April 14, 2014

[ROUND 1 - F] MAYOR YVIKA GUNNHILDR - JUST ANOTHER BATTLEFIELD

"Just Another Battlefield"

---

Sebuah kota tua.

Makhluk merah aneh bersayap itu menelantarkanku di kota terbelakang ini, dan sekarang aku harus bertarung melawan empat orang asing yang bahkan belum pernah kutemui sebelumnya. Si cepak berkulit merah itu masih melayang-layang jauh di atas kota tua ini, tak bicara sepatah katapun dan hanya mengawasi.

Dingin kurasakan meresap di jemariku saat kusentuh dinding batu sebuah rumah di dekatku, terasa sangat nyata, tidak seperti para warga kota ini. Aku beberapa kali mencoba berinteraksi dengan mereka, namun semuanya sia-sia, aku bahkan tak dapat menyentuh mereka. Entah aku yang benar-benar sudah mati dan menjadi semacam hantu, atau semua orang-orang ini hanya merupakan hologram.

Walaupun godaannya sangat besar bagiku untuk menyelidiki ini semua, tapi aku tak punya banyak waktu. Semakin lama aku berdiam diri, maka semakin besar aku diketemukan dan diserang peserta lainnya lebih dahulu. Dari puncak sebuah menara lonceng di alun-alun kota aku mengamati seluruh penjuru kota, mencari keberadaan empat peserta lainnya.

Dan persetan dengan semua ini! Mana mungkin aku bisa menemukan lawanku, ini sama saja dengan mencari sebuah jarum di tumpukan jerami. Aku belum pernah bertemu dengan mereka, jadi bagaimana caranya aku membedakan lawanku dari penduduh kota ini?

Kubidikkan senjata untuk melihat melalui teropongnya. Terlihat pejalan kaki, tukang sayur, tukang buah, tukang bunga, pejalan kaki, dan lagi-lagi pejalan kaki. Akupun menghela napas panjang di antara rasa putus asa yang mulai membuat pening kepalaku.

"Kalau kau mencoba untuk menemukan lawanmu, cobalah untuk mencari hal-hal yang tidak pada tempatnya. Seperti busana yang mereka kenakan misalnya, pasti busana mereka akan berbeda dengan para penduduk kota ini."

Kali ini kuarahkan senapan serbu di tanganku ke si empunya suara, seorang gadis yang kuperkirakan berusia sekitar duapuluhan, bertubuh kecil dan lebih pendek dariku, terlihat rapuh terutama dengan gaun hitam yang ia kenakan. Aku baru saja menemukan satu dari empat lawanku.

Kalau saja gadis itu sedikit lebih normal, mungkin aku tak akan pernah mengenalinya sebagai lawanku. Heh, tapi benda seperti bola berwarna hitam yang melayang didekatnya itu sama sekali tidak normal. Selain itu gadis ini juga dapat melihatku, tidak seperti warga kota lainnya yang menganggapku tak lebih dari udara.

"Apa anak-anak zaman sekarang tak pernah diajari sopan santun? Turunkan senjatamu dan perkenalkan dirimu."

Baiklah, penampilan dapat menipu, aku tahu benar akan arti kata-kata tersebut dari kakekku. Gadis ini rupanya seorang wanita tua yang terlihat muda, sama seperti kakekku yang seakan telah terlupakan oleh maut. Entahlah, mungkin dia seorang necromancer—seperti kakekku—atau hanya makhluk yang diberkati dengan usia panjang, seperti para Asgardian dan Celestian.

Sial, kenapa pertarungan pertamaku harus di ruangan teratas menara lonceng ini?!

"Namaku Gunnhildr, Yvika Gunnhildr."

"Senang bertemu denganmu, namaku Marion Marinate dan aku—"

"Maaf," potongku yang agak terusik rasa penasaran, "berapa usiamu?"

Bibir gadis itu yang tertekuk jelas menunjukkan perasaannya saat ini. "Apa kau tahu kalau sangat tidak sopan untuk menanyakan usia seorang wanita?!"

"Aku juga seorang wanita dan usiaku tiga puluh dua tahun, jadi kita impas."

Sekarang dia tertawa, dan aku benar-benar tak mengerti apa yang lucu dari kata-kataku barusan. "kau benar-benar lawan yang menarik, Ivy."

"Jangan panggil aku Ivy, kau mengingatkanku pada seseorang."

"Baiklah, kuberitahu kau, usiaku saat ini dua ratus lima—"

"Senang bertemu denganmu, Nona Marinate," kataku sambil menuruni tangga menuju dasar menara lonceng. "Kalau kau ingin menyerangku dari belakang, silakan saja."

Kalau dia tidak menyerangku, maka aku harus mencari lawanku yang lainnya. Pria sialan yang ngaku-ngaku Dewa itu rupanya senang melawak, mana mungkin aku bisa mengalahkan makhluk yang telah hidup selama ratusan tahun. Ada alasan sederhana mengapa mereka bisa hidup selama itu, mereka tidak mudah mati.

"Kau benar-benar tidak sopan! Kau yang bertanya, tapi kau tak mendengarkanku sampai tuntas!" sambut gadis—atau wanita—itu sesampainya aku di dasar menara.

"Tunggu," kataku sambil menunjuk ke puncak menara yang tingginya seratus meter, "bagaimana kau…? oh sudahlah, lupakan saja."

Sampai tengah hari aku terus menelusuri jalan-jalan kecil kota tua ini, dan wanita bernama Marion itu masih mengikutiku. Tindakannya yang selalu berjalan di antara bayang-bayang bangunan kota membuatku sedikit berpikir, mungkinkah cahaya memiliki pengaruh buruk terhadapnya? Entahlah, mungkin dia akan terbakar menjadi abu, wujud aslinya yang tua menjadi terlihat, atau mungkin dia hanya takut kulitnya menjadi hitam.

Tak hanya itu, aku masih belum memahami mengapa ia belum berusaha membunuhku. Apa dia berniat untuk bernain-main dulu denganku sebelum membunuhku? Dan mengapa pula aku belum bertemu dengan lawanku yang lainnya? Apa mereka juga terus bergerak selama berada di kota ini?

Belum juga semua pertanyaan yang di benakku terjawab, sebuah ledakan besar terdengar dari arah utara. Akupun bergegas memanjat sebuah rumah dua lantai di dekatku. Ada kemingkinan ledakan itu akibat pertarungan antar sesama peserta, dan aku harus mendekat ke lokasi ledakan melalui atap-atap bangunan, karena mendekati sebuah pertarungan secara terang-terangan lewat darat sangatlah berisiko.

"Hei Nona Gunnhildr, kita memiliki dua kaki karena kita diciptakan untuk berjalan di darat, bukan untuk melata di dinding seperti seekor kadal. Apa orangtuamu sama sekali—"

"Nyonya Gunnhildr, bukan nona," koreksiku sambil mencari-cari pegangan yang kuat untuk menuju ke atap dari balkon lantai dua.

Sesampainya di atas, aku mulai berlari dan melompat dari satu atap ke yang lainnya. Aku tak melihat Marinate mengikuti di belakangku seperti sebelumnya, rupanya dia memang benar-benar tak menyukai sinar matahari.

Suara pertarungan semakin jelas terdengar di dekat area ledakan sebelumnya, suara tumbukan benda tumpul, suara teriakan dan makian, juga suara ledakan-ledakan kecil. Akupun tiarap di sebuah atap terdekat dengan area tujuanku, untuk perlahan mengintai mereka yang sedang bertarung.

Luar biasa, seorang pria paruh baya sedang menghadapi seorang pemuda dekil yang terlihat berangasan. Pria itu nampak tenang di hadapan lawannya, ia hanya diam tak bergerak sambil memeluk sebuah benda yang mirip menara kayu berukuran kecil. Sementara itu di lain pihak, si pemuda terlihat dengan susah payah berusaha menebas sesosok makhluk kecil melayang yang juga dapat menyemburkan api.

Aku sudah bisa menduga kalau makhluk kecil itu pasti milik si pria paruh baya, karena hanya si pemuda yang sibuk berusaha melawannya. Entah mengapa pemuda dekil itu masih berusaha menebas si makhluk kecil, padahal sudah jelas-jelas ia tak bergerak cukup cepat dengan pedang panjangnya itu.

Hm, siapa yang harus kusingkirkan lebih dahulu? Si pria paruh baya, atau si pemuda dekil? Teropongku berpindah secara bergantian, dari membidik si pria ke si pemuda. Dengan kemampuannya yang kuduga sebuah ilmu sihir, si pria paruh baya memang terlihat lebih berbahaya. Namun di sisi lain, si pemuda dekil yang sampai saat ini masih bisa hidup bertahan melawan sihir pria itupun memiliki potensi untuk menjadi ancaman. Maksudku, lihat pemuda itu, ia terlihat masih cukup segar bugar meskipun sudah cukup lama melawan makhluk milik si pria paruh baya.

"Bagaimana kalau kau lawan si dekil, dan biar aku yang menghadapi pria penyihir itu?" tanya suara Marinate dari sisi jalan tepat di bawah tempatku mengintai, rupanya wanita itu masih mengikutiku sampai saat ini.

Aku tak sediktpun mempercayai wanita itu, namun usulnya tidak buruk juga. Daripada mencoba mengalahkan keduanya seorang diri, lebih baik kalau satu lawan satu. "Kau tentu sadar kalau pada akhirnya kita juga harus saling bertarung?"

"Tentu saja, Ivy, tentu saja. Tapi bukankah lebih menyenangkan kalau kita dapat bertarung tanpa adanya gangguan?" sahutnya yang langsung merangsek maju ke tengah pertarungan.

Tepat seperti dugaanku. Melihat ada satu lagi orang yang akan menyerang si pria paruh baya, si pemuda dekil itu ikut hendak mengeroyoknya juga. Tapi aku tak akan membiarkannya, kau milikku, dekil!

Satu tembakan kulepas ke arah kepala si dekil, namun getaran akibat Marinate yang terpental dan menghancurkan dinding rumah di bawah membuatku meleset. Belum sempat aku memperbaiki bidikanku, sekilas kulihat sebuah tentakel raksasa jatuh ke arahku.

Apa-apaan ini, kenapa ada tentakel?! Walau aku berhasil berguling dan menghindar tepat pada waktunya, ini tetaplah tidak lucu! Tapi setelah kulihat lagi, yah, ternyata memang ada seekor gurita raksasa di sana.

Sialan, sekarang si pria paruh baya itu mendadak menghilang, bersamaan dengan menghilangnya gurita raksasa di alun-alun kota barusan. "Nona Marinate, kurasa kau baru saja kehilangan lawanmu," desisku kepada Marinate yang sedang berusaha bangkit dari puing-puing sebuah rumah.

Akupun melompat turun dari atap dan mulai memburu si pemuda dekil yang juga melarikan diri. Tembakanku barusan memang meleset, tapi jejak tetesan darah di tempat aku menembaknya barusan membuktikan kalau aku tak benar-benar meleset. Lagi pula penutup mata kananku menunjukkan kalau si dekil masih berada di sana, ia memang tak bergerak, namun bisa dipastikan kalau ia masih hidup.

Warga kota berkerumun semakin banyak di alun-alun, mereka terkosentrasi di sekitar rumah yang dihajar gurita raksasa barusan, dan juga di sekitar area ledakan. Nampaknya kerusakan akibat pertarungan kami berdampak langsung pada benda-benda di kota ini.

Jejak darah si dekil mengarah ke sebuah gang di utara alun-alun, aku berhenti dan berjongkok di balik sebuah gerobak berisi karung-karung yang entah berisi apa. Saat kuarahkan senapanku ke gang tersebut, awan hitam mulai terbentuk di atas alun-alun, sepertinya akan turun hujan.

Sebuah kilatan cahaya lewat di depan mataku, semuanya mendadak berubah putih. Aku tak dapat melihat apapun selama beberapa detik, hanya suara petir yang disusul suara tumbukan terdengar. Di saat penglihatanku kembali, gerobak tempatku berlindung sudah hilang. Di kananku Marinate terkapar bersama karung-karung gandum yang pecah berserakan di jalanan.

"Nona Marinate, berhentilah mengacaukan pertarunganku!"

"Hei, bukan salahku kalau ada kakek-kakek yang bersenjatakan tongkat petir menyerangku!"

"Ini namanya senapan, senjata api," jelasku sambil menunjukkan senapan serbuku. "Benda ini memang seperti sebuah tongkat, suaranya pun keras seperti halilintar, tapi ini adalah sebuah senapan."

Marinate memijat keningnya lalu menghela napas panjang, dia sepertinya tidak menyukai caraku menjelaskan soal senjata api. Dia tak bicara sepatah katapun, lalu sambil mengelap darah dari mulutnya, Marinate menunjuk ke arah asal dia terpental.

DI sana berdiri seorang kakek tua berjanggut tebal , ia mengenakan jubah panjang dan memegang sebuah tongkat panjang yang ujungnya bercahaya. Petir menyambar ujung tongkatnya yang semakin bercahaya terang, lalu ia mulai merapal mantra dan mengarahkan tongkatnya kepada kami.

"Itu, tongkat petir…"

"Sudah kubilang bukan? Tongkat petir."

Setelah meraih pedangku, kuputar sedikit gelang di tangan kananku untuk mengaktifkannya. Untuk sesaat pandanganku seakan tertarik maju, kuralat, penyihir tua itulah yang terlihat seakan tertarik maju di saat aku menebaskan pedangku ke lehernya.

Kepala penyihir tua itu terpental, tubuhnya pun ambruk dan berubah jadi debu sesaat kemudian.

"Oi, bangsat!"

Marinate menoleh bersamaan denganku ke arah gang tempat si dekil itu menghilang barusan, dan di sana pemuda itu berdiri memegangi telinga kirinya yang berdarah. Ah, rupanya di sana peluruku bersarang. Aku mulai berlutut dan kembali mengarahkan senapanku, namun lagi-lagi gangguan datang, kali ini jalanan tempatku berpijak berubah menjadi pasir hisap.

Baiklah, ide brilian siapa ini? Sejak kapan pasir hisap bisa muncul di tengah kota?

"Nona Marinate, sepertinya targetmu masih hidup, apa kau bisa lakukan sesuatu?!"

Tetapi wanita itu nampaknya tak menggubris kata-kataku barusan, ia masih tak melepaskan pandangannya dari si pemuda dekil. Memang lebih masuk akal kalau ia berganti target, karena lebih mudah menyerang lawan yang terlihat.

Sementara itu, tubuhku sudah setengahnya terbenam di pasir hisap terkutuk ini.

Angin bertiup semakin kencang di saat aku masih berusah melepaskan diri dari pasir hisap, aku tak lagi memikirkan hal lain kecuali berusaha selamat dari jebakan maut terkutuk ini. Tapi tunggu, kenapa anginnya terasa semakin kencang dan semakin panas?

Oh, bagus! Sekarang ada pusaran api raksasa, seolah-olah semua keajaiban alam barusan tidaklah cukup untuk satu hari ini.

Suara gemeretak tulang dan rasa sakit yang menyerang seakan menjadi tamparan keras bagiku, pasir hisap ini bukan pasir hisap biasa, kaki kananku baru saja diremukkan. Aku berteriak sekuat tenaga, namun suaraku langsung tertelan oleh gemuruh badai api yang terus mendekat.

Aku berhasil keluar dari perangkap maut itu dengan bantuan gelang teleport, namun kini alat sialan itu terkena overheat meski baru dua kali aku menggunakan. Sialnya lagi, aku kini tak dapat menggunakan kaki kananku. Tulang-tulang terlihat mencuat menembus celanaku, darah pun mulai merembes dan membasahi jalanan.

Takut, itulah yang kurasakan saat ini. Takut akan kematian, takut akan rasa sakit, dan takut akan segalanya. Aku takut kalau dunia tetap akan berjalan meski tanpaku, seolah keberadaanku tak pernah memiliki arti, dan kematian akan menghapusku sepenuhnya.

Tidak, aku tidak boleh berhenti sampai di sini, Lana menungguku! Aku harus berhasil dan pulang kembali kepadanya! Aku tak akan membiarkan semuanya berakhir di sini! Aku harus bertindak!

Kuikat paha kananku dengan tali senapan sekencang-kencangnya. Aku tak punya banyak waktu lagi, sebelum aku kehilangan terlalu banyak darah dan mati di sini. Aku harus menghilang, aku harus menghindari tempat terbuka dan mulai mencari si pria paruh baya.

***

Beberapa jam berlalu sejak pertarungan terakhir di alun-alun, hari sudah gelap dan separuh kota telah hancur oleh badai api. Beruntung hujan turun saat matahari terbenam, atau seluruh kota ini akan habis dilalap api. Semua kehancuran ini berkat si dekil dan badai apinya, dia benar-benar lawan yang merepotkan.

Ngomong-ngomong soal lawan, aku berhasil melacak semua kecuali satu. Masih ada satu lawan lagi yang belum kulihat, dan kurasa kami semua menyadarinya.

Dengan menjadikan senapanku sebagai tongkat, aku berjalan tertatih menaiki tangga sebuah rumah kosong, rumah yang telah hancur separuhnya oleh badai api. Si dekil mendekat, kali ini aku harus berhasil menyingkirkannya.

Sesampainya di lantai dua, kurebahkan diriku di tepian lantai yang dindingnya sudah jebol. Dari sini aku bisa melihat langsung ke perempatan jalan tanpa halangan, selain itu, gelapnya rumah dan jalan-jalan di kota ini juga akan memberikan penyamaran yang baik untukku.

Melalui sudut mataku terlihat salah satu indikator sinyal di pandanganku bergerak semakin mendekat. Si dekil, ia akan masuk dalam jarak serangku sebentar lagi. Rambut si pemuda yang sebelumnya terlihat seperti landak kini layu, mungkin air hujan yang telah merapikan rambutnya.

Titik pembidik di teropongku kini tepat berada di antara kedua mata pemuda itu, lalu dalam satu tarikan napas kulepaskan sebuah timah panas dari senapan.

Kena, pemuda itu tumbang dengan sebuah lubang di keningnya.

Namun dengan terpaksa kutahan tawaku, karena kulihat tubuhnya masih mengeluarkan gerakan-gerakan kecil. Kejang paska kematian kah? Tunggu, bukan itu, pergerakan itu bukan kejang biasa. Sialan, apa ini?! Kenapa dia masih bisa bangkit dan terus berjalan?! Kenapa, padahal indikator sinyal darinya sudah mati?

Pemuda itu sepertinya melihatku, karena di tangannya sudah tergenggam sebuah pedang dan ia kini berjalan ke arah persembunyianku. Namun di saat aku akan pergi mencari tempat persembunyian baru, aku menyadari sesuatu, cara berjalan pemuda itu tidak wajar. Heh, malah kalau dia bisa bangkit setelah menerima satu peluru di kepala, seharusnya ia berlari dan bukan malah terseok-seok berjalan menuju tempatku.

Benar dugaanku, sensor panas teropongku tak dapat menangkap sosoknya, dia sedingin mayat. Dari sisi jalan si pemuda dekil mengacungkan pedangnya, dan aku masih belum menemukan alasan kenapa ia masih bisa bergerak.

Ah, ada sesosok anak kecil bersembunyi tak jauh dari si pemuda, kebetulan saja sensor di mataku menangkapnya. Tidak mungkin ada anak kecil biasa berkeliaran di kota yang sudah setengah hancur seperti ini, dan aku berani bertaruh kalau dialah alasan si dekil masih bisa bergerak.

Sayang sekali, nak, hanya sampai di sini kisahmu.

Kulemparkan sebuah granat ke arah si bocah sambil berlutut, namun rasa nyeri di kaki kanan membuatku hilang keseimbangan lalu terjungkal dari balkon lantai dua. Langit dan lantai berputar secara bergantian, sampai sebuah hantaman keras di bahu menyambutku. Tak lama kemudian, rasa nyeri yang membuatku nyaris hilang kesadaran menyerang.

Sebuah ledakan dan teriakan anak kecil terdengar. Sepertinya bocah itu kena, tapi aku ragu kalau dia sudah mati. Aku yakin sekali kalau lemparanku sedikit meleset, atau bocah itu tak akan sempat berteriak dan merasakan sakit.

Rasa nyeri yang tajam masih terasa di saat aku  mencoba bangkit dari atas jasad si pemuda dekil. Ah, rupanya ada patahan pedang menancap di bahu kiriku, ujung pedang yang cukup panjang itu mencuat ke arah depan.

 Ini menyebalkan, aku bersumpah kalau semua ini sangatlah menyebalkan!

Menyebalkan dan menyakitkan!

Untuk sementara aku akan membiarkan patahan pedang itu dulu, daripada malah terjadi pendarahan kalau dicabut. Lalu sama seperti sebelumnya, kembali aku tertatih-tatih berjalan mendekati indikator sinyal milik si pria paruh baya. Sebenarnya aku lebih ingin menghabisi keparat kecil barusan, tapi larinya cepat sekali, lagipula kini ia berada cukup jauh dariku.

Wow, sinyal si pria paruh baya menempel dengan milik Marinate. Entah apakah mereka sedang bertarung, atau menyusun rencana untuk membunuhku lebih dahulu? Heh, tapi kupikir lagi, kurasa satu tamparan dari wanita itupun cukup untuk membunuhku yang seperti ini.

Sinyal mereka tepat berada di hadapanku, di sebuah gedung dua lantai yang cukup besar bila dibandingkan dengan bangunan lainnya. Kurasa ini aula kota. Lalu dengan senapan serbu yang siap menembak, kubuka pintu yang berukuran besar tersebut.

"Kejutan, Pak tua, kau akan mat—oh sial!"

Apa boleh buat, hantaman tentakel raksasa lebih dulu menghantamku sebelum aku sempat menembak. Gurita yang keterlaluan besar itu berhasil menghempaskan tubuhku ke dinding aula, namun medan pelindung aegis melindungiku dari hantaman susulan yang bertubi-tubi dari tentakel-tentakel makhluk itu. Aku hanya bisa lunglai terduduk bersandar dengan pasrah menunggu perisaiku habis, kini tubuhku serasa bukan milikku lagi.

Lelah sekali.

Tubuhku benar-benar terasa lelah.

Mungkin hanya sampai di sini, biarkan aku tidur dulu sebentar.

"Apa kau masih hidup, Nona?"

Aku sedikit mendongak untuk memandang pria itu. "Nyonya," jawabku yang terdengar seperti sebuah cicit seekor tikus.

"Berapa lama sampai perisaimu itu habis?"

Aku hanya tersenyum dan tak menjawabnya, percuma, toh aku tak akan dapat mengalahkannya.

"Lihat temanmu ini," ujar pria itu sambil menunjukkan arah di belakangnya. Di sana Marinate berada, ia tak sadarkan diri dengan tubuh terlilit beberapa tentakel raksasa. "Dia mencoba melawanku, dan kini lihat hasilnya!"

Kini ia kembali lagi mendekatiku. "Pertarungan itu tidak selalu dimenangkan orang-orang yang kuat, dibutuhkan strategi dan taktik untuk menghadapi musuh dan memenangkannya. Coba lihat dirimu, duduk di sana tak berdaya. Lalu apa menurutmu yang akan kulakukan saat perisaimu itu habis? Aku akan membiarkan tentakel peliharaanku itu untuk—"

"Maaf, tapi ada apa denganmu? Mengapa kau hanya menggunakan makhluk bertentakel itu saat menghadapi Marinate dan aku? Kalau kau menggunakan makhluk itu saat melawan si pemuda dekil siang tadi, kau pasti akan menang."

Pria paruh baya itu tak langsung menjawab, ia membetulkan letak kacamatanya hingga matanya tak terlihat akibat pantulan cahaya. "Pada saatnya nanti, kau juga akan tahu," bisiknya sambil menyeringai.

Masih dengan seringai menyebalkannya, ia mulai mendekati tubuh Marinate yang terbungkus tentakel. "Sekarang aku akan mulai dengan dia dul—"

"Jangan sentuh Kak Tabita, dia punya Nim!"

Bersamaan dengan jeritan itu, sebuah bola api menghantam wajah si pria paruh baya. Ia berteriak keras sambil berguling di lantai.

Dari sumber serangan barusan, kulihat sesosok bocah dengan satu lengan, dan di hadapannya terlihat sebuah boneka yang dapat menyemburkan api. Tak lama berselang, kembali muncul dua boneka berpedang, mereka dengan sigap menebas hingga putus dua tentakel raksasa yang hendak melumat si bocah.

"Dasar bocah kurang ajar!" raung si pria paruh baya sambil melempar tinggi dua buah dadu. "Mati kau!"

Bersamaan dengan jatuhnya dadu tersebut, gurita raksasa tersebut memeras tubuh Marinate hingga terdengar suara gemeretak mengerikan dari tulang-tulangnya yang remuk. Melihat hal tersebut, si bocah pun berteriak sambil berlari maju bersama boneka-bonekanya. Dua boneka berpedang mencabik tubuh Marinate yang dilemparkan gurita raksasa itu, kemudian mereka kembali maju untuk menyerang si pria paruh baya.

Namun bocah yang menyebut dirinya Nim itu tetaplah bukan tandingan tentakel-tentakel raksasa itu, ia terhempas hanya dalam satu kali libas. Makhluk itu tak menunggu lama untuk memberikan serangan susulan, tentakel-tentakelnya dengan liar mencambuk-cambuk tubuh bocah itu hingga terkoyak menjadi kepingan-kepingan kecil.

"Nah, sekarang giliranmu, Nona!" desis pria paruh baya tersebut sambil berjalan perlahan mendekatiku.

Lampu indikator di gelang kananku berwarna biru, pengisian daya telah selesai. Pria itu kembali melempar dadu, tapi aku tak akan membiarkannya. Walau jarak di antara kami masih cukup jauh, dengan sisa tenaga terakhir aku melompat ke arahnya sambil mengaktifkan gelang teleport.

Teleportasi barusan membuatku seolah baru saja melompat sejauh lima meter. Kurangkul pria itu setelah tubuhku menabraknya, kemudian kuputar posisi tubuhku hingga berada di bawahnya saat kami berdua terjatuh.

Suasana aula pun menjadi hening, si gurita menghilang, dan tak ada satupun yang bergerak di tempat ini. Termasuk diriku yang masih tertindih si pria paruh baya. Ah, memang rasanya tidak menyenangkan dipeluk pria yang tidak kukenal, terutama ditambah lagi dengan darahnya yang mengucur membasahi tubuhku. Tapi mau bagaimana lagi? Leher pria itu menancap pada potongan pedang di bahuku, bahkan untuk bernapas pun rasanya sungguh menyakitkan.

Kurasa sudah semuanya, dan aku menang, mungkin

Sekarang biarkan aku tidur sebentar.


***

27 comments:

  1. Wih, ada lagi yang pake PoV1
    Yvika ini asik ya, ternyata dia lebih ngutamain main sniping ketimbang head-on. Pertarungannya juga kerasa jelas dan alurnya konsisten, meski rada menyayangkan Marion matinya offscreen, tapi namanya juga bukan PoV3 serba tahu, ya..
    Dan saya masih ga ngerti, Marion ngapain bantu Yvika di awal? Panggilan karena sama" perempuan?

    8/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks udah mampir, Sam~

      Nope, Marion bantu Ivy karena menurutku dia merasa dapat dengan mudah mengalahkan Ivy, jadi dia ingin sedikit bermain-main.

      Delete
  2. Woh, Mama Ivy kece! MILF! Momma I Like to Fascinate! :D
    Narasinya asik, battle pake taktik ngingetin saua ama Infidel mungkin karena sama-sama militer-ish. Sayang, the second half past is felt short. Character build OC lain terasa expandable. Cuma Marion aja yang dapet porsi cukup lumayan. 7,5 dari saya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Merci bien, Mademoiselle~
      Saya terpaksa madetin cerita biar ga tl;dr. Then again, sekarang sedikit nyesel udah mangkas cerita ini~ XD

      Delete
  3. ahhh...aku tidak bisa berkomentar, selama cerita ini dapat dinikmati jadi saya kasih 8/10

    ReplyDelete
  4. Anonymous15/4/14 12:58

    Cerita ini karakter utamanya paling mati-matian untuk meraih kemenangan. Ketegangannya lumayan terasa.

    Dan entah kenapa cerita ini terasa cocok dibaca bersama battle-nya Tommy Vessel.

    8/10

    -Ivon

    ReplyDelete
  5. Oh, nice. Ada yang pakai sudut pandang orang pertama lagi. Dari beberapa cerita yang tergolong pendek-pendek (kisaran 3000+, 2000+, dan 1000+), saya rasa ini entri yang terbaik. Adegan pertarungannya tergambar jelas di bayangan saya. Ada subyektivitas si Nyonya yang menghidupkan narasi yang dibawakannya.

    Setiap karakter mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan mereka. Kecuali Marion, mungkin, yang tampaknya belum tampak menggunakan teknik meniru skill karakter lain.

    Typo dan kesalahan tata kalimat masih ada, meskipun sangat minim.

    Dan kepikiran juga, bukankah wujud aslinya si Nim adalah boneka Imanuel-nya? Menghilang kemana boneka panda itu?

    Overall, saya lumayan menikmati cerita ini. Poin 8.0

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks, Om~

      Soal si Nim dan Imanuel, mereka hancur oleh serangan tentakel dari Om Tom. Hmm... kalau lolos ronde ini, lain kali akan saya perjelas kematian tiap char~

      Delete
  6. PoV 1, dan ini keren....
    Saya kebawa cerita karena terkesan sama style battle Yvika.

    8/10

    ReplyDelete
  7. Bagus nih, Yvika nya maen sniper. Tapi saya merasa masih kurang maksimal aja nih permainan snipernya. Berpotensi jadi keren banget sih ni, klo bisa ngehantem semuanya full pake sniping tanpa kontak fisik. >.<

    Itu Marion kenapa ya rasanya setia banget sama Yvika, hehehe.

    Nilai 7.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah, makasih atas kedatangannya~

      Jangan full sniping ah, godaannya terlalu besar buat bikin easy win~ XD
      Btw soal Marion ini akan jadi catatan berikut komen Sam, akan saya perjelas lain kali kalau ada hal seperti ini lagi. Marion tidak membatu Ivy, begitu juga sebaliknya, mereka hanya saling memanfaatkan~

      Delete
  8. "Writting is all about trying to be your character." - Me -

    wkwkwk, Maaf umi masukin Quote Umi sendiri di koment ini >.< (walaupun banyak sih tulisan yang umi masukin Quote sendiri)

    Nah, mari kita mulai review-nya.

    Hai Herry :D Umi agak sedikit bingung. Umi jarang banget komen soal bagaimana seharusnya seorang OC itu bertindak. Kenapa? karena Umi sangat-sangat malas membaca Charsheet yang bukan lawan Umi, yang mungkin menjadi keuntungan buat author lain.

    Sayangnya, OC-mu membuat Umi gatal untuk ngoceh soal ini. Alasannya? Ada kata "Mayor" sebelum nama Yvika. Daripada seorang mantan Mayor, Umi lebih ngerasa dia sebagai gadis ABG. Bukan karena kegalauannya, tapi karena keimutannya. Kyaaaa >.< #salah

    Karena ini Umi jadi penasaran dan akhirnya membuka charsheet Yvika, hanya untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa dia memang seorang mantan Mayor.

    Oke. kenyataan ini diperindah lagi dengan kamu memakai POV1 sebagai sudut pandang. Dimana seharusnya Yvika jadi terlihat pendiamnya, terlihat pintarnya. Sayangnya Umi enggak menemukan sisa-sisa dia seorang Mayor.

    Dia lebih sering bertindak gegabah. Ngikutin idenya Marion, main lompat turun dari gedung tempat pengintaian. Umi ngerasa kayaknya seorang Mayor akan berpikir dua kali untuk menerima tawaran dari orang yang jadi lawannya bukan?

    ahh~ mungkin ini cuma asumsi Umi. dan Mungkin emang Umi ada kelewatan membaca sesuatu. >.< Maafkan Umi kalau itu benar.

    dan... nilai dari Umi? 7/10 :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wogh, terima kasih banyak atas reviewnya, Umi~

      Hmm, poin-poin dalam review ini akan saya perbaiki di ronde berikutnya jika saya lolos.

      Sekarang saatnya saya ngeles:
      1. Ivy berusaha bekerja sendiri, bukan salah dia kalau Marion ngekor dan mengacaukan bidikannya.
      2. Ivy tidak menerima usulan Marion, ia hanya berimprovisasi sesuai keadaan.
      3. Ivy cenderung pasrah kalau lawannya berusia lebih dari seratus tahun (hanya melawan kalau terpaksa), karena pengalaman buruk saat melawan kakeknya yang berusia 300 tahun.
      4. Tactical battle hanya diterapkan bila ia bersama pasukannya, tidak berlaku dalam misi solo. Recon hit-and-run style lebih banyak digunakan saat misi solo.
      5. Di bagian duet dengan Marion, salah vampire itu yang mengekspos posisi Ivy di atap, sehingga ia terpaksa lari ke tempat terbuka.
      6. Rusuh di bagian akhir karena Ivy tidak mau buang waktu melakukan pengintaian, dia sudah terlalu lelah.

      *melipir naik bajaj XD *

      Delete
    2. Wakakkaaakak.... sama-sama kak :3

      Umi tunggu dirimu di R2 >.<

      dan...... Ngeles diterima..

      *menyelinap ke selimut dan langsung obob siang >.<

      Delete
  9. haiho bang Zoel~

    gw suka dengan flow ceritanya. ngalir dan bisa dinikmati. karakter juga mudah dikenali dan berasa masuk dalam cerita. dan karena POV 1 jadi ga perlu ada kenal nama segala, makes sense banget :))

    tapi gw ngarep sesuatu yang lebih militerish atau sesuatu yang berasa tactical. entah napa ekspektasi itu berasa ada yang hilang walaupun, gw ngerasa penguasaan ruang di Yvika bener2 keliatan. mungkin, ini cma masalah kurangnya penggunaan term militer atau cara berpikir Yvika yang kurang bener2 diperlihatkan. serius, gw ngarep dia bisa relate ke misi2 dia terdahulu. pake code name atau apa kek. biar pembaca tau how veteran she is >.<

    well, i can see some hint of ero here... tentacles, eh? :v
    Tavernor, really a real Tavernor :v

    satu lagi, konflik cerita ini menarik. di sini keliatan bagaimana luka dan lelahnya Yvika bener2 memotong pergerakannya... dan juga, well, cara berpikirnya.

    nilai: 8/10

    ReplyDelete
  10. Diksinya... Diksinya...
    Oh I love diksi disini.

    POV 1 mantaaap

    aaaa...

    Battle saya kasih jempol.

    Plus + 8.5 dari saya karena bikin saya nyaman

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -