January 6, 2015

[ROUND 7] STALLZA - SETENGAH

[Round 7] Stallza vs Claude & Claudia
"Setengah"

Written by Yafeth T. B.

--- 

I

Semuanya gelap. Semuanya sunyi. Stallza tidak bisa melihat atau mendengar apapun. Tidak ada atas atau bawah. Semuanya tenggelam dalam kegelapan ini. Dia bahkan tidak tahu apakah dirinya nyata atau tidak. Pikirannya perlahan menghilang. Perlahan pula eksistensinya menghilang. Stallza nyaris lenyap sepenuhnya apabila bukan karena setitik cahaya yang tiba-tiba muncul di depan matanya.

Titik kecil itu berkelap-kelip, mencoba menyadarkan Stallza bahwa dia ada di dalam kegelapan ini. Tidak mudah, karena Stallza sendiri nyaris lupa apa itu cahaya. Tetapi cahaya itu tidak berhenti berkelap-kelip. Hingga akhirnya Stallza merespon. Dia bergerak menuju ke cahaya. Perlahan tapi pasti, kegelapan mulai dikalahkan.

***


Stalla terkesiap kaget. Napasnya memburu. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Dia baru saja mengalami mimpi buruk. Tetapi saat dia membuka matanya, mimpi buruk itu belum lenyap sama sekali.

Ruangan penjara menyambutnya. Dinding dingin berwarna merah dengan jeruji dari tulang-belulang, nyaris tidak berbeda dengan ruang penjara yang dilihatnya selama ini di dunia si dewa merah. Stallza mengedarkan pandangannya mengelilingi penjara itu. Dia tidak sendiri. Di sudut ruangan dia melihat sesosok makhluk biru sedang duduk di sudut ruangan yang lebih gelap. Dia tidak berbicara, namun menatap kosong langit-langit penjara. Stallza mengenalnya sebagai Lazu, salah satu peserta yang dilawannya saat babak pertama. Di sudut lain ada sebuah boneka berkacamata hitam. Badannya tampak compang-camping. Stallza mengira boneka itu benda mati, sampai dia tiba-tiba berteriak kesal.

"Burah! Apa yang harus kita lakukan dengan orang ini!" teriak si boneka. Tangan mungilnya menunjuk pada sosok laki-laki yang tergeletak di lantai. Mata kanannya sudah hancur. Tangan kanannya hilang. Kakinya putus. Sebuah luka melintang dari jidat hingga ke dagunya, melintasi matanya yang hancur. Stallza merasa pernah melihatnya. Dia mirip dengan Nolan, hanya saja tanpa kacamata.

"Biarkan saja," kata seorang gadis berambut putih. Stallza belum pernah melihatnya sama sekali. Atau mungkin dia lupa. "Itu hukuman yang tepat untuk pengkhianat seperti Nolan, kan?"

Dugaan Stallza tepat. Orang itu adalah Nolan. Stallza sempat juga melihatnya terikat di samping Thurqk, si dewa merah. Dan di samping Thurqk ada Abby.

Abby. Mengingat nama itu saja membuatnya panik. Dia berlari menuju jeruji tulang, hendak menghancurkan jeruji-jeruji itu dan pergi. Sisik-sisik ular muncul di sekujur pergelangan tangannya. Stallza menghantam jeruji-jeruji itu sekuat tenaga, tetapi pukulannya tidak menghasilkan apapun. Tidak ada retakan atau serpihan tulang yang terlepas.

"Sialan!!" teriak Stallza. Dia menghantam jeruji tulang itu sekali lagi. Dan lagi. Dan lagi. Tapi sebanyak apapun tinju yang dia layangkan, jeruji itu tetap bergeming.

"Jangan buang tenagamu, burah. Melihat kau bikin aku gerah," kata si boneka beruang pada Stallza. Tetapi Stallza tidak mendengarkan. Stallza tetap menghantam jeruji tulang itu tanpa henti.

"Sudahlah, Boneka. Biarkan saja dia. Sebentar lagi juga dia akan lelah," kata gadis berambut putih.

"Namaku Ursario, bukan boneka! Sudah si kacamata, sekarang ada orang gila lagi. Ini penjara namanya, burah!" kata si boneka.

"Memang ini penjara, kan, Pak Boneka? Kau mau mencoba melucu?" balas si rambut putih.

Ursario mau membalas kata-kata gadis berambut putih itu. Tetapi dia dibuat terkejut oleh Nolan yang terbangun dan panik melihat keadaannya sendiri. "Bah, makin ramai saja, bura," katanya.

***

Tepat seperti yang dikatakan gadis berambut putih, Stallza pada akhirnya kelelahan. Dia tersungkur di depan  pintujeruji tanpa sedikitpun bisa mematahkan salah satu jeruji itu. Seandainya Spiritia miliknya ada di sini sekarang, pasti mudah untuk menghancurkan pintu jeruji itu, bahkan seisi ruangan tahanan ini. Tetapi setelah terpisah dengan Lan, Stallza tidak tahu nasib para Spiritianya.

"Ma-mahaku!!!" teriakan parau dari sosok yang nyaris tak berbentuk di lantai membuat nyaris semua yang berada di dalam penjara itu—selain Lazu—terkejut. Semuanya menoleh. Pria dengan kaki buntung bersimbah darah dan lidah terpotong itu akhirnya sadar.

"Kaukah itu, Nolan?" tanya gadis berambut putih. Dia sudah tahu jawabannya, namun dia tetap menanyakannya. Pertanyaannya seolah bukan mempertanyakan identitas si makhluk-setengah-mati itu, tetapi seakan ucapan selamat bangun dari mimpi buruk menuju mimpi buruk yang nyata.

"Kau sendiri yang berkata dia pengkhianat, lalu kenapa masih bicara dengan dia? Sudah selayaknya dia seperti itu, kan?" kata Stallza pada gadis berambut putih.

Gadis berambut putih itu menoleh pada Stallza. "Oh, sekarang kau sudah bisa berkomunikasi dengan tenang? Sekilas kau seperti hewan liar tadi. Sudah tahu kalau kau tidak bisa melakukan apapun saat ini?" tanyanya pada Stallza dengan sopan. Tetapi Stallza menangkap sedikit cemoohan dalam kata-kata gadis itu.

"Kalau aku binatang, maka kau sendiri apa?" balas Stallza.

"Aku…," si gadis berambut putih berpikir sejenak, "yang pastinya bukan manusia. Kita semua bukan manusia saat ini."

Stallza bermaksud membalas, tetapi boneka beruang tiba-tiba berteriak dan membuat dirinya dan si gadis berambut putih mengalihkan perhatian padanya.

"Lihat, dia menulis sesuatu!" teriak si boneka. Senjata yang tampak seperti senjata mainan, sesuatu yang mirip dengan senjata yang digunakan Luna, teracug ke wajah si makhluk-setengah-mati yang terbaring di lantai.

"Lantai empat, di antara ruang ketiga dan keempat," gumam si gadis berambut putih membaca tulisan Nolan. "Apa … apa maksudmu ini adalah lokasi? Lokasi kristal yang kaubicarakan sebelumnya?"

Stallza mengalihkan perhatiannya dari dialog tidak penting antara si gadis berambut putih, si makhluk-setengah-mati bernama Nolan itu, dan si boneka beruang. Dia menoleh ke pintu jeruji dan menyadari satu hvyt berjalan mendekati ruang tahanan.

Stallza tidak menyangka dia akan merasa senang melihat makhluk seperti itu datang di saat seperti ini. Sebentar lagi dia akan bisa keluar dari tempat ini. Sebentar lagi dia bisa mencari Lan.

Sebentar lagi babak berikutnya akan berlangsung.

***

Hvyt membawa Stallza ke atas sebuah hutan dengan pepohonan tinggi serba merah. Jagatha Vadhi, tempat semua pertarungan ini dimulai. Hutan serba merah itu kini tampak sangat lebat dan tinggi, melebihi kelebatan hutan itu saat dia baru tiba di dunia serba merah ini.

"Dua hari," seru hvyt yang membawa Stallza. "Bunuh lawanmu dan kau keluar dari sini."

"Kalau aku menolak?" balas Stallza bosan. Dia sudah terlalu sering mendengar perintah yang sama seperti itu.

"Maka matilah saat ini," kata hvyt itu sambil melepaskan Stallza begitu saja dari ketinggian dan pergi.

Stallza tidak memiliki senjata apapun di sini. Bahkan jubahnya pun hilang entah ke mana. Dia tidak boleh mati, tetapi semua peluang yang terbuka di depannya saat ini adalah kematian saja. Sebentar lagi tubuhnya akan menghantam ranting dan batang kayu yang keras, lalu akan menghantam tanah dengan menyakitkan. Tanpa Spiritia, sudah pasti dia akan mati.

Sebentar lagi ranting pertama akan menggores kulit Stallza. Dia berteriak keras karena semua peluang tidak berpihak pada kemenangannya. Tapi saat dia nyaris menghantam puncak pohon, tiba-tiba dari dalam hutan menyembur asap hitam mirip dengan asap yang membuatnya terpisah dari Lan. Seluruh tubuh Stallza tertelan dalam asap itu dan lenyap begitu saja.

Stallza kembali berada dalam kegelapan. Tetapi kegelapan itu tidak sunyi. Suara seorang gadis kecil bergema di dalam kegelapan yang mengelilinginya.

"Tidak akan kubiarkan mainan berharga sepertimu mati cepat. Berikan padaku Ventinis, akan kuberikan Lan padamu."

***

II

Tanpa satu pun yang menolongnya dalam kegelapan, Stallza kembali dibuat tak bisa melakukan apapun. Jika sebelumnya sebuah cahaya membimbingnya keluar dari dalam kegelapan itu, kini Stallza tidak melihatnya lagi. Semua inderanya seakan dibuat mati. Stallza seakan dibius, pikirannya dipenuhi pikiran negatif. Tidak ada jalan keluar. Percuma melawan. Pasrahkan diri dalam kegelapan. Terus dan terus pikiran yang sama melintas, hingga Stallza nyaris merasa eksistensi dirinya lagi.

Satu-satunya yang membuat Stallza bertahan dalam kegelapan ini adalah sebagian ingatan saat dia dan Lan berada di dalam dunia para Spiritia. Ingatan itu bagaikan cahaya kecil di dalam pikirannya. Cahaya yang cukup untuk membuatnya sadar bahwa kegelapan di sekitarnya tidak lebih dari asap pekat yang membungkusnya.

Stallza meronta. Dia menggerak-gerakkan kaki dan tangannya ke segala arah. Dia kini bisa merasakan udara bergerak di sekelilingnya. Lalu gravitasi menariknya jatuh. Stallza tidak melawan. Dia membiarkan dirinya terjatuh, meski asap pekat yang menyelubunginya tetap berusaha menggapainya.

Stallza mendarat dengan keras di tanah hutan merah. Dia segera berguling dan berdiri. Dari tempat dia terjatuh tampak segumpal asap hitam yang berputar-putar. Stallza merinding melihat gumpalan asap itu, seakan ada sesuatu yang  sangat gelap memancar keluar dari gumpalan itu.

"Siapa kau?" tanya Stallza.

Terdengar suara tawa kecil dari dalam gumpalan asap "Aku?" Suara seorang anak kecil. "Kau mengenalku sebagai Abby. Atau setidaknya itulah sosokku di dunia ini. Tapi aku yang sesungguhnya adalah makhluk tanpa nama. Tidak seperti Ventinis yang agung."

"Di mana Lan!" seru Stallza.

"Di suatu tempat di dunia ini. Carilah kalau kau mau," kata suara dalam gumpalan. Dia kembali tertawa kecil, "Itupun kalau kau masih hidup setelah ini."

Sejurus kemudian dari dalam gumpalan asap meluncur tombak-tombak hitam ke arah Stallza. Serangan itu dengan mudah dihindari Stallza dengan melompat mundur. Tetapi itu bukanlah serangan yang sebenarnya. Tombak-tombak yang tertancap di tanah itu berubah menjadi ribuan jarum hitam. Stallza melompat kembali ke belakang, berusaha untuk menghindari ribuan jarum itu. Tetapi Stallza kalah jumlah. Ribuan jarum itu nyaris saja menghunjam seluruh tubuh Stallza jika bukan karena sisik zirah yang muncul di sekujur tubuhnya.

"Perlindungan Forneus? Heh, Thurqk memberikan jebakan yang salah," kata suara dari dalam  gumpalan hitam.

"Salahkan saja dia. Bukannya kau selalu ada di dekatnya?" balas Stallza.

"Kalau begitu akan kuambil kekuatan itu," kata suara dari dalam gumpalan hitam. Sebentuk tangan hitam tiba-tiba berkelebat keluar dari dalam gumpalan hitam itu ke arah Stallza, hendak mencengkeramnya. Tetapi sesaat sebelum tangan itu berhasil meraih Stallza, tiba-tiba saja tangan itu menghilang seakan tidak ada sejak awal.

"Tidak mungkin!" seru suara dari dalam gumpalan hitam. "Apa yang kau lakukan! Kekuatan apa itu!?"

Stallza mengedik. "Kekuatan cahaya, mungkin?" katanya acuh tak acuh.

Dari dalam gumpalan hitam terdengar suara bagaikan gemuruh guntur. "Tidak kusangka ini terjadi! Ventinis!!!" teriak suara dari dalam gumpalan hitam. Petir hitam menyambar-nyambar keluar dari gumpalan hitam sebelum gumpalan itu lenyap.

"Hei! Mana Lan!" seru Stallza.

Sebuah suara bergema di dalam hutan membalas seruan Stallza. "Kau mungkin memiliki kekuatan Ventinis. Tetapi dengan demikian kau kehilangan satu hal yang penting di tempat ini," kata suara itu, "tidak ada yang hidup di dalam dunia orang mati. Itu peraturan terpenting di sini. Dan kau sudah melanggar peraturan itu."

***

Dunia serba merah milik makhluk bernama Thurqk merupakan dunia yang hanya dimasuki makhluk serupa roh. Hanya jiwa-jiwa yang telah mati yang bisa masuk ke tempat itu. Tetapi sebuah anomali telah membuat Stallza bisa memasuki tempat itu. Stallza tidak pernah mati. Dia hanya kehilangan eksistensi fisiknya di dunia, tetapi hubungan jiwa dan tubuhnya tidak pernah terputus. Ventinis, makhluk yang untuk memanggilnya Stallza harus mengorbankan eksistensi tubuhnya, tidak pernah membunuh Stallza. Thurqk tidak mengetahui anomali itu. Dan Thurqk mengijinkan anomali berikutnya terjadi di dunia miliknya sendiri.

Lan, gadis yang dicintai Stallza, adalah anomali kedua di dunia Thurqk. Untuk anomali ini Thurqk sendiri yang membuatnya. Dia membawa gadis itu masuk hidup-hidup di dunianya sendiri demi mengancam Stallza. Namun apa yang dilakukannya malah membuat dasar dunia miliknya menjadi goyah.

Lolosnya Yvika adalah anomali ketiga yang terjadi. Sekelompok manusia hidup berhasil menerobos masuk dan menarik keluar Yvika dari dunia milik Thurqk. Lalu Forneus yang masih memiliki sosok meski telah kalah, menolong Stallza bahkan memberikan kekuatannya pada pria itu. Dan kini semua anomali itu memuncak dalam bentuk kembalinya kehidupan ke para peserta tanpa campur tangan Thurqk.

Stallza telah mendapatkan eksistensinya kembali dari Ventinis saat mengejar cahaya di dalam kegelapan. Tetapi saat ini pria itu tidak menyadarinya.

***

III

Stallza menutup matanya, merasakan keberadaan Spiritianya yang mungkin saja terjatuh entah di bagian mana di dunia serba merah milik Thurqk. Dia tidak peduli waktu yang harus dia habiskan. Dia akan mencari mereka semua dan menyatukan mereka kembali. Dan Stallza tersenyum saat menemukan satu dari sekian banyak Spiritianya berada di tempat yang sama dengannya.

Saat terpisah dengan para Spiritianya, Stallza selalu bisa merasakan keberadaan mereka, tidak peduli seberapa jauh mereka terpisah. Jiwa mereka masih terikat dengan perjanjian. Jiwa mereka masing saling memanggil. Stallza memanggil mereka, dan mereka menyahut. Stallza bisa merasakan getaran-getaran halus di bawah kulitnya saat dia semakin dekat dengan salah satu Spiritianya. Seperti yang dialaminya saat ini. Hutan Jagatha Vadhi yang sangat luas bukan masalah untuk Stallza. Dia berjalan mantap ke arah timur sambil merasakan getaran-getaran di kulitnya yang semakin sering muncul.

***

Stallza disambut pemandangan yang aneh saat getaran-getaran di kulitnya berubah menjadi nyeri yang menusuk-nusuk. Jagatha Vadhi, hutan tempatnya sekarang berada, tiba-tiba diselimuti kabut tebal. Warna hitam dan merah hutan itu seakan ditelan warna putih kabut itu. Suhu udara menurun drastis. Bongkahan-bongkahan es muncul di batang-batang pohon.

"Seharusnya tidak seperti ini," kata Stallza dengan tatapan tidak percaya pada kabut yang menghadangnya. Nafasnya  berembun. Udara terasa sangat berat dan dingin masuk ke paru-parunya. Stallza menggeleng melihat apa yang dilihatnya saat ini. "Seharusnya kau tidak seperti ini, Nitria. Apa yang membuatmu kembali mengamuk?" serunya pada kabut itu.

Tidak ada yang menyahut dari dalam kabut itu. Tetapi kabut putih itu membalas seruan Stallza dengan menghambur ke arahnya. Serangan udara dingin yang menusuk dari kabut itu seketika membuat sisik Forneus muncul menyelimuti seluruh tubuh Stallza.

"Nitria! Dengarkan aku!" seru Stallza.

Kabut putih yang menyelimuti Stallza seketika bergerak kencang memutari tubuh pria itu. Meski kulit Stallza terlindungi dari dinginnya kabut, paru-parunya tidak terlindungi dari udara dingin dan basah. Stallza mencoba menutupi hidungnya, tapi kabut yang menyelimutinya tetap merangsek masuk. Stallza terbatuk. Udara dingin yang membuat paru-parunya menjadi basah memaksa Stallza tersungkur.

Stallza pernah menghadapi Nitria yang mengamuk saat pertama kali mereka bertemu. Stallza tidak tahu mengapa dia harus menghadapi sosok mengamuk Nitria untuk kedua kalinya saat ini.

"Apa… yang terjadi padamu, Nitria?" tanya Stallza terbata-bata.

Tidak ada jawaban. Kabut di sekeliling Stallza berpusar semakin kencang. Bongkahan-bongkahan es di batang kayu di sekitar Stallza terlepas dan terbawa pusaran itu, menghantam tubuhnya bagaikan kerikil-kerikil yang terus dilemparkan ke arahnya. Sisik Forneus mungkin saja bisa melindungi Stallza dari dingin, tetapi sisik itu tidak bisa melindungi kepala Stallza dari hantaman ratusan bongkahan es kecil. Stallza berusaha melindungi kepalanya dari bongkahan-bongkahan es itu. Tetapi jumlahnya terlalu banyak. Dihantam ratusan bongkahan es dalam arus yang berpusar bagaikan topan membuat kesadaran Stallza tidak bisa bertahan.

***

Tubuh Stallza terombang-ambing di atas awan. Rasanya nyaman. Langit biru tanpa matahari berada di atas kepalanya. Di bawah punggungnya awan terasa seperti bulu domba yang sangat halus. Stallza tahu dia berada di mana. Dia tahu sosok itu juga ada di tempat ini.

"Ventinis," panggil Stallza pada sosok yang dia tahu ada di sini.

"Kau memanggilku?" suara seorang wanita menjawabnya.

Stallza bangkit dari tidurnya dan membungkuk hormat pada sosok Ventinis. Ventinis membalasnya dengan juga membungkuk hormat.

"Ada apa, Stallza?" tanya Ventinis.

"Mengapa aku ada di sini?" tanya Stallza.

"Tempat ini ada di dalam dirimu. Saat kesadaranmu lenyap kau pasti akan muncul di sini," jawab Stallza.

"Bukankah ini duniamu?" tanya Stallza.

"Memang benar," balas Ventinis. "Dan mengapa kau berpikir ini juga bukan duniamu?"

Stallza mengedikkan bahu. "Kupikir aku tidak bisa masuk sembarangan ke dalam dunia milik orang lain. Lagipula aku manusia biasa, bukan makhluk istimewa seperti dirimu," jawabnya.

"Kami bukan makhluk istimewa," kata Ventinis. "Aku telah menceritakan asal muasal Spiritia padamu. Kami adalah senjata buatan manusia bersayap di masa lalu. Kami bukan dewa, tetapi intisari yang dibuat paksa oleh manusia. Apa yang kami lakukan hanya meniru manusia saat ini. Karena itulah sifat dan karakter Spiritia berubah sesuai karakter tuannya."

"Lalu mengapa Nitria kembali mengamuk?" tanya Stallza.

"Apa kau yakin Nitria mengamuk?" balas Ventinis.

"Dia membentuk pusaran dan menghantam kepalaku dengan bongkahan es, dia membuatku masuk ke dunia ini. Dia persis sama seperti saat aku belum mengikat perjanjian dengannya," kata Stallza.

"Jadi katamu dia tidak mengenalimu?" tanya Ventinis.

"Begitulah."

"Mungkin karena dia tahu kau bukan Stallza lagi," kata Ventinis.

Stallza mengernyit. "Aku masih Stallza. Aku mungkin mengalami geger otak karena serangan Nitria, tapi setidaknya aku masih tahu namaku Stallza. Laki-laki. Dan tujuanku adalah menyelamatkan Lan."

"Dan kau juga adalah pengguna Spiritia yang meleburkan diri dengan Ventinis," balas Ventinis.

"Tunggu dulu," kata Stallza cepat. "Kau bilang… meleburkan diri?"

"Benar," jawab Ventinis. "Sama seperti sang ratu yang menjadi satu dengan Ventinis, demikian juga dengan dirimu. Saat kau menukarkan eksistensimu untuk memanggilku, sebenarnya kau sedang menyatukan eksistensimu sendiri dengan diriku. Maka saat eksistensimu kembali, kau bukan lagi seorang Stallza."

"Tunggu dulu!" kata Stallza. "Sejak kapan eksistensiku kembali? Maksudmu… aku kembali menjadi manusia?"

Ventinis mengangguk. "Manusia seutuhnya. Darah dan daging. Dan jika kau bertanya kapan, itu terjadi saat kau merasa eksistensimu sebagai Stallza mulai menghilang dan kau berjalan menuju cahaya yang membimbingmu," katanya.

"Maksudmu…"

Ventinis kembali mengangguk. "Aku membimbingmu kepadaku. Itu satu-satunya cara supaya sosokmu sebagai Stallza tidak hilang ditelan kekuatan gelap itu," katanya.

"Jika aku kembali menjadi manusia, apa berarti aku akan mati jika sampai terluka parah?"

"Benar," kata Ventinis. "Demikian juga kalau kau mati beku."

Stallza tersentak. "Tunggu. Tubuh fisikku sekarang berada di tengah pusaran beku Nitria," katanya.

"Kau harus bisa menenangkan Nitria seperti dulu kau menenangkan dia saat masih liar. Buat dia mengingatmu," kata Ventinis.

Stallza teringat caranya menaklukkan Nitria. Stallza nyaris kehilangan nyawanya karena dia harus menerima seluruh serangan Nitria hingga gadis itu mengakui dirinya. Stallza menghela napas panjang. "Apa yang lain juga seperti Nitria?" tanyanya.

"Kuharap tidak, tapi ada kemungkinan seperti itu," kata Ventinis. "Nah, sekarang kembalilah. Dan jangan gunakan sisik dari makhluk Forneus. Biarkan dia kembali menilaimu layak untuk menggunakan kekuatannya."

Sebuah pintu tercipta di belakang Ventinis. Stallza kembali menghela napas. "Aku tidak punya pilihan lain," kata Stallza, "aku harus mencari Lan dan keluar dari dunia membosankan ini."

***

IV

Stallza membuka matanya kembali dan terbatuk keras. Seluruh tubuhnya tidak terasa dingin berkat sisik Forneus, tetapi udara dingin memenuhi paru-parunya. Stallza kembali teringat kata-kata Ventinis. Dengan susah payah menghadapi pusaran bongkahan es yang dihantamkan Nitria ke arahnya dia berhasil berdiri.

"Nitria! Ini aku, Stallza!" kata Stallza. Dia memusatkan pikirannya pada sisik Forneus yang melindungi dirinya. Dalam pikirannya dia membayangkan sisik itu hilang. Perlahan udara dingin yang menusuk mulai terasa di kulit Stallza.

"Aku menerimamu. Aku menerima apapun yang kau berikan padaku. Aku akan buktikan kalau aku layak menjadi tuanmu. Maka datanglah padaku, Nitria!" seru Stallza.

Pusaran kabut di sekitar Stallza tiba-tiba berhenti. "Apa kau serius?" sebuah suara wanita berbisik lembut dari belakang Stallza.

Stallza menoleh ke belakang, namun tidak ada siapapun di belakangnya. "Aku serius!" serunya.

"Baiklah kalau begitu," sekali lagi suara wanita berbisik dari belakang Stallza. Beserta bisikan itu wujud kabut di sekeliling Stallza berubah menjadi seperti benang-benang halus.

Ribuan benang halus meliliti kaki, tangan, dan seluruh tubuh Stallza. Stallza bisa merasakan benang-benang itu tidak sekadar menempel, tetapi juga meresap masuk ke dalam tubuhnya.  Bagaikan tangan yang merayap ke bawah kulitnya, perlahan-lahan benang-benang dingin itu masuk ke dalam aliran darahnya. Stallza menggigil kuat, tetapi dia tetap bertahan. Dia ingin membuktikan dirinya kuat menahan dingin membekukan yang menjadi kekuatan utama Nitria.

"Sudah, menyerah saja," bisikan wanita itu kembali terdengar. "Apa untungnya untukmu? Atau kau sangat ingin menjadikanku senjata sampai melakukan sejauh ini? Apa itu setimpal dengan nyawamu?"

"Senjata?" Stallza tertawa. "Aku tidak serendah itu sampai berpikir akan menjadikan seorang gadis sebagai senjata. Jangan samakan aku dengan orang-orang seperti itu."

"Lalu untuk apa kau membutuhkan kekuatanku?"

"Aku tidak ingin sendiri. Aku tahu rasanya sendirian. Dan aku tidak ingin membiarkan kau dan Spiritia lainnya merasakan kesendirian itu. Apa itu alasan yang tidak cukup?"

"Sebenarnya itu tidak cukup. Aku sudah biasa sendirian. Apa kau punya alasan lain?"

"Jangan bohong, Nitria. Aku merasakan kesepianmu. Saat ini aku bisa merasakannya. Di balik senyum dan godaan yang selalu kau tunjukkan, ada ketakutanmu yang tidak ingin ditinggalkan sendirian. Kita sama, Nitria."

"Kau berkata seperti itu seakan sudah mengenalku lama, Tuan."

"Memang aku sudah mengenalmu lama," kata Stallza. "Kau berada di dalam diriku, bukan? Aku merasakanmu, kau pun pasti bisa merasakanku. Apa kegelapan telah sangat pekat melingkupi ingatanmu? Jika begitu, biarkan terang dariku membimbingmu kembali mengingatku."

Seketika tubuh Stallza bersinar. Cahaya itu membuat hutan Jagatha Vadhi yang suram menjadi terang benderang, mengusir semua bayangan gelap ataupun warna merah yang tampak di mana-mana.

***

Stallza tidak ingat apa yang terjadi setelah dirinya bercahaya terang. Dia juga tidak tahu dari mana dan bagaimana bisa dia bercahaya seperti itu. Tetapi kini Stallza mendapati dirinya terbaring di atas sebuah tanah lapang. Pohon-pohon rachta yang memenuhi hutan Jagatha Vadhi tidak tampak di sekitar tanah lapang itu.

Stallza tidak sendirian berbaring di atas tanah lapang itu. Seorang gadis bertelinga lancip tertidur pulas sambil memeluknya. Gadis itu adalah Nitria, tetapi ada yang berbeda dari dirinya yang lama. Stallza tidak merasakan dingin dari pelukan gadis itu. Kabut yang menyelimuti tubuh gadis itu yang selama ini menjadi pakaiannya pun tidak ada.

"Nitria!" seru Stallza. Pria itu seketika bangkit berdiri setelah sadar apa yang terjadi. Dia melihat tubuhnya sendiri. Pakaiannya masih utuh.

Nitria terbangun mendengar suara Stallza. Dengan malas-malasan dia duduk sambil menggosok matanya. "Ada apa, tuan?" tanyanya.

Perubahan Nitria ternyata bukan hanya pada kabut yang menyelimutinya. Suara dan wajah Nitria juga tampak lebih muda. Sosok Nitria di depan Stallza sekarang tampak seperti anak kecil, berbeda dengan Nitria yang terlihat dewasa.

"Ka-kau berubah? Ke-kenapa tampilanmu begitu?" Stallza tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Dia mungkin biasa dengan kelakuan Spiritia-spiritianya yang suka menggelayut padanya, tetapi baru kali ini dia mengalami tersadar dengan salah satunya tampil sangat polos di sisinya.

Nitria mengangkat alisnya. "Oh, ini? Ini adalah wujud asliku. Hanya kutunjukkan pada orang yang kuakui," katanya santai.

"A-aku lebih suka dengan wujud lamamu," kata Stallza. Dia berusaha memalingkan wajah dari sosok Nitria—bukan hal yang mudah untuk pria normal seperti dirinya. "Dan kalau sampai Lan melihatmu seperti ini, dia pasti salah paham padaku."

Nitria tersenyum. "Dengan Koboldia yang selalu menempel di sisi tuan pun putri Lan tidak terganggu," katanya.

"Penampilanmu saat ini jauh berbeda dari Koboldia," kata Stallza. Dia akhirnya berbalik sambil mengatur napas, berusaha mengusir bayangan yang tidak-tidak dari pikirannya dan fokus pada sosok Lan semata.

"Jadi tuan tidak suka sosok seperti ini?" kata Nitria dengan suara merajuk.

"Tidak," kata Stallza tegas. Dia tetap membelakangi Spiritianya itu. "Lagipula aku tidak punya banyak waktu untuk bermain-main sekarang. Kita hanya punya dua hari di sini. Semakin lama waktu yang terbuang, peluang bisa bertemu Lan lagi bisa mengecil."

Nitria menghela napas panjang. "Baiklah, aku mengerti," katanya, "aku hanya ingin mengurangi keteganganmu sedikit. Maaf jika itu mengganggu tuan."

"Terima kasih atas perhatianmu," kata Stallza. Dia merasakan angin bertiup ke arahnya—atau lebih tepatnya menuju Nitria yang berada di belakangnya saat ini.

"Aku sudah  kembali ke sosok dewasaku. Tuan sudah bisa berbalik kembali," kata Nitria.

Stallza merasa tidak enak karena seakan menolak perhatian dari Spiritianya. Tetapi dia memang tidak menyukai godaan yang dilakukan Nitria saat ini. "Nitria, maaf kalau kau tersinggung, tapi—"

"Aku mengerti," kata Nitria dengan wajah ceria. "Sebaiknya kita mencari yang lain. Aku merasakan keberadaan beberapa dari mereka di dekat sini. Siapa tahu putri Lan ada di antara mereka."

Stallza tersenyum lega. Spiritianya tidak sedih atau marah padanya. "Kalau begitu ayo kembali," kata Stallza sambil mengulurkan tangannya pada Nitria.

Nitria mengangguk. Kabut yang menyelimuti dirinya mengembang, membuat sosoknya tak tampak sementara dia berubah menjadi kristal.

***

Stallza lega tidak semua Spitiria miliknya mengamuk saat ditemui kembali. Iodesa, Spiritia pertama yang dia miliki, malah menerjang dan memeluknya sambil berurai air mata saat bertemu kembali. Ferra pun  demikian. Gadis berambut merah itu hanya memintanya memberikan salam dengan kepalan tangan—sesuatu yang terdengar mudah, tetapi kepalan tangan Ferra sama dengan sebuah bola besi padat. Adiknya, Koboldia, bertemu dengan Stallza dalam rupa yang berbeda. Ekor serigala dan telinganya memanjang, sementara wajahnya tampak sangat haus darah. Tetapi sebuah pukulan telak di kepala oleh Ferra seketika membuat Koboldia sadar. Dalam setengah hari Stallza kembali menemukan empat Spiritianya. Masih tersisa tiga puluh enam lagi dan sang putri yang berlum ditemukannya.

***

V

Stallza terlalu sibuk mencari semua Spiritianya yang terpencar. Dia tidak sadar sedang berada di dalam sebuah arena pertarungan. Apalagi yang dihadapinya bukan sekadar lawan biasa. Saat dia menyadari itu, Stallza sementara berusaha menangkap Argonos yang terus menerus terbang menghindar. Dan lawan yang pertama dihadapinya adalah seorang pria berbaju serba hitam.

Pria itu bernama Claude. Dia bukan—secara teknis—peserta di pertarungan si dewa merah. Tetapi karena kebodohan si dewa yang tidak memeriksa latar belakang setiap pesertanya dengan detail, maka sesosok makhluk dengan dua jiwa bisa ikut dalam pertandingan yang konon hadiahnya adalah bisa hidup kembali ini. Claude tidak banyak bicara. Dia dengan segera menunjukkan kekuatannya tanpa perlu memperkenalkan nama atau istilah untuk kekuatannya itu pada lawannya. Yang dilakukannya adalah melemparkan sebuah belati yang ditemukannya selama menjelajahi hutan ke arah Stallza sebagai salam perkenalan. Saat Stallza menghindar, dia mengambil sebuah belati lagi dan melemparkannya ke atas kepalanya sendiri. Sesuatu yang sekilas tampak bodoh, usaha bunuh diri. Tetapi di sinilah kekuatan Claude. Hanya dalam sekejap Claude dan Stallza bertukar tempat, tepat sebelum ujung belati itu menyentuh ubun-ubunnya. Saat mereka bertukar tempat, maka kepala Stallzalah yang menjadi target belati itu.

Seharusnya.

Stallza seharusnya mati dengan satu jurus sederhana namun efektif itu. Tetapi Stallza tidak sendirian. Sosok Koboldia segera muncul dan mennangkis belati itu dengan belatinya, sementara Ferra menangkap belati itu dan menyerahkannya pada Stallza.

"Pria yang baik hati," kata Ferra, "mau membantu mengumpulkan belati-belati kita tanpa pamrih."

"Sepertinya ada, kak," balas Koboldia sambil memberi tanda pada kakaknya agar waspada. Serangan berikutnya dari Claude sudah dimulai lagi.

Dua bola hitam tercipta di kedua telapak tangan Claude. Pria itu berpindah tempat dalam sekejap tepat di depan Stallza sebelum ada yang menyadarinya. Claude tidak memukul atau mendorong Stallza. Dia hanya menyentuhkan kedua telapak tangannya ke dada Stallza dan membiarkan kedua bola itu memulai aksinya. Pertama-tama kedua bola itu menarik dan mencabik baju Stallza. Yang kedua mereka akan menarik tubuh Stallza sambil tetap menghancurkan apapun dari tubuhnya yang mendekat. Langkah ketiga adalah Stallza akan terhisap utuh  ke dalam bola-bola hitam di tangan Claude itu dan lumat di dalamnya.

Sayang untuk Claude, dia melupakan kalau Stallza tidak bertarung sendirian. Saat kedua bola di tangannya mulai mencabik kain baju Stallza, Koboldia dengan sigap mengayunkan belatinya ke tangan Claude. Kecepatan tangan dan tajamnya mata belati gadis itu, ditambah sifat haus darahnya yang entah mengapa menjadi sedikit tidak terkendali—Koboldia masih menyisakan batang leher Claude untuk tidak ditebasnya—memberikan masalah yang nyaris fatal pada Claude. Fatal, karena dengan banyaknya darah yang kerluar dari tubuhnya, dia bisa kehilangan nyawanya untuk kedua kalinya.

Sebuah anomali di dunia merah saling bertemu dan bertempur. Dan tak satupun dari itu semua disadari oleh si dewa merah yang sibuk menyesap anggur dan menikmati adegan demi adegan percobaan pembunuhan yang dilakukan kedua anomali itu.

***

"Siapa namamu?" seru Stallza pada pria dengan pakaian serbahitam yang menyerangnya.

"Namanya Claude," bukan pria itu yang menjawab. Sebentuk kabut berpusar dari balik punggung pria itu dan membentuk sosok Abby, gadis kecil yang sering beredar di samping si makhluk merah yang menyebut dirinya dewa—Stallza tidak sudi menyebut makhluk itu sebagai dewa, atau bahkan mengucapkan namanya jika tidak dibutuhkan.

Stallza nyaris menyerang Abby begitu melihat sosoknya. Dia masih ingat siapa yang menimpakan masalah padanya. Gadis yang mendatangkan mayat-mayat hidup sebagai lawan saat dia beru menginjakkan kaki di pertandingan ini. Gadis yang juga berkali-kali memindahkan dirinya ke tempat lain dan membuat rencananya menyelamatkan Lan terus terseok-seok. Seandainya bukan karena ditahan Nitria, Stallza sudah maju menyerang gadis kecil itu dengan kedua belati di tangannya—kedua belati yang dilemparkan Claude, yang kebetulan adalah belati milik Stallza yang terpencar.

"Tahan dirimu sebentar, tuanku," kata Nitria sedikit berbisik dari belakang Stallza. Kedua tangannya memeluk tubuh tuannya itu sekuat tenaganya. "Jika gegabah, entah ke mana lagi kau akan dibuangnya."

Rahang Stallza menegang. Memang benar, Abby dan kekuatan anehnya itu bisa saja membuat mereka kembali terpencar. Stallza tidak ingin mereka kembali terpisah.

"Apa maumu," desis Stallza.

"Aku hanya ingin kau mematuhi peraturan," jawab Abby. "Aku lebih suka melihat pertarungan penuh darah demi meraih tujuan. Dan tujuanku adalah memiliki kekuatan Ventinis kembali. Peraturannya adalah kau harus mati untuk itu. Sederhana, bukan?" katanya sambil tertawa kecil.

"Aku menolak mengikuti peraturanmu," kata Stallza. "Lagipula jika kau mau, seharusnya kau yang bertarung sendiri. Bukan memakai boneka seperti ini!"

"Kau sendiri tidak ada apa-apanya jika bukan karena Spiritia, bukan?" balas Abby. "Kau hanyalah seorang pemilik kedai kecil di pinggiran kerajaan yang kebetulah bertemu dengan Spiritia. Lalu mereka mempercayaimu dan mengikat perjanjian denganmu. Lalu kau memakai mereka dalam perang. Lalu apa bedanya antara kau dan para manusia bersayap yang membuat mereka?"

"Aku manusia biasa!" seru Stallza. "Aku memang pemilik kedai kecil pinggiran yang tidak punya apa-apa selain kekosongan! Tetapi aku tidak menganggap para Spiritia sebagai benda mati. Aku mendengarkan harapan mereka dan menjadikannya sebagai harapanku sendiri. Aku hanya tidak ingin sendirian, dan hal itu pula yang diinginkan para Spiritia yang bersamaku. Apa salah jika kami saling membela?"

"Oh, ya? Lalu apa yang pernah kau lakukan pada mereka? Apa kau pernah mengorbankan nyawa demi mereka?" tanya Abby dengan raut muka polos.

"Demi memanggil kami sebagai makhluk yang hidup di dunia nyata, tuan Stallza sudah membahayakan nyawanya sendiri. Dia adalah orang biasa. Bukan manusia bersayap dari dunia atas yang penuh dengan kekuatan. Kau yang tidak tahu apa-apa lebih baik diam!" kata Ferra.

"Dia memanggilmu hanya saat dibutuhkan saja, bukan? Jika ada musuh yang tidak bisa dihadapi pria ini misalnya," kata Abby lagi.

"Tuan Stallza lebih sering memanggil kami saat santai daripada saat berperang," balas Nitria. "Dia selalu memberikan waktu untuk bertemu dengan kami masing-masing, berbicara dan bercerita, makan dan minum seperti teman akrab. Kami sebagai spiritianya mungkin sering bertengkar satu sama lain. Tetapi dalam kawanan kecil inilah kami belajar apa yang disebut keluarga."

Abby tertawa terbahak-bahak saat mendengar kata "keluarga" terucap oleh Nitria. "Kau yang hanya makhluk buatan itu mana tahu apa yang disebut keluarga!" serunya. "Kau, aku, Ventinis yang menjadi asal mula kita, bukan makhluk hidup. Kita buatan! Kita tidak mengenal konsep keluarga! Lalu apa itu, ada Spiritia yang menganggap Spiritia lain sebagai kakaknya? Hah! Jangan melucu kalian!" teriak Abby dengan suara parau. Sosoknya perlahan berubah kembali menjadi gumpalan asap.

"Maka aku merasa kasihan padamu," kata Koboldia pada gumpalan asap itu. "Kami tahu bahwa Spiritia terlahir dari Ventinis.  Kami tahu Ventinis adalah ibu dari semua Spiritia. Kami bersaudara, dan tuan Stallza menyatukan kami semua di bawah atapnya yang sederhana. Tuanku ini telah menyatukan kami dalam sebuah keluarga, meski dia adalah manusia biasa dan bukan Spiritia." Gadis berkuping serigala itu tersenyum. "Tapi sosok hitam yang hanya bisa merasa dirinya paling tersiksa karena kesendirian dan kesepian tahu apa tentang kebahagiaan kami?"

"Demikian juga denganmu, nona kecil. Tahu apa kau rasanya kesepian ?" balas gumpalan asap. "Tapi aku sangat baik hati untuk mengajarimu arti dari kesepian yang sesungguhnya."

Tanpa disadari siapapun, sosok Claude sudah tak ada di tempatnya. Pria itu kini telah berpindah ke belakang Ferra dan menyentuhkan bola hitamnya ke punggung gadis berambut merah itu. Ferra tidak sempat mengelak. Perlahan bola hitam itu membesar dan menelan tubuh Spiritia pengendali besi itu. Koboldia dan Stallza yang terkejut mencoba menarik tubuh Ferra dari dalam bola hitam itu, tetapi kekuatan menghisap bola itu terlalu kuat.

"Pergi!" seru Ferra sambil mendorong Stallza dan Koboldia. "Nitria, bawa mereka pergi dari sini!"

"Tapi—"

"Tidak ada waktu lagi!" seru Ferra. Kini setengah tubuhnya telah ditelan oleh bola yang semakin membesar itu.

Nitria tidak ingin meninggalkan temannya sendirian, tetapi di saat bersamaan dia tahu ada kemungkinan bola itu menyerap siapapun di tempat ini. Keselamatan tuannya tetap yang utama. Maka dengan cepat dia menyelubungi tubuh tuannya dan Koboldia dengan kabut ciptaannya. Nitria juga memenuhi hutan itu dengan kabut sebagai pengalih perhatian sementara dia juga menarik kedua anggota keluarganya itu menjauh.

Bola hitam yang diciptakan Claude menelan Ferra dan kabut yang diciptakan Nitria. Namun saat itu terjadi sosok Stallza dan Koboldia sudah tidak berada di sana.

"Cih, mereka kabur," kata Claude. "Hei, dia bilang apa tadi? Boneka?"

"Tidak usah kau pikirkan. Dia memang orang kurang ajar. Kalau mau membalasnya, kau bisa menelan mereka nanti," kata gumpalan asap, "tapi sekarang kau bisa menelan cincin aneh yang terus-terusan terbang itu dulu. Dia juga Spiritia dari orang yang mengancam keselamatan kekasihmu tadi."

***

Hutan Jagatha Vadhi tampak lebih gelap dari biasanya. Tidak ada matahari di dunia serbamerah ini, tetapi perubahan intensitas warna merah di langit memberikan ilusi siang dan malam di tempat ini. Di salah satu ceruk akar pohon Rachta yang menjulang tinggi, Stallza dan para Spiritia miliknya duduk bersandar. Tidak ada satupun suara lain yang terdengar dari kelompok itu selain tangisan Koboldia. Mengabaikan 'persaingan' di antara mereka, Koboldia bersandar di dada Nitria sambil terisak seperti anak kecil. Stallza bersandar pada batang pohon, matanya memandang kanopi hutan dengan tatapan menerawang. Iodesa duduk di dekat kaki tuannya itu sambil menyembuhkan luka-lukanya.

"Kita akan menyelamatkan Ferra," kata Nitria sambil mengelus lembut kuping serigala milik Koboldia. Semua mata memandang ke arahnya. "Apa kalian lupa kalau Spiritia tidak bisa dihancurkan?"

"Jika kalian masih memiliki wujud kristal, maka kalian masih bisa dipulihkan. Tapi Ferra…," Stallza tertunduk lesu meratapi ketidakmampuannya melindungi temannya itu.

"Jika aku tidak salah membaca ingatanmu, maka seharusnya dugaanku tepat. Aku tahu di dalam dirimu kini ada Ventinis, induk dari seluruh Spiritia. Para penciptanya ingin menghancurkan Ventinis hanya karena mereka kalah pamor, tetapi yang terjadi adalah Ventinis terpecah menjadi Spiritia seperti kami. Ah, dan juga makhluk berbentuk gumpalan hitam itu," kata Nitria pada Stallza. Gadis itu mengedarkan pandangannya. Stallza sepertinya paham apa yang sedang dia bicarakan, tetapi Iodesa dan Koboldia tampak bingung. "Begini, tubuh asli kita adalah makhluk yang tidak berwujud di dunia manusia. Ventinis, makhluk yang dibuat dari intisari alam, adalah makhluk yang memiliki wujud fisik dan juga wujud roh. Kita, para spiritia, mewarisi salah satu kekuatan Ventinis, namun hanya bisa memiliki wujud roh saja. Demi bisa berwujud secara fisik, kita harus meminjam kekuatan dari makhluk lain yang memiliki wujud fisik. Kekuatan itu berasal dari eksistensi mereka. Jika kekuatan eksistensi itu habis, maka makhluk itu akan kehilangan wujud fisiknya dan menjadi serupa dengan kita," katanya lagi.

"Kita sudah tahu itu semua," kata Iodesa, "lalu apa hubungannya dengan menyelamatkan Ferra?"

"Saat ini sosok Ferra menghilang. Setidaknya wujud fisik dan kristalnya. Tapi sejak awal kita memang adalah makhluk yang tidak memiliki wujud fisik, bukan? Kristal pun hanya lahir sebagai bagian dari perjanjian kita dengan tuan Stallza. Benda hitam itu hanya menelan wujud fisik Ferra. Sedangkan jiwanya tidak ikut tertelan. Dia masih ada di dunia para Spiritia, menunggu untuk dipanggil," jelas Nitria.

"Kalau begitu aku akan segera memanggilnya," kata Stallza.

"Tunggu!" cegah Nitria.

"Ada apa lagi?" kata Stallza sedikit kesal. "Aku pun sama dengan Koboldia ingin dia kembali bersama kita. Kau pun sama, bukan?"

"Memang benar," kata Nitria, "tetapi apa tuan yakin? Untuk menarik Ferra kembali, kita tidak tahu berapa banyak eksistensi tuan yang akan digunakan. Kita juga masih bisa diserang oleh teman-teman yang tercuci otaknya atau musuh. Keadaan kita sedang tidak menguntungkan. Tetapi jika tuan bisa beristirahat sampai pagi tiba, mungkin tuan bisa mengembalikan Ferra. Aku hanya ingin kita semua bisa beristirahat sejenak."

"Lalu bagaimana kalau ada yang menyerang tuan saat dia tidur?" tanya Koboldia dengan suara lemah.

Nitria tersenyum dan mengelus lembut kepala Koboldia. "Tenang, aku akan membentuk kabut yang membingungkan lawan. Mereka akan tersesat dan tidak bisa keluar atau menemukan kita. Jadi kau bisa beristirahat dan menggantikanku melindungi tuan Stallza nanti," katanya lembut.

Koboldia mengangguk. Dia bangkit dan berjalan ke arah Stallza. Sosoknya berpendar biru sebelum akhirnya memancarkan cahaya dan berubah menjadi kristal yang melayang pelan ke tangan Stallza. Iodesa mengikuti langkah Koboldia. Gadis bermata merah itu mengubah sosoknya kembali menjadi kristal.

"Akan kubuat tabirnya sekarang," kata Nitria.

"Nitria," kata Stallza. Spiritianya itu menoleh. "Terima kasih," kata Stallza.

Nitria tersenyum dan mengangguk pada Stallza sebelum berbalik dan menciptakan tabir kabut tebal. Kabut yang membungkus tubuh Nitrialah yang menyebar dan membentuk tabir itu. Dengan kecepatan yang sangat luar biasa, tabir itu bergerak dan menyelimuti semua yang dilaluinya. Perlahan tapi pasti, hutan serbamerah itu kembali tenggelam dalam warna putih kusam kabut yang pekat.

Seperti yang dikatakan Nitria, kini jarak pandang tidak lebih dari beberapa langkah. Stallza bahkan nyaris tidak bisa melihat sesosok gadis kecil bertelinga lancip yang kini tidur sambil meletakkan kepalanya di pangkuannya. Stallza membelai kepala gadis itu dengan lembut. "Beristirahatlah, Nitria," katanya. Stallza tidak merasakan dingin di dalam kabut itu. Diapun bisa menghirup napas tanpa kesulitan. Kini tugasnya adalah memulihkan diri. Pertarungan masih ada sehari lagi.

***

VI

 Claudia hanya ingin mencari Claude. Dia tidak begitu peduli dengan pertandingan yang dibuat oleh Thurqk. Toh dia dan Claude telah mendapatkan kembali kehidupan mereka kembali. Yang dia inginkan hanya berada di sisi kekasihnya itu. Tapi apa daya saat kekasihnya itu dijadikan sandera demi memaksanya ikut dalam pertandingan hingga akhir? Saat dibawa oleh satu hvyt, dia mengetahui siapa yang akan dilawannya. Stallza, pastilah dia bukan si boneka atau makhluk biru yang menyerupai cairan di dalam penjara. Si boneka bernama Ursario, dari pengakuan si boneka sendiri begitu dia sadar dan berteriak-teriak di dalam penjara. Saat dia menanyakan apakah lawannya manusia atau bukan, dengan santai hvyt yang membawanya berkata kalau lawannya adalah manusia sampah yang sama seperti dirinya.

Saat mendarat di atas tanah, dengan santai Claudia membentuk sebuah bangun ruang yang menembus keluar dari dada hvyt yang membawanya. Hanya dalam sekejap hvyt itu tewas bersimbah darah. "Sopanlah pada peserta," kata Claudia saat itu pada bangkai hvyt yang dibunuhnya.

Beberapa lama berjalan tak tentu arah di dalam hutan Jagatha Vadhi, Claudia merasakan keberadaan kekasihnya di hutan itu. Meski mereka kini memiliki dua tubuh dan jiwa yang terpisah, masa-masa yang mereka lalui saat masih bersama memberikan mereka kemampuan saling terhubung. Ikatan jiwa antara keduanya masih terjalin. Claudia tahu jika kekasihnya itu berada dekat dengannya. Dengan riang dia berlari ke sebuah arah yang dia tahu merupakan tempat kekasihnya berada.

Tetapi saat keberadaan Claude terasa semakin dekat, yang menyambut Claudia adalah kabut tebal yang dingin. Jarak pandang sangat pendek. Pepohonan merah sulit terlihat. Langit di atas Jagatha Vadhi juga semakin gelap. Claudia sempat berpikir untuk mencari jalan memutar, tetapi dia merasakan keberadaan Claude berada di dalam kabut itu.

"Terserahlah," kata Claudia sambil mengangkat bahunya. Dia tidak peduli apakah kabut itu membuatnya menggigil dan kesulitan untuk bernapas atau berapa kali dia tersandung akar-akar pohon. Dia tahu Claude berada di dalam kabut itu, juga sedang mencarinya. Hanya itu yang penting.

***

Melawan  makhluk berbentuk aneh yang awalnya dihadapi Stallza tidak semudah bayangan Claude. Dia berkali-kali berpindah ke belakang lawannya untuk membuatnya lengah dan menghisapnya ke dalam lubang hitam ciptaannya. Tetapi makhluk berbentuk bola yang dikelilingi cincin itu telah menghilang saat dia selesai berpindah tempat. Bahkan saat dia bermaksud menukar posisi batu yang dia pungut dan si makhluk itu, yang malah dia dapati di tangannya adalah sebuah batang pohon mati yang berukuran sama besar dengan tubuhnya sendiri. Seandainya Claude tidak berhasil berpindah tempat saat itu juga, mungkin saja tangan Claude akan tertimpa dan remuk.

"Dia menguasai waktu," kata gumpalan hitam yang mengikuti Claude pada pria itu. "Dia bisa menghentikan waktu sesaat sebelum kau melakukan apapun yang kau lakukan padanya."

"Kau sepertinya cukup kenal dengan makhluk ini," kata Claude pada gumpalan hitam di belakangnya, "berarti kau tahu kelemahannya, bukan?"

Gumpalan hitam di belakang Claude tertawa kecil. "Tentu saja," katanya, "tetapi kau harus bersabar. Dia baru menggunakan kemampuannya tiga kali. Tunggu sampai dua kali lagi, maka kesempatanmu akan terbuka."

"Maksudmu aku harus menunggu diserang entah dengan apa lagi sebelum bisa menyerangnya? Yang terakhir ini adalah batang kayu berat. Ah, dan sekarang dia kabur," kata Claude. Sosok makhluk yang dilawannya terbang terbirit-birit menjauh dari tempat Claude.

Claude berpindah tempat ke belakang si makhluk bola bercincin, tetapi makhluk itu segera bergegas melaju kembali. Gerakan makhluk itu jauh lebih cepat dari perpindahan tempat Claude, bahkan tanpa makhluk itu menggunakan kekuatannya. Tetapi Claude tidak bosan mengejarnya. Hingga akhirnya si makhluk terbang masuk ke dalam daerah berkabut tebal.

"Di dalam dunia ini ada kabut juga, ya?" tanya Claude pada gumpalan hitam di belakangnya.

"Tidak ada kabut di dunia ini," kata gumpalan hitam. "Ini adalah kemampuan Spiritia pria itu. Kau bisa menghilangkannya dengan lubang hitammu."

"Kalau begitu kuubah targetku," kata Claude. Dua bola berwarna hitam muncul di kedua telapak tangannya. Diarahkannya kedua bola itu ke arah kabut. Perlahan kabut itu tersedot ke dalam bola di tangannya. Tetapi setelah cukup lama waktu berlalu, kabut pekat itu tampak tidak berkurang sama sekali.

Claude berdecak kesal. "Apa tidak ada habis-habisnya? Hei. Apa ada cara lain menghadapi kabut ini?" tanyanya pada gumpalan hitam di belakangnya.

Tidak ada jawaban. Claude menoleh ke belakang dan tidak menemukan siapapun di belakangnya. "Cih! Sekarang makhluk hitam itu pergi?"gerutunya kesal.

Sementara dia menghisap kabut yang menghalangi jalannya, tiba-tiba dia merasakan keberadaan sosok Claudia di balik kabut itu. Sekali lagi Claude mengganti targetnya. Dia menghilangkan bola di tangannya dan tanpa memikirkan resikonya segera berpindah tempat dan masuk ke dalam kabut itu. Meski dia hanya bisa berpindah tempat sejauh tempat yang bisa dilihatnya, Claude tetap bergerak maju demi bertemu dengan kekasihnya itu.

***

"Claude!"

Claude mendengar suara kekasihnya menggema di dalam kabut. Tetapi sosoknya belum tampak sama sekali. "Claudia!" serunya membalas. Beberapa lama berlalu sebelum akhirnya gadis yang dicintainya itu membalas kembali.

"Di mana kau?" tanya Claudia.

"Aku di sini," kata Claude. "Aku akan ke sana segera."

Claude selama ini hanya bisa berpindah tempat ke titik yang bisa dilihat oleh matanya. Tetapi kali ini dia ingin menguji kemampuan barunya lebih jauh lagi. "Jangan ke mana-mana, Claudia. Aku akan ke sana," katanya.

"Bagaimana caranya? Kabut ini terlalu pekat," balas Claudia.

"Percaya padaku," kata Claude. Dia memejamkan mata, menajamkan telinganya untuk mengetahui asal gema suara Claudia. Claude mengetahui keberadaan kekasihnya tepat selurus dengan dirinya. Dia membayangkan wajah kekasihnya dan menghidupkan bayangan itu dalam pikirannya. Dia seolah-olah melihatnya, bagaimana Claudia bernapas, wajahnya yang tampak khawatir sekaligus bersemangat karena akan bisa bertemu dengannya kembali. Keinginan di dalam diri Claude juga menggebu untuk bertemu dengannya saat itu juga. Claude membayangkan sebuah titik di samping Claudia. Lalu dengan memusatkan seluruh konsentrasinya dia membayangkan dirinya melompat ke titik itu.

Claude berhasil. Dia berpindah tempat tepat di samping Claudia.

"Claude!" seru Claudia saat merasakan kekasihnya itu sudah berada di sampingnya. Dia menghambur dan memeluk kekasihnya dengan erat, dan kekasihnya membalas pelukan itu dengan penuh gairah.

"Aku mencarimu, Sayang," kata Claude. Dia tidak ingin melepaskan pelukannya. "Setelah kita terpisah sehabis pertandingan, aku tidak tahu kau ada di mana. Yang kutahu kau ditawan oleh Thurqk."

"Aku pun sama. Tapi aku tahu kau masih hidup. Jiwa dan tubuh kita mungkin tidak lagi berada dalam satu wadah yang sama, tetapi hubungan antara jiwa kita masih erat satu sama lain. Aku tahu kau akan bisa menemukanku, tapi bagaimana caranya kau berpindah tempat tanpa melihatku?" kata Claudia.

"Aku melihatmu," kata Claude sambil mencumbui bibir kekasihnya dengan lembut. Udara dingin yang membungkus mereka tidak bisa menaklukkan hasrat keduanya. "Seperti yang kau katakan. Jiwa kita terhubung. Aku membayangkan dirimu, dan seketika aku berada di sampingmu."

"Oh, Claude," Claudia mencium kekasihnya dengan agresif. Lama mereka tak berbicara, membiarkan kerinduan mereka terpuaskan dalam tindakan fisik itu.

"Ayo kita pergi," kata Claude. "Kau bisa membuat ruang tertutup. Kita bisa mengeksplorasi kemampuan baru yang kita terima. Siapa tahu dari sana kita bisa menciptakan dunia kita sekali. Yang penting kita pergi dari pertarungan tidak penting ini."

Claudia tersenyum. "Kau benar, Claude. Aku setuju," katanya.

Pertemuan pasangan kekasih itu terganggu oleh sebuah tepukan tangan tak jauh dari sana. "Siapa di sana!" seru Claude.

"Ah, maaf jika aku mengganggu kalian." Suara berat dan dalam seorang pria terdengar di antara tepuk tangan itu. Perlahan sosoknya tampak di tengah tabir kabut itu. "Aku hanya suka melihat sepasang kekasih yang terpisah akhirnya bertemu kembali. Sangat romantis!" lanjut pria itu.

"Tunjukkan dirimu!" seru Claudia.

"Baiklah kalau begitu," kata pria itu. Bersamaan dengan itu sebuah asap berwarna cokelat muncul di sekitar Claude dan Claudia dan perlahan menggantikan kabut putih yang menyelubungi mereka. Asap itu berputar-putar dan mengusir kabut itu, membuat tabir yang menghalangi pandangan Claude dan Claudia menghilang. Dan di saat bersamaan, kedua kekasih itu pun melihat sosok pria yang berbicara pada mereka.

Sosok pria itu tinggi, memiliki rambut panjang sepinggang berwarna putih yang tergerai lembut, dan mata berwarna karamel. Pria itu memakai baju lengan panjang dengan beberapa kancing atas terbuka dan sebuah celana panjang berwarna hitam. Dia tersenyum sangat menawan. "Salam kenal. Namaku adalah Arzaniko. Asap yang kalian lihat ini adalah temanku, Bromon," kata pria itu dengan suaranya yang dalam.

"Apa maumu?" hardik Claude. Dia memunculkan bola-bola hitam di tangannya, bersiap untuk menghadapi semua kemungkinan yang mungkin akan terjadi.

"Hm, tipe yang sangat berhati-hati, ya? Bagus. Kalau tidak begitu tidak akan menarik," kata Arzaniko. Dia membungkuk. "Aku menemui kalian untuk satu tujuan," katanya. Dia mengangkat kepalanya dan tersenyum, "Membunuh kalian berdua."

***

VII

Gumpalan hitam yang mengikuti Claude kembali memunculkan dirinya di istana Thurqk. Dia kembali mengambil wujud sebagai Abby. Dengan melompat-lompat riang dia menghadap sang dewa merah yang sedang asyik menikmati pertarungan di layar besar.

"Kau pergi ke mana?" tanya Thurqk.

"Main," kata Abby polos.

"Kau mengganggu para peserta?" tanya Thurqk. Dia memutar kursinya dan menatap Abby dengan tajam.

Abby menatapnya polos dan menggeleng.

"Aku dengan beberapa hvyt melihatmu di sekitar hutan Jagatha," kata Thurqk lagi.

"Mereka mungkin salah lihat," kata Abby. "Aku sudah tidak tertarik dengan pria yang hanya memikirkan kekasihnya itu."

"Maksudmu Stallza?"

Abby mengangguk. "Lawannya akan membunuh dia. Dan kalau itu tidak cukup, semua senjatanya akan berbalik dan membunuhnya," katanya santai.

***

VIII

Nitria terbangun tiba-tiba saat merasakan sesuatu yang dingin dan tajam menempel di lehernya. Matanya menatap sebuah pedang hitam yang nyaris menyayat kulitnya.

"Plumbina?" kata Nitria.

"Kau lengah," kata Plumbina. "Kau bisa saja mati saat ini."

Nitria menatap tajam pada Plumbina. Sosoknya adalah seorang wanita berambut hitam dan memakai cadar hitam. Seluruh pakaiannya yang ketat menempel ke tubuhnya juga hitam, dengan kedua lengan yang terbuka. "Apa kau akan membunuhku sekarang?" tanyanya.

Lama tak ada suara. Nitria sudah siap menciptakan sebuah pasak es di balik punggung Plumbina seandainya Plumbina tetap berniat membunuhnya.

"Tidak," kata Plumbina sambil melepaskan pedang dari leher Nitria. "Aku hanya mengingatkan."

Dalam hati Nitria merasa lega. "Jadi kau tidak berpikir untuk melawan tuan Stallza? Pikiranmu tidak kacau?" kata Nitria.

"Tidak," kata Plumbina. "Pikiranku kuat."

Nitria tersipu. "Memang benar. Pikiranmu memang kuat. Tidak sepertiku," katanya.

"Setidaknya kau kembali," kata Plumbina. Dia menengadah. "Beberapa malah senang bisa bebas."

Nitria memejamkan matanya. "Aku merasakan beberapa Spiritia di dalam kabut ini. Juga ada dua orang manusia. Salah satunya adalah lawan kami. Ah, dan mereka berdua sedang melawan salah satu Spiritia. Bromon?" kata Nitria.

"Juga Arzaniko," kata Plumbina.

Nitria mengangkat kepalanya dan memandang Plumbina dengan tatapan tidak percaya. "Kau serius?" tanyanya. "Kedua manusia itu pasti mati dengan perpaduan Bromon dan Arzaniko. Artinya kita tidak perlu repot melawan mereka," katanya lagi.

"Apa kau tahu sumber energi mereka?" tanya Plumbina.

Nitria menggeleng. Dia pun tidak mengerti bagaimana bisa dia memiliki wujud fisik saat terpisah dari Stallza.

"Kekuatan gelap," kata Plumbina. "Dia menguasai kita. Seperti putri Lan dulu."

"Lalu kenapa kau tidak?" tanya Nitria.

Plumbina mengangkat bahunya. "Mungkin kekuatan itu sudah gugur menghadapi racunku," kata Plumbina.

Nitria tertawa. "Aku lupa kalau kekuatan aslimu adalah racun," katanya. "Pantas saja kau tidak terpengaruh waktu itu. Mungkin kau sudah kebal, ya?"

"Mungkin," balas Plumbina. "Sebaiknya bangunkan tuan. Sudah pagi."

***

 "Cage!" seru Claudia sambil mengarahkan tangannya pada Arzaniko. Sebentuk bola transparan muncul hendak memenjarakan Spiritia itu, tetapi dengan mudahnya dia menghindar. Itu adalah percobaaan Claudia yang kelima. Lima kali pula dia gagal.

Di sisi lain, Claude menghadapi serangan asap cokelat yang bergerak liar dan tak tertangkap oleh bola penghisapnya. Dia sebenarnya ingin menolong Claudia secepatnya, tetapi asap cokelat itu terus menerus membuatnya sibuk. Asap itu selalu mengikuti ke manapun Claude bergerak. Kulitnya akan terasa terbakar jika terkena asap cokelat itu. Dia pun merasa pusing jika menghirupnya.

"Claudia!" seru Claude. Dia mencoba melompat ke samping Claudia, tetapi sebelum sempat berkonsentrasi, sosok asap yang menjadi lawannya seketika muncul di depannya.

"Claude! Tukar posisi!" seru Claudia sambil membuat balok-balok transparan di udara yang dilemparkan ke arah Arzaniko.

"Tidak bisa!" seru Claude. "Asap ini mengganggu konsentrasiku!"

"Hei nona, pria tampan bukan hanya dia," kata Arzaniko pada Claudia. Dia melompati bangun-bangun yang dibentuk oleh Claudia dan menerjang ke arah gadis itu. Claudia sempat membuat tameng, tetapi Arzaniko sudah menduganya. Dia menjadikan tameng itu sebagai pijakan tangannya untuk melompat ke belakang Claudia.

Arzaniko tidak memukul Claudia. Dia hanya menyentuh punggung gadis itu dengan lembut dari atas hingga panggulnya. Tetapi efek sentuhannya membuat tubuh Claudia melemas dan tersungkur.

"Apa yang kau lakukan pada Claudia!" teriak Claude.

"Hadiah yang terbaik untuk gadis secantik dia," kata Arzaniko sambil tersenyum lembut. "Kematian yang manis dan tidak menyakitkan."

Jantung Claude seakan berhenti berdetak saat mendengar kekasihnya tewas hanya dengan sentuhan seperti itu. "Jangan bercanda!" teriak Claude. "Claudia tidak selemah itu!"

Claude tidak peduli lagi pada asap cokelat yang berputar mengejarnya saat dia berlari ke arah Arzaniko. Di tangannya kedua bola hitam tampak semakin besar. "Kubunuh kau!" teriaknya.

"Begitukah?" balas Arzaniko. Spiritia itu tidak menghindar. Dia membiarkan Claude melompat ke arahnya. Dia bahkan tidak takut saat pria itu menghilang dari depannya. "Kau ingin menyerang dari titik yang tidak terlihat olehku, bukan?"

Arzaniko mengayunkan kaki kirinya ke kanan, tepat di saat Claude muncul di sisi kanannya. Tendangan yang telak membuat Claude terkejut. Tubuhnya terpental ke belakang dan menghantam sebuah pohon besar sementara bola-bola di tangannya menghancurkan batang pohon itu. Claude yang menyadari itu cepat-cepat menghilangkan kedua bola itu. Namun sayang dia terlambat. Batang pohon itu menjadi rapuh dan jatuh menimpa ke arahnya. Claude tidak bisa berpindah tempat atau menukar dirinya dengan benda lain. Dia tidak mengerti apa sebabnya, tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas. Kepalanya pusing. Kulitnya pun melepuh.

Tepat sebelum batang pohon itu menimpa tubuhnya, sebentuk gas berwarna cokelat keluar dari hidung Claude. Di saat bersamaan kesadarannya pulih. Tetapi dia tidak punya cukup waktu untuk menghindar. Tubuhnya menjadi remuk di bawah batang pohon besar itu.

"Sebuah aksi yang buang-buang waktu. Tapi itu yang kau inginkan, bukan?" kata Arzaniko.

"Benar," suara parau membalas Arzaniko. Sebentuk gumpalan asap hitam muncul di samping pria itu dan berubah bentuk menjadi sesosok anak kecil dengan hiasan pita biru di kepalanya. Abby. "Aku akhirnya punya boneka yang seru untuk digunakan."

"Akan kau hidupkan kembali?" tanya Arzaniko.

"Apa yang kulakukan tidak akan ada artinya jika tidak menghidupkan dia kembali," kata Abby polos. "Setidaknya dengan cara tertentu Thurqk bisa memenjarakan jiwa-jiwa dalam bentuk krsital," katanya sambil mengeluarkan dua buah kristal berbentuk bola kelereng dari sebuah kantung kulit. Gadis berambut hitam itu melemparkan kedua bola itu ke arah Claude dan Claudia. Kedua bola itu lalu bersinar terang saat menyentuh dan terserap masuk ke dalam tubuh Claude dan Claudia.

"Jiwa mereka akan terserap oleh kristal itu dan akan disimpan kembali di ruangan khusus Thurqk," kata Abby, "dengan begitu, mereka akan tetapi mematuhi pertandingan ini."

"Aku heran mengapa kau masih mau bekerja untuk makhluk itu," kata Arzaniko.

"Aku tidak bekerja untuknya," kata Abby. Dia tersenyum lebar. "Ada sesuatu yang kucari dari si dewa merah, makanya aku membantunya," lanjut Abby ceria. Dia menoleh pada Arzaniko. "Kau sendiri akan memihak siapa sekarang? Stallza?" tanyanya pada Spiritia itu.

Arzaniko tersenyum. "Aku malas mengikuti orang lemah seperti dia," katanya.

Abby menyeringai. "Jadi kau ingin menjadi bebas? Aku bisa mengabulkan keinginanmu. Yang perlu kau lakukan adalah mengulurkan tanganmu," kata Abby sambil mengulurkan tangannya.

Arzaniko mengangkat bahu. "Kurasa tidak ada ruginya," katanya sambil menyambut uluran tangan Abby.

"Baiklah," desis Abby. Gadis itu kembali menyeringai. Dari lengannya muncul asap hitam yang berputar-putar di sekeliling tangannya menuju ke tangan Arzaniko. "Kukembalikan kau ke wujud liarmu, Arzaniko!"

Asap hitam meresap ke dalam kulit Arzaniko. Tubuh Spiritia itu berguncang saat asap itu terus meresap masuk ke dalam tubuhnya.

"Rasakan kebebasan saat tidak ada yang memerintahmu. Inilah kita yang sebenarnya. Tidak terikat pada makhluk manapun. Kita adalah intisari Ventinis!" seru Abby dengan suara parau. Asap yang keluar dari lengannya semakin banyak. Semakin banyak pula asap yang meresap ke dalam tubuh Arzaniko.

Arzaniko berteriak saat asap yang keluar dari tubuh Abby menyebar dan menguasai tubuhnya. Tetapi dia tidak melepaskan genggaman tangannya.

"Bagus. Kau bersungguh-sungguh. Maka sekarang terimalah keinginanmu," kata Abby.

Tubuh Abby berubah menjadi asap yang mengalir masuk ke dalam tubuh Arzaniko. Beberapa saat Arzaniko diselimuti asap hitam. Dan saat asap itu menghilang, sosok Arzaniko telah berubah. Warna matanya yang karamel berganti hitam. Rambut panjangnya pun berubah warna menjadi hitam. Senyumnya berubah menjadi seringai kejam. Bajunya berganti dengan baju zirah bernuansa cakar dan tulang. Sebuah pedang berwarna perak dengan ukiran naga hitam di bilahnya berada di dalam genggaman tangan kanannya.

"Ini lebih baik dari wujud lamaku," kata Arzaniko.

Dari balik punggung Arzaniko memancar keluar asap hitam tebal yang akhirnya berwujud sebagai Abby. "Rasanya enak, bukan? Nah. Sekarang bagaimana kalau kau bergabung dengan kawan-kawanmu yang lain?" kata Abby. Gadis kecil itu menjentikkan jarinya. Seketika di sampingnya muncul sebuah lingkaran hitam besar. Ada sebuah dunia lain di dalam lingkaran itu. Di sana tampak empat sosok dengan baju zirah yang mirip dengan Arzaniko sedang berdiri berjajar dengan sikap siaga.

"Heh. Kalian ternyata," kata Arzaniko. Dia mengenali sosok-sosok itu sebagai beberapa Spiritia milik Stallza.

"Masuklah. Siapkan dirimu untuk pertarungan berikutnya," kata Abby.

Arzaniko mengangkat bahu sebelum melangkah masuk ke dalam lingkaran itu. Abby kembali menjentikkan jarinya kembali. Lingkaran itu pun menghilang di balik punggung Arzaniko.

"Sudah lima. Masih perlu enam lagi," kata Abby. Dia memandangi dua jasad yang dikalahkan oleh Bromon dan Arzaniko. "Kalian akan menjadi boneka yang bagus. Sekarang bangkitlah dan kembali bertarung. Waktunya masih ada sehari lagi," katanya pada dua jasad itu.

Kedua jasad itu bangkit seakan mereka hanya tertidur. Claude yang tertimpa batang pohon yang besar menepis batang itu seolah-olah seringan ranting. Tidak ada perubahan pada mereka, kecuali kristal berbentuk bola yang berada di kening mereka masing-masing.

"Kukembalikan roh dan jiwa ke dalam tubuh kalian. Patuhi aku. Jika tidak, kuhancurkan jiwa dan roh kalian untuk selamanya," kata Abby. Gadis kecil itu menjentikkan jari. Kristal bola di kening Claude dan Claudia kembali terserap ke tubuh mereka. Tubuh keduanya berguncang sesaat.

"Aku harus kembali ke Thurqk. Pastikan memberikan pertarungan yang menarik untuk dia. Setidaknya jangan bikin makhluk bodoh itu curiga," kata Abby yang dibalas dengan anggukan oleh Claude dan Claudia.

***

IX

Thurqk menggoyang-goyangkan kursi putarnya maju dan mundur. Di tangannya segelas anggur merah setengah kosong tengah dimainkan. Dia merasa pertarungan di dua tempat yang dirancangnya tampak membosankan. Apalagi dengan adanya sesuatu yang menyelimuti arena pertarungan hutan. Kabut, itulah nama untuk sesuatu itu. Dia tertawa. Dirinya adalah dewa dan dia sempat melupakan sesuatu yang diciptakannya sendiri.

Namun hal yang membuatnya bertanya-tanya bukanlah kelupaannya, melainkan mengapa dia tidak bisa melihat apapun di balik kabut itu. Dia tidak bisa menjangkaunya sama sekali. Sudah berkali-kali dia mencoba menyibak kabut itu dengan kekuatannya, tetapi kabut itu tidak bergerak sedikit pun. Dan lebih dari itu, Thurqk bisa merasakan kehidupan di dalam kabut itu.

Thurqk menggeleng. Tidak mungkin itu terjadi. Satu-satunya makhluk yang masih hidup di dunianya itu adalah putri yang diculiknya dari dunia Stallza. Sang putri pun sudah dia tandai, meski Abby dengan kekuatan uniknya telah membuat gadis itu lenyap entah ke mana. Lalu tanda-tanda kehidupan siapa itu?

Sebenarnya Thurqk sempat merasakan tiga bentuk kehidupan di dalam arena hutan, tetapi sekarang tersisa satu. Thurqk menganggap itu hanya gangguan kecil dalam sistem yang mengatur dunia merahnya. Peringatan palsu. Jika saja Nolan tidak membuatnya kesal, dia akan menyuruh makhluk rendah berkacamata itu memperbaiki gangguan kecil itu. Tetapi sekarang makhluk itu tak lebih dari seonggok jiwa yang rusak.

Thurqk mendecak. Dia menyesap anggur yang tersisa di gelasnya dan menghempaskan gelas itu ke lantai begitu saja setelah isinya habis. Salah satu hvyt yang berada di ruangan pemantau itu segera bergegas dan membersihkan pecahan gelas itu.

"Di mana Abby?" tanya sang dewa pada hvyt yang membersihkan pecahan gelasnya.

"Hamba melihatnya keluar tadi. Tapi setelah itu hamba tidak tahu lagi, Yang mulia," kata hvyt itu tanpa berani menatap sang dewa.

Thurqk kembali mendecak. Dengan goyangan tangan dia mengusir hvyt itu untuk kembali ke posnya. Dia penasaran. Gadis hantu itu selalu saja hilang dan muncul tanpa bisa dia ketahui keberadaannya. Thurqk mendorong kursinya ke depan. Di bawah layar pemantaunya terdapat papan kontrol dengan berbagai macam tombol perintah di sana. Dia menekan beberapa tombol dan layar pemantaunya tidak lagi menunjukkan arena pertarungan.

"Aku kembali." Suara Abby yang tiba-tiba muncul di belakang Thurqk membuat sang dewa berhenti bermain dengan papan kontrolnya. Dia menekan sebuah tombol dan arena pertandingan kembali tampil di layar.

"Kau sudah puas bermain-main?" tanya Thurqk tanpa membalik badan.

"Sudah," kata Abby. Gadis itu melangkah santai sambil melompat-lompat kecil ke samping sang dewa.

Thurqk melirik pada hantu kecil di sampingnya. Tangan Abby basah dengan cairan hitam. "Kau baru membunuh hvyt lagi?" tanyanya.

"Mereka mencegatku," kata Abby dengan suara merajuk. Pipinya menggembung.

Thurqk membelai kepala hantu kecil di sampingnya. "Keadaan saat ini lebih genting dari biasanya. Mungkin beberapa hvyt baru yang dibentuk tidak mengenalmu dan menganggapmu ancaman," kata Thurqk. Dia menghela napas panjang. "Sebaiknya kau tetap di sini jika tidak ingin diganggu para hvyt baru itu," katanya lagi.

Abby mengangguk. Gadis itu tersenyum lebar.

***

XI

Stallza awalnya terkejut saat dia dibangunkan oleh Nitria dan melihat Plumbina berdiri di depannya. Apalagi dengan pedangnya yang tidak disarungkan. Kabut Nitria tampaknya sudah mulai menipis sehingga dia bisa melihat sosok Plumbina dan Nitria dengan sedikit jelas. Dia mengira Plumbina akan menyerangnya dengan pedang itu. Tetapi Spiritia itu malah berlutut dan menunduk di depannya.

"Dia sudah kembali," bisik Nitria.

Stallza menghela napas lega. Dia tidak bisa membayangkan jika harus menghadapi Plumbina untuk kedua kalinya. Saat pertama kali menaklukkan Plumbina, Stallza harus mengalami keracunan fatal. Iodesa sampai-sampai harus menyembuhkan keracunan itu sehari penuh. Itu pastilah sangat menghabiskan waktunya yang berharga.

"Teman-teman yang lain juga ada di sekitar sini," kata Nitria.

"Kau merasakannya?" tanya Stallza.

"Argonos terbang dengan terbirit-birit. Saat ini dia tersesat. Aku tadi merasakan keberadaan Arzaniko, tapi dia sepertinya menghilang entah ke mana. Aku juga merasakan keberadaan Bromon. Tapi kurasa dia menjadi liar sekarang," kata Nitria.

"Aku merasakan Nicca dan Hidro sedang ke sini," kata Plumbina.

"Apa dia sadar?" tanya Stallza.

"Aku tidak tahu," jawab Plumbina, "mungkin sadar. Tapi dia menangis."

"Kalau begitu kita ke sana," kata Stallza. "Bimbing kami, Plumbina. Dan buka tabir kabutmu, Nitria."

Kedua Spiritia itu mengangguk. Nitria mengangkat tangannya di udara, dan kabut yang menyelubungi hutan Jagatha kembali ke tubuhnya. "Ayo," kata Nitria setelah kabutnya telah kembali menyelubungi tubuhnya.

***

Stallza dan kedua Spiritianya bertemu dengan Nicca dan Hidro saat gadis kecil itu sedang duduk bersandar di sebuah akar pohon. Nitria langsung merangkul gadis kecil itu dan mengajaknya bicara. Dari Nicca Stallza tahu apa yang terjadi pada para Spiritianya.

"Kami terpisah dan ada asap yang menyerang kami," kata Nicca di sela isakannya. Gadis yang tampak seperti anak laki-laki itu kini tampak ringkih. "Aku takut. Kakak-kakakku juga tidak ada," katanya lagi.

"Koboldia ada bersamaku," kata Stallza.

"Benarkah?" kata Nicca senang. "Apa kak Ferra juga ada?"

"Itu…" Stallza tidak membalas. Dia mengeluarkan Koboldia dan mengizinkan Spiritia itu muncul dengan meminjam eksistensinya.

Koboldia tersenyum melihat Nicca. Dengan lembut dia mengelus kepala gadis itu. Dia membisikkan semua yang terjadi pada Ferra pada adiknya itu, dan merangkulnya saat gadis kecil itu meledak.

"Kakak masih bisa kembali," kata Koboldia. "Benar, bukan?" tanya Koboldia pada Nitria.

Nitria mengangguk mantap. "Tuan Stallza memiliki kekuatan baru. Akan kujelaskan mengenai Ventinis nantinya. Sebaiknya kau kembali ke tangan tuan dulu. Biarkan kekuatan tuan menghapus kekuatan yang menguasaimu dulu," katanya pada Nicca. Nitria melihat Hidro sudah terbang terlebih dulu ke pundak Stallza dan kembali berubah menjadi kristal.

"Sudah tujuh Spiritia," kata Plumbina.

Koboldia tersenyum. "Terima kasih masih menghitung kakakku," katanya pada Plumbina.

"Ayo kita lanjutkan," kata Nitria. "Argonos sepertinya ada di dekat sini."

***

Argonos bersembunyi di sebuah lubang di bawah pohon Rachta yang sudah mati. Tubuhnya bergetar. Saat Stallza mendekatinya, Spiritia itu mencoba untuk melarikan diri lagi. Tetapi sebelum sempat menggunakan kekuatannya, Koboldia sudah menangkap cincinnya. Stallza menyentuh bola di antara dua cincin yang kini dipegang Koboldia. Tubuh Argonos akhirnya menjadi tenang. Tanpa diperintah pun Spiritia itu kembali ke bentuk kristalnya.

"Sudah delapan," kata Plumbina.

"Hitung jadi sepuluh."

Stallza, Koboldia, dan Plumbina menoleh ke sumber suara itu. Dari balik pohon tak jauh dari tempat mereka berdiri, sesosok gadis yang memakai baju zirah berwarna perak sedang dipapah gadis lain yang memakai baju zirah berwarna tembaga.

"Selamat datang kembali, Argia, Cupria," kata Stallza.

"Aku melihat Almena dan Silic sedang bertarung dengan asap hitam," kata Argia. "Aku ingin menolong mereka, tetapi asap hitam lain tiba-tiba keluar dari tubuhku dan mencoba menguasaiku. Jika bukan karena Cupria yang menghentikanku dan membawaku pergi, mungkin aku sudah membunuh mereka semua."

"Tolong kami," kata Cupria. Air matanya hampir mengalir.

"Kembalilah," kata Stallza. Dia mengulurkan tangannya kepada dua gadis itu. Keedua gadis itu mengangguk. Sesaat kemudian sosok mereka bersinar dan berubah menjadi bola cahaya yang terbang ke telapak tangan Stallza.

"Sepuluh Spiritia," kata Plumbina.

"Sebentar lagi jadi dua belas," kata Koboldia.

***

Silic mati-matian melindungi Almena yang terluka parah akibat serangan asap hitam yang mencoba menguasai mereka. Mereka menolak. Mereka melawan. Sayangnya Almena bukan tipe penyerang. Asap hitam yang menyerang gadis berkacamata itu berubah menjadi pedang hitam yang menebasnya berkali-kali. Silic tidak ingin melihat temannya kalah. Dia mengubah dirinya menjadi kubah kaca yang menaungi tubuh Almena yang terluka parah sementara dua gumpalan asap hitam terus menerus menghantamnya.

Silic sudah berpikir dia tidak akan bisa bertahan lama. Kubah perlindungannya sudah mulai retak. Di saat dia berpikir akan kalah dan musnah, sesosok bayangan hitam bergerak cepat dan menebas kedua asap hitam yang menyerangnya. Dalam sekejap asap itu hancur tak bersisa.

Silic kembali ke wujud manusianya. Gadis bertubuh pendek itu berambut putih dengan baju serba putih yang kini compang camping akibat serangan asap hitam. Seluruh tubuhnya gemetar. Bahkan untuk berdiri saja dia kesulitan. Saat Silic nyaris jatuh tersungkur, bayangan hitam yang mengalahkan kedua asap hitam tadi tiba-tiba bergerak cepat di belakangnya dan memberikan topangan ke tubuh Silic yang lemah.

"Plumbina?" bisik Silic lemah.

"Tenanglah. Tuan ada di sini," kata Plumbina singkat.

Di saat bersamaan Silic melihat di kejauhan sang tuan sedang terbang ke arahnya. Seberkas cahaya jingga melesat darinya dan berubah bentuk menjadi Iodesa. Yang terjadi berikutnya adalah Silic diselimuti cahaya jingga yang hangat. Lalu kesadaran Silic pun menghilang.

***

"Sudah berapa Spiritia yang tuan pakai?" tanya Nitria.

"Sudah lima," kata Stallza.

"Jika tuan ingin memanggil Ferra, tuan membutuhkan dua bagian eksistensi. Itulah harga untuk menarik Ferra yang kehilangan kristalnya kembali bersama kita," kata Nitria.

"Berarti batas amanku sisa dua," kata Stallza. "Jika sampai sepuluh, eksistensiku akan hilang. Benar?"

"Di dalam tubuh tuan sudah ada Ventinis. Seharusnya eksistensi tuan tidak akan hilang. Tetapi kita belum tahu secara pasti. Demi menjaga-jaga, biarkan saja kita tetap memakai aturan lama," kata Nitria.

Stallza mengangguk setuju. "Aku masih memikirkan nasib yang lainnya. Aku hanya merasakan beberapa dari mereka di sekitar sini," katanya.

Nitria tersenyum. "Apa tuan masih ingat apa yang terjadi saat pertama kali menjadi pengendali Spiritia? Saat tuan berhasil mengumpulkan beberapa Spiritia, tuan tidak perlu memanggil atau  mencari kami. Kamilah yang datang mendekat. Kami tertarik karena melihat seseorang yang berhasil dipercaya oleh Spiritia sebanyak itu," jawab Nitria. Gadis itu membelai lembut tengkuk tuannya. "Dan jangan takut, tuan. Putrimu aman. Aku yakin Phosporosso dan Auria tidak akan melepaskannya sendiri."

Stallza mengangguk. "Aku harap mereka selamat," katanya. "Ah!"

Nitria menoleh. "Ada apa?" tanyanya.

"Kau masih ingat dua belatiku yang dilemparkan padaku kemarin? Menurutmu dari mana orang itu  mendapatkan belati-belati itu?" tanya Stallza.

Nitria kini tahu arah pembicaraan tuannya. "Kalau belati-belati itu ada di hutan ini…"

"Kemungkinan seperti itu," kata Stallza. "Itu sesuatu yang layak dicoba, bukan?"

"Extracto akan membuatmu kelelahan. Apa kau siap?"

"Kelelahanku bisa dipulihkan Iodesa. Dengan menggunakan Extracto, aku bisa menghubungi seluruh teman yang terpisah," kata Stallza.

"Selama mereka ada di dalam daerah yang dibatasi belati-belati itu," kata Nitria.

"Aku berharap mereka ada di dalam daerah itu," kata Stallza. "Baiklah. Akan kucoba."

Stallza memejamkan mata dan berkonsentrasi. Dia lalu menepukkan tangannya dan berseru keras, "Extracto!" Cahaya terang seketika muncul di bawah kakinya dan menyinari Jagatha Vadhi dan lenyap sedetik kemudian.

***

Teknik Extracto menghubungkan belati-belati yang Stallza miliki dan membuat sebuah dunia yang dipenuhi cahaya. Di dalam dunia itu Stallza dan para Spiritia miliknya bisa saling bertemu. Di sana telah ada sepuluh spiritianya yang datang mendekat. Mereka tidak tampak liar. Mereka semua datang dan lalu memberi hormat pada Stallza sebelum kembali menjadi kristal-kristal.

Spiritia yang terpencar mulai kembali. Stallza ingin mencari mereka semua, tetapi dia tidak bisa berlama-lama memakai teknik Extracto. Maka Stallza menyelesaikan tekniknya. Cahaya yang memancar dari bawah kakinya pun lenyap.

Semua terjadi begitu cepat. Bagi orang lain apa yang terjadi hanya tampak seperti sebersit cahaya yang bersinar dari lantai hutan dan kemudian lenyap begitu saja sebelum ada yang menyadarinya. Tetapi Claudia dan Claude menyadari cahaya yang muncul sekejap itu. Dan saat mereka melihat cahaya itu, dengan gesit mereka berlari menuju sumbernya.

Stallza sedang berbicara dengan Nitria saat sepasang kekasih yang terikat hubungan darah itu muncul dan melompat ke arahnya. Mereka melemparkan   bangun-bangun transparan berukuran besar dan bola-bola hitam ke arahnya tanpa ampun. Seandainya bukan karena kesigapan Nitria, maka mereka berdua pasti telah dilumat oleh bola-bola hitam dan bangun-bangun transparan itu.

"Laki-laki itu kembali!" seru Nitria. "Dan sekarang dengan tambahan teman?"

Nitria melepaskan tabir kabutnya dan membuat udara di sekitarnya membeku seketika. Dengan gerakan mengibas dia mengendalikan udara beku itu dan menghempaskannya ke arah Claude, tetapi Claudia dengan sigap menghadang udara beku itu dengan sebuah dinding tak kasat mata. Serangan Nitria hanya menyeruak ke samping tanpa menyentuh Claude maupun Claudia sama sekali.

"Sepertinya bukan petarung. Selama dia ada, serangan kita tidak akan bisa mengenainya," kata Nitria. Gadis itu tidak bisa diam terlalu lama untuk mengamati keadaan karena Claude secara tiba-tiba telah berpindah ke belakangnya. Nitria mengubah wujudnya menjadi kabut dan menghindar tepat sebelum bola di tangan Claude menyentuhnya.  Di saat bersamaan, Claudia yang berpijak di udara dengan bantuan bangun ciptaannya membuat ratusan bola dari udara kosong. Dengan sebuah ayunan tangan, bola-bola itu meluncur seperti ratusan peluru menuju ke arah Stallza.

"Plumbina, muncullah," kata Stallza. Seketika sebuah bayangan hitam melesat keluar dari balik tubuh Stallza dan menebas semua bola itu. Di saat bersamaan, bayangan yang berubah wujud menjadi sosok gadis sintal itu mengayunkan pedang ke arah Claudia. Sedikit lagi pedangnya menebas gadis berambut putih itu, namun tiba-tiba gadis itu berubah menjadi Nitria. Plumbina terkejut, namun dia sempat mengendalikan pedangnya dan mengubah wujud pedangnya menjadi debu tepat sebelum mengenai Nitria.

Stallza terdesak, dua lawan yang tangguh melawannya sekaligus. Apalagi kemampuan si pria bernama Claude yang bisa memindah-mindahkan barang. Claude menukar posisi antara dirinya dan Claudia yang berdiri di sisinya. Dengan sigap Claude menangkap Stallza dan memunculkan bola-bola hita penghisap miliknya. Stallza mencoba untuk berontak, tetapi sesuatu menahan kakinya. Claudia telah menahan kakinya di dalam sebuah kubus ciptaannya.

Stallza masih belum menyerah. Dia mengambil belati dan mencoba menebas tangan Claude sebelum bola di tangannya membesar. Claude menghindar, membuat bolanya lenyap untuk sementara. Meski sebentar, bagi Stallza itu adalah waktu cukup untuk memanggil bala bantuan.

"Argia, muncullah!!" seru Stallza. Seketika dari balik badanya muncul sebuah cahaya keperakan yang mewujudkan diri menjadi seorang gadis berbaju zirah perak. "Kau sudah tidak apa-apa?" tanya Stallza pada gadis itu.

"Aku sudah tidak apa-apa, tuan," balas Argia. Gadis itu segera mengambil sikap siaga di depan Stallza. Alis mata Argia berkerut saat melihat Claude dan Claudia. "Sepertinya mereka bukan manusia. Aku merasakan energi yang sama seperti energi yang mencoba merasukiku tadi," katanya

"Bersatulah denganku. Kita kalahkan mereka dan cari teman yang lain," kata Stallza.

Tanpa memalingkan pandangannya Argia mengangguk setuju. Sosoknya berubah kembali menjadi cahaya perak yang kemudian merasuk ke dalam tubuh Stallza. Cahaya itu membuat Stallza memiliki baju zirah, sama seperti yang dimiliki oleh Argia. Sebuah pedang perak panjang muncul di tangan kanannya. Dengan pedang itu Stallza menghancurkan kubus yang mengunci kakinya dan maju menerjang.

Tujuan Stallza adalah Claude. Sementara berlari dia memanggil Hidro, Spiritia miliknya yang memiliki bentuk seperti burung layang-layang berwarna biru. Seperti halnya Argia, Stallza menyatukan dirinya dengan Hidro. Dengan penggabungan itu Stallza memiliki kecepatan berlari dan melompat yang sangat tinggi.

Stallza melompat menghindari bangun-bangun yang diciptakan Claudia. Dia bahkan menjadikan beberapa di antaranya sebagai pijakan untuk akselerasi. Stallza menukik turun ke arah Claude sambil menghunus pedangnya, tetapi Claude tidak tinggal diam. Pria berambut hitam itu dengan enteng berpindah tempat dengan menukarkan dirinya dengan sebuah daun di atas dahan pohon Rachta.

Claudia hendak mengurung Stallza dalam bola ciptaannya saat tiba-tiba gumpalan debu hitam dan kabut pekat bergulung-gulung mengelilinginya. Claudia mencoba mengurung dirinya sendiri dari serangan debu dan kabut itu, tetapi keduanya menempel ketat pada Claudia. Saat Claudia membentuk bola pelindung untuk membungkus dirinya, dirinya malah terjebak bersama debu hitam dan kabut yang berusaha dihindarinya. Dengan liar debu hitam dan kabut putih di dalam bola itu berputar, mencabik-cabik kain dan kulit gadis malang yang terjebak kemampuannya sendiri itu.

"Claudia!" seru Claude. Dia mengambil selembar darun pohon dan hendak menukarnya dengan Claudia, tetapi Stallza tidak mengizinkannya.  Sebelum berhasil melakukan itu, Stallza sudah tiba di depan mukanya dan menebas. Claude tidak mampu menghindari gerakan secepat itu, sementara dirinya sedang fokus untuk menukar posisi Claudia. Sebuah luka tebasan yang besar menganga di tubuhnya dan seketika membuatnya limbung.

Stallza tidak menunggu lawannya melarikan diri dengan berpindah. Saat Claude terjatuh, di saat yang sama Stallza menukik mengikutinya dan menebas tubuh pria itu berkali-kali. Claude berteriak namun tidak bisa berbuat apa-apa. Kemampuan Hidro memberikan gerakan secepat kilat pada Stallza, membuat setuap serangannya menjadi mematikan. Saat tubuh pria itu mendarat di tanah, nyawanya telah lenyap.

Claudia bernasib sama dengan kekasihnya. Debu hitam dari Plumbina adalah racun mematikan, dan dia telah banyak menghirup racun itu. Kabut dingin dari Nitria mencabik-cabik kulitnya dengan udara dingin berkecepatan tinggi. Sementara suhu yang semakin turun membuatnya semakin sulit bernapas. Claudia yang mencoba menarik udara lebih banyak lagi malah menyebabkan debu hitam Plumbina semakin terhirup. Dalam waktu yang tidak lama kombinasi serangan itu membuat Claudia, peserta resmi yang menjadi lawan Stallza, tumbang tak bernyawa.

***

"Kita berhasil," kata Plumbina saat melihat mayat kedua pasangan itu.

"Sebaiknya kita menyatukan mereka bersama," kata Stallza, "biarpun musuh, mereka adalah pasangan yang sama sepertiku. Aku… merasa kasihan pada mereka."

Plumbina megnangguk paham. Dia membawa mayat Claude dan membaringkannya tepat di sisi Claudia. "Semoga kalian tenang," katanya.

"Sekarang apa yang akan kita lakukan?" tanya Nitria pada Stallza.

"Masih ada Bromon dan beberapa lagi yang belum kita pulihkan. Aku juga tidak bisa merasakan lima Spiritia lain yang sebelumnya sayup-sayup terasa. Kuharap mereka tidak apa-apa," kata Stallza. Dia menghela napas panjang. "Jika kita telah mendapatkan semua teman-teman kita kembali, mencari Lan pasti akan jauh lebih mudah," katanya.

***

XII

Dasar dunia si dewa merah sudah tidak sekuat dugaannya. Sudah terlalu banyak anomali yang terjadi. Bukan hanya manusia yang kembali hidup dan berkeliaran bebas di dalam dunianya. Si dewa merah pun tidak menyadari keberadaan Abby yang berada di dua tempat sekaligus. Abby yang berwujud gadis kecil yang menonton pertarungan Stallza mungkin disadarinya. Tetapi Abby yang berwujud asap hitam yang bertarung dengan Lan adalah hal lain.

Asap hitam itu kini sedang melawan sang putri tepat di depan pintu ruang penjara, tempat Stallza dan peserta lainnya ditawan. Rambutnya berubah merah, menandakan dirinya sedang melakukan Spiritialis dengan Phosporosso. Di tangan kanannya terdapat sebuah benda yang disebut Nolan sebagai laptop. Di belakangnya pria yang nyaris mati itu terkapar menunggu benda itu diserahkan padanya.

"Aku sudah berhasil mengambilnya sesuai permintaanmu. Kau yakin benda ini bisa mengalahkan si merah itu?" tanya Lan tanpa menoleh pada Nolan.

Pria berkacamata itu hanya menggeram lemah untuk menyetujuinya.

"Kalau begitu tunggulah," kata Lan, "setelah mengalahkan makhluk ini aku akan menyerahkannya padamu." Lan meletakkan laptop itu di dekat kakinya dan lari menerjan ke arah asap hitam. Dari tangannya berkali-kali keluar bola-bola api yang menghambur ke arah asap itu. Namun asap itu dengan mudah menghindar. Bola-bola api itu meledak saat mengenai dinding dan menghempaskan Lan dan laptop pesanan Nolan ke dalam ruang penjara.

Beruntung bagi Nolan, letak jatuhnya laptop itu masih berada dalam jangkauannya. Saat Lan kembali menerjang asap hitam, tangan lemah Nolan membuka dan mulai mengaktifkan benda itu. Meski nyaris tak terlihat, Nolan tersenyum. Rencananya berjalan sesuai harapannya.

***

1 comment:

  1. Beres baca Stallza. Ini porsi duel melawan CC-nya ternyata tidak sebanyak yang saya harapkan. Bahkan di saat terakhir, itu seperti mudah sekali mereka dikalahkan. Padahal bagian itulah yang terasa paling seru kalau buat saya.

    Cerita pada R7 ini sepertinya memang benar-benar fokus ke Stallza dan Spiritia-nya. Namun situasi ini tidak terlalu jelas. Mana saja Spiritia yang sudah kembali pada Stallza, mana yang dibawa oleh Lan, mana yang belum berada di sisi mereka, dan mana saja yang akhirnya memberontak. Pastinya ini beban berat bagi lawan Stallza nanti, kalau memang ingin menyesuaikan dengan canon Stallza.

    Bagian bagusnya, secara keseluruhan cerita ini sudah cukup baik sebagai pre-final. Semuanya memanas. Thurqk, Nolan, Abby, masing-masing punya agenda sendiri. Saya penasaran bagaimana sang Master Tavern meramu konflik Stallza dengan Nanthara bersamaan dengan duel melawan satu peserta final lainnya.

    Good luck.

    ReplyDelete

Silakan meninggalkan komentar. Bagi yang tidak memiliki akun Gmail atau Open ID masih bisa meninggalkan komentar dengan cara menggunakan menu Name/URL. Masukkan nama kamu dan juga URL (misal URL Facebook kamu). Dilarang berkomentar dengan menggunakan Anonymous dan/atau dengan isi berupa promosi produk atau jasa, karena akan langsung dihapus oleh Admin.

- The Creator -