June 22, 2014

[ROUND 3 - K7] EMILS - THOSE WHO WANTED TO CHANGE THEIR WORLD

[Round 3-K7] Emils vs Luna Aracellia
"Those Who Wanted To Change Their World
"
Written by Mocha H.

---

Intro

Langit merah terbentang di langit-langit sebuah ladang berumput kemerahan yang dibatasi lautan kemerahan pula. Serangga – serangga penghuni pulau itu merasa resah dan bersembunyi di balik rerumputan tinggi pulau itu.

Para Hvyt berterbangan membawa peserta turnamen kembali ke tempat peristirahatan mereka, Cacadha Vadhit.

Salah satu diantaranya adalah Slime biru kita, Emils. Hvyt menurunkan mahluk cair itu dengan perlahan sampai dia menyentuh tanah, lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Emils merasa ganjil karena kali ini para Hvyt tidak melemparkan mahluk bertubuh cair yang pernah mengejek dewa mereka itu. Mungkin benar kata mereka bahwa salah satu Hvyt merusak kesenangan si dewa dengan mensabotase Emils di awal ronde kedua.

Emils mengumpulkan semua cairan tubuhnya, lalu membentuk tubuh manusianya. Namun, ada kejanggalan pada bentuknya hanya tubuh atasnya saja yang terbentuk, sedangkan tubuh bawahnya masih berupa gumpalan air.


Dia mengabaikan keanehan itu dan berusaha membentuk sebuah pedang cair di tangannya, tapi entah mengapa cairannya hanya menjulur tanpa membentuk ujung maupun sisi lancip pedangnya.

"Apa yang terjadi padaku?!"

Semenjak Emils meninggalkan pulau Ryax, pengendalian tubuhnya semakin tidak teratur. Bahkan dalam perjalanan tidak jarang dia terjatuh dari genggaman Hvyt dan tercebur ke dalam lautan merah kepulauan Nathara.

"SIAL! Ini pasti perbuatan kalian,kan?! Hei! Jawab aku, Dewa dan Malaikat jadi-jadian!" teriak Emils ke langit yang merah.

Sepertinya teriakan Emils tidak berakhir sia-sia. Sebuah portal kehitaman muncul di depannya dan mengeluarkan mahluk merah bersayap hitam dengan tato di sekujur tubuhnya, seorang Hvyt. Kemunculan Hvyt ini sontak membuat Emils bergerak mundur menjauhinya.

"A-AMPUN! B-Bukan seperti itu! I-itu tidak seperti kedengarannya!" pekik Emils.

Emils berusaha menjauh sejauh-jauhnya meski mengetahui Hvyt itu bisa mengejar kalau dia mau. Namun ketika ia berbalik arah, beberapa serangga berukuran besar tampak bersiaga seolah-olah akan menyerang Emils jika dia berusaha kabur.

"Emils, Slime Swordman..." kata Hvyt itu dengan suara berat.

"...apa kau tetap berani menentang dewa kami? Ataukah kau akan tetap menghiburnya dalam turnamen ini?"

Emils tentu saja ingin tetap menentang si dewa itu, tapi ia tak berdaya untuk saat ini, jadi tak ada pilihan lain selain mengikuti alur turnamen ini. Paling tidak sampai dia menemukan sebuah celah untuk kabur dari tempat ini.

"HA! Tentu saja aku tak akan diam dan menjadi tontonan si dewa jadi-jadian itu!" kata Emils dengan lantang.

Kalau Emils punya mulut, pasti mulutnya mengganga terbuka sekarang. Pasalnya, kalimat yang keluar dari mulutnya berkebalikan dengan isi hatinya. Mungkinkah pengaruh dari pulau Ryax masih terbawa sampai saat ini? Apapun jawabannya, dia telah menggali kuburannya sendiri.

Wajah Hvyt yang terbiasa tanpa ekspresi sekarang melototi mahluk cair itu. Ia tak kuat menahan cakarnya yang hendak mencabik-cabik mahluk itu. Sebuah portal kehitaman muncul di kanan Hvyt, lalu mengeluarkan sebuah pedang yang langsung ia tangkap. Serangga di belakang Emils tampak ketakutan dan langsung meninggalkan mereka berdua.

Hvyt menendang mahluk cair itu ke udara, lalu berputar satu putaran penuh sambil memegang pedangnya mendatar hingga memotong tubuh cair mahluk itu. Untungnya, Hvyt itu tidak mengenai Inti Emils.

Meski kondisinya yang tidak menguntungkan saat ini, Emils langsung harus melancarkan serangan balasan. Ia tak dapat membentuk senjata dengan benar untuk saat ini, tapi paling tidak dia masih bisa mengendalikan tubuhnya.

Emils melemparkan sebagian tubuhnya ke mata Hvyt sambil meninggalkan sebuah kabel tipis. Ketika cairan itu mengenai mata Hvyt, ia langsung membekukannya.

Hvyt berusaha melepas es yang menghalangi pandangannya, tapi tidak semudah itu karena es tersebut melekat pada wajahnya.

Ketika Emils mendarat, ia menarik kabelnya dengan cepat sehingga bongkahan esnya dan kepala Hvyt membentur keras tanah merah Cacandha Vadhit.

Seharusnya Emils bisa berbangga karena baru kali ini dia berhasil menjatuhkan seorang musuh dalam bentuk Slimenya yang sangat lemah, tapi ia tak bisa karena ia telah menggali kuburannya lebih dalam. Karena menyadari kesalahan yang ia buat dan konsekuensinya, mahluk cair itu segera membentuk tubuhnya menjadi bola dan menggelinding kabur.

Hvyt bangkit kembali sambil memegangi kepalanya yang agak pusing karena benturan tadi. Dia terdiam sejenak, sayap hitam besarnya menutup seluruh tubuhnya seakan dia menjadi kepompong.

Sebuah tangan merah keluar dari portal hitam yang terbentuk di depan bola Emils yang sedang bergelinding dan mencengkramnya. Emils meronta-ronta untuk dilepaskan, tapi karena pengendaliannya berkurang, ia tak dapat lepas dari cengkraman tangan itu.

"Diamlah, Slime" kata Hvyt itu dengan suara berbeda.

"Aku ada di pihakmu"

Perkataan Hvyt itu membuat Emils terkejut. Sisa tubuh Hvyt keluar dari dalam portal itu. Tidak ada yang berubah dari Hvyt itu kecuali matanya yang bersinar kebiruan.

Cahaya kebiruan dimatanya semakin terang dan menyinari suatu daerah di depan Hvyt. Cahaya itu membentuk sebuah tubuh mirip manusia. Seorang pria berambut coklat, berjanggut tak rapi, memakai kacamata yang retak sebagian dan baju kantor dengan dasi yang agak acak-acakan.

"Perkenalkan. Namaku Nolan Famburg"

"Satu-satunya manusia yang bertanggung jawab atas turnamen ini"

Mendengar perkataan pria itu, emosi Emils langsung tersulut. Emils memfokuskan cairannya dan membentuk sebuah lengan, lalu dari lengannya ia membentuk sebuah senjata panjang berbentuk sabit yang berpangkal mirip busur lalu menusuk pria dari cahaya itu. Namun, senjata tak normal itu menembus pria itu seakan dia tak pernah berada di sana.

"Kau tak akan bisa menyerangku karena secara fisik aku tidak berada di sini." kata pria itu.

"Tsch... dasar manusia jadi-jadian. Kau tidak ada bedanya dengan si "Dewa" Thurkq. Kalian sama-sama mahluk "Jadi-jadian" yang bersembunyi di balik tentara Hvyt kalian" ledek Emils pada Nolan.

"Jangan panggil aku dengan kata "Jadi-jadian"! Aku sama seperti kalian semua! Aku dipaksa oleh Thurkq untuk membantunya dalam turnamen ini!" bentak Nolan

"Terserah, apa katamu. Aku tak mau menuruti siapapun, apalagi manusia sepertimu"

Emils berguling menjauhi Hvyt dan pria hologram itu. Di Realm asalnya, teman seperjuangannya mungkin sedang bertarung mati-matian saat ini. Emils tak punya waktu untuk bermain-main di tempat ini, apalagi menjadi bidak manusia ini dalam permainannya.

Pria itu lalu bertanya "Apa kau percaya dengan perkataan Thurkq?"

Pertanyaan itu membuat Emils terhenti. Ia teringat kembali bagaimana ia mati, lalu dihidupkan di realm ini. Begitu pula peserta lainnya, Thurkq pernah mengatakan bahwa semua peserta telah mati.

Emils menjawab bahwa satu-satunya cara untuk membangkitkan mahluk hidup dari kematian adalah Sihir Necromancy(1). Tetapi tidak seperti Sihir Necromancy yang harus mensuplai kekuatan sihir dalam jumlah besar terus menerus, "Sihir" Thurkq untuk membangkitkan tubuh dan jiwa tidak perlu mensuplai sihir.

Jika memang tubuh dan jiwa para peserta dibangkitkan dengan Necromancy, Emils pasti merasakan keberadaan sihir asing dari lawannya atau paling tidak dari dalam tubuhnya. Jadi tak ada kemungkinan lain, dia memang dibangkitkan dari kematian, tapi bukan dengan sihir, melainkan dengan "sesuatu" yang tidak ia ketahui.

Itu sudah cukup meyakinkan Emils bahwa meski Thurkq adalah dewa jadi-jadian, tapi ia memiliki kekuatan yang dapat menghidup-matikan mahluk hidup.

"Memang benar aku tidak bisa menyangkal kekuatan Thurkq untuk menghidup dan matikan para peserta, tapi apa Thurkq akan mengabulkan keinginanmu meski ia memiliki kekuatan sebesar itu?" kata pria hologram itu.

Untuk sesaat, Emils hendak berkata "tentu saja!" tapi mengingat pria ini adalah kaki tangan Thurkq dan bisa mempengaruhi perjuangannya dalam turnamen ini, dia harus memberi jawaban yang tak akan menyusahkannya.

"Aku tidak percaya, tapi aku tidak punya pilihan lain,bukan?" kata Emils.

"Bagaimana kalau dia hanya akan membunuhmu sama seperti para peserta yang ia rasa membosankan? Apa kau masih akan mempercayainya? Orang yang kau anggap "Dewa jadi-jadian" itu?"

"Apa yang ingin kau katakan?"

"Aku punya sebuah rencana...."

***

Part I : Ythana Khauri, The dark earth prison.

Ronde ketiga telah dimulai. Para Hvyt membawa semua peserta ke Devasche Vadhi untuk memasuki Ythana Khauri, sebuah tempat penyiksaan bagi para jiwa. Namun, Thurkq lebih suka menyebut tempat ini sebagai "Taman Hiburan" untuk mengisi keinginan Thurkq menyiksa siapapun yang berani menentangnya.

Seorang Hvyt dan seekor mahluk cair sedang menuruni sebuah lorong sempit berbentuk spiral yang menuju ke bawah tanah bersamaan dengan puluhan peserta lainnya. Setiap langkah mahluk-mahluk dalam lorong itu menggema tak henti-henti. Tidak ada yang dapat dilihat dari lorong ini, hanya ada kegelapan yang akan membuatmu bertanya apa kau sedang membuka mata atau tidak.

Keraguan mulai mengisi pikiran Emils. Dia masih bisa merasakan seluruh tubuhnya, tapi selain itu, ia tak tahu apapun, bahkan ia tidak tahu apa dia sedang berjalan, menggelinding atau meluncur.

Tiba-tiba ia teringat perkataan pria bernama Nolan tadi ketika Emils bertanya soal keanehan pada tubuhnya. Nolan mengatakan bahwa terdapat sebuah gangguan sihir yang diakibatkan campuran sihir pada inti Emils.

Diantaranya adalah sihir pulau Ryax yang akan segera hilang setelah beberapa menit meninggalkan pulau Ryax, tapi dua sihir lainnya masih berada dalam tubuh Emils. Paling tidak, pengendaliannya tak akan separah ketika perjalannannya dari pulau Ryax kembali ke Cacandha Vadhit.

"..mils....pa.... mu.... bis.... engar.....?"

Pada kegelapan ini ia bisa mendengar sebuah suara samar-samar. Sebuah suara dengan bahasa yang dapat ia pahami, tapi bukan suara dari para peserta lainnya. Sayangnya suara itu lebih pelan dari suara langkah kaki para peserta, sehingga Emils tak bisa mengerti maksudnya, lalu mengabaikannya.

Setelah melewati lorong spiral tadi, para Hvyt yang menemani masing-masing peserta segera melebarkan sayap mereka dan lepas landas di sebuah aula yang sangat luas, begitu luasnya sampai para Hvyt bisa terbang bersamaan tanpa membentur sesamanya.

Masing-masing Hvyt membawa mereka ke pintu, ventilasi, gerbang, lubang, portal dan berbagai benda yang bisa dikatakan "pintu masuk" ke ruangan-ruangan berbeda.

Emils adalah salah satu yang melewati ventilasi yang menggantung di atap ruangan ini.

Setelah beberapa menit melewati ventilasi yang berliku-liku, Emils sampai pada sebuah ruangan yang sangat bercahaya, atau paling tidak begitulah yang dipikirannya karena terlalu lama di lorong-lorong gelap yang harus ia lalui sebelumnya, padahal ruangan ini hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari beberapa lubang di atapnya.

***

"Tempat ini basah" komentar seorang gadis yang sedang mengelilingi ruangannya sambil menghindari beberapa genangan air.

 "Maksudmu air yang jatuh dari atap tempat ini?"tanya Hvyt yang mendampinginya.

"Ya, kenapa tempat ini memiliki lubang seperti itu di langit-langit ini? Aku yakin bukan hanya untuk pencahayaan,bukan?"

"Selain sebagai ventilasi, tidak ada tujuan lain dari lubang-lubang itu. Air di ruangan ini bukan berasal dari lubang di langit-langit. Hamba tidak memiliki pengetahuan soal itu, tapi air itulah yang membentuk struktur ruangan ini secara alami" jelas Hvyt.

"Jadi para Hvyt tidak mengetahui apapun soal tempat ini?"tanya si gadis.

"Selain soal pillar di tengah ruangan, hamba tidak tahu"

Hvyt menunjuk pada sebuah pillar raksasa yang menjulang sampai langit-langit ruangan.

"Untuk apa pillar itu?"

"Untuk nanti hamba akan menjelaskan setelah peserta satunya datang"

Sang gadis berjalan mendekati pillar itu, pilar besar yang memiliki duri-duri tajam di seluruh permukaannya. Ia meraba salah satu durinya, kemudian lantai dan terakhir pillar itu sendiri.

"Semuanya berkarat... dan basah. Apa kalian tak pernah merawat tempat ini?" komentarnya.

Kepala Hvyt menengok ke arah salah satu ventilasi di sudut ruangan yang lain. Ia melihat seorang Hvyt lainnya memberi sinyal dari dalam ventilasi.

"Nona, bersiaplah. lawanmu akan datang tak lama lagi"

***

Part II : Room of Khanakarma 07 "The Windwhirl of needles"

"Aku akan menjelaskan peraturan ronde ini" kata Hvyt.

"Pertama, kau tidak bisa menghancurkan dinding di ruang bawah tanah ini, sekuat apapun kekuatan yang kau pakai"

"Kedua, ini adalah pertarungan satu lawan satu, jadi kau harus membunuh lawanmu tanpa bantuan siapapun selain dirimu sendiri"

"Ketiga, kau harus membunuh lawanmu dalam 30 menit, maka mesin akan berhenti dan kau dinyatakan menang. Jika kau tinggal lebih lama, maka kalian akan dicincang oleh mesin itu"

"Keempat, dilarang menghina, mengumpat atau menyindir Thurkq dalam bentuk perkataan, tulisan maupun mimik tubuh dalam pertarungan ini"

"Kau hanya menambahkan peraturan keempat itu,bukan?"potong Emils.

"Terserah apa katamu, ini terhitung peraturan. Kelima, jika melanggar satu dari empat peraturan di atas, peserta tidak akan dianggap gugur, tapi akan menerima hukuman Thurkq secara spontan saat mereka melanggar peraturan itu"

"Ada pertanyaan?" tanya Hvyt itu.

"Benda apa itu di tengah ruangan ini?" tanya Emils sambil menhulurkan sebagian tubuhnya ke pilar berduri di tengah ruangan.

Hvyt mendekati Emils dan langsung menendang Emils turun dari ventilasi tanpa menghiraukan Emils pertanyaan Emils.

"Baiklah, karena tidak ada pertanyaan, langsung kita mulai pertarungan ini"

"HEI! Hvyt sialan! Kau mengabaikan pertanyaanku?!"

"Nyalakan penggilingnya!" perintah Hvyt itu, lalu pergi dari ruangan itu bersamaan dengan Hvyt pendamping peserta lainnya.

***

Sekarang, Emils tejebak di ruangan penyiksaan Khanakarma 07.

Khanakarma 07 adalah ruangan silinder berdiameter 10 meter dan tinggi 20 meter dengan struktur ruangan yang terdiri atas batuan-batuan basah.

Meski terletak di dalam perut planet, tapi karena lokasi tempat ini paling dekat dengan permukaan di antara ruangan lainnya, tak jarang ada air yang masuk melalui lubang cahaya di atas ruangan ini, sehingga pada sebagian lantai dan dindingnya terbentuk batuan-batuan Stalakmit dan langit-langit dipenuhi dengan Stalaktit.

Di tengah ruangan ini terdapat sebuah pilar besi raksasa berdiameter 5 meter setinggi ruangan dan berduri tajam di seluruh permukaannya. Bagian bawah pillar itu disangga oleh sebuah besi berkarat, sedangkan bagian atasnya terdapat tonggak yang terhubung dengan motor penggerak pillar. Ketika mesin motor dinyalakan, maka pilar ini akan berputar perlahan, lalu semakin cepat  sampai nantinya tak akan ada yang bisa menghentikan putarannya.

Suara mesin menggema di seluruh ruangan. Pillar di tengah ruangan mulai bergerak, tanda waktu ronde ketiga telah dimulai.

Tetesan-tetesan air di langit ruangan berjatuhan karena getaran pillar itu, sehingga terbentuklah beberapa kubangan air di dekat Stalakmit-stalakmit di lantai. Salah satu tetesan air itu mendarat pada sebuah genangan berwarna kebiruan. Genangan itu bergerliat, lalu mengumpulkan cairan di sekitarnya dan menengok kanan-kiri seperti layaknya mahluk hidup.

Genangan itu tak lain adalah Emils yang baru saja bangun dari kejatuhan dari pintu masuknya. Pandangan mata Emils kembali terbuka, tapi kurangnya pencahayaan membatasi jarak pandangnya.

Emils harus segera bersiap untuk melawan siapapun lawannya. Ia berusaha membentuk tubuh manusianya, tapi tubuhnya masih mengalami gangguan pengendalikan tubuhnya, sehingga ia hanya bisa membentuk sebuah tangan. Ia membatalkan niatnya menggunakan bentuk manusia dan terpaksa bertarung menggunakan tubuh Slimenya yang lebih mudah dikendalikan.

Emils membulatkan tubuhnya menjadi sebuah bola dan menggelinding mengelilingi ruangan.
Tiga menit telah berlalu, Emils telah mengelilingi ruangan berdiameter 10 meter itu, tapi ia tak menemukan siapapun di sana.

Semua batuan yang mungkin dijadikan persembunyian telah ia selidiki, tapi hasilnya nihil. Untuk sekarang, ia hanya bisa berharap musuhnya akan menunjukan dirinya cepat atau lambat.

Sebuah desingan besi menggema di seluruh ruangan, lalu sebuah peluru melesat dari belakang Emils dan menjebol sebuah Stalakmit di sebelahnya. Emils berbalik ke arah asal tembakan, tapi betapa terkejutnya dia ketika ia tahu asal tembakannya adalah tempatnya masuk tadi.

Emils bergegas menggelinding ke tempat awal masuknya tadi. Ketika ia sampai, pandangannya langsung memeriksa setiap objek di sekitarnya. Tak ada yang berubah, sama seperti ketika ia datang.

Suara desingan peluru kembali menggema bersamaan dengan sebuah peluru yang mengenai Stalakmit lain di sebelah Emils. Kali ini arah tembakan berasal dari tempat yang ia tinggal barusan.

"Tidak mungkin aku ditembak dari dua arah berlawanan oleh penembak yang sama, jadi si penembak ini pasti punya trik atau alat pembantu" pikir Emils.

Emils harus membuat si penembak atau paling tidak alatnya untuk menampakan dirinya. Untuk itu, ia harus mempersempit kemungkinan arah datangnya peluru sampai arah datangnya tampak di pengelihatan Emils. Ia bergerak membelakangi dinding ruangan ini dan menunggu si penembak menembakan serangan berikutnya.

Namun, ia lupa betapa gelapnya ruangan ini. Ia gagal melihat sebuah peluru yang menerjangnya dari atap dinding di atasnya. Peluru itu jatuh tepat dibelakang Emils, sehingga tubuh cair Emils terlempar ke udara.

Peluru lain menerjang dari sisi kiri dan kanannya. Peluru dari kiri menghantam sebuah stalakmit, tapi peluru lainnya menembus tubuh bola Emils dan hampir menggores intinya.

"Dia bisa menembak dari segala arah?"

Suara tembakan menggema lagi, lalu diikuti suara detangan besi. Peluru lainnya akan datang sebentar lagi.

Emils menjulurkan sebagian tubuhnya hingga mencapai tanah, lalu menarik tubuhnya dan menghindari peluru tadi. Ia segera menggelinding dari posisinya dan mulai mengitar ruangan lagi, tapi setiap interval sepuluh detik, sebuah peluru selalu mendarat di dekatnya dan terkadang menembus tubuh bola cairnya lagi.

Tampaknya lawan Emils kali ini kesulitan membidik kalau Emils terus bergerak, jadi dia akan terus menghindar sampai si lawan kehabisan peluru.

Mungkin itu satu-satunya yang dapat Emils lakukan untuk sekarang, tapi Ia tak bisa terus-menerus menghindari semua tembakan itu. Ia harus menciptakan sebuah kondisi  yang akan memaksa musuhnya keluar, suatu kondisi yang akan memaksa penembak jarak jauh untuk meninggalkan tempat persembunyiannya.

***

"Peluru ke-8"gumam gadis itu sambil mengokang senapannya, lalu mengisinya dengan peluru baru.

Ruangan ini begitu sempit, jika ia menetap di lantai akan mudah terlihat oleh lawannya, jadi gadis itu harus memanjat batuan dinding dan menyembunyikan dirinya dalam kegelapan ruangan pada awal pertarungan.

Senapan yang ia pakai hanya bisa menembakan sebuah peluru dengan jalur lurus, sehingga akan dengan mudah memberi tahu lokasinya dan itu sangat merugikan bagi seorang sniper seperti dia.

Untungnya ia pernah mempelajari cara untuk menyerang musuh dengan memantulkan peluru yang ia tembakan, sehingga ia bisa menembak musuh yang berlindung di balik penghalang sekalipun meski teknik ini akan mengorbankan akurasinya.

"Anginnya... berubah"

Suara deru mesin penggiling mulai mengeras. Pada menit kelima pertarungan berlangsung, mesin itu sudah membuat angin di ruang ini mengamuk. Angin mulai mengisi ruangan dan berotasi pada mesin di tengah ruangan itu sehingga batuan-batuan kecil di sekitarnya tertarik ke dalam putaran pillar.

Sebuah senyuman terukir di wajah sang gadis. Putaran angin akbat pillar itu dapat ia gunakan untuk menggeser pelurunya, sehingga ia tak perlu memantulkan peluru lagi.

Namun, ia teringat, gara-gara lawannya bergelinding terus-menerus, tujuh peluru telah terbuang percuma. Sisa pelurunya hanya lima butir peluru biasa dan satu peluru spesial.

"Aku tak boleh meleset lagi"

Gadis itu kembali membidik musuhnya. Tiba-tiba kacamata sensor panasnya mendeteksi pergerakan aneh. Di balik pilar yang sedang berputar itu, warna biru kehijauan yang menandakan tubuh musuhnya membiru dan seolah berubah dari sebuah bola menjadi sebuah bentuk manusia dan berhenti.

Orang itu tampak tak bergerak sama sekali. Tepat tak bergerak di sebuah tempat dimana gadis itu bisa menembak tanpa memantulkan tembakannya.

Senyum sang gadis semakin melebar, tapi ia langsung mengoyangkan kepalanya.

"Apa tubuhnya mengalami Haywire? atau memang dia berhenti ketika tubuhnya berubah?" pikirnya

"Waktu dan tempatnya terlalu kebetulan. Sangat mungkin ini adalah jebakan! tidak, meski ini adalah jebakan ini adalah kesempatan yang tak bolehku sia-siakan"

Gadis itu menembakan pelurunya dan menembus lutut kanan orang itu, sehingga orang itu terjatuh. Ia melanjutkan dengan menembakan sisa pelurunya ke seluruh persendian orang itu dan membuatnya tak berdaya.

Sekali lagi ia mengokang senapannya dan mengisinya dengan peluru terakhirnya, sebuah peluru yang akan meledak jika mengenai targetnya.

Ia terperanjat ketika ia membidiknya lagi dengan teleskop senapannya. Matanya yang semakin terbiasa dengan kegelapan ruangan menagkap sebuah bongkahan es mirip manusia di tempat lawannya tadi. Mata dan sensor panas kacamatanya telah terkecoh.

Gadis itu baru saja teringat betapa dinginnya ruangan bawah tanah ini, apalagi karena ia sedang duduk bergelantung pada suatu stalakmit yang membekukan kakinya.

"Tsch... kurasa ruangan ini terlalu dingin untuk sebuah kacamata sensor panas"

"Jadi kau menggantung di dinding!" terdengar sebuah teriakan dari pillar di tengah ruangan.

***

Part III : Oh... it's you again...

Sebuah bongkahan es tampak menepel di sela-sela duri pillar itu. Di dalam bongkahan itu, terdapat bola biru yang terus menerus mengawasi keadaan di sekitarnya.

Sebelumnya, Emils membekukan intinya di antara duri-duri penggiling yang berputar hebat supaya intinya tidak terlepas dari perputaran mesin penggiling itu, lalu karena lawannya terpancing untuk menembak beruntun, Emils berhasil menemukan lokasi lawannya dari percikan api yang diakibatkan moncong senapan lawannya.

Sekarang yang ia perlukan adalah melepas esnya dan ia akan diterbangkan oleh gaya perputaran pillar ke lawannya yang sedang bergantung pada dinding.

"Tunggu dulu...."

Selama semenit, ruangan itu menjadi hening. Tidak ada suara apapun selain mesin penggiling dan angin yang berhembus. Si gadis masih mencari-cari asal suara itu karena tak ingin menyia-nyiakan peluru terakhirnya, sedangkan Emils...

"B-Bagaimana caranya aku melepas es ini?!"

Untuk membekukan intinya pada duri-duri pillar, Emils harus membekukan seluruh air yang ia pakai saat itu atau dia akan terhempas. Akantetapi, karena ia membekukan semua air di sekitarnya, ia tidak memiliki air setetespun untuk dikendalikan.

Dia memang berhasil menemukan lawannya, tapi dia melupakan cara untuk melepaskan dirinya.

"Woi! Siapapun kau! Tolong aku! Aku nggak bisa lepas!"

Gadis yang menjadi lawan Emils terdiam sejenak. Suara Emils terdengar sangat familiar di telinga gadis itu. Salah satu telapak tangannya memegangi dahinya sedangkan kelopak matanya turun setengah dan bibirnya mengkerut.

"Suara itu... ya tuhan... apa yang hamba lakukan sampai hamba harus bertemu Slime pembawa sial ini lagi?!"

Gadis itu mengarahkan senapannya pada pillar di tengah ruangan tanpa menghiraukan lokasi lawannya.

Peluru melesat dari moncong senapannya, lalu mengenai pillar itu sehingga ledakan kuat terjadi di pillar itu. Hanya tampak asap hitam yang mengepul keluar dari pillar yang masih berputar itu.

"Sekarang... ini sudah berakhir"

Gadis itu melepas sebuah nafas lega, lalu ia bersandar pada dinding di belakangnya sementara kakinya masih berusaha menstabilkan tubuh atasnya di batuan Stalakmit yang menjadi pijakannya.

Sang gadis merengangkan tubuhnya yang kaku karena lama menahan posisi. Ia hendak beristirahat untuk melepaskan beban stres setelah bertemu mahluk itu lagi, tapi suara desingan besi dari pillar yang masih berputar itu mengganggunya.

Tiba-tiba ia terperanjat ketika ia mengingat perkataan Hvyt yang menemainya tadi.

"Peraturan ketiga, kau harus membunuh lawanmu dalam 30 menit, maka mesin akan berhenti dan kau dinyatakan menang"sepintas perkataan Hvyt berputar lagi di kepala gadis itu.

Jika mesin di ruangan ini masih bekerja, maka Emils masih hidup. Namun, gadis itu sudah kehabisan peluru. Tiga belas peluru senapan yang diberikan Hvyt telah habis ia gunakan tanpa membunuh lawannya.

"Berengsek kau Thurkq! Kenapa pelit-pelit amat sama peluru,sih?!" bentak gadis itu ke langit-langit ruangan.

Kornea mata si gadis menangkap sebuah cahaya dari langit-langit.

Dari atap ruangan itu, sebuah petir menyambar tempat gadis itu bersembunyi. Si gadis berhasil menghindari petir itu dengan menjatuhkan dirinya, tapi jaket hitam bertudungnya terbakar panas petir itu, sehingga ia harus membuangnya.

Akibat petir itu, batuan Stalakmit yang tadinya menjadi pijakan kaki gadis itu, kini menjadi kobaran api yang menerangi seluruh ruangan. Cahaya dari kobaran api itu memberi pencahayaan dan menampakan bayangan gadis itu.

Seorang gadis berambut perak yang memakai sebuah seragam sekolah putih dan rok hitam segera meraih keseimbangan dan mendarat di lantai dengan selamat.

Senapan laras panjang di tangannya langsung ia gantungkan di punggungnya, lalu menarik dua buah pistol yang digantungkan di sebuah sabuk yang bergelantung di pinggangnya.

Mata merah gadis berambut perak yang terhalang oleh kacamata perseginya memandang ke setiap sudut ruangan, mencari lawan bertarungnya, lalu berhenti pada sebuah bola biru sebesar bola tenis di pojok ruangan sedang bergelinding ke genangan air terdekat.

Emils melihat sebuah bayangan mendekati dirinya. Belum sempat ia melihat pemilik bayangan itu, sebuah kaki langsung menendang inti Emils menjauh dari genangan air itu.

Karena tendangan tadi, Emils kehilangan kesadaran.

***

Kegelapan.
Itulah yang kesan yang muncul dari tempat ini.
Sebuah kegelapan yang abadi, tanpa cahaya, hanya kegelapan.


"Ba.... mils..." terdengar sebuah suara dari kejauhan.

"Bangun! Emils! Bangun!" teriakan itu telah membangunkan Emils.

Pengelihatan Emils terbuka, tapi sama saja. Semuanya tetap gelap. Emils membuka-tutup pengelihatannya berkali-kali, tapi hasilnya sama saja.

"Apa aku memang sudah membuka pengelihatanku?"

"Bagaimana caranya aku melihat? aku bahkan tak punya mata"

"Lalu bagaimana aku melihat semua hal dari awal hidupku?"

Puluhan pertanyaan tak penting mulai dari hal sepele seperti bagaimana dia makan sampai bagaimana dia berpikir mulai membanjiri pikiran Emils. Namun, semua pertanyaan itu tiba-tiba tertepis oleh satu suara yang sangat keras.

"Hoi! Bangunlah slime tak berguna!"

"Bangun? Bagaimana caranya bangun?"

Sebuah tamparan keras melayang ke inti Emils, lalu semua menjadi putih. Kemudian perlahan menjadi suatu gambar yang samar-samar. Suatu gambar gadis yang melompat dengan kaki yang menikam ke arahnya.

***

Emils terbangun kembali dan gadis berambut perak itu sudah melompat ke udara dan melancarkan tendangan udara.

Emils segera menggelinding dari tempatnya dan menghindari tendangan gadis itu. Untungnya, ia menggelinding tepat pada sebuah genangan air yang langsung ia serap.

Emils menengok kembali kepada gadis itu, lalu dengan spontan tubuhnya membentuk bola lagi dan bergelinding menjauhinya dan bersembunyi di balik sebuah Stalakmit.

"L-Luna Arachelia?!"teriak Emils sambil melarikan diri.

Emils memberanikan dirinya untuk menengok ke belakang untuk memastikan apa yang dilihatnya. Tidak salah lagi. Gadis berambut perak itu adalah Luna Arachelia, The Moon Night Scarlet.

Emils langsung menjerit sejadi-jadinya, lalu bergelinding menjauhi sang gadis dengan kecepatan tinggi.

"Kenapa aku harus bertemu kau lagi?!" teriak Emils dengan lebih panik.

Pada ronde sebelumnya, Emils dan Luna bekerja sama untuk melawan peserta bernama Stella Sword, tapi Luna terbunuh karena kesalahan Emils. Meski ia ingat perkataan terakhirnya adalah "terimakasih", tapi sifat pengecutnya membuat dia menganggap Luna bangkit dari kematian untuk membunuhnya.

"Harusnya aku yang bilang begitu!"balas si gadis berambut perak itu.

Gadis itu –Luna Arachelia– mulai mengejar bola inti Emils yang bergelinding. Bagi Luna, Emils tanpa bentuk manusianya sama saja dengan Luna tanpa senapannya, jadi ia tak perlu senjata untuk melawan sebuah bola kecil tak berdaya.

Emils bergelinding ke sebuah dinding bersamaan dengan Luna yang mengejarnya, lalu melesatkan dirinya di dinding itu. Ketika sampai pada ketinggian di atas kepala Luna, ia menghentakan seluruh tubuhnya dan memantul dari dinding itu.

Dengan sedikit cairan yang berhasil ia kumpulkan, Emils berubah menjadi sebuah senjata dan berputar sambil menebas Luna yang berada di bawahnya.

Sayangnya ia tidak menjadi sebuah pedang, kapak atau senjata tajam lainnya, melainkan sebuah baton. Ya, sebuah baton yang biasa dipakai oleh mayoret dalam drum band.

Dengan mudahnya, Luna menangkap baton yang berputar pelan ke arahnya.

"Dari semua senjata, kenapa baton? Lagipula, apa Baton termasuk kategori senjata?"tanya Luna seraya menatap inti Emils dengan menurunkan kedua kelopak matanya.

"Ya... begini... sepertinya ketika di pulau Ryax, ada sihir-sihir aneh yang masuk ke dalam tubuhku sehingga aku tidak bisa menjadi senjata dengan benar" jelas Emils.

"Oh... tidak bisa menjadi senjata..."

Sebuah senyum sadis tergambar di wajah Luna. Ia berjalan ke penggiling di tengah ruangan dan bersiap melemparkan baton itu.

"T-tunggu dulu! A-apa kita tidak bisa menyelesaikan ini tanpa kekerasan?"

"Tidak"jawab Luna dengan singkat.

"bagaimana kalau...."belum sempat Emils menyelesaikan kalimatnya, ia sudah dilempar oleh Luna.

Tubuh Emils menjadi kaku seperti es, bayangan dirinya dicincang oleh mesin itu sudah tergambar di matanya. Tidak ada genangan atau tetesan air yang mungkin bisa ia gunakan untuk menyelamatkan nyawanya. Emils tak bisa menghindar, apalagi dalam bentuk baton ini.

***

Satu-satunya hal yang bisa Emils lakukan adalah pasrah....

Pasrah akan kegagalannya...

Pasrah akan kekalahannya...

Pasrah akan kematiannya...

Pasrah akan kehilangan segala-galanya....

Pasrah akan menecewakan teman-temannya...

Pasrah akan gagal sebagai revolutionist...

Pasrah akan nasibnya yang terlahir sebagai Slime, mahluk paling lemah sejagat...

Pasrah akan takdirnya mati konyol di kematian keduanya...

Pasrah... Pasrah... Pasrah... Pasrah... Pasrah... Pasrah...

"ENAK SAJA! PASRAH?! HAH! AKU TAK MAU KALAH DENGAN TAKDIR!"seolah baru bangun dari mimpi buruknya, semangat Emils kembali berkobar.

Ketika pillar berduri di belakangnya hendak merebut segalanya, Emils menggunakan semua cairan yang ia miliki untuk membentuk sebuah tangan dan berhasil meraih salah satu duri pillar itu. Karena berpegangan duri itu, Emils ikut berputar kencang mengikuti perputaran pillar.

"Aku... masih punya tujuan yang harus aku capai!"

Emils hendak membentuk tangan kedua, tapi tubuhnya menolak karena kurangnya cairan.

Namun, Ia tak peduli lagi, ia tak mau dikekang, ia tak mau diperalat oleh nasib, ia tak mau dikekang oleh hukum alam. Seakan merusak hukum alam itu sendiri, tubuh cair Emils membentuk tangan baru yang sumber airnya tak diketahui.

"Aku tak akan kalah hanya karena interferensi sihir konyol seperti ini!"teriak Emils dengan lantang.

Emils melepas tangannya dan langsung melesat kepada Luna. Ia tak dapat membentuk senjata apapun, tapi paling tidak ia masih bisa mempertahankan membentuk  tangan kedua dan dengan tangan itu pula, Emils melancarkan sebuah pukulan yang tepat mengenai wajah gadis itu dan membuatnya terpental ke dinding ruangan silinder ini.

"Hah! Itulah yang akan terjadi kalau kau macam-macam denganku!"

Emils turun tepat di depan pillar itu, lalu menjauhi pillar di belakangnya. Mungkin ia beruntung terakhir, tapi lain kali mungkin ia akan terkoyak pillar itu.

Emils melepas nafas lega. Musuhnya telah dikalahkan meski tubuhnya mengalami gangguan sihir sehingga ia tak bisa bertarung seperti biasanya. Ia bisa membanggakan kemenangan gemilangnya ini.

"K-Kenapa?"suara Luna terdengar dari tempatnya menghantam dinding. Debu tebal yang menutupi dirinya perlahan memudar dan menampakan Luna yang duduk bersandar pada dinding dengan luka memar di pipinya.

"Kenapa kau tidak mau menyerah? Tadi kau sudah kalah Emils!"

"Karena aku masih punya tujuan. Aku tak akan menyerah sampai tujuan itu tercapai"

"Sadarlah,Slime! Kau hanya mahluk lemah! Seharusnya kau tidak bisa apa-apa! Bahkan seharusnya kau tidak pernah ada! Kau hanya karakter fiksi dari video game!"

"Aku kurang mengerti perkataanmu yang terakhir, tapi... Ya. Itu tidak salah. Aku hanya mahluk lemah yang tidak bisa apa-apa..."

Tubuh Emils menyerap cairan dari genangan terdekat dan bersiap melawan Luna jika dia melawan lagi. Emils tahu Luna tidak bisa menembak dari jarak sedekat ini dan kedua pistolnya tidak akan berfungsi tanpa ritual pemanggil bulannya. Sekarang, Ia tak lebih dari seorang gadis remaja yang tak berdaya.

"Tapi, aku adalah Revolutionist. Tujuanku adalah merubah dunia dan...."

Perkataan Emils terpotong oleh suara cekikikan tawa Luna. Bukan suara tawa karena senang atau geli, melainkan tawa karena jijik.

"Jangan bercanda! Revolutionist? Merubah dunia? Kau hanyalah penghayal!Slime yang ingin merubah dunia? Dunia apa? Dunia digital? Dunia imajinasi? Plot twist dari mana itu?"Luna tertawa mengkikik lagi.

"Dengar Slime, Dunia dipenuhi oleh bajingan-bajingan yang tak mau berubah. Mereka menetap menjadi bajingan dan tidak akan berubah bahkan sampai mereka mati karena mereka senang menjadi bajingan!"

"Dan satu-satunya cara untuk membersihkan mereka hanyalah..."

"...membunuh mereka"sambung Emils.

Luna tercenggang. Perkataan Emils membuat tubuhnya bergidik, tapi ia segera kembali seperti  sebelumnya dengan senyuman yang lebih lebar.

"Kalau kau bisa berkata "membunuh" dengan mudah? Kau pasti sudah..."

"Ya. lebih dari ratusan manusia, monster dan mahluk hidup lainnya tertebas oleh pedangku"

"Dan kau masih memanggil dirimu "Revolutionist"? kau tidak lebih dari pembunuh!"

"Begitu pula dirimu"

Mendengar perkataan Emils, mata Luna berubah. Dari mata yang mengejek, sekarang berubah menjadi mata yang penuh dengan kebencian.

"Dilihat dari kelenturan tubuh, kecepatan reaksi, senjata, gaya bertarung dan insting bertarungmu, kau bukanlah amatir. Itu bukan sesuatu yang didapat hanya dari melindungi diri sendiri"

"Kau juga seorang pembunuh, Luna. Kau sama sepertiku"lanjut Emils.

"Diamlah...."geram Luna.

"Tatapan mata, pengetahuan, gaya bahasa... semuanya mengatakan kau pernah merasa pahit yang paling pahit di dunia. Rasa pahit ketika..."

"Diamlah! Kau tidak tahu apapun tentang aku!"sentak si gadis berambut perak.

Luna berdiri dengan kedua kakinya, lalu mengacungkan kedua pistolnya kepada Emils. Tentu saja Emils tidak takut karena tahu senjata itu perlu suplai sihir untuk menembak.

Namun, Inti Emils mulai bercahaya dengan cahaya perak, lalu menyebar ke seluruh tubuhnya.

Ketika seluruh tubuhnya terbungkus oleh cahaya perak itu, semua cahaya perak itu meninggalkan tubuh Emils dalam bentuk projektil sihir ke pistol Luna yang sedang diacungkan kepada Emils. Sekarang, kedua pistol Lunalah yang bercahaya keperakan.

"Awalnya aku yakin aku takan bisa menggunakan pistol magnum sihirku karena aku tak bisa memanggil bulan di ruang bawah tanah"

Wajah Luna tidak tampak setenang tadi, matanya sekarang tampak kosong meski senyum masih terukir di wajahnya. Sebuah senyum sadis yang membuat bulu kuduk berdiri.

"hihihi... tapi tak kusangka aku akan menemukan sihirku ditempat seperti itu hihihi..."tawa Luna semakin mengikik.

"Aku benci kau, Emils... Kau juga termasuk dalam "daftar bajingan" milikku. Aku membantumu dalam ronde sebelumnya, tapi kau membiarkanku terbunuh oleh Stella. Dan sekarang aku akan dibunuh oleh orang yang telah kutolong? LAGI?! Akan kubunuh kau Emils... AKAN KUBUNUH KAU MESKI AKU HARUS MATI!"kata Luna dengan suara berat dan agak bersedu.

"Apa memang sebegitunya kau ingin hidup kembali,Luna?"tanya Emils karena penasaran kenapa Luna tampak tak seperti dirinya yang Emils ketahui.

"Aku tak peduli mau hidup atau mati lagi! Aku hanya mau membunuhmu! Aku sudah muak dengan orang seperti kalian! Orang-orang yang tak tahu berterimakasih!"teriak Luna dengan bersedu lagi.

Luna menarik pelatuk pistolnya, dua buah projektil sihir berwarna perak melesat ke arah Emils. Secara refleks, tubuh Emils membentuk tubuh manusianya dan bergelinding menghindari kedua tembakan Luna yang kemudian meledak di dinding belakang dan meninggalkan kobaran api baru.

Emils menyadari perubahan pada tubuhnya. Sekarang ia dapat membentuk bentuk manusianya seperti sedia kala.

Emils teringat pada ronde sebelumnya, Luna memakai Emils sebagai senjata untuk melawan Stella Sword. Sihir keduanya berselisih dan bercampur aduk dalam tubuh Emils yang saat itu dipakai sebagai senjata, lalu dirinya menjadi mahluk yang sangat buas karena pengaruh sihir Ryax. Ia masih bisa melawan Ravelt karena dia masih berada di pulau Ryax saat itu, dimana sihir pulau Ryax cukup stabil.

Namun, sekarang tampaknya sihir pulau Ryax sudah lenyap termakan waktu dan sihir Luna telah terambil kembali. Tinggal satu, yakni sihir Stella, tapi sihir Stella kurang lebih sama dengan sihir yang dipakai oleh Emils, jadi tak akan banyak pengaruhnya.

"Aku akan mengakhiri semua di sini!"Emils mendeklarasikan kemenangannya.

***

Part IV : Nolan's Suprise "Event"

Emils telah mendeklarasikan kemenangannya, tapi sepertinya Thurkq punya rencana lain. Pillar di tengah ruangan tiba-tiba terbelah menjadi dua dan salah satunya menyundul masuk diantara mereka berdua.

Kedua pillar itu lalu menutup bagian mereka yang terbelah dan membentuk dua pillar utuh, lalu kembali berputar dengan kecepatan yang lebih tinggi dengan arah yang berlawanan. Sekarang, ditengah ruangan, tepat di lokasi pillar awal berada tidak tersisa apapun. Hanya sebuah lubang tak berujung menunggu di tengah ruangan itu.

"Kurasa semua sudah mulai memanas,ya?"sebuah layar hologram muncul di tengah ruangan.

Tampak layar hologram itu terbelah dua yang masing-masing menunjukan dua buah wajah tak asing bagi mereka. Salah satunya adalah pria yang Emils temui tadi, Nolan Famburg, sedang duduk di sebuah kursi kantor dan dikelilingi bermacam tombol yang menyala-nyala, sedangkan di sebelahnya tampak Thurkq yang duduk bersantai di tahta megahnya.

"Menarik sekali, Nolan. Aku kira kau mengurangi jumlah pillar penggilingnya, tak kusangka kau akan menambahkan hal seperti ini"puji Thurkq pada pria di sampingnya.

"Apapun untuk anda, Dewa. Hamba juga menambah sesuatu yang menarik untuk anda"

"Apa yang kau tambahkan,Nolan?"

"Perhatikan lubang di tengah ruangan. Jika kau masuk kedalamnya, kau akan terjebak di dalamnya selamanya"

"Itu tidak terlalu menghibur,Nolan"

"Dewa, itu memang tidak menghibur, tapi akan menghibur melihat yang masuk kedalamnya berusaha keluar dari dalamnya" kata Nolan, lalu ia memperbaiki posisi kacamatanya sehingga cahaya layar menyilaukan kacamatanya.

"Dan apa anda ingat,dewa? Batas waktunya adalah tiga puluh menit, jika mereka terjebak dalam lubang itu sampai waktu habis, apa yang akan terjadi?"

Bibir sang dewa terbuka lebar dan menunjukan gigi tajam di dalam mulutnya.

"Hahaha! Ide bagus, Nolan! Itu akan lebih menarik. Jika tak ada yang mati, takan ada yang menang, tak akan ada yang bisa keluar dari sini! Hahaha!"tawa Thurkq menggema di seluruh ruangan, lalu hologram Thurkq menghilang begitu saja.

"Bertahanlah"kata Nolan sebelum pergi.

Kembali ke Emils dan Luna. Karena ruangan yang tiba-tiba berubah, keduanya sekarang dipisahkan oleh mesin penggiling yang akan menggiling mereka dan lubang yang akan membuat pertarungan ini kalah bagi kedua belah pihak.

Situasi ini sangat tidak menguntungkan bagi Emils. Duri-duri kedua pillar hampir bergesekan dengan dinding ruangan dan di tengah ruangan terdapat sebuah lubang lebar, sehingga hampir tidak memungkinkan Emils untuk menyebrang.

Di sisi lain, Luna telah mendapat suplai sihir yang ia butuhkan untuk menembakan pistol sihirnya. Sebuah senyuman terukir di wajah si gadis berambut perak. Hanya menunggu waktu sampai Emils menampakan dirinya, dan pada saat mahluk cair itu menampakan dirinya, ia akan merebut kemenangan.

Sebuah projektil sihir keperakan melewati sela duri-duri yang berputar berlawanan arah di tengah ruangan dan berbelok ke arah Emils. Emils menghindari tembakan itu, tapi projektil itu berbalik, lalu meledak tepat di bawah kakinya sehingga menghasilkan ledakan kuat yang menerbangkan Emils ke belakang salah satu pillar penggiling.

Angin yang tertarik oleh pusaran pillar semakin menguat sampai-sampai Emils hendak tersedot ke dalam pusaran itu. Dia segera berlari meninggalkan pillar itu sebelum ia benar-benar tersedot.

Lima projektil lain ikut menyusul melewati tengah ruangan, tapi tak seperti tembakan pertama, kebanyakan tembakan susulan ini melenceng jauh dari target mereka, lalu menghantam tembok dan meninggalkan kobaran api di tempat jatuhnya.

"Apa dia memang membidikku? Atau dia punya rencana lain?"pikir Emils.

Emils berlari ke tengah ruangan dimana lubang tak berujung berada. Dia tak akan mungkin bisa melewati pinggir ruangan, jadi satu-satunya cara untuk ke daerah Luna adalah melompati lubang di tengah ruangan.

Mata kosong Luna melirik mahluk biru yang memasuki jarak pandangnya. Kedua pistolnya segera ia acungkan, lalu ditariknya pelatuk kedua pistol itu. Segera setelah pelatuk itu ditarik, projektil sihir keperakan keluar dari masing-masing pistol.

Emils segera melompat ke samping untuk menghindarinya sehingga kedua projektil perak Luna gagal mengenai target mereka. Namun, belum sedetik projektil sihir itu dihindari, keduanya langsung berbalik arah kepada Emils lagi.

Emils memusatkan cairannya pada lengan kanannya, lalu lengannya mulai memanjang untuk membuat senjata apapun yang dapat ia bentuk. Saat salah satu projektil itu hendak menyambar tubuhnya, Emils langsung menghantam projektil itu dengan senjata barunya, sebuah spatula.

"eh?"

Tangan cair Emils dan "senjata" barunya tercerai-berai menjadi titik-titik air yang berceceran kemana-mana. Projektil keperakan Luna tetap meluncur di jalurnya dan meledak pada salah satu pillar yang sedang berputar.

Namun bahaya belum berlalu, projektil kedua datang menyusul. Emils mengangkat tangan kirinya dan berhasil membentuk sebuah perisai besar yang cukup untuk menutupi seluruh tubuhnya. Sayangnya, perisai itu memiliki sebuah lubang besar di tengahnya.

Projektil kedua berhasil menerjang perut cair Emils dan memisahkan tubuh cairnya menjadi dua bagian, lalu sama seperti projektil pertama, projektil kedua meledak pada pillar yang sama.

Inti Emils terjatuh ke lantai panas ruangan itu sementara tubuh cairnya menguap. Ia menyadari keanehan pada suhu ruangan. Sebelumnya lantai ini dingin seperti es, tapi sekarang lantai terasa begitu panas. Emils melihat kilatan cahaya di belakangnya, api menjalar tepat di dinding yang telah Luna tembak dan karena pusaran angin pillar penggiling, api itu mulai menyebar ke seluruh ruangan.

Emils tertunduk lesu. Sekarang airnya tak akan cukup untuk bertarung dan air di sekitarnya telah menguap. Tidak ada harapan lain. Kali ini dia benar-benar kalah. Panas dari api dibelakangnya mulai mengacaukan sistem intinya, pandangannya mulai kabur, lalu semuanya tertelan dalam kegelapan.

***

Part V : Another Magic.

Semua menjadi gelap dan hening. Tidak ada pijakan, tidak ada angin, tidak ada getaran, tidak ada siapapun, tidak ada apa-apa selain kehampaan ini. Samar-samar terdengar suara seorang wanita.

 "Hei!"suara itu lebih menggema dari sebelumnya.

"Emils! Bangunlah! Sampai kapan kau akan terus tidur?"

Pandangan Emils terbuka, tapi tetap saja yang ia lihat hanya kegelapan. Sama seperti setiap kali ia pingsan, hanya kegelapan yang menyambutnya. Namun, kali ini berbeda, seakan sudah berada di sana selama berjam-jam, seorang wanita meneriaki Emils.

Seorang wanita sedang melayang-layang dalam posisi berdiri di dalam kegelapan. Emils mengenal wanita itu, terutama karena tak ada wanita lainnya yang berambut belang merah-biru.

"AGH!!! K-Kau lagi?!"teriak Emils spontan.

"Jangan bunuh aku! Bukan aku yang membunuhmu! I-itu karena pengaruh pulau Ryax! H-Hantu pergilah! Hantu pergilah! Kembalilah ke alammu! Jangan ganggu jiwa lain yang masih hidup!"

"Enak saja! Aku bukan hantu! Aku susah payah membangunkanmu dan kau malah manggil aku hantu?!"

"Ini pasti kutukan pulau Ryax! Semua yang kubunuh di sana kembali ke dunia mahluk hidup sebagai arwah gentayangan untuk menghantuiku! Pasti tidak lama lagi si pria bertudung dan si rambut pirang akan..."

"Apa kau lupa kalau ini memang bukan dunia mahluk hidup?"kata wanita itu dengan menekankan kata [Mahluk hidup].

"L-lalu kenapa kau bisa di sini?"tanya Emils

"Aku tidak tahu... mungkin karena di ronde sebelumnya kau memakan tangan kananku, sihirku ikut masuk ke dalam tubuhmu, jadi aku terjebak di sini"

"Perkataanmu sangat tidak bisa dipercaya"

"Aku sudah bilang aku tidak tahu,kan? Ketika aku sadar aku sudah di sini!"

"Kalau begitu, cepat keluar! Tidak ada ruang untuk jiwa lain di sini!"

Emils berputar membelakangi wanita itu. Namun, kata [Jiwa] yang ia katakan sebelumnya membuatnya tersadar akan sesuatu, lalu berbalik kembali menghadap si wanita berambut merah-biru.

"Tunggu dulu! Jadi kaulah alasan kenapa aku tidak bisa mengendalikan tubuhku!"

"Bukan, kau sendiri yang nggak bisa mengendalikan sihirku"

"itu sama saja! Cepat keluar!"

"Aku tidak bisa keluar sampai kau menghabiskan semua sihirku yang kau telan di ronde terakhir. Jadi ini semua salahmu sendiri!"

Emils terdiam. Ya, memang benar salahnya menyimpan sihir-sihir asing seperti sihir pulau Ryax, sihir bulan dari Luna dan sihir Alexis milik Stella. Akantetapi, ia tak bisa memuntahkan sihir begitu saja karena ia tak tahu sihir lain selain sihir pembeku yang diajarkan si penyihir.

Melihat kondisinya saat ini, ialah yang membutuhkan bantuan. Ia perlu paduan dari si pemilik sihir itu sendiri untuk melepas sihir dalam tubuhnya.

"Baiklah, Stella. Keadaan kita terdesak, kita akan membicarakan ini nanti, tapi untuk sekarang...."

***

Alexis Knight, itulah sebutan untuk sekelompok satria yang berdiam di dasar sebuah sungai bernama Aquos. Mereka dikenal karena sihir mereka –Sihir Alexis– yang memiliki kemampuan memanipulasi partikel dari benda apapun, bahkan tubuh mereka sendiri. Tangan kanan mereka mengandung sihir untuk mengumpulkan partikel dan tangan kiri mereka mengandung sihir untuk melepas energi.

Pada ronde sebelumnya, Emils dalam pengaruh pulau Ryax telah memakan tangan kanan seorang Alexis knight bernama Stella Sword, sehingga sihir tangan kananya masih tersimpan dalam inti Emils. Namun karena tidak tahu bagaimana cara menggunakannya, sihir ini malah mengganggu pengendalian Emils dan merugikannya.

Namun, sekarang kondisi telah berubah, sihir Alexis yang tersimpan dalam inti Emils perlahan mengalir keluar dan mewujudkan dirinya dalam sebuah fenomena di luar nalar.

Udara di sekitar Emils mulai bergerak seirama dengan sihir yang mengalir keluar dari intinya. Partikel dalam udara itu berkumpul, lalu perlahan menggumpal menjadi suatu objek basah, setetes air. Setetes demi setetes air mulai berjatuhan bagai tetesan hujan dan membentuk genangan-genangan air.

Dari salah satu genangan itu, sebuah tangan merayap keluar, lalu air disekitarnya terserap ke tangan itu, sehingga tangan itu mampu membentuk tubuh lainnya, menjadi tubuh cair yang mirip manusia. Emils telah kembali.

"Ikuti petunjukku tadi! Bayangkan udara di sekitarmu adalah air, gumpalkan mereka pada satu titik, maka mereka akan menjadi air!" sebuah gema suara terdengar dalam kepala Emils.

Tangan kanan Emils merentang pada langit-langit, lalu membayangkan titik-titik pada langit-langit menggumpal pada titik-titik itu.

Udara di sekitar langit-langit itu berkumpul, setiap partikelnya memadat menjadi air dan karena suhu ruang bawah tanah yang cenderung lebih tinggi, proses ini berlangsung lebih cepat sampai hujan deras menghujani ruangan dan memadamkan seluruh api di yang berkobar. Ruangan ini sekali lagi menjadi gelap dan hanya diterangi cahaya redup dari langit-langit.

Di sisi lainnya, Luna tampak jengkel. Dia penasaran darimana asal hujan di ruangan ini. Apapun alasannya, hujan ini telah merusak rencananya untuk menyiksa Emils sebelum membunuhnya dengan membakarnya.

"Dari mana asal hujan ini?"tanya Luna pada dirinya sendiri.

Ia tak bisa melihat banyak hal karena ruangan kembali menjadi gelap dan menyalakan kacamata sensor panasnya lagi.

Kacamatanya dapat menangkap kumpulan panas membentuk suatu tubuh manusia dan berpusat pada satu buah bola yang lebih panas dari tubuh lainnya di balik salah satu penggiling seakan mencoba menyebrang melewati pinggir ruangan.

"Ketemu..."

Luna membidik pusat ruangan, lalu menembakan tembakan-tembakan sihir dengan beruntun. Projektil sihir yang ditembakan oleh Luna membelok dan meledak di lokasi si mahluk yang ia lihat.

Namun, tembakannya meleset. Warna kemerahan pada mahluk itu melompati lubang tak berujung di tengah ruangan. Tubuhnya bergidik, Luna melepas kacamatanya, ia tercenggang melihat Slime itu dapat membuat ombak besar setinggi sepuluh meter dari air-air di sekitarnya.

"B-Bagaimana bisa?!"

Emils mendarat di sisi lain lubang tak berujung itu, lalu dengan sihir yang ia dapat dari Stella, ia membekukan permukaan lubang itu dan menutupnya dengan permukaan es beku. Air dari hujan di ruangan mulai mengisi ruangan sedikit demi sedikit sampai menutupi mata kaki.

Tiba-tiba Luna terjatuh. Ia memegang dadanya, nafasnya semakin tidak beraturan dan rasanya semakin sesak. Udara di ruangan ini semakin menipis.

"Waktunya untuk mengakhiri ini,Luna!"

Emils mengangkat senjatanya, sebuah pedang yang terbuat dari cairan sama seperti yang biasa ia pakai. Ia menerjang Luna dengan senjatanya, tapi si gadis berambut perak tak mau menyerah begitu saja.

Luna menembakan pistol kirinya dan menghancurkan tangan kanan dan pedang Emils. Emils membentuk pedang pada tangan kirinya dan kembali menerjang.

Pistol di tangan kanan Luna memuntahkan projektil yang lebih besar, tapi gagal mengenai tangan kanan Emils.

Emils melompat ke udara dan menebas Luna dari atas, tapi Luna menahan dengan kedua pistolnya, lalu mundur selangkah dan meluncurkan sebuah tendangan vertikal hingga tubuh Emils terpental ke atas. Luna mengarahkan kedua  pistolnya dan menembaki Emils dengan tembakan beruntun.

Tubuh cair Emils terpisah dari air di lantai dan  terus-menerus menerima tembakan dari Luna, sehingga ia tak bisa memulihkan tubuhnya.

Tembakan Luna terus-menerus menghujam tubuh cair Emils sampai intinya tampak. Luna tersenyum, inilah akhir dari segalanya. Ia mengarahkan kedua pistolnya pada inti Emils dan menguncinya dalam pandangannya.

"Ada kalimat terakhir,Emils?"

"Kalimat terakhir?"

"Bajingan kau.... Thurkq!"

Mata Luna terbelalak. Itu bukan sebuah kalimat terakhir. Itu adalah sebuah jebakan.

Luna segera melompat mundur menjauhi Emils sebelum sebuah petir menyambar inti si mahluk cair itu. Namun, inti Emils jatuh lebih cepat dari pada petir itu, sehingga petir itu menjalar di permukaan air sekitarnya.

"Ha! Mana ada petir lebih lambat dari kejatuhan? Kau memang dewa jadi-jadian, Thurkq!"ledek Emils.

Petir yang lebih kuat dari sebelumnya menyambar lagi dari langit-langit. Petir itu merambat dengan cepat melalui air dan menyetrum daerah sekitarnya. Luna segera memanjat sebuah Stalakmit di dinding dan menghindari gelombang petir itu.

"Aku bilang apa! Kau hanya...."

Belum sempat Emils menyelesaikan kalimatnya, sebuah projektil keperakan menerjangnya. Emils menggulingkan intinya dan menghindari tembakan itu seraya menatap si penembaknya, Luna Arachelia.

"Aku tidak tahu apa rencanamu dengan memancing petir-petir itu, tapi aku tak akan membiarkan rencanamu terwujud!"

Pistol Luna kembali memuntahkan projektil-projektil keperakan. Kali ini, Emils tak mau kalah dan melemparkan bongkahan-bongkahan es berbentuk  pisau dari bawah air.

Projektil Luna dan pisau Emils berhantaman dan hancur tak menyisakan apapun.

Emils membentuk tubuh manusianya lagi dan menerjang Luna.

Kerutan di bibir Luna berubah menjadi sebuah senyuman, ia menembakan sebuah projektil ke arah Emils, tapi tak mengenai Emils.

Luna menembakan sebuah projektil dari masing-masing pistolnya ke bawah kakinya sehingga ia terhempas ke udara. Pada saat di udara, ia menembak Emils dibawah dengan beruntun lagi.

Namun, Emils sudah tahu rencana Luna. Emils membuat sebuah penghalang es diantara mereka berdua dan melindungi dirinya dari serangan Luna.

"Kalau kau menggunakan trik yang sama terus-menerus aku juga akan bosan!"

"Ini bukan trik yang sama, hanya sedikit berbeda"

Hujan projektil Luna telah berhenti. Emils keluar dari penghalang esnya dan menemukan Luna bergelantung dengan satu tangan di salah satu Stalakmit di dinding.

Emils hendak membuat sebuah tombak dan melemparkannya, tapi tiba-tiba ia mendengar sebuah suara deru yang sangat keras yang diikuti oleh guncangan seakan gempa bumi menerpa seluruh ruangan.

Emils menoleh kebelakangnya, ia tak bisa melihat apapun di dalam gelapnya ruangan, tapi dia tahu ada hal buruk yang akan terjadi. Ia memandang langit-langit ruangan dan menyadari ada pergerakan aneh di salah satu pilar.

Tidak seperti pillar di sebelah kirinya yang masih berputar dengan rapi, pillar di kanan Emils seakan berputar tidak seperti seharusnya. Perputaran pillar itu sangat tidak teratur.

"Penasaran dengan pillar itu, Emils?"

Emils menengok ke asal suara itu, Luna yang sedang duduk bergelantung pada salah satu Stalakmit sambil menyandarkan punggungnya pada dinding ruangan.

"Apa kau menyadari kalau aku tidak benar-benar membidikmu?"

"Itu benar. Aku memang tidak membidikmu. Aku membidik pillar itu"

Sebuah suara gemuruh terdengar dari mesin penggiling itu. Besi penyangga berkarat di bawah pillar penggiling itu patah, sehingga pillar itu jatuh di lantai dan berputar lebih lebar dari poros seharusnya.

Putaran tak teratur ini membuat pillar itu seringkali bergesekan dengan dinding dan membuat beberapa lubang besar dan bekas goresan di dinding yang ia sentuh.

"K-Kau gila?! Jadi selama ini kau mau menghancurkan mesin penggiling itu"

"Oh, ada ikan remuk"kata Luna sambil menunjuk sebuah daerah di dekat pilar kedua.

"Ikan remuk?"

Emils penasaran dengan jari telunjuk Luna dan menoleh ke pillar satunya. Saat itu pula, Sebuah dentuman yang sangat keras terdengar dari tengah ruangan. Dentuman itu adalah hasil dari hantaman antara kedua pillar penggiling yang saling mematahkan satu dengan yang lain.

Tidak seperti pilar pertama yang hanya dirusak penyangga bawahnya, kedua penyangga atas dan bawah pillar kedua sudah dilemahkan oleh beberapa tembakan Luna sebelumnya.

Pillar kedua telah kehilangan kedua penyangganya dan terbelah menjadi dua bagian. Bagian bawah pilar kedua rusak menjadi serpihan-serpihan besar, lalu jatuh tak bergerak di lantai ruangan, sedangkan bagian atas pillar kedua terpental ke arah dimana Luna dan Emils berada.

"I-Ini b-bohong,kan?"tanya Emils dengan gugup.

"Ya, tidak ada ikan remuk, tapi mungkin kau akan berakhir menjadi ikan remuk"

"K-Kau juga akan mati!"

"Aku sudah bilang,bukan? Aku tidak peduli lagi dengan itu! Kau tak akan kubiarkan menang, Emils! Tak akan pernah! Kau akan kalah di sini juga!"

"Aku akan kalah?"tanya Emils pada dirinya sendiri.

Ia kaku menatap betapa besarnya potongan pillar berduri yang mengarah padanya. Seluruh tubuhnya akan hancur jika dia terkena pillar seberat itu dengan kecepatan putarannya.

"Sekarang atau tidak sama sekali!"

Emils meletakkan kedua tangannya ke lantai berair di bawahnya. Air di bawahnya bergerak dan mulai membentuk sebuah patung es.

"Muncullah... Gorgon!"


***

Part V-Side story : Thurkq's Wrath.

"Nolan! Apa maksudnya ini?!"

Sang dewa merah membanting sigasananya sendiri ke dinding ruang tahtanya. Tak lama keudian, sebuah kursi tahta baru dengan desain yang sama terbentuk dari api hitam dari tangannya.

"Apa maksud anda yang mulia?" sebuah hologram bergambar Nolan di ruangannya muncul di depan tahta Thurkq.

"Hentikan omong kosong ini! Kenapa salah satu penggiling di khanakarma bisa rusak?!"

"Maaf,tuan. Yang mengatur desain ruangan memang saya, tapi yang memilih bahan dan menggarapnya adalah para Hvyt. Jika anda ingin menyalahkan seseorang, tolong salahkan para Hvyt"

Dengan satu jentikan jarinya, sekelompok Hvyt yang berjaga di dalam ruangan segera terbang dan berlutut didepan si dewa merah itu.

"Cari Hvyt yang memodifikasi ruangan itu!"

"Dan bunuh mereka"tambah Thurkq.

Nolan hendak mengatakan sesuatu, tapi Thurkq melarangnya.

"Tidak ada gunanya menyimpan Hvyt yang selalu melakukan kesalahan,bukan?"

Para Hvyt tampak gemetar mendengar perkataan Thurkq. Dengan satu anggukan mereka langsung melesat keluar dari ruang tahta Thurkq untuk membunuh sesama mereka.

"Dewa, apa memang perlu melakukan ini? Anda pasti bisa membuat ruangan itu kembali seperti semula dalam sekejap!"sentak Nolan pada Thurkq.

"Kau pikir aku apa?! Aku tidak bisa...." Thurkq terhenti pada kalimatnya sendiri, lalu mengkoreksinya.

"Tentu saja aku bisa. Aku seorang dewa, tapi aku takan menghabiskan waktuku melakukan tugas mahluk rendahan. Seharusnya mereka bersyukur aku memberi mereka tugas!"

"Hamba rasa, dewa tidak mau membuang waktu lagi,bukan? Waktu yang tersisa tinggal tujuh menit"

"Ya, kau benar. Kembali ke ruang khanakarma"

Layar hologram di depan Thurkq kembali menjadi ruang-ruang Khanakarma dan para peserta yang berusaha membunuh sesamanya. Thurkq kembali duduk di tahtanya dan kembali menonton pertarungan.

Di ruangan Nolan, si pria berkacamata menyeringai layar hitam di depannya yang tadinya menunjukan Thurkq.

"Dewa yang tidak bisa memperbaiki suatu ruangan rekreasinya? Dan ternyata dia bisa keceplosan juga.... Seperti yang kuduga..."kata Nolan terhenti karena mendengar suara pintu ruangannya terbuka.

"Siapa di sana?"kata Nolan seraya membalikan kursinya.

Tidak ada balasan. Hanya decit pintunya saja yang terdengar.

Nolan berdiri dari kursinya dan menghampiri pintu itu. Ia memeriksa sekelilingnya, tak ada siapapun. Ia memeriksa luar ruangannya, tidak ada siapapun juga.

Ketika Nolan hendak kembali ke ruangannya, matanya menangkap suatu objek di bawah kakinya, sebuah gunting berwarna merah.

"Gunting?"

***

Part VI : Those who wanted to change their world

Kembali ke ruang khanakarma, ruangan ini sudah porak poranda akibat mesin penggiling yang lepas kendali.

Sekarang ruangan ini sudah penuh dengan banyak batuan-batuan sisa reruntuhan dinding ruangan ini. Seperti kata Hvyt, dinding ruangan ini tak akan bisa dijebol apapun caranya, bahkan setelah melemparkan mesin penggiling itu sendiri.

Tak seperti sebelumnya, sekarang hanya ada satu mesin penggiling yang masih berputar dan itupun hanya setengah tingginya saja. Bekas tempat pillar kedua dipenuhi oleh serpihan-serpihan potongan pillar itu sendiri.

Potongan yang terlempar ke arah Luna dan Emils kini dipenuhi oleh air yang telah dibekukan oleh Emils, tapi tentu saja, es itu tak kuat menahan hantaman sehingga gagal menghentikan potongan pillar itu.

Seorang gadis berambut perak tampak mengapung di atas permukaan air yang tenang seraya menghadap langit-langit ruangan.

Sang gadis menatap langit yang masih dihujani oleh tetesan-tetesan air yang tak henti-hentinya turun. Sama seperti isi hatinya, semua sudah berakhir, tapi hujan tak kunjung berhenti.

"Ini sudah berakhir,Luna"

Luna dikejutkan oleh suara yang tak asing baginya. Air di dekatnya bergerak dengan sendirinya dan mendorong si gadis sampai ke dinding, lalu air di bawahnya menjalar ke seluruh tubuhnya, lalu membekukan dirinya. Luna telah terjebak dalam es.

Air didepannya perlahan bergerak naik dan membentuk sebuah tubuh cair yang mirip manusia.

"B-Bagaimana..."

"Aku tidak bisa menghentikan pillar itu, jadi aku membelokkan jalurnya sambil menjauhinya"

Luna merusak es yang menahan tangan kanannya dan meraih pistolnya, tapi ketika ia menarik pelatuk pistol itu, tak satu partikelpun keluar dari pistolnya. Ia telah kehabisan sihir.

Gadis itu menjatuhkan pistolnya, lalu menatap lantai dan mulai meneteskan air mata.

"Aku kalah... oleh mahluk sepertimu... dunia macam apa ini?"

"Aku tak ingin apapun... aku hanya ingin..."

"...sebuah dunia dimana semua bisa bahagia"sambung Emils.

Sang gadis terdiam, lalu mengalihkan pandangannya ke mahluk bertubuh cair di depannya.

"Sudah kuduga. Kau adalah salah satu orang yang cukup gila untuk merubah dunia,bukan?"tanya Emils.

"Benar... selama ini, aku berharap akan sebuah dunia dimana siapapun bisa tersenyum, sebuah dunia tanpa penderitaan. Aku bahkan sampai terjun ke dunia hitam dan menjadi pembunuh... "Moonlight Scarlet" itulah nama panggilanku..."

"Tapi aku selalu bertanya-tanya. Apa yang akan aku dapat? apa yang aku lakukan ini benar? Apa benar membunuh akan menyelesaikan semua masalah?"

"Pada akhirnya, aku terbunuh karena tertabrak truk yang dikendarai oleh orang yang telah aku selamatkan pada malam sebelumnya. Apa ini sebuah karma?"

Luna memandang cahaya redup di langit-langit yang sedang dipenuhi oleh hujan tanpa awan. Sama seperti hatinya saat ini, air matanya merembes keluar dari matanya, tapi ia tak tahu apa yang menyebabkan air mata itu.

"Apa karena aku telah membunuh terlalu banyak orang sehingga aku pantas menerima kematian seperti itu?"kata Luna tersedu.

"Membunuh dapat menyelesaikan suatu masalah, tapi itu akan menyebabkan masalah-masalah baru yang semakin menjadi-jadi. Namun, jika kau tak membunuh para "bangsat" itu, mereka akan merajarela dan terus menarik mereka yang tak bersalah. Semua yang kau lakukan tidaklah benar, tidak pula salah"

"Semua yang kau lakukan adalah untuk dunia barumu,bukan? Sebuah dunia penuh dengan senyuman dan tanpa penderitaan"lanjut Emils.

"Kita sama, Luna. Sama-sama berusaha mengubah dunia kita yang sudah rusak dan ingin membuat dunia yang lebih baik daripada itu"

Luna melirik mahluk bertubuh cair di sampingnya, lalu memejamkan kedua matanya.

"Tidak. Kita berbeda. Jika aku tahu aku takan berhasil, maka tak akan kulakukan, tapi kau... kau tahu semuanya tidak mungkin berhasil. Seekor Slime tak mungkin bisa merubah dunia, tapi kau tetap berjalan tanpa mempedulikan mereka yang menertawaimu, membuatmu menderita,mempersulit jalanmu dan menjatuhkanmu"kata Luna.

"Apa yang membuatmu terus berjalan maju, Emils?"tanya si gadis berambut perak.

"Karena aku masih punya tujuan"

"tapi kau telah mati. Orang-orang di dunia asalmu pasti menyadari kematianmu. Perjuanganmu telah selesai"

"Tidak. Revolutionist mati ketika dia menjatuhkan pedoman hidupnya atau setelah perjuangannya selesai. Dunia asalku belum berubah dan para monster masih ditindas, belum waktunya aku beristirahat di kuburan"tegas Emils.

"dan kalau kau kalah?"

"Kalaupun aku akan kalah, aku akan bangkit lagi. Tak peduli berapa kali aku jatuh, aku akan terus bangkit karena aku tahu jika aku terus berjuang, paling tidak perjuanganku akan menginspirasi mahluk lain yang akan meneruskan perjuanganku"

"Huh.... Kau benar-benar Slime yang aneh..."

Luna menutup matanya. Tak ada harapan lain bagi si gadis. Seluruh tubuhnya terjebak oleh es Emils, senapannya sudah kehabisan peluru, begitu pula kedua pistolnya yang kehabisan sihir.

Emils mengangkat pedangnya.

"Akan aku akhiri penderitaanmu"

"Ini mungkin kedua kalinya aku mengatakan ini. Terimakasih..."

Pedang Emils menebas leher si gadis berambut perak. Saat itu pula nyawa sang gadis meninggalkan tubuhnya. Pillar yang tersisa telah berhenti berputar, tanda akhir pertarungan sudah selesai.

"Luna Arachelia... meski kau seorang manusia, aku akui ambisimu sangat besar. Kau bahkan rela menjadi seorang pembunuh untuk mengubah duniamu. Tak akan pernah kulupakan pertemuan kita"

Emils berjalan menjauhi mayat Luna, lalu memandang ke langit-langit ruangan dimana hujan masih berjatuhan.

"Hei... Stella, kau bisa berhenti sekarang"

"Itu bukan aku. Aku hanya memberi instruksi. Itu sihirmu sendiri, seharusnya kau bisa menghentikannya"terdengar suara seorang wanita di pikiran Emils.

"Bagaimana cara menghentikannya?"

Emils menunggu balasan, tapi Stella tidak memberi jawaban sama sekali.

"Stella? Hoi! Stella? Jangan bilang kau sudah terlepas karena sihirmu sudah aku pakai!"

Tetap saja, tidak ada jawaban.

"H-Hvyt! Cepatlah kemari! Aku tidak mau tenggelam di sini!"

***

Epilogue

Untuk kesekian kalinya, Hvyt membawa Emils kembali ke Cacandha Vadhit. Namun, tak seperti biasanya, Slime itu kembali hanya sebagai bola biru tua sebesar bola tenis.

Hvyt mendarat pada dangkalan laut merah yang mengelilingi Cacandha Vadhit dan menjatuhkan bola biru itu ke dalamnya. Bola itu menyerap air dari laut merah kepulauan Nathara dan kembali menjadi Slime biru yang tak berbentuk. Pasir-pasir kemerahan tampak melayang keluar dari tubuh transparan mahluk itu sampai akhirnya berkumpul kembali dengan pasir merah di dasar perairan.

Hvyt segera mengangkat Slime biru itu dan melemparnya ke rerumputan Cacandha Vadhit.

Tangan kirinya berusaha menahan Cakar kanannya mengangga terbuka. Semakin lama ia melihat mahluk biru itu, semakin ia ingin membunuhnya, tapi ia tak mau membawa masalah pada dirinya dengan membunuh tontonan dewanya, lalu meninggalkan mahluk yang sedang tak sadarkan diri itu.

"Ironis sekali kau... mahluk bertubuh cair yang meninggal karena tenggelam?"

Seorang wanita sedang duduk bersila di samping tubuh mahluk itu. Rambut belang merah-birunya tertiup oleh angin basah lautan merah kepulauan Nathara.

Wanita itu tidak melakukan apapun. Ia hanya duduk bersila sambil mengawasi mahluk cair itu dan mendengarkan alunan ombak yang menghantam pesisir pulau. 

Namun, ketenangan itu terganggu oleh lemparan tombak tulang yang menembus tubuh wanita itu, lalu menancap di tanah tepat di depan wanita itu.

"Sebenarnya siapa kau ini?!" suara kasar seorang pria yang diiringi oleh suara kepakan sayap terdengar di belakang wanita itu.

Kulit mulus wanita itu berubah menjadi tua dan berkeriput, pinggul wanita itu menyempit, dadanya mengecil dan ia menjadi semakin pendek. 

Baju minim yang ia kenakan sekarang melebur keputian menjadi sebuah baju jubah putih yang membungkus seluruh tubuhnya. 

Sebuah topi penyihir muncul di kepalanya dan menutupi seluruh wajah wanita yang tiba-tiba berubah menjadi pria tua itu itu dalam kegelapan topi besarnya.

"Aku? Aku bukan siapa-siapa..."kata si pria tua

"...Aku hanya seorang arwah yang telah meninggal"


(1)Necromancy : Sihir membangkitkan mahluk dari kematian dan menjaganya tetap hidup.
(2)Jika ada yang bingung dengan perputaran angin ruangan ini silahkan lihat :


4 comments:

  1. ...fuh. Sungguh, rasanya ini entri paling menguras tenaga buat saya di ronde 3 kali ini.
    Anggap aja itu pujian, berarti ibarat makanan, entri ini porsinya besar.

    Saya sempet bikin poin" di notepad lho buat ngikutin alur pertandingannya saking panjang, dari Emils ngindarin peluru dan belum tau lawannya Luna, debat di antara mereka berdua, Emils ngebekuin diri, ketemu Stella di alam bawah sadar, mesin rusak...dst sampe selesai. Terus entah kenapa saya baru mikir, 'apa ini ga kelamaan ya buat ukuran pertandingan yang mestinya cuma 30 menit?'. Mungkin bakal lebih enjoyable seandainya tulisan ini bisa dipangkas sedikit.

    Satu poin bagus dari entri ini adalah nyinggung soal necromancy - sesuatu yang keliatannya belum ada yang mikirin ini terkait Thurqk, dan banter antara Thurqk-Nolan yang lumayan bikin Thurqk jadi sosok vulnerable. Meski ketemu Luna untuk kedua kalinya, penulis juga bisa manfaatin ini untuk sesuatu yang berkesan redundan dan cukup berkesan juga pas Luna bilang terimakasih untuk yang kedua kalinya.

    Shared score dari impression K-7 : 7,5
    Polarization -/+ 0,2
    Karena saya lebih suka entri Emils, jadi entri ini saya kasih +0,2

    Final score : 7,7

    ReplyDelete

  2. baru sadar jg sih cerita emils yg r3 ni makin enak dbaca, percakapanya ok, cuman emang terkesan waktunya battlenya kelewatan sih, harusnya dpotong dikit g masalah kak, soalnya kbanyakan battle lumayan bikin jenuh jg sih, apalagi adegan emils vs hvyt udh diulang2 dari ronde sebelumnya
    tapi battlenya emang seru bgt sih kak, suka pas konspirasi sama nolan dtambahin pilarnya :D
    nilai 7,7

    ReplyDelete
  3. Entri ke 25…
    Dan emils. Saya dari awal nunggu2in entri ini. saya sempat bilang bahwa ada hidden gem yg tersembunyi di BOR kali ini, dan itu adalah emils. Nah, sayangnya, saya ga menemukan sensasi seperti saya baca entri di R2 kemaren.
    Mulai dari cerita yg menekankan soal battle. 32 halaman, dan bikin saya capek. Tapi, saya ga terlalu mendapatkan impresi soal ini. mungkin soal grotesk-nya pertarungan (alias hancur2an). Dan itu yg saya dapatkan dari entri ini. hanya ini. saya belum menemukan tentang masa lalu dan karakterisasi emils di sini. yang saya lihat justru adalah seekor slime yg masih sibuk berantem gara2 manusia. nah, itu yg saya sesalkan di sini.
    Untuk narasi, mungkin masih perlu diperbaiki kak. Sedikit catatan (karena saya yg punya OC), itu Aracellia, bukan Arachelia. Thurqk, bukan Thurkq. Beberapa typo lainnya. Dan seperti ronde sebelumnya, saya lelah membacanya. Memang, battlenya apik (walaupun belum sampai tahap epic), tetapi masih banyak potensi yg belum digali dari emils.
    Untuk nilai, saya ngasih: 6.5
    Semangat kak :3

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -