July 29, 2014

[ROUND 4 - ANTABOGA] MAYOR YVIKA GUNNHILDR - JUST ANOTHER BITTER END

[Round 4] Mayor Yvika Gunnhildr vs Antaboga
"Just Another Bitter End"

Written by Herry P. Zulkarnaen

---

Betapa kehidupan manusia akan jauh lebih mudah bila semuanya hanya terdiri dari hitam dan putih, hanya ada baik dan buruk tanpa ada yang bimbang berada di antara keduanya. Tetapi rupanya Tuhan, Dewata, atau siapapun yang berada di atas sana lebih tertarik untuk memberi sedikit tantangan pada kehidupan manusia, karena kemudahan tersebut tak pernah ada.

Juga betapa indahnya kehidupan ini bila semua orang baik akan selalu bertindak baik, apapun situasinya dan di manapun mereka berada. Namun rupanya kehidupan tak selalu berjalan sesuai dengan yang kita inginkan, seringkali kita terjebak dalam situasi dan tempat yang mengharuskan untuk bertindak berlawanan dengan niat. Tak jarang kita dituntut untuk bertindak kejam demi untuk meraih tujuan akhir yang lebih baik.

Tak peduli sebaik apapun niatanku, itu tak akan pernah dapat menghapus dosa-dosaku atas semua nyawa yang telah kurenggut. Dan tak peduli sebaik apapun jasaku dalam membela negeriku, dari sudut pandang musuh aku hanyalah seorang keparat pembunuh yang telah membuat mereka kehilangan orang-orang terkasih. Yah, asalkan aku dapat bertindak demi kebaikan orang-orang yang kusayangi, tak mengapa walau tak segalanya tak selalu berakhir baik bagiku.


***

"Ivy… ka… lum… ma…"

Entah mengapa sejak kemarin kepalaku terasa sakit sekali, selain itu aku juga mulai mendengar potongan suara-suara seperti dalam radio yang statis. Apa mungkin tempat ini secara perlahan membuatku gila? Ataukah diriku yang mulai lemah hingga sampai mengalami degradasi otak?

"Ivy…"

Diamlah! Keluar dari kepalaku! Aku masih waras!

"Ivy…"

Ronde selanjutnya, kini aku dihadapkan pada sebuah lorong lebar yang menjadi bagian dari sebuah labirin besar. Makhluk merah yang menyebut dirinya Hvyt itu tak mengikutiku masuk ke lorong, ia hanya mematung dan membisu di tempatnya. Tentu saja ia tak akan masuk, kalau diberi pilihan akupun tak akan mau masuk ke tempat terkutuk ini.

Sambil berjalan perlahan ke ujung lorong kusiapkan senapanku dan membuka pengamannya, karena entah musuh seperti apa yang akan kutemui di tempat ini. Anehnya semakin jauh aku berjalan dari titik awalku, semakin kuat juga sakit di kepalaku.

"Ivy, apa kau dapat mendengarku?!"

"Siapa?!" tanyaku kepada pemilik suara itu sambil menodongkan senapanku ke segala arah, kucari terus sumber suara itu.

Secara logis aku seharusnya mundur sambil terus mencari sumber suara itu, tapi karena Hvyt di belakang sana mengancam akan membunuhku jika aku kembali, maka aku lebih baik tak bergerak di tempat ini. Terus dan terus aku mencari dengan ujung laras senapanku, depan belakang, kiri  dan kanan, atas dan bawah. Sampai akhirnya aku menemukan sosok samar dari seseorang yang kukenal sedang berdiri di hadapanku.

"Vincent?"

"Ivy, kau dapat melihatku!" ujarnya sembari berlari ke arahku dengan tangan terbuka.

Dua peluru kulepaskan secara reflek, satu di kepala dan satu di jantung, namun keduanya menembus sosok Vincent dan langsung bersarang di dinding. Seolah tubuhnya hanyalah pancaran hologram yang tak dapat disentuh. Sementara itu Vincent menoleh, ia bergantian antara menatap dinding di belakangnya dan diriku yang masih menodongkan senapan.

"Kau baru saja menembakku, kakekmu!" tukasnya sambil menunjuk kedua lubang peluru di dinding.

"Ya aku sengaja. Ngomong-ngomong, kenapa kau ada di sini, dan kenapa peluruku tak dapat melukaimu?"

"Kenapa kau ingin melukaiku?"

"Jawab dulu pertanyaanku, Vinnie!"

"Ivy, kau belum mati dan tak akan mati semudah itu. Memang kau terluka sangat parah dalam misimu, namun aku berhasil memperbaiki tubuhmu. Setelah tubuhmu kembali dalam kondisi baik kau tak kunjung siuman, aku yang sedikit khawatir mencoba menyelam ke dalam pikiranmu, tapi kau tak ada di sana. Seolah tubuhmu di Septimus hanyalah cangkang kosong tanpa jiwa. Selain itu apa kau tahu, kalau tempat ini bukanlah Neraka atau Surga? Kurasa makhluk bernama Thurqk itu juga bukanlah Tuhan. Aku—"

"Tunggu, tahan dulu! Apa maksudmu dengan 'memperbaiki tubuh'? Memangnya aku ini sebuah mesin?"

"Kau bukan mesin, Ivy, kau manusia. Hanya itu yang dapat kuberitahu untuk saat ini. Apa boleh kulanjutkan penjelasanku?"

"Terserah…"

"Ivy, aku tidak benar-benar berada di tempat ini, sosok ini hanyalah imaji yang kukirimkan langsung ke kepalamu," tambahnya lagi seraya menunjukkan telapak tangannya yang terbuka kepadaku.

"Saat ini gelombang otak kita menjadi satu, aku terpaksa mengkalibrasi ulang milikku agar dapat berbicara denganmu. Selain itu aku masih tak tahu mengapa atau bagaimana caranya jiwamu bisa berada di tempat ini dan menjadi nyata lagi dengan darah dan daging, tapi satu hal yang kutahu pasti, kau akan dapat kembali lagi ke Septimus dengan bantuanku bila kau mati di sini."

Kuangkat lagi senapanku yang tadi sempat kuturunkan, kutodongkan lagi larasnya ke arah sosok yang mengaku Vincent itu. "Dengan kata lain, maksudmu aku harus mati di sini agar dapat kembali hidup? Logika yang kau berikan terlalu aneh untukku, Vinnie."

Sosok Vincent di hadapanku menghela napas seraya mengangkat bahu. "Itu teoriku, dan belum tentu juga akan berhasil. Hei, aku sudah membaca semua isi kepalamu dan tahu apa saja yang sudah kau alami sampai saat ini, jadi aku sadar betul kalau kau tidak akan percaya kepadaku."

Tentu saja aku tak akan percaya begitu saja, karena bisa saja kau ini musuh yang sedang berusaha membunuhku.

"Aku bukan musuhmu," timpalnya atas pemikiranku.

Berhentilah menanggapi apa yang aku pikirkan! Selain itu, kalau kau memang bisa membaca seluruh isi kepalaku, maka kau seharusnya tahu kalau aku tak akan pernah memaafkanmu!

"Aku tahu, dan aku tak pernah mengharapkan kau untuk memaafkanku. Aku hanya melakukan yang seharusnya, yaitu menyelamatkan keluargaku."

***

Entah apakah dia yang asli atau bukan, tapi pertemuan kembali dengan pria keparat ini membawa kenangan yang tak pernah ingin kuingat lagi. Derasnya kenangan yang mucul seolah membawaku kembali ke masa itu, masa ketika pria itu tiba-tiba hadir dan merusak kehidupanku.

Sampai saat usiaku menginjak enam belas tahun, aku belum pernah merasakan kerasnya pertempuran atau pahitnya rasa kehilangan. Aku hanyalah seorang gadis biasa yang pergi bersekolah, bermain bersama teman-teman sebayaku, dan menjalani hari-hari yang membosankan sama seperti sebagian besar remaja lainnya. Aku menangis bila bersedih atau patah hati, aku tertawa bila sedang senang, dan akan salah tingkah bila didekati pria tampan yang kuidolakan.

Ah, betapa semuanya masih jelas bermain di kepalaku, kenangan yang terus saja diputar berulang-ulang bagai sebuah film. Masih dapat terdengar jelas tangis Katrina sahabatku, suaranya yang serak masih saja memohon akan nyawanya.

Tak sampai satu minggu setelah ulang tahunku yang keenambelas, aku disandera oleh Katrina sahabatku sendiri. Tetapi tindakan tersebut dilakukan bukan atas dasar keinginannya sendiri, karena pihak separatis Eydis telah menyandera keluarga Katrina lebuh dahulu. Akulah yang sebenarnya menjadi target, mereka butuh aku untuk mengancam dan melemahkan posisi ayahku di militer Eydis. Katrina dimanfaatkan karena kedekatannya padaku, jadi sebenarnya ia hanyalah batus loncatan, hanya alat untuk mendapatkan diriku dan ayahku.

Tapi rupanya kisah gadis remaja yang mampu menculik putri dari seorang petinggi militer hanya dapat terjadi dalam kisah fiksi, dan Katrina bukanlah seorang karakter dalam cerita fiksi. Ia gagal dan tindakannya diketahui oleh orang-orang ayahku sebelum kami berdua sampai di markas para separatis. Kami berdua dikepung oleh pasukan militer Eydis di pertengahan jalan dan terpaksa berlindung di sebuah toko kue, mereka tak akan melepaskan Katrina hidup-hidup bila ia tetap menyanderaku.

Aku tahu betul kalau Katrina bukanlah orang yang jahat, karena walau ia memiliki sebuah pistol, ia tak pernah menggunakannya untuk mengancamku agar ikut dengannya. Lalu mengapa situasi penyanderaan tersebut sampai terjadi? Itu karena Katrina menceritakan keadaannya kepadaku, dan aku kenal betul siapa ayahku. Ayahku adalah tipe orang yang akan mengorbankan satu demi menyelamatkan beberapa, jadi ia tak akan membahayakan nyawa orang banyak demi menyelamatkan satu keluarga saja. Namun di sisi lain, ayahku akan mengorbankan apapun demi keluarganya sendiri.

Itulah mengapa aku ikut dengan Katrina, agar ayahku memiliki alasan untuk menyelamatkan kami semua. Di toko kue itu aku bahkan sampai menyarankan agar Katrina membawaku pergi di bawah todongan senjata, hanya demi mencegah orang-orang ayahku dari ikut campur sebelum waktunya. Kalau dipikir lagi, mungkin semuanya memang bukan ide yang bagus. Tapi hei, itu ide terbaik yang dapat dikeluarkan oleh seorang gadis enam belas tahun tanpa pengalaman militer.

Kalau saja semuanya berjalan sesuai yang kuinginkan…

Tetapi tidak, segalanya tidak pernah berjalan mulus sesuai dengan yang kurencanakan. Vincent datang dan bertingkah sok pahlawan ingin menyelamatkanku, ia bahkan mengancam akan membunuh Katrina bila aku tidak dibebaskan dalam waktu tiga puluh detik. Siapa yang tidak mengenal Vincent, seorang legenda dari keluarga Gunnhildr yang masih hidup? Tentu saja Katrina mengenal namanya, ia bahkan langsung menangis ketika sadar Vincent mungkin akan menjadi lawannya.

Tiga puluh detik waktu yang diberikan kepada Katrina untuk membuat keputusan, namun tak sampai sepuluh detik kemudian usianya berakhir. Vincent mendadak sudah berada di hadapan sahabatku yang masih beruraian air mata, tangannya terentang ke depan dengan telapak tangan yang langsung menghadap wajah Katrina.

"Aku tak ingin mati, Ivy… Tolong aku, tolong selamatkan aku…"

Itulah kalimat terakhir yang berhasil lolos dari mulut sahabatku, sebelum api membungkus seluruh tubuh dan membunuhnya.

Saat itu aku ingat betul kalau aku langsung berlari menerjang tubuh sahabatku. Entahlah, mungkin secara tak sadar aku bermaksud menolong dan memadamkan kobaran api yang membakarnya. Aku masih ingat rasa sakit dan panasnya api yang juga membakar tubuhku, aroma daging terbakar milikku dan Katrina, dan suara teriakanku yang bercampur dengan suaranya.

Ketika aku kembali tersadar, beberapa bulan telah berlalu sejak kematian Katrina. Walau tak ada bekas luka satupun di tubuhku, tetapi luka yang dialami jiwaku tak akan pernah pulih, dan aku tahu kalau diriku tak akan pernah sama lagi. Butuh waktu beberapa bulan lagi setelahnya sampai kondisi mentalku benar-benar pulih, dan semua itu kulakukan tanpa menuruti saran ayahku untuk menghapus kenangan akan Katrina dan insiden tersebut.

Memang saat itu tubuhku seharusnya mengalami luka bakar parah, dan harus menjalani operasi pemulihan berkali-kali selama bertahun-tahun. Tetapi pada kenyataanya seluruh luka di tubuhku pulih dengan sempurna hanya dalam beberapa bulan saja. Ketika itu aku teringat akan cerita ayahku, kalau Vincent dapat memulihkan luka separah apapun pada siapapun, namun ayahku juga menceritakan kalau Vincent harus mengorbankan nyawa orang lain dalam prosesnya. Anehnya lagi, hanya Katrina yang tewas dalam insiden tersebut.

Hanya ada dua kemungkinan yang dapat terpikirkan olehku; antara Katrina masih hidup dan ia dikorbankan demi menyelamatkanku, atau Vincent melakukan sesuatu terhadap tubuhku. Apapun itu, hal tersebut telah memancing murka ayahku hingga ia mengusir Vincent dari Septimus.

Sejak saat itu aku bertekad untuk menjadi lebih kuat, karena aku tahu rasanya menjadi tak berdaya ketika ingin menyelamatkan seseorang yang berarti bagiku. Itulah alasanku mengapa aku memilih masuk ke militer.

***

"Kau tahu, aku sangat senang karena dapat menemukanmu, walau tak ada jaminan kalau aku dapat membawamu kembali."

Aku tak menghiraukan kata-kata yang keluar dari mulut Vincent barusan dan terus saja berjalan, karena gangguan emosi adalah hal terakhir yang kuinginkan di saat aku sedang bertarung.

"Kau kaku sekali, sama seperti Athelstan. Anak dan bapak sama saja."

Tolong aku, berhentilah bicara dan biarkan aku sendiri! Jangan seenaknya mengomentari apa yang kupikirkan dan keluarlah dari kepalaku!

Saat ini yang dapat kulakukan hanyalah terus bergerak, karena dua tembakan yang kulepaskan barusan sudah pasti terdengar oleh lawanku. Dengan terus bergerak setidaknya aku masih bisa memberi elemen ketidakpastian dalam pertarungan ini, dan kalau beruntung aku dapat lebih dahulu menemukan lawanku.

"Strategi yang bagus."

Demi Fuscienne, diamlah!

Sudah cukup jauh aku berjalan melalui lorong berliku labirin ini, dan kini lebar lorongnya semakin menyempit. Kalau dugaanku benar, maka seharusnya aku sudah semakin dekat dengan pusat labirin dan akhir dari tujuanku kali ini. Sementara itu dapat kulihat kalau Vincent masih berjalan mengikutiku dari belakang, mungkin lebih tepat kalau kusebut bahwa ia masih berada di kepalaku dan aku masih tak dapat mengenyahkan halusinasiku akan sosoknya.

"Ivy…"

Suara seorang wanita yang memanggilku barusan membuatku meningkatkan kewaspadaanku, suaranya berasal dari balik tikungan di depanku. Akupun segera berlari merapat ke dinding sebelum lorong yang berbelok, lalu kujulurkan ujung bilah pedangku untuk mengintip keadaan lorong yang berbelok.

Namun sosok yang kulihat di sana sontak membuat seluruh pertahananku rontok, aku mengenalnya, aku mengenal sosok yang memanggilku barusan.

Katrina…

Ia masih terlihat sama seperti di saat terakhir aku melihatnya. Rambut hitamnya yang lurus sepunggung dibiarkan tergerai, wajahnya yang kekanakan dan selalu tersenyum, matanya yang sipit dan terlihat seolah selalu mengantuk, juga tubuhnya yang agak gempal tidak seperti gadis remaja pada umumnya. Ia masih sama seperti Katrinaku yang dulu…

"Kau tentu sadar kalau Katrina sudah lama mati? Jadi tak mungkin dia adalah Katrina yang kau kenal."

Aku tak ingin mendengarnya, tolong aku Fuscienne, biarkan kata-kata Vincent barusan salah. Walau dalam sudut hatiku yang paling gelap aku menyadari kebenarannya, untuk kali ini saja aku berharap kalau gadis itu benar-benar Katrinaku.

Dua langkah kuambil untuk keluar dari persembunyianku, terdengar gemeretak dari senapan akibat kedua tanganku yang gemetar memegangnya. Aku masih dapat merasakan keberadaan Vincent yang membayangiku di belakang, tapi kali ini ia tak melontarkan sepatah katapun.

"Katrina…"

"Ivy! Aku senang sekali dapat bertemu lagi denganmu!" pekiknya dengan suara yang bergetar, kemudian ia langsung berlari ke arahku.

Logika menyuruhku untuk menodongkan senapanku dan menghentikan pergerakan gadis itu, tapi tubuhku malah merentangkan tangan dan menyambutnya dalam pelukanku. Dapat kurasakan hangat tubuhnya, dan gemetar tubuhnya sementara ia menangis terisak di pelukanku.

Katrinaku yang malang, ia pasti benar-benar ketakutan.

"Ivy, aku takut, aku takut kau akan membiarkanku mati lagi seperti waktu itu!" ucap Katrina di sela-sela tangisnya.

Betapa kalimat tersebut menusukku lebih dari tombak atau pedang paling tajam sekalipun di semesta ini.

"Maaf, maafkan aku," lirihku yang semakin erat memeluk tubuh Katrina. "Tapi kau akan baik-baik saja sekarang, karena aku ada di sini bersamamu."

"Kenapa, Ivy, kenapa kau meninggalkanku? Kenapa kau membiarkanku mati? Kenapa kau tetap hidup sementara aku harus mati?"

Sambil memegang kedua bahunya, aku mendorong Katrina secara perlahan dari pelukanku. Ia tertunduk menyembunyikan wajahnya yang masih terisak. "Katrina, apa maksudmu?"

"Apa aku memang pantas untuk mati?"

"Katrina…"

Aku ingin sekali memeluknya lagi, namun suara terkekeh dari gadis yang berdiri di hadapanku ini membuatku urung. Berikutnya tak pernah kuduga sama sekali, tiba-tiba saja Katrina mencengkeram leherku lalu mengangkat tubuhku dengan sebelah tangan.

"Kenapa kau tidak mati saja di tempat ini, Ivy?!"

Vincent benar, gadis ini bukan Katrina yang kukenal. Emosi telah membutakanku dari kebenaran. Ingin rasanya aku bertanya siapa dirinya yang telah mempermainkan kenanganku akan Katrina, namun aku bahkan tak dapat bernapas saat ini.

Kuangkat senapan di tangan kananku, lalu kutempelkan ujung larasnya tepat di kening gadis yang memakai wujud sahabatku ini. Kutekan pelatuknya tanpa henti, dan kumuntahkan timah panas secara bertubi-tubi ke wajahnya. Kemudian saat cengkeramannya sedikit melemah, kutendang wajahnya dan kugunakan sebagai landasan untuk bertolak menjauh.

Memang pendaratanku tidak sempurna karena aku jatuh terguling setelah itu, tapi setidaknya aku berhasil menjaga jarak dari gadis itu. Setelah berhasil pulih dari jatuh, aku segera berlari kembali ke arah tikungan sebelumnya untuk bersembunyi.

"Apa kau tahu, kalau senjatamu itu tak akan pernah dapat menembus kulitku?" raung suara Katrina yang tercampur dengan suara serak seorang pria.

Aku tak menjawab, lalu dengan senapan serbu yang siap memuntahkan timah panas aku kembali keluar dari persembunyian. Sial! Sepertinya peluru benar-benar tak dapat menggores kulit makhluk itu, karena tak ada sedikitpun luka gores pada wajahnya yang kutembak barusan.

"Siapa kau?"

Untuk sesaat makhluk itu hanya memandangiku dan tak menjawab, lalu ia mulai merobek kulit mulai dari kepalanya sampai kaki. Seakan sosok Katrina yang bersamaku barusan hanyalah kostum berwujud manusia.

"Ivy, sahabatku, hal itu tidak penting bukan? Aku yang di sini hanya bertugas untuk membunuhmu, jadi akan lebih baik kalau kita tidak saling mengenal. Hanya saja aku sangat mengenalmu, oh ya, aku sangat mengenalmu. Aku mengenalmu karena kepala ini dapat melihat isi kepalamu," tutur makhluk itu sambil mengusap kepalanya yang dipenuhi sisik.

Ya, sisik. Walau ia masih berwujud manusia, makhluk itu dipenuhi sisik di sekujur tubuhnya. Lalu kini secara perlahan sisik itu mulai menghilang, menampakkan wujudnya yang lain, wujud seorang pria dewasa tanpa busana.

Kulepaskan lagi satu peluru dari jarak yang aman tepat ke kepala makhluk itu, semoga saja ucapannya barusan hanya gertak sambal. Ia terjengkang, terguling, tapi segera bangkit kembali. Rupanya peluruku memang benar tak memiliki pengaruh terhadapnya. Lalu bagaimana caraku melawannya?

Makhluk yang kini menjadi lawanku itu lalu segera merangsek maju ke arahku, akupun sudah bersiap melemparkan granat cahaya kepadanya. Tetapi di luar dugaanku ia malah berhenti di tempat kulitnya teronggok barusan, kemudian ia melemparnya tinggi ke udara.

"Candrabirawa, tolong bereskan lawanku ini!"

"Vinnie, apa kau melihat yang kulihat saat ini?" teriakku saat menyaksikan adegan yang mustahil setelah lawanku melempar kulitnya.

"Kulitnya berubah mencadi semacam raksasa besi, ya aku melihatnya. Nanobot, kulitnya mengandung nanobot, mereka dapat terus menggandakan diri sendiri hingga mereka dapat merangkai diri dan memiliki bentuk yang solid. Aku dan Dietrich sudah lama bekerja sama mengembangkan hal semacam ini, dan dapat kubilang kalau kitapun telah berhasil."

"Hentikan ocehanmu soal eksperimen yang kau dan pria tua itu kerjakan! Aku hanya ingin tahu apa itu, dan bagaimana cara menghancurkannya?!" hardikku sambil terus berlari menjauh dari raksasa besi itu.

Namun rupanya tindakanku berlari sungguh sia-sia, raksasa besi itu memiliki mesin jet di punggungnya. Ia berhasil menyusulku hanya dalam beberapa detik. Aku menghentakkan kaki dan langsung menghentikan langkah, kemudian melompat mundur menghindari libasan tangan si monster besi. Tak kusangka perhitunganku meleset, aku sedikit terlambat dalam menghindar. Akibatnya tubuhku terserempet serangan si monster besi, aku terpelanting dan berputar hingga menubruk dinding labirin.

Ah, sakit sekali, kurasa ada sesuatu yang retak di dalam tubuhku…

Imaji Vincent berjongkok di hadapanku yang terduduk bersandar di dinding, lalu ia mengulurkan tangannya hendak menyentuh kepalaku. Kutelengkan kepalaku mencoba menghindar, dan Vincent pun menghentikan laju tangannya.

"Kau tak bisa mengalahkan kumpulan nanobot itu, tidak dengan tubuhmu yang di dunia ini, tapi bukan berarti tak ada cara mengalahkannya. Nanobot tak memiliki kecerdasan terintegrasi, jadi antara mereka dikendalikan seseorang, atau mereka dikendalikan kecerdasan kolektif buatan. Sangat mudah menduga nanobot lawanmu ini tipe yang mana, seperti yang kau lihat," tuturnya sambil menunjuk ke ujung lorong, di sana makhluk yang seharusnya menjadi lawanku sedang terdiam dan duduk bersila, "lawanmu tidak bergerak dan sedang fokus mengendalikan raksasa besi miliknya."

Menghindari serangan susulan dari si raksasa besi, aku segera berguling ke depan. Hampir saja tubuhku hancur seperti lantai yang terkena tinjunya. Kemudian segera kulesatkan lagi tubuhku untuk berlari, sambil memegangi rusukku bagian kiri. Akan kucoba langsung untuk menyerang lawanku selagi ia masih duduk terdiam.

Dengan pedang terhunus aku melompat setelah mengaktifkan gelang di tangan kananku, lalu berikutnya langsung kuayunkan pedang di tangan segera setelah aku muncul tepat di belakang targetku. Tetapi gagal, ia menangkis seranganku hanya dengan mengangkat lengan kirinya. Sama seperti senapanku, sepertinya pedangku juga tak akan dapat melukainya.

"Rupanya kau tidak pernah belajar, ya? Bukankah sebelumnya aku sudah bilang kalau isi kepalamu itu dapat terbaca jelas olehku, termasuk soal kakekmu yang saat ini sedang merasuki kepalamu dari tempat yang sangat jauh," ujarnya sembari bangkit dari duduk untuk berdiri menghadapku. "Apa kau yakin ingin melawanku langsung? Kau yang bahkan tak mampu mengimbangi Candrabirawa milikku?"

Tanpa menjawab pertanyaannya, kembali kuayunkan pedangku untuk menebas lehernya. Namun ia tetap tak beranjak dan langsung menerima seranganku seolah itu bukan apa-apa, dan seluruh lengan kananku menjerit sakit seperti baru saja menghantam tiang beton dengan tenaga penuh menggunakan pipa besi.

"Baiklah, Ivy, kuikuti keinginanmu."

Seiring dengan kalimat dari mulut makhluk itu, tiba-tiba saja wajahku menempel di lantai. Rasa sakitnya menyusul kemudian, terutama di tulang rusukku yang kini sepertinya remuk. Sesuatu menghantamku barusan, tapi aku tak sempat melihatnya. Semuanya berlangsung sangat cepat, aku bahkan tak merasakan sakit saat terkena hantaman tersebut.

Suara raungan keras mengembalikan kewaspadaanku, aku membalikan tubuhku yang terbaring untuk melihat.

Ah… ini gila! Kenapa? Apa itu? Ular, kenapa ada ular yang keterlaluan besar di dekatku? Apa ular itu yang menghantamku barusan?

"Kau yang memintanya, Ivy," ujar sang ular itu yang kini kepalanya mendekatiku.

Walau sia-sia, aku terus menembaki kepala ular tersebut. Walau sia-sia, aku terus menendang lantai demi menggeser tubuhku yang kini terlentang dan tak dapat bangkit. Memang sia-sia, karena kini ular besar itu menggigit lengan kananku yang memegang senapan. Gigi dan mulutnya yang besar sepertinya sanggup untuk menelanku utuh.

Kemudian dengan satu gerakan kepala dan tanpa melepaskan gigitannya, ia melemparku ke udara. Dapat kurasakan sakitnya saat kulit dan daging lenganku robek, akupun kehilangan tangan kananku sampai siku. Lalu selagi aku masih melayang di udara, jajaran gigi dan sepasang rahang yang terbuka lebar bersiap menyambutku di bawah.

Apa ini akhirnya? Apa ini waktunya aku mati sampai di sini? Sial, aku tidak ingin mati, aku belum mau mati di sini!

Dengan tangan yang tersisa, kuraih belati yang tersembunyi di betisku, lalu kuhujamkan ke langit-langit mulut si ular besar tepat di saat sebelum ia menelanku. Anehnya kali ini berhasil, belatiku menembus langit-langit mulut si ular. Kini terdengar raungan keras dari dalam mulut, dan guncangan hebatpun kurasakan.

Saat kukira ia akan melontarkanku dari mulutnya, tubuhku berhenti tepat di tepi mulutnya yang kembali terkatup. Beruntung aku sempat menggunakan kakiku untuk menendang mundur tubuhku kembali ke dalam mulut, atau barusan tubuhku akan terbelah dua dibuatnya. Sepertinya ia sedang berusaha melumatku di dalam mulutnya.

Kutendang tombol pada zirah pelindung lengan di tangan kiri, lalu kulepaskan granat tanpa pin dari genggaman. Yang terjadi berikutnya sesuai dengan yang kuharapkan, granatnya meledak hingga membuatku terpental dari dalam mulut si ular, namun perisaiku melindungiku dari ledakan maupun benturan saat terpental dan terjatuh.

Ular besar itu terus menggelepar di lantai dengan mulut yang berasap, dan perlahan wujudnya pun kembali menjadi pria yang kulihat sebelumnya.

Sementara ia sedang tak berdaya, aku harus menghentikan pendarahan di lengan kananku dulu! Sial, pandanganku mulai buram!

Dengan tangan kiri yang gemetar aku mulai sabuk celanaku, lalu mengikatnya di lengan kananku. Setelah itu kuraih pistolku, kumuntahkan semua peluru sampai tak tersisa lagi untuk kukumpulkan selongsongnya. Kugigit keras topiku saat semua selongsong panas itu kutempelkan pada luka lengan kananku, aku hanya dapat menahan suara teriakanku sambil meringkuk di lantai.

Tentu saja semuanya malah bertambah sakit, terutama tulang rusukku.

Akan kusiksa keparat itu!

Walau susah payah, aku berhasil merangkak mendekati lawanku yang sedang sekarat.

"Kelihatannya kau sangat menikmati racun saraf dari belati barusan," sindirku kepada makhluk itu yang kini terbaring tak berdaya di lantai.

"Namaku Anataboga, jangan lupakan itu, jangan lupakan nama dari semua nyawa yang kau renggut. Dan satu lagi," ujarnya seraya terkekeh, "apa kau tahu kalau aku bisa menghidupkan orang mati?"

"Kau ingin memohon agar nyawamu terselamatkan? Sayang sekali, aku tak memiliki penawar racun itu."

"Aku tak butuh pengampunanmu," tampiknya sambil menjentikkan jari, lalu sosok Katrina yang terlihat transparan pun muncul di sebelahnya. "Ingatlah ini, dengan membunuhku berarti kau juga menghilangkan kesempatanmu untuk kembali menghidupkan Katrina."

"Sudah mau mati masih saja membual, hah?!" geramku sambil menodongkan pistolku ke dalam mulut Anataboga, namun ia sama sekali tak bereaksi.

"Ivy, apa itu kau?"

Suara barusan memang cukup mengejutkanku, terutama dengan sosok Katrina yang mengucapkannya, tapi aku tak akan tertipu lagi!

"Ivy, kau banyak berubah, aku hampir tak mengenalimu lagi."

"Kau—kau Katrina?" akhirnya aku bertanya.

Gadis itu tak menjawab, ia hanya mengangguk dengan wajah yang terlihat sedih.

"Apa kau membenciku?"

Ia menggeleng perlahan. "Tidak… iya… entahlah. Aku hanya… Aku hanya ingin tetap hidup."

"Katrina, kalau makhluk di hadapanku ini mampu kembali menghidupkanmu, apa kau akan menerimanya?"

Kini ia terdiam, entah apa saja yang sedang berkecamuk dalam benak gadis itu. Jujur saja, kemungkinan itu sangat menggoda, bahkan untukku.

"Ivy, tolong katakan kepadaku, kenapa aku harus mati?"

"Kau tidak seharusnya mati, aku kehilanganmu karena kelemahanku sendiri. Aku yang dulu sangat lemah, aku bahkan tak sanggup menyelamatkan sahabatku sendiri. Kau pasti ingin sekali kembali ke kehidupanmu yang lama, akupun sama, aku sangat menginginkanmu untuk hidup kembali. Tapi maafkan aku, karena aku tak bisa membiarkannya. Yang sudah mati tak seharusnya kembali, mungkin sebaiknya akupun sama."

Bersamaan dengan kalimat terakhirku itu, kutarik pelatuk pistolku untuk merenggut satu nyawa lagi. Sosok Katrina yang menangis pun perlahan memudar dari hadapanku.

Maafkan aku…

"Vinnie, apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Untuk sementara aku tetap akan berada di benakmu, untuk melihat sejauh mana jejak kematian membawamu."

***

 Butuh waktu lama bagiku untuk merangkak sampai ke pusat labirin, dan sumpah kalau barusan semua rasa sakitnya nyaris membuatku hilang kewarasan. Mungkin sebaiknya dulu aku menerima saran ayahku, dan menghapus semua kenangan buruk itu. Tapi di sisi lain, kenangan itu adalah dosa yang harus selalu kupikul selama hidupku, hukuman yang harus kujalani di setiap tarikan napasku.

Ah, apa lagi ini? Aku tiba di sebuah ruang bundar yang sangat besar, sepertinya tempat ini adalah tujuan akhir labirin. Seberkas cahaya terang bersinar entah dari mana, dapat kulihat pula ada sosok manusia yang berdiri di tengah ruangan. Walau samar, sekilas sepertinya ia pria berkacamata.

Aku sudah sampai, tapi kenapa masih ada musuh yang menungguku di sana? Sial!

Kuraih pistolku dengan tangan kiri, lalu mengokangnya dengan cara kugigit.

"Baiklah, kalau kau juga lawanku, ayo maju sini sebelum aku hilang kesadaran!"

8 comments:

  1. Baru kali ini baca tulisan Yvika yang medium-length.. Saya cukup terhibur dengan kemunculan Vincent, tapi sebaliknya, kurang sreg sama penggunaan karakter Katrina di sini. Mungkin karena kebetulan dapet demon lawan yang begitu ya, jadinya Katrina di sini sekedar jadi plot device buat ngasih konflik batin ke Yvika.

    Nilai 7

    ReplyDelete
  2. Nice story!
    Emosinya dapat sekali. Dan sayang sekali karena kepolosan Yvika terenggout bersamaan dengan matinya Katrina.

    Saya bertanya-tanya, apakah sebenarnya semua yang terjadi sekarang adalah sebuah skenario yang dirancangkan Yvika sendiri? Jika kemungkinan si Vincent membuat Yvika berada dalam keadaan koma (atau mungkin vegetatif?) berarti ada dua hal yang terjadi (menurut saya). Ada satu orang yang dikorbankan demi membuat Yvika tetap berada dalam keadaan itu (mungkin ayahnya mengorbankan diri?). Yang berikutnya, semua siksaan dalam ronde-ronde ini sebenarnya mekanisme pikiran Yvika untuk menghukum dirinya sendiri atas dosa-dosa yang dia lakukan. Dalam artian mungkin Yvika tidak kehilangan dirinya yang dulu. Dia punya rasa penyesalan di sana. Kemungkinan ketiga adalah Thurqk memang nyata dan memanfaatkan rasa menyesal Yvika dan menciptakan pertandingan ini demi memuaskan harapan Yvika: menebus dosanya.

    Oke, cukup dengan teori konspirasi saya. Seperti yang saya katakan tadi, ini cerita yang bagus. Meski aksinya kurang (saya kurang peduli aksi, sih) tapi itu ditutupi dengan drama yang lumayan menghibur.

    Nilai akhir 8.

    ReplyDelete
  3. What the...
    To be continue!?
    Ini serasa nonton film di mana klimaks sedang terjadi, lalu dipotong begitu saja demi mendapatkan efek cliffhanger..
    DX

    btw, satu lagi teori bertambah tentang afterlife-nya Thurqk.
    Hubungan Yvika dan Katrina itu sempat berpikir kalo ini bakalan menjerumus ke Yuri XD **ditembak Yvika**
    (maafkan hamba yang senantiasa berpikiran mesum ini)
    m(_.._)m

    PoV 1 Yvika seperti biasa memberikan angin baru dari BoR ini ya, battle scene dari sudut orang pertama entah kenapa lebih sreg di hati, ketimbang PoV 3 yang sering terkesan membosankan untuk dibaca. Mungkin karena penulis bisa memasukkan apa yang char utama pikirkan di sepanjang cerita.
    :D

    Point : 8.5
    :3

    ReplyDelete
  4. whee~ tulisannya agak panjang tapi asik dinikmati :D
    Ngebaca skenario Yvika yang berbumbu drama lebih berasa feelnya XD
    tapi jujur ada emotional build yang mendadak kandas dan jadi cliche begitu si Katrina palsu mengucapkan kata2 kayak villain gt >.<
    padahal gw ngarep lebih ada unsur drama. But hey, kita bicara Mrs. Tough here dan pola logicnya itu justru yang gw suka dari dia :D
    anyhow... to be continuednya IMO berasa agak 'gimana gitu', bang Zoel T^T
    bukan berarti ga suka... tapi berasa masih ada ruang buat cerita >.<

    nilai: 8

    ReplyDelete
  5. well that end abruptly.

    despite the negativity of the drama.

    saya menemukan bahwa cerita ini memiliki action scene yang wow.
    dan masih sedikit bingung dengan ngototnya vincent nyamain Monster dengan Machinary.

    Final Verdict 8.4

    ReplyDelete
  6. this is well written, tapi entah mengapa saya kurang bisa menikmati adegan-adegan pertarungannya. saya ga terlalu ngikuti canon Yvika, tapi Vincent ini Vincent yang ikutan N2 yak? Nilai 7.

    ReplyDelete
  7. Anonymous3/8/14 15:43

    Po:

    Aku ngrasa konflik di sini agak dipaksa antara Ivy dan Katrina. Proses peralihan perasaannya belum berpindah dgn tahap2 yg jelas, padahal mestinya bisa ada buildup yg menarik tapi seolah buru2 pengen nyampe titik konflik.

    Utk battlenya sendiri nggak bisa kubilang jelek, tapi aku belum nemuin sesuatu yang khas pada diri si demon yg jadi lawan Ivy ini. Pertarungannya juga tkesan seolah Ivy gampang nemu solusi utk ngalahin si demon, dan entah kenapa kesan daruratnya kurang kerasa, beda dari entry2 Ivy sebelumnya.

    Nilai 7

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -