[Round 2-Ryax] Carol Lidell
"Flectere Si Nequeo Superos, Acheronta Moyebo"
Written by Kagetsuki Arai
---
[Intro]
Carol duduk di menara paling tinggi di pulau Ryax, dengan sebuah buku
tebal bersampul biru di tangannya. Angin laut berhembus mngibarkan
rabut Carol, namun gadis itu hanya mengacuhkannya. Di sekelilingnya,
hanya kehancuran yang tersisa dari pertarungan ketujuh makhluk bodoh
yang dengan mudah jatuh dalam genggamannya.
Carol adalah seorang pustakawan, Sebagai seorang yang dikelilingi buku
dan mencintai buku lebih dari manusia, Wajar kalau ia bisa menulis.
Namun ini adalah kali pertama untuk Carol menulis dari kisah
nyata…bukan, Kisah ini adalah hasil rekayasa, namun Carol membuat apa
yang ia tulis dibukunya menjadi nyata.
Carol tersenyum saat akhirnya seorang Malaikat Merah muncul di ufuk
barat, siap menjemputnya. Carol memastikan kembali bahwa tak ada lagi
yang hidup di pulau ini selain dirinya dengan sebuah monitor hologram
yang menglilinginya. Nemaphilia sudah terbakar, Emils tidak lebih dari
cairan menjijikkan di lantai, pedang-pedang dari emas masih tertancap
di sebuah gedung dan beberapa mayat di tempat berbeda tergeletak
begitu saja.
Ending yang sempurna, pikir Carol, Makhluk tak berpendidikan seperti
mereka tidak seharusnya menginjakkan kaki di hadapannya. Hanya sebuah
karakter yang akan menuruti segala kemauan penulisnya. Begitu juga
Thurq, makhluk yang mengaku dewa itu tak lebih hanya kepanjangan
tangan dari penulisnya.
Dan Carol akan memastikan bahwa DIRINYA yang akan menjadi penulis mereka.
Menganggumi kerja bagusnya, Carol membuka buku di tangannya, buku yang
mencatat bagaimana semua ini bermula, sebuah kesombongan yang mulai
muncul sejak mereka menginjakkan kaki di pulau ini, Sebuah kesombongan
yang akhirnya menghancurkan satu sama lain.
Dan sambil menunggu malaikat merah, Carol mulai membaca.
*
Lokasi : Pusat Penjernihan Air Pulau Ryax
Emils menatap lawannya dengan sombong. Seorang gadis yang menggunakan
buku dan peluru sebagai senjatanya, sebuah senjata lemah kalau ia
ingin menembus [kulit] Emils yang kenyal bak jeli. Tubuhnya yang kini
berbentuk seperti manusia setinggi dua meter dengan bagian tangan yang
berbentuk pedang diarahkan ke arah leher lawannya.
"Ha, Memalukan," kata gadis berambut karamel itu, "Tak akan kukiran
kekalahanku akan disaksikan oleh tanaman."
"Apa maksudmu, Manusia?" Tanya Emils, "Bahkan di saat aku akan
membunuh manusia lemah sepertimu, kau masih tampak sangat tenang."
"Lihat di sana?" Gadis itu menunjuk ke arah kirinya dan Emils menurut.
Di sana, sebuah tunas mungil tumbuh di sana, tak ada bunga, hanya
sebuah tunas hijau dengan sedikit tanah di sekitarnya, tepat di bawah
sebuah mesin aneh yang Emils tak pahami fungsinya.
"Hei, Slime bodoh," Gadis itu mengejek, "Kau mungkin bisa mengalahkan
aku, tapi apa kau bisa mengalahkan Stalza?"
"Ha, Kau pikir aku bisa kalah melawan manusia?" Emils menggertak, "Aku
adalah makhluk paling kuat di pulau ini. Lihat kan tubuhku? Kau sudah
lihat tadi, Kau tidak bisa melukaiku."
"Makhluk yang mengirim tanaman itu mungkin lebih kuat darimu," balas
Carol, "Mari kita lihat, Dia juga membenci manusia sepertimu, namun
dia bahkan tidak memperdulikan makhluk lemah sepertimu. Sasarannya
hanya satu, Stalza."
"Dan kenapa kau mengira dia lebih kuat, Manusia," ujung beku tangan
Emils ditekankan lebih dalam dari sebelumnya, membuat darah mengucur
di lehernya, namun sang Pustakawan hanya meringis.
"Dia mempunyai pasukan," jawab Carol, "Ha! Mungkin saja makhluk
bernama Nema itu sebenarnya mencari pejantan kuat untuk berkembang
biak. Tapi kau lemah, jadi ia mengabaikanmu begitu saja."
"Aku adalah makhluk paling kuat!" Bentak Emils, "dan akan kutunjukkan
pada Nema bahwa aku sangatlah kuat! Aku akan menjadikan dia betinaku!
Istriku! Aku akan menjadikannya Ratu di pulau ini dengan aku sebagai
Rajanya dan aku akan memusnahkan manusia tengik sepertimu," Inti Emils
bergetar dan kemudian tangan kanan berbentuk pedang diayunkan,
"sekarang, Enyah!" dan sebuah kepala kemudian jatuh ke tanah.
*
Lokasi : Laboratorium Rekayasa Genetika 13
Saat Nema menjejakkan kaki di tanah Ryax, sang Penabur langsung
membenci tempat ini. Malaikat merah itu meninggalkannya di sebuah
rumah kaca buatan, dimana bukan hanya tanaman hijau dan segar
dikembangbiakkan secara buatan, namun juga Viridian seperti dirinya.
Berbeda dengan makhluk Viridian di alam liar seperti dirinya,
Makhluk-makhluk Viridian dalam tabung itu tampak tidak berakal. Mereka
seperti anak anjing yang mengamati benda apapun yang bergerak. Di
sekelilingnya, beberapa robot melakukan pengecekan dan perawatan
berkala.
Kesombongan manusia, pikir Nema.
Nema ingin membebaskan Viridian buatan ini, Makhluk-makluk mirip
manusia dengan elemen tumbuhan. Namun ia tak memahami teknologi di
sekitarnya. Jadi ia memecahkan salah satu tabung di sekelilingnya
dengan sebuah cangkul yang tergeletak di sisi rumah kaca.
Di luar dugaan, sang Viridian buatan –Seorang anak laki-laki dengan
rambut brokoli hijau segar- langsung jatuh ke tanah, berubah menjadi
abu-abu dan terbakar begitu saja. Apa yang terjadi? Nema jelas sekali
marah. Membuat Viridian dan kemudian membunuh mereka saat mereka
mungkin bisa bebas sudah di luar batas.
"Kau tidak bisa memecahkan begitu saja tabung-tabung itu, Viridian,"
sebuah suara mengangetkan Nema. di pintu rumah kaca, seorang gadis
berambut karamel, berdiri dengan santai, "ah, tapi mana bisa aku
memberikan rahasia bagaimana membebaskan mereka pada lawan."
"Ha! Manusia bodoh! Kau pikir kau bisa mencegahku untuk melepaskan
mereka?" Nema membentak.
"Tidak tidak, siapa bilang aku akan mencegahmu," jawab gadis itu,
"tapi kalau kau mau bekerjasama denganku untuk mengalahkan Stallza,
mungkin aku bisa membantumu. Aku tak bisa mengalahkan orang yang punya
pasukan pribadi, makanya aku ke sini."
Manusia, selalu berpikir kalau mereka bisa bertindak semaunya. Sambil
mulai menyebarkan Danddelion, Nema mulai berpikir bagaimana membuat
gadis itu membebaskan Viridian buatan itu dan kemudian membunuh gadis
itu.
Gadis itu mendekat, sang Viridian muda menjauh.
"Kau takut denganku?" gadis itu mengejek.
"Manusia sepertimu tidak menakutkan sama sekali," jawab Nema,
"baiklah, aku menerima saranmu. Bebaskan Viridian buatan itu dan aku
akan memimpin mereka mengalahkan Stallza."
"Baiklah,"gadis itu setuju dan ia langsung menuju panel terdekat.
Tangannya bergerak di atas panel dengan cepat dan sambil menggumamkan
sebuah lagu, begitu tombol terakhir ditekan, seluruh tabung terbuka
dengan bunyi desis dan berbagai macam jenis Viridian keluar dari
tabung.
"Sekarang, kau bisa memberikan perintah pada mereka lewat mic ini,"
kata gadis itu, "aku tak tahu seberapa cerdas mereka dalam
mengikutinya. Tapi, kau bisa mencobanya," dan ia menyingkir dari
panel.
Nema tersenyum dan kemudian mendekati Mic yang dimaksud. Ia menatap
gadis itu sejenak dan berkata lembut, "dan kau kira aku akan menuruti
permintaanmu?" Nema tertawa kecil, "bodoh. Viridian yang mulia, kalian
yang baru saja bangkit, turuti perintahku dan pegang gadis itu di
tempat."
Seluruh Viridian Buatan yang baru saja keluar dari tabung bergerak.
Wajah santai gadis itu berubah dengan cepat dari keterkejutan lalu
ketakutan. Ia menarik sebuah buku dari sebuah portal di dekatnya dan
kemudian mulai membaca.
"Dewa petir Thor adalah…" namun kalimatnya terputus saat salah satu
Viridian berkepala terong menerjang dan memukul perut gadis itu.
Ia terpental cukup jauh. Dua Viridian dengan tangan berbentuk kangkung
meluncurkan sulur-sulurnya ke arah gadis itu. Ia berteriak dan
berusaha membebaskan gadis itu. Nema mendekat dan dengan santai
meletakkan sebuah biji di tubuh gadis itu, kepala, tangan, kaki dan
dada.
"Kau pikir kau kuat hanya karena bisa mengalahkanku?" Gadis itu
menantang, "Stallza pasti dengan mudah mengalahkan pasukan Viridianmu,
dia punya pasukan yang lebih kuat dan akan menghancurkan Viridian muda
ini. Kau akan terbunuh! Bukankah lebih baik kalau kita bersatu? Kau
tak mungkin mengalahkannya sendirian! Aku bisa membantumu!"
"Jangan khawatir, gadis muda," Nema memegang lembut dagu gadis itu,
"dia akan mati. Semua manusia akan mati," kata Nema penuh semangat.
Dan beberapa menit kemudian, gadis itu telah berubah menjadi pasir.
Stallza, Nema mengingat nama itu. Orang yang ingin dikalahkan oleh
gadis yang barusan ia bunuh. Nema kemudian menatap pasukannya dengan
senyum kemenangan.
Manusia, Ia akan membunuh semua manusia dengannya. Namun sebelum itu,
ia harus tahu sekuat apa kelemahannya?
*
Lokasi : Langit pulau Riyax, Di atas Gedung penjernihan Air
Nitria melayang di langit-langit. Sesosok gumpalan biru dengan tinggi
tujuh meter bukanlah hal yang mudah di lewatkan. Sepertinya sang Slime
cukup bodoh untuk membiarkan dirinya terlihat. Dengan tertarik, Nitria
bersembunyi di balik kabut ciptaannya dan menatap percakapannya
dengan…Sebuah bunga Dandelion?
"Nemaphilia, kau sedang mencari manusia bernama Stallza, kan?" suara
gumpalan itu berkata cukup nyaring, "Aku punya tawaran untukmu. Aku
akan mengalahkan manusia itu untukmu, membawa kepalanya padamu sebagai
sebuah hadiah. Sebagai gantinya, menikahlah denganku."
"Menjijikkan," –Anehnya- sang bunga Dandelion menjawab, "siapa yang
mau menikahi gumpalan lendir sepertimu."
"Ahahaha, Maafkan bentukku ini," gumpalan itu tertawa, membuat seluruh
tubuhnya bergetar hebat, "aku bisa mengubah bentuk sesukaku. Bahkan
menjadi sosok manusia," dan sesuai perkataannya, Ia memang berubah
menjadi sosok manusia dengan tinggi tujuh meter, "dalam berbagai
ukuran. Menakjubkan, bukan? Bersama, kita akan menghancurkan manusia
dan robot di pulau ini. Menjadi raja dan ratu di pulau ini.
Bagaimana?"
Nitria tidak mendengarkan kelanjutannya. Tuan Stallza dalam bahaya,
jadi ia melesat ke tempat dimana Auria dan saudara-saudaranya
menyimpan tubuh Tuan Stallza. Ia harus membawa tubuh Tuan Stallza
kabur dari pulau ini…Cepat!
Tanpa disadari oleh sang Spiritia, segumpal Slime lain mengikutinya
dengan lincah, bergerak ke arah dimana Stallza disimpan.
*
Lokasi : Rumah Sakit
Auria menatap tubuh tuannya yang diam di dalam sebuah tabung. Wajahnya
tampak damai tanpa gangguan. Di sekitarnya, kesembilan belas
saudaranya telah keluar dan bisa menggunakan kemampuan penuh mereka.
Tentu saja awalnya Tuan Stallza menolak untuk memasuki tabung itu.
Tabung perbaikan diri dan regenerasi. Dengan tertidur di dalamnya,
siapapun bisa kembali ke kondisi paling prima. Dengan tabung ini,
meski Tuan Stallza kehabisan energy karena menggunakan terlalu banyak
Spiritia, ia akan tetap kembali ke kondisi awal. Sehat dan kuat, namun
tertidur.
Butuh paksaan tentu saja, tapi begitu Tuan Stallza dikunci dalam
tabung itu. Kedua puluh Spiritianya bergerak keluar. Masih bergantung
pada kekuatan Tuan mereka, namun bisa bergerak leluasa.
Saat itulah Nitria masuk ke ruangan.
"Auria, Sepertinya dua makhluk non-manusia akan saling membunuh,"
lapor sang Spiritia kabut, "aku tak tahu siapa yang akan menang, tapi
keduanya mengincar Tuan Stallza. Perlukah kita ikut campur?"
"Biarkan mereka menghancurkan diri mereka," kata Auria, "siapapun yang
menang tak akan sanggup menghadapi kita semua."
"Percaya diri sekali," begitu suara asing terdengar, Koboldia langsung
melesat, menghardikkan pisaunya pada sumber suara.
Namun tak ada darah, alih-alih, pisaunya terpental begitu saja.
Bagaimana bisa? Seluruh Spiritia langsung membentuk barikade menutupi
Tuan mereka. Lawan mereka adalah sebuah gumpalan aneh yang menatap
mereka dengan sadis. Hanya ada sepasang mata dan sebuah inti yang
melayang dalam tubuhnya.
"Kau tidak memperhitungkan bahwa salah satu dari kami bisa membelah
diri?" gumpalan itu kemudian menunjuk pada sebuah bunga Dandelion di
pojok ruangan, "Nema mungkin juga akan ke sini begitu menyelesaikan
pertarungannya dengan indukku, atau malah ke sini, membiarkan pasukan
Viridian miliknya melawan Induk dan kesini secara pribadi."
"Maka kami akan menghancurkanmu sebelum ia kesini!" kata Phosporia senang.
Saudara sesama spiritianya setuju dan langsung siaga.
"Makhluk seperti kalian? Mengalahkanku?" sang gumpalan tertawa, "aku
heran kenapa Nema menganggap Tuan kalian adalah yang paling kuat."
Dan kemudian sang gumpalan berubah bentuk menjadi manusia. Bukan,
mungkin bentukanya memang manusia, dengan kaki dan tangan, namun tetap
saja ia hanyalah gumpalan. Kedua ujung tangannya berubah menjadi
pedang.
"Serang!" perintah Auria.
Argia sang ahli pedang menyerang, sementara Nitria menyelimuti seluruh
tempat itu dengan kabut milknya. Pedang Argia dan Sang Gumpalan beradu
dengan bunyi nyaring. Namun saat sang Gumpalan hendak menyerang
kembali, namun tiba-tiba tubuhnya tak bisa bergerak.
"Kerja bagus, Nitria!" puji Auria, "Sekarang dia tak bisa bergerak,
kita bisa membunuhnya dengan mudah."
*
Nema membawa pasukannya keluar dari Laboratorium keparat itu. Makhluk
gumpalan menjijikkan bernama Emil situ benar-benar tidak sopan. Jadi
ia harus membereskan makhluk itu. Setiap langkah para Viridian membuat
tanah di sekelilingnya diselimuti tumbuhan, membuat semua bangunan
besi di sekitar mereka diselimuti rumput dan sulur tanaman.
Saat ia mencapai tempat sang Gumpalan, semua Viridian di sekitarnya
terhenyak. Sosok setinggi tujuh meter menatap mereka. Sebuah inti
berbentuk bola melayang di dalam tubuhnya yang nyaris transparan.
"Aku tidak menginginkan pertarungan ini, Nona," kata gumpalan itu,
"aku sudah mengirimkan sebagian tubuhku untuk melacak dimana Stallza
berada, meskipun bagian dari tubuhku itu berhasil dikalahkan. Aku
sudah tahu dimana lokasi mereka."
"Aku tidak akan bekerja sama denganmu, gumpalan menjijikkan," kata
Nema marah, "apalagi dengan syarat yang kau ajukan. Kau sudah menghina
kebanggaanku sebagai Viridian. Sekarang, matilah!"
Dalam aba-aba itu, para Viridian menerjang Slime besar itu.
*
Lokasi : Laboratorium Rekayasa Genetika 13
Seorang gadis berambut karamel mendekati meja kendali. Sebuah bunga
Dandelion berdiri di hadapan sebuah microphone, sebuah alat yang
mengendalikan semua pasukan Viridian. Bodohnya, Nema hanya melengkapi
Dandelion itu dengan mulut, tanpa mata atau telinga.
Jadi yang gadis itu harus lakukan cukup satu.
"Cabe Api Jalapeno, Bakar semua yang ada di sekitarmu."
*
Lokasi : Di depan gedung penjernihan air
Semuanya di awali dengan terbakarnya tiga Viridian buatan yang
kemudian merambat ke seluruh Viridian.
"Apa yang kau lakukan, Cabe Api Jalapeno!" Teriak Nema murka.
Namun tak ada jawaban. Ia kemudian mengontak bunga Dandelion di ruang
kendali dan memberikan perintah. Hentikan! Hentikan kobaran api itu!
Namun terlambat, api itu menyebar semakin luas dan pada akhirnya
membakar Nema sendiri.
Emils yang melihat api itu segera memecahkan bagian-bagian tubuhnya,
membuat banjir untuk memadamkan Nema. Namun api masih tak kunjung
padam. Air yang ia kirim bahkan malah menguap dan Cabe Api Jalapeno
–Sesosok anak laki-laki berambut cabe dengan bom sebagai bijinya-
kembali membakar sesamanya, menciptakan api yang bukan hanya membakar
para Viridian namun juga tanaman-tanaman di sekitarnya.
Sang gumpalan kini hanya sebesar bola basket, berusaha mendekati Nema
yang berteriak kesakitan. Dengan sisa air di tubuhnya, mengguyur Nema.
Namun Nema masih terbakar. Sang gumpalan mulai putus asa. Sampai ia
melihat sosok gadis berambut karamel mengarahkan pistol pada inti
tubuhnya.
Pada akhirnya, ia gagal mendapakan hati Nema.
*
Lokasi : Rumah Sakit
Serangan terakhir diluncurkan oleh Carbia, yang mengubah dirinya
menjadi pasak raksasa menusuk tepat di inti sang gumpalan aneh. Dalam
sekejap, Sang Gumpalan kembali ke bentuk aslinya, Air yang membasahi
tanah, tak bergerak dan tak berbentuk.
"Kerja bagus, Carbia," puji Auria yang ditanggapi oleh Carbia dengan diam.
Sang Spiritia kembali ke wujud patungnya dan berdiri di sebelah Auria.
Namun kemudian para Spiritia itu kembali dibuat siaga saat tiga buah
peluru mengenai Phosporosso, Argia dan Cupria. Tentu saja, meski
peluru tak akan mempan pada ketiga Spiritia itu, bahaya tetap ada.
Seseorang mengetahui lokasi keberadaan tuan mereka.
"Nitria, Nicca, Chlora, lindungi Tuan Stallza, aku akan…" Suara Auria
terputu saat satu lagi suara peluru terdengar, "semuanya, menyebar!"
Auria menyelesaikan perintahnya.
*
Lokasi : Atap Gedung Server C12 . di hadapan Rumah Sakit
Luna tak menyangka ada yang berhasil membidiknya tanpa terdeteksi. Ia
berhasil menghindari peluru pertama, Sekarang dengan satu peluru gagal
mengenainya, Ia yakin bisa menghindari peluru selanjutnya. Namun saat
sang Penembak jitu yang juga adalah Mahou Shoujo itu mengamati
sekelilingnya lewat bidikan senapannya, Tak ada penembak.
Seakan peluru itu muncul dari kekosongan.
Kemungkinan yang bisa dipikirkan oleh Luna adalah antara sang penembak
bersembunyi lebih lihai darinya atau sang penembak langsung kabur.
Yang jelas, asal peluru itu berasal dari lantai tertinggi rumah sakit.
Tidak bisa, tidak mungkin. Luna adalah penembak jitu terhebat di pulau
ini, bukan, di dunia. Tak ada yang bisa kabur setelah membidikkan
peluru tepat di wajahnya. Jadi Luna kembali siap membidik, namun ia
mendeteksi lawan lain.
Ha, memangnya makhluk yang jelas bukan manusia itu mampu mengalahkannya?
Jadi, Sang Mahou Shoujo yang juga adalah penembak jitu itu meletakkan
penembak jitu-nya di tanah dan menarik dua buah pistol Magnum
miliknya, siaga menembak siapapun yang mendekat. Menari, pikirnya.
Bahkan jika para makhluk suruhan laki-laki itu lebih indah darinya,
tarian Luna adalah yang paling indah.
Dengan itu dalam pikirannya, Luna mulai menari.
Peluru demi peluru ditembakkan, membuat para pembawa pedang enggan
mendekat. Setiap kali makhluk suruhan itu mendekat, Luna akan menembak
senjata mereka, dorongan yang cukup kuat untuk membuat para pembawa
senjata terhentak mundur.
Mereka yang menggunakan gas dan senjata jarak jauh jarang sekali
berhasil mengenai Luna. Luna menjauh, menghindar, namun dengan anggun
tetap menyerang siapapun yang berani mendekat.
Mudah mudah, pikir Luna. Ia bisa mengeliminasi para cecunguk itu
dengan cepat dan indah.
*
Lokasi : Pabrik Automaton dan Robot Sektor C3
"Menarik! Menarik!" Ravelt tertawa, dengan sebuah tongkat emas masih
di tangan, Ia melayang turun dari lantai tiga.
Di depan bangunan, Seorang gadis tergeletak. Meski ia nampak
kelelahan, namun api semangatnya masih membara, menatap Ravelt penuh
kebencian. Ia kemudian mengeluarkan asap dan bergerak untuk pergi.
"Sudah kubilang, Apimu tak ada tandingannya dengan Api Dewa milikku!"
Teriak Ravelt, dan dalam sekejap asap menghilang, "sekarang BIARKAN
AKU MENYITA KEDUA TANGANMU!"
"Ha, tangan ini adalah tangan dewa!" hardik gadis itu, "tak akan
kubiarkan kau mengambilnya!" dan kemudian ia mengayunkan tongkat
merahnya yang otomatis memanjang.
Ravelt menangkis serangan itu dengan tongkat emasnya diikuti oleh
terbukanya sebuah portal dimensi di hadapannya.
"Karena kau berhasil membakarku, akan aku tunjukkan harta karunku yang
berharga," Ravelt menyeringai, "sebuah harta yang tak dimiliki oleh
orang lain, tak bisa dicuri dan akan membunuhmu."
Dan kemudian lima buah pedang meluncur dari dalamnya, menusuk kedua
tangan, kaki dan perut gadis itu, namun gadis itu dengan cepat merubah
dirinya menjadi api dan kemudian menerjang sang raja surga. Ravelt
hanya menyeringai, diikuti ayunan tongkat emasnya, sebuah portal
dimensi lain kembali terbuka dan sang gadis berwujud api langsung
terperangkap di dalamnya.
"Ha! Gadis yang bisa berubah jadi api, aku bertaruh tak akan ada yang
memiliki harta seperti ini di dunia manapun," Ravelt tertawa bangga.
"Oh, tapi kau tak mempunyai buku," Sebuah suara menyambut.
Sesosok anak perempuan berambut karamel muncul dari gedung lain.
Ravelt menatap gadis itu tertarik dan perlahan mendekatinya.
"Oh, Aku memang tidak punya buku," kata Ravelt, "Tapi aku punya
senjata, baik dari masa depan maupun masa lalu, semuanya terbuat dari
emas!" katanya bangga, "buku saja tak akan pantas masuk ke gudang
hartaku."
"Ha, omong kosong!" anak perempuan itu tertawa kecil, "Buku adalah
salah satu alasan kenapa orang-orang bisa menciptakan alat-alat di
dalam gudang hartamu. Kau pikir gudang hartamu pantas menyimpan
buku-bukuku?" ia mengakhiri kalimatnya dengan menarik sebuah buku
bewarna emas, "The Book of Dead, mampu membangkitkan mayat dan
memberikan keabadian."
"Oho...kau benar-benar menarik, anak kecil," Ravelt menatap anak
perempuan itu, "ada alat yang membuatku abadi di dalam gudangku, namun
sebuah buku? Ha, menarik-menarik, aku jadi ingin memilkinya."
"Kau tak akan pantas," balas gadis itu, "aha, kecuali tentu saja kalau
kau berhasil menghabisi semua orang di pulau ini. Aku tak akan
meragukanmu lagi."
"Masuk akal," sang Raja Surga menepukkan tongkat emas miliknya ke
dahinya dan kemudian menatap anak perempuan itu tajam, "bukankah itu
juga termasuk dirimu?"
Belum sempat anak perempuan itu bereaksi, Ravelt mengaktifkan kekuatan
kegelapan dalam dirinya dan kemudian menerjang. Kecepatan ravelt
diduakalilipatkan membuat Ravelt bergerak di kecepatan cahaya, dan
hanya dengan satu tusukan tongkatnya, anak perempuan itu langsung
memuntahkan darah, organ dalamnya remuk, diikuti oleh patahnya tulang
punggung.
Dan kemudian ia tergeletak, Ravelt memungut Buku Emas di sebelah
mayatnya, The Book of Dead, dan kemudian membacanya sejenak. Semua
mantra dan petunjuk untuk membangkitkan dan membuat abadi. Menarik,
menarik.
"Aku tak membutuhkan kekebalan kalau memiliki buku ini," Ravelt
tertawa kecil, "oh, Tenang saja anak kecil, aku akan menepati
permintaanmu."
Tanpa melihat kembali ke mayat anak perempuan itu, Ravelt mendorong
tubuhnya dengan api gelap di kakinya untuk melompat ke puncak gedung
di terdekat. Matanya menerawang, melacak dimana lalat-lalat itu
berada.
Aha, Ketemu, Ravelt tertawa kecil.
Namun kemudian melihat sesuatu yang aneh. Sesosok gadis berambut
karamel dengan lima buah pita terpasang di lengan kanannya membidik
sebuah senjata laras panjang ke arah pertarungan yang tengah
berlangsung.
Tunggu, bukankah ia sudah mati?
Menarik-menarik, begitukah? Apakah itu adalah anak perempuan yang
asli? Ataukah yang ia bunuh barusan yang asli? Hahaha! Anak perempuan
ini, siapapun yang asli, benar-benar hebat. Strategi yang luar biasa.
Sang Raja ingin memiliki otak gadis itu…
Ah, Tentu saja setelah ia menghabisi lalat-lalat itu.
*
Lokasi : Rumah Sakit
Chlora khawatir. Tentu saja, Meski ia sudah menyebarkan gas pembuat
tidur di ruangan itu untuk menetralisir orang yang hendak menyerang
tuan Stallza dari jarak dekat, Ia tetap khawatir pada serangan jarak
jauh.
Namun tentu saja dengan keberadaan Nicca di sini, serangan apapun akan
dengan mudah dieliminasi. Ia bisa membuat apapun yang mendekat kembali
menjauh. Dalam beberapa hal, Chlora iri pada saudarinya itu.
Pertarungan di luar semakin memanas, namun menurut Nitria, pertarungan
hampir selesai. Tentu saja gadis berambut perak itu cukup hebat,
mengeliminasi cukup banyak saudariya dengan tarian anehnya, namun
mereka akan kembali. Tetap saja, jumlah Spiritia sangatlah banyak dan
mereka bisa dengan mudah kembali.
Saat itulah, tiba-tiba tanah bergetar diikuti leh gedung di sekeliling
mereka yang retak. Apa ini? Bagaimana bisa gedung secanggih dan sekuat
ini retak? Tak lama kemudian, pertanyaan Chlora terjawab oleh sebuah
pedang raksasa yang membelah langit-langit.
Bukan, tinggi gedung ini adalah tujuh belas lantai dan posisi mereka
ada di lantai sepuluh, jadi pedang raksasa itu mebelah tujuh lantai di
atas mereka dan dengan paksa menghancurkan. Kini layaknya kaleng
sarden yang dibuka dengan pisau, sebagian langit-langit terbuka lebar,
"Target pertama, ha! Lemah!" sebuah suara menggumam sebal, "jadi dia
hanya tidur di sini sementara anak buahnya melindunginya?"
"Nitria!"
Mengerti apa isyarat yang dikirimkan oleh Chlora, Nitria menyebarkan
es di sekitarnya dan menangkap kaki penyerang mereka, seorang
laki-laki berambut pirang yang tersenyum sadist.
"Haa? Cuma segini? Minggir kau es menyebalkan!"
Seakan menuruti perkataan pria berambut pirang itu, es yang
menyelimuti kakinya segera meleleh. Saat itulah Chlora menaikkan
volume gasnya dan mengarahkannya ke arah penyerang mereka. Namun
penyerang mereka melompat, pedang raksasa itu menghilang digantikan
oleh terbukanya sebuah portal dimensi di langit pulau Ryax.
"Mati kau, Lalat!"
Dan tiba-tiba hujan pedang jatuh di sekitar mereka.
*
Lokasi : Atap Gedung Server C12 . di hadapan Rumah Sakit
Luna terperangah, Sebuah hujan pedang mengguyur mereka. Beberapa kroco
yang ia hadapi memudar dan kemudian menghilang sepenuhnya. Penembak
jitu merangkap Mahou Shoujo itu masih bergerak, menghindari
pedang-pedang yang berjatuhan dari langit.
Tak beberapa lama kemudian, hujan itu berhenti dan akhirnya ia melihat
siapa dalang dibalik cuaca aneh barusan. Seorang laki-laki berambut
pirang, tertawa sadis pada mayat dalam tabung yang seharusnya menjadi
targetnya.
Laki-laki itu baru saja merebut target Luna. Tak bisa dimaafkan!
Jadi gadis berambut perak itu mengarahkan kedua pistol magnumnya.
Pelatuk ditekan dan…Luna merasakan sebuah peluru menembus kepalanya.
*
Lokasi : Pusat keamanan Pulau Ryax, Lantai 14
Carol tersenyum senang. XM2010 yang ia gunakan benar-benar hebat.
Sebagai seorang penembak jitu yang dipekerjakan oleh CIA sejak umur
lima tahun, ia bisa membidik hingga maksimal 1024 meter, tapi dengan
senapan ini, ia bisa menembak dengan tepat hingga 2000 meter.
Ah, tentu saja tembakan pertamanya gagal. Ia perlu penyesuaian diri,
bukan? Untungnya gadis berambut perak itu tak menemukan lokasinya.
Bukan hanya gedung ini cukup jauh, namun siapa sangka seseorang akan
membidik dengan satu gedung menutupi posisi tembakannya?
Tak masalah, toh gedung yang menutupi Carol berdinding kaca.
Ia cukup jenius untuk dapat membidik dengan keadaan seperti itu.
Namun apa yang ia pikirkan segera berhenti saat dengan cepat, sesosok
laki-laki berambut pirang dengan aura kegelapan menyelimutinya
bergerak…bukan…berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tunggu,
bukankah ia bisa menggunakan portalnya untuk kemana saja?
Apakah dia mencoba menakut-nakuti Carol? Ataukah data yang ia terima
dari gadis berjubah hitam itu salah? Ah, tidak. Bukan saatnya
memikirkan itu, ia harus bangkit dan bergerak. Carol segera menarik
sepasang Desert Eagle dari sarungnya sementara telepatinya mencoba
mengecek semua perangkap yang ia pasang sebelumnya.
Dan akhirnya, ia ada di sini.
Ravelt sang Raja Surga.
"Hoo…apakah kau yang asli, anak kecil!"
Anak kecil? Dia menyebut seorang agen CIA yang membunuh sejak umur
lima tahun sebagai ANAK KECIL! Tak bisa dimaafkan!
"Maaf, aku bukan anak kecil!" dan kemudian dengan telepatinya, ia
menyalakan bom di lantai di bawahnya. Gedung bergetar dan Carol segera
mengangkat dirinya agar tak ikut jatuh dengan runtuhnya lantai
teratas, namun tampaknya bukan hanya dia yang melakukannya.
Sepasang api hitam menembur dari kakinya, secara konstan membuatnya
tetap melayang tanpa bergerak kemana-mana.
"Sayang sekali, sepertinya kau bukan orang yang aku cari," pria itu
mencibir sebal, "Bagaimana kalau kau mati…"
"Ha! Kau pikir aku akan mati tanpa bertarung?" Carol segera bergerak,
menjatuhkan dirinya ke lantai di bawahnya dan kemudian mengangkat
tanganna tinggi-tinggi.
Enam buah granat naik ke atas, penutup sudah dilepas, dan dikirimkan
kea rah Ravelt. Lagi-lagi, ledakan yang dahsyat membuat tanah
bergetar. Namun Carol tak akan pernah menduga kalau ia akan melihat
api-api ledakan itu dikumpulkan menjadi sebuah bola basket di tagan
Ravelt.
Oh, sial!
Ravelt melemparkan bola basket yang terbuat dari api itu ke arah
Carol, Carol segera mengambil alih gerakannya dengan telepati dan
melemparkannya balik, namun pegangan telepati itu pada bola basket itu
sangatlah rapuh. Bola itu meledak, melemparkan Carol cukup jauh hingga
menabrak tembok yang tersisa setelah ledakan pertama.
"Berhentilah bermain-main, Lalat!" teriak Ravelt, "Padahal aku berniat
menghabisimu dengan satu serangan. Kematian yang indah, bukan? Apalagi
untuk ukuran lalat sepertimu."
Sakit…panas….
Tampaknya beberapa bagian tubuh Carol terbakar. Tapi ia sudah dilatih
untuk mengabaikan rasa sakit. Ia adalah asasin presiden J.F Kenedy,
orang yang bisa mudah menghilang dari kerumunan setelah menembakkan
peluru ke kepala orang paling terkena di Amerika. Carol tak akan
menyerah.
Desert Eagle di letakkan di tanah, sebagai gantinya, ia memanggil
sebuah portal dimensi untuk mengambil senjata baru. Shock Blaster
Prototype C18, sebuah Ralgun praktis yang dibuat oleh Illuminati untuk
menghancurkan gedung WTC.
"Bagaimana? Sudah mau menyerah, lalat kecil?" Ravelt menantang.
Saat asap sudah menyingkir, Carol bangkit, berlari ke sisi kanan dan
menarik granat yang sudah ia pasang di sekeliling untuk meledak di
depan wajah Ravelt.
"Berapa kali kau akan melakukan hal tak berguna ini, Salinan tak
berguna!" bentak Ravelt.
Namun Carol tak mengindahkannya, ditembakkannya Shock Blaster di
tangannya. Sebuah peluru melesat ke arah Ravelt dan melubangi
perutnya. Ravelt jelas sekali terkejut, namun ia tak merasakan luka
itu.
"Oh, kau melubangi tubuhku? Aku lupa kalau sedang mengenakan
kegelapan." Ravelt hanya menghela nafas, "Sepertinya memang kau tak
pantas aku beri rasa kasihan."
Sebuah portal terbuka, dan lima bilah pedang terbuat dari emas melesat
ke arah Carol, menembus kedua tangan, kaki, perut Carol. Sesaat, Carol
lega karena pedang-pedang itu menembus tubuhnya. Namun kemudian ia
merasakan rasa sakit, rasa panas, rasa dingin, rasa kesemutan semua
melebur menjadi satu di seluruh tubuhnya.
"Aaaargh!!" Carol berteriak sangat keras.
Rasa sakit luar biasa itu menyebar ke seluruh tubuhnya dan perlahan
membuat otaknya terasa mati rasa. Seluruh inderanya perlahan mati
hingga akhirnya, disaat rasa sakit itu memuncak, nyawa Carol dicabut
dengan paksa dari tubuhnya.
*
Lokasi : Pusat keamanan Pulau Ryax, Lantai 12
Ravelt melihat cairan tinta yang menggenang di tempat dimana gadis
salinan itu berada. Lemah, pikirnya, namun ia harus memujinya. Sangat
jarang ada senjata yang mampu melukainya, apalagi menembus perutnya.
Jadi ia memungut senjata itu dan melemparkannya ke gudang harta
karunnya.
Sekarang, bagaimana menyembuhkan luka ini?
Ah, bagaimana kalau ia mencoba buku itu?
Diambilnya The Book of Dead dari gudang harta karun dan kemudian
dibukanya lembar pertama.
Mantra untuk menambahkan keabadian ke tubuhmu.
Mantra itu ditulis dalam hierologif, namun sebuah terjemahan dalam
bahasa yang Ravelt pahami tertulis di atasnya. Hm…menarik. Tampaknya
mantra ini lebih ampuh dibaca dalam bahasa mesir. Tak masalah, ia
hanya prlu membacanya dan 'poof'! ia abadi.
Jadi ia membacanya.
Kalimat pertama membuat angin berkumpul di sekelilingnya,
mengelilinginya dalam warna hitam pekat. Kalimat kedua membuat awan
mendung berkumpul dan petir menggelegar. Kalimat ketiga membuat sebuah
pintu emas berukir hierologif kuno muncul di hadapan Ravelt.
Kalimat keempat…
Membuka pintu itu, memanggil sang Dewa Kematian beserta tunggangannya
dan menarik nyawa Ravelt dari tubuhnya. Tubuh sang Raja jatuh lunglai
dengan darah keluar semakin deras dari lubang di perutnya dan buku di
tangannya terjatuh begitu saja.
*
Carol Lidell, Gadis berambut sepunggung bewarna karamel dengan
sebagian kecil rambut di sisi kanan kepalanyanya diikat oleh pita
putih, duduk di atas menara paling tinggi. Ia menutup buku tebal yang
sedang ia baca.
"The Book Of The Dead gives life," Carol mengutip, "Sang raja bahkan
tak sadar bahwa yang ia baca adalah The Book of Amun-Ra, Buku yang
berisi petunjuk untuk mengambil nyawa dari manusia."
Di pangkuannya, tiga buku lain tertumpuk menjadi satu. yang paling
atas adalah buku bersampul caramel, sewarna rambutnya, dengan tulisan
'Biodata Carol Lidell' yang dihias dengan foto diri Carol sendiri.
"Aku senang bisa mengubah sejarah hidupku sendiri meski hanya dalam
tulisan," komentarnya.
Sang Malaikat Merah mendarat di belakangnya dan memberikan hormat.
"Dan anda tidak melawan peserta lain sama sekali?" sang malaikat merah
bertanya penasaran.
"Tak ada penulis yang ikut terjun ke dalam kisah yang ia tulis," kata
Carol, "Mereka hanya karakter, tak pantas mereka menghadapi penulis
yang maha berkuasa sepertiku."
Sang malaikat merah tersenyum, "Dan pemenang di Pulau Ryax adalah
Carol Lidell, orang paling sombong dari tujuh peserta yang dikirim ke
pulau ini. Semoga Dewa Thurq menikmati kisah yang kau buat, Nona."
*
PS:
Flectere si nequeo superos, Acheronta moyebo : Kalau aku tak bisa
menggerakkan surga, maka aku akan membangkitkan neraka
==Riilme's POWER Scale on Carol Lidell's 2nd round==
ReplyDeletePlot points : B
Overall character usage : B
Writing techs : B-
Engaging battle : B-
Reading enjoyment : B
==Score in number : 6,4==
Sejujurnya, kalau secara teknis tulisan ini mungkin bisa dibilang sedikit lebih rapi dari tulisanmu biasanya (walau masih ada miss kapital dan typo), jadi saya sekarang bukan mau nyinggung itu. Yang saya heran (dan ajaibnya) justru sekarang isinya yang rada membingungkan. Kayak, sepanjang cerita penulis berhasil bikin saya ga berhenti munculin tanda tanya, di antaranya : 'Kenapa semua jadi ngincer Stallza?', 'Kenapa Stallza tidur dalem tabung?', 'Kenapa Carol kesannya omnipresence?', 'Kenapa Carol bisa jadi debu ? pasir / menghilang gitu aja?', 'Kenapa ada Viridian di sini?', 'Kenapa Carol bisa ngontrol Viridian?', 'Lho, Carol direkrut CIA? Di umur 5 tahun? What the heck?', 'Dia yang ngebunuh Kennedy? WTF?', dst.
Mungkin sebenernya ada lebih banyak, tapi kira" yang saya inget gitu deh. Impresi saya seolah si penulis berharap pembaca ngerti dan nerima aja semua yang dia tulis tanpa perlu di-elaborate, padahal orang awam macem saya malah jadi ngerasa kayak masuk museum tanpa dikasih penjelasan, sekedar ngeliat barang" yang bukannya nambah pengetahuan cuma bisa bikin mulut nganga ga jelas.
Entahlah, Umi mau kasih 8 di cerita ini >.< writer's point-nya dapet banget.
ReplyDeleteSelain, ini emang jauh banget lebih rapih dari pada R1-mu, disini Carol yang jadi penulis dan membuat tujuh salinan dirinya dengan berbagai macam latar belakang terasa keren banget. Eksekusimu bener-bener pol Rai~ walaupun Pride-nya si Carol sendiri enggak kerasa.
Umi penasaran juga sih, kenapa si Stallza malah milih untuk tidur ditabung ketimbang minta kekuatan full untuk dirinya biar bisa bangkitin Spiritianya sendiri :3
Tapi karena ini keren Umi kasih 9 deehh >.< bener-bener suka sama karakterisasi Carol yang sok jadi tuhan disini >.<
selamat kak arai! kakak adalah entry pertama yang saya komentari di R2 :3
ReplyDeletesebelumnya, saya lebih senang baca tulisan kakak di R2 dibanding R1. lebih rapi, walaupun masih ada tipo, tapi ga separah R1.
tapi...
entah kenapa ada yg mengganjal.
direkrut CIA sejak 5 tahun? bisa menghilang (setahu saya bukannya golden tongue ga bisa dipake ke diri sendiri ya? CMIIW). ide tentang railgun masih ga terlalu masalah sih, tapi kalo sampai bunuh Kennedy segala, rasanya agak berlebihan deh kak. kak sam udah jabarin lengkap, jadi saya ga perlu nambahin lagi.
overall, saya ngasih nilai 7. semangat kak >_<
masih lebih baik dari R1, keep up the good work
ReplyDeletepertanyaannya udah dibabat ama kak Sam semua, saya jadi gak bisa komen..
sebenernya kalo bisa diperjelas lagi soal Carol buat salinan, bisa jadi lebih baik...
7,7/10
Battlenya Epic :)
ReplyDeleteEYDnya ada yang miss :)
Typonya lumayanlah :)
Nilai= 7
Stella Opinion:
Aku suka sekali dengan cara kau memperdaya para entrant lewat bukumu :) Apalagi, kau hampir muncul dihadapan entrant lain pada bab-babnya :)
Aku akan menambahkan nilaimu :)
Stella merapalkan mantra, bola kristalnya berpendar biru
Efek= +0,5
Total nilai= 7,5
ane rada bingung baca ini gan... tiap part ceritanya kayak mendadak gitu dan kurang penjelasan. tiba-tiba uda muncul banyak nama tapi ga tahu siapa dia, mau apa, tau-tau uda gitu aja...
ReplyDeleteMaaf gan nilai 6.
awal2 lumayan bingung jg sih kak pas baca carol agen cia, kirain dia bisa nembak jitu stlh baca buku panduan gitu, d akhir baru ngerti dia manipulasi biodatanya sndiri, kesanya carol lumayan jd imba sih klo punya kemampuan gini kak x3
ReplyDeleteada sdikit oos kemampuan nema sih, tp g mslh deh
suka bgt sama skenarionya carol, tipuanya sama ravelt, trus kemunculan viridian2 sayur xD
nilai 8
oya, suka jg sama romance emils-nema kak, pdhl seharusnya nema mau aja sih diajak nikah, ntar abis dimanfaatin baru emils dbunuh sama nema #pletak x3
Deletejd kasian pas baca emils gagal mendpt hati nema :3
Awalnya sama seperti pembaca lainnya, saya juga kebingungan, tapi setelah membaca sampai selesai, akhirnya saya mengerti juga. Saya suka bagaimana Carol tidak mau masuk ke dalam "Cerita"nya dan mengirim klonnya sebagai gantinya.
ReplyDeleteNilai 8
~~~ ( >A< ) ~~~
ReplyDelete