December 10, 2014

[ROUND 7 - SEMIFINAL] END OF LIMIT

BATTLE OF REALMS 4: AFTERLIFE

[ROUND 7 - SEMIFINAL] END OF LIMIT
Written by Glen Tripollo

---



The Lament of a Bespectacled Man

Satu bulan? Satu tahun? Entah berapa lama waktu bergulir sejak aku terjebak di dunia antah-berantah yang mereka sebut Nanthara Island ini. Bahkan, aku tak yakin waktu masih berjalan sebagaimana mestinya. Terasa lambat dan menyengat. Seolah harapan yang kumiliki perlahan-lahan menguap, tergantikan oleh keraguan yang bertumbuh semakin kuat.

Makhluk merah itu, Thurqk—aku lebih suka menyebutnya psikopat berkostum norak—entah dari mana dia berasal. Muncul begitu saja di hadapanku dan mengaku sebagai dewa yang menciptakan alam semesta. Kupikir, untuk ukuran seorang pelawak dia cukup berbakat. Namun, itu baru pada awalnya. Semua berubah ketika aku melihat dengan mata kepala sendiri kemampuan aneh yang dia miliki. The power of will, that’s a real deal. Dia adalah makhluk brengsek dengan kekuatan mengerikan. Apapun yang dia kehendaki, maka terjadilah.

Bukan berarti aku mengakuinya sebagai dewa. Tentu saja tidak. Dewa tidak memiliki batasan kemampuan, sedangkan Thurqk? Ada, walau masih berupa spekulasi, aku menyadari satu hal,  batasan yang menurutku cukup fatal. Walau kecil kemungkinannya, namun hanya itu harapan yang tersisa untuk diyakini saat ini, di luar dari keyakinanku atas perlindungan dari Tuhan atau takdir apa yang tengah menungguku. Sekecil apapun, that’s worth to try. Aku berencana untuk menyerang di saat yang sama sekali tak dia duga.

Sebelumnya ada lima puluh lima makhluk tak bersalah yang mendadak dikumpulkan di Nanthara Island ini. Lima puluh lima peserta yang masih diliputi dengan sejuta tanda tanya di pikiran mereka, lalu dipaksa menjalani pertarungan hingga mati. Tujuannya hanya satu, menghibur Thurqk. Mereka yang kalah akan dibangkitkan kembali untuk kemudian dijadikan mainan. Tahu ‘kan permainan yang disukai seorang psikopat? Penyiksaan, yang perlahan dan menyakitkan. Lalu, bagaimana dengan yang menang? Mereka akan dipaksa bertarung kembali dan memperjuangkan hidup mereka.

Thurqk menjanjikan mereka satu hal, yaitu kehidupan kedua bagi satu peserta yang tersisa. Apakah benar seperti itu adanya? Tak ada yang mengetahui, dan aku enggan mempercayai setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Masih tergambar jelas bagaimana Thurqk membantai satu persatu peserta di tanah lapang di depan kastil Devasche Vadhi. Tanpa perasaan dia mempreteli harapan dan semangat juang mereka, menghancurkan setiap organ tubuh mereka, dan memastikan mereka musnah tak bersisa setelah menerima penderitaan yang tiada terkira. Bagaikan seorang anak kecil yang menyiksa serangga, tak lebih dari sekedar hiburan dan pemuas rasa penasaran semata. Setiap jerit kesakitan mereka, mengiris hati hingga terasa ngilu.

Kalau ditanya siapa di sini yang paling berperan dalam jalannya pertarungan demi pertarungan di Nanthara Island, jawabannya sudah pasti diriku. Aku terlalu lemah untuk menolak secara tegas perintah Thurqk. Pertama dia mengancamku akan memasukkanku ke dalam neraka. Kupikir, itu tak masalah, selama aku bisa menyelamatkan mereka semua. Tapi, Thurqk kembali menyerang rasa percaya diriku dengan mengancam akan membunuh setiap anggota keluargaku dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Aku terpaksa menggigit bibir dan menjadi bidaknya dalam mewujudkan semua yang dia inginkan.

Untuk mendukung pekerjaanku, Thurqk memberikan otak super. Otak yang mampu berkembang pesat dalam tempo cepat, membuatku mampu mengetahui hal-hal baru secara instan. Di dunia, aku hanyalah seorang akuntan biasa. Di sini? Aku bagaikan dewa teknologi. Tak ada perangkat keras dan jaringan yang tak dapat kumanipulasi.

Ketika kusadari kemampuan otakku telah berkembang ke tahap yang luar biasa, jiwa memberontakku tumbuh semakin kuat. Dengan berpegang teguh pada harapan yang perlahan-lahan terkikis, aku menggunakan hak istimewaku dalam mengendalikan pertarungan untuk menyusun strategi serangan balik terhadap Thurqk. Sempat terdiam dalam keputusasaan, hingga akhirnya aku berhasil menemukan sebuah rahasia. Rahasia yang tersembunyi di dalam sebuah ruangan di lantai empat kastil Devasche Vadhi. Sebuah awal dari jawaban yang selama ini kupertanyakan. Mengembalikan kehidupan para peserta dan—bila mampu—kehidupanku juga.

Di dalam ruang rahasia itu terdapat sebuah tabung raksasa yang di dalamnya melayang-layang puluhan kristal berwarna-warni, persis seperti yang pernah kulihat dibawa oleh salah satu Hvyt, malaikat merah bertubuh raksasa dengan sayap hitam lebar milik Thurqk. Kristal yang kuduga sebagai ekstrak jiwa, inti, atau pun kernel dari kehidupan itu sendiri. Selama kristal tersebut belum dihancurkan, maka masih ada secercah harapan mereka yang telah musnah dapat kembali lagi. Itu teori awalku, tentu saja aku membicarakan masalah probabilitas di sini. Aku mempertaruhkan sisa umurku untuk membuktikan kebenaran tersebut.

Untuk mengambil kristal, aku tidak bisa sendiri. Aku membutuhkan beberapa makhluk berkemampuan khusus yang memiliki tujuan yang sama denganku. Maksudku, aku tak mungkin mampu melawan para Hvyt sendirian bila mereka menyergap atau menangkap basah diriku. Saat itulah, sesosok hantu gadis kecil muncul. Abby namanya, dan dia sangat antusias mendengar setiap celotehku mengenai rencana untuk mengalahkan Thurqk. Seolah dirinya selama ini menyembunyikan kebencian yang besar terhadap makhluk biadab itu.

Abby membuatku merasa lebih tenang ketika dia menyatakan akan turut serta membantu mewujudkan rencanaku. Walau begitu, hati kecilku masih meragukannya. Sebagai strategi, kusampaikan alur rencana dengan versi berbeda kepadanya. Dengan begitu, seandainya dia berkhianat di tengah jalan, itu tak akan jadi masalah besar. Sedikit perubahan dan masalah selesai. Bagaikan permainan catur, aku harus mempersiapkan beberapa bidak untuk dikorbankan di saat-saat yang menentukan. Ada yang aneh? Entah sejak kapan sikap licikku muncul. Tapi kurasa, mengalahkan Thurqk tidak cukup hanya dengan mengandalkan kebaikan semata.

Kumanfaatkan Abby sebagai pengalih perhatian para Hvyt dengan cara memintanyan menghilang dari lingkungan kastil. Sementara aku menggunakan kesempatan untuk turun ke lantai terbawah kastil untuk menemui enam belas peserta yang tersisa. Tepat di dalam labirin, tempat yang sesungguhnya menjadi beban terberat untuk kudatangi langsung seorang diri. Menatap wajah-wajah mereka para korban kebiadaban Thurqk.

Aku menceritakan semuanya kepada mereka, dengan penuh kejujuran dan keberanian yang tersisa. Berharap mereka bersedia bekerja sama. Kedengarannya mustahil memang, dengan sengaja mengorbankan beberapa orang demi mencapai tujuan bersama. Lagipula siapa yang sampai hati memutuskan kematian dirinya sendiri di dalam perjuangan-kembali-hidup yang hasilnya tak pasti?

Namun di luar dugaan, sepertinya aku cukup berhasil meyakinkan mereka untuk menyatukan tujuan. Selanjutnya adalah membuka kesempatan bagi mereka untuk berjuang di medan sesungguhnya.



Lalu, pertarungan selanjutnya pun dimulai dengan Thurqk yang bersikeras menahanku di balkon terbang tempatnya duduk dan menyaksikan pertarungan. Saat para peserta muncul dari balik ruang tahanan, saat mata mereka menatap diriku dengan sinis. Aku menyadarinya, keberadaanku di sini—terpaksa ataupun tidak—mengesankan bahwa aku telah mengkhianati harapan mereka.

***

End of Limit




Pintu sel yang terbuat dari tulang belulang hewan itu akhirnya terbuka, membuat Nolan tersadar dari tidur panjangnya dengan napas memburu dan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya. Darah masih mengalir dari keningnya yang tersayat hingga ke dagu, membasahi jenggot sebelum akhirnya menetes ke atas permukaan batu di bawahnya. Nolan menahan nyeri di sekujur tubuhnya, beberapa bagian bahkan terlalu lemas untuk digerakkan.

Nolan berusaha membuka kedua matanya. Namun apa daya, dia hanya sanggup mengangkat kelopak mata sebelah kiri dan memandang sekitarnya dengan penampakan samar-samar. Lebih parah karena dia tak lagi mampu merasakan mata kanannya. Seolah bagian yang tertutup kelopak itu hanya menyisakan ruang kosong.

“Ma-ma-mataku …,” gumam Nolan panik. Dia mengangkat lengan kanannya, bermaksud untuk memegangi rongga mata kanan yang terasa nyeri menggunakan telapak tangan, namun tak ada yang terjadi. Nolan telah mengangkat lengan kanan setinggi sembilan puluh derajat, dan dia tak mampu merasakan keberadaan telapak tangannya. Perlahan-lahan melirikan mata, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Hingga akhirnya dia berteriak tanpa suara, karena ternyata dia tak lagi memilikinya.

“Th … Thurqkkhh … aa-appa yanghh kk-kau laku-kk-kan?” gumam Nolan susah payah mengucapkan kata demi kata. Dia menelan ludah, namun bukan ludah yang ia rasakan melainkan anyir seperti besi berkarat. Darah. Napas Nolan kembali menderu akibat panik. Air mata mengalir dari mata kirinya, mengikis darah kering di pipi. “Bahkan … kau memotong lidahku …,” gumam Nolan dalam hati sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke atas permukaan batu dan melepas tangis.

***

“Kaukah itu, Nolan?” sebuah suara yang menyapanya kembali membuat Nolan tersadar. Ditatapnya seorang perempuan yang tengah terluka, memakai jubah aneh yang dia kenali sebagai Claudia, salah satu peserta.

“Jangan bicara dengannya lagi, dia pengkhianat,” ujar Stallza ketus. “Kurasa dia pantas mendapatkannya.”

Nolan yang baru menyadari bahwa dirinya berada di dalam sel yang sama dengan empat orang peserta yang selamat berusaha untuk menguasai diri. Dengan susah payah dia berusaha menarik perhatian mereka dengan mengangkat tinggi-tinggi tangan kirinya yang masih utuh. Seketika tatapan para peserta tertuju padanya. Nolan menatap area di sekitarnya, mencari-cari suatu benda yang dapat dia gunakan, hingga dia menemukan potongan gagang kacamatanya di bagian belakang tempatnya duduk.

Dengan gemetar karena tak terbiasa menulis menggunakan tangan kiri, sekaligus juga menahan nyeri yang luar biasa, Nolan menggoreskan salah satu ujung gagang kacamatanya ke batuan lembab yang mudah terkikis permukaannya. Keempat peserta mendekati Nolan, penasaran dengan apa yang hendak dituliskannya.

“Lantai empat, di antara ruang ketiga dan keempat,” gumam Claudia membaca tulisan Nolan. “Apa … apa maksudmu ini adalah lokasi? Lokasi kristal yang kaubicarakan sebelumnya?”

Nolan menganggukkan kepalanya pelan, lalu kembali menggoreskan gagang kacamatanya ke batuan lembab. Kali ini dia membuat sebuah gambar yang lebih buruk daripada gambaran seorang anak TK.

“Apa yang dia gambar?” tanya Stallza. Sementara Ursario dan Lazuardi hanya menatap dalam diam.

“Apa itu … Thurqk?” tebak Claudia. Nolan kembali membalas dengan anggukannya yang lemah. Namun, belum sempat Nolan melanjutkan gambarannya, seorang Hvyt muncul di depan sel mereka.

“Pertarungan selanjutnya akan segera dimulai,” kata Hvyt. Nolan memandang Hvyt dengan heran. Pertarungan terus berlanjut, itu artinya Thurqk mulai berani mengendalikan sendiri jalannya pertarungan.

Keempat peserta yang tersisa menatap Nolan nyaris secara bersamaan, sebelum akhirnya mereka menyerahkan diri dan membiarkan Hvyt membawa mereka keluar dari dalam sel.

“Kau tetaplah di sana, Nolan. Ah, maaf, aku lupa kau tak lagi memiliki kaki untuk berjalan,” ejek Hvyt seraya membawa pergi keempat peserta, meninggalkannya sendirian.

“Thurqk … seandainya aku sempat memberi tahu mereka semua tentang kelemahanmu yang saat ini makin kusadari. The power of will milikmu, tak akan berguna terhadap orang-orang yang berada di luar jangkauan pandangmu … seandainya aku bisa dengan mudah menyampaikan ini kepada mereka… seandainya…”

Sambil menitikkan air mata, Nolan kembali menjerit dalam kesendiriannya. Sebuah jeritan paling menyayat hati …

meskipun tanpa suara.

TO BE CONTINUED

---
[ROUND 7]
Pertarungan Pertama:
Stallza vs Claude & Claudia
Arena:
Jagatha Vadhi

Pertarungan Kedua:
Arena:
Cachani Vadhi

Aturan pertarungan:
  1. Tak ada pilihan lain selain bunuh lawanmu, kalau tidak Hvyt tak akan datang menjemputmu. Waktu pertarungan adalah dua hari, tanpa perbekalan apapun di arena yang sangat luas tersebut.
  2. Thurqk mengawasi peserta lewat ruang kendali di Devasche Vadhi, sementara Nolan yang sudah tak berguna masih terjebak di dalam sel bawah tanah Devasche Vadhi.
  3. Misi khusus (tidak wajib): setelah memenangkan pertarungan, gunakan segala cara untuk menolong Nolan keluar dari sel dan memberikannya benda paling berharga, sebuah laptop. Mungkin akan berguna pada saat final nanti.
  4. Pemenang akan ditentukan oleh banyaknya vote. Walau demikian, bila ada komentator yang hendak memberikan nilai berupa angka, diperbolehkan, namun sudah bukan menjadi bagian dari penilaian.
  5. DEADLINE: 30 Desember 2014 cara pengiriman cerita masih sama dengan ronde sebelumnya, menggunakan format judul [ROUND 7] NAMA KARAKTER - SUBJUDUL kirim ke battleofrealms.id.submission@blogger.com
Panitia akan menyelesaikan Canon-nya sebelum Desember 2014 berakhir, sehingga pertarungan Final nanti akan sepenuhnya menjadi milik peserta yang lolos. Silakan persiapkan plot terbaikmu.

No comments:

Post a Comment

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -