Good Bye Peace Maker
Peace Maker. Itulah julukan dari perempuan bernama Mba Irwin. Dahulu tak ada prajurit yang tak bergidik melihatnya. Kemampuan perempuan itu meredam konflik fisik tak jarang berbuah korban. Sekarang mungkin mereka akan tertawa atau miris melihat kondisi perempuan berambut pelangi itu.
Air mata yang mengering telah menjejak di pipi perempuan itu. Daging di pipinya menipis, membuat kulit wajahnya makin tirus-keriput. Rambut pelanginya kusut. Baju dan celana hitamnya sudah lusuh lagi bau. Wanita lain akan menganggap perempuan ini gagal mengurus diri. Berulang kali ia terisak menyebut lirih sebuah nama
"Elle… Elle…" nama itu terus diucap sembari menimang sebuah badan mungil yang sudah kaku. Badan gadis mungil itu sudah membiru dan tidak lagi mengucurkan darah dari loubang yang menganga di tengkuk. Ketiadaan panas membuat Mba menggigil lalu ganti menyebut nama lain.
"Antakaba… tolong aku… aku takut…"
Wajarlah bila ia takut. Mba saat ini berada di sebuah ruangan yang sangat gemerlap andai cahaya tersampir. Bayangkan saja, barang-barang emas mengelilingi perempuan ini. Sayangnya, saat ini sumber cahaya hanya berasal dari sebuah lampion kecil yang berada di sebuah kompartemen dari sebuah bor besar.
Mba tidak lagi menghitung berapa lama ia berada dalam ruangan ini. Ia hanya tahu waktu berlalu dan tidak ada yang berubah dari lingkungannya. Hanya tubuhnya saja yang memaksa rutinitas tetap berjalan.
Makan pagi Mba hanya dengan lumut yang berada di dinding. Entah sudah beberapa kali Mba muntah akibat rasa yang mencecar lidahnya. Pasokan makanan darurat –sayur-sayuran di kepalanya- sudah habis termakan seminggu yang lalu. Dan setelahnya ia tidak lagi menghitung hari.
Begitupun juga ia sudah tidak menghitung lagi berapa banyak kepalanya pusing saat bangun pagi, pun beberapa ruam di bagian tubuhnya.
Ruam. Konsep itu tak seharusnya ada bagi seorang Peace Maker yang kebal serangan fisik dan magis. Mual masih wajar, Mba pernah merasakannya selagi masih menjadi Peace Maker. Rutinitas itu melelahkan. Pun energi Mba juga habis dari aktivitas sehari-hari.
Bangun. Lemas. Makan. Muntah. Lelah. Tidur. Bangun. Emosional. Capek. Tidur. Di sela-sela itu mungkin membuang hajat. Dan siklus terus berulang. Radius pergerakannya pun tidak jauh-jauh dari kompartemen dan dinding.
"Mba...Win… Ba…Ir…"
Sebuah suara yang familiar membuat Mba terperangah. Suara tersebut ternyata berasal dari pecahan cermin yang sempat terbawa saat pelarian sebelumnya. Mba mengangkatnya dan memandang pecahan cermnin itu dengan seksama. Sebuah sosok terpantul di dalamnya.
"Akhirnya menjawab juga," ujar sang sosok dalam nada kesal.
Hvyt. Makhluk yang dilihat Mba di dalam cermin itu adalah makhluk berambut jabrik dengan sepasang sayap. Hvyt yang dilihatnya saat ini memiliki sayap putih –biasanya mereka bersayap hitam. Para Hyvt adalah abdi langsung dari Thurqk. Pemilik dari Pulau Nanthara – alam kematian.
Thurqk – sang dewata merah. Mengingat nama sang dewata merah membuat Mba menyengkram keras baju hitamnya. Ia menggigit bibir, berusaha menahan isak kesal yang hampir turun.
"Selamat karena telah selamat dalam ronde ini!" teriak si Hvyt bersayap putih -ketus seperti biasa.
Mba menelengkan kepalanya mencoba mencerna kata "RONDE" yang baru saja diujar Hvyt. "Maaf… apa maksud tuan?" Tanya Mba. Suaranya makin serak dan lirih. "Ah… maaf bila suaraku seperti ini," ujar Mba seraya menundukkan wajahnya. Dan tanpa sadar air matanya menetes.
"Jangan cengeng, wanita!"
Mba masih tak dapat menghentikan tangisnya. Ia berulang kali menghapusnya tapi tetap saja air mata turun tak henti.
"Hey wanita, lihat ke belakang sini," ujar Hvyt tersebut seraya mengibaskan kepalanya. Sebuah objek yang ditunjukkan Hvyt membuat mata Mba terbelalak. Tangan perempuan itu bergetar, nyaris menjatuhkan pecahan kaca. Bibir Mba perlahan berdesis
"Elle…? Elle? Bagaimana mungkin?" Mba melirik sosok yang terbujur kaku di dekatnya. Sosok itu sama persis dengan yang ditunjukkan oleh Hvyt. Elle yang mungil dengan wajah tembam dipenuhi jerawat merah. Elle dengan baju montirnya. Dan Elle dengan rambut keriwil merahnya yang begitu imut.
"Bagaimana caranya adalah rahasia-"
"Tuan, kumohon jangan katakan bahwa Elle yang di sana itu…"
"Dasar bodoh. Mana mungkin aku memberi semangat dengan menunjukkan boneka seperti yang ada di dekatmu itu."
Boneka. Mba menoleh pada objek yang senantiasa dipeluknya.
"Kau tidak menyadarinya? Apa otakmu kosong, heh? Mayat pasti bau kalau dibiarkan di udara dalam waktu lama walaupun suasana sekelilingnya lembab. Apa masa lalumu sebagai Peace Maker tidak pernah kau tancapkan di kepala?"
Mba meringkuk mundur saat dimaki seperti itu. "Ma… Maaf," ujarnya lirih. "Tapi boneka itu berdarah…" kilah Mba tipis –yang diabaikan oleh Hvyt bersayap putih. Malaikat itu mengambil napas panjang dan mengucap
"Akan kuulang lagi. Kau, Mba Irwin, telah menembus ronde sebelumnya karena telah membunuh Richela Elleanor."
Mba kembali terisak. "Jangan menangis lagi. Dia masih hidup." Hardik Hvyt.
"Bukan tuan Hvyt, aku senang… aku senang ternyata Elle masih hidup. Maaf… maaf bila aku menangis," sesak Mba. "Maaf, bisakah aku bertemu dengannya?" Tanya Mba.
Hvyt menyunggingkan senyum. "Tentu saja bisa. Hanya saja ada syarat yang harus kau lakukan."
"Maaf… apa yang harus kulakukan?" Hvyt mengangkat alisnya mendengar pernyataan Mba.
"Kau tidak menganggap aku menyandera dia?"
Mba menggeleng. "Tidak. Entah mengapa aku percaya padamu."
Hvyt pun berdecak kesal. Ia lalu menghilang dari gambaran di pecahan cermin. Tak lama sesosok pria berkacamata dan berjanggut tipis muncul menggantikan. Pria tersebut memberi sebuah senyum lebar yang simetris lagi ramah.
"Malam, nyonya Irwin. Kenalkan, nama saya Nolan, Nolan Collard Fambrough. Nyonya bisa memanggil saya Nolan saja. Kita pernah berpapasan saat nyonya hendak bertemu dengan Thurqk. Mungkin nyonya tidak ingat lagi."
Mba memandang lekat-lekat sosok tersebut. Ingatannya kembali pada momen sebelum ia Dan 'Elle' kandas di ruangan ini.
"Maaf… bila ingatanku tidak salah, tuan adalah pria berkemeja putih dan memakai ransel bukan? Yang sedang melakukan sesuatu di depan gerbang ruang ini?"
"Tepat sekali, nyonya Irwin. Saat itu akulah yang memersiapkan segala hal untuk ronde ke tiga – yang telah nona selesaikan," Nolan tersenyum ramah. Tapi ia mendapati Mba justru berwajah kecut.
Nolan berdehem "Nyonya tahu, menyembunyikan gadis ini cukup sulit sebenarnya. Selama beberapa minggu kami berhasil memintanya untuk tidak banyak bertindak tapi ternyata dia terlalu kreatif dan sempat membuat kehebohan. Yah, beberapa Hvyt sempat curiga dengan keributan tapi kami berhasil menyelesaikannya. Sekarang kami ingin menyerahkan Elle pada nyonya Irwin. Tapi kami menemui kesulitan."
Mba mengangguk, mencoba menganalisis dan mengikuti kemana arah pembicaraan. Ia hanya tidak mengerti mengapa mereka harus menunggu cukup lama untuk memberi tahu bahwa Elle selamat. Tapi untuk saat ini, ia lebih khawatir pada Elle. Ia membiarkan saja Nolan bercuap-cuap (dan mengabaikan julukan nyonya yang disematkan Nolan).
"Dan terpikirlah sebuah kesempatan. Kebetulan nyonya Irwin menang ronde selanjutnya dari turnamen BoR afterlife ini. Kami butuh nyonya untuk menyelesaikan dan membunuh satu monster yang berada dalam labirin besar dewa Thurqk."
"Maaf?"
Mba tidak salah dengar. Nolan berwajah serius. "Benar. Nona harus membunuh salah satu monster di labirin tersebut."
"Nyawa ditukar nyawa. Bukan harga yang mahal untuk menyelamatkan seorang gadis bukan?" potong Hvyt bersayap putih yang tiba-tiba muncul di sudut pecahan kaca.
"Maaf aku masih tidak mengerti mengapa aku harus membunuh?" Tanya Mba.
Nolan berdehem "Kami punya banyak alasan tapi mungkin yang terbaik adalah pertukaran baru dapat dilakukan di dalam labirin yang kondusif."
Mba mengigit bibirnya. "Harus membunuh?"
Nolan terdiam sebentar sebelum mengangguk. "Tidak ada jalan lain? Maksudku, dengan bersembunyi begitu?" tanya Mba lagi.
"Otakmu dikemanakan lagi? Coba pikir bagaimana repotnya bila nanti kau bertemu dengan monster di sana. Bisa saja dia mati karena ulah monster tersebut. Atau sebut saja dia terkompromi oleh salah satu Hvyt yang mengawasi labirin. Kami menuntut lokasi yang steril," sela Hvyt bersayap putih dengan nada tegas dan memerintah.
"Yah, itu salah satu alasan yang bisa kami gunakan. Lagipula kami butuh nama nyonya tetap terpampang di layar. Siapa tahu saja Thurqk akan terpuaskan mengetahui aksi nyonya."
Mba menggigit bibirnya "Maaf tapi kalian gila..." desisnya.
"Ya, kami tahu nyonya akan berkata seperti itu. Kami terkesan barbar karena mengharuskan nyonya untuk tetap ikut dalam turnamen ini. Tapi percayalah pada kami, Richella hanya bisa diselamatkan dengan cara ini."
Mba menatap dua sosok pria di dalam cermin. Tatapan mata mereka terlihat yakin. Mba menundukkan wajahnya. "Dan jangan lupa tujuan awalmu mengikuti turnamen ini," tambah Hvyt. Ucapan itu membuat Mba terhenyak.
"Antakaba..."
Hvyt bersayap putih menyeringai. "Keputusan ada di tanganmu, Peace Maker," pungkasnya.
***
Nolan menghela napas panjang. Ia menekan tombol [ESC] di laptopnya. Program yang dinyalakannya pun mati saat itu juga. Ia lalu menengok pada sosok Hvyt bersayap putih yang berada di sampingnya.
"Apa benar ini yang kau inginkan, Hvyt?"
Hvyt bersayap putih itu diam. Nolan kembali melanjutkan "Maksudku, bukankah akan lebih bagus bila-"
"Bila aku menyudahi segalanya saat mati?"
Nolan mengangguk.
"Tidak. Kau tentu tahu apa esensi kami, Hvyt. Kau sudah tahu mengapa Thurqk menginginkan pertempuran para pejuang terbaik."
"Ya," jawab Nolan pendek.
"Dan kebetulan rencanamu cocok dengan yang kuinginkan. Sedari awal kau dan aku tidak pernah saling kontradiksi. Pun rencana ini sampai sekarang berjalan mulus. Kau tidak bertanya apa-apa saat aku menjemputnya, memasukkan paksa ke pulau nafsu dan juga saat mengubah kompas si tembem itu untuk memaksanya sampai di ruang harta. Dan semua ini sudah mendekati akhir," dengus Hvyt.
"Apakah rencana itu juga melibatkan perasaannya? Hvyt, kau membuat dia menderita."
Hvyt bersayap putih menggeretakkan kepalan tangannya walau dengan wajah tanpa ekspresi. "Puaskah kau berdakwah?"
Nolan terdiam.
"Dengar, Nolan. Aku membantumu dan kau membantuku. Kita impas. Jadi jangan Tanya motifku atau sesuatu yang personal. Lakukanlah tugasmu menghibur Yang Maha Kuasa Thurqk. Itu adalah alasan keberadaanmu di sini."
Hvyt berbalik badan dan berjalan menuju pintu.
"Tapi maksudku... mengapa kau tidak bisa sedikit saja ber-"
Pintu dibanting keras. "-empati..." Lanjut Nolan lalu memutus kalimatnya. Ia terdiam sebentar lalu menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku tidak mengerti hubungan pria dan wanita."
***
Mantel hitam dengan kerudung. Bukan sesuatu yang biasa Mba gunakan. Dahulu ia tak pernah merasa panas dunianya menyengat, bahkan saat perang sekalipun. Pun juga tidak di pulau Nanthara. Ia terpaksa mengenakannya karena syarat yang diberikan oleh Hvyt putih dan Nolan.
16 orang. Itulah yang jumlah orang yang Mba hitung di ruangan luas berbentuk bola ini. Ya ruangan ini luas. Kira-kira setara dengan luas lapangan atletik. Dindingnya berwarnakan merah darah dan dipenuhi dengan duri-duri yang tajam –mungkin selera sang dewata merah. Dindingnya sangat tinggi dan memancang langit. Hanya di tempat Mba berdiri inilah masih jelas terlihat langit merah. Entah apa yang berada di balik dinding tersebut.
16 gerbang berdiri menjaga keluar masuknya labirin. Gerbang tersebut tersusun rapih dalam jarak yang simetris. Jumlah gerbang itu sama dengan jumlah orang yang hadir di ruangan ini, minus para Hvyt bersayap hitam dan Nolan.
Nolan, Pria berkacamata itu, menjelaskan aturan 'permainan'. Mba tak diperbolehkan menyapa Nolan. Lagi-lagi karena hal tersebut masuk sebagai syarat. Dan syarat ke tiga adalah...
"Ceramahmu membosankan, Nolan! Bilang saja mereka harus masuk dan bantai satu piaraanku di dalam dan keluar dari Vishala Rashta. Terserah mau utuh atau tidak."
Thurqk. Ya, ia tidak boleh dikenal oleh Thurqk. Maka Mba sama sekali tak berani melirik ke atas, ke singgasana sang dewata merah. Mba membuang pandangannya ke tanah. Tapi dalam momen itu juga ia menyadari ada pandangan tajam yang mengarah padanya.
"Siapa si kerudung hitam?" suara perempuan. Terdengar santai tapi penuh kewaspadaan.
"Peserta baru mungkin, Buraa?" dan ini suara pria, terdengar keras lagi dipenuhi semangat membara.
Mba tidak berani mengangkat wajahnya. Ia tidak bisa menebak siapa yang berujar dan tidak mau berasumsi. Andai itu salah satu peserta maka ia bisa berlega hati. Andai itu Hvyt, ia bisa saja membatalkan syarat ke empat: tidak boleh dipergoki Hvyt sampai masuk dalam labirin.
Mual.
Mba tidak dapat menahan sensasi dipandang tajam. Instingnya meminta untuk segera lari saja dari lokasi atau segera bersujud. Tapi lagi-lagi ia tidak boleh bersujud meminta maaf – itu salah satu syarat juga.
"Reeh Al-Sahr'a. Siapa lagi yang mengenakan kerudung lenje seperti itu selain dia."
"Shadowy Weirdy Girly jangan menipu, buraa! Reeh sudah kumatikan."
"Boneka kontet jangan bohong. Pembohong bisa disikat lidahnya pakai sisir di neraka. Ah, tapi ini sudah neraka. Berarti bokongmu yang harus disikat, mau pakai pedangku?"
"BURAA! SINI KALAU BERANI!"
Dan pertengkaran keduanya berakhir dengan baku hantam. Mba menyadari adanya dorongan untuk melerai mereka tapi memaksa dirinya untuk tidak bergerak. Sampai akhirnya ia mengerang kecil tak lagi mampu menahan getar sakit yang memaksanya untuk meloncat.
Suara ledakan terdengar sebelum Mba sempat bergerak. Sebuah api besar berbentuk manusia menahan kaki dan tangan dua sosok yang bertikai di tanah. Keduanya meronta tapi tak dapat lepas dari pitingan makhluk tersebut.
Mba membuang mukanya dan berjalan menjauh dari mereka.
"Jangan seenaknya bertikai di tanahku," ujar Thurqk. Suaranya bergema layaknya berada di ruang tertutup. "Kalian beruntung aku tidak membakar kalian langsung. Tidak ada rasanya mendengar jeritan kalian di sini."
Mba dapat membayangkan sang dewata merah menyeringai pada mereka berdua. Dan ia tahu, kedua orang yang bertikai pasti menyisakan kesal. Keduanya pun dipisahkan jauh-jauh oleh Hvyt. Tapi sumpah serapah masih terdengar. Misalnya seperti
"BURAA! Shadowy Weirdy Girly PULANG SAJA MINUM SUSU!"
Dan balasan satunya juga cukup wah
"Boneka kotor, mulutmu mau dicuci pakai papan atau mesin cuci?"
"Silakan pilih salah satu pintu yang kalian suka. Masuk bersama dalam pintu tidak masalah. Mungkin saja kalian bisa bekerjasama dan selamat."
Saran itu membuat beberapa peserta merapat dan hendak masuk dalam satu pintu yang sama. Kecuali dua yang bertengkar barusan.
"Nolan!" hardikan Thurqk menggetarkan jagat bumi tempat Mba berpijak. Ia buru-buru membekap mulutnya untuk menahan pekikannya.
"Maaf... kuralat. Kalian harus masuk dari pintu yang berbeda," ujar Nolan pasrah. Para Hvyt pun dengan segera menggiring setiap peserta pada masing-masing pintu yang berbeda.
"Siapa namamu?" tanya Hvyt bersayap hitam pada Mba.
"A-aku..." Mba berdehem. Ia menurunkan lagi nada suaranya. "Bam Irwina. Aku baru dihadirkan sang dewa merah baru-baru ini untuk mengisi kekosongan," kilah Mba tanpa mengangkat wajahnya.
Hvyt bersayap hitam itu terlihat curiga. Tapi toh akhirnya ia hanya menunjuk sebuah pintu berwarna pelangi. Entah darimana mereka tahu pintu tersebut cocok dengannya.
Mba membukanya, ia berharap tidak menemukan apapun yang berbahaya di awal-awal. Tangannya menggenggam keras sabuknya.
*** part 2
Mba sering mendengar bahwa waktu bersifat relatif. Tapi ia tak pernah mendengar kalau dimensi pun begitu. Ia merasa lebarnya labirin ini menipu matanya. Jadilah Mba mengira-ngira lebar labirin ini.
"Sepuluh... dua puluh... lima puluh... astaga... lima puluh tombak?"
Mba dibuat terpekur. Lebar jalan di labirin ini membuatnya bergidik. Monster sebesar apa yang berada di dalam labirin ini? Pasti besar. Mba lantas enggan melangkah. Tapi Hvyt bersayap hitam terlanjur menutup gerbang.
Mba berkali-kali menggedor gerbang tapi tak ada balasan.
Yah, ia sudah berada di dalam dan mau tak mau harus lanjut. Mba membuka gulungan kertas yang didapatnya dari dalam ruang harta. Secara perlahan gulungan kertas itu memunculkan gambar denah lokasi ia berada.
"Enam..."
Mba menyebut lokasi pertemuan. Ia menyusuri denah dengan jarinya. Terlihat tidak jauh di peta tapi dimensi labirin ini pasti berkata beda.
Mba berjalan menyusuri dinding. Sejauh mata memandang yang dilihatnya hanya lantai, dinding dan langit-langit. Semuanya hanya dengan warna seadanya: krem atau putih. Obor dengan cahaya yang temaram tergantung dalam jarak yang simetris menjadi penghias sekaligus pemberi arah jalan.
Monster. Kata itu ada dalam kamusnya. Istilah itu disematkan orang-orang pada dirinya dan bukan pada hewan menyeramkan. Ia masih mengingat saat kecil sering dibacakan cerita berisikan hewan yang disebut monster. Hewan tersebut besar lagi tinggi dan dikatakan mampu menghancurkan gunung dengan satu sapuan gada miliknya. Dan monster tersebut pada akhirnya dikalahkan oleh pedang seorang ksatria yang bermandikan darah. Ksatria tersebutlah yang pada akhirnya menjadi cikal bakal dari divisi Swielder, Divisi suaminya, Antakaba, bertugas.
"Anta..."
Mba terus mengucapkan kata itu tanpa sadar. Andai ia sadar, ia pasti mulai menitikkan air mata. Ia benci situasi ini, situasi saat ia merasa dirinya lemah dan tidak layak menjadi Peace Maker.
Mba mengangkat pedang yang terselip di pinggangnya. Semakin lama ia semakin jauh dari Peace Maker. Membawa senjata bukanlah sikap seorang pengampu kedamaian. Walau toh ia juga tahu senjata bisa digunakan untuk menumpas pertikaian.
Mba menghela napas, membawa pedang atau senjata adalah persyaratan terakhir dari Nolan dan Hvyt. Mantel dan pedang tersebut didapatnya dari ruang harta. Kedua pria itu mensyaratkan lokasi pedang dan mantel itu secara spesifik -yang, bila dipikir lagi, terdengar terlalu mencurigakan lagi aneh –padahal banyak pedang dan mantel lain tersimpan.
"Anta..." sekali lagi bibirnya mengucap nama sang suami saat memandang pedang di pinggangnya. Pandangan Mba teralihkan oleh sesuatu yang berada di dekat percabangan jalan.
Mual.
Mba mulai melihat pemandangan yang menusuk hatinya. Bangkai-bangkai dan tulang dengan berbagai ukuran tergantung rapi di dinding kiri. Pelakunya memisahkan antara badan bagian atas dan bagian bawah. Sepanjang perjalanan, Mba terpaksa menjauh dari dinding karena tak tahan dengan baunya.
Tapi satu yang membuat Mba terpaksa menoleh adalah keberadaan satu sosok besar menyerupai manusia yang tergantung di dinding. Besar lagi tinggi. Mba dipaksa mundur dua langkah dan mendongak lebih dari 60 derajat untuk melihat sosok itu.
"Taring..."
Desis Mba setelah mendapati wajah besar tersebut memiliki taring besar lagi panjang dari mulut bawah. Mba yakin makhluk ini harus menyunggingkan bibirnya ke depan saat berbicara agar taring tersebut tidak melukai bibir atasnya. Mba latah mencoba menyunggingkan bibirnya dan ia mendapati dagunya pegal untuk sekedar menahan posisi wajah tersebut selama lima puluh hitungan.
Monster. Ya, ini pasti monster. Ukurannya saja besar. Yang kurang hanya gada saja.
Mba melihat sebuah bekas luka besar menganga di paha sosok raksasa tersebut. Ia mengenali jenis luka tersebut sebagai 'bekas gigitan'. Mba mencoba mendekat dan mengamati bekas luka yang sudah membusuk itu.
Sebuah lubang besar terdapat di belakang bekas koyakan, berjarak sekitar satu lengan dari bekas gigitan. Mba melihat sosok raksasa dan memerhatikan bekas luka tersebut.
Kanibal?
Jantung Mba berdesir mendapati konsep itu.
Baginya tak ada yang lebih seram dari konsep saling memangsa sesama jenis. Bukankah dari sana perang berasal? Mau dibalut seperti apapun juga perang pasti memakan sesama jenis. Entah itu demi sepetak tanah, secuil rasa kemenangan atau seabstrak manisnya pembuktian. Tapi tentu itu berlaku di dunianya. Entah bila manusia harus melawan monster. Masihkah layak kanibal ditetapkan sebagai kata haram?
Pasti. Buktinya Mba kembali mual.
Bukan. Mba mual bukan karena melihat makhluk tersebut. Ia mencium aroma yang sangat tidak mengenakkan. Bau yang memberi dua kesan:
1. Berbahaya – menurut Mba
2. Sangat Berbahaya – menurut insting Peace Maker.
Bau ini bahkan ikut menyengkram perutnya. Ia dipaksa berlutut dan merintih lalu seperti biasa, muntah.
Tak berapa lama cengkraman bau tersebut menghilang. Untuk pertama kalinya Mba merasa ada bau yang bisa begitu membunuh di luar bau bangkai manusia, Kudanil dan Sigung Darah.
Mba melihat kiri kanannya. Berada di tempat ini membuat nyalinya semakin ciut. Ia ingin kembali tapi sadar sudah tidak mungkin. Maka yang ia lakukan hanyalah berjalan dengan perlahan walau dihinggapi takut yang merayap ke sungsum tulang.
Mba hanya berhenti setiap kali ia mencium bau yang sangat bermusuhan barusan. Meski enggan, ia 'bermalam' di tempat yang mengerikan. Igauannya tidak kurang pasti menyebut nama yang sudah disebut berulang kali.
Dan begitu ia melanjutkan perjalanan, yang dilihatnya adalah bangkai dari monster-monster yang sama. Tapi kali ini mayat-mayat tersebut sudah dikerubungi belatung.
Mayat itu masih baru. Setidaknya itu yang Mba lihat dari kejauhan. Bekas lukanya masih baru dan tidak sebusuk mayat sebelumnya. Darah masih mengencer (beberapa masih segar memerah dan belum menghitam) dari berbagai pori-pori kulit.
Tidak hanya itu, bara api unggun yang belum padam utuh berarti tempat ini seharusnya masih ditempati seseorang.
"Siapa yang melakukan ini?" tanya Mba. Sedikit banyak sebuah kesimpulan 'adanya pertikaian' sampai di kepalanya. Tapi ia tidak mendapati adanya 'peringatan' dari insting Peace Maker-nya.
Mba tidak memeriksa lebih lanjut. Ia melanjutkan perjalanan. Selama itu pula ia tidak merasakan adanya pertikaian. "Aneh, apa insting Peace Maker-ku sudah mati?"
Baru saja berpikir begitu, tiba-tiba saja sekelebat imaji mampir di kepalanya. Dua sosok monster sedang bertarung. Dan belum selesai Mba menyaksikan, tubuhnya tertarik begitu saja.
Mba muncul tepat di persilangan kedua gada para monster besar tersebut. Seperti biasa, Mba menahan keduanya dan berujar.
"Maaf... kumohon tuan-tuan jangan bertikai..."
Kedua sosok tersebut tentu saja terkejut ada yang masuk ke gelanggang pertempuran.
Begitupun Mba. Wajahnya mendadak pucat. Ia melirik kedua tangannya. Nyeri. Ia bisa merasakan getar pukulan tersebut merambat sampai ke tulangnya.
"Siapa?" suara besar salah satu sosok tersebut membuat Mba sedikit terguncang –takut.
"Ma... maaf.,. aku..." Mba terdiam sebentar sebelum melanjutkan "Aku hanya pengelana yang lewat sini."
"Pengelana lagi?" sambut sosok besar satu lagi.
Lagi?
"Maaf... bagaimana ceritanya sampai tuan-tuan harus bertarung seperti itu?"
Kedua sosok besar itu –sebut saja raksasa- saling berpandangan.
"Dengar, kami sedang bertarung untuk menentukan siapa yang layak hidup! Saudara kami sudah mati dibunuh pengelana sebelumnya. Dia bilang kami harus bertarung agar tidak dibunuh olehnya."
"Dan sekarang kau ingin membunuh kami berdua, heh? Jangan mimpi!"
Tanpa ada basa-basi kedua raksasasa tersebut mengayunkan gada mereka. Salah paham luar biasa ini tentu saja membuat Mba kalang kabut menghindar ayunan.
"Ma-maaf... tapi aku tidak ingin membunuh tuan."
Sayang sanggahan tersebut tidak berarti apapun. Hantaman gada mereka akhirnya menghantam kepala Mba. Perempuan malang itupun diterbangkan ke dinding. Kedua sosok itu menyeringai puas. Sayang seringai mereka lenyap tatkala melihat Mba kembali bangkit.
Mba merintih. Kepalanya berdenging akibat serangan barusan. Tidak ada luka atau ruam. Denging di kepala itu membuat Mba tidak tahu apa yang kedua raksasa tersebut bicarakan. Walau pada akhirnya ia tahu apa yang akan mereka lakukan.
Keduanya sepakat memukul. Bersamaan. Mba bisa menghindari satu tapi tak bisa mengelak yang satunya. Ia menerima pukulan itu dengan lengannya dan terpental jauh. Lagi-lagi menghantam di dinding.
Sambaran gada raksasa melayang saat Mba masih merosot turun. Perempuan itu melindungi dirinya dengan kedua tangannya.
Tembok rengkah. Tapi hantaman gada tak berhenti layaknya menepuk kecoa di dinding.
Kedua raksasa tersebut berhenti setelah napas mereka habis. Peluh bercucuran tapi wajah mereka terlihat puas. Salah satu dari mereka menepuk pundak temannya. Si teman membalas dengan memberi jempol.
"Sekarang kita tidak akan dibilang bodoh lagi. Kita berhasil menumpas pengelana bajingan!" teriak salah satu dari mereka.
Sedetik setelahnya senyum mereka sirna. Mba yang telah dihantam berkali-kali telah berringsut bangun dari reruntuhan. Wajahnya kusut, mengerenyit menahan ngilu di tangannya.
Mba lantas bersujud.
"Maaf... kumohon kalian mau mendengarkan... aku tidak ingin melawan kalian. Aku hanya ingin lewat..."
Kedua raksasa tersebut saling pandang mendapati sosok Mba yang bersujud di bawah kaki mereka. Lalu keduanya menyeringai. Dan gada keduanya terayun.
***
Dekat pintu keluar. Hvyt bersayap putih menunggu di salah satu undakan dinding. Ia mengetukkan jarinya di lengan berkali-kali. Pun kakinya juga sudah berkal-kali mengetuk lantai. Sayap putihnya sesekali dikembang-tutupkan. Bosan.
Sebuah suara menyapanya dari ear phone di kupingnya.
"Kau yakin dia akan datang tepat waktu?" suara yang tak lain berasal dari Nolan.
"Kedamaian tidak pernah tepat waktu. Hanya kedamaian saja yang dimaafkan saat datang terlambat," balas Hvyt.
"Yah, aku mengerti itu. Di dunia kami juga perdamaian sulit dicapai meski sudah puluhan kali bernegosiasi bahkan di atas meja hijau."
Hvyt lantas melirik ke sosok kecil yang berada di belakangnya. Sosok Elle. Gadis mungil itu melenguh.
"Nolan?"
"Ya?"
"Kau yakin sudah memberi dosis pelumpuh maksimal untuknya?"
"Sudah. Jangan bilang dia sudah bangun..."
"Belum."
Nolan mengambil napas lega. "Untunglah... aku masih ingat seramnya dia saat mengamuk."
"Karena kita memisahkan dia dengan Peace Maker?" tanya Hvyt.
"Hubungan mereka aneh. Padahal hanya bertemu sebentar tapi sudah menempel ketat. Aku curiga ada sebuah skenario yang dipaksakan untuknya."
"Sudah kubilang itu ulah Yang Maha Kuasa Thurqk," jawab Hvyt sedikit ketus.
"Kau masih percaya dengan teorimu itu?"
"Aku di sini lebih lama darimu, Nolan. Aku melihat banyak hal yang bisa kau sebut keajaiban dewata. Sesuatu yang tidak pernah kuyakini semasa hidup," Hvyt menoleh pada Elle "Perilaku si kontet ini hanya menjadi bagian kecil saja dari kuasa Yang Maha Kuasa Thurqk."
"Ya. Aku mencoba percaya. Aku percaya hal-hal ghaib. Setidaknya untuk saat ini aku percaya bahwa Elle memiliki skala berbahaya yang tidak wajar bila sedang emosi."
"Tapi dia benar-benar lama. Peserta lain sudah ada yang menyelesaikan labirin ini," Ujar Nolan.
Ucapan ini membuat Hvyt bersayap putih mendengus. Lantas malaikat itu makin gelisah. "Hvyt... jangan bilang kalau kau ingin mencarinya..." tambah Nolan. "Kau tahu aku hanya bisa menyembunyikanmu di atas situ..."
Baru saja Nolan selesai berkata, Hvyt sudah bertolak. Dan hanya suara tepukan keras saja yang mengakhiri pembicaraan mereka.
*** Part3
Mba berjalan lunglai. Ia menyeret sebuah pedang berlumuran darah di lantai. Perempuan itu sesekali menggeleng. Ia tidak mau mengingat lagi apa yang terjadi. Tapi memandangi tangannya yang kotor dipenuhi darah membuat otaknya memutar ulang kejadian yang baru saja dialaminya.
"Coup de Grace..." desisnya. Coup de Grace. Mba baru saja membunuh salah satu raksasa yang sekarat dengan tangannya. Fragmen memorinya hanya menceritakan bagaimana kedua raksasa itu bertikai untuk memutuskan siapa yang lebih dahulu memakan dirinya. Lantas Mba berucap cerita
"Siapapun yang diundang Thurqk bajingan itu pasti enak rasanya. Aku sudah bosan memakan Hvyt atau ampas pendosa tanpa rasa. Masih lebih enak dagingmu. Ya. Aku setuju. Lagipula kalau kita makan petualang ini mungkin saja dia akan jadi budak kita. Hahaha ayo siap-siap kita beri nama untuk makhluk itu nanti. Bagaimana kalau Santi. Tidak bagus. Lebih baik Sinta saja. Seleramu buruk. Santi lebih baik dari Sinta. Apa katamu? Kau mau berantem? Ayo sini. Akan kumakan kau lebih dahulu sebelum aku memakannya. BUK! ADUH! CROT! AAAA! SIAL! MATI SAJA KAMU! Hahaha aku menang. AGH! Kau... ternyata masih hidup. Ugh ini menyebalkan... hehehe petualang kecil... nyawaku sudah diujung taring. Bunuh saja aku. Biarkan kedamaian menyapaku. Setidaknya aku akan mati dan menjadi Hvyt nantinya. AAAAAGH!" monoton Mba layaknya memutar kaset.
Lalu air matanya menetes. Dan kembali ia mengulang seluruh percakapan itu layaknya mengulang hafalan yang merusak otak. Bahkan kesadarannya tidak juga utuh saat ia melihat sosok yang dikenalnya mendekat. Walau ia sempat memutus 'hafalan'nya dan berujar
"Ah... Malaikat."
Hvyt bersayap putih mendarat turun tepat di depan Mba. Tapi Mba mengabaikannya dan terus berjalan –tanpa melihat peta. Hvyt lantas mengibas-ngibaskan tanganya di depan wajah Mba.
Tidak ada respon. Mba bahkan menabrak tangan Hvyt.
"Peace Maker!" bentak Hvyt.
Masih tidak ada respon (seharusnya Mba berjengkit kaget). Hvyt menjulurkan kakinya dan membuat Mba tersandung. Tapi perempuan itu kembali bangkit dan masih terus melantur tanpa henti.
Hvyt berdecih. Ia berjalan mendahului Mba dan berhenti di depan perempuan itu. Tapi bagaikan kereta besar. Hvyt pun mulai terdorong, terdorong sampai akhirnya terpental.
Sekali lagi Hvyt berdecih. Ia pun kembali berjalan mendahului Mba.
...
Kali ini ia melakukan hal yang tidak akan diduga siapapun.
Hvyt mencium Mba. Tepat di bibir. Kali ini Mba berhenti dan memandangi Hvyt.
"Siapa suamimu?" tanya Hvyt.
Mba justru membalas ciuman tersebut. Ia memegang tengkuk Hvyt dan menariknya semakin dekat. Semakin menempel. Mba membiarkan dirinya tenggelam mengenal kembali konsep kekasih. Bukan seperti saat dengan Thurqk.
"Anta..." desisnya setelah mereka saling melepas bibir. Lantas Mba rubuh. Tapi sebuah senyuman terurai di bibirnya.
***
Mba merintih pelan. Ia merasakan dirinya sedang diseret seseorang. Monster lainkah? Mba tentu tidak ingin berpikir ke sana. Ia mencoba membuka matanya tapi cahaya yang silau membuatnya tidak bisa mengenali sosok yang membawanya dengan jelas.
Tapi ia mengenali mantel dan pedang yang disandang sosok tersebut. Keduanya merupakan benda yang disyaratkan Nolan dan Hvyt untuk ditukar dengan Elle.
"Nolan..."
Mba merasa mengenali suara tersebut. Pria. Suara pria tersebut sejenak membuainya untuk tidak terbangun. Ia masih ingin berada dalam buaian suara pria yang sepertinya dikenal. Yang sepertinya telah lama dirindukannya.
"Ya?"
Mba juga mendengar suara Nolan yang sesekali tertindih statis.
"Aku menemukannya," ujar sang pria.
"Hvyt, suaramu tidak seperti biasanya... apa yang terjadi padamu?"
"Jangan panggil aku Hvyt lagi."
"Jadi... kau sudah membuang sayapmu?"
"...Ya."
"Selamat kalau begitu. Lalu bagaimana Mba?"
Tidak ada respon dari Hvyt.
"Hey... Hvyt?"
Suara logam berdentangan terdengar. Perkelahian lagi kah? Mba lagi-lagi hanya bisa heran mengapa dirinya tidak langsung terlempar dalam gelanggang. Baru saja berpikir seperti itu, sebuah cairan agak lengket dan bau mendarat di pipinya.
"Escathon Espee!"
Mba sontak terbangun. Ia tahu jelas nama yang baru diteriakkan itu. Hanya divisi militer Swielder saja yang memiliki jurus yang harus diteriakkan sekeras itu. Mba pernah melihat dan 'merasakan'nya.
Informasi terpenting dari nama itu adalah sebuah nama lain yang mengekorinya. Sekali lagi ia memandangi punggung si pembawa pedang.
"Anta..."
Jerit Mba.
"Ah, akhirnya bangun juga, dasar Peace Maker tukang tidur. Hanya suara pedang dan pistol saja yang bisa membangunkanmu."
"Anta?" Tanya Mba. Matanya berbinar mengharap jawaban dari sang pemegang pedang.
Bukan jawaban yang didapat melainkan sapa mata tombak yang menghantam kepala Mba. Mata tombak tersebut ditebas putus oleh pedang yang berkilau merah. "Dasar Peace Maker... memangnya tidak bisa lihat kalau kita sedang dikepung?" ujar si pembawa pedang tanpa menengok sedikitpun.
"Dikepung?" beo Mba polos.
Mba melihat sekelilingnya. Didapatinya puluhan, tidak... ratusan Hvyt bersayap hitam mengepung mereka dengan ragam senjata di tangan.
"Ini pasti jadi berita menarik. Peace Maker harus dilindungi tentara desersi," ujar si pembwa pedang.
Mba makin tergugu. Kali ini dua mata tombak menghantam wajahnya. Air mata Mba lantas meleleh. Bukan karena ia merasa nyeri di wajah. Tapi karena ia tahu siapa yang telah mengenalinya begitu rupa. Mba pun menepis tombak yang menempel di wajahnya. Tapi akibatnya luar biasa, dua Hvyt hitam sontak diterbangkan ke dinding dan tak bisa bangun lagi.
"Anta!" ujar Mba seraya meraih tangan sang pembawa pedang.
Tapi sang pembawa pedang justru menepis tangan Mba. Tidak ada kata-kata atau ejekan darinya sehingga keheningan menyergap. Justru suara datang dari para Hvyt hitam
"Menyerahlah Hvyt pemberontak! Yang Maha Kuasa Thurqk akan mengampunimu bila kau mau menyerahkan nyawamu," mereka berteriak berbarengan sampai menggetarkan labirin. Mereka pun menghentakkan senjata mereka berkali-kali ke tanah sembari bergerak memutari Mba dan si pembawa pedang.
Yang diteriaki justru tetap tenang. Mba dapat melihat darah merah digoreskan pada mata pedang. Darah di pedang panjang berubah menghitam dan memuntir kencang bagai tornado hitam.
"Escathon Espee?" tanya Mba. Sebuah anggukan terlihat dari si pembawa pedang. Asa Mba melambung saat tokoh ini merespon pertanyaannya. Pun asa tersebut makin mengawang tatkala tangannya digenggam kukuh, membuat jantung Mba berdegub layaknya gadis muda yang pertama kali jatuh cinta.
"Peace Maker..."
"Ya?" Mba menjawab dengan wajah yang bersemu merah. Dalam momen berbahaya ini justru ekspektasinya meninggi, tanpa peduli apakah guruh tanah dan guncang suara yang semakin mengencang.
Tapi asa tersebut mendadak dihantam jatuh saat mendengar kalimat selanjutnya dari sang tokoh.
"Selamat tinggal..."
Mba dilempar ke udara. Dan sebelum Mba sempat terpekik. Ia melihat sebuah tornado hitam memusing tepat di tengah-tengah kepungan. Para Hvyt bersayap hitam tersedot masuk. Lalu dari dalam tornado tersebut melesat larik sinar merah-kehitaman. Hawa ganasnya mencabut nyawa para Hvyt yang tidak siap bertahan.
Sayangnya, Hvyt adalah abdi sang dewata merah Thurqk yang perkasa –lagi nekat. Beberapa yang siap justru menerjang masuk tornado merah dan menyerang. Serangan mereka sukses membuat puntiran tornado melemah. Dengan segera, Hvyt yang tersisa menyerang. Lalu hampir semuanya menumpuk membuat angin keras berubah menjadi angin sepoi.
Mba yang didaratkan di atas hanya bisa terpana menyaksikan bagaimana cipratan darah beterbangan di udara. Lalu para Hvyt berhenti menyerang dan menarik senjatanya yang sudah terkotori darah. Dari titik pusat Tornado bangkit seorang Hvyt bersayap hitam yang mengenakan mantel hitam dan membawa pedang.
Sang Hvyt bersayap hitam itu memandang pedangnya. Tanpa tedeng aling, pedang itu dipatahkan. Bersamaan dengan itu pula, Mba merasa hatinya berderak. Rasa sakitnya, yang biasa bersumber dari perut, naik strata seketika. Sayangnya, emosi yang berada di kepala lantas turun derajat dan bergabung bersama sakit di hati. Keduanya membuat pergolakan yang membuat Mba melepas tangisan tiada tara.
Labirin berguncang. Lebih dahsyat dari saat ratusan Hvyt berteriak. Cucuran air mata perempuan yang ditakuti itu berubahmemerah. Konsep peperangan telah merasuk kalbunya, mengganti semua logika demi mencipta kedamaian.
Sebuah pesan mutiara masa lalu dari dunia Mba bisa ditulis di sini
"Kalap adalah ucapan selamat tinggal pada kesadaran. Yang berada di ekornya hanya sebuah penyesalan.
"Mommy~"
Sebuah pelukan menghentikan segala tangis dan kegalauan Mba dalam seketika. Ya, hanya sebuah pelukan dari Richella Eleanor –yang tidak disadari berada di dekatnya.
"E-Elle?" tanya Mba tanpa membalikkan badannya. Ia tidak ingin berharap terlalu banyak. Badai di hatinya masih bergolak dan belum menunjukkan tanda padam. Salah jawaban dapat memicu ledaknya perubahan iklim pikiran Mba.
"Mommy, nom."
Ucapan manis itu memutus badai, membuat cahaya terang datang dari balik awan yang mengelilingi lembah pikiran Mba.
"Mommy, kita ada dimana? Perasaan tadi Elle nggak di sini, nom."
"Ma-maaf... mommy nggak tahu..." Jawab Mba sekenanya. Matanya masih mengawasi para Hvyt yang masih mengumpul. Saat itu ia mendapati Hvyt yang memegang pedang patah sedang menatap dirinya. Mba mengucek matanya, ia bersumpah bahwa Hvyt (yang sudah) bersayap hitam itu tersenyum padanya. Tersenyum. Sesuatu yang sepertinya tak ada di konsep wajah Hvyt.
Mba menelan ludahnya. Tangannya berusaha menggapai "Anta..." sayang tidak terbalas. Para Hvyt mulai terbang berpencaran. Mereka melewati Mba dan Elle begitu saja. Menengok pun tidak.
"Halo, Nyonya Mba Irwin... halo?" sebuah suara datang berasal dari keping ear phone yang berada di dekat Elle.
"Tuan Nolan?"
"Syukurlah nyonya menjawabnya. Saya berasumsi nyonya sudah bersama Elle bila sudah menjawab ini. Waktu kita terbatas, nyonya. Cepatlah keluar dari labirin ini. Aku tidak bisa menyembunyikan kalian lebih lama lagi."
"Tapi... Anta..."
"Kumohon nyonya, cepatlah pergi bersama Elle! Astaga!"
Mendadak komunikasi mati. Mba memandangi Elle. "Mommy jangan nangis, nom." Dan Mba memeluk Elle. Sengguk yang sedari tadi sempat tertahan akhirnya meluncur.
"Ayo kita pergi mommy. Elle percaya kalau om itu baik, nom."
Elle mengajak Mba turun. Mba pun mengikuti panduan Elle dan berjalan berdampingan. Sesekali perempuan itu menyeka air mata (merah) yang masih tersisa –dan hebatnya ia tidak menyadari itu darah.
Mba sampai di pintu gerbang berwarna hitam. Sekali lagi ia menatap ke belakang, berharap sosok dianggapnya Antakaba tersebut masih berada di sana. "Anta..."
"Mommy, ayo kita keluar, nom."
Mba mencoba tersenyum. Ia mencoba tampil tegar di hadapan gadis kecil yang sebenarnya sudah berumur 45 tahun tersebut. "Ayo... Elle..."
Mba mendorong gerbang. Dan ia dikejutkan. Sang dewata merah, Thurqk, sudah berdiri di hadapannya. Di belakangnya, sekumpulan Hvyt bersayap hitam bersiap dengan tombak di tangan.
"Pertunjukan yang menarik. Penuh drama dan romantisme," ujar Thurqk mengembangkan tangannya. Ia lalu melirik pada Nolan yang berdiri di belakangnya. "Kuakui keputusanmu memasukkan wanita ini cukup bagus, Nolan. Cukup. Ia cukup hebat menjadi wanita penghibur. Tidak cepat hancur dan patah. Cucuran air mata dan permainan emosinya cukup membuatku tergelak sepanjang ronde ini."
Nolan yang berada di belakangnya hanya menelan ludah lalu menjawab "Tentu saja... Thurqk."
"Dan kau, Richella Eleanor. Bocah tengil yang seharusnya sudah kalah ini mengapa bisa ada di sini?"
"Properti... untuk memperkuat emosi," jawab Nolan, pelan. Ia melirik Mba lalu membuang pandangannya ke tanah.
"Apa katamu barusan, tuan Nolan?!" sergah Mba.
"Semua ini demi orkestra. Demi sebuah pertunjukan yang menarik," jawab Thurqk. "Seperti kataku di pertemuan sebelumnya nona. Hanya sebuah perjuangan yang layak untuk dilihat. Emosi dan yang lain menjadi bumbu yang indah," ujar Thurqk seraya menjentikkan jarinya.
Seorang Hvyt bersayap hitam, yang membawa pedang patah, mendekati Thurqk. Asa Mba naik. Ia hendak melangkah. Tapi sebelum kakinya menyentuh lantai, sebuah ledakan kecil terdengar.
Kepala sang Hvyt tersebut tidak lagi utuh. Mba yang melihat ini pun merasa hatinya hancur tak lagi utuh. Ia berteriak keras. Air mata yang tadi mengering mendadak basah lagi. Tapi Thurqk juga hanya tersenyum dan menjentikkan jarinya lagi.
Sebuah lubang muncul di bawah kaki Mba dan Elle. Dalam sekejap keduanya terjatuh, meninggalkan teriakan panjang. "Selamat tinggal... apa julukanmu? Oh iya, Peace Maker," lalu Thurqk tertawa terbahak-bahak dan meninggalkan tempat itu.
*** Epilog
Mba mengaduh. Ia berhasil mendarat dengan selamat dan menyelamatkan Elle. Yah, itu kurang lebih terjadi sekitar tiga puluh kesempatan Mba mencoba memanjat dinding. Untuk pertama kalinya perempuan itu merasakan perasaan yang begitu menggelora, perasaan yang seharusnya tidak hadir dalam relung hati Mba. Andai perasaan itu terus tertanam, mungkin saja Peace Maker akan berubah konsep.
Setelah lelah, Mba akhirnya duduk dan membiarkan Elle bermanja-manja di pangkuannya.
"Mommy, Elle senang bertemu mommy lagi, nom."
Mba mengangguk sekali. Lalu mengusap rambut kriwil Elle. "Dan Elle lebih senang lagi sebentar lagi jadi kakak."
Mba terpekur. "Kakak?"
Elle lantas terbangun. "Mommy nggak sadar?" Mba menggeleng, pelan. Ia khawatir kelanjutan kalimat Elle.
Elle menunjuk perut Mba. Dan dengan polosnya, gadis mungil itu berujar
"Elle akan segera punya adik."
--- Fin? ---
Eaaaa! Itu Mba hamil dari siapaaa! :v
ReplyDeleteAda dua typo, loubang dan sungsum. Tidak mengurangi nilai ceritanya. Bagian yang Mba meniru muka bangkai raksasa itu lucu. Lalu agak sayang karena pertarungan dengan monsternya tidak dijelaskan lalu mereka (atau cuma satu?) disebutkan mati. Dan demikian saja. Mati.
Si Hvyt putih adalah Antakaba... Sedikit petunjuk diberikan saat si raksasa mengatakan kalau dia mati akan lahir jadi hvyt. Saya baru sadar dia kemungkinan si Anta beberapa saat sebelum pengungkapan. Lalu apakah semua peserta mati akan jadi seperti itu? Hmmmm...
Siksa Mba lebih jauh lagi. Uhehehehehehe~~
Nilai akhirnya.... 8,5 :3
*uhuk* hamilnya sama.... errr... cek R2 aja *promosi*
Deleteya emang di bagianh itu gw rada ngetroll sih. dan gw emang dah siap dengan kemungkinan ga bakal disukai atau at least komplen.
oh soal asumsi Hvyt itu... well... masih ada ke depannya lagi kok. dan errr yah... gw masih bakal ceritain soal Hvyt dan asal-usulnya di Ronde selanjutnya karena emang itu bagian dari canon Mba :3
ty ya Feth :D
Aduh ren, saya udah seneng kamu munculin Antakaba (?) dan hint Nolan punya rencana lawan Thurqk, eh ternyata everything is part of the play... Dan mana endingnya super ambigu (if not outright troll) begitu pula. Regardless, sebagai sesama penulis yang nyiksa terus karakternya di turnamen ini, seneng juga ngeliat variasi despair dan suffering yang kamu tampilin.
ReplyDeleteNilai 8
Troll yes... Troll it is. half baked perhaps. dan gw emang sengaja nyiksa Mba di sini. di ke depannya mgkn bakal lebih lagi~
Deleteand, gw ga nyangka bisa dapet nilai 8 dari lu kwkwkwk i guess i should really write near deadline to get a better score :))
ty ya Sam :D
terkadang, masih bingung antara berani atau ngelanggar, soalnya di R5 nanti dibuka dengan ceramah Nolan. tetapi nolan udah dapat [rendi's move] padahal belum terlalu dibebaskan.
ReplyDelete[cuman rant]
takutnya, nanti ada bentrok dengan Opening R5.
kok ada feeling typo di sini yah?
=
"Kalap adalah ucapan selamat tinggal pada kesadaran. Yang berada di ekornya hanya sebuah penyesalan.
=
sedikit kehilangan alur cerita di Plot. gak dapat ngerti apakah
MbaElle dan ThurNolan berbicara lewat medium kaca lagi atau face to face.
Final Verdict: 7.8
rebel aja. kalo salah toh bisa diperbaiki *damn baru nyadar gw ngelanggar batas banget la la la* :v
Deleteeh typo di mana? ga ada tanda petik akhirkah? O_O;
ah yah bagian itu. gw dah ga edit lagi. gomen kalo akhirnya ngurangin deskripsi. mudah2an ke depannya gw bisa lebih awas lagi :3
ty ya Pan :D
Sumpah, itu hell guardian cuma jadi cemilan doang di sini, numpang lewat...
ReplyDeleteDan what the hell, itu tiba2 hamil di akhir?
Secara penulisan sih bagus, tapi entah kenapa jadi kerasa hampa bacanya karena main dish di sini ga terlalu dianggap. Can't blame you though, somehow I did it too...
Score 8