November 11, 2014

[ROUND 6] SJENA REINHILDE - NO HAPPY EVER AFTER, WELCOME TO REALITY

[Round 6] Sjena Reinhilde
"No Happy Ever After, Welcome to Reality"

Written by Bayee Azaeeb

---

[Sjena's POV]

Kalian mungkin pernah mendengar cerita seorang wanita yang begitu mencintai pasangannya, sampai-sampai ketika pasangannya mati, sang wanita membawa kepala pasangannya kemana-mana.

Sebuah konsep yang tak kumengerti, dan takkan pernah kumengerti.

Mencintai sampai mati, mencintai yang mati, mencintai kematian? Cinta itu sendiri adalah sebuah konsep yang tak pernah kutemukan di dalam dongengku. Sebuah kata yang tak bisa kutemukan di dalam kamusku. Oh, ceritaku hanyalah sebatas dendam dan kebencian.

Aku menghela nafas, beringsut di pojok ruang ini.

Tidak, terlalu luas untuk dikatakan sebuah ruang. Taman, bagaimana seharusnya ruangan ini disebut. Aku tak tahu ilusi macam apa lagi yang disajikan Thurqk, yang pasti aku sudah muak.

Haruskah aku maju?

Atau kembali? Tapi aku tak punya tempat untuk kembali.

Dia – Kilat, yang kuharap bisa menjadi tempat bersandar, hanyalah sekedar lalu di mata Thurqk. Tak lebih dari sekedar side dish, yang bahkan tak diperlukannya sama sekali.

Kuraba pipiku, mengingat bagaimana Kilat memukul wajahku. Tapi kenapa rasa sakit tak kurasakan di pipiku? Apa rasa sakit punya kemampuan untuk berteleportasi ke dada?


Tak usah konyol Sjena, kau merindukannya bukan?

Bahkan hatiku tak bisa kubohongi. Kukira aku sudah membunuhnya, dan membuatnya berhenti bersimpati. Namun tidak, dia masih hidup, berdenyut, berdebar dan merasakan pedih.

Nolan bilang, bahwa kristal-kristal jiwa itu bisa membebaskan semua peserta permainan ini kembali hidup.

Tapi aku tak ingin hidup kembali.

Aku bahkan tak ingin membebaskan kristal-kristal jiwa itu. Jika Kilat kembali hidup dan tak bisa ditemukan lagi, bagaimana aku bisa melihatnya lagi?

Apa yang harus kulakukan di permainan konyol ini, Kilat? Datanglah dan selamatkan aku dari labirin ini!

Aku meringkuk, memeluk lututku dan mulai tertawa. Sebuah tawa sarkastik dimana aku menemukan sebuah humor di balik penderitaan.

Aku bahkan tak tahu lagi apakah aku tertawa atau tidak, saat mataku mulai basah tanpa kusadari.

Biarlah waktu yang menjawab.


(* * *)
Claudia's POV

Aku dimana?

Claude, apa itu kau?

Aku dapat merasakan tubuhku dibopong seseorang. Namun kesadaranku memilih untuk menyamarkan dirinya dan membuatku tak berdaya.

Claude?

Dapat kudengar bunyi kerangkeng besi yang terbuka.

Sekilas, dapat kurasakan tubuhku terlempar dan terhempas ke lantai yang keras dan dingin.

Itu bukan Claude.

Saat kesadaranku kembali, samar-samar kulihat sekelebat bayangan berwarna merah tak jauh dariku.

Hyvt.

Ronde selanjutnya rupanya telah dimulai –

Dimana Claude?

Claude. Claude?!

Panik, aku mencari keberadaan Claude dengan kesadaran yang tak terkumpul sepenuhnya.

Kulihat Claude tergeletak tak begitu jauh dariku. Namun di dekatnya berkibar sebuah bayangan berwarna merah. Tapi aku tahu itu bukan Hyvt.

"JAUHKAN TANGANMU DARI CLAUDE!!!"

Aku reflek mematerialisasikan ruang tajam untuk menjauhkan bayangan misterius itu, namun tampaknya ia sempat menghindar. Secepat mungkin aku mematerialisasikan ruang kubus untuk melindungi Claude.

Bayangan itu masih tak bergeming. Seolah tak mengerti apa yang baru saja terjadi.

Aku berlari dan mengambil Claude dari lantai, lalu menatap tajam kepada bayangan misterius itu.

Seorang wanita berkulit tan, rambut hitam berantakan, bajunya compang-camping, begitu pula jubah merah yang ia kenakan bersama visor biru yang melayang misterius di sekitar bahunya.

Ekspresinya menunjukkan kebingungan yang mendalam saat aku memeluk erat Claude.

Lalu sebuah kalimat meluncur dari bibirnya.

"Apa kau mencintainya?"

Pertanyaan retorik.

Aku menatapnya lebih tajam, membuatnya yakin bahwa itu adalah pertanyaan terkonyol yang pernah ia ucapkan.

"Kau ingat yang dikatakan Nolan. Kalian ingin hidup kembali, bukan?"

Lanjutan dari pertanyaan sebelumnya kembali meluncur, dan kembali retorik.

"Iya" jawabku lirih.

Bibirnya yang dipoles warna gelap tersenyum tipis. Ah, aku mengenalnya! Sjena Reinhilde, wanita gila yang selalu tersenyum sinis. Dia yang dibicarakan orang-orang mampu membunuh dengan cara-cara stylish dan menyukainya.

Tapi senyumnya kali ini tidaklah sinis.

"Baguslah, kau punya alasan untuk melanjutkan permainan konyol ini," lanjut Sjena.

Tatapan matanya bertolak, dan pupilnya menerawang jauh entah kemana.

Setelah itu ia berjalan menjauhiku.

"Senang bertemu denganmu. Nona Claudia. Berikan aku waktu untuk mencari alasan kenapa aku harus melawanmu."

Aku tak pernah menyangka akan bertemu dengannya, dengan kondisi yang sangat-sangat berbeda dengan yang dikatakan orang.

Kuberikan dia sedikit ruang.


(* * *)


Sjena's POV

Aku tak ingat berapa lama waktu yang kuhabiskan di taman ini. Rumput hijau yang tak bergoyang bukanlah seseorang yang bisa kutanyakan. Kolam ikan kecil pun tak mampu mengetahui. Langit-langit palsu ini pun tak bisa memberikan jawaban.  Atas pertanyaan : Apa alasanku melanjutkan semua ini.

Hei, kemana perginya Sjena yang dulu?

Sjena yang selalu bersenang-senang, selalu melakukan permainan menarik, pembunuhan penuh aksi, atau sekedar kejahilan fatal.

Aku yakin penonton pasti kecewa melihatku. Tak hanya penonton yang berdiri di balkon atas, tapi juga penonton yang sedang membaca ini. Mereka yang mengharapkan sebuah hiburan, sekedar tontonan pembunuhan ringan, peneman kudapan yang sama ringan dengan nyawa kami.

>Ya

Dan teks laknat itu kembali muncul di benakku.

>Kau jadi membosankan, Sjena.
>Insert command_
>__
>[Take Over]

[Your character has changed. Please check game configuration]
[Your skillset has changed]
[You are now Ixephon]

(* * *)


Claudia's POV

Sebuah bola api meluncur dari kejauhan dan mengejutkanku. Aku memeluk erat Claude dan menangkis bola api tersebut. Aneh, aku tak pernah mendengar Sjena mengendalikan api.

Sebuah bayangan merah-kuning berkobar menyala, keluar dari sebuah pintu di ruangan yang dimasuki Sjena tadi.

Itu bukan Sjena. Atau, bukan lagi Sjena.

Seorang wanita yang memiliki postur sama persis dengannya, hanya saja warna kulit dan rambutnya sungguh bertolak belakang –

Belasan bola api meluncur tiba-tiba.

Aku membelokkan jalur bola-bola tersebut ke atas, tepat ke arah balkon dimana peserta lain berada. Namun bola-bola tersebut meledak saat membentur pembatas merah transparan yang membatasi balkon dengan gedung ini.

Beberapa peserta tampak mendongak dari balkon, penasaran dengan ledakan yang mereka dengar barusan.

Aku memotong jarak diantara kami, memastikan Sjena masuk dalam jangkauan serang.


(* * *)


Interception

Claudia mematerialisasikan bangun ruang tajam sebagai serangan pembuka. Sementara itu Ixephon mengaktifkan [Fire mastery : Blend] yang membuat tubuhnya menyatu dengan api, sehingga serangan-serangan Claudia tidak berefek sama sekali.

Ixephon kembali mematerialisasikan [Pistols] dan menembakkan bola-bola api.

Claudia menghindar dengan membangun ruang pijak dan berlari ke arah balkon melayang, sambil membelokkan jalur bola api lainnya.

Ixephon mematerialisasikan senjata lain, [Flame Thrower] yang sekiranya mampu menyemburkan api yang cukup besar untuk menutup ruang gerak Cla –

Namun sesuatu membentur kepala Ixephon sebelum ia selesai mematerialisasikan senjatanya, sesuatu yang solid. Tampak kepala Claude melesat kencang dan berbalik setelah menghantam kepala Ixephon. Rupanya telekinesis.

Claudia tersenyum menang dari kejauhan.

Ixephon menembaki kepala Claude, namun kepala itu seolah dilindungi ruang berbentuk kubus.

'Peluru Claude' kembali meluncur, kali ini mengenai Ixephon telak hingga ia terjatuh. Claudia kembali mematerialisasikan bidang tajam tepat di bawah Ixephon, yang akan menusuknya ketika ia mencapai tanah. Namun ternyata targetnya kembali menjadi api dan menulifikasi serangan Claudia.

Seketika, Ixephon meluncur ke udara dengan [Jetstream] di kakinya, menyerang Claudia dengan pedang oranye terhunus di tangannya.

Claudia membangun ruang kubus untuk melindungi dirinya dari tebasan Ixephon. Namun target Ixephon ternyata bukanlah Claudia, tiba-tiba saja pedangnya berganti menjadi pistol dan beberapa bola api meluncur ke arah Claude yang kini tak terlindungi.

Sementara Claudia berusaha keras membelokkan jalur bola-bola api tersebut. Ixephon telah berada cukup dekat dengannya dan berusaha menembus pelindungnya yang saat ini sangat sulit dipertahankan ketika konsentrasinya terbagi.

Namun Claude adalah prioritas Claudia, dia tak ingin Claude terluka sedikitpun. Jadi ia memilih untuk mengorbankan pelindungnya untuk melindungi Claude yang berada di ujung jarak jangkauannya.

Saat pedang Ixephon hampir menoreh luka di tubuhnya, Claudia sempat menukar arah tebasan Ixephon ke arah berlawanan. Lalu, menghilangkan pijakan di kakinya dan meluncur kembali ke tanah, meninggalkan Ixephon kebingungan di udara.

Hampir saja bola-bola api itu membunuh Claude, kalau saja Claudia tidak membelokkan jalurnya. Ia lalu berlari menuju kekasihnya.

Namun Ixephon tak berhenti mengejar, ia kembali meluncur dan menembakkan pistolnya dari udara.

>Finish her.

Saat bola-bola api tersebut hampir menabrak Claudia, dia menghilang begitu saja.

Teleportasi?


(* * *)


Sjena's POV

Aku kembali bertemu dengan kegelapan. Dia yang selalu setia ada di sini saat aku terbuang dari diriku sendiri. Membuatku lelah, menjadi terasing bagi kesadaranku sendiri. Dimana diriku diambil alih, hidupku digariskan seseorang, matiku di tangan setan. Tak ada jalan untuk maju, begitu pula jalan untuk kembali. Semua serasa percuma.

"Meong.." Sebuah suara menyadarkan lamunanku.

Mr. Kitty?

Aku berusaha mencari sumber suara itu. Tiba-tiba sebuah pendar cahaya kecil memecahkan pertemanan semuku dengan kegelapan. Dan di tengah pendar tersebut, seekor kucing hitam berdiri tegap dengan keempat kakinya. Bulunya lusuh dan luka di sana-sini. Badannya kurus, namun sorot matanya tak menyiratkan kekecewaan.

Dia berjalan mendekatiku, dan aku menyambutnya dengan tangan terbuka lalu memeluknya erat saat ia melompat ke pangkuanku.

Aku tak peduli apabila ini hanyalah ilusi, atau hanyalah bentuk dari alam bawah sadarku. Tapi perasaan ini nyata, aku tak ingin pergi dari sini. Kembali ke kenyataan dimana eksistensiku dipertanyakan.

Baru sekejap aku mengelus kepalanya, tiba-tiba dia melompat turun dan berlari.

Saat aku mengejarnya, tiba-tiba saja aku telah ada di depan sebuah bangunan (?) aneh. Aku tak tahu kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Ada begitu banyak gir yang melayang, berputar pada porosnya dan menjalin mekanisme rumit satu sama lainnya. Menjulang ke atas, dimana di atas tampak beberapa jarum jam yang ikut berdetak setiap detiknya.

Mr. Kitty melompat ke gir terdekat, dengan kakinya yang kuat, ia memanjat gir-gir tersebut dengan cekatan.

Ternyata Mr. Kitty tidak berubah.

"Haha, kau begitu suka memanjat, Mr. Kitty"

Kali ini tidaklah seperti di Heliopolis dulu, dimana aku pasti tertinggal olehnya saat memanjat pipa-pipa uap. Aku mematerialisasikan sayap  hitam dan terbang, lalu mengangkat Mr. Kitty dan menaruhnya di pelukanku.

Sesampainya di atas, aku menemukan seseorang yang tertidur di sebuah kursi yang terkurung di dalam medan magis.

Lagi-lagi seorang wanita misterius yang tak kukenal. Umurnya sekilas terlihat lebih muda dariku. Rambutnya hitam panjang terurai hingga ke lantai. Dengan banyak magic glasses yang melayang-layang di sekitar dirinya. Ia mengenakan pakaian yang mirip denganku, hanya saja tidak sehancur yang kukenakan.

Mr. Kitty kembali melompat, dan berlari ke arah wanita yang tertidur itu.

Seketika, medan magis tersebut pecah menjadi sebuah cahaya terang yang menyilaukan. 

Aku benci ini.

Ini adalah perasaan dimana gadis gondrong ini hanya akan merebut eksistensiku.


(* * *)


Claudia's POV

"Kau tahu apa yang terjadi pada Sjena, Eligor?"

"Aku tak tahu, yang pasti ada sesuatu yang mengendalikan Sjena di balik layar. Sesuatu – atau seseorang, yang berada di tingkat kesadaran yang berbeda dengan kita. Sebuah tempat yang – bahkan tak bisa dijangkau penyihir ruang sekelas Dullahan sekalipun."

Aku tak ingin tahu bagaimana Sjena bisa menjalin hubungan dengan makhluk ekstraterestrial seperti itu. Tapi keberadaannya cukup mengancam buatku.

"Kau punya rencana, Eligor?"

"Aku adalah pemimpin dari enam puluh legiun pasukan jiwa! Kalau ingin bermain jumlah, aku jelas tidak akan kalah! Lagipula, musuh kita cuma seorang. Kenapa kita harus menyusun rencana?"

Kata-kata Eligor ada benarnya. Tapi dari pengalaman terakhirku, enam puluh legiun pasukan jiwa tersebut mampu dibasmi hanya dengan empat orang. Dan apabila Sjena – atau makhluk ekstraterestrial itu mampu melewati ronde sebelumnya, tak terbayang seberapa besar kekuatannya.

Aku yakin pasukan jiwa ini takkan mampu.

"Tapi tak ada salahnya kita coba," kataku.

Aku membuka gerbang dimensi tertutup. Eligor mengibaskan tangannya dan mengacungkan tombaknya ke langit. Dan tiba-tiba keenam puluh pasukan jiwa tersebut muncul entah darimana. Memenuhi tiap koridor di setiap lantai.

Eligor lalu mengacungkan tombaknya pada Sjena yang masih melayang di udara dengan api pijar yang menyembur dari kakinya.

Sontak, keenam puluh pasukan jiwa tersebut menerjang dengan gagah berani.

Namun Sjena sama sekali tak bergeming. Api di tangannya berputar dan menyatu, membentuk sebuah objek yang cukup besar.

Sekarang!

Aku mengurung tangan kanan Sjena untuk membatalkan materialisasinya. Di saat yang sama, legiun pasukan jiwa menyerang Sjena serentak.

"Fire mastery : Ignite!!"

Saat Sjena meneriakkan kalimat tersebut, legiun pasukan jiwa tersebut terbakar oleh api yang entah datang darimana. Ini tidak mungkin, aku telah menyegel tangan Sjena dan membatalkan materialisasinya. Atau, kekuatannya tak hanya sebatas materialisasi!?

Dan api yang sama tiba-tiba muncul dan membakar lengan bajuku. Aku mengibas-ngibaskan lengan bajuku untuk mematikan api tersebut.

"Fire mastery …."

Ini berbahaya.

"Explosion!!"

Dan enam puluh ledakan menghabisi seluruh pasukan jiwa yang sebelumnya terbakar. Hampir saja nyawaku hilang jika saja Eligor tidak menyadari situasi dan membawaku kabur ke dimensi tertutup.

Aku menarik nafas lega.

"Aku sudah bilang, pasukanmu takkan mampu menahannya meski hanya sedetik," keluhku pada Eligor.

"Aku masih bisa memanggil mereka kembali. Toh mereka tidak bisa mati"

"Itu bodoh, Eligor. Apabila Sjena melakukan hal itu lagi, aku tak yakin bisa selamat dari enam puluh ledakan seperti tadi."

Berpikir, Claudia! Bayangkan dirimu adalah Claude, apa yang akan kau pikirkan! Kau bisa menjadi ahli taktik.

Aku melirik ke arah Claude yang sedari tadi masih di pelukanku. Melihatnya saja membuat semangatku kembali.

Berpikir, Claudia, berpikir.

Aku mendongak ke atas, melihat balkon dimana Thurqk dan peserta lainnya berdiri. Aku tentu tidak bisa menggunakan balkon itu untuk menghancurkan Sjena. Tak ada benda galaktik yang cukup dekat untuk ditarik. Tak ada apapun –

Hei, pembatas itu…. Tentu saja pembatas itu tidak ada di sana tanpa alasan.

"Eligor, aku punya rencana.."


(* * *)


Interception

>Insert command_
>__
>[Enable cheat]
[Cheat enabled]
[You are entering developer mode]

>Set player location [Ixephon] to [Closed dimension]

Wajah Claudia begitu terkejut saat Ixephon telah berada di dimensi tertutup buatannya. Ixephon menebaskan pedangnya tepat ke kepala Claudia. Namun Eligor datang lebih dulu, mendorong Claudia, dan menahan tebasan tersebut dengan tangan kosong.

Mengetahui bahwa Eligor makhluk abadi, Claudia tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyerang Ixephon dengan membangun ruang tajam tepat ke perut Ixephon. Namun serangan itu gagal karena Ixephon sempat mengaktifkan [Blend] sebelum ruang tajam itu menembusnya.

Namun dari titik buta Ixephon,  'Peluru Claude'meluncur dan menghantam tepat di akhir durasi [Blend], membuatnya menghempas lantai.

Claudia tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu, ia lalu kembali mematerialisasikan ruang tajam . Namun Ixephon lagi-lagi lebih cepat daripada Claudia, mengaktifkan [Jetstream] dan meluncur menyisir tanah sebelum tubuhnya berlubang.

Menyadari bahwa pertarungan jarak dekat adalah kemampuan utama Claudia, Ixephon terbang menjauhi Claudia dan kembali menembakkan bola-bola api, yang tentunya dengan mudah diubah jalurnya oleh Claudia.

"Apa rencana anda sekarang, Nona Claudia?" tanya Eligor.

"Sekarang bagaimana caranya memancing Sjena menuju lantai teratas. Pembatas itu tak ada di sana tanpa tujuan." Kataku.

"Tapi, Sjena tampaknya menyadari bahwa pertarungan jarak dekat tidak menguntungkan dia."

Claudia mengangguk dan berpikir.

Sementara itu Ixephon menyemburkan api raksasa dari [Flame Thrower] miliknya. Claudia berlari menghindari sapuan api tersebut yang menghanguskan apapun yang terlihat. Ia mengacungkan tangan kanannya, berusaha membelokkan arah serangan Ixephon. Namun tampaknya targetnya berada jauh dari jangkauannya.

Claudia berlari menerjang semburan api tersebut.

Sesaat sebelum api tersebut membakarnya, Claudia membuka pintu dimensi tertutup, berlari menembus searah semburan api tanpa diketahui Ixephon. Saat Ixephon masuk jarak serang Claudia, ia segera keluar dari lintasan semburan api, membuka pintu dimensi dan kembali ke kenyataan.

Ixephon segera menyemburkan apinya ke arah Claudia, namun arah serang Ixephon dibelokkan ke bawah, membuat Ixephon terkena apinya sendiri.

Namun tak ada tanda kesakitan dari Ixephon.

Claudia kembali menyerang dengan 'Peluru Claude' dari kiri, dan Eligor menerjang dari kanan.

"Flank attack!!" teriak Eligor.


(* * *)


Sjena's POV

"Akhirnya kau datang juga."

Gadis gondrong itu meregangkan badannya seolah baru terbangun dari tidur. Ia lalu bangun dari tempatnya duduk dan berjalan ke arahku. Magic glasses ikut melayang mengorbit di sekitarnya.

"Lain Jesheirden," ujarnya sambil menyodorkan tangan padaku.

Aku menatapnya sinis dan melipat tanganku di depan dada, menolak keberadaannya.

"Katakan saja apa maumu," ujarku ketus.

"Aku adalah penyihir waktu, yang melewati kematian demi kematian, bereinkarnasi setelah kematian menuju tubuh baru, untuk mencari seseorang."

Ya, apapun dongengmu aku tak peduli.

"Seharusnya aku telah mengambil kesadaranmu sejak lama, namun ternyata kegelapan telah mengambil ruang di hatimu dan membuatku jatuh tertidur lebih dalam."

Oh bagus, orang lain yang ingin merebut tubuhku.

"Apa kau pernah mendengar kisah Dullahan, yang mencurangi kematian?"

"Seolah aku punya hal lain untuk dilakukan. Ceritakan saja, lagipula aku tidak tahu sampai kapan berada disini."

Lain tersenyum tipis.

"Aku dulu hanyalah gadis biasa di sebuah kota. Aku punya hidup yang bahagia, sederhana dan bahagia. Namun semua berubah ketika perang dimulai. Kau mengerti bagaimana rasanya perang, bagaimana rasanya kehilangan, dendam dan amarah. Kita semua ingin melampiaskannya, bukan?"

Lain kembali duduk, kali ini di lantai.

"Duduklah Sjena," pinta Lain.

Aku pun ikut duduk di depannya, dan ia mulai melanjutkan ceritanya.

"Adalah dia, Haundall sang penyihir ruang. Orang yang menghancurkan seluruh kota dengan kibasan-kibasan tangan yang ringan. Saat dia datang, seluruh kota hancur tiba-tiba seolah ditimpa benda raksasa. Orang-orang menangis, berteriak, dan berlarian kesana-kemari. Namun tiba-tiba saja tubuh mereka berlubang, atau hancur berkeping-keping."

"Kedua orangtuaku mati di depan mataku. Tertimpa reruntuhan rumah. Mereka hanya bisa berbisik lirih, menyuruhku untuk segera lari dan menyelamatkan diri. Aku masih ingat bagaimana ibuku meraih tanganku dan berbisik di telingaku. Atau bagaimana ayahku tak bisa berkata apapun karena dia mati seketika. Kau tahu perasaan ini, Sjena."

"Awalnya kukira aku beruntung. Namun tidak, ketika aku keluar rumah, kukira aku sudah selamat. Lalu kulihat dia di kejauhan. Haundall yang terkenal itu."

"Amarah menguasai diriku, aku tak mampu berpikir lagi. Kulempar sebuah batu ke arahnya, namun batu itu terpental begitu saja. Lalu tiba-tiba tubuhku terseret tanpa sebab dan berhenti di depannya. Aku tak dapat melihat wajahnya. Sendi-sendi tubuhku terasa dipaksa untuk diam. Kepalaku dipaksa untuk menunduk. Bibirku dipaksa untuk diam.

"Dan..sesuatu menusuk perutku entah darimana. Tubuhku gemetar menahan sakit yang tak terkira. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi. Kurasa aku mati setelah itu."

"Aku berkelana sebagai arwah gentayangan entah untuk beberapa lama. Aku bahkan melupakan siapa diriku. Apa yang terjadi, semuanya."

"Lalu dia datang menjemputku, Sang Kematian. Terlambat, sungguh terlambat. Namun, disaat kukira aku akan dibebaskan dari memori menyakitkan ini dan menikmati waktu di surga, ia menawarkan sesuatu kepadaku. Sesuatu yang takkan bisa kutolak. Kekuatan untuk balas dendam."

"Sang Kematian menugaskanku untuk mencari Dullahan, pembawa pesan kematian, yang alih-alih menipu kematian dan membiarkan tubuhnya dicuri orang."

"Haundall, aku tahu itu dia. Dari memori yang ditanamkan Sang Kematian kepadaku, aku mengenalinya. Sang Kematian lalu memberiku kekuatan untuk mencurangi waktu. Namun dia tak bisa memberikan keabadian kepadaku, karena keabadian telah dicuri. Oleh karena itu, aku hanya bisa berpindah tubuh setelah mati, berpindah ke timeline lain secara acak, lalu lahir kembali.

"Seharusnya aku telah berpindah ke tubuh baru saat aku gagal mengambil alih tubuhmu dan kau membunuh dirimu sendiri. Namun ternyata timeline berkata lain. Kita sampai di sini, dan alasan kenapa timeline tak mengijinkanku untuk bereinkarnasi adalah..Haundall atau Dullahan berada disini, tepat di depan kita."

"Claude dan Claudia lah yang mencuri tubuh abadi Dullahan untuk mencurangi kematian."

Aku menepuk tanganku pelan, dengan wajah datar. Terserah apa dongeng yang diceritakan, aku tak peduli kisah gadis gondrong ini. Peduli setan dengan semuanya.

"Sjena, aku akan mengenalkanmu pada timeline."

Sekejap mata, aku telah berada di perpustakaan tempatku bekerja di Heliopolis.

Heliopolis? HELIOPOLIS!!?

Bau buku apek, debu, jalanan sepi.

Apa ini time travel?


(* * *)


Suara dentuman terdengar di kejauhan. Aku panik dan segera berlari ke rumah, berharap aku masih bisa menyelamatkan orangtuaku. Aku dapat mendengar dentuman-dentuman itu semakin dekat.

Dengan nafas yang hampir habis, aku sampai di rumah. Benar-benar sampai di rumah. Sebuah rumah yang tidak cukup layak disebut rumah, tapi cukup untuk disebut rumah selama ada keluarga disana.

Aku membuka pintu dan masuk.

Ayah dan ibuku sedang duduk di tempat tidur. Aku tak dapat menahan perasaanku. Aku berlari dan memeluk mereka, lalu menangis sejadi-jadinya.

Mereka berdua heran dengan apa yang terjadi. Aku pun tak menjelaskan apapun pada mereka.

"Ayo cepat keluar, perang telah sampai di sini!"

Saat kami akan keluar, kulihat sesuatu di jendela.

Misil.

Waktu seolah melambat saat misil menghancurkan jendela dan meluluhlantakkan rumahku, membuat seisi rumahku berterbangan, sampai akhirnya menabrak tembok dan meledak.

Aku tak yakin kami semua bisa selamat.


(* * *)



Claudia's POV

"Ignite!"

Ah sial, sihir itu lagi.

Tiba-tiba, api membakar bajuku dan Eligor entah darimana, namun untungnya Claude tidak terkena sihir ini.

Baik aku maupun Eligor tak menghentikan serangan, masih ada waktu sebelum dia melanjutkan dengan sihir berikutnya.

Sjena mengangkat tangannya, namun saat itu aku menghantamnya dengan 'Peluru Claude', dan saat dia kehilangan konsentrasinya, aku segera menyegel tangan dan kakinya.

Eligor menusukkan tombaknya.

Namun Sjena kembali berubah menjadi api dan langsung meluncur ke udara. Aku menarik Claude kembali. Aku tahu apa yang akan dilakukan Sjena selanjutnya.

Sjena mengangkat tangannya dan berucap.

"Explosion!"

Di saat yang sama, aku membuka pintu dimensi tertutup, meninggalkan api dan ledakan itu. Beruntung, properti sihir tidak terbawa ke dimensi tertutup. Meski tubuh ini abadi, tapi jika hancur karena ledakan maka aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Eligor hancur berkeping-keping. Namun sedetik kemudian, tubuhnya yang tercerai-berai terkumpul kembali. Jadi kurasa aku tak perlu khawatir dengan Eligor.

Aku membuka pintu dimensi dan kembali ke kenyataan. Lalu mengejar Sjena ke udara.

Namun Sjena bukanlah sasaranku untuk saat ini. Aku membuat pijakan sampai ke lantai paling atas, dan berdiri di balkon terakhir.

Aku mengacungkan tanganku ke arah balkon seberang.

"Fuuuuuuh!!"

Dengan telekinesis, aku menarik balkon seberang dan menutup aula ini. Sjena lalu meluncur ke balkon tempatku dan menembakkan beberapa bola api untuk menggagalkan telekinesisku.

Aku berguling kesamping karena tak sempat membangun medan pelindung.

"Sekarang Eligor!"

Eligor pun muncul dan menghujamkan tombaknya. Dan lagi, Sjena berhasil melepaskan diri dengan berubah menjadi api.

Ini saatnya!

Aku menyegel pergerakan Sjena dengan mengurung tangan dan kakinya. Dia takkan mampu melepaskan diri sampai sihir apinya bisa digunakan lagi. Kalau aku tidak cepat, maka dia akan menggunakan 'Ignite' atau kembali berubah menjadi api.

Ini pertama kali aku menggunakan ini.

Telekinesis pada manusia.

Sekuat tenaga, aku berusaha mengambil alih pergerakan Sjena. Tak semudah menggerakkan kepala Claude yang tak melawan, atau bahkan bulan yang berupa benda mati. Menggerakkan makhluk hidup sungguh sulit.

"Ignite!!!"

Sial, aku tak mampu mencegah pergerakan kecil seperti itu.

Bajuku mulai terbakar.

"Expl.."

Sekuat tenaga, aku menutup mulutnya. Namun karena resistansinya sangat kuat terhadap telekinesisku, jari kelingkingku sampai patah.

Aku meringis kesakitan, namun sebisa mungkin tak kehilangan konsentrasi.

"Hei Eligor apa yang kau lakukan!!?" Bentakku pada Eligor yang diam saja di sana.

"Ah maaf, aku tak menyangka aplikasi telekinesis seperti itu. Anda pintar berimprovisasi, Nona Claudia."

"Jangan diam saja, cepat lempar Sjena ke pembatas merah transparan itu!"

Api merambat dan membakar bajuku lebih cepat daripada yang kukira.

"Apa kau ingin menungguku sampai telanjang disini, hah!?"

"Explos.."

"DIAMM!"

Kali ini jari manisku patah satu.

Eligor mengambil ancang-ancang, lalu berlari di udara dan menghujamkan tombaknya pada Sjena. Lalu dengan sekali lontar, melempar Sjena ke pembatas merah transparan yang memisahkan kami dengan peserta lainnya di balkon melayang.

Sebuah ledakan hebat dan dengungan keras memekakkan telingaku. Sedetik kemudian, butir-butir merah turun dari udara seperti salju berwarna merah.

A-apakah aku menang?

[You are dead]


(* * *)


Sjena's POV

"Selamat datang kembali, Sjena."

Aku kembali melihat Lain di depan mataku. Aku meremas kerah bajunya dan menatap dengan tajam.

"Kirim aku kembali ke saat itu."

"Hahaha, Sjena. Berapa kalipun kau kembali ke sana, masa depan takkan berubah."

Tawa sinisnya menyakitkan. Saat aku akan memukul wajahnya, dia menghilang dan tiba-tiba saja ada di sampingku.

"Time Paradox, Sjena. Timeline telah melaju terlalu jauh untuk kau ulang. Apapun yang kau perbuat, kau takkan bisa memutar ulang timeline itu. Sekalipun kau menyelamatkan orangtuamu, kalian semua pasti akan tetap mati. Timeline tidak mengijinkanmu untuk selamat dari perang itu, selain membunuh leluhurmu sendiri."

Persetan dengan semua teori paradoksikal ini!

"Namun ketika timeline belum melaju terlalu jauh, kau masih bisa memutar ulang sebelum timeline menjadi paradox."

"Maksudmu?"

Lain tersenyum.


(* * *)


Claudia?

Aku melihat Claudia dengan ekspresi kesakitan, dan jari yang patah dua saat kulihat ia mengacungkan tangannya padaku. Saat aku ingin berbicara, kurasakan bibirku seolah tersegel, begitu pula dengan pergerakan bagian tubuh lainnya.

Tiba-tiba aku merasakan tubuhku seolah terhisap ke sebuah lubang hitam. Aku mengenali sensasi ini, sensasi yang sudah lama tak kurasakan.

[You have gained access to Time Magic : Time Travel and Time Magic : Teleport]
[You have opened Time Loop]

Sesaat kemudian, aku berada di balkon seberang, saat kulihat Claudia sedang menyegel pergerakanku – atau Ixephon. Aku mematerialisasikan sayap dan segera melompati balkon. Lalu mematerialisasikan pisau dan melemparkannya pada Claudia.

Claudia tak sempat menghindar saat akurasi konyol pisauku menancap di lengannya.

Lalu Ixephon tiba-tiba menghilang begitu saja.

[You have closed Time Loop]
[New timeline has set]

Aku turun ke balkon tempat Claudia, mematerialisasikan pedang hitam khasku dan menghujamkannya ke Claudia yang masih kehilangan keseimbangan.

Dan pedangku menancap tepat di perutnya secara diagonal.

Namun, sensasi yang sama kurasakan di perutku. Saat kulihat, kulihat perutku berlubang tanpa sebab.

Ah ternyata ini bentuk kekuatan Claudia.

"Tubuhku abadi Sjena, selamat tinggal.." Bisik Claudia sambil tersenyum.

Aku pun ikut tersenyum.

"Aku belum mati, bodoh."

Kami berdua sama-sama jatuh.

Saat kesadaranku menipis dan tubuhku melemas, kumaterialisasikan [Shotgun]

"Adios, Mademoiselle.."

Dan sebuah tembakan memecahkan kepala Claudia, memecahkan keheningan di antara kami, memecahkan angan-angan Claudia untuk hidup kembali bersama Claude.

Kesadaranku menghilang, darah segar mengalir dari perutku yang berlubang. Aku tertawa kecil saat kesadaranku sampai batasnya.



(* * *)


Lain's POV


Setelah sekian ratus loop, sekian ratus kehidupan, sekian ratus timeline. Aku bertemu dengan dia yang kucari. Seorang pria – yang kini tanpa kepala. Dia yang disebut Haundall, atau Dullahan. Pria dengan dua kepala dan tanpa kepala sekaligus.

"<Restore>"

Aku bangun dan mengembalikan kondisi tubuhku ke sejam yang lalu dengan sihir waktu. Dan di kejauhan, kulihat tubuh tanpa kepala tersebut juga bangkit. Berjalan ke arahku dengan langkah yang pasti.

(Kau punya sesuatu yang tampaknya kukenal.)

Suaranya muncul di benakku. Suara seorang pria di akhir tigapuluhan, berat dan dalam.

"Kematian mengirimku," jawabku.

(Namun aku tak ingin kembali kepada Kematian untuk saat ini. Biarkanlah aku sejenak membangun kembali keluargaku yang hilang.)

Keluarga yang hilang, dia bilang? Lalu bagaimana dengan keluargaku yang hilang!?

"Kau bercanda. Apa kau tak sadar telah berapa banyak keluarga yang kau hilangkan!?" Kataku dengan nada sedikit tinggi.

Haundall tak menjawab. Pun, tak satupun ekspresi tampak, karena ketiadaan kepala dan atribut ekspresi. Aku tak tahu apakah dia menyesal atau tidak.

Aku memanggil <Clockwork>, senjata yang diberikan Kematian kepadaku. Berupa belasan jarum jam sebagai pedang dan belasan gir sebagai tamengku.

Aku memerintahkan pedang-pedangku untuk melayang dan menghujami Haundall.

Diluar dugaan, seorang makhluk aneh muncul dan menahan hujaman pedang-pedangku.

"Tuan Dullahan, biarkan saya membantu anda!"

Namun sesaat kemudian, makhluk tersebut menghilang. Tampaknya Haundall tak ingin melibatkan siapapun di luar masalah ini.

(Maafkan aku Nona…Lain. Maafkan aku telah menghancurkan kotamu, dan membunuh keluargamu.)

Permintaan maaf itu membuatku murka. Sekali lagi, kuhujamkan pedang-pedangku ke arahnya. Namun ia menghilang tiba-tiba dan berada di belakangku.

Aku memutar ulang waktu ke lima detik sebelumnya dan menjauh sebelum Haundall berada di belakangku. Lalu kembali mengulang seranganku.

Namun Haundall menghindar, hanya terus menghindar. Sama seperti dia menghindari Sang Kematian. Dia yang curang, mencurangi kehidupan, mencurangi kematian. Dan sekarang dia ingin mencurangi permainan ini dan hidup bahagia selamanya.

"Mati saja kau, Haundall!!"

(Baiklah Nona Lain, kau tak memberiku pilihan lain.)

Saat pedang-pedangku melaju ke arahnya, ia mengacungkan tangannya dan memutar balik pedang-pedangku, lalu melemparnya ke arahku dengan telekinesis.

Aku memutar ulang waktu dan menghindari serangan tersebut dengan mudah.

Dia menjentikkan jarinya, tiba-tiba saja tubuhku sudah berlubang tanpa sebab. Sial, sihirnya sungguh tidak bisa diprediksi!

Aku mengembalikan kondisi tubuhku dengan <Restore>, dan membuat semua serangannya percuma.

(Oh, ternyata Kematian memberimu keabadian. Kurasa pertarungan ini percuma untuk dilanjutkan. Bagaimana kalau pertarungan ini kita tentukan pemenangnya dengan..Catur?)

"OH JADI BAGIMU INI SEMUA HANYA PERMAINAN, HAH!? BAGIMU SEMUA PEMBUNUHAN INI HANYA PERMAINAN BUATMU!? SEMUA DEMI HIDUP UTOPIAMU DAN KELUARGAMU, PERSETAN KAU PRIA EGOIS!!"

Aku mulai menangis dan menebaskan pedangku membabi buta. Bagaimana bisa, rasa kehilangan keluarga ini, di matanya hanyalah sekedar permainan. Hanya sekedar permainan, di mana dia bisa berbuat curang, anak-anaknya berbuat curang, dan hidup bahagia selamanya.

"MATI!!"                                              "MATI!!"
                "MATI!!"              "MATI!!!"
"MATI!!"
"MATIIIIII!!!!!!!"
"MATI SAJA KAU HAUNDALL!!!!!!"

"<Clockwork : Time Stop>!!"

Aku membentuk formasi jam dari senjataku, dan sedetik kemudian waktu terhenti. Semua pergerakan terhenti, udara berhenti berhembus, dan aku ingin nafas Haundall berhenti menghembus.

Aku berjalan mendekati Haundall dan menusukkan pedangku. Dengan senjata pemberian Kematian, keabadian pada dirinya akan musnah. Dan era kecurangannya akan segera berakhir.

Waktu pun kembali berjalan. Darah segar menyembur keluar seperti mata air yang baru ditemukan. Segar, dan memberi kehidupan – atau dalam kisah ini, memberi kematian.

Dia tak lagi melawan.

Tiba-tiba kedua tangannya menyentuh bahuku.

(Maafkan aku..)

Beribu maaf terucap pun takkan membuatku luluh –

Dia menyentuh pipiku tiba-tiba.

Dan berjalan mendekatiku, membiarkan pedangku menusuknya semakin dalam. Lalu dia memegang tanganku, dan menarik pedang yang menembus perutnya.

Aku tak tahu kenapa aku hanya diam.

Ya, diam.

Diam saja, saat dia memelukku.

Erat.

Dan meminta maaf sekali lagi.

Lalu tubuh tanpa kepala itu jatuh dan tak bergerak lagi.

Sebuah rasa bergelayut di hatiku, sebuah rasa yang menyakitkan. Dan sesuatu membuat mataku perih, dan nafasku sesak. Aku pun ikut jatuh, tertunduk, dan menangis. Entah menangis karena kemenangan atau kehilangan. Aku tak tahu.

Aku tak tahu..

Jawab aku, Kematian!

Dan di saat yang sama, Kematian datang menjemputku, mengambil kembali apa yang telah dia berikan padaku : kehidupan penuh dendam dan amarah.


(* * *)


Sjena's POV


Aku terbangun dengan kepala yang terasa ringan. Sangat ringan, bahkan terlalu ringan. Seolah sesuatu telah diangkat dari kepalaku. Sesuatu yang aku bahkan tak tahu itu apa.

Tiba-tiba sebuah bayangan merah menghampiriku.

Hyvt.

"Selamat Nona Sjena, anda telah memenangkan babak i –"

"Dor!"

Kuhancurkan kepalanya dengan [Shotgun].

Aku menang, tapi aku tak merasa senang.

Tak mendapat tenang, meski tak ada yang menghalang.

Mungkin hilang, adalah tempatku pulang.

Aku tertawa.

Aku lelah.

"Baiklah Kilat, semoga kita bisa bertemu di kehidupan selanjutnya.."

Aku membuka mulutku dan memasukkan moncong [Shotgun] ke dalam.

Dengan moncong pistol di antara gigimu, kau hanya berbicara dengan huruf vokal.

Aku tak bisa berpikir jernih.

Dengan lidahku, aku dapat merasa dinginnya Fake Fire buatanku. Untuk sedetik, aku melupakan Kilat, melupakan Thurqk, melupakan semuanya dan mulai berandai-andai, betapa bersih shotgun ini.

Peribahasa mengatakan bahwa kau pasti akan pernah menyakiti orang yang kau cintai. Well, begitulah yang terjadi padaku.

Aku tak lagi peduli pada Kilat.
Pada Thurqk.
Kehidupan.
Ataupun kematian.

Saat kubuka mata, kuharap aku ada di surga.

..di neraka juga boleh.

:D



=====(FIN)=====

-Author's note-

Ini adalah entry terakhir Sjena, karena bagiku dia udah nggak ada sense of belonging lagi di sini. Dan aku nggak bisa maksa dia untuk terus bertarung tanpa keinginan. Dan aku rasa ini akhir yang cukup pantas baginya.

Trivia :

- Ixephon merupakan anagram dari Phoenix
- Lain Jesheirden adalah anagram dari Sjena Reinhilde
- Nama Lain sendiri aku ambil dari tokoh utama Serial Experiment Lain
- Endingnya aku ngambil dari monolog di awal Fight Club

Terimakasih untuk semua yang udah ngikutin Sjena dari awal sampai akhir ini. Untuk semua kegilaan dan ketidakwarasan Sjena, breaking the 4th wallnya, atau keegoisan author. Ini semua hanyalah persona, jangan diambil hati.

Untuk terakhir kalinya, kutambahkan sebuah emote, bukan karena ingin terlihat akrab, tapi karena kalian adalah yang terbaik.

:D

6 comments:

  1. Finished...

    Harus dibilang saya puas baca ini. Mungkin bakal ada kesan 'nyambung"in' dengan kemunculan Lain dan sang Kematian, tapi rasanya cocok juga kalau ada pihak" yang dendam sama Haundall, dan bahkan saya ga kepikiran soal sang Kematian ngutus ngejar buat ngejar dia yang 'kabur'.

    Battlenya juga cukup intens, dan make multiple PoV yang saya suka namun sayangnya ga bisa diaplikasiin di entri saya sendiri. Mainan space vs time juga selaras sama poin pembuka entri r6 saya, duh. Jempol deh, saya jadi kepengen munculin si Lain juga, padahal kirain Ixephon udah cukup out of place, tapi sekarang jadi ada tiga varian dalam satu karakter.

    ReplyDelete
  2. - Grande -

    Nice ending. Somehow saya suka akhirannya bagaimana semua masalah diselesein. Battlenya solid.

    Good bye, Sjena~

    ReplyDelete
    Replies
    1. suicide is never an answer :')

      (pesan author pada sjena)

      Delete
  3. Anonymous2/12/14 10:53

    Po:

    - Emosi Sjena kegambar banget. Ironi pemikirannya juga kegambar bgt.

    - Pertarungannya simpel tapi intens, diksi dan pengaturan ketegangannya bagus. Tekniknya juga bagus.

    - Persona Lain dan Ixephonnya keren.

    - Haundall tergambar dengan sangat bagus, terutama di akhir tentang kecurangan2nya terhadap takdir, dsb.

    Kesimpulannya, ini adalah entry yang paling kusuka di R6. Meski mungkin ini adalah pernyataan WO, tapi aku akan tetap kasih nilai. 9.

    ReplyDelete
  4. ["MATI!!" "MATI!!"
    "MATI!!" "MATI!!!"
    "MATI!!"
    "MATIIIIII!!!!!!!"]

    Wow. Gila bagian itu kerasa keren banget :D Sjena the suicidal elite.

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -