa. Plus, tiap kali Sjena muncul, maka ada [Author] muncul - yang herannya juga campur tangan dalam narasi (non-dialog), jadi berkesan 'lho, ini author Sjena atau Lucia?'.
Terus, Primo muncul kayak sekedar sebagai narator pembuka dan penutup yang ngasih a piece of his mind tapi ga relevan ke ceritanya sendiri buat saya. Saya ga masalahin Leon atau Flager mati offscreen, tapi berasa kurang aja - bahkan Ucup pun ga gitu berasa 'ada' buat saya.
Terakhir mungkin senada sama yang lain, ini rasanya cepet banget. Mungkin bisa dibilang cerita ini kurang 'take your time'. Kayanya punya potensi lebih bagus seandainya ga buru" disubmit dan coba diakalin biar bisa masukin poin" cerita yang nge-grip, gitu.
-woah, untuk kata2, efek pulau Khrd terasa banget dari kata2 yg kasar itu.. :3
ReplyDelete-untuk pertarungan, memang terkesan sadis waktu membunuh tapi hampir gak ada pertarungan yg "brutal". efek amarah yg harusnya didapatkan dari pulau justru cuma mempengaruhi emosi OC aja tanpa mempengaruhi kemampuan tempur OC. jadinya terkesan perang kata2 aja ketimbang perang fisik..
-Eh? ini lumayan pendek, ya? pantasan aja terkesan cepat adegan bunuh-membunuhnya..
-dan... saya gak merasa nyaman dengan munculnya sang author. entah mengapa. garing aja (IMO aja sih)... ^_^
ini murni penilaian saya sebagai pembaca, bukan karena kita rival.. saya tetap akan memberi nilai..
jadi....
-----
6,5
-----
SANGAT PENDEK <(") dan keberadaan [Author] juga terasa out of place. semoga saya ga mengulangi kesalahan yang sama m(_ _)m
Deleteterima kasih feedbacknya
Menurut saya, ini super berantakan....
ReplyDeletebagian Lucia muncul yang dibarengi dengan [Author] membuat dialog membingungkan..
dan seperti yang orang lain bilang, pace-nya terlalu cepat
5.5/10
*jleb*jleb*jleb*
Deletebingung tentang percakapan Sjena dengan authornya... Entah kenapa gak berasa apa-apa, seperti enggak perlu malah. Hmmm, kurang pas juga sama ending yang Primo ujug-ujug datang dan menang. Kalo dalam bahasa Jerman disebutnya "kagok"
ReplyDelete7/10 dari Ucup, ditambah dari authornya 0,5
total 7,5/10 buat Lucia
Ah iya, setelah menimbang dari review teman-teman yang lain saya juga jadi sependapat orz saya jadi ngerasa agak kagok buat eksperimen gaya tulis baru.
Deletemakasih feedbacknya ya :D
uhm... bingung dengan bagian [Author]-nya... itu maksudnya breaking the fourth wall ya? ngobrol sama pengarang na sendiri?
ReplyDelete._.
Kita satu pulau, jadi ane gak bisa ngasih review apa-apa (sebenarnya sih karena gak bisa ngasih review ke orang-orang)
----
komentar subyektif :
Sumpah, ndak ngerti sama kemunculan si Lionearth.
._.
Maaf kalo peran Lionearth disini sungguh off screen. mungkin di kemudian hari saia coba making up dengan bikin perpanjangan cerita KHRD setelah vote ditutup. Dan iya, [Author] itu narrator yang sebenarnya merupakan karakter kedua dari Sjena Reinhilde. maaf kalo belum tersampaikan dengan jelas m(_ _)m
DeleteTerlepas dari pertarungan2 singkat, pembunuhan offscreennya udah rapi menurut saya. Deskripsi setting mungkin perlu diperbanyak buat ngejelasin adegan di pertarungan, tp jangan kebanyakan, ntar kayak saya yg kebanyakan deskripsi telling melulu #plak. Ide kerasukan(?) author lumayan baru, ya (kalo gasalah ada juga author yg muncul langsung entah di canon siapa ya). Alasan kerasukannya Sjena tp ga dijelasin lebih jauh. Kalaupun dijelasin mnurut saya bakalan agak sulit jg karena yg ngerasukinnya authornya. Ke pembaca juga mungkin kesannya ntar jadi lebih serius kejadian ini. Jadi yah menurut saya mending kayak gini kalo tetep mau masukin author, cuma diperjelas di bagian penulisan dialog & narasi aja biar pembaca ga ketuker siapa yg ngomong.
ReplyDeleteEndingnya bagus. Bener-bener ngeliatin kepedulian Lucia sama Ucup, jadi ngasih kesan ke pembaca kalau si Lucia ngga secuek penampilannya. Yang bikin saya penasaran paling sama apa yang bikin obrolan Lucia sama Primo ngga berakhir dengan pertarungan. Sayangnya mereka cuma ngobrol 'ringan' dan ngga saling terprovokasi buat bertarung karena isi obrolannya.
Si Ucup berserknya keren btw, udah kayak Sephiroth, Kaa-saan! Kaa-saan! XD
7/10
:)))))))))))) sebenarnya [Author] adalah karakter yang tidak lain dan tidak bukan adalah narrator canon Sjena, sehingga saya mencoba untuk mengambil pedekatan Sjena = Deadpool jadi kalo satu kerasukan yang satu lagi bisa dengan mudahnya mengambil alih. Tapi penulisannya saya juga merasa kurang puas karena masih belum efektif juga. demikian juga porsi pertarungan yang serasa "Kejar Deadline":3
Deletemakasih feedbacknya ya :D /
Jadi kak, Umi bingung, Umi dapet sih bagian yang bisa Umi favoritin, kemarahan Ucup. Satu-satunya post yang jadiin Ucup ngomong pake bahasa yang *piiiippp* (kata disensor demi kenyamanan pembaca* wkwkwk >.<
ReplyDeletekeep working ya kak~
Umi kasih 6 point deh kak >.<
g tlalu masalah sih sama oc lain yg pertarunganya offscreen, lumayan ngerti jg klo kak nyasu mau bikin kyk twitchplayspokemon itu, tp jadinya ya berpotensi bikin pembaca bingung kak, trus drpd pake author mending pake sebutan narator aja sih IMO x3
ReplyDeletetp battlenya msh lumayan seru kak, kemarahan ucup dll jg ok :)
nilai 7
Dude, do not write when you're on high fever, or just high~ XD
ReplyDelete'kay, most of the story confused me. Selain itu, penggunaan tanda [] bikin saya bacanya tersendat, I hate that.
You can describe madness better than this, I know you can~
Score 6