[Round 6] Claude & Claudia
"At Least, Here's an Attempt to Achieve Eudaimonia"
Written by Sam Riilme
---
"At Least, Here's an Attempt to Achieve Eudaimonia"
Written by Sam Riilme
---
Behind The Curtain
Segala konsep yang bekerja di dunia ini selalu dapat diibaratkan dengan sebuah koin.
Mereka sebenarnya berada pada satu wadah yang sama, hanya saja terletak pada sisi yang berbeda.
Karena di dalam satu hari ada siang, maka ada malam. Kemudian dikenallah cahaya dan kegelapan.
Karena di dalam satu perbuatan ada kebaikan, maka ada kejahatan. Kemudian dikenallah pahala dan dosa.
Meski berada di posisi berbeda, pada dasarnya sesuatu yang berkebalikan ini saling melengkapi. Seperti dua sisi koin, yang satu tidak akan ada tanpa yang lainnya.
Begitu pula dengan manusia.
Selalu ada arti mengapa yang menciptakan mereka membagi kaum tersebut menjadi dua golongan, pria dan wanita.
Yaitu agar mereka saling melengkapi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, meneruskan keberadaan manusia di dunia agar tak habis seiring zaman.
Saat mereka semua berhenti peduli dengan apa yang akan terjadi pada generasi di masa depan nanti, saat itulah mereka benar-benar mati.
Perlahan, tapi pasti.
*****
Opened Curtain
"Kau bercanda."
Adalah kata pertama yang keluar dari Claude Higglfiggr saat mendengar mahluk tak berkepala di hadapannya mengatakan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Putramu? Maksudmu kau adalah ayahku?"
(Ayahmu… dan ayah Claudia, tentu saja. Meski berbeda ibu, kalian tetap bersaudara.)
"Tunggu, tunggutunggutunggu, time out."
Claude sadar betul bahwa ini bukan dunia fisik, namun entah kenapa ia tetap bisa merasakan pusing hebat menyerang secara tiba-tiba.
"Ini semua terlalu tiba-tiba.Apa maksudnya ini? Kenapa baru mengatakannya sekarang? Untuk apa? Dan kenapa kami tidak pernah tahu?"
Sosok yang sebelumnya hanya duduk-duduk sejak kedatangan Claude kini bangkit dan melanjutkan,
(Beruntung kita berada di sebuah ruang bernama 'Alam Bawah Sadar'. Mungkin dari sini akan lebih jelas kalau aku menarik ingatan-ingatan abad lalu, agar kau bisa melihat sendiri bagaimana kalian lahir ke dunia ini, dan mengapa aku memilih diam, demi keselamatan kalian sendiri. Percaya atau tidak, setidaknya aku tidak punya alasan apapun untuk mengatakan kebohongan padamu.)
Sekejap kemudian, sesuatu menyerupai rol film raksasa tampak seperti ditarik entah dari mana, memenuhi tempat yang semula tidak menyediakan apa-apa, bahkan warna.
(Kau pikir kenapa aku bersedia menyediakan tubuhku secara sukarela untuk dipakai oleh kalian berdua? Karena kita berteman? Jelas bukan. Itu karena aku telah kehabisan cara untuk melindungi kalian lebih dari apa yang bisa kulakukan, dan aku tidak ingin melihat keturunanku sendiri pergi meninggalkan kehidupan sebelum diriku sendiri.)
Rol itu tak terkira panjangnya, terus bergulung-gulung seolah tak berujung. Mungkin seperti ini rasanya bila melihat seluruh rambut di tubuh manusia dicabuti satu persatu hanya untuk mengetahui seberapa panjang mereka sebenarnya kalau disatukan.
(Aku tidak akan bisa menebus dosa yang telah membuat hidup kedua ibu kalian penuh kesulitan, dan dosa karena menelantarkan kalian sejak bayi seperti seorang ayah yang tak bertanggungjawab. Meski dengan caraku sendiri, yang selalu kupikirkan adalah bagaimana kalian setidaknya bisa merasa bahagia dan puas hidup di dunia ini tanpa kami.)
Claude masih terus mendengarkan tanpa tahu harus membalas dengan apa, ketika rol film imajiner itu berhenti pada satu bingkai gambar.
(Dan untunglah, kalian benar-benar memiliki satu sama lain. Melihat kalian tak terpisahkan adalah kebahagiaan tersendiri bagiku, yang terlalu lama hidup dalam kesendirian. Aku bersyukur masih sempat menyampaikan ini padamu, sebelum apapun kemungkinan terburuk dalam turnamen maut yang tidak jelas ini dapat terjadi.)
Kemudian, keping ingatan dari sang mahluk tanpa kepala pun mulai diputar.
*****
Best Of Three – First One
-1-
Lorong itu nyaris tampak tidak berujung.
Selepas pertandingan di planet antah berantah sebelumnya, seperti biasa datang mahluk merah bersayap bernama Hvyt yang diutus untuk menuntun Claudia menuju pertandingan selanjutnya. Claudia tidak punya petunjuk tentang apa yang harus ia lakukan sekarang, maka ia menurut saja. Meski dalam hati kecilnya ia bertanya-tanya juga berapa pertandingan lagi yang harus ia lewati hingga semuanya berakhir.
Mereka berjalan dan berjalan, tak mengindahkan waktu yang seolah tidak ikut berjalan bersama mereka.
Hingga pada akhirnya, tibalah Claudia, Eligor dan sang Hvyt penuntun jalan di depan sebuah gerbang yang dijaga oleh dua orang Hvyt lain.
"Arena pertandingan selanjutnya di dalam sini?"tanya Claudia sesampainya mereka di sana.
Salah satu Hvyt penjaga gerbang mengangguk seraya berkata, "Claudia Neuntzmann, kau mendapat giliran bertarung pertama dari empat pertarungan di babak ini. Lawanmu adalah Sjena Reinhilde, seorang petarung andal pengendali api hitam dan waktu - namun kami tidak berkewajiban memberi detil informasi tentang Sjena. Kau harus mencari tahu tentang lawanmu sendiri dalam pertarungan ini."
Hvyt penjaga gerbang yang satunya lagi menambahkan, "Yang Mulia Thurqk akan menonton langsung pertandingan ini dari atas tempat pertarunganmu, jadi kerahkan seluruh kemampuanmu untuk memberikan hiburan terbaik, atau kau akan berurusan langsung denganNya di tempat itu juga."
Claudia menghela napas pelan.
Sebenarnya dia sama sekali tidak peduli soal turnamen atau sang dewa, tapi untuk saat ini dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti aturan yang ada. Bukan karena takut, melainkan karena Claudia tidak tahu pilihan lain apa yang tersedia.
"Sebelumnya," kali ini si Hvyt penuntun di belakang Claudia yang berbicara, "kami harus melarang orang ini ikut masuk ke dalam.Dia bukan pesertaresmi."
Orang yang dimaksud adalah Eligor – sosok berzirah menakutkan dengan kuda tulang dan tombak ularnya.
Sementara yang bersangkutan hanya menggeleng kepala sambil mengangkat bahu.
"Ya, ya, tak perlu diingatkan juga memang dari awal aku tidak berniat ikut campur di pertandingan nona Claudia ini.Tidak kalau Thurqk ada di dalamnya."
"Dasar penakut,"tukasClaudia.
"Hei, hei.Ini masalah status. Kalau aku ketahuan dan dia memutuskan melakukan sesuatu padaku, aku tidak bisa terus membantu nona Claudia ke depannya kan? Lagipula ini cuma pertarungan satu lawan satu, kukira bantuanku tidak terlalu diperlukan di sini."
Claudia tersenyum kecil, lalu mengeluarkan kepala Claude dari balik jubahnya.
"Uh-hum.Toh aku masih punya Claude yang menemaniku."
Melihatnya, Eligor kemudian bertanya,
"Aku sempat kepikiran. Bukannya kepala itu cuma bakal jadi titik lemahmu? Kenapa tidak kau titipkan saja padaku di sini agar kau lebih leluasa di dalam nanti?"
Dan Claudia menjawab,
"Maaf, tapi aku justru merasa lebih aman bila bersama-sama dengan Claude. Lagipula, siapa tahu kepala ini nanti malah kau bawa kabur untuk mengancamku atau semacamnya."
"Ti-tidak sopan! Nona Claudia, begini-begini, aku adalah mahluk yang sekali bersumpah setia, tidak akan ingkar sampai akhir zaman!"
"Tapi kau khianat pada Thurqk dan bocah Abigail itu."
"Ugh! I, itu karena… Ah, ya, karena mereka jelas berada di pihak yang salah! Sejak bertemu dengan Tuan Dullahan, mataku sudah terbuka. Sampai tugasku yang satu ini tuntas, tidak akan ada yang lain yang mendapat kesetiaan dariku! Percayalah!"
Claudia hanya bisa tertawa kecil melihat kegugupan yang ditunjukkan Eligor. Sungguh tidak cocok sekali dengan penampilannya yang berkesan berusaha tampil menakutkan dan mengintimidasi dengan kelakuannya yang serba salah.
"Ya, ya, aku percaya kok," ujar Claudia seraya melambaikan tangan."Kalau begitu, tunggu aku di sini.Semoga pertarungan kali tidak terlalu sulit. Kau doakan saja agar aku diberi kemudahan."
"Maaf, mahluk neraka pantang berdoa," balas Eligor, "tapi kuharap kau menang."
Demikianlah, Claudia memasuki gerbang menuju arena yang dibukakan Hvyt, siap menyambut lawannya di babak perempatfinal ini.
*****
Ruangan itu tampak seperti aula raksasa yang dipenuhi dengan pilar-pilar, disertai tembok berjajar di banyak sisi dengan pintu-pintu menempel pada tembok tersebut, menandakan puluhan ruangan kecil di dalam ruangan raksasa ini. Di seberang gerbang tempat Claudia masuk, terdapat gerbang lain serupa - Claudia segera tahu kalau lawannya akan muncul dari sana. Selain itu, tempat ini terdiri dari beberapa lantai, namun langit-langitnya dibiarkan kosong sehingga siapapun yang berada di dalamnya bisa merasakan betapa besarnya tempat ini.
Dan Claudia melihatnya di atas sana. Sosok merah lalim yang menatap ke bawah dengan pandangan merendahkan. Seperti seseorang melihat binatang dalam kandang.
Di sebelah sang dewa, terlihat sosok lain yang disalib pada sebuah tiang dengan jerat-jerat merah. Sosok itu tampak berantakan dan tidak berdaya, mungkin pula tengah kehilangan kesadaran.
Claudia merasa pernah melihatnya, tapi tidak begitu ingat siapa nama orang itu.
Fulan? Dolan? Norland?
Ketika tengah menggali ingatannya sendiri, gerbang di hadapan Claudia mendadak terbuka.
Terlihatlah olehnya seorang perempuan dengan kulit gelap dan rambut hitam berantakan,serta pakaian terbuka yang didominasi oleh warna merah compang-camping dan penutup mata aneh berwarna biru yang melayang di depan wajahnya. Ia melempar pandang pada Claudia beberapa detik, lalu memandang seisi ruangan sebelum akhirnya menemukan Thurqk di atas mereka.
Melihat kedua peserta telah tiba, Thurqk berdiri dari singgasananya yang melayang di langit, memberikan sebuah kalimat pembuka.
"Wahai, para peserta.Selamat datang di dalam istanaku, Devasche Vadhi," sambut Thurqk dengan suara yang menggelegar."Kupersembahkan sebuah tantangan menarik bagi kalian. Yang menang akan semakin dekat pada kesempatan kehidupan kedua yang kalian idam-idamkan, yang kalah ... hmm … hanya kematian yang pantas baginya. Ada banyak ruangan di setiap lantai yang yang dapat kalian masuki, aku sudah mempersiapkan segalanya dan mungkin saja bisa kalian manfaatkan. Tapi, jangan sesekali kalian menyentuh selubung yang kuciptakan atau kesempatan kalian akan berakhir saat itu juga. Empat jam waktu yang kusiapkan bagi kalian berdua untuk saling membunuh. Bila tidak, ketahuilah bahwa siksaku sangat pedih."
Thurqk menjentikkan jemarinya seraya tersenyum penuh semangat.Tanda pertarungan pertama di babak enam telah dimulai.
*****
-2-
"Jadi kau yang bernama Sjena Reinhilde? Maaf, aku tidak ada dendam padamu, tapi kau harus berakhir di sini."
Claudia menatap lurus ke arah lawannnya, mengambil ancang-ancang dan siap bertarung begitu sebuah gerakan tercipta.
Namun sang lawan tampak tidak tertarik sama sekali.
Jangankan memasang kuda-kuda dan menyiapkan diri, pandangannya begitu kosong, seolah menembus Claudia dan tidak melihat apa-apa layaknya orang buta. Tak ada cahaya terpancar di matanya, seperti tertutupi kegelapan yang ganjil.
"....halo? Kau bisa mendengarku?"
Wanita berkulit gelap itu mengangkat wajahnya sedikit.
"Apa alasanmu untuk terus maju dalam turnamen ini?"
"Eh?"
Diberi pertanyaan dadakan seperti itu, Claudia tersentak sesaat.
"Tolong jawab saja,"pinta Sjena.
Claudia melepas ancang-ancangnya. Meski kebingungan, akhirnya ia menjawab juga.
"Ada seseorang yang ingin kuselamatkan. Sejujurnya aku tidak peduli dengan turnamen ini, tapi kalau memang harus mati lagi pada akhirnya, setidaknya aku ingin berakhir bersama-sama dengan orang itu."
Sjena tersenyum mendengar jawaban Claudia.
"Apa orang itu kekasihmu? Biar kutebak, dia adalah kepala yang melayang di sampingmu, bukan?"
"Ah, ya, kau pandai menebak. Tapi...kenapa kau bertanya?"
Sjena membuka tangannya lebar-lebar, kemudian berkata,
"Semua orang yang bertarung di sini memiliki alasan mereka masing-masing untuk hidup kembali. Selama bertarung dengan orang yang berbeda-beda, aku menemukan harapan mereka yang gugur hancur satu persatu. Lucu sekali melihatnya, keputusasaan dan kekonyolan bercampur jadi satu, seolah mereka semua dibuat gila oleh angan-angan semu. Kalau kau tadi bilang tidak peduli dengan turnamen ini, aku sendiri juga tidak peduli, bahkan bisa dibilang muak. Cukup sudah. Aku tidak punya tempat untuk kembali kalaupun dihidupkan lagi, dan aku tidak punya alasan untuk terus bertarung."
Lalu Sjena menutupnya kalimatnya dengan berkata,
"Karena itu, silakan bunuh saja aku."
*****
Claudia benar-benar tidak habis pikir dengan lawan yang ia temui di babak ini.
Pertama ia bertanya tentang alasan bertarung, lalu sekarang ia minta dibunuh? Pertarungan macam apa yang sudah ia lalui sebelumnya hingga membuat pikirannya jadi serusak ini?
Bila ia tidak menyerah, maka harapan itu akan selalu ada.
Tapi perempuan di hadapannya ini berbeda.
Lawan yang tidak memberikan semangat bertarung sama saja seperti pedagang tanpa barang dagangan. Claudia bahkan tidak yakin kalau ia harus meladeni pertarungan seperti ini, yang tidak akan menyenangkan baginya, tidak pula akan menjadi hiburan untuk sosok sok kuasa di atas sana.
"Ng... Kau serius bilang begitu?"Claudia mencoba memastikan.
Sjena melepas senyumnya dantiba-tiba berteriak,
"BUNUH SAJA AKU! KAU BISA SAMPAI KE SINI, BERARTI SUDAH BANYAK ORANG YANG KAU BUNUH, KAN? JANGAN BILANG KAU MAU SOK SUCI DENGAN MENGATAKAN 'AKU TIDAK MENYERANG ORANG YANG TIDAK MELAWAN' ATAU SEMACAMNYA!"
Kembali Claudia dikejutkan dengan tingkah Sjena.
Kenapa dia tiba-tiba seperti menggila? Bukannya Claudia belum memberi jawaban apa-apa?
"Tenang dulu sebentar, aku cuma..."
Detik berikutnya, kata-kata tidak dapat keluar dari mulut Claudia.
"--!?"
Ia melihat ke arah dadanya, di mana sebuah belati hitam membara telah menciptakan lubang yang menembus tubuhnya dari belakang.
"Kalau kau berniat mengulur waktu, lupakanlah."
Sebuah suara.
Sjena.
Bagaimana ia bisa berpindah tempat dalam sekejap seperti itu?!
"Aku berubah pikiran. Aku sungguh tak ingin berlama-lama di sini, jadi kalau tidak mau membunuhku, biar aku saja yang membunuhmu."
"..."
Gila.
Orang ini kelainan mental, pikir Claudia dalam kesadarannya yang mulai menghilang.
Tangan Claudia berusaha meraih kepala Sjena. Ia tahu dengan tubuhnya yang abadi, ia akan tersadar lagi beberapa waktu kemudian meski dilukai seperti ini. Karena itu, sebelum ia jatuh pingsan dan tubuhnya memulihkan diri, ia harus melakukan sesuatu pada lawannya tersebut.
Tetapi Sjena bergerak selangkah lebih cepat.Ia telah menarik belatinya dari dada Claudia dan mengarahkannya ke leher sang wanita berambut putih terlebih dahulu.
"Sebagai hadiah perpisahan, biar kukirim kau ke alam baka dengan keadaan yang sama dengan kekasihmu, seperti yang kau inginkan. Kepala tanpa badan."
Dan dalam satu gerakan kilat, kepala Claudia terpisah begitu saja dari badannya.
*****
-3-
Sjena benar-benar melakukannya.
Ia tidak tahu dorongan impulsif macam apa yang membuatnya melakukan ini, tapi di sinilah ia. Mengakhiri pertarungan dengan durasi terpendek yang pernah ada.
Permintaannya agar Claudia membunuhnya bukanlah tipuan atau umpan. Ia sungguh-sungguh saat berkata demikian, namun di saat yang sama ia tidak tahan lawannya tidak memberi jawaban segera. Jadilah ia memutuskan bahwa lawannya ini tidak layak untuk membunuhnya, dan lebih baik kalau dia saja yang membunuh Claudia.
Melihat mayat Claudia tergeletak tanpa nyawa dan kepala, Sjena kemudian mengalihkan pandangannya ke arah langit.
"Oi, Thurqk!"
Sang dewa merah bergidik.
"Cepat akhiri turnamen ini. Persetan dengan pertarungan hiburanmu. Aku tidak peduli bagaimana akhirnya, dan tidak peduli apa yang akan kalian lakukan padaku setelah semua ini berakhir. Ya. Sejak awal aku tidak peduli dengan apapun. Aku hanya ingin semua kebodohan ini usai dan tidak diperpanjang lebih lama lagi, sebelum aku menjadi benar-benar gila karenanya!"
Dengan kemampuan teleport-nya, Sjena berpindah tempat menuju lantai teratas dalam ruangan raksasa tersebut, upaya menatap Thurqk lebih dekat untuk meminta kepastian.
Saat ia dapat melihat jelas wajah Thurqk, sang dewa terlihat tengah terkekeh pelan.
"Kuh, kukuku..."
"...? Apa yang lucu?"
"Dasar mahluk tidak tahu diri. Kau kira kau punya hak untuk meminta sesuatu dariku, padahal perintahku padamu saja belum kau laksanakan hingga tuntas?"
"Apa maksudmu?"
"Lihatlah ke bawah dan kau akan tahu."
Sjena menatap ke bawah, ke aula di mana ia dan Claudia bertemu.
Dan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya menyambutnya dengan sebuah kejutan.
"Tidakmungkin…."
Segera saja Sjena melompat kembali ke bawah, dan mendarat di depan mayat Claudia.
Atau lebih tepatnya, sesuatu yang sebelumnya merupakan Claudia Neuntzmann.
Karena yang berdiri di depan Sjena hanyalah tubuhnya belaka.
"Bagaimana bisa kau bangkit tanpa kepala? Mahluk film horor macam apa kau ini?"
Seperti apapun Sjena bertanya, kepala wanita dengan mata terpejam yang kini melayang mengelilingi sang tubuh sama sekali tidak menjawab.
Tetapi tubuhnya terus bergerak layaknya mahluk hidup.Dan jelas itu adalah sinyal bahwa pertarungan ini jauh dari selesai.
"Heh. Tidak masalah. Kalau kau tidak mau menjawab, aku tinggal menghancurkanmu dan memastikan kau tidak bisa bangkit lagi kali ini. Ignite!"
Dalam satu jentikan jari, sekujur tubuh tanpa kepala di hadapan Sjena mendadak terbakar oleh api yang muncul entah dari mana.
"Explosion!"
Kemudian, tubuh itu meledak begitu saja.
Hancur berkeping-keping, hanya menyisakan dua kepala yang jatuh tergeletak ke tanah sepeninggal hancurnya sang badan.
Kali ini Sjena merasa yakin, lawannya tidak mungkin bangkit lagi dengan kondisi berantakan seperti itu.
Namun dugannya terbukti salah.
Potongan tubuh yang hancur itu berubah menjadi gumpalan asap hitam yang menyatu, membentuk sebuah sosok tubuh, yang kemudian berubah menjadi sosok tanpa kepala yang sama persis dengan yang Sjena ledakkan tanpa kekurangan sesuatu apapun. Bahkan tidak terlihat jubah hitam-putih yang ia kenakan robek atau lecet sama sekali.
Sjena naik pitam.Ia benar-benar tidak mengerti mahluk apa yang berdiri di hadapannya ini.
"Jawab aku, Claudia Neuntzmann!Siapa kau sebenarnya?"
Mahluk tanpa kepala tetap bungkam.Sjena mungkin lupa kalau tanpa kepala, maka tak ada pula mulut untuk berbicara.
Frustasi, akhirnya Sjena mengeluarkan [Shotgun] miliknya dan mulai menembaki sang lawan dengan membabi-buta.
*****
Dullahan tidak tahu harus merasa lega atau kecewa melihat dirinya terpanggil kembali ke dunia ini.
Ia masih meninggalkan Claude di alam sana, dan kini Claudia pun gugur sehingga ia kembali mendapat kendali atas tubuhnya sendiri untuk yang kedua kalinya. Meski tidak yakin berapa lama waktu telah berlalu sejak bocah hantu memotong ikatan jiwa antara Claude dan Claudia, kelihatannya turnamen ini sudah berlanjut ke babak berikutnya.
Lawannya kali ini adalah seorang wanita berkulit gelap yang kelihatannya mengendalikan api. Setelah beberapa serangan, Dullahan memutuskan untuk melindungi diri karena merasa beregenerasi berkali-kali itu merepotkan, sekalipun ia abadi. Namun tampaknya serangan yang gagal masuk justru membuat lawannya makin geram alih-alih putus asa.
Tapi mau bagaimana lagi. Dullahan memang tidak punya pilihan lain selain bertahan dan menghindar.
Ia punya alasan mengapa ia tidak menyerang si wanita. Semenjak menjadi abdi sang Kematian, ada satu aturan yang harus ia patuhi sebagai sang Pembawa Pesan Kematian : yakni bahwa perannya hanyalah sebatas menyampaikan pesan, dan bukan mencabut nyawa manusia. Seandainya ia menghilangkan nyawa mereka yang masih hidup, saat itu juga eksistensinya akan dilenyapkan menjadi ketiadaan. Begitulah kontrak 'kehidupan kedua'antara dirinya dan sang Kematian.
Dullahan tidak ragu-ragu saat melawan Eligor karena ia tahu Eligor jelas bukan manusia. Namun wanita ini setidaknya masih tergolong manusia bagi Dullahan. Dan jelas wanita ini tidak akan berhenti menyerangnya walau ia harus menjadi kehilangan akal sekalipun.
Daripada sampai kehilangan akal, lebih baik kalau wanita ini dibuat sekedar kehilangan kesadaran.
Maka Dullahan mulai bergerak.
*****
"--!?"
Mendadak Sjena merasa tidak dapat menggerakkan kedua kaki dan tangannya. Keempatnya bagai dibelenggu oleh sesuatu yang Sjena sendiri tak tahu apa, membuat dirinya terpaku pada satu tempat seperti seorang pria berkacamata di atas sana.
Sjena melihat Dullahan tengah mengarahkan tangan ke arahnya.
Tak salah lagi, ini pasti ulah monster itu!
Sebelum Dullahan melakukan sesuatu, Sjena segera melakukan teleportasi - kali ini tepat ke belakang Dullahan. Tak disangka, belenggu yang ia rasakan ikut menghilang dengan ia berpindah tempat seperti ini.
Sjena menyentuh punggung Dullahan - kali ini ia membalas dengan mengirim sang mahluk tanpa kepala ke langit menggunakan [Teleport].
Sjena sempat mendengar kalau pembatas berupa selubung-selubung merah di seluruh penjuru arena pertarungan kali ini adalah buatan Thurqk di mana siapapun yang menyentuhnya akan lenyap jiwanya. Sekarang mari kita lihat, apakah dengan jatuhnya si mahluk tanpa kepala ke salah satu selubung merah itu, ia akan berakhir di sini?
Di luar dugaan Sjena, sebelum Dullahan menyentuh selubung tersebut, tubuhnya tiba-tiba menghilang di udara.
Barulah Sjena menyadari bahwa lawannya ini bisa melakukan teleportasi sepertinya.
Sjena ingin mengumpat, ketika intuisinya memberitahu bahwa Dullahan telah berada di belakangnya. Persis meniru seperti yang ia lakukan sebelumnya.
Tak mau ambil risiko, Sjena segera menggunakan [Freezing Seconds] untuk mencegah Dullahan melakukan apa-apa.
Dalam waktu yang terhenti, Sjena mengambil jarak dan menyiapkan [Cannon] untuk serangan skala besar.
"Terima ini, brengsek!"
Waktu berputar kembali.
Sebuah tembakan dilepaskan dari [Cannon] Sjena, tepat menghantam Dullahan yang tidak sempat bertahan atau menghindar.
Layaknya yang Sjena harapkan, tubuh tanpa kepala itu kembali hancur berkeping-keping.
"Rasakan itu! Wahahahahaha....aduh, pinggangku!"
Sambil memegangi pinggangnya yang sakit karena tidak sanggup tertawa keras-keras, Sjena mengamati lawannya.
Seharusnya ia sudah tahu kalau ini akan terjadi.
Dullahan kembali membentuk tubuhnya secara utuh, seolah serangan sebelumnya tidak berarti apa-apa.
"Ha, haha..."
Sebuah tawa lirih.
Sjena mulai hilang akal.
Bagaimana caranya ia harus menghadapi lawan yang tidak mati bila dibunuh?
Tidak ada pilihan lain.
Masa bodoh dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Toh dari awal dia memang berniat cari mati dan tak punya alasan untuk lanjut ke depan, jadi apa salahnya mengerahkan seluruh kekuatan di sini untuk tontonan klimaks?
"Uaaaaaaaaaahhhh!"
Sjena pun mengaktifkannya.
Kemampuan [Berserk] yang akan melipatgandakan kekuatannya, dengan bayaran hilangnya akal.
Semua dipertaruhkan di sini!
Sementara itu Dullahan melihat perubahan pada lawannya, yang kini tak ragu menerjang langsung ke arahnya dengan sebilah pedang hitam di tangan.
Dullahan hanya bisa bertahan. Serangan seperti lubang hitam atau bangun tajam dikhawatirkan salah-salah bisa membunuh wanita ini, dan Dullahan berusaha menghindari itu. Mengunci pergerakannya pun kini menjadi sulit karena ia lincah sekali, bahkan sampai Dullahan mau tak mau harus menerima beberapa serangannya.
Sang lawan mematerialisasikan beberapa pisau lempar, yang dari jarak dekat berhasil ia sarangkan ke banyak titik di tubuh Dullahan.
Hebat. Meski Dullahan abadi, harus diakui kalau tubuh ini masih merasakan sakit, dan itu memperlambat gerak Dullahan sekarang.
Tanpa basa-basi sang wanita berkulit gelap melakukan tebasan vertikal, seperti hendak memotong tubuh Dullahan menjadi dua.
Saat Dullahan menangkis serangan yang satu ini, ia mendapat ide.
Sang wanita terus melakukan serangan jarak dekat dengan membabi-buta dan penuh tenaga, tak menyadari bahwa rencana Dullahan sudah mulai bergerak.
Pada satu titik di mana Dullahan melihat kesempatan tiba, ia membiarkan dirinya ditusuk oleh lawannya. Di saat yang sama, Dullahan mendekap erat Sjena - menguncinya agar tidak lari ke mana-mana.
Dengan telepati, Dullahan berbisik untuk pertama kalinya pada Sjena.
(Tidurlah.)
Dan dua kepala melesat dengan kecepatan tinggi, menghantam kepala Sjena dari dua sisi hingga ia tak sadarkan diri.
*****
Best Of Three – Second One
-1-
Saat seseorang jatuh tertidur, normalnya ia tidak akan sadar apa yang terjadi di luar sana, apalagi sadar bahwa dirinya sedang tertidur. Beberapa mimpi yang berlangsung dalam alam tanpa kesadaran mengisi kekosongan memori yang seharusnya tercipta saat seseorang bangun dan sadar. Karena itu, mimpi adalah fiksi – memori rekayasa sementara yang tidak nyata.
Saat ini, Claudia tidak yakin mana yang mimpi dan mana yang nyata.
Di dalam kegelapan dirinya berjalan tak tentu arah. Ingatan terakhir yang ia miliki adalah kematiannya sendiri…namun anehnya, ia tidak dikirim ke surga atau neraka, sebagaimana ia kira jiwa seseorang seharusnya pergi setelah ia mati.
Jadi, di mana ini?
Kenapa Claudia merasa keberadaannya begitu nyata di tempat ini?
Apakah semua pertarungannya dan turnamen sang dewa merah justru hanyalah sebuah mimpi belaka, dan inilah kenyataan yang sebenarnya?
Claudia tak tahu.
Ia berjalan dan berjalan, berharap menemukan sebuah jawaban.
Dan jawaban itu datang dalam bentuk yang tak pernah ia bayangkan.
"…….Claude?"
Ya. Setelah berjalan entah ke arah mana dan entah pula berapa lama, Claudia mendapati sosok kekasihnya di sebuah tempat yang tidak dikuasai kegelapan – sebuah tempat yang dipenuhi oleh gambar-gambar seperti kumpulan foto, melayang bebas dan tersebar di mana-mana.
Yang membuatnya terkejut bukan hanya keberadaan Claude saja, namun juga bahwa pria yang sepanjang hidupnya selalu bersama dengannya itu juga telah mendapatkan tubuhnya sendiri di tempat ini.
Tampak olehnya Claude sama terkejutnya saat melihat Claudia.
"….Claudia? Bagaimana kau bisa ada di sini?"
Pertanyaan itu segera dibalas dengan pelukan erat dari Claudia yang menghambur ke arah Claude.
"Claude! Claude! Kukira aku tidak akan bertemu lagi denganmu!" ujar Claudia melepas rindu, sambil terisak-isak tak tertahankan.
Claude menghela napas, seraya mengusap-usap kepala Claudia untuk menenangkannya.
"Katakan padaku ini bukan mimpi," pinta Claudia di sela tangisannya.
"Ini bukan mimpi," jawab Claude. "Orang itu bilang tempat ini adalah 'Alam Bawah Sadar', meski aku tidak yakin kenapa kita terhubung dan bisa bertemu di tempat ini…"
"Orang itu? Siapa orang itu?"
Mendengar pertanyaan Claudia, Claude menatap kekasihnya itu dengan senyum lirih.
"Ingat Dullahan, sang Pembawa Pesan Kematian pemilik asli tubuh yang kita pakai belakangan ini? Ternyata selama ini dia tetap hidup di dalam diri kita, meski tidak pernah muncul ke permukaan selama kita memegang kendali atas tubuhnya. Dia yang menyambutku di sini dan memperlihatkan keping-keping memori miliknya – seperti yang bisa kau lihat di sekeliling kita. Ah, dan aku punya satu hal yang perlu kutunjukkan padamu, Claudia."
Claude melepaskan diri dari pelukan Claudia, kemudian berjalan sebentar, sebelum kemudian kembali dengan satu gambar seukuran sebuah lukisan.
Di dalam gambar itu, terlihat seorang pria muram berambut putih dengan jubah, beserta dua orang wanita yang tersenyum bahagia di sebelahnya, masing-masing menggendong bayi yang memiliki rambut putih seperti sang pria.
"Gambar apa ini?" tanya Claudia.
Claude lalu menjelaskan,
"Pria ini adalah Dullahan semasa ia masih hidup sebagai manusia.Lalu dua bayi ini….adalah kau dan aku. Kau bisa menebak siapa wanita yang menggendong kita berdua."
Raut muka Claudia segera berubah.Antara heran dan terkejut, dia melirik ke arah Claude.
"Maksudmu…."
"Ya. Konyol memang, bahwa kita sendiri selama ini tidak pernah tahu… Tapi kau dan aku adalah saudara sedarah."
*****
Selesai sudah.
Musuh sudah dikalahkan, lalu sekarang apa?
Dullahan tidak tahu selanjutnya harus berbuat apa. Ia merasa tidak bisa bertanya pada dewa merah di atas sana karena khawatir membahayakan identitasnya sebagai peserta, belum lagi adanya bocah hantu misterius yang memotong ikatan jiwa Claude dan Claudia sehingga tidak menyatu lagi di sampingnya.
Ia mencoba membobol ruangan ini, namun nihil. Tidak ada titik yang bisa dilubangi untuk keluar, pun teleportasi terbatasi hanya di dalam ruangan raksasa ini. Dullahan tidak menyangka ada yang memiliki kemampuan manipulasi ruang begitu tinggi hingga ia tidak bisa berbuat banyak seperti ini.
Tapi ia harus keluar. Apa tidak ada sesuatu yang bisa ia lakukan?
Mendadak Dullahan teringat dengan Eligor.
Dia tidak ada di sini. Ke mana perginya mahluk neraka yang satu itu?
Dengan kemampuan deteksi ruangnya, Dullahan berhasil melacak keberadaan Eligor, yang ternyata berada tepat di balik gerbang ruangan ini. Dullahan pun menyimpulkan ia sedang bersembunyi dari bocah hantu dan dewa merah, dan mengertilah Dullahan kenapa Eligor tidak melibatkan diri dalam pertarungan ini.
Tiba-tiba saja Dullahan merasakan sebuah aura membunuh yang sangat kuat dari belakang.
Ia berbalik, dan mendapati wanita yang menjadi lawannya telah bangkit kembali.
Ternyata pertarungan ini belum selesai. Apa serangan terakhir barusan kurang kuat untuk membuatnya pingsan?
Meski tidak memiliki mata untuk melihat, setelah berhadapan langsung dengan sang wanita, Dullahan merasa ada sesuatu yang berubah.
Seperti ia berhadapan dengan orang yang berbeda dengan sebelumnya.
Andai Dullahan bisa melihat, penampilan wanita itu memang berubah. Persepsi ruang tanpa indera penglihatan Dullahan tidak menangkap dengan jelas bahwa wanita itu kini tidak lagi mengenakan pakaian compang-camping, dan kini rambutnya tumbuh panjang tak terawat hingga menyentuh lantai, tidak sependek sebelumnya.
Wanita itu menatap Dullahan lekat-lekat, seraya menyeringai lebar.
"Akhirnya aku menemukanmu, Haundall si penyihir ruang."
(….?!)
Dullahan tercekat sesaat.
Dari mana wanita ini tahu nama aslinya?
"Terkejut? Sudah sewajarnya. Begitu lama aku mencarimu, dan tak kusangka hari ini akan datang juga. Saatnya membawamu kembali menemui sang Kematian."
Mendengar wanita itu, Dullahan semakin yakin bahwa yang ada di hadapannya adalah kepribadian – atau lebih tepatnya, orang yang berbeda.Sama sekali tidak terdengar nada bicara bertemperamen rendah, dan pembawaannya terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja bertarung mati-matian sebelumnya.
Tunggu. Barusan dia bilang 'sang Kematian'?
(Apa kau salah satu abdi sang Kematian sepertiku?)
Wanita itu masih menyeringai lebar, namun kali ini tampak suatu kepuasan di wajahnya.
"Akhirnya kau bicara padaku! Cepat tanggap, eh. Kau benar. Aku adalah 'sang Linimasa', salah satu abdi sang Kematian. Seperti halnya dirimu, hai 'sang Pembawa Pesan Kematian'," jelasnya. "Aku ditugaskan untuk mengejar dirimu, yang menghilang entah ke mana sejak sekitar seabad yang lalu. Sayang, tidak sepertimu, aku tidak bisa mempertahankan tubuh asliku, sehingga aku harus menumpang hidup dalam jiwa gadis malang ini."
Dullahan menangkap perkataan wanita itu. Namun ia tak menyangka sang Kematian akan mengejarnya sejauh ini, ke dimensi antah-berantah yang mengumpulkan orang-orang mati.
(Aku tidak ingin melawanmu. Bagaimana kalau kau katakan saja pada sang Kematian, aku akan kembali padanya bila urusanku di tempat ini sudah selesai? Kurasa tak lama lagi semua akan berakhir.)
"Jangan bercanda. Buat apa aku mencarimu hingga seratus tahun kalau aku melepaskanmu semudah itu? Dengar, mungkin sang Kematian memberiku kekuatan dan mengutusku untuk mengejarmu, tapi aku sendiri punya alasan pribadi untuk bertemu denganmu."
Kini Dullahan kebingungan.Alasan pribadi? Bertemu dengan wanita ini saja rasanya tidak pernah.
"Lain Jesheirden. Kau kenal nama itu saat kau masih menjadi seorang Haundall?"
Kalau Dullahan punya kepala, ia pasti menggeleng.
"Pastinya tidak. Mungkin kau lupa, atau bahkan memang tidak pernah tahu. Seperti halnya semua nama orang-orang yang kebahagiaannya kau renggut di kala perang besar berkobar di seluruh penjuru dunia. Membuat semua orang kehilangan apa yang mereka miliki, beberapa bahkan tidak punya pilihan lain selain mati. Mereka semua pasti orang yang tidak penting di matamu, seperti lalat yang namanya tidak perlu kau ingat."
(…? Apa yang kau bicarakan?)
Wanita itu menatap tajam ke arah Dullahan.
"Aku memang bilang kalau tugasku adalah membawamu kembali pada sang Kematian, tapi bukan berarti aku tidak boleh menghabisimu terlebih dahulu. Sudah terlalu lama aku menyimpan dendam ini, dan kini kesempatan untuk melampiaskannya akhirnya tiba juga!"
Dari ketiadaan, sang wanita memunculkan sebuah jam berukuran raksasa di balik punggungnya. Jam itu kemudian terpecah menjadi komponen-komponen kecil, yang kemudian membentuk sebuah pedang dari jarum jam dan tameng dari gir-gir jam di kedua tangan wanita itu.
"Akulah Lain Jesheirden. Orang yang akan membuatmu menganggapku sebagai sebuah mimpi buruk dan menyesali semua perbuatanmu semasa hidup dulu. Ingat baik-baik nama ini seperti aku selalu mengingatmu, dan bersiaplah!"
*****
-2-
"Saudara sedarah?"tanya Claudia tak percaya.
"Ya. Kita berbeda ibu, tetapi berbagi ayah. Dullahan yang dulu bernama Haundall ini punya dua istri yang dia besarkan sendiri sejak mereka berdua masih kecil," ujar Claude sambil terus memperlihatkan gambar memori kehidupan Haundall.
"...orang sakit macam apa dia?"
Claude kemudian menarik sebuah gambar, yang memperlihatkan Haundall tengah menangis di tengah reruntuhan, sementara empat orang di gambar sebelumnya terbaring bersimbahkan darah.
"Yah, begitu-begitu, dia menjadi mahluk tanpa kepala demi menyelamatkan nyawa kita di masa lalu. Jadi bisa dibilang, sudah dua kali kita diselamatkan dari kematian olehnya."
Claudia termenung sesaat, hingga Claude kemudian bertanya,
"Jadi? Bagaimana pendapatmu soal kenyataan bahwa hubungan kita selama ini inses? Kurasa kita sama sakitnya dengan ayah kita soal ini."
Claudia hanya tersenyum simpul.
"Siapa peduli? Hubungan manusia yang pertama - Adam dan Hawa - juga inses, dan tidak ada yang mengkritik mereka. Selama ada cinta, tidak masalah, kan? Kecuali kalau kau sebegitu khawatirnya dengan hal ini, kita pergi ke saja ke tempat di mana tidak ada siapapun selain kau dan aku, maka wajar hanya aku satu-satunya yang bisa kau cintai."
Claude membalas senyuman Claudia. Ternyata sama seperti dirinya, mereka berdua tidak peduli dengan kenyataan ini. Bagaimanapun juga, mereka telah bersama-sama sejak mereka baru bisa mengingat di masa kecil hingga ratusan tahun ke depan. Satu fakta ini saja tidak lantas menggoyahkan apa yang telah terajut kuat dalam waktu selama itu.
"Kalau kau bicara seperti itu, bukankah tempat yang kau maksud sudah ada di depan mata kita?"
Claudia memandang sekeliling, dan barulah ia menangkap maksud Claude.
Dunia yang kosong.
Dunia di mana mereka berdua adalah satu-satunya keberadaan yang ada.
"Kau benar, Claude... Tempat ini sempurna! Tidak perlu bertarung atau melintasi dunia... Kuharap kita bisa menghabiskan waktu selamanya di sini."
"Hm. Bukannya tidak setuju, tapi aku ragu kita bisa selamanya berada di sini. Firasatku mengatakan beberapa saat di masa depan, kita akan keluar entah bagaimana."
Mendengar perkataan Claude, Claudia sedikit cemberut.
Melihat wajah Claudia, Claude mendekapnya seraya mengelus-elus kepalanya.
"Tapi setidaknya, kita bisa menikmati waktu kita bersama di sini selama yang kita bisa, tanpa gangguan sama sekali."
*****
Sepanjang kehidupan Dullahan sebagai sang Pembawa Pesan Kematian, baru kali ini ia merasa begitu direpotkan dalam sebuah pertarungan.
"Ayo, Haundall! Apa cuma ini yang bisa kau lakukan, hah?!"
Sang Linimasa - Lain Jesheirden - adalah lawan yang sepadan dengan Dullahan. Sebagai pengendali waktu, ia selalu dapat mengulang kembali waktu setiap kali gagal menyerang Dullahan, membuat Dullahan cukup kepayahan menghindarinya.
Mengapa Dullahan harus lari, padahal tubuhnya abadi?
Itu karena serangan dari Lain mampu melukai Dullahan secara semi-permanen. Ketika sebuah serangan dari Lain masuk, luka yang tercipta pada tubuh Dullahan tidak lantas pulih karena Lain menghentikan waktu pada satu bagian tubuh Dullahan yang terluka tersebut sehingga mereka tidak dapat menyembuhkan diri. Kalau begini terus, bukan tidak mungkin Dullahan akan dikalahkan oleh rasa sakit yang ia derita, dan menjadi cacat ketika luka di tubuhnya terus bertambah satu demi satu.
"Kau mengecewakan.Kalau kau cuma bisa lari, kenapa tidak pasrah saja agar mati di tanganku? Toh kau tidak bisa keluar dari sini."
Benar, Dullahan memang tidak bisa berbuat banyak di ruang absolut ini. Sama seperti ketika ia berada di labirin di mana ia bertemu Eligor, ada pihak yang lebih kuat yang telah sedemikian rupa membatasi ruang gerak Dullahan sehingga ia tidak bisa berpindah tempat dengan leluasa seperti biasa.
Ngomong-ngomong soal Eligor, perlukah ia memanggilnya dalan keadaan ini?
Tidak membiarkan pikiran Dullahan berkelana, Lain kembali melesat ke arah Dullahan dengan pedang terhunus. Dullahan mencoba berteleportasi ke lantai atas, namun segera mendapati dirinya kembali ke tempat sebelumnya.
Ini pasti ulah Lain. Ia memutar ulang waktu sehingga Dullahan kembali ke posisi semula.
Dullahan tak punya pilihan lain selain menahan serangan ini. Di saat yang sama, ia akhirnya memutuskan untuk melukai wanita di depannya - sebelumnya ia ragu apakah lawannya masih bisa disebut manusia atau tidak dalam keadaan seperti ini, tapi sekarang ia merasa harus menghentikan Lain bagaimanapun caranya.
"!?"
Dalam satu gerakan mengepalkan tangan, kaki kanan Lain Jesheirden mendadak lenyap begitu saja.
Wanita itu segera terjatuh tanpa bisa meneruskan serangannya, sementara Dullahan lalu segera mengunci semua persendian Lain.
Melihat akhirnya keadaan menjadi cukup terkendali, Dullahan lalu menghampiri Lain dan bertanya,
(Boleh aku minta perhatianmu sebentar? Aku mengerti kalau kau mengejarku karena diutus sang Kematian, tapi aku tidak mengerti kenapa kau bersemangat sekali melawanku. Apa kau punya dendam padaku atau semacamnya?)
Terdengar olehnya Lain tertawa kecil.
"Heh. Apa kubilang. Jelas kau benar-benar tidak ingat siapa saja orang-orang yang kebahagiaannya kau renggut semasa perang dulu. Apalagi kalau orang itu hanyalah seorang gadis kecil yang tidak tahu apa-apa tentang keadaan dunia saat itu, dan tidak tahu kenapa ia harus hidup dalam kemalangan karena ulah satu orang."
Dullahan terdiam untuk beberapa saat.
Hingga akhirnya sadarlah ia, bahwa Lain adalah salah satu korban dari peperangan di zaman ia masih hidup sebagai Haundall. Tetapi bagaimana bisa ia berakhir menjadi salah satu abdi sang Kematian? Apakah ini ulah sang Kematian mempermainkan mereka yang ia jadikan bawahannya?
(Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu di masa lalu, tapi bila ini terjadi di masa perang, kau tidak bisa sepenuhnya menyalahkanku. Keadaan saat itu sangat kacau, dan bagi seseorang yang tidak memihak kubu manapun sepertiku, bertahan hidup itu sangat sulit. Semua yang terjadi adalah tuntutan situasi.Kalau memang aku mencelakakanmu dan orang-orang disekitarmu, aku benar-benar minta maaf. Yang sudah berlalu tidak bisa kembali lagi, dan tidak akan ada yang berubah meski kau membalas dendam padaku.)
Kini Lain berhenti tertawa kecil, dan sebagai gantinya ia menggeram kesal.
"Kau kira maaf saja bisa menyelesaikan semua masalah? Kau kira bisa lari dari semua dosamu dengan meminta maaf? Kalau bukan aku, tidak akan ada yang mampu memberikan hukuman setimpal padamu!"
Tiba-tiba saja kaki Lain yang seharusnya buntung pulih seperti sedia kala.
Ini bukanlah regenerasi seperti tubuh Dullahan yang abadi. Tubuh Sjena yang Lain gunakan adalah tubuh manusia biasa, namun ia dapat memulihkannya ke kondisi normal dengan memutar ulang waktu pada satu bagian spesifik, sehingga jadilah kaki itu kembali ke kondisi sebelumnya, ketika belum terjadi luka.
Tentu saja Dullahan cukup terkejut mengetahui lawannya ternyata sama seperti Eligor - tak bisa dilukai dengan cara biasa.
Begitupun dengan kunci ruang di setiap persendian Lain, yang dengan mudah dapat ia hilangkan begitu saja. Seolah apapun yang Dullahan lakukan dapat dibatalkan dengan kemampuan waktu milik Lain.
Segera setelah terbebas, Lain tanpa basa-basi mengacungkan pedangnya ke arah langit, sementara gir pada tamengnya berputar seperti jam yang sedang bekerja.
Awalnya Dullahan tidak mengerti apa yang ia lakukan. Namun dalam sekejap, keadaan di sekelilingnya berubah total.
"Sudah cukup main-mainnya.Biar kupastikan kau berakhir di sini!"
Tiba-tiba saja, entah dari mana, ratusan pedang-jarum jam telah mengelilingi Dullahan, mengurungnya seperti dalam sebuah kubah.
Lain menjentikkan jarinya, dan saat itu pula seluruh jarum tersebut serentak meluncur ke arah Dullahan dari berbagai arah.
Merasa sulit menghindari serangan dalam skala ini, Dullahan spontan berteleportasi keluar dari area di mana kubah jarum itu mengepungnya.
"Kau tidak bisa main curang!"
Terasa oleh Dullahan sensasi yang sama dengan beberapa waktu sebelumnya - kembali ia ditarik ke waktu di mana ratusan pedang-jarum itu baru muncul di sekelilingnya. Rasanya seperti Lain membuat checkpoint di titik waktu ini dan membuat Dullahan kembali kalau dia lari dari serangan ini.
Bila menghindar bukan pilihan, maka Dullahan harus mencoba cara lain.
Kini ketika serangan itu datang lagi, Dullahan mencoba membelokkan arah beberapa dari mereka. Namun karena jumlahnya yang banyak dan kedatangan mereka dari semua arah 360°, maka Dullahan juga terpaksa bertahan dengan menciptakan barrier bangun ruang di saat yang sama.
Serangan itu terus datang seperti hujan deras, membuat Dullahan hanya bisa bertahan...dan bertahan...dan bertahan, entah sampai kapan.
Ketika akhirnya serangan itu selesai, tampaklah Lain yang kecewa melihat Dullahan masih berdiri.
"Kenapa kau tidak terima saja kematianmu!? Kau yang memaksaku - akan kuulang terus serangan ini sampai kau putus asa dan menyerah pada nasib!"
Maka dimulailah loop ketiga dari titik waktu yang sama, dan teruslah Dullahan harus bertahan dari serangan ini, seraya berpikir bagaimana ia dapat menghentikan Lain.
Serangan Lain terus berlanjut, dan Dullahan terus bertahan.
Hingga pada loop kesekian, Dullahan mulai merasa lelah dan jenuh dengan semua repetisi ini. Akhirnya ia memutuskan bahwa tak ada jalan lain untuk mengakhiri semua ini selain dengan satu cara.
Sebelum pedang-pedang itu kembali meluncur, Dullahan 'memanggil' Eligor yang berada di luar sana muncul di hadapannya. Syukurlah, meski yang di dalam tak bisa keluar begitu saja dari ruangan ini, ternyata yang di luar dapat masuk ke dalam. Tentu saja Eligor terkejut bukan kepalang ketika mendapati dirinya telah berpindah tempat, apalagi ketika melihat yang ada di depannya bukan lagi Claudia, melainkan Dullahan.
"Tuan Dullahan! Apa yang kau--"
(Panggil semua pasukan jiwamu untuk melindungi kita. Sekarang.)
"Ta, tapi..."
(Cepat atau kita akan mati. Tubuh abadi tidak berguna melawan orang ini.)
Meski tidak tahu-menahu apa yang sedang terjadi, toh Eligor patuh juga. Seluruh pasukan jiwa Eligor muncul dari ketiadaan, menutupi Dullahan dan Eligor seperti membentuk kubah di dalam kubah.
Ketika pedang-pedang mulai meluncur, satu-persatu pasukan jiwa Eligor pun gugur. Menghalau setiap serangan yang mengarah ke tempat tuan mereka berada. Meski sudah terbiasa melihat pasukannya terbantai, tetap saja Eligor merasa tidak enak hati.
"Tuan Dullahan, kenapa memanggilku ke sini?" tanya Eligor was-was, berharap Thurqk dan Abby belum melihatnya."Tolong jelaskan padaku, apa yang sedang terjadi?"
(Dengar, setelah ini kita akan pergi ke tempat yang lebih tenang, dan ada sesuatu yang kuperlukan darimu di sana nanti. Mohon bantuannya.)
"Eh? Eh?"
Tanpa kesempatan untuk bertanya lagi, Dullahan telah terlebih dahulu menyelesaikan persiapan untuk melangsungkan salah satu kemampuannya.
[Gné Ceathrú]
*****
-3-
Kegelapan adalah sesuatu yang biasa ditemui, apalagi pada malam hari.
Namun yang kali ini ada di depan mereka bukan sekedar kegelapan di tempat sebelumnya.
Claude dan Claudia sadar mereka telah berpindah tempat, tapi mereka tidak dapat menebak di mana mereka sebenarnya.
Karena mereka sama sekali tidak bisa melihat apapun, layaknya orang buta.
"Claude, di mana kau?"
"Aku di sini! Claudia, kau bisa mendengarku? Mendekatlah dan pegang tanganku agar kita tidak terpisah."
Tak butuh waktu lama untuk Claude dan Claudia untuk bersatu kembali. Mereka saling menggenggam erat satu sama lain, memastikan mereka masih tetap bersama.
"Sebenarnya di mana ini?" tanya Claude kebingungan.
"Ini adalah 'Alam Kematian'," ujar sebuah suara."Maaf menarik kalian ke sini. Ada sesuatu yang kuperlukan sebentar."
"...?"
Claudia tidak tahu suara ini, tapi Claude merasa mengenalnya.
"Tuan Dullahan! Kenapa membawaku ke sini? Aku belum mau mati!"
Kali ini Claudia yang mengenal suara tersebut, namun tidak dengan Claude.
"Kalau kukembalikan kau ke sana, kau langsung berhadapan dengan Thurqk dan Abigail Grey itu," ujar Dullahan dalam kegelapan total. "Lagipula aku membawa kalian ke sini bukan untuk mati."
Claude, Claudia dan Eligor terdiam sejenak, sebelum kemudian muncul suara kelima.
"Sialan kau Haundall! Beraninya lari ke tempat ini! Pertarunganku denganmu belum selesai, brengsek!"
"Bukannya misimu membawaku ke hadapan sang Kematian? Sekarang di sinilah aku, menyerahkan diri untuk bertemu dengannya. Misimu selesai. Bagus kan, Lain Jesheirden?"
"Kau---!!"
Dan akhirnya, muncullah suara keenam sekaligus terakhir di tempat ini. Suara yang begitu besar, menggema ke seluruh tempat ini dari ujung ke ujung.
"Fuh... Tumben ramai sekali di sini. Siapa saja yang kau bawa, eh?"
Serentak Dullahan dan Lain berhenti bertikai, kemudian menunduk hormat (sekalipun kegelapan mereka tak terlihat oleh tiga orang lainnya), dan mulai memberi laporan.
"Dullahan, sang Pembawa Pesan Kematian, telah kembali ke hadapanmu. Dengan begini, tugas Lain Jesheirden sang Linimasa telah terlaksana," ujar Dullahan.
"Hum. Terima kasih telah kembali. Kerja bagus, Lain. Kau boleh pergi sekarang."
"Apa?! Tapi aku belum--"
Suara Lain terpotong begitu saja, tanda bahwa ia telah tiada di tempat di mana segalanya tak dapat terlihat ini.
"Biar kuperkenalkan. Yang ada di hadapan kita saat ini adalah sang Kematian - seperti namanya, dialah yang kalian temui saat mati. Soal tempat ini, memang dibuat demikian hingga kalian tak bisa melihat, karena kalian akan langsung mati saat bertemu dengan sang Kematian - tak terkecuali mahluk sepertimu, Eligor."
"Oi, oi, Dullahan, apa-apaan perkenalan itu? Setelah sekian lama menghilang dariku, tahu-tahu kau jadi tour guide?" kata sang Kematian sambil terkekeh. "Lalu, apa urusan orang-orang ini di sini? Kau yang membawa mereka, bukan?"
"Maafkan kelancanganku.Sebenarnya, aku membawa mereka mereka ke sini untuk menghidupkan kedua anakku kembali."
Sang Kematian tertawa lepas.
"Anakmu? Anakmu yang lebih kau pilih daripada istrimu saat aku menghidupkan mereka kembali? Hahaha, kau benar-benar tidak rela melihat mereka mati, ya?"
"Istri-istriku... Aku mengenal mereka sejak mereka masih sekecil Claude dan Claudia saat itu, jadi aku tahu apa yang baik bagi kami. Keluarga kecil kami memang tidak sempurna, tapi cukup bahagia. Dan kedua anak yang kami tunggu-tunggu kedatangannya adalah penyempurna kebahagiaan kami. Sebagai orangtua- terlebih sebagai ibu - aku yakin mereka punya pikiran yang sama denganku : bahwa buah hati kami lebih berhak atas masa depan mereka, dan tugas orangtua-lah untuk melindunginya."
"Keputusan yang bijak, kuakui," komentar sang Kematian. "Tapi kau kira aku sebegitu murah hatinya sampai mengabulkan permintaanmu yang sama dua kali? Aku tidak punya alasan untuk menurutimu kali ini. Kau meminta, tapi aku tidak menawarkan apa-apa."
Claude dan Claudia mendengarkan dengan seksama. Ini adalah pengetahuan baru bagi mereka, bahwa mereka sudah pernah dihidupkan dari kematian saat kanak-kanak. Sebesar inikah pengorbanan sang ayah selama ini, tanpa mereka ketahui?
Ada suatu rasa yang bergetar di dada mereka, namun genggaman tangan yang makin kuat merupakan sinyal bahwa mereka berdua tidak boleh memotong pembicaraan ini dan terus mendengarkan saja terlebih dahulu.
"Aku meminta sekaligus menawarkan kali ini," lanjut Dullahan."Kau sudah dengar permintaanku.Yang kutawarkan sebagai balasannya adalah jiwaku dan mahuk neraka bernama Eligor sebagai Dullahan yang baru untuk menggantikanku."
"Eh?" gumam Eligor keheranan. "Tunggu, sejak kapan aku—"
"Dengar Eligor, dalam keadaan begini, kau 100% akan dicabut dari jabatan mahluk neraka kalau kembali ke tempat Thurqk, dan kehilangan akses legiun jiwa yang kau banggakan," sela Dullahan. "Sementara dengan menjadi Dullahan, kau akan hidup tanpa nyawa, keabadian yang sebenarnya – kecuali ada yang bisa membunuh jiwamu. Dan sang Kematian ini yang akan menjadi penjagamu. Bukannya ini berarti hidupmu terjamin aman?"
"Sebentar," kali ini sang Kematian yang memotong pembicaraan. "Siapa Thurqk ini?"
"Seseorang yang mengaku sebagai dewa, mengambil alih neraka, dan mempermainkan jiwa-jiwa orang mati untuk bertarung satu sama lain demi kepuasan dia sendiri," jawab Dullahan.
Semua terdiam sejenak.
"Mempermainkan jiwa, eh.." sang Kematian kemudian bertanya, "Kenapa kau tidak melakukan sesuatu padanya?"
"Dimensi yang ia tinggali berada di bawah kuasanya, dan entah bagaimana membatasi apa yang bisa kulakukan. Aku juga tidak percaya dia benar-benar dewa."
"Bah. Bahkan aku juga tidak menyebut diriku sendiri dewa meski kuasaku luar biasa. Kalau ada yang bisa disebut dewa di semesta ini, itu adalah sang Maha Esa."
"Apa kau tidak bisa turun tangan?"
"Aku hanya hadir pada alam kehidupan, menemui mereka yang sudah dijemput ajal. Kalau aku berjalan-jalan, yang terjadi adalah genosida. Lagipula kematian hanya terjadi pada mereka yang hidup, bukan mereka yang sudah mati," kata sang Kematian. "Tapi aku penasaran dengan Thurqk ini. Pertama, aku tidak suka dengan dia yang mengaku dewa. Kedua, dia merusak siklus kehidupan dengan mempermainkan nyawa. Dan yang terakhir, aku ingin tahu apa dia cukup menarik untuk dijadikan budakku."
Lalu Dullahan mendapat ide.
"Bagaimana kalau kedua anakku yang membawakan mereka ke sini?"
Sang Kematian kembali terkekeh.
"Haha, kau bisa saja membuat penawaran ini lebih baik! Aku sudah pernah dengar tentang Eligor ini, jadi aku tahu kalau ia cukup berharga untuk dijadikan bawahan. Bagaimana Eligor? Sebagai gantinya, kau akan mendapat kebebasan total, bahkan si Thurqk yang kau takuti itu tak akan bisa menyentuhmu selama kau ada di bawahku."
"Benarkah itu? Kalau begitu, dengan senang hati!" ujar Eligor girang tanpa pikir panjang.
"Oke, jadi kita sudah dapat calon penggantimu sebagai Dullahan baru. Sekarang, kedua anakmu… Claude dan Claudia, kan? Bisakah kalian berjanji membawakan Thurqk ke sini?"
Claudia ragu untuk menjawab, namun Claude dengan tegas segera berkata, "Bila itu berarti kami mendapat kesempatan ketiga – bahkan kalau ini merupakan kesempatan terakhir – maka akan kami lakukan apa yang kami mampu."
"Bagus. Aku suka kesiapanmu," ujar sang Kematian puas. "Kalau begitu ayo kita mulai. Pertama, aku butuh dua tubuh dan satu nyawa, toh jiwa kalian masih intak. Bagaimana Dullahan?"
"Nyawa mereka masih ada di tubuh ini, jadi untuk satu nyawa lagi ambil saja dari Eligor, toh dia tak akan membutuhkannya bila menjadi abdimu," saran Dullahan."Untuk tubuh, satu bisa dipakai dari tubuhku ini, dan yang satu lagi dari Eligor."
"Hah? Kalau tubuhku diambil, bagaimana aku hidup nantinya?" protes Eligor.
"Tidak, maksudku bukan seluruh tubuhmu. Ambil saja kepalamu, lalu dengan komponen kegelapan itu kita bentuk sebuah tubuh manusia. Lagipula, kau akan tampak lebih menyeramkan bila tanpa kepala sepertiku."
"Hm.. Benar juga. Bolehlah kalau begitu," lagi-lagi dengan mudahnya Eligor menerima.
"Jadi kita sudah sepakat," kata Dullahan menyimpulkan."Kalau begitu, Kematian, aku meminta separuh tubuhku dibagi untuk mereka berdua, dan sisanya ambillah dari komponen kegelapan Eligor. Tolong bagi nyawa yang menetap di tubuhku dengan nyawa Eligor, lalu masukkan jiwa mereka ke dalam masing-masing tubuh itu."
"Kau tidak perlu memberiku instruksi. Aku tahu apa yang harus kulakukan," sang Kematian terdengar sebal. "Sebelum kumulai, ada kata-kata terakhir untuk kedua anakmu, Haundall?"
Dullahan berbalik.
Sekalipun semua orang tak dapat melihat dalam tempat ini, Dullahan memang tidak pernah mengandalkan indera penglihatan. Ia berjalan dengan pasti, menuju ke tempat Claude dan Claudia berada.
Kemudian mendekap erat keduanya.
"Claude, Claudia…" ucapnya dengan nada bergetar. "Maaf, ini yang terakhir bisa kulakukan untuk kalian. Maaf tidak pernah hadir sebagai orangtua kalian selama ini. Maaf tidak pernah menjelaskan keadaan apapun pada kalian. Sebagai seorang ayah, aku merasa tidak pernah melindungi kalian dengan benar."
Kini mulai terdengar isakan tangis dari Dullahan. Tangis tanpa airmata.
"Tapi sampai kapanpun, aku tetap mencintai kalian, seperti kalian mencintai dan memiliki satu sama lain."
Meski baru sebentar mengenal Haundall sebagai ayah, Claude merasakan sebuah kehangatan yang asing dalam dekapan ini. Sementara Claudia mulai menangis tanpa ia mengerti kenapa.
"Sekarang aku pergi dulu.Selamat tinggal….tidak.Sampai jumpa lagi setelah kalian mati."
Dan dengan itu, berakhirlah keberadaan seorang Haundall di dunia.
*****
Best Of Three – Last One
-1-
Sjena tidak tahu-menahu apa yang terjadi selama ia tak sadarkan diri.
Namun dirinya masih berada di dalam arena pertarungan, tanda bahwa pertandingan ini belum berakhir.
Ia merasa tubuhnya lemah dan berat sekali untuk digerakkan. Apa efek dari jurus terakhir yang ia gunakan?
Matanya menerawang ke sekitar. Jelas pertandingan belum selesai.Lalu di mana lawannya?
Tak lama kemudian ia menemukan sosok Claudia Neuntzmann di kejauhan, yang telah berganti pakaian. Jubah yang ia kenakan kini tidak lagi hitam putih, melainkan hanya putih, menutupi tubuh hingga sepanjang kaki.
Namun anehnnya, ada seorang pria berbusana serba hitam dengan rambut sewarna yang kini mendampinginya, dan mereka tengah bercakap-cakap.
"Kenapa rambutku jadi hitam? Apa ini karena aku kebagian nyawa dari mahluk neraka sementara kau dapat nyawa asli yang sebelumnya kita bagi?"
"Jangan ributkan hal-hal kecil. Lagipula menurutku kamu lebih keren begini."
"Hmm, kalau kau bilang begitu…"
Hingga akhirnya mata Claudia dan Sjena bertemu.
"Ah, dia!" seru Claudia saat melihat Sjena.
"Siapa? Lawan kita?" tanya Claude.
"Claudia Cage!"
Tanpa basa-basi Claudia membuat kurungan semi-transparan dengan kemampuannya, dengan membentuk bangun setengah bola seperti kubah di arena ini untuk memerangkap Sjena yang masih terduduk setelah bangun dari pingsannya.
"Hati-hati Claude, dia ini tipe penipu licik yang menusuk dari belakang," kata Claudia."Dan dia bisa berteleportasi – semoga kurungan ini cukup untuk menahannya."
Sementara Claude dan Claudia berbincang mengenai Sjena, Sjena sendiri merasa lelah dengan semua ini.
Jadi mereka masih ingin bertarung? Sjena tidak tahu kenapa ada tambahan satu orang lagi di sini, tapi sungguh ia sudah tidak tertarik. Kalau ingin bertarung, panggil orang lain saja sana.
Maka Sjena berseru,
"Kalian bisa memaksaku bermain di kandang kalian... Tapi bukan berarti aku harus mengikuti aturan kalian!"
>Insert command
>_
>[Take Over]
[Your character has been changed. Please check game configuration]
[Your skillset has been changed]
[You are now Ixephon]
*****
-2-
Rambut putih, kulit putih.
Meski penampilannya secara umum sama dengan Sjena, namun secara fisik ia telah berubah 180 derajat menjadi orang yang benar-benar berbeda.
Tentu saja, Claude dan Claudia tidak mengetahui bahwa yang ada di hadapan mereka saat ini bukan lagi Sjena Reinhilde, melainkan Ixephon – entitas yang diciptakan oleh seseorang yang memegang kendali atas kesadaran Sjena sebagai versi modifikasi dari sang pemilik asli tubuh tersebut.
Tanpa emosi dengan kemampuan lebih tinggi, Ixephon adalah mesin petarung yang ideal dibandingkan Sjena yang moody.
Entah bagaimana, kemunculan Ixephon membuat kurungan Claudia terhempas – bagai sebuah cangkang telur yang terbuka dan memunculkan mahluk yang baru terlahir ke dunia.
Tidak membiarkan Claude dan Claudia terkejut atau bertanya-tanya, Ixephon memateralisasikan dua buah [Pistols] di tangannya dan mulai menembakkan bola-bola api.
Claude dan Claudia berpencar ke arah yang berbeda, menghindari tembakan Ixephon yang tak pandang bulu. Bola api terus meluncur tanpa henti, dan setiap bola api menimbulkan ledakan yang hebat setiap bertabrakan dengan dinding dan lantai – membuat ruangan ini menjadi cukup berantakan.
"Claude! Ada rencana apa?" seru Claudia dari kejauhan.
"Berpencar dan amati kemampuannya apa! Kita lakukan sesuatu setelah bertemu kembali di sini! Lima menit!" sahut Claude.
Maka Claude dan Claudia melarikan diri ke arah yang berbeda. Claude mencoba memasuki ruangan-ruangan yang tersebar di lantai dasar, sementara Claudia membuat pijakan bangun ruang dan berpindah ke lantai atas.
Melihatnya, Ixephon segera menggunakan [Jetstream] untuk mengejar Claude – yang hanya mengurung dirinya sendiri dengan masuk ke dalam sebuah ruangan.
Sebentar saja, Claude sudah terkejar.
Ixephon kemudian memasuki ruangan yang Claude masuki.
Yang menyambutnya adalah Claude yang berdiri siap dengan sebuah pisau di tangan, sementara tangan lainnya memegangi panci. Persisi seperti prajurit tengah memegang pedang dan perisai.
Namun bukan itu yang sedang diperagakan Claude.
"Surprise."
Detik berikutnya, kepala Ixephon telah bertukar dengan sebuah panci, dan kini kepala itu ada di tangan Claude – yang segera mengayunkan pisau untuk menusuk kepala Ixephon.
Sayang, Claude gagal.
Dengan kemampuan [Blend] miliknya, seketika Ixephon melebur menjadi api. Bukan hanya membuat tangan Claude kepanasan, pisau yang ia ayunkan menembus kepala Ixephon sehingga menusuk tangannya sendiri.
"Aaaaaaargh!!"
Claude berteriak kesakitan seraya memegangi tangannya yang terbakar dan terluka. Lepas konsentrasi dan pandangan membuat kepala Ixephon kembali ke asal, sementara sang lawan tertatih-tatih menjauh mengambil jarak dengannya.
Ruangan ini tidak punya pintu selain dari tempat Ixephon masuk yang ada di belakangnya, membuat Claude tak akan bisa lari tanpa melewati Ixephon terlebih dahulu.
Ixephon ikut mundur menutupi pintu, lalu mematerialisasikan senjata lain : [Flamethrower].
Sebuah kobaran api besar segera tercipta, melahap habis ruangan ini dengan sapuan api dari [Flamethrower].
Sebelum seluruh ruangan benar-benar terbakar, Claude masih sempat membalikkan arah semburan api sehingga tidak langsung mengenainya. Tapi bagaimanapun juga, api merambat memenuhi ruangan, nyaris tidak memberikan Claude kesempatan untuk lari ke manapun.
Tubuh Claude dan Claudia yang sekarang tidaklah abadi, sama seperti manusia biasa yang mudah dilukai. Oleh karena itu Claude berusaha berhati-hati agar tubuh baru ini tidak banyak terluka.
Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Claude tidak ingin menyesali keputusannya, namun juga nyaris putus asa dalam keadaan ini. Tidak, setelahnya akhirnya mereka berdua mendapat tubuh sendiri dan hidup untuk ketiga kalinya, akankah ia menyia-nyiakannya secepat ini?
Ada cara. Pasti ada cara.
Api hanya berjarak beberapa meter dengan Claude sekarang. Ia mencoba untuk tenang dan berpikir. Dengan kemampuannya, apa yang bisa ia lakukan?
Pertukaran objek… Objek, tiga dimensi. Satu titik posisi ke titik lain. Aplikasi yang berbeda… Mungkinkah?
Sebuah gagasan muncul di kepala Claude. Ia belum pernah mencobanya, namun baru terpikirkan ketika mengingat perkataan Claudia tentang lawannya – dan ceritanya bahwa ia menemukan kemampuan baru selama Claude tidak ada.
Api sudah hampir membakar Claude.
Sekarang atau tidak sama sekali!
Ixephon menghentikan [Flamethrower]-nya. Ruangan itu habis tak bersisa, selain abu dan dinding yang hangus menjadi hitam.
Satu musuh sudah tumbang. Sekarang saatnya pergi mencari yang satu lagi.
Ixephon berbalik.
Dan menemukan sosok Claude yang pakaiannya hangus dengan wajah penuh abu berdiri di belakangnya.
"Surprise again."
Dengan tangan terkepal erat, Claude meninju wajah Ixephon sekuat tenaga, membuatnya jatuh tersungkur kembali ke dalam ruangan yang hangus tersebut.
Segera Claude menutup pintu ruangan itu dan kabur dari sana, menuju ke tempat awal pertarungan mereka.
Bagaimana Claude selamat dari situasi sebelumnya?
Sama seperti Claudia, Claude berhasil menemukan tingkat lanjut dari kemampuannya dalam keadaan terjepit.
Bukan lagi pertukaran objek, melainkan pertukaran titik yang menjadi posisi sesuatu dengan titik lainnya, sehingga terciptalah perpindahan tempat instan.
Dengan kata lain, tanpa sadar Claude telah mengembangkan aplikasi kemampuannya sehingga kini iapun dapat melakukan teleportasi.
Meski terbatas pada tempat yang ada pada jarak pandangnya, itu sudah lebih dari cukup. Dengan cepat Claude sudah tiba di titik awal pertarungan mereka.
Claudia belum hadir. Namun di kejauhan, dapat terlihat Ixephon meluncur dengan cepat menuju ke arahnya.
Bola-bola api meluncur ke arah Claude, dan segera saja Claude membalikkan arahnya pada Ixephon. Ixephon mengganti [Pistol] di tangannya dengan [Sword], kemudian menebas bola apinya hingga terpotong-potong, menebar ledakan di mana-mana.
Dalam keadaan ini, Claude harus mencari akal. Bagaimanapun juga, Claudia memiliki kemampuan ofensif dan defensif yang lebih baik dibanding dirinya, dan tanpa Claudia, yang dapat ia lakukan sekarang cukup terbatas.
Ixephon tiba di hadapan Claude, dan tanpa basa-basi segera menebaskan pedangnya.
Dengan kemampuan baru yang ia pelajari, setidaknya Claude cukup berhasil menghindari serangan-serangan jarak dekat Ixephon. Mendekati reruntuhan yang tercipta akibat serangan Ixephon, Claude berpikir untuk memastikan apakah lawannya ini benar-benar tidak bisa dilukai secara fisik.
Maka ia menukar kepala Ixephon untuk kedua kalinya, dan menendangnya sekuat tenaga.
Claude terkejut mendapati kali ini serangannya berhasil. Kepala itu terlempar jauh hingga menabrak langit-langit, sebelum berpindah kembali ke tubuh awalnya. Kemudian Claude melempar sebuah batu ke arah Ixephon, namun kali ini batu itu menembus tubuhnya.
Jadi, dia bisa dilukai bila diserang tanpa sadar, namun dia bisa mempersiapkan diri untuk membuat serangan tembus darinya bila sudah mengantisipasi terlebih dahulu?
Sementara Claude mengambil kesimpulan demikian, tampak Ixephon terbangun dan menatap kosong ke arah Claude. Mulutnya bergerak menggumamkan sesuatu.
"Ignite."
Seketika itu pula jubah Claude terbakar. Claude benar-benar terkejut. Ia bisa menyerang hanya dengan bergumam?
Claude mencoba memadamkan api di jubahnya, namun ketika melihat Ixephon kembali melanjutkan gumamannya, ia segera mendapat firasat buruk.
Seolah apapun yang Ixephon akan lakukan setelah akan membunuhnya dengan mudah.
Claude baru ingin menukar kembali kepala Ixephon untuk yang ketiga kalinya, ketika tiba-tiba saja sebuah reruntuhan dinding meluncur menuju Ixephon sebelum ia sempat menyelesaikan kalimat selanjutnya.
Ixephon ambruk tertimpa reruntuhan tersebut, sementara sang pelaku turun dari lantai atas dan menghampiri Claude.
"Claude, kau tidak apa-apa? Maaf aku terlambat – ternyata dia mengejarmu lebih dulu, ya."
Sambil memadamkan api di jubahnya, Claude bertanya, "Bagaimana kau sampai ke sini?"
"Aku terus mendengar suara ribut dan ledakan di bawah, jadi aku khawatir kau sedang kesulitan. Waktu melihatmu tiba-tiba terbakar, kugunakan telekinesis untuk menghajar perempuan itu sebelum terlambat."
Claude tersenyum lirih. "Haha, kau memang lebih kuat dariku, ya. Yang terbaik yang bisa kulakukan hanya memukul kepalanya, itupun setelah aku hampir mati olehnya."
"Kau tidak segan memukul wanita?"
"Cuma kau wanita di mataku. Yang lain sekedar pemeran pembantu."
Perbincangan mereka berhenti ketika tiba-tiba saja reruntuhan di depan mereka meledak, memperlihatkan Ixephon yang kini memegang sesuatu serupa shotgun. Meski terlihat terluka memar di beberapa tempat, namun wajahnya tetap datar dan tidak tampak ada rasa sakit sama sekali.
"Kau dapat sesuatu di atas sana?" tanya Claude.
"Ada. Kamu bagaimana?" balas Claudia.
"Sedikit banyak aku tahu kemampuannya sekarang."
"Bagus. Berarti sekarang kita tak perlu berpisah lagi."
Melihat Ixephon mengarahkan [Shotgun]nya pada mereka berdua, Claude dan Claudia bersiap untuk bertarung bersama.
Pertarungan pertama mereka sebagai dua individu utuh.
"Saatnya mengakhiri semua ini!"
"Kalau begitu, ayo kita mulai!"
*****
-3-
Dengan telepotasi dan pijakan-pijakan bangun ruang mereka, Claude dan Claudia berpindah ke lantai paling atas, tidak mengindahkan tembakan-tembakan Ixephon yang menghancurkan lantai-lantai atas sambil terus mengejar mereka.
Menurut Claudia, semakin tinggi lantainya, semakin sedikit area yang bisa dijelajahi. Itu karena selubung kubah merah Thurqk tersebar hingga ke dalam ruangan, dan dengan bentuknya yang setengah lingkaran, tentu saja bagian atasnya makin menyempit.
Sementara Claude mengatakan bahwa bila diserang dalam keadaan sadar, lawan mereka bisa mewujud menjadi api dan membuat serangan apapun tidak akan masuk. Selain itu, kemampuan apinya lumayan merepotkan, dan dia bisa menggunakannya dalam berbagai bentuk.
Kini mereka berdua berhasil menyimpulkan beberapa cara untuk melawan Ixephon.
Untuk saat ini, pada lantai tertinggi ruangan…atau lebih tepatnya, bangunan ini, mereka berhenti pada satu ruangan terbuka yang cukup luas, yang dilewati oleh selubung merah di tengahnya.
Tak butuh waktu lama untuk Ixephon mencapai tempat mereka. Segera ia mengeluarkan dua buah [Sword] dan melesat ke arah Claude dan Claudia.
"Sekarang!"
Claudia mengunci pergerakan kaki Ixephon, sementara Claude maju dan bersiap meninjunya ke arah selubung merah.
Tiba-tiba saja Ixephon menghilang dari hadapannya.
"Claude, belakangmu!"
Claude melirik ke belakang dan melihat Ixephon siap menebas punggungnya.
Namun sebelum itu terjadi, ia pun berteleportasi ke belakang Ixephon.
Terjadilah perang teleportasi.
Setiap kali Ixephon berpindah tempat, begitu pula dengan Claude. Tidak ada yang mengalah dan berhenti pada saat, mereka terus menghilang dan muncul di tempat yang berbeda-beda seperti lampu berkedip.
Hingga pada satu titik, Claude berhasil membuat Ixephon berdiri tepat di dekat selubung merah tanpa ia sadari.
"Berakhirlah!"
Kali ini bukan tinju yang ia layangkan, melainkan dorongan dengan kedua tangannya.
Ya, dengan ini Ixephon akan terdorong ke belakang dan hancur – bila selubung ini memang demikian fungsinya. Kalau ia berteleportasi, seharusnya Claude juga akan ikut terbawa dan menutup gerakannya untuk Claudia habisi.
Atau begitulah harapan Claude, saat tiba-tiba Ixephon melebur menjadi api, melewati Claude yang sudah terlanjur dalam gerakan mendorong sekuat tenaga ke depan.
"!?"
"Claude!"
Claudia dengan sigap menciptakan bangun ruang yang membatasi selubung tersebut dengan Claude, menyelamatkannya dari kemungkinan terburuk.
Namun dalam keadaan seperti ini, Claudia tidak sadar ketika pedang Ixephon menebasnya dari belakang.
"Ukh!"
"Claudia!"
Kini ganti Claude yang segera berteleportasi dan menghalau Ixephon dengan sebuah tinju, membuatnya jatuh ke belakang.
"Claudia! Kau tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa…" jawab Claudia menahan sakit. "Setidaknya kali ini dia bukan menusukku dari belakang seperti sebelumnya."
Saat mereka melihat kembali ke arah Ixephon, tampaklah dirinya tengah menggumamkan kalimat pendek yang segera membuat Claude bergidik.
"Ignite."
Api muncul di sekujur tubuh Claude dan Claudia. Sementara Claudia menjerit kesakitan, Claude segera berpikir cepat. Ia bisa berteleportasi, namun hanya ke tempat sejarak pandangnya – dalam hal ini berarti Ixephon masih dapat melihat mereka. Cara lain untuk berpindah tempat adalah…
"Claudia! Ruang tertutupmu!"
Susah payah Claudia memunculkannya. Claude masuk sambil menarik tangan Claudia yang kelemahan.
Bersamaan dengan masuknya mereka berdua, di saat yang sama Ixephon telah berucap,
"Explosion."
Dan terdengarlah sebuah suara ledakan.
Claude dan Claudia berhasil menyelamatkan diri nyaris tepat pada waktunya, namun tidak sepenuhnya.
"Claudia! Kau tidak apa-apa?"
Sebuah luka bakar tertoreh di punggung Claudia. Rupanya efek ledakan tadi masih sempat sampai pada Claudia sebelum mereka berhasil kabur tadi.
"Aku masih bisa bertarung…" ujarnya lemah. "Tenanglah, Claude. Aku tidak akan mati semudah itu."
"Kalau begitu tinggallah di sini. Biar aku yang keluar menghadapi dia."
"Tidak. Aku harus ikut. Justru kalau kita berdua, kemungkinan menangnya lebih besar, kan. Aku tidak mau meninggalkanmu kesulitan dan sendirian."
"Tapi…"
"Claude," ujar Claudia menatap tajam pada kekasihnya. "Susah atau senang, apapun yang terjadi, kita harus bersama, kan?"
Claude menggigit bibir, tak kuasa menolak tekad Claudia.
"Jaga dirimu, jangan sampai terlalu lelah atau terluka lagi."
"Aku tahu. Serangannya yang terakhir itu tidak boleh terulang lagi, bagaimanapun caranya."
Setelah keduanya sepakat dan beristirahat sejenak, kembalilah mereka ke arena pertarungan.
Tentu saja, mereka memilih untuk muncul kembali di tempat awal alih-alih di ruangan tempat mereka berada. Terlalu berisiko bila bertemu kembali dengan Ixephon secepat itu.
Sayangnya dewi fortuna tidak berpihak pada mereka. Kurang dari satu menit, Ixephon telah hadir kembali di hadapan mereka dengan teleportasinya.
Kemunculannya itu juga disertai dengan dua buah [Throwing Dagger] yang langsung ia lempar tepat saat muncul, serangan dadakan yang tak sempat diantisipasi oleh Claude dan Claudia.
"Ukh!"
Claude tertusuk di perut, sementara Claudia tepat di dada.
Claude dengan kepayahan mendekati Claudia dan mencabut pisau tersebut tanpa memedulikan dirinya sendiri.
"Claudia, buatlah bangun ruang di dadamu untuk menahan pendarahannya! Ugh, apakah ini jantungmu?"
"Tidak…kurasa tidak kena…bagian vital…" jawab Claudia terengah-engah. "Tapi napasku…. rasanya berat sekali… sekarang…"
"Beristirahatlah, biar kuurus dia. Sejak awal memang seharusnya kau tidak kemari."
"Claude…"
Tangan Claudia perlahan terangkat, menunjuk ke arah Ixephon.
"Ignite."
"Sialan!"
Claude segera melepas jubahnya dan memadamkan api pada tubuhnya dan Claudia secepat mungkin.
"Explo—"
"DIAM BRENGSEK!"
Claude berteleportasi ke depan Ixephon dan menutup – tidak, mencengkeram mulutnya dengan perasaan murka. Cengkeraman Claude begitu kuat, hingga ia bisa merasakan gigi Ixephon dari luar dan ingin sekali menghancurkannya andai ia punya kekuatan lebih.
Walau Claude menatap Ixephon dengan wajah murka, Ixephon masih saja membalasnya memasang muka datar. Sesuatu yang membuat pikiran Claude serasa terbakar.
Tiba-tiba terasa suatu rasa bakar yang asli.
"Rrrgggggggh!"
Claude melihat ke arah perutnya. Belati Ixephon bersarang di tempat yang sama dengan luka sebelumnya, membuat sakit yang tidak tertahankan.
Kemudian mata Ixephon bergerak sedikit ke samping.
Tangannya yang lain bergerak dan mematerialisasikan [Shotgun].
"Tunggu, kau…"
[Shotgun] yang jelas terarah pada Claudia yang tidak bergerak, terbaring kesakitan.
Claude tidak tahan lagi.
Sekuat tenaga ia mendorong Ixephon jatuh ke tanah dengan hati meledak-ledak.
Lenyaplah. Lenyaplah. LENYAPLAH!
Sesuatu yang tak terkira tiba-tiba terjadi.
Sebuah lingkaran hitam tercipta di tangan Claude, membungkus kepala Ixephon yang meronta-ronta.
Lingkaran itu tidak sekedar membungkus, namun juga dengan perlahan menyedot seluruh bagian kepala Ixephon. Tak berhenti di sana, lingkaran itu juga mulai ikut melahap bagian leher dan terus ke bawah, seperti vaccuum cleaner.
"!?"
Ketika Ixephon berhenti bergerak, Claude menarik tangannya dan segera mundur. Ia menutup tangannya, dan bola hitam itu hilang dengan sendirinya.
"…a, apa itu tadi?"
Kehilangan terlalu banyak darah, Claude pun ambruk ke tanah. Dengan kesadaran yang tersisa, ia menyeret tubuhnya ke tempat Claudia, yang tampaknya sudah terlebih dulu tak sadarkan diri.
"Kita menang… Claudia…"
Dan iapun jatuh pingsan, menyusul sang kekasih.
*****
Curtain Call
Di singgasananya yang berada di langit kubah arena pertandingan, Thurqk memerhatikan akhir pertandingan dengan perasaan bingung.
"Kenapa dua peserta ini kelihatannya punya kemampuan transformasi sampai beberapa kali, dan informasi ini tidak ada di data awal mereka? Aku merasa seperti menyaksikan beberapa pertarungan berbeda di sini."
"Heh, ternyata ada juga yang 'dewa' sepertimu tidak ketahui," cibir Nolan dalam ikatannya.
"Diam kau manusia rendahan," geram Thurqk seraya mengencangkan ikatan Nolan, membuatnya menjerit kesakitan."Abby, kau tahu sesuatu?"
Abby tersenyum kecil.
"Aku tidak tahu pasti, tapi aku tahu dalam kasus seperti ini, ada entitas lebih tinggi yang membawahi mereka. Artinya, kau sekalipun tidak punya kendali penuh atas orang-orang ini bila mereka yang di balik layar itu berkehendak lain. Yah, itu dugaanku saja sih."
"Seseorang di atas mereka?" gumam Thurqk. "Hmm… Menarik.Aku ingin tahu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya."
"Tidak takut status dewamu digulingkan?" tanya Abby.
"Oleh siapa? Nolan? Pecundang yang terikat di tiang itu sejak awal sudah gagal saat memutuskan untuk membelot dariku. Mereka yang tidak sadar dengan kelemahan mereka sendiri adalah mahluk paling bodoh. Dan semua peserta turnamen ini berada di dalam genggaman tanganku."
Thurqk tertawa terbahak-bahak, merasa puas menyatakan dirinya tak akan bisa dikalahkan di tempat di mana ia berkuasa.
Sementara Abby hanya tersenyum misterius di sampingnya.
*****
Closed Curtain
Sebuah taman yang keindahannya tak dapat kujelaskan dengan kata-kata.
Semua tanaman ditata begitu rapi, hingga aku tak percaya dengan mataku sendiri.
Kenapa semua terasa begitu menenangkan?
Aura putih di mana-mana. Cahaya tanpa matahari?
Mungkinkah ini yang dinamakan surga?
Dalam kesunyian yang kurasakan, terdengar suara yang memanggilku.
Aku berbalik, dan saat melihat sumber suara itu, aku segera berlari ke arahnya.
Ke tempat mereka berdua berada.
Maaf membuat kalian menunggu terlalu lama.
Claudelle, Claudiane.
Aku pulang.
*****
End Card
Oh damn onion!
ReplyDeleteIni terlalu keren~
Seperti biasa, ane lebih tertarik sama backstory-nya ketimbang battle scene itu sendiri, dan kisah Dullahan yang melakukan segala cara demi menyelamatkan CC itu bikin hati ane terenyuh.
Pada akhirnya, nggak sebatas power up, CC kini memiliki tubuh masing-masing, dan mereka bisa melakukan apapun semau mereka tanpa harus membunuh laki-laki atau perempuan yang kebetulan lagi lewat. (ya, saya sedang membicarakan "itu")
XD
Sorry lupa point
DeleteNilai : 9
Po:
ReplyDelete- kanonnya bagus. tukeran peran dan urusan sama jiwa dsb.
- Strateginya CC masih asik dan tag teamnya juga dinamis. Cuma agak kurang dramatis aja pas titik2 klimaks mnurutku pribadi.
- Sjena sesuai sama konsep asli Sjena, yg ada Ixephon dan Lain. Cuma pas Haundallnya yg dapet restriksi buat gak ngbunuh tu kesannya kyk ngurangin ketegangan
- Tapi pas Lain muncul, jadi keren lagi pake infinite loop. jadi keunggulan Haundallnya ilang lagi.
- penutupnya bagus.
- nilai 8