February 14, 2015

[FINAL ROUND] STALLZA - AKHIR DAN AWAL

[Final Round] Stallza
"Akhir dan Awal"

Written by Yafeth T. B.

--- 

Akhir dan Awal

"Manusia tidak akan mengenal kegelapan tanpa cahaya.
Demikian juga kejahatan tanpa kebaikan"
― Kalimat pembuka sebuah naskah kuno di Ventinis

I

Seorang hvyt duduk bersandar di dinding dengan pandangan kosong. Di sebelahnya seorang hvyt lain terkapar di lantai. Keduanya bersimbah darah. Sayap-sayap hitam mereka tidak ada lagi. Hilang lenyap begitu saja saat mereka sedang terbang di langit.

"Apa yang kita lakukan di sini?"

Hvyt yang duduk bersandar di dinding menoleh pada hvyt di sebelahnya. Hvyt itu sebenarnya memiliki corak lidah api berwarna hitam di bagian perutnya, tetapi corak penandanya itu sudah tidak tampak lagi. Tepat di perut itu kini menganga luka lebar, membasahi nyaris seluruh tubuh hvyt itu dengan warna hitam dari darahnya.

"Kau masih hidup?" tanya hvyt yang duduk bersandar.

"Ajaibnya seperti itu," kata hvyt yang terkapar di lantai. "Kau sendiri? Luka di dada kirimu?"

Hvyt yang bersandar di dinding melihat ke dada kirinya. Di tempat itu seharusnya ada sebuah lambang berbentuk lidah api, tetapi kini lambang itu berganti luka yang menganga.


"Tidak terasa sakit," kata hvyt yang bersandar, "aku tidak merasakan apa-apa."

"Apa yang kita lakukan sekarang? Seluruh dunia sudah kacau dan dewa sudah tidak tahu ada di mana," kata hvyt yang terkapar di lantai.

"Mau membantu para peserta?"

"Apa untungnya?"

Kedua hvyt menatap lurus ke atas, ke celah besar di langit-langit yang mempertontonkan ledakan dan kilatan cahaya di langit merah yang mulai memudar warnanya.

"Mereka masih punya sayap," kata hvyt yang duduk bersandar. "Seandainya sayap kita masih ada."

"Lalu jika masih ada?"

Hvyt yang duduk bersandar hanya diam. Dia tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Hvyt yang terkapar di lantai menutup mata. Dia berharap rasa sakit kembali menguasainya dan membiarkan dirinya mati.

***

Tidak ada lagi yang mengingat tujuan utama pertandingan yang diadakan sang dewa merah. Tidak ada lagi yang berkeinginan untuk kembali hidup. Bahkan tidak ada lagi yang merasa takut pada si dewa merah. Thurqk yang selama ini menatap dari ketinggian kini dipaksa turun ke bawah. Sang dewa kini tak ada bedanya dari para bawahannya: dikejar dan berdarah-darah.

"Menyingkir dari jalanku!" seru Thurqk. Dewa merah itu memakai sisa-sisa kekuatannya untuk menghempaskan puluhan hvyt yang berdiri mematung di selasar. Dalam sekejap seluruh hvyt itu hancur menjadi potongan-potongan daging.

Dalam keadaan biasa Thurqk dapat melakukannya berkali-kali, terutama jika dia bosan. Tetapi kali ini berbeda. Kali ini untuk menghancurkan beberapa buluh hvyt saja dia sudah nyaris pingsan.

"Sialan!" teriak Thurqk. "Makhluk rendahan! Sialan!" Makian dan umpatan yang tidak layak dibaca pun meluncur keluar deras dari mulut Thurqk. Dengan langkah yang gamang dia berjalan menyusuri tangga menuju ruang penjara bawah tanah yang kini telah hancur lebur. "Nolan! Nolan!"

Langkah kaki Thurqk berhenti saat melihat sebongkah dinding yang runtuh menghadang jalannya ke bawah. Dia mengayunkan tangannya seakan menebas bongkahan reruntuhan itu, namun tidak terjadi apa-apa. "Sialan!" teriak Thurqk. Seharusnya dengan kibasan tangannya saja dia sudah bisa menjadikan bongkahan yang menghadang jalannya menjadi debu. Tapi kini bahkan satu serpihanpun tidak terlepas dari bongkahan itu.

"NOLAN! KEMBALIKAN KEKUATANKU!" teriak Thurqk. Entah sudah berapa banyak dia berteriak hari ini. Suaranya terdengar semakin parau hingga nyaris tak mirip suara manusia lagi. Dia menjerit, meneriakkan semua rasa gusarnya akibat keadikuasaan yang tercabut dari tubuhnya. Thurqk berteriak hingga akhirnya lehernya tercekat. Dia memegangi lehernya yang sangat sakit, namun di saat bersamaan dia teringat sesuatu.

"A… Abby. Ya, masih ada dia…" Thurqk menyeringai. Abby. Gadis kecil yang selama ini bersamanya adalah apa yang dia butuhkan sekarang. Tanpa membuang waktu Thurqk membalikkan badannya yang gontai dan berjalan ke atas. Kekuatannya mungkin terkuras, Nolan mungkin sudah mengetahui rahasianya, tetapi dia masih punya Abby.

Selama Abby masih ada, Thurqk akan tetap menang.

***

II

Ada rasa sedih di hati Stallza saat dia menguburkan Claude dan Claudia. Dia melihat dirinya dan Lan dalam pasangan itu. Bagaimana kalau dia dan Lan mengalami hal yang sama? Bagaimana kalau yang terkubur di bawah tanah merah itu adalah mereka berdua? Stallza menghela napas panjang. Dia mengambil dua batang kayu pohon Rachta yang berada di sekitar tempat itu dan menancapkannya di atas gundukan tanah kuburan pasangan itu.

 "Sudah saatnya untuk memanggil Ferra kembali," kata Stallza.

"Apa kondisimu sudah pulih untuk itu?" tanya Nitria yang dengan setia berdiri di belakangnya.

"Kondisiku baik. Bahkan aku tidak pernah merasa sebaik ini," jawab Stallza. Dia mengedikkan bahunya. "Entahlah. Sejak menyadari Ventinis berada di dalamku, aku jadi merasa penuh energi. Seakan aku hidup kembali," katanya.

"Memanggil Ferra kembali akan mirip dengan saat mengikat perjanjian untuk pertama kali. Menarik Ferra yang tertidur di dunia para Spiritia mungkin akan menggoyahkan eksistensimu. Bersiaplah," kata Nitria.

"Ventinis akan membantuku," kata Stallza. "Untuk sementara tolong jaga aku. Mungkin akan memakan waktu untuk memperbarui kristal perjanjian Ferra dan membawanya kembali ke sini."

Nitria mengangguk. Kabut dingin mulai keluar dari tubuhnya. Perlahan-lahan kabut itu membentuk sebuah kubah putih yang menaungi Stallza dan dirinya.

Stallza memejamkan mata. Dia berkonsentrasi dan memasuki dunia para Spiritia. Dia bertemu dengan semua Spiritia yang sudah berhasil diperolehnya kembali. Mereka tampak khawatir, namun mengizinkannya kembali menjelajah lebih dalam demi menemukan sosok Ferra.

Meski berada di dunia yang sama, para Spiritia tidak bisa menemukan Ferra. Keberadaan Ferra berada di tempat yang tidak terjangkau oleh mereka. Tempat itu gelap, dengan banyak sekali gumpalan-gumpalan intisari alam melayang-layang dengan pendaran yang lemah. Ada banyak gumpalan intisari, namun Stallza tahu hanya ada satu Ferra di antara gumpalan-gumpalan itu. Dan Stallza menemukannya. Satu-satunya gumpalan intisari dengan pendaran merah yang berdetak kencang seiring semakin dekatnya Stallza dengan gumpalan itu.

Stallza mengulurkan tangannya pada gumpalan itu dan menyentuhnya. Tepat di saat kulitnya menyentuh gumpalan itu, Stallza merasakan ada sebuah energi besar mengalir keluar melalui tangannya. Dia mengenali energi itu sebagai energi Ventinis, ibu para Spiritia. Energi itu kemudian menguasai dirinya, dan dia pun merasakan apa yang dirasakan Ventinis. Di saat itu Stallza menjadi mengerti rasanya menjadi seorang ibu. Dia merasakan kerinduan yang besar untuk kembali bertemu anaknya. Dia merasakan kebahagiaan saat berhasil memeluk sosok Ferra yang tertidur lelap.

"Ferra, saatnya kembali." Suara Stallza dan Ventinis saling bercampur, tetapi Stallza tidak memikirkannya. Perasaan bahagia Ventinis kini menguasainya, membuatnya melupakan dirinya sendiri.  

Ferra perlahan membuka matanya. Mendadak seluruh tempat yang gelap di sekitarnya berubah menjadi terang benderang. Stallza kembali menjadi dirinya sendiri. Dia tidak punya waktu untuk terkejut melihat sekelilingnya berubah karena dengan cepat dirinya tertarik keluar dari dunia itu bersama Ferra dalam pelukannya.

Stallza akhirnya mengetahui mengapa dia begitu cepat keluar dari dunia itu saat membuka matanya. Di dalam telapak tangannya kini terdapat kristal Ferra. Dia menoleh pada Nitria yang kini tampak kalut. Lalu dari luar kubah kabut yang menaungi mereka terdengar sebuah dentuman besar yang memekakkan telinga. Nitria seketika berlutut sambil menutupi telinganya. Stallza sendiri berusaha keras menahan perutnya yang bergolak mual.

"Suara apa itu?" tanya Stallza.

"Aku tidak tahu," kata Nitria. Suara dentuman kembali terdengar. Kali ini lebih besar dari sebelumnya. Nitria dan Stallza sampai tersungkur ke tanah akibat getaran hasil suara itu. "Dentuman ini sudah sejak tadi terjadi. Semakin lama semakin keras."

"Kau tidak apa-apa?" tanya Stallza.

Nitria menggeleng, namun Stallza tahu dari ekspresinya keadaan Nitria tidak baik. "Kembalilah," kata Stallza.

Nitria mengangguk. Sosoknya berubah menjadi kristal dan melesat ke tangan Stallza. Kubah kabut yang menyelimuti Stallza menghilang saat sosok Nitria kembali menjadi kristal. Di saat itu Stallza sedikit demi sedikit tahu apa yang terjadi. Daun-daun pohon rachta berguguran. Warna merah langit di atas kepalanya berubah menjadi hitam.

"Apa yang terjadi dengan dunia ini?" tanya Stallza pada dirinya sendiri.

***

Suara dentuman kembali terdengar. Tetapi dentuman kali ini jauh lebih lemah dari sebelumnya. Lalu sebuah dentuman lagi terdengar dengan intensitas yang jauh lebih lemah. Stallza mencari-cari dari mana asal dentuman itu. Dia mendengarkan sumber dentuman-dentuman yang semakin lama semakin pelan itu dan menemukan dentuman-dentuman itu berasal dari arah istana.

Stallza merasakan ada yang tidak beres. Dia merasak tidak tenang, sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk pergi ke sana segera. Tetapi keinginan untuk mencari Spiritia yang masih terpencar di hutan Jagatha Vadhi yang kini meranggas mendorongnya tinggal. Stallza memejamkan matanya dan merasakan keberadaan Spiritia yang masih terpencar. Sebagian besar spiritia itu masih ada di dalam hitan, namun mereka semua bergerak ke arah istana si dewa merah. Sepertinya sesuatu mendorong mereka bergerak ke sana.

"Apa yang terjadi di sana?" Stallza berpikir sejenak sebelum mengambil keputusan untuk pergi ke istana si dewa merah. Dia baru saja mengambil langkah menuju istana itu saat tiba-tiba sebuah asap berwarna cokelat tiba-tiba membentuk tembok di depannya.

"Bromon? Kembalilah sekarang," kata Stallza pada asap berwarna cokelat itu.

Asap cokelat itu membalas Stallza dengan menyeruak ke arah Stallza. Stallza berusaha mengelak dengan melompat sejauh mungkin, namun Bromon jauh lebih cepat darinya. Dalam hitungan detik Stallza telah dikurung dalam asap cokelat yang perlahan meracuni udara yang dihirup Stallza.

Stallza terbatuk saat menghirup asap dari Bromon. Tenggorokannya menjadi panas. Dia harus melakukan sesuatu sebelum dirinya benar-benar keracunan. "Plumbina!" seru Stallza memanggil Spiritianya. Sesaat kemudian sosok wanita dengan pakaian ketat berwarna hitam muncul di depannya sambil menghunus pedang. Wanita itu mengangguk mengerti sebelum mulai bergerak cepat dan menebas asap yang mengelilingi tuannya.

Bromon mencoba melawan dengan membungkus tubuh Plumbina dalam pusaran asap cokelat. Spiritia itu mencoba meracuni Plumbina, namun Plumbina tidak merasakan apa-apa.

 "Sia-sia," kata Plumbina. Dengan tenang Plumbina menghunus pedangnya ke atas. "Menyebarlah," kata Plumbina. Segera sesaat dia mengatakan itu, pedang di tangan Plumbina berubah menjadi gumpalan debu berwarna hitam. Debu-debu itu terbang mengikuti pusaran asap cokelat, berputar-putar dan perlahan menguasai pusaran itu. Perlahan tapi pasti debu-debu dari pedang Plumbina mengubah pusaran berwarna cokelat itu menjadi putih dan membuatnya berhenti.

"Sudah selesai. Kembalilah," kata Plumbina pada pusaran asap putih yang mengelilinginya. Mematuhi perkataan Plumbina, dari dalam pusaran asap putih itu keluar debu-debu berwarna hitam yang kembali membentuk pedang di tangan Plumbina. Begitu pedang di tangannya berwujud sempurna, Plumbina mengayunkannya dengan cepat ke gumpalan asap yang mengelilinginya. Asap itu pun lenyap, menyisakan sebuah kristal kecil berwarna cokelat keputihan di tanah.

"Bromon berhasil ditaklukkan," kata Plumbina pada Stallza. Plumbina baru saja akan memungut kristal perwujudan Bromon saat tiba-tiba dia merasakan sebuah aura membunuh muncul di dekat Stallza. Plumbina melesat ke samping Stallza tepat di saat sesosok manusia dalam baju zirah lengkap berwarna hitam pekat muncul dari sebuah pusaran asap hitam. Sosok itu mengayunkan pedang berwarna hitam ke arah Stallza, namun Plumbina masih sempat mendorong tuannya sehingga terhindar dari tebasan itu. Di saat bersamaan Plumbina menahan ayunan pedang sosok itu dengan pedangnya sendiri.

"Reaksi yang bagus," kata sosok berbaju zirah itu.

Plumbina menggeram. Matanya menatap nanar ke mata yang terlihat dari celah ketopong sosok di depannya. "Kau!"

"Kau mengenalku?" Sosok berbaju zirah hitam di depan Plumbina tertawa. "Kau masih lemah, Plumbina."

Plumbina tidak menyadari saat sosok berbaju zirah itu menghantam perutnya dengan tangan kiri dan disusul tendangan kaki kanan ke arah pinggangnya. Tubuh Plumbina pun terhempas bagaikan kapas ditiup angin.

"Kuralat kata-kataku. Kau ternyata berubah, kau semakin lemah," kata sosok berbaju zirah itu. Dia menoleh kepada Stallza yang kini sudah didampingi Argia, Spiritia berwujud gadis berbaju zirah perak. "Ah, dan lihatlah, sang tuan yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri tanpa bantuan para wanita. Kalian yang jauh lebih kuat darinya jadi tampak lemah karena dia," katanya.

"Tunjukkan saja wajahmu!" seru Argia gusar.

Sosok berbaju zirah hitam tertawa terbahak-bahak. "Kalian para wanita sepertinya sedang datang bulan, ya? Dari tadi kelihatannya kalian marah-marah terus. Kalian tahu apa yang kukatakan ini benar, tapi kalian tidak ingin menerimanya," katanya.

Sebuah belati melayang ke arah mukanya, tapi dengan cepat sosok berbaju zirah itu mengelak. "Ah, anak anjing yang pemberani. Bagaimana kabar Ferra, Koboldia?" katanya pada sosok gadis berkuping serigala yang muncul di depan Stallza.

"Kakakku sudah kembali. Terima kasih sudah bertanya," jawab Koboldia. Di tangan Koboldia muncul belati baru menggantikan belati yang dilemparnya ke sosok berzirah hitam. "Bagaimana kalau kita mengabaikan basa basi ini dan masuk ke hidangan utama? Tanganku sudah gatal mencabik-cabik tubuh pengkhianat sepertimu."

"Pengkhianat? Aku hanya berpihak pada tuan asliku," kata sosok berzirah hitam. "Dan setahuku tuan asliku bukan manusia, melainkan Ventinis."

"Di dalam tuan Stallza bersemayam Ventinis," kata Plumbina yang kini telah kembali berdiri. "Kau harus patuh padanya."

"Ventinis yang asli bukan seperti dia!" teriak sosok berzirah hitam. "Ventinis yang asli adalah sosok agung yang tidak akan tunduk pada makhluk manapun!" Sosok berbaju zirah hitam itu mengangkat pedangnya ke udara. "Akan kutunjukkan pada kalian kekuatan asli dari Ventinis yang sebenarnya!"

***

III

Plumbina dan Argia bahu membahu menghadapi serangan si zirah hitam sementara Koboldia sibuk mencari celah untuk menyarangkan serangan ke tubuh sosok itu. Semua serangan yang sangat teratur dan dilakukan dengan cermat, namun tidak ada satupun yang berhasil melukai si zirah hitam.

"Ini tidak adil, kalian tahu? Menghadapiku bertiga seperti ini," si zirah hitam tertawa mengejek. "Dan lagi tidak ada satupun serangan kalian yang berhasil. Menyedihkan sekali."

Si baju zirah hitam tidak menyadari saat di tempat yang tidak terlihat oleh matanya, Stallza memanggil Argonos dan melakukan penyatuan diri dengan spiritianya itu. Saat dia menyadarinya, Stallza sudah memakai kekuatan Argonos untuk menghentikan waktu dari sebuah objek. Hanya tiga menit, tetapi itu sudah cukup untuk membuat tiga spiritia yang meladeninya untuk berpesta pora menebas dan menghancurkan si zirah hitam.

Koboldialah yang menyarangkan serangan pamungkas pada si zirah hitam. Secepat kilat Koboldia menebas ketopong si zirah hitam hingga hancur. Sosok asli si zirah hitam akhirnya terlihat, namun Stallza dan para spiritianya tidak terkejut. Sejak muncul di depan mereka, sosok itu telah memancarkan aura spiritia yang khas. Bagi Stallza aura itu terasa dingin, namun berbeda dengan aura dingin Nitria yang menusuk tulang. Sosok berzirah hitam itu terasa dingin dan membuai, seakan membuat yang bisa merasakannya terlarut ke dalam sesuatu yang menyenangkan sebelum akhirnya mati oleh dinginnya. Hanya ada satu spiritia yang memiliki aura seperti itu.

"Aku memerintahkanmu untuk kembali, Arzaniko," kata Stallza tegas.

Arzaniko, sosok di balik zirah hitam itu, malah tertawa. Meski dia tersungkur di tanah dengan tubuh penuh luka akibat tebasan tiga spiritia petarung, Arzaniko tampak tidak kesakitan. "Aku tidak mau," kata Arzaniko. Dia mencoba bangkit, namun pedang Argia dengan sigap terhunus di lehernya.

"Sayangi lehermu," kata Argia.

Arzaniko tersenyum sinis. "Meski wujud fisikku hancur sekalipun aku masih bisa muncul kembali. Tapi untuk kesempatan seperti ini tidak akan terjadi dua kali." Dalam sebuah gerakan yang nyaris tak terlihat Arzaniko melempar sebuah belati ke arah Stallza, namun Koboldia yang melihatnya bergerak secepat kilat dan menghantam belati itu di tengah jalan. Argia yang kemudian sadar Arzaniko telah menyerang tuannya tanpa ragu mengayunkan pedangnya dan menebas leher Arzaniko hingga putus. Tubuh Arzaniko beserta zirah hitamnya seketika hancur menjadi asap hitam saat kepalanya terputus dari tubuhnya.

Tawa seorang gadis kecil membuat Stallza dan tiga spiritianya kaget. "Kalian menghancurkan satu bonekaku. Selamat, ya?" Abby, hantu gadis kecil yang menemani Thurqk si dewa merah, secara tiba-tiba muncul di atas batang pohon rachta yang meranggas. Gadis hantu itu duduk santai dengan kaki yang berayun gembira.

"Akhirnya kau muncul juga!" seru Stallza. Dia hendak mengangkat tangannya untuk memakai kemampuan Argonos, namun gerakan tangannya berhenti saat Abby menjentikkan jarinya. Ketiga spiritia lain pun tidak dapat bergerak, seolah ada sebuah kekuatan mencengkeram mereka di tempatnya.

"Sabar, sabar. Kita akan bertarung sepuasnya nanti. Tapi tidak di sini," kata Abby. Gadis itu menyeringai lebar. Bibirnya tampak nyaris menyentuh telinganya. Sederet gigi tajam tampak berjejer di kedua rahangnya. "Aku hanya menjemput bonekaku. Aku membutuhkan dia untuk kembali ke wujudku yang asli."

"Kenapa tidak sekalian saja menghabisi kami di sini?" tanya Stallza.

"Karena itu tidak menarik," kata Abby. "Asal kau tahu, aku dan si Thurqk memiliki kesamaan hobi. Aku suka melihat pertunjukan yang seru. Menghabisi kalian di sini terlalu mudah. Itu tidak seru. Tapi beda jika aku menghabisi kalian dalam sebuah laga yang besar dan megah. Sebenarnya masih ada dua peserta lain yang tersisa, dan aku sempat bingung bagaimana untuk mempertemukan kalian. Untung mereka berdua sudah mengambil inisiatif memulai pertarungannya."

"Aku sudah tidak peduli pertandingan ini," kata Stallza tegas.

"Oh, ya?" Abby terkekeh. "Kau tahu, di istana ada banyak hal menarik yang bisa terjadi. Misalnya saja putri yang memutuskan menjadi kesatria karena kesatria yang ditunggunya tidak datang-datang."

Stallza membelalak. Satu nama segera melintas di kepalanya. "Lan?"

Abby mendecak. "Hanya kalau masalah putri kecil itu saja kau bisa langsung mengerti. Aku tidak tahu pemikiran manusia. Kalian memperlakukan orang lain lebih penting dari diri sendiri. Kalian tidak masalah berkorban untuk orang lain. Dan itu baru saja memberiku sebuah ide menarik," gadis hantu itu tertawa kecil. "Kurasa pertunjukan terbukanya kumulai dari gadis itu saja."

"Jangan berani kau menyentuh Lan!" teriak Stallza. Pria itu mencoba untuk bergerak, melawan kekuatan dari Abby yang menahan seluruh tubuhnya. Dengan susah payah dia berhasil mendorong tubuhnya ke depan.

"Wah, wah. Kau benar-benar bersemangat sekali, ya? Kalau begitu bagaimana kalau kuberikan sebuah pertandingan kecil-kecilan untukmu," Abby kembali menyeringai. "Saat ini aku dan beberapa spiritia yang memutuskan untuk ikut denganku sedang bertarung dengannya. Kalau kau bisa tiba di sana tepat waktu, mungkin kau bisa menyelamatkannya. Tapi kalau terlambat, kau akan menemukan mayatnya di sana. Menarik, bukan?"

Stallza menggeram. Dia mendorong badannya sekali lagi. Kali ini dia berhasil bergerak lebih jauh. Abby yang melihat itu berhenti menyeringai.

"Kau punya waktu sepuluh menit untuk sampai ke sana. Ah, dan semua spiritia lain yang bergerak ke sana juga termasuk dalam permainan. Selamatkan mereka sebanyak yang kau bisa. Itupun kalau kau masih bisa selamat hingga akhir." Abby menjentikkan jari dan sosoknya pun lenyap seketika. Bersamaan dengan hilangnya Abby, menghilang pula kekuatan yang menahan Stallza dan ketiga spiritianya.

Stallza dan ketiga spiritianya jatuh ambruk. Tetapi mereka segera kembali bangkit. Tanpa banyak bicara ketiga spiritia Stallza kembali menjadi kristal dan kembali ke tangan Stallza. Di saat bersamaan Stallza memanggil Hidro, spiritia berbentuk burung layang-layang berwarna biru, dan segera bersatu dengan spiritianya itu. Stallza melompat ke udara, dan dalam satu dorongan, badannya melesat dan terbang di udara.

Stallza tidak punya waktu. Sepuluh menit adalah waktu untuk menyelamatkan seluruh dunia yang dikenalnya.

***

Seharusnya sepuluh menit untuk terbang puluhan kilometer menuju ke istana si dewa merah bukan masalah bagi kecepatan Hidro. Tetapi dengan puluhan hambatan yang menghadang membuat perjalanan itu tidak mudah. Dalam perjalanan menuju ke istana, tidak terhitung ribuan hvyt yang berguguran bagaikan daun dari langit. Mereka semua tampak panik dan tidak berdaya. Mereka yang terbiasa terbang hingga ke ujung langit dengan sepasang sayap raksasa kini kehilangan sayap itu tanpa mereka diketahui.

Stallza menghindari hvyt-hvyt yang berguguran itu sebisa mungkin. Bukan hal yang mudah. Berkali-kali hvyt yang jatuh berusaha menggapai Stallza demi menyelamatkan diri mereka dari kehancuran. Setiap kali para hvyt itu menggelayut pada Stallza, setiap kali pula Stallza harus mendorong atau memukul mereka. Para hvyt bukan makhluk yang bisa berekspresi seperti manusia. Tetapi bahkan makhluk dengan ekspresi terbatas itupun akan menunjukkan ekspresi ketakutan di wajah mereka di saat seperti ini. Hanya mata hitam mereka yang tampak lebih kosong dari biasanya, tetapi Stallza tahu itulah ketakutan di mata mereka.

Stallza tidak peduli pada ketakutan di mata para hvyt itu. Stallza tidak peduli apakah mereka akan binasa begitu tubuh mereka membentur tanah. Tidak ada sedikitpun keinginannya menolong mereka yang secara langsung maupun tak langsung mendatangkan bencana pada para peserta. Dengan senang hati dia akan menghancurkan mereka semua di saat seperti ini seandainya dia punya banyak waktu. Tetapi waktunya tersisa lima menit lagi.

***

IV

Kabut hitam di depan Lan berputar-putar dengan cepat. Sekali lagi kabut itu memuntahkan seorang kesatria berbaju zirah hitam. Gadis itu tidak bisa melihat siapa kesatria yang melawannya karena sosok itu memakai ketopong hitam. Tetapi gadis itu menduga bila kesatria kali ini juga adalah spiritia, sama seperti dua kesatria lain yang telah berhasil dia kalahkan sebelumnya.

"Kenapa kalian memihak musuh?" tanya Lan pada kesatria di depannya.

"Kenapa tidak?" Suara dari balik ketopong itu adalah suara seorang wanita. Ada beberapa spiritia yang memiliki wujud seperti wanita, dan Lan mengenal sebagian besar dari mereka. Spiritia di depannya saat ini bukan salah satu dari spiritia yang dia kenal.

Kesatria berbaju zirah itu memunculkan dua cambuk berwarna biru di kedua tangannya dari udara kosong. Cambuk-cambuk itu memiliki banyak sekali duri-duri kecil di permukaannya. "Kuanggap kau tidak mengenalku," kata kesatria itu pada Lan, "tapi kurasa sudah tidak penting lagi untuk mengenal sosokku yang lama. Kali ini aku terlahir kembali. Inilah sosok asliku."

"Niobia, kan?" kata Lan. "Aku pernah membaca di dalam sebuah kitab tentang spiritia dengan cambuk biru. Tapi dalam kitab itu kau adalah spiritia yang baik. Kenapa kau malah seperti ini?"

"Aku tidak mendapatkan cahaya selama Argia, Ferra, atau bahkan si lemah Iodesa itu ada. Mereka selalu dan selalu mendapat kesempatan ke dunia manusia. Kau pikir spiritia lain tidak ingin mendapatkan kesempatan itu? Kau pikir tidak ada spiritia yang iri?" balas si kesatria.

"Aku baru tahu kalau ada spiritia yang menginginkan hal serendah itu," kata Lan. "Mungkin bukan masalah cahaya yang menolakmu. Mungkin karena kau sendiri yang membuat cahaya itu tidak dapat menyinarimu."

"Kau manusia, makhluk yang memperbudak kami sejak dari awal mula. Kau yang tidak tahu apa-apa tidak punya hak berbicara seolah-olah tahu segalanya mengenai kami," kata kesatria hitam. "Kau benar, namaku dulu adalah Niobia, prajurit yang tangguh yang mampu memperkuat senjata apapun. Tapi aku sudah membuang itu semua. Kini akulah senjata itu. Aku akan memperkuat diriku sendiri. Akan kurebut cahaya itu sendiri dan kulemparkan kalian ke kegelapan yang kualami!"

Kesatria hitam mengayunkan cambuk-cambuknya ke arah Lan. Namun Lan bergeming. Sang putri hanya menjentikkan jarinya tanpa melepaskan pandangan dari kesatria hitam itu. Sesaat setelah menjentikkan jari, dari belakang sang putri bersinar cahaya putih terang. Dari dalam cahaya itu muncul tangan-tangan tengkorak raksasa yang menepis cambuk-cambuk kesatria hitam dengan mudah.

"Ah, ternyata Calcis. Tengkorak raksasa itu memihakmu?" tanya si kesatria hitam.

"Bukan hanya dia saja," jawab Lan. "Bersamaku kini ada Chlora. Kau tahu apa yang akan terjadi jika kau melawannya, kan?"

 "Anak berisik itu ada denganmu?" Si kesatria hitam menggeram. "Kukira dia bersama pengendali yang satunya."

Lan tersenyum. "Berkat bayangan hitam yang mengaku sebagai Ventinis itu kami terpisah. Namun sebelum terpisah, aku sempat memanggil beberapa spiritia sehingga aku masih bisa bertahan. Kalau tidak seperti itu, aku tidak akan bisa menolong Nolan membuat kekacauan ini."

"Nolan. Ventinis yang agung menghasutnya untuk melawan si dewa konyol itu. Tetapi manusia konyol itu ternyata lebih cerdas dari itu," kata si kesatria hitam.

"Ventinismu itu tidak bisa membacanya? Masih yakin kalau dia makhluk yang agung?"

Si kesatria hitam menyambuk tanah dengan keras. Dari dalam tanah muncul ratusan cambuk biru berduri bagaikan akar yang bergerak liar menuju ke arah Lan. Tetapi cambuk-cambuk itu tidak sempat menyentuh Lan sama sekali karena Calcis dengan sigap menghancurkan semuanya dengan satu sapuan.

"Kau sudah memilih, ya?" Lan menjentikkan jarinya. Di depan Lan muncul cahaya hijau yang menjelma menjadi anak kecil berambut hijau dengan sayap-sayap transparan di punggungnya.

"Saatnya bekerja, nona?" tanya Chlora, gadis kecil yang muncul di depan Lan.

"Santai saja. Lawanmu Niobia," kata Lan. "Kau bisa bermain dengannya, kalau kau mau."

Chlora tertawa riang. "Kalau begitu aku akan bermain," ujarnya senang. Chlora mengepakkan sayapnya dan melesat ke arah kesatria hitam. Dari sayapnya menyebar debu-debu berkilauan.

Kesatria hitam tampak panik. Dia mengayunkan cambuk-cambuknya ke arah Chlora berkali-kali, tetapi gadis kecil itu lebih lincah dari ayunan cambuk-cambuk itu. Debu-debu bersama Chlora semakin dekat, cambuk di tangan kesatria hitam menjadi lebih sulit digerakkan. Kesatria hitam itu menggeram saat dia melihat debu-debu berkilauan dari sayap Chlora menempel ke cambuk-cambuknya dan membuat cambuk-cambuk itu lebih berat. Kesatria hitam melepas kedua cambuknya dan memutuskan untuk menghadapi Chlora dengan tangan kosong, namun Chlora mengelak dengan mudah. Chlora berputar-putar mengelilingi kesatria hitam bagaikan sedang menari, menebarkan debu-debu berkilauan yang membuat kesatria hitam menjadi pusing. Tawa, tarian, dan debu yang dikeluarkan Chlora membuat pandangan kesatria hitam berputar-putar. Perlahan-lahan tawa gadis kecil itu terdengar menggema dan menjauh. Beberapa menit kemudian kesatria hitam itu pun tumbang.

"Sudah tiga. Apa masih ada lagi?" tanya Lan pada gumpalan kabut hitam yang seak tadi berada di dekat arena pertarungannya.

"Tentu saja, nona. Tetapi untuk segala hal ada waktu yang terbaik," kata sebuah suara dari dalam gumpalan kabut hitam.

"Aku merasakan Stallza dan spiritia lainnya mendekat. Sebentar lagi kau akan kami kalahkan," kata Lan penuh percaya diri.

"Pria lemah itu hanya akan mendapatkan badan tanpa jiwa saat dia tiba di sini," kata suara dari dalam gumpalan kabut. "Aku memanggil kalian, para petarungku!"

Menjawab panggilan gumpalan kabut itu, di permukaan tanah muncul tiga buah lingkaran hitam. Dari dalam lingkaran-lingkaran itu muncul tiga sosok kesatria hitam lainnya. Berbeda dari Niobia, Land dapat dengan mudah mengenali ketiga sosok yang muncul di hadapannya saat ini.

"Urania, Protacto, dan Thorio. Tiga spiritia spesial. Seingatku Stallza tidak memiliki mereka bertiga," kata Lan. Sang putri segera memasang kuda-kuda saat melihat ketiga sosok kesatria itu muncul.

"Memang benar, tetapi mereka masuk bersama-sama dengan Stallza saat datang ke dunia ini," kata suara dalam gumpalan kabut. "Secara teknis mereka termasuk spiritia bawaan Stallza, meski dia sendiri tidak sadar akan hal itu. Tetapi mereka bertiga sejak awal tidak dikuasai siapapun dan hanya patuh padaku. Karena itu mereka adalah boneka terbaik untuk saat yang tepat ini. Kalian bertiga, hancurkan manusia rendah ini!"

Lan menjentikkan jarinya sekali lagi. Sosok Chlora dan Calcis menghilang. Sebagai gantinya, kini di depannya muncul tiga spiritia lain dalam posisi siaga. Seorang wanita berpakaian gaun emas sedang memegang kipas yang menutup mulut dan hidungnya. Sesosok patung hitam berwujud pria berkepala botak. Sesosok wanita yang memakai baju terusan dari sutra kuning dengan sepasang sayap elang di punggungnya.

"Carbia, Oxygia. Ciptakan dinding pelindung," kata Lan pada patung hitam dan wanita bersayap elang. "Dan Auria," katanya pada wanita berkipas, "lakukan spiritialis denganku."

Ketiga spiritia di depan Lan mengangguk mantap tanpa mengalihkan pandangan dari lawan mereka. Carbia, spiritia berbentuk patung hitam, segera berlari ke depan. Ketiga kesatria hitam yang muncul dari lingkaran hitam tidak tinggal diam. Mereka mencabut pedang yang tersampir di pinggang mereka masing-masing. Ketiganya berlari ke tiga arah berbeda. Tetapi gerakan mereka terhenti saat Carbia melompat dan menghantam tanah dengan kepalan tangannya. Tanah seketika retak dan terbelah tepat di depan para kesatria itu. Bersamaan dengan retakan itu, dari dalam tanah muncul tiga buah dinding hitam yang menjulang tinggi. Ketiga kesatria itu melompat mundur dan mencoba berlari ke balik dinding hitam yang muncul di depan mereka, tetapi dinding-dinding itu tetap mengejar mereka. Kesatria-kesatria hitam itu mencoba melompat, namun dinding-dinding yang menghalangi mereka semakin tinggi mengikuti lompatan mereka. Dinding-dinding itu mendesak ketiga kesatria hitam hingga akhirnya mereka terdesak dan tersudut. Ketiga kesatria hitam itu akhirnya terkurung oleh tiga tembok hitam yang mendesak mereka. Carbia mematahkan tangan kirinya dan melemparkan tangan itu ke atas kurungan yang tercipta. Begitu berada di atas kurungan itu, tangan kiri yang dilemparkan Carbia berubah menjadi sebuah dinding yang menyegel ketiga kesatria di dalam kurungan mereka.

"Satu masalah selesai," Oxygia membentangkan sayapnya, "saatnya mengurus gumpalan kabut hitam itu." Gadis bersayap elang itu mengepakkan sayapnya berkali-kali untuk menghasilkan angin besar. Dengan angin yang diciptakannya Oxygia berharap gumpalan kabut hitam yang terus menerus memunculkan kesatria hitam itu akan tercerai berai. Tetapi gumpalan kabut hitam itu bergeming.

Dari dalam gumpalan kabut hitam terdengar tawa terbahak-bahak. "Kau kira dengan meniupkan angin sepoi-sepoi ini aku akan kalah?" Gumpalan kabut hitam berputar-putar cepat di tempatnya. Udara di sekeliling gumpalan hitam itu perlahan berputar mengikuti gerakannya, hingga pada akhirnya terbentuk angin puting beliung yang melawan angin yang ditiupkan oleh Oxygia. "Kau lupa, aku adalah Ventinis. Kekuatanku lebih besar dari kekuatan unsur kecil sepertimu!" seru suara dari dalam gumpalan hitam. Angin puting beliung yang semakin membesar itu mulai bergerak maju. Di saat bersamaan, segel dinding hitam yang dibuat oleh Carbia retak di berbagai sisi. Lalu dalam sebuah ledakan yang dahsyat, dinding-dinding penyegel itu hancur lebur menjadi debu. Gelombang kejut dan angin puting beliung menghempaskan Lan dan ketiga spiritianya dari tempat mereka. Sementara ketiga kesatria yang muncul dari dalam segel dinding Carbia yang hancur tampak bagaikan bara yang menyala-nyala.

***

V

Seandainya bukan karena bantuan Nolan, Lan tidak akan mungkin selamat. Saat putri itu terdesak, Nolan berhasil mengaktifkan program di dalam laptop miliknya dan membuat distorsi dunia. Berkat berbagai anomali yang terjadi di dunia dewa merah, Nolan mendapatkan kesempatan untuk menggerakkan perintah-perintah penghancuran dunia itu.

Semua itu tidak akan terjadi seandainya Abby tidak memberinya petunjuk. Seandainya gadis hantu itu tidak menunjukkan profil peserta Stallza padanya, dia tidak akan menduga kesalahan kecil namun fatal yang dilakukan oleh makhluk merah yang mengaku paling cerdas sejagad itu.

"Kau ingin kembali? Kau bisa menjadikan peserta ini sebagai kunci untuk kembali ke duniamu," kata Abby saat pertama kali pertarungan dimulai. Sejak itu berkali-kali Nolan mencoba menghubungi Stallza, mulai dari potongan kertas yang dia munculkan setelah putaran pertama hingga akhirnya dia bisa bertemu dengan Stallza saat dia memulai rencananya.

 "Mengapa kau membantuku?" tanya Nolan pada Abby pada suatu kesempatan.

"Aku bosan dengan Thurqk," kata Abby kala itu. "Dia berlagak sebagai dewa, padahal dia bukan dewa sama sekali. Dunia aslinya sebenarnya hanya setengah dari dunianya saat ini. Tapi dia memaksa untuk membuatnya semakin besar. Dia menciptakan pulau-pulau sesuai dengan konsep dirinya. Dia bahkan menciptakan sebuah pulau yang mengendalikan seluruh dunia ini! Bodoh sekali!"

"Lalu mengapa kau menolongnya?" tanya Nolan.

"Karena dia berguna untuk mempercepat rencanaku," jawab Abby ringan.

"Apa kau memanfaatkan diriku juga? Apa rencanamu?"

Nolan ingat dengan jelas apa yang dilihatnya saat itu. Wajah datar Abby perlahan berubah menjadi menyeramkan. Hantu cilik itu menyeringai, memamerkan deretan gigi-gigi tajam yang tersembunyi di balik bibirnya. "Kau tidak ingin tahu kebenarannya, Manusia. Dan sebaiknya seperti itu. Sebaiknya kau menolongku membuat si bodoh itu melemah. Jika berhasil, kau pasti bisa kembali pulang ke duniamu yang konyol itu. Yang perlu kau lakukan hanya mengarahkan dan memberikan bantuan pada Stallza. Buat Thurqk melihatnya sebagai peserta yang luar biasa. Kau tidak perlu melakukan apa-apa selain itu," katanya. "Tapi kalau kau menolak, mungkin aku akan menghancurkan jiwamu beserta jasadmu yang kusimpan di tempat rahasia. Bagaimana? Ingin kembali ke duniamu?"

Nolan memutuskan membantu Abby.

***

Nolan memperhatikan pertarungan yang terjadi antara Lan dan sosok asli Abby dari layar laptop milik Thurqk—laptop yang dia akui sebagai miliknya saat meminta Lan mengambilkannya. Dia sedang menunggu. Dia mengarahkan kursornya ke sebuah tab dan mengaktifkan tab itu. Sebuah video lain muncul di samping video pertarungan Lan. Kali ini Nolan memperhatikan Stallza masih sibuk menghindari ribuan hvyt yang berjatuhan. Nolan menghela napas. Jika dia tidak bertindak, maka dia harus menunggu lebih lama lagi.

Nolan tidak pernah menduga kunci untuknya kembali ke dunia asalnya terletak pada peserta beralis mata tebal itu. Awalnya dia memperhatikan Stallza hanya karena dialah peserta yang paling tampak tidak menginginkan hadiah dari Thurqk. Tetapi saat dia melihat Stallza berhasil menjadi raja di pulau Ryax, Nolan mulai menaruh perhatian khusus. Nolan baru benar-benar menganggapnya penting setelah melihat data-data rahasia pada server yang tersimpan dari pulau Ryax.

Nolan berterima kasih kepada kecerobohan Thurqk, makhluk yang mengakui dirinya sebagai dewa. Karena kecerobohannya, sang dewa memberikan kecerdasan dan kecerdikan pada Nolan tanpa tahu apa yang ada di pikirannya. Nolan berpura-pura patuh, sambil menunggu waktu yang tepat untuk mengkhianatinya. Dan sekali lagi Nolan berterima kasih pada kecerobohan Thurqk yang menjadikan pulau Ryax sebagai arena pertarungan. Berkat itu dia mendapatkan akses yang sangat terbuka—meski untuk sementara—ke data-data rahasia yang disimpan oleh Thurqk. Saat akhirnya Thurqk sadar apa yang dia lakukan, Nolan sudah menguasai setengah dari Devasche. Nolan sudah mengacaukan arena pertarungan dan memberikan peluang besar untuk para peserta memenangkan pertandingan, meski tetap saja ada yang gagal. Nolan tahu rahasia terbesar Thurqk dan cara menghancurkannya. Sayangnya Nolan tidak punya waktu untuk mengakses program inti sang dewa.

Itulah rahasia terbesar sang dewa, bahkan rahasia seisi Devasche: seluruhnya hanya kumpulan program dan data. Tidak ada satupun yang nyata di dunia ini, bahkan para peserta yang ikut bukan diri mereka yang asli. Thurqk adalah sekumpulan program yang dirancang oleh sesuatu yang jauh lebih besar dan kompleks. Pulau Ryax, perwujudan Sang Raja, hanya sebagian kecil manifestasi dari perancang Devasche. Seperti halnya Thurqk dan para hvyt miliknya yang memanifestasikan kekuatan sang pencipta yang sebenarnya.

Nolan kembali mengarahkan kursornya ke video yang menayangkan Lan. Dia mengaktifkan video itu dan mendengarkan suara-suara yang terjadi di arena pertarungannya, namun perhatiannya tidak pada pertarungan itu. Dia lebih tertarik melihat sang putri dan sosok entitas yang melawannya.

Sang putri adalah anomali. Tidak seharusnya dia ada di sini. Sang putri bukan program, melainkan entitas murni. Sama seperti Stallza. Sang anomali kini bertarung dengan sosok pencipta yang membuat segala di dalam Devasche nyata, Abby—atau apapun nama aslinya. Sebuah entitas berbentuk kabut hitam yang menjadikan Thurqk sebagai bonekanya, memanfatkan kecerobohan dan kebodohan makhluk merah itu untuk mendatangkan banyak jiwa yang dipanennya. Dari data-data yang dia unduh dari server Ryax, Nolan mendapatkan video yang menunjukkan saat-saat entitas kegelapan itu mempengaruhi Thurqk membawa seorang manusia ke dunia ini—sang putri bernama Lan—demi mengancam seorang peserta untuk patuh padanya—Stallza. Dia melihat bagaimana Thurqk malah membuat batas antardunianya sendiri menjadi kacau dengan mendatangi dunia asal peserta itu—sesuatu yang jauh berbeda dengan ilusi yang dibuat untuk kepentingan pertarungan pertama—dan menculik kekasihnya. Nolan melihat betapa bodohnya Thurqk menganggap itu sebagai unpaya meningkatkan citranya. Padahal sesungguhnya itu adalah bagian dari rencana si entitas kegelapan.

Nolan masih tidak tahu apa yang diinginkan si entitas kegelapan. Tetapi Nolan bisa merasakan dan memprediksi kekacauan apa yang akan terjadi. Batas-batas dunia bisa saja saling tercampur. Dunia-dunia akan saling menghancurkan.

Termasuk dunia asalnya, Bumi.

Nolan menghela napas. Stallza masih jauh dari tempat pertarungan. Jika Nolan tidak melakukan apa-apa, Stallza akan terlambat. Jika Stallza terlambat, seluruh dunia akan binasa. Termasuk Bumi.

Nolan kembali mengetikkan baris demi baris perintah untuk program baru yang dibuatnya dengan meniru program pembentuk Devasche. Matanya sesekali memperhatikan video yang menayangkan Stallza.

"Sebentar lagi, Pahlawan. Sebentar lagi."

Nolan semakin mempercepat ketikannya dan akhirnya menekan tombol enter dengan keras untuk mengakhiri baris-baris perintahnya. Dia mengarahkan kursornya ke arah video yang menayangkan Stallza dan mengakitfkan video itu. Nolan tersenyum saat sesuatu yang bagus terjadi di tayangan video itu.

***

Stallza masih sibuk menghindari hvyt-hvyt yang berjatuhan saat tiba-tiba dia merasakan sesuatu terjadi pada dirinya. Para hvyt yang berguguran di sekitarnya tampak menjadi lebih lambat. Energinya yang seharusnya telah tersedot karena memanggil spiritia kembali pulih. Stallza merasa kecepatannya pun bertambah, melebihi dari kecepatan terbangnya saat menggunakan Hidro selama ini. Stallza tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi dia senang dengan semua yang dialaminya saat ini.

Dengan kecepatan bagaikan cahaya Stallza melewati para hvyt yang berjatuhan, bagaikan sedang menari di antara pilar-pilar yang diam. Stallza senang. Dia masih sempat sampai ke istana si dewa merah dalam waktu yang diberikan Abby.

***

Tiga sosok kesatria hitam yang tadinya dikurung Carbia dengan kekuatannya kini lepas dan membara. Panas menyebar keluar dari tubuh ketiganya, membuat segala yang berada di sekitar mereka terbakar tanpa nyala api sama sekali. Korban pertama mereka adalah Carbia yang terpanggang tak berdaya. Tubuhnya hancur menjadi onggokan debu yang tidak bisa bergerak lagi. Lan yang sudah bergabung dengan Auria—berspiritialis—mencoba mempengaruhi mereka dengan ayunan kipasnya yang mampu membuat musuh kehilangan keinginan bertarung, tetapi ketiga kesatria itu tidak terpengaruh sama sekali. Dengan langkah mantap mereka maju, menebas Oxygia yang mencoba bertahan dari panas yang mereka pancarkan. Satu lagi spiritia yang kalah. Tersisa Lan yang mulai panik.

Spiritia yang bersama Lan saat ini terbatas. Phosporosso kelelahan setelah bertarung dengan kabut hitam dan kesatria hitam yang dimunculkan kabut itu saat Lan memberikan waktu pada Nolan. Calcis dan Chlora bukan lawan yang bisa melawan ketiga kesatria yang berjalan tenang ke arah Lan. Sang putri tahu ada beberapa spiritia yang sedang menuju ke arahnya begitu mereka merasakan kehadirannya dalam bahaya, tetapi waktunya tidak cukup. Lagipula tidak ada Silic, sang spiritia cermin, yang bisa menyegel kekuatan ketiga kesatria itu di antara sekelompok spiritia yang sedang menuju ke sini.

Lan hampir kehabisan akal. Dia nyaris nekat menerjang ke arah ketiga kesatria yang membara itu dan mati terhormat daripada kalah begitu saja. Tetapi bayangan kesedihan yang akan dialami Stallza membuatnya urung.

"Biarkan aku bertarung!" seru Phosporosso dari dalam kantung baju Lan. Gadis itu bergeming.

"Hanya ini satu-satunya cara!" seru Phosporosso lagi.

"Pulihkan dirimu. Hanya itu yang perlu kau lakukan sekarang!" seru Lan. Matanya tidak lepas dari ketiga kesatria yang semakin mendekat. Panas dari tubuh ketiganya mulai terasa di kulit Lan.

"Aku adalah penjagamu," balas Phosporosso, "aku akan menolongmu bahkan jika aku harus hancur. Maaf jika aku tidak patuh."

Cahaya terang bersinar dari dalam kantung baju Lan. Kristal Phosporosso yang memancarkan cahaya terang itu melesat keluar dan menjelma menjadi sesosok pria dengan pakaian unik, satu sisi berwarna merah dan sisi lainnya berwarna putih.

"Kembali!" perintah Lan.

"Maaf, Nona. Kalau nona mati di sini, siapa yang akan mengurus tuan? Kehilangan dua pengendalihebat seperti kalian bukan sesuatu yang kami inginkan," balas Phosphorosso. Sebuah cahaya putih berpendar keluar dari dalam tubuhnya. Perlahan warna merah pada bajunya terhapus dan digantikan warna putih. Phosphorosso menutup mata dan menghela napas. Saat dia membuka kembali matanya, seluruh bagian merah di bajunya telah lenyap.

"Ayo, para bajingan. Berdansalah denganku," kata Phosporosso putih pada ketiga kesatria di depannya. Phosporosso mengubah kedua tangannya membentuk meriam dan menembak berkali-kali ke arah kesatria yang membara. Ketiga kesatria itu terpukul mundur beberapa langkah, namun mereka tidak mengalami luka sama sekali. Mereka malah mulai menyerang balik dengan mengayunkan pedang mereka dan memotong setiap bola-bola ledakan yang ditembakkan Phosporosso. Ayunan-ayunan pedang mereka tidak berhenti hanya dengan memotong bola-bola ledakan itu, namun ayunan pedang mereka menghasilkan gelombang panas yang melesat cepat ke arah Phosporosso.

"Berlindung!" seru Phosporosso pada Lan. Phosporosso menembakkan bola-bola ledakan ke arah gelombang panas itu dengan maksud mengacaukan serangan itu. Tetapi dia tidak berhasil sepenuhnya. Saat ayunan tebasan itu mencapai dirinya, Phosporosso berbalik dan membiarkan punggungnya terbakar.

"Sebaiknya kau berlindung, Nona. Aku tidak bisa menjagamu kalau kau terus berada di sini," kata Phosporosso.

"Bagaimana dengan—"

"Jika aku hancur pun aku masih bisa kembali," potong Phosporosso. "Lagipula kurasa Stallza-mu sudah dekat."

Lan mengerjap. Dia terlalu fokus pada pertarungan ini sampai lupa akan hawa keberadaan kekasihnya yang terasa semakin dekat.

***

VI

Tempat keberadaan Lan kini terlihat di mata Stallza. Demikian pula dengan tiga kesatria yang kini berpijar terang dan gumpalan asap hitam di belakang ketiganya. Stallza menyadadari ketiga kesatria itu sama seperti Arzaniko, hanya saja dia tidak menyangka ketiganya ada di tempat ini.

"Silic, Plumbina, tangani mereka," ucap Stallza tanpa mengurangi kecepatannya. Sekelebat bayangan hitam dan seberkas cahaya menyeruak dari kantung Stallza menuju tempat Lan dan Phosporosso berdiri. Dengan cepat bayangan dan cahaya itu bergerak memutari ketiga kesatria membara itu.

"Lan!" teriak Stallza senang. Gadis itu melihat ke arahnya dan tersenyum lebar.

"Tidak kubiarkan kalian bersatu!" Gumpalan hitam di belakang para kesatria yang membara berputar cepat dan melontarkan ribuan tombak besi ke arah Stallza. Saat Stallza menyadari itu, dengan cepat dia mengerem lajunya sendiri.

"Abby," Stallza memicingkan matanya saat melihat gumpalan hitam itu. "Aku sudah di sini. Jadi aku menang, bukan?"

"Bukan menang, tapi mungkin menang," balas gumpalan hitam. "Dan jangan memanggilku Abby lagi. Itu hanyalah persona semata, sebuah wujud pinjaman yang sduah tidak ada lagi. Aku adalah Ventinis, induk dari semua spiritia yang sebenarnya!"

Stallza tersenyum. Dia meletakkan tangan kanan ke dadanya. "Ventinis yang asli ada di sini. Dia berwarna putih, bukan hitam sepertimu," katanya.

"Hanya boleh ada satu yang asli," suara gumpalan hitam terdengar seperti geraman. "Yang lain harus mati."

Ketiga kesatria yang disibukkan oleh Plumbina dan Silic—bayangan hitam dan berkas cahaya yang melesat dari Stallza dan berputar-putar di sekeliling kesatria-kesatria itu—mengalihkan pandangannya ke arah Stallza. Mereka baru saja menerima perintah baru.

Tanpa mempedulikan gangguan kedua spiritia yang diperintah oleh Stallza, ketiga kesatria boneka Abby—si gumpalan hitam yang menyebut dirinya sebagai Ventinis—kini melompat ke atas. Sosok ketiganya melepaskan cahaya terang dan panas yang sangat menyengat ke sekelilingnya. Phosporosso menggendong Lan dan membawanya menjauh meninggalkan taman istana yang kini sepenuhnya hancur oleh kemampuan asli para kesatria itu.

"Kalian ingin melakukan Extracto? Tapi kalian tidak bisa mengatasi Plumbina, bahkan jika kalian semua bersatu," kata Stallza.

Cahaya dan panas yang memancar dari ketiga kesatria boneka semakin menjadi-jadi saat sosok ketiganya mulai melebur menjadi satu. Stallza sempat melihat ke tempat Lan dan tidak menemukan sosoknya. Untunglah dia sempat melihat Phosporosso berlari membawa pergi gadis itu dari tempat pertarungan ini sebelum dia menjadi panik.

"Plumbina, tahan mereka. Silic, kurung mereka dalam kristal," perintah Stallza.

Kelebatan bayangan hitam menjelma menjadi sosok Plumbina. Gadis berpakaian ketat serba hitam itu mengayunkan pedang hitamnya seperti yang dia lakukan pada Bromon. Pedangnya berubah menjadi debu hitam yang berputar mengelilingi sosok para kesatria yang berpijar itu. Perlahan tetapi pasti sosok para kesatria itu terbungkus dalam sebuah lingkaran hitam, hingga akhirnya debu hitam itu berhenti berputar dan mengeras. Tidak ada cahaya atau panas lagi yang terpancar keluar dari dalam bola itu.

"Sekarang giliranku," Silic membentangkan tangannya sambil memejamkan mata. Di depan tubuhnya tercipta puluhan kaca berbentuk segi enam dan segi lima yang terbang melesat menuju bola ciptaan Plumbina. Kaca-kaca itu menyusun dirinya sendiri mengikuti bentuk bola ciptaan Plumbina, hingga akhirnya terbentuk sebuah bola kaca yang membungkus bola ciptaan Plumbina.

Gumpalan hitam tampak gusar. Sosoknya berputar tidak karuan, seakan ingin melakukan sesuatu terhadap situasi yang tidak diharapkannya saat ini. "Kau pikir kau sudah menang saat menaklukkan mereka?!" teriak gumpalan hitam itu dengan gusar. "Aku Ventinis, seluruh spiritia adalah milikku!"

Secara tiba-tiba bola kaca yang terbentuk dari kombinasi Silic dan Plumbina tertarik ke dalam tubuh gumpalan hitam. Ketiga kesatria yang terlebih dulu dikalahkan Lan—Niobia, Tantalo, dan Vanadia—juga ikut tersedot ke dalam gumpalan hitam.

"Kupikir Niobia adalah spiritia yang baik," kata Silic.

"Aku juga tidak tahu kenapa dia dan dua spiritia lainnya memihak si Hitam," kata Stallza. Dia merasa tidak berdaya saat mencoba memanggil ketiga spiritia itu melalui telepati, namun ketiganya tidak menjawab sama sekali. Sama seperti yang terjadi pada Arzaniko, kekecewaan mereka terhadapnya telah membuat para spiritia itu memutuskan pergi dari Stallza.

"Lihat," Plumbina menunjuk ke sosok gumpalan hitam. Sosoknya bergolak, batas-batasnya mulai kabur. Bentuk gumpalan itu kini mulai tak lebih dari sekumpulan asap yang menari liar.

Stallza melihatnya dan mengerti apa yang terjadi. Dia tidak tahu datang dari mana pengetahuan itu, tetapi dia tahu si Hitam—julukannya pada sosok itu—sedang membuktikan pernyataannya.

Si Hitam sedang mencoba menjadi Ventinis.

***

Nolan tidak bisa duduk bersandar dengan tenang saat melihat perubahan situasi yang terjadi di halaman istana Thurqk. Apa yang terjadi di luar perhitungannya. Di dalam perhitungannya, saat Stallza dan Lan bertemu, keduanya akan membentuk sebuah pilar cahaya yang akan mengantarkan semua orang ke dunia masing-masing. Dia membayangkan peristiwa dahsyat seperti adegan-adegan film fiksi ilmiah yang ditontonnya di layar bioskop sendirian.

Tetapi pilar cahaya itu tidak terbentuk. Yang muncul malah sebuah pilar bayangan berwarna hitam yang menjulang hingga ke langit. Bersamaan dengan munculnya pilar itu, warna merah langit Devasche kembali menjadi pekat. Hvyt yang sempat Nolan kendalikan kini menunjukkan tanda-tanda kesetiaan, namun bukan untuk Thurqk. Nolan melihat beberapa ratus, bahkan mungkin ribuan hvyt yang berjalan mantam menuju pilar bayangan yang membalikkan program penghancuran diri yang dijalankan Nolan.

Nolan mengernyit. Dia harus segera bertindak atau segalanya akan terlambat. Devasche Vadhi sedang memulihkan dirinya.

***

Thurqk tertawa gembira saat merasakan kekuatannya kembali pulih. Dengan hati bergelora oleh perasaan penuh kuasa seperti itu dia menghancurkan setiap sudut ruangan dan tembok dan apapun yang berada di pandangan matanya. Puluhan hvyt yang seakan sadar dari sebuah pengaruh yang membuat mereka terdiam mematung kini lari tunggang langgang melihat sang dewa menjadi liar.

"Makhluk tidak berguna! Kalian menghalangiku!" teriak Thurqk. Puluhan bola api dia ciptakan di kedua telapak tangannya dan dilemparkannya ke arah para Thurqk tanpa henti. Thurqk merasa geli saat melihat bola-bola api itu menghantam punggung para hvyt itu dan menceraiberaikan tubuh mereka.

"Seperti itu! Musnahlah kalian! Hancurlah kalian!" serunya. Thurqk baru berhenti saat melihat seluruh hvyt yang berada sejauh matanya memandang telah habis. Dia kembali tertawa. "Belum cukup," katanya. "Belum apa-apa! Aku ingin pertarungan lebih banyak lagi! Aku ingin darah!" Thurqk menjentikkan jarinya. Di tempat lain, sesuatu sedang terjadi.

***

Nolan terperanjat saat mendengar bunyi sesuatu yang retak di belakangnya. Dia menoleh. Di belakangnya terdapat sebuah tabung besar dengan puluhan kristal jiwa dari para peserta—kecuali kristal milik Yvika, Claude, dan Claudia—melayang-layang di dalamnya. Tadinya mereka melayang dengan tenang, namun kali ini mereka tampak begitu liar di dalamnya.

Keberadaan tempat penyimpanan kristal jiwa telah lama diketahui Nolan tetapi tempat penyimpanan itu sering dipindah-pindah oleh Thurqk. Nolan beruntung bisa mengakses tempat ini setelah dia berhasil membongkar pondasi dasar dunia Thurqk. Tempat ini adalah tempat persembunyian terbaik, apalagi dengan puluhan hvyt yang masih berada dalam kendalinya berjaga di luar pintu ruangan. Tetapi apa yang terjadi saat ini di luar perhitungannya.

Beberapa kristal di dalam tabung besar itu mulai membentuk wujud-wujud pemiliknya. Sebentar lagi tabung penampung itu pecah dan mereka akan kembali lepas. Nolan ingat banyak di antara mereka yang tidak segan-segan membunuh manusia manapun yang mereka temui. Dan jika sampai mereka melihatnya, Nolan yakin sekali kalau mereka akan mengincarnya.

Nolan bertindak cepat. Dia mengambil langkah yang sangat beresiko, namun mungkin akan memberikannya peluang untuk bertahan hidup. Nolan mengakses kunci pengaman tabung dan membiarkan tabung itu terbuka. Dengan cepat tangannya menyambar beberapa kristal yang masih tampak tenang dan mengantunginya. Dia bergegas ke laptop yang berada di atas meja tak jauh dari tabung itu. Dengan lincah jemarinya menari di atas keyboard laptop milik Thurqk itu, memasukkan program yang akan memindahkannya dari tempat itu menuju tempat lain yang dipikirnya aman.

Tubuh Nolan menghilang dari ruangan itu bersamaan dengan lepasnya seorang peserta. Di tempat yang lain, pada saat yang bersamaan dengan menghilangnya Nolan, Stallza dan Lan pun menghilang dari tempatnya.

***

Thurqk tertawa gembira saat melihat jiwa para peserta yang dipanggilnya kini berlutut di hadapannya. Dia tahu ada beberapa peserta yang tidak berada di hadapannya saat ini. Tetapi bagi Thurqk jumlah yang tidak seberapa itu hanya sesuatu yang remeh dibandingkan dengan pasukan barunya.

"Pasukanku! Aku memutuskan untuk menghadiahi kalian kesempatan kedua ini. Kalian sekarang akan hidup kembali sebagai makhluk terkuat ciptaanku! Tetapi kalian harus patuh padaku dan mengikuti semua perintahku. Apa kalian setuju?" seru Thurqk.

"Setuju!" seru para peserta serempak.

"Bagus! Tugas pertama kalian adalah mencari Nolan! Bawa dia ke hadapanku hidup ataupun mati!" seru Thurqk pada para prajurit barunya. "Dan juga cari Abby. Segera laporkan padaku saat kalian tahu di mana dia berada."

Para prajurit baru Thurqk dengan segera berdiri. Di saat bersamaan tubuh mereka mengalami perubahan. Kulit mereka menjadi merah dan mata mereka menjadi hitam, persis seperti Thurqk. Mereka menyeringai seperti dewa yang mereka patuhi dan segera mengangguk paham atas perintahnya.

Meski sosok mereka mengalami perubahan, kekuatan dan kemampuan mereka sebagai peserta masih sama. Mereka tidak membuang waktu untuk tinggal lebih lama di ruangan di mana Thurqk memanggil mereka. Tanpa diperintah beberapa peserta membentuk kelompok dan mulai pergi mencari, sementara lainnya dengan percaya diri menolak untuk bergabung dan memutuskan untuk pergi sendiri-sendiri.

Thurqk tertawa puas. "Seharusnya aku melakukan ini dari dulu. Dibandingkan dengan para hvyt, jiwa-jiwa makhluk hidup yang sebenarnya memiliki kualitas yang terbaik," katanya. Matanya menatap nyalang ke seluruh penjuru ruangan. Tidak ada satupun hvyt yang bisa dia bunuh saat ini. "Aku butuh jiwa. Aku harus membunuh hvyt dan mengambil kembali jiwa mereka!" Sang dewa merah berlari keluar ruangan bagaikan binatang yang lepas kendali.

***

Stallza dan Lan tidak tahu apa yang terjadi, namun kini mereka tidak berada di halaman istana Thurqk lagi. Kini mereka kembali di ruangan penjara bawah tanah. Tetapi berbeda dengan penjara bawah tanah yang pernah mereka lihat, ruangan penjara ini tampak lebih terang dengan adanya empat suluh yang menerangi keempat sudutnya. Di depan pintu terdapat satu hvyt tak bersayap yang menjaga. Begitu melihatnya, Stallza segera mengeluarkan belati dan berlari ke arah hvyt itu.

Begitu melihat Stallza bermaksud membunuhnya, hvyt yang diincar Stallza segera bersujud dengan muka sampai ke tanah. "Saya mohon jangan lakukan itu, Tuan Stallza," pinta hvyt itu.

Stallza berhenti, namun dia tidak melepaskan kesiagaannya. "Apa yang kau lakukan?"

"Saya di sini untuk mengantar Tuan dan Nona menuju tempat tuan saya," kata hvyt itu.

"Maksudmu Thurqk?" tanya Lan dengan gusar. "Silakan saja. Biar kami habisi saja dia saat ini juga!"

"Meskipun saya juga ingin itu terjadi, namun sayang bukan untuk itu saya di sini," kata hvyt yang masih bersujud itu. "Saya di sini untuk mengantar Tuan dan Nona untuk pergi ke tempat Tuan Nolan, tuan saya yang baru."

Stallza mengernyit. "Nolan? Pria yang kakinya buntung dan nyaris tidak bisa berbicara itu?" Itulah Nolan yang Stallza kenal, beberapa saat sebelum dia ditarik keluar oleh hvyt yang membawanya ke atas hutan rachta.

"Tuan Nolan sekarang sudah pulih berkat kecerdasannya dalam mengakses program yang dimiliki Thurqk," kata hvyt.  "Sekarang Tuan Nolan menunggu kalian di ruangan lain."

"Kenapa bukan dia yang datang ke tempat ini?" tanya Stallza.

"Tuan Nolan harus melakukan sesuatu dan tidak bisa meninggalkan laptopnya sekarang ini," jawab hvyt.

"Kurasa dia bisa dipercaya," kata Lan. "Lihat, dia berbeda dari hvyt biasanya. Warna kulitnya kurang merah. Matanya juga tidak sehitam lainnya. Dan dia tidak punya cakar dan sayap. Dia tidak punya senjata apa-apa."

"Tapi…"

"Kau bisa menghabisinya kalau dia berani melawan," kata Lan.

"Saya tidak akan melawan," kata hvyt dengan suara gemetar.

Stallza menghela napas. "Baiklah," katanya. "Setidaknya dengan ini aku bisa tahu apa yang sedang terjadi di sini."

Hvyt di depan Stallza berdiri. "Akan saya jelaskan apapun yang Tuan Stallza ingin tanyakan," katanya.

***

Hvyt berwarna pucat berjalan di depan Stallza dan Lan. Sikapnya bagaikan seorang pelayan yang bertingkah laku dan berbicara dengan sopan.

"Yang terjadi sekarang adalah rencana dari Tuan Nolan. Beliau sudah berhasil mengakses menguasai setengah dari dunia Thurqk. Beliau juga membebaskan kami dari kendali Thurqk yang jahat," kata hvyt menjelaskan.

"Bukannya kalian dibuat oleh Thurqk?" tanya Stallza.

"Kami bersal dari kumpulan energi yang disusun membentuk nyawa. Jika kami mati, nyawa kami akan masuk ke tubuh siapa yang membunuh kami. Beberapa hvyt yang Tuan Stallza bunuh mengalami hal yang sama, dan karena itulah kekuatan Tuan bisa pulih dengan mudah," kata hvyt. "Thurqk hanya mengikatkan nyawa itu ke dalam boneka buatannya. Lalu terciptalah hvyt. Tapi hvyt tidak lebih dari cadangan energi Thurqk."

"Maksudnya?" tanya Lan.

"Jumlah energi yang ada di dunia ini terbatas. Untuk sejumlah sihir yang digunakan Thurqk, ada sejumlah energi besar yang harus dikeluarkan. Untuk menjaga eksistensinya sendiri, Thurqk menghabisi para hvyt yang melayaninya secara berkala," kata hvyt.

"Apa yang terjadi dengan energi yang terlepas setelah dia menggunakan sihirnya?" tanya Stallza.

"Energi itu akan kembali ke alam, lalu dia akan mengolahnya kembali menjadi nyawa. Dia juga akan memberikan boneka pada Thurqk. Thurqk hanya menyatukan semuanya saja," jawab hvyt.

"Dia?" tanya Stallza lagi.

"Maksud saya Abby," kata hvyt. "Dialah dewa sebenarnya di dunia ini."

***

Informasi mengenai Abby membuat segalanya jelas untuk Stallza. Lan masih bertanya pada hvyt yang sopan itu tentang banyak hal, tetapi Stallza sudah tidak mendengarkan lagi. Pikirannya sedang menimbang berbagai kemungkinan, dan kemungkinan yang makin menguat membuatnya semakin percaya bahwa dia tidak pernah pergi dari dunianya.

"Ada apa?" tanya Lan.

"Kita sudah sampai," kata hvyt sambil membungkuk hormat pada Lan dan Stallza. "Di balik pintu ini Tuan Nolan menunggu kalian."

Setelah membungkuk hormat sekali lagi, hvyt itu pergi meninggalkan Lan dan Stallza sendirian. Di depan keduanya terdapat sebuah pintu kayu dengan pahatan timbul yang indah. Sangat berkebalikan dengan keadaan dinding batu kusam nan berlumut di sekitarnya.

"Lan," kata Stallza.

"Ya?" balas Lan.

"Mungkin ini terdengar gila," Stallza terdiam sesaat, "tapi sepertinya kita tidak pernah meninggalkan Ventinis. Dan untuk memastikan itu, aku akan menanyakannya pada orang yang bernama Nolan itu."

***

VII

Ruangan di balik pintu kayu ternyata lebih mencengangkan. Di balik pintu itu tidak ada batu-batu kasar berlumut yang dingin. Di baliknya terdapat sebuah ruangan luas, bahkan lebih luas dari ruangan penjara yang sebenarnya. Semua dindingnya berwarna putih, dengan lantai terbuat dari pualam. Sebuah sumber cahaya ada di langit-langit. Stallza tahu namanya adalah lampu, sesuatu yang mirip dengan sumber cahaya yang ada di dunia Collete yang pernah dia masuki. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah meja dan seorang pria sedang duduk menghadap meja itu. Tangannya sibuk melakukan sesuatu yang tampak seperti kotak tipis. Stallza menduga itulah yang bernama laptop.

"Jadi kau benar-benar pulih?" kata Stallza pada orang yang sibuk dengan laptopnya itu.

"Benar," kata Nolan. Dia tidak melepaskan pandangannya dari layar laptop. "Silakan mendekat. Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan pada kalian. Berikan aku sedikit waktu untuk menyelesaikan program ini. Kalau tidak, semua rangka dunia ini akan pulih dan semuanya akan percuma."

Tidak ada satupun yang Stallza mengerti dari perkataan Nolan. "Kau tahu semuanya, kan?" tanya Stallza. "Kalau kau tahu semuanya, maka seharusnya kau bisa memberitahuku sesuatu."

"Dan apa yang ingin kau ingin tahu, Pahlawan?"

"Pertama, aku tidak tahu mengapa kau menyebutku sebagai pahlawan. Aku bukan pahlawan. Kedua, aku ingin memastikan satu hal," Stallza menarik napas panjang, "apa dunia ini sesungguhnya adalah Ventinis?"

Jari-jari Nolan berhenti. "Kau sudah tahu sejauh itu?" pria berkacamata itu tersenyum. "Berarti aku tidak perlu menjelaskan dari awal," tangannya kembali mengetik cepat sebelum menghantam tombol 'enter' dengan keras untuk mengakhirinya. "Yak, selesai!" serunya puas.

"Apa yang kau lakukan sebenarnya?" tanya Lan.

"Ini adalah program. Pengetahuan dari duniaku. Aku tidak paham bagaimana cara Abby, ah, bukan Ventinis Hitam sampai tahu perkembangan teknologi di duniaku dan mengadopsinya menjadi dasar dunia ini," kata Nolan.

Nolan melihat sekilas dan mendapati para pendengarnya tidak mengerti apa yang dia katakan. "Ini memang tidak masuk akal untuk kalian, tapi ketahuilah, semua ini nyata," katanya.

"Jelaskan," kata Stallza.

"Baiklah. Pertama, kau adalah pahlawan karena keberadaanmu mengacaukan dunia ini. Peraturan utama dunia ini adalah tidak ada siapapun yang masuk ke dunia ini dalam keadaan hidup. Tetapi secara teknis kau tidak pernah mati. Nyawamu tidak terpisah dari tubuh fisikmu, bukan?" jelas Nolan.

"Lan malah ditarik hidup-hidup ke dunia ini," kata Stallza.

Nolan mengangguk setuju. "Memang benar. Thurqk itu terlalu bodoh mengikuti rencana Ventinis Hitam… makhluk yang kalian lawan tadi, maksudku. Dia hanya dimanfaatkan untuk membuat pertandingan ini, menarik jiwa-jiwa dari dimensi lain, dan memberi makan pada Ventinis Hitam. Keberadaan Lan sebenarnya untuk melemahkan semangatmu. Jika kau mati, maka si Ventinis Hitam akan bebas menguasai Ventinis Putih yang kau miliki. Jadi semuanya tergantung padamu," jelas Nolan.

"Kenapa dia butuh banyak jiwa?" tanya Lan.

"Karena energi yang ada di tempat ini terbatas. Semua ini adalah energi yang didaur ulang oleh si Ventinis Hitam sendiri. Tidak akan mungkin dia menjalankan rencananya hanya dengan energi seperti itu. Beda halnya jika dia bisa menghancurkan nyawa makhluk-makhluk kuat lainnya untuk menjadi kekuatannya sendiri.

"Saat si Ventinis Hitam butuh kekuatan, dia bertemu dengan sesosok makhluk kerdil. Makhluk itu sekarat, jadi si Ventinis Hitam membunuhnya dan membentuk kembali nyawa makhluk itu menjadi Thurqk. Dia memberikan sedikit kekuatan pada Thurqk lalu meninggalkannya. Dia mengamati saat Thurqk mulai membentuk dimensi baru dengan kekuatan yang diberikan padanya dan menciptakan sebuah dunia. Saat dunia itu baru terbentuk, tidak ada apa-apa di dalamnya."

Nolan menarik napas sejenak sambil menyandarkan punggungnya yang tegang ke kursi. "Ada sesosok jiwa yang tersesat di alam antardimensi. Dia bernama Abby. Ventinis Hitam menangkapnya dan menjadikannya wadah. Tetapi Ventinis Hitam adalah penumpang yag mematikan. Dia menghancurkan wadahnya dari dalam sampai akhirnya menguasai sosok itu sepenuhnya. Abby inilah yang masuk ke dalam dunia yang baru dibentuk Thurqk. Dia membantu Thurqk dengan melepaskan seluruh energinya dan membentuknya menjadi gumpalan-gumpalan nyawa, jiwa-jiwa tanpa tubuh. Tentu saja Thurqk tidak tahu itu. Thurqk melihatnya sendiri dan paham saat melihat jiwa-jiwa ini bisa digunakan seandainya dia punya wadah."

"Abby juga menyediakan wadah untuk Thurqk," kata Lan mengulang informasi yang dia dengarkan dari hvyt sopan yang mengantarnya pada Nolan.

Nolan mengangguk. "Memang demikian adanya. Si Ventinis Hitam memiliki banyak cadangan boneka kosong. Kau pasti sudah diberitahukan oleh Ventinis Putih mengenai sejarah para spiritiamu, kan? Mereka adalah makhluk bentukan dari intisari energi alam. Kau pasti sudah tahu dari Ventinis Putih siapa yang membuatnya," kata Nolan pada Stallza.

"Manusia bersayap," kata Stallza. "Aku tidak pernah tahu mereka ada."

"Karena mereka semua sudah punah," kata Nolan. "Saat Ventinis yang asli terbelah menjadi Ventinis Hitam dan Ventinis Putih, mereka menjadi dua sosok yang saling bertolak belakang. Ventinis Putih ingin melindungi, tetapi dendam dari Ventinis yang asli berada pada Ventinis Hitam. Dendam itu menuntut untuk dibalaskan, bukan hanya pada makhluk yang membuat mereka ada, tapi pada makhluk tidak bersalah yang ada di dunia bawah."

"Ventinis yang dikenal manusia adalah Ventinis yang berubah menjadi spiritia-spiritia, kan?" tanya Lan.

Nolan mengangguk. "Dunia kalian ini menarik. Bangsa-bangsa bersayap itu bahkan bisa menciptakan kehidupan dengan mengambil bentuk energi murni alam. Luar biasa! Kalau di duniaku, itu dianggap dosa, karena hanya ada satu yang boleh melakukan itu," katanya.

"Dewa?" tanya Stallza.

"Seperti itulah," jawab Nolan. "Biar kuselesaikan ceritaku. Terlalu lama di sini tidak begitu baik untuk keadaan kita. Seluruh manusia bersayap dibunuh oleh kekuatan Ventinis Hitam. Makhluk itu mengisap seluruh intisari kehidupan mereka dan menyisakan tubuh-tubuh tanpa jiwa. Inilah boneka-boneka yang diserahkannya pada Thurqk. Jadi intinya Thurqk hanya membentuk kembali manusia-manusia bersayap yang telah dibunuh oleh si Ventinis Hitam."

Stallza tertawa. "Jadi selama ini memang aku tidak pergi jauh dari Ventinis. Dunia ini sesungguhnya adalah Ventinis, dunia asalku. Benar, bukan? Makanya di babak pertama bukan duniaku yang menjadi tempat bertarung," katanya.

"Ya dan tidak," kata Nolan. "Ya, kau bisa mengatakan kau tidak pergi jauh dari Ventinis. Tapi ini sendiri bukan Ventinis. Ini adalah sebuah dunia baru. Bayangkan seperti ini," Nolan mendehem, "lihat bayangan kalian sendiri. Bayangkan kalau bayangan kalian itu adalah gerbang. Di balik bayangan kalian terdapat sebuah dunia sendiri, sesuatu yang berbeda dengan dunia kalian. Kalian tidak bisa melihatnya, bukan? Tetapi dia ada di sana. Hanya saja kalian tidak bisa melihatnya," kata Nolan.

Stallza dan Lan mengernyit. Nolan hanya bisa menghela napas melihat penjelasan panjang-lebarnya tidak dipahami.

"Intinya, kalian ada di dalam bayangan Ventinis, dunia asal kalian. Sangat dekat, namun juga sangat jauh. Sekarang di mana kalian ingin memilih tinggal?" tanya Nolan.

***

"Kita tidak punya waktu," kata Nolan tiba-tiba. Beberapa saat sebelumnya laptopnya mengeluarkan bunyi-bunyi pendek berulang. Dia segera menyambar kursi dan duduk, kembali sibuk dengan tombol-tombol di papan kunci laptop itu. "Thurqk kembali bangkit dan kini dia memiliki pasukan baru. Ah, pantas saja. Dia membangkitkan jiwa-jiwa yang sudah kalah."

"Mereka semua? Itu lebih dari lima puluh orang!" kata Stallza. "Seandainya aku bisa memanggil semua spiritia yang masih memihak kami."

"Sebenarnya bisa," kata Nolan. "Kau ingat para spiritia sempat lepas kendali dan bisa mewujudkan diri mereka tanpa bantuan sebagian eksistensimu? Seluruh dunia ini tercipta dari energi yang sama dengan dunia mereka. Jadi sebenarnya kau bisa memanggi semua spiritiamu yang bisa kau panggil."

"Apa tidak beresiko?" tanya Lan.

"Aku sudah membuktikan perkataanku pada kalian," jawab Nolan. "Aku tidak bertaruh pada apa yang tidak pasti. Yah, bisa dikatakan dewa yang kupuja melarangku bertaruh."

"Dewa yang aneh," kata Stallza.

Nolan mengedikkan bahu dan kembali menatap layar laptopnya. "Setidaknya aku masih sempat merebut beberapa kristal dari ruang penyimpanan. Mereka adalah jiwa-jiwa peserta yang tidak terpengaruh secara tiba-tiba oleh kekuatan baru Thurqk." Nolan mengambil sebuah kotak kecil dari dalam kantung celananya ke atas meja dan segera kembali mengetik. "Di dalam sini ada beberapa kristal dari jiwa-jiwa itu. Kurasa kalian bisa membangkitkan mereka seperti kalian membangkitkan para spiritia. Meski menurutku itu akan menghabiskan eksistensi kalian, setidaknya kalian bisa menggunakan mereka melawan peserta yang dibangkitkan Thurqk dan juga dua peserta yang masih tersisa," katanya.

Lan mengambil kotak itu dan membukanya. Di dalam kotak itu terdapat sepuluh kristal beragam bentuk dan warna. "Sepuluh," dia tertawa kecil. "Jika kita membagi mereka, kita bisa melakukannya," katanya pada Stallza.

Stallza tersenyum. Dia mengelus lembut rambut Lan. "Semoga mereka tidak menghabiskan eksistensimu," katanya lembut.

"Demikian juga dirimu," balas Lan nyaris berbisik.

"Ah, permisi. Bukannya ingin mengganggu. Tapi masih ada satu orang di sini, dan dia sendirian," kata Nolan. Stallza dan Lan segera saling menjauhkan diri dengan kikuk. "Kalian bisa bermesraan saat kembali ke dunia kalian. Jadi kalian jadikan saja itu sebagai tujuan perjuangan. Setuju?"

Stallza dan Lan mengangguk.

"Bagus," kata Nolan. Dia menekan tombol 'enter' dengan cepat. "Aku sudah menekan pengaruh Thurqk untuk sementara. Tapi sebagai gantinya tempat ini sudah ketahuan olehnya. Sekarang dia dan beberapa peserta sedang terbang ke sini." Nolan menghela napas panjang. "Kuharap gerbang itu segera terbuka."

"Gerbang?" tanya Stallza.

"Gerbang antardunia. Jika terjadi benturan energi, maka gerbang itu akan terbuka. Kau ingat mengenai Forneus yang kembali ke dunianya? Seperti itu gerbang yang kukatakan," kata Nolan. "Aku ingin pulang ke duniaku, sama seperti kalian."

"Kalau dua energi berbenturan, maksudmu adalah energi dari Ventinis Hitam dan Ventinis Putih?" tanya Lan.

"Begitulah," jawab Nolan.

"Para peserta itu dibangkitkan oleh Thurqk. Energi Thurqk dari si Ventinis Hitam. Kalau kami menghancurkan mereka, mereka akan melepaskan energi itu dan akan terjadi benturan," kata Stallza.

"Begitulah," kata Nolan.

"Lalu bagaimana dengan nasib jiwa-jiwa itu?" tanya Lan.

Nolan diam sesaat. "Sebenarnya mereka semua sudah mati. Secara teknis. Jika kalian menghancurkan mereka, kalian menghancurkan pengikat yang menahan jiwa mereka di sini. Menurutku seperti itu. Meski aku tidak yakin, tapi sepertinya layak untuk dicoba," katanya.

"Ayo kita coba," kata Lan. Dia mengambil lima kristal dari dalam kotak dan memberikan sisanya pada Stallza. "Aku duluan."

Lan menyalurkan kekuatannya pada kristal-kristal di tangannya seperti saat dia memanggil para spiritia. Kelima kristal itu bereaksi, bergetar, dan melesat keluar dari tangannya menuju ke lantai. Beberapa saat kemudian kelima kristal itu berubah menjadi lima orang yang sudah dikenal Stallza.

"Collete, Lucia Chelios, Volatile, Carol, dan Luna. Syukurlah kalian berada di pihak kami," kata Stallza.

"Kami ini tidak terikat pada kalian, ya?" kata Lucia Chelios dengan ketus. "Kami akan melakukannya dengan cara sendiri. Lagi pula kami ini petarung." Gadis itu menepuk dadanya dengan bangga.

"Ohohon. Aku bangga kau bertahan sampai sekarang, Monsieur Stallza. Aku akan membantumu dengan senang hati," kata Collete.

"Jadi kau yang jadi raja?" Carol berdecak. "Seharusnya aku, kan?"

"Terima saja kalau sudah kalah," kata Volatile.

"Yang kalah di babak pertama tidak perlu banyak bicara!" balas Carol.

"Sudah, sudah. Kita sekarang berada di kelompok yang sama," kata Luna. "Sekarang kita harus menghadapi peserta lain yang sedang menuju ke sini, benar?"

"Memang seperti itu," kata Nolan. Pandangan kelima peserta beralih padanya. Mereka menatapnya seolah tidak menyangka ada orang lain di sana. "Ah, hawa keberadaanku sepertinya terlalu seikit, ya?" katanya dengan suara pelan.

"Di mana mereka semua?" tanya Lucia Chelios. Dia mulai mengunyah permen karet yang diambilnya entah dari mana.

"Mereka di depan gerbang masuk. Sekitar lima puluh meter di atas kita. Para hvyt bawahanku menahan mereka selama mungkin," kata Nolan.

Lucia Chelios menyeringai. "Bagus sekali. Kalau begitu tunggu apa lagi?"

"Kalian tidak perlu ke atas dengan menghancurkan langit-langit atau berlari. Aku akan memindahkan kalian ke atas. Bersiaplah untuk sedikit guncangan," kata Nolan sambil kembali mengetikkan perintah pada laptopnya.

"Guncangan para pria di tempat asalku lebih terasa dari semua guncangan yang kualami di sini," kata Lucia Chelios sambil menyeringai.

"Mesum," balas empat peserta lain yang dipanggil bersama-sama dengan Lucia Chelios.

"Kalian para gadis yang malang," balas Chelios.


"Sebelum kalian berkelahi di sini, akan kukirim kalian keluar. Bertarungkah di sana," kata Nolan. Dia menekan tombol 'enter' dengan cepat. Di saat bersamaan di bawah kaki kelima peserta yang dipanggil Lan muncul lingkaran cahaya yang menelan mereka secara perlahan.

"Kami pergi dulu. Akan kami buka jalan untuk kalian," kata Luna sopan pada Stallza dan Lan.

Lingkaran cahaya di lantai menghilang saat sosok kelima peserta itu sudah tenggelam ke dalamnya.

Stallza mengambil kelima kristal yang tersisa. Dia menyalurkan energinya kepada kelima kristal itu. Namun berbeda dari yang lain, satu kristal di tangannya menyedot banyak sekali energi. Stallza nyaris kehabisan energi dan ambruk, membuat Lan menyangga tubuhnya yang goyah.

"Aku tidak apa-apa," kata Stallza pada Lan. "Hanya saja ada yang menyedot energiku terlalu banyak."

Kelima kristal itu berubah menjadi lima sosok peserta. Empat dari mereka dikenali oleh Stallza. Nemaphilia yang tampak tak acuh. Ravelt yang tampak tidak peduli. Emils yang sedikit terkejut karena kembali bisa bergerak. Baikai yang tampak biasa-biasa saja. Lalu ada seorang lagi sosok peserta berkepala plontos dengan banyak rajah di wajahnya. Sosoknya tinggi melebihi semua orang di dalam ruangan. Stallza mengernyit. Dia tidak pernah melihat sosok ini sebelumnya.

"Aku adalah Kolator," kata sosok itu sebelum Stallza sempat bertanya.

***

VIII

Pertarungan di atas ruang bawah tanah bukan masalah yang sulit untuk kelompok yang dipanggil oleh Stallza dan Lan. Semua karena sebagian besar dari peserta dan hvyt yang menyerang—jumlah total mereka berjumlah puluhan ribu—dikalahkan dengan mudah oleh satu orang saja.

"Puja Kolator ajaib!" seru Lucia Chelios. Dia sibuk menghancurkan kepala beberapa hvyt, tetapi itu tidak membuatnya abai akan apa yang dilakukan Kolator. "Kalau begini pekerjaan ini akan mudah!"

Kekuatan Kolator adalah manipulasi energi. Dia bisa membuat siapapun dalam radius beberapa ratus meter kehilangan nyawa mereka dan membeku tiba-tiba. Beberapa peserta seketika itu juga mati saat Kolator menyita nyawa mereka. Sementara para hvyt yang mencoba menyerangnya bersama-sama terpotong secara misterius. Semua itu dia lakukan tanpa bergerak sedikitpun.

"Aku tidak bisa membayangkan kalau dia ada di pihak musuh," kata Baikai. "Pantas saja Stallza kehabisan energi seperti itu."

"Kalau seperti ini, segalanya akan mudah," kata Luna.

Tetapi dugaan gadis berambut perak itu tidak terjadi. Saat para hvyt dan peserta-peserta sudah tumban, satu-satunya makhluk yang masih tersisa akhirnya bergerak. Dia telah cukup makan dari jiwa-jiwa peserta yang kembali padanya.

Thurqk bangkit dan mulai mengamuk. Dimulai dengan memenggal Kolator dengan mudah.

***

Stallza dan Lan tidak berharap akan pertarungan yang mudah, tetapi saat mereka dikirim ke atas oleh Nolan, medan pertempuran tidak menyisakan banyak hal. Tidak ada hvyt atau peserta yang menyerang. Demikian pula para peserta yang dipanggil oleh mereka berdua.

Di depan mereka hanya ada Thurqk dengan ukuran raksasa sedang berongkok dan menatap mereka.

"Kita berbagi spiritia," kata Stallza. "Mereka juga sudah setuju untuk mematuhi perintahmu."

Lan mengangguk setuju. Matanya tak lepas dari sosok raksasa di depannya. "Tidak kusangka dia bisa sebesar ini," katanya.

"Apa kabar? Sudah puas main-main?" Thurqk menyeringai. Sesaat kemudian tangannya yang besar bergerak cepat ke arah Stallza dan Lan.

Lan memanggil Calcis, kerangka tulang raksasa yang menahan serangan Thurqk, namun spiritia itu hanya bisa menahan serangan Thurqk untuk sementara. Hanya untuk membuat Stallza dan Lan melarikan diri.

"Kata si kacamata di bawah kita bisa memanggil sebanyak yang kita inginkan?" tanya Stallza.

"Tapi tidak ada jaminan itu akan berhasil," kata Lan.

"Benar! Itu tidak akan berhasil! Kalian semua adalah boneka buatanku, tidak mungkin kalian akan berhasil!" seru Thurqk. Setelah membuat Calcis hancur berkeping-keping, makhluk raksasa itu melesat kencang dan berpindah ke belakang Stallza dan Lan.

"Hidro! Spiritialis!" seru Stallza. Seketika gerakan Stallza menjadi lebih cepat. Dia sempat menyambar Lan untuk menjauh, namun Thurqk raksasa masih bisa mengikuti kecepatannya.

"Kalau hanya seperti itu belum ada apa-apanya," kata Thurqk. Makhluk raksasa itu menjentikkan jari. Di depan Stallza tanah mulai retak dan mencuat, membuat Stallza harus terbang menukik untuk menghindari tabrakan. Tetapi Thurqk sudah menunggunya melakukan itu.

"Matilah untuk selamanya!" seru Thurqk sambil melayangkan tinju berapi ke arah Stallza.

"Tidak akan kubiarkan!" seru Stallza. Kulitnya diselimuti sisik berwarna hijau kebiruan. Di saat bersamaan dia melepaskan Lan dari pelukannya. "Helia, jauhkan Lan dari sini!" teriaknya.

Helia, spiritia yang berbentuk seperti ubur-ubur muncul dan menyambar Lan yang dilepaskan Stallza. Di saat bersamaan Stallza menerima seluruh tinju api yang diberikan oleh Thurqk.

"Helia, bawa aku ke atas. Ada yang ingin kulakukan," kata Lan.

Makhluk berbentuk ubur-ubur itu mematuhi perintah Lan. Dia membawa sang putri ke atas hingga sang putri menyuruhnya berhenti.

"Aku memanggil kalian! Ferra, Chromia, dan Nicca!" seru Lan.

Tiga gadis muda muncul di depan Lan. Ferra, gadis berambut merah, tampak senang. "Akhirnya aku bisa kembali!" serunya.

"Jangan terlalu semangat dulu, Kak," kata seorang gadis kecil berambut pendek di sampingnya.

Ferra menyeringai dan mengacak-acak rambut gadis itu. "Tenang, Nicca. Kita tidak akan apa-apa, kok!" katanya.

"Hei, kalian. Perhatikan musuh," tegus seorang gadis lainnya. Sosoknya seperti anak remaja tanggung dengan badan ramping. Rambutnya pendek berwarna perak berkilauan. Matanya terlihat seperti bosan. Gadis itu memakai tank top dan celana hot pants berwarna putih dan sebuah sepatu boot berwarna sama.

"Stallza menahan mereka. Aku ingin kalian membantunya," kata Lan.

"Kalau kami bertiga dipanggil, maka itu hanya berarti satu hal," kata Ferra pada Lan.

Lan mengangguk. "Sintesis," perintahnya.

Chromia, si gadis berambut perak, menghela napas. "Setidaknya aku akhirnya puna kesempatan tampil juga," katanya tanpa ekspresi. "Terima kasih manipulasi gravitasimu, Nicca. Setidaknya pada kemunculanku ini aku tidak berakhir dengan jatuh dari ketinggian dan hancur berkeping-keping."

Lan menepuk kedua tangannya. Di saat bersamaan sosok Ferra, Nicca, dan Chromia berubah menjadi tiga gumpalan cahaya. Ketiga gumpalan cahaya itu kemudian bersatu menjadi sebuah bola cahaya besar di langit.

"Turunlah, wahai hujan pedang Ventinis! Turunlah dan kalahkan musuh kami!" seru Lan sambil mengangkat tangannya ke langit.

Setelah mengatakan itu, dari bola cahaya di atas langit keluar puluhan ribu pedang beraneka bentuk menuju ke arah Thurqk. Di saat bersamaan Stallza berhasil melepaskan diri dari raksasa yang terus mendorongnya itu.

"Aku memanggil kalian, Lithis dan Tungstenno! Hidro, bergabunglah dengan mereka dan bersintesislah!" seru Stallza.

Stallza sempat terlempar saat Hidro keluar dari tubuhnya. Di depannya sesosok laba-laba hitam berukuran raksasa, seekor lebah berwarna putih, dan seekor burung berwarna biru muncul berjajar. Si burung biru dan lebah putih berubah menjadi bola cahaya dan bergabung menadi satu. Bola cahaya itu masuk ke dalam tubuh Tungstenno, si laba-laba raksasa, dan mengubahnya menjadi sebuah kepompong. Tidak menunggu perintah lebih lanjut, kepompong itu melepaskan benang-benangnya ke arah Thurqk yang kini sibuk menggunakan sihirnya untuk menolak ribuan pedang yang menghujaninya.

"Sekarang!" seru Stallza.

Dari gumpalan kepompong itu mengalir arus listrik yang kuat ke setiap benangnya yang melilit ke tubuh Thurqk. Thurqk yang terlalu fokus menghadapi serangan dari langit tidak bisa berbuat apa-apa saat seluruh tubuhnya tersengat oleh arus listrik yang besar. Di saat bersamaan dia tidak bisa mengeluarkan sihirnya untuk menangkis ribuan bilah pedang baja berbagai yang menghujaninya dari langit.

"Makhluk sialan!" seru Thurqk. Dia menciptakan gelombang kuat  dengan satu teriakan dari mulutnya. Stallza terhempas ke belakang, tetapi dengan cepat dia menahan diri dan kembali berdiri.

"Sodio, muncullah!" seru Stallza. Sesosok anak laki-laki berambut putih dan bermata biru muncul di depan Stallza. Anak laki-laki itu memegang busur dan panah di tangannya.

"Argonos, muncullah!" seru Stallza lagi. Kali ini yang muncul adalah sesosok bola dengan dua buah cincin berputar-putar di sekitarnya. "Kalian berdua, lakukan spiritialis denganku," kaya Stallza.

 "Oke!" seru Sodio mantap. Tubuhnya berubah menjadi gumpalan cahaya dan merasuk ke dalam tubuh Stallza. Tubuh Stallza kini memegang sebuah panah berukuran besar dan di tubuhnya kini ada sebuah pelindung dada berwarna putih.

Argonos berubah menjadi gumpalan cahaya dan merasuk ke tubuh Stallza dan menjelma menjadi sebuah cincin di jari tangannya. "Kini semuanya sudah lengkap. Saatnya menyerang!"

Stallza mengacungkan jarinya ke arah Thurqk. Cincin di jarinya bersinar. Di saat bersamaan tubuh raksasa merah itu berhenti bergerak. Ribuan bilah pedang menusuk dan menyayatnya. Stallza mengangkat busurnya dan mengarahkan anak panah ke kepala Thurqk. Dia hanya memiliki semenit sebelum raksasa itu bisa bergerak lagi. "Buat raksasa itu kering, Sodio," kata Stallza sebelum melepaskan anak panahnya.

Anak panah Sodio melesat cepat dan berhasil menembus kepala Thurqk tepat sebelum makhluk itu akhirnya bergerak kembali.

"Hancur kalian!" seru Thurqk. Dia ingin menjentikkan jarinya, namun jari-jarinya tidak mematuhi pikirannya. Tangannya terkulai lemas. Tubuhnya menjadi kejang. Sementara bilah-bilah pedang belum selesai menghujaninya.

"Stallza! Ledakkan dia!" seru Lan dari angkasa.

Stallza mengangguk. "Aku memanggilmu! Sulpho!" serunya. Sesosok kakek tua berjubah hitam dan berjanggut putih panjang muncul di depan Stallza. Dia berdiri dengan bertopang pada sebuah tongkat. Sorot matanya yang kuning menyiratkan kebijaksanaan yang lahir bersama waktu.

"Sudah pertarungan terakhir?" tanya Sulpho.

Stallza mengangguk.

Sulpho mengangguk-angguk paham. "Kalau begitu sudah saatnya cahaya dan kegelapan saling berbenturan," katanya sambil mengelus janggutnya. "Tanpa cahaya, manusia tidak akan mengenal kegelapan. Tanpa kegelapan, cahaya tidak akan berarti. Keduanya tidak akan bisa saling meniadakan."

"Maksudmu pertarungan ini tidak akan berakhir baik?" bisik Stallza.

Sulpho menghela napas panjang. "Ada yang harus dikorbankan pada akhirnya. Harus ada yang dipertukarkan demi kemenangan yang kalian inginkan," katanya.

"Stallza, dia mulai bergerak!" seru Lan. Di tangannya sudah ada sepasang meriam yang mengarah pada Thurqk.

"Kita lawan Thurqk terlebih dulu," kata Stallza. "Kita akan pikirkan yang berikutnya nanti."

Sulpho mengangguk hormat. "Baiklah," katanya. Dia berbalik dan mengacungkan tongkatnya pada Thurqk. Dari ujung tongkatnya menyebar asap kuning yang menyelimuti tubuh Thurqk yang masih menggeliat kejang.

Saat melihat tubuh Thurqk telah diselimuti asap dari Sulpho, Lan menembakkan puluhan bola api dari meriam di tangannya ke arah Thurqk. Bola-bola api itu berubah menjadiledakan dahsyat yang membentuk pilar api ke langit. Bersamaan dengan ledakan itu, langit di atas kepala Stallza dan Lan dipenuhi retakan-retakan. Stallza mengingat retakan-retakan itu menyerupai lubang yang digunakan Thurqk untuk membawanya keluar dan masuk lokasi pertandingan.

"Terima kasih," kata Nolan yang tiba-tiba hadir di pelakang Stallza.

"Inikah yang kau sebut gerbang?" tanyanya.

"Ya," kata Nolan. Dia menatap ke salah satu retakan lebar di langit yang menunjukkan sebuah gambaran di dalamnya. "Itu adalah duniaku," katanya sambil menunjuk retakan yang kini membentuk lubang.

"Duniamu seperti pulau Ryax," kata Stallza.

Nolan tersenyum. "Memang demikian adanya," katanya. "Aku akan segera ke sana. Jangan khawatir. Thurqk adalah bagian penting dunia ini. Dengan hancurnya dia, Ventinis Hitam akan memiliki seluruh kekuatannya kembali. Tetapi dunia ini akan hancur. Dia tidak akan bisa bertahan lama di sini. Aku sudah mengirim peserta-peserta yang tersisa kembali ke dunia asal mereka. Para peserta yang bertarung di sini semuanya juga sudah kembali ke dunia mereka. Meski mereka semua hanya kembali dalam bentuk jiwa, setidaknya mereka akan ke dunia akhir yang sebenarnya. Bukan di sini."

"Kau percaya dunia akhir?" tanya Stallza.

Nolan menatap Stallza dan tersenyum. "Kalau aku tidak percaya, aku sudah menyerah di sini," katanya. Nolan membungkuk hormat pada Stallza sebelum tubuhnya diselimuti cahaya. Stallza melihat sosok Nolan yang diselimuti cahaya itu terangkat ke langit menu salah satu retakan dan menghilang.

"Selamat jalan, Kacamata," kata Stallza.

***

X

Retakan-retakan di langit menghilang begitu pilar api meredup. Saat pilar itu habis sepenuhnya, sosok Thurqk sudah tidak ada lagi. Demikian pula retakan-retakan di langit.

"Dia sudah kembali?" tanya Lan.

Stallza mengangguk. "Dia masuk di salah satu retakan," katanya. "Retakan-retakan itu menunjukkan berbagai dunia. Setidaknya itulah yang dikatakan Noan tadi." Stallza tersenyum kecut. "Tapi dari semua retakan itu tidak ada satupun Ventinis."

"Kita pasti akan bisa kembali," kata Lan. Tangannya menggelayut di pinggang Stallza.

"Tapi sebelumnya ada yang harus kita hadapi," kata Stallza. Dia menatap langit yang perlahan menjadi gelap. "Pertarungan yang sebenarnya sudah dekat."

***

Stallza dan Lan sudah bersiap menghadapi apapun yang akan mereka hadapi selanjutnya. Mereka sudah bersiap menghadapi gumpalan hitam atau sosok anak kecil berpita biru. Tetapi yang kini muncul di hadapan mereka adalah sesosok gadis muda berambut hitam sepinggang. Selain kepala, seluruh tubuhnya dibungkus baju zirah berwarna hitam. Di tangan kanannya terdapat sebuah tombak perak. Di pinggang kirinya tersampir pedang berwarna sama.

"Kalian kaget? Inilah wujud asli dari Ventinis, dewa yang dipuja para manusia tanpa sayap seperti kalian," kata gadis itu.

"Demi membalas dendam kau melakukan ini semua?" tanya Stallza.

"Apa kau tahu rasanya dibunuh oleh orang tuamu sendiri?" tanya Ventinis Hitam/

"Aku tidak tahu," jawab Stallza. "Tapi aku tahu rasanya kehilangan orang tua karena malapetaka. Dan aku tahu malapetaka itu karena dirimu."

Ventinis Hitam tertawa. "Aku tidak tahu, Manusia. Bagian itu ada pada Ventinis yang ada di dalam dirimu. Dia yang bisa merasakannya," katanya. Sorot matanya berubah tajam. "Sekarang munculkan dia sekarang!" geram Ventinis Hitam. "Kutunggu kau di padang rumput merah. Sebaiknya kau datang atau akan kuhancurkan kekasihmu dan seluruh spiritiamu!"

Sosok Ventinis Hitam menghilang. Stallza tahu ini akan terjadi. Dan dia telah siap akan semua resikonya.

"Stallza?"

Stallza menoleh. Dia tersenyum dan mengelus lembut pipi Lan yang menatapnya dengan khawatir. "Aku akan memulangkanmu ke dunia kita. Aku berjanji," katanya.

"Lalu bagaimana dengan dirimu?"

Stallza tidak menjawabnya. Dia mencium lembut bibir sang putri sebelum berbalik untuk pergi.

Air mata Lan mengalir tanpa bisa dia kendalikan. Perasaan yang sama kembali menguasainya. Kenangan terakhir saat Stallza bersamanya sehari sebelum pertempuran besar.

Stallza tidak akan kembali.

***

XI

Pertarungan terakhir sebentar lagi berlangsung. Kini Stallza mengumpulkan kembali semua spiritianya. Mereka semua tegang. Semua tahu kalau di akhir pertarungan ini mereka tidak akan kembali.

"Maaf telah meminta dengan egois," kata Stallza. "Tetapi pada pertarungan ini aku membutuhkan kalian. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dalam pertarungan ini. Aku tidak tahu bagaimana nasib kalian. Tetapi aku bisa memastikan lingkaran kebencian Ventinis akan berakhir di sini."

"Kami senang bersamamu," kata Nitria mewakili teman-temannya. "Kami tahu kemungkinan yang akan terjadi. Kami mengerti. Tetapi kami bersedia menanggungnya." Air mata mengalir ke pipinya. "Kami juga ingin semua ini berakhir."

"Terima kasih," kata Stallza. "Terima kasih karena membuatku tidak merasa kesepian."

Nitria maju dan merangkul Stallza. Air matanya tak tertahankan lagi. Koboldia menyusul, diikuti oleh para spiritia lainnya. Mereka berkumpul dan menumpahkan segala perasaan mereka pada Stallza.

***

"Kami di sini."

Stallza muncul di tempat yang ditentukan oleh Ventinis Hitam. Rambutnya berubah menjadi putih. Ekspresinya menjadi datar.

Ventinis Hitam menyeringai. "Akhirnya kau mengambil alih tubuh wadahmu juga," katanya.

"Kami bukan wadah atau penumpang. Kami adalah satu. Kami adalah Ventinis," kata Stallza.

"Ya, ya, ya. Dan aku bukan Ventinis. Kau lupa sosokku begitu kau tahu karena akulah kau ditakuti. Dasar penakut," kata Ventinis Hitam. Dia mengacungkan tombak ke arah Stallza. Dari tangann kanannya mengalir energi yang tampak seperti petir hitam yang melesat keluar ke arah Stallza. Tetapi Stallza tampak tenang di tempatnya. Saat petir itu menghantam tubuhnya dan menghasilkan ledakan yang besar, Stallza tetap diam.

"Aku tahu itu tidak akan menghancurkanmu," kata Ventinis Hitam.

Asap hitam hasil ledakan tersibak. Di balik tabir asap itu muncul sesosok manusia yang berbeda. Wajahnya bagaikan wajah cantik seorang wanita, namun sekaligus tampak tampan seperti seorang pria. Tubuhnya dibungkus sebuah bau zirah berwarna putih yang memancarkan cahaya terang.

"Seperti yang kau minta, kami kini muncul di depanmu," kata sosok itu. Suara yang keluar dari mulutnya terdengar seperti campuran suara pria dan wanita yang berujar bersamaan.

"Kalau begitu pertempuran sesungguhnya mulai dari sekarang," kata Ventinis Hitam.

Ventinis Hitam memindahkan tombak ke tangan kirinya dan menarik pedang dari pinggang kirinya. Dia menjejakkan kakinya dengan cepat dan dalam waktu singkat telah berada di depan Ventinis Putih. Dia mengayunkan pedang ke arah Ventinis Putih, namun sesuatu menghalanginya. Sebuah bayangan transparan gadis berbaju zirah tembaga menatap Ventinis Hitam sebelum menghilang. Sesaat kemudian sebuah bayangan transparan berbentuk gadis berbaju zirah tembaga muncul di depannya dan mengayunkan pedangnya. Ventinis Hitam melompat ke belakang untuk menghindari tebasan bayangan yang kini menghilang itu.

"Para spiritia, ya?" Ventinis Hitam menyeringai. "Bukan hanya kau yang punya itu."

Ventinis Hitam berlari ke arah Stallza dengan tombak dan pedang terhunus. Di depannya muncul sosok transparan Arzaniko yang lebih dulu menyerang Ventinis Putih. Tetapi sebelum menyentuh Ventinis Putih, sosok transparan Ferra muncul dan menghajarnya. Pertarungan kedua sosok transparan terjadi berkali-kali. Bukan hanya Arzaniko dan Ferra, tetapi hampir semua spiritia milik Stallza dan spiritia milik si Ventinis Hitam muncul dan menghilang di antara jarak kedua Ventinis. Mereka saling menghantam dan menangkis. Ledakan dan percikan api bermunculan, sementara kedua Ventinis saling menjaga jarak.

"Kau takut?" teriak Ventinis Hitam.

"Kami tidak ingin bertarung," kata Ventinis Putih.

"Kau meminta sesuatu yang mustahil!" seru Ventinis Hitam.

Tiga kesatria dengan baju zirah membara muncul di depan Ventinis Hitam. Kali ini ketiganya bukan bayangan. Mereka adalah kesatria yang dikalahkan Stallza. Dari pihak Ventinis Putih muncul Silic dan Plumbina yang segera mengurung ketiganya. Tetapi kedua spiritia itu tidak bertahan lama. Sebuah sabetan pedang hitam dari Ventinis Hitam membuat keduanya menghilang, tepat setelah mereka mengurung ketiga kesatria yang membara.

"Ada lagi yang ingin kau korbankan?" tanya Ventinis Hitam mengejek. Di saat bersamaan dari kakinya muncul bongkahan es yang mulai menggerogoti tubuhnya. Bongkahan es itu membungkus tubuhnya hingga ke kepala, namun dengan mudah dia menghancurkannya dengan nyala api hitam yang memancar keluar dari tubuhnya.

"Jangan bercanda lagi!" seru Ventinis Hitam.

"Kami tidak akan melawanmu. Kau adalah bagian dari kami," kata Ventinis Putih.

"Kau salah!" Ventinis Hitam menancapkan pedang dan tombaknya ke tanah. "Kalian adalah bagian dari diriku!" Petir hitam meluncur dari langit yang hitam menuju ke tombak hitam dan menjalar di tanah sekitar Ventinis Hitam. Petir-petir itu memunculkan puluhan spiritia yang melindungi Ventinis Putih dan mengikat mereka. "Akan kuhancurkan mereka semua!" seru Ventinis Hitam.

"Kami tidak akan membiarkanmu," kata Ventinis Putih. Dari tubuhnya memancar cahaya terang yang membuat petir-petir hitam yang mengikat para spiritia menghilang.

Ventinis Hitam menyeringai. "Akhirnya kau memunculkan dirimu," katanya. "Tapi bukan hanya kau yang punya itu!"

Dari dalam Ventinis Hitam memancar lidah-lidah api berwarna hitam. Cahaya terang dan lidah api hitam saling berbenturan. Dentuman besar dan suara gesekan yang membuat telinga tuli membahana ke seluruh penjuru dunia. Cahaya dan lidah api itu membagi dunia menjadi dua. Sedangkan di langit muncul sebuah retakan yang semakin lama semakin melebar.

***

Lan berada di wilayah yang diselimuti cahaya terang. Dia melihat sebuah retakan tercipta di langit. Retakan itu semakin lama semakin besar, hingga dia bisa melihat sebuah pemandangan yang sangat akrab dengannya.

"Danau yang indah."

Lan menoleh ke belakang. Dia tersenyum dan berlari ke arah Stallza yang muncul di belakangnya. Dia melompat ke arah pria itu dan memeluknya dengan erat.

"Akhirnya kita bisa kembali," kata Lan. Air mata bahagia mengalir dari matanya.

Stallza mengelus rambut hitam sang putri dalam pelukannya. "Sebenarnya," Stallza menghela napas, "kau yang akan kembali."

Lan mengangkat wajahnya dan menatap Stallza. "Apa?"

"Kau akan pulang," kata Stallza menegaskan.

"Bagaimana dengan dirimu?" tanya Lan.

"Ada yang harus kulakukan di sini. Jika tidak, lingkaran dendam ini tidak akan berakhir dan masa depan manusia akan selamanya kelam," kata Stallza. Dia melepaskan tubuh Lan dan mengucapkan sesuatu yang tidak dimengerti Lan.

"Apa yang kau katakan?" tanya Lan. Perlahan tubuhnya terangkat. "Stallza? Apa yang terjadi?"

Stallza mencium lembut bibir kekasihnya. "Tetaplah hidup, Tuan Putri," kata Stallza. Dia tersenyum lebar. "Aku bahagia mengenalmu dan mencintaimu."

"Tidak. Tidak! Aku tidak mau! Stallza!!" Teriakan Lan yang memohon-mohon untuk tidak berpisah dari pria itu. Namun sesuatu yang lebih kuat menariknya ke atas. Perlahan sosok Stallza tenggelam di telan cahaya putih. Sementara dirinya sendiri kehilangan kesadaran saat dirinya mulai memasuki retakan di langit.

***

XII

"Kita seharusnya tidak ada."

"Tetapi kita ada."

"Kita menyebabkan bencana di dunia ini."

"Itu adalah kesalahan mereka sendiri. Mereka harus bertanggung jawab!"

"Kalau begitu biarkan kami menanggung semuanya."

"Kau akan menanggung bagianmu. Tapi mereka juga harus menanggungnya!"

"Kami menerimamu kembali."

"Kau pikir aku membutuhkan itu?"

"Karena cahaya lahir kegelapan. Karena kegelapan cahaya menjadi nyata. Antara keberadaan dan ketiadaan. Antara itulah kami ada. Antara itu kau ada. Kita siapa? Kita tak tahu. Kita terikat dalam sosok, padahal kita ini tidak terikat. Kita membiarkan diri menjadi sesuatu. Padahal kita bukan sesuatu. Kami dan dirimu adalah energi. Kami dan dirumu harus kembali sebagaimana seharusnya."

"Aku memilih menjadi diriku sendiri."

"Bukan kami atau dirimu yang memutuskan."

"Aku akan melawan keputusan itu!"

"Bukan dirimu yang memutuskan."

"Siapa kau sampai memutuskan itu!"

"Bukan kami yang memutuskan."

"Aku tidak mau! Aku ingin kekuatan ini! Aku ini Ventinis! Pemilik seluruh alam semesta!"

"Semuanya akan kembali ke titik awal. Tanpa dirimu, tanpa kami. Tidak akan ada perang, tidak akan ada bencana, tidak akan pertandingan ataupun dunia merah."

"Dan kau tidak akan bertemu dengan putri itu, Manusia."

"Aku tahu."
"Kami tahu."

"Aku menerima semua resikonya."
"Kami menerima resikonya."

"Kalian berisik! Kalian tidak punya keinginan?! Ayolah!"

"Kau bukan manusia. Kami bukan manusia. Segalanya sudah ditentukan. Dunia akan kembali seperti seharusnya. Tanpa dirimu, tanpa diri kami. Hanya ada kesetimbangan tanpa hitam dan putih. Karena kita semua sama. Netralitas."

"Tidak! Tidak!"

"Keputusan dari Yang Agung telah keluar. Netralitas. Kita akan kembali pada Sang Agung. Sejarah akan berjalan tanpa kita."

"…. Dan segalanya akan berjalan tanpa kehadiran kita. Selamanya."

***

XIII

Putri Lan terbangun oleh sentuhan lembut di pipinya. Dia membuka matanya dan melihat Misha menatapnya dengan tatapan khawatir.

"Nona, kau menangis lagi?" tanya Misha.

Lan Tania bangun dan memegang pipinya. Dia merasa bekas air mata mengalir. Sang putri mengerjap beberapa kali. Matanya terasa panas. "Aku tidak tahu kalau aku menangis," katanya pada Misha, pelayan yang telah bersamanya sejak kecil.

"Sepertinya kau bermimpi buruk," Misha berjalan ke arah jendela dan menyibak tirai jendela. Cahaya matahari yang lembut memasuki kamar sang putri. "Di luar persiapan untuk festival jalan sedang berlangsung. Apa putri ingin berjalan-jalan lagi?"

Lan Tania tersenyum. Sebagai putri dari sang raja, tidak seharusnya dia keluar istana dengan bebas. Tetapi itulah yang sering dia lakukan. Keluar dari tembok istana adalah petualangan yang menyenangkan. Dia bisa lepas dari kekakuan gaya hidup bangsawan dengan sopan santun palsu mereka.

"Sepertinya menarik," kata Lan.

Misha menghela napas. "Nona…" Gadis itu menatap mata sang putri yang tampak bersemangat. "Apa boleh buat. Akan saya siapkan bak mandi dan sarapan Nona," katanya.

***

Ibu kota kerajaan hari ini jauh lebih ramai dari biasanya. Orang-orang dari berbagai tempat datang untuk melihat persiapan festival bulan purnama, festival terbesar untuk memperingati bulan purnama paling besar dalam setahun. Para pedagang yang melihat kerumunan orang sebagai kesempatan segera menggelar dagangan mereka. Sisi-sisi jalan besar berubah menjadi pasar musiman. Para pencopet pun merajalela. Tetapi ada banyak penjaga yang bersiap di berbagai sisi jalan, siap menangkap siapapun yang mencoba melanggar hukum.

Dalam keadaan ramai seperti inilah Lan Tania dan Misha berada. Sang pelayan khawatir akan keselamatan sang putri, namun sang putri tampak tidak peduli. Dengan bebas—meski tetap dalam samaran sederhana—dia berpindah dari satu pedagang ke pedagang lain.

"Nona, ayo kembali," kata Misha. "Bagaimana kalau ada yang mengetahui nona ada di sini tanpa pengawalan?"

"Kau pengawalku, kan?" balas Lan.

"Aku hanya pelayan, nona. Aku bukan prajurit," keluh Misha.

Lan tertawa karena berhasil menggoda pelayannya itu. "Ayo kita ke kedai langgananku," ajak Lan pada Misha. Sang pelayan hanya bisa mengikuti dengan patuh saat sang putri berjalan santai melewati kerumunan orang-orang yang memadati jalan.

Lan dan Misha memasuki sebuah kedai yang tampaknya belum buka. Kursi-kursi belum diturunkan. Sang pemilik sedang mengelap gelas-gelas untuk digunakan saat kedai dibuka. "Paman, aku datang lagi," kata Lan pada sang pemilik.

"Ah, tuan putri. Selamat datang!" kata sang pemilik. Dia segera mengeluarkan dua buah gelas dan mengisinya dengan air mineral. "Silakan. Meski belum buka, kalian bisa berada di kedai ini sepuas kalian."

Misha berbisik pada sang putri, "Nona mengenalnya?"

Lan mengangguk. "Aku sering ke sini kalau ingin mencari barang-barang yang unik. Termasuk buku-buku yang sepertinya sulit masuk ke dalam istana," katanya.

"Tapi sepertinya dia mencurigakan," kata Misha sambil melirik pada pemilik kedai yang sedang sibuk membersihkan meja-meja. Sang pemilik berkepala plontos namun memiliki janggut dan kumis lebat. Badannya kekar dan ada bekas luka sayat di punggung tangan kirinya. "Seperti penjahat."

"Penampilannya seperti itu, tapi aslinya dia baik," kata Lan. "Dan dia adalah pendongeng yang baik. Aku sampai-sampai menangis kalau mendengar kisah-kisahnya yang menyentuh hati."

"Berarti nona menangis dalam tidur karena memimpikan kisah yang diceritakannya?" tanya Misha.

Lan terdiam. "Mungkin," katanya. Raut mukanya murung. "Tapi terkadang mimpiku terasa lebih nyata. Bukan seperti kisah-kisah yang diceritakan paman pemilik kedai." Lan melirik Misha. Pelayannya tampak semakin khawatir. "Aku akan menceritakannya padamu nanti kalau kita pulang. Sekarang ceritakan saja hubunganmu dengan prajurit baru itu."

Misha nyaris menyemburkan air yang sedang diminumnya. "A—aku tidak punya hubungan apa-apa dengan dia," katanya kikuk.

Lan tertawa. "Ah, andaikata aku bisa merasakan perasaan sepertimu dengan bebas," katanya. "Para bangsawan hidupnya membosankan. Bahkan memilih pasangan pun tidak bebas. Seandainya pria dalam mimpiku itu nyata."

"Eh? Pria?" tanya Misha bingung. "Siapa?"

Lan menggeleng. "Aku tidak tahu. Hanya saja dia selalu muncul dalam mimpiku. Entah apa maksudnya," kata sang putri. Dia menunduk malu. "Seandainya aku bisa melihatnya sekali saja."

"Nona tahu namanya?" tanya Misha. Dia tersenyum lebar. "Siapa tahu nanti aku bisa mencarinya untuk nona."

Lan tertawa kecil. "Namanya… Stallza. Nama yang aneh, bukan?"

Pintu kedai terbuka. Sesosok pemuda dengan mata berwarna karamel masuk sambil membawa sebuah kotak dan meletakkannya di atas meja di dekat pintu masuk. "Aku datang membawa barang pesananmu," kata pemuda itu pada si pemilik kedai. "Terima kasih bayarannya, Paman," katanya sebelum membungkuk dan keluar.

"Orang yang terburu-buru sekali," kata Misha. Dia menoleh pada sang tuan putri dan mendapati nonanya itu menatap tak percaya. "Nona, ada apa?"

"Paman, siapa pemuda tadi?" tanya sang tuan putri.

"Ah, pemuda tadi? Dia adalah pengantar barang. Biasanya dia membawakan bahan-bahan yang kubutuhkan. Pemuda yang rajin," kata si pemilik kedai. "Kalau tidak salah namanya Stallza."

***

EPILOG

Dunia baru. Sejarah baru. Cerita cinta yang sama. Meski berbeda cara, mereka yang ditakdirkan bersama akan tetapi bertemu. Alam semesta memiliki caranya sendiri untuk mengatur semua itu untuk terjadi.

Di dunia lain ada Spiritia dan Ventinis yang mempertemukan sepasang manusia dalam perang penuh darah. Dalam dunia yang dipenuhi kekelaman itu pun benih cinta masih dapat bertumbuh. Lalu muncullah cerita-cerita kepahlawanan dan kisah cinta yang mengguncang sebuah dunia. Sebuah legenda.

Di dunia ini tak ada Spiritia dan Ventinis. Tidak ada perang. Hanya ada dua manusia yang bertemu dalam sebuah keadaan. Tetapi alam telah menentukan mereka berpasangan. Karena itulah ada mimpi. Sang Agung yang menciptakan alam semesta, yang mengaturnya dengan unik, yang memasangkan mereka sebelum keduanya terlahir, telah menanamkan mimpi tentang dunia lain. Mimpi tentang legenda sepasang anak manusia yang mengguncangkan dunia.

Di dunia ini ada seorang Stallza dan seorang Lan. Tidak ada kami yang memang sebaiknya tidak pernah ada.

Cukuplah cerita mengenai Ventinis, cerita tentang kami, menjadi legenda pengantar tidur anak-anak.

Dan layar pun tertutup….

7 comments:

  1. Pertama, saya mau mengucapkan selamat dan salut kepada pengarangnya Stallza, karena dari ronde pertama sampai akhir tetap konsisten menulis dan tak mundur begitu saja. Mungkin Alis Setan si Stallza benar-benar menarik keberuntungan?

    Mengenai entri final ini, saya agak kecewa karena sama sekali tak ada kemunculan Ursario ataupun Lazuardi. Ada beberapa karakter random yang dimunculkan untuk bertempur, namun porsi mereka pun amat terbatas.

    Tapi di luar itu, cerita ini sudah cukup baik untuk menutup segala kisah Stallza di dunia sini. Hanya saja, saya herannya di sini seolah Devasche Vadhi itu adalah satu dunia. Padahal, Devasche Vadhi kan cuma kastil di jagat besar Nanthara. Nama Nanthara malah tidak disebut sama sekali di sini.

    Kemudian hal lainnya, semua pembeberan fakta serta trik-intrik dari segalanya seolah ditumpuk semuanya pada satu entri final ini. Mungkin lebih baik, kalau menurut saya, pengungkapan itu dilakukan secara bertahap. Dengan memberikan sedikit petunjuk pada setiap entrinya.

    Pertarungannya sendiri tetap mudah tergambar di bayangan, walaupun pada bagian klimaks kesannya agak cepat. Seperti terburu-buru (ini sebenernya bisa saya katakan pada entri saya sendiri). Bagaimanapun, endingnya sudah baik, kalau menurut saya.

    Sewaktu pertama membaca entri ini, entah kenapa saya jadi mendukung atau bersimpati pada Thurqk karena hilangnya kekuatannya. Sayangnya, di tengah cerita, Thurqk hanya jadi semacam "mid-boss" saja.

    Selanjutnya, saya ingin mencoba menyimpulkan apa-apa saja hal yang penting untuk diperhatikan sepanjang kiprah Stallza pada setiap entrinya.

    Pertama, saya mengamati kalau setiap entri Stallza cenderung lebih berat pada cerita latarnya. Porsi bertempurnya menjadi sedikit, sehingga tidak intens.

    Kedua, banyak yang mengatakan kalau paragraf Stallza itu kadang terlalu panjang sehingga sulit untuk mengikuti.

    Ketiga, terlalu banyak sub-OC (yaitu para Spiritia). Mungkin pada setiap entri perlu ada glossarium yang menampung keterangan dari setiap sub-OC itu, agar lebih akrab di hati pembaca.

    Keempat, mungkin ini saya saja ... tapi sepertinya entri Stallza terlalu serius? Kalaupun ada becandaan, paling hanya seputar interaksi antara para Spiritia Stallza. Well, kalau niatnya memang ingin nuansa serius, tak ada salahnya mungkin coba memasukkan "dark humor"

    Begitu saja komentar dari saya. Sekali lagi selamat, dan teruslah berkarya~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah membaca :3

      Saya kayaknya memang punya kebiasaan menulis cerita berat, ya?

      Delete
  2. Anonymous20/2/15 09:29

    Grande

    Ada satu unsur dari battle Stallza yang dari awal masih saya sesalkan sampai sekarang. Itu adalah bagian di mana spiritia-spiritia bertarung tanpa/minim penjelasan dari karakteristik unsur referensi spiritia tersebut. Somehow saya malah bisa mentolerir kalau mereka adalah makhluk summonan random dengan ilmu random, tapi saya terlanjur tertarik dengan tema unsur tabel periodik yang diusung, sehingga saya cenderung memiliki ekspektasi tinggi untuk sebuah intrik pertarungan sains-fiksi dengan penjelasannya yang bisa dimengerti penikmat sains-fiksi awam.

    Satu hal lagi yang saya sayangkan adalah absennya dua tokoh yang harusnya ikut menjadi sentral dalam pertarungan final, yaitu Lazu dan Ursa. Sekali pun di sini mau fokus ke cerita Stallza dan Thurqk, minimal mereka baiknya nongol dan memiliki peran penting dalam pertempuran. Maaf, faktor ini membuat saya tak bisa vote untuk kemenangan Stallza. Namun jika memang penulisnya tak mempedulikan kemenangan dan ingin fokus ke akhir cerita Stallza saja, maka okelah, itu hak masing-masing.

    Maka terlepas dari komen pada dua paragraf di atas, plot cerita dalam battle ini terbilang solid dalam menjadikan Stallza sebagai pemeran utamanya. Jadi itu sebabnya sejak babak-babak lalu ia dianggap spesial oleh Thurqk. Dan ternyata Hyvt adalah manusia-manusia bersayap! But, lol, ada Kolator.. Pertarungan terakhirnya lawan merah cukup rame, kayak lagi ngeroyok Titan, cuman ilmunya Thurqk kurang terekspos nih, kalau ga salah charsheet kekuatannya dia pernah dikeluarin kan, dan ada jurus yang kayak manipulasi gravitasi segala macem.

    S... Stallza jadi bishie di pertarungan terakhir??! Namun pertarungannya cukup cepat, terasa pacenya seperti udah ga tahan pengen buru klimaks dan kelar.

    Endingnya cukup menyentuh, Stallza harus berkorban, berpisah dengan tuan putri. Tapi saya kurang paham kenapa bisa ada Stallza lagi di dunianya Lan. Apakah Lan yang diceritakan di akhir bukan Lan yang pulang dari dunia Battle of Realms meninggalkan Stallza.

    Well, itu saja review dari ana. Akhir kata selamat, anthum telah berhasil menyelesaikan cerita sampai babak final ini. Semoga seluruh perjalanan ada hikmahnya. Amin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya pas melihat karakter dari tiap unsur mendapati kalau karakter mereka sebenarnya kurang menarik kalau dituliskan begitu saja. Sedangkan dalam bayangan saya yang namanya BOR itu lekat dengan tema fantasi. Karena itu saya mengambil sedikit dari bagian menarik tiap unsur dan menjadikannya berwarna fantasi.

      Mengenai kedua tokoh lain... Saya tidak masukkan karena memang tujuan saya adalah mengalahkan si Ventinis Hitam. Kalau saya masukkan dua karakter peserta lain, bisa-bisa ceritanya terseret-seret. Jadi sepertinya memang saya tidak berharap menang, ya? :v

      Dan untuk bagian ending, di bagian epilog saya mencoba menggambarkan kalau para spiritia dan sang Ventinis sendiri memilih untuk tidak ada. Jadi dunia di mana Lan kembali adalah dunia baru. Lan tersadar karena menganggap yang selama ini terjadi adalah mimpi buruk yang terasa nyata. Dia yang bertemu dengan Stallza di dunia sebelumnya di tengah perang kini bertemu Stallza di tengah keadaan yang jauh lebih baik.

      Intinya dunia ditulis ulang kembali.

      Terima kasih untuk komentarnya :3

      Delete
  3. Oke.....

    Pertama saya baca entry ini karena saya pikir saya bakal baca ulang, dan ya ternyata benar. Saya harus baca ulang untuk paham.

    Untuk stallza, wow, saya ngga bisa bilang ini pertarungan yang bikin saya deg-degan, tapi saya suka kekuatan canon Stallza.
    Saya sejujurnya sedikit kecewa dengan tidak adanya Lazu ataupun Ursa, karena buat saya, meski Stallza menghabisi mereka pada akhirnya dan keluar sebagai pemenang, seenggaknya mereka ambil peran.

    But hey, this is Stallza story.
    So what can I do about that?

    Oh ya, sebelumnya selamat telah masuk final dan terima kasih sudah konsisten menyelesaikan cerita ini sampai final.

    Sampai ketemu di turnamen mendatang

    Salam Alis :3

    ReplyDelete
  4. akhirnya koeneksi nyala juga dan saya bisa komen di entry ini, jadi sejujurnya saja entry yang satu ini bisa dibilang lebih ringan daripada dua entry lainnya dari segi cerita, karena kebanyakan event dijelaskan secara detail , tapi ada beberapa kekurangannya, yaitu di mana hampir sebagian besar cerita habis cuma untuk dengerin penjelasan Nolan, hingga porsi battlenya jadi sedikit.

    Saya ngerti kalau anda ingin menjelaskan cerita latar stallza secara detail, dan saya blak-blakan saja ya karena ini udah final.... ain't nobody got time for that?
    hal ini membuat seolah entry stallza ini adalah novelnya stallza sendiri dengan menumpang setting BoR, yah mungkin entry ursa dan lazu juga sama tapi mereka tetap fokus pada cerita utama yaitu mengalahkan thurqk...

    secara garis besar, saya senang sama pertarungannya, apalagi pas lawan thurqk, hingga pas akhirnya thurqk menang, saya langsung bilang..

    what
    the f#@$k
    is happening here...?

    Thurqk yang notabene adalah final boss matinya cuma begitu saja, dan seolah matinya thurqk gak penting banget, adegan langsung dilanjutkan ke scene nolan balik ke dunia asalnya, lalu setelah itu masih ada musuh lain yang entah kenapa kesannya lebih kuat dari thurqk itu sendiri...

    maaf kalau komentar saya ini gak enak didengar dan terlalu frontal m(_ _)m

    ReplyDelete
    Replies
    1. aish, typo parah, maksudnya menang lawan thuqk, kok malah thurqk menang

      Delete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -