July 29, 2014

[ROUND 4 - DUKE ELIGOS] CLAUDE & CLAUDIA - ACTUALLY, WE ARE AWARE WITH THE LIMERENCE

[Round 4] Claude & Claudia vs Duke Eligos (Eligor)
"Actually, We Are Aware With The Limerence"

Written by Sam Riilme

---

Author's Note

Highly advised to read the previous round before proceeding to read this one. Otherwise the content wouldn't make a connection.

*****

Behind the Curtain

'Pergantian pemain'.

Di dalam sebuah pertunjukan - baik itu teater ataupun olahraga - di mana sekumpulan pemain berlaga di depan penonton, selalu terbuka kemungkinan bahwa tidak selamanya pemain yang tampil akan benar-benar tampil secara penuh dari awal hingga akhir.

Seperti halnya pakaian yang kita kenakan setiap hari, para pemain dalam sebuah cerita pun dapat berganti.

Mulai dari sekarang, kita tidak akan lagi menemui sepasang kekasih yang berbagi satu badan dengan dua kepala.

Keduanya telah tiada.

Dan kini yang tersisa hanyalah sang pemilik tubuh yang sebenarnya.


*****

Opened Curtain

Aku masih ingat hari itu.

Hari di mana aku tidak hanya kehilangan sebuah kepala, tapi juga apa yang menjadi bagian dari kehidupanku seutuhnya.

Aku mungkin tidak sadar ketika aku menghancurkan sekian jumlah negara, tidak pula ketika aku kehilangan seluruh tenaga ditelan oleh kelelahan dan kesedihan, diarak oleh sekumpulan manusia untuk dihukum pancung sehingga tubuhku berpisah dengan kepala.

Ya, aku sudah mati.

Dan seharusnya aku tetap mati sebagaimana layaknya setiap mahluk yang bernyawa menemui akhir.

Tetapi iblis bernama Kematian memiliki rencana lain.

Aku termakan bujuk rayunya, membuat diriku sendiri terbelenggu dalam peran yang tidak akan membuat siapapun bahagia ketika menemuiku.

Aku adalah sang Pembawa Pesan Kematian.

Adalah tugasku untuk mendatangi mereka yang sudah dijadwalkan…atau dalam bahasa sang Kematian, 'ditakdirkan' untuk menemuinya dan berpindah alam.

Tentu saja, siapa yang senang bila tahu bahwa kehidupan mereka yang sementara harus berakhir hanya karena sang Kematian menghendaki demikian?

Terlalu banyak hal di dunia ini yang tak bisa manusia raih hanya dalam paruh waktu hidup mereka.

Karenanya, aku mengerti.

Aku mengerti bahwa kedatanganku ke setiap rumah mereka tidak pernah diinginkan.

Tapi setidaknya, kedatanganku akan memberi mereka waktu untuk memikirkan baik-baik, seperti apa mereka akan menghabiskan waktu yang tersisa hingga sang Pencabut Nyawa datang menjemput.

Mungkin mereka tidak bahagia. Mungkin mereka tidak siap. Mungkin mereka membenciku hanya karena aku ada.

Aku tidak keberatan. Semua ini memang salahku.

Dan aku semakin yakin bahwa ini adalah sebuah kesalahan, ketika aku datang membawa kabar buruk kepada dua pasang manusia yang tak pernah kukira akan kutemui dalam kehidupanku sebagai mahluk tanpa kepala.

Aku tidak mungkin salah mengenali darah dagingku sendiri.

Betapa mereka terkejut mendapati kedatanganku, dan betapa tersakitinya mereka karena aku telah menghancurkan puncak kebahagiaan yang nyaris saja mereka raih berdua.

Oh, andaikan saja aku masih memiliki mata, mungkin kembali aku akan membasahi bumi dengan airmata tak terhingga.

Claudelle, Claudiane... Apakah keputusanku membuat mereka hidup kembali tidak ada artinya?

Kalau saja aku menolak tawaran sang Kematian…akankah kita berlima berkumpul kembali di alam sana?

Aku tidak tahu.

Kayu telah berubah menjadi abu dibakar oleh waktu, dan penyesalan adalah sesuatu yang sia-sia.

Karena itulah, untuk pertama kalinya, aku mencoba menentang sang Kematian.

Harus kuakui ini adalah sebuah ide gila. Namun dengan ini, aku berharap aku telah menebus kesalahanku karena menelantarkan putra-putriku sendiri….dengan memberi mereka waktu sedikit lebih lama untuk terus bersama.

Selama mereka dapat menemukan kebahagiaan dengan memiliki satu sama lain, itu sudah cukup.

Semoga kalian tidak berakhir dengan menyisakan penyesalan sepertiku, wahai buah hati kami…

*****

First Half

-1-

Para malaikat merah bersayap hitam mengantar peserta permainan kematian menuju ke panggung berikutnya.

Setelah melewati kamar siksaan, kini para peserta yang lolos dari masing-masing ruangan tersebut dihadapkan dengan sebuah lorong yang entah akan membawa mereka ke mana. Satu-satunya penjelasan dari para malaikat merah bersayap hitam – Hvyt – adalah bahwa lorong di hadapan mereka sejatinya adalah sebuah labirin, yang di dalamnya telah menunggu beberapa sosok mahluk neraka, siap melawan mereka sebagai tantangan dari permainan kali ini.

Tugas setiap peserta kali ini adalah menghabisi mahluk neraka yang mereka temui dan sampai ke titik akhir labirin.

Agaknya sang dewa merah mungkin bosan mengadu sesama peserta lagi dan lagi, sehingga kini menyiapkan bentuk tantangan yang berbeda dengan sebelumnya.

Dari tempat berbeda-beda di mana mereka memulai, setiap peserta melangkahkan kaki menyusuri labirin yang luas, masing-masing dengan jalan pilihan mereka sendiri.

Salah satu 'peserta' yang masih melanjutkan permainan adalah sosok berjubah hitam-putih.

Sosok dengan dua buah kepala yang melayang-layang mengitarinya itu tampak ragu untuk maju, seakan tidak melihat bahwa menghadapi tantangan pemberian sang dewa merah adalah sesuatu yang perlu ia lakukan.

Dua Hvyt yang mengantarnya mungkin mengira ia masihlah sosok yang bernama Claude dan Claudia.

Sayang, mereka salah.

Karena ia adalah sosok ketiga yang bukan Claude Higglfiggr ataupun Claudia Neuntzmann.

Dengan demikian, secara teknis, ia bukanlah seorang 'peserta'. Tidak ada kewajiban baginya untuk mengikuti permainan dengan segala aturannya.

Meskipun ia memiliki kemampuan untuk memanipulasi ruang, Dullahan – begitulah sosok berjubah hitam-putih itu disebut – sejujurnya merasa tidak punya motivasi untuk menyelesaikan tantangan sang dewa merah, ataupun sebaliknya : keluar dan kabur dari tempat ini.

Alasannya sederhana.

Ketika masih berada di dunia mahluk hidup, ia telah menyerahkan raganya untuk dipakai oleh sepasang muda-mudi demi mengelabui sang Kematian, membiarkan mereka menikmati hidup bahagia menggunakan tubuhnya yang abadi lebih dari seabad lamanya. Meski mereka akhirnya mati, namun mereka dibangkitkan kembali untuk mengikuti permainan kematian berhadiah pengabulan permintaan. Naas, di permainan ini mereka kembali menemui maut, dan kini Dullahan terpaksa muncul ke permukaan, mengambil alih kembali tubuhnya yang tak lagi bertuan.

Singkat kata, ia tidak menganggap memiliki dirinya sendiri. Dengan berakhirnya kedua pasangan yang kini hanya tinggal kepala itu, berakhir pula perannya di sini.

Setidaknya begitulah yang ia pikirkan…

…pada awalnya.

Lama ia berdiam diri, ketika kemudian menyadari, mungkinkah sang dewa merah bisa menghidupkan kembali mereka yang sudah tidak bernyawa ini?

Dullahan memperhatikan dua kepala yang melayang mengitarinya, mengulurkan kedua tangannya untuk meraba pipi mereka seolah mencari jawaban untuk dirinya sendiri.

Ia tidak tahu bagaimana, tapi yang jelas, ia yakin sang dewa merah punya kemampuan setara dengan sang Kematian. Entah mereka berhubungan atau tidak, tapi dari alam bawah sadarnya, Dullahan mengamati bahwa dalam hal mempermainkan nyawa mahluk hidup, mereka hampir serupa.

Seperti anak kecil yang bisa dengan mudahnya melempar mainan lama dan mengeluarkan mainan baru dari sebuah rak berisi penuh dengan mainan.

Yah, mungkin tidak ada salahnya mencoba.

Toh ia sendiri sudah tidak punya kepentingan di dunia fana sejak melarikan diri dari sang Kematian. Ia tidak punya tempat kembali bila lari dari sini, jadi lebih bagus kalau ia mencoba melakukan sesuatu dan menyerahkan hasilnya pada nasib.

Dullahan pun beranjak dan mulai menyusuri lorong gelap yang terbentang di hadapannya.

Lentera yang terpasang di kiri-kanan dinding adalah satu-satunya sumber pencahayaan dalam lorong ini, membuat tempat ini sulit diamati dengan seksama bagi mata manusia biasa.

Tetapi Dullahan tidak melihat dengan mata. Bagaimanapun juga, ia hidup tanpa kepala.

Dullahan memiliki persepsi ruang tersendiri, yang membuatnya dapat memetakan posisi di mana ia berada seperti mengunduh data dari sebuah alat pemancar. Bahkan teknologi modern pun tidak bisa mengalahkan kemampuan Dullahan dalam menyusun informasi suatu ruang.

Hal inilah yang membuatnya ditunjuk sebagai sang Pembawa Pesan Kematian yang membawa pesan mengelilingi seluruh tempat di dunia – karena baginya, jarak dan batasan sama sekali tidak menjadi suatu penghalang.

Sejenak saja ia sudah tahu jalan mana yang harus ia lalui untuk mencapai titik akhir dari labirin ini.

Ia bahkan tidak perlu melangkahkan kaki seperti seorang manusia berjalan dengan menghabiskan energi. Yang perlu ia lakukan hanyalah mencari satu titik koordinat dan berpindah tempat, maka selesai sudah.

Dullahan mencoba memindahkan dirinya sendiri dari titik di mana ia berada saat ini menuju ke titik akhir labirin.

…dan ia gagal.

Untuk sesaat ia tak mengerti. Kemampuannya memanipulasi ruang seharusnya membuat ia dapat mengabaikan apapun terkait lokasi dan posisi, tetapi sesuatu yang tak bisa ia pahami seolah membuat halangan yang bukan merupakan jarak ataupun batasan.

Mungkin dunia ini bekerja dengan aturan yang berbeda. Mungkin ia tidak bisa memanipulasi ruang sebegitu mudahnya di dimensi yang dikuasai entitas tertentu seperti ini.

Mengambil kesimpulan sementara seperti itu, Dullahan pun terpaksa memakai opsi untuk berjalan kaki.

Setidaknya ia sudah tahu berapa kali harus berbelok ke kanan dan ke kiri selama perjalanan di dalam labirin ini nanti.

*****

-2-

Vishala Rashta.

Sebuah labirin raksasa yang terkira luasnya, ciptaan Thurqk yang maha segala untuk menantang para peserta.

Di dalam labirin ini, bersemayam beberapa mahluk penghuni neraka yang dipanggil oleh Thurqk, siap menguji mereka yang tengah mencari jalan keluar di dalamnya.

Salah satu dari mahluk neraka itu adalah Eligor sang Mata Badai Perang.

Menaiki tunggangan gagahnya yang setia – Abigor si kuda tulang – serta menggenggam erat senjata panjang kesayangannya yang berhiaskan motif timbul – Eligos si tombak ular–,  Eligor telah siap sedia menunggu di salah satu jalur menuju pintu keluar di pusat labirin. Di belakangnya, berjajar rapi barisan ratusan pasukan roh miliknya, siap memulai peperangan yang mampu meluluhlantahkan negara manapun.

Eligor sendiri adalah sosok yang tinggi tegap lagi mengintimidasi, kokoh bak sebuah patung, dengan mengenakan zirah tempur yang menutupi seluruh tubuhnya, seolah menyeru bahwa tidak akan ada yang bisa menyaingi kesiapannya dalam menyambut sebuah pertarungan.

Dengan penuh percaya diri, Eligor bergumam,

"Siapapun yang memilih rute ini pasti bernasib sial. Si merah Thurqk itu tidak bilang kalau pertarungan melawan jiwa-jiwa mainan barunya itu harus satu lawan satu, maka aku datang ke sini dengan membawa lengkap enam puluh legiun pasukan rohku! Mereka telah kusebar di setiap jalan buntu dan perpotongan jalan dalam rute labirin yang menuju pintu keluar jauh di belakangku. Sekalipun ada satu jiwa yang mampu menghabisi sekian pasukan yang kusiapkan, mereka pasti telah menghabiskan cukup banyak waktu dan tenaga hanya untuk bisa sampai di hadapanku!"

"Tuan, kau bicara pada siapa?" tanya Abigor si kuda.

"Ssst, dia memang senang membicarakan isi kepalanya sendiri," tukas Eligos si ular. "Biarkan saja dia bicara panjang lebar, toh tidak ada yang wajib mendengarnya."

Tak menghiraukan ucapan kedua partnernya, Eligor masih saja terus berbicara,

"Huahahaha! Datang ke hadapan dungeon boss dengan HP dan MP yang sudah terkuras tanpa kesempatan menyembuhkan diri atau save point, aku tak sabar melihat tampang putus asa siapapun yang kita hadapi nantinya!"

"Tapi Tuan Eligor," potong Abigor tanpa mengindahkan perumpamaan RPG yang dibuat oleh tuannya, "Bagaimana kalau siapapun peserta yang lewat rute ini sudah terlanjur dikalahkan terlebih dahulu oleh pasukan yang Tuan tempatkan di setiap sudut labirin?"

"Sssst, tidak perlu ditanggapi," Eligos balas menjawab. "Dia pasti justru lebih senang kalau tidak ada yang lewat sini atau mereka yang lewat sini keburu kalah duluan sebelum sampai ke depan kita. Jadi dia bisa santai-santai saja sampai si merah itu bilang tugas kita sudah selesai."

Perkataan Eligos ada benarnya.

Sekalipun menyandang julukan 'sang Mata Badai Perang', pada kenyataannya Eligor hanya senang menciptakan dan memanipulasi peperangan, bukan terlibat langsung di dalamnya. Ia menganggap perang sebagai hiburan belaka, sebuah tontonan besar layaknya seseorang menonton pertandingan akbar sepakbola setiap empat tahun sekali.

Di bumi, sudah tidak terhitung berapa kali manusia dihasut olehnya, membuat api peperangan tersulut dengan berbagai alasan. Cinta, kekuasaan, harta, pengkhianatan, tanah air, harga diri, alasan kepentingan sentimental ataupun duniawi, selama itu bisa menciptakan kebencian di antara sesama, maka Eligor dengan senang hati akan menyulapnya menjadi sebuah peperangan.

Manusia sungguh mahluk yang bodoh.

Memang sudah tugas setan untuk menghasut manusia pada kesesatan hingga hari akhir. Namun Eligor tidak habis pikir, kenapa sepertinya sepanjang masa, manusia tidak pernah kehabisan alasan untuk merenggut nyawa sesamanya?

Meski bodoh, hal itulah yang membuat manusia mahluk yang menarik dan tidak membosankan.

Setidaknya, bahkan hingga zaman modern di mana manusia merasa sudah memiliki etika dan adab yang berkembang sekalipun, Eligor masih bisa menyebar benih perang.

Bila tidak dengan senjata, maka dengan pikiran. Bila tidak dengan pedang ataupun pistol, maka dengan kertas dan alat tulis. Bila tidak dengan fisik, maka dengan perasaan.

Apapun konfliknya, Eligor akan selalu ada untuk menyaksikan. Asalkan konflik itu tumbuh subur menjadi sesuatu berskala besar.

Karena itu pula, sebenarnya Eligor kurang tertarik dengan gagasan melawan satu peserta permainan Thurqk. Kalau boleh memilih, ia lebih ingin mengerahkan pasukan miliknya untuk diadu dengan pasukan malaikat merah bersayap hitam milik si dewa merah.

Tapi apa mau dikata. Sebagai mahluk neraka, sudah barang aturan harus tunduk pada penguasa alam baka.

Dan saat ini penguasa tersebut adalah Thurqk.

Sekarang dipikir lagi, Eligor tidak ingat sejak kapan Thurqk menjadi penguasa di alam baka. Rasa-rasanya ada sesuatu yang luput dari ingatannya antara sejak ia menjadi mahluk neraka dengan sejak Thurqk menjadi penguasa.

Tapi apa?

"Ah, tidak masalah," ujarnya pada diri sendiri. "Toh aku masih bisa berbuat sesukaku di muka bumi. Tidak ada bedanya aku ingat atau lupa satu hal yang aku tidak tahu penting atau tidaknya."

"Tuan Eligor."

"Hmm?"

Untuk kali pertama sejak mereka tiba di labirin ini, barulah Eligor mendengar panggilan kuda tunggangannya.

"Saya bukannya ingin mengganggu racauan – maksud saya, renungan – Tuan Eligor saat ini… Tapi kelihatannya kita sudah kedatangan tamu."

"Sssh, seorang lawan… Muncul juga sosok yang kelihatannya tangguh…" desis Eligos menambahkan.

Eligor menatap lurus ke depan.

Di hadapan mereka saat ini, berdiri sesosok (Laki-laki? Perempuan? Eligor tidak yakin) berjubah hitam-putih dengan dua kepala, pria dan wanita, yang melayang-layang mengitarinya.

Sosok itu tampak acuh tak acuh melihat Eligor dan ratusan pasukan yang berbaris di belakangnya.

"Mustahil!" adalah kata pertama yang keluar dari mulut Eligor. "Bagaimana mungkin ia bisa melewati puluhan legiun pasukanku yang kusebar di dalam labirin secepat ini!?"

"Dan dia tidak tampak tersesat atau terluka sama sekali," Abigor ikut menyerukan kekagumannya. "Tuan, kelihatannya sosok di hadapan kita bukan orang yang bisa dianggap remeh."

"Sssh, antara dia orang yang sangat kuat, atau orang yang sangat beruntung. Yang manapun itu, akhirnya kita bertemu lagi dengan lawan yang sepadan setelah sekian lama."

Eligor menghentakkan kaki, mengisyaratkan Abigor sang kuda untuk maju beberapa langkah ke depan.

Eligor mengacungkan tombaknya, memperlihatkan taring Eligos di mata tombak yang seakan siap menerkam sang lawan.

Menarik napas dalam-dalam, Eligor kemudian berkata dengan suara yang membahana,

"Selamat datang, wahai ksatria. Namaku Eligor sang 'Mata Badai Perang', komandan dari enam puluh legiun jiwa! Kuhargai perjuanganmu untuk tiba di hadapanku. Namun sayang sekali, takdir mempertemukan kita di persilangan ini. Sebelum kau gugur, kuberi kau kehormatan untuk menyebutkan namamu, hei jubah hitam-putih!"

*****

-3-

Meski sudah tahu isi labirin ini di luar kepala (hei, tapi dia memang tidak punya kepala!), Dullahan tidak pernah menyangka kalau ternyata labirin ini begitu meriah di dalam.

Di setiap persimpangan yang ia lalui, selalu ia temui pasukan tentara dengan tubuh seperti orang tidak punya raga. Kehilangan warna kehidupan, yang mereka lakukan setiap Dullahan tiba adalah menyerang membabi buta seperti binatang kelaparan.

Seingatnya Hvyt bilang kalau dia diharuskan melawan salah satu setan penghuni neraka sebelum bisa menuntaskan labirin ini. Tapi kalau jumlahnya ada sebanyak ini, setan yang mana yang dimaksud?

Tidak ambil pusing, Dullahan pun melenyapkan setiap pasukan kelam nan suram yang ia temui tanpa kesulitan berarti.

Satu, dua, tiga… Dullahan tidak menghitung berapa kali ia melawan pasukan ini, yang muncul lagi dan lagi seperti monster random dengan encounter rate tinggi. Setidaknya ia yakin ia sudah menempuh jalan yang benar, jadi ia menganggap pasukan yang ia temui di tiap belokan hanyalah kerikil jalanan belaka.

Dan kini sampailah Dullahan di hadapan sosok yang mengaku sebagai pimpinan dari pasukan transparan ini.

Berarti, dia yang bernama Eligor ini adalah setan yang harus Dullahan basmi?

"Oi, mahluk rendahan! Kau ini tuli atau apa? Cepat sebutkan namamu kalau masih ingin mati meninggalkan nama!"

Dullahan menatap sosok dalam zirah besi yang tampaknya tengah menggerutu.

"Atau kau sudah tak sabar untuk bertemu para penjaga neraka? Kalau begitu biar aku—"

(Dullahan. Kau bisa memanggilku dengan nama itu.)

Eligor tersentak ketika mendengar suara yang muncul entah dari mana.

"Siapa itu!?"

(Ah, maaf. Kau pasti kaget, ya. Aku berbicara dengan meminjam ruang pikiranmu. Pernah dengar istilah 'telepati'? Anggap saja seperti itu.)

Mendapati bahwa lawan bicara di kepalanya saat ini adalah orang yang sama dengan yang berada di hadapannya, Eligor berusaha menyembunyikan keterkejutannya dengan berdehem pelan.

"Hum. Tidak suka membuka mulut, eh? Tidak masalah bagiku," ujarnya. "Baiklah Dullahan, seperti yang kau lihat, di belakangku ada ratusan tentara yang siap meregang nyawa bila kuminta demi menghabisi musuh yang ada di hadapan mereka. Kalau sudah sampai sini, kau pasti tahu betapa gigihnya para prajurit ini dalam pertarungan, bukan? Asal tahu saja, yang kau habisi sepanjang jalan ke sini adalah prajurit level rendah, sementara semua yang hadir di sini adalah prajurit level elit! Satu saja dari mereka setara dengan puluhan orang biasa! Dengan pasukan seperti ini, sudah tidak terhitung berapa negara yang berhasil kubuat bertekuk lutut ketika menghadapiku. Kalau kau ingin menyerah, aku sarankan kau untuk—"

(Terus? Apa aku harus kagum dan berkata 'wow', begitu?)

Eligor mendelik sesaat.

Ucapannya terhenti, dipotong oleh suara asing yang melintas seenaknya di dalam pikirannya saat ini.

(Boleh kita mulai saja? Aku sudah bosan berkali-kali bertemu prajurit yang tampak hidup segan mati tak mau bawahanmu itu. Kalau yang di belakangmu itu sudah semuanya, sini, biar kuhabiskan mereka tanpa sisa.)

Dengan geram, Eligor segera mengangkat tombaknya tinggi-tinggi seraya memberi aba-aba pada pasukannya.

"SERAAAAAANGG!!!"



"Aah, Tuan Eligor terlalu mudah terprovokasi seperti biasanya," keluh Abigor melihat pasukan sang tuan berbondong-bondong maju menyerbu lawan.

"Ssssh… Karena itulah dia mudah sekali menyulut perang di mana-mana," sambung Eligos. "Aku yakin dia tidak pernah sadar kalau sebagian besar perang disebabkan oleh masalah yang ia timbulkan sendiri, seperti sekarang ini."

Walau begitu, Abigor dan Eligos tetap menemani tuan mereka di tempatnya. Sebagai komandan, Eligor justru tidak ikut maju ke depan, tetapi diam tak berpindah tempat agar dapat mengamati pergerakannya pasukannya dari belakang.

Prajurit pertama sudah mengadakan kontak dengan si jubah hitam-putih.

Prajurit itu mengayunkan pedangnya, namun dengan lihainya Dullahan menghindar.

Datang prajurit berikutnya, kali ini puluhan jumlahnya.

Mereka melepas formasi barisan dan menyerang dari berbagai arah, akan tetapi entah bagaimana sekali lagi Dullahan lolos begitu saja dari kepungan mereka.

Barisan berisi ratusan prajurit lainnya juga tidak tinggal diam.

Mereka tidak hanya bersenjatakan pedang. Tombak, panah, pelontar api, gada besi, segala macam senjata terayun, meletus, menghantam, satu sosok hitam-putih yang yang seolah tak dapat disentuh seperti seorang hantu.

"Apa yang sedang dia lakukan?"

Eligor mengamati dari kejauhan. Memang, sejauh ini pasukannya tidak berhasil mendaratkan satupun serangan pada Dullahan. Namun sebaliknya, orang yang membawa-bawa dua kepala terbang itu juga tidak terlihat melancarkan sebuah serangan pada pasukannya.

Tapi itu tidak berlangsung lama.

Ketika akhirnya Dullahan berhenti bergerak, Eligor baru sadar posisi Dullahan saat ini.

Tepat berada di depannya.

"—sejak kapan!?"

(Sebanyak apapun pasukanmu, mereka cuma <pion>. Setangguh apapun dirimu, kau cuma <raja>. Tidak peduli seperti apa keadaannya, selama kau berada di ruang yang sama denganku, maka <skak>.)

Dullahan mengangkat salah satu tangannya ke arah kepala Eligor, dan—

"Tidak secepat itu!"

Dalam satu jentikan jari, mendadak Dullahan kembali terkepung oleh pasukan roh milik Eligor.

"Teleportasi, eh? Pantas saja kau bisa dengan mudahnya melewati mereka. Tapi asal tahu saja, aku juga mampu memunculkan pasukan rohku di manapun, kapanpun, sesuka hatiku! Kau tidak akan bisa menyentuhku sebelum menghabisi mereka!"

"Uwaah, rasanya ucapan itu terdengar pengecut sekali, tuan…"

"Sssshhh… Tapi yang tadi itu benar-benar hampir sekali…"

Dullahan menatap sekitarnya.

Ia kira ia sudah cukup menyembunyikan kemampuannya, tapi ternyata Eligor ini cukup cermat juga hingga bisa menebak apa yang ia lakukan sedari tadi.

Kalau memang sudah begini, kelihatannya tidak ada salahnya melayani para cecunguk ini sebelum menemui hidangan utamanya.

Dullahan membuka kedua tangannya lebar-lebar ke arah samping.

Seketika itu pula kedua kepala yang melayang mengelilinginya berhenti di depan dan belakang tempat ia kini berdiri.

Dari kedua tangan Dullahan, muncul dua buah lingkaran hitam, perlambang ketiadaan.

Lingkaran hitam yang tampak begitu besar. Begitu pekat. Begitu….hampa.

"Ma, mau apa dia?"

Eligor – yang kini sudah mengambil cukup jarak menjauh dari Dullahan – tampaknya tercengang dengan kemampuan yang ditunjukkan oleh sang lawan. Tetapi apa yang terjadi pada detik berikutnya segera membuatnya kehabisan kata-kata.

(Lenyaplah.)

Tanpa aba-aba, kedua lingkaran hitam tersebut menyedot seluruh pasukan Eligor bagai debu.

Dalam satu hisapan kuat tanpa ampun, setiap pasukan roh yang ada di sepanjang labirin tempat mereka berada satu-persatu ditelan oleh ketiadaan.

Dalam hitungan detik, labirin yang sebelumnya tampak ramai dan luas mendadak berubah menjadi kosong melompong lagi sunyi senyap.

Dullahan menutupkan kedua telapak tangannya di depan dada, dan hilanglah kedua lubang hitam barusan.

Tanpa wajah yang dapat dilihat oleh Eligor di balik tudungnya, Dullahan kelihatan sama sekali tidak perlu meneteskan keringat barang setitik pun untuk menghabisi ratusan pasukan yang begitu Eligor banggakan sepanjang hidupnya.

Sebaliknya, Dullahan bisa melihat dengan jelas kepanikan yang timbul pada diri Eligor.

(Sekarang kau tahu kalau tidak ada gunanya melawanku, tuan 'Mata Badai Perang'.)

Kini hanya tinggal mereka berdua yang tersisa.

(Selanjutnya, giliranmu.)



Lebih tepatnya, yang tersisa adalah empat alih-alih dua, bila menghitung Abigor dan Eligos yang masih menemani tuan mereka Eligor meski tanpa pasukannya.

"Teleportasi, lubang hitam… Bagaimana kita akan menghadapi lawan seperti ini, tuan?"

"Ssssh… Ini sih benar-benar seperti gajah melawan semut rasanya."

Eligor sendiri tidak yakin apa yang dapat ia lakukan.

Ia perlu waktu untuk berpikir. Ia perlu waktu untuk menyusun strategi.

Semua ini terlalu tiba-tiba—

Dullahan tidak memberi kesempatan untuk mengulur waktu lebih lama.

Ia kembali mengarahkan tangannya kepada Eligor, dan dalam sekejap saja, kepala sang ksatria berzirah tiba-tiba sudah berpindah dari tubuhnya ke tangan Dullahan.

"—!? Apa-apaan ini!?"

(Sayonara.)

Tangan Dullahan yang memegang kepala Eligor ia ayunkan ke samping, sehingga kepala Eligor disambut oleh tangan lainnya yang tengah terbuka lebar.

Dan pecahlah kepala tersebut. Mempertemukan kedua telapak tangan Dullahan tanpa penghalang di antaranya.

Seperti sebuah balon meletus, yang tersisa hanyalah kepingan-kepingan karet dan udara yang tersebar ke mana-mana.

Hanya saja karet dan udara itu digantikan oleh darah dan daging.

Selesai sudah.

Eligor, ksatria berzirah yang menjadi penunggu rute labirin ini, kini telah mati.

Sekarang yang perlu Dullahan lakukan hanyalah berjalan menuju pintu keluar dari labirin ini…

*****

-4-

Tiba-tiba sesuatu terayun dengan kecepatan tinggi ke arah kepala Dullahan.

Ia melompat ke belakang untuk menghindar, dan tanpa sengaja, tudung dari jubah hitam-putih milik Dullahan pun tersingkap, memperlihatkan sosoknya yang tanpa kepala.

Dullahan mendapati sosok Eligor yang ternyata masih bergerak di atas kudanya meski tanpa kepala. Persis seperti dirinya.

Oh, tidak. Dalam beberapa saat kemudian, bayang-bayang hitam kemudian membentuk sebuah kepala baru yang tersambung dengan tubuh Eligor, bahkan lengkap dengan helm yang seragam dengan baju zirahnya.

Ya, singkat kata, Eligor hidup kembali.

"Hiiii–––!! Kepalanya tidak ada?!"

Dan entah kenapa justru Eligor yang pertama menyerukan keterkejutan atas apa yang ia lihat saat ini.

(Oi, oi. Kenapa kaget melihatku seperti melihat setan begitu? Bukankah seharusnya kau – mahluk neraka – yang jadi setannya?)

Dullahan menutup kembali tudung jubahnya. Setidaknya sekarang Dullahan tahu kalau Eligor memiliki kemampuan regenerasi instan yang serupa dengannya.

Apakah Eligor juga abadi? Kalau setan yang satu ini tidak bisa mati, bagaimana ia dapat 'mengalahkan'nya?



Eligor tidak tahu bagaimana caranya menghadapi sosok yang ada di hadapannya.

Dullahan tidak tahu bagaimana caranya mengalahkan sosok yang ada di hadapannya.



Dalam keadaan seperti ini, tidak ada yang memilih untuk berdiam diri.

Dullahan segera membuka salah satu telapak tangannya. Kali ini ia kembali menciptakan lubang hitam yang siap menyedot Eligor.

Namun Eligor sudah mengantisipasi serangan Dullahan yang satu ini. Dengan cepat ia memacu Abigor untuk berlari, dan dalam sekejap saja mereka sudah menutup jarak dengan Dullahan.

Menurut pengamatan Eligor, jurus lubang hitam yang dilancarkan oleh Dullahan memang sangat kuat, tapi memiliki titik lemah : mereka hanya menyedot ke satu arah.

Sebagai bukti, ketika menggunakan jurus ini sebelumnya, baik Dullahan maupun dua kepala yang mengelilinginya tidak ikut tersedot sama sekali.

Maka Eligor berpikir, langkah pertama yang perlu dilakukan ketika melawan seseorang seperti Dullahan adalah menutup jarak sedekat mungkin.

Benar saja. Eligor lolos dari hisapan lubang hitam, dan Dullahan pun tampak segera menutup tangan ketika mendapati Eligor sudah berada di sampingnya alih-alih di depannya.

"Kena kau!"

Dari atas pelana Abigor, Eligor segera melancarkan tusukan kilat ke arah Dullahan.

Eligos dengan taring di ujung tombak dengan sigap menerkam salah satu kepala yang mengelilingi Dullahan.

Ya, ini adalah salah satu kesimpulan yang Eligor tarik dari pengamatan singkatnya.

Kedua kepala manusia yang mengelilingi Dullahan sejauh ini tidak terlihat memiliki fungsi apapun, namun entah kenapa selalu ia jaga agar tetap berada di dekatnya.

Maka Eligor menyimpulkan, kedua kepala itu pastilah merupakan titik lemah dari si mahluk tanpa kepala.

Taring Eligos menembus kepala yang menjadi targetnya tanpa ampun.

Akan tetapi…

"Guukh!?"

Eligor tidak tahu kapan tepatnya ketika kepala yang ia incar bertukar posisi dengan kepalanya sendiri.

"Tuan!"

"Ssssh! Aku tak sengaja!"

Eligos cepat-cepat menarik taringnya dari kepala sang tuan. Meski mengenakan helm besi, taring-tombak Eligos begitu kuat hingga mampu melubangi helm milik tuannya tersebut. Segera setelahnya, kepala Eligor berpindah tempat kembali ke tubuh si empunya.

"Tuan! Kau tidak apa-apa?" tanya Abigor khawatir.

"Aku tidak apa-apa. Untungnya serangan yang bersifat fisik tidak akan melukaiku," jawab Eligor menenangkan diri.

"Sssh… Kalaupun kau mati, toh kau akan langsung hidup kembali. Yang tadi itu kecelakaan, bukan salahku, ya…," ujar Eligos menambahkan.

Sambil mengusap-usap helmnya yang berlubang, Eligor melihat kalau kini Dullahan telah berpindah tempat dengan membuat cukup jarak di antara mereka.

"Kelihatannya tidak ada pilihan lain," Eligor kemudian berkata. "Kita akan gunakan 'ITU'."

"'ITU'? Maksud Tuan, jurus 'ITU'?"

"Ssssh… Kapan terakhir kali kita memakai jurus 'ITU'? Kurasa memang sudah saatnya, ya…"

Eligor mengangguk pelan, kemudian mulai menyiapkan sesuatu.



Sementara itu, beberapa belas meter di depan Eligor, Dullahan menarik diri untuk menganalisa apa yang bisa ia lakukan untuk mengalahkan Eligor.

Dari pertukaran singkat yang mereka lakukan dalam pertarungan ini, setidaknya ada dua poin penting yang menjadi pikiran utama Dullahan terhadap Eligor.

Pertama, lawannya ini sangat cepat tangkap. Meski belum benar-benar berhasil mendaratkan serangan pada Dullahan, Eligor kelihatannya dapat memahami apa yang dapat ia lakukan untuk menghadapi lawan seperti Dullahan. Benar-benar veteran perang yang cekatan, suatu kemampuan yang berguna dalam peperangan melawan sosok asing.

Kedua, lawannya jelas-jelas tidak bisa dibunuh. Dullahan menghancurkan kepalanya, dan dia masih hidup. Ia tertusuk senjatanya sendiri, dan dia masih hidup. Dullahan memang belum mencoba apa efeknya bila Eligor tersedot lubang hitam, tapi melihat bagaimana tubuh Eligor terbentuk kembali, kemungkinan besar itulah yang akan terjadi.

Lalu bagaimana ia bisa mengalahkan setan ini?

Dullahan berpikir sejenak.

Tunggu dulu.

Kalah, kalah dalam pertarungan, menyerah kalah…

Itu dia. Apa Dullahan bisa dianggap 'menang' bila bisa membuat Eligor 'menyerah'?

Baiklah, dicoba saja. Toh Dullahan yakin, sekalipun tidak bisa membunuhnya, dia pasti bisa menyiksa habis-habisan sang ksatria berzirah sampai dia mengaku kalah.

Ketika Dullahan hendak melancarkan rencananya, barulah ia sadar bahwa di hadapannya kini sudah tidak ada lagi ksatria berzirah bersenjata tombak dengan kudanya.

Yang ada di depannya sekarang adalah kegelapan.

Ya, kegelapan. Warna hitam pekat yang memenuhi seisi labirin di seberang sana, seolah membuat sebuah batas tegas antara dunia yang masih berwarna dengan dunia yang kehilangan warna.

Kegelapan itu terus maju. Perlahan tapi pasti, seolah hendak menelan seisi lorong labirin tempatnya berdiri saat ini ke dalam warna hitam.

Apakah ini salah satu kemampuan dari Eligor?

Andaikata Dullahan memiliki mata, pastilah ia kehilangan pandangan akan posisi Eligor saat ini.

Namun Dullahan tidak melihat dengan mata.

Informasi ruang yang ia terima mengatakan bahwa meski Eligor tidak lagi berwujud nyata, keberadaannya masih terasa di tempat ini. Dengan kata lain, ia belum berpindah tempat.

Selama ia mengetahui lawannya masih berada satu ruangan dengannya, itu saja sudah cukup bagi Dullahan.

Sekarang, apa yang ingin Eligor lakukan dengan kegelapan ini?

Ia mencoba membuka kembali lubang hitam miliknya.

Nihil.

Entah bagaimana, lubang tersebut tidak mampu menghisap apapun dari kegelapan yang ada di hadapannya. Mungkinkah unsur kegelapan ini benar-benar meniadakan apapun yang berada di dalamnya, sehingga mereka saling menolak?

Dullahan tidak lantas kehilangan akal.

Kalau Eligor masih ada di sini, maka tak ada salahnya mencoba mengambil risiko dengan maju menuruti undangannya.

Maka Dullahan membiarkan dirinya ditelan oleh kegelapan yang menyelimuti labirin tersebut.



"Dia memakan umpan kita! Ini dia kesempatan!"

Di dalam area kegelapan, Eligor telah bersiap ketika mendapati akhirnya Dullahan terpancing untuk masuk ke dalam wilayahnya.

Salah satu kemampuan Eligor – termasuk yang paling ia banggakan sebagai kartu as – adalah kemampuan untuk memanipulasi elemen kegelapan. Dengan kemampuan ini, selama seseorang tidak mampu menciptakan cahaya untuk menangkalnya, niscaya ia mampu mengelabui siapapun yang terjebak di dalam, menyeret mereka menuju pintu kematian.

Dan sekarang, saatnya Eligor membalas apa yang telah mahluk tanpa kepala itu lakukan terhadapnya!

"Maju, Abigor!"

Eligor, Abigor, dan Eligos. Ketiganya telah melebur menjadi satu di dalam kegelapan. Bagai sebuah bayangan yang bergerak tanpa terlihat, mereka meluncur begitu saja ke tempat di mana Dullahan berada.

Sekuat apapun Dullahan itu sebenarnya, dia tidak akan mampu mengatasi sergapan di dalam kegelapan seperti ini.

"Skak mat!"

Eligor berseru seraya melemparkan Eligos sekuat tenaga.

Dengan daya lempar yang luar biasa, Eligos sang tombak ular melesat dengan kecepatan suara.

Tak dinyana, bahkan Dullahan sekalipun tidak mampu menghindar tepat waktu di dalam kegelapan ini.

Taring tombak Eligos pun bersarang di dada sang sosok berjubah hitam-putih. Beberapa detik kemudian, ia pun tumbang tanpa suara.

"Gyahahaha! Kita berhasil!"

Eligor tertawa girang penuh kemenangan. Ia memacu Abigor untuk mendekati mayat Dullahan. Didapatinya sosok itu tidak bergerak sama sekali. Puas melihatnya, Eligor pun mencabut Eligos dari tubuh tak benyawa tersebut.

"Hmph. Sudah kuduga. Pada akhirnya, siapapun tidak akan bisa mengalahkanku di dalam wilayah kekuasaanku sendiri!" ujar Eligor bangga. "Tentu saja, kalau begini ceritanya, aku—"

(Seharusnya kau bilang <skak> sebelum sampai ke <skak mat>. Kalau tidak begitu, kemenanganmu bisa berubah menjadi kepalsuan belaka.)

"—!?"

Eligor bergidik mendengar suara tersebut.

Ia bahkan tidak mampu untuk melirik, ketika sebuah tangan mencengkeram kuat kepalanya.

(Kalau tidak mengerti, biar kuberikan contoh untukmu. <Skak>.)

*****

Second Half

-1-

Saat Eligor tersadar kembali, pemandangan yang dapat ia lihat adalah sebuah dunia yang begitu berbeda.

Tidak. Mungkin sebenarnya ia tidak bisa dikatakan benar-benar berpindah tempat.

Bagaimanapun juga, apa yang ia lihat di hadapannya masihlah berupa lorong labirin yang sama dengan tempat ia berada sebelum tiba di sini.

Akan tetapi, ada satu hal yang jelas berbeda.

Di tempat ini, semuanya tampak begitu…..berantakan.

Ya, tidak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan tempat ini selain 'berantakan'.

Lentera yang seharusnya terpasang di dinding labirin, entah bagaimana justru terpasang di lantai. Lantai labirin yang seharusnya rata dan lurus, entah bagaimana kini berundak-undak.

Namun yang paling mencolok adalah fakta bahwa di tempat ini tidak ada warna selain hitam dan putih.

Persis seperti sosok berjubah yang kelihatannya merupakan pemilik dari tempat ini.

(Setelah menjamuku di dalam kegelapan milikmu, rasanya tidak ada salahnya kalau kau balas bertamu ke dalam dimensi tertutup yang kuciptakan ini, bukan?)

Eligor menatap ke sekeliling.

Tidak ada Abigor, tidak pula Eligos.

Sekarang dia benar-benar sendiri, berdua dengan Dullahan di tempat antah-berantah ini.

Barusan dia bilang tempat ini adalah dimensi tertutup? Lalu bagaimana mereka sampai ke sini? Di mana pintu masuk dan jalan keluarnya?

Baru saja Eligor hendak menggerakkan anggota tubuhnya, ketika ia mendapati bahwa setiap sendi tubuhnya seolah terbelenggu oleh sesuatu yang tak dapat ia lihat.

(Ah, aku mengunci tubuhmu supaya kau tidak perlu buang-buang tenaga untuk lari. Sekarang kupikir lagi, harusnya aku melakukan ini sejak awal.)

Dullahan mendekati Eligor, kemudian menaruh telapak tangannya di kepala sang ksatria berzirah besi.

"Mau apa kau?"

(Bukan apa-apa. Aku hanya meminta sedikit kerendahan hatimu untuk tunduk dan menyerah kepadaku. Bisakah kau melakukannya?)

"Apa!? Yang benar saja! Aku adalah Eligor, penguasa dari enam puluh legiun jiwa, pencipta segala bentuk peperangan di dunia! Mana mungkin mahluk neraka kelas atas sepertiku menyerahkan diri kepada kau yang bukan siapa-siapa?"

Bersamaan dengan berakhirnya kalimat Eligor, seketika itu pula kepalanya meledak menjadi pecahan daging dan hujan darah.

Sekian waktu berselang, hingga kemudian kepala Eligor terbentuk kembali seperti sedia kala.

"Hah… Hah… Kau gila!"

(Kau yang salah. Aku tidak meminta apapun selain pengakuan darimu kalau kau bersedia menyerah kepadaku. Apa susahnya?)

"Asal kau tahu saja, aku telah disumpah untuk menuruti siapa yang menjadi penguasa di neraka sejauh yang bisa aku ingat, dan penguasa itu hanya ada satu, yaitu Thurqk Iylich seorang."

Kini kedua kaki Eligor yang mendadak terputus dari sendinya.

"—ggggghhhh!!!"

Eligor dengan segenap kegigihan yang ia miliki menahan rasa sakit tersebut, tak sudi menyerah meski tahu dirinya tak berdaya di hadapan lawan yang satu ini.

(Aku tahu kau tipe orang yang keras kepala sejak pertama kita bertemu, tapi apa aku harus terus menyiksamu jutaan kali sampai kau memohon agar aku berhenti? Rasanya kita cuma membuang-buang waktu di sini.)

Kembali Eligor merasakan nyeri yang luar biasa. Kali ini kedua tangannya yang tercincang-cincang menjadi beberapa potongan, jatuh ke tanah begitu saja seperti sampah yang menjijikkan.

"—kkh! —fuuh!"

Eligor benar-benar tak habis pikir. Sejatinya, neraka adalah tempat untuk menyiksa para pendosa. Para penghuni neraka adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk menghukum jiwa-jiwa yang ditempatkan di dalamnya, dan berbuat kesesatan di dunia di mana jiwa-jiwa hidup sebelum mati.

Namun lihat apa yang terjadi di sini.

Kenapa justru ia menjadi pihak yang disiksa oleh mahluk yang bahkan tidak ia ketahui asal muasalnya?

(Saat ini kau mungkin berpikir, siapa aku sebenarnya, dan kenapa aku sampai berbuat begini hanya untuk mengalahkanmu. Baiklah, biar aku bercerita sedikit. Siapa tahu hatimu melunak, kalau kau masih punya hati.)

Dullahan kemudian merangkul kedua kepala yang selalu melayang mengelilinginya, menyodorkan keduanya di hadapan wajah Eligor.

(Tatap baik-baik dua pasang kepala manusia ini. Tahu bagaimana mereka mati pertama kali?)

Eligor tidak tertarik untuk menebak.

(Karena perang.)

Saat itu pula, nada suara di kepala Eligor berubah menjadi berat dan dalam.

(Perang merenggut nyawa siapapun tanpa terkecuali, termasuk kedua anak ini. Tentu saja, perang tidak membedakan siapapun, dan karenanya tidak pula mereka yang terlibat peduli meski orang-orang yang tidak ada hubungannya terseret ke dalamnya.)

Sambil terus menyuarakan kata-kata di dalam pikiran Eligor, Dullahan kemudian membuat sebuah lubang besar di perut Eligor.

"Oh, ohok…"

Baru saja kaki dan tangan Eligor pulih, sekarang rasa nyeri baru yang luar biasa kembali menyerang Eligor. Membuatnya tenaganya serasa terkuras hingga ia tidak sanggup lagi berkata-kata.

(Jangan salah sangka.Mungkin aku terdengar kontra dengan eksistensi dirimu sebagai personifikasi peperangan, tapi pada kenyataannya, tidak banyak yang bisa kulakukan. Aku sudah tidak bisa membenci dirimu.Tidak ada artinya lagi. Setelah hidup dalam wujud ini, aku menjadi sadar bahwa sama seperti kematian, peperangan tak akan pernah bisa dihapus selama manusia masih hidup di dunia.)

Dullahan menarik kedua kepala manusia yang matanya terpejam itu kembali ke sisinya, membiarkan mereka melayang bagai satelit yang mengorbit pada satu planet bernama Dullahan.

(Dengan adanya peperangan, mereka mengenal arti perdamaian. Dengan adanya kematian, mereka menghargai arti kehidupan.)

Kemudian Dullahan mengangkat dagu Eligor, membiarkannya menatap ke dalam tudung yang tidak menyimpan sebuah wajah untuk dilihat.

(Kuharap kau juga menerima sebuah pelajaran dari apa yang kukatakan.)

Setelahnya, kembali kepala Eligor terburai menjadi pecahan-pecahan tak berbentuk.



Entah sudah berapa lama waktu berlalu di dalam dimensi tertutup milik Dullahan ini.

Eligor benar-benar sudah kepayahan.

Walaupun ia segera hidup kembali setiap kali ia terluka atau mati, namun tetap saja, pengalaman dihancurkan berulang kali membuatnya begitu lemah. Anehnya, tak sedikitpun kata menyerah terlintas di pikirannya, sekalipun tak terhitung berapa kali ia menerima siksaan dari Dullahan.

Yang ada di kepalanya ada rasa kesal karena tidak berdiri di kedudukan yang sama dengan lawannya saat ini.

Eligor tidak tahu siapa dia sebenarnya. Dan tidak begitu ingin tahu. Tapi ia benar-benar tidak terima dengan penghinaan berupa serangan sepihak seperti ini. Sungguh tidak adil. Mana mungkin ia mau dinyatakan kalah kalau tidak bertarung dengan aturan dan tempat berpijak yang sama?

Dengan segenap tekad dan tenaga yang ada, Eligor akhirnya memaksakan diri untuk angkat bicara pada suatu kesempatan.

 "Ini tidak akan habisnya…," ujarnya lemah. "Bagaimana kalau kita selesaikan ini dengan sesuatu yang lain yang setara dengan sebuah peperangan?"

Dullahan tampak terkesiap mendengar permintaan dari Eligor.

"Kali ini…. Sungguh, aku berjanji atas namaku sendiri, bahwa kalau kali ini aku dikalahkan olehmu, aku tidak akan mengajukan keberatan lagi. Akan kukabulkan apapun yang kau inginkan, aku akan menyerah kepadamu, dan akan kubiarkan kau lewat tanpa melakukan perlawanan."

Seolah tersemangati oleh kata-katanya sendiri, Eligor kemudian meneruskan,

"Tapi! Kalau aku menang, kau harus, harus, menyatakan kesetiaanmu padaku! Aku akan menjadi tuanmu, dan kau akan menuruti segala perintahku tanpa terkecuali! Bila kau setuju dengan syarat yang kuberikan, maka mari kita akhiri pertarungan yang telah menghabiskan waktumu ini dengan satu permainan sederhana!"

Dullahan tampak bergeming sesaat.

Tak lama kemudian, dalam satu jentikan jari, belenggu tak kasat mata yang mengunci kedua tangan dan kaki Eligor terasa lenyap begitu saja.

(Kuterima tantanganmu. Lagipula, aku sudah bosan menyiksa mahluk yang hatinya tuli, bisu, dan buta sepertimu.)

Eligor puas mendengar kata-kata Dullahan.

(Jadi? Apa permainan sederhana setara peperangan yang kau ajukan ini? Tunggu, kurasa aku bisa menebaknya.)

Sang Pembawa Pesan Kematian dan sang Mata Badai Perang saling berhadap-hadapan.

Entah siapa yang memulai, namun sebuah meja dengan dua buah kursi tiba-tiba muncul di antara mereka berdua.

Dan di atas meja tersebut, tampaklah sebuah papan yang sewarna dengan dualitas hitam-putih di dalam dimensi ini.

"Seperti yang kau duga," kata Eligor mantap. "Aku menantangmu dalam permainan catur!"

*****

-2-

Catur.

Sebuah permainan papan yang diciptakan manusia sebagai simulasi peperangan untuk mengasah kecepatan berpikir, kemampuan mengambil tindakan taktis dan menghadapi tekanan mental, serta intuisi prediktif dalam pertarungan yang mengadu otak.

Di atas papan dengan enam puluh empat kotak hitam putih dan enam belas bidak yang saling berbaris menantang di kedua sisi, Dullahan dan Eligor akan memulai duel terakhir mereka.

"Kau boleh ambil putih," ujar Eligor mempersilakan. "Toh aku adalah pihak penantang dalam permainan ini, jadi sudah sepantasnya kau mendapat sedikit keuntungan."

Tanpa mata, Dullahan tak bisa membalas tatapan penuh percaya diri dari Eligor. Tetapi ia juga tidak menolak kesempatan itu.

Maka Dullahan memajukan <pion> putih miliknya.

Giliran Eligor.

Sang Mata Badai Perang memulai dengan memajukan <kuda> alih-alih <pion> seperti orang pada umumnya.

Dullahan tidak tampak terpengaruh dengan keganjilan itu. Ia membalas dengan terus memajukan <pion> miliknya.

Sementara itu, Eligor kini merasa di atas angin.

Permainan memang baru saja dimulai, tetapi Eligor memiliki satu kemampuan yang membuatnya yakin ia tidak akan terkalahkan dalam permainan seperti catur.

Yaitu, kemampuan untuk memprediksi hasil dari sebuah peperangan.

Pada tingkat yang lebih sederhana, kemampuan ini juga mampu membuatnya nyaris seperti melihat masa depan dalam konflik perseteruan dengan banyak sudut pengamatan, dan tidak terkecuali dalam catur. Singkat kata, Eligor dapat melihat seperti apa setiap langkah pada giliran berikutnya.

Karena itulah, Eligor terlihat begitu percaya diri.

Permainan terus berlanjut.

Benar saja, setiap <pion> yang dimajukan oleh Dullahan selalu habis dilahap oleh dua <kuda> hitam milik Eligor. Sampai sejauh ini, tidak ada pergerakan berarti yang tampak mengancam dari Dullahan. Bahkan apa yang ia lihat dengan kemampuannya seperti menyiratkan bahwa Dullahan seperti amatir dalam permainan catur ini.

Baik Dullahan maupun Eligor sama sekali tidak bertukar kata-kata.

Tampaknya bidak yang ada di atas papan sudah cukup untuk mewakili betapa sengitnya pertarungan mereka berdua saat ini.

Beberapa langkah kemudian, <pion> putih milik Dullahan sudah tinggal kurang dari setengahnya. Sementara itu, Dullahan hanya mampu merenggut satu dari dua <kuda> milik Eligor, dan semua <pion> hitam masih berjajar rapi melindungi barisan bidak kalangan atas di belakang mereka.

Ini terlalu mudah.

Eligor menahan tawanya dalam hati, berpikir bahwa senang sekali rasanya bisa membodohi orang yang sudah merendahkan dirinya seperti ini.

Tadinya Eligor ingin melakukan taktik standar dengan segera menyegel <skak>, tetapi kemudian ia berpikir untuk mempermalukan Dullahan dengan menghabisi semua bidak miliknya, menyisakan <raja> yang seorang diri dan tak bisa apa-apa.

Kemenangan total!

Pada giliran berikutnya, Eligor mulai dengan berani memajukan <pion> miliknya. Begitu pula pada giliran berikutnya, dan berikutnya lagi. Dullahan seolah tidak dapat mengimbangi, dan kini semua <pion> milik Eligor sudah berbaris satu-dua petak dari posisi awal mereka.

Sempurna. Selama ia menguasai alur, Eligor tidak akan terkalahkan!

Ia mengintip masa depan, melihat langkah putus asa macam apa yang akan Dullahan buat dalam keadaan seperti ini.

"….?"

Aneh.

Entah mengapa, Eligor tidak dapat melihat bidak hitam mendapatkan <skak> dalam sepuluh hingga dua puluh langkah ke depan.

Apa ada yang salah dengan taktiknya?

Eligor tidak tahu, tetapi ia mengira mungkin Dullahan bisa berbuat sesuatu ketika terdesak nanti. Ya, mungkin itu yang mengulur kemenangannya sehingga tidak tercipta dalam waktu dekat.

Bidak putih milik Dullahan kini terus bergerak, merangsek maju ke dalam setengah teritori milik Eligor.

Masih ada beberapa jarak antara barisan <pion> milik Eligor dengan bidak macam <kuda. Atau <menteri> milik Dullahan, namun ia kira semuanya masih aman-aman saja.

Hingga Dullahan tiba-tiba memajukan <ratu> putih miliknya.

"…ng?"

Eligor tidak ingat kalau dia melihat gerakan ini pada penglihatan pertamanya saat pertandingan dimulai barusan.

Gerakan yang diambil <ratu> Dullahan begitu mencolok, melesat begitu jauh ke depan. Bagaimana mungkin Eligor luput melihat sesuatu seperti ini?

Tapi Eligor tidak lantas panik. Menanggapi perang terbuka yang sudah mulai memakan korban dari pihaknya, Eligor pun ikut memajukan barisan bidak elit miliknya untuk kembali menguasai arus pertandingan.

Akan tetapi…

Pada tiga hingga tujuh langkah berikutnya, entah bagaimana, keadaan malah berbalik 180 derajat.

"I, ini…"

Bagai sebuah serangan balas dendam, kini ganti seluruh <pion> milik Eligor yang habis tak bersisa. Tak hanya itu, lebih dari tiga bidak putih milik Dullahan sudah masuk ke dalam wilayahnya yang terbuka tanpa penjagaan.

Eligor benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Rasa-rasanya ia tidak pernah luput mengamati baik apa yang terjadi di atas papan ataupun apa yang mungkin terjadi di masa depan. Jadi, dari mana asalnya lubang ini?

Puncak keterkejutannya adalah ketika <menteri> putih milik Dullahan berhasil melahap <ratu> hitam milik Eligor.

"Ini tidak mungkin…"

Eligor menatap lekat-lekat sosok tanpa kepala, yang tentunya juga tidak punya ekspresi untuk ditampakkan di hadapannya.

"Tapi, bagaimana…"

('Tapi, bagaimana…'. Kau lupa kalau aku berbicara dengan menempati ruang pikiranmu?)

Saat mendengar suara Dullahan di dalam kepalanya, barulah Eligor sadar.

Ia mungkin bisa melihat apa yang terjadi di masa depan. Tetapi Dullahan dapat melihat apa yang ia lihat dan pikirkan sekaligus.

Dengan kata lain, justru dirinya-lah yang sejauh ini bermain di bawah kendali Dullahan!

"…kau, kau curang!"

(Curang? Hei, hei, seharusnya kau yang paling tahu soal pepatah yang mengatakan, 'tidak ada kata curang dalam cinta dan peperangan'.)

Eligor tak punya pilihan lain selain mengambil langkah untuk melindungi diri mati-matian pada setiap gilirannya.

(Bukankah sudah kukatakan padamu, bahwa selama lawan yang berhadapan denganku berada di ruang yang sama, maka otomatis <skak>?)

Namun tidak perlu waktu lama bagi Dullahan untuk akhirnya mengakhiri permainan mereka.

<Ratu> putih milik Dullahan berdiri mengancam di hadapan <raja> hitam, siap dengan pasukan yang mengepung hingga sang raja tak lagi mampu meloloskan diri.

(<Skakmat>.)

*****

-3-

Dullahan dan Eligor kembali muncul di dalam lorong labirin Vishala Rashta, setelah menghilang entah berapa lama.

Yang menyambut mereka berdua adalah Abigor si kuda tulang dan Eligos si tombak ular, dua partner setia kesayangan Eligor.

"Tuaaaaaan! Kau menghilang ke mana saja barusan? Kami sangat mengkhawatirkanmu!"

"Ssssshh… Aku sampai mengira sudah saatnya kita harus mencari tuan yang baru tadi…"

Dullahan dan Eligor saling bertukar pandang, sebelum kemudian Eligor menjelaskan dengan nada pahit.

"Aku bertarung dengan orang ini di sebuah dimensi tertutup – dunia yang terpisah dengan tempat ini," ujar Eligor muram. "Dan…aku kalah. Kini aku, Eligor sang Mata Badai Perang, telah bersumpah menyerahkan diri kepada Dullahan sang Pembawa Pesan Kematian. Mulai sekarang, kaulah tuanku!"

""Eeeeeeeeeehhh?!!""

Abigor dan Eligos benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja tuan mereka katakan.

"Tuan, itu berarti tuan membelot dari Thurqk Iylich? Tuan sadar apa yang baru saja anda katakan?"

"Sssshhh… Kelihatannya tuan kita yang satu ini sudah mulai tidak waras. Apa yang mahluk tanpa kepala ini lakukan kepadanya?"

Eligor berusaha untuk tidak menghiraukan kedua partnernya tersebut, kemudian kembali berkata kepada Dullahan.

"Tuan Dullahan, sekarang kau memegang kendali atas diriku, Abigor yang menjadi kakiku, Eligos yang menjadi tanganku, serta seluruh pasukan roh yang kubawahi. Dengan sumpah ini, aku membatalkan secara sepihak kontrak dengan penguasa neraka, dan kini memulai lembar hidup baru di bawah naunganmu."

(Ng, kurasa kau salah sangka.)

"..?"

Eligor tidak menatap Dullahan kebingungan.

(Sebenarnya yang kuinginkan hanyalah lewat dari lorong yang kau jaga ini dan sampai ke pusat labirin. Karena tidak tahu cara mengalahkanmu, aku memutuskan untuk membuatmu menyerah. Tapi sejujurnya, bukan maksudku untuk mengambil alih kuasa atas dirimu begini.)

"…………apa?"

Menggantikan tuannya yang dilanda keheranan dalam mencerna apa yang baru saja Dullahan katakan, Abigor kemudian menimpali.

"Maaf, izinkan saya ikut menjelaskan sebentar. Sebenarnya, secara teknis tuan Dullahan sudah boleh lewat ketika menghancurkan kepala tuan Eligor pertama kali. Kalau itu sudah bisa dihitung sebagai membunuh atau mengalahkan tuan Eligor, maka seharusnya jalan menuju ke pusat labirin sudah terbuka bagi anda."

"Apa!?" Eligor berteriak dengan geram. "Kalau begitu kenapa aku harus bersusah payah melawannya dari tadi kalau ternyata semua sudah selesai secepat itu?"

"Ssshh… itu salahmu sendiri yang keras kepala sampai tidak menyadarinya. Memang sudah dari dulu kau tidak suka menerima kekalahan di depan mata…"

"Kalian juga bersalah tidak memberitahuku dari awal! Sialan, jadi untuk apa aku menerima semua penghinaan dari mahluk tanpa kepala ini…"

(Hahaha. Tapi boleh juga, punya pesuruh yang siap dipanggil setiap saat. Tidak termasuk dalam pikiranku, tapi tidak berarti aku harus menolaknya. Kurasa dengan begini, aku bisa membawa kedamaian di muka bumi dengan menyuruhmu menahan diri.)

"—kuh! Tidak pernah kusangka aku akan kehilangan identitas seperti ini! Sungguh titik balik yang memalukan dalam hidupku!"

Abigor dan Eligos tidak lagi berkomentar, dan Eligor tenggelam ke dalam jurang penyesalan yang dalam.

(Kalau begitu, aku undur diri. Silakan kalian berkelana sesuka hati tanpa membuat kekacauan di sana-sini. Sampai bertemu lagi di lain waktu.)

Dullahan baru hendak meninggalkan tempat ini ketika Eligor kemudian berseru,

"Tunggu!'

(….ada apa? Kalau masih tidak mau mengaku kalah juga, predikatmu benar-benar jatuh menjadi seorang pecundang, lho.)

"Tidak, bukan itu," bantah Eligor. "Kau…maksudku, Tuan Dullahan. Karena tuan telah mengalahkanku, tuan mendapat hak untuk mewarisi salah satu kemampuanku. Aku sudah membuat daftarnya, silakan tuan pilih mana yang tuan suka."

> Menciptakan dan memanipulasi peperangan.

> Memprediksi masa depan dalam peperangan.

> Menemukan harta atau objek tersembunyi.

> Kekebalan terhadap segala jenis serangan fisik.

> Regenerasi instan.

> Kuasa atas 60 legiun pasukan roh.

> Keahlian mengendara.

> Keahlian menombak.

> Kemampuan berubah wujud menjadi sosok manusia.

> Kemampuan elemental kegelapan.

(…kau kira aku, yang mampu mengalahkanmu seperti orang dewasa melawan anak bayi, memerlukan kemampuan darimu?)

"……"

Dullahan dapat melihat bahwa Eligor nyaris terpancing lagi amarahnya, namun entah bagaimana Eligor berhasil menenangkan dirinya sendiri kali ini.

Mungkin kontrak dengannya membuat Eligor tidak mampu melawan kata-kata atau kehendak penguasanya? Lalu, kenapa dia bisa memutus kontrak dengan penguasa sebelumnya semudah itu?

Tetapi itu bukan urusan Dullahan. Ia masih punya kepentingan lain.

Oh, bicara soal kepentingan, bukankah Eligor ini punya kemampuan yang berhubungan dengan sejumlah besar jiwa dan hidup kembali setelah mati?

Dullahan pun bertanya, sekiranya Eligor mampu menghidupkan kembali kedua kepala yang menemani di sisinya.

"Bisa saja."

Kesanggupan Eligor segera membangkitkan harapan Dullahan.

(Hebat sekali! Tidak kusangka kau ternyata berguna untukku! Kukira kau cuma bisa main perang-perangan saja.)

Eligor tidak tahu itu pujian atau ejekan, tapi entah kenapa ia merasa cukup senang tuan barunya itu tampak mulai membuka diri terhadapnya.

"Ah, tapi perlu kukatakan terlebih dahulu kalau aku memerlukan jiwa yang bersangkutan untuk hadir di tempat ini. Kalau tidak, bisa jadi aku salah memasukkan jiwa dan bukan orang yang dimaksud yang hidup kembali, meski tubuhnya tubuh yang sama."

(Bisakah kau melakukan sesuatu dengan kemampuanmu untuk menemukan jiwa yang hilang itu? Nama mereka adalah Claude Higglfiggr dan Claudia Neuntzmann. Meski ada dua jiwa, mereka berbagi satu nyawa.)
"Dua jiwa dalam satu nyawa? Kasus yang unik," Eligor kemudian tampak berpikir sejenak. "Mohon tuan tunggu beberapa saat. Aku memiliki kemampuan untuk melacak apapun yang tidak terlihat di depan mataku, termasuk jiwa-jiwa yang berkeliaran di seluruh penjuru alam. Beri aku waktu, dan mungkin aku akan menemukan mereka untukmu."

(Terima kasih banyak! Eligor, aku berhutang budi padamu!)

Mendengar namanya disebut pertama kali oleh Dullahan, Eligor merasa ganjil.

"Jangan terlalu berharap banyak padaku. Lagipula, aku melakukan ini hanya karena kau memerintahkannya, bukan berarti aku pasti akan berhasil 100%."

(Setidaknya kau sudah meringankan bebanku dengan menyanggupi permintaan ini. Sekali lagi, terima kasih.)

*****

-4-

"Wah, wah. Lihat apa yang kutemukan di sini."

"—!?"

Sebuah suara yang asing mendadak hadir di antara Dullahan dan Eligor.

Bukan, ini bukan suara Abigor dan Eligos yang sudah ditarik mundur oleh Eligor. Bukan pula suara dalam pikiran Eligor yang merupakan milik Dullahan.

Namun Eligor mengenal suara ini.

Keduanya melihat ke arah sumber suara, dan mendapati seorang gadis berambut pendek dengan pita biru yang melayang di langit-langit labirin.

Seorang gadis dengan mata bulat besar, yang menatap mereka tanpa ekspresi berarti.

Namun tampaknya Eligor tercengang dengan kehadiran sang gadis cilik.

"—Abigail Grey!"

"Ya, aku tahu namaku sendiri. Tidak perlu berteriak seperti itu, kan."

Gadis bertubuh transparan bernama panggilan Abby itu melayang rendah hingga berhadapan langsung dengan Dullahan dan Eligor. Dullahan masih tidak tahu siapa gadis ini dan kenapa dia ada di sini, namun tampaknya Eligor benar-benar terganggu dengan kedatangannya.

(Siapa dia?)

"Dia adalah bawahan Thurqk yang paling beringas, kejam, dan sadis," jelas Eligor dengan nada bergetar. "Bahkan apa yang tuan lakukan padaku masih belum ada apa-apanya dibandingkan apa yang ia lakukan untuk hiburan."

"Heh. Jangan samakan standar hiburanku dengan Thurqk," protes Abby sambil menggembungkan pipinya. "Meski tipe hiburannya mungkin sama, tapi selera kami jauh berbeda."

"Itu tidak penting. Katakan, untuk apa kau datang kemari?" sahut Eligor memberanikan diri untuk bertanya.

"Untuk apa? Hei mahluk kacangan, sadar diri sedikit. Kau secara tidak langsung baru saja menyatakan perang dengan Thurqk karena membuang ikatan dengannya. Yah, aku bisa menebak perang melawan Thurqk mungkin pernah terlintas di pikiranmu, tapi tidakkah kau sadar kemampuanmu itu tidak ada apa-apanya dibanding dirinya?"

Mendengar ucapan itu, Eligor menjadi lemas seketika.

"Sekarang, ikut denganku. Akan ku­—"

Belum selesai Abby berbicara, Dullahan telah melangkah maju membentengi Eligor dari Abby.

"Tuan Dullahan?"

"….kenapa kau melindunginya?"

(Eligor, dengar, aku masih membutuhkanmu untuk menghidupkan jiwa kedua kepala ini. Sampai saat itu tiba, tidak akan kubiarkan siapapun membuatmu tidak bisa melaksanakan permintaanku ini. Sekarang, larilah!)

Dullahan serta-merta menciptakan sebuah koyakan udara di depan Eligor. Pintu menuju dimensi tertutup miliknya.

Paham dengan tekad sang tuan, Eligor segera memasuki dimensi tersebut dan menghilang dari pandangan.

"Kau… Kau membantunya melarikan diri dariku?"

(Aku membutuhkannya untuk menghidupkan mereka berdua. Aku tidak tahu apa dewamu bisa melakukannya juga atau tidak, tapi lebih baik memiliki satu jaminan daripada tidak sama sekali.)

"Oh?" Abby menelengkan kepalanya. "Kau bukan Claude Higglfiggr atau Claudia Neuntzmann? Kau bukan seorang peserta. Apa yang kau lakukan di tempat ini?"

(Sudah kukatakan, tujuanku di sini hanyalah menghidupkan mereka berdua. Bisa dibilang aku hanyalah semacam pemain pengganti selama mereka tidak bisa tampil. Jadi, kalau dewamu bisa menghidupkan mereka, aku tidak lagi punya keperluan di tempat ini.)

"Hah. Jangankan Thurqk, aku saja juga bisa mengembalikan jiwa mereka ke dua kepala yang mengelilingimu itu kalau kau mau."

Sesaat Dullahan tertegun dengan apa yang dikatakan oleh Abby.

(Benarkah itu?)

Abby mengangguk pelan, kemudian menyingkapkan tangannya.

Seketika itu pula, sebuah bola api berwarna putih menyala muncul di telapak tangannya.

"Sejak mengumpulkan jiwa peserta yang gugur di pertandingan sebelumnya, aku sudah heran ini milik siapa, karena jumlahnya tidak pas," tutur Abby. "Sekarang, mari kita lakukan pertukaran. Kalau kau menyerahkan Eligor kepadaku, maka akan kuserahkan roh milik dua pasang kekasih ini."

Dullahan berpikir sejenak.

Dari mana ia bisa tahu kalau bola api di tangan gadis transparan itu adalah roh milik kedua kepala ini?

Dicoba dulu, baru tahu.

Sekejap kemudian, bola roh itu sudah berpindah tangan dari Abby ke tangan Dullahan.

(Oooh! Aku bisa merasakannya! Sensasi ini tidak mungkin salah… Dua jiwa dalam satu nyawa, ini memang milik mereka!)

Di lain pihak, baru sesaat kemudian Abby tersadar kalau Dullahan merebut bola roh itu.

"Kurang ajar… Aku sudah berbaik hati memberimu penawaran, dan ini jawabanmu?"

Abby membuka kedua telapak tangannya, dan sepasang gunting mendadak muncul dari udara kosong.

(Aku tidak punya waktu meladenimu. Adios!)

Belum sempat Abby melesat ke arah Dullahan, sosok berjubah hitam-putih itu telah terlebih dahulu menghilang begitu saja.



Dullahan muncul di pusat labirin, di mana para peserta yang berhasil lolos dari labirin kini tengah berkumpul menunggu instruksi selanjutnya dari seorang pria berkacamata di antara mereka.

"Selamat datang, Claude dan Claudia. Dengan ini, kalian dinyatakan lolos—"

Dullahan segera memotong sambutan basa-basi si pria berkacamata.

(Kau. Kau salah satu bawahan si dewa merah itu juga, kan?)

"Eh? Ah… Bukan, maksudku ya, tapi…"

(Aku salah tempat. Aku harus lari dari sini.)

"Eh? Tapi aku akan memberikan pengarahan untuk ronde berikutnya…"

Dullahan mengabaikan ucapan si pria berkacamata, memikirkan ke mana sebaiknya ia pergi di alam ini.

Pasti ada satu jalan untuk kembali ke dunia asal mereka.

"Kau kira bisa lari dariku?"

Suara seorang gadis cilik segera mengagetkan Dullahan, yang bahkan tidak tahu dari mana gadis itu datang.

Namun yang berikutnya ia ketahui, bola roh di tangannya telah melesak ke dalam salah satu kepala yang mengelilinginya.

"Berbahagialah akan satu hal," ucap suara gadis yang kini berada di belakangnya itu dengan nada datar. "Aku akan mengembalikan jiwa mereka ke dalam tubuh ini, jadi tugasmu di sini sudah selesai."

Apa? Apa-apaan ini?

Bukankah gadis itu justru tengah mengejarnya? Bukankah gadis itu marah terhadap dirinya dan Eligor?

Kenapa dia malah membantu menghidupkan nyawa ke dalam kepala ini?

"Tapi,"

Gadis itu mendadak menyeringai lebar.

"Aku tidak akan membuat mereka yang hidup kembali, hidup dalam keadaan bahagia. Ia akan berharap lebih baik dirinya mati saja, dan kau akan berharap lebih baik kau tidak pernah ada, karena apapun yang telah kau lakukan, apapun yang akan mereka lakukan, aku tidak akan membuatnya berakhir bahagia!"

Dengan gunting di tangannya, Abby sang gadis abu-abu memotong sesuatu di udara.

Untuk sesaat, Dullahan tidak tahu apa itu.

Ketika sebuah benang merah mendadak terlihat terputus dan lenyap begitu saja, barulah Dullahan mengerti.

(Kaaaaaauuuuuuuu!!!)

Akan tetapi, semuanya sudah terlambat.

Kesadaran Dullahan tenggelam ke relung tak berdasar, digantikan oleh sebuah jiwa yang bersemayam di tubuhnya dan kembali ke permukaan.

*****

Curtain Call

Pria itu mengenalkan dirinya sebagai Nolan Collard Fambrough.

Ia memberikan selamat kepadanya karena telah menyelesaikan ronde keempat. Meski tidak tahu ada konflik apa antara dirinya dengan gadis yang ia sebut dengan nama Abby, Nolan berkata bahwa ia senang melihatnya tampak segar dan tidak kekurangan suatu apapun.

Ronde keempat? Seingatnya ronde terakhir yang mereka lalui adalah ronde ketiga, bukan keempat.

Pria pemandu itu pasti salah sebut.

Yang jelas, ia ternyata masih diberi kesempatan untuk melangkah lebih jauh dalam permainan kematian ini.

Ia berusaha meregangkan badannya, seolah tak pernah merasa lebih hidup dari ini.

Sejujurnya, ia tidak ingat bagaimana pertandingan sebelumnya berakhir. Kelihatannya ia mati di pertandingan itu, tapi dihidupkan kembali karena keluar sebagai pemenang.

Ingin dirinya tertawa.

Ternyata kematian memang tidak semenakutkan yang ia bayangkan.

Ia memanggil nama kekasihnya, yang telah menemaninya sejak mereka tiba bersama di tempat ini. Kalau memang ronde yang baru saja mereka lewati adalah ronde empat dan bukan tiga, mungkin kekasihnya ini yang menyelesaikan pertandingan tersebut seorang diri.

Dilihatnya sang kekasih masih memejamkan mata.

Ia mengecup mesra keningnya, membisikkan nama panggilan di telinga, berharap dengannya dia yang berbagi warna rambut serupa dengannya itu akan terbangun dan balas menyapanya.

Akan tetapi, sang kekasih tak kunjung membuka mata.

Berkali-kali ia memanggil, namun sia-sia.

Dipanggilnya sang pria pemandu, namun pria berkacamata itu tampaknya juga tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

Maka ia menunggu.

Barangkali pasangannya hanya kelelahan.

Barangkali ia hanya perlu beristirahat lebih lama.

Tanpa terasa, airmata turun membasahi pipinya yang kering.

Seperti apapun ia berharap, salah satu sudut gelap dalam pikirannya membisikkan sebuah kemungkinan terburuk yang entah kenapa sulit ia enyahkan dari kepalanya.



Bahwa mungkin saja, kekasihnya tidak akan pernah lagi membuka mata.

*****

Closed Curtain

Salahku.

Lagi-lagi salahku.

Gagal.

Seharusnya aku tahu dari awal.

Tidak. Tidak. Tidak.

Kenapa? Kenapa?

Tolong,

Kumohon,

…Maafkan aku…

…Aafkan aku…

…Afkan aku…

…Fkan aku…

…Kan aku…

…An aku…

…N aku…

…Aku…

…Ku…

…U…

……..

………

……..uh.

……..ah.

Ah.



–––UUUWAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!!

*****

6 comments:

  1. ada sedikit rasa seru yang hilang saat makhluk abadi melawan makhluk abadi, yaitu kenyataan keduanya tidak bisa kalah yang menyebabkan keseruan seperti Tusukan tiba-tiba dalam kegelapan menjadi sia-sia.

    tidak pula dibantu dengan pertarungan catur yang tidak bisa saya bayangkan ataupun kebingungan antara dan

    nevertheless ide telepati dan mengendalikan berpikir mungkin salah satu yang shocking moment. but not that shockingly.

    akhir kata, Mungkin yang kena adalah ending depresi si Claude doang.

    Final Verdict: 7.5

    ReplyDelete
    Replies
    1. antara ratu dan menteri, *
      Mengendalikan ruang*

      ternyata tulisan di dalam "<>" menghilang di komen karena di anggap HTML

      Delete
  2. Ooookay... saya ga baca yang sebelumnya deh kayaknya, entahlah, lupa. Karena keduanya terkesan imba, saya merasa cerita ini agak datar, terutama battlenya. But, I kinda liked the ending~

    Score 8

    ReplyDelete
  3. 8 poin.

    Hmmm ... jadi Dullahan ini aslinya penyihir di kilas balik itu ya?

    Pemain pengganti yang 'menyebalkan' #plak.

    Oke ... jadi siapa yang dihidupin lagi ini?

    ReplyDelete
  4. Anonymous9/8/14 07:19

    == Yafeth ==

    Eligos di sini rasanya seperti comic relief semata. Battle... Mungkin memang cerita ini tidak dimaksudkan untuk menjadi battle penuh darah. Tetapi saya menikmati cerita dengan bahasa mengalir seperti ini. Nilai 8.

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -