#0
Saat ia masih SMA, Nurin pernah bertanya di dalam hati, "Bagaimana rasanya menjadi seorang ratu?"
Ratu yang ia pertanyakan bukanlah penguasa sebuah negeri. Skalanya jauh lebih kecil dari itu, yakni sebatas "ratu kelas." Sementara ia selalu berada di papan tengah dalam bidang apapun, ada gadis-gadis yang dapat meraih ranking satu, menjuarai kejuaraan atletik antar sekolah, atau menjadi juara kontes kecantikan sekolah. Sekeras apapun ia berusaha, ia dan teman-temannya dari golongan "biasa saja" tak pernah mampu mengungguli mereka.
Gadis-gadis itu selalu mencoba tersenyum dan bersikap ramah di hadapan teman-teman sekolah. Tapi ia berpikir, seperti apa sebenarnya sosok-sosok istimewa itu memandang sekeliling mereka? Ketiganya pasti paham kalau kualitas bakat mereka jauh lebih tinggi dibanding siswa-siswi yang mengelilingi mereka.
Lewat kacamata prasangkanya, Nurin selalu berpendapat kalau gadis-gadis seperti itu menganggap orang sepertinya sebagai sampah. Mereka adalah elang yang terbang tinggi di angkasa, menatap tikus-tikus yang berlari ketakutan di atas permukaan tanah dengan sorot angkuh. Mereka adalah majikan dari era kolonial, menyaksikan budak-budak hina mereka bercocok tanam sambil mengangkat dagu. Mereka adalah alien dari era kuno, yang berdiri di puncak piramida sambil menyorot sinis, maklum dengan payahnya ras inferior di bawah mereka.
Setiap pujian membuat ego mereka membumbung. Setiap permintaan tolong untuk membantu mengerjakan PR membuat mereka tertawa di dalam hati. Setiap prestasi meyakinkan mereka kalau mereka istimewa. Ketiganyalah yang akan secara rutin mewakili negeri mereka di dunia internasional, sementara kawan-kawan seusia mereka hanya dapat tertatih mencari kerja di negeri sendiri.
Apakah pendapat itu benar? Hingga ia mati, Nurin tak mengetahui jawabannya. Tapi, jika ia menjadi mereka, seperti itulah persepsinya. Itu terbukti sekarang, ketika ia, menurut anggapannya sendiri, hendak memulai langkah menjadi ratu akhirat.
Ia berhasil melalui dua ronde dengan gemilang. Sementara orang-orang lain yang lolos dari rondenya harus dihidupkan kembali oleh Thurqk, atau diekskekusi, ia tetap bernafas dengan normal untuk menanti pertarungan berikutnya. Saat ia dikembalikan ke Jagatha Vadhi, matanya memicing, menatap sinis orang-orang di sekelilingnya. Ia lihat mereka, yang mengenakan baju-baju konyol dan menyandang senjata aneh seakan ingin pergi ke acara cosplay. Awalnya ia takut terhadap orang-orang itu. Kini, ia yakin ia tak akan dikalahkan oleh seorang pun dari mereka.
Ia adalah putri kesayangan Tuhan.
Tuhannya mencintainya.
Tuhannya memberkatinya dalam membunuh.
Dan ia akan menjadi amarah sang Tuhan saat racunnya menggerogoti organ peserta lain dari dalam.
Seharusnya inilah yang ia lakukan sejak awal. Ada yang mendahuluinya dalam pelajaran? Kejar dia ke toilet, benturkan kepalanya ke cermin, lalu injak-injak dia hingga serpihan otaknya menempel di sepatu Nurin sendiri. Ada yang mendahuluinya dalam atletik? Tabrak dia hingga mayatnya berputar-putar, terseret roda. Ada yang mendahuluinya dalam kecantikan? Lemparkan bara panas ke wajahnya agar ia tak pernah lagi menempati posisi itu. Segalanya akan jadi lebih mudah kalau saja ia bisa bersikap "jujur."
Lagi pula, toh, tak benar-benar ada makhluk yang menghukumnya bila ia memutuskan melakukan tindakan seperti itu.
Pemikiran kelam Nurin terhenti saat ia melihat para Hvyt sudah mulai mendekati para peserta yang tersisa di Jagatha Vadhi. Walau belum ada yang menghampirinya, dia berdiri. Setelah dua ronde, ia tak perlu pemberitahuan untuk tahu kalau yang dilihatnya adalah pertanda ronde berikutnya sudah siap dimulai.
Dia memang benar. Satu Hvyt mendarat di hadapannya dan berkata, "Telah tiba waktunya bagi engkau untuk kembali bertarung, wahai hamba Dewa Thurqk."
Tersenyum, Nurin menanggapi kata-kata tadi dengan menjura seperti seorang pemain opera yang baru saja menutup pementasan. "Dengan senang hati."
Sempat Nurin mengira ia akan kembali dibawa terbang, menuju kota atau pulau lain. Ia bahkan sudah bersiap-siap akan dibekap dan dibawa melesat tinggi ke langit. Namun ternyata tidak. Ia tak menemukan satu Hvyt pun meninggalkan daratan. Alih-alih begitu, kesemua Hvyt memanipulasi pohon Rachta hingga masing-masing tumbuhan ganjil itu berubah wujud.
Hvyt yang menjemputnya pun melakukan hal yang sama. Makhluk bersayap hitam itu mengarahkan telapak tangan kanannya ke pohon Rachta, dan pohon itu pun bergetar. Dedaunan merah dan buahnya yang lezat menyusut, kembali masuk ke dalam ranting. Ranting-rantingnya pun mengerut dan melebur, hanya menyisakan batang yang memendek dan melebar membentuk bidang balok. Tercipta bentukan pintu ganda besar di bagian balok yang menghadap Nurin.
Saat Nurin masih bertanya-tanya apa itu pintu betulan atau hanya hiasan, Hvyt membukanya. Terlihatlah kalau yang berada di baliknya adalah sebuah tangga turun panjang. Walau baru diciptakan tadi, lorong bawah tanah yang tersaji di hadapannya terlihat sudah terbangun dengan sangat baik. Tangganya tersusun dari batu kokoh, demikian pula dengan dindingnya. Bahkan sudah ada penerangan di sana, meski warnanya yang merah justru membuat Nurin merasa sedikit takut.
"Jadi… kali ini aku harus bertarung di dasar bumi?" tanya Nurin.
"Benar." Hvyt turun mendahului Nurin. Sayapnya terlipat secara otomatis, hingga tak mengganggu langkahnya. Tahu kalau sang malaikat ingin memandunya, Nurin mengikuti tanpa banyak omong.
"Seperti apa aturan ronde ini? Apa…" Nurin menyempatkan diri menoleh, melihat satu persatu kontestan lain memasuki batang pohon Rachta. "Apa kali ini aku harus menghadapi enam orang sekaligus? Atau malah tujuh?"
Itu skenario yang sangat baik, terutama mengingat lokasi pertarungannya sekarang. Pintu masuk tadi pasti ditutup untuk mencegah ada peserta kabur. Mudah baginya untuk menyebarkan gas beracunnya, hingga lambat laun seluruh kontestan berubah menjadi bonekanya.
Jawaban Hvyt mengempiskan semangat itu. "Kau akan bertarung satu lawan satu."
"Satu lawan… satu?" tanya Nurin tidak yakin, ingin sang malaikat menyampaikan kalau dia hanya berpura-pura. Di ronde pertama, ia menghadapi empat orang. Di ronde kedua, ia ingat layar hologram yang tersaji di pulau ini menyantumkan lima nama selain dirinya. Kenapa tiba-tiba pertarungannya jadi seperti itu? Pasti ada kesalahan, bukan?
Harapan Nurin tak terwujud, karena jawaban Hvyt justru memperkuat kata-katanya tadi. "Ya."
Nurin menghela nafas. Menyadari ia tak bisa menggunakan satu "boneka" pun untuk membantu membuat lambungnya bergolak.
Lalat-lalat Nurin datang dengan dengung khas mereka, mencoba mengatakan kalau majikan mereka tak akan menghadapi ujian ini sendirian. Tetap saja gadis berkacamata kotak itu khawatir. Masih tercetak jelas di benaknya sosok Si Tanpa Mulut, lawannya di ronde sebelumnya yang kebal terhadap banyak serangan. Ia juga masih mengingat Si Mata Pelangi, Za-nee, yang mampu menciptakan berbagai senjata dan tak bisa mati kecuali jantungnya dihancurkan. Untuk pertarungan seperti itu, ia lebih membutuhkan boneka yang kompeten ketimbang lalatnya.
Sampai di bawah, Nurin melihat cahaya temaram merah di koridor itu datang dari bohlam-bohlam yang ditempel di atas lorong. Cahayanya yang redup dan warnanya yang agresif membuatnya seperti tengah berjalan menuju ruangan berdarah. Mengingat ia datang untuk bertarung, dugaan itu mungkin tidak salah.
Langit-langit lorong cukup rendah, hingga Nurin hanya perlu berjinjit untuk menyentuhnya. Dinding-dindingnya pun sempit, hingga ia dapat menyentuh sisi kiri dan kanan tanpa perlu beranjak dari tempatnya berdiri. Akan seperti inikah arena pertarungan nanti?
Tak memedulikan kekhawatiran Nurin, Hvyt melanjutkan menerangkan. "Engkau hanya memiliki waktu setengah jam waktu manusia untuk mengatasi lawanmu. Selama itu, pintu ruangan akan disegel."
Nurin menelan ludah. "L-lalu apa yang terjadi kalau setengah jam itu berlalu?"
"Gas beracun akan menyeruak, membunuh kalian berdua secara perlahan."
Alis kanan Nurin terangkat, mengira Hvyt bercanda. "Gas? Tapi aku kebal-"
"Ini gas istimewa. Yang digerogoti bukanlah fisik, melainkan jiwamu. Dewa Thurqk maha tahu. Bahkan engkau pun akan tewas hingga tak bersisa jika terlalu lama."
Pertarungan ini pun terasa semakin berat.
"Tapi, beliau mengasihi hambanya yang patuh. Engkau bukan tipe manusia yang ragu dalam menyakiti orang lain, terutama saat Tuhanmu menitahkannya. Keseluruhan tempat bertarung ini cocok dengan kemampuanmu. Kau pun bisa mengambil senjata dari dinding jika kau membutuhkannya." Hvyt melirik Nurin dengan tajam. "Tentunya, dengan keunggulan seperti itu, kau tak berhak untuk gagal."
Mendengar itu, rasanya seperti ada beban tak terlihat terangkat dari pundak Nurin. Ya, seharusnya ia bersyukur karena tempat pertarungan ini masih menguntungkannya. Tak seperti ronde satu, di mana Hvyt ini melemparnya begitu saja dari langit, kali ini makhluk itu bahkan sampai memberi kata-kata dukungan segala. Tak perlu diragukan lagi, derajatnya di mata makhluk-makhluk perkasa ini memang sudah meningkat.
"A-apa Dewa Thurqk akan menganugerahiku kekuatan tertentu?"
"Ya," sahut Hvyt. "Tapi nanti. Saat ini beliau semata hanya bisa memberikan arena pertarungan yang cocok untukmu. Jika saatnya tepat, dan engkau bisa selamat dari ronde ini, siapa tahu beliau akan memberikan lebih."
Perjalanan mereka berakhir di depan sebuah pintu besi berukuran besar, yang diperkuat pula oleh teralis baja. Hvyt berdiri di sisi pintu itu, tangannya menggenggam tuas yang terpasang di dinding. "Engkau sudah lolos dari pertempuran yang lebih buruk. Saya pribadi mengharapkan engkau bisa lolos dengan gemilang dari yang ini juga."
"Ah..." Nurin membenarkan kacamatanya. Wajahnya terasa panas karena malu. Ia yakin ucapan tadi adalah pujian, dan itu membuatnya semakin senang.
Ia berhasil mengatasi makhluk tanpa mulut yang kebal terhadap segala jenis serangan. Ia berhasil mengatasi dua gadis yang mampu menciptakan senjata dari udara kosong. Ia berhasil selamat walau tangannya diledakkan oleh senapan anti-tank. Apapun yang menantinya di balik pintu ini, ia akan mengatasinya.
Nurin menarik nafas, menghimpun kekuatan batinnya. "Baik. Mari kita coba."
"Semoga beruntung." Hvyt menarik tuas. Pintu besi itu terangkat terbuka dengan perlahan, sambil menimbulkan bunyi berisik yang mengingatkan Nurin akan suara metal diseret.
Kepercayaan dirinya terangkat, Nurin menunduk melewati pintu sebelum pintu besi itu sepenuhnya terangkat. Lawannya telah menantinya di dalam.
#1
Ruangan itu relatif sempit. Panjangnya lima meter, dan lebarnya hanya dua meter. Masih lebih besar dari kamar kos lama Nurin, tapi, setelah sebelumnya bertarung di gedung besar dan pulau terbuka, tempat kecil seperti ini memang terasa... menyesakkan.
Seperti kata Hvyt, ada senjata yang bisa ia gunakan di sana. Banyak sekali pula. Sebagian besar ditempel di dinding, sementara sisanya disajikan di atas permukaan meja, yang dijejer rapi di sisi-sisi ruangan. Sayangnya tak ada yang modern. Koleksi yang ditampilkan hanya sebatas senjata era kesatria, seperti pedang, tombak, palu tempur. Senjata paling modern hanya busur silang, yang kalau Nurin tidak salah ingat baru ditemukan menjelang era Renaissance. Mengingat ia hanya pernah menggunakan senjata-senjata seperti itu di game RPG, ini tak akan membantunya.
Setidaknya sih lawannya tak terlihat tangguh maupun menyeramkan. Di seberang depan ruangan, berdiri seorang gadis pendek. Dari wajahnya yang bersih, mata birunya yang lebar, dan pakaiannya yang mirip dengan seragam swasta di negara barat, Nurin memperhitungkan kalau sosok itu baru berusia belasan tahun, lebih muda darinya...
Nurin menggerutu pelan melihat kombinasi rok mini dan stoking sepaha yang dikenakan lawannya. Mungkin lawannya ini lebih tua dari perkiraannya. Mungkin juga lawannya ini sebenarnya model cosplay fan service yang berasal dari Akihabara. Satu-satunya tempat di mana ia bisa menolerir dandanan seperti itu hanyalah di acara cosplay, bukan di medan hidup-mati seperti ini.
Tapi toh... si mata pelangi yang ia hadapi di ronde sebelumnya juga tangguh walau pakaiannya kurang lebih sama dengan gadis berambut cokelat karamel ini. Jadi mungkin di alam lain, seperti inilah dandanan para gadis petarung.
Yang terpenting, tak ada tanda-tanda lawannya sudah mengenalnya. Malah, gadis berambut cokelat itu seperti mengabaikannya. Ia bersandar di pintu sambil membaca buku tebal. Sampul buku itu terbuat dari kulit hitam yang, kalau dilihat baik-baik, memiliki cetakan banyak wajah manusia...
Tunggu... Nurin tercekat begitu menyadari detil terakhir tadi.
Si Rambut Karamel mengangkat mata birunya dari halaman buku, hingga pandangannya bersirobok dengan Nurin. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. Nurin menelan ludah, tak pernah terbiasa melihat seseorang tersenyum saat mereka membelalak.
Terutama saat warna mata gadis itu berubah mendadak dari biru menjadi emas. Mulutnya terbuka, merapalkan paragraf dari buku yang telah lama terlupakan dengan suara seribu orang.
"And there stood The Dark Man, grinning ear to ear. At first Carter thought he saw only a mere shadow. But he was wrong..."
"H-hei!" Nurin menjerit.
"The shape is three dimensional in nature. The longer Carter stares, the more he realized that the black silhouttes shapes is merely the surface of the thing that he faced. Beneath that, there lies one thousand masks..."
Nafas Nurin memburu. Jantungnya berdegup kencang. Wajahnya memutih, sementara darah melarikan diri dari permukaan kepalanya. Cerita ini tak boleh dibaca sampai habis, apapun yang terjadi. Dalam paniknya, ia mengambil sebilah pisau dari dinding...
"For now he stood before the ones who has thousands of names. The Dark Pharaoh, The God of the Bloody Tongue..."
Sambil menjerit, Nurin berlari, mencoba menyerang gadis berambut karamel itu sebelum terlambat. Lalat-lalatnya sudah terlebih dahulu meluncur, mencoba menembus tubuh lawannya mendahului sang majikan.
Gadis berambut karamel itu menutup bukunya. "The Haunter in the Dark.... The Beast... The Dark Man..." di depannya Nurin sudah tinggal setengah meter. Di sekelilingnya, para lalat sudah mulai mencoba menggali tubuhnya. Tapi gadis itu bahkan tak bergeming. "Nyarlathotep."
Lalat-lalat Nurin terurai hingga lenyap. Nurin sendiri, yang sudah begitu dekat dari Si Rambut Karamel, tersentak mundur. Kedua lengannya, juga belati yang ia bawa, terkelupas dengan sangat cepat; pertama kulitnya mengering dan rontok, disusul dengan daging dan tulangnya, meninggalkan potongan bersih. Nurin pun terbaring di lantai beton yang dingin dengan tak percaya. Tubuhnya gemetaran, matanya membelalak, dan keringat dingin langsung turun membanjir dari dahinya.
"Halo, Nurin. Lama tidak bertemu," sapa Si Rambut Karamel.
"Kau... tidak... tidak mungkin..." kandung kemih Nurin bocor. Sensasi hangat terasa di selangkangannya sementara cairan tubuhnya membanjir keluar, mengotori celana jeansnya dengan bau pesing.
Gadis berrok pendek itu menyeringai. "Kenapa tidak?" mata birunya hilang. Ikat rambutnya terlepas sendiri, membiarkan helai rambutnya terurai bebas dan berubah warna menjadi hitam. Seragam sekolahnya melebur dengan tubuhnya dan juga kehilangan warna, hingga yang berdiri di depan Nurin hanyalah siluet hitam dengan gigi menyeringai.
"Lagi pula, kau yang memanggilku."
Nyarlathotep. Awalnya Nurin menganggap nama itu hanyalah nama asal, yang diucapkan oleh sosok khayalan dalam mimpinya. Namun ia dapat mengingat nama itu hingga ia tersadar. Ia bahkan dapat mengetikkannya ke Google walau silabel penyusunnya begitu rumit.
Dari Wikipedia, tertulis kalau Nyarlathotep adalah salah satu firaun Mesir di era lampau. Di bawah kepemimpinannyalah Mesir memulai langkah mereka menjadi peradaban terbesar di bumi di era itu. Ia bahkan sempat diabadikan dalam bentuk sphinx, yang dinamai "Hewan Agung Hitam." Namun sphinx itu dihancurkan saat penguasa muslim mulai mencengkeram daratan tersebut, dengan alasan patung itu memancarkan kejahatan luar biasa.
Nyarlathotep juga ditulis dalam buku yang baru saja dibaca gadis itu tadi, Necromicon, karya pria Arab bernama Abdul Al-Hazred. Dari potongan-potongan yang berhasil diperoleh, oleh sumber yang tak diketahui kebenarannya, dikatakan kalau Nyarlathotep adalah salah satu Tetua Semesta. Seperti kaumnya, dia adalah makhluk dengan kekuatan luar biasa yang sudah ada sejak jutaan tahun lalu, dan akan terus kekal hingga akhir masa sekalipun. Tapi, bila para Tetua Semesta lain hanya menganggap manusia sebagai butiran debu, dia lain. Al-Hazred mengatakan Nyarlathotep sangat tertarik dengan manusia, hingga makhluk hitam itu berpengaruh besar terhadap perjalanan sejarah bumi dari awal hingga era ditulisnya buku itu.
Walau makhluk itulah yang membangkitkan kekuatan Nurin, Nurin tak pernah menyukainya. Bahkan sebelum ia membaca cuplikan Necromicon, Nurin sudah merasakan ketakutan tak terbayangkan setiap berhadapan dengannya. Ini sensasi yang tak dirasakannya dari Hvyt maupun Thurqk, meski keduanya juga seharusnya adalah makhluk kosmis dengan kekuatan terbayangkan. Makhluk itu membangkitkan ketakutan yang sangat primal dari dalam dirinya, bagian dari kengerian genetis yang sudah menjalari nenek moyangnya dari era penciptaan.
"Aku tidak memanggilmu!" jerit Nurin panik.
"Benarkah? Bukankah kau menggunakan namaku untuk mengalahkan musuhmu?"
Benak Nurin membawanya kembali ke pertarungannya dengan Tanpa Mulut. Sementara kedua tangannya mencengkeram leher kurus gadis berambut panjang itu, ia memunculkan kenangan pertemuan pertamanya dengan Nyarlathotep, berharap itu dapat melumpuhkan lawannya yang tak mampu dilukai dengan apapun.
"Aku hanya menunjukkannya ingatanku!"
"Sama saja."
Lengannya hilang, Nurin hanya dapat menyeret tubuhnya mundur dengan mengandalkan punggung dan bokongnya. Satu persatu lalatnya yang tersisa mencoba menyerang makhluk itu, tapi mereka semua langsung sirna dengan begitu mudahnya, seakan mereka baru saja menerjang kehampaan semesta.
Tak semestinya ia mengunci matanya ke Nyarlathotep. Bahkan keberadaan makhluk itu saja dapat menggerogoti kejiwaannya. Namun sorot Nurin tak dapat beralih. Bentukan hitam di tubuh Nyarlathotep pun seakan surut, memperlihatkan tubuh Si Rambut Karamel yang seharusnya dihadapinya.
Nyarlatotep menunjuk kaki kanan Nurin. Dalam sekejap kaki itu pun terurai, meninggalkan paha atasnya dalam keadaan bersih. Sontak, Nurin pun semakin panik.
"Tenang, Manusia. Walau menyenangkan, aku tidak datang untuk mengganggumu kok," kata Nyarlathotep santai. "Aku hanya ingin mengajukan sebuah penawaran. Kalau kau setuju… mungkin aku malah akan membantumu."
Nurin hanya dapat terdiam, tak lagi punya cukup keberanian untuk bergerak. Padahal ia tahu ia tak akan menyukai tawaran apapun yang akan makhluk ini berikan untuknya.
"Alam ini…" Nyarlathotep mengangkat kedua tangannya. Wujudnya berubah menjadi gadis berambut perak dengan mata pelangi. "Menarik minatku. Terima kasih telah memberitahukanku akan keberadaannya. Rasanya akan menarik kalau aku mengambilnya. Siapa tahu aku memerlukan villa liburan untuk hari tuaku." Ia terkekeh, penampilannya berubah lagi menjadi seorang gadis berkulit hitam dengan riasan badut di wajahnya.
"L-l-lalu?" Nurin memaksakan diri untuk bertanya, walau ia sudah sangat ketakutan. "K-kau… ingin aku melakukan apa?!"
Nyarlathotep menempatkan kedua tangannya di belakang pinggang, sementara ia membungkuk dan menyeringai kepada Nurin. "Aku hanya ingin kau membantu membunuh penguasa tempat ini. Itu saja."
"Aku hanya manusia!" seru Nurin. Ia masih ingat bagaimana mudahnya Thurqk menangani kontestan-kontestan pecundang saat ronde berakhir. Tak terbayang bagaimana ia bisa menghadapi makhluk seperti itu sendirian. "K-kau kira aku bisa menghadapi Dewa?!"
Telunjuk Nyarlathotep menuding bibir Nurin, dan seketika itu pula gadis berkacamata itu kehilangan mulutnya.
"Untuk sekarang sih kau hanya perlu menang, menang, dan menang hingga kau mencapai final. Setelah itu, serahkan segalanya kepadaku." Nurin ingin membantah kata-kata itu, namun dengan lenyapnya mulutnya, ia bahkan tak dapat membuat suara apa-apa. "Heh. Ada apa ini? Apa kau merasa loyal terhadap makhluk itu?"
Lengan hitam Nyarlathotep meraih Nurin agar ia dapat membekap lembut tubuh tanpa lengan, kaki, dan mulut itu. Wujudnya kini berganti menjadi seorang wanita berambut putih dikuncir. "Ia sudah memaksamu bertarung. Jika kau kalah, ia akan mengeksekusimu dengan brutal. Tapi kau tetap lebih menyayanginya ketimbang aku, yang telah membangkitkan kekuatannmu. Bukankah itu tidak adil?"
Mata Nurin membelalak. Dinding dan langit-langit koridor itu sirna, hingga ia bisa melihat semesta tak terbatas. Ia dapat melihat galaksi, bulan, bintang, dan banyak matahari. Di pusatnya, ia menemukan sekumpulan tumpukan daging raksasa, yang terbang mengorbit tumpukan daging yang lebih besar. Kegilaan membakar cepat otaknya, namun Nyarlathotep memastikan kewarasan gadis itu tak terburu-buru pergi.
"Kau tahu apa yang akan dilakukan "Tuhan"-mu saat kau melayaninya, Manusia? Dia hanya akan menjadikanmu 'kepala penjara.' Kau hanya akan menjadi kaki tangannya dalam mengawasi petarung-petarung berikutnya, tidak kurang, tidak lebih." Mulut Nyarlathotep mendekati kuping Nurin. "Jika kau mau melayaniku untuk mengatasinya, maka aku akan memberikanmu kesempatan untuk menjadi Dewa. Kau akan menggantikan Thurqk di singgasananya. Kaulah yang akan memiliki alam ini di saat aku tidak ada. Kau akan bebas untuk menghancurkan dan menciptakan apapun di seluruh jagat ini. Menyenangkan, bukan?"
Kalau ia bisa, dan berani, menjawab maka Nurin akan tetap menggeleng. Sejauh ini Thurqk bersikap netral terhadap dirinya, tak pernah sekalipun menyakitinya karena ia selalu menang. Beda dengan Tetua Semesta yang dengan begitu leluasa menghancurkan lalat-lalatnya dan memutilasinya. Atas jaminan apa Nyarlathotep akan mematuhi kata-katanya?
"Bahkan, tak seperti Thurqk… aku sudah memberimu lebih banyak bantuan. Kalau kau sadar, aku sudah menunjukkan kepadamu kemampuan lawanmu. Aku bahkan akan menganugerahimu satu sihir, yang dapat membantumu memanggil kekuatan semesta."
Nyarlathotep membisikkan isi sihir itu ke kepala Nurin. Hanya dengan kata-kata makhluk itu membawa Nurin ke pusat semesta, di mana sekumpulan Tetua Semesta bersemayam. Kekuatan mereka bergabung, menjadi reaksi nuklir yang meledakkan bintang-bintang. Dari setiap tubuh yang tertidur, terdengarlah nama-nama yang tak semestinya diketahui manusia: Azathoth, Gaganothoa, Y'Gollonac. Otak gadis itu langsung memanas, sementara darah mengalir dari sisi mata dan hidungnya.
"Tapi tentu, itu tidak berarti kau pasti akan menang."
Nyarlathotep melepaskan Nurin dan membiarkan gadis itu telentang di lantai. "Toh bahkan dengan sihir itu sekalipun ada banyak kemungkinan kau akan tersingkir terlebih dahulu. Karenanya tak apa-apa jika kau tak bisa memutuskan jawaban atas tawaranku." Di sekelilingnya, tembok dan dinding kembali tersusun, menutup semesta. "Jika nanti kau menang dari ronde ini, dan terus melaju hingga kau berkesempatan berdialog langsung dengan sang tuan rumah… maka aku akan kembali."
"Hanya satu yang perlu kau ingat, Manusia. Apapun yang terjadi, meski tak seorang pun di alam ini memandangmu…" seringainya semakin lebar. "Aku selalu mengamatimu." Ia menggoyang-goyangkan telunjuknya. "Jika kau masih bertekad setia kepada Thurqk, akan kuberi kau satu nasihat: ia tak seperkasa kelihatannya. Kau akan mengetahuinya sendiri nanti, saat kebenaran akan dirinya terungkap. Kalau kau bisa bertahan hidup tentu."
Dan dengan entengnya Nyarlathotep menghilang menjadi kabut hitam, meninggalkan Nurin dalam kesendirian.
#2
Begitu Nurin mengedipkan mata, ia tak lagi terbaring di lantai. Ia kembali berdiri di dekat pintu masuk ruangan sempit itu, dengan kedua kaki utuh. Lengannya masih berada di tempatnya, dan demikian pula dengan bibirnya. Belati pilihannya masih tersarung di dinding. Celana jeansnya masih relatif bersih, tak ada tanda-tanda telah dikotori air seninya sendiri. Bahkan lalat-lalatnya pun masih mengelilinginya dengan riang, seakan tak terjadi apa-apa.
Apa?
Nurin melepaskan kacamatanya agar ia bisa terlebih dahulu menyeka pengelihatannya. Tak mungkin yang tadi itu hanya mimpi. Tak mungkin. Sebagai manusia, ia sudah tahu apa itu mimpi buruk. Mimpi buruk tak akan terasa senyata tadi. Ia bahkan tahu apa itu sleep paralysis dan halusinasi parah, akibat kelelahannya belajar untuk menjelang UAN dan SNMPTN. Tetap saja keduanya tak terasa seperti itu.
Itu tadi nyata. Lengannya terurai, kakinya terurai, mulutnya sirna, seluruh lalatnya mati… tapi dia masih di sini, seakan semua itu tak terjadi. Ya, ia sudah mengalami yang seperti ini sebelumnya, saat Hvyt menyembuhkannya di akhir ronde satu. Tapi dihadapkan pada situasi seperti ini karena makhluk yang bahkan tak seharusnya dapat masuk ke sini membuatnya bergidik ngeri.
"Jadi… kaukah lawanku di ronde ini?"
Nurin begitu panik hingga ia tak sadar dirinya tak lagi sendiri di ruangan ini. Begitu suara tadi terdengar, ia buru-buru mengenakan kembali kacamatanya dan mengangkat dagunya agar ia bisa melihat siapa yang berbicara.
Rahang gadis berkacamata itu menganga. Rona wajahnya kembali menjadi pucat pasi. Bahkan akalnya pun melarikan diri untuk sesaat, melemparkan kendali tubuhnya sepenuhnya ke instingnya untuk bertahan hidup. Yang berdiri di hadapannya adalah si gadis dengan rambut cokelat karamel; sosok yang kemunculannya baru saja menyebabkan peristiwa mengerikan barusan.
Nurin beringsut ke kiri. Ia jatuhkan semua persenjataan dari meja kayu terdekat yang dapat diraihnya, lalu ia tarik paksa benda itu hingga jatuh dengan permukaan menghadap Si Rambut Karamel. Sambil gemetaran memegangi belati, Nurin meringkuk di belakang benda itu. Ia begitu trauma dengan pertemuannya bersama Nyar…
Tidak.
Tidak tidak tidak…
Sang Pharaoh Hitam. Sang Monster. Apapun itu, Nurin tak ingin menggunakan nama asli makhluk mengerikan itu. Ia begitu trauma dengan pertemuan tadi, hingga ia mengira makhluk itu sengaja mengulang lagi segalanya hanya agar Nurin menderita. Nurin pun sampai memejamkan mata dan menyebutkan nama Thurqk, semata mengharapkan perlindungan.
"Kau… takut?" si gadis berambut cokelat karamel bertanya keheranan.
Berbeda. Suaranya berbeda. Cara bicara gadis berambut cokelat ini lebih terdengar seperti seorang gadis manis normal, bukan seperti tadi. Tetap saja Nurin tak bisa tenang.
"Rasanya ini pertama kali ada kontestan yang takut begitu melihat penampilanku. Sebenarnya agak menyebalkan, tapi…" desah nafas. "Aku jadi tidak tega untuk menyakitimu. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa ronde sebelumnya sudah begitu menghancurkan jiwamu?"
Nurin mengangkat tangan kirinya. Ia mulai merapal mantera sihir yang tadi dibisikkan oleh Sang Makhluk Hitam kepadanya. Wahai Tetua Semesta, para penghuni pusat antariksa, dengarkan perintahku saat aku memanggil kekuatanmu."
"Tapi, maaf…" Si Rambut Karamel terus bicara.
" Dengarkan aku Azat…"
Baru sampai di bagian itu, Nurin kembali dapat melihat wujud semesta. Ia tengah mengambang di luar angkasa, di tengah kehampaan tak terbatas. Sumber cahaya yang datang hanya dari ledakan-ledakan tanpa henti di pusat, itu pun membakar matanya.
"Ada misi yang harus kupenuhi, jadi aku tak akan mengalah begitu saja.." Di luar pengelihatan Nurin, Si Rambut Karamel memanggil keluar sebuah buku tebal. "Tapi jangan khawatir, akan kupastikan kau akan mati tanpa rasa sakit."
Lalat-lalat Nurin terbang mengelilingi majikan mereka, menanyakan apa yang harus mereka lakukan sekarang. Dan Nurin pun sepenuhnya menghentikan rapalan manteranya. Ia sudah dicengkeram ketakutan yang begitu luar biasa, hingga ia bahkan tak berani menyebut nama sejati Sang Makhluk Hitam di benaknya. Apa bagusnya mencoba menggunakan sihir yang diajarkan makhluk itu?
"Swordsman of the Red Plain!" si gadis menyerukan sesuatu. Nurin terlalu tenggelam di ketakutannya sendiri hingga ia tak mendengarnya.
Nurin mengingatkan dirinya kalau ia bisa melewati ronde satu dan dua tanpa sihir tadi. Ronde ketiga ini pun akan sama. Bukankah satu kali saja sudah cukup untuk memahami betapa tak bijaksananya menggunakan bantuan Tetua Semesta, bahkan walau bantuan itu hanyalah kenangan?
"Heeding their call, the white robed figure arrived. The villagers stood in solemn vigil, for they knew her appearance means death. Yet they understood-"
Gigi-gigi Nurin bergemeletuk begitu mendengar gadis itu membacakan cerita. Bukankah ini awalnya Nyarlathotep menampakkan diri? Bagaimana jika kekuatan sejati gadis berambut cokelat karamel itu pun mewujudkan cerita menjadi nyata? Ia harus melakukan sesuatu.
"They understood that it was necessary, for their hero couldn't meet his end any other way. He was tired, bruised, beaten. It was time for him to depart from this world, and it would be good if he does so painlessly, after all the suffering that he endured…"
Di sebelah Si Rambut Karamel, perlahan-lahan tercipta sosok jangkung besar yang diselimuti jubah putih. Tubuhnya memancarkan cahaya pelangi. Alih-alih takut, melihat sosok asing itu mendatangkan rasa nyaman di hati Nurin. Rasanya seperti tengah menyaksikan kedatangan kerabat jauh yang ia sukai, setelah sekian lama tak berjumpa…
Tapi Si Rambut Karamel mengatakan jelas-jelas kalau makhluk itu adalah pemberi kematian, yang dipanggil untuk menjemput seorang makhluk yang – sepertinya – abadi. Ia tak bisa tenang. Nurin memejamkan mata, mengumpulkan segenap kekuatan di dalam dirinya. Lalu ia biarkan gas berwarna hijau meresap keluar dari pori-porinya, dengan cepat menyebar dan memenuhi ruangan tertutup itu.
Sebelum Si Rambut Karamel sempat mengucapkan kalimat terakhir, pembacaan ceritanya terlebih dahulu terpotong. Kemunculan mendadak gas kehijauan itu membuatnya terbatuk. Sosok berjubah putih tadi pun lenyap sebelum tercipta sepenuhnya.
Untuk memastikan lawannya tak sempat bercerita lagi, Nurin melepas lalat-lalatnya untuk menyerang. Ia dapat mendengar decakan lawannya, yang sudah dapat menebak makhluk-makhluk itu berbahaya walau ia belum terkena serangan mereka.
"Ensiklopedia Britania volume satu hingga sepuluh!" jerit lawan Nurin di antara batuknya.
Kemampuan Si Rambut Karamel bukan hanya memanggil makhluk lain. Nurin baru menyadari itu saat ia melihat si gadis memunculkan sekitar sepuluh buku tebal, yang melayang di sekelilingnya. Buku-buku itu berotasi, membentuk "cincin" yang melingkari tubuh si gadis dengan kecepatan tinggi. Lalat-lalat yang tak sempat mengantisipasi modus pertahanan tiba-tiba itu pun hancur ditabrak sampul keras masing-masing buku.
Lalat-lalat yang tersisa memutuskan untuk mundur dan menyebar, mencari celah lain. Nurin, yang memerintah mereka, pun mengintip dengan penuh antisipasi, ingin segera melihat lawannya itu tergelepar karena efek racun atau mulai digerogoti anak buahnya.
Walau tubuhnya mulai merasakan gejala awal penyakit Nurin - demam, mual, dan pusing – Si Rambut Karamel tak mau menyerah begitu saja. Ia sudah melalui pelatihan yang tidak ringan hanya untuk memperoleh kekuatannya, hingga ia bisa menolerir sakit seperti ini saja. Karena lalat-lalat Nurin masih bersikap waspada, ia memutuskan untuk berinisiatif menyerang duluan.
Tadinya gadis berambut cokelat karamel itu membawa pisau dan pistol. Keduanya disita di luar, karena Hvyt pengantarnya berkeras ia harus menggunakan senjata di ruangan ini. Melihat seperti apa senjata yang disajikan, gadis itu tak mempermasalahkannya.
Pertama-tama tangan kiri gadis itu terarah ke meja yang digunakan Nurin sebagai tempat perlindungan. Ia menarik tangannya dalam gerakan menyentak, dan seketika itu juga meja tadi terlontar ke arahnya. Kesepuluh jilid Ensiklopedia Britania jatuh berdebuk ke lantai, karena gadis itu tak mampu mempertahankan gerakan mereka dan memindahkan obyek lain sekaligus. Tapi itu tetap membantunya, karena permukaan meja tadi mengenai beberapa lalat yang terkejut.
Begitu perlindungannya tersingkap, Nurin menyadari dirinya berada di ujung tanduk. Ia mengibaskan lengan, memerintahkan para lalat untuk menyerang sekarang juga. Ia sendiri buru-buru mencoba berlari ke sisi ruangan untuk mengambil busur silang…
Di depannya, si gadis berambut cokelat karamel tahu kalau pertahanannya juga terbuka. Alih-alih mendirikan lagi tembok Ensiklopedia Britania, gadis itu menggerakkan sebilah belati dari dinding dengan telekinesisnya, lalu melontarkannya untuk mengenai Nurin.
Nurin, yang baru saja meraih busur silang, dapat merasakan kedatangan senjata tadi. Ia memutar tubuhnya sedikit, hingga pandangannya menghadap ke arah lawannya. Busur silangnya tergenggam kuat di dada… dan menyelamatkannya dari kematian. Bilah belati menancap dalam di batang kayu itu, ujungnya nyaris mengenai kaus Nurin. Terlambat sedikit saja, senjata itu akan melesak masuk mengenai paru-paru Nurin.
Di saat bersamaan, Si Rambut Karamel meliuk, mencoba menghindari serangan lalat yang berdatangan. Tapi, segesit apapun ia mengelak, beberapa lalat itu sudah terlanjur menemukan sasaran mereka. Satu menembus kain lengan gadis itu dan mulai menggerogoti dagingnya, sementara satu lagi mendarat di daerah bawah tengkuk dan melakukan hal yang sama. Itu belum memperhitungkan lalat-lalat lain, yang masih getol mencoba menyerang menyusul "saudara" mereka.
Gadis itu kembali memanggil Ensiklopedia Britanianya untuk membantu. Ia gerakkan kesepuluh buku itu dengan cepat untuk mengelilingi tubuhnya, sementara nyeri mulai menggerogoti lengan dan punggungnya. Rasa jijik tak terlukiskan membuat gadis muda itu mual sendiri. Ia tak terima ada lalat berada di dalam tubuhnya, jadi ia menempatkan penghancuran mereka sebagai prioritas utama.
"Ensiklopedia Superhero!" seru gadis itu, memunculkan buku besar dengan sampul yang menampilkan pahlwan-pahlawan super dari berbagai era.
Nurin melempar busur silangnya. Ia diburu waktu, jadi ia tidak mau mencoba mengetahui apa belati di tubuh senjatanya mempengaruhi performa senjata itu atau tidak. Lebih mudah mengambil baru.
Si Rambut Karamel membuka cepat ensiklopedia besar di tangannya, hingga ia sampai di bagian seorang manusia dengan tiga bilah tajam tumbuh di masing-masing tangannya. "Tubuhnya memiliki kemampuan regeneratif luar biasa!"
Sementara gadis itu mulai membaca, Nurin mengambil anak panah. Dengan susah payah, ia mencoba menempatkan anak panah itu di slot luncuran, berharap yang ia lakukan ini benar. Jika busur silang ini jenis yang modern, melakukan itu akan sangat mudah. Ini benar-benar busur silang dari era sebelum renaissance. Ia harus terlebih dahulu menempatkan busurnya di tanah dan memasang "amunisi"-nya dari posisi itu.
…namun tiba-tiba ia memikirkan sebuah gagasan.
"Tubuhnya mampu beregenerasi, menyembuhkan luka-luka yang ia derita dengan cepat!" satu lalat berhasil menemukan celah dan mendarat di pipi gadis itu. Satu lagi mendarat di pahanya dan mulai menggali di sana. "Kalau ada obyek asing, seperti peluru, memasuki tubuhnya, maka sel regeneratifnya antara akan menghancurkan obyek itu atau mendorongnya keluar!"
Kesepuluh buku Ensiklopedia Britania kembali jatuh. Gadis itu tak lagi membutuhkannya. Dagingnya yang sudah tertembus kembali tumbuh, menghancurkan lalat dan juga telur-telur yang tak ia sadari sudah ditanamkan di dirinya. Ia mengharapkan kemampuan itu juga mampu membantunya sembuh dari racun…
"Arh…" tapi, reaksi yang didapatinya justru menyakitkan. Wabah Nurin yang telah terlanjur tumbuh di dalam dirinya juga memiliki kemampuan regenerasi. Saat sel penyembuh dan penyakit yang sama-sama bisa memulihkan diri berbentrokan, ia justru merasakan sakit yang lebih hebat dari sebelumnya.
Meski begitu, dengan begini ia bisa berkonsentrasi untuk mengalahkan lawannya…
Anak panah kayu melesat cepat, mengenai dada gadis itu dan melubangi jantungnya. Eh? batinnya kebingungan. Pembacaan ceritanya, jelas, memberikan terlalu banyak kesempatan bagi lawannya. Tapi tak masalah. Seharusnya jantungnya dapat beregenerasi sekaligus menolak keberadaan anak panah di dadanya.
Seharusnya begitu.
Tapi kali ini Nurin bereksperimen. Terlihat telapak tangannya meneteskan darah, karena ia tadi menggoreskan terlebih dahulu belati ke sana. Tetesan-tetesannya ia lumurkan ke ujung anak panah di saat lawannya asyik membaca. Darah penuh wabah Nurin pun masuk langsung ke dalam target sasarannya. Jika liurnya saja bisa berakibat fatal, ia bayangkan cairan tubuhnya yang satu itu bisa menimbulkan efek parah juga.
Lawannya masih bisa menggunakan kekuatannya untuk mencabut anak panah itu, membiarkan kemampuan regenerasi barunya untuk bekerja. Sementara tubuhnya mencoba menghadapi penyakit Nurin, juga tetesan darahnya, gadis berambut cokelat karamel itu memutuskan untuk mengakhiri pertarungan ini secepat mungkin…
Nurin mengambil pemukul kayu dari dinding. Mendengar lawannya memunculkan kemampuan regenerasi, ia berniat untuk menghancurkan otak dan jantung gadis itu terlebih dahulu untuk memastikan ia tak bisa bangun kembali. Tapi, baru sempat mengambil enam langkah, satu jilid Ensiklopedia Britania menghantam wajahnya, menggeser posisi tulang hidungnya sekaligus meretakkan kacamatanya. Ia pun jatuh terjengkang.
Si Rambut Karamel menggerakkan meja perlindungan Nurin tadi dan mengangkatnya tinggi-tinggi, hendak menggunakannya untuk menghajar gadis berkacamata di hadapannya. Hidungnya merasakan bau besi, karena ada partikel darah yang turut keluar bersama udara dari paru-parunya. Tubuhnya pun kian lemas dan masih ada rasa sakit di dadanya. Tapi asal ia bisa mengatasi lawannya…
Sial baginya, lalat-lalat Nurin justru memanfaatkan momen itu untuk menyerang. Mereka menembus lengan, dada, perut, hingga punggung gadis berambut cokelat itu, tak memedulikan bahwa masing-masing hanya akan digencet hingga hancur saat setiap organ yang terluka pulih. Rasa sakit serentak itu membuyarkan konsentrasi si gadis, hingga meja yang sudah ia angkat itu hanya terjatuh di depannya.
Nurin mengalami sakit kepala hebat. Pernafasannya jadi sulit karena saluran peredaran udara utamanya terganggu. Pengelihatannya pun menjadi buram. Saat ia menyeka hidungnya dengan tangan kiri, jemarinya dilumuri darah. Tetap ia mengambil pemukulnya dan bangkit, menyadari betul kalau lalatnya semakin sedikit. Saat kedua kakinya sudah menginjak tanah, ia langsung melesat.
Satu buku Ensiklopedia Britania terlontar asal, menghantam perut Nurin. Tak apa, rintihnya dalam hati. Terus ia melaju, semakin dekat dengan lawannya.
Pandangan Si Rambut Karamel berbayang. Aliran darah berbaur cairan kehijauan mulai menetes dari hidungnya, membasahi kemeja putih dan rompi hitamnya. Tapi ia masih bisa bertarung. Dipanggilnya satu lagi belati dari dinding untuk melindunginya. Saat ayunan pemukul Nurin datang, ia merunduk. Serangan itu terlalu lambat, lemah, dan amatir, memungkinkannya untuk menyerang balik.
Mata bilah menembus perut Nurin. Darahnya mulai mengalir keluar dari tubuh, begitu pula dengan cairan lambungnya, yang menyentuh dinding luar usus dan memberinya sensasi sakit luar biasa. Tak sampai di situ, Si Rambut Karamel memuntir bilahnya, memastikan luka yang ia torehkan akan sulit untuk ditangani.
Nurin masih memiliki celah untuk menyerang, dan ia tak ragu untuk memanfaatkannya. Tepat di saat Si Rambut Karamel memuntirkan pisau, ia tempelkan telapak tangan kirinya yang masih dilumuri darah hidung tepat ke mata lawannya.
Kesakitan, gadis berambut cokelat itu mendorong Nurin menjauhinya. Ia mencoba menyeka matanya, tapi darah Nurin masih membandel, membusukkan perlahan organ pengelihatannya itu.
Nurin semakin merasa sulit untuk berdiri. Tikaman tadi membuat bagian bawah tubuhnya kehilangan kekuatan. Tapi, untuk saat ini, ia masih disokong oleh adrenalinnya yang terpacu kencang. Ia masih bisa mengambil langkah maju…
Si Rambut Karamel mencoba untuk menggerakkan buku-buku Ensiklopedia Britania. Rasa sakit, juga wabah di dalam darahnya, yang memburuk menghalanginya. Buku-buku itu hanya bergetar di atas lantai, tak bergerak. Ia semakin tak berkutik ketika kemudian para lalat memutuskan menyerang lehernya agar ia tak berbicara.
Sebisanya, Nurin mengayunkan pemukul. Ia ingat hasil ajaran dari tim kampusnya, yang hanya ia ikuti sebulan sebelum bosan. Serangan itu telak mengenai pelipis lawannya. Gadis berambut cokelat karamel itu bahkan tak menyadari kedatangan pemukul berat itu. Otaknya terguncang dan tulang orbitalnya retak, memungkinkan bola mata kanannya untuk terjulur sedikit keluar.
Kaki kanan Nurin sudah berada di batas kekuatan. Kaki kirinya gemetaran. Tetap ia bersikukuh. Masih bisa, masih bisa!
Ayunan keduanya datang dari arah yang sama, dengan kekuatan yang jauh lebih berkurang dari tadi. Tetap, kokohnya kayu itu meretakkan total sisi kanan tulang penyangga mata lawannya, hingga kini bola mata biru gadis itu benar-benar tergantung keluar. Bagian pelipis kepalanya pun melesak dalam, hingga dia terjatuh.
Nurin ikut jatuh berlutut. Ia mencoba berdiri lagi, agar ia bisa menginjak habis kepala gadis berambut cokelat karamel itu. Tapi usahanya gagal. Ia telah memaksakan kedua kakinya tadi, dan kini mereka sudah sepenuhnya kehilangan kekuatan. Bahkan sekedar duduk pun sulit karena punggungnya mulai bermasalah.
Melihat bola mata dan tulang kepala lawannya mulai tersusun lagi, Nurin tahu ia juga tak bisa duduk-duduk santai.
"Aaaaaaah!"
Dari posisi itu, ia mengayunkan pemukulnya dari atas ke bawah. Mata kanan lawannya hancur, tulang kepalanya semakin retak, dan giginya terlontar keluar.
Aku menang!
Tak puas sampai di situ, Nurin mengayunkan pemukulnya lagi. Kemudian lagi. Dan sekali lagi. Lengannya mulai ngilu. Di dekat lututnya, kepala lawannya semakin tak terlihat seperti wujud kepala manusia.
Aku menang tanpa bantuanmu! seru suara hatinya keras. Di benaknya kembali terbayang wujud Sang Monster Hitam, yang menyeringai lebar. Terdengar kembali di telinganya bisikan mantera sihir yang makhluk itu coba ajarkan. Tapi ia tak menggunakannya. Ia datang ke pertarungan ini sebagai Nurin, dan ia memenangkan pertarungan ini sebagai dirinya sendiri. Ia tak menggunakan kekuatan yang didatangkan dari antah berantah hanya untuk mengalahkan seorang siswi sekolah.
Tapi, tetap saja ia menggunakan kekuatan gas yang dibangkitkan oleh makhluk itu. Tetap saja ia harus mengandalkan sekumpulan lalat, yang sejauh ia ingat, juga muncul akibat kekuatan makhluk itu. Sejak awal, dirinya memang hamba Sang Monster Hitam. Tak heran makhluk itu masih mampu menghubunginya, bahkan setelah kematian.
Begitu lengannya terlalu lelah untuk mengayunkan pemukul, Nurin ganti menggunakan tangan kosong untuk mengenai kengerian yang ia ciptakan di atas leher lawannya. Bahkan rambut cokelat karamel gadis itu pun tak lagi terlihat jelas karena dikotori oleh cairan kepalanya. Ia ingin melampiaskan segala kekesalannya terhadap Sang Monster Hitam kepada lawan yang telah sepenuhnya ia taklukkan itu.
Nurin merasakan sepasang lengan membekapnya dari belakang. Kulit kedua lengan itu merah menyala. Dada yang ia sandari terasa bidang dan kokoh.
"Sudah cukup. Kau memenangkan pertarungan ini," Hvyt menyampaikan. "Tak perlu terus-terusan memukuli mayat."
Baru setelah ia mendengar itu, Nurin dapat melepaskan kemarahannya untuk sesaat. Ia biarkan saja Hvyt terus memeganginya, sementara ia membiarkan sekujur tubuhnya untuk rileks…
#3
Nurin mengikuti Hvyt meninggalkan ruangan pertarungan. Kedua lengannya tersilang di depan dada, masing-masing tangan dikepit oleh ketiak. Ia masih agak gemetaran setelah apa yang baru saja dilaluinya, dan itu memancing minat makhluk merah bersayap di hadapannya. "Baru pertama kali ini kau terlihat seperti itu. Apa lawanmu sedemikian merepotkan?"
Pertanyaan itu tak langsung dijawab. Nurin, yang kini tak dihadapkan pada situasi hidup atau mati, dibiarkan "bebas" oleh benaknya untuk mengingat kembali pengalaman traumatis yang justru ia dapatkan sebelum pertumpahan darah. Ia sempat ragu haruskah ia menyampaikan ini, tapi... setelah menimbang-nimbang kurang dari satu menit, ia sadar kalau tindakan terbaik yang bisa ia laporkan adalah menyampaikan pelanggaran alam seperti itu ke panitia turnamen.
"Nyarla... Nyarlat..." Nurin mencoba bicara, hingga ia teringat betapa tak bijaksananya mengingat, apalagi menyebutkan, nama itu.
Hvyt berhenti berjalan. "Ada apa?"
"Sang Monster Hitam, dia... dia menampakkan diri! Dia menampakkan diri di depanku! Dia menghancurkan lenganku, dan... dan..."
"Tenang," perintah Hvyt. Meski lembut, ada ketegasan dalam nadanya yang membuat histeria Nurin cukup reda. "Apakah yang kau maksud ini salah satu Tetua Semesta?"
"Ya! Ya, dan dia... dia..."
"Kalau memang ada makhluk seperti itu menampakkan diri di sini... kami pasti tahu. Tidak, Dewa Thurqk pasti tahu. Tapi tak ada indikasi bahwa telah terjadi hal seperti itu dalam pertarunganmu."
"Aku tidak berbohong!" seru Nurin sengit.
Hvyt menatap Nurin lekat-lekat, mengamati ketakutan di wajahnya. "Harus diakui, memang ada satu tempat di mana makhluk seperti itu bisa muncul."
"D-di ruangan tadi?"
"Bukan." Telunjuk Hvyt mengetuk pelipisnya. "Di kepalamu."
Urat kepala dan leher Nurin menegang. Ia menyampaikan keluhan ini karena ia ketakutan, beraninya sang Hvyt menganggapnya seperti itu. "Aku juga tidak gila, makhluk kepara-"
Hvyt membuka sayapnya dan mengepakkannya, menghembuskan angin kencang yang mendorong Nurin dan mengingatkan gadis itu akan kedudukannya di tempat ini. "Biar bagaimanapun, kemungkinan kegilaan itu nyata dan tak bisa dikesampingkan begitu saja. Tapi bukan hanya itu yang kumaksud. Bila engkau pernah berhubungan dengan makhluk seperti itu, mungkin saja dia menggunakan kenanganmu atas dirinya untuk mewujud di benakmu."
Dan Nurin pun terhenyak. Ia masih mengingat jelas bagaimana setelah konfrontasinya dengan makhluk hitam itu segalanya kembali menjadi normal. Seluruh cideranya lenyap, lalat-lalatnya kembali, dan ia sepertinya baru menapak masuk ke dalam ruang pertarungan. Apakah benar itu yang terjadi? Apakah Sang Monster Hitam memang memanfaatkan kenangannya tentang makhluk itu untuk mewujud di dalam khayalannya?
Jika benar begitu, bagaimana ia bisa merasa aman sementara kenangannya akan makhluk itu tetap bercokol di otaknya?
"A-apa kau bisa menghapus ingatanku?" tanya Nurin. "Makhluk itu... aku tak ingin dia muncul lagi dan-"
"Tak perlu. Menghapus ingatanmu bukan masalah sulit bagi Dewa Thurqk Yang Maha Perkasa, tapi melakukannya sekarang bisa mempengaruhi kemampuanmu dalam menyajikan hiburan." Hvyt kembali berbalik dan berjalan, merasa persoalan Nurin sudah teratasi dengan informasinya sebelumnya. "Bila dia datang lagi, kau hanya tinggal menyerahkan dirimu kepada kemurahan hati Dewa Thurqk. Biar bagaimanapun, kau, sama seperti kami, adalah hambanya yang setia, bukan?"
"Y-ya..." Nurin menelan ludah. "Ya, benar."
Ia akan menjadi hamba Thurqk. Itulah yang akan ia lakukan. Bila makhluk itu kembali mewujud dari sudut ingatannya yang terdalam, ia akan coba menggunakan kemampuan dewanya untuk mengusir makhluk sadis itu untuk selamanya. Jika ketakutan mulai melandanya, akan ia panjatkan doa kepada dewa merah yang dipuja para Hvyt itu agar ia diselamatkan.
Tapi, walaupun ia tak akan mengakuinya, tawaran Sang Monster Hitam sudah terlanjur bercokol di dalam diri Nurin. Menggantikan Thurqk sebagai penguasa tempat ini. Bagian perjanjian yang itu sangat menggoda. Nurin akan duduk di atas singgasana tinggi, menyaksikan sekumpulan jiwa rendahan bersujud di hadapannya. Dan ia akan melakukannya sebagai dewa, bukan sekedar penjaga alam, juara kelas, juara atletik, maupun juara kontes kecantikan.
Ego Nurin memastikan tawaran itu tetap bercokol di hatinya, diresapi perlahan oleh akalnya, dan berpotensi untuk membesar.
Eeeh, saya sempet bingung baca ini. Jadi sebenernya ada dua segmen - yang pertama Nurin masuk dan ketemu Nyarlathotep, tapi itu semua sebenernya ga bener" terjadi secara fisik, dan baru yang kedua actual battle vs Carol? Cmiiw
ReplyDeletePercakapan antara Nyarlathotep sama Nurin lumayan menarik, bahkan indikasi kalo bakal ada pihak greater evil dari Thurqk yang bakal ikut main di canon ini. Cuma begitu masuk battle lawan Carol sendiri, saya kurang impressed. Berasa, gimana ya, agak melelahkan dan bahkan cenderung kurang menarik buat saya baca. Mungkin karena berantemnya intens dengan deskripsi dan ga nyisain ruang buat dialog dll
Nilai nyusul nunggu entri lawan muncul
Shared score dari impression K-11 : 7,3
ReplyDeletePolarization -/+ 0,1
Karena saya lebih suka entri Carol, jadi entri ini saya kasih -0,1
Final score : 7,2
Ferrum : "Keren, aku suka bagian deskripsi Nyarlahotep itu. Gayanya mirip sekali dengan Michael Scott saat mendeskripsikan para Elder di novel Secret of Immortal Nicholas Flamel!"
ReplyDeleteLimbo : "Hmm... kau ini sedang membicarakan apa?"
Ferrum : "Pokoknya aku suka teknik deskripsi dan narasinya. Alur ceritanya juga. Rupanya ada makhluk besar lain yang akan menjadi saingan Thurqk di akhir. Tetapi pertarungannya..."
Limbo : "Oh, aku suka pertarungannya. Penuh darah dan organ. Seperti inilah yang namanya pertarungan. Aku juga suka Nurin, hatinya jujur sekali. Semua orang memang menginginkan kekuasaan, bagaimana pun cara mendapatkannya. Kuberi nilai 9."
Ferrum : "He... Hei, bukannya sekarang giliranku untuk memberi nilai?"
Limbo : "Sekarang? Sudah, lain kali saja. Lagipula karena ini pertarungan satu lawan satu, kan lebih adil kalau nilainya berasal dari pertimbangan satu orang."
Ferrum : "Adil? Kau hanya serakah... Seenaknya sendiri..."
Nilai = 9
saya tahu Fachrul sedang gandrung Lovecraft universe, jadi ga heran Nyarlathotep muncul di sini :3 lalu Fachrul berhasil menggabungkannya dengan universe yang dirancang panitia untuk BoR season ini
ReplyDeletekeistimewaan cerpen ini adalah Fachrul jelas mempersiapkan perkembangan karakter Nurin untuk menjadi juara, keseluruhan cerpen ini mengangkat itu
tapi di sisi lain Fachrul jadi kurang memberikan ruang bagi Carol untuk menunjukkan kepribadian dan motivasinya
penulisan rapi, narasinya membuat saya benar-benar bisa merasakan kengerian Nurin, sayang detail battlenya agak bikin mual :v
Nilai: 8.5
Nurin seharusnya imba di pertarungan ruang tertutup, tapi tetap saja ini jadi pertarungan yang menarik. Pertarungan ini sebetulnya agak diluar dugaan, saya kira bakalan pakai strategi khusus, ternyata head-on adu stamina sama orang yang udah keracunan...
ReplyDeleteScore 8
ternyata nurin mau hapus ingatan jg :3
ReplyDeletesuka bgt pas bagian awal nurin jd paranoid, suka jg sama battle kedua walopun carolnya kurang menonjol
tp abis baca ni jd ikut dukung nurin sbg supervilain yg bakal lbh jahat dari thurqk :D /
nilai 8,5
Entri kedelapan :3
ReplyDeleteAh.. Nurin… salah satu OC balance yg paling imbalance menurut saya.
Kenapa kak?
Soalnya, ketika saya baca nurin, saya paham bahwa dia bener2 tokoh utama yg ada dekat kita. Bersama kita. Dia bukan tipikal superman yg bisa ngangkat pesawat atau (katakanlah) batman yg punya duit banyak, badan kuat, trus ngebasmi kejahatan. Minjem istilahnya goenawan Mohamad, dia kayak tintin, pahlawan yang tak lebih rapuh dari kue sus. Dan ini yg bener2 saya suka. Bravo buat kakak!
Narasi, diksi, lain2 ga ada masalah. Saya suka dengan part 0 dari cerita ini. Battlenya epic, menurut saya. Khusus buat Carolnya, dia ngomong pake bahasa inggris itu sesuatu :3
Untuk nilai, saya ngasih: 8.25
Semangat kak :3
:*
ReplyDeleteijin nyimak gan info nya
ReplyDeletemenarik dan bermanfaat nih, di tunggu update selanjutnya
terimakasih