Manusia itu istimewa. Nurin sering mendengar sentimen seperti itu saat ia masih hidup, dan ia memahami kenapa banyak yang mencetuskannya. Biar bagaimanapun, manusia adalah satu-satunya makhluk berakal budi yang hidup di bumi. Kaumnya adalah khalifah yang ditunjuk oleh Tuhan untuk memimpin seisi alam. Bila kaumnya menitahkan satu spesies hewan untuk punah, maka punahlah dia. Bila kaumnya menitahkan areal tetumbuhan untuk sirna, maka surutlah mereka.
Dalam setiap kisah fiksi yang Nurin baca, para penulis pun hampir selalu menyajikan gagasan itu, baik secara eksplisit maupun hanya tersirat. Walau iblis yang hendak menginvasi dunia memiliki senjata mengerikan, keteguhan tekad manusia selalu mampu menumpas mereka. Di opera galaksi, meski manusia tak sekuat, secantik, dan sepintar ras alien, kaumnya mampu beradaptasi hingga menjadi disegani dalam waktu singkat.
Tapi itu salah. Satu-satunya alasan manusia bisa merasa diri mereka istimewa hanyalah karena mereka cukup beruntung, berevolusi dengan sempurna di planet yang jauh dari pusat peradaban lain. Hanya planet biru kecil yang selama ribuan tahun gagal menarik perhatian dari makhluk-makhluk perkasa yang keberadaannya hanya ia dengar dari pengarahan di kamp karantina: Hastur, sang penguasa Carcossa; Yog Sothoth, personifikasi dari wormhole di seluruh antariksa, hingga Azathoth, yang terlelap di pusat semesta.
Manusia adalah tumpukan daging berjalan yang akan hancur sendiri saat melihat makhluk-makhluk perkasa itu datang. Kaum lemah yang tak benar-benar memiliki makna signifikan bagi semesta keseluruhan. Diam-diam para manusia pun menyadari itu, karenanya mereka menciptakan dan menganut agama. Masing-masing mencoba bersandar kepada iman, kepada keyakinan kalau memang ada makhluk perkasa di luar sana yang menganggap mereka istimewa dan senantiasa melindungi mereka.
Makhluk seperti itu memang ada. Nurin sudah menemuinya. Gadis berkacamata itu bahkan sudah menumpahkan darah untuknya. Dia adalah Thurqk, penguasa alam merah tempatnya berada. Makhluk yang mengaku sebagai penciptanya.
Saat ini, Nurin berada di sebuah ruangan besar. Ia dikelilingi oleh pilar-pilar raksasa yang terbuat dari tulang. Hamparan karpet merah terbentang di lantai, dari pintu memanjang hingga ke ujung ruangan. Di hadapan gadis itu, tersajilah sebuah singgasana besar yang terbuat dari baja.
Nurin tidak ingat bagaimana ia bisa berada di sana, tapi ia paham apa yang harus ia lakukan. Thurqk, dewanya, berada di hadapannya. Makhluk merah itu duduk dengan santai di atas singgasana. Ia pun dengan suka rela berlutut. Antusiasme hebat membuncah dari tubuhnya. Sudah begitu lama ia mengharapkan pertemuan ini. Akhirnya sang dewa berkenan juga untuk menemuinya.
"S-salam, wahai Dewa Thurqk yang maha perkasa!" Nurin membuka sambutannya dengan suara pelan dan tubuh gemetaran. Gas beracun mulai merambat perlahan dari pori-porinya. "Ha... hambamu yang rendah ini datang menghadap." Ia tak menyampaikan kata-kata yang sebenarnya sudah ia pikirkan, "...untuk mengharapkan kasih dan perlindunganmu."
Sang Dewa tak menjawab. Walau belum diberi izin, dengan lancang Nurin mengangkat sedikit kepalanya, agar ia dapat melihat sosok agung itu. Thurqk tengah diapit oleh tiga orang wanita, semuanya mengenakan set bikini minim yang terbuat dari perak dan bertabur berlian. Satu adalah seorang wanita berambut hitam panjang, dengan buah dada besar. Ia tak kenal siapa tepatnya sosok cantik itu, tapi ia yakin ia pernah melihatnya di alam pertarungan ini.
Dua lagi lebih familier. Salah satu wanita itu memiliki rambut putih panjang, dengan mata berwarna pelangi...
Za-nee, batin gadis berkacamata itu, mengingat identitas sosok yang ia lihat. Itu adalah lawannya di ronde dua turnamen, yang ia kalahkan dengan bantuan dari "boneka daging" miliknya. Gadis itu seharusnya sudah mati. Kepalanya telah dihancurkan sekali, dan jantungnya ditusuk menggunakan tiang bendera. Namun kini dia kembali hidup, menggelayut manja pada sang dewa.
Wanita yang satu lagi juga memiliki rambut perak, namun ia menggulungnya. Bentuk tubuhnya pun sangat menggoda. Nurin mengingatnya sebagai lawan pertamanya di turnamen ini. Sosok yang ia tularkan wabah dengan sedemikian parah, hingga dia menjadi boneka daging pertamanya di sini. Tapi dia telah kembali pulih, dan tampak sangat sehat.
Ketiga wanita itu menatap Nurin sambil menyeringai mengejek. Tanpa ekspresi itu pun Nurin sudah sangat terganggu. Pilihan pakaian mereka menonjolkan bentuk tubuh yang tak akan pernah Nurin miliki. Wajah mereka yang berpoles riasan menonjolkan kecantikan yang tak akan pernah menghiasinya. Kedekatan mereka kepada dewanya pun membangkitkan kesan kalau ia tak sebanding dengan mereka di hadapan Thurqk, walau dua dari tiga gadis itu sudah terbunuh olehnya, atau karena wabahnya.
"Siapa kamu, dan apa yang kamu lakukan di sini?"
Nurin membelalak mendengar pertanyaan Thurqk tadi. Ia membenci banyak hal, namun pilihan kata-kata Sang Dewa sukses menikam batinnya. Ia tidak menonjol. Nurin sendiri tahu itu. Tapi ia sangat takut akan mendengar pernyataan langsung dari seseorang kalau dia memang tak dikenal.
"A-apa yang saya-"
"Istanaku tidak membutuhkan gadis jelek seperti kamu."
"Tapi Tuan-" keringat dingin langsung menitik dari dahi Nurin, walau tubuhnya justru memanas karena amarah. Ia mencoba bangkit dan menjelaskan, "Sa-saya adalah hamba Tuan! Saya telah bertanding selama tiga ronde, menyingkirkan lawan-lawan yang Tuan berikan, jadi..."
"Berarti kamu budak rendahan. Tidak kurang, tidak lebih. Kau tidak cocok di sini."
Air mata Nurin mulai menggenang. Gas beracunnya keluar semakin banyak, tapi, tak terlihat kabut wabah itu menyakiti Thurqk maupun ketiga dayangnya. "Tapi Tuan, saya adalah pendukungmu yang setia! Di saat orang-orang lain jijik melihat Anda mengeksekusi para orang lemah, saya mengelu-elukkan Anda! Tolong... tolong jangan lakukan ini kepada saya!"
"Memangnya kau kira dengan begitu saja dia akan menaruh minat terhadapmu?"
Mendengar pertanyaan tadi, Nurin menoleh. Ia melihat seorang gadis berambut cokelat karamel tengah bersandar di salah satu pilar. Tubuhnya dibalut oleh setelan yang identik dengan seragam sekolah di anime, lengkap dengan stoking garis-garis yang terlalu panjang.
Bulu kuduk Nurin meremang. Itu adalah lawannya di ronde terakhir. Seharusnya ia sudah meremukkan wajah sosok itu hingga yang tersisa hanyalah genangan darah, retakan tulang, dan cairan otak yang saling bercampur padu.
Tapi bukan. Itu bukan benar-benar gadis tadi. Nurin menyadarinya saat gadis itu menolakkan punggung dari pilar, dan tubuh pendek siswi muda itu mulai memancarkan hawa gelap yang menyesakkan. Ia sangat mengenal sensasi itu. Terutama saat mata Si Rambut Karamel mulai bersinar kuning.
Nyarlathotep.
Nurin langsung terduduk takut. Ia mencoba kabur, tapi kedua kakinya kehilangan kekuatan, hingga ia hanya dapat menyeret bokongnya ke belakang. "Dewa Thurqk... Dewa Thurqk to-" ia mengharapkan pertolongan dari dewanya, namun sang dewa tak mendengar, lebih asyik menikmati sajian yang diberikan ketiga dayangnya.
Wajah Si Rambut Karamel lenyap, digantikan oleh kepala hitam dengan mulut lebar dan rambut panjang yang tergerai liar. Seperti biasa, tak ada mata, tak ada hidung, dan tak ada telinga di sana, namun makhluk itu dapat merasakan keberadaannya.
"Lihat dirimu. Kenapa kau sudi bertingkah begitu menyedihkan untuk makhluk yang tak pernah memberikanmu apapun?" tanya Nyarlathotep, terkekeh.
Nurin menutup telinganya, tak mau mendengar kata-kata makhluk itu. Ia sudah diberitahu oleh Hvyt sebelumnya kalau makhluk ini mewujud dari imajinasinya, bukannya benar-benar nyata menapak di dunia. Kali ini pun Nyarlathotep jelas-jelas hanya memanipulasi alam khayalnya untuk bersikap seperti iblis, mencoba merayu manusia untuk meninggalkan kepercayaannya.
Suara Nyarlathotep tetap mampu memasuki pendengaran Nurin dengan sempurna. "Dia tak membangkitkan kekuatanmu. Dia tak memberikan hadiah apapun atas prestasimu. Ya. Apapun yang kau lakukan, di matanya kau hanyalah satu dari lautan kontestan. Sosok tak menarik yang tak akan pernah menarik minatnya, bahkan setelah kau menyingkirkan seluruh pesaing lain."
"Itu omong kosong!" bantah Nurin sengit. Thurqk peduli terhadapnya. Karena itu ia bisa memutuskan untuk memujanya. Sang Dewa memberikannya kesempatan untuk membunuh dan menyakiti orang sepuasnya. Makhluk merah itu juga sampai menyampaikan pujian, lewat Hvyt, dan mengatur agar ronde tiga bisa dia lalui dengan relatif mudah. Itu lebih baik dari yang dilakukan oleh makhluk hitam ini untuknya.
Nyarlathotep dapat mendengar semua pembelaan tadi. "Jadi, loyalitasmu dapat diraih dengan semudah itu? Sekedar pujian ringan dari makhluk rendahan, serta satu-dua bantuan minor? Apa kau memang semenyedihkan itu?"
Nurin mundur semakin jauh, mencoba keluar dari ruangan itu. Tapi Nyarlathotep selalu mengikutinya. Jarak mereka tak berkurang maupun bertambah, tak peduli seberapa cepat Nurin bergerak.
"Kau bertarung dengan hebat, Manusia. Tapi Thurqk tak pernah memerhatikanmu. Sama sekali tak pernah. Walau kau sudah bertarung dengan sedemikian hebat, apakah ia pernah menampakkan diri di hadapanmu untuk memujimu langsung?"
"Diam!" balas Nurin, mulai terdorong untuk sekalian menghancurkan gendang telinganya. Tapi itu tak akan berarti banyak. Suara Nyarlathotep akan selalu terdengar olehnya.
"Tidak, ia tak pernah memerhatikanmu. Perhatiannya tertuju ke kontestan-kontestan lain. Yah, mungkin dia justru jengkel karena kau telah membunuh dua dari tiga kontestan teratasnya."
Karena kau buruk rupa. Karena kau mengerikan. Apapun yang kau lakukan, tak akan ada yang peduli terhadap dirimu. Kata-kata itu bangkit dari diri Nurin sendiri, didukung oleh masalah kepercayaan diri yang memotivasinya untuk melakukan banyak tindakan mengerikan.
"Diam! Kau hanya menggunakan ingatanku!"
"Betulkah?" seringai Nyarlathotep melebar. "Ataukah aku menggunakan kekuatanku sebagai Tetua Semesta untuk mengetahui segala yang terjadi di alam ini, dan menampilkannya untukmu?"
Nyarlathotep menggunakan kekuatannya untuk berpindah dalam sekejap, hingga ia berada di depan Nurin. Kaget, Nurin mencoba berbalik dan mengambil langkah seribu ke arah berlawanan. Namun Nyarlathotep terlebih dahulu merengutnya dan memeluknya erat. "Kau sudah berhasil selamat dari ronde sebelumnya tanpa menggunakan sihir yang kuajarkan. Itu bagus."
Nurin mencoba melepaskan diri, namun usahanya langsung gagal dalam beberapa detik saja. Ia merasa seperti tengah dibekap oleh kekuatan yang tak terkira, hingga seluruh kekuatannya surut meninggalkan tubuh.
"Jangan takut. Saat ini, kau adalah jawaraku. Harus kuakui, pada awalnya aku membangkitkan kekuatanmu hanya untuk iseng melihat apa yang akan kau lakukan dengannya. Namun sekarang kau sudah membuktikan kalau kau bisa menjadi aset yang berharga," kata Nyarlathotep santai. "Sekarang, aku akan memerhatikanmu. Tak seperti dewa merahmu, aku akan langsung menemuimu setiap saat, bukannya sekedar menyampaikan kata-kata kebohongan lewat utusan rendahan untuk mengendalikanmu."
Aku justru tidak menginginkan itu! balas Nurin dalam hati.
"Yang perlu kau lakukan sekarang tetap sama, terus menang. Walau kau masih bersikukuh untuk mendukung Thurqk pun aku akan tetap berada di sisimu, siap memanfaatkan bantuanmu saat kubutuhkan." Suara Nyarlathotep berganti menjadi bisikan, lebih karena ia ingin memberi unsur dramatis ketimbang ia ingin menyembunyikan kata-katanya. "Lagi pula... sebentar lagi kau juga akan mengetahui kenyataan soal dewa pujaanmu itu. Dan kau tak akan menyukainya."
#2
Ruang singgasana lenyap, digantikan oleh koridor sempit dan panjang. Nurin tengah berhenti di sana, perlahan-lahan ditinggalkan oleh Hvyt pemandunya. Keringatnya bercucuran dan ia bernafas seperti amatir yang baru mencoba mengikuti maraton. Sekujur tubuhnya menggigil dan gemetaran. Bekapan Nyarlathotep masih terasa, walau tubuh fisiknya tak pernah benar-benar merasakan sentuhan makhluk itu. Lalat-lalatnya berputar-putar, mencoba menanyakan apa yang salah dengan majikan mereka, namun Nurin tak yakin mereka bisa membantunya.
Sadar kalau yang dipandunya tak lagi mengikuti, Hvyt berhenti. Ia berpaling menatap Nurin dan bertanya, "Ada apa?"
"D-dia..." ucap Nurin gemetaran. "D-d-dia menyerangku lagi."
"Tetua Semesta yang kau sebut sebelumnya?"
"Ya. Ya. Dia." Lewat lensa kacamatanya yang agak retak, Nurin menatap memelas. "Dia... dia semakin kuat. Aku bisa merasakannya. Apa... apa tak ada yang bisa kau lakukan untuk membantuku?"
Nurin takut kalau ia terus membiarkannya, maka makhluk hitam itu bisa membajak tubuhnya tanpa izin dan menjalankan sendiri rencananya. Setelah beberapa kali melihat demonstrasi kekuatan makhluk itu, Nurin curiga itu akan terjadi.
"Bantuan." Dengan mata terpejam, Hvyt menghela nafas. "Kurasa aku bisa membantumu." Ia mencabut sebilah pisau tulang, yang hampir tersembunyi sepenuhnya di pinggangnya. Sayapnya terbentang, hampir memenuhi lorong. "Jika kau sedemikian takut dengan makhluk seperti itu, maka sebaiknya aku membunuhmu, sebelum kau membahayakan Dewa Thurqk."
Kaget, gas wabah berhembus keluar dari tubuh Nurin tanpa diperintah. Sayangnya, gas menyesakkan itu sama sekali tak berdampak terhadap Hvyt, demikian pula dengan tujuh lalat yang mencoba menyerang makhluk itu. Mereka bahkan tertebas dengan mudah, mengurangi jumlah pasukan Nurin.
"H-hei..." Nurin mundur, tak percaya keluhannya akan ditanggapi seekstrim ini. "Hei, jangan bercanda. Aku tidak bermaksud..." tersandung, gadis berkacamata itu jatuh terduduk. Gemetarannya kembali, menyadari kalau kematian justru akan mendatanginya di luar turnamen.
Sialan... umpat Nurin. Hvyt sudah berada di hadapannya. Mata hitam makhluk bersayap itu menyorotnya dengan dingin, sementara ia mengangkat pisau tulangnya, siap menikam. Menghadapi maut setelah baru saja melewati "sesi mimpi buruk" bersama sang makhluk hitam, Nurin pun kehilangan kendali. Masih gemetaran, mata terpejam, dan dengan kedua lengan tersilang di depan kepala, ia meneriakkan rasa frustrasinya,
"Aku sudah melakukan yang dewamu perintahkan! Aku menghabisi semua kontestan yang kalian kirim untuk menghadapiku! Dan ini... ini satu-satunya cara kalian membalas prestasiku?!"
Tusukan itu tidak pernah datang. Saat Nurin membuka satu matanya untuk mengintip, ia melihat Hvyt sudah menyimpan kembali pisaunya. "Jangan salah. Bertahan hidup dalam turnamen ini adalah kewajiban kalian. Kami maupun Dewa Thurqk sebenarnya tak berkewajiban untuk terus menghadiahi kalian."
Hvyt mengambil sesuatu lagi dari pinggangnya. Nurin melihat kalau itu adalah sebuah kalung emas dengan liontin besar berhias permata hitam. "Tapi, dari enam belas petarung yang tersisa hanya engkau seorang yang memiliki dedikasi mengagumkan terhadap Dewa Thurqk. Karenanya, kurasa tak ada salahnya membantumu sedikit." Ia melemparkan benda itu ke arah Nurin.
Walau lemparan Hvyt sudah bagus, Nurin tak cukup sigap untuk menangkapnya. Liontin itu sempat terjatuh, sebelum gadis berkacamata retak itu buru-buru mengambilnya. "A-apa ini?"
"Ini bukan pertama kalinya ada makhluk dari luar alam yang mencoba mengganggu jalannya turnamen," Hvyt menerangkan. "Liontin itu berfungsi untuk membatasi interferensi dari makhluk-makhluk seperti itu. Selama kau mengenakannya, seharusnya makhluk itu tak akan bisa mengganggumu lagi."
Kalau begitu kenapa tidak dari tadi-tadi saja kau memberikan ini?! tanya Nurin dalam hati. Ia langsung mengenakannya, berharap dengan ini, kekeliruannya memanggil sang makhluk hitam dapat teratasi. Ia hanya berharap Hyvt tak berbohong, karena begitu kalung itu melingkari lehernya, ia tak merasakan sensasi berarti. Tak ada sengatan petir, tak ada upaya Nyarlathotep untuk mati-matian meraihnya. Rasanya biasa saja, hanya saja kali ini ada kalung berliontin emas di dadanya, yang tak sesuai sama sekali dengan t-shirt putih dan jaket kampus biru pilihannya.
"L-lalu bagaimana kalau ini tidak berfungsi?"
"Berarti makhluk yang ingin menghubungimu jauh lebih kuat dari perkiraan kami..." sahut Hvyt, sebelum ia melanjutkan dengan dingin. "Dan itu berarti kau harus dihabisi secepatnya."
Ancaman tegas itu membuat Nurin bergidik.
"Tapi jangan khawatir. Yang perlu kau lakukan hanyalah tetap beriman kepada Dewa Thurqk, dan segalanya akan baik-baik saja."
Ya, pikir Nurin, menanggapi nasihat yang sebenarnya hanya pengulangan dari nasihat-nasihat Hvyt sebelumnya. Berimanlah terhadap Thurqk, atau Tuhan yang diajarkan guru agama di SD hingga kuliah, maka makhluk hitam itu tak akan mengunjunginya lagi. Seharusnya begitu.
Tapi sulit untuk mempercayai hal itu, sementara Nurin sendiri masih dihantui keraguan kalau sang dewa memang tak pernah terlalu memedulikannya.
#3
Tak sempat bertanya di sepanjang perjalanan, Nurin mengira ia hanya akan dipandu menuju ruang sempit untuk pertarungan lain lagi. Kalau benar begitu, maka ini akan menjadi pertarungan terbesarnya sejauh ini. Hvyt membawanya menuruni undakan, menuju lorong lengkung berlantai batu yang terkesan sempit. Melihat yang menantinya di sana membuatnya merasa ciut.
Selain dia, lorong itu sudah diisi oleh lima belas kontestan lain, juga beberapa Hvyt yang berdiri mengawasi mereka. Memang cukup menggiurkan untuk membiarkan gas beracunnya berbicara di ruangan sempit ini, di tengah kumpulan orang yang begitu banyak. Tapi berapa banyak di antara mereka yang bisa beregenerasi, atau menahan kemampuannya hanya dengan kekuatan tekad, lalu bersatu padu menyingkirkannya? Rasanya ia sudah rutin menemukan yang seperti itu sejak ronde dua.
Dengan kepala tertunduk, Nurin melirik-lirik, mencoba mengawasi mereka yang sudah berada di sana. Ia menemukan beberapa sosok yang terlihat mengancam, mulai dari seorang pemuda gagah berbalut zirah putih, wanita tegap dengan dandanan pasukan elit, sosok ganjil bertudung, hingga humanoid berekor yang tingginya jauh melampaui peserta lain.
Sinyal bahaya Nurin mulai berbunyi saat ia memergoki seorang wanita cantik, berambut hitam panjang, yang mengenakan jaket putih. Walau kini ia mengenakan pakaian yang pantas, dan bukannya dandanan minim penari harem, ia masih ingat betul kalau wanita itu adalah salah satu sosok yang dibuat sang makhluk hitam untuk menemani Thurqk ilusi.
Emosi Nurin mulai mendidih. Apakah benar wanita itu adalah salah satu sosok kesayangan dewanya, hingga kecantikannya seakan menjadi sinar absolut yang menyembunyikan keberadaan Nurin? Ataukah itu hanya akal-akalan sang makhluk hitam yang, entah karena alasan apa, menghendaki wanita itu untuk mati? Tak seperti si rambut perak gulung, atau Za-nee, Nurin toh tak pernah menghadapi wanita itu.
Tidak demikian halnya dengan beberapa peserta lain di tempat itu.
Terdengar ledakan memekakan. Hvyt membuka sayapnya dengan begitu mendadak, menciptakan laju angin yang menghempaskan Nurin hingga terjengkang. Awalnya Nurin kebingungan kenapa pemandunya melakukan itu, tapi belum sempat membuka mulut ia sudah tahu jawabannya. Ada satu peluru berkaliber besar yang melesat, nyaris menghantamnya, dan kini hanya menghancurkan dinding.
Apa?!
Nurin berpaling. Ia melihat seorang gadis berseragam sailor yang tengah membidikkan senapan besar. Rambut putih, mata merah, serta kacamata yang dikenakan gadis itu menyadarkan Nurin ia tengah berhadapan dengan lawannya di ronde satu, yang ia gigit di leher hingga tewas.
Waktu Nurin untuk mengamati gadis berambut perak panjang itu terbatas, karena kemudian datang serangan lagi. Ada satu sosok yang melesat di udara, lalu menukik ke arahnya. Kaki kanannya terangkat tinggi, siap terayun. Dari ujung belakang sepatunya, tercipta sebilah kapak yang dapat memotong daging dan tulang.
Nurin berguling ke belakang, menghindari tipis serangan itu. Lalu dengan tumpuan tangan ia merangkak mundur. Matanya bergantian melirik si gadis berambut perak, yang kini mulai mempersiapkan lagi senapannya, dan sosok beriasan badut yang berdiri di hadapannya. Lalat-lalatnya berterbangan dengan siaga, siap menyerang saat diperintah...
"Moi tak menyangka akan bertemu lagi di sini dengan vous, Madamoiselle," wanita kulit hitam dengan riasan wajah putih itu menyorot Nurin dengan dingin. Tiga lalat mencoba menyerbunya, namun wanita itu tinggal mengayunkan kaki, dan ketiganya remuk. "Saat ini, mood Moi sedang buruk. Senang rasanya melihat ada yang bisa moi gunakan sebagai sarana pelampiasan."
Itu adalah Colette, sang mime artiste, lawan Nurin di ronde dua. Nurin berhasil memperbudaknya dan menjadikan dia sebagai boneka daging untuk menghadapi lawan. Bisa ditebak, wanita kulit hitam itu tak menyukai yang ia lakukan.
"T-tunggu-" Nurin mencoba membela diri, walau ia takut itu tak akan berdampak banyak. Ia memang tak pernah melihat si mata merah maupun si mime artiste ini dieksekusi Thurqk, namun ia tak menyangka harus bertemu lagi dengan mereka seperti ini. Sejak awal, taktiknya memang bergantung terhadap ketidaktahuan lawannya akan kemampuannya. Kalau seperti ini, ia sudah langsung diincar...
Sudah begitu, Nurin juga melihat kalau gadis tanpa mulut dari ronde dua pun juga ada di sini. Mata hitamnya yang bulat besar menyorot Nurin dengan tajam. Tapi hanya dia yang tak bergerak, mungkin masih gentar akibat melihat sosok-sosok mengerikan yang tersembunyi di kenangan Nurin.
Satu humanoid berekor dengan rambut keriting dan kumis tebal mencoba membela Nurin, "Hei, kamu si kacamata dari gedung di ronde satu kan? Tenang, Nona, kenapa juga Anda sembarangan menembak seperti itu? Dan Anda, Nona yang hitam manis di sana, tahan dulu! Kita bahkan belum diberi tahu harus melakukan apa!"
"Ah benar. Kamu juga lawanku di ronde pertama," jawab si mata merah.
"Lawan? Heh, entah ya, saya tak pernah menganggap diri saya sebagai lawan dari seorang gadis cantik. Lagi pula saat itu saya..."
"Sekarat di lantai akibat ditikam dan digigit."
"Tolong jangan ungkit itu, terutama karena masalahnya sekarang bukan-"
"Masalahnya sekarang memang itu, Tuan. Masih ingat gadis dengan rambut digulung yang menyerangmu? Gadis bau itulah yang menyebabkan dia melakukan itu!"
"Masa-" humanoid jangkung itu menatap Nurin dengan tak percaya. Hidungnya mengendus-endus. "Ah. Ah benar. Ini baunya..." dan ekspresinya pun menggelap. "Jadi begitu." Dia mengambil seruling. "Kau tahu, Nona Bau, si Nona Rambut Gulung sangat, sangat, tersiksa saat dia menyerangku. Saat itu, saya bersumpah saya akan menyakiti habis-habisan siapa pun yang membuatnya menjadi seperti itu. Waktu itu saya tak sempat melakukannya. Untunglah kali ini saya bisa..."
"Tunggu! Kumohon, tunggu! Itu... itu..." Nurin kembali mencoba membela diri, tapi suaranya lirih, tak mampu menembus kemarahan tak terbendung dari orang-orang itu. Sekarang pun para kontestan lain tampak mulai memerhatikannya, siap menyerangnya pertama hanya karena mereka menganggapnya sebagai sasaran empuk.
Satu Hvyt menahan Colette sebelum dia menyerang Nurin lagi. Hvyt lain menahan si humanoid berekor dan mata merah, sementara sisanya menghunuskan senjata, mencoba memaksa kontestan lain untuk tak memperkeruh situasi. Nurin memanfaatkan perlindungan ini untuk mundur dan mencari tempat bersembunyi. Namun yang ada di sekelilingnya hanya tembok, lantai, langit-langit, serta lorong yang entah akan membawanya ke mana. Pilihan terbaik adalah menaiki kembali undakan ke lorong atas, tapi tangga sudah dijaga oleh satu Hvyt.
Hvyt pemandu Nurin menapak ke tengah ruangan. Dengan suara keras, namun tenang, ia berseru. "Tenang! Ini belum saatnya kalian saling menumpahkan darah satu sama lain! Bahkan, atas titah Dewa Thurqk sendiri..." untuk sesaat, Nurin sempat melihat sang Hvyt menyunggingkan senyum. "...para kontestan tak diwajibkan mencabut nyawa satu sama lain, karena bukan itu tujuan kalian kali ini."
Barulah para kontestan, termasuk mereka yang sudah begitu bernafsu untuk mencabik-cabik Nurin, berhenti. Nurin pun ikut terdiam, seakan lupa kalau dirinya tengah dibidik oleh banyak orang. Aturan turnamen ini sudah tergambar jelas sejak ronde pertama. Tak peduli apakah itu bertahan paling lama di pertempuran lima orang, membunuh target lalu kembali ke titik awal, atau konfrontasi satu lawan satu, Thurqk menghendaki hambanya untuk saling hajar hingga hanya satu tersisa. Jadi ada apa ini? Apa metode pertarungan diubah menjadi kontes debat?
Senang akhirnya para petarung tak lagi membuka mulut, Hyvt melanjutkan. "Peraturan ronde ini sederhana. Lihat sekeliling kalian." Makhluk merah itu menggerakkan lengannya, menunjuk lorong yang tersaji. "Dewa Thurqk memerintahkan kalian untuk memilih salah satu lorong dan menjelajahinya. Total ada enam belas jalur yang bisa kalian pilih. Dari sana, kalian tinggal mencari jalan menuju ruangan pusat..."
"Tak akan sesederhana itu, kan?" tanya si mata merah.
"Memang. Kami sudah menyiagakan satu penjaga kuat untuk kalian hadapi. Dan ya, kalian memang wajib menghadapi mereka, karena jika tidak gerbang menuju ruang pusat akan tersegel. Kalian dipersilakan untuk kembali ke sini... tapi para penjaga pun memiliki kebebasan untuk terus mengikuti kalian, hingga kalian tewas."
"Berarti jika kami semua bisa mengatasi para penjaga, tak ada dari kami yang tereliminasi?" tanya si wanita berpakaian pasukan elit.
"Benar, jika kalian bisa."
Tanpa memedulikan reaksi Hvyt, sosok berzirah putih yang tadi dilihat Nurin menapak ke depan, agar keberadaannya disadari oleh kontestan lain. "Kalau begitu, rekan-rekan sekalian, jelas sudah yang perlu kita lakukan. Karena kita sudah sampai sejauh ini, saya yakin masing-masing dari kita telah menumpahkan minimal satu nyawa. Sudah cukup. Jika kali ini memang kita harus bekerja sama, maka mari kita bersama memasuki satu lorong, agar kita bisa saling bahu membahu mencegah jatuhnya korban lagi!"
Gagasan itu memicu bisik-bisik. Tak sedikit kontestan yang merasa saling bekerja sama merupakan solusi yang baik, terutama karena mereka memang sudah telanjur membangun hubungan baik sebelum turnamen resmi dimulai. Nurin justru khawatir kalau ia mengikuti saran itu ia akan kembali dikeroyok di lorong, karena keempat mantan lawannya kini kembali menyorotnya.
"Tak ada yang melarang bila kalian ingin melakukan itu," Hvyt menyampaikan. "Tapi jika kalian bersama-sama, maka ingat, hanya akan ada satu dari kalian yang meraih hadiah istimewa dari Dewa Thurqk."
"Hadiah?" tanya si wanita berjaket putih.
"Mereka yang membunuh penjaga akan memperoleh satu kekuatan istimewa. Itu akan sangat berguna jika kalian ingin mengabdi kepada Dewa Thurqk..." Hvyt melirik Nurin. "Atau ingin melawannya."
Kembali para kontestan berpikir keras. Terlihat jelas kalau tak sedikit petarung yang menginginkan kekuatan baru. Satu beruang teddy, yang mungkin memang benar-benar terbuat dari kain dan kapas, mengangguk-angguk, lebih menyukai gagasan itu ketimbang usulan si kesatria putih. Bahkan Nurin pun menghendakinya.
Kekuatan baru yang tak berasal dari sang makhluk hitam. Itu sangat menggiurkan, terutama setelah kerepotan yang Nurin rasakan di ronde tiga... dan pengeroyokan yang nyaris ia alami tadi.
"Jangan tergoda, kawan-kawan!" seru sang kesatria putih. "Kita bisa mengalahkan Thurqk, dan membalaskan dendam dari mereka yang telah terbunuh, jika kita tetap bersama!"
"Maaf sekali, Cowok Pirang, tapi sepertinya hadiah Thurqk ini sangat lumayan untuk melengkapiku," ujar seorang wanita berkulit hitam yang mengenakan kacamata biru ganjil. Nurin merasa wanita itu seperti mengenakan tumpukan piksel untuk menutupi matanya. "Tapi, bagaimana kalau kami memang mendapati... saingan dalam perburuan? Apa kami boleh 'menyingkirkan' mereka juga?"
"Nona, itu-" si kesatria mencoba protes.
"Hanya bertanya, Pirang. Belum tentu aku benar-benar akan melakukannya."
Dengan senang hati Hvyt menjawab, "Jika kalian memang tetap ingin berkompetisi, maka Dewa Thurqk mengizinkan kalian saling membunuh. Tapi tentu, bukan itu misi utama kalian di sini."
Kini beberapa kontestan melempar pandangan curiga. Mereka menyadari kalau bisa saja turnamen ini berakhir di ronde ini, kalau ada satu oportunis yang bisa menyingkirkan semua rekan mereka sekaligus, lalu mengalahkan penjaga lorong. Persatuan yang tadi nyaris terbentuk kini retak.
"Kalian dibebaskan untuk memilih satu dari enam belas jalur yang tersedia di sepanjang lorong bundar ini. Kami selaku pengawas akan memastikan kalian akan memilih dengan kehendak kalian sendiri, dan bukannya karena paksaan," Hvyt menambahkan, membuat Nurin merasa lega. Berati ia bisa menjauhi mereka yang sudah mengetahui kekuatannya dan-
Colette mulai berbicara seperti seorang performer. "Kalau begitu, monsieur dan madamoiselle sekalian, izinkan moi meminta waktu sebentar. Moi adalah Colette Reves, mime artiste dari Circue du Reves. Moi hanya ingin menyampaikan kalau..." telunjuknya menuding Nurin. "Madamoiselle di sana memiliki kekuatan menyebar wabah-"
"Hei!" Nurin ingin menyela, tapi ia tak berani untuk bergerak. Satu gerakan salah saja, dan ia sudah bisa membayangkan berapa banyak cara yang bisa Colette gunakan untuk membunuhnya. Lalat-lalatnya mencoba bergerak, tapi mereka terhenti saat si humanoid berekor meniupkan serulingnya hingga mereka seakan membeku, terbius oleh alunan musik.
Colette pun melanjutkan berbicara. "Jika madamoiselle dan monsieur sekalian sampai terjangkit, madamoiselle lalat di sana akan bisa mengendalikan kalian sesuka hati. Jadi tolong, waspadai dia."
"Lalatnya berbahaya," si mata merah menambahkan. "Tapi dia juga bisa menggunakan gas dari tubuhnya untuk menyebar penyakit."
"Dan juga saliva," timpal Colette.
Terungkaplah sudah kemampuan Nurin di hadapan para petarung ini. Nurin pun menelan ludah. Termasuk dia, masih ada enam belas orang yang bertahan hidup, ia pasti masih harus menghadapi mereka nanti, dan kini ia terancam karena kelima belas lawannya sudah mendapat gambaran apa yang bisa ia lakukan.
Ya. Kini ia sangat, sangat, membutuhkan kekuatan baru untuk mengatasi ini.
Tapi kau sudah memilikinya, bukan? tanya seribu suara yang berbicara bersamaan, membuat Nurin berjengit. Ia langsung mencengkeram liontin emas pemberian Hvyt. Bukanya seharusnya liontin itu mencegah kemunculan sang makhluk hitam? Lalu kenapa ia masih bisa mendengarnya?
"Memang, itulah kemampuan Nurin," Hvyt menanggapi sambil lalu. Nurin merasa tersinggung. Ia kira makhluk merah itu akan mendukungnya, karena ia sudah mencoba mengabdi dan beriman kepada Thurqk. Namun makhluk itu seperti tidak peduli kalau kini ia, yang sudah bertekad ingin menjadi hamba setia Thurqk, dalam bahaya. "Sekarang, mari kita mulai ronde ini. Silakan pilih jalur masing-masing. Jika kalian butuh bantuan untuk menyusuri lorong ini dengan cepat, silakan saja sampaikan, dan kami akan bantu menerbangkan hingga ke pintu masuk jalur yang kalian inginkan."
"Huh, akhirnya. Kalau begitu aku akan masuk sini saja, bura!" seru boneka teddy aneh tadi, langsung memasuki lorong terdekat darinya.
"Tunggu!" seru si kesatria. "Kita harus saling bekerja sama!" ia masih mencoba memaksakan idenya.
Tapi sebagian sudah tak mendengarkan. Mereka berpencar, atau meminta Hvyt untuk mengantarkan mereka ke bagian lain lorong. Nurin sendiri langsung berlari, menjauhi si mata merah, si humanoid berekor, juga Colette dan Tanpa Mulut. Ia melewati lorong kedua, ketiga, keempat, dilewati oleh Hvyt-Hvyt yang mengantarkan para kontestan menyusuri lorong.
Masing-masing jalur dipisahkan oleh jarak yang sangat lebar. Nurin mulai kehabisan nafas sejak lorong kelima, hingga ia harus menyandarkan bahu ke dinding agar ia bisa terus berjalan. Begitu ia menemukan pintu masuk menuju lorong keenam, ia menelan ludah dan bergerak masuk, berharap tak ada siapa-siapa selain penjaga di dalam sana.
#4
Penerangan di lorong itu sudah diatur sedemikian rupa untuk menyulitkan. Tak lagi ada cahaya lampu merah, seperti yang menuntun Nurin di ronde tiga, atau penerangan konstan entah dari sumber apa, seperti yang baru saja membimbing jalannya bersama Hvyt. Yang ada di lorong itu hanyalah deretan obor panjang. Mereka masih dapat menjalankan fungsi mereka, namun cahaya setiap api masih menyisakan titik-titik gelap, yang dapat dibayangkan sebagai tempat bersembunyinya monster-monster menyeramkan yang tengah diam-diam mengintai. Terutama karena lorong ini sangat lebar, dengan tinggi yang tak terlihat ujungnya.
Nurin dapat membayangkan betapa mudahnya seluruh tempat ini menjadi gelap gulita jika si penjaga lorong memutuskan menghancurkan mereka dulu. Lalu, karena ia tidak memiliki kemampuan melihat dalam gelap, tewaslah dia jika gas maupun lalatnya tak berdampak apa-apa.
Mungkin lorong lain memiliki penerangan berbeda. Bagaimana jika kau mundur dulu dan memikirkan kembali taktikmu. Beberapa pemikiran melintasi Nurin, semuanya memiliki inti yang sama: mundur dulu, lihat situasi, baru lanjut pertaruhkan nyawa. Namun ia malah memutuskan untuk terus maju, walau ia memang merasa takut. Ia lebih khawatir kalau salah satu yang mengincar nyawanya sebenarnya sudah menanti di luar lorong, siap untuk menyergapnya.
Suara berdebuk datang dari belakang. Nurin nyaris terlonjak. Sontak ia membalikkan tubuh, mengantisipasi kalau-kalau ada yang sedang memburunya.
Ia menemukan ada orang di belakangnya, tapi ia tak yakin apa wanita itu memang memburunya. Ia yakin ia tak pernah berhadapan dengannya sebelum ini, karena penampilan wanita itu tak mudah untuk dilupakan. Rambutnya yang panjang memiliki beragam warna, seperti pelangi, dan kepalanya dihiasi berbagai macam tumbuhan. Perpaduan warna mentereng dan buah serta sayur membuat Nurin langsung membayangkan sosok hippie. Kalau saja wanita itu mengenakan pakaian longgar warna-warni, kesan itu akan semakin kuat. Namun, seperti sudah menyadari kalau rambutnya cukup menarik perhatian, dia lebih memilih mengenakan pakaian serba hitam.
"Ah, m-maaf, apa suara jatuh saya tadi mengganggu?" tanya wanita itu sambil berdiri, tak terlihat kesakitan. "Maaf sekali, saya tak bermaksud begitu."
Nurin mempersiapkan kakinya untuk kabur. Tak seharusnya wanita aneh itu membuatnya merasa terancam. Bahkan, orang itu tak berupaya sedikit pun untuk membangkitkan kesan menakutkan. Kepalanya tertunduk, matanya menjauhi sorot Nurin, dan ia berbicara dengan nada yang begitu sopan dan santun. Ditambah dengan permintaan maaf berlebihannya tadi, ia sebenarnya mengingatkan Nurin pada tokoh Mpok Minah dari seri TV Bajaj Bajuri.
Tapi tetap saja, kekuatannya sudah terbongkar. Dia adalah sasaran empuk bagi peserta yang ingin cepat-cepat menyingkirkannya. Bukan mustahil rambut pelangi ini mencoba untuk menyingkirkannya, sebelum meraih kemampuan baru dari penjaga lorong.
Hening. Nurin menunggu reaksi Rambut Pelangi, sementara Rambut Pelangi tak tahu harus bereaksi seperti apa. Akhirnya dengan sopan Rambut Pelangi bertanya, "Apakah keberadaan saya mengganggu? S-sebenarnya saya sudah memilih lorong sepi ini agar saya tidak mengganggu siapa-siapa, tapi... ternyata ada Anda di sini. Apakah Anda ingin saya mundur?"
Nurin kebingungan, sementara lalat-lalatnya bersiap membentuk formasi menyerang. Apakah memang seperti ini kepribadian asli Rambut Pelangi, ataukah dia hanya berbohong, hendak mencari kesempatan lain untuk menikamnya?
Kalau memang ini kepribadian asli Rambut Pelangi, Nurin justru terpikir untuk membiarkan Rambut Pelangi untuk menemaninya. Bagus kalau ia bisa mempelajari kemampuan wanita berkepala penuh warna itu, kalau-kalau nanti Thurqk memaksanya bertarung dengan kontestan ini. Kalau tidak, bukankah ia bisa saja mencoba mengendalikan wanita itu, atau malah sekalian mengorbankannya untuk dihabisi monster penjaga?
"Eh..." walau takut keputusannya justru akan berbalik merugikan, Nurin memutuskan menjawab, "Nggak, kamu nggak ngeganggu. Sebenarnya… sebenarnya saya juga takut jalan-jalan sendirian di sini, jadi kalau mau nemenin…"
Raut Rambut Pelangi menjadi cerah. "Berarti bukan saya saja yang berpikir seperti itu. Terima kasih. Ah… nama saya… Mba Irwin."
Nurin menangkap nama itu sebagai, "Mbak Irwin?"
Mba membungkuk hormat. "Silakan panggil saya sesuka Anda."
"Yah, baiklah kalau begitu, Mbak." Jika memang ia ingin dipanggil mbak, maka Nurin akan memanggilnya mbak, walau kulit putih dan rambut ganjil wanita itu sebenarnya membuat Nurin ragu untuk menyebutnya mbak. "Aku Nurin dan… eh… ya, mari kita saling berupaya untuk selamat dari ujian ini."
"Ya. Saya harap begitu."
Maka mereka berdua pun mulai berjalan, beriringan menyusuri lorong temaram itu. Satu gadis yang masih khawatir akan kekuatannya, yang seakan semakin tak berguna semakin jauh ia mendalami turnamen ini, satu lagi wanita yang sebenarnya terlihat penakut dan peragu. Nurin tak merasa ini sebagai kelompok yang meyakinkan... kecuali ia bertindak duluan.
Nurin memutuskan mengambil risiko. Gas wabah mulai menyeruak keluar dari pori-pori tubuhnya, perlahan menyelimuti lorong. Tak ada salahnya mencoba menjadikan Mba sebagai boneka dagingnya, agar ia bisa lebih leluasa menjadikannya tumbal dalam pertarungan. Ya, jika lawannya menyadari apa yang ia lakukan, ia pasti akan diserang. Tapi, ia rasa tak ada salahnya mencoba.
Keduanya semakin dalam memasuki lorong berliku. Ketegangan meninggi, bukan hanya karena sosok penjaga tak juga terlihat, membuat Nurin semakin penasaran seperti apa wujud lawannya kali ini, tapi juga karena Mba tak kunjung menunjukkan tanda-tanda terpengaruh oleh wabah.
Mba merasakan gas Nurin. Itu jelas. Tapi, reaksi wanita itu lebih terlihat seperti seseorang yang baru saja mencium kotoran busuk di jalan, bukannya seseorang yang tubuhnya mulai dijalari penyakit berbahaya. Ia hanya mengernyit, mengendus-ngendus, dan mencoba menutupi hidung dengan tangan. Ia tak terbatuk, tak mulai mengeluarkan darah, dan langkahnya tak tergoyah. Tanpa indikator waktu, Nurin mulai merasa kalau sasarannya kali ini adalah makhluk terlama yang bisa bertahan dari hembusan gasnya di lorong yang relatif tertutup.
Merasakan pandangan tajam Nurin, Mba melirik Nurin sesaat, lalu menurunkan kembali matanya ke lantai dengan gugup. "Maaf, saya tidak mencium bau badan Anda..." lalu dia menyadari dia membuat kesalahan. "M-maaf, saya tak bermaksud buruk. K-kalau saja saya membawakan deodoran atau parfum, mungkin saya akan memberikannya ke Anda." Dia menyadari itu semakin buruk. "P-pokoknya Anda tidak bau. Sama sekali tidak."
Nurin tak mempermasalahkan dirinya bau atau tidak. Ia sudah sadar sejak dulu ia tidak akan bisa kembali wangi. Yang ia permasalahkan adalah Mba yang tak juga terpengaruh oleh efek gasnya. Apa-apaan ini? pikirnya. Mulai tercetus gagasan kalau kekuatan rekan perjalanannya ini adalah kekebalan total terhadap racun. Walau gas wabah memasuki paru-parunya, tubuhnya mampu menetralisir dampak negatif dari bibit-bibit penyakit sebelum berkembang.
Itu informasi yang sangat berguna. Nurin benar-benar bersyukur ia tidak langsung diperintahkan untuk menghadapi Rambut Pelangi ini, sehingga ia bisa mulai memikirkan strategi yang lebih tepat.
Masih melepaskan gas wabahnya, Nurin mulai mencoba pendekatan lain. Lewat gerakan mata, ia memerintahkan satu lalatnya untuk menyerang. Ia sudah tahu kalau lawannya tidak bisa disakiti lewat gas, tapi bagaimana dengan serangan fisik?
Mematuhi perintah majikannya, lalat itu meluncur cepat ke pipi Mba, siap menembus kulitnya dan menggerogoti dagingnya dari dalam. Kedua lengan Mba tetap terayun di sisi tubuh, tak membuat upaya untuk menghalau serangan itu sama sekali. Ia bahkan tak perlu melakukannya. Tepat saat lalat itu menyentuh tubuh Mba, ia langsung tertolak dan hancur, membuat sisa lalat Nurin mendenging murka.
Nurin pun melongo. Ia hanya bisa menggerakkan tangan, meminta sisa lalatnya untuk tidak gegabah, sementara Mba tampak kaget dengan kematian lalat tadi.
"A-apa itu peliharaan Anda?" tanya Mba, yang kembali merasa canggung. "Eh... ah... kalau... kalau iya, saya mohon maaf."
Gas wabah tak berdampak apa-apa. Serangan fisik berujung kepada lalatnya hancur, seakan menerima pukulan tak terlihat dari Mba. Nurin mulai pucat pasi. Ia sudah pernah menghadapi lawan dengan kemampuan memulihkan diri, ia juga sudah pernah berhadapan dengan Si Tanpa Mulut, yang kebal dari segala jenis serangan. Namun ia yakin baru kali ini ia menghadapi makhluk yang bahkan tak mampu dilukai.
Bagaimana dengan cairan tubuh? Di ronde dua, Nurin dapat melumpuhkan lawannya menggunakan lontaran ludah, sementara di ronde tiga ia mampu membuat lawannya kesakitan dengan melumurkan darahnya sendiri ke mata gadis berambut karamel itu. Ia berpikir untuk mencobanya, sambil berharap ini bukan jenis serangan yang dapat dibalikkan oleh Mba. Jika ia mulai meludahi atau melumuri darah ke wajah Rambut Pelangi, wanita lugu itu pun akan menyadari apa niat Nurin sejak tadi.
Nurin tak sempat melakukannya. Perhatiannya tergoyahkan oleh guncangan yang menggetarkan seisi lorong. Penyebab gempa kecil itu datang dari depan, dan dia terus mendekat, dengan langkah-langkah pendek yang menimbulkan debuman konstan. Bahkan Mba sekalipun harus berhenti, langkahnya terganggu oleh getaran bumi.
Akhirnya, Sang Penjaga menampakkan diri. Wujud makhluk itu masih humanoid, tapi melihat penampilan fisiknya langsung membuat Nurin merasa terancam. Kulitnya yang hitam legam hampir menyatu di kegelapan, hingga ia bisa sepenuhnya tak terlihat kalau obor lorong padam. Pinggangnya lebar dan perutnya buncit. Tinggi tubuhnya menjulang, hingga ia perlu membungkukkan tubuh untuk melihat sosok yang harus dihadapinya. Jika humanoid berekor yang membenci Nurin tadi kira-kira sampai dua setengah meter tubuhnya, yang ini tampaknya mencapai tiga meter.
Dari kepala yang tertunduk itulah Nurin dapat melihat wujud buruk rupa kepala Sang Penjaga. Gigi-gigi makhluk itu tampak tajam dan acak-acakan. Ada riasan tempur berwarna merah yang menghiasi permukaan wajahnya. Matanya yang bulat dan besar sepenuhnya diselimuti warna hitam.
Makhluk itu tak membawa senjata. Dia juga tak merasa membutuhkannya. Setelah mengamati Mba dan Nurin sesaat, ia mulai terkekeh, memperdengarkan suaranya yang berat. Pundaknya bergoyang-goyang.
Nurin menapak mundur, tak mau dilumat oleh tubuh besar makhluk itu. Di sisinya, Mba pun terlihat terintimidasi. Tapi, tak seperti Nurin, wanita berambut pelangi dan bermahkotakan buah dan sayur itu tak beranjak sedikit pun dari posisinya.
Malah, Mba memutuskan untuk membungkuk dan mulai berbicara kepada makhluk besar itu, seakan yakin lawan bicaranya dapat memahami kata-katanya. "Maaf sekali jika kami telah mengganggu wilayah Tuan. Kami diperintahkan untuk menyusuri lorong ini untuk dapat melanjutkan perjalanan kami. Saya berharap, dari lubuk hati yang terdalam, Tuan berkenan untuk membiarkan kami lewat tanpa perlu pertumpahan darah."
Kata-kata itu membuat Si Raksasa tertawa semakin keras, suaranya sampai menggantikan kakinya mengguncang bumi. Nurin harus menutup mata agar gendang telinganya tidak rusak.
Makhluk besar itu lalu berbicara. Seperti penghuni lain alam ini, walau ia berkata-kata dalam bahasa lain, Nurin mampu memahami apa yang dia katakan, seakan makhluk itu bicara dalam bahasa Indonesia. "Hrrrgh... ya. Kau boleh lewat," ucapnya sambil menunjuk Mba. "Tapi kau, walau baumu tidak enak, kau akan menjadi makananku."
Keputusan macam apa itu?! batin Nurin tak percaya. Padahal dia sudah berencana untuk berlindung di balik Mba, sambil mempelajari semakin dalam batasan kemampuan Rambut Pelangi itu. Kalau dia harus sendirian menghadapi makhluk seperti ini sih...
Di luar dugaannya, Mba juga tak menyukai keputusan itu. "Mohon maaf sebesar-besarnya, Tuan Raksasa, tapi jika memungkinkan saya ingin Nona Nurin ini juga diizinkan untuk lewat. Kami datang berdua, jadi, saya rasa akan lebih baik bila kami juga keluar berdua."
Colette. Mba. Nurin jadi semakin bingung akan betapa banyaknya orang baik, menjurus lugu dan bodoh, yang seperti salah dimasukkan dalam kompetisi brutal seperti ini.
"Tidak bisa begitu. Hanya kau..." telunjuknya kembali tertuju ke Mba. "Yang berhak memperoleh hak khusus. Dewa Thurqk menghendaki demikian."
Urat kepala Nurin menegang dan keningnya berkerut mendengar itu.
"K-kenapa demikian, Tuan Raksasa?" tanya Mba.
"Aku sudah diberi tahu kalau kau adalah wanita istimewa bagi Dewa Thurqk. Beliau bahkan sudah membantumu melalui ronde dua dan tiga, benar?"
Istimewa? tanya Nurin, semakin naik pitam. DIBANTU melalui ronde dua dan tiga? Ia kembali dihantui oleh ilusi yang diperlihatkan sang makhluk hitam kepadanya. Ia melewati ronde dua dan tiga atas kekuatannya sendiri, dan ia tak memperoleh apa-apa atas usahanya. Sedangkan wanita berambut pelangi ini... dia justru begitu disayangi oleh Thurqk, hingga ia bisa melewati ronde empat ini tanpa perlu melakukan apa-apa?
Ini... tipuan. Salah satu muslihat makhluk itu, pikir Nurin, memegangi kepalanya yang mulai pusing.
"Itu... tidak benar..." Mba mencoba membantah. "Itu tidak benar. Dia... dia tidak membantuku. Maaf Tuan, tapi dia..."
"Tak masalah kau menganggap dia seperti apa, yang penting Dewa Thurqk menganggapmu istimewa. Sekarang, silakan lanjutkan maju. Hanya untukmu, kami, penjaga, akan membuat pengecualian."
Emosi Nurin mendidih. Ia ingin menubruk Rambut Pelangi dan mencabik-cabiknya hingga tak ada daging dan urat saraf yang menempel di tubuh rekan perjalanannya itu. Keputusasaan menelannya, merasa kalau semua usahanya sia-sia. Bahkan walau sudah dilindungi oleh liontin Hvyt, ia masih bisa mendengar Nyarlathotep tertawa. Sekarang Mba akan meninggalkannya di sini agar ia dimakan oleh raksasa.
Dan ya, ia sudah begitu murka hingga nama terlarang itu benar-benar terlintas di kepalanya.
Kemarahan itu tak dirasakan oleh Mba, yang masih bersikukuh ingin meninggalkan lorong bersama Nurin. "Maaf, saya tidak ingin memenangkan ronde ini dengan cara seperti itu."
Sang Penjaga tergelak. "Kalau begitu, biar kubantu."
Makhluk itu melesat. Kecepatannya bergerak melampaui batas wajar untuk sosok sejangkung dan sebesar dia. Langkahnya pasti, terarah ke Nurin.
Empat lalat Nurin melesat sebelum diperintah, mencoba menembus Sang Raksasa. Makhluk besar itu hanya tinggal menampik mereka. Yang terkena hantamannya langsung hancur, demikian pula dengan yang hanya terkena terpaan angin dari ayunan. Nurin hanya bisa memejamkan mata, tak dapat menghadapi maut yang siap menyambutnya....
Mba melompat ke depan Nurin, sengaja berada di antara Raksasa dan gadis berkacamata retak itu. Momentum pergerakan Raksasa gagal untuk mendorongnya. Malah sebaliknya, wanita berambut pelangi itu bak menjadi tembok kokoh, yang membuat Raksasa terjungkal keras ke belakang saat membenturnya.
Begitu Nurin kembali membuka mata, ia melihat Mba masih berdiri di tempatnya, sementara Raksasa terkapar di depan. Ia dapat menebak sendiri apa yang terjadi, dan itu membuatnya semakin menyadari betapa berbahayanya kekuatan Mba. Apakah sebenarnya kekebalannya itu datang dari Thurqk?
Kalau begitu kenapa aku tak pernah diberikan yang seperti itu?! tanyanya dalam hati. "Iman"-nya terhadap Sang Dewa Merah semakin terkikis. Mungkin nanti, saat kepalanya sudah lebih dingin, ia bisa menganggap beberapa keuntungan yang diperolehnya dalam turnamen ini sebagai wujud kebaikan penguasa alam ini. Untuk sekarang, emosinya menghalanginya untuk memikirkan itu.
"Saya mohon sekali lagi, Tuan Raksasa, didasari oleh permohonan maaf sebesar-besarnya, m-mari kita berhenti bertarung dan izinkan kami untuk lewat."
"Dan seperti sudah kukatakan sebelumnya..." organ-organ Raksasa mengurus, mengejutkan Nurin dan Mba. Saat ia mendudukkan diri, bentuk tubuhnya lebih terkesan seperti atlet basket, dengan otot-otot kencang, ketimbang monster besar. "Kau, sosok istimewa Thurqk, memiliki hak untuk pergi. Beliau membutuhkan lebih banyak hiburan dari sosok sepertimu. Tidak demikian dengan gadis bau itu. Dan sekarang, aku hanya ingin membantumu."
Raksasa berdiri. Belum ia menegakkan punggung, wujudnya ditelan sepenuhnya oleh kegelapan, hingga cahaya obor sekalipun tak mampu memperlihatkan dirinya lagi. Nurin mengira itu berarti Raksasa sudah kalah...
Mba tak berpikiran seperti itu. "Maaf sebentar," ucapnya pada Nurin, sambil mendekati gadis itu.
Dan memang benar, Raksasa belum kalah. Ia hanya menggunakan kemampuannya untuk menghilang. Dengan tubuh yang lebih ramping, ia dapat bergerak lebih lincah, dan nyaris tanpa suara. Kakinya melaju dengan langkah-langkah panjang. Lengannya terulur, siap meraih Nurin dan menghabisinya dalam satu serangan...
Mba, yang sudah memasang pendengarannya, dapat mendengar suara lembut langkah kaki Raksasa. Ia mendorong Nurin ke belakang, dengan sigap mengorbankan diri untuk menerima pukulan Sang Penjaga. Raksasa tak sempat lagi menarik tinjunya. Kekuatan serangannya kembali berbalik menyakiti dirinya sendiri dan membuatnya terjungkal. Ilmu tak kasat matanya buyar, memperlihatkan kembali wujudnya.
"Nurin, mundur..." Mba berkata. "M-maaf kalau saya terkesan memerintah, tapi... Tuan Raksasa sepertinya lebih mengincar Anda, jadi sebaiknya Anda m-mencari aman dulu hingga saya bisa meredakan persoalan ini."
Nurin, yang masih terduduk kesakitan akibat dorongan Mba barusan, hanya bisa terdiam. Ya. Jika ia masih ingin hidup, akan lebih mudah bila ia mundur dan membiarkan Mba mengurus segalanya. Siapa tahu kekuatan wanita berambut pelangi itu mementalkan segala serangan justru berujung ke takluknya Raksasa.
Tapi itu berarti Mba-lah yang akan memperoleh kekuatan Raksasa. Padahal ia sudah cukup tak terkalahkan tanpa bantuan seperti itu, tak seperti Nurin.
Raksasa kembali berdiri.
"Tuan Raksasa, saya mohon..." Mba masih mencoba meredakan konflik tanpa kekerasan. "Biarkan kami lewat."
Dalam sekejap dada Raksasa berubah bentuk menjadi dada burung, lengkap dengan bulu. Kedua lengannya pun berubah menjadi sayap besar, yang dengan satu hentakan dapat membawanya mengudara. Ia langsung menukik tajam, mencoba menghancurkan Nurin tanpa intervensi Mba.
Untung bagi Nurin, ia belum mematuhi perintah Mba untuk mundur. Mba menolakkan kaki kuat-kuat, hingga ia terlontar ke belakang, menghalangi laju Raksasa. Terjadilah hal yang sama dengan yang sebelumnya; Raksasa harus menelan kekuatan momentumnya sendiri dan tertolak mundur.
Perut Nurin terasa diremas menyadari kalau Mba memang akan memenangkan pertarungan ini. Bantuan Nurin tak dibutuhkan. Mba akan memperoleh kekuatan Raksasa, entah yang mana, dan ia akan menjadi semakin kuat. Kemudian wanita berambut pelangi itu akan semakin dicintai oleh Thurqk dan, saat waktunya tiba, menghabisi Nurin dengan mudah.
Tapi kau punya cara untuk menghabisi Raksasa terlebih dahulu, suara Nyarlathotep bergaung di kepala Nurin. Aku sudah mengajarkannya kepadamu.
Nurin gemetar, mengingat sihir yang diberikan Tetua Semesta itu kepadanya di ronde ketiga. Ia tidak jadi menggunakannya waktu itu. Tapi, haruskah ia menggunakannya sekarang?
Biar bagaimanapun, sudah kubilang, bukan? Nyarlathotep melanjutkan berbicara. Thurqk tak pernah memerhatikanmu. Ada lebih banyak kontestan, baik pria maupun wanita, yang lebih menarik minatnya. Tapi aku? Aku selalu di sisimu. Selalu.
Raksasa masih saja ngotot. Dia kembali bangkit, tanpa luka, dan tanpa diiringi erangan sakit. "Tak seharusnya kau melindunginya, Wanita Pelangi. Aku saja sudah tahu reputasinya. Wanita bau itu adalah salah satu pembunuh terkeji di turnamen ini. Ia telah menyingkirkan beberapa kontestan favorit Dewa Thurqk seorang diri, dan, jika ia bisa, ia akan menyisihkanmu juga."
Kontestan favorit. Dan Nurin sepertinya tak termasuk di dalamnya. Ego Nurin kian terluka.
"Tetap saja, s-saya tidak bisa membiarkan seseorang, siapa pun itu, untuk terluka dalam sebuah konflik!"
"Jadi, kau sudah sampai sejauh ini tanpa melukai seorang pun? Benarkah?" Raksasa menyeringai.
Tinju Mba yang terkepal tampak bergetar. Matanya terpejam, membayangkan kesalahan yang tidak Nurin ketahui apa."Itu..."
"Tapi itu tidak penting. Apapun yang kulakukan, kau akan menghalangiku karena sifatmu itu. Jika memang segala serangan yang ditujukan untukmu bisa kau bendung, bagaimana dengan ini?"
Raksasa kembali berubah wujud. Perubahannya kali ini jauh lebih rumit dibanding transformasinya sebelumnya. Dari lengannya, tumbuh tangan-tangan kecil yang mencoba menggapai-gapai. Mulut dan mata tumbuh dengan cepat, memenuhi kepalanya. Di dadanya tercipta siluet-siluet dari sekumpulan bayi manusia, yang tengah mengerang penuh penderitaan. Perutnya membuka, memperlihatkan mulut menganga yang dipenuhi taring.
Tubuh atlet Raksasa pun membengkak dan membengkak. Kakinya lenyap dan menyatu, hingga ia harus bergerak dengan melata.
Mba berlutut. Kedua tangannya menutupi mulut. Tubuhnya membeku. Di belakangnya, Nurin merasakan efek yang sama. Raksasa tidak main-main dalam proses transformasinya kali ini. Kedua wanita itu langsung merasa mual.
Mencoba melarikan diri dari sosok mengerikan di depannya, Mba kembali memejamkan mata, kali ini dengan sangat rapat. Saat itu juga Raksasa menjerit. Mulut-mulut di kepalanya, di perutnya, hingga yang dimiliki bentukan-bentukan bayi di dadanya, bersuara bersamaan, mengguncang lorong dengan suara menyayat.
Dan Mba pun tumbang. Tubuhnya melindunginya dari suara keras tadi, tapi ia masih bisa mendengar kengerian jeritan itu. Mengesampingkan kekuatannya yang luar biasa, ia tetap manusia biasa, yang masih dapat merasakan takut dan ngeri. Wujud Raksasa berhasil membuatnya mengalami ketakutan yang begitu luar biasa, hingga ia ambruk.
Nurin masih bertahan. Walau mengerikan, Raksasa masih makhluk tiga dimensi. Wujud mengerikannya memiliki tinggi, lebar, dan panjang. Jika ia mengamatinya lama-lama pun, memang hanya "itu" wujud Raksasa. Itulah bentuk sejatinya, bukan imaji termudah yang dapat diproses oleh otaknya. Itu masih lebih "baik" dari Tetua Semesta.
Hanya saja, Nurin tidak yakin apakah ketahanannya ini merupakan hal yang baik. Sekarang ia benar-benar menghadapi Raksasa seorang diri, tanpa dilindungi oleh perisai kebal dari tubuh Mba.
"Ah, akhirnya. Seharusnya sejak awal kulakukan itu..." terkekeh, Raksasa kembali ke wujud asalnya. "Sekarang, target sejatiku, kita bisa bersenang-senang."
#5
Tak bisa membayangkan bagaimana ia bisa mengalahkan makhluk seperti itu, Nurin memutuskan mengambil langkah seribu, walau ia sendiri tahu betapa banyak cara yang bisa diambil Raksasa untuk mengejarnya. Mayoritas lalatnya bergerak serentak untuk melindungi gadis itu, menyisakan dua saja di sisinya.
Kumpulan lalat itu bahkan tak bisa menjadi distraksi. Kibasan tangan Raksasa melumat mereka, seperti percobaan sebelumnya, memastikan Nurin tak lagi memiliki pertahanan yang bisa menyelamatkannya.
Yakin dirinya sudah menang, Raksasa tak terbang maupun berlari. Ia hanya melangkah, seperti yang dilakukannya sebelumnya, menimbulkan guncangan konstan di seluruh bagian lorong. Tapi itu saja sudah dapat memperburuk ketakutan Nurin. Tak peduli secepat apa ia melesat, suara langkah itu selalu konstan berada di belakangnya. Padahal ia tak bisa berlari selamanya, karena masalah stamina yang tak pernah ia atasi hingga ia mencapai turnamen ini.
Begitu ia menemukan belokan, Nurin langsung mencoba "bersembunyi" dengan menyandarkan dinding ke tembok. Ia tahu itu bodoh. Raksasa kian mendekat dari belakang. Masalahnya, ia tak bisa melanjutkan maju. Kakinya sudah lemas dan pandangannya berbayang. Jadi, ia ingin mencoba memanfaatkan waktu untuk menghimpun kembali nafasnya, agar ia bisa memperpanjang hidupnya sedikit lagi.
Kedua tangan Nurin tertangkup, menutupi wajahnya sendiri dengan frustrasi. Raksasa itu sudah tahu siapa dia. Makhluk itu sudah paham kalau Nurin adalah salah satu pembunuh paling kejam di turnamen ini. Namun apa dia memberi Nurin keistimewaan? Tidak. Tidak, tidak. Ia tak dianggap seistimewa mbak berambut pelangi.
Dari perlakuan Hvyt kepadanya, sepertinya memang tak ada yang menganggap keberadaannya istimewa. Bahkan setelah ia sukses menjadi satu dari enam belas kontestan yang bertahan hidup, ia tak juga memperoleh hak-hak spesial. Pertolongan yang diberikan Hvyt kepadanya, kalung emas yang melingkari lehernya, juga tak sepenuhnya mampu mencegah Nyarlathotep berbicara.
Karenanya kau membutuhkan bantuanku, bukan?
Walau begitu, Nurin masih tak mau memanfaatkan kekuatan yang ditawarkan makhluk perkasa itu. Melihat kedua lalatnya, ia memutuskan melepaskan jaketnya dan mengambil keputusan nekat. Ia membutuhkan pasukan baru, dan jika ia harus mengorbankan dirinya, maka ia akan mencoba.
"Silakan," perintahnya sambil menyodorkan lengan kirinya. Kedua lalat itu bergerak kebingungan. Bahkan dengan kemampuan berpikir mereka yang nyaris tidak ada pun keduanya tahu betapa berbahayanya bila mereka menggerogoti Nurin. Namun, tak sampai beberapa detik, mereka mematuhi. Tubuh mereka menembus kulit Nurin dan mulai bercokol di dagingnya.
Nurin menggigit bibir, merasakan dagingnya mulai digerogoti oleh keduanya. Dapat ia rasakan juga mereka mulai meletakkan telur...
Kau tahu bukan, kalau tak mungkin ada sekumpulan lalat yang selalu siap bertelur di daging orang? Sejak awal, mutasi mereka dimungkinkan oleh kehendakku. Jadi kenapa kau takut sekali menggunakan kekuatan baru yang kuanugerahkan kepadamu?
Telur-telur itu menetas dengan terlalu cepat, memunculkan belatung-belatung yang bergerak dengan sangat cepat, semakin melumpuhkan tangan kiri Nurin dan mendatangkan kesakitan hebat. Ia mengerang sambil meringis getir, tak percaya betapa bodohnya keputusannya tadi. Ia bahkan tak tahu apakah ini akan berguna atau tidak.
Bayangan Raksasa datang, menaungi Nurin dan lantai di sekelilingnya. Nurin tercekat. Perlahan ia menoleh, melihat wujud makhluk buruk rupa itu, yang tengah membungkuk ke arahnya sambil menyeringai.
Nurin mencoba lari... tapi Raksasa sudah bosan "main" kejar-kejaran. Ia menangkap kaki kanan Nurin dan dengan riang mengangkatnya tinggi-tinggi, hingga tubuh gadis itu berada di atas kepalanya dalam posisi terbalik.
Darah mulai mengalir membanjiri kepala Nurin, membuat wajahnya memerah. Dia mencoba meronta lepas, namun tak ada gunanya. Pegangan Raksasa terlalu kuat. Jika ia jatuh dari ketinggian seperti ini pun dapat ia bayangkan deretan cidera yang pasti akan ia derita, belum lagi kemungkinan mati.
Putus asa, ia menggerakkan tangan kanannya untuk mengisyaratkan agar Raksasa berhenti. Mulutnya menyerukan pembelaan, "Tunggu! Tunggu, aku juga hambar Dewa Thurqk! Kau tahu itu, kan?"
"Hee?"
"Ya! Tanya ke para Hvyt! Aku adalah pemuja Dewa Thurqk! Lebih dari semua kontestan di sini! Jadi tolong, lepaskan aku!"
Raksasa terkekeh. "Aku sudah mendengarnya kok. Dan para Hvyt tak menyampaikan perintah khusus apapun untukmu." Dia menyeringai. "Dari segi kekuatan pun kau memang tak istimewa. Gas penyakitmu tak berguna di makhluk yang bukan manusia. Lalat-lalatmu dapat dibereskan tanpa perlu menitikkan keringat. Pada akhirnya... kau menyedihkan. Dewa Thurqk tak akan menyukaimu."
Seakan belum cukup, kembali kata-kata makhluk besar itu menghunjam ego Nurin. Kemarahan Nurin kali ini begitu besar hingga ia bahkan tak dapat mengekspresikannya.
Sudah cukup.
Perlahan Raksasa mendekatkan Nurin ke mulutnya, bersiap menyambut daging yang tidak enak untuk dikunyah.
Nurin menjerit, menumpahkan kekesalannya dalam satu ledakan suara.
Menanggapi panggilannya, kedua lalatnya keluar dengan merobek dagingnya. Mereka diikuti oleh anak-anak mereka, yang sudah berkembang ke ukuran lalat normal dalam sekejap. Darah beracun mengalir deras dari lengan kiri Nurin, yang kini hanya menjadi ongokan tulang dan daging tipis berbalut jaringan saraf rusak dan kulit acak-acakan.
Raksasa tak sempat menghalau mereka. Lalat-lalat itu pun dengan leluasa menembus lidah, gusi hingga permukaan wajah makhluk itu. Sebisanya mereka mulai menggerogoti daging musuh majikan mereka. Beberapa yang sudah bisa mulai bertelur kembali...
Kesakitan, didorong oleh refleksnya Raksasa melemparkan Nurin. Nurin mendarat di sisi kiri tubuhnya, semakin menghancurkan lengannya yang sudah rusak, sebelum berguling-guling dan terkapar tak berdaya.
Nurin tak bisa berdiri. Saat ia mencoba, ada sengatan rasa sakit di kaki, pinggang, dan punggungnya. Ia pun hanya bisa berguling, agar ia dapat melihat efek serangan kejutannya kepada Raksasa.
Makhluk besar itu masih kesakitan. Ia merobek wajahnya sendiri, menggaruk lidahnya, hingga memukul-mukul dinding di sisi-sisinya, yang begitu kokoh hingga tak tergores menerima hantaman kuat itu.
Tak ada yang istimewa dariku?
Tidak.
AKU INI ISTIMEWA.
Kalau kau tidak menyadari itu...
Biar kuperlihatkan betapa kelirunya kalian!
Tak menyadari suara batinnya tadi membuat Nyarlathotep tersenyum puas, Nurin menarik lepas liontin emas tak berguna yang diberikan Hvyt dengan lengan kanannya. Lalu, dengan lemas ia gerakkan lengan itu dan ia arahkan ke Raksasa.
"Makhluk kecil sialan..." meski masih ada lalat yang tersisa di tubuhnya, Raksasa mulai kembali maju, ingin melumat Nurin. Mata besarnya mendelik menyorot Nurin. Sayang tak ada lalatnya yang membangun sarang di indera penglihatan makhluk itu.
"Dengan segenap kekuatan, kupanggil Azala Thovis Thothara, satu nama rahasia Azathoth! Dengan segenap kekuatan, kupanggil Azala Thorvis Thothara, satu nama rahasia Azathoth!"
"Apa?" Raksasa kebingungan mendengar rapalan tadi. Lebih paham apa yang akan Nurin lakukan ketimbang Nurin sendiri, ia mencoba mempercepat langkah...
Nurin sudah tak melihat Raksasa lagi. Ia berada di inti semesta, di antara lubang hitam dan bintang-bintang yang terus meledak. Ia adalah sang sultan daemon, makhluk tertua di semesta yang senantiasa dikelilingi oleh sekumpulan Tetua Semesta hanya untuk memastikan dia tetap tertidur. Ia adalah makhluk dengan kekuatan yang sedemikian luar biasa, hingga Nyarlathotep sekalipun hanya bisa tunduk sebagai pembantu.
Karena ketika ia membuka mata, maka seluruh semesta akan lenyap.
"Dengan segenap kekuatan, kupanggil Azala Thovis Thothara, satu nama rahasia Azathoth! Dengan segenap kekuatan, kupanggil Azala Thorvis Thothara, satu nama rahasia Azathoth!"
Ia melihat peradaban tercipta. Ia melihat makhluk-makhluk berakal tumbuh di seluruh penjuru semesta. Dan ia menghancurkan mereka tanpa memikirkan apa-apa. Ia melumat semua, tanpa memikirkan apakah mereka memujanya atau tidak.
Dan Nurin mulai kesulitan merapal mantra. Tawanya pecah. Imaji-imaji itu terlalu berat untuk ditampung oleh otak manusia, hingga sakit dan panik mendorongnya menuju histeria di saat yang salah.
Tanpa ia sadari, rapalan itu pun sebenarnya sudah mulai membuahkan hasil. Tubuh Nurin memancarkan hawa panas yang menyiksa, semakin menghambat jalan Raksasa. Kulit Raksasa mulai melepuh. Matanya kehilangan penglihatan, seakan ia baru saja menatap matahari dengan mata telanjang.
"Hentikan, wanita bodoh!" pekik Raksasa. "Sihir itu... sihir itu tak seharusnya digunakan oleh manusia!"
Nurin tak mendengarnya. Di antara tawa, ia melanjutkan mengucap, "Dengan segenap kekuatan, kupanggil Azala Thovis Thothara, satu nama rahasia Azathoth!"
Panas di lorong meningkat. Kulit hitam Raksasa terkikis, dan dagingnya terbakar. Tak lama lagi, akan tercipta ledakan yang berpotensi meluluhlantakkan seluruh lorong... bahkan mungkin seluruh dataran bawah ini. Memahami itu, Raksasa memaksakan diri untuk terus maju. Kakinya terangkat, siap menginjak lawan yang sudah telanjur ia remehkan.
Saat itulah lalat-lalat yang belum sempat ia cabik melesat keluar bersamaan bersama anak-anak mereka, menghancurkan wajah, lidah, dan gusinya. Kumpulan lalat itu langsung terurai oleh panas yang dipancarkan Nurin, namun pengorbanan mereka tidak sia-sia. Bahkan makhluk sekuat Raksasa pun tak dapat menahan kombinasi sakit yang luar biasa itu. Raksasa pun kehilangan kesadaran...
Untung bagi Nurin, makhluk itu tumbang ke belakang, bukan ke depan.
Guncangan yang ditimbulkan oleh kematian Raksasa memecah konsentrasi Nurin dan mengembalikannya ke alam nyata. Kini ia kembali berada di lorong, bukan lagi di inti semesta. Raksasa yang tadi bergerak untuk menggilingnya kini sudah terbaring kaku, dengan tubuh hangus.
Nurin berhenti membaca mantra.
Darah mengalir keluar dari telinga, hidung, mata, bahkan turut membasahi selangkangannya. Ia mulai tertawa lagi, sementara panas yang ia pancarkan berangsur sirna. Ia tak tahu kenapa ia terbahak, tapi ia merasa situasi ini sangat... lucu.
Thurqk tak pernah memedulikannya.
Nyarlathotep dengan "baik hati" menyerahkan sihir yang hampir membunuhnya.
Pada akhirnya, ia hanyalah bidak untuk tontonan mereka. Tidak kurang, tidak lebih. Apapun yang ia lakukan tak akan mempengaruhi hal itu. Ia sama saja dengan manusia lain, sama sekali tak istimewa.
Dan ia pun tertawa kian keras, hingga akhirnya lelah menjemputnya...
#6
Ketika penglihatan Nurin kembali, dia ada di kehampaan putih. Ia tengah terbaring di atas sebuah lantai, jadi setidaknya tempat misterius ini memiliki dasar. Namun ia tak dapat menemukan batas dari area di sekelilingnya, juga langit di atasnya. Ia juga tak dapat melihat obyek apapun, hingga tempat ini terasa sangat melompong.
Masih mengingat pertarungannya dengan Raksasa, ia mulai berpikir kalau dia sudah mati dan kini dia berada di neraka yang sejati. Ia akan berada di sini selamanya, seorang diri, tak ditemani oleh siapa pun. Terang saja, baginya itu mimpi buruk yang paling luar biasa, hingga ia bahkan tak berani membayangkannya sebelum ini.
Lantai yang dipijaknya bergetar kuat. Nurin berguling, memposisikan tubuhnya agar tengkurap. Ia sadari juga saat itu kalau lengan kirinya masih utuh, tak hancur hingga ke tulang akibat digerogoti pasukannya sendiri. Ia mulai bertanya apa ini hanya mimpi... atau justru ilusi yang siap ditunjukkan Nyarlathotep kepadanya.
Dataran di depan Nurin retak. Kepala Raksasa menyeruak dari bawah, mengejutkan Nurin dan membuatnya merangkak mundur. Ini bukan mimpi. Makhluk besar itu sampai menyusulnya ke sini untuk melanjutkan pertarungan dengannya. Makhluk itu kemudian merangkak keluar, hingga ia berdiri mengancam di depan Nurin.
"Apa yang kau lakukan tadi, Manusia Lalat?!" seru Raksasa marah. Suaranya sampai menimbulkan hembusan angin yang hampir mementalkan Nurin. "Apakah kau sadar betapa berbahayanya sihir yang kau gunakan?!"
Nurin gemetaran. Bukan hanya karena penampakan Raksasa, tapi juga karena ia dibanjiri imaji yang menghantuinya saat ia merapal mantra. "Kau yang memaksaku!" ia membela diri. "Kau menolak untuk membiarkanku lewat! Kau juga hampir memakanku! Memangnya apa lagi yang harus kulakukan?! Aku cuma ingin bertahan hidup!"
"Kalau kau merapal sihir itu hingga selesai, kau juga akan mati!" hardik Raksasa murka. "Apakah kau tahu siapa Azathoth, yang namanya dengan mudahnya kau ucapkan?! Ia adalah dewa yang tak boleh dibangunkan! Ia adalah perwujudan dari entropi semesta! Ialah yang menciptakan Big Bang pencipta semestamu, dan dialah yang akan mengakhirinya nanti! Jika kau memanggil namanya hingga ia terbangun, maka segalanya bisa berakhir! SEGALANYA!"
Nurin harus kembali melindungi telinganya dari suara memekakan Raksasa.
"Dari mana kau mengetahui nama sejatinya? Perwakilannya yang mana yang menjanjikanmu kekuatan besar hanya untuk menghabisimu bersama segalanya? Apakah Sang Seribu Topeng?"
Mendengar julukan Nyarlathotep disebut, Nurin mengangguk lemah. Raksasa pun menggeram.
"Ia adalah Sang Penggoda. Saat kaummu menyusun hikayat tentang kejahatan besar, Iblis, Setan, ia lah yang mereka maksud. Jika memang ia memberikanmu sihir itu, maka sejak awal dia berencana untuk menjadikanmu sebagai pemicu kehancuran! Dan ia pasti melakukannya hanya karena itu menghiburnya!"
Nurin mencakar lantai keras-keras. Ia sudah tahu. Sejak awal, ia sudah tahu pasti Nyarlathotep hanya ingin menggunakannya untuk rencana bodoh seperti itu. "Tapi memangnya aku bisa apa?!" tanyanya. "Aku ini lemah. Kau sudah melihatnya sendiri! Kekuatanku bisa berguna jika aku berada di tengah-tengah budak yang bisa kumanfaatkan, tapi sekarang aku harus menghadapi makhluk sepertimu!"
"Dan itu memang benar," jawab Raksasa angkuh. "Mengesampingkan Si Rambut Pelangi, masih ada belasan peserta yang mungkin akan kau hadapi, dan mereka semua bisa membunuhmu. Pada dasarnya kau hanya gadis lemah dengan kemampuan yang menyebalkan; bukan jenis petarung yang dapat memuaskan hasrat Thurqk." Kata-katanya semakin menginjak hancur kepercayaan diri Nurin. "Tapi... walau kau menggunakan sihir terlarang, kaulah yang menaklukkanku. Karenanya, kau berhak untuk memperoleh kekuatanku?"
"Kekuatan?"
"Aku akan memberikanmu dua pilihan, dari kekuatan yang paling kubanggakan. Keduanya adalah cabang ilmu maya. Yang pertama..." wujud Raksasa menghilang sepenuhnya. "Selubung tak kasat mata. Dengan ini, asal kau berhati-hati, kau bisa mendekati musuhmu dan menghabisinya tanpa ia sadari. Yang kedua..."
Di depan Nurin, mewujud kembarannya. Gadis itu memiliki penampilan yang persis sama dengannya, mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ilmu pengubah wujud." Kembaran Nurin itu berubah menjadi Mba. "Dengan ini..." kemudian berubah lagi menjadi wujud sejati Raksasa. "Kau bisa menjadikan dirimu sebagai apapun yang kau kehendaki. Pilih, dan akan kuserahkan kemampuanku, sebelum jiwaku sirna dari alam ini."
Inilah dia, kesempatan yang ia tunggu. Raksasa memang tak menawarkan ilmu kekebalan total seperti yang dimiliki Mba, atau mata laser, tapi tawaran ini lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Nurin pun mulai menimbang-nimbang.
Ilmu tak kasat mata terdengar bagus. Dapat ia bayangkan ia menghilang, lalu dengan hati-hati mengendap-endap ke belakang musuh dan menggigitnya. Tapi ada masalah yang mendasar dari teknik itu. Ia sadar kalau "tak kasat mata" berarti hanya penampilannya saja yang tak terlihat. Seperti tadi, suara pergerakannya masih bisa terdengar. Bau tubuhnya pun pasti masih akan tercium. Mengingat ia diselimuti bau abadi, sihir yang satu itu tak tampak terlalu menggoda.
Sebaliknya... bila ia mampu mengubah wujud menjadi apapun, maka ia akan menjadi seperti Nyarlathotep, sang Seribu Topeng. Ada begitu banyak cara yang bisa ia gunakan untuk menipu musuh dan mengatasi mereka. Jika ternyata ia masih berbau, hingga samarannya gagal... maka ia bisa menggunakan ilmu itu untuk menciptakan musuh-musuh dari ingatannya.
Nurin mengingat kembali Tanpa Mulut, yang dilawannya di ronde dua. Lalu Mba si rambut pelangi. Tanpa Mulut tumbang akibat membaca kenangan Nurin akan Tetua Semesta. Mba tumbang karena ketakutan akibat transformasi mengerikan Raksasa. Jika ia bisa menciptakan wujud Tetua Semesta... maka pertarungannya setelah ini pun bisa jadi lebih mudah.
"Pengubah wujud..." pinta Nurin. "Aku minta kemampuan pengubah wujud!"
"Baiklah. Sesuai kehendakmu, kau akan memperoleh kemampuan mengubah wujudku, yang telah kusempurnakan hingga ia melebihi batas sihir maya."
Tubuh Raksasa diselimuti cahaya. Kemudian tubuh itu pun terurai, dan dengan cepat menyerbu dan menembus masuk fisik Nurin. Gadis berkacamata retak itu tak hanya memperoleh kekuatan mentahnya saja; ia pun diperlihatkan ilmu yang telah dipelajari Raksasa untuk dapat mengubah wujudnya dengan sempurna.
Giliran Nurin untuk tertawa terbahak.
Kini...
Kini ia bisa menjadi apapun. Ia dapat dengan sesuka hati menjelma menjadi mimpi buruk tergelap dalam kenangan umat manusia. Ia lihat tangannya berubah menjadi hitam. Tanpa cermin pun ia tahu kalau wajahnya berubah hingga menyerupai topeng yang paling sering dikenakan Nyarlathotep saat bicara dengannya. Dan kini, ia bisa membagi kengeriannya pada makhluk itu kepada setiap peserta yang tersisa.
Wajah-wajah para petarung yang ingin menghabisinya di lorong awal berputar-putar di benak Nurin. Kini ia tidak perlu lagi takut terhadap mereka. Kalau pun mereka akan mengalahkannya, akan ia perlihatkan terlebih dahulu teror-teror yang sudah lama menghantui mimpi buruknya.
"Satu yang perlu kau ingat," walau tubuhnya sudah tidak ada, Raksasa masih mencoba menyampaikan pesan. "Jangan percaya pada apapun yang dikatakan oleh Seribu Topeng. Ia sudah hidup begitu lama, hingga aku sekalipun tahu... yang ingin dia untungkan hanyalah hasratnya sendiri."
"Jadi siapa yang harus kupuja?" tanya Nurin, sementara kedua lengannya berubah menjadi tentakel. "Thurqk?"
Raksasa terkekeh mendengar nama itu. "Dia. Walau aku melayaninya, aku juga tak akan memercayainya, apa lagi memujanya."
"Kenapa?"
"Aku tak perlu menjawab." Di sekeliling Nurin, alam putih itu mulai retak. "Karena sebentar lagi... kau akan mengetahui jawaban pertanyaan itu."
Mendengar itu, Nurin jadi teringat kata-kata serupa yang diucapkan Nyarlathotep saat pertemuan langsung mereka.
#7
Mata Nurin yang lelah menangkap kalau dia sudah kembali berada di lorong. Ia tengah berdiri, dan bergerak, walau kakinya tak melangkah. Dengan susah payah, ia menggerakkan lehernya agar kepalanya bisa melihat ke samping. Dia melihat tubuhnya tengah dipapah oleh Mba.
"S-sudah bangun, Nurin?" tanya Mba gugup. "Maaf! Maaf sekali tadi! S... saya juga tak percaya saya bisa ambruk h-hanya karena ditakut-takuti seperti itu. Saya jadi... saya jadi merepotkan saja."
Penasaran, Nurin mencoba memeriksa lengan kirinya. Organnya itu masih hancur, seperti sebelumnya. Jelaslah sudah, pertemuannya dengan Raksasa tadi hanya terjadi di alam mimpi. Apakah kekuatan yang diperolehnya itu juga mimpi?
"Maaf juga saya tidak bisa memberi pengobatan sama sekali! Tapi... sepertinya ujung lorong ini tidak jauh lagi, jadi saya mohon, bertahanlah."
Nurin tidak panik. Tak terhitung lagi luka dan cidera yang ia derita sejak turnamen ini dimulai. Ini hanya setingkat dengan pertarungannya di ronde satu, yang membuatnya sekarat. Tapi Hvyt akan menyembuhkannya, dan ia akan siap bertarung kembali. Bukan itu yang ia permasalahkan.
Nurin mencoba membayangkan lengan kirinya yang hancur berubah bentuk menjadi senapan. Ia tak akan benar-benar bisa menggunakannya, namun ia hanya ingin melihat saja apa kekuatan di mimpinya ikut terbawa ke alam ini...
Tak ada hasil. Lengannya tetap menjadi seongok tulang remuk, yang tergantung lemah di sisinya, nyaris lepas. Ia mendesah kecewa, takut kalau ia gagal memperoleh hadiah yang ia inginkan dan sebenarnya justru Mba yang menghabisi Raksasa.
Tapi kemudian ia diingatkan oleh sebuah kenangan baru, yang terasa seperti sudah bercokol di kepalanya sejak ia masih kecil. Kenangan itu berkata kalau sulit untuk memanipulasi organ yang sudah terlebih dahulu hancur, namun ia bisa menguji cobanya ke bagian tubuhnya yang masih sehat. Ingin membuktikan apakah itu benar, ataukah hanya gagasan ngawur dari otak yang telah lama meninggalkan kewarasan, ia mencoba dengan yang lebih sederhana: ia membayangkan dengan sekuat tenaga payudaranya berukuran lebih besar. Ia bayangkan bentuk lengkapnya, teksturnya, hingga struktur baru bagian dalamnya.
Nurin tersenyum. Percobaan kecilnya berhasil. Buah dadanya membesar dari B-cup menjadi D, tanpa disadari oleh Mba. Terlalu besar, dan ia sudah dapat merasakan efeknya ke punggungnya. Dengan mudah ia mengecilkannya kembali hingga ke ukuran semula.
Ia ingin menguji coba yang lebih hebat. Ia ingin menarik perhatian Mba, kemudian memperlihatkan sosok yang lebih menakutkan dari wujud horor Raksasa. Tapi ia sudah terlalu lelah. Pandangannya kembali buram. Transformasi kecil seperti tadi saja sudah menyerap sisa tenaganya, dan kini ia hampir tertidur. Entah apa ia akan tersadar lagi jika ia biarkan dirinya terlelap.
"Sepertinya itu ujungnya..." kata Mba, melihat pintu besi besar yang berdiri kokoh di depan. Ia bergerak terseok, peluh membanjiri kepalanya. Baik dia maupun Nurin sama-sama berharap pintu itu tidak terkunci... dan ternyata memang tidak. Saat Nurin mendekatinya, pintu itu mengenali reaksi energi yang seharusnya hanya dimiliki oleh Raksasa. Pintu itu pun membuka, mempersilakan kedua wanita itu untuk lewat.
Mereka tiba di sebuah ruangan luas, berbentuk bundar. Mata Nurin yang masih kabur membuatnya kesulitan untuk mengamati detil tempat itu. Yang dapat langsung ia tangkap hanya satu: ada satu orang yang sudah berdiri menantinya, seorang pria berkemeja putih dan berkacamata.
"Mba Irwin dan Nurin..." pria itu berkata keheranan. "Dari enam belas peserta, tak kukira kalian berdua akan berpasangan." Matanya menatap Nurin dengan memicing. "Terutama kamu."
"Dan Tuan adalah?" Mba bertanya mewakili Nurin.
"Panggil saja Nolan. Selamat telah berhasil melalui ronde empat. Sekarang..." pintu-pintu lain di sekeliling ruangan terbuka. Kontestan-kontestan lain yang berhasil selamat dari ujian masing-masing mulai melangkah keluar. Ada yang berjalan santai, ada yang sudah teruka parah seperti Nurin. "Ada yang harus kusampaikan kepada kalian semua."
Saya demen bagian munculnya dua poros kekuatan mahadewa Thruqk - Nyarlathotep dan kegalauan Nurin mau memihak ke yang mana. Nurin juga jadi kerasa banget klo emang dia manusia tak berdaya dalam papan permainan para dewa. Encounter Raksasa juga lumayan seru.
ReplyDeleteKlo soal teknik penulisan dan narasi dan lain-lain mah uda ga usa ditanya lagi. Cuma kadang ada narasi yang agak nyeleneh ya... Tapi bukan narasinya nyeleneh juga si, cuma bikin saya ketawa garing aja pas baca.
1. Darah mengalir keluar dari telinga, hidung, mata, bahkan turut membasahi SELANGKANGANNYA.
2. ia membayangkan dengan sekuat tenaga payudaranya berukuran lebih besar
Fak, ke depannya Nurin bisa jadi kayak Mystic X-men nih, nyamar jadi cewe2 cantik nan sekseh...
Tadinya mau kasih nilai bagus, tapi tambahin sekalian deh untuk bonus sebagai pengirim entry pertama.
Nilainya 10.
Sebelumnya, minta maaf kalau nge-skip r3 Nurin.
ReplyDeletegwa gak bakal bisa ngomenin teknikal ataupun penulisan walaupun semalam ketemu Typo 1 doang, tapi lupa yang mana...
kalau kita startnya dari nilai 10. maka saya ngurangin 1 nilai untuk hal-hal yg menurut saya gak terlalu signifikan kayak haremnya thurqk dan juga isengnya Collete.
juga penempatan Mba yang...
Terlalu penting untuk ada, tapi gak terlalu penting juga bisa dihilangin.
padahal cerita "mungkin" bisa Intens jika Nurin x Rakshasha doang.
Soalnya Mba gak wajib kok.
Verdict: 8.8
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteduh commentnya ga kepost ;____;
ReplyDeletei'll make it brief...
plot dan narasi bagus. Mba (dan Sil) dijadikan alat supaya Nurin milih transformasi.
negatifnya: well, gw ngerasa agak off aja. perhaps karena gw baru pertama baca cerita Nurin dan gw agak kaget karena keknya dia sedikit beda dari yang gw bayangkan. well... this is partially my fault cause hearing and believing circulated rumors :/
final Score: 8.7
Saya suka dualitas antara Nya dan Thurqk yang bikin Nurin bimbang di sini. Konflik batinnya bener" ketangkep, sebagai hamba pencari tuhan yang kemudian kepercayaan sedikit demi sedikit terus dicampakkan oleh sosok yang ia kira bisa jadi penyelamatnya. Meski saya suka Nurin dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dia tunjukin di sini, saya ngerasa feel ronde ini agak stagnan, karena kurang lebih ga ngebawa sesuatu yang fresh di mata saya setelah lanjut dari r3nya kemaren. Tapi mungkin ini saya aja sih
ReplyDeleteNilai 8
Obsesinya yang buta akan Thurqk sukses bikin dia jadi chara yang hateable buat saya, which is good, karena jarang-jarang saya liat chara seperti ini. Dari segi pertarungan sih biasa aja, dan saya maklumi itu mengingat lokasi dan lawannya, tapi tetep eksekusi dalam mengalahkan lawannya bagus. Nyan-God ini semakin menarik untuk diikuti sepertinya~
ReplyDeleteScore 9
Po:
ReplyDeleteKanonnya Nurin emang solid, keliatan dari Nyarlathotep dan pemanggilan Azathoth. Yg agak disayangkan, nggak ada hal baru tentang kanon ini dibanding ronde sebelumnya.
Sudut pandang dan karakterisasi Nurin juga udah khas bgt. Cuma sayang battlenya jadi kurang bermakna gr2 demonnya bener2 keovershadow sama kanon Nurin ini.
Nilai 7
:)
ReplyDelete