September 3, 2014

[ROUND 5] STALLZA - RENCANA PENYELAMATAN


[Round 5] Stallza
"Rencana Penyelamatan"
Written by Yafeth T.B.

---



I



Bagian tengah labirin yang dituju Stallza ternyata adalah sebuah ruangan berbentuk melingkar dengan banyak pintu. Saat Stallza tiba di sana, telah ada dua belas peserta lain yang tiba sebelum dirinya. Mereka tampak mengelilingi seseorang di tengah-tengah ruangan itu. Seorang pria berkacamata yang berdiri di depan sebuah meja tampak gugup dengan tatapan curiga dari para petarung yang mengelilinginya. Di atas meja terdapat sebuah kotak tipis dengan layar kaca. Lalu dari layar itu muncul gambar-gambar bergerak seperti yang pernah dilihat Stallza di pulau Ryax.



"Thurqk bukanlah dewa seperti yang selama ini kalian pikirkan," kata pria berkacamata, "dia hanyalah begundal busuk yang sedang berusaha menipu dan menjebak kita semua di dalam permainan berdarahnya."




Alis mata Stallza berkerut. Satu bagian dari dirinya merasa gembira karena dugaannya tepat. Tetapi jika dia bukan dewa—atau setidaknya entitas adikuasa selevel di bawah dewa sekalipun—bagaimana caranya dia bisa menculik Lan dan membawanya ke dunia merah ini?



"Tunggu! Memangnya kamu siapa, Nolan? Bagaimana bisa berada di tempat ini? Dan kenapa kamu tidak ada bersama kami ketika segala keabsurdan ini terjadi?" seru salah satu peserta. Stallza tidak melihat jelas siapa yang mengatakan itu. Dia memilih tidak berada terlalu dekat dengan kerumunan di tengah ruangan.



Pria berkacamata bernama Nolan itu menghela napas panjang sebelum menjawab, "Alasannya agak berbeda, karena aku berada di sini atas permintaan Thurqk."



"Dia anak buah Thurqk, buraa!" seru seekor boneka beruang. Ya, boneka beruang. Stallza pernah bertemu makhluk menyerupai lendir, juga menghadapi manusia yang seluruh tubuhnya adalah tanaman. Dan kini dia melihat seekor—kalau bisa dikatakan demikian—boneka beruang yang mengacungkan senjata pada Nolan. Para peserta serempak melompat mundur selangkah dan kembali waspada karena peringatan si boneka. Nolan segera mengangkat kembali kedua tangannya ke atas.



"Izinkan aku menjelaskannya lebih lanjut," kata Nolan. "Aku berada di pihak kalian, walaupun keadaannya sangat berbahaya bagiku berbuat demikian. Thurqk mempercayaiku sebagai tangan kanannya. Bila kalian bertanya, kenapa kalian bisa berada dalam sebuah permainan pertarungan, siapa yang menjadi lawan kalian, dan apa tantangan yang kalian hadapi … Jagatha Vadhi, Chachani Vadhi, pulau-pulau aneh itu, ruang penyiksaan hingga akhirnya kalian sampai di tempat ini, semuanya … semua itu aku yang mengaturnya."



"Apa kaubilang? Kau mengakui kalau itu semua hasil perbuatanmu dan tetap menyatakan diri berada di pihak kami?"



"Ku-kumohon biarkan aku menyelesaikan ceritaku …," Nolan menghela napas. Pria berkacamata itu mulai menceritakan kisahnya. Beberapa peserta lain menanggapi ceritanya itu. Tetapi tidak ada lagi yang masuk ke dalam telinga Stallza. Pikirannya diliputi keinginan menyelamatkan Lan secepatnya dan pergi dari dunia serba merah ini.



II



"Hei! Anak muda!"



Seruan seorang wanita dewasa berpakaian serba ketat membuat Stallza tersadar dari lamunannya. Wanita itu menatapnya dengan tajam, seakan sedang mengulitinya hidup-hidup.



"Ya?" balas Stallza.



"Aku baru melihatmu di sini. Kau siapa?"



"Namaku Stallza."



Wanita itu mengangkat alisnya dan bersiul. "Orang yang konon merusak pulau Ryax dan membuat Thurqk kebakaran jenggot," katanya.



"Dari mana kau tahu?" tanya Stallza curiga.



"Semua peserta di luar pulau Ryax sudah tahu tentang dirimu. Kau yang tersisa dari pulau itu dan mewarisi kesombongan sebagai ciri khas pulau itu. Semua hvyt juga membicarakan dirimu," kata wanita itu.



"Aku telah membuang itu semua," kata Stallza tajam.



Bibir wanita di depan Stallza menyungging sebelah. "Kau yakin?" Wanita itu bergidik. "Terserah sajalah. Tapi setidaknya berkat apa yang kau telah lakukan, kekuatan Thurqk menjadi lemah. Setidaknya si kacamata tadi jadi bisa meng-hack sistemnya dan mengambil alih sedikit demi sedikit dunia ini," katanya.



Stallza mengernyit. Dia tidak tahu apa yang dibicarakan wanita itu. Dan kebingungannya itu terbaca dengan jelas oleh wanita di depannya.



Wanita itu menghela napas panjang. "Hanya ada satu hal yang bisa membuat pria muda melupakan dunia di sekitarnya dan tenggelam dalam lamunan separah dirimu. Apa gadis itu sangat cantik?" Kini kedua ujung bibir wanita itu tersungging sempurna.



"Bagaimana kau bisa—"



"Aku sudah hidup lebih lama darimu, Nak. Aku punya banyak bawahan seumur dirimu yang sedang dimabuk cinta saat perang berkecamuk. Yah, meski sebagian besar dari mereka tidak sekuat dirimu. Aku harus menguburkan tubuh mereka saat pertempuran selesai," kata wanita itu.



"Kau peserta di sini?"



Wanita itu mengangguk kecil. "Begitulah," katanya.



Stallza segera mengambil sikap siaga begitu mendengar jawaban itu. Pedang tulang kembali muncul di tangannya. Tetapi wanita di depannya bergeming.



"Aku tidak berminat melawanmu," kata wanita itu tegas. Raut mukanya berubah menjadi datar, tetapi dari dirinya memancar semacam nuansa menekan. "Tetapi kalau kau memaksa, maka aku, Mayor Yvika, akan siap meladenimu," katanya. Kulit wajah wanita itu perlahan berubah menjadi hijau dan bersisik.



"Kekuatan apa itu?" tanya Stallza.



"Hanya kekuatan yang mau tidak mau kuterima saat membunuh monster di lorong tadi," kata Yvika. "Jadi, apa kau mau bertarung?"



Stallza melihat berkeliling. Tidak ada peserta lain di ruangan itu. Demikian juga dengan meja di tengah-tengah ruangan. Luas ruangan itu memadai untuk satu pertarungan, tetapi Stallza tidak ingin membuang-buang tenaga di sini. "Apa kau akan menyerangku?" tanya Stallza.



"Tidak sekarang," kata Yvika, "tidak di sini. Mungkin lain kesempatan. Lagipula bertarung antarpeserta bukan prioritas sekarang."



Stallza perlahan menurunkan senjatanya. Nuansa menekan dari wanita di depannya pun mulai melunak. "Lalu apa tugas kita sekarang? Aku tidak punya waktu banyak,"kata Stallza.



"Bagus sekali, kita punya kesamaan. Kau lihat pintu di belakang sana? Kita semua harus masuk ke dalam sana," kata Yvika sambil menunjuk sebuah pintu di belakangnya dengan jempol. "Semua peserta lain masuk satu persatu dengan berjalan mundur. Mereka semua terlalu waspada satu sama lain. Seandainya ada saja satu orang yang bersin di dalam ruangan ini, pasti sudah ada babak penyisihan di dalam ruangan ini."



"Lalu kenapa kau tidak masuk setelah mereka semua pergi?" tanya Stallza.



"Tentu saja karena aku tidak ingin diserang diam-diam," kata Yvika. "Lebih baik jika aku menjadi yang terakhir daripada harus selesai di sini."



"Jadi aku hanya perlu masuk ke sana?" tanya Stallza.



Yvika mengangguk. Wanita itu hendak membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, namun Stallza telah berlari kencang menuju pintu itu tanpa mempedulikan Yvika sama sekali.



"Heh. Dasar bocah. Berlari sambil membelakangi musuh dan tidak peduli apa yang akan dia hadapi di sana," Yvika menghela napas panjang. Wanita itu tertawa kecil. "Gadis yang beruntung. Entah sudah berapa lama sejak ada orang yang begitu peduli padaku," kata Yvika.



III



Pintu yang dilalui Stallza membawanya ke dalam sebuah lorong panjang yang gelap. Stallza hanya menggunakan indera perabanya saat menyusuri dinding lorong. Suara langkah kakinya menggema di dalam lorong, membuat Stallza menduga lorong itu cukup luas. Tetapi Stallza tidak ingin mengambil resiko tersesat dalam kegelapan ini jika dia melepaskan tangannya dari sisi dinding yang disentuhnya sekarang.



Stallza tidak tahu berapa lama dia telah berjalan di dalam lorong ini. Stallza hanya tahu dia berjalan maju hingga akhirnya melihat sebuah cahaya di depannya. Stallza tidak menunggu lagi saat melihat cahaya itu. Dengan segera dia berlari ke arah cahaya itu hingga akhirnya dia melihat sebuah ambang pintu dan tangga yang menuju ke atas



Sayup-sayup dari arah atas terdengar suara riuh orang-orang yang bertepuk tangan dan bersiut. Stallza bertanya-tanya, apakah dia akhirnya tiba di tempat Thurqk? Apakah yang riuh di atas sana adalah para hvyt? Stallza menggeleng keras. Tidak. Tidak ada keraguan. Dia tetap harus maju. Dengan segera dia menapaki tangga itu menuju ke atas. Dan sebuah tenda pertunjukan menyambutnya di atas sana.



"Hadirin sekalian! Penantang kita telah tiba! Stallza, sang pemanggil makhluk, melawan lima peserta yang tersingkirkan!" seru sebuah suara saat kepala Stallza muncul ke atas. Suara itu berbeda dengan suara Thurqk. Juga tidak seperti salah satu hvyt yang suaranya cenderung kaku dan parau. Suara pria yang menyambutnya terdengar sangat bersemangat dan lentur, bagaikan manusia biasa.



Apa aku kembali ke dunia manusia? Tanya Stallza dalam hatinya. Dia terus melangkah ke atas hingga melihat sebuah lapangan luas dengan berbagai tiang yang menjulang ke langit-langit tenda dan tali-tali yang melintang di sana-sini. Di atas lapangan terdapat beberapa kandang raksasa, sepertinya diperuntukkan untuk hewan liar. Tetapi tidak ada apapun di sana. Di sekeliling lapangan terdapat bangku-bangku penonton, namun tidak ada siapapun di sana meski terdengar suara riuh tepukan tangan dan siutan.



Kening Stallza berkerut. "Tempat macam apa ini?" bisiknya.



Seakan menjawab pertanyaannya, empat orang melompat dari atas tenda dan mendarat beberapa meter di depan Stallza.



"Oh! Lihatlah para penantang yang sudah tidak sabar akan pertarungan yang akan dilangsungkan berikutnya. Tapi di manakah peserta lainnya? Oh! Lihat! Dia di atas sana! Menunggu sang penantang yang menang untuk naik dan mengalahkannya!" seru suara yang menyambut Stallza.



Stallza mengenali tiga dari empat orang yang berdiri di depannya sekarang. Lucia Chelios, pengguna baton yang dikalahkannya di babak pertama. Lalu ada Carol Lidell, anak remaja yang sempat dilihatnya di babak kedua. Juga ada Nemaphilia, gadis tanaman yang dilawannya di babak kedua. Tetapi dia tidak pernah melihat orang keempat. Orang keempat adalah seorang pria berjubah cokelat dari atas kepala hingga ke kaki. Pinggangnya diikat sebuah kain hitam dengan dua bilah pedang lengkung tersampir di kedua sisi pinggangnya. Dan orang yang menunggu di bagian atas tenda adalah seorang wanita dengan riasan wajah yang tebal. Colette Reves, kalah Stallza tidak salah ingat. Ya, gadis yang bisa menghasilkan sesuatu dari udara kosong itu kini menatap dari atas sana. Bagaikan seorang ratu dia duduk di atas sebuah ayunan dengan anggun.



"Hadirin sekalian! Sambutlah Lucia Chelios, Carol Lidell, Nemaphilia, dan Reeh Al Sahr'a, melawan Stallza. Pertarungan apakah yang akan berlangsung? Mari kita saksikan. Pertarungan dimulai!" seru suara pria yang menyambut Stallza.



Stallza tidak ada waktu untuk bertanya-tanya siapakah yang berbicara dan apa sebenarnya tempatnya berdiri sekarang. Tiga orang gadis yang pernah bertemu dengannya telah maju ke depan dan bersiap menyerangnya.



Yang melayangkan pukulan pertama adalah Lucia Chelios. Gadis itu tampak dingin, tidak lagi melontarkan kata-kata kasar atau apapun. Dia mengayunkan baton miliknya berkali-kali pada Stallza, namun berkat baju zirah tulang yang dibentuk oleh spiritianya, Calcis, tidak ada satupun serangan itu yang terasa sakit. Yang paling menyusahkan adalah api yang menyembur dari tangan Lucia saat baton itu diayunkan. Seandainya bukan karena kekuatan fisik Forneus, luka bakar yang dihasilkan semburan api itu akan menyusahkan. Gerakan gadis itu pun tidak kurang lincah dibandingkan pertarungan mereka terdahulu. Berkali-kali tendangan ke rusuk, hantaman ke arah kepala, dan tusukan ke arah perut dilancarkan Lucia. Untung saja Stallza bisa menangkis semuanya dan balas menyerang. Stallza memukul kedua siku Lucia dengan cepat dan disusul dengan sebuah hantaman keras ke ulu hati gadis itu, membuatnya terhempas ke belakang. Tetapi serangan yang diterimanya belum selesai. Baru saja Lucia terhempas ke belakang, sosok Carol Lidel telah melompat ke arahnya dan mulai menembakinya dengan pistol yang dimilikinya.



Stallza melompat mundur. Dua tembakan yang dilepaskan Carol tepat mengenai bagian dada baju zirahnya, membuat bagian itu menjadi retak. Carol mengeluarkan sebuah buku dan mulai membaca isinya. Saat gadis berkuncir satu itu sementara membaca, tiba-tiba saja dari dalam tanah muncul sebuah makhluk dari batu berbentuk seperti manusia. Makhluk itu berlari ke arah Stallza dan menghantamnya berkali-kali. Stallza menahan serangan makhluk itu, tetapi sebagai gantinya tulang-tulang yang membentuk baju zirah Stallza mulai retak dan hancur.



Stallza menunduk saat makhluk dari batu itu melayangkan satu lagi pukulannya. Dengan cepat dia berguling melewati makhluk batu itu dan melompat ke arah Carol. Gadis itu tampak terkejut saat Stallza melayangkan satu pukulan ke perutnya dan membuatnya terhempas. Di saat bersamaan sosok makhluk batu yang menyerang Stallza pun menghilang.



"Serangan yang bagus," kata Nemaphilia dari belakang Stallza.



Stallza terkejut setengah mati. Dia melupakan keberadaan gadis tanaman itu. Saat dia ingat kekuatan gadis itu dengan segera dia berbalik dan menyerang. Stallza memegangi punggungnya, berharap belum ada bunga apapun yang tumbuh di belakangnya. Tetapi harapannya tidak terkabul. Dia meraba beberapa kuntum bunga telah tumbuh di sana. Saat dia melihat kelopak bunga itu berwarna biru, dengan segera Stallza melepaskan spiritialisnya dengan Calcis.



"Bagus, pertahananmu kini sudah tidak ada," kata Nemaphilia. Gadis tanaman itu menyebarkan puluhan biji dandelion ke arah Stallza. Stallza mencoba untuk menghindari biji-biji itu, tetapi beberapa di antaranya ada yang menempel di kaki dan tangannya. Meski telah dilindungi oleh kulit tebal Forneus, tetap saja ada sedikit kekuatan Stallza yang terserap—cukup untuk membuat Stallza jatuh lemas.



"Tetaplah tinggal sampai aku menjadikanmu tanah," kata Nemaphilia.



"Aku menolak," balas Stallza. Dia berusaha sedikit lebih keras untuk mendorong tubuhnya sendiri untuk bisa duduk.



"Lalu apa yang bisa kau lakukan? Tidak ada yang bisa lepas dari bunga-bungaku yang cantik," kata Nemaphilia.



 "Hygraris, muncullah," kata Stallza. Spiritia yang dipanggil Stallza adalah seososk makhluk bertubuh seperti cairan berwarna perak. Meski tampak seperti cairan, Hygraris sesungguhnya adalah makhluk yang terbentuk dari logam.



"Makhluk itu akan kujadikan tanah," kata Nemaphilia sambil melemparkan biji bunganya ke tubuh Hygraris. Namun saat biji-bii itu menyentuh kulit spiritia itu, seketika itu pula mereka menjadi gelap dan mati. "Apa?!" seru Nemaphilia terkejut.



"Tubuh Hygraris bisa membuat benda apapun melepuh. Apa kau masih ingin melemparkan biji-bijianmu padanya?" kata Stallza. Tenaganya telah sedikit kembali. Biji yang menempel ke tubuhnya tidak bisa sepenuhnya menembus pertahanan Forneus yang dimiliki Stallza saat ini.



Nemaphilia menggeram. Gadis tanaman itu melompat ke belakang dan menghunjamkan kedua tangannya ke tanah. Beberapa saat kemudian tanah mulai bergetar hebat. Dari dalam tanah di sekitar Stallza muncul empat buah sulur raksasa yang dengan cepat meliliti tubuh pria itu.



"Dengan begini seluruh tubuhmu akan diselimuti bungaku tanpa bisa kau hindari," kata Nemaphilia.



Stallza meronta, namun ikatan sulur yang membelitnya semakin erat. Hygraris segera melompat ke sisi tuannya dan mencambuki sulur-sulur itu dengan bagian tubuhnya yang bisa dibentuk menjadi apapun. Sulur-sulur itu hangus seketika, namun bagian yang hangus dengan cepat digantikan dengan bagian yang baru. Sementara itu tangan kanan Stallza telah dipenuhi bunga berwarna biru yang mulai mekar.



"AAARGGGH!!" Rasa sakit dan nyeri menjalar dengan cepat di tangan kanan Stallza. Kemampuan yang dimiliki Forneus mulai melemah, dan itu sangat dirasakan Stallza. Dia bisa melihat dengan jelas bagaimana akar-akar bunga berwarna biru mulai mencabik kulitnya dan membuat tangan kanannya banjir darah.



"Sulpho! Aku memanggilmu!" seru Stallza. Dari dalam belitan sulur tanaman yang membelit Stallza muncul gas berwarna kuning yang membungkus sulur-sulur tanaman itu. Tanaman yang sedang bertumbuh di tangan kanan Stallza perlahan menjadi layu. Sulur yang membelit Stallza juga berhenti bertumbuh, membuat Hygraris mudah untuk menghancurkan mereka.



"Racun?!" seru Nemaphilia yang kesal melihat tanamannya mati begitu saja.



"Benar," kata Stallza. Tangan kanan Stallza gemetar hebat. Kulitnya tercabik. Daging berwarna pucat dibanjiri darah tampak dengan jelas. "Aku tidak rela mati di sini."



"Semoga berhasil," kata Nemaphilia.



Bunga matahari, biji pamungkas yang tumbuh di kepalanya mulai mekar. Stallza tahu bunga matahari itu bisa jadi masalah. Pria itu mengangkat kedua tangannya ke atas. "Hygraris, Sulpho, bersatulah. Sintesis!" seru Stallza.



Gas berwarna kuning berputar mengelilingi Hygraris. Perlahan-lahan sosok Hygraris berubah menjadi kuning. Wujudnya yang tampak seperti cairan pun perlahan menjadi padat, membentuk sosok seorang kakek tua berjanggut panjang yang dibungkus sebuah jubah bertudung, dengan sebuah tongkat kayu yang besar di tangannya.



"Apa yang akan kau lakukan sekarang tidak akan ada gunanya," kata Nemaphilia. Bunga matahari raksasa di atas kepalanya mulai mekar.



Stallza mengacungkan tangannya ke arah Nemaphilia. Dengan segera makhluk yang terbentuk dari gabungan Hygraris dan Sulpho mengacungkan tongkat di tangannya. Ujung tongkatnya memanjang dengan sangat cepat dan menghunjam tubuh gadis tanaman itu. Saat tubuh gadis itu tertusuk tongkat, bagian di sekitar tongkat itu mulai menghitam. Tubuh Nemaphilia mengejang dengan hebat, bunga matahari di atas kepalanya rontok seketika. Dalam hitungan menit tubuh Nemaphilia telah menjadi hitam. Makhluk gabungan Hygraris dan Sulpho menarik tongkatnya, dan tubuh Nemaphilia pun hancur menjadi gundukan debu hitam.



"Satu sudah hancur," kata Stallza. Matanya memandang ke seluruh lapangan. Dua orang yang terkapar sebelumnya kini mulai bangkit. Pria yang bernama Reeh di sudut lapangan belum tampak bergerak sama sekali. "Masih ada yang ingin maju rupanya," kata Stallza.



IV



Carol kembali membaca sebuah buku. Kali ini muncul ratusan orang berbaju zirah lengkap dengan pedang terhunus yang maju ke arah Stallza. Makhluk bentukan Stallza menghantam mereka semua dan mengubah mereka menjadi debu hitam. Tetapi Carol belum selesai. Gadis itu menggunakan kekuatannya untuk mengendalikan benda-benda di sekitarnya untuk mengendalikan debu-debu hitam di sekitar makhluk bentukan Stallza. Makhluk itu mengibaskan tongkatnya ke berbagai arah, namun debu-debu itu tidak bisa hancur. Sebaliknya, debu-debu itu mulai melekat ke tubuhnya dan membuat gerakannya terbatas. Hingga akhirnya tubuh makhluk itu menjadi kaku sepenuhnya.



"Makhlukmu kini sudah jadi patung, sekarang giliranmu yang menjadi patung," kata Carol. Gadis berkuncir satu itu mengambil sebuah buku lain dari balik punggungnya. Saat gadis itu mulai membaca buku itu, sesosok makhluk berwujud seperti manusia berambut ular muncul di depannya. "Medusa, kalahkan dia," katanya.



Saat Stallza menatap makhluk berambut ular itu, tiba-tiba saja seluruh tubuhnya menjadi kaku. Kakinya mulai berubah menjadi batu, dan dengan cepat betisnya pun berubah menjadi batu. Jika dibiarkan, Stallza akan menjadi patung batu dalam sekejap.



"Silic, muncullah!" seru Stallza. Kini pembatuan telah tiba sampai ke perutnya. Di saat bersamaan sesosok gadis berkacamata dan berpakaian putih muncul di depan Stallza. Gadis itu mengacungkan tangannya ke arah Medusa. Seketika di depan gadis itu muncul sebuah cermin raksasa yang memantulkan bayangan Medusa. Baik Medusa maupun Carol yang memanggilnya terkejut saat melihat bayangan Medusa pada cermin itu. Keduanya mencoba menutup mata mereka, namun proses pembatuan dengan cepat menjalar di tubuh mereka. Saat mereka berdua menutup mata, di saat bersamaan tubuh keduanya telah berubah menjadi patung batu.



Stallza menghela napas karena satu lagi masalah telah selesai diatasi. Namun Stallza lengah. Dia melupakan keberadaan Lucia Chelios.



"Kesempatan!" Lucia Chelios, yang sedari tadi diam menunggu waktu yang tepat untuk menyerang, melompat dari belakang Stallza.



Stallza tidak bisa berbuat apa-apa saat baton milik Lucia Chelios menghantam kakinya yang masih membatu. Tubuh Stallza hancur seketika, namun dia masih hidup. Pria itu bingung. Seharusnya dia sudah mati. Pukulan baton itu membuat kaki hingga perutnya rontok seketika, tidak mungkin dia masih selamat. Tetapi kenyataannya tangan kirinya masih bisa bergerak dan menahan baton Lucia yang bermaksud meremukkan kepalanya. Kekuatan dari Forneus yang tersisa membuatnya mampu meremukkan baton itu dalam cengkeramannya. Lucia Chelios yang geram senjatanya dihancurkan mengayunkan batonnya yang tersisa, namun baton itupun dihancurkan Stallza.



Lucia Chelios membuang batonnya. Kaki kirinya menginjak dada Stallza, sedangkan tangan kanannya yang mengepal di udara diselimuti api berwarna hijau. "Mati kau!" seru Lucia sambil mengayunkan tangannya ke bawah. Namun sebelum tangan Lucia menyentuh Stallza, sebuah baton menghentikan tinjunya. Lucia menoleh. Di sampingnya kini berdiri seorang gadis yang sangat mirip dengan dirinya.



"Aku akan menjadi lawanmu," kata gadis itu.



Lucia Chelios menyeringai. "Aku sangat benci peniru sepertimu," gadis itu berdiri dan mengayunkan tangannya ke arah penirunya, namun pukulannya ditahan sempurna dengan baton milik si peniru. "Aku akan menghancurkanmu dulu!" serunya.



"Ambil waktumu, Tuan. Aku akan menahan gadis ini sebentar," kata si peniru.



"Terima kasih, Silic," kata Stallza pada si peniru.



Silic adalah spiritia yang bisa meniru wujud makhluk apapun yang dilihatnya. Namun gadis itu tidak bisa meniru kemampuan istimewa makhluk yang ditirunya. Seperti api yang keluar dari tangan dan kaki Lucia Chelios. Tetapi Silic masih bisa meniru gerakan dan kelincahan lawannya itu.



"Berhenti meniruku!" seru Lucia Chelios. Tinjunya menyasar muka Silic yang meniru mukanya, tetapi Silic dengan cepat merunduk dan dengan cepat menghantamkan batonnya ke perutnya. Lucia Chelios terhempas ke belakang, namun dengan cepat gadis itu membalas dengan melompat ke depan dan menyarangkan tendangan ke perut lawannya.



Lucia Chelios tidak menunggu lawannya berdiri. Dengan cepat dia melompat ke atas tubuh Silic dan menekan tubuh gadis itu dengan lututnya. "Sekarang kau tamat, Nona Peniru," kata Lucia Chelios. Tangan kanannya mengepal. Api berwarna hijau menyelimuti kepalannya. Namun sebelum sempat melayangkan kepalan itu ke tubuh Silic, sebuah kilatan listrik menyambar tubuh Lucia Chelios dan menyengatnya hingga pingsan.



"Terima kasih, Tuan," kata Silic sambil menyingkirkan tubuh Lucia Chelios yang sudah gosong.



"Terima kasih sudah memberikan waktu untukku. Tepat waktu untuk sintesis Lithis dan Hidro," kata Stallza sambil melirik bola kristal yang memancarkan kilatan listrik di tangan kirinya.



"Bagaimana dengan tubuh Anda?" tanya Silic khawatir. Sosoknya telah kembali ke sosok aslinya.



"Aku tidak merasakan sakit meski bagian tubuh bawahku hancur. Tetapi setidaknya aku masih hidup. Aku akan bergabung dengan Platin sekarang," kata Stallza.



"Tapi bukankah Platin bisa menghancurkan tubuh tuan?"



"Selama aku tidak menggunakannya lebih dari satu jam, tidak akan apa-apa. Lagipula tanpa Iodesa, aku tidak bisa memulihkan diriku sendiri sekarang," kata Stallza.



Silic tidak bisa membantah. Gadis berkacamata itu hanya bisa memandang khawatir saat tuannya memanggil Platin—spiritia yang mengambil sosok sebuah baju zirah kosong berwarna perak sebagai wujudnya—dan menggabungkan dirinya dengan spiritia itu. Kini tubuh tuannya telah menjadi serupa dengan Platin, dengan sebuah pedang panjang di tangan kanannya dan tameng di tangan kirinya.



"Kembalilah dahulu, Silic," kata Stallza.



Silic mengangguk. Tubuhnya bercahaya sebelum berubah menjadi kristal berbentuk kaca cekung yang terbang melesat ke dalam baju zirah Stallza.



"Sekarang sisa berapa yang tersisa?" Stallza memandang berkeliling. Masih ada pria bernama Reeh yang berdiri dengan tenang di sudut lapangan. "Apa kau ingin melawanku?" tanyanya pada pria itu.



Pria bernama Reeh itu melepaskan jubahnya dan mencabut dua pedang lengkung di pinggangnya. Dalam gerakan bagai menari dia mengayunkan pedang-pedang itu, dan dari ayunannya muncullah angin yang menyayat. Tubuh Stallza yang kini menyatu dengan Platin tidak mengalami luka apapun dari serangan angin itu.



"Seranganmu tidak akan melukaiku," kata Stallza.



"Wahai angin, dengarlah permintaanku. Jadilah kawanku dan bungkuslah lawanku dalam badai. Remukkanlah dia, agar dia sadar pada keagunganmu," kata Reeh. Saat Reeh selesai berbicara, angin mulai berputar dengan cepat di sekitar Stallza. Dalam hitungan detik, angin telah berpusar dan menghempaskan tubuh Stallza ke udara.



V



"Pengendali angin, ya?" desis Stallza di tengah desau angin yang menghantamnya. "Oxygia, datanglah dan bergabunglah denganku," kata Stallza.



Tubuh Stallza bercahaya. Sayap elang muncul di pundaknya. Saat sayap itu muncul, angin yang memutar tubuh Stallza dalam pusaran seketika menghilang.



"Jadi Anda juga penguasa angin?" tanya Reeh.



"Aku memiliki spiritia yang bisa mengendalikan angin," jawab Stallza.



"Maka mari kita saling mengadu angin. Biarlah angin yang memilih siapa yang akan didukungnya," kata Reeh. Pria itu mengangkat tangannya. Angin berputar di belakangnya. Saat dia mengacungkan jari ke arah Stallza, angin yang berputar di belakangnya segera bertiup kencang ke arah pria itu. Di saat bersamaan, Stallza mengepakkan sayap di pundaknya. Angin yang dihasilkan kepakan itu beradu dengan angin yang dilontarkan Reeh, saling berbenturan dan menghasilkan suara ledakan. Tetapi Reeh dan Stallza tidak berhenti. Angin Reeh mendorong semakin keras ke arah Stallza, membuat Stallza kewalahan. Stallza terpaksa menghindar untuk membelokkan angin dari Reeh, namun angin itu masih mengejarnya.



"Angin berpihak pada saya," kata Reeh, "angin di bawah sayap Anda pun pasti akan berpihak pada saya."



"Anginku adalah angin yang kubuat sendiri," kata Stallza. Dia mengepakkan sayapnya dan melesat ke arah Reeh dengan pedang terhunus. Reeh telah menunggunya dengan kedua pedang lengkung di tangannya.



Pedang panjang Stallza beradu dengan pedang lengkung Reeh. Dengan gemulai Reeh menghindari tusukan pedang Stallza dan bergerak masuk ke bawah tubuh Stallza. Tetapi Stallza masih bisa menangkisnya dengan perisai di tangan kirinya. Angin yang menyelimuti pedang Reeh menghempaskan tubuh Stallza saat pedang itu beradu dengan perisai Stallza. Saat tubuh Stallza terhempas, dengan cepat Reeh menunggangi angin dan menyerang Stallza dari udara. Sasaran tebasannya adalah kedua sayap elang di punggung Stallza, namun Stallza bisa membaca serangannya. Stallza menangkis serangannya dengan perisai, dan dengan segera membalas serangan itu. Pedang Stallza beradu dengan pedang Reeh sekali lagi. Kali ini getaran hebat menghempaskan tubuh Reeh ke belakang.



"Nyaris saja," kata Reeh. Tangannya gemetar tanpa disadarinya.



"Apa kau masih ingin bertarung?" tanya Stallza.



"Anda masih ingin bertarung, maka sayapun akan bertarung untuk menemani Anda," jawab Reeh.



"Jawaban macam apa itu?"



"Kami ada karena semangat bertarung Anda, tuan Stallza. Kita belum pernah bertemu, sehingga kekuatan saya pada Anda tidak sekuat kekuatan mereka yang pernah bertemu dengan Anda," kata Reeh.



"Apa maksudmu kekuatanmu jauh lebih besar dari ini?"



"Jika Anda pernah bertemu dengan lawan-lawan saya, mungkin Anda akan tahu bagaimana susahnya melawan angin. Tetapi ingatan itu tidak ada di kepala Anda," jawab Reeh.



"Kenapa ingatanku menjadi penting di sini?"



"Karena apapun yang terjadi di sini tidak pernah nyata. Kami adalah ingatan yang dimunculkan untuk kembali bertarung dari intisari kristal jiwa kami. Yang muncul di depan Anda adalah empat orang yang Anda kenal dan saya yang belum pernah bertemu dengan Anda. Anda mengingat setiap sakit dan luka yang Anda alami saat bertarung dengan empat orang lainnya, namun Anda tidak punya ingatan apapun untuk serangan saya.



"Angin yang bertiup bisa menghancurkan batu dan logam. Namun tubuh logam Anda tidak remuk sedikitpun karena Anda tidak pernah tahu itu. Anginku hanyalah angin yang berhembus kencang belaka," kata Reeh.



"Kenapa kau menjelaskan semua ini pada lawanmu? Apa tujuanmu?" tanya Stallza.



"Karena Anda tidak tahu kekuatanku, maka saya memberi tahu Anda. Kini Anda telah tahu bahwa angin sangat luar biasa kuatnya. Anda telah tahu bagaimana mengerikannya kalau angin keras menghantam tubuh logam Anda dan meremukkan mereka. Dengan demikian kekuatan serangan saya akan sempurna Anda terima," kata Reeh. Pria itu mengeratkan genggamannya dan kembali mengayunkan pedang lengkungnya. Angin yang ditumbulkan ayunan pedangnya menghantam Stallza lebih keras. Dan seperti yang dikatakan Reeh, angin itu kini membuat perisai Stallza sedikit remuk.



"Jadi semua ini hanya mengenai pikiran saja?" kata Stallza. "Kalau begitu biar kuberitahukan sesuatu. Saat pedang ini beradu dengan pedangmu, kau akan kehilangan semangat bertarungmu."



"Semangat bertarung saya sekuat tiupan badai. Takkan tergoyahkan oleh hembusan kecil dari mulut manusia," kata Reeh sambil kembali mengayunkan pedangnya ke arah Stallza.



Stallza telah menunggu serangan Reeh. Saat angin pertama meremukkan perisai Stallza, saat itu pula Stallza merangsek maju. Diangkatnya pedang panjang di tangan kanannya tinggi-tinggi, dan saat dirasakannya angin kedua telah mendekat, dengan cepat dia mengayunkan pedang itu. Angin kedua itu terbelah oleh ayunan pedang Stallza, demikian pula angin-angin berikutnya yang dihasilkan oleh ayunan pedang Reeh.



Stallza mengepakkan sayapnya dan terbang ke udara. Angin yang dibuat Reeh mengejarnya, namun Stallza tidak repot-repot menghindar. Dia malah dengan segera menukik kencang dan menghantam angin-angin itu. Reeh terkejut, secara refleks dia menyilangkan kedua pedangnya ke atas.  Di saat itulah pedang Stallza dan pedang Reeh beradu untuk ketiga kalinya.



Reeh kembali merasakan getaran di tangannya. Kali ini lebih hebat dari sebelumnya. Dia melihat sosok Stallza yang berada di atas kepalanya lebih besar dari sebelumnya. Ada aura yang menekan yang memancar keluar dari tubuh pria itu. Reeh segera mendorong tubuh Stallza dengan angin, membuat pria itu kembali ke darat.



"Anda memiliki kemampuan untuk mengendalikan ketakutan seseorang?" kata Reeh. Pria itu berusaha keras untuk mengendalikan dirinya, tetapi tubuhnya tetap saja gemetar. Bahkan salah satu pedang di tangannya terjatuh akibat tak mampu digenggamnya dengan baik.



"Aku akan melakukan apapun demi membuat lawanku menyerah dengan cepat," jawab Stallza, "aku tidak ingin pertarungan panjang dan lama. Itu hanya membuat semua orang menderita."



"Bahkan jika itu berarti Anda harus membunuh?"



"Jika aku terpaksa," jawab Stallza. "Jadi, masih ingin melawanku atau menyerah?"



Reeh menjatuhkan pedangnya yang terakhir. Pria itu tersungkur. Seluruh tubuhnya gemetar dengan hebat. "Aku… menyerah," katanya sebelum terkapar ke tanah.



Stallza menunggu beberapa saat. Memastikan Reeh tidak kembali bangkit sebelum berjalan ke tengah lapangan. "Angin sekarang berada di pihakku, kawan," kata Stallza. Dia menatap ke atas. "Jadi, kapan kau akan turun ke sini, Colette?"



VI



Musik yang meriah dan suara riuh kembali terdengar saat Colette berdiri di tengah lapangan, hanya beberapa langkah dari Stallza. Berbeda dari Colette yang dilihat Stallza saat babak pertama, Colette kali ini tampak sangat percaya diri. Dia bagaikan seorang ratu dalam pujaan para pendukungnya.



"Saudara-saudara sekalian, penantang Stallza berhasil menaklukkan tantangan pertamanya! Pertarungan yang sangat luar biasa! Sang ratu sirkus bahkan bersedia turun dari takhtanya untuk melawan sang penantang!" seru pria yang memperkenalkan diri Stallza sebelumnya.



"Siapa orang itu?" tanya Stallza pada Colette mengenai suara orang yang memperkenalkan dirinya.



"Beliau adalah pemilik sirkus ini," jawab Colette dengan anggun, "dan meski terlambat, aku ingin mengatakan ini padamu. Selamat datang dalam duniaku."



"Jadi kau bisa melakukan apapun selama di sini?" tanya Stallza. "Berarti aku tidak akan punya kesempatan untuk menang, bukan?"



"Aku bukan orang yang tidak adil," kata Colette, "lagipula aku sudah tidak punya keinginan lagi. Ini hanyalah kenanganku tentang duniaku yang lama."



"Untuk apa aku di sini?"



Colette mengangkat bahunya. "Mungkin kau ada di sini karena keinginanmu sendiri. Mungkin kau ingin tahu apa yang dipikirkan oleh peserta yang telah kalah."



"Aku tidak berpikir seperti itu," kata Stallza.



"Benarkah? Mungkin kau tidak sadar," kata Colette. "Aku tidak akan membuang waktumu. Kau memiliki batasan dalam kekuatan spesialmu, aku pun seperti itu. Berapa banyak yang bisa kau panggil dalam sehari?"



"Sembilan," kata Stallza, "aku tidak ingin memakai semua jatahku."



"Dan aku tidak akan bisa memunculkan sesuatu yang tidak kuketahui. Memuculkan benda pun butuh waktu. Jadi kita punya batasan," kata Colette.



"Lalu bagaimana kau ingin menyelesaikan ini?" tanya Stallza.



Collet mengacungkan jari telunjuknya. "Satu serangan," kata Collete, "satu serangan untuk mengakhiri semuanya. Aku melihat kemampuanmu untuk menyatukan dua makhluk panggilanmu menjadi satu. Itu memakan waktu. Dan aku juga membutuhkan waktu dalam memunculkan senjata. Jadi bagaimana kalau kita sama-sama memunculkan senjata terkuat kita dan saling menyerang?"



"Batasanku hanya bisa menggabungkan tiga spiritia dalam sehari. Dan sebisa mungkin aku akan menyimpan satu jatah terakhirku itu untuk pertarungan berikutnya," jawab Stallza.



"Kau pikir bagaimana waktu yang berlalu di sini? Di dunia yang kukuasai ini?" tanya Colette. Dia membentangkan tangannya dan berputar. Di saat bersamaan keriuhan gembira terdengar kembali. "Aku bisa membuat satu hari di dunia luar sama dengan beberapa jam saja di sini. Demikian pula sebaliknya. Nolan telah memberikan kekuasaan mengendalikan tempat pertunjukan ini sesuai dengan kehendakku. Dan aku berkehendak membuat satu hari di sini hanya beberapa jam di luar. Dengan begitu batasanmu akan pulih," kata Colette.



Stallza mengerutkan keningnya. "Duniamu? Kukira ini masih dunia Thurqk," kata Stallza.



"Thurqk bukan dewa yang memiliki dunia. Kukira Nolan telah memberitahukan itu padamu," kata Colette.



"Aku tidak dengar," kata Stallza, "lagipula bagaimana bisa aku mempercayai Nolan? Siapa Nolan itu?"



"Jadi kau lebih percaya Thurqk sekarang?"



"Tidak. Aku tidak percaya siapapun. Tapi aku percaya bahwa orang yang penting untukku sekarang dalam keadaan berbahaya jika aku tidak segera keluar dari sini," kata Stallza.



"Tapi kau harus melalui tempat ini demi menghadapi Thurqk. Dunia ini adalah dunia yang dibentuk dengan menggabungkan sistem buatan Nolan dan keinginanmu yang terdalam. Dan menjawab pertanyaanmu tentang Nolan, dia adalah orang yang bertanggung jawab memprogram intisari kristal jiwa yang dipegang oleh Thurqk sehingga bisa kembali muncul di sini. Kalau kau langsung menghadapi Thurqk, mungkin saja kau akan segera kalah. Anggap saja ini seperti pertunjukan tambahan dan bukan babak penyisihan," kata Colette.



Stallza diam sejenak. Dia telah memakai tujuh spiritia hari ini. Dia hanya bisa memanggil dua spiritia lagi dalam batas amannya. Dan dia hanya bisa melakukan sintesis spiritia sekali lagi. Sintesis Hygraris dan Hidro masih ada di tengah lapangan. Dia masih bisa melakukan sesuatu dengan itu. "Baiklah. Aku setuju," kata Stallza.



Collete menepuk tangannya. "Bagus sekali! Sekarang pertunjukanku akan sempurna!" serunya gembira. Untuk sesaat Colette tampak seperti sosoknya yang diingat oleh Stallza.



Genderang berbunyi saat Stallza dan Colette mengambil posisinya masing-masing. Collete menggerakkan tangannya di udara sambil berkeliling, seolah sedang menyentuh sebuah benda yang tidak terlihat. Stallza memanggil salah satu spiritianya.



"Tungstenno, muncullah," kata Stallza. Sebuah bola raksasa berwarna hitam muncul di belakang Stallza. Bola itu berganda menjadi dua, dan dari kedua bola itu muncul delapan kaki. Kini bola itu berubah menjadi seekor laba-laba raksasa berwarna hitam. Saat Stallza memunculkan Tungstenno, Colette sedikit memekik terkejut, namun gadis dengan riasan wajah tebal itu segera menguasai dirinya dan kembali melakukan jurusnya.



Perlahan bentuk yang diinginkan Colette terlihat. Sebuah Gatling gun raksasa. Colette menghabiskan banyak waktu untuk membentuk peluru-peluru untuk senjata otomatisnya itu dan juga untuk penopangnya.



Di sisi lain, Stallza telah menyatukan Tungstenno, Lithos, dan Hidro bersama-sama. Di sekeliling kaki Stallza kini muncul jaring laba-laba dari logam yang berpendar biru langit. "Apa kau siap?" tanya Stallza.



"Aku siap," kata Colette saat senjata otomatisnya telah jadi. Gadis itu melompat ke belakang senjatanya dan membidik ke arah Stallza. "Tiga… Dua…. Satu!" Colette menarik pelatuk senjata otomatisnya. Seketika itu pula peluru-peluru terlontar ke arah Stallza. Namun Stallza masih tenang di tempatnya.



Saat peluru yang ditembakkan Colette hanya berjarak beberapa langkah dari Stallza, jaring laba-laba dari bawah kaki Stallza tiba-tiba terangkat dan membungkus tubuh Stallza. Peluru-peluru yang tertembak itu menabrak jaring itu bagaikan menabrak dinding keras. Tidak ada peluru yang bisa menembus jaring itu sedikitpun hingga akhirnya peluru di senjata otomatis Colette habis.



"Sekarang giliranku," kata Stallza. Jaring laba-laba yang membungkus Stallza membuka dan membentang ke berbagai arah. Bagaikan hidup jaring itu melekat dan saling bersilangan, memenuhi seisi tenda dengan seluruh benang-benang logam yang berpendar biru langit. Kini Stallza dan Colette berada di dalamnya.



"Apa yang akan kau lakukan dengan jaring laba-laba ini?" tanya Colette. Dia tampak sedikit jijik melihat bentuk jaring laba-laba yang berada di sekitarnya. Dia mencoba melemparkan beberapa pisau yang dibuatnya dari udara kosong ke benang-benang logam yang berada di sekelilingnya, namun pisaunya hanya menancap pada benang-benang itu.



Stallza menjentikan jarinya. Pendaran pada benang-benang logam di sekelilingnya kini berubah menjadi kilatan-kilatan listrik yang berlompatan dari satu benang ke benang lainnya. Pisau-pisau yang dilemparkan Colette tampak bergetar hebat sebelum akhirnya meledak. Colette sendiri mulai tahu apa yang sedang terjadi saat ini.



"Jadi ini seperti jaringan kabel terbuka? Kau ingin menyengat semua orang sampai mati?" tanya Colette.



"Aku tidak tahu tentang kabel atau apapun itu. Tetapi kekuatan gabungan spiritiaku tidak akan membunuh orang. Paling-paling akan seperti Lucia Chelios yang kulumpuhkan tadi," kata Stallza.



"Maaf, tapi aku tidak suka diestrum," kata Colette. Gadis itu menggerakkan tangannya di sekujur tubuh, seperti sedang membuat sebuah baju.



"Aku tidak akan membiarkan itu," kata Stallza. Dia menunjuk sebuah benang logam dari belakang Colette dan menggerakkan jarinya ke arah gadis itu. Dengan segera benang itu melesat dan melingkar di tangan kiri Colette, tepat sebelum baju antilistrik buatan gadis itu sempurna. Arus listrik yang kuat mengalisr dari benang yang melilit tangan Colette, membuat gadis itu berteriak keras sebelum akhirnya tersungkur.



Suara-suara terkejut terdengar di sekeliling panggung saat tubuh Colette terkapar. Benang-benang yang dimunculkan Stallza mulai menghilang. Spritianya kembali ke bentuk kristal mereka dan tergeletak begitu saja ke tanah, termasuk Platin yang bergabung dengan dirinya. Stallza kembali tersungkur tanpa bagian tubuh bawahnya. "Apakah ini akhirnya? Tidak terjadi apa-apa di sini," kata Stallza pada dirinya.



"Selamat! Stallza memenangkan pertarungan! Sebagai hadiahnya, Stallza berhak melaju ke babak berikutnya. Segala kerusakan yang terjadi akan diperbaiki oleh penyelenggara. Sesuai jargon kami, tidak ada terluka di bawah tenda kami!" seru pria—yang menurut Colette—pemilik pertunjukan.



Di saat yang sama Stallza merasakan sakit yang tidak bisa dilukiskan dari bagian bawah tubuhnya. Dia berteriak keras hingga suaranya parau. Dia berpikir akan mati karena rasa sakit itu, namun perlahan-lahan rasa sakit itu menghilang. Sebagai gantinya Stallza dapat kembali merasakan kakinya. Stallza menopang tubuhnya dan melihat bagian bawah tubuhnya telah kembali utuh seperti semula.



"Dan sebagai bonus, sebuah celana baru untuk sang pemenang. Kita tidak ingin pemenang kita disebut orang mesum, bukan?" kata si pemilik pertunjukan yang disambut gelak tawa. Di saat bersamaan sebuah celana seperti yang dikenakan Stallza sebelumnya melayang turun.



Stallza tidak tahu apakah memang benar ada orang di luar lapangan atau tidak—sisi luar lapangan tampak gelap, hanya bagian tengah yang dipenuhi sorotan cahaya dari langit-langit tenda—tetapi Stallza tidak ingin tampil memalukan. Dengan cepat Stallza meraih celana yang melayang ke arahnya dan memakai celana itu. Dia melihat ke sekeliling, memeriksa apakah orang-orang yang bertarung dengannya ada yang menyadari kejadian memalukan itu. Tetapi tidak ada siapa-siapa di dalam lapangan itu selain dirinya.



Saat Stallza selesai mengenakan celananya dan mengumpulkan semua kristalnya, sebuah pintu lain terbuka.



"Silakan melewati pintu itu untuk kembali ke Devasche Vadhi. Semoga sukses, Stallza," kata si pemilik pertunjukan.



Stallza segera berlari menuju pintu itu. Suara tepuk tangan dan suitan menyertainya. Saat dia memasuki pintu, suara-suara itu seketika menghilang. Dia kembali ke lorong yang dilaluinya tadi. Lorong panjang yang gelap dan lebar, tanpa tahu apakah akan ada jalan keluar dari sana atau tidak. Stallza menoleh, ingin kembali ke tenda yang ditinggalkannya, tapi tenda itu telah menghilang, seolah bangunan itu tidak pernah ada sebelumnya di sana.



Stallza kembali menatap ke depan. Dalam kegelapan ini yang bisa diandalkannya hanya tangan kirinya yang memegangi dinding. "Lan, tunggu aku," katanya. Suaranya bergema di dalam ruangan yang gelap.



VII



Suasana di istana Thurqk dipenuhi kepanikan. Semua orang bermaksud mencari siapa yang telah menghancurkan salah satu ruang takhta sang dewa. Tetapi tidak ada yang bisa menemukannya.



Orang yang bertanggung jawab akan kerusakan itu kini telah berada di sebuah ruangan dengan dinding dihiasi kristal-kristal kecil berwarna-warni. Orang itu memakai sebuah jubah hitam dengan tudung yang menutupi kepalanya. Dia memandangi semua kristal itu, seakan mencari sesuatu. Dia tersenyum saat menemukan apa yang dia cari. Sebelas kristal yang terpasang mengelilingi sebuah kristal lain yang berwarna putih bercahaya. Dengan segera orang itu mengambil kesebelas kristal yang dicarinya. Namun kristal putih bercahaya itu membuatnya tertarik. Dia menyentuh kristal itu, dan dia segera menarik tangannya karena terkejut.



Air matanya mengalir. Dia kembali menyentuh kristal putih bercahaya itu. "Stallza," bisiknya. "Phosporosso, kita menemukan Stallza."



Orang itu adalah Lan. Dia menyibak tudung kepalanya. Rambut hitamnya kini berubah menjadi merah. Matanya yang hitam kini berwarna biru. Ada luka menganga yang menembus telapak tangan kanannya, harga yang harus sang putri bayarkan untuk memanggil satu spiritia yang pernah mengenalnya tanpa harus bersentuhan atau dekat dengan spiritia itu. Dan Lan memilih Phosporosso, spiritia yang dulu menjadi pengawalnya, yang kini melakukan spiritialis khusus bersamanya.



VIII



"Abby! Kenapa kau malah memperhatikan layar saat seluruh orang sibuk mencari pengacau di istana!" teriak Thurqk pada seorang anak gadis yang duduk santai sambil menatap deretan layar di dinding di depannya.



"Orang itu bukan masalah besar," kata Abby santai. Gadis itu menunjuk ke layar. "Sekarang ada sebuah babak yang dilakukan oleh peserta tanpa ada persetujuan darimu. Apa Nolan melakukannya dengan sengaja?"



Thurqk menoleh dan melihat para peserta yang tersisa di babak sebelumnya menghadapi dunia dari para peserta yang sudah dikalahkan. "Ini mirip babak pertama yang kurancang," katanya dengan nada datar "Membosankan." Matanya memperhatikan saat masing-masing peserta berjuang menghadapi dunia yang tidak pernah mereka kenali sebelumnya dan juga peserta-peserta yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Beberapa dari peserta yang selamat itu tampak kewalahan, dengan luka di sana-sini dan darah yang memancar di sana-sini. Thurqk tersenyum sombong. "Meskipun dengan anugerah makhluk penjaga dunia bawah yang kuberikan pada mereka, tidak ada satupun yang bisa dengan mudah lolos dari pertunjukan picisan ini dengan mudah?" Si dewa merah tertawa. "Mungkin melihat kematian mereka akan menghiburku sedikit," katanya.



"Bagaimana dengan pengacau itu?" tanya Abby.



"Gadis kecil itu tidak akan kemana-mana," kata Thurqk. Dia membuka tangannya dan menunjukkan sebuah kristal kecil berbentuk seperti air mata di tangannya. "Dia pasti peduli dengan sahabat karibnya ini, bukan?" katanya sambil menyeringai.



"Anda memang sangat kejam," kata Abby. Gadis kecil itu pun menyeringai. "Dan itu sangat bagus, dewa," katanya.



"Dan apa yang dilakukan si pahlawan sekarang? Oh, setengah badannya hancur! Luar biasa! Kenapa tidak terbayangkan olehku selama ini!" seru Thurqk sambil bertepuk tangan saat melihat tubuh Stallza hancur karena hantaman baton.





BINTANG TAMU:

  •           Colette Reves (pemilik dunia).
  •           Lucia Chelios.
  •           Carol Lidell.
  •           Nemaphilia.
  •           Reeh Al Sahr'a.

SPECIAL CAMEO:

-          Peserta babak 4 yang lolos, terutama Yvika dan Ursario.






15 comments:

  1. ini settingnya di dunia Collete ya? akhirnya ada yang panjang entrinya gak nyiksa saya.

    versi Stallza lawannya masih punya pikiran ya, jadi lebih banyak dialognya yang bikin seru, tapi kenapa di awal Stallza cuma fokus lawan Nema dan dua lawan lainnya pingsan lama banget, dan pas Nema kalah "kebetulan" sekali mereka sadar dari pingsan :v

    Saya gak terlalu ngikutin canon Stallza sih jadi gak terlalu ngerti cerita di bagian akhirnya, langsung nilai aja deh.

    8/10

    ReplyDelete
  2. Setelah semua ketegangan sama Thurqk secara berturut-turut di setiap ronde sebelumnya, baca inijadi berasa breather sebelum masuk ke finale ya. Di sini tensi canon Stallza seakan turun dan tidak setegang sebelum"nya. Tadinya saya pikir putri Lan bakal punya peran dominan juga di sini, tapi ternyata masih disimpan ya. Agak menyayangkan karena tadinya saya kira battlenya bakal beneran keroyokan, eh entah kenapa jadi 1v1 juga ujung"nya. Tapi bagus juga bikin setting berpenonton dan dialog dari mantan peserta yang masih punya kesadaran buat diajak bicara di pertandingan ini.

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. bener kata yang di atas, sayang lawan lima tapi battlenya 1v1.
      dan saya masih gak ngerti endingnya. yg direncanakan sintesis terakhir kok malah pakai Laba-laba petir doangan?

      Catatan: saya ngasih nilainya berdasarkan urutan Favor
      Nilai Anda
      ursario - 9
      claudia - 8.7
      Nurin - 8.4
      Yvika - 8.1
      Sjena - 7.8
      Sil - 7.5
      Stalza - 7.2
      Lazu - 6.9
      Salvatore - 6.6
      deismo - 6.3

      Delete
  4. Setelah membaca cerita pesimis peserta sebelumnya, saya seneng disajikan sama cerita battle intense-non-cerita yang keren ini. Nggak ada eksposisi dan cuma hint tentang jalannya Cannon Stallza.

    9/10

    ReplyDelete
  5. Well, sejujurnya Stallza adalah karakter yang saya favoritin untuk maju ke final, karena saya tertarik sama teknik bertarungnya yang manipulasi unsur-unsur kimia. Tapi di bagian ini sayangnya masih kurang banget penjelasan detailnya, jadi bingung ama jurus yang lagi dipake. Klo secara canon sih, entahlah, saya cuma tertariknya sama jurus-jurus pertarungannya. #plak

    So, saya titip nilai deh dengan harapan Stallza bisa maju dan pertarungannya makin saintifik. >__<

    9

    ReplyDelete
  6. Well...

    Battle cukup intense, tapi sayang kurang terasa chaos dalam 1 vs 5. Chaos dalam segi pertarungannya, bukan dalam segi penulisan~

    Lagi-lagi si Stallza ini terlalu kerasa imba bagiku, walau setengah badannya hancur, doi masih bisa bikin battle yang keterlaluan owsom...

    Score 8

    ReplyDelete
  7. First of all... Umi punya hutang banyak sama bang yatabe *orz (jangan minta traktir, umi belum kerja. Haram hukumnya nyiksa anak tak berpenghasilan xD)
    .
    Itu si bura harusnya sebutannya sebiji buka seekor xDwwkwkwk..
    .
    Who is exactly princess Lan? I guess, I've made a mistake by not reading your canon in the first place.
    .
    Mami yvika, apa yang kau lakukan padanya?
    .
    Bunga matahari di atas kepala stallza bikin umi kebayang badut bunga matahari yg sering nampil di detos xD wkwkwk
    .
    Jadi dirimu juga masukin teori psikologi tentang base knowledge dan knowledge updater. Hmmm menarik. Pada dasarnya manusia menilas sesuatu berdasarkan informasi yang dia ketahui dan informasi itu akan berubah seiring bertambahnya informasi yang masuk ke dalan dirinya xD persepsi.
    .
    Dan last : 9 out of 10. I like the impression xD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi kalau nanti ada penghasilannya bisa ditagih, kan? :v

      Saya menghormati si boneka dengan menganggapnya makhluk hidup. Saya baik, kan? :v

      Putri Lan itu semacam pacarnya si Stallza..... Oke, itu mungkin gambaran idealisme saya :v

      Yvika is hot momma, yo :p

      Dan bunga matahari itu milik Nemaphilia

      Base Knowledge.... Knowledge updater.... ane kagak ngerti, ukhti :'(

      Tapi terima kasih nilainya :3

      Delete
    2. Tidakkkkk..... yang lebih tua harusnya yang traktir yang muda :v

      jadi....
      .
      Base knowledge dan knowledge updater itu di kelas kecerdasan buatan XD
      .
      Ada satu teori otak manusia yang bisa diterapkan ke robot. Teorinya adalah bahwa otak manusia itu bekerja berdasarkan latar belakang pengetahuannya terhadap suatu hal.
      .
      misal, kakak belum pernah lihat umi, kakak akan membayangkan umi seperti apa yang ada di foto-foto umi. kakak sebut umi ukhti juga berdasarkan apa yang kakak pahami sekarang XD Umi sedang merepresentasikan sosok ukhti menurut defenisi ukhti-nya kakak XD
      .
      nah kita sebut itu base knowledge.
      .
      seiring dengan seringnya berinteraksi, informasi kakak mengenai umi pun berubah. persepsi kakak tentang umi juga berubah XD Bisa jadi beberapa bulan atau tahun lagi, kakak enggak lagi akan menyebut umi, ukhti XD wkwkwk,
      .
      nah yang itu disebut knowledge updater XD.
      .
      kalo kakak nonton chobits, saat dimana si robot pertama kali di reset sama si (aduh umi lupa namanya) itu dia menerapkan knowledge base. Semua hal dia anggap benar dan dia simpan di otaknya XD
      .
      dan seiring waktu dia terus menerus meng-update pengetaahuannya XD

      Delete
  8. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  9. Ursario : Buragh! C-curang sekali si Stallzey ini. Dia punya banyak spiritey!
    Ursula : Lebih banyak daripada jumlah kita semua digabung menjadi satu. Uhuhum. Tapi dia lumayan tampan juga.
    ...
    Lucia : Aku muncul ... dan mati. Sialan! Bikin kesal saja. Mana bir?!
    *Lucia langsung pulang dan main ke tavern*
    Reeh : Kembali hamba muncul. Sungguh popularitas yang semu.
    Nema : Bagus sekali. Jadi aku kalah, ha?
    Yvika : Sudah cukup di sini, Beary Squad. Ayo kita bergegas ke tempat lain.
    Baikai : Ada yang mau kerupuk?

    ReplyDelete
  10. kaget jg pas baca nema bisa keluarin sulur dari tanah, tp klo sulurnya dari rambutnya gpp sih x3
    benih bunga mataharinya mesti lepas dari kepalanya dulu sih baru bisa tumbuh, tumbuhnya kyk bunga matahari biasa cuman lebih besar aja :3
    pertarunganya dari awal sampai pertengahan seru kak, sayang bagian colette terkesan cepat banget matinya, stalza jg msh terkesan imba walopun ada bagian tubuhnya yg hancur
    tp endingnya lucu, penasaran juga sama canonya :)
    nilai 9

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -