May 19, 2014

[ROUND 2 - RYAX] EMILS - THE KEY OF SIN

[Round 2-Ryax] Emils
"The Key of Sin"
Written by Mocha H.

---

Devasche Vadhi, nama untuk sebuah pulau yang dihuni oleh seorang  dewa bernama Thurqk. Di pulau yang berwarna kemerahan inilah, sebuah kastil megah didirikan. Sebuah kastil yang melambangkan "Kekuatan" dari dunia ini.

Lima puluh mil dari pulau ini, terdapat sebuah gugusan pulau yang terdiri atas tujuh buah pulau kecil. Masing-masing pulau itu mewakili hasrat terbesar mahluk hidup, karena itulah lingkaran pulau ini disebut Satha Pranagathak atau dikenal sebagai Seven Deadly Island. Enam dari tujuh pulau kecil itu mengitari satu pulau terbesar yang menjadi pusat dari gugusan pulau itu, karena lokasi geografis inilah ada sebagian menyebutnya The Ring of Sin.

Pulau yang menjadi pusat The Ring of Sin adalah pulau Ryax. Pulau yang melambangkan kesombongan, "Pride" dan harga diri. Ryax memiliki arti lari sebelum bertarung, Lari dari sebuah pertarungan, meninggalkan teman-teman dan keluarga untuk menyelamatkan nyawa sendiri. Tapi kenapa pulau ini dinamai demikian?

Konon, semua penduduk pulau ini memiliki harga diri yang tinggi dan tak mau kalah dari yang lain. Akibatnya, kebiasaan bersaing satu dengan lainnya sudah mendarah daging. Harga diri mereka menolak untuk kalah, mereka tak mau kalah dari yang lain. Akan tetapi, karena persaingan tanpa akhir inilah kota ini berkembang dengan cepat karena semua penduduknya selalu termotivasi menjadi "Nomer Satu".

Tidak ada kecurangan dalam persaingan ini. Menyingkirkan lawan, bahkan membunuh mereka adalah hal yang tabu karena dapat menghilangkan motivasi mereka dan secara tidak langsung menghentikan perkembangan pulau ini.

Tapi, sesuai pepatah "ketika lilin menyala, tempat paling gelap adalah di bawah lilin itu sendiri", sisi gelap dari para penduduk pulau tak sepenuhnya terkendali. Sedikit demi sedikit terkumpul bagaikan bensin yang menunggu untuk disulut api.

Pada satu hari yang disayangkan, salah satu penduduk secara tidak sengaja membunuh pesaingnya, sehingga dia otomatis menjadi "Nomer Satu" dalam bidangnya. Namun beberapa orang ragu akan kemenangan itu, ada gosip bahwa dia sengaja mencelakai lawannya, ada juga yang bilang itu tidak mungkin kesengajaan dan banyak perdebatan menanyakan apakah dia sengaja atau tidak.

Itulah awal dari bencana yang akan menimpa pulau itu. Muncul kabar kalau ada penduduk lain yang membunuh pesaingnya dan dikabarkan tertangkap karena berpura-pura tidak sengaja. Tak lama, kasus yang sama terulang lagi. Dua orang melakukan pembunuhan terhadap saingan mereka, meski korban adalah keluarga sendiri.

Tiga orang, empat orang, sepuluh orang, dua puluh, lima puluh,seratus, hingga mayoritas penduduk mulai melakukan kecurangan untuk menjadi yang terbaik. Lambat tapi pasti, kegelapan ini semakin menyelimuti semua penduduk.

Ketika hati mereka sudah termakan oleh kegelapan dan menjadi buta karenanya, kota ini dilanda musibah, sebuah Pembantaian masal untuk menjadi "nomer satu" di segala bidang. Orang dewasa maupun anak anak terbantai dalam pembantaian ini. Hingga akhirnya hanya satu orang yang tersisa di pulau ini. Pria itu dikenang sebagai "Raja Ryax". Nama Ryax diambil dari tindakan sang raja yang telah meninggalkan pulau ini ketika pembantaian terjadi, membiarkan semua teman dan keluarga mati untuk tetap hidup.

Sayangnya, tak ada siapapun yang akan mengenangnya karena tidak ada siapapun yang tersisa selain dirinya. Dia menghabiskan waktu hidupnya dengan memandangi pulau itu di atas tahta reyotnya sambil menyesali semua tindakannya. Akhirnya, dia mengahiri hidupnya dengan meneguk sebotol racun. Sejak saat itu, pulau ini menjadi kota besi tanpa penduduk. Namun semangat perjuangan para penduduk untuk menjadi "Nomer satu" masih dapat terasa di pulau ini begitu juga dengan kegelapannya.

"Sampai suatu hari, Dewa Thurkq yang agung......"

"Aku tidak peduli sisa ceritanya"
Potong si mahluk biru cair bertubuh manusia. Dialah Emils, seekor Slime dan Revolusionis  yang entah mengapa terseret ke dalam turnamen battle of realms ini.

"Apa kau bilang?"

Saat ini Emils sedang dibawa terbang oleh Hvyt, seorang "Malaikat" bertubuh merah dengan tato misterius di seluruh tubuhnya dan memiliki sayap untuk terbang.  Salah satu tangan merah Hvyt memegang sebuah buku paduan yang harus dia bacakan pada peserta, sementara tangan yang lainnya menusuk ke dalam tubuh cair Emils dan menggengam inti Emils sehingga Emils tidak bisa kabur.

Mendengar kalimat Emils tadi, Hvyt menutup buku bersampul merah di tangan kanannya kemudian meletakan buku tersebut di saku celananya sambil memberikan pandangan dingin tanpa emosi kepada Emils.

"Telingamu bermasalah,Hvyt? Aku yakin aku mengatakannya cukup keras"
Jawab Emils dengan nada mengejek. Sepertinya dia masih jengkel dengan perlakuan para Hvyt yang entah mengapa selalu melempar Emils dari tempat tinggi.

"Lebih baik kau mengingat kembali posisimu, Slime. Kau hanya hidup karena tuan...."

"karena si Thurkq mengabaikanku,bukan? Hvyt yang lain juga sudah mengatakan itu berkali-kali! apa hanya kata-kata itu yang berada di kepala kalian?" Emils memotong perkataan Hvyt lagi.

"Kau mau ke lempar dari sini,hah?"

"Kau yang akan dapat masalah kalau aku hilang di tengah jalan"

Mendengar perkataan Emils, Hvyt terdiam. Bukan karena takut atau kehabisan kata-kata, tapi karena ada sebuah ide jahat yang muncul dalam pikirannya. Untuk pertama kalinya, Hvyt mengukir senyuman kecil pada wajahnya dan menambah kecepatan penerbangannya sampai mereka sampai di sebuah pulau beratapkan awan hitam, Pulau Ryax.

Setelah Hvyt menembus awan hitam yang menjadi langit-langit pulau ini, tampaklah sebuah kota yang penuh dengan bangunan besi. Gedung-gedung besi menjulang tinggi, tapi tak setinggi bangunan di kota Sonberg. Belasan tiang-tiang listrik di jalanan bersinar remang-remang menerangi kegelapan jalan di kota ini. Di tengah kota terdapat sebuah menara beratap kerucut raksasa dengan sebuah layar hitam raksasa yang tidak bergambar apapun kecuali angka [10.00.00]

"Kita telah sampai pada lokasi pertarungan"

"Lambat! Pasti kau yang terlambat diantara Hvyt lainnya!" Hvyt mendengar sebuah teriakan dari mahluk biru yang dibawanya.

"Turunkan aku, cepat!" Perintah Emils pada Hvyt.

"Sesuai perintahmu"

Hvyt menusukan tangan kanannya ke dalam tubuh cair Emils, lalu dengan kedua tangannya ditariknya inti Emils dengan cepat. Karena terpisah dari intinya, tubuh Emils sekarang tidak lebih dari air tanpa pengaruh apapun dan jatuh ke bawah karena tarikan gravitasi.

"A-Apa yang kau lakukan?!"

"Aku akan mengantarmu....."

Hvyt mendarat pada atap suatu gedung yang cukup tinggi di Timur laut kota ini, kemudian menggenggam inti Emils dengan tangan kirinya lalu dibawanya inti Emils ke atas kepalanya.

"J-Jangan lagi!"

"..... Ketempat pertarungan!"

Hvyt menekuk kaki kanannya, kemudian dengan memfokuskan berat badannya pada kaki kanannya dia tendangkan kakinya ketanah dan menggunakannya sebagai titik tumpu untuk lemparannya. Saat itu pula, Hvyt mencondongkan tubuhnya, kemudian mengayunkan tangan kirinya dan melepas inti Emils dengan kecepatan tinggi.

Sementara itu, enam Hvyt lainnya menurunkan peserta masing-masing di tengah, timur, barat, barat laut, tenggara dan barat daya kota.

***

Sementara itu di atas menara yang terletak di tengah kota, seorang pria berambut pirang sampai menutupi telinganya, memakai kemeja putih dan celana hitam bersabukan ikat pinggang kulit warna coklat yang dihiasi lambang kepala singa ditengahnya sedang duduk di atas sebuah tahta yang terbuat dari rongsokan usang. Tak jauh dari pria itu terdapat sebuah kerangka manusia yang memakai pakaian kusut dan sebuah mahkota yang terbuat dari rongsokan. Di samping kerangka itu, terdapat sebuah botol berlambangkan tengkorak yang bagian bawahnya pecah karena sebuah benturan dengan tanah.

"Jadi inlah nasib 'Raja Ryax' hah?"

Pria itu berdiri dari tahta yang didudukinya, kemudian mengambil jubah merahnya yang ia letakan pada sebuah coat stand yang tak jauh dari tahta itu.

"Aku kurang mengerti apa hubungan "Raja" tak berguna ini dengan "Pride" simbol kebanggaan dan harga diri"

Pria itu mengenakan jubah merah berujung putih tersebut. Dia berpikir sejenak. kenapa Raja Ryax bisa menjadi "Raja"? melihat keadaan ruangan "Tahta" ini yang tak lebih dari gudang tua yang sedikit diubah dan pakaian-pakaian kusut di ruangan ini, kemungkinan dia menjadi raja hanya karena dia lari ketika suatu kejadian menimpa kota ini.

"Menyedihan, Raja Ryax" Kata pria itu, lalu menghampiri mayat raja Ryax dan mengambil mahkotanya. Pria itu memandangi mahkota itu dengan mata birunya.

"Mahkota ini...."

Pria itu kemudian membanting mahkota itu, kemudian menginjakan kakinya pada tengkorak mayat itu. Berkali-kali dia menginjak-injak tengkorak mayat itu sampai menjadi serpihan kecil.

"...Tidak akan cocok untuk raja asli sepertiku, Ravelt Tardigarde" Kata Ravelt, pria berambut pirang itu.

Setelah puas merusak mahkota dan tengkorak raja sebelumnya, Ravelt berjalan ke arah sebuah pintu besi yang tampak kokoh. Cincin perak di tangan kiri Ravelt bercahaya keemasan, kemudian dia pukulkan tangannya ke pintu tersebut. Pintu besi itu langsung roboh tanpa perlawanan sehingga tampaklah lorong gelap di balik pintu itu.

Ketika Ravlet menginjakan kakinya di lorong itu, dia berhenti. Sesuatu terasa janggal dalam tindakannya barusan. Memang benar dia tidak suka pada raja seperti itu, tapi merusak mahkota bahkan mayat si "Raja"? itu sudah terlalu jauh. Dia merasa bukan seperti dirinya sendiri.

"Apa yang terjadi padaku?" tanya Ravelt pada dirinya sendiri.

***

"Kompleks Universitas" itulah julukan untuk bagian barat daya kota ini. Seperti namanya, bagian kota ini dipenuhi dengan universitas-universitas besar. Gedung-gedung asrama maupun kontrakan berdiri hampir di setiap blok. Toko-toko rumahan sampai super market menyediakan berbagai kebutuhan untuk para mahasiswa dan dosen.

Paling tidak, semua itu ada sebelum pembantaian itu terjadi. Sekarang, kota ini sepi bagaikan kota hantu. Tak ada lagi canda tawa dari para mahasiswa, yang ada hanyalah bangunan-bangunan yang sudah porak poranda. Jalananpun hanya diterangi lampu-lampu redup dari gedung yang menghiasi jalanan sepi di bagian kota ini.

Salah satu peserta diturunkan oleh Hvyt di tempat ini, di depan sebuah gedung universitas yang tampak sangat luas. Peserta itu adalah seorang gadis berambut Caramel sampai punggung yang sebagian kecil rambutnya diikat ke sebelah kanan dengan pita putih. Mata birunya memantulkan bayangan dari Universitas itu.

Gadis itu mengenakan kemeja putih lengan panjang yang ditutupi oleh rompi bewarna hitam dengan pita merah menghias kerahnya. Di pinggangnya terpasang sebuah syall terikat. Tampak sebuah butterfly knife, dua buah magazine dan holster beserta pistol meggantung di syallnya. Untuk bawahan, ia mengenakan rok mini bewarna hitam dan stocking yang mencapai paha. Gadis ini adalah Caroll Linde, seorang pustakawan dari Library of Fate.

"Gedung Universitas..." Gumamnya.

Sebuah portal muncul tepat di belakangnya dan melemparkan sebuah buku. Carol menangkap buku itu, lalu membaca isinya. Setelah puas membaca, dia menutupnya dan berjalan ke dalam banggunan itu. Bangunan itu tak sebagus mukanya, meski luarnya tampak mewah, tapi dalamnya sangat acak-acakan.

Instingnya mendorong untuk masuk lebih dalam. Awalnya Carol tak mau membuang waktu, tapi dia baru ingat bahwa para Hvyt belum sempat mengatakan bagaimana peraturan ronde ini, jadi tak apa-apa kalau dia jalan-jalan sebentar,kan?

Kegelapan lorong gedung itu hanya diterangi oleh lampu-lampu redup.Cat ditembok lorong sudah mengelupas sehingga menunjukan besi karatan yang menjadi dasar bangunan ini. Loker dan pintu di sisi lorong tampak berantakan, tak jarang Carol menemukan tulisan-tulisan "Tolong kami!", "Jangan ke sini!", "Lari!" dan bermacam tulisan lainnya yang ditulis dengan cat merah. Apakah mereka cat merah sungguhan? Matanya terus melirik ke sana-sini, sedikit air mata berlinang di matanya dan setiap langkahnya selalu bergetar ketika dia menyusuri lorong itu.

Instingnya membawanya pada dua buah pintu besar. Dia ingin masuk ke dalam ruangan di depannya, tapi tertera berbagai macam tulisan "Jangan masuk!" dalam berbagai bahasa yang juga ditulis dengan cat merah. Di samping pintu itu tertera tulisan "Sangkar Ilmu".

"Sangkar ilmu?" Tanya Carol pada dirinya sendiri.

Apa fungsi sangkar? Menjaga sesuatu di dalamnya supaya tidak bisa kabur. Biasanya kata sangkar dipakai untuk sebuah kurungan unggas, tapi kenapa ada tulisan ilmu disana? Rasa penasaran Carol semakin tak terbendung. Dia takut jika yang berada di balik pintu ini adalah sebuah laboratorium berbahaya. Tapi sebuah pikiran lain terlintas di kepalanya, bagaimana kalau ini hanyalah sebuah perpustakaan?

Tangan Carol bergetar ketika dia menyentuh gagang pintu itu. Carol menarik pintu itu, tapi pintu besar itu tak bergeming. Dia mencoba mendorong pintu itu, tapi hasilnya sama saja. Carol hampir menyerah, dia mencari tombol atau tuas yang mungkin dapat menggerakan pintu itu.

Dia menemukan sebuah tulisan berdebu di samping gagang pintu. Pipinya langsung memerah dan kepalanya memanas. Bagaimana dia tidak menyadari ini sebelumnya? Tertera pada papan itu satu buah kata "Geser".

Carol langsung menggengam kedua gagang pintu di depannya, dia geser kedua pintu itu sampai keduanya terbuka cukup lebar. Ruangan di balik pintu itu begitu gelap, Mata Carol berusaha mendapatkan cahaya yang cukup untuk melihat. Tanpa pikir panjang Carol langsung menginjakan kakinya pada ruangan itu.

Terdengar suara retak dari bawah kakinya. Betapa terkejutnya Carol ketika dia melihat sebuah pecahan kerangka tangan manusia di kakinya. Meski matanya belum beradaptasi dengan gelapnya ruangan itu, samar-samar Carol melihat satu mayat, dua, tiga, tidak! Bahkan lebih banyak dari itu. Mayat-mayat tergeletak di dalam perpustakaan itu, seakan-akan sebuah pembantaian terjadi ketika para pengunjung perpustakaan sedang menikmati bacaan mereka.

Carol terjatuh, air mata berlinang di matanya. Meski dia tak peduli terhadap nasib orang-orang disana, tapi sebagai seorang Pustakawan dia masih bisa merasakan sebuah kesedihan yang mendalam terhadap sesama pecinta buku. Tak hanya orang-orangnya, bahkan buku-buku disana juga ikut terbantai, sebagian terbakar,  rak-rak buku terjatuh dan ada pula sebagian buku yang ternodai oleh darah para korban.

Carol kembali berdiri, lalu mengusap air matanya. Kesedihan itu masih bersarang pada hatinya, tapi dia tidak suka menetap pada masa lalu. Caroll berjalan menghampiri salah satu buku yang tergeletak di lantai, lalu mengembalikannya ke dalam sebuah rak buku.

"Paling tidak, aku akan membersihkan perpustakaan ini sebelum pertarungan dimulai" pikirnya


***

Di timur kota ini terdapat sebuah danau buatan yang tampak indah di malam hari. Meski tak ada sinar rembulan, namun pantulan cahaya remang-remang dari tiang-tiang lampu di sudut jalan yang mengitari danau menghiasi danau ini bagai kunang-kunang di dalam air. Pantulan dari bangunan-bangunan kota dan daerah sekitar danau itu menambah keindahan danau.  

"Aku tahu ini buatan manusia, bahkan dasar dari danau ini juga terbuat dari logam, tapi tetap saja, tempat ini sangat indah"

Seorang wanita berpakaian mini berwarna biru transparan sedang duduk di atas pagar pembatas danau tersebut. Rambut wanita itu panjang sepundak dengan warna merah-biru. Mata kanannya berwarna kiri sedangkan mata kirinya berwarna merah tapi tertutupi sebagian rambutnya. Entah untuk alasan apa, wanita itu memakai sebuah masker biru yang ia ikatkan pada kedua telinganya yang panjang. Dia adalah Stella Sword, seorang  alexis knight.

"Maaf sudah lama menunggu" terdengar suara gemuruh dari tengah kota.

Stella terkejut, kejadian aneh terjadi padanya. Badannya tiba-tiba ambruk, denyut nadinya semakin lambat, keringat dingin merembes keluar dari tubuhnya, pandangannya semakin buram, matanya sayu dan wajah semakin membiru. Stella merasa seakan ada "Sesuatu" yang sedang ditarik dari dalam tubuh Stella. "Sesuatu" itu tidak lain adalah jiwa Stella sendiri.

Ketika sadar, Stella menemukan suatu keganjilan. Dia melihat tubuhnya sendiri terbaring lemas di atas trotoar berpagar di samping danau. Jiwa Stella tertarik menjauhi tubuhnya dengan cepat menuju ke pusat kota dan menembus apapun di depannya. Ketika jiwa Stella berhenti, dia tepat di depan sebuah monitor raksasa dengan seorang pria di dalamnya. Seorang pria berambut coklat, berjanggut tak rapi, memakai kacamata yang retak sebagian dan baju kantor dengan dasi yang agak acak-acakan.

"Sebelum saya mengatakan apapun, saya minta maaf sebesar-besarnya pada kalian semua, korban dari ke egoisan Thurkq" kata pria itu

"Pada ronde ini, kalian diharuskan bertarung sampai hanya ada satu orang tersisa. Kalian diizinkan menggunakan cara apapun untuk melawan lawan kalian. Jika lawan kalian mati atau mengakui kekalahan, maka mereka akan dianggap gugur dalam ronde ini"

"Dalam pulau ini, ada 7 orang peserta termasuk diri kalian sendiri. Ada baiknya jika kalian bekerja sama karena ronde ini hanya memiliki batas waktu 10 jam. Ketika waktu itu habis, maka kalian semua akan dianggap kalah. Dan... Dewa Thurkq berengsek itu akan melenyapkan pulau ini dan siapapun di dalamnya" lanjut pria itu.

"Dan berhati-hatilah! Dalam pulau Ryax ini, kalian akan merasakan....." belum sempat si pria menyelesaikan kalimatnya, layar menjadi buram, kemudian berganti menjadi angka [09.59.59]. Sebuah pertanda kalau pertarungan ronde ini telah dimulai.

Stella tersadar kembali. Dia segera duduk dan memeriksa tubuhnya, detak jantungnya dan panas badannya.  Semuanya persis sebelum jiwanya ditarik.

"A-Apa itu tadi?"

Stella masih gemetar memikirkan apa yang dikatakan pria itu, terutama kalimat terakhirnya yang terdengar membahayakan. Namun kekhawatiran Stella langsung menghilang ketika sebuah bola biru sebesar bola tenis bergelinding ke arahnya.

Seperti tidak pernah terjadi apa-apa, Stella langsung melupakan apa yang terjadi dan mengambil posisi jongkok sambil memperhatikan bola biru itu lebih dekat. Seperti menyadari apa yang dilakukan Stella, bola biru itu bergelinding menjauhi Stella.

Rasa ingin tahu Stella semakin besar, dia mengambil sebuah ranting dan berusaha menusuk bola itu. Namun ketika Stella akan menusuk bola itu, bola itu bergelinding menghindari ranting. Stella menusukan rantingnya berkali-kali tapi selalu saja bola itu menghindar. Sedikit kesal, Stella hendak menginjakan kakinya pada bola itu. Seperti sedang putus asa, Bola itu langsung bergelinding cepat menghindari injakan Stella, lalu tercebur ke dalam danau.

"Ah! Sial!"

Stella segera menghampiri danau dan berjongkok di tempat bola itu terjatuh. Tapi bola itu sudah tak terlihat lagi, hanya sebuah gumpalan air yang perlahan meruncing menjadi sebuah pedang cair yang langsung melesat ke wajahnya.

***

"Jangan mempermainkan Slime!"

Jengkel karena dipermainkan oleh Stella, Emils langsung menyerang wanita yang hampir membunuhnya. Pedang Emils mengenai leher Stella, cairan merah merambat keluar dari tubuhnya. Namun respon Stella lebih cepat dari gerakan Emils, tubuh Stella langsung mencair sehingga pedang Emils menembus tubuhnya.

Karena keanehan ini, Emils lengah sehingga menimbulkan celah. Stella sudah menarik tongkatnya yang ia ikat di sabuknya, mengarahkannya ke kepala Emils, lalu menembakan sebuah bola api. Emils kena telak, kepala dan sebagian tubuh bagian atasnya langsung menguap karena serangan Stella. Emils langsung memanipulasi air pada tubuhnya untuk menjauhi Stella sambil memulihkan tubuhnya yang telah menguap.

"Sihir api? dia adalah penyihir?"

"K-Kau itu apa?!" teriak Stella dengan panik.

"Aku terkejut kau tidak mengenali  spesiesku" kata Emils kepada Stella

"Namaku Emils, Seekor Slime, mahluk yang kalian para manusia panggil dengan "monster". Akan kubalas perbuatanmu padaku tadi!" kata Emils sambil menunjuk Stella dengan ujung pedangnya.

"Oh! Jadi namamu Emils,ya? Namaku Stella Sword, seorang Alexis Knight. Senang bertemu denganmu!" kata Stella sambil menjulurkan tangannya kepada Emils.

"hah? Eh.... ya.... senang bertemu..." Kalimat Emils berhenti di sana.

"Kenapa malah mengenalkan diri? dasar orang aneh!"

Awalnya Stella mengira Emils adalah sejenis mahluk bertubuh cair yang biasa ia temukan di desa-desa Aquila di dasar sungai Aquos, jadi mungkin dia bisa diajak kompromi. Meski sudah berusaha bersikap baik pada Emils, tapi perlakuan kasar dari Emils menyulut emosi Stella.

"hah? Bukannya itu tatakrama dasar? Apa mungkin spesies Slime terlalu bodoh untuk belajar sesuatu yang sangat dasar?" ledek Stella pada Emils.

"Tarik ucapanmu!"

"Tidak sebelum kau menarik ucapanmu tadi!"

"Wahai naga yang selalu mengawasi dan melindungi kebahagiaan, naga yang mencintai kebahagiaan dan membenci kesedihan. Buatlah sebuah perayaan membara untuk mengusir pembuat kerusakan dibumi seperti sebuah perayaan yang mengusir kesedihan....."

Ketika Stella membacakan mantra itu, dia mengarahkan tongkatnya ke langit. Sebuah bola api keluar dari tongkat itu, lalu diikuti dengan belasan tembakan bola api lainnya. Ketika Bola-bola api mencapai tinggi gedung disekitarnya, bola-bola itu meletus dan menebarkan percikan-percikan api seperti kembang api. Percikan api itu kemudian menari-nari di atas langit bagaikan kunang-kunang pada musim panas, lalu mereka mengumpul pada suatu formasi dan memadat menjadi suatu bentuk lain, seekor ular naga api.

"....wahai Fair dragon, naga pembawa perayaan...."

"Munculah,  Gorgon si dewa kebodohan!"

Emils menepukan tangannya pada air dibawahnya, air di sekitarnya mulai bergemuruh. Perlahan, dua buah tanduk es raksasa keluar dari dalam air, kemudian diikuti dengan kepala es dengan wajah menyeramkan bergigi tajam yang berukuran 10 kali kepala manusia biasa dan terakhir tubuh bagian atasnya yang semuanya terbuat dari es. Sebuah raksasa es setengah badan telah muncul di atas permukaan air.

"A-Apa?! Mahluk seperti dia bisa memanggil mahluk agung? Tidak.... "Dewa kebodohan" ini adalah kebalikan dari mahluk agung.... mahluk terkutuk? Tidak, itu tidak masalah" pikir Stella.

"....habisilah si dewa kebodohan!" perintah Stella pada naga panggilannya.

Naga api itu mengaum dasyat, air di danau itu bergetar hebat hanya dari teriakannya saja. Naga itu langsung menerjang ke arah si "Dewa kebodohan". Karena pengalamannya yang sudah bertahun-tahun, Stella tahu kalau menyerang langsung adalah tindakan bodoh karena akan mudah terkena serangan balik. Untuk mengatisipasi hal itu, Stella memerintahkan si naga untuk memutari si "Dewa kebodohan" sampai dia menemukan celah. Di sisi lain, si "Dewa kebodohan" diam tak bergerak meski naga Stella sedang memutari tubuhnya.

Sementara itu, Stella melangkah ke dalam danau dengan membekukan permukaan air di sekitarnya. Dia yakin kalau naga apinya akan menang melawan dewa kebodohan, tapi tak mungkin si naga melawan mahluk yang bisa bersembunyi di dalam air, jadi dia harus melawan Emils sendiri.

"Kau tahu kenapa dia kuberi nama Dewa kebodohan ?"

Setelah Stella melangkah cukup dekat dengan si dewa kebodohan, tiba-tiba terdengar suara es di belakangnya pecah menjadi serpihan-serpihan kecil. Ketika Stella berbalik, sesosok mahluk cair bertubuh biru tua sudah melompat dari dalam air dan hendak menusukan pedangnya.

"Karena hanya orang bodoh yang akan menyerangnya!"

Terdengar lagi suara es pecah, kali ini berasal dari belakang Stella, tempat dimana Dewa kebodohan berada. Meski tak melihat kebelakang, dari suara itu Stella tahu bahwa Dewa Kebodohan tak sekeras kelihatannya, malah "Dewa" ini sangat rapuh dan mudah dihancurkan.

Dewa kebodohan hanyalah sebuah patung es yang rapuh. Namun sudah terlambat, si naga itu juga tak menyadari tipuan itu sehingga dia menerjang patung es itu dengan sekuat tenaga sehingga dia tak bisa menghentikan pergerakannya dan menabrak permukaan air. Sekarang yang tersisa dari naga itu hanyalah uap air tebal yang mengepul ke udara.

Emils tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan pedangnya, dia menusuk perut Stella, lalu memotong secara horizontal ke kanan sehingga tubuh Stella terbelah menjadi dua. Cairan keluar dari potongan tubuh Stella, tapi cairan ini bukan darah melainkan air. Stella sudah lebih dulu mencairkan tubuhnya sebelum serangan Emils menyentuhnya.

"Tapi masih lebih bodoh orang yang memberi tahu triknya!" balas Stella pada ledekan Emils.

Tubuh bagian atas Stella masih dapat bergerak. Tangan kiri Stella mulai menyala dengan cahaya merah api, lalu dia arahkan ke batang tubuh Emils. Emils memperkirakan kalau dengan jarak sedekat ini, Emils akan kena telak lagi. Terakhir dia beruntung karena serangan Stella mengenai kepalanya, tapi kalau dia terkena di batang tubuhnya ada kemungkinan kalau intinya akan terkena ledakan. Untuk mencegah kerusakan pada intinya, Emils membekukan tubuhnya yang menghadap Stella.

Seperti yang diperkirakan Emils, Stella menembakan sebuah bola api dan meledak pada batang tubuh Emils. Tubuh es Emils terpental dan terpisah karena ledakan tadi, lalu Sisa-sisa tubuh es Emils tenggelam ke dasar danau.

"Ini sudah berakhir" Kata Stella.

Setelah merasa menang, Stella berjalan kembali ke pinggir danau dengan membekukan air yang akan menjadi pijakan kakinya. Ketika dia telah sampai di daratan, dia merasakan sebuah getaran yang begitu kuat sampai-sampai mengguncang air dan mengakibatkan air di dalam danau itu berombak. Getaran itu tak kunjung berhenti.  Stella berbalik ke arah danau lagi dan melihat Emils yang sedang meluncur ke arahnya.

"Kau masih mau lagi,hah?" ledek Stella.

Stella tak mau diserang duluan, dia memegang tongkatnya di tangan kanan, lalu merubah tongkatnya menjadi sebuah pedang air dengan mengambil air dari danau. Stella mengambil ancang-ancang, lalu berlari cepat ke arah Emils.

"Akan kutunjukan kekuatan dari Alexis Knight!"

Stella melompat, lalu menekuk kaki kanannya ke depan. Lutut kanan Stella mengenai perut Emils, kemudian memakukan kaki kanannya pada es pijakannya, lalu menendangkan lutut kirinya ke bagian selangkangan Emils.

Stella melanjutkan serangannya dengan menhantam Emils dengan bahu kirinya, lalu menerjang maju sambil menebas bahu kanan dan leher Emils. Namun Emils tak selambat itu, dia mengangkat pedangnya tepat waktu dan menahan serangan Stella, mengakibatkan pedang mereka saling beradu satu dengan yang lain.

Saat pedang Stella dan Emils terkunci, Emils membentuk sebuah tombak pendek pada lutut kirinya, lalu menendangkan lututnya ke samping Stella. Stella kurang memperhatikan gerakan Emils sehingga dia tidak sempat mencair, oleh karena itu tombak Emils berhasil menusuk ulu hatinya.

Serangannya belum selesai, Emils memukulkan tangan kirinya ke perut Stella sehingga tubuhnya tersungkur, kemudian ia mengangkat pedangnya di atas kepala untuk serangan terakhir. Emils menebaskan pedangnya, tapi Stella kembali mencair dan berhasil mengambil beberapa langkah mundur.

Stella kembali membentuk bola api dari tangan kirinya, lalu dia lemparkan ke Emils. Karena jaraknya yang cukup jauh, Emils jadi tahu kalau sebenarnya bola api Stella tak secepat yang dia pikirkan. Emils menghindari tembakan bola api Stella, kemudian meluncur ke arahnya.

Tangan Stella bergemetar, nafasnya terengah-engah, detak jantungnya mulai mendengung di telinganya dan kakinya kaku di atas es pijakannya. Meski lukanya tak terlalu parah, tapi Stella telah menguras banyak tenaga untuk memanggil si naga, membekukan permukaan air danau untuk setiap pijakannya dan menggunakan sihirnya berkali-kali. Rasa percaya dirinya ciut, tapi dia harus bergerak atau dia akan mati di tangan Emils. Dengan sekuat tenaga Stella berusaha mengangkat kaki kakunya untuk berlari keluar dari danau, tapi seakan ikut ketakutan, kaki itu tetap tidak mau bergerak .

Emils menebaskan pedangnya. Stella langsung menarik pedangnya sehingga keduanya saling mengunci. Akan tetapi karena dorongan dari kecepatan Emils, Stella terdorong keluar dari danau sampai menabrak dinding sebuah bangunan mirip restoran yang tak jauh dari pinggir danau. Kedua pedang mereka masih saling mengunci, tapi Emils lebih mendominasi.

"Aku tidak menyangka kau bisa sekuat ini...."

"Karena itu, jangan remehkan Slime!"

"Memangnya aku mau dikalahkan oleh mahluk sepertimu?!" pikir Stella.

Di saat terjepit itu, Stella merasa keganjilan dalam hatinya. Bukan rasa takut yang ia rasakan, tapi jengkel. Dia merasakan kejengkelan terhadap Emils. Sekarang mereka di dataran, jadi Emils tak akan bisa memulihkan dirinya. Di jarak sedekat ini, meski Stella berpeluang tipis untuk menang, tapi paling tidak lebih baik dari pada mati konyol.

Bola api bukan pilihan yang bagus karena sisa tubuh Emils akan terpental kembali ke danau dan memulihkan tubuhnya lagi. Untungnya, Stella menyadari keberadaan sebuah jeruji yang membatasi selokan berada sekitar setengah meter di belakang Emils.

Stella melepaskan tongkatnya sehingga melepas sihir pada pedangnya. Pedang Emils kembali bergerak, tidak ada waktu tersisa, Stella harus melakukannya sekarang juga. Tangan kanan Stella menahan pedang Emils dengan sisa tenaga yang ia miliki. Emils merasakan sensasi dingin yang luar biasa. Pedang Emils mulai membeku, tapi bukan Emils yang membekukannya.

"A-Apa ini?" tanya Emils dengan panik.

Emils menyadari kalau yang membeku bukan hanya pedangnya saja. Pergelangan tangannya mulai membeku, lalu persendian sikunya, kemudian menjalar ke persendian bahunya. Pembekuan ini merambat dari pedangnya dan menjalar ke sebagian tubuhnya. Ketika sebagian tubuh Emils telah memadat menjadi es karena sihir Stella, Stella mendorong tubuh Emils sehingga Emils tepat di atas jeruji yang dilihat Stella tadi.

Stella mengendalikan air di bawah jeruji itu, dibuatnya air itu menyembur ke atas dan mengenai Emils. Sebagai penutup, Stella menyentuh air yang menyembur itu dengan tangan kanannya untuk membekukannya. Tak lama kemudian, semburan air itu membeku bersamaan dengan tubuh Emils.

"U-Untunglah...."

Nafas legah keluar dari mulut Stella. Stella duduk bersandar pada dinding di belakangnya. Paling tidak, dia aman untuk sekarang. Monster yang hampir saja mengalahkannya sudah menjadi sebuah balok es. Sekarang dia harus mencari 5 peserta lainnya. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Yakni getaran kuat yang terus-menerus membuat ombak di danau ini. Meski Emils sudah beku di depannya, tapi Stella masih bisa merasakan getaran itu. Apa bukan Emils yang mengakibatkan getaran itu?

"Hei! Keluarkan aku!" Sebuah suara membuat Stella terkejut. Dia memeriksa sekelilingnya, tapi tidak ada siapapun di sekitarnya.

"Jangan berlagak tidak tahu!" suara itu terdengar lagi.

Stella sudah menengok kanan-kiri berkali-kali tanpa menemukan asal suara itu. Dia berjalan menyusuri dinding di belakangnya sampai dia tiba di teras bangunan yang tampak seperti restoran ini. Lampu memang menyala meski agak redup, bermacam-macam mesin otomatis bergerak sendiri seakan-akan menunggu pelanggan, tapi tidak ada siapapun disana. Pandangan Stella kembali ke tempat pertarungannya barusan. Dia tidak menemukan siapapun kecuali bongkahan Emils yang ia bekukan tadi.

"K-Kau masih hidup?" Tanya Stella setengah tidak percaya.

"Selama intiku belum beku, aku akan tetap hidup!" balas Emils

Mata Stella terbelalak. Dia terkejut setengah mati ketika melihat seperti ada sebuah bola berwarna biru tua dalam tubuh es Emils yang masih mengambang pada sedikit air yang belum membeku, sepertinya Stella tidak berhasil membekukan Emils sepenuhnya. Akan tetapi, dia tidak lagi merasa takut terhadap Emils karena sekarang Emils hanya sebuah bongkahan es. Tapi bagaimanapun juga, Emils belum "Mati" jadi dia masih belum dihitung gugur.

"Ah... biarkan lawan lain untuk menghabisi dia" pikir Stella

Stella masih punya masalah lain. Dia masih merasa diincar dari kejauhan. Belum lagi getaran kuat yang terjadi sejak pertengahan pertarungannya dengan Emils. Untungnya dia tak perlu menunggu. Sebuah peluru menembus balok es Emils dan hampir mengenai kepala Stella. Stella tahu dia sedang diincar sehingga dia bersembunyi di balik bongkahan Emils.

"Hei, Slime. Dari mana tembakan itu datang?"

"HAH! Kau pikir aku akan membantumu? Lebih baik kalau aku....."

Belum selesai dia bicara, peluru lain menembus balok es Emils, nyaris mengenai inti Emils dan bersarang pada balok es Emils.

"J-Jangan tembak aku! Tembak saja wanita ini, tapi jangan aku!" pinta Emils.

"Kalau kau memberitahu lokasi si penembak, aku akan melelehkan tubuhmu, bagaimana?"

"S-Siap! Musuh berada di bangunan kelima tertinggi di arah Tenggara, lantai 12 jendela ke 3 dari kiri" kata Emils

"Oh... Tenggara... Kau yakin tidak berbohong?"

"YAKIN! SANGAT YAKIN!"

"Baiklah, akan kulelehkan tubuhmu"

Stella berjalan mengitari Emils dan hendak melelehkan balok es yang ia bekukan. Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat,matanya terbelalak. Dia langsung berbalik dan mengambil langkah seribu. Dia telah melihat sesuatu yang sangat berbahaya sehingga dia lebih memilih melarikan diri dari pada melelehkan tubuh Emils.

"J-Jangan tinggalkan aku! Hei!"

***

"apa yang terjadi padaku? Kenapa tembakanku meleset?!" Gerutu Seorang gadis berambut perak.

Akibat adanya Bongkahan es Emils di antara Stella dan dia, bayangan Stella di balik bongkahan es Emils menjadi sedikit bergeser dari lokasi Stella. Gara-gara itu, dua peluru telah menjadi sia-sia. Gadis itu meraba jaket hitamnya dan mengambil salah satu peluru di sakunya. Dia langsung mengkokang senapannya, lalu memasukan pelurunya ke dalam cartrige-nya.

Gadis itu memaki-maki Thurkq. Pasalnya, dia hanya disediakan dua belas peluru. Di seluruh kota dia dapat menemukan beberapa toko senjata dan gudang senjata, tapi entah mengapa dia tidak menemukan satupun senapan dan hanya menemukan peluru-peluru yang tidak cocok dengan senapannya, AMW-F seri terbaru. Paling tidak, ia menemukan suatu fungsi untuk peluru-peluru tak berguna itu, jadi dia membawa sekotak penuh bersamanya ke dalam hotel.

"Aku tak boleh meleset lagi. Kalau aku terus begini, aku akan mencemari namaku sendiri, Luna Aracellia Sang Moonlight Scarlet!"

Luna meneropong lagi dengan teropong senapannya. Akhirnya peluang datang, Stella keluar dari perlindungannya untuk melakukan sesuatu terhadap bongkahan es Emils. Luna langsung mentarget kepala Stella, titik tengah teropong Luna agak menyimpang karena dia harus menyesuaikan dengan kondisi disekitarnya.

Luna hendak menarik pelatuknya, tapi tak disangka, Stella berlari menjauhi bongkahan es Emils. Luna tak jadi menembak. Dia melepas matanya dari teropong senapannya dan melihat langsung mahluk raksasa yang membuat takut Stella.

Sebuah robot raksasa sebesar rumah yang memakai sebuah mahkota emas di kepalanya.

"Tsch... bagus... Sekarang bagaimana bisa aku mengalahkan sebuah robot?" pikir Luna.

Bagian mana yang harus ditembak? Kepala? Kaki? Tangan? Dada? Perut? Persendian? Punggung? Semuanya terbuat dari besi. Tak peduli seberapa sering Luna melihat dari teropong senapannya, tetap saja dia tak bisa menemukan titik kelemahan. Tidak ada mesin yang tampaknya dapat dihancurkan, tidak ada cerobong asap, ventilasi udara atau apapun yang dapat memicu si pengendali robot untuk keluar. Untuk sekarang, tak ada pilihan lain selain mengamati.

"Halo nona manis~~~ " terdengar suara seorang pria dari speaker robot.

Robot itu mengangkat tangannya dan dengan mudahnya menerbangkan atap restoran di dekat bongkahan es Emils. Stella tampak panik di bawah sana, apalagi ketika tangan sang robot membuka jarinya dan melambai ke arahnya. Stella malah menjerit jadi-jadian. Pasti Stella juga memikirkan hal yang sama dengan yang ada di pikiran Luna saat ini. Dengan putus asa, Stella berlari ke salah satu bangunan terdekat dan bersembunyi di sana.

"Aku hanya mencari partner untuk ronde ini,kok~~~ "

Robot itu sekali lagi mengayunkan tangannya. Atap bangunan kecil dimana Stella bersembunyi langsung terlempar jauh sehingga Stella terlihat oleh robot itu. Stella melesat keluar dari bangunan itu. Dan sekali lagi si Robot melakukan tindakan di luar nalar. Robot itu menendang bongkahan es Emils sehingga bongkahan Es Emils melesat bagaikan bola sepak.

Stella langsung tiarap dan menghindari bongkahan itu. Sementara itu, Bongkahan es Emils melesat ke arah hotel Luna dan mendarat di salah satu kamar di dalam hotel itu. Pendaratan bongkahan itu pada hotel mengakibatkan guncangan pada hotel itu. Luna kehilangan bidikan lagi. Semakin lama robot itu di sana, semakin kesal Luna.

"seandainya aku bisa langsung ke sana dan menghajar mereka...." Gumam Stella, tapi Stella langsung mengoyangkan kepalanya.

Luna merasa ada suatu keganjilan dalam hatinya. Dia paham betul kalau dia cocok dengan sniping dari jarak jauh dan tidak cocok bertarung jarak dekat karena tak memiliki kekuatan fisik, entah apa yang menggugah hatinya Luna merasa tak puas dengan kemampuannya sendiri. Apakah ini karena melihat pertarungan Emils dan Stella yang berjarak dekat? Apakah karena Luna tidak bisa bertarung dari dekat?

"Tidak. Aku tidak boleh berangan-angan. Untuk saat ini..... aku harus fokus pada apa yang bisa aku lakukan..."

***

"Mau kemana, nona manis?" tanya robot itu pada Stella.

"Enyahlah kau!" Balas Stella dengan nada kasar.

Stella mengarahkan tongkatnya ke arah robot besar itu. Bola api keluar dari ujung tongkatnya, tapi si robot berhasil menghadangnya hanya dengan satu tangannya. Seakan mengejek Stella, robot itu membuat suara tawa dari dentuman mesinnya.

"Sebuah tembakan bola api yang benar....."

Robot itu menghadap ke barat daya kota, beberapa meriam keluar dari dadanya dan puluhan bola api merah melambung ke arah yang dia hadap. Ketika bola-bola itu mendarat, puluhan ledakan terjadi di bagian kota itu, tak lama kemudian daerah itu telah menjadi sebuah lautan api. Sebuah tawa keluar lagi dari robot itu.

"Bagaimana menurutmu?"

Ketika Robot itu berbalik pada Stella, dia sudah tak ada di sana lagi. Robot itu tak heran, karena siapapun pasti akan ketakutan jika melihat demonstrasi menakutkan seperti itu. Dan sialnya, sepertinya dia sudah berlari ke daerah dengan banyak bangunan tinggi. Akan menyusahkan kalau memaksa robot ini masuk ke daerah yang cukup sempit.

"Kenapa seorang raja punya kesulitan mencari partner,ya.... oh! Aku mengerti! Dia pasti hanya malu! Aku tahu itu! Ahahahahaha! Lagi pula.... aku adalah Ravelt Tardigarde! Aku adalah Seorang raja! Seorang Hero! Hahahaha!" Tawa jahat menggema dari kepala robot dimana Ravelt Tardigarde si pengendali robot itu berada.

Ravelt terlalu sibuk dengan tawa jahatnya sehingga dia tidak menyadari sebuah getaran kuat yang diikuti dengan runtuhnya beberapa bangunan dari arah barat daya. Aspal-aspal jalanan terkelupas, hanya menyisakan satu jalur yang cukup lebar. "Sesuatu" ini terus merayap di tanah sambil merobohkan setiap bangunan yang ia lewati.

Tawa Ravelt tidak berlangsung lama, seekor ular raksasa bersisik hijau menghantam robot itu hingga terjatuh, lalu ular itu langsung melilit kaki robot itu. Meski terkejut, tapi si robot langsung meraih moncong ular itu dengan kedua tangannya kemudian mematahkan rahang si ular. Robot Ravelt langsung berdiri lagi, lalu ia banting ular itu ke jalanan. Si ular masih bergeliat di tanah, matanya seperti berusaha memberikan serangan mental pada si robot.

"Jangan tatap matanya, Ravelt.... Kau tahu ular mistis punya kekuatan membatukan mahluk hidup seperti medusa,bukan?" Gumamnya pada dirinya sendiri.

Sambil menutup mata dengan tangan kirinya, robot itu menginjakkan kakinya pada tubuh ular itu. Berkali-kali ia menginjak ular itu, tapi bukan darah yang keluar, melainkan asap hitam yang mengepul dari tubuh ular itu. Ketika seluruh tubuh ular tertutupi oleh asap itu, Ravelt menghentikan serangannya.

"Tak akan kumaaf kan...." terdengar rintihan seorang gadis dari balik asap itu

"Phoniex! Burung seukuran angsa berwarna merah api dengan ekor keemasan sepanjang ekor merak. Matamu hitam bagaikan arang yang telah dibakar oleh paruhmu yang keemasan. Bulu-bulu merah apimu menyala dalam gelap dan menyilaukan di pagi hari. Wahai burung yang telah berjuang antara Bumi dan Neraka,cakar panasmu membawa panas dari neraka itu sendiri!"

Terdengar suara erangan seekor elang. Ada sesuatu yang menyala dari dalam asap hitam itu. Dari asap hitam ular itu, munculah seekor burung merah berdeskripsikan sama seperti yang diucapkan suara gadis tadi. Burung itu langsung menyerang kepala robot dengan cakarnya seperti berusaha membutakan pengelihatan dari si robot. Cakar dari Phoniex menggores tubuh besi robot itu bagaikan pisau mengiris mentega.

"H-Hei! Hei! Robot ini harganya mahal!" Pekik Ravlet

Robot itu kewalahan melawan Phoniex itu. Setiap kali ia memukul, Phoniex itu akan terbang ke belakangnya dan mencakar punggungnya. Kalau dia bertahan, si Phoniex akan dengan mudah mencakar habis kerangka robot itu. Jika dia berusaha menghindar, si Phoniex akan langsung menyerang ke arah robot itu menghindar. Robot itu sama sekali tak sanggup menandingi kecepatan si Phoniex.

Akhirnya  cakar si Phoniex berhasil menggali ke dalam kepala si robot. Ravelt dapat merasakan panas yang luar biasa dari kaki Phoniex itu. Namun, Ravelt menemukan sebuah solusi. Dia menarik tuas tangan robot itu supaya tangan robot mencengkram kadua cakar Phoniex, lalu menariknya keluar. Tangan besi robot itu mulai meleleh, tapi sebelum panas dari cakar Phoniex itu merusak kerangka robot, robot itu langsung membanting si Phoniex ke danau. Phoniex yang telah tercebur di dalam danau mengerang kesakitan, lalu menghilang menjadi asap hitam sama seperti ular sebelumnya.

"Tsch.... ini robotku tidak murah,tahu! Kau akan membayar untuk kerusakan tangan robot ini!" Kata si robot melalui speakernya.

Robot itu berbalik ke arah dimana ular tadi terbunuh. Tampak seorang gadis kecil berambut Caramel sampai punggung yang sedang membacakan sebuah buku. Suara gadis itu begitu jelas. Suaranya adalah campuran dari kemarahan dan kesedihan. Ketika gadis itu, Caroll Lindel menutup bukunya, sepeloton kerangka manusia bersenjatakan pedang dan perisai merangkak keluar dari dalam tanah.

"Hah? Cuma gadis kecil? Lebih baik kau pulang,nak! Aku tidak tertarik melawan anak kecil!" Ejek Ravelt.

"Tak akan kumaafkan....." Terdengar suara lirih dari gadis itu.

Caroll menarik buku lain dari sebuah portal, lalu mengembalikan buku sebelumnya. Buku kali ini adalah sebuah buku berwarna merah dengan tulisan "Tale of the great creater bomb".

"...Orang rendahan sepertimu yang berani merusak perpustakaan yang suci!"

Carol melototkan kedua matanya kepada Ravelt. Tatapan mata Carol menusuk mata Ravelt dari celah-celah yang dibuat oleh Phoniex. Seakan-akan mata itu mengatakan "Aku akan membunuhmu". Ravelt merasa dihina, apa seorang raja akan diam saja ketika diejek oleh anak kecil? Raja lain akan mengabaikan, tapi tidak untuk Ravelt.

"Majulah Platoon dari dunia kematian, Platoon tengkorak!" Gadis itu memerintahkan seluruh Platoon tengkoraknya untuk menyerang robot itu.

Ravelt berpikir keras. Menurut Ravelt, Carol adalah petarung tipe Summoner, sejenis penyihir yang menyerang dengan memanggil mahluk dari dunia lain. Tapi mahluk yang ia panggil bukan mahluk yang sebenarnya, melainkan "Sesuatu yang dibuat" mirip. Sama halnya dengan Phoniex itu, Phoniex dikabarkan memiliki bulu api dan bukan bulu seperti bulu unggas.

Dia menyimpulkan bahwa semua itu bedasarkan yang Carol baca melalui buku itu. Tapi kenapa Carol memanggil Platoon tengkorak ini dari padahal dia bisa memanggil mahluk yang lebih kuat? Apa karena Carol kehabisan tenaga? Atau karena robot Ravelt sudah rusak cukup parah?

Ravelt hendak membuat lebih banyak teori, tapi para Platoon tengkorak itu sudah mendekat. Mereka mulai memanjat kaki robotnya, ada beberapa yang bergelantung di bangunan-bagunan sekitar dan melompat ke punggungnya.

"Persetan dengan teori! Kalau gadis itu sudah kalah, monster panggilannya tidak akan muncul lagi!" Teriak Ravelt.

Robot Ravelt menerjang melawan arus dari Platoon tengkorak Carol. Terkadang ada satu atau dua tengkorak yang berhasil mencapai kokpit Ravelt, sehingga Ravelt harus menggunakan Divine Acess-nya untuk bertahan dari serangan monster-monster itu. Semakin banyak kerangka yang memanjat punggung robot itu, gerakan si robot semakin lambat dan akhirnya robot Ravlet terjatuh karena beratnya kerangka-kerangka itu. Ravlet sudah terlambat , Carol sudah selesai membaca bukunya.

Sebuah mahluk berbentuk bola raksasa berduri muncul di atas Carol. Dapat dirasakan panas yang dipancarkan dari mahluk itu, aspal jalan mulai retak, kayu perabotan terbakar, tanaman mengering lalu terbakar, bahkan air di dalam danau menguap dengan cepat.

"H-Hei! Berhenti! Kau bisa mati tahu!" teriak Ravelt pada Carol.

Carol tidak bergerak sama sekali. Dia hanya duduk di atas aspal panas itu sambil memandang Ravelt dengan benci. Tapi entah mengapa, kerangka-kerangka yang memanjat robot Ravelt langsung berhenti. Carol tidak memberi perintah apa-apa. Apa karena panas mahluk itu?

Mahluk itu adalah The great creater bomb –seekor mahluk fiksi yang dikisahkan sebagai "Pelaku" Big Bang –ledakan yang menciptakan dunia– dan suatu saat untuk membuat Armagedon –ledakan yang mengahiri dunia. Carol tidak lagi memikirkan untuk memenangkan turnamen ini. Tujuannya saat ini hanya ada satu, yakni "BUNUH RAVELT".

Robot Ravelt terbebas dari kurungan Platoon Tengkorak. Dia langsung menggerakan tuas robot itu dan membuat robot itu berdiri, kemudian Ravelt menggerakan robotnya untuk berlari ke Carol dan menghancurkan monster yang ia panggil. Tapi Ravelt sudah terlambat dari tadi karena pada detik inilah, The great creater bomb meledak.

Seluruh pulau tertelan dalam ledakan Armagedon. Bukan hanya Pulau Ryax, seluruh gugusan pulau Satha Pranagathak, Jagatha Vadhit dan seluruh dunia ini hancur lebur karena ledakan Armagedon. Bahkan Thurkq yang agung tak dapat menahan serangan ini. Turnamen Battle of Realms berahir tanpa pemenang. Kalau saja Ravelt bertindak lebih cepat, bisa saja dia menghentikan ledakan ini.

Tamat (?)

Partikel-partikel yang tertelan ledakan Armagedon muncul lagi, lalu partikel-partikel itu membentuk atom, atom membentuk tanah dan unsur lainnya, kemudian unsur-unsur itu membentuk planet kemerahan itu kembali beserta isinya. Waktu telah berputar kembali.

"HAHAHA! Untung tepat waktu..." Tawa Ravelt dari dalam kokpit robotnya.

Seekor ular menerjang robot Ravelt. Tapi robot Ravelt langsung berputar ke arah ular itu, menggengam kedua moncongnya, lalu mematahkan rahangnya. Ular itu menjerit kesakitan, lalu dilemparnya ke bangunan-bangunan di sekitarnya.

Seekor Phoniex muncul dari asap yang dihasilkan mayat si ular. Phoniex itu langsung menerjang robot Ravelt, tapi dengan satu gerakan uppercut dari robot Ravelt di perut hewan itu, Phoniex langsung melambung ke danau dan mati.

"Kau mau memanggil pasukan kerangka manusia,nona?" Tantang Ravelt kepada gadis yang bersembunyi di balik asap kematian ular.

"K-Kau... Bagaimana kau bisa tahu?" Suara Carol lirih.

Asap ular akhirnya menghilang. Wajah Carol tampak pucat, matanya terbelalak, tangannya gemetar dan keringat dingin memancar keluar dari kulitnya. Bukunya nyaris terjatuh kalau saja dia tidak menangkapnya. Untuk memprediksi satu atau dua serangan adalah hal yang biasa, apalagi kalau ada faktor keberuntungan di dalamnya. Tapi beda halnya jika bisa memprediksi sesuatu yang bahkan belum terjadi.

Seperti mengejek Carol, Ravelt menunggunya selesai membacakan deskripsi pasukan tengkoraknya. Ketika Platoon tengkorak bangkit dari tanah, robot Ravelt langsung berlari kepada Carol.

"Aku tak akan membiarkanmu memanggil mahluk besar bulat itu, gadis kecil!"

Lagi. Carol dikejutkan oleh perkataan Ravelt yang seakan mengetahui apa yang akan dipanggil oleh Carol. Meski tahu resikonya Carol tidak berhenti begitu saja, dia menarik bukunya dan langsung membacanya dengan cepat. Tapi buku bacaan Carol terlempar karena terkena lemparan tulang belulang yang menghantamnya, rupanya robot Ravelt terus menerus menendangkan kerangka-kerangka hidup itu kepada Carol.

Carol hendak mengambil bukunya. Robot Ravelt melemparkan kursi kendali Ravelt ke arah Carol. Ravelt sudah siap dengan tongkatnya kemudian menembakan bola api dari ujung tongkatnya dan membakar buku Carol. Ravelt melompat dari kursinya dan mendarat di dekat Carol.

Bagi Carol, buku adalah segalanya, buku adalah satu-satunya hal yang membuat Carol senang di masa kanak-kanaknya, bahkan setelah dia diadopsi, buku tetap menjadi sahabat yang selalu menemaninya. Setelah menyaksikan bukunya dibakar secara langsung, Carol seperti kehilangan separuh dirinya. Air mata mengalir deras dari matanya dan membasahi abu sisa buku itu.

Sementara itu, Ravelt dengan sombongnya menatap sadis gadis yang sedang menangis itu, lalu menghinanya lebih jauh dengan menginjak abu dari buku yang dibakarnya. Ravelt menembakan bola api lagi pada abu sisa dari buku itu. Carol menjerit sejadi-jadinya, rembesan air matanya semakin deras.

"Ini sudah berakhir, gadis kecil"

"B-Bagaimana kau bisa...."  Tanya Carol dengan suara tersedu.

"Apa kau tak lihat screen retry tadi? Kemampuan Pasif Hero's Essence. Aku adalah karakter utama, seorang Hero! Wajar saja kalau aku bisa mengulang dari Check Point sebelumnya. Oh, tunggu kau tidak mungkin melihatnya! HAHAHAHA!" Tawa Ravelt mengahiri kalimatnya yang cukup membingungkan bagi Carol.

"Inilah hukuman bagi mereka yang berani menentang seorang raja"

Ravelt mengarahkan tongkatnya ke kepala Carol. Carol tidak punya harapan lagi. Dia telah gagal membunuh orang yang telah membakar perpustakaan, satu-satunya tempat dimana Carol dapat menyebutnya "Rumah". Sebuah ledakan di kepala Carol mengahiri pertarungan ini.

Ravelt berjalan menjauh dari mayat tanpa kepala Carol. Tiba-tiba dia terhenti, dia memandang kembali mayat gadis yang baru saja ia bunuh dengan kebingungan. Ada sesuatu di pulau ini yang membuat Ravelt bertingkah aneh. Dia memang raja yang semena-mena, tapi apa dia orang yang bisa dengan mudah membunuh anak kecil? Tentu saja tidak.

"A-Apa aku baru saja.... Bah! Aku harus segera keluar dari pulau ini sebelum terlambat!" Teriak Ravelt kepada awan yang menutupi langit.

Mata Ravelt terarahkan pada satu gedung di arah tenggara. Sebuah peluru menembus tengkoraknya dan membunuhnya seketika. Tapi sekali lagi, kemampuan Hero's essence Ravelt teraktifkan. Waktu berputar kembali, tepat sebelum peluru itu tertembakan.

***

"Oh? Sudah selesai?"

Luna kembali membidik. Karena Carol sudah mati, sekarang hanya tersisa Ravelt. Luna memasang bidikannya dengan tepat, lalu menarik pelatuk senapannya. Peluru tertembakan dari moncong senapan itu, tetapi seakan mengetahui akan serangan itu, Ravelt langsung bersembunyi ke bangunan terdekat.

"Meleset lagi? Bagaimana bisa?"

Luna memaki-maki Thurkq lagi. Tiga dari dua belas pelurunya telah terbuang tanpa mengenai satu targetpun. Padahal dia yakin posisinya tak akan ketahuan, dia sudah memasang silencer pada moncong senapannya, bau tidak mungkin tercium karena jarak,lampu sudah dimatikan, dan dia berada di lantai dua belas, jadi tidak mungkin dia ketahuan. Luna menyalahkan kesalahannya pada angin dan Thurkq yang dengan sengaja memanipulasi angin.

Tapi Luna tak diberi waktu untuk mengoceh, sepertinya dia kedatangan tamu. Dari sebuah Monitor kamera pengawas yang ia ambil dari sebuah toko di jalanan, ia melihat sesosok wanita berambut merah-biru memasuki hotel dimana dia bersembunyi.

"Waktunya menjamu tamu baru"

***

Sebuah kertas malayang-layang turun dari suatu bangunan. Seorang wanita berpakaian mini segera menangkapnya dan membaca tulisan Datanglah ke Hotel Kematian, kami menyediakan jasa pembunuhan khusus hanya untuk anda. Wanita itu bingung membaca selebaran itu, tapi bisa jadi ini adalah salah satu peserta.

"Mahluk cair itu berbohong" Gumamnya.

Stella telah sampai di sebuah bangunan hotel, lebih tepatnya hotel tua yang entah mengapa lampu-lampu di dalam hotel ini masih menyala meski tidak seterang lampu bohlam 50V. Ketika hendak menginjakan kaki di dalamnya, Stella menyadari pergerakan beberapa mahluk di sekitarnya. Stella membentuk pedang air dari genangan air yang ia temukan di depan hotel, lalu masuk kedalam bangunan itu.

Hal pertama yang ia rasakan adalah perasaan kalau dia sedang diawasi. Tapi berdiam diri tak akan menghasilkan apapun, jadi dia melangkah masuk ke dalam hotel itu. Ketika tiba di suatu persimpangan, dia dikejutkan oleh kehadiran sebuah mahluk berbadan besi. Stella langsung menebas mahluk itu, lalu mahluk itu meledak dan menjadi serpihan kecil, hanya satu kertas yang tersisa dari mahluk itu.

Stella mengambil kertas yang terjatuh dari robot itu. Dia hendak bertanya kenapa kertas ini bisa selamat dari ledakan, tapi tak ada waktu untuk itu. Dalam kertas itu tertulis Selamat datang di Hotel Kematian. Meski kunjungan anda menjadi kunjungan terburuk, silahkan nikmati alam kematian di ujung sana. Luna.

"Silahkan menikmati alam kematian? Lelucon yang tidak lucu. Ini adalah alam kematian, Luna!" Teriak Stella pada langit-langit.

Stella melepas tawa kecil. Tangan kiri Stella membara dengan api dan membakar kertas itu. Asap dari pembakaran kertas melayang ke langit-langit dan mengaktifkan Sprinkler. Tapi bukan air yang keluar dari sprinkler itu, melainkan suatu cairan kental yang mengeluarkan bau khasnya, Bensin. Bensin membasahi seluruh ruangan, lalu tersulut api dari tangan Stella, sehingga api menyebar dan membakar seluruh lantai pertama.

***

"Target sudah tereliminasi" pikir Luna.

Luna sudah memperkirakan ini sebelumnya. Dia telah mengmati cara bertarung Stella yang menggunakan air dan api, jika dia disuguhi kertas untuk provokasi, pasti dia akan membakar kertas itu. Luna mengetahui ini dan mengganti isi tabung pemadam dengan minyak. Rencana Luna berhasil dan sekarang Stella telah tertelan oleh api.

"Tapi.... Ini terlalu mudah...." pikir Luna.

Suatu gambar di luar nalar tetangkap oleh kamera Luna, dalam monitor Luna tampak api dalam bentuk seorang wanita berjalan di antara kobaran api seakan-akan tidak mempengaruhinya sama sekali. Wanita api itu berjalan mendekati lift dan mendobrak pintunya, lalu entah apa alasannya dia juga mendobrak pintu tangga darurat, kemudian memasuki tangga darurat.

"Ya, sesuai dugaanku. Benar-benar tidak semudah itu"

Sebelumnya Luna berpikir kalau Stella hanya bisa mencairkan tubuhnya, tapi setelah jebakan ini Luna mengerti kalau Stella juga bisa merubah tubuhnya menjadi api. Kalau saja Luna tidak mengerti apa-apa soal sihir, pasti dia sudah tercenggang melihat sesuatu yang diluar akal manusia.

"Tapi kenapa dia memilih tangga darurat padahal ada lift? Ah... Jebakanku jadi sia-sia"

Sebuah lampu merah berkelap-kelip di meja kendali sehingga Luna segera bangkit dari posisi duduknya dan langsung menuju ke sana. Lampu itu adalah tanda bahwa penyusup telah melewati baris pertahanan, tapi Stella baru saja masuk ke tangga darurat. Jadi siapa yang memancing alarm ini berbunyi?

Luna kembali ke deretan monitor hitam-putih yang memberikan pandangan semua kejadian di hotel ini. Ia melihat Stella masih menaiki tangga di antara lantai pertama dan kedua. Luna menekan sebuah tombol kuning dengan angka 2 di atasnya, robot-robot penjaga hotel keluar dari pintu lantai kedua dan mulai menghadang Stella.

Lampu merah itu masih berkelap-kelip. Luna yakin tidak ada penyusup lain selain Stella, tapi kalau memang ada, bisa bahaya. Stella mengambil senapannya dan bersiap meninggalkan ruangan itu. Tapi langkah Luna berhenti ketika dia melihat kamera lantai 5 dan lantai 10. Matanya terbelalak, seakan tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat. Ada dua manusia, tidak, dua mahluk mirip manusia yang sedang menghabisi robot-robot penjaga hotel. Yang satu berjalan ke bawah dan satunya lagi berjalan ke atas, menuju lantai dimana Stella berada.

"Tsch... Bagaimana dia bisa masuk?" geram Luna.

Luna segera berlari keluar dari ruangan itu, dia tak bisa menggunakan lift karena sudah ia pasangi dengan jebakan. Jadi, satu-satunya jalan adalah melalui tangga darurat. Pintu tangga darurat terbuka dengan otomatis, dia bisa melihat robot-robot yang diperintahnya menuju ke lantai bawah secara bergelombang.

Dia mulai berjalan berlawanan dengan robot-robot itu untuk menuju puncak bangunan ini melalui tangga di dalam ruangan gelap gulita ini dan hanya diterangi nyala dari mata robot-robot itu.

Suara tebasan-tebasan besi terdengar oleh Luna. Dia melihat sebuah mahluk cair mirip manusia yang sudah hampir mencapai lokasinya saat ini. Akan tetapi, Luna tidak panik karena dia sudah merencanakan semuanya. Dia mengambil sebuah kantong plastik dengan sebuah sumbu yang terbuat dari potongan kain, lalu ia menyalakan sebuah pematik untuk membakar sumbu itu dan melemparnya kepada mahluk itu.

Mahluk itu melompat ke belakang. Kantong plastik itu menciptakan sebuah ledakan yang cukup besar untuk meledakan seluruh anak tangga antara lantai sebelas dan dua belas. Atau lebih tepatnya cukup untuk memicu ledakan, karena sebelumnya Luna telah meletakan kumpulan mesiu pada sebuah kotak besi bekas peluru di anak tangga itu.

"Kurasa perkiraanku benar. Mesiu dari peluru-peluru tak berguna itu bisa berguna juga"

Tampaknya si mahluk cair tak mau menyerah begitu saja. Dia membentuk sebuah tombak cair pada tangannya, lalu melemparkannya tepat ke arah Luna. Untungnya tombak cair itu tidak mengenainya.  

Luna baru menyadarinya, tapi sepertinya ada kabel tipis yang menghubungkan antara mahluk itu dan tombaknya. Air mengalir melalui kabel itu hingga jumlahnya cukup untuk membuat tubuh bagian atas manusia. Mahluk itu berniat melewati lubang hasil ledakan tadi dengan memindahkan tubuhnya melalui kabel ini. Luna segera berlari melewati robot-robot hotel dan menuju ke lantai berikutnya.

***

"Mahluk besi ini tidak ada habisnya!" geram Stella sebal.

Stella berkali-kali menebas robot-robot yang menghalangi jalannya. Setiap logam yang terbelah oleh pedang Stella berceceran di belakangnya dan membentuk gundukan besi. Tak peduli berapa banyak robot yang ia tebas, robot-robot itu terus berdatangan seolah-olah hotel ini adalah pabrik mereka.

Sekelompok robot mengejar dari belakang Stella sambil membawa alat-alat pembersih seperti pel dan sapu. Dua diantaranya melompat ke arah Stella dan memukul kepalanya, tapi Stella kembali mencari, lalu berbalik dan memotong keduanya.

"Masih berapa lantai lagi?" pikirnya.

Stella semakin kelelahan, mungkin saja itu tujuan dari robot-robot ini. Mereka lemah, daya bertarung mereka hampir mendekati nol, tetapi kalau dibiarkan mereka akan mengalahkan Stella dengan jumlah mereka yang banyak. Benar-benar taktik yang menyusahkan. Dia yakin kalau siapapun yang memerintah robot ini pasti sedang mengawasinya dari jauh, mengawasi diantara anak tangga yang menjulang tinggi ini.

Mungkin saja karena kesal menghadapi robot-robot lemah ini, sebuah perasaan aneh tumbuh dalam hati Stella. Seakan ada sebuah dorongan dari dalam dirinya untuk memenangkan pertarungan ronde ini. Sebuah perasaan yang mengatakan untuk tidak kalah dalam ronde ini, dengan cara apapun. Apalagi setelah dia dibuat malu karena hampir dikalahkan Emils yang ternyata gampang dikalahkan dan dibuat kabur seperti orang gila oleh robot itu. Dia tidak terima. Dia tak mau dipermalukan lagi.

"Aku.... TAK MAU DIPERMALUKAN LAGI!" Nada Stella mengeras pada kalimat terakhirnya.

Seakan dirasuki setan, dia menerjang barisan robot-robot itu tanpa menghiraukan serangan mereka. Puluhan pukulan dari peralatan pembersih para robot bukan apa-apa dibandingkan dengan keinginannya untuk memenangkan ronde ini, bukan turnamen Battle of Realms, tapi ronde ini.

Sebuah tebasan menyayat punggung Stella. Stella terjatuh, tapi dia langsung berguling dan kembali berdiri. Pelaku tebasan itu adalah mahluk cair bertubuh manusia yang terlihat familiar bagi Stella.

"Bukannya dia sudah kukalahkan tadi? Oh, iya.... tendangan robot itu pasti membawanya ke hotel ini" pikirnya

Emils, atau lebih tepatnya duplikat Emils mengangkat pedangnya dan berlari menuju Stella. Emils mengayunkan pedangnya, tapi tangannya ditangkap oleh tangan kanan Stella, lalu dilemparkan ke kumpulan robot di belakangnya.

"Hei! Jangan mengabaikanku beg...."

Belum selesai mahluk itu berbicara, tubuhnya sudah terbekukan lagi oleh sihir Stella. Stella telah menggunakan sihir yang sama dengan yang ia gunakan pada Emils sebelumnya.

"B-Beku lagi?!" pekik Emils dari dalam balok es.

"Jangan ganggu aku, monster lemah!" Hardik Stella pada Emils.

Robot-robot mulai menghadang Stella lagi. Stella mengubah struktur tubuhnya lagi, tapi kali ini bukan menjadi cairan atau api, melainkan menjadi kumpulan kabut tipis. Kabut Stella melewati kumpulan robot itu, lalu robot-robot itu jatuh tergeletak di tanah karena energi robot-robot itu telah diserap oleh Stella melalui kabutnya, Heavy Fog.

"Jangan halangi aku, mahluk besi lemah!" Hardik Stella pada kumpulan robot yang terus menerus menghadang tanpa menghiraukan ancama Stella.

***

"Robot terakhir!" teriak Emils

Terjangan pedang Emils menusuk robot terakhir yang berusaha melindungi Luna. Mahluk cair itu langsung mengoyak isi robot itu untuk melepas pedangnya. Di belakang robot itu tampak Luna yang berwajah kesal karena senapannya terpotong menjadi dua karena digunakan untuk menahan serangan Emils. Luna membuang senapannya, lalu melompat ke anak tanggan yang lebih tinggi. Emils memandang ke arah Luna yang memandangnya juga.

Emils kembali mengejar Luna, belasan tebasan dan tusukan ia lontarkan, tapi setiap saat selalu berhasil dihindari oleh Luna. Kelincahan Luna menutupi kekurangannya dalam pertarungan jarak dekat, tapi tetap saja Luna dalam ketidakuntungan. Meski jaket dan rok hitam Luna cukup bagus untuk membaur dengan kegelapan di sekitarnya, Luna tidak bisa menyerang dari dekat, tangannya terlalu lemah untuk sebuah pukulan dan dia tidak punya senjata apapun untuk membantu pertarungannya. Di sisi lain, Emils memiliki keuntungan sebagai petarung jarak dekat yang sudah berpengalaman dalam pertarungan jarak dekat. Hanya masalah waktu sebelum Luna mulai membuat kesalahan dan kalah.

"Sial... Mahluk cair ini merusak semua rencanaku..." pikir Luna.

Pedang Emils kembali menebas Stella, Luna menghindar lagi dengan melompat ke belakang, tapi sehelai rambut panjang Luna terpotong. Emils tak berhenti, dia meneruskan serangannya dan menebas lagi. Luna berhasil menghindar, tapi dia mengenai anak tangga di belakang tumit kakinya sehingga ia terlempar sampai punggungnya menghantam dinding. Emils memanfaatkan kesempatan ini dan menusuk Luna.

"Apa kau tahu? Tak ada musuh yang lebih mengerikan dari pada kesalahanmu sendiri" Ledek Emils pada Luna.

Peserta itu sudah terjebak. Namun, untuk kali ini bukan masalah bagaimana dia dijebak, tapi siapa yang dijebak. Luna langsung mengambil kantong plastik berisi mesiu dari saku bajunya, lalu menyalakan pematiknya sehingga sumbunya menyala dan langsung memasukannya ke dalam tubuh cair mahluk itu. Luna meninggalkan jaket hitam yang telah ditusuk oleh pedang Emils yang tertancap pada dinding. Baju putih Luna seperti memantulkan cahaya dalam kegelapan ruangan ini, sehingga tampak samar raut wajahnya yang tersenyum sadis.

"Ya, sangat ironis. Tak ada musuh yang lebih mengerikan dari pada kesalahanmu sendiri, terutama karena mengira mangsamu sudah tidak berdaya" Luna membalas ledekan Emils.

Tubuh cair Emils meledak. Luna beruntung telah menyimpan satu kantong mesiu terakhir. Ledakan dari sekantong mesiu ini tidak besar, jadi tidak ada kerusakan pada dinding atau anak tangga seperti ledakan sebelumnya, tapi cukup untuk meledakan tubuh cair Emils dan membuat cairannya berceceran dimana-mana.

"Sekarang... bagaimana nasib wanita tadi?"

Luna hendak berjalan menuju ke lantai bawah untuk memeriksa Stella. Tapi tiba-tiba sesuatu mencengkram kakinya. Luna menoleh ke belakang, dia sangat terkejut sampai dia menjerit seperti gadis pada umumnya. Memangnya siapa yang tidak akan ketakutan kalau ada potongan lengan yang memegang kakimu? apalagi jika tangan itu sangat lengket.

"L-Lepaskan aku!" Luna berteriak ketakutan.

Memang ganjil, dia tidak pernah jijik melihat korban tembakannya mati, tidak ketakutan atau merasa bersalah, tapi baru kali ini dia menjerit sehoror itu. Luna mengira benda itu adalah hantu karena di lensa kaca mata panasnya benda itu tidak memancarkan panas apapun.

"J-Jangan diam saja! Lari!" perintah "potongan tangan" itu.

Luna tidak berpikir panjang, diapun hendak lari ketakutan, jadi tak ada salahnya menuruti perkataan si "potongan tangan" itu. Luna berlari menaiki tangga dengan kencang, tapi langkah kencang Luna perlahan melambat, lalu berhenti.

"Kenapa diam?! Terus lari nanti aku bisa mati!" teriak "potongan tangan" itu.

"Tunggu dulu.... Apa kau...."

Gadis berambut perak itu menyalakan pematiknya, lalu menyipitkan matanya ke arah tangan itu. Pandangannya semakin membaik karena penerangan tambahan, setelah dilihat dengan seksama, "Potongan tangan" ini cair dan memiliki suatu bola biru tua di dalamnya.

"Sialan! Aku kira apa... ternyata kau lagi!"

Luna menjadi kesal seakan-akan dia tidak pernah takut sama sekali. Dia menggoyangkan kaki yang ditempeli mahluk cair itu, berharap kalau benda menjijikan itu akan segera jatuh.

"H-Hei... kita kedatangan tamu!"

"Jangan mengarang cerita! Pokoknya...."

"Luna......"  terdengar suara yang sangat lirih tepat di belakang Luna.

Luna berbalik, tapi tak ada siapapun di sana. Hanya sekumpulan kabut tipis yang datang entah dari mana. Luna semakin ketakutan, meskipun dia tetap berpikir kalau ini hanyalah trik si "Potongan tangan" untuk menipunya.

"Jadi kau adalah Luna.... aku tidak pernah mengira kalau "Penyelenggara" kegiatan hotel ini adalah anak kecil sepertimu..." kata suara itu Lirih.

"Oke, mahluk cair. Hentikan leluconmu ini!" Perintah Luna.

"Kau gila? Apa kau tidak melihatnya?" Bentak mahluk cair itu kepada Luna.

"LLLUUUNNAAAAA!!!!!" Suara lirih itu berubah menjadi keras dan melengking.

Sebuah bola api terbentuk di belakang kepala Luna. Luna terlambat menyadarinya sehingga dia tidak bergerak sama sekali. Tapi "Potongan tangan" di kakinya menggengam lantai, lalu menarik tubuh Luna, sehingga Luna terjatuh dan menghindari bola api itu.

"Apa itu?!" tanya Luna dengan kaget.

"Cepat berguling!" Perintah si mahluk cair.

Lunapun berguling tanpa mengetahui alasan dibaliknya. Sebuah pedang air menancap pada lantai dimana Luna sebelumnya, lalu bergeser ke arahnya saat ini. Luna mendorong badannya dengan kedua tangannya untuk berdiri, lalu mengambil langkah dan mulai berlari.

"H-Hei.... Apa itu tadi?" Tanya Luna.

"Apa kau benar-benar tidak melihat kumpulan kabut tipis itu?"

"K-Kabut?" Pikir Luna

Luna melihat kembali anak tangga di belakangnya. Memang hampir tidak terlihat, tapi memang ada kabut di sana. Tentu saja kacamata sensor panasnya tidak merespon, karena kabut tidak memancarkan panas. Luna berhenti sejenak. Dia memandangi kabut itu, kabut berbentuk tubuh manusia berambut panjang sampai ke pinggang yang seakan-akan membentuk sebuah pola belang-belang. Luna merasa familiar dengan gaya rambut kabut itu.

Kabut itu lalu membentuk bola api di tangan kirinya dan melemparkan bola api itu kepada Luna. Luna bergeser dari tempatnya, lalu kembali berlari. Dia tahu siapa itu, itulah kenapa air matanya mulai berlinang di dalam matanya.

"W-Wanita itu.... S-Sial! Pasti dia mau balas dendam karena aku membunuhnya tadi, sehingga dia menjadi hantu gentayangan!"

"Sadarlah! Dia masih hidup! Dia hanya menjadi kabut!"

Luna menoleh kebelakang lagi untuk memastikan perkataan Emils. Jika diperhatikan dengan seksama, gumpalan kabut tipis itu memang memiliki berbentuk mirip Stella, tapi Kacamata bersensor panas Luna tidak mampu mendeteksi panas dari kabut itu, sudah pasti dia hantu. Namun, dia menyadari kalau kabut Stella juga harus memijakan kakinya pada anak tangga untuk naik ke atas. Dia bukan hantu karena hantu bisa terbang tanpa harus menaiki anak tangga. ia merasa lega sekaligus kesal karena dia gagal membunuh musuhnya. Benar-benar gadis yang rumit.

Tangga yang panjang membuat nafas Stella semakin panjang. Dia sudah muak dipermainkan. Dia tidak mau lagi kalah, hanya satu hal dalam pikirannya, yakni untuk memenangkan ronde ini. Dia tak peduli mau tubuhnya selamat atau hancur.Hanya ronde ini saja, dia tak mau kalah supaya dia tidak harus menanggung malu.

Dengan memaksakan kekuatannya melebihi batas, Stella membuat belasan bola api di sekitar tubuhnya lalu ia tembakan ke arah Luna. Luna menghindari bola api Stella, tapi cukup menguras tenaga Luna karena dia harus terus-menerus mengawasi bola-bola api itu. Sialnya, Bola-bola api ini tidak bergerak pada satu jalur, melainkan bergerak mengikuti pergerakan Luna. Kepercayaan diri Luna menurun karena dia tidak bisa menghindari semua bola api itu terus menerus.

"H-Hei! Gerakanmu melambat!"

"Mungkin tidak akan kalau kau tidak menempel pada kakiku!"

"Ayolah! Apa kau tidak kasihan pada musuhmu yang sudah setengah sekarat ini?! Manusia benar-benar mahluk yang tak berempati"

"Ngajak berantem?"

"A-Ampun! M-Maksudku bukan seperti itu!"

Karena terganggu oleh Emils, Luna luput sehingga sebuah bola api berhasil mengenai bahu kiri Luna. Luna menggerang kesakitan. Bola-bola api lainnya ikut menerjang, tapi Luna melakukan lompatan panjang dan melanjutkan pelariannya sambil memegang bahu kirinya. Bola-bola api di belakangnya langsung meledak setelah mengenai sesamanya.

"Lihat! Ini gara-gara kamu menggangguku!"

Bola-bola api Stella sudah tidak ada lagi dan sekarang Stella terlihat sibuk membuat bola-bola api. Sebuah ide muncul di pikiran Luna. Kalau tidak bisa dihindari, bagaimana kalau dihancurkan saja. Akan tetapi, dia tidak memiliki senjata jarak dekat dan pistolnya tak akan berfungsi karena tidak ada cahaya bulan. Itulah saat ketika dia teringat mahluk cair yang menempel di kakinya.

"Gel... Kau bisa menjadi senjata,kan?"

"Namaku Emils dan aku adalah Slime! Bukan Gel!"

Luna menghela nafas. Benar-benar mahluk yang merepotkan, tapi dia harus bekerja sama dengan mahluk merepotkan ini supaya keluar dari masalah ini.

"Dengar, kau perlu aku untuk tetap hidup atau kau akan dibunuh Stella. Tapi aku tak perlu kau untuk hidup dan akan lebih mudah untukku kalau aku meninggalkanmu supaya kau menjadi target Stella. Jadi kalau kau mau hidup, paling tidak tolong aku di sini!"

"A-Aku tidak punya pilihan lain,kan?"

"Emils, kau bisa menjadi senjata apa saja,kan?"

"Ya. Senjata apapun dari pisau sampai busur"

"Kalau begitu, bisakah kau berubah menjadi pistol?"

"Bisa, tapi aku tidak akan berfungsi seperti pistol manusia. Cara kerja mesin manusia begitu membingungkan, jadi tak akan lebih dari sebuah dekorasi"

"Kurasa pilihanku terbatas. Jadilah senjata apapun"

Luna menurunkan tangan kannannya, lalu cairan Emils bergeliat ke tangan Luna. Di tangan Stella, Emils membentuk pedang cair, lalu meletakan intinya di dekat bagian pegangan pedang dan membekukan bilah pedangnya supaya tidak gampang menguap. Memang menjijikan, tapi Luna terpaksa, ia tak mau direpotkan oleh bola-bola api Stella.

Bola-bola api Stella menerjang lagi. Sekarang Luna memiliki senjata untuk jarak dekat, tapi dia tidak miliki pengalaman. Luna berusaha menebas bola-bola api itu, tapi tetap saja dia tak bisa mengenai bola-bola api, sebaliknya karena Luna harus menepis dari dekat, jarak Luna dan Stella semakin pendek.

Stella membentuk pedang cair lagi dan menusuk kepala Luna. Luna berusaha menahan pedang Stella dengan Emils, tapi dia membuat kesalahan fatal dengan menggunakan sisi datar pedang itu. Stella memfokuskan kekuatan pada pedangnya dan berhasil mendorong mundur Luna sampai jatuh.

Pedang cair Emils terhempas, lepas dari tangan Luna. Dia sudah tahu presentase kemenangannya dibawah 5%, tapi Luna hampir tak percaya dia bisa kalah secepat ini. Stella hendak menebaskan pedangnya ke leher Luna, tapi sebuah gumpalan air berbentuk sejengkal tangan berhasil menahan pedang cair Stella.

"Terimakasih airnya!" kata tangan cair itu.

Saat ini Stella sedang menggunakan sihir elemen api, air dan kabut secara bersamaan, akibatnya kekuatan kendalinya terhadap masing-masing elemen itu berkurang sehingga Emils dapat mengambil alih air penyusun pedang Stella.

Emils kembali membentuk pedang yang lebih panjang dari sebelumnya. Tidak, dia membentuk sebuah tombak dan menusuk tubuh kabut Stella. Meski dalam bentuk kabut dan tahu dia tak akan terluka, Stella mengambil beberapa langkah mundur secara refleks. Luna segera menggengam tombak itu dan membawanya pergi.

"Apaan itu?! permainan pedangmu payah!" ledek Emils.

Luna hanya terdiam. Dia tidak mau minta maaf atau membalas perkataannya. Yang penting untuk sekarang adalah kabur karena Stella akan segera mengejar dengan bola apinya.

"Aku ada ide. Serahkan tangan kananmu"

Tombak cair Emils memendek menjadi pedang berujung lancip, sebuah pedang Rapier, lalu sisa cairannya menggeliat sampai ke bahu tangan kanan Luna. Bola-bola api Stella semakin mendekat, Luna melompat ke arah depan untuk menjauhinya.

Tiba-tiba tangan kanan Luna terdorong dengan gaya yang sangat kuat sehingga tubuh Luna berbalik sambil melompat kebelakang. Sebuah bola api tertepis kembali ke arah Stella, menembus tubuh kabutnya, lalu meledak pada dinding belakangnya.

Luna berusaha meraih keseimbangan karena gerakan tiba-tiba tadi, tapi tangan kanannya mulai bertingkah lagi bersamaan dengan terjangan dua bola api. Dorongan dari tangan kanan Luna membuat tubuhnya berputar sampai sebuah bola api tertepis, lalu menghantam bola api lainnya dan meledak.

Bola-bola api lainnya ikut menerjang, tapi setiap kali mendekat mereka langsung ditepis ke sesamanya sehingga mereka meledak dan meninggalkan kumpulan asap tebal.

"Ini kesempatan kita! Cepat kabur selagi bisa!" teriak Emils.

Si wanita bertubuh kabut tak dapat berkata apapun karena bola-bola apinya telah dihabisi dengan mudah. Luna juga tak mampu berkata-kata, bukan karena kehebatan "Tangan kanan"nya. Tapi karena rasa sakit akibat tangan kanannya terpelintir sampai sudut yang tidak mungkin bagi sendinya.

"Kau gila! Kau pikir aku tidak punya sendi?" Luna membentak kepada Emils.

"ah... aku cuma menggeser sendimu, toh nanti juga bisa dikembalikan kalau tendonnya belum putus" kata Emils dengan santainya.

"memangnya aku seperti bongkar pasang?!"

Luna hendak membentak lebih lama, tapi ini satu-satunya kesempatan mereka untuk kabur. Paling tidak dia sudah menjadi lebih kuat, dia tak harus lagi bergantung pada senapan atau sihir lagi. Luna melanjutkan pelarian mereka ke lantai paling atas.

Stella masih berdiam di sana, di anak tangga perantaraan lantai 16 dan 17 sambil menatap kedua mangsanya kabur begitu saja. Setelah mereka berdua tidak tampak lagi, tubuh Stella memadat kembali karena batas waktu elemen kabutnya sudah terlampaui.

Dia mengutuk dirinya sendiri, dia tidak boleh kalah. Dia harus menang. Dia tak mau dipermalukan lagi. Karena jika dia kalah, dia akan kehilangan semuanya. Wanita berambut belang-belang itu berjalan menaiki tangga di hadapannya dengan suatu kegelapan dalam hatinya, rasa untuk menang apapun caranya.

***

Luna keluar dari pintu darurat gedung itu. Seluruh kota dapat terlihat dari atas sana, tapi awan-awan hitam masih saja menutupi langit. Luna dapat melihat ke tengah kota dimana terdapat menara dengan jam digital menggantung di salah satu sisinya yang menunjukan angka [06. 39.32].

"Sial, sudah dua setengah jam? Apa jam itu benar-benar bekerja seperti seharusnya!" Gerutu Luna.

Luna mendorong kedua tangannya kedepan dan mebuat sudut 90 derajat dengan sikunya, lalu ia geser dengan pelan ke kedua sisinya, kemudian ia luruskan kedua tangannya ke atas dan menahannya di sana sampai terdengar  suara sendi bahu Luna kembali ke tempat asalnya.

"Lain kali kalau kau memutar lenganku seperti itu, aku akan membunuhmu" kata Luna dengan dingin.

"Hei..... uh...  siapa namamu tadi? ada rencana? Airku semakin sedikit karena harus menepis  bola-bola api itu" kata Emils kepada Luna.

"Luna Aracellia,tapi kau harus memanggilku yang mulia Aracellia"

"Bah! Kenapa harus? Lebih enak memanggil Luna"

"Diam. Aku adalah tuanmu dan kau tidak lebih dari pembantuku sekarang" kata Luna dengan sombongnya.

"Tidak. Aku akan meninggalkanmu ketika aku sudah menemukan sumber air yang cukup"

"Baiklah, lagi pula itu "Ketika kau menemukan sumber air" selama kau tidak menemukannya, panggil aku dengan nama itu"

Luna meraba saku bajunya dan mengambil sebuah tongkat kecil dengan sebuah batu berbentuk bulan sabit di ujungnya. Dia menatap tempat sekelilingnya dan mencari tempat paling tidak terlihat.

"Kau menghina ku?! Enak saja! Aku tak akan memanggil manusia....."

Luna menarik sebuah pistol dan menyodorkan ujungnya pada inti Emils. Emils langsung panik seketika.

"B-Baik! B-Bagaimana kalau Cuma "Nona Luna" karena "Yang mulia Archella" terlalu panjang!" Emils berusaha menghindari kata "Yang Mulia" itu.

"Itu Aracellia, bukan Archella. Aku akan menerima permintaanmu untuk membuatmu diam"

Luna meletakan pistolnya ke lantai, lalu mengambil tongkatnya lagi. Dia seperti sedang bersiap-siap melakukan suatu upacara.Luna memerintahkan Emils untuk tidak menyerang kalau dia belum menyelesaikan upcara ini. Ia mulai menanyikan sebuah lagu, sebuah lagu aneh, diikuti oleh gerakan tarian sambil memandang ke langit.

***

"Tempat yang sangat suram"

Di sebuah jalanan kota, tampak seorang gadis duduk di atas sebuah menara tangki air. Cahaya redup dari lampu disekitarnya hanya menerangi gaun panjang hijau agak transparan dengan paduan warna hijau gelap kekuningan yang menutupi lengan dan kakinya.

Wanita itu diam saja. Dia tidak melakukan apapun. Dia hanya diam dan bermalas-malasan sambil melihat ke arah monitor raksasa yang menunjukan waktu [07.29.36]. Wajahnya tampak murung, seakan dia tidak betah berada di kota ini.

Setelah tidak melakukan apa-apa sejak awal ronde ini dimulai, akhirnya wanita itu memutuskan untuk turun dari menara air itu. Dia pikir lebih baik dia cepat-cepat menyelesaikan turnamen ini dari pada harus berlama-lama di kota yang membuatnya mual ini.

Cahaya redup dari lampu-lampu yang ada menyinari rambutnya yang unik. Rambut berupa sulur-sulur ungu yang ditumbuhi benih sebesar kerikil menyembunyikan telinga lancipnya. Mata merahnya memantulkan pemandangan jalanan yang begitu sepi.

Kota hantu. Itulah yang dipikirkan Wanita itu –Nemaphilia ketika dia memasuki kota ini dari kumpulan awan yang menjadi langit-langit kota ini. Benar-benar kota hantu. Mayat yang telah menjadi kerangka berserakan di jalanan, sisa-sisa kendaraan menembus bangunan, seakan ada sebuah kekacauan besar-besaran di kota ini.

"Kurasa itu yang dimaksud oleh Hvyt tadi" pikirnya

Tapi ada yang ganjil di sini. Tidak ada tanah, debu, bahan organik atau tanaman. Seakan tanaman-tanaman telah tergantikan fungsinya oleh tanaman plastik yang masih awet sampai sekarang. Nemaphilia memandang salah satu tanaman plastik yang diletakan di dalam pot dan langsung menendangnya jauh-jauh.

"Dasar manusia tak tahu diuntung. Apa mereka pikir bisa menggantikan fungsi tanaman dengan sampah plastik ini?" gumamnya sebal.

Nema membenci tempat ini. Kota yang sama sekali tidak menghormati tanaman. Dia harus mengakhiri ini segera, tapi dia merasa begitu malas untuk berkeliling karena kota yang tidak ia sukai sama sekali. Terkadang Nema melihat robot-robot berkeliaran di jalanan untuk memungut sampah. Dia bertanya tanya kenapa robot-robot ini masih bisa bekerja atau lebih tepatnya apa yang mendorong mereka bekerja.

Tetap saja, dia membenci robot-robot itu juga. Setiap kali ia menemui salah satunya, dia selalu menaburkan bibit padanya dan membuatnya menjadi serpihan debu. Pada debu inilah Nema menabur bibit Dandelionnya karena bunga-bunganya tidak dapat tumbuh sehat pada kota besi seperti ini. Mereka perlu tanah, air ,debu atau materi organik untuk tumbuh dengan benar.

"Halo, nona~~~" terdengar suara parau dari seorang pria di belakangnya.

Nema berbalik dan melihat seorang pria berambut pirang sampai menutupi telinganya, memakai kemeja putih dan celana hitam. Degan senyuman, pria itu memperkenalkan diri sebagai Ravelt Tardigarde dan mengajaknya untuk minum teh. Akan tetapi, Nema bukanlah pecinta manusia, malah dia membenci mereka karena kebiasaan mereka yang suka merusak alam. Nema melepas sebuah senyuman, lalu berjalan mendekati pria itu dan memeluknya dengan erat.

"Terimakasih atas ajakannya, tapi aku tak tertarik untuk minum teh, aku hanya ingin melihat bunga" kata Nemaphilia.

Ravelt memekik kesakitan, tubuhnya merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya dan langsung terbaring di atas trotoar dingin. Tubuhnya mulai mengering, sulur tanaman keluar dari mayatnya, lalu mekar menjadi sebuah bunga biru yang indah.

"Terimakasih telah menunjukan bunga yang begitu indah, pria bodoh yang baik hati"

Senyum Nema melebar, tawanya menggelegar sampai langit. Tidak sulit, bahkan terlalu gampang. Kalau saja dia tahu lawannya akan selemah ini, dia tak akan perlu meminta Viridian lainnya membantunya di ronde sebelumnya.

"Nyonya... Tidak sopan sekali kalau anda membunuh pria yang mengajak anda kencan"

Nema terkejut akan suara itu, dia berbalik kepada mayat Ravelt. Alangkah terkejutnya dia ketika yang ia tanami bunganya hanya potongan-potongan besi yang tergeletak. Terdengar suara mesin-mesin berdentang. Belasan Ravelt Tardigarde keluar dari setiap blok-blok kota dan mengerubungi Nemaphilia seperti kumpulan semut yang hendak menyerbu setoples gula.

"Aku bersyukur bisa datang ke kota ini. Koleksiku bertambah lagi! Aku telah menemukan robot-robot yang dapat meniru penampilanku ini. Aku tidak perlu takut kalau ada gadis yang menyerangku lagi! hahahahaha!"

Tawa Ravelt menggema. Ravelt memerintahkan robot-robot itu untuk menyerang. Robot-robot itu mengeluarkan pisau genggam dan menyerang Nemaphilia dengan menghujam tubuhnya dengan puluhan tusukan. Ravelt yang asli hanya berdiam diri diantara kopiannya sambil tertawa jahat seperti layaknya para antagonis dalam film sampai robot-robot itu tiba-tiba berhenti.

Ravelt tahu kalau mereka berhenti berarti tugas mereka sudah selesai, tapi betapa terkejutnya dia ketika barisan paling depan robot itu mulai menghancurkan sesama robotnya. Robot-robot itu seperti lepas kendali. Sepertinya robot-robot itu salah menerjemahkan kata "Serang" sebagai perintah untuk memusnahkan segala benda dihadapannya, termasuk sesama robot.

"Mahluk-mahluk besi buatan manusia ini sama bodohnya dengan para penciptanya" Suara Nema menggema dari segala arah.

Semua robot Ravelt terjatuh. Mereka semua berubah menjadi debu dan ditumbuhi oleh bunga-bunga berkelopak biru. Ravelt yang asli memerintahkan para robotnya untuk mencari asal suara Nemaphilia, tapi mereka langsung menjadi debu dalam waktu dekat. Ravelt menoleh kesekelilingnya, tapi dia tidak melihat Nemaphilia sama sekali.

"Kalau kau penasaran, carilah dari mana aku" Suara Nemaphilia menggema dari segala arah.

Mata Ravelt menangkap beberapa  gumpalan kecil tersapu oleh angin dan menyentuh robotnya dan dari gumpalan itulah bunga-bunga berkelopak biru itu berasal. Ravelt mengutuk Nema, dia menggunakan arah angin untuk menebar benihnya.

Kondisi Ravelt semakin gawat, karena banyaknya debu sisa robot, bunga-bunga Nema semakin kuat, akarnya tidak selemah asalnya dan mampu menembus  tanah kota yang terbuat dari aspal dan beton sehingga tanah pijakan Ravelt semakin parah juga.Untuk sekarang, dia tak mau mengulang waktu dengan Hero's essencenya karena Checkpoint sebelumnya adalah sesudah pertarungan melawan Carol satu jam lalu.

Ravelt menembakan bola-bola api dari tongkatnya untuk membakar bunga-bunga yang tumbuh dengan perkembangan gila ini. Saat itulah dia masuk ke dalam jebakan Nema. Nema tahu kalau Ravelt yang asli pasti memiliki kemampuan berbeda, atau paling tidak senjata berbeda dari robot tiruannya.

Dia ingin melawan Ravelt secara langsung supaya lebih cepat, tapi dia merasa bibitnya saja sudah cukup untuk membunuh manusia rendahan seperti dia. Nema memetik beberapa benih dari rambutnya, lalu ia terbangkan bibit-bibit itu kearah Ravelt, kemudian berbaring di atas menara tangki yang ia tempati dan menunggu teriakan dari Ravelt. Kota ini benar-benar membuat Nema tidak nyaman. Teriakan dari Ravelt juga tidak nyaman. Rasanya dia ingin sekali keluar dari sini dan beristirahat, tapi tanpa menyadarinya, ia sudah tertidur.

Setelah beberapa menit berlalu, teriakan Ravelt menggema. Nemaphilia terbangun dengan sebuah senyuman di wajahnya. Satu musuh telah dikalahkan. Dia mengeluhkan berapa sisa peserta yang harus ia bunuh supaya bisa terbebas dari pulau tak nyaman ini. Dia hendak berdiri, tapi tubuhnya menjadi miring. Sebenarnya bukan tubuhnya yang miring, tapi menara tangkinya yang miring karena salah satu kaki penyangganya telah dirusak.

Nema mengeluh lagi. Dia sedang enak-enak bersantai, tapi diganggu. Nema tahu kalau Ravelt akan datang sebentar lagi, jadi dia harus bersembunyi. Akan tetapi, sepertinya dia tertidur lebih lama dari perkiraannya, Ravelt sudah muncul di hadapannya, dialah yang merusak kaki menara ini dan menjatuhkannya. Ketika pria itu memandangnya, Nema mengambil beberapa langkah mundur sampai punggungnya mengenai tembok.

"Nona, harusnya kau lebih memeriksa dirimu sendiri"

Ravelt mengambil sebuah benda dari kantongnya yang berbentuk seperti monitor berlayar kecil. Nema kebingungan dengan benda itu, saat itulah dia menyadari suara PIP PIP PIP pada badannya. Ravelt menjelaskan bahwa benda yang ia pegang adalah sebuah radar dan dia telah menanamkan sebuah pelacak pada Nema.

"...ketika engkau memeluk robot itu,Nona" jelas Ravelt padanya.

Ravelt mengambil  tongkatnya dan mengarahkannya pada wanita itu. Dia mengakhiri ini dengan cara yang sama dengan yang ia lakukan pada Carol, dengan meledakan kepala wanita itu dengan bola api. Ravelt meninggalkan mayat Nemaphilia untuk terbakar dengan perlahan.

"Untuk wanita bunga yang memeluk pria hanya untuk membunuhnya, aku tak akan merasa bersalah"

***

"Selesai"

Luna menghentikan ritualnya. Luna melihat ke arah langit-langit pulau yang tertutup oleh kumpulan awan hitam. Seakan menandakan ritual Luna berhasil, awan-awan hitam itu perlahan pudar sehingga menunjukan langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Bulan purnama tampak menyinari kota ini.

"Untuk apa nona memanggil bulan?" tanya Emils kepada Luna.

Luna menarik dua buah pistol dari sakunya. Ia menjelaskan bagaimana dia merubah sihir bulan menjadi energi untuk ditembakkan. Suara ledakan mengganggu penjelasan Luna. Dari tempat Luna dan Emils bersembunyi tampak Stella memegang tongkatnya dan siap membunuh siapapun yang ia temui.

Luna menyerang duluan. Dia menembakan peluru sihir berwarna perak dari masing-masing pistol. Stella berguling dan menghindari tembakan Luna, lalu ia mulai mengisi ujung tongkatnya dengan energi sihir, tapi dua peluru sihir tadi memutar arah dan kembali menerjang Stella. Dia mencair lagi, tapi kali ini serangan Luna mengenai Stella meski dalam bentuk cairnya.

Luna terus menerus menembaki Stella, tapi Stella tampak tidak menghiraukan luka pada tubuhnya, dia memandang ke langit, menatap kepada bulan. Sebuah senyuman sadis tergambar pada wajahnya. Dia terus-menerus mengisi tongkatnya dengan sihir meski tubuhnya diterjang oleh tembakan beruntun dari Luna.

"H-Hei... Nona... Luna... apa kau tidak merasa aneh? Dia tidak menghindar sama sekali!" Emils berusaha memperingatkan Luna.

Stella mengangkat tongkatnya sihirnya membentuk duri-duri es di sekitar Luna tanpa memakai sumber air. Luna maupun Emils terlambat menyadari ini, duri-duri itu mengenai pistol Luna dan mengancurkannya, senjata terahir yang memungkinkan mereka menang melawan Stella.

"H-Hei! L-Luna! B-Bagaimana ini?!"

"Aku tidak butuh pistol lagi! aku memiliki senjata yang tidak perlu menggantungkan jarak" kata Luna dengan nada sombong.

Sihir Luna merambat pada Emils dan membuat kekacauan pada sistemnya. Tubuh Emils telah diambil alih oleh sihir Luna. Luna membentuk sebuah pedang Rapier dan langsung menerjang Stella. Stella juga tidak mau kalah, ia membentuk pedang air yang sumbernya entah dari mana dan langsung beradu pedang dengan Luna.

Pengalaman berpedang Stella diimbangi oleh pengalaman bertarung Emils, jadi pertarungan ini hanya ditentukan oleh senjata mereka yang telah mereka perkuat dengan sihir. Kekuatan sihir antara Alexis Knight dan Moonlight Scarlet beradu saling memperebutkan cairan untuk mengisi senjata mereka. Setiap kali Luna mencuri air dari Stella, Stella langsung mendapatkannya entah dari mana. Pertarungan ini berlangsung sengit. Malam yang sebelumnya sangat sepi, sekarang terisi dengan suara tawa gila dari dua peserta yang sedang beradu.

Emils yang sistemnya terganggu oleh sihir kedua pihak semakin tidak karuan. Kemampuan berpedangnya seakan menggila, tapi konsentrasi volumenya terhadap pedang yang ia buat semakin lemah. Begitu pula dengan Stella. Stella yang muak dengan kekalahan beruntunnya ikut menggila. Kemampuan pengendaliannya semakin tidak terkendali. Hanya masalah waktu sampai salah satu pedang kehilangan kendali dan kalah.

Akhirnya pertarungan ini berakhir. Pemenangnya adalah Stella. Emils sudah tidak bisa mengendalikan cairannya lagi karena sudah terlalu kacau karena sihir keduanya. Pedang Emils gagal menghadang sebuah tebasan dari Stella, sehingga tubuh Luna terkoyak. Stella semakin menikmati darah segar menyembur dari luka besar yang ia buat. Tanpa ampun dia menebas lawannya yang tak berdaya berkali-kali.

Emils tersadar kembali, ia mengendalikan airnya untuk membuat kerangka pada seluruh tubuh Luna dan membuat tubuhnya menjauhi Stella. Stella tampak belum puas menghajar Luna dan masih mengejar mayatnya.

Stella membentuk sebuah bola api dan melemparkannya kepada Emils, Emils menggunakan air yang tercecer akibat pertarungan keduanya untuk menahan bola api Stella. Tubuh Emils menguap dengan mudah karena terkena bola api Stella. Tapi karena uap itu, Emils berhasil menutupi pemindahhan tubuh Luna ke sisi lain dari atap gedung itu dan bersembunyi di sana.

"H-Hei! Sadarlah! Ini bukan waktunya untuk tidur!" bisik Emils pada Luna.

Tubuh Luna tidak merespon sama sekali. Tubuhnya mulai menjadi dingin, warna kulitnya juga semakin pudar, matanya masih terbelakak sejak terkena serangan Stella dan darah dalam jumlah banyak mengalir deras dari luka-lukanya. Luna Archeilla telah gugur.

"J-Jadi... kau akan mati begitu saja? Hahaha... B-Bahkan aku menggunakan banyak air untuk menghalangi bola api Stella dan kau masih mati? J-Jangan bercanda... k-kau pikir ini setimpal? Air itu susah di dapat di situasi seperti ini! Dan kau bahkan tidak berterimakasih?!" Bisiknya pada mayat Luna dengan suaranya yang semakin gagap tiap detiknya.

"Emils..." mulut Luna terbuka sedikit. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya mimik bibirnya saja.

"...maafkan aku... dan... terimakasih...."

Ekspresi wajah Luna melunak. Matanya telah tertutup. Emils tak bisa merasakan kehidupan dari tubuh Luna. Meski hanya sebentar, meskipun dia memperlakukan Emils dengan buruk, meskipun dia hanya menganggap Emils sebagai senjata, meskipun dia adalah manusia, tapi Emils tetap saja merasakan emosi yang sama seperti ketika si penyihir tua mati. Atau, mungkinkah ini karena Luna adalah manusia? Tidak ada yang tahu persis apa sebabnya, bahkan Emils sendiri.

"Aku harus menemukan air untuk bertahan hidup... tapi mana bisa aku menemukan air di kota besi seperti ini?"

Saking frustasinya, Emils menghentakan tangan cairnya ke lantai. Seketika itu, ada sebuah cairan lengket yang ia serap. Ia telah menemukan sumber air baru. Cairan untuk memulihkan tubuhnya mengalir dari tubuh Luna, darahnya. Akan tetapi, Emils menolak. Meski Luna telah meninggal, mana bisa Emils memakai sisa mayat orang yang telah bertarung bersamanya.

"Manusia.....tidak lebih dari para pecundang" terdengar suara dari dalam lubuk hati Emils.

"Mereka selalu kabur dari kenyataan pahit dengan kematian.... Mereka tidak berhak untuk hidup!"

"Hei... kau ingat si penyihir tua? Bukannya dia juga melakukan hal yang sama? Dia sengaja mati karena tidak mau menemui keluarganya lagi,bukan?"

Pandangan Emils sudah terbalut oleh cahaya-cahaya merah kehitaman di sekujur tubuhnya. Puluhan kata-kata penuh kebencian terlontar dari suara itu. Suara itu adalah suara Emils sendiri. Suara yang mengatakan betapa bencinya mereka terhadap manusia. Tapi suara-suara itu mengambil tingkat selanjutnya, mereka terus membisikan kebencian tentang bagaimana manusia diperalat oleh mahluk-mahluk lain sampai akhirnya bisikan itu tertuju pada satu kesimpulan Hanya Slime yang boleh hidup, mahluk rendahan lainnya tidak diizinkan untuk hidup.

Campuran sihir Luna dan Stella mengakibatkan malfungsi pada jiwa Emils, ditambah "Efek Khusus" pulau ini yang sedikit demi sedikit merubah kepribadian para peserta, Emils sekarang menjadi buas. Mayat Luna di depannya tidak lebih dari sumber kekuatan. Dia menyerap seluruh darah Luna yang tercecer, lalu menggerogoti tubuh Luna untuk mengambil lebih banyak darah, tanpa sadar dia sudah memakan seluruh tubuh Luna. Ia merasa terlahir kembali, terlahir sebagai mahluk yang sangat kuat.

***

"Dimana Slime itu? Kemana dia pergi?!"

Stella sedang mencari Emils dan Luna di setiap sisi atap bangunan itu. Mereka tidak mungkin lari ke tangga darurat karena Stella lebih dekat dengan tangga darurat dari pada mereka. Mereka tak mungkin melompat ke bangunan lain karena pagar tinggi yang mengelilingi atap ini, apalagi karena Luna terluka parah.

Telinga Stella tersentak, ia mendengar sebuah bunyi di balik salah satu mesin ventilasi. Suatu suara yang hampir tersamarkan oleh suara mesin ventilasi itu, suara kunyahan daging diikuti erangan suara hewan buas yang sempat membuat Stella tergidik. Tapi dia tak mau dipermainkan lagi, semua ini akan segera berakhir. Stella mengumpulkan sihirnya pada ujung tongkatnya dan membentuk bola api, saat itu pula suara kunyahan itu terhenti. Stella tahu mahluk itu mengetahui keberadaannya, tapi yang menyerang duluan, dialah yang menang.

Stella melepas bola apinya, mesin ventilasi itu meledak hebat dan hanya menyisakan asap tebal. Suara erangan mahluk buas itu terdengar lagi. Erangan penuh Blood Lust yang sekali lagi membuat Stella tergidik. Stella tidak bisa mempercayai matanya, ia melihat sebuah mahluk yang sangat mengerikan.

Sebuah mahluk mirip manusia yang agak bungkuk setinggi dua setengah meter. Mahluk itu berwarna merah darah, warna yang selalu ia lihat di seluruh Natara Islands. Ia memiliki tangan dan kaki mirip manusia tapi berakhir dengan cakar-cakar tajam. Matanya terbuka lebar dan bercahaya kemerahan. Mulutnya mengangga terbuka sehingga gigi-gigi tajamnya terlihat.

"M-Mahluk apa itu?"

Mahluk itu mendengar suara Stella dan bangkit. Ia mengerang kesakitan, lalu mengeluarkan beberapa benda dari dalam tubuhnya. Samar-samar Stella melihat benda yang dari tubuh merahnya, beberapa potongan tulang dan baju putih yang memiliki sayatan besar di perutnya. Baju putih itu pasti baju yang digunakan oleh Luna, tapi apa yang terjadi padanya? Stella tak punya waktu untuk memikirkan itu. Sekarang mahluk itu telah memilih Stella untuk menjadi santapan berikutnya.

Bola api ditembakkan oleh Stella. Mahluk itu seperti tidak tahu akan bahaya bola api itu dan tetap diam di tempat. Bola api itu mengenai kepalanya, mahluk itu mengerang kesakitan dan memegangi kepalanya, beberapa uap panas tampak keluar dari kepalanya.

"Ya, tidak salah lagi. Dia adalah mahluk cair itu, tapi kenapa tubuhnya menjadi seperti itu?" pikir Stella.

Mahluk itu melepas tangannya dari wajahnya, tapi tidak tampak kerusakan sedikitpun, sepertinya api tidak terlalu mempan untuknya. Stella mulai khawatir dengan keberadaan mahluk itu. Dia tembakan beberapa bola api ke arah mahluk itu. Sama seperti sebelumnya dia tidak menghindar, dia hanya berdiam diri sambil mengerang kesakitan.

Stella melepaskan tembakan lainnya, tapi kali ini mahluk itu bergerak pelahan. Ketika bola api itu mengenai tubuh mahluk itu, ia hanya mendengus sedikit. Pergerakan mahluk itu semakin cepat tiap langkahnya. Perilaku mahluk ini mengingatkan Stella akan hewan yang baru saja bangkit dari tidur panjangnya. Jadi, lebih baik dia segera mengalahkannya sebelum mahluk itu benar-benar pulih.

Tembakan demi tembakan Stella lepaskan, tapi mahluk itu tetap saja berdiri, malah dia bergerak semakin cepat. Jarak mereka sudah mencapai 5 meter, terlalu dekat untuk menggunakan bola api, maka Stella merubah pola serangnya menjadi jarak dekat. Kali ini ia membentuk pedang cair lagi dari udara yang ia didinginkan.

Stella menyambar mahluk itu dengan sebuah tusukan ke dadanya. Mahluk itu tidak mengerang kesakitan lagi, tidak pula mendengus. Ia hanya menatap Stella dengan mata merah bercahayanya. Stella menarik pedangnya dan menusuknya lagi. Tidak ada respon darinya.

Stella mundur beberapa langkah. Ia merasakan keanehan pada dirinya dan monster itu. Setiap tembakan bola api yang mengenainya hanya membuatnya lebih cepat, begitu pula saat serangan pedangnya mengenainya, bukannya kesakitan atau menghindar, dia malah berdiam diri menikmati ayunan pedang Stella. Tidak ada kemungkinan lain, mahluk itu menghisap kekuatan sihirnya.

Akhirnya mahluk itu menggerakan tangannya dan dengan cepat mencakar Stella dengan cakarnya. Stella merubah tubuhnya menjadi air, tapi cakar mahluk itu tetap menggores tubuh Stella. Stella hampir tidak percaya, tapi jika diingat kembali, mahluk itu menyerap kekuatan sihirnya, bisa jadi dia menggunakan sihir Stella sendiri untuk menetralkan sihir Stella.

Stella tidak ada lagi harapan untuk menang. Dia sudah putus asa. Mahluk itu sepertinya sudah memulihkan dirinya. Gerakannya lebih cepat dari sebelumnya bahkan melebihi kecepatan Emils dalam bentuk manusianya.

Sekarang Stella tidak lebih dari sebuah mangsa lemah baginya. Mahluk itu menerjang Stella, lalu berkali-kali menebas tubuh Stella dengan cakarnya, Stella tak mampu melawan karena kekuatannya telah habis, dia hanya menunggu ajalnya menjemput. Satu terjangan cakarnya menusuk perutnya,  lalu ia membuka rahangnya dan mulai mengoyak isi perutnya. Seakan tidak cukup, mahluk itu menggigit tangan kanan Stella, lalu memutuskannya untuk dimakan.

Satu serangan terakhir dari mahluk itu, dia mengangkat cakarnya, lalu menebas Stella yang tak berdaya. Bunyi besi berdentang, diikuti oleh erangan kesakitan dari mahluk itu. Dengan setengah sadar Stella membuka satu matanya. Mahluk itu tertunduk pada lututnya sambil memegang salah satu tangannya, sepertinya cakarnya rusak.

"Argia! Cepat habisi mahluk itu! Cupria! Lindungi Argia! Helia! Bawa wanita itu ke sini! Iodesa! Bersiaplah untuk menyembuhkan dia!" terdengar suara seorang pria seperti sedang mengkomando pasukannya.

Tubuhnya seakan melayang di angkasa. Pandangannya semakin buram. Ketika berhenti, dia seakan melihat wanita berambut pirang dan pria bertudung sedang melihat ke wajahnya dengan wajah khawatir.Akan tetapi inilah akhir dari Stella Sword, dia menutup matanya. Dia menyerah pada kekalahan ini.

***

Jagatha Vadhi.

"Thurkq! Apa maksudmu dengan ini?"

Nolan, pria yang muncul dalam monitor raksasa ketika mengumumkan peraturan ronde ini menyerobot masuk ke dalam ruang tahta Thurkq tanpa sopan santun. Hal ini membuat beberapa Hvyt marah dan hendak menyerbunya, tapi Thurkq mengisyaratkan mereka untuk tidak melakukan apapun. Thurkq saat ini sedang melihat pertarungan para petarungnya dengan para Hvyt.

"Aku sedang sibuk dengan. Jangan ganggu aku" Kata Thurkq tanpa berpaling dari monitornya.

"Ini serius, Thurkq!"

Thurkq tampak murka dengan perkataan Nolan, ia segera teleport ke depan Nolan dan memukulnya di wajah.

"Itu Dewa Thurkq untukmu, Nolan"

Nolan menyerah, kalau dia ingin Thurkq mendengarkannya, ia harus mengikuti aturan yang telah Thurkq tetapkan.

"Baiklah.... DEWA Thurkq...."

"Jadi ada perlu apa mahlukku yang satu ini?" kata Thurkq dengan nada mengejek.

Nolan mengusap darah yang keluar dari mulutnya dan segera berdiri. Ia mengambil sebuah remote dan menekan salah satu tombol, gambar di monitor berganti menjadi gambar atap gedung dengan sebuah monster merah di atasnya.

"Monster ini adalah pengecut pada ronde pertama, Tapi sampai beberapa menit lalu, dia berubah menjadi monster ini, monster yang tergila-gila untuk memakan siapapun dihadapannya. Sekarang jelaskan kenapa monster ini bisa terpengaruh oleh pulau lain, lebih tepatnya pulau Urth"

"Bukankah itu wajar? Apa kau tidak melihat peserta lainnya?"

Dengan kekuatannya untuk Teleport, Thukrq kembali duduk di tahtanya. Hvyt di sampingnya menuangkan segelas air berwarna merah darah ke dalam sebuah gelas, lalu memberikannya pada Thurkq. Ia meneguk segelas air berwarna merah darah itu dengan santainya.

"Tahukah kau bahwa setiap pintu memiliki kunci?"

"Sebenarnya, ada pintu yang tidak perlu kunci"

Para Hvyt terlihat marah dengan perkataan Nolan dan mengambil senjata mereka. Beberapa Hvyt menerjang Nolan dengan senjata mereka, tapi suatu tenaga tak terlihat menghalangi mereka. Thurkq memerintahkan mereka untuk kembali ke tempat asal mereka.

"Jika kau mengumpamakan dosa adalah benda, kau pasti akan meletakannya di balik sebuah pintu. Akan tetapi, kebodohan manusia pasti akan berbalik dan membuka pintu itu supaya bisa mengambil dosa yang kau simpan sendiri"

"Tapi.... bagaimana kalau kau tidak memiliki kunci ruangan itu? Dapatkah kau membukanya? Tidak"

"Nah, Nolan. Sekarang kita ganti topiknya. Apa kau tahu kenapa aku meletakan pulau Ryax dikelilingi oleh pulau lainnya?"

Nolan terdiam. Dia tidak mengerti apa maksud dari Thurkq, bahkan penjelasan sebelumnya juga tidak berhubungan. Thurkq menatap Nolan dengan tidak sabar. Pasti dia menunggu jawaban.

Thurkq tak mau menunggu kelamaan. Dia langsung berdiri dari tahtanya dan memberitahu Nolan tentang rahasia pulau Ryax.

"Kesombongan adalah dosa yang sangat unik"

"Pride, kesombongan manusia adalah kunci untuk membuka pintu dosa. Ada enam pintu dosa dalam hati manusia kerakusan, ketamakan, kemarahan, kenafsuan, kemalasan dan keirian. Dan ada kunci untuk setiap pintu itu, kesombongan" jelas Thurkq.

"Tak peduli seberapa dalamnya dosamu terhadap salah satu pintu itu, kau tak akan pernah bisa menjadi sombong karenanya"

Nolan hendak menyangkal perkataan Thurkq, tapi kali ini Thurkq mengangkat salah satu tangannya dan mencekik leher Nolan.

"Apa pertanyaanmu sudah habis, Nolan?"

"A-Apa kau sengaja meletakan tujuh orang peserta di pulau itu?" tanya Nolan dengan terbata-bata.

Thurkq melepas cengkramannya sehingga Nolan dapat bernafas kembali.

"Ternyata kau menyadarinya? The Seven Deathly sin, tujuh dosa mematikan, tujuh buah pulau, tujuh peserta. Sebagai hadiah karena kau menyadari ini, akan kuberitahu rahasia lainnya"

Thurkq memberitahu Nolan bahwa ketujuh peserta itu akan terdorong ke satu dari tujuh dosa besar itu.

Monster yang sombong karena rasnya yang unik, lalu ingin berada di atas rantai makanan dengan memakan lawannya, Glutony.

Gadis yang iri terhadap lawannya karena dia harus bergantung pada jarak, trik dan peluru. Dia mendapat senjata baru dan menjadi sombong karenanya, Envy.

Wanita yang tak mau menerima kekalahan karena kekalahan akan mengambil kehormatannya sebagai satria dan menggantinya dengan rasa malu, Greed.

Gadis yang begitu bangga sebagai pustakawan, lalu marah besar ketika sebuah perpustakaan dibakar, Wrath.

Wanita yang malas berkeliling karena tidak sesuai seleranya, Sloth.

Pria yang dikelilingi banyak wanita dan jadi berkonflik dengan dirinya sendiri, Lust.

Dan terakhir, Pria yang sengaja Thurkq pilih karena sifat sombongnya, Pride.

"ada pertanyaan lain?"

"Heh... katamu "Tak peduli seberapa dalamnya dosamu terhadap salah satu pintu itu, kau tak akan pernah bisa menjadi sombong karenanya" tapi bagaimana dengan gadis Envy itu,hah? Thurkq? Aku rasa daftarmu tak sempurna yang kau kira"

Thurkq kembali mencengkram leher Nolan. Ia tak suka jika ada yang menunjuk suatu kesalahan yang ia buat, ia juga tak mau waktunya dibuang lagi dengan pertanyaan konyol dari mahluk "Ciptaan"nya.

"Aku tidak mendengar pertanyaan apapun, jadi aku akan menganggapnya sebagai tidak. Sekarang, kembalilah ke ruanganmu. Aku sedang sibuk di sini"

Thurkq melepas leher Nolan, lalu kembali ke tahtanya dan menonton laju pertandingan lagi. Dengan memegang lehernya, Nolan pergi meninggalkan ruang tahta Thurkq.

"Dasar dewa sialan..."Gumamnya pelan.

***


"Iodesa, bagaimana kondisinya?" Tanya seorang pria yang mengenakan tudung untuk menutup wajahnya.

"Maafkan hamba,tuan. Luka ini terlalu parah untuk disembuhkan, bahkan sebagian organ vitalnya hilang!"jawab temannya si wanita berambut pirang.

Pria itu berbalik ke arah mahluk merah itu yang sedang bertarung dengan dua orang lainnya di atap bangunan yang lain pula. Mantel yang ia kenakan berkibas karena tertiup angin. Bulan yang telah dipanggil Luna menyinari kulit coklat wajahya.

"Jangan pikir kau akan selamat, monster. Padahal aku ingin menambahnya ke dalam haremku, tapi aku datang terlambat sehingga inilah akibatnya"

"T-Tuan Stallza? Apa maksud anda?"

Wanita berambut pirang itu –Iodesa– berdiri meninggalkan Stella setelah memberi penghormatan terakhir pada mayat itu. Pria itu –Stallza– berbalik pada teman rambut pirangnya.

Stallza hendak mengulang perkataannya, tapi ia langsung berbalik dan mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pembicaraan ini. Dia menutup wajahnya dengan kepalan tangannya karena saking malunya. Semenjak ia menginjakan kakinya ke pulau ini, ia terus menerus mengalami keanehan pada dirinya. Dia mulai memerintahkan para Spirtianya seperti pembantu dan bicara agak "Bernafsu" pada Spiritia wanitanya.

"Tuan? Apa tuan baik-baik saja?"

Stallza tidak menjawab, dia hanya mengangguk. Siapa tahu mulutnya mulai bicara diluar kata hatinya lagi. Iodesa semakin mendekati tuannya karena dia tahu ada yang salah dengan tuannya. Namun Stallza tetap terdiam, dia tidak mau menyakiti perasaan para Spiritianya.

Sementara itu, mahluk merah itu bertarung sengit melawan Argia dan Cupria, pasangan kakak beradik yang memakai baju besi. Argia memakai pedang, sedangkan Cupria memakai tameng. Untuk saat ini, mahluk itu sedang terdesak. Setiap kali dia akan menyerang, Cupria akan menghalangi cakarnya dengan tamengnya, lalu Argia akan mengayukan pedangnya dari belakang, kemudian ketika mahluk ini kesakitan, mereka bergegas pergi dan bersiap melakukan gerakan yang sama.

Tubuh mahluk itu sekarang bukanlah cairan lagi, melainkan kumpulan sel-sel hidup. Dia memang bisa mengendalikan sel-sel itu tapi mereka tidak kebal terhadap serangan fisik. Meski mahluk itu buas, tapi dia tidak bodoh. Dia cukup tahu bahwa ada untungnya memiliki sel, yakni dia mendapat insting dan pikiran yang lebih tajam.

Mahluk itu terus-menerus menyerang untuk membuat celah diantara kedua lawannya. Akhirnya dia melihat sebuah celah untuk menyerang. Mahluk itu menerjang Cupria dengan cakarnya lagi. Cupria sudah siap berlindung, sedangkan Argia bersiap menyerang di belakangnya. Saat inilah dia berbalik arah kepada Argia dan langsung menerjangnya. Argia yang terkejut oleh serangan mahluk itu tidak sempat menghindari tebasan cakar mahluk itu yang membuat pedangnya terlempar.

Cupria segera menuju saudarinya dan melindunginya dari serangan beruntun mahluk itu. Mahluk itu tak memberi jeda serangan sama sekali, bahkan untuk bernafas sekalipun. Cupria mulai kewalahan, kuda-kudanya semakin lemah. Melihat kekalahan ini, Stallza mengambil dua bongkahan kristal. Cahaya mengelilingi keduanya, lalu menyedot keduanya kembali ke dalam kristal.

Ketika Stallza hendak mengambil batu Spiritia lainnya, si monster tampak sedang mengisi suatu cahaya ke dalam mulutnya. Stallza mengambil dua buah spiritia dari dalam tasnya, tapi dia terhenti karena melihat si monster yang menyeringai kepada Stallza.

Lima buah peluru sihir berwarna perak tertembakan dari mulut mahluk itu. Stallza tidak sempat menghindar, tubuhnya tertembus tembakan dari mulut Emils. Itu adalah peluru sihir Luna dan dia dapat menggunakannya karena telah menyerap sihir dari Luna.

Meski tembakan mahluk itu menembus tubuhnya, Stallza berdiri tanpa luka sedikitpun. Sepertinya tembakan itu tidak fatal, tembakannya tak sekuat tembakan Luna.  Stallza memanggil Helia dan ber-spiritialis dengannya, sehingga Stallza dapat melayang, lalu ia memanggil Spiritia lainnya dan langsung berubah kemode spiritialis. Stallza melayang tempat di atas bangunan si mahluk berada dan memunculkan ratusan pasak berujung runcing seukuran lengan, lalu menjatuhkannya ke bangunan itu.

Bangunan itu mulai runtuh karena hujaman dari pasak-pasak Stallza. Mahluk itu dengan susah payah menghindari pasak-pasak Stallza, tak jarang dia terkena pasak-pasaknya dan mengerang kesakitan seperti hewan buas yang tertekam hewan buas lainnya. Ketika hujan pasak Stallza berakhir, hanya reruntuhan dari bangunan itu yang tersisa. Air memancar dari pipa pipa rusak diantara reruntuhan bangunan.

Stallza menoleh ke arah Iodesa. Wanita itu melambai-lambai ke arahnya, lalu Stallza membalas lambaiannya. Karena jarak mereka yang jauh, suara Iodesa tak terdengar, Stallza hanya mendengar samar-samar tapi sepertinya nadanya panik. Namun Stallza mengabaikan itu dan menghampiri Spiritia berambut pirang itu.

"Jangan ke sini, tuan Stallza!"

Itulah kata terakhir Iodesa. Sebuah cakar kemerah-merahan mencakar punggung Iodesa sehingga tubuhnya jatuh. Ketika ia berbalik, mahluk merah itu sudah berada di belakangnya. Stallza yang melihat ini langsung mengambil batu kritsal Iodesa untuk mengembalikannya ke dalam krital, tapi jarak mereka terlalu jauh.

Mahluk itu mengangkat tangannya untuk menghabisi Iodesa, tapi tiga buah pisau Stallza dilemparkan dan mengenai tangan mahluk itu. Stallza segera mendekati Iodesa dan mengembalikannya ke dalam kristal spiritianya. Kalau saja dia terlambat dan membiarkan Iodesa terluka, ia pasti akan menyalahkan dirinya sendiri karena tidak menyadari kalau mahluk itu telah melompat ke bangunan lain.

Stallza mendarat di atap bangunan itu. Sekarang hanya Stallza melawan mahluk itu, atau lebih tepatnya, monster itu. Stallza tak akan memaafkan siapapun yang telah melukai Spiritianya. Dia tahu seberapa bahayanya monster itu, jadi dia tak boleh sembrono.

Stallza menyerang pertama kali, ia memanggil Nitria, sang Spiritia es berbentuk peri kecil untuk membekukan monster itu, tapi si monster tak mau diam saja, ia menerjang Stallza dengan cepat.

Stallza meletakan tangannya di lantai sehingga pasak-pasak besi menusuk keluar dari tanah. Monster itu mengubah arahnnya ke dinding terdekat dan menabraknya sampai runtuh, sehingga debu tebal menutupi tubuh monster itu.

Stallza tahu kalau monster itu belum stabil, tidak. Dia memang tidak Stabil. Stallza dapat merasakan kekacauan hatinya. Monster itu bahkan tidak menyadari apa yang ia lakukan, semua itu bedasarkan insting alamianya. Tampaknya mata mahluk itu belum pulih, tapi bisa jadi mahluk itu tidak melihat dengan kedua matanya.

Nitria terbang mendekati monster itu untuk membekukannya. Akan tetapi monster itu bangkit dan menangkap Nitria. Stallza melempar beberapa pisaunya ke tangan monster itu, tapi kali ini monster itu bergerak dengan cepat dan menghindari serangan Stallza. Stallza melanjutkan serangan dengan menyentuh tanah dan memunculkan pasak-pasak dari lantai.

Diluar dugaan Stallza, mahluk itu ikut meletakan tangannya di lantai, lalu menjebol lantai itu. Duri-duri berwarna merah muncul dari bawah lantai di depannya mirip bagaimana pasak Stallza keluar dari lantai, lalu kedua pasak itu saling hantam satu dengan lainnya sampai keduanya berhenti.

"Tuan Stallza, tolong aku!"Pinta Nitria kepada Stallza.

Monster itu membuka rahangnya, ia hendak memasukan Nitria ke dalam mulutnya dan memaknnya. Stallza tidak dia begitu saja, ia menarik kristal Nitria dan memaggilnya kembali. Tapi Nitria tidak kembali ke dalam kristalnya sehingga Stallza memanggil Spiritia bertudung –Nica– dan Spiritia manusia serigala –Koboldia–  untuk menyelamatkan Nitria.

Merasa makan malamnya terganggu, monster itu menunda makan malamnya dan berhadapan dengan kedua Spiritia yang dipanggil Stallza. Kolbodia dengan cepat menyayat tubuh monster itu dari berbagai arah, terutama tangan monster itu yang menggengam Nitria, sedangkan Nica melemparkan sisa-sisa pasak Stallza kepada si monster.

Monster itu mengerang dengan keras. Sangat keras sampai Stallza dan Nica harus menutup telinga mereka. Namun tidak dengan Koboldia, dia tidak sempat menutup telinganya, ditambah dengan pendengarannya yang sangat tajam membuat erangan monster itu berkali-kali lebih keras dari seharusnya.

Koboldia sampai pingsan mendengar erangan monster itu. Monster itu menerjang Spiritia itu dengan cakarnya, tapi pasak-pasak terlempar dari Stallza dan Nica sehingga monster itu tertusuk puluhan pasak dan terjatuh.

Stallza mengembalikan Koboldia kembali ke kristalnya. Melihat bagaimana Koboldia bisa kembali dengan mudah, Stallza mencoba mengembalikan Nitria ke dalam kristalnya, tapi tetap tidak bisa.

Pasak-pasak terus menghujam mahluk itu. Stallza harus mengalahkannya untuk menyelamatkan Nitria.

Setelah beberapa menit, monster itu akhirnya terbaring sehingga Stallza menghentikan hujaman pasaknya. Stallza sudah melemparkan banyak pasak pada mahluk itu, jadi dia pasti sudah mati. Tiba-tiba dia teringat akan Nitria, ia masih di gengaman mahluk itu. Bagaimana kalau dia terkena salah satu pasaknya? Stallza langsung panik dan berlari menuju ke sisa-sisa mahluk itu.

Sebuah cakar menyayat mata kiri Stallza, ia mengambil beberapa langkah mundur sambil memegang matanya. Mahluk itu bangkit lagi. Dari mata kanan Stallza yang terciprat darah, ia dapat melihat monster itu membuka rahangnya, ia terlihat memasukan sesuatu di gengamannya ke dalam mulutnya. Teriakan minta tolong terdengar dari dalam tubuh mahluk itu, tapi setelah beberapa detik, teriakan itu menghilang.

Stallza tertawa. Aneh sekali. Salah satu Spiritianya baru saja dimakan dan dia malah tertawa. Bukannya rasa sedih yang ia rasakan, tapi rasa lega. Suatu keanehan terjadi dalam diri Stallza. Spiritianya yang dibelakang, Nica memperingatkn Stallza soal mahluk itu, tapi Stallza tetap tertawa tanpa menghiraukan peringatan Nica.

Mahluk itu mengangkat cakarnya dan menebas Stallza. Nica mendorong tubuh Stallza sehingga Stallza tidak terkena serangannya, tapi Nica sendiri terkena cakar itu dan berdarah-darah. Stallza malah tertawa lebih girang.

"Spiritia lemah memang seharusnya mati. Mereka tak akan berguna untukku" kalimat itu keluar dari mulutnya.

"T-Tuan S-Stallza?"

"Kau hanya anak kecil. Penampilanmu sama sekali tidak menarik dan kemampuanmu sangat payah! Lebih baik kau mati saja!" teriakan Stallza lebih keras dari sebelumnya.

Monster itu membuka rahangnya. Ia sudah siap untuk memakan tubuh Nica. Saat gigi tajam itu menyobek jubah Nica, Stallza menusukan pisaunya pada dirinya sendiri. Ia segera menggengam jubah Nica dan melemparnya jauh-jauh.

Monster itu menggerang, marah karena mangsanya diambil dan menyerang Stallza. Stallza tidak punya kesempatan lain, inilah saatnya. Ia memfokuskan sebuah pukulan pada perut mahluk itu. Pasak-pasak besi menusuk-nusuk tubuh monster itu dari dalam.

Monster itu tak akan bisa kabur dari pasak-pasaknya. Sialnya, Stallza lupa kalau monster itu tak akan berhenti hanya karena rasa sakit. Cakarnya masih bergerak dan mencakar Stallza. Dengan sedikit kekuatan yang tersisa ia melompat ke dekat Nica dan mengembalikannya ke dalam kristalnya.

Ia mengambil kristal lain, Kristal Spiritia Fera dan Helia untuk mengembalikan mereka berdua juga. Stallza telah mengembalikan Helia, tapi ketika dia hendak memasukan Fera, Spiritia itu berbicara.

"Tuan Stallza. Ada apa denganmu? Perkataanmu barusan.... apa maksudnya itu?!"

Spiritia itu marah kepada Stallza. Ia keluar dari mode Spiritialis dan kembali menjadi wanita berambut merah yang memegang sebuah palu.

"Tuan Stallza tidak mungkin mengatakan hal itu! Apa yang terjadi denganmu, hah?!"

Spiritia itu menarik kerah baju Stallza dan membawanya menjauh dari monster itu.

"Maafkan aku, Fera..."

Fera tersedot ke dalam kristal Spiritianya. Kristal itu masih bergetar kencang seolah-olah Spiritia di dalamnya memberontak dan memaksa untuk keluar.

"Maafkan aku.... semuanya. Aku telah menjadi majikan yang buruk. Semua karena pulau sialan ini!"

Stallza mengambil pisau-pisaunya dan bersiap melawan monster itu sendirian. Dia tahu kalau dia akan mati jika bertarung tanpa Spiritia, tapi jika Stallza memunculkan Spiritia, ia akan melakukan tidakan kejam seperti tadi, seolah-olah dia memperlakukan para Spiritianya seperti alat.

Ia tak bisa terima itu. Dia tak mau melukai hati para spiritianya melebihi apapun. Dia lebih memilih untuk mati dari pada melukai perasaan mereka. Akan tetapi, Stallza tak akan menyerah tanpa perlawanan.

Mahluk itu menerjang. Stallza melempar pisaunya, tapi tak berpengaruh sama sekali karena dia sudah kebal, terutama karena dia telah dihujam pasak-pasak tadi. Cakar mahluk itu menembus perutnya, giginya menggerogoti semua bagian tubuhnya tanpa sisa. Nasib Stallza, sang Spiritia Master yang sangat mencintai Spiritianya berakhir di sini.

Mahluk itu tak puas memakan Stallza. Ia harus mencari mangsa lainnya. Dia mencium bau, bau manusia tak jauh darinya. Sepertinya keruntuhan ini telah memancing petarung lainnya.

***

Ravelt Tardigre berjalan menyusuri jalanan kota besi yang hanya disinari oleh lampu-lampu redup dan sinar bulan purnama. Dia bertanya-tanya kenapa bisa ada bulan purnama di saat seperti ini. Namun, itu tidak penting untuk sekarang. Dia baru saja mendengar suara kerusuhan, kerusuhan berarti pertarungan dan pertarungan berarti ada peserta. Dia bisa saja beruntung kalau petarung lainnya terlalu lelah akibat pertarungan sebelumnya.

Untuk terakhir kalinya Ravelt memeriksa jam pada monitor raksasa. Dari kejauhan Ravelt dapat melihat angka [02.08.40]. Waktu yang tersisa hanya dua jam. Itu lebih dari cukup.

Ravelt memasuki sebuah gang kecil dengan beberapa robot sampah yang telah menjadi sampah. Robot-robot itu sudah tidak memiliki sumber energi dan akhirnya menjadi sampah yang harusnya mereka tangani, begitu ironis. Ia jadi teringat tentang cerita seorang pahlawan yang seharusnya membasmi pemberontak, malah menjadi bagian dari pemberontak itu sendiri, begitu ironis. Ada juga cerita tentang seorang juru masak yang dimasak oleh suku kanibal, begitu ironis.

Tapi lebih Ironis cerita seorang raja yang saking sibuknya memikirkan cerita Ironis, hidupnya berakhir karena terjangan dari musuhnya yang menyerang dari belakang, begitu ironis. Dan raja dalam kisah itu adalah Ravelt sendiri.

Ravelt terbaring lemas, dia tidak bisa lagi mengatakan apapun. Jantungnya telah tertusuk, itu adalah Organ Vital pada mausia, jika jantungnya rusak berarti dia akan segera mati. Akan tetapi waktu berputar kembali berputar tepat sebelum Ravelt memasuki gang kecil itu. Dia tahu Hero's essencenya teraktifkan lagi, itu artinya dia harus siap bertempur.

Ravelt memasuki gang kecil itu lagi. Ketika dia mencapai pertengahan gang, ia merasakan nafsu membunuh yang sangat kuat. Ia segera berbalik dan melihat sebuah mahluk bertubuh merah-hitam berlari ke arahnya. Ravelt mengarahkan tongkatnya kepada mahluk itu, tapi mahluk itu langsung merusak tongkatnya.

Ravelt segera membuka warehouse, sebuah dimensi dimana dia meletakan semua barangnya dan mengambil sebuah pedang besar sepanjang dua meter. Mahluk bertubuh merah itu menerjang lagi. Ravelt segera mengangkat pedangnya, lalu menebas kepala mahluk itu.  Mahluk itu terhenti sambil mengerang kesakitan, tapi tidak lama kepalanya tumbuh lagi dan kembali menyerang Ravelt dengan cakarnya. Ravelt meletakan pedangnya di belakang punggungnya dan bersiap melakukan serangan balasan.

Ravelt memegang erat peganggan pedangnya. Ketika cakar mahluk itu berjarak 50 cm di depan matanya, Ravelt berjongkok sampai ujung pedangnya menyentuh tanah, kemudian secara horizontal menebaskannya ke badan mahluk itu. Dalam kondisi biasa, pedangnya akan membelah tubuh mahluk itu menjadi dua bagian. Namun sial, pedang panjangnya tertancap di dinding gang sempit ini.

"Sial..." Kutuk Ravelt pada kecerobohannya sendiri.

Dia hanya memiliki dua kesempatan tersisa untuk mengulang dari checkpoint, tapi dia belum tahu apakah dia lawan terakhirnya atau bukan. Dia mau menyimpan Hero's essencenya untuk saat terakhir, tapi sepertinya dia akan kehilangan satu kesempatannya untuk mengulang. Mahluk merah itu menyadari kelengahan Ravelt dan memotong kepalanya.

Waktu berputar kembali. Ravelt berdiri di depan gang kecil itu lagi. Dia menatap sekelilingnya, sepertinya kejadian ini hanya akan terjadi jika Ravelt memasuki gang kecil ini, sebuah pertandingan yang ia kalah dua kali di dalamnya. Jadi, jika dia memilih jalan lainnya, dia tak harus menemui si mahluk merah itu.

Ravelt memutari gedung sekitarnya dan menemukan sebuah  jalan utama. Paling tidak jika mahluk merah itu menyerang lagi, daerah luas ini akan menguntungkan baginya. Dia terus berjalan ke arah sumber suara kerusuhan yang menariknya. Ketika dia sampai di lokasi, yang ia lihat hanyalah reruntuhan bangunan dan air yang memancar keluar dari pipa-pipa ledeng yang rusak.

Dari kejauhan Ravelt dapat mendengar suara dengusan hewan. Tak lama kemudian, ia mendengar suara erangan hewan itu beserta suara hentakan kaki yang terdengar jelas. Hanya ada satu pilihan, dia harus bertarung.

Ravelt menarik sebuah tombak berbilah pedang –Glaive dari Warehouse-nya. Ia berbalik dan menahan tebasan dari mahluk itu dengan bilah pedangnya. Mahluk itu hendak menusuk Ravelt dengan tangan kirinya, tapi Ravelt menggunakan kesempatan ini untuk melancarkan serangan balasan. Ketika tangan kiri mahluk itu menerjang, Ravelt memindahkan ujung tongkatnya ke jalur terjangannya dan meletakan kedua tangannya di tengah tombak itu sehingga dorongan dari tangan kiri akan berporos pada tangan Ravelt dan mendorong sisi lain tombaknya ke arah yang berlawanan, bilah pedang Glaive Ravelt telah memotong tangan kanan mahluk itu menjadi dua.

Ravelt memutarkan tombaknya, lalu menebaskan bilahnya pada bahu mahluk itu. Tangan kanan mahluk itu terputus, akan tetapi bilah pedang Glaive Ravelt rusak karenanya. Ravelt mengambil pedang sepanjang dua meter dari Warehouse-nya, lalu menebaskannya secara Horizontal ke tengah perut mahluk itu dan membelahnya menjadi dua.

Mahluk itu tampaknya masih hidup meski sudah terpotong sebanyak itu. Ravelt menendang batang atas tubuh mahluk itu yang masih dapat bergerak. Tangan kirinya hendak menerjang Ravelt, tapi langsung ia potong dengan pedang panjangnya.

Ravelt mengambil Glaive lainnya, lalu menusuk-nusuk tubuh mahluk itu tanpa ampun. Dia ingin sekali memasukan mahluk ini ke dalam koleksinya, tapi sebelum dipelihara, mahluk buas harus dijinakan dulu,bukan? Ravelt melanjutkan tusukan Glaive-nya. Tubuh mahluk itu semakin cair, semakin memisah, sampai semuanya rata dengan tanah. Hanya ada sebuah bola merah tua yang menonjol dari sisa-sisa tubuhnya.

Ravelt mendeklarasikan tempat ini sebagai Checkpoint untuknya, lalu ia mengambil bola merah tua dari mahluk itu. ia dapat merasakan amarah dan amukan dari mahluk itu yang seakan-akan ingin berada di puncak rantai makanan. Bodoh. Itulah kalimat yang dikatakan Ravelt. Baginya, tak ada gunanya berada di puncak rantai makanan, yang penting adalah berdiri di puncak piramida sosial manusia.

Ravelt merasakan suatu rasa sakit yang luar biasa. Bola itu terjatuh bersamaan dengan tangan Ravelt. Sesuatu telah memotong jengkal tangannya. Inilah saat yang dibenci Ravelt, saat menggunakan kesempatan mengulang yang terakhir kalinya. Hero's Essence terakhir teraktifkan, waktu berputar kembali, tepat setelah Ravelt mengalahkan mahluk buas itu.

Ravelt masih memegang bola merah itu. Suatu tebasan akan memotong tangannya jika ia lengah. Ketika tebasan itu datang, Ravelt segera menghindari tebasan itu, tebasan dari suatu pedang cair. Ravelt mengambil sebuah tombak dari Warehouse-nya. Ia lalu berbalik dan dengan tongkat tombak itu ia menahan tebasan lainnya. Mahluk bertubuh cair itu menurunkan pedangnya, lalu menebas ke atas. Tebasan ini berhasil ditahan oleh Ravelt, tapi ia harus melepas koleksi barunya dan menggunakan kedua tangannya untuk menahan serangan Emils.


Penyerangnya adalah sebuah mahluk bertubuh manusia cair. Kepalanya tidak memiliki ekspresi, hanya dua mata yang tertutup. Di tangannya terdapat suatu pedang cair yang menyerupai Rapier. Dialah Emils si Slime Swordman.


Bola merah itu menggelinding ke arah Emils, lalu Emils mengambil bola merah itu ke dalam tubuhnya, kemudian meleburnya ke dalam intinya. Ravelt kesal karena kehilangan koleksinya, tapi ini bukan saatnya untuk membahas itu.

Ravlet mengaktifkan Divine Access-nya, aura suci menyelimuti seluruh tubuhnya dan meningkatkan kekuatan dan ketahanan fisiknya. Ia tidak bisa lagi menggunakan Hero's Essence untuk memutar waktu. Kali ini, dia harus bisa bertahan sampai akhir.

***

Sebelumnya, duplikat Emils yang telah dibekukan oleh Stella, lalu terbebas karena hujaman pasak dari Stallza yang menghancurkan seluruh bangunan sekaligus bongkahan es yang menyelimuti duplikat Emils. Untungnya ada banyak air yang memancar keluar dari sisa-sisa pipa ledeng hotel ini.

Sekarang, Duplikat itu telah meleburkan Emils yang asli ke dalam dirinya. Memori dan kekacauan hati Emils yang malfungsi karena campuran sihir yang berlebihan mengalir ke dalam pikiran duplikatnya. Sekarang ia bukanlah duplikat lagi, dialah Emils yang asli. Akan tetapi, tidak seperti dirinya yang asli, dia tidak terpengaruh banyak oleh pulau ini karena sihir Stella menghalangi sihir lain untuk masuk ke dalam balok esnya, jadi bisa dikatakan pikirannya lebih tenang dari pada dirinya yang asli.

Ravelt tahu mahluk cair itu. Tidak salah lagi, dia adalah seekor Slime. Dalam pikirannya ia bertanya-tanya kenapa Slime bisa ikut ke dalam turnamen Battle of Realms ini, tapi dia juga lega karena lawannya kali ini hanyalah seekor Slime yang lemah. Tawa jahat Ravelt menggema lagi.

"Ada yang lucu, manusia? Atau pikiranmu sudah dirusak oleh pulau ini separah aku yang tadi?"

Meki raut wajahnya tidak berubah, Ravelt sedikit terkejut. Jarang sekali ada Slime yang bisa berbicara, kalaupun ada pasti langkah. Lalu ia teringat kalau Slime tidak bisa membentuk tubuh manusia seperti itu, berarti Slime ini bukan Slime biasa.

"Oh? Ternyata kau bisa berbicara?"

"Semua Slime dapat berbicara. Mungkin hanya otakmu yang tidak bisa mengerti bahasa kami"

"Memang siapa yang mau menghabiskan waktu untuk mempelajari bahasa rendahan seperti itu? Hanya orang bodohlah yang mau mempelajarinya"

"Mahluk yang pandai adalah mahluk yang selalu ingin tahu. Mereka yangselalu ingin tahu akan selalu belajar tak peduli seberapa bodohnya hal itu. Jadi, kau hanyalah manusia bodoh"

"ha! kalau aku sebodoh itu, kira-kira seberapa bodohnya dirimu?"

Emils tak perlu berkata apa-apa lagi. Dia tahu kalau pembicaraan di awal pertarungan hanyalah trik untuk memprovokasi lawan, jadi dia tahu bahwa Ravelt menunggu Emils untuk menyerang. Untuk mengantisipasi kekalahan, dia membuat sebuah rencana.

Emils menerjang Ravelt, ia menghujamkan pedangnya kepada pria itu. Ravelt mengambil perisai dari Warehouse-nya dan menahan serangan Emils, lalu dengan perisai itu juga ia mendorong mundur Emils. Emils terpental karena hantaman perisai itu, tapi dia segera meraih keseimbangan.

Emils melemparkan sebuah pisau kecil yang meninggalkan kabel tipis di belakangnya. Ravlet dengan mudahnya menghadang lemparan pisau itu dengan perisainya sehingga pisau itu dibelokan ke sisi kanan Ravelt.

Melalui kabel yang ia pasang, Emils mengendalikan pisau kecil itu, ia memanipulasi pisau kecil itu untuk berputar dan membelit tangan kanan Ravelt, lalu memutar lagi dan membelit leher Ravelt. Ravelt tertarik akan lilitan ini, sehingga kuda-kudanya rusak.

Emils memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerangnya, ia menerjang Ravelt dan menebas lehernya, tapi karena Divine Access Ravelt, bukannya memutus leher Ravelt, tapi malah pedangnya terputus karena kerasnya tubuh Ravelt.

Ravelt mengumpulkan Divine power pada tangan kirinya, lalu memukulkannya pada tubuh Emils sampai ia terpental ke reruntuhan hotel itu lagi. Karena pukulan Ravelt, kabel Emils terputus sehingga tangan dan leher Ravelt terbebas dari kabel Emils.

Ravelt menggunakan kesempatan ini untuk berganti ke Dark Access dan menggunakan far sight pada Emils. Ravelt telah mengetahui kelemahan Emils, bola biru yang berada di batang atas tubuhnya.

Ravelt berjalan ke puing-puing hotel itu dan menemukan tubuh Emils yang terkapar dalam suatu genangan air. Inti Emils yaber berbentuk bola biru tua dapat terlihat jelas. Ravelt mengambil sebuah tombak dari Warehouse-nya dan menusuk bola biru itu.

Bola biru itu berputar menghindari tusukan Ravelt. Ravelt menarik tombaknya dan hendak menusuk lagi, tapi dua buah pisau cair terlempar dari bawah kaki Ravelt dan melilit kedua lengannya. Kabel itu menarik tubuhnya ke bawah sehingga tubuhnya tertunduk, tapi Ravelt menggunakan Divine Access dan terbebas dari lilitan itu lagi.

Dua buah pisau terlempar dari depan Ravelt, Ravelt menyilangkan kedua lengannya dan menahan kedua pisau itu. Saat itu pula, Emils membentuk tubuh manusianya dan menebas dari belakang Ravelt, tapi lagi, pedang Emils terputus karena kerasnya tubuh Ravelt.

Ravelt mengambil sebuah pedang dari Warehouse-nya, lalu berbalik dan menebas tubuh Emils menjadi dua bagian.Tubuh atas Emils memegang bahu Ravelt, lalu menarik dirinya kepada Ravelt sehingga tubuh Ravelt basah karena air.

Air yang telah membahasi Ravelt perlahan membekukan seluruh tubuh Ravelt. Emils muncul dari belakangnya lagi dan menebasnya, tapi hasilnya tetap saja sama pedangnya terputus lagi. Menyadari kalau pedangnya tak akan berguna, Emils menambah air kepada Ravelt, lalu membekukannya dan mengulang proses ini beberapa kali sampai seluruh tubuh Ravelt benar-benar beku.

Divine Access Ravelt hanya melindungi dirinya dari serangan musuh, tapi bukan serangan alami seperti suhu dingin. Ravelt juga tidak bisa menggunakan  pukulannya karena tangan maupun kakinya telah membeku. Ravelt menonaktifkan Divine Access dan berganti ke Dark Access.

Ravelt dapat merasakan seluruh tubuhnya terselimuti oleh kekuatan kegelapan. Kekuatannya bertambah dua kali lipat, termasuk sihirnya. Sekarang dia dapat menggunakan sihir tanpa memakai tongkatnya. Sebuah bola api muncul di depan Ravelt dan mulai mencairkan tubuhnya. Namun, inilah yang ditunggu oleh Emils

Emils melihat aura keemasan dari Divine Access telah menghilang dan berganti menjadi aura kehitaman. Bongkahan es Ravelt mulai cair karena sihir api Ravelt. Emils mengangkat pedangnya dan menusuk punggu Ravelt dari belakang. Pedang Emils menembus jantung Ravelt.

Ravelt  tidak bisa menggerakan tangannya, pandangannya semakin kabur. Ravelt memeriksa seluruh tubuhnya dan menemukan darah mengalir dari lubang di dadanya yang tertembus oleh pedang cair dari belakang. Meski Ravelt tidak merasa kesakitan dari tusukan ini, tapi bukan berarti tubuhnya akan merespon seakan dia tidak terkena serangan itu.

"hehehe.... lucu sekali" tawa Ravelt lirih.

"Aku dikalahkan oleh Slime biasa?" Suara Ravelt semakin pelan.

"Tak ada musuh yang lebih mengerikan dari pada kesalahanmu sendiri, terutama karena mengira mangsamu sudah tidak berdaya" Kata Emils.

"Yah... bisa dibilang karena kau seorang pahlawan dan aku adalah Slime. Kau jadi terlalu sombong dan kesombongan memberika rasa percaya diri yang salah" lanjutnya.

Ravelt menghembuskan nafas terakhirnya. Pertandingan terakhir ronde ini telah selesai. Sekitar tujuh Hvyt turun dari langit yang telah kembali berawan hitam, lalu mereka mendarat pada gedung-gedung yang mengelilingi lokasi pertarungan terakhir itu.

"Tsch... mahluk ini menang lagi. Pemenang ronde ini adalah Emils si Slime Swordman!" kata Hvyt dengan nada yang seakan-akan mengolok Emils.

"Hei! Siapa Hvyt yang membawaku? Akan kutuntut dia karena mensabotaseku di awal pertandingan!" teriak Emils pada salah satu Hvyt.

"Hvyt itu tidak ada lagi. Dia melanggar perintah tuan Thurkq dan menerima akibatnya"

"Hah! Itulah kenapa...."

Sebuah tombak yang terbuat dari tulang menembus tubuh cair Emils.

"K-Kenapa lagi ini?!"

"Kami akan membalas kepergian teman kami, Slime. Tuan kami tidak akan marah jika kami menyiksamu setelah pertarungan ini selesai"

Hvyt lainnya mulai mengeluarkan senjata mereka, pedang, busur, tombak dan berbagai senjata lainnya mereka keluarkan. Mereka menyerang mahluk cair itu secara serentak.

Setelah penyiksaan yang panjang dari Hvyt, Emils dibawa kembali ke Cacandha Vadhi untuk mempersiapkan ronde berikutnya.


13 comments:

  1. Battlenya Epic :)
    EYDnya ada yang miss
    Typo bertebaran dimana-mana

    Nilai= 6,5

    Stella Opinion:
    Rupanya slime sepertimu tidak bisa diremehkan begitu saja. Dan sekarang kau membuat aku senang sekaligus tertawa. Aku akan menambahkan nilai untukmu wahai Emils.
    Stella mengucapkan mantra, bola kristalnya berpendar biru.

    Efek= +0,7
    Total Nilai = 7,2

    ReplyDelete
    Replies
    1. All hail Typo! Ya... maaf, saya nggak sempat ngoreksi karena waktunya mempet....
      Terimakasih sudah mampir! :D

      Delete
  2. LOL, mendadak Carol jadi tukang bersih-bersih.
    Kerja bagus, IMO. dan Emils nggak selemah keliatannya >.<

    Nilai : 7

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan tukang bersih-bersih! Dia hanya merapikan perpustakaan yang telah dibantai.... eh.. nggak beda juga,sih....

      Terimakasih sudah mampir!

      Delete
  3. uwah, sempat ktipu jg sama dewa kebodohan, emils ternyata pintar mengecoh lawan xD
    porsi aksinya kyknya tlalu banyak kak, jd agak skip baca adegan battlenya (masalah selera jg sih), tp ni keren bgt kak, battlenya seru, kmampuan oc dpake smua, apalagi kmampuanya ravelt tuh yg bs membatalkan kehancuran dunia :D
    nilai 8

    ReplyDelete
    Replies
    1. oya, suka jg sama perlambangan tiap oc sama tiap dosa, nema emang cocok sama sloth #plok xD

      Delete
    2. Saya hanya merasa sayang kalau melewatkan kesempatan 7 deadly sin, 7 pulau dan 7 peserta. :3

      Terimakasih sudah mampir!

      Delete
  4. perasaan saya baca ini: Emils so pro
    kalau bukan karena typonya, mungkin angka 9 mendarat :v
    btw, konsep checkpoint Ravelt pake time control itu konsep yang bahkan nggak hinggap di pikiran saya sama sekali...

    8/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ehm....
      Itu karena saya pikir Hero's Essence Ravelt adalah sejenis "Retry" pada game-game.

      Terimakasih sudah mampir!

      Delete
  5. Terima kasih sudah memberikan Stallza porsi yang cukup lumayan. Meski ada sedikit pertentangan aneh yang rasanya belum halus. Saat Nica (Nicca?) mati, dia menyerapahi spiritia itu, tapi belakang-belakang malah menyesal. Masih belum halus konfliknya. Masalah teknis macam typo sudah dikomentari di atas, dan masalah karakter lain, serahkan pada para pemiliknya. Saya tidak begitu mengenal karakter yang lain :v

    Nilai akhir 7.5

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seharusnya pada bagian kematian Nicca saya tambahkan Konflik dalam diri Stallza yang terpengaruh oleh Aura pulau Ryax yang membuatnya sombong. Tapi saya lupa masukan karena Deadline :v

      Terimakasih sudah mampir!

      Delete
  6. entri ke-16....

    dan saya baru paham kemaren. "emils" itu ternyata "slime" yang dibalik :p

    oke, lanjut kak....

    saya ga bisa komentar apa2 soal battlenya. ini adalah salah satu battle paling epic yg saya baca sejauh ini di R2. andai ceritanya juga seepic battlenya...

    yups. andai. jujur kak, saya udah beberapa kali pengen baca emils, tapi paragraf2 awal itu rasanya ga sreg aja. terlalu "tell" ke pembaca. dan saya mikir, "oh, pasti seluruh cerita bakal kayak gitu". walhasil, saya proscra baca emils dan baru sempat lagi baca sekarang. itu pun juga gara random, tiba2 aja pengen baca.

    dan akhirnya, saya ketemu "hidden gem"nya justru di akhir2. sungguh sayang aja kalo cerita sebagus ini dirusak gara2 masalah teknis aja, semisal typo, diksi yg ga baik, tanda baca, titik, koma, dsj.

    khusus buat kalimatnya, saya ngerasa agak panjang. pemakaian komanya juga kak. kalau saja narasinya bisa diperbaiki lagi, saya yakin emils bakal jadi karakter yg bener2 lovable. apalagi bentuknya imut2 gitu >.< , asal ga lagi berubah aja :p

    buat OCnya sendiri, saya pikir bakal banyak potensi yg bisa dikembangin dari sini. kayak primo. masa lalunya belum semua dijabarin dg lengkap. ide revolusionisnya unik juga, saya suka. overall, saya ngasih nilai 7, bukan gara2 ceritanya jelek, tapi gara2 typonya itu. maaf kak, tapi satu2nya yg menghalangi saya buat menikmati cerita ini, ya hal itu.

    semnagat kak >.<

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -