May 19, 2014

[ROUND 2 - MHYR] BARA SI TUMPARA - DI BALIK DONGENG

[Round 2-Mhyr] Bara Si Tumpara
"Di Balik Dongeng"
Written by Hael Elliyas

---

Semenanjuk langit terik. Jiwa larang pasir kuning. Debuan. Angin. Titian sayap merah. Lenteraku. Gemilau palsu. Fatamorgana. Tertohok. Dongeng puitis selakar arta dunia. Senda gurau haus membelantara. Tumpara nama Bara. Lantunan. Tri gaya laskar selara. Haus. Dahaga. Titik lelahku. Kemalasan. Pudar. Membayangnya. Gundukan. Sambitan. Sesak. Biru memikat. Mhyr. Oase.

Masih melepas lelah di tengah kerumunan manusia setelah pertarungan di suatu realitas, Bara menengadah. Menanti seseorang memberi keputusan tentang hasil pertarungannya saat ini. Tak ada satu entitas pun yang mati. Bara dan hanya si keren Bara inilah yang masih berdiri. Sang Tarsius. Bara si Tumpara.

Di langit sana, secercah merah mulai merekah di antara biru belantara. Vertikal-vertikal garis iluminasi mematri api. Pintu langit terbuka. Terkoyak. Di balik sana, sang angin neraka—turun mengarungi gravitasi. Hvyt si sayap merah. Ia hadir dengan bergegas hendak membawa salah satu dari mereka-yang-bertahan. Mengarah pada Bara.

Terpental. Si sayap merah Hyvt baru saja terlontar kembali mengudara. Sepertinya sesuatu menyenggolnya ketika hendak membawa si keren Bara. Sedikit gegabah pada lentera yang suci menyala-nyala.

"Kenapa aku jadi membawamu dengan cara begini?" Keluh Hyvt yang sedang mengepak sayapnya, terbang, sambil membopong si hebat Bara di punggungnya.

Atau lebih terlihat seperti—ditunggangi.

Bara hanya bisa pasrah sambil menengadahkan tangan. "Ngoahaha.. Habisnya kalau dirimu menarikku dari atas, nanti tak sengaja tersenggol lentera lagi, kan? Apa boleh buat toh. Hhihi." Hibur sang tumpara hijau yang bersahabat.

"Pokoknya pastikan lentera itu tak sampai terpentuk sayapku!"

"Okeey, okeey." Jempol untuk sang Hyvt. "Jadi, kenapa dirimu membawaku? Hendak ke manakah kita?"

"Untuk menuju realitas lainnya." Cukup satu kalimat.

"Jadi aku tak dieleminasi oleh si Thurk itu? berarti caraku tidak salah, yaa? Untuk tak membunuh satu pun dari mereka."

"yakin..? Mungkin tempat berikutnya adalah hukuman bagimu karena tak membunuh satu pun pesaing. Eleminasi itu menyakitkan lho.. bahkan lebih sakit dari pada kematian."

"Membunuh bukan tugas utama, kan? Si iblis bertanduk itu hanya bilang 'mengalahkan, mengalahkan,' dan aku tidak merasa dikalahkan oleh teman lainnya barusan. Ah! Bicara soal iblis, sesepuhku sepertinya pernah bercerita sesuatu tentangnya. Hmm, lupa."

Mereka berdua pun menembus sebuah gerbang langit yang terbuka di atas sana. Menuju pesona warna berbias kombinasi anonim bergaris membentang citra. Nuansa aneh yang tak tergambarkan, tak mampu dikenang. Hingga setitik cahaya terang dengan sebutan sudah lebih dikenal, muncul. Menusuk ke dalam setitik cahaya yang kini adalah gerbang keluar, tibalah Bara dan Hyvt di suatu realitas baru. Terang. Benderang.

"Mungkin tempat ini akan mengubah prinsipmu itu, tumpara."

Realitas yang amat terik dan silau. Kuning membentang. Padang pasir menjadi hamparan. Sebuah gurun sepi tanpa rona kesejukan. Realitas babak kedua.

Terpampang paras terkejut was-was. Si keren Bara ingin menatap lebar namun sinar mentari, terik menyinari. Amat. Kening sang tumpara mulai mengerut.

"Tempat macam apa ini...?"

"Kau lihat?" Seraya Hyvt terhenti dari lajunya, melayang ambang di udara, "Seluruh hamparan adalah gurun pasir tak berujung, pulau Mhyr. Dan di tempat kemarau ini, kau harus mengalahkan satu di antara pesaing lain. Jika tidak, kau akan menetap di sini." Ala iblis. Tawa licik mulai memekik.

"Tidak lagi!! Tempat kering!! Ngoaah...! Tidak kah ada air di sini..?"

"Oh, lihatlah, ada satu-satunya sumber air di oase sana. Mungkin akan butuh usaha lebih untuk bisa sampai ke sana." Hyvt mulai bergerak tak karuan, membuat Bara yang sedang menungganginya tak dapat menjaga keseimbangan. "Karena jasa ku hanya mengantarmu sampai sini!" Ia membanting Bara untuk turun.

Di kala jatuhnya, Bara terpelanting secara berputar, membuat lenteranya yang suci menyala-nyala berayun. Terlontar. Hyvt yang menyenggolnya itu makin mengudara.

Bara sudah mendarat dengan aman. Keseimbangannya kembali diatur sebelum membentur bukitan pasir. Di sana, ia mengamati dengan santai si Hyvt yang bersusah-payah mengatur keseimbangan di udara.

Alkisah. Hyvt sudah kembali mendekat.

"Pokoknya dari sini kau bebas ke mana pun, tumpara. Cukup kalahkan mereka, satu orang saja, dan kembalilah lagi ke tempat ini. 10 jam adalah tenggat waktunya... Satu pesanku, berhati-hatilah pada rasa malas yang membisik." Ala iblis. Tawa licik mulai memekik.

"Mereka semua tahu ada oase di tengah sana, kah?"

"Tentu."

"Oookay! Ngoahaha, sumber air, aku datang!" Sambil menuju sumber air, Bara akan bertemu juga dengan peserta lain yang pasti bertujuan sama. Itulah yang terpikirkan. Tanpa memandang terik, Bara memakai kedua kacamatanya dan mulai berlari. Dirinya sudah amat rindu pada mata air yang sudah terbayang betapa sejuknya di sana. Dari tempatnya berdiri, oase itu masih tertutup berbukit-bukit pasir. Walau begitu, Bara ingat betul di mana letaknya.

Berlari di tengah gerah gurun mengepul, Bara membuat picuan kuat. Melompat tegar, ia mengudara... sedikit. Membalikkan wajahnya ke badan bumi, hendak membenturkan lenteranya sebagai wadah mendarat. Salah satu teknik bergerak cepat milik Bara.

Pantul. Pantul. Memantul.

Ledakan, hempasan kuat membuyarkan debuan pasir gurun. Tumpuan antara pasir, lentera, dan tubuh Bara adalah penyebabnya. Bara pun terpental dengan cepat, naik turun menuju oase besar berada. Hatinya riang gembira.
Tiba-tiba.

"Mati aku,"

Letih. Lemah. Lesu. Bara tiba-tiba sudah terkapar, terkelungkup di atas pasir. Oase di depan mata, tak kunjung tiba jua. Terengah nafasnya. Setitik demi segelas air keringat telah mengucur deras.

"Air... Air," mulai tertatih, merangkak bergerak.

Pasir-pasir yang berbukit mulai dirangkaki. Dan betapa riang gembiranya ia, di dasar salah satu kawah pasir, ada genangan air. Jernih. Membuat Bara langsung meluncur ke bawah. Letih seakan hilang sesaat waktu.

"Ngoak! Pasir!" Melepeh-lepeh ia. Baru saja bibir keringnya mengecup pasir di mana seharusnya air berada.

Ilusi. Tipuan. Fatamorgana.

Bara kembali terkapar. Sekujur tubuhnya lemas, tak mau bergerak. Ia pasrah, lebih ke arah malas untuk bergerak, untuk berlanjut. Berbaring diam adalah hal yang terpikirkan.

Satu, dua jam telah berlari. Bangkit dari suatu rasa lelah entah malas, Bara kembali mulai ambil langkah. Gesekan pasir-pasir dengan alas sepatu kuning mulai terpicu. Panas ini tak boleh menghilangkan pesona tentang betapa kerennya Bara. Sudah lebih tegar. Bedanya, ia sudah tak mau mempercayai ilusi. Satu-satunya sumber air adalah oase di depan sana.

Keringatnya masih terus menetes, "Hai, Spinach... butuh berapa tetes keringat lagi yang dirimu butuhkan? Aku sudah mati-matian ini." Sambil menepuk-nepuk ranselnya. Berharap batu roh hijau, Spinach, yang sedang tertidur bisa mendengar dan bangkit. Tetes keringat kegigihan adalah sebuah pemicu bangkitnya sang batu roh Spinach. Kegigihan diri yang mampu memperindah kristal atom air yang ada pada tetes-tetes keringat para entitas.

Nafas Bara terasa berat, "Hei kulit hijauku..," terengah, "kau mau rontok ya..?" terengah "Aku juga merasa mau roboh. Udara di sini benar-benar menyengat teriknya. Fatamorgana di sekitar hanya air dan air, membuatku ingin rebahan saja." Hela nafas, "Hei kulit hijauku... tidak bisa kah kau menyimpan air segar seperti pohon moras di tengah gurun?" Gumamnya menahan sepi di tengah gesekan pasir. Menyebut-nyebut tanaman yang sepertinya sebuah kaktus di planet Skymeira.

Sepasang mata di balik kacamata selam itu berhasil menangkap gambar lain. Diusaplah kaca dari debu yang ada. Dan untuk lebih memastikan, bara membuka kacamatanya. Bayangan di balik debuan itu benar-benar menarik perhatian. Sosok yang bila bukan fatamorgana, pastilah entitas yang tingginya lebih dari dua meter.
Tanpa ragu dengan agak sedikit lebih mempercepat langkah secara secukupnya, Bara mendekati.

"Jadi di tempat ini, ada beruk gurun pasir !? Aku penasaran, apa beruk itu kenal dengan beruk gunung salju." Terlihatlah sosok entitas itu lebih jelas, bak seekor yeti di tengah gurun. Hanya saja warnanya kecokelatan.

Mulai lebih cepat melangkah, "Mungkin aku bisa menebeng di atasnya."

Sepertinya entitas di depannya menyadari kehadiran Bara. Agak sedikit siaga ketika beruk itu menoleh. Dan sepertinya makhluk itu kaget.

"Hei," sapa Bara.

"Enyahlah, kau!" jawab beruk itu mendadak. Sungguh kalap dan penuh emosi dia. "Mau ajak kelahi, hah? Dengan telapak kakiku sudah cukup untuk mengalahkanmu!" Demam gurun.

Beruk itu pun menyepakkan debuan pasir beberapa kali ke arah Bara. Sepakannya memang tidaklah kuat, bahkan lebih terlihat memaksakan diri tapi cukup untuk membuat udara di sekitar Bara mengebul. Bara pun mundur dan segera memasang kacamatanya. Dari gelagak itu, sepertinya beruk ini sudah lelah dan sangat emosional.

Satu ucapan dari beruk gurun itu pun memberi petunjuk pada Bara. Kata 'mengalahkan' tersebut menjadi bukit bahwa dia adalah salah satu peserta, sama seperti Bara. Dari hal itu, Bara tak mau ambil ribut, mengingat prinsipnya yang tak mau menjadi sosok pembunuh berdarah dingin seperti yang diharapkan si iblis—Thurk.
Dan di padang pasir ini, Bara terpesona akan sesuatu, "Ngoah... cukup dengan telapak kaki? Paman beruk pasti hebat sekali..."

"Ahaha..." Terengah, "pujianmu itu tak membuatku senang tahu," terengah-engah, "Aku, Salvatore, jauh lebih fantastik dari kerdil sepertimu." Lalu terduduk lelah.

Tapi mereka berdua masih dalam posisi tak siaga. Perasaan lelah dan dahaga terlalu terpapar karena terik kemarau... atau ada unsur kemalasan di baliknya.

"Beruntungnya aku bertemu lawan mini di tempat gersang begini," Salvatore hendak berdiri. Ditatapnya suling dalam genggaman yang sesaat kemudian kembali ia jauhkan dari pandangan. Menggambarkan bahwa ia sedang malas menggunakan suling saktinya. "Tenggorokkan ku kering. Tak sanggup untuk meniup suling kalau begini," gumamnya.

Bara mulai terjaga ketika sosok setinggi dua setengah meter itu berdiri total. Mata terpesona dari balik kaca masih belum terlepas. Si mungil tumpara takjub terkagum-kagum dengan betapa tingginya entitas beruk itu. Jika menebeng, pasti cepat tibanya ke oase, pikir Bara. Dan penyebab mereka bertemu di sini, mungkin saja Salvatore juga sempat beristirahat dalam hitungan jam di tengah gurun yang memeras keringat.

Nafas keduanya masih berat. Kucur keringat masih merambati permukaan kulit mereka. Tapi tinggi tubuh entitas yang menjadi lawan, membuat penyerangan Salvatore jauh lebih siap. Melangkahlah Salvatore hendak mengambil ancang-ancang menendang.

"Kutu!" Lari-lari kecil hingga terlontarnya tendangan.

Dan sesaat kemudian, Salvatore sudah melayang. Mengudara ia dan terperanjat di gundukan pasir. Lentera yang suci menyala-nyala, tak kalah terang dengan terik mentari gurun, Bara melindungi diri.

 Salvatore pada kaparnya, mengumpat dalam diam. Tenggorokannya masih amat kering walau sudah beberapa kali meneguk liur. Hidungnya masih menggeleng-geleng, mencari angin segar.

"Bukan kutu. Aku, Bara si Tumpara." Protes Bara secara bersahabat.

"Sial kau... makhluk mini...!" dengan volume kecil.

Berdeguk. Berdeguk. Mencoba melembabkan pita suaranya, Salvatore bangkit dan kembali menjulang tinggi.

"Tahu tentang dongeng 'Si Raksasa Kecil' ?" Belum tertera amarah dari Salvatore. Bicara tentang dongeng, Bara jadi teringat kembali bahwa dongeng tentang iblis, belum kembali dalam ingatan.

Salvatore berlanjut, "Dengan pohon ajaib, seorang anak berhasil mencapai istana para raksasa di negeri awan." Berdeguk. Berdeguk. "Dengan kecerdikannya, anak ini mampu membuat si raksasa jatuh ke tanah. Ia berdiri di atas mayat sang raksasa, menjadikannya seorang Raksasa Kecil."

Bara masih melanjutkan pesonanya yang semakin jadi setelah mendengar cerita bersuara serak itu.

"Ngoaah... Aku harap bisa sehebat dia."

"Namun dongeng hanyalah dongeng. Apa yang akan kau alami adalah sebaliknya!!" Setelah tenggorokannya sudah dibiasakan untuk berbicara, Salvatore merasa pita suaranya sudah lebih baik. Ia mulai melakukan senam bibir. Kumisnya dayu mengayun-ayun. Bara tercengang mendengar ancaman itu.

"Hareudang di dieu teh, hareudang pisan." Sebuah kalimat mantera terlontar.

Panas. Terik kemarau terasa semakin panas dan hanya dirasakan amat panas oleh Bara seorang. Sebuah kemampuan yang membuat gelombang suara menjadi efek nyata di otak lawannya. WAY OF THE BACOT milik Salvatore dan sepertinya memang kudu ditulis dengan kapital—telah berkumandang.

Bara mulai bergerak mundur. Tubuhnya mengayun ke sana ke mari untuk mendapatkan hembusan angin, melawan panas yang menyerang terlalu tiba-tiba. Ia lemas, terduduk di pasir lalu berguling-guling menuruni bukit pasir terdekat.

"Panasnya... terlalu, ngoah!" Tangannya mengipas-ngipas pada wajah.

"Rasakan..!" Sambil cekikik kecil, tenggorokannya agak sakit, Salvatore mendekat. "Mati!"

Hendak menginjak Bara, telapak kaki itu terhenti. Salvatore melihat barang yang gegulingan dan was-was akan tersentuh lentera yang telah membuat dirinya terpelanting kliyengan. Emosi di kala kemarau benar-benar membuat Salvatore mendidih darahnya. Ia amat gregetan melihat si hijau mini berguling-guling bersama dengan lenteranya yang tak tentu arah.

"Arrgh..! Jika ingin bergoyang, biar kubuat kau bergoyang sampai mati, mini!"

Dengan cepat, Salvatore menyiapkan suling sakitnya dalam genggaman. Ia memainkan lidahnya untuk membasahi bibir berkerak. Berdeguk. Berdeguk. Berdeguk. Berdeguk. Berdeguk. Hingga sekian kalinya sampai Salvatore merasa tenggorokannya lebih lega.

Tiupan sakti pun dimulai. Nada koplo membungkam wahana kemarau. Otak sang entitas ini merespon. Bara berdiri, melupakan seluruh rasa panasnya, bergoyang penuh canda.

"Ngoaakk! Kenapa ini!" Bara tak habis pikir, "Lemas... badanku lemas...! kenapa tak berhenti, ngoaduh!" Ia seakan tak bisa merasakan otot-ototnya yang walaupun tengah dipaksa menari. Kulit dan pori sudah lewat masa dehidrasi dan terus menguras keringat. Keringat Bara mengucur dan terus mengucur.

Keringat yang dihasilkan dari tarian. Sesuatu yang indah, sesuatu yang dipaksa... walau terik kemarau terus menyinari. Keringat indah dan penuh kegigihan. Pemicu sang batu roh hijau—Spinach, merasa terpanggil.

"Akhirnya kau bangun, kawan!" Soray Bara dalam tarian kepada sebuah batu hijau bercahaya yang ada di udara. Salvatore masih melagu kala bingung.

"Bersiaplah... Mari beraksi, Spinach!"

Kehadiran Spinach yang melayang dari dalam ransel Bara, membuat suasana di antara mereka berdua menjadi cerah nan sejuk. Kemampuan Bara untuk bergabung dengan batu roh yang telah bangkit. Spinach melebur, bersatu dengan diri Bara, membuat kedua lenteranya bercahaya hijau. Si hijau semakin hijau. Gabungan Bara dan Spinach membuat wujud baru berupa Bara dengan lentera berhias gerigi angin. Gerigi angin kehijauan yang terus berputar, Bara-Spinach!

Kini Bara merasa sehat juga afiat. Kekuatan roh yang baru telah membuat tubuhnya kembali fit total. Lepas dari lelah. Lepas dari dahaga. Suasana kemenangan sudah teratur total dengan kehadiran ini.

Deru-deru angin yang berputar, membuat pasir gurun menggulung. Suara anginnya mengalahkan gelombang suara suling sakti hingga tak lagi berpengaruh pada Bara. Salvatore telah tercengang. Kumis sang beruk gurun berguncang hebat. Sosok mungil yang terlihat, kini terasa amat perkasa.

Si Raksasa Kecil.

Dengan lenteranya, kini Bara menyelimuti dirinya dengan tornado. Ia bersama tornadonya bergerak melintang, membentuk jalur horizontal. Tertabraklah Salvatore yang masih bergidik kencang kumisnya. Bara menggiring juga menerbangkan sang beruk gurun menjauhi oase di depan ufuk mata. Jauh dan amat jauh terlontar bersamanya angin, Salvatore terpelanting di suatu bukit pasir dengan arah yang buta untuk dapat menemui oase. Hal yang terakhir dilihat Salvatore hanyalah angin yang menggulungkan pasir gurun lalu menghilang ke balik awan.

இ இ இ


Di suatu sudut, di suatu koordinat. Seorang Hyvt yang menjadi penggiring Bara ke padang pasir, sedang menunggu bosan akan kehadiran peserta. Ia melayang-layang di udara dengan nyala merah sebagai sinyal penanda. Dengan terkantuk-kantuk, Ia memerhatikan jam dari alat ukur antah berantah yang kini—disebut saja—telah menunjukkan waktu dua jam lagi sebelum tenggat waktu pertandingan di pulau Mhyr. Dilanjut dengan menguap, ngangaan Hvyt tertutup segera. Ia merasakan suatu angin berderu kencang telah menghampiri. Dilihatnyalah sudah sosok entitas yang ada di balik puting beliung.

Bara hadir, kembali menuju ke koordinat keberangkatannya sesuai peraturan.

"Sudah kembali?" remehan dari Hyvt. "Kenapa tidak pergi saja ke oase? Banyak air segar yang kau cari-cari bergelimangan di sana."
Dengan tatapan serius dan tajam, Bara yang bersahabat berdialog dengan Hyvt, "Aku teringat soal dongeng tentang iblis, dari sesepuhku."

"Oh, dongeng yang kau bicarakan saat datang kemari ya? lalu?"

Ulas saja, dongeng ini kembali diingat oleh Bara ketika pertarungannya dengan Salvatore. Tepatnya ketika Salvatore berkata tentang 'dongeng' dan 'sebaliknya'.

"Soal dongeng itu, aku ingat bahwa itu bukanlah dongeng melainkan amanat. Sesepuh berkata bahwa, iblis akan hadir kepadamu. Iblis datang dengan membawa dua elemen. Ia akan menunjukkanmu jalan menuju air dan juga jalan menuju api. Namun iblis amat suka menipu. Sesungguhnya yang ditunjukkan adalah sebaliknya.

Apa yang ditunjukkan air oleh iblis, itu adalah api. Apa yang ditunjukkan api oleh iblis, justru adalah air. Karena itu, ketika iblis menawarkan dua hal tersebut padamu..." Bara menapak satu langkah mendekati Hyvt, "maka aku akan memilih api!"

Berpikir bahwa, bila Bara justru pergi menuju oase—tempat yang menjadi tujuan semua peserta di pulau kemarau ini—akan membuat dirinya justru bertemu dengan penantang lain dan membawanya pada pertarungan yang jauh lebih besar dan mematikan. Air menggiring diri ke dalam api.

Dan keputusan Bara adalah segera kembali ke tempat semula, menuju di mana Hyvt berada. Sang Neraka.

"Tapi kau belum mengalahkan seorang pun, bukan? Masih ada waktu dua jam lagi. Bila pergi sekarang, mungkin masih sempat."

"Tidak... Aku sudah mengalahkan satu peserta." Ucap Bara masih menatap tajam.

"Hah? Mengalahkan dari mana!?" Tolak Hvyt.

"Dari segi kegigihan."


Di kejauhan sana, Salvatore menjerembabkan dirinya sendiri. Rasa lelah dan malas sudah amat menghantui. Buta arah terhadap oase maupun posisi Hyvt. Panas gurun telah mengunci pikirannya untuk berbuat sesuatu. Ia lebih memilih berleha-leha di bawah terik kemarau.

"Kau itu aneh yaa." Ledek Hyvt, "Tak menuju oase, tak menemui peserta lainnya, bahkan tak membunuh salah satu pun... yakin begitu saja sudah cukup?" Rayu Hyvt.

"Aku tak jamin apa-apa lho soal kesimpulanmu. Tak tahu ya, tuan Thurk akan berucap apa?" Kembali tawa licik memekik.

7 comments:

  1. Anonymous19/5/14 22:48

    Dendi Lanjung:
    Ng, gimana ya, saya perhatikan gaya cerita di R1 dan R2 ini masih puitis, terlalu puitis malah.

    Trus soal karakter Sal, mungkin terlalu agresif, jadinya OOC.

    Nilai: 7/10

    ReplyDelete
  2. ==Riilme's POWER Scale on Bara si Tumpara's 2nd round==
    Plot points : C+
    Overall character usage : C+
    Writing techs : B
    Engaging battle : B-
    Reading enjoyment : B
    ==Score in number : 6,0==

    Pas baca di blog langsung kerasa juga ya kalo fontnya ngeganggu.

    Karena penulis baru nulis ini pas hari deadline, cuma dua jam pula, saya sedikit emmaklumi ceritanya yang singkat dan cepat. Tapi kayaknya selain Sal-nya berasa rada ooc, saya agak bingung juga karena Bara nganggep gitu aja udah menang. Padahal kirain akhirnya bakal bisa ngeliat gimana penulis bikin sesuatu yang bunuh"an

    ReplyDelete
    Replies
    1. #ampoooooni saia, master Sam~
      T 3 T

      Delete
  3. Anonymous27/5/14 03:44

    Bahasanya udah cukup khas, Master, cuma kesan dari tulisannya masih serba canggung. Karakter Bara jg masih nggak terlalu jelas kyk gimana. Ketemu Sal kyknya entahkenapa bisa langsung berantem, jadinya hubungan antara Bara dan Sal kesannya kurang alami

    Nilai 6

    - Po

    ReplyDelete
    Replies
    1. #ampoooooni saia, master po~
      T 3 T

      Delete
  4. ENTRI TERAKHIR T_T
    soalnya saya kira deadline penilaian itu akhir minggu ini T_T

    maaf ya, saya ga sempat baca canonnya satu2...

    oke, lanjut buat bara (dan kak hael khususnya)...
    saya punya sedikit catatan menarik.

    kalau kakak suka anime, pasti tahu beberapa karakteristik studionya. misalnya A1 pictures, JC staff, kyoani, ufotable. gampangnya gini. saya lebih seneng bayangin rex ama ursa itu di kyoani, kak ivan di ufotable, lazu di JC staff, dan CC di A1 pictures.

    sekarang, kalo bara di mana?

    yups. SHAFT.

    saya milih shaft sebagai studio yg pas buat karakter kakak. kenapa? karena unik. di tengah gempuran pasar yg menghendaki action2 flashy dengan alur cerita yg menarik, kak hael berani beda sendiri. kakak berani milih diksi yg bener2 beda ama yg diharapin orang2 kalo baca cerita pertempuran. well, dan saya sendiri juga menikmati ngebaca bara sampai akhir. tapi... ya.. seperti yg kakak tau dengan shaft sendiri... kadang2 bisa bikin karya seepic madoka, kadang2 bisa bikin adegan yg malas2an kayak nisekoi atau mekakucitya actors. walaupun ceritanya bagus sih...

    satu hal yg kurang ya.... sepi aja. kayak nonton film gravity. saya sih ga mau nerima alasan soal deadline kak, soalnya kita sama2 dikasih waktu 3 minggu >.< , tapi untuk cerita yg ditulis dg waktu singkat, ini sudah lumayan bagus. lain2 ga ada masalah. saya suka.

    overall, saya ngasih nilai 6.86232. karena saya terlalu malas membulatkannya ke angka 7.

    hehehe... tetap semangat kak T_T

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -